II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. SINGKONG (Manihot esculenta Crantz.) Tanaman singkong termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, family Euphorbiaceae, genus Manihot, dan species Manihot esculenta Crantz. (Rukmana 1997). Tanaman ini dapat tumbuh dengan subur serta memiliki toleransi tinggi terhadap tekanan lingkungan dan membutuhkan perawatan minimal. Oleh karena itu, tanaman ini juga diunggulkan sebagai tanaman yang mendukung ketahanan pangan nasional karena rendemen umbi yang cukup besar (El-Sharkawy 2004). Singkong merupakan sumber pati yang banyak digunakan di banyak negara di dunia baik sebagai sumber pangan maupun ekonomi melalui perkembangan industri yang memanfaatkan hasil ekstraksi yang berasal dari umbinya. Diperkirakan 10% dari total 60 juta ton pati yang diekstrak berasal dari umbi singkong (FAO 2006). Tanaman singkong memiliki umbi yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Umbinya berbentuk bulat memanjang, daging umbi mengandung pati dan tiap tanaman dapat menghasilkan 5-10 umbi (Rukmana 1997). Bagian penyusun umbi singkong diperlihatkan pada Gambar 1. Gambar 1. Bagian-bagian penyusun singkong (CIAT 2009) Daging umbi dapat berwana putih atau kuning. Komposisi kimia singkong dipengaruhi oleh faktor tanah, kondisi penanaman, kelembaban, suhu, varietas, dan umur tanaman. Hal lain yang perlu dicatat adalah kandungan racun sianida di dalam singkong. Racun tersebut ada dalam tanaman singkong (akar, batang, dan daun) dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk terikat secara kimia yaitu sebagai senyawa kompleks linamarin glukosa. Tanaman yang mengandung sianogenik glukosida atau yang dikenal dengan phaseolunatin mulai terpecah menjadi sianida, aseton, dan glukosa dengan bantuan aksi dari enzim linase. Adanya sianida mudah dikenali dengan munculnya rasa pahit (Wirakartakusumah 1989). Tahap-tahap pengolahan sejak pengecilan ukuran hingga pengolahan lebh lanjut akan mengurangi kadar racun ini sampai ke tingkat yang tidak membahayakan (Wirakartakusumah 1989). Komposisi kimia singkong ditunjukan pada Tabel 1. 3

2 Tabel 1. Komposisi kimia singkong per 100 gram bahan Komponen Jenis Singkong Putih Kuning Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Bagian yang dapat dimakan (g) Sumber : Departemen Kesehatan RI (1990) B. JAGUNG (Zea mays L. ) Tanaman jagung tergolong dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Poales, family Graminae, genus Zea, spesies Zea mays L. Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting setelah beras dan gandum. Selain dimanfaatkan sebagai makanan pokok. pemanfaatan jagung juga sangat luas diantaranya sebagai pakan ternak. bahan baku industri pangan yang berbasis jagung (pipil, minyak, tepung, dan pati), dan lain-lain (Ofori dan Kyei-Baffour 2010). Saat ini jagung termasuk tanaman yang digalakkan menjadi bahan pangan lokal penunjang usaha ketahanan pangan serta berperan strategis dalam perekonomian nasional. Untuk mencapai kesuksesan usaha tersebut. kegiatan budi daya tanaman jagung terutama jagung varietas unggul yang didukung penerapan teknologi budi daya yang maju harus terus didukung baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Jagung lengkap terdiri atas kelobot, tongkol, biji, dan rambut. Menurut Effendi dan Sulistiati (1991). tongkol jagung merupakan simpanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol bervariasi antara 8-12 cm. pada umumnya. tongkol jagung mengandung biji jagung. biji melekat pada tongkol jagung dan berbentuk bulat dan memiliki warna yang bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, dan hitam. Secara anatomi. biji jagung terdiri atas tiga bagian pokok yaitu kulit (perikarp), endosperma, dan lembaga. Anatomi biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2. Biji jagung disebut kariopsis yaitu memiliki dinding ovary atau perikarp menyatu dengan kulit biji atau testa membentuk daging buah. Perikarp merupakan lapisan luar tipis yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron serta berfungsi mencegah kerusakan biji dari organism pengganggu dan kehilangan air. Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung yaitu 75% dari bobot biji. Fungsi endosperm adalah sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Lembaga merupakan tempat perkecambahan biji. yang terdiri atas plumula. meristem. skutelum. 4

3 dan koleoptil (Subekti et al di dalam Lestari 2000). Tabel 2 memperlihatkan komposisi kimia biji jagung. Komponen Gambar 2. Anatomi biji jagung dan bagian-bagiannya (Subekti et al di dalam Lestari 2009) Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung Jumlah (%bk) Pati Protein Lemak Serat Lain-lain Endosperma Lembaga Perikarp Tip cap Sumber: Johnson (1991) C. TAPIOKA Tapioka merupakan hasil ekstraksi umbi singkong. Pati ini mudah diekstrak karena rendahnya kandungan protein, lemak, dan lain-lain (Moorthy 2004) sehingga lebih sering digunakan daripada pati yang berasal dari umbi maupun serealia lainnya (FAO 2006). Komposisi kimia tapioka ditunjukan pada Tabel 3. Kadar pati tapioka tidak dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Rahman (2007) melaporkan kadar pati pada tepung tapioka berkisar antara (%bb) dan kadar abu pada tapioka berkisar antara (%bb). Menurut Morthy (2004). kadar amilosa tepung tapioka berada pada kisaran 20-27% dari kadar patinya dan kadar lipid pada tapioka sangat rendah (<0.1%). Karakteristik tapioka akan mempengaruhi produk yang dihasilkan. termasuk juga ph. The Tapioca Institute of America (TIA) mempunyai standar spesifikasi untuk tapioka. Salah satunya adalah standar untuk ph tapioka yaitu sekitar ph (Balagopalan et al ). sedangkan nilai keasaman tapioka berdasarkan SNI ditetapkan dalam bentuk derajat asam yaitu maksimal sebesar 3 NaOH 1 N/ 100g. Syarat mutu tapioka berdasarkan SNI dilihat pada Tabel 4. 5

4 Tabel 3. Komposisi kimia tapioka Komponen Jumlah a Jumlah b Serat Air (%bb) Abu Karbohidrat Protein Lemak Pati Amilosa Total gula HCN (ppm) Sumber : a Febriyanti dan Wirakartakusumah (1990) b Pangestuti (2010) No. Jenis Uji Satuan Tabel 4. Syarat mutu tapioka SNI Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1994) Persyaratan Mutu I Mutu II Mutu III 1. Kadar air (b/b) % Maks.15 Maks.15 Maks Kadar abu (b/b) % Maks Maks Maks Serat dan benda asing (b/b) 4. Derajat putih (BaSO4 = 100%) Kekentalan 6. Derajat asam 7. Cemaran logam -Timbal (Pb) -Tembaga (Cu) -Seng (Zn) -Raksa (Hg) % Maks Maks Maks % Min Min. 92 < 92 o Engler < 2.5 ml 1 N NaOH/ 100g mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3 Maks. 1.0 Maks. 10 Maks 40 Maks 0.05 Maks. 1.0 Maks. 10 Maks 40 Maks 0.05 Maks. 1.0 Maks. 10 Maks 40 Maks 0.05 Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5 Maks. 0.5 Maks. 0.5 Cemaran mikroba -Angka Total -E.coli -Kapang Lempeng Koloni/g Koloni/g Koloni/g Maks.1.0x10 6 Maks.10 Maks.1.0x10 4 Maks.1.0x10 6 Maks.10 Maks.1.0x10 4 Maks.1.0x10 6 Maks.10 Maks.1.0x10 4 6

5 D. MAIZENA Pati jagung merupakan ingredien penting yang digunakan secara luas pada industri pangan sebagai pengental, penstabil koloid, gelling agent, bulking agent, dan water retention agent (Singh et al. 2003). Dilihat dari perbandingan amilosa dan amilopektin. pati jagung dapat digolongkan menjadi pati jagung biasa, pati jagung berlilin (waxy/ glutinous corn), dan pati jagung tinggi amilosa (high-amylose corn). Tabel 5 berikut memperlihatkan komposisi kimia dari berbagai tipe pati jagung. Pati jagung diperoleh dari ekstraksi biji jagung dengan metode penggilingan basah. Contoh diagram alir yang memperlihatkan proses penggelingan basah pati jagung dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 5. Komposisi kimia pati jagung Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) Lipid (%) Protein (%) Fosfat (%) Normal maizena Waxy maizena Amilomaize - V Sumber: Robyt (2008) E. PATI 1. Morfologi Granula Pati merupakan cadangan makanan tanaman berupa polisakarida yang tersimpan pada akar dan biji-bijian serta dalam endosperma kernel biji-bijian. Pati disintesis dalam bentuk granula yang tersimpan dalam organel selular (amiloplas) (Jacobs dan Delcour 1998). Menurut Tester et al. (2004). granula pati yang disintesis dengan susunan yang bervariasi pada setiap jaringan dan jenis tanaman. Variasi granula diantaranya adalah diameter ukuran, bentuk, distribusi ukuran, model asosiasi, dan komposisi dipengaruhi asal tanaman (Tester et al. 2004). Variasi granula yang dimiliki pada setiap sumber pati mempunyai pengaruh terhadap gelatinisasi. Misalnya pada pati dengan ukuran granula yang lebih besar memiliki ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih mudah putus bila dibandingkan dengan pati yang memiliki granula yang lebih kecil (Wattanachant et al. 2002). Tabel 6 menunjukkan keanekaragaman granula pati dari beberapa jenis tanaman. 7

6 Tabel 6. Karakteristik granula pati dari sumber tanaman berbeda Pati Tipe Bentuk Distribusi Ukuran (µm) Maizena (waxy dan normal) Serealia Spherical/ polihedral Unimodal 2-30 Amylomaize Serealia Tidak beraturan Unimodal 2-30 Kentang Umbi Lentikular Unimodal Beras Serealia Polihedral Unimodal 3-8 (tunggal) 150 (kumpulan) Tapioka Akar Spherical/ lentikular Unimodal 5-45 Sagu Palem Oval Unimodal Gandum Serealia Lentikular (tipe A) Spherical (tipe B) Sumber: Tester dan Karkalas (2002) Bimodal Struktur Granula Pati disintesis dalam bentuk granula yang tersusun atas lapisan konsentris yang menunjukkan perbedaan kecenderungan indeks refraksi, densitas, kristalinisasi, ketahanan terhadap hidrolisis asam maupun enzim, serta pertumbuhan lapisan cincin granula (French 1984). Pertumbuhan lapisan cincin tersebut muncul pada periode biosintesis dan dipengaruhi fluktuasi dari rata-rata dan atau mode penyimpanan pada periode tersebut. Model struktur granula ditunjukkan pada Gambar 3. Rantai polimer glukosa pada granula pati bergabung satu sama lain melalui ikatan hidrogen yang kuat membentuk kristal atau misela (Swinkels 1985). Misela merupakan bagian molekul linier yang berikatan dengan rantai terluar molekul cabang (Pomeranz 1991). Ikatan ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada pararel satu sama lain. sehingga gaya ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu (Swinkels 1985). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorphous (Pomeranz 1985). Menurut Kaletunç dan Breslauer (2003). zona amorphous lebih mudah dimasuki oleh air karena strukturnya tidak beraturan. Amilosa sebagian besar berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian kecil menyusun bagian kristalin. Lamella kristalin disusun atas rantai ganda amilopektin yang membentuk jaringan pararel sedangkan titik percabangan amilopektin berada pada zona amorphous. Zona kristalin lebih resisten terhadap reaksi enzimatis. reaksi kimia dan penetrasi oleh air daripada daerah amorphous pada granula pati. Menurut Hoseney (1998) granula pati terdiri dari ± 30% daerah kristalin. Senada dengan yang disampaikan Swinkels (1985) bahwa daerah kristalin berbagai varietas pati ± 25-50% dari total granula pati. Menurut Taggart (2004) di bawah mikroskop granula pati akan merefleksikan cahaya terpolarisasi dan memperlihatkan pola maltose cross (pola silang) yang dikenal dengan nama sifat birefringence. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi intensitas birefringence-nya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney 1998). Kehilangan sifat birefringence disebabkan pecahnya molekul pati yang dipengaruhi oleh panas. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney 1998). 8

7 Gambar 3. Struktur granula pati (Tester et al. 2004) (A) Penyusunan mikrokristalin granula yang terpisah oleh pertumbuhan cincin amorphous (B) Perbesaran tampilan daerah amorphous dan kristalin (C) Struktur heliks ganda yang dibentuk dari cabang amilopektin yang meningkatkan lamella kristalin di mana titik percabangan berada pada daerah amorphous. Difraksi sinar X telah digunakan untuk mengungkap karakteristik dari struktur kristalin granula pati (Hoover 2001). Tiga pola sinar X yang berbeda yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A- merupakan karakteristik utama dari granula pati serealia. tipe B- terdapat pada umbi-umbian dan pati dengan kadar amilosa tnggi. dan tipe C ditemukan pada umbi polong-polongan.umbi-umbian. dan beberapa pati yang berasal dari buah maupun batang. Tipe C merupakan intermedit antara pola A dan B (Tester et al. 2004). Tipe kristal pada kristalin umumnya dipengaruhi oleh panjang rantai (CL) [tipe A CL < 19.7; tipe B CL 21.6; dan beberapa pati dengan panjang rantai (CL) antara 20.3 hingga 21.3 menunjukkan tipe A, B, atau C] (Hoover 2001). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kristalin adalah suhu pertumbuhan. alkohol dan asam lemak (Hoover 2001). Struktur kristal tipe A- dan tipe B- ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4. Struktur kristal tipe A dan tipe B (Tester et al. 2004) Hoover (2001) mengungkapkan bahwa heliks ganda pada tipe A dan tipe B memiliki kesamaan ditinjau dari struktur heliksnya. tapi keduanya memiliki perbedaan jika dilihat dari model pengepakan heliks dan air pada kristal. Pengepakan heliks ganda pada kristal tipe A cenderung lebih kompak dengan kandungan air yang lebih sedikit. sementara tipe B memiliki struktur yang lebih terbuka dengan memiliki inti heliks terhidrasi sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4. Penyusunan granula pati dapat bervariasi yang dikarenakan oleh letak hilum (Tester et al. 2004). Tipe kristal pada granula pati dapat berubah yang sebagaimana pada pati 9

8 maizena yang berubah dari tipe A ke tipe B. Perubahan ini disebabkan adanya penurunan pada kristalinitas yang diikuti dengan kenaikan kandungan amilosa (Cheetam dan Tao 1998). 3. Amilosa dan Amilopektin Granula pati terdiri atas dua molekul yang dapat dipisahkan dengan air panas. amilosa dan amilopektin. yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2002). Gambar 5 memperlihatkan struktur amilosa dan amilopektin. Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul, dan pengaturan posisi pada granula pati. Gambar 5. Struktur amilosa dan amilopektin (Robyt 2008) Amilosa tersusun atas molekul D-glukopiranosa yang berikatan α-(1,4) dalam struktur rantai lurus. Molekul amilosa lengkap dapat terdiri atas 3000 unit D-glukopiranosa. Menurut Taggart (2004). amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana dapat membentuk interaksi molekular yang kuat pada gugus hidroksil. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin. Interaksi antar gugus hidroksil tersebut akan membentuk jaringan tiga dimensi ketika molekul berasosiasi ketika pendinginan. karakteristik inilah yang berperan dalam pembentukan gel pada pemasakan dan pendinginan pasta pati. Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa sehingga amilopektin biasanya menjadi komponen utama dari pati. Rasio amilosa dan amilopektin dari berbagai jenis sumber pati sangat bervariasi. berkisar antara 17-70% amilosa dan 30-83% amilopektin seperti yang dinyatakan (Robyt 2008). Rasio amilosa dan amilopektin tersebut berpengaruh terhadap sifat dan derajat gelatinisasi pati. Selain itu. menurut Robyt (2008) molekul amilopektin memiliki rantai distribusi yang berbeda-beda (A, B, dan C) yang ditentukan oleh panjang rantai pada molekul amilopektin. Rasio molar dari panjang pendeknya rantai amilopektin dipengaruhi sumber pati dan varietasnya. Amilopektin terdiri atas molekul D-glukosa yang berikatan α-(1,4) dan mengandung ikatan α-(1,6) pada percabangan rantainya. Amilopektin juga dapat membentuk kristal. tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart 2004). Pati yang memiliki persentase amilopektin yang tinggi akan 10

9 mengentalkan suspensi tetapi tidak membentuk gel. hal ini karena molekul tidak berasosiasi dan membentuk ikatan kimia seperti molekul amilosa. Sehingga dapat dikatakan semakin banyak amilopektin. maka akan semakin kental pasta pati yang dihasilkan dan semakin banyak amilosa maka akan semakin kokoh gel yang terbentuk. F. GELATINISASI PATI Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula bersifat tidak dapat balik (irreversible) yang dipengaruhi oleh suhu dan kadar air, menghasilkan peningkatan viskositas, serta kondisi pemanasan dan tipe granula pati (Huang dan Rooney 2001). Pembengkakan granula disebabkan difusi air ke dalam granula yang diikuti dengan masuknya air ke daerah amorphous. yang akhirnya mengakibatkan pembengkakan granula secara menyeluruh. Pelunakan struktur pada zona amorphous diperlukan sebelum peleburan struktur pada zona kristalin pada granula terjadi (Jacobs dan Delcour 1998). Fenomena tersebut diikuti dengan hilangnya formasi silang (birefrigence) yang diamati pada mikroskop dengan cahaya terpolarisasi (Robyt 2008). Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu di mana sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Terlihat pada Tabel 7 bahwa suhu gelatinisasi pada suatu suspensi dari berbagai sumber pati merupakan kisaran. Perbedaan suhu gelatinisasi ini berkaitan dengan perbedaan karakteristik granula yang bervariasi yaitu ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk pengembangan. Tabel 7. Suhu gelatinisasi beberapa sumber pati Sumber pati Suhu gelatinisasi ( o C) a Normal maizena Waxy maize Amylomaize b Kentang Tapioka Gandum a Diukur dari suhu gelatinisasi awal untuk menyempurnakan pemastaan b Di bawah kondisi umum pemasakan. larutan dipanaskan mencapai o C. tetapi pati amylomaize belum membentuk kekentalan. Pemastaan (pasting) tidak terjadi hingga suhu mencapai o C Sumber: Fennema (1996) Selain itu. suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Perubahan struktural yang terjadi selama gelatinisasi meliputi perubahan bentuk dan ukuran granula, absorpsi air dan pembengkakan granula, peleburan struktur kristalin, keluarnya amilosa dari granula, dan perusakan struktur granula (~85 o C) (Jacobs dan Delcour 1998) yang diakibatkan meningkatnya pergerakan molekul dalam granula pati sehingga dapat memecah ikatan hidrogen dan hidrofobik antar molekul dalam daerah kristalin 11

10 granula pati. Perubahan struktural yang terjadi demikian merupakan peristiwa pemastaan (pasting) yang merupakan kelanjutan dari gelatinisasi. 1. Faktor yang Mempengaruhi Gelatinisasi Gelatinisasi merupakan fenomena kompleks yang bergantung pada jenis pati. konsentrasi pati yang digunakan, suhu pemastaan (pasting), atau suhu awal terjadinya gelatinisasi, ukuran granula pati, presentase amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula, tipe granula, prosedur pemasakan (suhu, ph, waktu, agitasi, metode), dan keberadaan komponen lain (Pomeranz 1985; Moorthy 2004; Swinkels 1985). Menurut Winarno (1992). suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan. suhu tersebut akan semakin lambat tercapai. sampai suhu tertentu kekentalan tidak berubah. bahkan kadang-kadang menurun. Selanjutnya menurut Winarno (1992). Pati dengan butir yang lebih besar akan mengembang pada suhu yang lebih rendah daripada butir pati berbutir kecil. Hal ini dikarenakan granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih lemah. Menurut Wurzburg (1968) pemasakan di bawah ph 5 atau di atas ph 7 cenderung menurunkan suhu gelatinisasi dan mempercepat proses pemasakan. Menurut Franco et al. (2002) kondisi asam yang tinggi menyebabkan hidrolisis ikatan glukosida pada zona amorphous granula pati. Hidrolisis ikatan glukosida menyebabkan fragmentasi dan pembentukan dekstrin atau polimer berantai pendek. Hidrolisis molekul pati terjadi pada absorpsi air yang minim pada granula yang mengakibatkan pengenceran pada pasta yang dipanaskan maupun ketidakkompakan struktur pada gel yang dikarenakan pemutusan ikatan hidrogen. Hal ini senada dengan pernyataan Charley (1982) bahwa asam organik seperti asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat yang ditambahkan dalam proses dapat membantu pemutusan ikatan hidrogen sehingga menyebabkan menurunnya kekentalan pasta pati. breakdown yang lebih cepat dan menurunnya kekuatan gel. Sementara pada ph yang sangat tinggi seperti yang diutarakan Eliasson dan Gudmundsson (2006) akan terjadi cold gelatinization di mana granula pati akan mengembang pada suhu ruang dan amilosa akan larut. Penambahan sejumlah gula terutama disakarida sukrosa dan laktosa dari susu akan menurunkan viskositas pasta dan firmness dari produk pati yang dipanaskan maupun yang didinginkan. Gula turut menghambat absorpsi air oleh granula sehingga pembengkakan menjadi tidak sempurna. Seperti juga garam. gula akan meningkatkan temperatur gelatinisasi secara signifikan pada konsentrasi di atas 60%. Komposisi kimia lain pada granula pati seperti lemak dan protein juga dapat mempengaruhi proses gelatinisasi. Adanya lemak dan protein yang menutupi atau mengadsorpsi pada permukaan granula pati dapat menyebabkan gangguan pada hidrasi dan viskositas pati. Lemak merupakan penahan air sehingga air tidak dapat mudah berpenetrasi selama proses gelatinisasi. Akibatnya granula pati tidak membengkak sempurna dan amilosa yang keluar menjadi lebih sedikit, sehingga menyebabkan penurunan viskositas pasta pati dan menurunnya kekuatan gel. Sedangkan protein dapat menyelimuti granula pati (membentuk kompleks dengan amilosa) sehingga dapat menghambat pengembangan dan pati menjadi sukar tergelatinisasi (Kilara 2006). Pengaruh kondisi pemasakan seperti agitasi dan temperatur juga turut mempengaruhi proses gelatinisasi. Agitasi atau stirring yang diberikan pada awal maupun selama proses gelatinisasi memberikan pengembangan granula dan memberikan suspensi yang lebih seragam. 12

11 Namun. pengadukan berlebih setelah gelatinisasi dapat merusak granula sehingga menyebabkan suspensi menjadi encer. Gelatinisasi sempurna terjadi pada suhu hingga 203 o F (95 o C). walaupun pati memiliki suhu gelatinisasi yang beragam tergantung sumber dan varietas patinya. Lama pemanasan yang berlebihan akan menyebabkan pati menjadi encer yang dikarenakan pergerakan berlebih granula pati yang menyebabkan kerusakan. Jenis panas yang diaplikasikan seperti panas lembab dibutuhkan untuk terjadinya gelatinisasi. Sedangkan panas kering dapat menyebabkan pati terhidrolisis. pembentukan dekstrin. warna coklat. dan aroma panggang. Walaupun demikian, efek pencoklatan tersebut diinginkan dalam produk tertentu (Vaclavik dan Christian 2008). 2. Profil Gelatinisasi Karena gelatinisasi pati merupakan proses endotermik. Differential Scanning Calorimetry (DSC) dapat mengukur baik temperatur maupun entalpi gelatinisasi. DSC telah lama digunakan untuk mempelajari temperatur gelatinisasi pati. DSC mengukur perubahan temperatur gelatinisasi [(onset [T o ], midpoint [T p ], conclusion [T c ], dan entalpi ( H)]. Noda et al. (1996) mempostulasikan parameter DSC (T o, T p, T c, dan H) yang dipengaruhi arsitektur molekul pada daerah kristalin yang berhubungan pada distribusi amilopektin rantai pendek (DP 6-11) dan bukan oleh proporsi daerah kristalin yang berhubungan pada rasio amilosa-amilopektin. Jane et al. (1999) menambahkan bahwa T o rendah merupakan ciri pati dengan proporsi rantai cabang amilopektin pendek yang lebih besar. T p mengindikasikan arsitektur granula (kualitas zona kristalin) yang mana pati dengan suhu puncak tinggi menunjukkan proporsi rantai panjang yang lebih besar pada molekul amilopektin sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk mendisosiasi granula secara menyeluruh (Karim et al. 2007). Sementara perubahan entalpi ( H) yang terjadi selama gelatinisasi umumnya dikarenakan hilangnya susunan heliks ganda dan bukan dikarenakan hilangnya kristalinitas. Namun demikian. Hoover (2001) menyatakan bahwa H menggambarkan keseluruhan kristalinitas (kualitas dan jumlah kristalit pati) dari amilopektin. Moorthy (2004) menambahkan bahwa H berkaitan dengan kristalinitas. ikatan intermolekuler. kecepatan pemanasan pada suspensi. dan komposisi kimia pati. Gernat et al. (1993) menyatakan bahwa jumlah heliks ganda pada pati native sangat berhubungan kuat dengan kandungan amilopektin. dan kristalinitas granula meningkat dengan adanya amilopektin. Gelatinisasi dan pengembangan granula dipengaruhi oleh struktur molekul amilopektin (panjang rantai, percabangan, berat molekul, dan polidispersitas), komposisi pati (rasio amilosa-amilopektin, komplek amilosa-lipid, dan kandungan fosfor), dan arsitektur granula (rasio daerah kristalin-amorphous) sebagaimana yang dinyatakan Tester (1997). 3. Profil Amilografi Ditinjau dari sifat reologinya. pati yang tergelatinisasi memiliki sifat mengalir sehingga dapat diukur nilai kekentalannya. Tetapi setelah proses gelatinisasi selesai. maka sifatnya dapat menjadi lebih elastis (gel) sehingga yang dapat diukur adalah nilai kekuatan gelnya. Dalam beberapa kondisi, pati yang tergelatinisasi juga dapat bersifat viskoelastik. Viskositas merupakan karakteristik pati yang membuatnya aplikatif di banyak industri, seperti pengental. Meski demikian. sifat fungsional granula pati sangat beragam tergantung jenis pati yang digunakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari karakteristik fungsional pati untuk 13

12 menentukan pati mana yang akan digunakan dalam pengolahan. Tabel 8 menunjukan karakteristik pasta dari berbagai jenis pati. Karakteristik Viskositas relatif Normal maize Medium Tabel 8. Karakteristik pasta berbagai jenis pati Waxy maize Mediumtinggi Amylomaize Kentang Tapioka Gandum Sangat rendah Sangat tinggi Tinggi Rendah Reologi pasta a Pendek Panjang (kohesif) Pendek Sangat panjang Panjang (kohesif) Pendek Kejernihan pasta Opak Sedikit keruh Opak Jernih Jernih Opak Retrogradasi Tinggi Sangat rendah Sangat tinggi Medium hingga rendah Medium Tinggi a Aliran pendek (short flow) dimiliki pati dengan sifat pseudoplastic dan menunjukkan shear-thinning dan larutan yang kental. Sementara pati dengan aliran panjang (long flow) hampir menunjukkan shearthinning yang sangat kecil dan cenderung tidak ada. Sumber : Fennema (1996) Berdasarkan profil yang terbentuk. tipe gelatinisasi pati menurut Collado et al. (2001) dapat digolongkan menjadi empat tipe yaitu A, B, C, dan D. Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas puncak. namun akan mengalami penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengembang sehingga tidak dapat membentuk pasta apabila dipanaskan. Pati dengan profil gelatinisasi tipe A sebagaimana yang dinyatakan oleh Herawati (2009) umumnya mempunyai kandungan amilosa yang rendah. Pati dengan kandungan amilosa rendah (amilopektin tinggi) akan mengalami pengembangan yang tinggi saat tergelatinisasi yang ditandai dengan tingginya viskositas pasta. Namun apabila pemanasan dilanjutkan. viskositas pasta akan turun dengan tajam. Menurut Wattanachant et al. (2002) pati dengan kandungan amilosa tinggi akan mengalami pengembangan terbatas karena keberadaan amilosa akan mencegah pengembangan granula pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati tersebut cenderung stabil bahkan dapat mengalami peningkatan sehingga pati tersebut dapat dikategorikan pati dengan profil gelatinisasi tipe C (Collado et al. 2001). Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C adalah kacang hijau, navy bean, dan pinto bean (Kim et al. 1996) dan pati yang telah mengalami modifikasi ikatan silang (Wattanachant et al. 2003). Pati dengan kandungan amilosa moderat umumnya mempunyai viskositas puncak yang lebih rendah dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A namun lebih tinggi dari pati dengan profil gelatinisasi tipe C sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B. 14

13 Perilaku gelatinisasi dan profil pemastaan dari campuran tepung-air dan pati-air dapat dimonitor menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) yang merupakan viskometer dengan pemanasan dan pendinginan sekaligus untuk mengukur resistansi sampel terhadap penanganan dengan pengadukan terkontrol. Prinsip pengukuran RVA sama dengan Brabender Amilograf hanya saja waktu pengukurannya lebih singkat (15-20 menit). RVA dapat memberikan simulasi proses pengolahan pangan dan digunakan untuk mengetahui pengaruh proses tersebut terhadap karakteristik fungsional dan struktural dari campuran tersebut. sebagaimana dinyatakan Copeland et al. (2009). Gambar 6. Profil RVA pada pati beras (Copeland et al. 2009) Gambar 7. Perubahan granula pati selama pengukuran (Fennema 1996) Ketika suspensi pati diaduk dan dipanaskan. granula pati akan menyerap air sehingga terjadi pembengkakan granula yang menyebabkan suspensi pati menjadi mengental. Pati yang membengkak tersebut akan mudah dipecah oleh pengadukan sehingga viskositas menurun. Pada granula yang membengkak amilosa yang terhidrasi akan berdifusi keluar dari granula dan bercampur dengan air, fenomena ini akan bertanggung jawab pada beberapa aspek dari perilaku pasta pati. Pada waktu pendinginan, beberapa molekul pati secara parsial akan berasosiasi kembali untuk membentuk gel. Proses ini dinamakan retrogradasi. Firmness dari gel yang terbentuk tergantung pada pembentukan junction zone. Pembentukan junction zone dipengaruhi oleh adanya lemak, protein, gula, asam, dan kandungan air (Fennema. 1996). 15

14 G. RETROGRADASI Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pada saat pendinginan beberapa molekul pati yang telah tergelatinisasi akan berasosiasi kembali untuk membentuk gel. Gel merupakan sistem cairan yang memiliki sifat seperti solid (Hoseney 1998). Interaksi molekular (terutama ikatan hidrogen antar rantai pati) akan terjadi setelah pendinginan dan disebut sebagai fenomena retrogradasi. Percabangan amilopektin akan mencegah terjadinya ikatan intermolekuler yang diperlukan untuk pembentukan gel. Sedangkan pati yang mengandung amilosa. pembentukan ikatan molekulernya akan lebih mudah sehingga terbentuklah struktur jaringan tiga dimensi yang disebut gel pada konsentrasi pati yang lebih rendah Hodge dan Osman (1976) yang disitasi Pangestuti (2010). Dengan terbentuknya struktur jaringan tiga dimensi itu maka air yang tadinya bebas akan terperangkap dalam jaringan itu seperti yang terlihat pada Gambar 8. Tipe struktur yang terlihat pada Gambar 8 dikenal dengan struktur misel berumbai (fringed micelle). Rantai pararel yang terbentuk dari sisi ke sisi mengindikasikan pengaturan struktur kristalin dari junction zone. Daerah yang berada diantara junction zone mengandung air yang terperangkap dalam rantai polimer. Gambar 8. Struktur gel (Fennema 1996) Kemampuan pati untuk membentuk tekstur pasta atau gel yang kental ketika dipanaskan dalam air merupakan karakter yang penting untuk aplikasi dalam produk. Selain itu. konsentrasi pembentukan gel juga dipengaruhi oleh ph larutan. Winarno (1992) menyatakan bahwa pembentukan gel optimum pada ph 4-7. Bila ph terlalu tinggi. pembentukan gel makin cepat tercapai tapi cepat turun kembali. sedangkan pada ph yang terlalu rendah pembentukan gel akan terjadi lebih lambat dari ph 10, dan jika pemanasan diteruskan viskositas tidak berubah. Menurut Hoover (2001) pembentukan awal firmness gel selama retrogradasi terkait dengan formasi matriks gel amilosa dan berikut penurunan firmness gel yang diakibatkan oleh kristalisasi dapat balik pada molekul amilopektin. Selama retrogradasi, amilosa membentuk asosiasi heliks ganda dari unit glukosa (Singh dan Singh 2007). sedangkan kristalisasi amilopektin terjadi akibat asosiasi cabang pendek terluar (DP = 15) (Singh dan Singh 2007). Pati teretrogradasi menunjukan pola difraksi sinar X tipe B (Zobel 1988) yang terdapat zona kristalin dan amorphous. 16

15 Firmness gel disebabkan oleh retrogradasi yang berhubungan dengan sineresis dan kristalisasi amilopektin yang menyebabkan terbentuknya gel yang keras (Miles et al. 1985). Pati yang menunjukkan gel yang lebih keras cenderung memiliki kandungan amilosa tinggi dan rantai amilopektin yang lebih panjang (Mua dan Jackson 1997). Karakteristik mekanis gel tergantung pada beberapa hal yaitu karakteristik reologi matriks amilosa, fraksi volume, dan rigiditas dari granula pati yang tergelatinisasi. maupun interaksi antara fase gel yang terdispersi dan kontinu (Hoover 2001). Faktor-faktor tersebut juga tergantung pada kandungan amilosa dan struktur amilopektin (Yamin et al. 1999). Gel pati merupakan sistem yang tidak stabil dan akan mengalami perubahan struktur selama penyimpanan (Ferrero et al. 1994). Jika gel dibiarkan selama beberapa hari. air tersebut dapat keluar dari bahan. Keluarnya cairan dari suatu gel pati disebut sebagai sineresis (Winarno 1992). Sehingga jumlah air yang keluar (sineresis) dapat digunakan sebagai indikator kecenderungan terjadinya retrogradasi pada pati (Karim et al. 2000). Kecenderungan retrogradasi yang tinggi disebabkan kristalisasi yang terjadi pada molekul amilosa rantai pendek dan amilopektin rantai panjang (Peroni et al. 2006). H. MODIFIKASI PATI Setiap jenis pati memiliki karakteristik dan sifat fungsional berbeda. Sumber tanaman, kondisi lingkungan, dan varietas diketahui dapat mempengaruhi sifat fungsional pati (Mweta et al. 2008). Akan tetapi penggunaan pati alami secara luas sering kali terkendala akibat karakteristik yang dimiliki pati alami tersebut terbatas dan tidak memenuhi kriteria dalam industri. Pada umumnya, pati alami menunjukkan ketahanan yang rendah terhadap perlakuan pemanasan dan pengadukan, ditambah dengan kecenderungan kerusakan akibat retrogradasi dan sineresis yang tinggi (Dufour et al. 2000; Pongsawatmanit et al. 2007). Oleh karena itu dapat dilakukan modifikasi granula pati untuk mendapatkan karakteristik pati yang diinginkan. Modifikasi dapat meningkatkan atribut positif yang dimiliki pati native tersebut dan atau mengurangi karakter negatifnya. Alasan perlu dilakukannya modifikasi pati adalah: 1) untuk memodifikasi karakteristik pemasakan, 2) mengurangi kecenderungan retrogradasi, 3) meningkatkan kekuatan menahan air pada dispersi pati saat suhu rendah, 4) mengurangi kecenderungan pembentukan gel pada dispersi pati, 5) mengurangi terjadinya sineresis pada pembentukan pasta maupun gel, 6) meningkatkan kejernihan pasta dan gel, 7) meningkatkan ketahanan dispersi saat penurunan kekentalan oleh asam maupun perusakan secara fisik, 8) menambah gugus hidrofobik (untuk stabilisasi emulsi), dan 8) memasukkan sifat ionisasi pati asal (Be Miller dan Lafayette 1997). Pati yang dimodifikasi dapat digunakan pada industri pangan sehingga pati yang dimodifikasi dapat digunakan dengan mudah, viskosias stabil, lebih tahan terhadap proses pengolahan ( shearing mekanis, suhu sterilisasi, dan asam), dan memberikan texture range yang luas. Pati modifikasi merupakan pati yang diberi perlakuan baik secara fisik maupun kimia sehingga mempunyai sifat reologi dan fungsional yang berbeda dari pati aslinya. Biasanya modifikasi pati secara kimia (seperti ikatan silang dan atau asetilasi) dilakukan. tetapi telah berkembang ketertarikan kepada modifikasi secara fisik (panas, kadar air, pengadukan, atau iradiasi) khususnya pada penggunaan pati dalam industri pangan. Hal ini dikarenakan perlakuan modifikasi secara fisik dianggap lebih aman dan alam dibandingkan modifikasi secara kimia (Collado et al. 2001). 17

16 I. MODIFIKASI HEAT-MOISTURE TREATMENT (HMT) Salah satu modifikasi fisik yang sekarang berkembang adalah heat moisture treatment (HMT) yaitu proses modifikasi dengan pemanasan tinggi dengan kadar air terbatas (<35%) (Collado et al. 2001; Lim et al. 2001). Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung memungkinkan pelemahan ikatan hidrogen inter- dan intramolekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak terjadi adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi. Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati. Adanya pengaturan kembali pada molekul granula berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia pati (Herawati. 2009). Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil amilografi pati (Collado dan Corke 1999; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006; Olayinka et al. 2008), perubahan karakteristik termal melalui pengujian Differential Scanning Calorymetri (DSC) (Collado dan Corke 1999; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta et al. 2008), perubahan volume pembengkakan granula pati (Collado dan Corke. 1999; Collado et al. 2001), dan perubahan kelarutan (Collado dan Corke 1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain terjadinya peningkatan fraksi pati yang memiliki berat molekul pendek (Lu et al. 1996; Vermeylen et al ). Modifikasi HMT menurut Kulp dan Lorenz (1981) dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi kristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada zona amorphous. memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin. meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi. serta merubah derajat kristalinisasi pati. HMT dapat merubah karakteristik fisikokimia tepung tanpa merusak granula pati (Stute 1992; Jacobs dan Delcour 1998). HMT diketahui dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, menurunkan viskositas puncak; pengembangan granula dan pelepasan amilosa; viskositas breakdown; dan viskositas setback, sehingga dapat meningkatkan stabilitas granula terhadap panas dan pengadukan (Jacobs dan Delcour 1998; Adebowale et al. 2005; Hormdok dan Noomhorm 2007). Kondisi pati dan proses seperti kadar air, sumber pati, suhu pemanasan, dan waktu proses telah dilaporkan dapat mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Kombinasi antar berbagai faktor tersebut dapat menghasilkan pati dengan karakteristik fungsional yang berbeda-beda. 1. Pengaruh Kadar Air Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas puncak, 18

17 meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk teretrogradasi (meningkatkan setback). Selanjutnya menurut Adebowale et al. (2005) perubahan tersebut sangat tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air modifikasi tidak memberikan pola khas dalam meningkatkan suhu gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan setback pati sorgum merah. Namun demikian. modifikasi yang dilakukan pada kadar air 24% memberikan pati termodifikasi dengan puncak viskositas, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan setback paling rendah bila dibandingkan dengan kadar air 18%, 21%, dan 27%. Menurut Jacobs et al. (1995), formasi struktur granula mengembang dan rusak yang rapat dapat mempengaruhi viskositas selama pemanasan dan peningkatan rigiditas granula akibat ketidaksempurnaan proses gelatinisasi. Peningkatan rigiditas menyebabkan granula menjadi lebih resisten terhadap pemanasan dan pengadukan sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan viskositas. Pengaruh pengaturan kadar air modifikasi HMT terhadap karakteristik fungsional pati juga dilaporkan oleh Lewandowicz et al. (1997) pada pati tapioka dan kentang dengan teknik radiasi microwave. Pati modifikasi dengan kadar air HMT hingga 20% belum memperlihatkan perubahan signifikan dibanding pati native-nya. Perubahan signifikan ditunjukkan pada pati modifikasi dengan kadar air 25-35% di mana kurva Brabender cenderung memperlihatkan adanya penurunan viskositas dan kenaikan suhu gelatinisasi. Perubahan isotermal terjadi pada pati teradiasi microwave sehingga mempengaruhi perubahan temperatur gelatinisasi yang mungkin disertai dengan perubahan sifat fungsionalnya (Lewandowicz et al. 1997). 2. Pengaruh Sumber Pati Adanya perbedaan proporsi amilosa/ amilopektin kemungkinan akan mempengaruhi sensifitasnya terhadap pengaruh modifikasi HMT. Hoover dan Manuel (1996) mengungkapkan bahwa pati termodifikasi HMT dari beberapa jenis tanaman polong dengan proporsi amilosa/ amilopektin berbeda mengalami penurunan pelepasan amilosa, penurunan faktor pembengkakan granula, dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda. Lewandowicz et al. (1997) menambahkan pada pati kentang (21% amilosa) menunjukkan perubahan lebih besar pada karakteristik fisikokimia dibandingkan tapioka (17% amilosa). Peristiwa tersebut dapat dijelaskan dalam Donovan et al. (1983) yang menyatakan bahwa asosiasi amilosa pada zona amorphous cenderung mengalami perubahan yang lebih besar daripada perubahan asosiasi amilopektin pada zona kristalin selama proses iradiasi microwave berlangsung. Hal ini mengakibatkan penurunan yang signifikan pada pengembangan dan kelarutan pada granula pati yang teriradiasi microwave. Kenaikan temperatur gelatinisasi pada pati termodifikasi mengindikasikan asosiasi dan konfigurasi struktur granula yang lebih stabil. Hal berbeda diungkapkan oleh Anderson dan Guraya (2006) pada pati beras (waxy maupun non waxy) yang dimodifikasi HMT dengan teknik iradiasi microwave. Penurunan viskositas puncak pada pati beras dengan kandungan amilopektin tinggi (waxy) mengindikasikan penurunan daya pengembangan granula pati yang menyebabkan meningkatnya kemampuan ketahanan terhadap pengadukan dan viskositas setback (Stute 1992). Namun demikian. dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa lebih tinggi mempunyai perubahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya. Perbedaan panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin di dalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi 19

18 kemudahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air terutama saat berlangsungnya modifikasi HMT. 3. Pengaruh Interaksi Suhu dan Kadar Air Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin di dalam granula dengan air. Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antar molekul amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektin-amilopektin. Ikatan hidrogen antar molekul tersebut kemudian digantikan dengan ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Studi yang dilakukan oleh Lewandowicz et al. (1997) dan Vermeylen et al. (2006) menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih besar, dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Pada penelitian yang dilakukan Lewandowicz et al. (1997). pati dengan pengaturan kadar air 25-35% memiliki perubahan seperti peningkatan suhu gelatinisasi, penurunan kelarutan, dan perubahan struktur kristalin. Perubahan yang terjadi akan lebih besar jika pengaturan kondisi kadar air pada modifikasi HMT dan suhu yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan air mempengaruhi proses perubahan isotermal pada pati yang dimodifikasi dengan teknik radiasi microwave (Lewandowicz et al. 1997). Hoover dan Vasanthan (1994) menambahkan bahwa penurunan entalpi pada pati termodifikasi HMT seiring dengan meningkatnya kadar air menunjukkan adanya kerusakan pada struktur heliks ganda yang dipicu oleh pergerakan rantai heliks ganda (yang meningkat seiring kenaikan kadar air). Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat granula lebih besar pada suhu 130 o C dan integritas granula telah hilang sebagian (Lewandowicz et al. 1997). Vermeylen et al. (2006) juga menemukan hilangnya sifat birefringence serta kekosongan pada pusat granula yang disebabkan oleh hilangnya orientasi radial pada pusat granula. Imbibisi air yang didukung suhu tinggi menyebabkan hilangnya kristalinitas granula. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan sehingga meningkatkan molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney 1998). 4. Pengaruh Interaksi Waktu dan Suhu Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang dilakukan pada suhu pemanasan 110 o C selama 16 jam dengan kadar air sebesar 26% dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yaitu pati yang cenderung dapat mempertahankan viskositasnya selama pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai profil gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada kombinasi waktu dan suhu yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas 20

19 panas pasta pasti meningkat dengan meningkatnya waktu modifikasi 12 jam menjadi 16 jam namun kemudian menurun ketika waktu modifikasi ditingkatkan menjadi 20 jam. Stabilitas pasta panas pati turut meningkat seiring dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 100 o C menjadi 110 o C namun kemudian menurun ketika suhunya ditingkatkan menjadi 120 o C. J. TEKNOLOGI MICROWAVE Microwave merupakan perangkat dengan energi nonionisasi yang dapat menyebabkan kenaikan temperatur diantara media yang terpenetrasi sebagai akibat perubahan cepat molekul elektromagnetik pada frekuensi tinggi (Lewandowicz et al. 2000). Hal serupa juga diungkapkan oleh Fellows (2000) bahwa microwave memanaskan bahan pangan menggunakan energi dielektrik yang mempengaruhi kutub positif dan negatif khususnya pada air yang merupakan komponen yang banyak terkandung dalam bahan pangan. Microwave dapat menciptakan keadaan di mana energi listrik tercipta yang menyebabkan molekul dipolar secara terus menerus bergerak sehingga menghasilkan gesekan yang menimbulkan panas. Pemanasan pada microwave berbeda dengan pemanasan dengan metode konduksi maupun konveksi yang umum digunakan. Energi panas pada microwave dikonduksikan ke pusat bahan sehingga memiliki suhu yang lebih tinggi daripada di bagian permukaan yang dikarenakan evaporasi uap air (Buffler 1992). Untuk mencegah pemanasan yang hanya terkonsentrasi pada bagian tertentu sehingga menciptakan titik-titik panas atau dingin, kebanyakan microwave dilengkapi dengan pengaduk atau meja berputar (turntable) untuk menjamin keseragaman penetrasi panas pada bahan. Selain itu microwave juga dapat dilengkapi dengan sensor yang ketidakakuratannya dapat mencapai ± 8 o F (3 o C). Microwave sangat baik digunakan untuk thawing, tempering, perehidrasi, dan pemanggangan tapi tidak untuk blansir atau pasteurisasi (Fellows 2000). Teknologi microwave saat ini telah banyak berperan penting pada pengeringan di industri pangan karena proses pemanasan yang cepat dan kemudahan penggunaan. Sebagai tambahan. penggunaan microwave tidak menimbulkan polusi terhadap lingkungan maupun menghasilkan bahan kimia asing. Selain itu energi microwave juga lebih efisien dari pada proses pemanasan secara tradisional karena penggunaan metode ini lebih meyakinkan dalam pemrosesan yang homogen pada seluruh volume bahan, penetrasi panas yang lebih baik, dan absorpsi selektif (Rajkó et al. 1997). Walaupun aplikasi microwave dalam proses pengolahan hanya melibatkan lebih sedikit kerusakan akibat pemanasan pada bahan dibandingkan metode pemanasan lainnya seperti pemanasan dengan air panas (Wang et al. 2003). Proses ini dapat menyebabkan reaksi biokimia. perubahan konformasi molekular pada pati, protein, tekstur, dan sifat fisikokimia seperti kelarutan dan temperatur gelatinisasi seperti yang diungkapkan Zhao et al. (2007). 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI NATIVE 1. Karakteristik Fisik Sifat bahan pangan berbentuk bubuk dapat digolongkan dalam dua tingkat yaitu bubuk sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk).

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH MODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DENGAN RADIASI MICROWAVE TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL TAPIOKA DAN MAIZENA

PENGARUH MODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DENGAN RADIASI MICROWAVE TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL TAPIOKA DAN MAIZENA PENGARUH MODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DENGAN RADIASI MICROWAVE TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL TAPIOKA DAN MAIZENA SKRIPSI WIDI PINASTHI F24062225 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Convolvulaceae. Ubi jalar termasuk tanaman tropis, tumbuh baik di daerah yang memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati jagung Dalam proses modifikasi pati jagung HMT dilakukan pemilihan suhu dan waktu terbaik selama perlakuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pati Walur Alami Sifat bahan pangan dalam bentuk bubuk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU Sagu (Metroxylon sp.) diduga berasal dari Maluku dan Papua. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman.

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman. 26 TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta) Ubi kayu (Manihot esculenta) tumbuh dengan sangat baik di daerah-daerah dengan suhu antara 25 o C-29 o C dengan ketinggian daerah sekitar 1.500 m. dpl.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari 50% penduduk dunia tergantung pada beras sebagai sumber kalori utama. Di Indonesia, konsumsi dari kelompok padi-padian masih dominan baik di kota maupun di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) Kluwih merupakan kerabat dari sukun yang dikenal pula dengan nama timbul atau kulur. Kluwih dianggap sama dengan buah

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

PATI ALAMI. Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman.

PATI ALAMI. Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. PATI ALAMI Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. Sebagian besar pati di simpan dalam akar,umbi,akar,biji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA Agus Budiyanto, Abdullah bin Arif dan Nur Richana Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian n Disampaikan Pada Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional 2016

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut karena terjadi peningkatan jumlah industri makanan dan nonmakanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jagung (Zea mays) Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon bentuk liar tanaman jagung disebut pod maize, telah tumbuh 4.500 tahun yang lalu di Pegunungan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi POLISAKARIDA Shinta Rosalia Dewi Polisakarida : polimer hasil polimerisasi dari monosakarida yang berikatan glikosidik Ikatan glikosidik rantai lurus dan rantai bercabang Polisakarida terbagi 2 : Homopolisakarida

Lebih terperinci

B. TEKSTUR PRODUK FRIED SNACK

B. TEKSTUR PRODUK FRIED SNACK II. TINJAUAN PUSTAKA A. KACANG SALUT Kacang salut merupakan makanan ringan berupa kacang tanah yang dibalut dengan adonan tepung kemudian digoreng dengan suhu tertentu sampai kacang tanahnya matang dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula (Jane, 1995). Winarno (2002), menyatakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumping Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di Indonesia sumping dikenal dengan kue nagasari. Sumping umumnya dibuat dari tepung beras, santan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Naga Buah naga atau dragon fruit merupakan buah yang termasuk kedalam kelompok tanaman kaktus. Buah naga berasal dari Negara Mexico, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kue Bolu Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, lemak, dan telur. Menurut Donald (2013), kue bolu merupakan produk yang di hasilkan dari tepung terigu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biji Jali Tanaman jali termasuk dalam tanaman serealia lokal. Beberapa daerah menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. Klasifikasi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tepung Jagung Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang terus meningkat. Namun demikian peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga terjadi masalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN 1. Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Penelitian ini menggunakan bahan baku beras IR64 dan beras ketan Ciasem yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Rendemen

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Rendemen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen Rendemen tepung dan pati dihitung berdasarkan bobot umbi segar yang telah dikupas (Lampiran 1). Ubi jalar Cilembu menghasilkan tepung dengan rendemen sebesar 15.94%,

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

TANAMAN PENGHASIL PATI

TANAMAN PENGHASIL PATI TANAMAN PENGHASIL PATI Beras Jagung Sagu Ubi Kayu Ubi Jalar 1. BERAS Beras (oryza sativa) terdiri dari dua jenis, yaitu Japonica yang ditanam di tanah yang mempunyai musim dingin, dan Indica atau Javanica

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Terigu Standar Nasional Indonesia 01-3751-2006 mendefinisikan tepung terigu sebagai tepung yang berasal dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L.(Club wheat) dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat 18 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2010 di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Rekayasa Proses

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaplek (Manihot esculenta Crantz) Gaplek (Manihot Esculenta Crantz) merupakan tanaman perdu. Gaplek berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir

Lebih terperinci

Diagram Sifat-sifat Pati

Diagram Sifat-sifat Pati Diagram Sifat-sifat Pati X-ray Crystallography Mempelajari sifat kristalin pati X-ray pattern, obtained when a crystal is irradiated with X-rays. This pattern is distinctive to the crystal structure 3

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hasil pembuatan pati dari beberapa tanaman menghasilkan massa (g) yaitu ubi

Lebih terperinci

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto LOGO Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau Mitha Fitriyanto 1409100010 Pembimbing : Prof.Dr.Surya Rosa Putra, MS Pendahuluan Metodologi Hasil dan

Lebih terperinci

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG Qanytah Tepung jagung merupakan butiran-butiran halus yang berasal dari jagung kering yang dihancurkan. Pengolahan jagung menjadi bentuk tepung lebih dianjurkan dibanding produk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Koro Glinding (Phaseolus lunatus) Koro glinding (Phaseolus lunatus) merupakan tanaman spermatophyta yang disebut tanaman dikotil, karena dapat menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Dilihat dari karakter fisiknya, murbei merupakan buah yang berasa segar manis

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Dilihat dari karakter fisiknya, murbei merupakan buah yang berasa segar manis I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori 4. PEMBAHASAN Sorbet merupakan frozen dessert yang tersusun atas sari buah segar, air,gula, bahan penstabil yang dapat ditambahkan pewarna dan asam (Marth & James, 2001). Pada umumnya, frozen dessert ini

Lebih terperinci

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebesar ton

I. PENDAHULUAN. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebesar ton 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebesar 2.366.410 ton dari luas lahan 166.332 Ha (BPS, 2013). Ubi jalar ungu ( Ipomea batatas)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna.

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Redistilat asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air yang diperoleh dari pirolisis kayu (Maga,1987). Redistilat asap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sagu

TINJAUAN PUSTAKA Sagu 4 TINJAUAN PUSTAKA Sagu Sagu merupakan tanaman rumpun dan berkembang biak dengan membentuk anakan. Sagu termasuk tumbuhan monokotil dalam family Palmae, subfamily Lepidocaryoideae serta genus Metroxylon.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp.

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp. BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp. Maizena Awal Akhir 2. Gelatinasi Pati Suspesni Sel Panas Sel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong

HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong Tahap pertama dalam penelitian ini adalah pembuatan pati singkong termodifikasi yaitu pembuatan pati singkong tergelatinisasi dan pembuatan pati singkong

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss 4. PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung 4.1.1. Cooking loss Menurut Kruger et al. (1996), analisa cooking loss bertujuan untuk mengetahui banyaknya padatan dari mi yang terlarut dalam air selama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan telah banyak dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. amilosa dan amilopektin (Jacobs dan Delcour 1998). Pati dapat diperoleh dari bijibijian,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. amilosa dan amilopektin (Jacobs dan Delcour 1998). Pati dapat diperoleh dari bijibijian, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pati 2.1.1 Pengertian Pati Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa, dan terdiri atas amilosa dan amilopektin (Jacobs dan Delcour 1998). Pati dapat diperoleh dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN PUFFING Menurut Sulaeman (1995), teknik puffing merupakan teknik pengolahan bahan pangan dimana bahan pangan tersebut mengalami pengembangan sebagai akibat pengaruh

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati,

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat Kualitas pektin dapat dilihat dari efektivitas proses ekstraksi dan kemampuannya membentuk gel pada saat direhidrasi. Pektin dapat membentuk gel dengan baik apabila pektin tersebut memiliki berat molekul,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. utilissima) secara sistematik adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. utilissima) secara sistematik adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Kayu (Manihot utilissima Pohl.) 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Menurut Tjitrosoepomo (1996) klasifikasi tumbuhan singkong (Manihot utilissima) secara sistematik adalah sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. buah-buahan. Berbagai macam jenis buah tumbuh di Indonesia dan ada beberapa

I. PENDAHULUAN. buah-buahan. Berbagai macam jenis buah tumbuh di Indonesia dan ada beberapa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman buah-buahan. Berbagai macam jenis buah tumbuh di Indonesia dan ada beberapa yang masih belum dikenal

Lebih terperinci

3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam

3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam 3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam Pada pengujian fisik mi bayam yang dilakukan meliputi tensile strength dan warna. Salah satu kriteria yang utama pada mi adalah tekstur. Tekstur mi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tapioka Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung tapioka mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri.

Lebih terperinci

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cookies Cookies (kue kering) adalah makanan ringan yang terbuat dari tepung protein rendah. Proses pembuatan cookies dengan cara dipanggang hingga keras namun masih renyah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati adalah bahan baku yang sangat penting untuk industri makanan. Sebagai pengembangan produk makanan yang baru, pati memiliki sifat khusus yang fungsional. Fungsi

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu hasil pertanian tanaman pangan di daerah tropika yang meliputi Afrika, Amerika Selatan, dan sebagian wilayah

Lebih terperinci

KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN. Oleh : Astuti Setyowati

KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN. Oleh : Astuti Setyowati KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN Oleh : Astuti Setyowati KARBOHIDRAT Terdapat dalam : 1. Tumbuhan : monosakarida, oligo sakarida, pati, selulosa, gum 2. Hewan : glukosa, glikogen,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahapan pertama adalah tahapan persiapan sampel formulasi berupa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahapan pertama adalah tahapan persiapan sampel formulasi berupa BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tahap Preparasi Pembuatan Puding Jagung Tahapan pertama adalah tahapan persiapan sampel formulasi berupa jagung pipil varietas motoro kiki yang telah diolah menjadi tepung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fungsional Tepung Jagung Swelling Volume

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fungsional Tepung Jagung Swelling Volume 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fungsional Tepung Jagung Swelling Volume Swelling volume dan kelarutan memberikan petunjuk adanya ikatan nonkovalen antara molekul pati dan seberapa besar kekuatan ikatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air BAB V PEMBAHASAN Cake beras mengandung lemak dalam jumlah yang cukup tinggi. Lemak yang digunakan dalam pembuatan cake beras adalah margarin. Kandungan lemak pada cake beras cukup tinggi, yaitu secara

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. agar gluten yang terbentuk dapat menyimpan gas sebanyak-banyaknya. Umumnya, dalam

TINJAUAN PUSTAKA. agar gluten yang terbentuk dapat menyimpan gas sebanyak-banyaknya. Umumnya, dalam TINJAUAN PUSTAKA Tepung Terigu Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bahan dasar gandum yang diperoleh dengan cara penggilingan gandum yang banyak digunakan dalam industri pangan. Komponen yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci