ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA TESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA TESIS"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA TESIS FIRDAUSSY YUSTININGSIH FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA DESEMBER 2012

2 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi FIRDAUSSY YUSTININGSIH FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK KEKHUSUSAN EKONOMI PERSAINGAN USAHA JAKARTA DESEMBER 2012

3 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang berlaku di. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh kepada saya. Jakarta, 28 Desember 2012 (Firdaussy Yustiningsih) ii

4 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Firdaussy Yustiningsih NPM : Tanda Tangan : Tanggal : Desember 2012 iii

5 HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh : Nama : Firdaussy Yustiningsih NPM : Program Studi : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Judul Tesis : Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani-Konsumen di Indonesia Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi pada Program Studi Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi,. DEWAN PENGUJI Pembimbing : Dr. Ir. Widyono Soetjipto M.Sc ( ) Penguji : Iman Rozani S.E., M.Sc ( ) Penguji : Dr. Aris Yunanto S.TP., M.S.E ( ) Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : Desember 2012 iv

6 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat- Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Ekonomi Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik pada Fakultas Ekonomi. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : (1) Bapak Dr. Widyono Soetjipto, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini; (2) Bapak Iman Rozani S.E., M.Sc dan Bapak Dr. Aris Yunanto, selaku dosen penguji tesis, yang telah memberikan masukan terhadap isi tesis ini; (3) Bapak Dr. Riyanto, selaku narasumber, yang telah memberikan masukan dan bantuan terkait model ekonometri yang digunakan dalam tesis ini; (4) Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU), yang telah menyediakan dana beasiswa untuk menempuh studi S-2 pada Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Fakultas Ekonomi ; (5) Bapak Mulangin dari BPS dan Bapak Eri dari PT. Food Station Cipinang, yang telah mendukung perolehan data dalam tesis ini; (6) Bapak Taufik Ariyanto, selaku Kepala Biro Pengkajian, atas ide, arahan, dan masukannya selama penulisan tesis ini; (7) Suami, orang tua, dan keluarga tercinta, atas doa, dukungan, dan bantuannyanya selama penulisan tesis ini; (8) Mas Daniel, Mba Riris, Mba Nuring, Mba Indar, Mba Noor, dan rekan-rekan KPPU yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan dan penyusunan tesis ini v

7 (9) Liasari, Wiwit, Vidi, Mba Febby, Mba Endang, Mba Metty, Mba Ita, Mba Leni, Mba Indi, Mba Ance, dan seluruh rekan-rekan MPKP FEUI Angkatan XXIII Sore yang telah menjadi teman dan sahabat seperjuangan selama masa perkuliahan ini. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Jakarta, Desember 2012 Penulis vi

8 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai civitas akademik, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Firdaussy Yustiningsih NPM : Kekhususan : Ekonomi Persaingan Usaha Program Studi : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Fakultas : Ekonomi Jenis Karya : Tesis Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani-Konsumen di Indonesia beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Jakarta Pada Tanggal : Desember 2012 Yang menyatakan (Firdaussy Yustiningsih) vii

9 ABSTRAK Nama : Firdaussy Yustiningsih Program Studi : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Judul Tesis : Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani- Konsumen di Indonesia Tesis ini dilatarbelakangi oleh fenomena disparitas harga beras Indonesia yang semakin melebar antara level petani dengan level konsumen, sejak tahun Padahal, sebagai komoditas yang strategis, kebijakan perberasan seharusnya mampu menjamin harga beras yang tinggi di level petani namun tetap terjangkau di level konsumen. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk melakukan analisis pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di level petani dengan harga beras di level konsumen, dengan menggunakan pendekatan teori Asymmetric Price Transmission, dan (2) menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat integrasi pasar dan transmisi harga beras petani konsumen, yang dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pedagang perantara beras di Indonesia. Model yang digunakan dalam analisa adalah model error correction (ECM), yang diestimasi dari pergerakan data harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen. Data yang digunakan adalah data sekunder bulanan dengan rentang waktu (time series) dari tahun 2000 sampai dengan tahun Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa dalam jangka pendek transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen bersifat simetris, sementara dalam jangka panjang bersifat asimetris. Fenomena transmisi harga tidak simetris pada jangka panjang disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) penyalahgunaan market power oleh pedagang perantara, dan (2) kebijakan Pemerintah. Pedagang perantara mendapatkan market power dari kondisi struktur pasar yang bersifat oligopolistik, dimana jumlah pedagang perantara relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah petani dan konsumen. Hal ini menyebabkan pedagang perantara memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, sehingga memudahkan pedagang perantara untuk mengendalikan harga. Dalam hal kebijakan Pemerintah, berbagai kebijakan perberasan dirancang untuk mengintervensi harga di level petani agar berada di atas level harga Pemerintah, sementara harga di level konsumen diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini menimbulkan persepsi pedagang perantara bahwa penurunan harga GKP petani hanya bersifat sementara, sehingga pedagang perantara tidak segera bereaksi terhadap penurunan harga GKP petani. Kata kunci : Integrasi pasar, transmisi harga vertikal, rantai pemasaran beras, market power, Indonesia viii

10 ABSTRACT Name : Firdaussy Yustiningsih Study Program : Master of Planning and Public Policy Title : Analysis of Market Integration and Price Transmission on Farm - Retail Rice Price in Indonesia The background of this thesis is due to the price disparity between the farm level and the consumer retail in rice sectors in Indonesia. The anomaly is the price disparity has widened after the liberalization of the rice market in As a strategic commodity in Indonesia, the government should develop a policy that can guarantee the price of rice is high at the farmers level and remain affordable at the consumer level. The goal of this research is (1) to analyze the price transmission between the farm level and the consumer level in rice sector, by using the Asymmetric Price Transmission approach, and (2) to explain the factors that affect the level of market integration and rice price transmission between the farm level and the consumers level, which associated with the condition of the structure and behavior of Indonesian rice middle man. The model used in the analysis is the error correction model (ECM), which is estimated from the movements of rice price in the farm level with the consumer level. The data used are monthly price in each level from 2000 to Based on the model, the price transmission from the farm level to the consumer level is symmetric in the short term. Meanwhile in the long term, the price transmission is asymmetric. It means that the price transmission is caused by the long term factors, such as abuse of market power by the middle man and the government policy. Middle man get their market power from the market structure of the middle man level which lead to oligopolistic market, where the number of middlemen are relatively few compared to the number of farmers and consumers. This causes the middle man has a higher bargaining position, so they can easily control the prices. In terms of policy, the Indonesian government prefer to give more protection to farmer than to consumer. In the farm level, government made the Government Purchase Price Policy which aims to ensure that the farmer always get a better price (high price) by selling their rice. While, prices at the consumer level left to the market mechanism. This gives the perception in the middle man level that the falling price in the farm level only temporary, because the government will immediately intervene the market. This makes the middle man not immediately react for the falling prices in the farm level. On the other hand, the middle man believe that the rising price in the farm level is permanent, so they will increase the rice price in the consumers level immediately. Keywords : Market integration, vertical price transmission, marketing chain of rice, market power, Indonesia ix

11 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..... HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.. ABSTRAK.. DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR TABEL.. i ii iii iv v vii viii x xii xiii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesa Metodologi Penelitian Data-Data yang Digunakan Metode Analisis Ruang Lingkup Penelitian Sistematika Penelitian Kerangka Penelitian TINJAUAN LITERATUR Teori Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Asymmetric Vertical Price Transmission Penyebab Asymmetric Vertical Price Transmission Market Power dan Struktur Pasar Persaingan Tidak Sempurna Adjustment Cost atau Menu Cost Return to Scale dalam Produksi Karakteristik Produk Kebijakan Pemerintah Penelitian Terdahulu GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA Gap Antara Pola Produksi dan Konsumsi Beras Gambaran Distribusi Beras di Indonesia Kebijakan Perberasan Indonesia Kebijakan Produksi Kebijakan Harga Kebijakan Impor Kebijakan Distribusi Kebijakan Pemerintah dan Perkembangan Harga Kebijakan Pemerintah dan Peningkatan Produksi. 61 x

12 4. METODOLOGI PENELITIAN Cakupan Penelitian Metode Analisis Tahapan Pengujian Tes Stasioner Tes Kointegrasi Tes Kausalitas Model Simetris Error Correction Model (ECM) Tes Asimetri Keterbatasan Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Data Deskriptif Analisa Time Series Uji Stasioner Uji Kointegrasi Estimasi Model Asimetris Uji Kausalitas Uji Model Simetris Uji Model Asimetris Analisa Faktor Penyebab Transmisi Harga Asimetris Biaya Penyesuaian Kebijakan Pemerintah dan Perilaku Pedagang Perantara Market Power dan Struktur Pasar KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi. 117 DAFTAR REFERENSI xi

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Perbandingan Harga Beras Petani-Konsumen. 2 Gambar 1.2. Kerangka Penelitian 10 Gambar 2.1. Transmisi Harga Tidak Simetris Dari Sisi Kecepatan dan Besaran Gambar 2.2. Transmisi Harga Tidak Simetris Positif dan Negatif Gambar 3.1. Pola Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia. 38 Gambar 3.2. Rantai Pemasaran Beras di Indonesia Gambar 3.3. Rantai Distribusi Beras di Pulau Jawa.. 44 Gambar 3.4. Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah. 51 Gambar 3.5. Kurva Pembelian Harga Dasar Pembelian Pemerintah 52 Gambar 3.6. Interaksi Pergerakkan Harga Beras dan Kebijakan Perberasan Indonesia. 60 Gambar 3.7. Pertumbuhan Luas Areal Tanam Padi di Indonesia. 62 Gambar 3.8. Pertumbuhan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia.. 63 Gambar 3.9. Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia. 63 Gambar 4.1. Tahapan Analisa Gambar 5.1. Pergerakan Harga GKP Petani dan Harga Beras Eceran Konsumen Periode Gambar 5.2. Kondisi Supply-Demand saat ECT Gambar 5.3. Kondisi Supply-Demand saat ECT Gambar 5.4. Struktur Pasar Gabah dan Beras di Setiap Level Pemasaran. 114 xii

14 DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Perbandingan Jumlah Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia Tabel 3.2. Program Peningkatan Produksi Padi Pemerintah Periode Tabel 5.1. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan ADF Test Tabel 5.2. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan PP Test Tabel 5.3. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan ADF Test Tabel 5.4. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan PP Test Tabel 5.5. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan ADF Test. 88 Tabel 5.6. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan PP Test Tabel 5.7. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan ADF Test 89 Tabel 5.8. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan PP Test Tabel 5.9. Hasil Uji Kointegrasi pada data Harga GKP Petani dan Harga Beras Konsumen Tabel Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test 92 Tabel Hasil Estimasi Model Simetris 93 Tabel Hasil Estimasi Model Asimetris Sederhana dengan Metode Granger-Lee. 95 Tabel Hasil Pengujian Koefisien Model Asimetris Sederhana Tabel Hasil Estimasi Model Asimetris Kompleks dengan Metode Von Cramon-Taubadel dan Loy. 99 xiii

15 Tabel Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t pada Model Asimetris Kompleks Tabel Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks Tabel Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga Beras Konsumen pada Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks. 101 Tabel Hasil Pengujian Koefisien Transmisi Harga Jangka Panjang pada Model Asimetris Kompleks 102 xiv

16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan komoditas penting bagi penduduk Indonesia. Program diversifikasi pangan yang gagal dilakukan Pemerintah menyebabkan peran beras sebagai sumber karbohidrat utama belum tergantikan oleh jenis pangan lainnya. Tingginya tingkat ketergantungan penduduk Indonesia akan beras menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi beras tertinggi di Asia Tenggara. Saat ini konsumsi beras di Indonesia mencapai 139 kilogram per kapita per tahun 1. Menurut Menteri Pertanian, tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia sudah terlalu banyak, sementara konsumsi sumber karbohidrat lainnya masih relatif rendah. Contohnya umbi-umbian yang jumlah konsumsinya hanya 40 gram per kapita per hari, dari jumlah ideal 100 gram per kapita per hari 2. Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap beras, didukung dengan tidak adanya produk subtitusi, menyebabkan kurva permintaan beras di Indonesia bersifat inelastis. Dalam teori ekonomi mikro, produk dengan kurva permintaan inelastis memberikan keuntungan yang besar bagi produsen, atau dalam hal ini petani beras. Kondisi ini akan menyebabkan petani beras memiliki posisi tawar yang relatif lebih tinggi dibandingkan konsumen, sehingga produsen akan dengan mudah menaikan harga beras tanpa harus takut kehilangan konsumen. Dari sisi ekonomi makro, harga beras yang terlalu tinggi akan berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu komoditas utama pembentuk inflasi, Pemerintah selalu berupaya menjaga harga beras berada pada suatu tingkat tertentu yang menguntungkan bagi petani dan konsumen sekaligus. Dalam hal ini, Pemerintah akan menghadapi food price dilemma, 1 Kompas Online, Konsumsi Beras Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara, 7 Februari Republika Online, Mentan: Konsumsi Beras Indonesia Terlalu Banyak, 4 April

17 2 dimana petani menginginkan harga beras yang tinggi namun konsumen menginginkan sebaliknya. Oleh sebab itu kebijakan harga beras yang diambil Pemerintah diharapkan dapat menjembatani kepentingan petani dan juga konsumen. Efektivitas kebijakan tersebut akan tercermin dari harga beras yang tinggi di level petani dan rendah di level konsumen. Sayangnya kondisi tersebut tidak terjadi di pasar beras Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia di tahun 2008 diketahui bahwa pergerakan harga beras di tingkat petani tidak ditransmisikan secara sempurna terhadap harga beras di tingkat konsumen, ataupun sebaliknya. Hal ini tercermin dari semakin besarnya disparitas harga antara level petani dengan konsumen selama periode Januari 2001 sampai Januari Adapun perbandingan harga dan disparitas harga antara level petani dan konsumen digambarkan sebagai berikut : Gambar 1.1. Perbandingan Harga Beras Petani - Konsumen Sumber : Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi, Working Paper BI Working Paper BI Edisi WP/07/2008, Juni 2008, Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi,

18 3 Arifin et al. (2006) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa permasalahan disparitas harga pada komoditi beras sangat siginifikan terjadi sejak jatuhnya Pemerintahan Soeharto pada tahun Pada 1 Juni 1998, Pemerintah menetapkan Harga Dasar Gabah (HDG) sebesar Rp per kilogram, sedangkan harga beras di tingkat grosir minimal sudah mencapai Rp per kilogram. Sejak saat itu disparitas harga beras dan gabah terus berlanjut dan menjadi salah satu permasalahan kompleks yang dihadapi Pemerintah Indonesia. Disparitas harga beras yang tinggi menunjukkan bahwa baik petani maupun konsumen tidak diuntungkan dalam perdagangan beras. Nilai tambah pengolahan dan perdagangan beras kemungkinan lebih banyak dinikmati oleh pedagang perantara. Dalam teori pemasaran, besarnya disparitas harga dalam suatu lini pemasaran dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu jalur pemasaran yang terlalu panjang dan/atau adanya market power yang dimiliki oleh pedagang perantara. Keduanya akan menyebabkan margin yang terbentuk dalam satu lini pemasaran dari hulu ke hilir (vertikal) menjadi sangat besar dan tidak efisien. Secara teori ekonomi industri, semakin kecil tingkat margin distribusi yang dihasilkan mengindikasikan bahwa para pelaku di jalur distribusi tidak memiliki market power yang cukup untuk membentuk harga (price maker). Dengan kata lain, pasar yang tercipta mengarah pada model pasar persaingan sempurna. Sebaliknya, semakin tinggi margin distribusi mengindikasikan bahwa para pelaku di jalur distribusi memiliki market power yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan menunjukkan bahwa mereka berada pada pasar yang cukup terkonsentrasi. Namun poin yang menarik pada kasus pasar beras adalah semakin melebarnya disparitas harga antara level petani dengan konsumen justru terjadi pasca diberlakukannya kebijakan deregulasi pasar beras di Indonesia

19 4 pada tahun , atau pada saat pasar beras memasuki era pasar bebas. Dengan kata lain dari sisi struktur, seharusnya pasar distribusi beras sudah mengarah pada kondisi pasar yang lebih bersaing. Apabila mekanisme pasar berjalan secara sempurna maka idealnya pedagang perantara tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan margin pemasaran yang besar, sehingga disparitas harga yang terbentuk pun relatif kecil. Besarnya disparitas harga beras antara level petani dengan konsumen dapat menjadi indikasi bahwa terdapat perilaku anti persaingan yang dilakukan oleh pedagang perantara. Menurut Vavra dan Goodwin (2005), salah satu penyebab transmisi harga yang tidak simetris antar pasar yang terhubung secara vertikal (dalam satu rantai pemasaran) adalah adanya perilaku tidak kompetitif antara para pedagang perantara, khususnya apabila pedagang perantara tersebut berada pada pasar yang terkonsentrasi. Umumnya pedagang perantara akan berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikan/menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga, Kondisi inilah yang menyebabkan competition restraint pada jalur distribusi dan transmisi harga yang tidak sempurna antara level produsen dengan konsumen. Pada akhirnya pasar petani dan konsumen menjadi tidak terintegrasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Jochen Meyer dan Stephan von Cramon- Taubadel (2004), disebutkan bahwa tidak terjadinya transmisi harga antara dua level pasar yang berbeda dalam satu rantai pemasaran disebabkan oleh pasar yang tidak kompetitif. Bahkan untuk komoditas pertanian secara jelas disebutkan bahwa persaingan yang tidak sempurna di rantai pemasaran (marketing chain) membuka ruang bagi middleman untuk melakukan penyalahgunaan kekuatan pasar yang dimilikinya (abuse of market power). 4 Di tahun 1998, Pemerintah mencabut hak monopoli BULOG dalam impor beras, sehingga saat ini seluruh pihak dapat dengan bebas menjadi importir beras.

20 5 Untuk meneliti dugaan penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh pedagang perantara beras maka akan digunakan pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi harga secara vertikal (vertical price transmission). Berdasarkan teori tersebut, dua pasar yang saling berhubungan (melakukan transaksi) akan terintegrasi secara sempurna dan transmisi harga terjadi secara simetris. Apabila transmisi harga antar kedua pasar tersebut tidak simetris maka dapat menjadi indikasi adanya penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar tersebut. Untuk menunjang hasil analisa statistik agar lebih menyeluruh, dalam penelitian ini dipaparkan pula mengenai gambaran struktur dan perilaku pedagang perantara di sepanjang jalur pemasaran (marketing chain) beras secara umum Perumusan Masalah Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan apakah fenomena integrasi pasar dan transmisi harga vertikal yang simeris terjadi antara pasar beras di tingkat petani dan konsumen di Indonesia. Apabila kondisi tersebut tidak terjadi, maka selanjutnya akan dianalisa apakah terdapat faktor struktur pasar dan perilaku pedagang perantara yang menyebabkan fenomena Asymmetric Vertical Price Transmission tersebut Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis transmisi harga beras secara vertikal antara level petani dengan konsumen berdasarkan teori Asymmetric Price Transmission dengan cara : a. Membandingkan pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dengan harga beras di tingkat konsumen. b. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat integrasi dan transmisi harga beras petani-konsumen berdasarkan teori integrasi pasar dan transmisi harga vertikal dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pasar beras di Indonesia.

21 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari peneltian ini adalah : a. Tersedianya gambaran mengenai kondisi pasar distribusi beras di Indonesia, baik dari sisi struktur, perilaku, dan kinerja. b. Apabila terbukti bahwa terjadi transmisi harga vertikal yang tidak simetris antara harga beras di level petani dengan konsumen, maka dapat menjadi masukan lebih lanjut untuk meneliti faktor penyebab dari kejadian tersebut Hipotesa Dengan memperhatikan kondisi margin antara petani dan konsumen yang semakin lebar, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1.1, maka hipotesis awal dari penelitian ini adalah : a. Diduga transmisi harga beras secara vertikal antara level petani dan konsumen bersifat tidak simetris, yaitu terjadi perbedaan respon harga beras di level konsumen terhadap perubahan kenaikan harga dengan perubahan penurunan harga beras di level petani. b. Diduga terdapat faktor struktur dan perilaku pedagang perantara yang menyebabkan transmisi harga beras petani-konsumen tidak simetris Metodologi Penelitian Data Data Yang Digunakan Penelitian ini akan difokuskan pada kondisi transmisi harga petanikonsumen setelah era deregulasi pasar beras di Indonesia di tahun Data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik periode Tahun 2000 dijadikan tahun awal karena pada tahun terjadi bencana El-Nino dan La-Nina yang mengurangi jumlah produksi padi nasional, sehingga dikhawatirkan pergerakan harga pada tahun tersebut tidak dapat menjelaskan faktor terjadinya transmisi harga yang tidak simetris antara level petani dan level konsumen secara

22 7 akurat. Data harga beras petani yang digunakan adalah data harga GKP bulanan, sementara harga beras konsumen digunakan data harga beras eceran bulanan Metode Analisis a. Analisa Kuantitatif Metode ini mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga di level hilir bereaksi terhadap perubahan (shock) harga di level hulu. Kondisi transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi apabila terdapat perbedaan respon harga di level hilir antara shock kenaikan dan shock penurunan yang terjadi pada harga di level hulu. Dalam kondisi transmisi harga yang tidak simetris, penyesuaian harga di level hilir umumnya lebih cepat terjadi pada saat harga di level hulu mengalami kenaikan, dibandingkaan saat harga mengalami penurunan. Kondisi transmisi harga yang tidak simetris juga dapat dilihat dari sisi besaran harga. Sebagai contoh, pada saat terjadi kenaikan harga di sektor hulu maka harga di sektor hilir akan mengalami kenaikan pada besaran yang sama dengan kenaikan harga di level hulu, sementara pada saat terjadi penurunan harga di level hulu maka penurunan harga yang ditransmisikan di level hilir tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di level hulu. Sebagai ilustrasi berikut ditampilkan gambar perbedaan respon yang terjadi pada kondisi transmisi harga vertikal yang tidak simetris (asymmetric vertical price transmission). Dalam penelitian ini akan digunakan Cointegration dan Error Correction Model (ECM) untuk menguji dugaan transmisi harga vertikal yang tidak simetris pada harga beras di level petani dan konsumen di Indonesia.

23 8 b. Analisa Kualitatif Analisa kualitatif dilakukan untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya transmisi harga vertikal yang tidak simetris antara harga beras petani dan konsumen di Indonesia, khususnya dikaitkan dengan faktor struktur pasar dan perilaku pedagang perantara Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini penulis hanya akan mengukur kinerja distribusi harga beras Indonesia dengan pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi harga asimetris, dengan melihat transmisi pergerakan harga GKP di level petani terhadap harga eceran beras di level konsumen. Variabel lain di luar penelitian dianggap konstan. Data harga sebelum periode 2000 dianggap tidak stabil karena adanya krisis ekonomi dan bencana El-Nino dan La- Nina pada tahun , maka data pergerakan harga beras yang digunakan adalah periode Sistematika Penelitian Pada bab pertama, akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, sistematika penulisan, serta kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian. Dalam bab selanjutnya kemudian akan dijelaskan mengenai berbagai teori yang melandasi penulisan tesis, mulai dari teori mengenai integrasi pasar dan transmisi harga vertikal, berbagai faktor penyebab transmisi harga tidak simetris, sampai dengan hasil penelitian mengenai integrasi pasar dan transmisi harga vertikal yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dalam bab ini juga akan dipaparkan secara ringkas mengenai posisi penelitian dan perbedaannya dari penelitian terdahulu. Dalam bab ketiga, akan dijelaskan mengenai gambaran industri beras secara umum di Indonesia, dalam hal karakteristik produksi, karakteristik konsumsi, serta berbagai kebijakan yang pernah ditetapkan Pemerintah, berikut implikasinya terhadap harga dan produksi.

24 9 Bab keempat merupakan bab metodologi. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian, yaitu dengan menggunakan teori asymmetric vertical price transmission dengan pendekatan error correction model (ECM). Selain itu, bab ini akan membahas pula mengenai cakupan data yang digunakan serta tahapan pengolahan data tersebut. Setelah melalui tahapan-tahapan sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, hasil estimasi model kemudian akan dibahas secara mendalam pada bab kelima, mulai dari interpretasi model sampai dengan pembahasan faktor penyebab transmisi harga tidak simetris antara harga GKP di level petani dengan harga beras eceran level di konsumen. Untuk dapat menjelaskan hasil pengujian model dengan kondisi industri beras di Indonesia yang riil, maka pembahasan faktor penyebab transmisi harga tidak simetris akan dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pasar serta kebijakan perberasan yang ditetapkan Pemerintah pada periode tersebut. Hasil analisa yang telah diuraikan pada bab kelima kemudian disimpulkan dalam bab selanjutnya, untuk selanjutnya diusulkan saran dan rekomendasi Kerangka Penelitian Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan kondisi ideal dengan kondisi riil yang terjadi di industri beras Indonesia setelah liberalisasi pasar yang dilakukan Pemerintah pada tahun Gambaran kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini secara lebih lengkap ditampilkan pada Gambar 1.2 di halaman selanjutnya Kebijakan liberalisasi pasar beras di Indonesia pada tahun 1998 dilakukan dengan cara mencabut hak monopoli impor yang dimiliki oleh BULOG serta menghapuskan tarif ekspor beras. Pada kondisi yang ideal, kebijakan liberalisasi tersebut akan membuka peluang bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar beras Indonesia, sehingga jumlah pelaku usaha di industri beras akan bertambah.

25 10 Kondisi Ideal : Kondisi Saat Ini : Jumlah pedagang perantara bamyak Pedagang perantara sebagai price taker Perubahan harga GKP Petani ditransmisikan sempurna terhadap harga beras konsumen Jumlah pedagang perantara relatif sedikit Pedagang perantara sebagai price maker Perubahan harga GKP Petani ditransmisikan tidak sempurna terhadap harga beras konsumen Gap Tujuan Penelitian : Pengujian kondisi asymmetric vertical price transmission pada harga beras level petani konsumen di Indonesia Karakteristik Pasar Beras dan Kebijakan Perberasan di Indonesia Metode Penelitian : Pengujian asymmetric vertical price transmission dengan menggunakan data harga GKP petani dan data harga beras eceran konsumen YA Pergerakan Harga Beras Petani - Konsumen TIDAK Pergerakan Harga Beras Petani - Konsumen Analisa penyebab asymmetric vertical price transmission pada harga beras level petani kosnumen di Indonesia dan keterkaitannya dengan struktur dan perilaku pedagang perantara Kesimpulan dan Saran Gambar 1.2. Kerangka Penelitian

26 11 Sesuai dengan teori ekonomi industri, pertambahan jumlah pelaku usaha pada suatu industri akan menyebabkan market power yang dimiliki pelaku usaha berkurang, sehingga pelaku usaha tidak memiliki kemampuan yang cukup besar untuk mempengaruhi harga (price taker). Pada kasus rantai pemasaran, pedagang perantara yang tidak memiliki market power akan mentransmisikan perubahan biaya (harga pembelian produk) yang dihadapinya terhadap harga jual produknya secara sempurna. Dengan kata lain, perubahan harga di hulu rantai pemasaran akan ditransmisikan secara sempurna terhadap perubahan harga di hilir. Akan tetapi, pada kasus pasar beras di Indonesia, sejak liberalisasi pasar beras yang dilakukan Pemerintah di tahun 1998 disparitas harga beras di tingkat petani dengan tingkat konsumen semakin melebar. Hal ini dapat mengindikasikan adanya dugaan market power yang dimiliki pedagang perantara. Kondisi ini yang kemudian menjadi latar belakang dan tujuan dari penelitian.

27 BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 2.1. Teori Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Para ekonom neo-klasik percaya bahwa harga merupakan indikator utama yang dapat mencerminkan tingkat efisiensi suatu pasar. Transmisi harga dan tingkat integrasi pasat dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004). Kondisi pasar persaingan sempurna dijadikan sebagai titik acuan dalam menilai proses transmisi harga dan tingkat integrasi antar dua pasar. Premis yang digunakan adalah transmisi harga akan berjalan sempurna apabila di dalam pasar tidak terjadi friksi dan distorsi (Conforti, 2004). Tidak adanya transmisi harga antar pasar yang saling melakukan transaksi dianggap akan menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya dan menurunkan kesejahteraan ekonomi di bawah titik keseimbangan pareto. Dengan kata lain, transmisi harga yang sempurna akan berujung pada pasar yang berjalan secara efisien. Menurut Amikuzuno dan Ogundari (2012), khusus untuk bidang ekonomi pertanian, analisa transmisi harga dan integrasi pasar sudah berkembang sejak 50 tahun terakhir. Penelitian mengenai integrasi pasar dan transmisi harga diawali dengan analisa tingkat integrasi dan transmisi harga antar dua pasar yang berbeda wilayah geografisnya, yang kemudian disebut dengan interaksi secara spasial. Penelitian kemudian berkembang untuk melihat interaksi harga yang terjadi antar dua level pasar yang berada dalam satu rantai pemasaran, yang kemudian disebut dengan interaksi secara vertikal. Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga (Law of One Price/LOP) sebagaimana dikemukakan oleh Enke (1951), Samuelson (1952), serta Takayama dan Judge (1972) dalam Rapsomanikis, et al. (2003), dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah 12

28 13 sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi di sisi permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut. Pada kasus vertikal, integrasi pasar didefinisikan sebagai keterkaitan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran (Suparmin 2005 dalam Irawan dan Rosmayanti 2007). Bustaman (2003) menyatakan bahwa integrasi pasar vertikal penting untuk dipelajari guna mengetahui tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dan pasar ritel/pedagang. Menurut Goodwin (2006), tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level/lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan terintegrasi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan harga pada suatu level pemasaran akan ditransformasikan kepada level pemasaran lainnya secara selaras. Dalam kasus beras, integrasi pasar beras dikatakan efisien apabila perubahan harga beras di tingkat petani diikuti dengan perubahan harga beras di tingkat konsumen dalam porsi yang sama. Pada beberapa penelitian, integrasi pasar dalam jangka panjang cenderung terjadi dalam bentuk integrasi yang lemah dan perkembangan transmisi harga sering menunjukkan perilaku tidak simetri (asimetri). Asimetri harga secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Henderson & Quant, 1980; Kinnucan & Forker, 1987).

29 14 Analisa transmisi harga asimetri untuk produk pertanian pertama kali dilakukan oleh Tweeten & Quance (1969), yang menggunakan teknik variabel dummy untuk mengestimasi fungsi penawaran yang tidak dapat diubah (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 594). Variabel dummy digunakan untuk memisahkan harga bahan baku menjadi dua, yaitu variabel yang hanya terdiri dari kenaikan harga input dan variabel yang hanya terdiri dari penurunan harga input. Selanjutnya koefisien untuk kedua variabel tersebut diestimasi dan dibandingkan. Hipotesis transmisi harga simetris ditolak apabila kedua koefisien tersebut berbeda signifikan secara statistik. Wolffram (1971) memperkenalkan teknik pemisahan variabel baru dengan menggunakan data harga turunan (first difference) ke dalam persamaan yang ajan diestimasi. Metode tersebut kemudian dimodifikasi oleh Houck (1979) dengan mengeluarkan nilai observasi awal, karena level observasi yang pertama dinilai tidak memiliki kekuatan penjelasan bebas. Ward (1982) kemudian mengembangkan model Houck dengan menambahkan lag pada variabel eksogen, seperti efek keterlambatan dan lamanya waktu lag, yang tetap dapat dipisahkan antara efek kenaikan harga dan efek penurunan harga (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal ). Boyd & Brorsen (1988) adalah yang pertama menggunakan lag untuk memisahkan transmisi dalam hal waktu penyesuaian (speed of adjustment) dengan besaran penyesuaian (magnitude of adjustment) (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 595). Dari hasil estimasi, nilai koefisien variabel menunjukan lamanya waktu penyesuaian pada periode tertentu, dan nilai penjumlahan koefisien menunjukkan besaran penyesuaian. Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan metode tersebut sebagai teknik pre-kointegrasi, dimana regresi terhadap lag dipisahkan berdasarkan tandanya. Pada teknik ini sehingga perubahan atas kenaikan harga (diinisiasikan dengan tanda positif) diperbolehkan untuk

30 15 memberikan efek yang berbeda dengan perubahan atas penurunan harga (diinisiasikan dengan tanda negatif). Penelitian-penelitian yang menggunakan teknik tersebut dalam analisa transmisi harga antara lain analisa transmisi harga vertikal untuk industri susu (Kinnucan & Forker, 1987), industri daging babi di Amerika (Boyd & Brorsen, 1988), industri broiler di Amerika (Bernard & Willet, 1996), analisa transmisi harga asimetris vertikal untuk tomat, bawang, susu bubuk, kopi, beras, dan buncis di Brazil (Aguiar & Santana, 2002), dan analisa harga asimetris pada industri tomat segar di Amerika (Girapunthong et al., 2003). Von Cramon-Taubadel & Fahlbusch (1994) merupakan yang pertama mengenalkan konsep kointegrasi dalam model transmisi harga tidak simetris dengan menggunakan konsep error correction model (ECM) (Vavra & Goodwin, 2005, hal. 12). Prinsip utama model ini adalah dengan melihat signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka panjangnya. Pada konsep kointegrasi, dua series harga dikatakan terkointegrasi apabila pergerakan di salah satu series harga diikuti dengan pergerakan harga di series lainnya secara sempurna (Wixson & Katchova, 2012, hal. 11). Apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang, maka akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error correction term/ect). Konsep tersebut didasari oleh penelitian Engle & Granger (1987) sebelumnya yang menunjukkan bahwa kointegrasi untuk data time series yang tidak stasioner akan merepresentasikan nilai ECT yang valid (Hassouneh, et al., 2012, hal. 7). Mereka menyebutkan bahwa teknik prekointegrasi untuk analisa transmisi harga asimetri justru dapat menghasilkan regresi lancung (spurious regression) karena menggunakan series data yang tidak stasioner.

31 16 Pada analisa transmisi harga dengan metode ECM, ECT kemudian dipisahkan antara bentuk positif dengan bentuk negatif. ECT positif menunjukkan kondisi penyimpangan di atas garis keseimbangan jangka panjang, sementara ECT negatif menunjukkan kondisi penyimpangan di bawah garis keseimbangan jangka panjangnya (Wixson & Katchova, 2012, hal. 11). Vavra & Goodwin (2005) dan Acquah & Onumah (2010) menyebutkan bahwa penggunaan metode ECM lebih disarankan dibandingkan metode Houck yang konvensional. Meskipun demikian, Meyer & von Cramon-Taubadel (2004) menyebutkan bahwa analisa transmisi harga dengan menggunakan ECM hanya dapat menggambarkan pola asimetris dari sisi waktu penyesuaian. Hal ini disebabkan analisa kointegrasi dan ECM merupakan bentuk keseimbangan jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga tidak simetris terjadi dari sisi besaran penyesuaian maka data tidak akan saling terkointegrasi Asymmetric Vertical Price Transmission Transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila terdapat perbedaan respon harga antara shock harga positif (saat terjadi kenaikan harga) dengan shock harga negatif (saat terjadi penurunan harga). Menurut Meyer & von-cramon Taubadel (2004), yang dimaksud dengan asimetri pada kasus transmisi harga dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kriteria. Kriteria yang pertama transmisi harga tidak simetris yang terjadi secara vertikal atau spasial. Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, transmisi harga vertikal terjadi antar level pemasaran dalam satu rantai, sedangkan transmisi harga spasial terjadi antar pasar yang berbeda lokasi geografisnya. Sebagai contoh, transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi pada saat kenaikan harga di level petani ditransmisikan lebih cepat dan lebih sempurna kepada harga di level konsumen, dibandingkan saat terjadi penurunan harga di level petani. Sementara transmisi harga spasial

32 17 yang tidak simetris dapat dicontohkan melalui perbedaan respon harga domestik terhadap harga internasional, dimana kenaikan harga internasional lebih cepat dan lebih sempurna diadopsi oleh harga domestik dibandingkan saat terjadi penurunan harga internasional. Kriteria yang kedua merujuk kepada kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga. Dalam hal kecepatan waktu penyesuaian, fenomena asimetris terjadi apabila shock harga di salah satu pasar tidak dengan segera ditransmisikan oleh pasar lainnya. Sementara dari sisi besaran, fenomena asimetris terjadi pada saat shock harga di satu pasar tidak ditransmisikan secara penuh oleh pasar lainnya. Kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga ditampilkan pada Gambar 2.1. (a) (b) (c) Gambar 2.1. Transmisi Harga Tidak Simetris Dari Sisi Kecepatan dan Besaran Sumber : Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, Asymmetric Price Transmission : A Survey, Journal of Agricultural Economics Volume 55 Number 3, Nov 2004

33 18 Pada Gambar 2.1 diasumsikan sumber dari shock harga terjadi pada P in. Dari Gambar 2.1.a dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan respon dari sisi besaran penyesuaian harga di P out antara shock positif dengan shock negatif yang terjadi di P in. Pada saat terjadi shock positif di P in, P out akan mentransmisikan shock tersebut secara sempurna, dimana kenaikan harga yang terjadi di P out sama dengan kenaikan yang terjadi di P in. Sementara saat terjadi shock negatif di P in, penurunan harga yang terjadi di P out tidak terjadi dengan sempurna. Hanya setengah dari shock negatif di P in yang ditransmisikan oleh P out. Gambar 2.1.b menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu penyesuaian. Saat terjadi kenaikan harga di P in pada waktu t 1, P out akan dengan segera melakukan penyesuaian pada waktu yang sama. Sementara saat di P in terjadi penurunan harga, P out tidak dengan segera merespon penurunan harga tersebut, melainkan terdapat lag selama n. Sehingga shock negatif di P in baru akan ditransmisikan di P out pada waktu t 1+n. Gambar 2.1.c menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran. Kenaikan harga yang terjadi di P in pada waktu t 1, tidak ditransmisikan seluruhnya pada waktu yang sama, melainkan hanya setengahnya. Pada waktu t 2 barulah seluruh shock positif di P in ditransmisikan secara sempurna. Sementara saat terjadi penurunan harga pada waktu yang sama di P in, proes transmisinya dilakukan pada waktu yang lebih lama dibandingkan saat terjadi shock positif, yaitu pada waktu t 3. Respon penurunan harga yang terjadi di P out pun tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di P in. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi transmisi yang tidak sempurna dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian yang ditunjukan oleh P out saat terjadi shock negatif di P in. Dalam Gambar 2.1 ditampilkan pula dampak hilangnya kesejahteraan akibat adanya transmisi harga yang tidak sempurna, yang digambarkan dalam

34 19 bentuk area yang gelap. Menurut Meyer & von-cramon Taubadel, transmisi harga tidak simetris dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang sifatnya sementara. Adapun ukuran/besaran kesejateraan yang hilang sementara tersebut sangat tergantung pada panjangnya interval waktu transmisi antara t 1 dan t 1+n, besarnya respon perubahan, dan volume transaksi yang dilakukan (Gambar 2.1.b). Sedangkan transmisi harga tidak simetri dari sisi besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan secara permanen (Gambar 2.1.a), dan ukurannya hanya tergantung pada besarnya respon perubahan harga dan volume transaksi yang dilakukan. Terakhir, transmisi tidak simetris dari sisi kecepatan dan besaran akan menyebabkan perubahan kesejahteraan yang bersifat sementara sekaligus permanen. Meyer & von-cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa hilangnya kesejahteraan yang sifatnya sementara dalam jumlah besar dapat memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan hilangnya kesejahteraan permanen dalam jumlah kecil yang terjadi saat ini. Kriteria ketiga, mengacu pada Peltzman (2000), transmisi harga yang tidak simetris dapat diklasifikasikan menjadi transmisi tidak simetris yang positif dan transmisi tidak simetris yang negatif. Transmisi tidak simetris yang positif adalah kondisi dimana shock positif akan direspon secara lebih cepat dan/atau lebih sempurna dibandingkan saat terjadi shock negatif (Gambar 2.2.a). Sebalikannya, transmisi tidak simetris yang negatif adalah situasi dimana shock negatif akan lebih cepat dan/atau lebih sempurna direspon dibandingkan shock positif (Gambar 2.2.b). Pada konteks transmisi harga vertikal dalam satu rantai pemasaran, transmisi tidak simetris yang positif ataupun negatif tidak hanya dapat terjadi dari hulu ke hilir saja, melainkan dapat pula terjadi sebaliknya (dari hilir ke hulu), contohnya pada saat terjadi pergesaran kurva permintaan. Untuk menghindari kesalahan penafsiran, Meyer & von-cramon Taubadel (2004) mendefinisikan transmisi harga tidak simetris yang positif adalah kondisi

35 20 transmisi harga yang lebih cepat dan/atau lebih sempurna terjadi saat adanya tekanan terhadap margin (squeeze margin) dibandingkan saat adanya penambahan margin (stretch margin). Yang dimaksud dengan squeeze margin adalah pada saat terjadi kenaikan harga di hulu (P in ) atau penurunan harga di hilir (P out ), sementara stretch margin adalah saat terjadi penurunan P in atau kenaikan P out. (a) Gambar 2.2. Transmisi Harga Tidak Simetris Positif dan Negatif Sumber : Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, Asymmetric Price Transmission : A Survey, Journal of Agricultural Economics Volume 55 Number 3, Nov 2004 Dalam hal kesejahteraan, apabila transmisi harga tidak simetris berjalan dari hulu ke hilir, misal untuk kasus produk pertanian adalah dari petani ke konsumen, maka transmisi tidak sempurna yang negatif dianggap baik bagi konsumen. Hal ini disebabkan kenaikan harga input tidak akan ditransmisikan kepada konsumen, sehingga konsumen akan selalu menikmati harga yang rendah. Sebaliknya, transmisi harga tidak simetris yang positif akan merugikan konsumen karena konsumen tidak pernah menikmati penurunan harga yang terjadi di level petani. Akibatnya, harga di level konsumen cenderung tinggi dan kesejahteraan konsumen akan berkurang. Meskipun demikian, Vavra & Goodwin (2005) menyebutkan bahwa untuk menghitung tingkat kesejahteraan maka perlu memperhatikan faktor biaya transaksi (adjustment cost dan menu cost pada kasus transmisi vertikal) dalam perhitungan transmisi harga. (b)

36 21 Menurut Vavra & Goodwin (2005), untuk analisa transmisi harga secara vertikal setidaknya terdapat 4 (empat) pertanyaan yang fundamental untuk menjelaskan proses transmisi harga yang terjadi (mengacu pada tipe-tipe transmisi harga tidak simetris yang digambarkan sebelumnya). Pertanyaanpertanyaan tersebut adalah : 1. Seberapa besar respon penyesuaian harga di setiap level akibat perubahan harga yang terjadi di level lainnya? (transmisi yang dilihat dari sisi besaran); 2. Apakah terdapat lag penyesuaian yang signifikan? (transmisi yang dilihat dari sisi kecepatan waktu penyesuaian); 3. Apakah transmisi harga secara positif dan negatif yang terjadi bersifat asimetri? 4. Apakah terjadi perbedaan respon transmisi saat sumber shock terjadi di hulu dengan saat sumber shock terjadi di hilir? (transmisi yang dilihat dari sisi arah shock) Penyebab Asymmetric Vertical Price Transmission Berbagai literatur ekonomi telah secara khusus mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga secara tidak simetris, baik secara spasial maupun vertikal. Sebagian besar penelitian mengaitkan fenomena transmisi harga yang tidak simetri dengan dugaan adanya market power yang dimiliki pedagang di pasar (von Cramon- Taubadel, 1998; Goodwin & Holt, 1999; Peltzman, 2000; dan McCorriston & Shelton, 1999 dalam Vavra & Goodwin, 2005). Sebagian lagi mengemukakan bahwa kehadiran biaya transaksi yang tinggi akan menyebabkan transmisi harga antar pasar menjadi tidak simetris, meskipun pasar tersebut berada pada persaingan sempurna (Zachariasse & Bunte, 2003 dalam Vavra & Goodwin, 2005). Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab transmisi harga tidak simetris antara lain : (1) masing-masing perusahaan akan menyikapi secara

37 22 berbeda dalam penyesuaian biaya tergantung apakah harga sedang naik atau sedang turun; (2) pelaku pemasaran menahan barangnya pada saat harga naik karena takut kehabisan stok (Kinnucan & Forker, 1987; Goodwin & Holt. 1999); (4) market power industri dalam hubungannya dengan karakteristik fungsi biaya yang sering bersifat increasing return to scale (Mc. Corriston et al., 2000); (5) adanya intervensi pemerintah, misalnya dalam bentuk kebijakan subsidi harga (Kinnucan & Forker, 1987; Gardner, 1975 dalam Vavra & Goodwin, 2005). Menurut Conforti (2004) meskipun faktor yang mempengaruhi derajat integrasi pasar dan transmisi harga secara spasial dapat pula digunakan untuk menjelaskan proses transmisi harga secara vertikal, seperti market power dan biaya transaksi, namun terdapat beberapa faktor yang khusus dikaitkan dengan fenomena transmisi harga vertikal seperti increasing return to scale pada produksi dan tingkat homogenitas dan diferensiasi produk. Berikut dipaparkan beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan transmisi harga tidak simetris secara vertikal Market Power dan Struktur Pasar Persaingan Tidak Sempurna Sebagian besar literatur ekonomi menyebutkan bahwa struktur pasar persaingan yang tidak sempurna menjadi faktor utama penyebab transmisi harga yang tidak simetris (Kinnucan & Forker (1987), Acharya (2000), McCoriston (2002), Lyod et al. (2003). Khusus untuk produk pertanian, struktur pasar yang terbentuk pada level manufaktur dan pedagang perantara mengarah pada struktur persaingan tidak sempurna, terutama jika dibandingkan dengan struktur pasar di level petani dan level konsumen. Hal ini menyebabkan manufaktur dan pedagang perantara akan bertindak sebagai pembentuk harga (price taker), sementara petani dan konsumen akan bertindak sebagai penerima harga (price taker) (Conforti, 2004). Akibatnya, manufaktur dan pedagang perantara

38 23 dapat dengan leluasa menyalahgunakan market power yang dimilikinya untuk kepentingan kesejahteraan dan keuntungannya sendiri, dan proses penyesuaian harga antar level pemasaran menjadi tidak sempurna (Karantininis, 2011; Vavra & Goodwin, 2005). Dalam investigasi yang dilakukan oleh Otoritas Pengawas Persaingan di Inggris (UK s Competition Commission), analisa transmisi harga menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk membuktikan dugaan adanya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha di sektor ritel. Basis penelitiannya adalah melihat transmisi harga yang dilakukan oleh supermarket akibat adanya penurunan harga di level petani. Apabila harga tidak ditransmisikan secara sempurna antar setiap level pemasaran maka konsumen akhir tidak akan mendapatkan keuntungan dari penurunan harga di level petani, dan sebaliknya. Hal ini menyebabkan permasalahan redistribusi consumer welfare (McCorriston et al., 2000). Penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh manufaktur dan pedagang perantara umumnya menyebabkan transmisi harga tidak simetris yang positif. Artinya, tekanan terhadap margin (marginsqueezing) yang diakibatkan kenaikan harga input atau penurunan jumlah permintaan akan dengan segara dan sempurna ditransmisikan kepada level diatas atau dibawahnya, dibandingkan saat terjadinya penambahan margin (margin-stretching) akibat perubahan harga (Boyd & Brorsen, 1988); Meyer & von-cramon Taubadel, 2004). Menurut Balke et al (1998), Brown & YÜcel (2000), dan Damania & Yang (1998), transmisi harga tidak simetris yang positif terjadi akibat adanya perjanjian tidak tertulis dan sanksi diantara pelaku usaha yang berada di pasar oligopoli (Meyer & von-cramon Taubadel, 2004, hal. 587). Zachariasse & Bunte (2003) dalam Vavra & Goodwin (2005) menambahkan bahwa dalam pasar oligopoli atau

39 24 oligopsoni terdapat interdependence antar pelaku usaha yang dapat menyebabkan lag pada proses penyesuaian harga. Sebagai gambaran, apabila terjadi kenaikan harga input maka seluruh pelaku usaha akan dengan segera menyesuaikan harganya sebagai sinyal bahwa tidak ada perjanjian yang dilanggar. Sementara pada saat terjadi penurunan harga input, pelaku usaha akan saling menunggu reaksi pesaingnya, untuk menghindari sanksi yang akan diterapkan pesaingnya dalam bentuk perang harga. Kovenock & Widdows (1998) menambahkan bahwa fenomena tersebut akan lebih cenderung terjadi apabila market power antar pelaku usaha dalam suatu pasar tidak sama, atau biasa disebut dengan pola price leadership-price follower (Meyer & von-cramon Taubadel, 2004, hal. 588). Ward (1982) dalam Serra & Goodwin (2002) menyebutkan bahwa transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh market power juga dapat terjadi secara negatif, apabila manufaktur dan pedagang perantara yang berada pada struktur pasar oligopoli beranggapan bahwa kenaikan harga justru beresiko terhadap penurunan marginnya. Bailey & Brorsen (1989) menambahkan bahwa transmisi harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi adalah positif. Senada dengan hal tersebut, Meyer & von-cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa pada struktur pasar oligopoli,

40 25 transmisi harga tidak simetris dapat terjadi secara positif maupun negatif, tergantung pada struktur dan perilaku pasar. Sementara pada pasar monopoli, transmisi harga tidak simetris yang terjadi lebih akan mengarah pada bentuk positif daripada negatif. Meskipun berbagai penelitian telah mengaitkan tranmisi harga tidak simetris dengan dugaan adanya market power yang dimiliki oleh perusahaan manufaktur dan/atau pedagang perantara, namun menurut Meyer & von-cramon Taubadel (2004) hanya sedikit penelitian yang secara khusus menganalisa keterkaitan antara market power dengan transmisi harga asimetris. Salah satu penelitian untuk melihat hubungan antara market power dengan transmisi harga dilakukan oleh Peltzman (2000), dengan menggunakan data jumlah pelaku usaha dan konsentrasi pasar dalam bentuk Herfindahl- Hirschman Index (HHI) sebagai indikator market power. Hasil penelitiannya menunjukkan anomali, dimana jumlah pelaku usaha yang sedikit menyebabkan lag transmisi harga tidak simetris semakin besar, namun derajat konsentrasi pasar justru menunjukkan hal yang sebaliknya (transmisi harga simetris terjadi pada pasar yang konsentrasinya tinggi). Dengan demikian penelitian ini gagal menunjukkan dugaan transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh adanya market power. Hal senada diungkapkan oleh Weldegebriel (2004) dalam Vavra & Goodwin (2005) yang menyebutkan bahwa adanya kekuatan oligopoli dan oligopsoni tidak selalu menyebabkan transmisi harga yang tidak sempurna. Menurut Weldegebriel, fungsi permintaan di level ritel dan fungsi penawaran di level petani merupakan faktor kunci yang menentukan tingkat transmisi harga.

41 Adjustment cost atau menu cost Kekakuan dalam proses penyesuaian harga antar level dalam satu rantai pemasaran sering pula disebabkan adanya sejumlah tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan harganya. Dalam ilmu ekonomi biaya tersebut dikenal dengan adjustment cost atau menu cost, seperti biaya yang digunakan untuk melakukan perubahan label dan katalog harga, biaya periklanan, serta biaya lain yang harus dikeluarkan untuk menyampaikan perubahan harga kepada klien (Jensen & Møller, 2007; Meyer & von-cramon Taubadel, 2004). Menurut Vavra dan Goodwin (2005), perubahan harga yang relatif sering pun akan mempengaruhi reputasi dari pedagang perantara, khususnya pedagang ritel yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir. Selain itu, menurut McCorriston et al. (2000), ketidakpastian apakah perubahan harga terjadi secara permanen atau hanya bersifat sementara menghalangi pedagang untuk merespon sinyal perubahan harga. Sehingga perubahan harga yang tidak terlalu signifikan tidak akan ditransmisikan secara sempurna oleh pedagang. Lebih jauh lagi, Balke et al. (1998) menyebutkan bahwa manajemen persediaan (inventory) perusahaan pun akan berpengaruh terhadap proses transmisi harga (Meyer & von-cramon Taubadel, 2004, hal. 590). Manajemen persediaan merupakan elemen penting yang menentukan seberapa cepat proses adjustment shock yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan. Dari hasil penelitianya, Balke et al menyebutkan bahwa model penyimpanan persediaan secara FIFO (first in first out) dapat menyebabkan transmisi harga yang tidak sempurna.

42 27 Menurut Reagan & Weitzman (1982) hubungan antara manajemen persediaan dengan transmisi harga tidak simetris tergantung dari kondisi permintaan yang dihadapi perusahaan. Pada periode permintaan rendah, perusahaan akan cenderung mengurangi jumlah penjualan dan meningkatkan jumlah persediaannya, dibandingkan melakukan penurunan harga. Sebaliknya, pada saat permintaan tinggi perusahaan akan langsung menaikan harga, sehingga terjadi transmisi harga tidak simetris yang positif. Ball dan Mankiw (1994) mengembangkan model yang mengkombinasikan variabel menu cost dengan inflasi untuk melihat fenomena transmisi harga asimetris. Hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan harga input lebih cepat disesuaikan dibandingkan penurunan harga input. Dengan adanya inflasi, penurunan harga input akan mengurangi margin riil yang dapat diterima pelaku usaha. Dengan demikian, penurunan harga input tidak akan ditransmisikan dalam bentuk penurunan harga output apabila terjadi inflasi. Perbedaan mendasar antara transmisi harga yang disebabkan oleh market power dengan adjustment cost adalah dalam hal waktu. Adjustment cost yang besar hanya akan terjadi dalam jangka pendek, sehingga sifatnya hanya menunda proses transmisi atau penyesuaian harga, dan dalam jangka panjang akan terjadi penyesuaian harga yang sempurna (Karantininis, 2011; McCorriston et al., 2000). Sementara asimetri yang disebabkan oleh market power dapat bertahan dalam waktu yang lama, karena tidak hanya berpengaruh dari sisi time of adjustment tetapi juga mempengaruhi magnitude of adjustment (Meyer & von-cramon Taubadel, 2004).

43 Return to Scale dalam Produksi Penelitian mengenai transmisi harga tidak simetris yang dikaitkan dengan dugaan market power selalu mengasumsikan bahwa produksi bersifat constant return to scale, artinya setiap penambahan satu unit output disebabkan adanya penambahan satu unit input 5. Menurut McCorriston et al. (2000), asumsi constant return to scale akan menghasilkan kesimpulan yang bias, karena menghilangkan potensi korelasi antara skala ekonomi dengan perilaku harga yang diterapkan oleh pelaku usaha. Kombinasi antara keduanya akan menghasilkan proses transmisi harga yang berbeda. Untuk membuktikan dugaan tersebut, McCorriston membandingkan nilai elastisitas transmisi pada 3 (tiga) kondisi, yaitu 1) kondisi persaingan sempurna, 2) kondisi persaingan tidak sempurna dan constant return to scale, serta 3) kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale 6. Dalam penelitian tersebut dibandingkan pula kondisi kurva permintaan, antara kurva permintaan yang linear dengan kurva permintaan yang log-linear. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa untuk fungsi permintaan yang linear, nilai elastisitas transmisi harga pada kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale lebih tinggi dibandingkan nilai elastisitas pada kondisi persaingan tidak sempurna dan constant return to scale. Sementara pada saat fungsi permintaan bersifat log linear, nilai elastisitas transmisi harga untuk kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale adalah yang tertinggi, bahkan dibandingkan kondisi persaingan sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi non-constant return to scale tidak hanya mempengaruhi derajat transmisi harga namun 5 Pindyck & Rubinfeld, 2009, Microeconomics, Seventh Edition. Pearson Prentice Hall. 6 Yaitu situasi dimana penambahan satu unit input menghasilkan jumlah output yang lebih dari satu unit.

44 29 juga dapat menghilangkan pengaruh dari market power dalam proses transmisi harga, tergantung dari fungsi permintaan yang dihadapi. McCorriston menambahkan bahwa pada kondisi decreasing return to scale, pengaruh market power terhadap proses transmisi harga tidak simetris akan lebih besar. Sama halnya dengan menu cost, pengaruh return to scale terhadap transmisi harga akan berbeda antara jangka pendek dan jangka panjang. Menurut Karantininis (2011), return to scale hanya akan memberikan pengaruh jangka pendek dalam proses transmisi harga, sementara untuk jangka panjang hanya faktor market power yang akan berpengaruh terhadap transmisi harga Karakteristik Produk Dalam penelitian yang dilakukan European Commision (EU-COM, 2009) disebutkan bahwa khusus untuk produk pertanian, karakteristik produk, seperti daya simpan dan musiman, merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat integrasi pasar dan transmisi harga produk pertanian. Ward (1982) dalam Serra & Goodwin (2002) menyebutkan bahwa pada produk pertanian yang daya simpannya singkat, pola transmisi harga asimetris yang terjadi mengarah pada tipe negatif. Pedagang perantara yang menjual barang-barang perishable cenderung tidak akan menaikan harga outputnya meskipun terjadi kenaikan harga input. Alasannya adalah pedagang khawatir barangnya tidak laku. Sehingga pedagang lebih memilih menekan marginnya, dengan tidak menaikan harga output, daripada harus menanggung kerugian yang lebih besar, akibat barang yang tidak laku. Dalam kasus ini, transmisi harga asimetri akan menguntungkan bagi supplier dan konsumen, sementara untuk pedagang perantara akan cenderung merugikan.

45 30 Namun menurut Heien (1980), dampak permasalahan perubahan harga pada produk perishable sebenarnya relatif kecil jika dibandingkan dengan produk-produk jangka panjang (Vavra & Goodwin, 2005, hal. 8). Menurutnya, untuk barang yang memiliki umur produk yang panjang, perusahaan yang terakhir melakukan perubahan harga justru akan mendapatkan biaya yang lebih besar akibat kehilangan reputasi perusahaan Kebijakan Pemerintah Menurut Kinnucan dan Forker (1987), kebijakan pemerintah pun dapat menyebabkan transmisi harga asimetris yang terjadi antar level pemasaran. Perubahan harga di level petani yang relatif sering pada dasarnya akan menyebabkan ketidakpastian bagi pedagang perantara dalam menentukan harga jualnya, mengingat harga di level petani merupakan biaya input bagi pedagang perantara. Apabila perubahan biaya input tersebut bersifat sementara, maka tidak ada insentif bagi pedagang perantara untuk melakukan penyesuaian harga. Pada kasus kebijakan Pemerintah, hampir di semua negara Pemerintah memiliki kebijakan intervensi harga (dalam bentuk floor price) sebagai antisipasi saat terjadi penurunan harga di level petani, yang tujuannya adalah untuk melindungi petani. Sebaliknya, Pemerintah tidak akan melakukan intervensi apabila terjadi kenaikan harga di level petani. Di satu sisi, kebijakan ini akan dapat mengurangi ketidakpastian perubahan biaya yang dihadapi pedagang perantara. Namun di sisi lain, kebijakan ini pun akan menyebabkan transmisi harga di level petani ke level konsumen menjadi tidak simetris. Penjelasannya adalah pada saat terjadi kenaikan harga di level petani, pedagang akan menganggap bahwa perubahan tersebut sifatnya permanen karena tidak akan ada intervensi Pemerintah. Akibatnya, pedagang akan dengan segera melakukan penyesuaian

46 31 harga jualnya sesuai dengan kenaikan harga di level petani. Namun pada saat terjadi penurunan harga di level petani, pedagang akan percaya bahwa penurunan tersebut hanya bersifat sementara karena Pemerintah akan segera melakukan intervensi. Sehingga pedagang tidak akan dengan cepat melakukan penyesuaian harga jual saat terjadi penurunan harga di level petani. Hal ini yang menyebabkan terjadinya transmisi harga asimetris yang positif. Penelitian serupa dilakukan oleh Serra dan Goodwin (2003) yang melakukan studi terhadap transmisi harga pada produk-produk susu (dairy products) di Spanyol. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa bahwa kelangkkan susu, pada besaran tertentu disebabkan oleh sistem kuota yang ditetapkan Pemerintah. Sehingga mengarah pada situasi dimana pabrik pengolah susu bersaing untuk meningkatkan akses mereka terhadap kuota susu dan market share penjualan mereka akan tetapi tidak mentrasmisikan peningkatan harga di level petani secara penuh kepada harga di level ritel Penelitian terdahulu Analisa transmisi harga tidak simetris telah banyak mengalami berbagai perkembangan metodologi. Analisa transmisi harga yang sederhana dilakukan dengan mengikuti metode Houck (1979) dalam Acquah dan Onumah (2010), yang membagi efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga. Metode Houck kemudian disebut dengan model statis, yang dapat ditulis dalam persamaan berikut : (2.1) dimana dan merupakan perubahan positif dan negatif yang terjadi pada. Pengujian transmisi harga simetri dilakukam dengan

47 32 membandingkan koefisien dan, transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila kedua keofisien tersebut signifikan tidak identik. Metode Houck dianggap tidak sesuai apabila terdapat hubungan kointegrasi antara dua series data harga. Von Cramon-Taubadel mengusulkan pendekatan ECM lebih valid untuk digunakan untuk pengujian transmisi harga asimetris. Penggunaan ECM dalam analisa transmisi harga tidak simetris pertama kali dilakukan oleh Granger dan Lee (1989) dalam Acquah dan Onumah (2010), dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : (2.2) (ECT t-1 = P A,t-1 - α - γp B,t-1 ) (2.3) dimana merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang (keseimbangan kointegrasi) dari dan, yang kemudian dipisahkan dalam bentuk positif ( ) dan negatif ( ). menggambarkan kondisi saat penyimpangan berada di atas garis keseimbangan jangka panjang. Sebaliknya, menggambarkan kondisi saat penyimpangan berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang. Koefisien dan diharapkan bernilai negatif, artinya bahwa penyimpangan yang terjadi akan kembali ke garis keseimbangan (Wixson & Katchova, 2012). Kondisi asimetris ditentukan dengan membandingkan keidentikan koefisien dengan. Analisa transmisi harga asimetris dengan menggunakan ECM disebut dengan model dinamis. Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996) dalam Acquah dan Onumah (2010) kemudian mengembangkan model dinamis yang lebih kompleks, dengan menggabungkan model Houck dan model ECM Granger. Persamaan model ECM yang dikembangkan Von Cramon- Taubadel dan Loy adalah sebagai berikut :

48 33 (2.4) Pada model ini, proses transmisi harga dapat dilihat dalam parameter jangka pendek dan jangka panjang sekaligus. Hipotesa transmisi harga asimetris akan ditolak apabila koefisien positif dengan koefisien negatif terbukti tidak identik secara statistik. Pengujian koefisien dilakukan baik terhadap koefisien jangka pendek ( = dan = ) maupun koefisien jangka panjang ( = ). Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga pun telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al. (2012). Hassouneh et al. membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi dalam dua data series harga. Mereka menyimpulkan bahwa VECM dan ECM adalah model yang valid untuk menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada saat persamaan jangka panjangnya menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan VECM dan ECM yang biasa tidak dapat digunakan sehingga diperlukan metode AVECM atau AECM 7. Aplikasi metode tersebut dalam analisa transmisi harga untuk produkproduk pertanian menjadi sangat popular. Beberapa analisa transmisi harga vertikal yang menggunakan metode tersebut antara lain von Cramon- Taubadel (1998), Rapsomanikis et al. (2004), Acquah & Onumah (2010), dan Alam et al. (2010). Penelitian yang dilakukan Alam et al. (2010) merupakan penelitian yang paling ideal untuk digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Alam et al. (2010) secara khusus meneliti dugaan transmisi harga beras tidak 7 Untuk kasus persamaan jangka panjang yang tidak linear, aplikasi model AVECM sama validnya dengan model Threshold Vector Error Correction (TVECM) maupun model Smooth Transition Vector Error Correction (STVECM).

49 34 simetris antara harga beras level pedagang grosir dengan harga beras level konsumen di Bangladesh. Untuk membuktikan dugaan transmisi harga asimetris, mereka menggunakan metode ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy, dimana harga beras level pedagang grosir bertindak sebagai variabel independent dan variabel harga beras level konsumen sebagai variabel dependent-nya. Penentuan variabel dependent dan independent dilakukan dengan metode VECM. Meskipun penelitian ini menggunakan penelitian Alam et al. (2010) sebagai referensi, namun akan dilakukan beberapa modifikasi diantaranya (1) data harga yang digunakan adalah harga gabah kering panen (GKP) di level petani dan harga eceran beras di level konsumen; (2) pengujian kausalitas dilakukan dengan menggunakan Granger test yang kemudian dibandingkan dengan teori dan karakteristik perdagangan beras; dan (3) pengujian asimetris dilakukan dengan menggunakan model asimetris Granger Lee (1989) dan model asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996).

50 BAB 3 GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA Beras merupakan komoditas strategis di Indonesia. Menurut Dodge & Gemessa (2012), berdasarkan data Susenas tahun 2010, sebanyak 98.5% masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokoknya. Program diversifikasi pangan yang gagal menyebabkan beras masih menjadi pangan utama di berbagai daerah. Bahkan daerah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok bukan beras pun beralih mengkonsumsi beras, seiring dengan peningkatan pendapatan yang diperoleh. Sehingga beras berperan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan 8 masyarakat Indonesia. Selain itu, usaha tani padi masih menjadi urat nadi perekonomian di pedesaan. Menurut Mardianto & Ariani (2004), sebanyak 20 juta keluarga petani dan buruh tani menggantungkan hidupnya pada usaha tani padi. Akibatnya, gejolak yang terjadi pada komoditas beras tidak hanya akan menyebabkan kerawanan ekonomi, tetapi juga kerawanan sosial dan politik, yang berujung pada kegoyahan stabilitas negara. Sebagai salah satu komoditas pertanian, beras memiliki karakteristik penawaran dan permintaan yang unik. Fungsi penawaran maupun fungsi permintaan beras bersifat inelastis terhadap perubahan harga (Prastowo et al., 2008). Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta meningkatkan produksinya ketika terjadi kenaikan harga, karena padi termasuk dalam kelompok tanaman musiman. Begitu pula halnya dengan konsumen yang tidak dapat mengurangi permintaannya secara drastis ketika harga beras eceran meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya suatu formulasi kebijakan yang khusus, guna menjembatani kepentingan produsen dan konsumen sekaligus. 8 Definisi ketahanan pangan, menurut UU No 7 Tahun 1996 Pasal 1 Ayat 17, adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. 35

51 36 Di sisi petani, kebijakan yang diambil Pemerintah harus mampu meningkatkan pendapatan petani, sehingga petani memiliki insentif untuk tetap menanam padi dan meningkatkan produktivitasnya. Di sisi lain, kebijakan tersebut pun harus mampu menjamin harga eceran beras yang terjangkau di level konsumen. Kebijakan perberasan dikatakan efektif apabila dapat mempertahankan harga yang baik di tingkat produsen dan pada saat yang sama tidak terlalu memberatkan konsumen Gap Antara Pola Produksi dan Konsumsi Beras Sebagai negara agraris, pada dasarnya produksi padi/beras di Indonesia sudah cukup besar. Dari berbagai penelitian yang mengkaji pola permintaan dan penawaran beras dalam negeri menyebutkan bahwa secara statistik produksi beras di dalam negeri mampu mencukupi seluruh kebutuhan (konsumsi) beras masyarakat Indonesia (Prastowo et al, 2008; Kusumaningrum, 2008; Arifin, 2011). Sebagai gambaran di tahun 2007, jumlah produksi padi Indonesia mencapai juta ton, atau setara dengan juta ton beras, sementara jumlah konsumsi beras dalam negeri adalah juta ton. Dengan demikian di tahun 2007 Indonesia memiliki surplus beras sebanyak 2.62 juta ton. Secara statistik, jumlah produksi beras di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun peningkatannya tidak terlalu besar. Data BPS menunjukkan produktivitas lahan padi di Indonesia pun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 produktivitas lahan padi rata-rata sebesar kuintal/hektar, sementara di tahun 2011 produktivitasnya mencapai kuintal/hektar 9. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi Indonesia mengalami pola increasing return to scale yang melambat. Apabila membandingkan dengan jumlah konsumsi beras tahunan, Indonesia telah mengalami surplus beras sejak tahun 2002 (Tabel 3.1). 9 Buku Produksi Tanaman Pangan BPS Tahun 2007 dan Buku Produksi Tanaman Pangan BPS Tahun 2011

52 37 Tabel 3.1. Perbandingan Jumlah Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia Tahun Produksi beras (juta ton) Konsumsi beras (juta ton) Surplus/ deficit Sumber : BPS (2012), Kementerian Pertanian (2012), telah diolah kembali Meskipun secara statistik kebutuhan beras dalam negeri mampu dipenuhi seluruhnya oleh produksi dalam negeri, namun adanya gap antara waktu produksi dengan waktu konsumsi seringkali menimbulkan permasalahan kelangkaan. Sebagaimana diketahui, beras merupakan tanaman musiman, yang produksinya berfluktuasi mengikuti pola tanam. Surplus beras biasanya terjadi pada bulan Februari Mei, dengan puncaknya di bulan April (dikenal dengan masa panen raya). Untuk daerah tertentu, musim panen padi dapat terjadi 2 (dua) kali setahun, yaitu pada bulan Februari Mei dan bulan Agustus September. Pada musim kemarau dan musim tanam (Oktober Januari), produksi beras akan mengalami defisit 10. Di sisi lain, pola konsumsi beras stabil sepanjang tahun, karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia (Bustaman, 2003). Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya kelangkaan beras pada bulan tertentu di Indonesia, meskipun secara statistik Indonesia mengalami surplus beras. Berikut adalah pola produksi beras dan konsumsi beras di 10 Yang dimaksud defisit adalah jumlah produksi beras lebih rendah dari jumlah konsumsinya.

53 38 Indonesia, yang dilengkapi dengan data impor dan harga GKP di level petani dan harga beras di level konsumen. Gambar 3.1. Pola Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Sumber : (1) Arifin, 2011, The Regulation of Rice Market in Indonesia (2) BPS (2012), telah diolah kembali Perbedaan antara pola produksi dan pola konsumsi beras menyebabkan karakteristik penawaran dan permintaan beras menjadi unik, dimana baik fungsi penawaran maupun fungsi permintaannya bersifat inelastis terhadap perubahan harga. Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta meningkatkan produksinya ketika terjadi kenaikan harga, karena adanya kendala periode musim panen dan tanam. Begitu pula halnya dengan konsumen, yang tidak dapat mengurangi permintaannya ketika harga meningkat. Gap antara waktu produksi dan waktu konsumsi tidak hanya menyebabkan permasalahan kelangkaan beras, tetapi juga berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani dan konsumen. Pada saat musim panen, jumlah beras di pasar meningkat secara drastis. Sesuai dengan hukum penawaran, saat terjadi peningkatan jumlah supply (yang tidak disertai dengan peningkatan jumlah demand) maka harga keseimbangan di pasar akan mengalami penurunan. Sehingga harga jual padi di level petani pun akan menurun,

54 39 terbukti dengan menurunnya harga GKP di level pada bulan Februari Mei (Gambar 3.1). Kondisi ini akan berimplikasi pada penurunan tingkat kesejahteraan petani. Fenomena yang menarik untuk dibahas adalah pada awal musim panen raya (Februari Maret) impor beras ke Indonesia masih dilakukan. Meskipun puncak masa panen raya jatuh pada bulan April, namun pada bulan Februari dan Maret jumlah produksi beras di dalam negeri sudah mulai mengalami surplus. Masuknya beras impor pada bulan tersebut dikhawatirkan akan semakin menurunkan harga GKP di level petani. Pada saat musim kemarau dan musim tanam, terjadi fenomena yang sebaliknya. Jumlah supply akan mengalami penurunan, sementara jumlah demand-nya tetap. Akibatnya harga akan terdorong ke level yang lebih tinggi. Meskipun dari data pola impor pada gambar 3.1 menunjukkan bahwa beras impor mulai masuk ke Indonesia sejak bulan September, namun jumlah beras impor nampaknya masih relatif sedikit untuk memenuhi total kebutuhan konsumsi beras dalam negeri. Kenaikan harga beras pada masa tanam dan masa paceklik ini akan mengurangi tingkat kesejahteraan konsumen dan tidak menyebabkan kenaikan tingkat kesejahteraan petani, karena umumnya petani langsung menjual seluruh hasil produksinya pada saat musim panen Gambaran Distribusi Beras di Indonesia Dengan adanya gap antara periode produksi dan konsumsi beras serta karakteristik penawaran dan permintaan beras yang inelastis, maka sistem distribusi menjadi berperan penting dalam menjamin ketersediaan beras di pasaran sepanjang tahun. Mubyarto (1990) mendefinidikan sistem distribusi sebagai suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa dan menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen (KPPU, 2007, hal.ii.1). Pada kasus komoditas beras, sistem distribusi juga mencakup 11 Hasil penelitian Bank Indonesia menunjukkan bahwa 92% hasil produksi petani akan dijual dan hanya 8% yang disimpan untuk kebutuhan konsumsinya sendiri.

55 40 proses penyimpanan, karena petani langsung menjual sebagian besar (92%) hasil produksinya dan tidak melakukan penyimpanan beras. Prastowo et al. (2008) menyebutkan bahwa faktor distribusi merupakan variabel penting yang perlu diperhitungkan dalam pembentukan harga beras, karena gangguan distribusi dapat menimbulkan kelangkaan pasokan yang meningkatkan harga eceran beras di pasar. Gangguan distribusi disinyalir tidak akan memberikan keuntungan kepada konsumen maupun petani. Kesejahteraan konsumen akan berkurang seiring dengan peningkatan harga. Di lain pihak, petani pun tidak akan menikmati kenaikan harga karena umumnya tidak memiliki kemampuan modal dan fasilitas penyimpanan, sehingga pada saat terjadi kenaikan harga petani sudah tidak memiliki padi/beras untuk dijual. Lebih jauh lagi, kenaikan harga beras akibat gangguan distribusi akan menyebabkan kenaikan inflasi, mengingat beras merupakan komponen utama pembentuk inflasi. Permasalahan yang terjadi dalam distribusi beras di Indonesia semakin dinamis, seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi di dalam negeri. Salah satu permasalahan yang paling kompleks adalah masalah disparitas harga beras yang sangat signifikan terjadi setelah masa deregulasi tata niaga beras di tahun 1998 (Arifin et al., 2006; KPPU, 2007). Disparitas harga tersebut terjadi secara spasial (antar wilayah/propinsi) maupun secara vertikal (antar berbagai level dalam satu rantai pemasaran). Dalam konteks vertikal, disparitas harga yang semakin melebar antar berbagai level pemasaran dalam satu rantai menunjukkan adanya permasalahan inefisiensi dalam rantai pemasaran tersebut. KPPU (2007) menyebutkan bahwa sistem distribusi dapat dikatakan efisien apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu (1) mampu menyampaikan barang dari produsen ke konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan (2) mampu memberikan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan

56 41 produksi dan distribusi barang sesuai porsi peranannya masing-masing. Berdasarkan persyaratan tersebut maka sistem distribusi yang efisien akan dapat meningkatkan pendapatan pihak-pihak yang terlibat dalam tataniaga, mulai dari produsen, lembaga pemasaran (pedagang perantara), maupun konsumen. Efisiensi dalam sistem distribusi dapat dilihat dari dua aspek, yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional terjadi apabila distribusi produk dari produsen ke konsumen akhir diselenggarakan dengan biaya atau marjin yang rendah tanpa mengurangi tingkat kepuasan konsumen. Sementara efisiensi harga terjadi apabila masing-masing partisipan dalam sistem distribusi responsif terhadap perubahan harga yang terjadi, dengan kata lain terjadi proses transmisi harga yang sempurna antara level pemasaran. Terdapat 3 (tiga) kondisi yang menunjukkan terjadinya efisiensi harga, yaitu (1) tersedianya alternatif pilihan bagi konsumen, (2) perbedaan harga mencerminkan adanya biaya yang dikeluarkan karena adanya penambahan nilai tambah, dan (3) masing-masing pelaku dalam rantai pemasaran merasa puas (KPPU, 2007). Dengan adanya disparitas harga yang semakin melebar antara level produsen dengan konsumen mengindikasikan tidak adanya pembagian yang adil atas perubahan harga yang terjadi. Dalam hal ini produsen tidak menikmati keuntungan saat terjadi kenaikan harga di level konsumen, dan konsumen pun tidak menikmati keuntungan saat terjadi penurunan harga di level petani. Menurut Mardianto et al. (2005), kinerja dan efisiensi sistem pemasaran dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik faktor intrinsic maupun faktor ekstrinsik. Yang dimaksud dengan faktor intrinsic antara lain struktur pasar, tingkat integrasi pasar, dan margin pemasaran. Sementara faktor eksternal yang akan berpengaruh terhadap kinerja sistem pemasaran adalah kebijakan Pemerintah, seperti pengembangan infrastruktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga, pajak, dan lain-lain.

57 42 Prastowo et al (2008) menambahkan bahwa permasalahan efisiensi dalam sistem distribusi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) rantai pemasaran yang terlalu panjang, dan (2) besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi. Semakin pendek mata rantai distribusi dan semakin kecil marjin keuntungan, maka kegiatan distribusi tersebut semakin efisien. Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan KPPU di 5 (lima) Propinsi, diketahui bahwa rantai pemasaran beras di Indonesia secara umum tergolong pendek, karena hanya melibatkan beberapa pelaku/lembaga pemasaran pasca farm gate. Sehingga indikasi sistem distribusi yang tidak efisien pada komoditas beras lebih disebabkan oleh faktor yang kedua, yaitu besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap lembaga pemasaran. Secara umum berikut adalah gambaran rantai pemasaran beras di Indonesia. Petani Tengkulak/Pedagang Pengumpul Penggilingan /Huller Pedagang Grosir Pengecer Konsumen Perdagangan ke Luar Daerah/Pulau Gambar 3.2. Rantai Pemasaran Beras di Indonesia Sumber : KPPU, 2007 Dari Gambar 3.2 di atas dapat dilihat bahwa petani memiliki akses untuk langsung menjual gabahnya kepada pengusaha penggilingan/huller, khususnya pengusaha penggilingan skala kecil yang umumnya membeli gabah tidak melalui tengkulak. Menurut Prastowo et al (2008), petani umumnya hanya menjual 92% hasil produksinya, sementara sisanya digunakan untuk konsumsi sendiri. Adapun produk yang dijual petani sebagian besar dalam bentuk gabah kering panen (GKP), yaitu sebanyak 45%, dan gabah kering giling (GKG), yaitu sebanyak 42%. Sementara produk dalam bentuk beras hanya sebanyak 13%. Gabah tersebut sebagian besar dijual kepada pedagang pengumpul/tengkulak (84%), sisanya dijual kepada pengusaha penggilingan (10%) dan pedagang besar di daerah lain.

58 43 KPPU (2007) menyebutkan bahwa di beberapa lokasi sampel, pengusaha penggilingan tidak hanya memberikan jasa penggilingan saja, melainkan juga berperan sebagai pedagang besar. Bahkan di Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur, pengusaha penggilingan juga berperan sebagai pedagang antar pulau (PAP). Untuk pedagang pengecer yang lokasinya dekat dengan sentra produksi beras, umumnya melakukan pembelian beras langsung kepada pengusaha penggilingan, tanpa melalui pedagang grosir. Sistem distribusi beras juga berperan dalam menyalurkan beras dari daerah surplus beras ke daerah defisit beras. Sentra produksi beras di Indonesia masih didominasi oleh daerah-daerah di Pulau Jawa, yaitu Propinsi Jawa Barat (17,65%), Jawa Timur (17,24%), dan Jawa Tengah (15,27%). Untuk wilayah luar Jawa, produksi beras yang cukup besar berasal dari Propinsi Sulawesi Selatan (6,48%), Sumatera Utara (5,44%), dan Sumatera Selatan (4,92%) (Ditjen PPHP, 2011). Sementara dari sisi konsumsi, hampir seluruh Propinsi di Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Tanpa adanya sistem distribusi, harga beras antar Propinsi akan sangat bervariasi. Untuk daerah sentra produksi beras akan terjadi surplus beras, yang menyebabkan harganya menjadi rendah. Sebaliknya, untuk daerah defisit beras akan mendapatkan harga eceran beras yang sangat tinggi karena kelangkaan. Khusus untuk jalur distribusi di Jawa, Ditjen PPHP melakukan identifikasi bahwa sebanyak 70% beras produksi pengusaha penggilingan disalurkan kepada pedagang grosir yang berada di dalam Pulau Jawa. Sebanyak 25% sisanya dijual kepada pedagang antar pulau, untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat luar Jawa. Sisanya, sebesar 5%, dijual kepada BULOG sebagai beras raskin. Berikut adalah gambaran distribusi beras khusus di Pulau Jawa.

59 44 PETANI 20% 80% Penebas Pedagang Pengumpul Desa PENGGILINGAN PADI (produk beras) 25% 70% 5% Pedagang Antar Pulau Pedagang Grosir BULOG Grosir Luar Jawa Pedagang Pengecer Masyarakat Miskin/ TNI/Polri Pengecer Luar Jawa Konsumen Jawa Konsumen Luar Jawa Gambar 3.3. Rantai Distribusi Beras di Pulau Jawa Sumber : Ditjen PPHP, 2006 dalam Indrayani, Kebijakan Perberasan Indonesia Intervensi pemerintah dalam sektor beras di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Wahab & Gonarsyah (1989) dalam Kusumaningrum (2008) menyebutkan bahwa kebijakan perberasan telah ada sejak masa Pemerintahan Sunan Amangkurat I ( ), dimana pada tahun 1655 Pemerintahnya melarang ekspor beras ke luar Jawa akibat adanya kekeringan yang luar biasa. Pada masa orde baru, sektor pertanian menjadi primadona. Terbukti dengan banyaknya kebijakan publik yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas pertanian serta memberikan perlindungan terhadap petani, mulai dari peningkatan infrastruktur irigasi sampai dengan berbagai program

60 45 subsidi bahan baku (pupuk dan benih) dan kredit ringan yang diberikan kepada petani (Arifin, 2011). Tujuan kebijakan perberasan pada masa orde baru adalah menjamin stabilisasi harga di tingkat petani maupun konsumen. Namun, seiring dengan bertambahnya beban anggaran Pemerintah, bantuanbantuan Pemerintah di sektor pertanian sedikit demi sedikit mulai dikurangi (Mardianto & Ariani, 2004). Sejak memasuki masa reformasi di tahun 1998, kebijakan perberasan Indonesia mengalami perubahan yang cukup drastis, akibat adanya Letter of Intent dengan IMF. Kebijakan perberasan Indonesia perlahan-lahan mulai diarahkan pada kebijakan perdagangan liberal dan berbagai subsidi yang diberikan kepada petani sedikit demi sedikit dicabut. Akibatnya, fluktuasi harga beras di pasar dalam negeri semakin tidak terkendali dan jumlah pembelian beras impor semakin tinggi (Arifin, 2011). Pada tahun 2002, Pemerintah menetapkan arah kebijakan perberasan Indonesia dalam 5 (lima) elemen utama, yaitu (1) elemen peningkatan produktivitas petani dan produksi beras nasional; (2) elemen diversifikasi usaha tani; (3) elemen kebijakan harga; (4) elemen kebijakan impor yang melindungi petani dan konsumen dalam negeri; dan (5) elemen jaminan distribusi dan penyediaan beras untuk keluarga miskin dan rawan pangan (Kusumaningrum, 2008). Berdasarkan elemen-elemen tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan perberasan di Indonesia termasuk dalam kelompok kebijakan development policy 12, karena bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan produksi padi nasional secara sekaligus. Contoh teknis kebijakan perberasan di Indonesia yang mencakup elemen peningkatan produksi dan elemen kebijakan harga antara lain kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP), Subsidi Pupuk, dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). 12 Kebijakan pemerintah di bidang pertanian terbagi menjadi dua tipe, yaitu Development Policy dan Compensating Policy. Development policy bertujuan mendorong produksi dan peningkatan pendapatan petani. Sedangkan compensating policy bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani tetapi dengan kecenderungan menekan produksi (Hardono et.al, 2004 dalam Pratiwi, 2008).

61 46 Berdasarkan Inpres No 2/2005, kebijakan perberasan di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu kebijakan produksi, kebijakan harga, kebijakan impor, dan kebijakan distribusi (Pratiwi, 2008) Kebijakan Produksi Sebagai bahan pangan utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia, Pemerintah Indonesia senantiasa melakukan berbagai upaya untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri sepanjang tahun, melalui berbagai kebijakan produksi. Secara umum, peningkatan produksi komoditas pertanian dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu intensifikasi, yaitu peningkatan produksi dengan cara meningkatkan produktivitas tanaman dan Indeks Pertanaman (IP), dan ekstensifikasi pertanian, yang dilakukan peningkatan luas areal panen. Kebijakan peningkatan produksi padi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1959, dengan dikeluarkannya Program Padi Sentra. Program ini dilakukan melalui dua paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan (hard technology) dan pendekatan sosial individu (soft technology) (Pratiwi, 2008). Selama periode tercatat setidaknya terdapat 9 (sembilan) program Pemerintah yang secara khusus ditujukan untuk meningkatkan produksi padi nasional. Hasilnya di tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, melalui Program Panca Usahatani. Meskipun swasembada beras tersebut hanya bertahan sampai tahun 1993 (Kusumaningrum, 2008). Menurut Mardianto & Ariani (2004), kebijakan produksi padi yang ditetapkan Pemerintah Orde Baru, seperti pemberian subsidi input dan kredit usaha tani, efektif meningkatkan produktivitas usaha tani padi di Indonesia. Namun dengan semakin beratnya beban anggaran Pemerintah, berbagai program insentif dan bantuan Pemerintah tersebut sedikit demi sedikit dihapuskan. Puncaknya pada tahun

62 , program subsidi pupuk urea, sebagai satu-satunya program yang masih tersisa, pun akhirnya dicabut. Bahkan distribusi dan harga diserahkan seluruhnya kepada mekanisme pasar. Kondisi ini dinilai semakin meningkatkan biaya produksi petani. Pada tahun 2000, Pemerintah membuat Proyek Ketahanan Pangan dengan memberikan varietas Cibodas dan Membrano kepada petani, yang dinilai sebagai salah satu varietas unggulan. Namun program tersebut kurang berhasil karena kesulitan untuk memonitoring petani. Di tahun 2007, Pemerintah kembali membuat program peningkatan produksi padi melalui Program Peningkatan Beras Nasional. Dalam program ini Pemerintah memberikan bantuan benih unggul, pupuk bersubsidi, pupuk organik, dan perbaikan irigasi kepada petani. Berdasarkan Berita Resmi BPS tanggal 3 Maret 2008, Program Peningkatan Beras Nasional dinyatakan berhasil meningkatkan produksi padi sebanyak 2,6 juta ton gabah kering giling. Berikut adalah berbagai perubahan kebijakan produksi beras di Indonesia. Tabel 3.2. Program Peningkatan Produksi Padi Pemerintah Periode Program Tahun Hard Technology Soft Technology Padi Sentra 1959 Varietas Si Gadis, Jelita, Dara dan Bengawan Bimbingan Masal Intensifikasi Masal Bimas Gotong Royong Intensifikasi Khusus 1965 Varietas Si Gadis, Jelita, Dara dan Bengawan 1968 Pengenalan varietas PB5 dan PB8 (IRRI) 1969 Penggunaan varietas PB5 dan PB8 Komando Operasi Gerakan Makmur Perbaikan kelembagaan dan kredit Sama dengan Padi Sentra, tanpa kredit Penguatan kelembagaan modal swasta 1979 Panca Usahatani Pembentukan kelompok tani

63 48 (sambungan Tabel 3.2) Program Tahun Hard Technology Soft Technology Supra Intensifikasi Khusus 1987 Sapta Usahatani Penguatan kelompok tani SUTPA 1995 Varietas Cibodas dan Membramo INBIS 1997 Varietas Cibodas dan Membramo Diversifikasi Pertanian Pendampingan Petani Gema Palagung 1998 Sapta Usahatani Kredit Usaha Tani (KUT) Corporate Farming 2000 Varietas Cibodas dan Membramo Konsolidasi petani sehamparan Proyek Ketahanan Pangan Pengelolaan Tanaman & Sumberdaya Terpadu Program Peningkatan Beras Nasional Sumber : Pratiwi, Varietas Cibodas dan Membramo 2001 Perpaduan sumberdaya 2007 Bantuan benih, pupuk bersubsidi, pupuk organik, perbaikan irigasi Bantuan dana Langsung Kelompok usaha agribisnis dan penguatan modal Pengendalian OPT, manajemen pasca panen dan kelembagaan Beberapa kendala yang diduga menghambat efektivitas kebijakan peningkatan produksi padi yang telah ditetapkan Pemerintah antara lain rendahnya penerapan teknologi produksi dan pascapanen oleh petani. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan dan penguasaan teknologi yang dimiliki oleh petani (Pratiwi, 2008). Selain itu, kendala akses permodalan yang dihadapi petani juga dinilai menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi padi Indonesia. Keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemerintah menyebabkan jumlah bantuan dan subsidi yang diberikan tidak merata kepada

64 49 seluruh petani. Akibatnya petani yang tidak mendapatkan bantuan menjadi kesulitan untuk membeli benih unggul dan pupuk yang baik Kebijakan Harga Falsafah dasar dari kebijakan harga adalah (1) menjaga harga dasar yang cukup tinggi di level petani untuk merangsang produksi, (2) menetapkan harga maksimum untuk menjamin kelayakan dan keterjangkauan harga bagi konsumen, (3) menjaga disparitas yang layak antara harga dasar dengan harga maksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk menyimpan dan mendistribusikan beras, (4) menjamin hubungan harga yang wajar antar daerah dan terhadap harga internasional (Amang, 1989 dalam Kusumaningrum, 2008). Secara umum, kebijakan harga output dan perdagangan bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada produsen (petani) dan konsumen. Kebijakan harga untuk melindungi petani biasa disebut sebagai harga dasar (floor price), sedangkan untuk konsumen disebut harga eceran tertinggi (ceiling price). Negara-negara Asia yang menerapkan kebijakan tersebut antara lain India, Philipinam Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Di negara-negara tersebut, pelaksanaan kebijakan harga diawasi secara ketat, sehingga petani padi benar-benar mendapat manfaat yang nyata dari implementasi kebijakan (Mardianto & Ariani, 2004). Di Indonesia, kebijakan harga yang populer untuk komoditas padi/beras adalah kebijakan stabilisasi harga pada masa orde baru. Pada periode tersebut, Pemerintah mengendalikan batas bawah harga beras melalui mekanisme floor price dan batas atas harga beras melalui mekanisme ceiling price (Kusumaningrum, 2008). Melalui penentapan floor price, jatuhnya harga gabah pada saat panen raya dapat dihindari. Dalam hal ini, Pemerintah memberikan jaminan harga (guaranteed price) kepada petani, sehingga pendapatan petani

65 50 tidak akan berkurang dan produksi beras dapat terus ditingkatkan. Di sisi lain, penetapan ceiling price akan memberikan perlindungan kepada konsumen dari harga beras yang tinggi, khususnya pada saat musim paceklik. Pagu ceiling price ditetapkan berbeda antar wilayah, tujuannya adalah untuk mendorong distribusi perdagangan antar daerah surplus beras dengan daerah defisit beras. Namun akibat keterbatasan anggaran Pemerintah, kebijakan ceiling price dicabut, dan hanya menyisakan instrumen floor price sebagai kebijakan pengendali harga (Pratiwi, 2008). Untuk dapat mempertahankan harga dasar pada level yang ditetapkan Pemerintah, khususnya pada saat musim panen raya dimana jumlah supply beras meningkat signifikan, maka Pemerintah melakukan pembelian gabah dan beras. Kebijakan tersebut pada masa orede baru dikenal dengan kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG). Sejak tahun 1999, kebijakan stabilisasi harga melalui HDG dinilai kurang efektif. Hal ini disebabkan harga dasar yang ditetapkan Pemerintah berada jauh di atas harga paritas impor, sehingga beras impor masuk membanjiri pasar dalam negeri (Kusumaningrum, 2008). Pemerintah kemudian mengganti kebijakan HDG dengan kebijakan harga dasar pembelian Pemerintah (HDPP). Kebijakan tersebut dianggap sebagai kebijakan transmisi menuju pelepasan harga gabah ke mekanisme pasar. Pada kebijakan HDG, Pemerintah wajib membeli seluruh kelebihan supply pada saat panen raya, untuk menjamin harga gabah di pasar tetap berada pada level HDG yang ditetapkan Pemerintah. Implikasi dari kebijakan ini adalah beban anggaran Pemerintah yang dibutuhkan sangat besar, karena Pemerintah harus membeli seluruh kelebihan supply kapan pun dan dimana pun. Padahal anggaran yang dimiliki Pemerintah terbatas. Mekanisme kerja kebijakan HDG ditampilkan dalam Gambar berikut :

66 51 Gambar 3.4. Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah Sumber : Kusumaningrum, 2008 Pada Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa pada saat panen raya akan terjadi peningkatan produksi padi, yang akan menggeser kurva penawaran ke kanan (S petani S petani). Akibatnya, harga akan turun sebesar P1. Untuk melindungi petani dari kerugian, Pemerintah menetapkan HDG sebesar P2. Namun, agar dapat mempertahankan harga pada level P2 maka Pemerintah wajib membeli kelebihan supply sebesar A-B dari petani. Hal ini membutuhkan dana yang cukup besar dan harus tersedia setiap saat. Penetapan Kebijakan HDPP pertama kali dituangkan Pemerintah melalui Inpres No 9 Tahun Dalam Inpres 9/2002 kebijakan perberasan diarahkan untuk melindungi petani dari gejolak harga musiman dan melindungi dari gejolak harga di pasar dunia. Caranya adalah melalui instrumen pembelian Pemerintah pada tingkat harga yang sesuai dengan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) (Mardianto & Ariani, 2004). Perbedaan dengan kebijakan HDG, pada kebijakan HDPP Pemerintah telah menetapkan batas persentase pembelian kelebihan supply sebesar 8% 13 dan hanya akan membeli gabah sebesar persentase tersebut. Kebijakan HDPP dimaksudkan 13 Nilai 8% diperoleh dari studi menggunakan kurun waktu 20 tahun.

67 52 agar Pemerintah akan lebih mudah dalam melakukan budgeting, planning, dan kalkulasi anggarannya untuk membeli beras (Kusumaningrum, 2008). Adapun mekanisme kerja kebijakan HDPP adalah sebagai berikut : Gambar 3.5. Kurva Pembentukan Harga Dasar Pembelian Pemerintah Sumber : Kusumaningrum, 2008 Pada saat terjadi panen raya, terjadi peningkatan jumlah supply yang menggeser kurva penawaran petani ke kanan (S petani S petani) dan menurunkan titik keseimbangan harga pada level P1 (P0 P1). Berbeda dengan kebijakan HDG yang menetapkan batas harga dasar/minimum, pada kebijakan HDPP Pemerintah tidak menetapkan harga dasar minimum. Pemerintah akan bertindak sebagai konsumen beras, dengan harga pembelian sesuai HDPP, sehingga akan meningkatkan jumlah penawaran dan menggeser kurva permintaan ke atas (D Konsumen D Konsumen+Pemerintah ). Dengan demikian, kurva S petani dan kurva D Konsumen+Pemerintah akan membentuk titik keseimbangan harga yang baru, yaitu di titik P2. Pada tahun 2005, melalui Instruksi Presiden No 2 Tahun 2005, istilah HDPP kembali berubah menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Perubahan tersebut dinilai semakin membuyarkan kewajiban

68 53 Pemerintah dalam mengamankan harga gabah di tingkat petani (Arifin, 2006). Sementara untuk dapat mempertahankan level harga maksimum, Pemerintah melakukan penjualan (injeksi) beras di pasar. Terdapat dua jenis kebijakan intervensi harga pasar yang berlaku di Indonesia, yaitu Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM merupakan OPM merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara pemotongan harga sekitar persen di bawah harga pasar. Sedangkan OPK merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan utama OPK adalah memberikan bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan OPK masih terus dilakukan sampai saat ini, dengan targetnya masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK dirubah namanya menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan kenaikan harga beras di tingkat konsumen (Pratiwi, 2008). Untuk menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut, Pemerintah menunjuk Badan Urursan Logistik (BULOG) sebagai lembaga yang bertugas melakukan stabilisasi harga beras. Meskipun peran BULOG sebagai stabilitator harga pernah dicabut pada tahun 1998, namun pada tahun 2007, melalui SK Mendag No 1111 Tahun 2007, Pemerintah kembali menunjuk BULOG sebagai pengendali harga dan impor beras di Indonesia (Pratiwi, 2008) Kebijakan Impor Indonesia merupakan salah satu negara importir beras terbesar di dunia. Kebijakan impor bertujuan untuk menekan jumlah dan mengurangi tingkat ketergantungan beras dari negara lain. Kebijakan

69 54 ini diimplementasikan melalui 2 (dua) instrumen utama, yaitu hambatan tarif dan hambatan non tarif (Pratiwi, 2008). Sebelum tahun 1999, Pemerintah memberlakukan kebijakan non tarif impor dengan cara mengatur jumlah impor (kuota) beras ke dalam negeri, yang tujuannya adalah menjaga agar stok dan harga beras nasional tidak terganggu. Untuk mengefektifkan pengaturan kuota impor, Pemerintah hanya menunjuk BULOG sebagai satu-satunya pihak yang dapat melakukan importasi beras (monopoli impor). Dengan diberikannya hak monopoli impor beras tersebut, BULOG dapat dengan mudah menjaga stok beras di dalam negeri sekaligus menjaga stabilitas harga beras dalam negeri (Sidik, 2004; Timmer, 2004; Yonekura, 2004; Dodge & Gemessa, 2012). Namun sesuai dengan kesepakatan GATT/WTO di tahun 1995, kebijakan non tarif sudah tidak boleh lagi diterapkan. Sehingga sejak tahun 1999, Pemerintah mencabut hak monopoli impor beras yang dimiliki BULOG. Dengan demikian, seluruh pihak (swasta) memiliki kebebasan untuk melakukan impor beras (Kusumaningrum, 2008). Paritas harga beras impor dan harga beras dalam negeri yang terlalu tinggi menyebabkan harga beras dalam negeri menjadi tidak kompetitif dibandingkan beras impor. Hal ini signifikan mengurangi pendapatan petani, khususnya petani kecil yang tidak memiliki modal dan fasilitas penyimpanan beras yang memadai. Untuk melindungi petani dari persaingan dengan harga beras impor yang lebih murah, pada tahun 2000 Pemerintah menetapkan tarif bea masuk impor. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan produksi beras, mengamankan kebijakan harga dan stabilisasi harga dalam negeri, dan meminimumkan beban anggaran Pemerintah (Simatupang, 1999 dalam Kusumaningrum, 2008).

70 55 Selain itu, sejak tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang impor beras pada saat musim panen raya, sebagaimana diatur dalam SK Menperindag No 9/MPP/Kep/I/ 2004 tentang Ketentuan Impor Beras. Dalam peraturan tersebut, impor beras dilarang dalam masa satu bulan sebelum panen raya, saat panen raya, dan dua bulan setelah panen raya. Pertimbangannya adalah untuk mengantisipasi pergeseran waktu panen raya akibat anomali iklim dan cuaca. Penentuan masa panen raya sendiri ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Mardianto & Ariani, 2004). Selain itu, impor beras hanya dapat dilakukan oleh Importir Produsen Beras (IP) (Pratiwi, 2008). Pada dasarnya, kebijakan impor dapat menjadi solusi untuk menjaga ketahanan pangan dan kestabilan harga, dengan catatan dilakukan di waktu dan dengan jumlah yang tepat. Sehingga impor tidak berbalik menekan harga beras dalam negeri. Dengan melihat kecenderungan yang terjadi selama ini, dimana harga beras impor lebih banyak mendikte dan menekan harga beras dalam negeri, maka sejak pertengahan 2003 Pemerintah kembali menugaskan BULOG sebagai lembaga pengendali impor dan harga beras dalam negerei (Pratiwi, 2008) Kebijakan Distribusi Distribusi beras mutlak diperlukan dalam menjaga ketahanan pangan sepanjang tahun, mengingat beras merupakan tanaman musiman. Selain itu, persediaan beras antar daerah yang tidak merata, akibat perbedaan kemampuan produksi antar daerah yang tidak sama, membutuhkan pengaturan distribusi pangan yang baik. Secara umum, tujuan kebijakan distribusi adalah untuk menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun secara merata dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.

71 56 Sejak tahun 1967, Pemerintah membentuk BULOG sebagai badan yang berfungi untuk menjaga stabilitas harga bahan pangan pokok di dalam negeri (Sidik, 2004). Khusus untuk komoditas beras, BULOG hanya memiliki satu tugas utama pada periode orde baru, yaitu melakukan stabilisasi harga beras dalam negeri. Stabilisasi harga mencakup penjaminan harga yang tinggi di level petani dan penjaminan harga beras yang terjangkau di level konsumen (Dodge & Gemessa, 2012). Menurut Timmer (2004), selama 30 tahun BULOG berhasil melakukan stabilisasi harga beras karena didukung oleh 4 (empat) instrumen kebijakan, yaitu : (1) Kebijakan monopoli impor, yang menyebabkan BULOG dapat mengendalikan harga beras dalam negeri dari perdagangan internasional; (2) Akses yang tidak terbatas terhadap kredit, dengan bunga yang disubsidi pada tahun pertama dan jaminan suku bunga dari Bank Indonesia untuk tahun-tahun berikutnya; (3) Pembelian/pengadaan beras yang cukup besar oleh Dolog 14 untuk menaikan harga beras di level petani, yang disertai dengan kebijakan harga dasar gabah (mekanisme floor price); (4) Fasilitas logistik dan infrastruktur yang memadai, dimana BULOG menguasai pergudangan hampir di seluruh Indonesia. Sehingga cadangan beras yang dimiliki BULOG sangat besar dan merata di seluruh daerah. Cadangan beras inilah yang kemudian akan digunakan BULOG untuk mempertahankan harga beras di level yang terjangkau bagi konsumen, khususnya konsumen perkotaan (mekanisme ceilling price 15 ). 14 Dolog merupakan kantor perwakilan BULOG di daerah. 15 Pada tahun-tahun awal BULOG berdiri, ceilling price yang ditetapkan Pemerintah akan diumumkan oleh BULOG, namun beberapa tahun berikutnya besaran ceilling price tidak lagi diumumkan.

72 57 Menurut Dodge & Gemessa (2012), meskipun BULOG tetap menghadapi persaingan dengan pedagang swasta dalam pembelian gabah di tingkat petani dan pemasaran beras di tingkat konsumen, namun hak monopoli impor yang diberikan kepada BULOG menyebabkan kebijakan stabilisasi harga beras pada periode orde baru dapat berjalan dengan efektif. Dengan adanya hak monopoli impor, serta berbagai kebijakan pendukung di atas, membuat BULOG mampu mengendalikan keseimbangan supply-demand di pasar beras dalam negeri, yang pada akhirnya akan mampu mengendalikan harga beras di dalam negeri. Rais (2003) menambahkan bahwa pada periode orde baru, BULOG mampu membangun sistem distribusi beras dengan pola komando logistik yang disiplin. BULOG memberikan fungsi distribusi hanya kepada pedagang-pedagang tertentu, yang disebut BULOG dengan mitra kerja. Mitra kerja tersebut berada di wilayah-wilayah tertentu yang ditentukan oleh BULOG. BULOG akan mengendalikan volume distribusi beras kepada mitranya dengan sistem jatah. Sebagai mitra kerja, para distributor tersebut ikut menjalankan tugas stabilisasi harga di wilayah kerjanya masing-masing, yang sebenarnya tugas tersebut merupakan tanggung jawab BULOG. Dengan demikian, BULOG dapat dengan mudah memantau keseimbangan pasar beras dengan konsisten sampai ke jalur distribusi yang paling hilir. Pada akhirnya, BULOG mampu menjalankan mekanisme floor price dan ceilling price secara efektif. Dengan dihapuskannya hak monopoli impor yang dimiliki BULOG, sistem distribusi yang dimiliki BULOG pun menjadi hilang. Menurut Abu Bakar (2007) dalam Pratiwi (2008), setidaknya BULOG saat ini memiliki 4 tugas publik yang terkait dengan beras, yaitu; (i) jaminan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, (ii) stabilisasi harga, (iii) pengelolaan raskin, dan (iv) cadangan atau stok pangan

73 58 nasional. Keempat tugas publik tersebut harus dilakukan secara bersama-sama karena tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Gabah/beras yang dibeli BULOG dari petani bertujuan untuk memberikan harga yang wajar, khususnya saat musim panen raya dimana harga gabah akan jatuh. Kemudian gabah dan beras hasil pengadaan dari dalam negeri tersebut akan menjadi persediaan yang tersimpan dalam gudang-gudang (divre atau subdivre) BULOG sebagai Cadangan Beras Pemerintah/CBP (buffer stock). CBP tersebut nantinya akan digunakan Pemerintah sebagai sumber bantuan sosial, operasi pasar, keperluan darurat dan supply pasar tertentu. Jumlah minimum buffer stock yang wajib tersedia di gudang BULOG adalah 1 juta ton beras. Apabila dalam penyaluran beras terjadi kekurangan stok yang tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, maka BULOG dapat melakukan impor agar cadangan pangan nasional tetap tercukupi. Seperti yang pernah dilakukan pada pertengahan tahun. Proses distribusi beras di Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan dua cara yaitu melalui distribusi BULOG dan mekanisme pasar. Namun dibandingkan dengan total konsumsi beras Indonesia, besarnya CBP tersebut belum merepresentasikan pengaruh BULOG terhadap distribusi beras dalam negeri. BULOG hanya menguasai 10% pangsa pasar distribusi beras di Indonesia. Sementara lebih dari 80 90% distribusi beras di Indonesia dilakukan oleh pedagang swasta melalui mekanisme pasar (Kitano et al, 1999; Pratiwi, 2008). Dalam kaitannya dengan stabilisasi harga, dengan sedikitnya jumlah CBP yang dimiliki BULOG, maka peran BULOG dan pengenaan kebijakan HPP sering kali menjadi kurang efektif dalam menstabilkan harga beras di level petani maupun konsumen,

74 59 khususnya dengan melihat distorsi harga beras impor yang cukup besar Kebijakan Pemerintah dan Perkembangan Harga Sebagaimana disebutkan sebelumnya, beras merupakan komoditas strategis di Indonesia. Akibatnya, kebijakan perberasan Indonesia diarahkan untuk menjamin harga jual padi/beras yang tinggi di level petani sekaligus menjamin harga beras yang layak dan tidak memberatkan di level konsumen. Sebagaimana dipaparkan dalam sub bab 3.3, kebijakan perberasan sendiri telah mengalami banyak perubahan, sesuai dengan situasi ekonomi dan politik yang terjadi. Dilihat dari sisi kebijakan pengendalian harga dan kebijakan impor, kebijakan perberasan Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) rezim, yaitu (1) Rezim Orde Baru (tahun ), dimana harga, impor, dan distribusi beras di dalam negeri sepenuhnya berada di bawah kendali Pemerintah (dalam hal ini BULOG); (2) Rezim Pasar Bebas (tahun ), dimana impor beras dibiarkan bebas dengan bea masuk nol persen; dan (3) Rezim Pasar Terbuka Terkendali (tahun 2000 saat ini), dimana impor beras dikendalikan melalui mekanisme tarif dan non tarif (Arifin, 2006). Gambaran interaksi pergerakan harga beras dalam negeri dengan kebijakan perberasan yang pernah diterapkan Pemerintah ditampilkan pada Gambar 3.6. Dari Gambar 3.6 dapat dilihat bahwa pada rezim Orde Baru pergerakan harga padi di level petani dan harga beras di level konsumen relatif stabil. Pada periode tersebut pun diparitas antara harga padi dengan harga eceran beras cenderung kecil dan terkendali. Hal ini disebabkan BULOG diberikan kewenangan monopoli impor dan berbagai kebijakan Pemerintah yang mendukung peran BULOG sebagai stabilitator harga beras dalam negeri. Selain itu, jaringan distribusi BULOG yang kuat dan menyeluruh di seluruh Indonesia memudahkan BULOG untuk mengendalikan jumlah supply dan demand pada pasar beras di Indonesia. Akibatnya, harga beras di level petani dan level konsumen akan dengan mudah dikendalikan BULOG.

75 60 Gambar 3.6. Interaksi Pergerakan Harga Beras dan Kebijakan Perberasan Indonesia Sumber : BULOG (2009) dalam Arifin (2011) Pada tahun 1998, kebijakan perberasan nasional berubah drastis, dimana kebijakan perberasan diarahkan menuju liberalisasi perdagangan. Pada tahun ini bea masuk beras dihapuskan dan setahun berikutnya kewenangan monopoli impor BULOG dicabut, sehingga pelaku usaha lain dapat melakukan importasi beras secara bebas. Namun dampaknya, harga beras di dalam negeri menjadi sulit dikendalikan karena variabel harga beras luar negeri menjadi dominan dalam penentuan harga beras dalam negeri. Disparitas harga antara level petani dengan level konsumen pun akhirnya menjadi melebar. Tahun 2000, Pemerintah kembali memberlakukan kebijakan tarif impor beras, dengan menetapkan bea masuk impor sebesar 30% (Rp 430/kg) 16. Implikasinya, pada periode harga beras dalam negeri relatif 16 Pada tahun 2005, bea masuk impor beras dinaikkan menjadi Rp 450/kg

76 61 stabil, meskipun disparitas harga antara level petani dengan level konsumen tetap besar. Arifin (2006) melakukan penelitian terhadap dampak kebijakan perberasan dengan stabilisasi harga beras dalam negeri. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk harga gabah pada rezim orde baru lebih stabil dibandingkan dengan rezim pasar bebas dan pasar terbuka terkendali. Sementara untuk harga beras di level konsumen, tingkat stabilitas harga antara rezim orde baru dengan rezim pasar terbuka terkendali relatif sama. Pada rezim pasar bebas, tingkat stabilitas harga menunjukkan nilai yang paling rendah. Artinya, harga beras di level konsumen relatif tidak stabil dibandingkan rezim orde baru dan rezim pasar terbuka terkendali Kebijakan Pemerintah dan Peningkatan Produksi Kebijakan perberasan nasional pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri, guna mencapai kemandirian pangan. Hanya saja, dalam menentukan suatu kebijakan pangan, Pemerintah seringkali dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Di satu sisi Pemerintah perlu menjamin harga gabah/beras yang tinggi di level petani, sehingga petani tetap memiliki insentif untuk menanam padi di musim tanam berikutnya. Di sisi lain, Pemerintah harus memastikan harga beras yang terjangkau di level konsumen. Produksi padi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (1) luas areal tanam, (2) produktivitas lahan, (3) harga jual gabah/beras, dan (4) tingkat pendapatan petani. Seluruh kebijakan perberasan nasional, mulai dari kebijakan produksi, kebijakan harga, kebijakan impor, dan kebijakan distribusi, saling terkait dalam mempengaruhi faktor-faktor di atas. Kebijakan produksi akan secara langsung berpengaruh terhadap luas areal tanam dan produktivitas lahan. Kebijakan produksi juga secara tidak langsung akan berimplikasi terhadap harga beras/gabah, sebagaimana hukum penawaran yang berlaku. Sebaliknya, kebijakan harga, kebijakan impor dan kebijakan distribusi justru akan mempengaruhi harga gabah/beras

77 62 dan pendapatan petani secara langsung, serta memiliki dampak tidak langsung terhadap luas areal tanam dan produktivitas lahan. Akibatnya, perubahan pada salah satu kebijakan akan mempengaruhi kinerja kebijakan lainnya. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan luas areal panen relatif stagnan. Pertumbuhan luas areal panen lebih besar terjadi di luar Jawa, sementara di pulau Jawa justru luas areal panen cenderung berkurang (Pratiwi, 2008). Peningkatan pembangunan ekonomi yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa menjadi penyebab terjadinya konversi lahan pertanian menjadi areal industri atau pemukiman. Padahal produktivitas lahan di pulau Jawa relatif lebih baik dibandingkan di luar Jawa, akibat faktor kesesuaian lahan, iklim, serta infrastruktur irigasi yang baik untuk produksi tanaman padi. Berikut adalah perbandingan pertumbuhan luas areal panen, produktivitas lahan, dan produksi beras nasional. Gambar 3.7. Pertumbuhan Luas Areal Tanam Padi di Indonesia Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali

78 63 Gambar 3.8. Pertumbuhan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali Gambar 3.9. Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali Berdasarkan Gambar di atas dapat dilihat bahwa peningkatan produksi padi/beras nasional nampaknya lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas lahan dibandingkan oleh penambahan luas areal tanam. Peningkatan produktivitas lahan tidak terlepas dari berbagai kebijakan produksi yang ditetapkan Pemerintah, seperti program bantuan benih unggul dan subsidi pupuk yang sudah mulai diberikan Pemerintah sejak tahun 1979 melalui program Panca Usahatani. Efektivitas kebijakan peningkatan produktivitas lahan secara nyata dapat dilihat pada tahun Sejak

79 64 tahun 2007, Pemerintah secara intensif memberikan berbagai bantuan benih unggul dan subsidi pupuk kepada petani guna meningkatkan produktivitas lahannya. Dampaknya sejak tahun 2007 produksi padi/beras Indonesia cenderung meningkat, meskipun luas areal tanam menunjukkan trend yang relatif stagnan. Efektivitas kebijakan produksi dalam bentuk program bantuan benih unggul dan pupuk dijelaskan pula dalam penelitian Pratiwi (2008), yang menyebutkan bahwa penggunaan bibit unggul dan faktor pemupukan merupakan faktor input yang sangat mempengaruhi produktivitas lahan dan produksi padi/beras. Dalam hal kebijakan harga, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, sejak tahun 1998 Pemerintah mulai berusaha melepaskan harga jual gabah di level petani ke mekanisme pasar. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan harga jual gabah di level petani, karena umumnya harga beras luar negeri masih lebih rendah dibandingkan harga di dalam negeri. Dengan harga gabah yang rendah, pendapatan yang diterima petani pun akan berkurang. Apabila kondisi ini dibiarkan dikhawatirkan petani akan tidak lagi berminat untuk menanam padi dan kemudian menjual sawahnya. Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan terjadinya penurunan luas areal tanam padi di Jawa.

80 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian serta data-data yang diperlukan dalam penelitian Cakupan Penelitian Dalam penelitian ini akan dianalisa kinerja saluran pemasaran beras di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan analisa transmisi pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di level petani terhadap harga beras di level konsumen. Adapun metode analisis yang digunakan adalah Asymmetric Price Transmission dengan model Asymmetric Error Correction (AECM). Kinerja saluran pemasaran beras dikatakan tidak efisien apabila terjadi fenomena Asymmetric Price Transmission antara harga GKP petani dengan harga beras konsumen, baik jangka pendek ataupun jangka panjang. Sebelum masuk ke tahap pengujian asimetris, dilakukan pengujian stasioneritas dan pengujian kointegrasi untuk mengetahui karakteristik series data. Setelah identifikasi karakteristik data dilakukan, maka selanjutnya dilakukan pengujian kausalias untuk mengetahui arah hubungan transmisi harga. Dalam penelitian ini pengujian kausalitas dilakukan secara statistic dengan metode Granger causality test, yang kemudian dibandingkan dengan pendekatan teori.. Untuk pengujian transmisi harga asimetri dilakukan dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) yang dikembangkan oleh Granger- Lee (1989) dan Von Cramon-Taubadel & Loy (1996), yang merupakan model dinamis. Dikatakan model dinamis karena ECM tidak hanya melihat proses 65

81 66 transmisi harga jangka pendek 17, tetapi juga mempertimbangkan proses penyesuaian harga terhadap keseimbangan jangka panjang. Model ECM yang dikembangkan oleh Granger dan Lee dalam analisa transmisi harga asimetris adalah menggunakan persamaan sebagai berikut (Acquah & Onumah, 2010) : (4.1) (ECT t-1 = P A,t-1 - α - γp B,t-1 ) (4.2) dimana merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang dan. Oleh karena model ECM pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsep kointegrasi, maka keseimbangan jangka panjang antara dua series harga adalah pada saat kedua series harga tersebut saling terkointegrasi, dimana pergerakan harga di salah satu series memiliki pola yang sama dengan pergerakan series harga lainnya. Pada saat pergerakan harga menyimpang dari pola/keseimbangan jangka panjang yang seharusnya, maka penyimpangan tersebut akan dimasukan sebagai bentuk error (ECT). Dalam model transmisi harga asimetris, ECT kemudian dipisahkan dalam bentuk positif ( ) dan negatif ( ). menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan, dan menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah garis keseimbangan. Kondisi asimetris ditentukan dengan membandingkan keidentikan koefisien dan. Von Cramon-Taubadel dan Loy kemudian mengembangkan model dinamis yang lebih kompleks, dengan menggabungkan model statis Houck dan model ECM Granger-Lee. Melalui model ini, transmisi harga asimetris dapat 17 Transmisi harga jangka pendek, disebut juga model statis, adalah hanya melihat efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga. Model statis transmisi harga asimetris dikembangkan oleh Houck. Model ini dinilai kurang valid untuk digunakan pada data yang memiliki hubungan kointegrasi.

82 67 dipisahkan antara transmisi jangka pendek dengan transmisi jangka panjang. Persamaan model ECM yang dikembangkan Von Cramon-Taubadel dan Loy adalah sebagai berikut (Alam et al., 2010) : (4.3) Pada model ini, hipotesa transmisi harga asimetris akan ditolak apabila koefisien positif dengan koefisien negatif terbukti tidak identik secara statistik. Pengujian koefisien dilakukan baik terhadap koefisien jangka pendek ( = dan = ) maupun koefisien jangka panjang ( = ). Aplikasi metode tersebut dalam analisa transmisi harga untuk produk-produk pertanian menjadi sangat popular. Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al. (2012). Hassouneh et al. membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi dalam dua data series harga. Mereka menyimpulkan bahwa VECM dan ECM adalah model yang valid untuk menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada saat persamaan jangka panjangnya menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan VECM dan ECM yang biasa tidak dapat digunakan sehingga diperlukan metode AVECM atau AECM 18. Dengan mengacu pada berbagai literatur penelitian sebelumnya, maka pendekatan yang digunakan dalam analisa integrasi pasar dan transmisi harga antara harga GKP petani terhadap harga beras konsumen adalah dengan menggunakan AECM model Granger-Lee (persamaan (4.1)) dan model Von Cramon Taubadel & Loy (persamaan (4.3)). Melalui kedua model tersebut diharapkan akan lebih tergambarkan apakah proses transmisi harga asimetris 18 Untuk kasus persamaan jangka panjang yang tidak linear, aplikasi model AVECM sama validnya dengan model Threshold Vector Error Correction (TVECM) maupun model Smooth Transition Vector Error Correction (STVECM).

83 68 terjadi dalam jangka pendek, dalam jangka panjang, atau keduanya. Model AECM digunakan dengan asumsi arah hubungan harga yang terjadi adalah satu arah. Sehingga apabila hasil pengujian kausalitas menunjukkan arah hubungan yang terjadi adalah dua arah, maka pengujian model asimetri hanya mengambil salah satu arah transmisi, dengan menyesuaikan pada karakteristik industri beras Indonesia. Pemilihan sampel data harga GKP dan harga beras didasarkan pada data harga bulanan rata-rata dari bulan Januari 2000 sampai dengan bulan Desember 2011 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Harga GKP digunakan dalam penelitian ini mengingat sebagian besar (45%) produk yang dijual oleh petani adalah dalam bentuk GKP 19. Untuk harga beras, data yang digunakan adalah harga beras eceran umum, tanpa memperhatikan jenis beras yang dijual. Harga tersebut dipilih karena adanya keterbatasan data sekunder yang tersedia. Dalam publikasi data harga eceran beras BPS, jenis beras yang dipasarkan di setiap provinsi berbeda-beda. Sebagai gambaran, beras jenis IR64 di wilayah Indonesia Timur tidak dipasarkan. Sehingga data harga beras di level konsumen digunakan data harga eceran umum, karena pengambilan data harga yang dibatasi pada jenis beras tertentu dikhawatirkan akan mengurangi validitas hasil analisa Metode Analisis Pendekatan statistik yang digunakan pada asymmetric vertical price transmission mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga di salah satu level pemasaran bereaksi terhadap perubahan harga (shock) di level yang lain. Analisa dapat dilakukan dari hulu ke hilir, yaitu melihat reaksi harga hilir terhadap shock yang terjadi di hulu, maupun sebaliknya dari hilir ke hulu, tergantung karakteristik industrinya. Analisa transmisi harga dari hulu ke hilir umumnya dilakukan apabila karakteristik industrinya adalah supply 19 Working Paper BI Edisi WP/07/2008, Juni 2008, Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi,

84 69 shifted, dimana perubahan harga lebih besar ditentukan oleh sisi penawaran. Sebaliknya, analisa transmisi harga dari hilir ke hulu dilakukan pada industri dengan karakteristik demand shifted. Dalam penelitian ini analisa transmisi harga dilakukan secara satu arah, yaitu dengan melihat perubahan dan proses transmisi harga di hilir (konsumen) akibat shock harga yang terjadi di hulu (petani). Dengan kata lain analisa transmisi harga dilakukan dari hulu ke hilir. Asumsi ini digunakan dengan melihat karakteristik perdagangan beras yang merupakan bahan pangan pokok yang sifatnya musiman, dimana harga beras lebih banyak ditentukan oleh pergerakan di sisi supply dibandingkan sisi demand. Transmisi harga vertikal dikatakan asimetris apabila terjadi perbedaan respon harga di salah satu level pemasaran akibat adanya shock kenaikan atau penurunan harga di level yang lain. Pendekatan asymmetric vertical price transmission digunakan dalam penelitian ini dengan melihat kondisi pergerakan harga GKP petani dengan harga beras konsumen selama periode tahun , dimana gap kedua data harga tersebut menunjukkan kecenderungan yang semakin melebar. Model pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Asymmetric Error Correction Model (AECM). Melalui AECM, transmisi harga asimetris dapat dipisahkan antara pola jangka pendek dengan pola jangka panjang. Dengan demikian dugaan adanya penyalahgunaan market power sebagai faktor penyebab transmisi harga asimetris dapat lebih mudah diidentifikasi. Apabila transmisi harga asimetris terjadi hanya pada jangka pendek, sementara pada jangka panjang proses transmisinya menunjukkan pola simetris, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab transmisi harga lebih disebabkan oleh faktor adjustment cost/menu cost atau skala ekonomi. Faktor market power hanya akan berpengaruh terhadap proses transmisi harga dalam jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga asimetris pada jangka panjang siginifikan, maka dapat dipastikan transmisi harga asimetris tersebut

85 70 disebabkan oleh adanya penyalahgunaan market power yang dilakukan pedagang perantara Tahapan Pengujian Beberapa faktor dibutuhkan dalam menghasilkan model persamaan yang dapat diandalkan. Faktor tersebut meliputi pengujian stasioneritas, pengujian kointegrasi, pengujian kausalitas, dan terakhir pengujian transmisi harga asimetris dengan AECM Tes Stasioner Uji stasioneritas dilakukan untuk menguji karakteristik data yang digunakan. Pengujian ini diperlukan mengingat data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series. Stasioneritas terkait erat dengan konsistensi pergerakan data time series. Suatu data dikatakan stasioner apabila nilai parameter statistiknya (nilai rata-rata dan varians) konstan sepanjang waktu, diikuti dengan nilai covarians antar dua periode waktu yang hanya bergantung pada selang diantara keduanya. Sebaliknya, data time series dikatakan tidak stasioner apabila terdapat tren pada nilai rata-rata atau variannya. Menurut Granger & Newbold (1974) dalam Vavra & Goodwin (2005), regresi dengan menggunakan data yang tidak stasioner akan mengarah pada regresi lancung (spurious regression). Permasalahan ini muncul akibat adanya tren (pergerakan yang menurun maupun meningkat) yang kuat dari variabel dependen dan independen dalam runtun waktu. Tren tersebut akan menghasilkan nilai R 2 yang tinggi, dimana secara statistik dapat diartikan adanya hubungan antar variabel yang siginifikan, namun hasil tersebut tidak memiliki arti ekonomi apapun. Apabila data time series diturunkan pada tingkat pertama (first difference) dan baru menunjukkan hasil yang stasioner, maka data

86 71 series tersebut dikatakan terintegrasi pada ordo 1 atau dinotasikan dengan I(1). Secara umum, apabila data time series harus diturunkan sebanyak d kali agar stasioner, maka data tersebut dapat dinotasikan dalam bentuk I(d). Uji stasioneritas yang paling berkembang adalah uji akar unit (unit root test). Suatu data time series dikatakan tidak stasioner apabila memiliki unit root. Terdapat berbagai metode untuk melakukan uji unit root, diantaranya Dickey-Fuller Unit Root Test (DF), Augmented Dickey-Fuller Test (ADF), dan Philips Perron Test (PP). Dalam penelitian ini, akan digunakan tes ADF dan tes PP untuk menguji stasioneritas dari data. Tes ADF mengikuti persamaan berikut : (4.4) dimana P t adalah series harga, adalah turunan pertama (P t - P t-1 ), dan ε t merupakan notasi untuk error terms. Hipotesis nol yang diuji adalah persamaan memiliki unit root (ρ = 0), dengan hipotesis tandingannya adalah persamaan stasioner (ρ < 0). Sementara untuk tes PP mengikuti spesifikasi berikut : (4.5) dimana P t adalah series harga, adalah tren waktu, T adalah ukuran sampel, dan v t adalah white noise error term. Hipotesis nol yang diuji sama dengan tes ADF, yaitu persamaan memiliki unit root (ρ = 0), dan hipotesis tandingannya adalah persamaan stasioner (ρ < 0).

87 Tes Kointegrasi Tahap selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, regresi yang dilakukan terhadap data non stasioner akan menyebabkan permasalahan regresi lancung dan tidak konsisten. Padahal umumnya data data ekonomi memiliki karakteristik tidak stasioner. Oleh sebab itu, untuk melihat kecenderungan pergerakan data antara dua variabel yang tidak stasioner, namun bergerak secara bersama-sama dalam jangka panjang, digunakan uji kointegrasi. Uji kointegrasi merupakan pengujian model stasioner pada nilai residual yang dihasilkan dari persamaan yang menggunakan data tidak stasioner. Dengan kata lain, dua data time series yang tidak stasioner dapat terkointegrasi apabila tingkat penyimpangan dari masing-masing data tetap memiliki karakteristik yang stasioner dan menunjukkan pola keseimbangan jangka panjang (terkointegrasi). Pergerakan data antara dua variabel dikatakan terkointegrasi apabila kedua data tersebut bergerak secara bersama-sama dalam jangka panjang, meskipun dalam jangka pendek pergerakannya terkesan menjauh. Dengan demikian, analisa kointegrasi merupakan metode yang valid digunakan untuk mengestimasi hubungan ekonomi jangka panjang antar variabel yang terintegrasi, meskipun variabel tersebut tidak stasioner. Dalam analisa transmisi harga asimetris dengan VECM, uji kointegrasi merupakan salah satu prasyarat untuk dapat melanjutkan analisa ke tahap pengujian (V)ECM. Pada metode (V)ECM, data time series yang tidak stasioner dapat digunakan sepanjang data tersebut terkointegrasi (memiliki hubungan jangka panjang atau terjadi ekuilibrium dalam jangka panjang).

88 73 Pengujian kointegrasi pada penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan hubungan jangka panjang antara variabel harga GKP dan variabel harga beras konsumen. Model pengujian kointegrasi yang digunakan dalam penelitian adalah berdasarkan metode Johansen (1988) dan Johansen & Juselius (1990), yang dikenal dengan maximum likelihood (Vavra & Goodwin, 2005, hal ). Berdasarkan metode Johansen, uji kointegrasi diawali dengan model vector autoregressive (VAR) tradisional untuk menentukan jumlah lag yang optimal, berdasarkan uji likelihood ratio atau AIC. Lag optimal tersebut digunakan untuk mengestimasi VECM dan menentukan peringkat dari matriks parameter. Persamaan kointegrasi model VECM adalah sebagai berikut : P t = P t-1 + Γ 1 P t Γ k-1 P t-k+1 + ε t (4.6) dimana P t = (P 1t P 2t ) 3 adalah vektor dari variabel harga I(1), ε t adalah vektor dari error terms dan Γ i menunjukkan dinamika jangka pendek dari data harga. Matriks menunjukan informasi hubungan kointegrasi antara dua variabel yang tidak stasioner di P t. Berdasarkan metode Johansen, VECM diestimasi dengan menggunakan maximum likelihood L max (r) yang merupakan fungsi dari peringkat kointegrasi r. Untuk menguji adanya hubungan jangka panjang antar variabel, terdapat 2 (dua) metode pengujian yaitu trace test dan maximum eigenvalue test. Apabila nilai trace statistic (TS) dan maximal eigenvalue (ME) melebihi nilai t-statistik maka hipotesis nol ditolak. Dengan kata lain terdapat hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang dianalisa. Pengujian TS mengikuti persamaan berikut : λ trace = T ln(1 λ 2 i) (4.7)

89 74 dimana T merupakan jumlah observasi dan λ i adalah nilai karakteristik akar dari. Hipotesis nol yang digunakan pada pengujian TS adalah peringkat kurang dari atau sama dengan r, dengan hipotesis tandingannya adalah peringkat lebih dari r. Sementara pengujian ME dilakukan dengan persamaan berikut : λ max = T ln(1 λ r+1 ) (4.8) dimana hipotesis nol yang diuji adalah peringkat = r, dengan hipotesis tandingannya adalah peringkat = r Tes Kausalitas Pengujian kausalitas dalam analisa transmisi harga bertujuan untuk memastikan arah hubungan sebab-akibat antara variabel variabel yang diuji. Dalam kasus analisa transmisi harga vertikal, uji kausalitas digunakan untuk melihat apakah sumber transmisi harga berasal dari hulu (farm gate) atau berasal dari hilir (konsumen). Pengujian kausalitas menjadi salah satu tahapan penting karena menurut Gardner (1975) dalam Kinnucan & Forker (1987) elastisitas transmisi harga yang berasal dari farm gate (disebabkan oleh pergeseran kurva penawaran/supply sifted) akan berbeda dengan elastisitas transmisi harga yang disebabkan oleh pergeseran kurva permintaan (demand shifted). Menurut Bernard & Willet (1996) setidaknya terdapat 2 (dua) metode untuk menentukan arah hubungan sebab-akibat antara variabelvariabel. Pertama, pengujian kausalitas secara statistik, dengan menggunakan uji Granger seperti yang dilakukan oleh Bailey & Brorsen (1989), Aguiar & Santana (2002), dan Bernard & Willet (1996). Kedua, menentukan arah kausalitas secara ad hoc berdasarkan karakteristik pasar yang terbentuk. Caranya adalah dengan melihat apakah perubahan harga lebih sering disebabkan oleh perubahan

90 75 fungsi permintaan (demand-pull forces) atau perubahan fungsi penawaran (cost-push forces). Penelitian yang menggunakan metode kedua dalam menentukan arah kausalitas antara lain Kinnucan & Forker (1987). Metode pengujian kausalitas untuk analisa transmisi harga masih menjadi perdebatan. Beberapa ekonom berpendapat bahwa metode pertama dianggap lebih valid secara statistik dan lebih disarankan untuk digunakan. Namun, sebagian ekonom berpendapat bahwa uji Granger pun sebenarnya tidak dapat memastikan bahwa satu variabel mempengaruhi variabel lainnya, karena uji Granger hanya memprediksi nilai saat ini dari suatu variabel dengan melihat nilai masa lalu variabel lainnya. Selain itu, Alam et al., (2010) menyebutkan bahwa uji kausalitas Granger konvesional tidak valid untuk digunakan apabila dua atau lebih variabel saling terkointegrasi. Dalam penelitian ini, metode pengujian secara statistik maupun ad hoc akan dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas antar harga GKP Petani dengan harga eceran beras konsumen. Apabila hasil pengujian secara statistik dengan metode Granger menunjukkan hubungan kausalitas dua arah, maka arah transmisi harga dalam pengujian transmisi harga asimetri di tahap selanjutnya diasumsikan terjadi satu arah yaitu dari petani ke konsumen, dan tidak sebaliknya. Asumsi tersebut diambil dengan mempertimbangkan karakteristik produk pertanian pada umumnya, dimana penentuan harga beras lebih banyak dipengaruhi oleh faktor penawaran dibandingkan perubahan permintaan. Selain itu, sebagai komoditas pangan utama, maka dapat dipastikan jumlah permintaan beras di Indonesia relatif stabil. Sehingga shock akibat perubahan kurva permintaan jarang terjadi, kecuali apabila terjadi perubahan jumlah populasi yang signifikan.

91 Model Simetris Error Correction Model (ECM) Konsep dasar metode ECM mengacu pada bentuk error correction. Menurut Engle & Granger (1987) dalam Hassouneh et al. (2012), kointegrasi yang terjadi antara dua variable yang tidak stasioner mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi terhadap peubah bebas (dependent variable) tidak hanya dipengaruhi oleh peubah tidak bebas (explanatory variables), tetapi juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi antara keduanya (penyimpangan). Ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi ini ditujukan oleh nilai error correction term. Engle & Granger menunjukkan bahwa kointegrasi antara data time series yang tidak stasioner akan menghasilkan bentuk error correction yang valid pada time series tersebut. Bentuk error correction dianggap lebih efisien untuk merepresentasikan hubungan kointegrasi antara dua series data. Hal ini disebabkan metode tersebut mampu merepresentasikan keseimbangan jangka panjang suatu sistem, dinamika ketidakseimbangan jangka pendek, dan pola penyesuaian menuju keseimbangan secara sekaligus. Dalam penelitian ini, hubungan antara harga GKP petani dengan harga beras konsumen direpresentasikan dalam persamaan : (4.9) dimana RP adalah harga beras di level konsumen (ritel), PP adalah harga GKP di level petani, t adalah tren waktu, dan ε adalah error term. Persamaan tersebut dapat diubah menjadi bentuk VECM bivariate berikut : (4.10)

92 77 (4.11) dimana : α. γ = parameter dari vektor kointegrasi, = white noise disturbances,,,,, = parameter dinamika jangka pendek, = parameter untuk mengukur ratio penyesuaian harga yang menyimpang dari keseimbangan hubungan kointegrasi jangka panjang. = RP t-1 - α - γpp t-1 merupakan hubungan keseimbangan jangka panjang antara harga GKP dan harga beras konsumen. Residual dari persamaan tersebut merepresentasikan deviasi dari hubungan keseimbangan, atau disebut juga engan error correction term (ECT) Tes Asimetri Apabila persamaan VECM di atas linear dan stasioner, maka seluruh variabel pada persamaan di atas bersifat stasioner dan VECM merupakan model yang valid untuk merepresentasikan hubungan jangka panjang antar harga dan mengkoreksi deviasi dinamika jangka pendek dari keseimbangan jangka panjang. Namun, apabila persamaan jangka panjang tersebut menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan VECM di atas tidak valid untuk digunakan pada analisa transmisi harga. Persamaan VECM, dalam analisa transmisi harga, dikatakan linear dalam 2 (dua) makna. Pertama, linear dalam arti seluruh parameter dalam model diasumsikan konstan sepanjang periode sampling.

93 78 Kedua, linear dalam arti variabel left-hand-side (LHS) bereaksi secara linear terhadap perubahan variabel right-hand-side (RHS). Untuk kasus transmisi harga vertikal, umumnya transmisi harga menunjukkan pola yang berbeda (asimetris), tergantung apakah shock yang terjadi berupa kenaikan harga atau penurunan harga. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan reaksi harga di LHS tidak linear terhadap perubahan harga yang terjadi di RHS. Oleh karena itu perlu menggunakan model VECM yang non-linear, yaitu Asymmetric Vector Error Correction Model (AVECM). Namun, karena dalam penelitian ini diasumsikan arah transmisi harga terjadi secara satu arah (dari hulu ke hilir) maka model AVECM diubah menjadi model AECM. Granger & Lee (1989) mengembangkan model error correction yang standar menjadi model yang mampu melakukan penyesuaian asimetris dengan cara memisahkan ECT ke dalam komponen positif (untuk ECT yang berada di atas garis keseimbangan jangka panjang 20 ) dan negatif (untuk ECT yang berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang 21 ). Model tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh von Cramon-Taubadel&Loy (1996) menjadi model yang lebih kompleks, dengan turut memasukan variabel transmisi harga jangka pendek dalam model. (Acquah & Onumah, 2010, hal ). Terdapat 2 (dua) persamaan AECM yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu : dan (4.12) 20 ECT dikatakan berada di atas garis keseimbangan apabila perubahan penurunan harga di level petani tidak diikuti oleh perubahan (penurunan) harga di level konsumen. 21 ECT dikatakan berada di atas garis keseimbangan apabila perubahan kenaikan harga di level petani tidak diikuti oleh perubahan (kenaikan) harga di level konsumen.

94 79 (4.13) ( = RP t-1 - α - γpp t-1 ) (4.14) Untuk melihat dugaan asimetri dalam transmisi harga maka digunakan Wald test, dengan membandingkan signifikansi antara koefisien positif dengan koefisien negatif. Dugaan adanya penyalahgunaan market power dapat dilihat dari koefisien jangka panjangnya ( dan ataupun dan ). Apabila koefisien tersebut signifikan berbeda artinya dalam jangka panjang terjadi transmisi harga yang tidak simetris, antara shock positif dengan shock negatif, yang diakibatkan adanya penyalahgunaan market power. Sementara koefisien,,, dan dapat menggambarkan pola transmisi harga jangka pendek. Apabila dan, artinya terjadi transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh faktor adjustment cost dan/atau return to scale. Analisa asimetri yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi atas 2 (dua) hal, yaitu analisa terhadap data dan analisa terhadap faktor penyebab transmisi harga tidak simetris. Analisa terhadap faktor penyebab dilakukan secara kualitatif dengan mengaitkan pada struktur pasar dan perilaku pedagang perantara. Tahapan analisa secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

95 80 Uji Unit Root (ADF test dan PP test) Unit root pada level yang berbeda Kesimpulan: tidak ada integrasi (Granger causality test) I(1) Uji Kointegrasi Antara Data Harga (Johansen test) Terkointegrasi Uji Kausalitas tidak I(0) Estimasi autoregressive distribute lagged model (ARDL) (Granger causality test) Estimasi Model Simetris (ECM) Estimasi Model Asimetris, dengan memisahkan perubahan harga naik&turun serta nilai residual keseimbangan jangka panjang positif&negatif Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Keseluruhan Gambar 4.1. Tahapan Analisa 4.4. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, model yang digunakan untuk menjelaskan fenomena transmisi harga tidak simetris antara level petani dengan level konsumen adalah menggunakan model ECM. Meyer & von Cramon-Taubadel (2004) serta Karantininis et al (2011) menyebutkan bahwa analisa transmisi harga dengan konsep kointegrasi dan ECM pada dasarnya hanya mampu menjelaskan fenomena transmisi harga tidak simetris dari sisi waktu, sementara dalam hal besaran tidak dapat dijelaskan dalam model. Hal ini

96 81 disebabkan konsep kointegrasi pada dasarnya melihat pola keseimbangan jangka panjang. Apabila terjadi transmisi harga yang tidak simestris dari sisi besaran maka kedua data time series akan saling menjauh dalam jangka panjang, sehingga tidak akan menunjukkan pola yang terkointegrasi. Oleh sebab itu, fenomena transmisi harga tidak simetris yang dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada fenomena asimetris dari sisi waktu penyesuaian.

97 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisa Data Deskriptif Penelitian ini menggunakan data harga gabah kering panen (GKP) di level petani dan data harga beras eceran di level konsumen. Seluruh data dalam bentuk harga bulanan untuk periode Januari 2000 sampai Desember 2011, yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data harga GKP digunakan dengan pertimbangan bahwa sebagian besar (45%) produk yang dijual oleh petani adalah dalam bentuk GKP. Sementara untuk harga beras eceran digunakan data harga beras rata-rata seluruh Provinsi (harga beras umum), tanpa memperhatikan jenis berasnya. Berikut adalah pergerakan harga GKP dan harga beras eceran di Indonesia selama periode tahun Gambar 5.1. Pergerakan Harga GKP Petani dan Harga Beras Eceran Konsumen Periode Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali Berdasarkan Gambar 5.1 di atas dapat dilihat bahwa harga GKP di level petani dan harga beras eceran di level konsumen pada periode relatif stabil, meskipun disparitas harganya cenderung besar. Sejak tahun 2005, harga GKP dan harga beras eceran mulai menunjukkan kecenderungan terjadinya kenaikan harga. Namun fluktuasi harga pada 82

III. KERANGKA PENELITIAN

III. KERANGKA PENELITIAN 23 III. KERANGKA PENELITIAN 3.1 Teori Harga Harga merupakan sinyal utama yang menjadi arah bagi pengambilan keputusan produsen, konsumen dan dan pelaku pemasaran dalam pasar. Menurut Kohls & Uhl (2002),

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP EKSPOR KOMODITAS MINYAK KELAPA SAWIT (CRUDE PALM OIL) INDONESIA : KASUS INDONESIA - INDIA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK EKONOMI PERENCANAAN KOTA & DAERAH JAKARTA JULI 2010

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK EKONOMI PERENCANAAN KOTA & DAERAH JAKARTA JULI 2010 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS KEBERADAAN TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) BANTAR GEBANG BEKASI TESIS MARTHIN HADI JULIANSAH 0706181725 FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN HARGA JAGUNG DI PROVINSI LAMPUNG RATI PURWASIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA ANALISA VECTOR ERROR CORRECTION MODEL (VECM) PADA HUBUNGAN PENYALURAN KREDIT, KAPITALISASI PASAR MODAL DAN SUKU BUNGA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI (Studi Kasus di Indonesia Periode

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA DISPARITAS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ANTAR KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA DISPARITAS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ANTAR KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA DISPARITAS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) ANTAR KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS RAJA ISKANDAR MUDA RAMBE NPM: 0606038686 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

ANALISIS INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH MENGGUNAKAN METODE VECTOR ERROR CORRECTION MODEL

ANALISIS INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH MENGGUNAKAN METODE VECTOR ERROR CORRECTION MODEL ANALISIS INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH MENGGUNAKAN METODE VECTOR ERROR CORRECTION MODEL (VECM) (Studi Kasus: Harga Bawang Merah di Provinsi Jawa Tengah) SKRIPSI Disusun Oleh: RIZKY ADITYA AKBAR 24010212130056

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PASCASARJANA PENERIMA BEASISWA S2 DALAM NEGERI BPK-RI

UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PASCASARJANA PENERIMA BEASISWA S2 DALAM NEGERI BPK-RI UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PASCASARJANA PENERIMA BEASISWA S2 DALAM NEGERI BPK-RI TESIS YUNITA KUSUMANINGSIH NPM. 0806480920 FAKULTAS

Lebih terperinci

Analisis Integrasi Vertikal Pasar Beras di Indonesia Asih Kusumaningsih *)

Analisis Integrasi Vertikal Pasar Beras di Indonesia Asih Kusumaningsih *) Analisis Integrasi Vertikal..(Asih Kusumaningsih) Analisis Integrasi Vertikal Pasar Beras di Indonesia Asih Kusumaningsih *) Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Mengetahui tren harga beras eceran di Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PERANAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK DAERAH DI KABUPATEN SIDOARJO TESIS

TINJAUAN PERANAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK DAERAH DI KABUPATEN SIDOARJO TESIS UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN PERANAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK DAERAH DI KABUPATEN SIDOARJO TESIS TASNIWATI 0806480870 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA

Lebih terperinci

Khumaira *)1, Dedi Budiman Hakim **, dan Sahara **

Khumaira *)1, Dedi Budiman Hakim **, dan Sahara ** TRANSMISI HARGA KOPI ANTARA PASAR INDONESIA DENGAN PASAR TUJUAN EKSPOR UTAMA Khumaira *)1, Dedi Budiman Hakim **, dan Sahara ** *) Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEPOSITO MUDHARABAH BANK SYARIAH DI INDONESIA TAHUN TESIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEPOSITO MUDHARABAH BANK SYARIAH DI INDONESIA TAHUN TESIS UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEPOSITO MUDHARABAH BANK SYARIAH DI INDONESIA TAHUN 2002.1 2009.12 TESIS ARYANTO YUDHO 0706181233 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN

Lebih terperinci

TRANSMISI HARGA KOPI ANTARA PASAR INDONESIA DAN PASAR TUJUAN EKSPOR UTAMA KHUMAIRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

TRANSMISI HARGA KOPI ANTARA PASAR INDONESIA DAN PASAR TUJUAN EKSPOR UTAMA KHUMAIRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 T TRANSMISI HARGA KOPI ANTARA PASAR INDONESIA DAN PASAR TUJUAN EKSPOR UTAMA KHUMAIRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN

Lebih terperinci

Model Estimasi Price Earnings Ratio Saham Sektor Keuangan, Properti Dan Pertambangan Di Bursa Efek Indonesia TESIS

Model Estimasi Price Earnings Ratio Saham Sektor Keuangan, Properti Dan Pertambangan Di Bursa Efek Indonesia TESIS UNIVERSITAS INDONESIA Model Estimasi Price Earnings Ratio Saham Sektor Keuangan, Properti Dan Pertambangan Di Bursa Efek Indonesia TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat umtuk memperoleh gelar Magister

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH INOVASI SISTEM PEMBAYARAN TERHADAP PERMINTAAN UANG DI INDONESIA TESIS IMADUDDIN SAHABAT

UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH INOVASI SISTEM PEMBAYARAN TERHADAP PERMINTAAN UANG DI INDONESIA TESIS IMADUDDIN SAHABAT UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH INOVASI SISTEM PEMBAYARAN TERHADAP PERMINTAAN UANG DI INDONESIA TESIS IMADUDDIN SAHABAT 0706179310 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA DEPOK DESEMBER 2009 UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

TESIS. Siti Hidayati

TESIS. Siti Hidayati UNIVERSITAS INDONESIA JUDUL ANALISA HUBUNGAN KINERJA SISTEM KEUANGAN (PERBANKAN DAN PASAR MODAL) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERIODE 1999-2008 TESIS Siti Hidayati 0606012674 FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

RADIANA MAHAGA

RADIANA MAHAGA EVALUASI DAMPAK PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN TAHAP DUA (P2KP-2) DI JAWA BARAT TERHADAP TINGKAT KONSUMSI MASYARAKAT TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata

Lebih terperinci

ASIMETRI HARGA BERAS DI PASAR INTERNASIONAL DAN INDONESIA AMINATUS SOFIAH

ASIMETRI HARGA BERAS DI PASAR INTERNASIONAL DAN INDONESIA AMINATUS SOFIAH ASIMETRI HARGA BERAS DI PASAR INTERNASIONAL DAN INDONESIA AMINATUS SOFIAH DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 2 3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

Lebih terperinci

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2. Departemen Ekonomi, Institut Pertanian Bogor 3

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2. Departemen Ekonomi, Institut Pertanian Bogor 3 TRANSMISI HARGA ASIMETRI DALAM RANTAI PASOK BAWANG MERAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN IMPOR DI INDONESIA: STUDI KASUS DI BREBES DAN JAKARTA ASYMMETRIC PRICE TRANSMISSION IN SUPPLY CHAIN OF SHALLOT AND ITS RELATIONSHIP

Lebih terperinci

ANALISIS PERHITUNGAN KEBUTUHAN TELLER DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ANTRIAN PADA PT. BANK XYZ (STUDI EMPIRIK CABANG UTAMA) TESIS

ANALISIS PERHITUNGAN KEBUTUHAN TELLER DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ANTRIAN PADA PT. BANK XYZ (STUDI EMPIRIK CABANG UTAMA) TESIS ANALISIS PERHITUNGAN KEBUTUHAN TELLER DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ANTRIAN PADA PT. BANK XYZ (STUDI EMPIRIK CABANG UTAMA) TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S2 JUSTINA SUSILONINGSIH

Lebih terperinci

MENCARI BENTUK IDEAL KERJA SAMA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA TESIS

MENCARI BENTUK IDEAL KERJA SAMA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA MENCARI BENTUK IDEAL KERJA SAMA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA TESIS IKA ESTI KURNIAWATI 0706305495 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM JAKARTA JUNI 2010

Lebih terperinci

Universitas Indonesia

Universitas Indonesia Universitas Indonesia ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PESERTA PROGAM (Studi Kasus : Kecamatan Cilincing Kotamadya Jakarta Utara) T E S I S RAMA CHANDRA 0706305980 FAKULTAS

Lebih terperinci

ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS 10 PROVINSI DI INDONESIA SELLY YANTY NANSYAH PUTRI

ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS 10 PROVINSI DI INDONESIA SELLY YANTY NANSYAH PUTRI ASIMETRI HARGA BERAS : STUDI KASUS 10 PROVINSI DI INDONESIA SELLY YANTY NANSYAH PUTRI DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS STRATEGI KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI KESEPAKATAN AFTA HAKA AVESINA ASYKUR

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS STRATEGI KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI KESEPAKATAN AFTA HAKA AVESINA ASYKUR UNIVERSITAS INDONESIA TESIS STRATEGI KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI KESEPAKATAN AFTA HAKA AVESINA ASYKUR 0806438534 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM PASCA SARJANA

Lebih terperinci

TESIS SANTI SRI HANDAYANI UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA JAKARTA DESEMBER 2009

TESIS SANTI SRI HANDAYANI UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA JAKARTA DESEMBER 2009 IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK KONSUMEN DALAM PELAYANAN AIR MINUM PDAM TIRTA PAKUAN KOTA BOGOR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TESIS SANTI SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN KEKHUSUSAN MANAJEMEN OPERASI JAKARTA JULI 2009

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN KEKHUSUSAN MANAJEMEN OPERASI JAKARTA JULI 2009 ANALISIS INDUSTRI DAN KEUNGGULAN BERSAING MELALUI PENGEMBANGAN RESOURCES DAN CAPABILITIES DALAM PENERAPAN ECONOMIES OF SCALE DAN EXPERIENCE CURVE DI INDUSTRI MANUFAKTUR VELG ALUMINIUM (STUDI KASUS PT.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS RAWAT INAP TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSCM DENGAN METODE SERVQUAL TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS RAWAT INAP TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSCM DENGAN METODE SERVQUAL TESIS UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS RAWAT INAP TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSCM DENGAN METODE SERVQUAL TESIS APRIYAN LESTARI PRATIWI 0806480460 FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA ANALISIS PENGARUH OPINI AUDIT WAJAR TANPA PENGECUALIAN DAN KETEPATAN WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN ASURANSI YANG GO PUBLIK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA EFEKTIVITAS SUNSET POLICY DALAM MENINGKATKAN TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK DAN PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA SAWAH BESAR DUA TESIS EHRMONS FISCA PURWA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian Fluktuasi harga merupakan permasalahan umum pada pemasaran produk pertanian. Menurut Kohls&Uhl (2002), penyebab instabilitas harga komoditas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (costless) karena pembeli (costumer) memiliki informasi yang sempurna dan

BAB 1 PENDAHULUAN. (costless) karena pembeli (costumer) memiliki informasi yang sempurna dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Biaya transaksi muncul akibat kegagalan pasar (Yeager, 1999: 29-30). Menurut Stone et al. (1996: 97), pasar yang selalu berjalan tanpa biaya apapun (costless) karena

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGARUH KREDIT PERBANKAN DAN TENAGA KERJA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA : ANALISIS SEKTORAL TAHUN 2002 2008 TESIS WIDITA KURNIASARI 0806430701 FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT

UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT TESIS YAGI SOFIAGY 0906586921 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA STRATEGI PT AKR CORPORINDO TBK MEMASUKI BISNIS BBM DI INDONESIA TESIS RICHARD YAURI TAHA

UNIVERSITAS INDONESIA STRATEGI PT AKR CORPORINDO TBK MEMASUKI BISNIS BBM DI INDONESIA TESIS RICHARD YAURI TAHA UNIVERSITAS INDONESIA STRATEGI PT AKR CORPORINDO TBK MEMASUKI BISNIS BBM DI INDONESIA TESIS RICHARD YAURI TAHA 0706186474 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN NILAI TUKAR MATA UANG TERHADAP KINERJA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA BERDASARKAN ANALISIS CAMELS PERIODE TAHUN 2002-2008 SKRIPSI Diajukan sebagai

Lebih terperinci

ABSTRAK. mengambil perspektif pasar modal, dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan mengunakan data time series dari kuartal pertama 2000 sampai

ABSTRAK. mengambil perspektif pasar modal, dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan mengunakan data time series dari kuartal pertama 2000 sampai ABSTRAK Penelitian ini menguji hubungan kausalitas antara pasar uang, dengan mengambil perspektif pasar modal, dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan mengunakan data time series dari kuartal pertama

Lebih terperinci

PENGARUH DAYA TARIK IKLAN ONLINE TERHADAP PERILAKU PEMBELIAN IMPULSIF PADA GENERASI MILENIAL TUGAS AKHIR

PENGARUH DAYA TARIK IKLAN ONLINE TERHADAP PERILAKU PEMBELIAN IMPULSIF PADA GENERASI MILENIAL TUGAS AKHIR PENGARUH DAYA TARIK IKLAN ONLINE TERHADAP PERILAKU PEMBELIAN IMPULSIF PADA GENERASI MILENIAL TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Manajemen FABIAN BAHAR LAUT 1131001046

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang mempunyai peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS HUBUNGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN FDI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA SKRIPSI

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS HUBUNGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN FDI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS HUBUNGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN FDI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Andrian

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA PENGGUNAAN SISTEM RESI GUDANG SEBAGAI JAMINAN BAGI PERBANKAN DI INDONESIA TESIS DINA RIANA

UNIVERSITAS INDONESIA PENGGUNAAN SISTEM RESI GUDANG SEBAGAI JAMINAN BAGI PERBANKAN DI INDONESIA TESIS DINA RIANA UNIVERSITAS INDONESIA PENGGUNAAN SISTEM RESI GUDANG SEBAGAI JAMINAN BAGI PERBANKAN DI INDONESIA TESIS DINA RIANA 0806425185 FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER HUKUM EKONOMI JAKARTA JULI 2010 HALAMAN PENGESAHAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAN KUALITAS PENGUNGKAPAN INFORMASI TERHADAP RETURN SAHAM TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAN KUALITAS PENGUNGKAPAN INFORMASI TERHADAP RETURN SAHAM TESIS UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAN KUALITAS PENGUNGKAPAN INFORMASI TERHADAP RETURN SAHAM TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Akuntansi ARIF

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PADA INDUSTRI FREIGHT FORWARDING DENGAN INTEGRASI IPA DAN TAGUCHI TESIS

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PADA INDUSTRI FREIGHT FORWARDING DENGAN INTEGRASI IPA DAN TAGUCHI TESIS PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PADA INDUSTRI FREIGHT FORWARDING DENGAN INTEGRASI IPA DAN TAGUCHI TESIS NAMA : PRIYAMBODO NUR ARDI NUGROHO NPM : 0806 422 662 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM

Lebih terperinci

INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA

INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA 101 IX. INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA Meskipun industri minyak goreng sawit telah tersebar di 19 propinsi, sentra produksi minyak goreng yang utama masih terpusat di Indonesia

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA EVALUASI PERBANDINGAN NILAI VALUE AT RISK DENGAN DAN TANPA HEDGING MENGGUNAKAN METODE EXTREME VALUE THEORY UNTUK RISIKO KERUGIAN FLUKTUASI HARGA MINYAK MENTAH TESIS Diajukan sebagai

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Data sekuder adalah data yang diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansiinstansi

METODOLOGI PENELITIAN. Data sekuder adalah data yang diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansiinstansi 37 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Data sekuder adalah data yang diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansiinstansi tertentu dalam bentuk data publikasi yang berhubungan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN BADAN GABUNGAN KHUSUS UNTUK PENANGGULANGAN TEROR DI INDONESIA

PEMBENTUKAN BADAN GABUNGAN KHUSUS UNTUK PENANGGULANGAN TEROR DI INDONESIA i PEMBENTUKAN BADAN GABUNGAN KHUSUS UNTUK PENANGGULANGAN TEROR DI INDONESIA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains (M.Si) Ilmu Hubungan Internasional, Universitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit 48 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Kestasioneritasan Data Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang digunakan pada model. Langkah ini digunakan untuk menghindari masalah regresi lancung

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISA PENGEMBANGAN DAN DAMPAK INDUSTRI BIOETANOL DI JAWA TIMUR DENGAN METODE INPUT OUTPUT TESIS KULSUM

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISA PENGEMBANGAN DAN DAMPAK INDUSTRI BIOETANOL DI JAWA TIMUR DENGAN METODE INPUT OUTPUT TESIS KULSUM UNIVERSITAS INDONESIA ANALISA PENGEMBANGAN DAN DAMPAK INDUSTRI BIOETANOL DI JAWA TIMUR DENGAN METODE INPUT OUTPUT TESIS KULSUM 0806422605 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM PASCA SARJANA TEKNIK INDUSTRI DEPOK JUNI

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

KERANGKA PEMIKIRAN. transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara III. KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas, menganalisis harga dan integrasi pasar spasial tidak terlepas dari kondisi permintaan, penawaran, dan berbagai kebijakan

Lebih terperinci

ANALISIS KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KARTU KREDIT TERKAIT UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG KARTU KREDIT TESIS

ANALISIS KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KARTU KREDIT TERKAIT UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG KARTU KREDIT TESIS UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KARTU KREDIT TERKAIT UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG KARTU KREDIT TESIS Susi Handayani 0706305633 FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. KORELASI HARGA DAN DERAJAT INTEGRASI SPASIAL ANTARA PASAR DUNIA DAN PASAR DOMESTIK UNTUK KOMODITAS PANGAN DALAM ERA LIBERALISASI PERDAGANGAN (Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) Adreng Purwoto, Handewi P.S.

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA TECHNICAL EFFICIENCY PADA BANK YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA ( ) : APLIKASI PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER ANALYSIS

ANALISIS KINERJA TECHNICAL EFFICIENCY PADA BANK YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA ( ) : APLIKASI PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER ANALYSIS ANALISIS KINERJA TECHNICAL EFFICIENCY PADA BANK YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (2006 2007) : APLIKASI PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER ANALYSIS THESIS DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MERAIH

Lebih terperinci

PENGARUH PAJAK PENGHASILAN, UKURAN PERUSAHAAN, PROFITABILITAS DAN KOMPENSASI BONUS TERHADAP EARNINGS MANAGEMENT

PENGARUH PAJAK PENGHASILAN, UKURAN PERUSAHAAN, PROFITABILITAS DAN KOMPENSASI BONUS TERHADAP EARNINGS MANAGEMENT PENGARUH PAJAK PENGHASILAN, UKURAN PERUSAHAAN, PROFITABILITAS DAN KOMPENSASI BONUS TERHADAP EARNINGS MANAGEMENT PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2013-2015 SKRIPSI

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH FINANCIAL DEEPENING PADA SEKTOR PERBANKAN DAN PASAR MODAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TESIS AZHARI NORMAN

ANALISIS PENGARUH FINANCIAL DEEPENING PADA SEKTOR PERBANKAN DAN PASAR MODAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TESIS AZHARI NORMAN UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGARUH FINANCIAL DEEPENING PADA SEKTOR PERBANKAN DAN PASAR MODAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TESIS AZHARI NORMAN 0806429763 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER

Lebih terperinci

ANALISIS PENGUKURAN DAN PENGELOLAAN ECONOMIC EXPOSURE PADA PT. ABC TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S2

ANALISIS PENGUKURAN DAN PENGELOLAAN ECONOMIC EXPOSURE PADA PT. ABC TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S2 ANALISIS PENGUKURAN DAN PENGELOLAAN ECONOMIC EXPOSURE PADA PT. ABC TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S2 FRANSISCA DWIPUJININGSIH 06061611376 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Permasalahan pangan di sisi penyediaan saat ini adalah permintaan pangan yang tinggi seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, sementara pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI PRODUKSI PADI DI INDONESIA SKRIPSI. Oleh Fitria Ika Puspita Sari NIM

ANALISIS FUNGSI PRODUKSI PADI DI INDONESIA SKRIPSI. Oleh Fitria Ika Puspita Sari NIM ANALISIS FUNGSI PRODUKSI PADI DI INDONESIA SKRIPSI Oleh Fitria Ika Puspita Sari NIM. 051510201086 JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2010 ANALISIS FUNGSI PRODUKSI PADI

Lebih terperinci

TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum

TESIS. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum PENGUJIAN MATERIIL PERATURAN DESA (Kajian Normatif - Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 10 Th. 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DIKAITKAN DENGAN IKLAN-IKLAN YANG MENYESATKAN KONSUMEN TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DIKAITKAN DENGAN IKLAN-IKLAN YANG MENYESATKAN KONSUMEN TESIS TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DIKAITKAN DENGAN IKLAN-IKLAN YANG MENYESATKAN KONSUMEN TESIS F. INDRA SANTOSO A. 0706175956 FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER HUKUM HUKUM EKONOMI JAKARTA

Lebih terperinci

VOLATILITAS HARGA JAGUNG DALAM ERA PEMBANGUNAN EKONOMI PERTANIAN BERKELANJUTAN

VOLATILITAS HARGA JAGUNG DALAM ERA PEMBANGUNAN EKONOMI PERTANIAN BERKELANJUTAN P r o s i d i n g 9 VOLATILITAS HARGA JAGUNG DALAM ERA PEMBANGUNAN EKONOMI PERTANIAN BERKELANJUTAN Vi in Ayu Pertiwi, Nur Baladina, Fitrotul Laili Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : viinayu@ub.ac.id

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENILAIAN HARGA SAHAM PERDANA MENGGUNAKAN METODE FREE CASH FLOW TO EQUITY DAN P/E MULTIPLE ( Studi Kasus PT BW Plantation Tbk. ) TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA TRANSFER ARSIP DINAMIS INAKTIF : STUDI KASUS DI PUSTAKA BOGOR SKRIPSI HUTAMI DEWI

UNIVERSITAS INDONESIA TRANSFER ARSIP DINAMIS INAKTIF : STUDI KASUS DI PUSTAKA BOGOR SKRIPSI HUTAMI DEWI UNIVERSITAS INDONESIA TRANSFER ARSIP DINAMIS INAKTIF : STUDI KASUS DI PUSTAKA BOGOR SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora HUTAMI DEWI 0705130257 FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA SURPLUS BANK INDONESIA SEBAGAI OBYEK PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA: ANALISIS MANFAAT, PELUANG, BIAYA DAN RISIKO DENGAN MENGGUNAKAN ANALYTIC NETWORK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA AKIBAT HUKUM KEWAJIBAN BERBAHASA INDONESIA BERDASARKAN PASAL 31 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TERHADAP PRODUCTION SHARING CONTRACT (PSC) DI BIDANG PERMINYAKAN

Lebih terperinci

f. Luas lahan panen padi (X 5 ) merupakan seluruh areal produktif atau panen tanaman padi di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu Ha.

f. Luas lahan panen padi (X 5 ) merupakan seluruh areal produktif atau panen tanaman padi di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu Ha. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Sumber Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahun 1980-2013 yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peramalan merupakan unsur yang penting dalam pengambilan keputusan

BAB I PENDAHULUAN. Peramalan merupakan unsur yang penting dalam pengambilan keputusan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peramalan merupakan unsur yang penting dalam pengambilan keputusan karena beberapa faktor yang berpengaruh, tidak dapat ditentukan pada saat keputusan diambil.

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok di Indonesia. Beras bagi masyarakat Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik di negara ini. Gejolak

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH Oleh : Erizal Jamal Khairina M. Noekman Hendiarto Ening Ariningsih Andi Askin PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

PERANAN AUDIT KINERJA OLEH INSPEKTORAT DAERAH DAN PENGAWASAN FUNGSIONAL DALAM MENUNJANG AKUNTABILITAS PUBLIK (STUDI KASUS DI PEMERINTAH KOTA BANDUNG)

PERANAN AUDIT KINERJA OLEH INSPEKTORAT DAERAH DAN PENGAWASAN FUNGSIONAL DALAM MENUNJANG AKUNTABILITAS PUBLIK (STUDI KASUS DI PEMERINTAH KOTA BANDUNG) PERANAN AUDIT KINERJA OLEH INSPEKTORAT DAERAH DAN PENGAWASAN FUNGSIONAL DALAM MENUNJANG AKUNTABILITAS PUBLIK (STUDI KASUS DI PEMERINTAH KOTA BANDUNG) TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Terdapat penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan topik dan perbedaan objek dalam penelitian. Ini membantu penulis

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM PENGGUNA ALAT PEMBAYARAN MENGGUNAKAN KARTU DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK TESIS. Diajukan Untuk Memenuhi Syarat

UNIVERSITAS INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM PENGGUNA ALAT PEMBAYARAN MENGGUNAKAN KARTU DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK TESIS. Diajukan Untuk Memenuhi Syarat UNIVERSITAS INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM PENGGUNA ALAT PEMBAYARAN MENGGUNAKAN KARTU DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Hukum Oleh : Dendy Asmara

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN

ANALISIS PERMINTAAN JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN ANALISIS PERMINTAAN JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Agribisnis Oleh : NUR IKHSAN NIM S641208007 PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT 55 VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT Bab ini membahas sistem pemasaran rumput laut dengan menggunakan pendekatan structure, conduct, dan performance (SCP). Struktur pasar

Lebih terperinci

PENGARUH EKSPOR, NILAI TUKAR, DAN INFLASI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA (TAHUN 1995:1 2011:4)

PENGARUH EKSPOR, NILAI TUKAR, DAN INFLASI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA (TAHUN 1995:1 2011:4) PENGARUH EKSPOR, NILAI TUKAR, DAN INFLASI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA (TAHUN 1995:1 2011:4) Skripsi Dimaksudkan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar

Lebih terperinci

Analisis Jenis Properti Hunian Sebagai Pengembang di Daerah Fatmawati Jakarta Selatan

Analisis Jenis Properti Hunian Sebagai Pengembang di Daerah Fatmawati Jakarta Selatan s UNIVERSITAS INDONESIA Analisis Jenis Properti Hunian Sebagai Pengembang di Daerah Fatmawati Jakarta Selatan TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Manajemen Baihaki

Lebih terperinci

TESIS MUHAMMAD RIVANO UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN JAKARTA DESEMBER 2008

TESIS MUHAMMAD RIVANO UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN JAKARTA DESEMBER 2008 PENGARUH PRAKTEK CORPORATE GOVERNANCE, UKURAN PERUSAHAAN, KATEGORI KANTOR AKUNTAN PUBLIK, JENIS INDUSTRI, DAN NILAI TRANSAKSI HUBUNGAN ISTIMEWA TERHADAP TINGKAT PENGUNGKAPAN TRANSAKSI HUBUNGAN ISTIMEWA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN MODAL KERJA BERSIH TERHADAP PROFITABILITAS PERUSAHAAN TERBUKA DI SEKTOR TRADING DENGAN PERIODE PENELITIAN TAHUN 2003 HINGGA 2007 SKRIPSI Diajukan sebagai

Lebih terperinci

PERANAN BPOM DALAM MELAKUKAN TINDAKAN HUKUM TERHADAP PRODUK MAKANAN IMPOR YANG MENGANDUNG MELAMIN TESIS. Kartika Ajeng.

PERANAN BPOM DALAM MELAKUKAN TINDAKAN HUKUM TERHADAP PRODUK MAKANAN IMPOR YANG MENGANDUNG MELAMIN TESIS. Kartika Ajeng. PERANAN BPOM DALAM MELAKUKAN TINDAKAN HUKUM TERHADAP PRODUK MAKANAN IMPOR YANG MENGANDUNG MELAMIN TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H) Oleh: Kartika Ajeng.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA i UNIVERSITAS INDONESIA IDENTIFIKASI PENGARUH KETERAMPILAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KECERDASAN EMOSI TERHADAP DAYA SAING PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM e - PROCUREMENT PADA PROSES PENGADAAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGUKURAN KINERJA RSUD TG. UBAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN METODE BALANCED SCORECARD

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGUKURAN KINERJA RSUD TG. UBAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN METODE BALANCED SCORECARD UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PENGUKURAN KINERJA RSUD TG. UBAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN METODE BALANCED SCORECARD TESIS PUTU WIRASATA 0906586713 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA STUDI KASUS PENGUKURAN KINERJA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA TEBET BERDASARKAN KONSEP BALANCED SCORECARD TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA STUDI KASUS PENGUKURAN KINERJA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA TEBET BERDASARKAN KONSEP BALANCED SCORECARD TESIS UNIVERSITAS INDONESIA STUDI KASUS PENGUKURAN KINERJA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA TEBET BERDASARKAN KONSEP BALANCED SCORECARD TESIS RONI CAHYADI 0706299460 FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN

Lebih terperinci

STRATEGI PEMASARAN USAHA RISOLES BUNDA BOGOR TESIS

STRATEGI PEMASARAN USAHA RISOLES BUNDA BOGOR TESIS STRATEGI PEMASARAN USAHA RISOLES BUNDA BOGOR TESIS PUDJO NUGROHO 0706169386 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN JAKARTA AGUSTUS 2009 STRATEGI PEMASARAN USAHA RISOLES

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA PRICE LIMIT PERFORMANCE: STUDI EMPIRIS PADA BURSA EFEK INDONESIA PERIODE

UNIVERSITAS INDONESIA PRICE LIMIT PERFORMANCE: STUDI EMPIRIS PADA BURSA EFEK INDONESIA PERIODE UNIVERSITAS INDONESIA PRICE LIMIT PERFORMANCE: STUDI EMPIRIS PADA BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2007 2008 TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Manajemen EKO PRASETYO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perekonomian dunia mulai mengalami liberalisasi perdagangan ditandai dengan munculnya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 yang

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA T E S I S

PEMBERDAYAAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA T E S I S PEMBERDAYAAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA T E S I S Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister KHRISNA ANGGARA 0606154244 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, pertama, sektor pertanian merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA BERAS DI INDONESIA TAHUN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA BERAS DI INDONESIA TAHUN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA BERAS DI INDONESIA TAHUN 1988-2008 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis dan Sumber Data

METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis dan Sumber Data 41 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data Analisis integrasi pasar dan transmisi harga merupakan bagian dari analisis data time series. Penelitian ini menggunakan data bulanan pada periode Januari

Lebih terperinci

ANALISIS FLUKTUASI KURS RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA TAHUN

ANALISIS FLUKTUASI KURS RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA TAHUN ANALISIS FLUKTUASI KURS RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA TAHUN 2003.1 2005.12 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Pada fakultas

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Manajemen DIMAS PUTRA PRATAMA

TUGAS AKHIR. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Manajemen DIMAS PUTRA PRATAMA PENGARUH KINERJA KEUANGAN TERHADAP HARGA SAHAM DAN EARNING PER SHARE (EPS) PERUSAHAAN INFRASTRUKTUR, UTILITAS, DAN TRANSPORTASI YANG TERCATAT DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2011-2015 TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

Peran Work Engagement Dalam Produktivitas Student Brand Manager Red Bull Indonesia. Tugas Akhir

Peran Work Engagement Dalam Produktivitas Student Brand Manager Red Bull Indonesia. Tugas Akhir Peran Work Engagement Dalam Produktivitas Student Brand Manager Red Bull Indonesia Tugas Akhir Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Manajemen M. Marsyal Tedianto 11210010 PROGRAM

Lebih terperinci

KONSISTENSI PENGAWASAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) TERHADAP PEREDARAN PRODUK PANGAN KADALUWARSA

KONSISTENSI PENGAWASAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) TERHADAP PEREDARAN PRODUK PANGAN KADALUWARSA KONSISTENSI PENGAWASAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) TERHADAP PEREDARAN PRODUK PANGAN KADALUWARSA TESIS Oleh: HENY ANDAYANI NPM 0706187413 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SITUASI PASAR DAN INTEGRASI HARGA JAGUNG DI INDONESIA PENDAHULUAN

PERKEMBANGAN SITUASI PASAR DAN INTEGRASI HARGA JAGUNG DI INDONESIA PENDAHULUAN P R O S I D I N G 143 PERKEMBANGAN SITUASI PASAR DAN INTEGRASI HARGA JAGUNG DI INDONESIA Anisa Aprilia Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya anisa.asa@ub.ac.id PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Kajian Transformasi Menuju Institusi Kepolisian Indonesia Berbasis Pemolisian Masyarakat TESIS

Kajian Transformasi Menuju Institusi Kepolisian Indonesia Berbasis Pemolisian Masyarakat TESIS Kajian Transformasi Menuju Institusi Kepolisian Indonesia Berbasis Pemolisian Masyarakat Studi Kasus: Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi TESIS R. DINUR KRISMASARI 0606161836 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM KERJASAMA PENYALURAN KREDIT/PEMBIAYAAN ANTARA BANK X DENGAN PT. Y TESIS

ASPEK HUKUM KERJASAMA PENYALURAN KREDIT/PEMBIAYAAN ANTARA BANK X DENGAN PT. Y TESIS UNIVERSITAS INDONESIA ASPEK HUKUM KERJASAMA PENYALURAN KREDIT/PEMBIAYAAN ANTARA BANK X DENGAN PT. Y TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) ARIYANTI NPM :

Lebih terperinci

ANALISIS PENAWARAN EKSPOR KOPI DI INDONESIA TAHUN

ANALISIS PENAWARAN EKSPOR KOPI DI INDONESIA TAHUN ANALISIS PENAWARAN EKSPOR KOPI DI INDONESIA TAHUN 1984-2012 Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PADA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI

EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PADA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PADA SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI TESIS ARIE ARYANI 0606039101 KAJIAN STRATEGIK PERENCANAAN, STRATEGIK DAN KEBIJAKAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci