HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong"

Transkripsi

1 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Pati Singkong Tahap pertama dalam penelitian ini adalah pembuatan pati singkong termodifikasi yaitu pembuatan pati singkong tergelatinisasi dan pembuatan pati singkong resisten 1 siklus dan 3 siklus melalui proses autoclaving-cooling cycling. Pati singkong termodifikasi dibentuk dari pati singkong komersial merk TUGU TANI. Hal ini dikarenakan pati singkong komersial merk TUGU TANI memiliki kualitas tapioka yang baik dibandingkan tapioka merk lainnya. Pati singkong tergelatinisasi merupakan pati singkong yang dbuat melalui proses gelatinisasi dan pengeringan. Hal ini dilakukan untuk proses pematangan pati singkong dan pengeringan bertujuan untuk instanisasi pati singkong. Pati singkong tergelatinisasi yang telah dikeringkan akan tergelatinisasi kembali apabila pati tersebut digelatinisasi kembali (Winarno 2004). Pati singkong tergelatinisasi dibuat sebagai bahan baku bubur pati singkong tergelatinisasi (BPS). Pati singkong termodifikasi lainnya yang dibuat dalam penelitian ini adalah yaitu pati singkong resisten 1 siklus dan pati singkong resisten 3 siklus. Tahapan modifikasi pati sebagai dimulai dari pati singkong disuspensi dengan akuades (20% b/v) kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 80ºC dengan pengadukan konstan hingga homogen dan mengental. Waktu yang diperlukan untuk mencapai suspensi homogen adalah 9 menit. Menurut SNI (1992) dalam Widowati (2000) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati singkong adalah 84 C dalam waktu sekitar 23 menit. Berdasarkan pernyataan diatas waktu pemanasan pati singkong mencapai tahap gelatinisasi lebih rendah daripada SNI. Hal ini diduga disebabkan perbedaan botani singkong dan pengolahan saat proses gelatinisasi pati. Suspensi pati yang telah tergelatinisasi mengalami peningkatan viskositas dan perubahan warna menjadi putih keruh. Hal ini menunjukkan telah terjadi tahap awal gelatinisasi. Selanjutnya pati digelatinisasi pada suhu tinggi yaitu suhu 121ºC selama 30 menit menggunakan autoklaf. Tujuan gelatinisasi adalah memecahkan granula pati melalui autoclaving sehingga amilosa terdegradasi. Pati yang telah digelatinisasi kemudian didinginkan hingga tercapai suhu ruang. Proses ini dilakukan agar panas dari pati berkurang. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclaving-colling cycling treatment (Shin et al. 2002; Zabar et al. 2008).

2 30 Pati yang telah mencapai suhu ruang selanjutnya didinginkan atau cooling pada suhu 4ºC selama 24 jam sehingga terjadi retrogradasi. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Sebagian besar pati yang telah menjadi gel bila disimpan atau didinginkan untuk beberapa hari atau beberapa minggu akan membentuk endapan kristal di dasar wadahnya (Winarno 2004). Namun, alat yang tersedia terbatas sehingga proses cooling hanya mencapai suhu 8ºC dan membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu 72 jam agar proses retrogradasi sempurna. Pati singkong resisten yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan pati resisten tipe III. Pati resisten tipe III merupakan fraksi pati yang paling resisten karena amilosa teretrogradasi yang terbentuk selama pendinginan pati tergelatinisasi (Sajilata etal. 2006). Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Selama proses cooling setelah autoclaving, sebagian fragmen yang terlarut akan membentuk lapisan kaku dan kuat pada permukaan granula. Perubahan struktur yang terjadi pada saat pendinginan disebabkan terbentuknya ikatan hidrogen antara amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, amilopektin-amilopektin dan pembentukan gel yang keras menyebabkan granula pati tahan terhadap panas sehingga resisten terhadap enzim pencernaan (Raja & Shindu 2000). Pati singkong yang digelatinisasi akan meningkat daya cernanya. Namun, pati singkong tergelatinisasi tersebut diretrogradasi maka daya cernanya akan menurun dan resisten terhadap enzim pencernaan. Retrogradasi pati membuat struktur amilopektin menjadi linear. Peningkatan kadar pati resisten dilakukan dengan menggunakan pengulangan siklus. Tahapan modifikasi pati singkong resisten 3 siklus sama dengan 1 siklus, tetapi tahap autoclaving dilakukan sebanyak 3 kali atau 2 kali pengulangan dan waktu gelatinisasi 15 menit tiap siklusnya. Perbedaan waktu gelatinisasi saat autoclaving pada pembuatan pati singkong resisten turut mempengaruhi pembentukan pati singkong resisten pada 2 perlakuan. Waktu autoclaving dengan waktu 15 menit menghasilkan pati singkong resisten lebih tinggi daripada autoclaving 30 menit. Berdasarkan penelitian Pratiwi (2008), waktu pemanasan autoclaving 30 menit menghasilkan daya cerna pati yang lebih tinggi sehingga kandungan pati resistennya lebih rendah dibandingkan dengan waktu pemanasan autoclaving 15 menit.

3 31 Proses cooling mencapai suhu pendinginan sebesar 4ºC pada permukaan pati sehingga pati teretrogradasi sempurna, sedangkan pada bagian bawah suhu pati hanya mencapai 7.8ºC. Proses pengeringan pati hasil autoclaving-cooling menggunakan drum dryer. Suhu drum dryer yang tinggi dapat menstimulir pati tergelatinisasi kembali. Rendemen merupakan persentase produk terhadap bahan baku. Pati singkong resisten 1 siklus dibuat dengan menggunakan pati singkong merk TUGU TANI menghasilkan rendemen sebesar 78%, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus hanya menghasilkan rendemen 66%. Formulasi Bubur Instan Produk bubur yang dibuat adalah jenis pangan instan sehingga prinsip kematangan produk menjadi hal yang penting. Formula produk terdiri atas pati singkong tergelatinisasi, pati singkong resisten 1 siklus, sukralosa, garam, flavour essence melon, dan tepung emulsi. Pati singkong tergelatinisasi merupakan tapioka yang telah melewati fase gelatinisasi sehingga pati singkong tersebut telah matang dan dapat membentuk struktur bubur. Pati resisten merupakan pati modifikasi yang telah terlewati masa gelatinisasinya dan teretrogradasi sehingga memiliki struktur yang berbeda dari pati pada umumnya. Pati resisten tipe III yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat mempertahankan karakteristik organoleptik suatu makanan ketika makanan tersebut ditambahkan pati resisten tipe III (Lehnmann et al. 2002). Pati resisten tipe III relatif tahan panas dibandingkan pati resisten tipe lainnya. Penambahan tepung emulsi digunakan untuk meningkatkan kandungan gizi dan kekentalan bubur instan pati singkong termodifikasi. Isolat protein kedelai berfungsi sebagai emulsifier. Protein kedelai membantu pembentukan emulsi minyak dalam air. Emulsi yang terbentuk akan distabilkan oleh protein kedelai. Isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavour produk (Koswara 1995). Minyak nabati ditambahkan untuk meningkatkan kadar lemak bubur instan. Minyak nabati dipilih karena tidak mengandung kolesterol (Ketaren 1986). Putih telur digunakan sebagai stabilizier. Putih telur mengandung protein akan terkoagulasi bila dipanaskan sehingga berperan sebagai agen pengental dan pengikat. Putih telur mengandung 87.8% air dalam 100 gram bahan sehingga membentuk sistem emulsi minyak dalam air yang baik pada tepung emulsi. Walaupun kuning telur mempunyai kemampuan emulsi yang lebih baik

4 32 dibandingkan putih telur, kuning telur akan memberikan penampakan yang buruk pada bubur instan. Kuning telur mengandung kolesterol yang tidak diharapkan pada bubur instan dalam penelitian ini. Penambahan bahan-bahan tersebut dimaksudkan agar bubur instan memiliki rasa dan penampakan yang menarik. Sukralosa dipilih sebagai pemanis karena sukralosa menghasilkan 600 kali kemanisan daripada gula biasa (sukrosa) tanpa mengakibatkan peningkatan kalori. Sukralosa tidak menyebabkan risiko neurologik, gangguan reproduksi, maupun efek karsinogenik. Keunggulan lainnya adalah relatif stabil terhadap panas, sehingga tingkat kemanisan tidak banyak berubah (Branen et al. 1990). Flavour essence melon menyebabkan aroma pati singkong yang langu sedikit berkurang dan flavour buah dipilih karena bubur instan yang berbasis manis. Tepung emulsi merupakan campuran dari putih telur, minyak nabati, dan isolat protein kedelai yang dibuat menggunakan homogenizer dan spray dryer. Putih telur dan minyak nabati sebagai bahan pembentuk tepung emulsi dilarutkan dan diratakan dengan menggunakan homogenizer. Selanjutnya kedua bahan yang telah tercampur rata dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Spray dryer merupakan alat dengan pengering prinsip pengeringannya adalah dengan mengubah bentuk larutan menjadi bubuk pada pembuatan tepung emulsi. Isolat protein kedelai sebagai emulsifier ditambahkan pada bubuk putih telur dan minyak nabati dengan cara dry mixing. Penambahan air dalam penyajian bubur instan merupakan proses yang menentukan tekstur bubur instan pati modifikasi singkong. Air yang dituang terlebih dahulu adalah air dengan suhu kamar, dan baru kemudian air hangat dengan perbandingan bubur instan : air suhu kamar : air hangat (1:1:2). Karakteristik Organoleptik Bubur Instan Atribut makanan merupakan hal terpenting bagi konsumen, meliputi tekstur, citarasa, aroma, dan warna. Hal ini dapat menunjukkan kesukaan individu terhadap produk tertentu dan dapat mempengaruhi penerimaan (Fellow 2000). Oleh karena itu perlu dilakukan suatu uji sensorik produk yaitu uji organoleptik. Uji organoleptik dilakukan oleh 30 orang panelis yang seluruhnya mahasiswa. Panelis tergolong ke dalam panelis agak terlatih yang didasarkan

5 33 pada keseringan menjadi panelis kegiatan uji organoleptik. Bubur yang dijadikan contoh untuk uji organoleptik seperti terlihat pada Gambar 9. (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 9 Bubur pati singkong (BPS) (a); Bubur Pati Resisten 1 siklus (BRS 1) (b); Bubur Pati Resisten F1, F2, F3 (c), (d), (e) Bubur pati singkong resisten 3 siklus tidak diujikan dalam uji organoleptik disebabkan proses pembuatan pati singkong resisten 3 siklus dilakukan setelah setelah uji organoleptik dan beberapa analisis fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi pati dan tepung bubur instan pati termodifikasi. Hal ini dikarenakan pati singkong resisten 3 siklus merupakan penelitian tambahan yang dilakukan untuk meningkatkan karakteristik fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi bubur instan. Warna Warna merupakan variabel yang mempengaruhi penampilan suatu produk. Warna juga merupakan salah satu indikator kematangan atau kerusakan suatu produk (Parker 2003). Grafik mutu hedonik warna bubur instan dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan mutu hedonik yang terdapat dalam Gambar 10 warna bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 4 sampai 7 (kuning kecoklatan sampai putih susu) dengan skor terbanyak pada skala 6 (putih gading) sebesar 41.94%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh skor 4 sampai 7 (kuning kecoklatan sampai putih susu) dengan skor terbanyak pada skala 5 (putih kekuningan) sebesar

6 %. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 6 (cokelat sampai putih gading) dengan skor terbanyak 5 (putih kekuningan) sebesar 32.26%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 7 (cokelat muda sampai putih susu) dengan skor terbanyak 4 (kuning kecoklatan) sebesar 25.81%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 5 (cokelat sampai putih kekuningan) dengan skor terbanyak 2 (cokelat muda) sebesar 41.94%. Grafik mutu hedonik warna bubur instan terlihat pada Gambar 10. Gambar 10 Grafik mutu hedonik warna bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik warna menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap warna bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik warna menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BRS (bubur pati resisten 1 siklus), sedangkan skor terendah adalah F1 dengan penambahan tepung emulsi 50 gram. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan warna putih pada bubur instan. Berdasarkan hasil uji hedonik warna bubur instan menurut Gambar 10 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 6 (suka) sebesar 25.81%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 6 (suka) sebesar 19.35%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 25.81%, bubur instan dengan

7 35 penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 2 (tidak suka) sebesar 35.48%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 3 (agak tidak suka) sebesar 25.81%. Grafik hedonik warna bubur instan terlihat pada Gambar 11. Gambar 11 Grafik hedonik warna bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) hedonik warna menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kesukaan panelis pada rasa bubur instan. Aroma Aroma merupakan salah satu aspek penting dalam penilaian terhadap makanan. Bubur instan memiliki aroma singkong yang khas sehingga penambahan flavour essence melon dan tepung emulsi bertujuan untuk mengurangi aroma langu singkong pada bubur instan. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik aroma bubur instan menurut Gambar 12 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 2 sampai 7 (berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak harum) sebesar 41.94%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 2 sampai 7 (berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak harum) sebesar 29.03%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak 4 (tidak berbau) sebesar 45.16%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat berbau

8 36 langu sampai harum) dengan skor terbanyak 3 (agak berbau langu) sebesar 41.94%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak 2 (berbau langu) sebesar 32.26%. Grafik mutu hedonik aroma bubur instan terllihat pada Gambar 12. Gambar 12 Grafik mutu hedonik aroma bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik aroma bubur instan menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap aroma bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik aroma menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BRS (Bubur pati resisten 1 siklus), sedangkan skor terendah adalah F3 dengan penambahan tepung emulsi 50 gram. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan aroma harum pada bubur instan. Berdasarkan hasil uji hedonik aroma bubur instan menurut Gambar 13 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak suka) sebesar 29.03%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 35.48%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 7 (tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 29.03%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 45.16%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 2 sampai

9 37 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 3 (agak tidak suka) sebesar 38.71%. Grafik hedonik aroma bubur intstan terlihat pada Gambar 13. Gambar 13 Grafik hedonik aroma bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) hedonik aroma menunjukkan bahwa penambahan penambahan tepung emulsi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap penerimaan panelis. Hal ini menunjukkan penambahan tepung emulsi tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap aroma bubur instan. Rasa Atribut rasa terdiri dari rasa asin, manis, pahit, dan asam. Rasa disebabkan oleh formulasi yang digunakan dan tidak dipengaruhi oleh proses pengolahan (Fellow 2000). Bubur instan yang dihasilkan memiliki rasa dominan manis karena penambahan sukralosa sebagai pemanis yang memiliki kemanisan 600 kali dari sukrosa dan rendah kalori karena awal pembuatan bubur instan ini dikhususkan bagi penyandang diabetes mellitus. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik rasa bubur instan menurut Gambar 14 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 3 sampai 7 (agak manis pahit sampai manis sekali) dengan skor terbanyak pada skala 6 (manis) sebesar 48.39%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 2 sampai 7 (manis pahit sampai manis sekali) dengan skor terbanyak pada skala 6 (manis) sebesar 32.26%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 7 (manis pahit sekali sampai manis sekali) dengan skor terbanyak 4 (hambar) sebesar 38.71%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 7 (manis pahit sampai manis sekali) dengan skor terbanyak 5 (agak manis) sebesar 38.71%, dan bubur instan dengan

10 38 penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 7 (manis pahit sekali sampai manis sekali) dengan skor terbanyak 5 (agak manis) sebesar 29.03%. Grafik mutu hedonik rasa bubur instan terlihat pada Gambar 14. Gambar 14 Grafik mutu hedonik rasa bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik rasa bubur instan menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap rasa bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik rasa menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BRS, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan kemanisan bubur instan. Berdasarkan hasil uji hedonik aroma bubur instan menurut Gambar 15 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 25.81%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian mmemperoleh skor skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 25.81%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 29.03%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 38.71%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat tidak suka sampai

11 39 suka) dengan skor terbanyak 3 (agak tidak suka) sebesar 25.81%. Grafik hedonik rasa bubur instan terlihat pada Gambar 15. Gambar 15 Grafik hedonik rasa bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penerimaan panelis. Uji lanjut Duncan hedonik rasa menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah F3, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi sebanyak 15 gram meningkatkan kesukaan panelis terhadap rasa bubur instan. Tekstur Tekstur makanan ditentukan oleh kadar air, kadar lemak, jenis dan jumlah karbohidrat terstruktur (selulosa, lignin, dan pektin). Perubahan tekstur disebabkan oleh hilangnya air atau lemak, pembentukan atau pemecahan emulsi, hidrolisis, karbohidrat polimer, dan koagulasi atau hidrolisis protein (Fellow 1992). Berdasarkan hasil uji mutu hedonik tekstur bubur instan menurut Gambar 16 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat encer sekali sampai sangat kental sekali) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak kental) sebesar 19.35%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 1 sampai 6 (sangat encer sekali sampai kental sekali) dengan skor terbanyak pada skala 2 (encer sekali) sebesar 35.48%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 3 sampai 7 (agak encer sampai sangat kental sekali) dengan skor terbanyak 6 (kental sekali) sebesar 38.71%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 6

12 40 (sangat encer sekali sampai kental sekali) dengan skor terbanyak 3 (agak encer) sebesar 32.26%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 2 sampai 6 (encer sekali sampai kental sekali) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 25.81%. Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan terlihat pada Gambar 16. Gambar 16 Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik tekstur bubur instan menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap tekstur bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik tekstur menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BPS, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan kekentalan bubur instan. Berdasarkan hasil uji hedonik tekstur bubur instan menurut Gambar 17 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak suka) sebesar 29.03%. Bubur instan kontrol negatifatau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 25.81%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 7 (tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar %, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 25.81%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai

13 41 6 (sangat tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 32.26%. Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan terlihat pada Gambar 17. Gambar 17 Grafik hedonik tekstur bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) hedonik tekstur bubur instan menunjukkan bahwa penambahan penambahan tepung emulsi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap penerimaan panelis. Hal ini menunjukkan penambahan tepung emulsi tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap tekstur bubur instan. Keseluruhan Berdasarkan hasil uji hedonik keseluruhan bubur instan menurut Gambar 18 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak suka) sebesar 29.03%. Bubur instan kontrol atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian memperoleh skor skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 29.03%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 32.26%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 38.71%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 29.03%. Grafik hedonik keseluruhan bubur instan terlihat pada Gambar 18.

14 42 Gambar 18 Grafik hedonik keseluruhan bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penerimaan panelis. Uji lanjut Duncan hedonik keseluruhan menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah F3, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi sebanyak 15 gram meningkatkan kesukaan panelis terhadap keseluruhan aspek mutu bubur instan. Penentuan formula terpilih ditentukan berdasarkan uji organoleptik bubur instan berupa uji mutu hedonik dan mutu hedonik. Bubur instan kontrol tidak dimasukkan dalam penilaian bubur instan terpilih dikarenakan bubur instan kontrol hanya digunakan sebagai pembanding dari bubur instan formula Presentase kelima bubur instan yang dipilih adalah bubur instan formula dengan tingkat kesukaan produk (5) agak suka, (6) suka, (7) sangat suka untuk uji hedonik. Berikut ini Tabel 4 menunjukkan bahwa presentase formula bubur instan yang disukai panelis berdasarkan hedonik. Parameter Tabel 4 Presentase hedonik panelis terhadap bubur instan formula Agak suka (%) F1 F2 F3 Sangat Agak Suka Sangat Agak Suka suka suka (%) suka suka (%) (%) (%) (%) (%) Suka (%) Sangat suka (%) Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan Hasil presentasi hedonik bubur instan formula menunjukkan bahwa sebagian panelis sangat menyukai bubur instan F3. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian kecil presentase pada bubur instan F3 untuk kategori sangat suka sebesar

15 % untuk masing-masing parameter aroma, rasa, dan tekstur. Panelis lebih menyukai bubur instan F3 sebesar 19.35% dan secara keseluruhan panelis lebih menyukai bubur instan F3 sebesar 22.58% daripada bubur instan F1 maupun F2. Berdasarkan uji hedonik bubur instan maka bubur instan terpilih atau yang paling disukai panelis adalah bubur instan F3. Uji mutu hedonik meliputi warna dengan nilai (5) putih kekuningan, (6) putih gading; aroma dengan nilai (5) agak harum, (6) harum, dan (7) sangat harum; rasa dengan nilai (5) agak manis, (6) manis, (7) manis sekali; tekstur dengan nilai (5) agak kental, (6) kental sekali, dan (7) sangat kental sekali. Tabel 5 menunjukkan presentase mutu hedonik panelis terhadap bubur instan formula. Tabel 5 Presentase mutu hedonik panelis terhadap bubur instan formula Warna Aroma Rasa Tekstur Parameter F1 F2 F3 Putih Kekuningan(%) Putih gading (%) Putih susu (%) Agak harum (%) Harum (%) Sangat harum (%) Agak Manis (%) Manis (%) Sangat manis (%) Agak Kental (%) Kental (%) Sangat Kental (%) Presentase panelis terhadap bubur instan formula berdasarkan parameter warna menunjukkan bahwa sebanyak 32.26% panelis memilih warna putih kekuningan pada bubur instan F3. Namun, presentase panelis terhadap aroma bubur instan formula yang sangat harum adalah bubur instan F1 sebesar 3.23%. Presentase panelis terhadap rasa sangat dari bubur instan formula adalah bubur instan F1 sebesar 9.68%, sedangkan parameter tekstur bubur instan formula yang sangat kental adalah bubur instan F3 sebesar 9.68%. Berdasarkan uji mutu hedonik bubur instan maka bubur instan terpilih atau yang paling disukai panelis adalah bubur instan F3. Karakteristik Fisikokimia Pati dan Tepung Bubur Instan Karakteristik fisikokimia pati dan tepung bubur instan yang diamati adalah pola gelatinisasi pati, pengamatan granula pati, derajat putih pati dan tepung bubur instan, dan densitas kamba pada pati dan tepung bubur instan. Pola gelatinisasi dilakukan untuk melihat perbedaan suhu gelatinisasi dan viskositas

16 44 pati pada ketiga jenis pati yang berbeda dari segi pengolahan. Suhu dan viskositas yang teramati dari pola gelatinisasi berguna dalam proses pengolahan bubur instan. Pengamatan granula pati dilakukan pada pati singkong (PS), pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) untuk melihat perbedaan granula pati akibat proses pengolahan. Pengamatan granula pati berguna dalam proses pengolahan bubur instan karena sifat birefringence dan amilosanya teramati. Densitas kamba dan derajat putih merupakan beberapa parameter kualitas mutu pada pati instan dan tepung bubur instan. Densitas kamba berguna untuk mengetahui seberapa tahan lama rasa cepat kenyang dari pati dan tepung bubur instan yang digunakan dalam penelitian ini dan berguna dalam pengemasan produk bubur instan. Derajat putih berguna untuk melihat kualitas pati dan tepung bubur instan terbaik dari segi warna. Pola Gelatinisasi Pola gelatinisasi pati singkong dan pati singkong resisten dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type Pengamatan dilakukan terhadap suhu gelatinisasi, suhu saat viskositas maksimum, dan viskositas maksimum. Pola gelatinisasi yang berbeda antar masing-masing sampel terjadi karena perbedaaan amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi dan viskositas. Oleh karena itu pada penelitian ini, pola gelatinisasi sampel pati singkong dan pati singkong resisten berhubungan dengan kadar amilosa yang dikandungnya. Hasil pengukuran sifat amilografi pati singkong dan pati resisten singkong disajikan Tabel 6. Sampel Tabel 6 Sifat amilografi sampel Suhu gelatinisasi awal (ºC) Suhu viskositas maksimum (ºC) Viskositas maksimum (BU) PS RS RS Suhu gelatinisasi pati singkong (PS) yaitu 69.5ºC, sedangkan suhu puncak gelatinisasinya adalah 78,5ºC. Menurut SNI (1992) dalam Widowati (2000) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati singkong adalah 84 C dalam

17 45 waktu sekitar 23 menit. Hal ini mengindikasikan bahwa pati singkong (PS) dalam penelitian ini lebih mudah tergelatinisasi daripada pati singkong pada umumnya. Suhu gelatinsasi yang rendah menunjukkan bahwa hidrasi atau pengikatan air pada pati singkong (PS) lebih mudah terjadi. Perbedaan suhu gelatinisasi sampel pati singkong (PS) terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) tidak terdeteksi memiliki suhu gelatinisasi awal seperti pati singkong (PS). Pati resisten singkong telah mengalami fase gelatinisasi dan retrogradasi saat proses pembuatannya sehingga fase gelatinisasinya telah terlampaui. Suhu viskositas maksimum dari pati singkong (PS) hingga pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) mengalami penurunan. Hal tersebut membuktikan bahwa proses modifikasi autoclaving-cooling cycling menyebabkan penurunan suhu viskositas maksimum pati sehingga pati yang dimodifikasi dengan pemanasan suhu tinggi akan lebih cepat tercapai suhu viskositas maksimumnya. Viskositas maksimum yang dapat dicapai oleh pati disebut juga viskositas puncak, sedangkan suhu viskositas maksimum adalah suhu saat pati mencapai viskositas maksimum. Viskositas maksimum tertinggi adalah pati singkong resisten 3 siklus (RS 3). Hal ini mengindikasikan bahwa pemecahan granula pati lebih cepat terjadi pada pati singkong resisten. Semakin besar viskositas pati, maka semakin tinggi pula kemampuan granula pati dalam menghidrasi. Hal ini terlihat dari penambahan air pada bubur pati singkong resisten. Perbedaan viskositas maksimum antara pati singkong dan pati singkong resisten terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas maksimum pati akan semakin tinggi. Kadar amilosa pati singkong hanya 20.12% (bk) sedangkan pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) % (bk) dan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) %bk. Semakin tinggi kadar amilosa dalam pati, maka semakin besar viskositas atau kekentalan patinya. Pengamatan Granula Pati Pengamatan terhadap granula pati bertujuan untuk mengetahui karakter bentuk dan ukuran granula pati, serta kondisi granula setelah dilakukan proses modifikasi dengan autoclaving-cooling. Hal ini diperlukan untuk memperkuat analisis sifat pasta pati. Pengamatan granula ini dilakukan menggunakan Light Polarized Microscope (mikroskop terpolarisasi cahaya) dengan menghitung

18 46 jumlah garis (rentang tiap garis berukuran 10 µm) yang melewati pati untuk mengetahui ukuran granula pati. Berdasarkan hasil pengamatan visual hasil pemotretan dengan menggunakan mikroskop terpolarisasi cahaya yang dilakukan perbesaran 200 hingga 400 X menunjukkan bahwa bentuk granula pati singkong adalah bulat dan poligonal sama halnya dengan penelitian Juliana (2007). Ukuran diameter pada pati singkong pada penelitian Juliana (2007) bervariasi dari 4-35 µm dan rata-rata 20 µm. Ukuran pati singkong yang terlihat dalam penelitian ini berkisar antara µm. Perbedaan ukuran dapat disebabkan oleh botani umbi singkong yang digunakan dalam penelitian. Gambar 19 menunjukkan granula pati singkong alami sebelum pemanasan. Gambar 19 Granula pati singkong sebelum pemanasan perbesaran 400 X Menurut French (1984) yang diacu dalam Pangestuti (2010), indeks granula pati dipengaruhi oleh struktur molekul amilosa di dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Sifat birefringence ini akan hilang bila pati sudah tergelatinisasi. Granula pati yang ditunjukkan pada gambar 19 menunjukkan warna merah biru yang jelas dan bentuk granula yang utuh, warna merah biru yang jelas merupakan representasi dari indeks bias refraksi granula yang disebut sifat birefringence. Hal ini menunjukkan proses pembuatan pati singkong tidak menyebabkan granula berubah atau mengalami gelatinisasi. Mikroskop cahaya terpolarisasi selain untuk mengamati bentuk dan ukuran granula pati, juga bermanfaat untuk mengamati kondisi proses dan modifikasi pati. Pati yang termodifikasi menunjukkan granula sudah tergelatinisasi baik parsial maupun sempurna. Kondisi granula pati singkong termodifikasi dapat dilihat pada Gambar 20.

19 47 (a) (b) Gambar 20 Granula pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) 400X (a); Granula pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 200X (b) Gambar 20 (a) memperlihatkan pada perlakuan suhu pemanasan 80ºC hingga 121ºC terjadi gelatinisasi parsial pada granula pati, sebagian granula telah tergelatinisasi dan sebagian lain granula masih tetap utuh yang ditunjukkan dengan masih adanya sifat birefringence yang teramati. Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) masih agak terlihat jelas sifat birefringence daripada pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) pada Gambar 20 (b). Hal ini mendukung hasil analisis pasta pati yang telah dipaparkan Anggraini (2007) bahwa pemanasan awal pada suhu tersebut membuat granula pati tergelatinisasi sebagian atau parsial dan pemanasan dengan autoklaf tidak membuat semua amilosa keluar dan tergelatinisasi sempurna. Namun, semakin tinggi modifikasi siklus yang dihasilkan akan meningkatkan jumlah amilosa yang keluar sehingga pati tergelatinisasi sempurna.

20 48 Pati bagian atas tergelatinisasi selama proses autoclaving dan menutupi pati bagian bawah dari penetrasi air sehingga menghambat gelatinisasi pati dan penetrasi panas pada pati bagian bawah. Hal ini didukung pernyataan Liu et al. (2000) bahwa pemanasan dengan autoklaf akan membuat pati yang telah tergelatinisasi di bagian atas menjadi penghambat penetrasi air ke dalam pati yang berada di bagian bawahnya yang menghambat gelatinisasi. Derajat putih Warna merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi suatu mutu produk pangan. Salah satu parameter yang digunakan untuk melihat kualitas warna pada pati adalah derajat putih. Alat untuk mengukur derajat putih adalah Whiteness Meter Model C100 dengan kalibrasi alat MgO filter biru Derajat putih pati ditentukan dengan mengukur perbandingan sinar yang dipantulkan oleh permukaan pati dengan sinar yang dipantulkan oleh permukaan bahan berwarna putih (MgSO4). Setiap jenis pati memiliki derajat putih yang berbeda-beda. Menurut Meyer (1960) dalam Mulyandari (1992), derajat putih sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses ekstraksi pati, maka pati yang akan dihasilkan akan semakin putih. Jika proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati. Secara umum, nilai derajat putih pati singkong (PS) sebesar 96.48% telah memenuhi SNI baik pada kategori I minimal 94.5%, maupun mutu II yaitu minimal 92%, dan mutu II yaitu kurang dari 92%. Pati singkong resisten 1 silklus (RS 1) memiliki derajat putih sebesar 76.18%, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) sebesar 56.4%. Pati singkong resisten 3 siklus memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada 1 siklus. Hal ini disebabkan alat pengering dan penggilingan yang jarang dibersihkan serta pembuatan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) yang tidak bersamaan dengan pati resisten 1 siklus (RS 1). Pati singkong resisten telah mengalami proses pembuatan dan ekstraksi pati yang cenderung dapat terkontaminasi dengan komponen pengotor, seperti air yang digunakan dalam gelatinisasi pati, sedangkan pati singkong berasal dari produk industri yang telah meminimalisasi komponen pengotor dalam pembuatannya. Pati singkong (PS), pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) selanjutnya diolah

21 49 menjadi tepung bubur instan. Berikut ini grafik persentase derajat putih tepung bubur instan terlihat pada Gambar 21. Gambar 21 Grafik persentase derajat putih tepung bubur instan Berdasarkan hasil tersebut, tepung bubur pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) memiliki derajat putih tertinggi sedangkan derajat putih terendah adalah tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3). Hal ini menunjukkan bahwa tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) merupakan tepung bubur instan terbaik dari segi warna. Pati singkong yang dijadikan sebagai bahan baku tepung bubur instan telah melalui proses gelatinisasi melalui pemanasan dan pengeringan menggunakan drum dryer sehingga warna pati menjadi lebih pudar atau putih pucat. Tepung bubur instan formula terpilih (F3) menggunakan tepung emulsi yang merupakan campuran dari putih telur, minyak nabati dan isolat protein kedelai. Tepung bubur instan formula terpilih (F3) memiliki derajat putih yang rendah karena warna tepung ini adalah kuning kehijauan yang berasal dari isolat protein kedelai. Tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) memiliki derajat putih lebih rendah daripada tepung bubur instan formula terpilih (F3). Hal ini disebabkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) terkontaminasi dengan alat penggiling pada saat pengolahannya. Alat penggilingan pati resisten digunakan pula untuk pembuatan bahan lain yang warna bahannya tidak hanya berwarna putih. Densitas Kamba Densitas kamba berfungsi sebagai salah satu indikator mudah atau tidaknya bahan pangan instan untuk dikemas secara otomatis dan indikator besar atau kecilnya kemasan yang diperlukan untuk membungkus produk pangan. Berdasarkan segi pengolahan dan teknologi pangan, semakin besar

22 50 nilai densitas kamba, maka kemasan yang dibutuhkan untuk membungkus produk akan semakin besar. Nilai densitas kamba dinyatakan besar apabila mendekati 1 (Kusumah 2008). Densitas kamba yang rendah merupakan salah satu indikator kemampuan bahan pangan untuk menyerap air yang besar. Kemampuan menyerap air yang besar ini akan membuat rasa cepat kenyang pada saat mengonsumsi. Hasil pengukuran densitas pada pati singkong dan pati singkong resisten terlihat pada Gambar 22. Gambar 22 Grafik persentase denistas kamba pati Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki daya larut yang lebih tinggi daripada pati singkong (PS) dan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3). Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) lebih mudah dikemas daripada kedua jenis pati lainnya. Kemampuan menyerap air yang rendah pada pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) akan membuat rasa cepat kenyang lebih tahan lama. Metode pengeringan turut mempengaruhi densitas kamba suatu produk. Pembuatan pati modifikasi singkong menggunakan drum dryer sebagai pengering dengan penggunaan drum ganda yang puncaknya parallel sehingga bahan yang dikeringkan akan membentuk flat atau lapisan tipis. Suhu tinggi dalam drum dryer membuat pemutusan rantai cabang pati singkong sehingga meningkatkan kadar amilosa yang dapat meningkatkan kelarutan. Pati singkong resisten memiliki kapasitas ruang yang lebih rendah dalam penyerapan air daripada pati singkong. Hasil pengukuran densitas kamba tepung bubur pati singkong resisten terlihat di Gambar 23.

23 51 Gambar 23 Grafik persentase densitas kamba tepung bubur instan Densitas kamba tepung bubur instan yang tertinggi adalah tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) sebesar 0.46 g/ml, sedangkan yang tertinggi adalah tepung bubur pati singkong (BPS) sebesar 0.15 g/ml. Hal ini menunjukkan bahwa tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) akan memberikan rasa kenyang yang lebih lama saat dikonsumsi daripada ketiga bubur instan lainnya. Namun, kemasan yang digunakan untuk membungkus tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) paling besar diantara ketiga bubur instan lainnya. Pengaruh Pengolahan tehadap Karakteritik Kimiawi Pati dan Tepung Bubur Instan Parameter utama dalam penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pengolahan yaitu modifikasi autoclaving-cooling cycling terhadap karakteristik kimia pati dan bubur instan berupa kandungan amilosa, amilopektin, total pati, kadar pati resisten, dan daya cerna pati. Amilosa, Amilopektin, dan Total Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2004). Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi (Friedman 1950, Gliksman 1969 dikutip Odigboh 1983 dalam Chan 1983). Kandungan amilosa dalam pati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah <10%, kadar amilosa rendah 10-19%, kadar amilosa sedang 20-24%, dan kadar amilosa tinggi >25% (Aliawati 2003).

24 52 Berdasarkan hasil analisis amilosa yang terlihat pada Gambar 23, pati singkong resisten 1 siklus mengandung amilosa yang lebih tinggi daripada pati singkong. Pati singkong mengandung amilosa sebesar 20.12% (bk), sedangkan pati singkong resisten 1 siklus (RS1) dan 3 siklus (RS 3) masing-masing mengandung amilosa sebesar 24.22% (bk) dan 26.14% (bk). Pati singkong mengandung amilosa sebesar 17% (Friedman 1950, Gliksman 1969 dikutip Odigboh 1983 dalam Chan 1983) sehingga kandungan amilosa pati singkong pada penelitian ini lebih tinggi dari pernyataan Friedman (1950) dan Gliksman (1969). Namun, hasil tersebut sedikit lebih rendah dari penelitian Juliana (2007) yaitu amilosa pada pati singkong sebesar 27.32% (bk) dan pati singkong resisten sebesar 26.54% (bk). Hal ini diduga perbedaan botani singkong dan pengolahan modifikasi dalam pembuatan pati singkong resisten. Kandungan amilosa masingmasing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 24. Gambar 24 Grafik persentase amilosa pati dan tepung bubur instan Berdasarkan Aliawati (2003) kandungan amilosa tepung bubur instan formula terpilih (F3) tergolong rendah dan paling rendah diantara pati dan tepung bubur instan lainnya. Kandungan amilosa paling tinggi adalah pati singkong resisten 3 dan tergolong dalam kadar amilosa tinggi. Proses autoclaving meningkatkan kadar amilosa pati singkong resisten disebabkan oleh degradasi amilosa rantai panjang menjadi amilosa rantai pendek yang berakibat meningkatnya kandungan amilosa (Shin 2004). Amilosa yang dengan rantai 1,4 α-gikosidik yang tidak bercabang menyebabkan ikatan amilosa lebih kuat sehingga sulit digelatinisasi dan pati sulit dicerna (Parker 2003). Kandungan amilosa pada suatu bahan berbanding lurus dengan kadar pati resisten dan berbanding terbalik dengan dengan daya cerna pati bahan tersebut. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati semakin sulit dicerna sehingga daya cerna pati menjadi rendah.

25 53 Molekul amilopektin menentukan kemudahan untuk dicerna. Amilopektin merupakan polimer pati selain amilosa yang memiliki struktur bercabang yang dapat mengganggu rekristalisasi dan linearisasi amilopektin dapat meningkatkan pembentukan pati resisten (Sajilata et al. 2006). Kandungan amilopektin diperoleh dengan cara menghitung selisih antara kadar total pati dengan amilosa. Kadar amilopektin paling tinggi sebesar 71.03% (bk) pada pati singkong (PS), sedangkan amilopektin terendah adalah tepung bubur pati singkong resisten formula terpilih (F3) sebesar 33.32% (bk). Hal ini menunjukkan bahwa pati singkong paling mudah untuk dicerna. Hasil analisis kandungan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan kadar total pati, amilosa, dan amilopektin Sampel Total pati %bk Amilosa %bk Amilopektin %bk Pati singkong Pati resisten 1 siklus Pati resisten 3 siklus Bubur pati singkong Bubur pati resisten singkong 1 siklus Bubur pati resisten terpilih Bubur pati resisten singkong 3 siklus Penentuan total pati menggunakan metode Luff Schrol (AOAC 1995) adalah metode tidak langsung dengan menggunakan parameter kandungan glukosa pada bahan. Penetapan kadar pati dengan metode Luff Schoorl didasarkan pada prinsip gula-gula pereduksi. Gula-gula pereduksi dapat mereduksi Cu 2+ menjadi Cu + Kadar gula dapat ditentukan melalui selisih antara blanko dengan dengan hasil reduksi Cu 2+. Berikut ini Gambar 25 grafik presentasi total pati dan tepung bubur instan. Gambar 25 Grafik persentase total pati pada pati dan tepung bubur instan

26 54 Berdasarkan hasil analisis total pati pada Gambar 25, kadar total pati pada pati singkong (PS) adalah 91.15% (bk) paling tinggi diantara pati singkong resisten dan tepung bubur instan pati singkong maupun tepung bubur pati singkong resisten. Hasil tersebut lebih tinggi dari pernyataan Liu (2005) dalam Cui (2005) yaitu kandungan pati dalam singkong adalah 90% (bk). Kandungan total pati pada tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) adalah 80.79% (bk), sedangkan total pati pada tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) adalah 68.9% (bk). Pati yang terdapat pada pati singkong resisten telah berkurang disebabkan suhu tinggi saat autoclaving. Semakin tinggi suhu pemanasan, pati singkong akan lebih cepat terdegradasi. Pati singkong resisten 1 siklus dibuat dengan 1 kali proses autoclaving, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus dibuat dengan proses autoclaving sebanyak 3 kali pengulangan sehingga kandungan patinya paling rendah diantara semua perlakuan. Hal ini membuktikan bahwa proses autoclaving yang berulang membuat ikatan pati terhidrolisis dan menyebabkan kandungan pati berkurang. Tepung bubur instan pati singkong menggunakan pati yang telah tergelatinisasi sehingga telah melewati pemanasan pada saat pengolahan yaitu 80ºC sehingga kandungan pati total pada bubur pati singkong lebih rendah daripada pati singkong alaminya. Hal tersebut dilakukan untuk instanisasi produk dan pematangan bahan baku yang siap konsumsi. Namun, kadar total pati pada tepung bubur instan pati resisten tidak jauh berbeda dengan pati resistennya karena pati resisten yang digunakan dalam pembuatan bubur instan adalah pati resisten itu sendiri. Tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3) memiliki total pati paling rendah diantara semua perlakuan yaitu 44.7% (bk). Hal ini disebabkan penambahan tepung emulsi dalam produk sehingga persentase pati resisten dalam tepung bubur instan pati resisten formula terpilih adalah terendah yaitu 75% dari bobot keseluruhan. Interaksi pati resisten dengan protein dipercaya dapat mengurangi kandungan pati resisten pada pati kentang yang ditambahkan albumin saat proses autoklaf dan didinginkan pada suhu -20ºC (Sajilata et al. 2006). Kadar Pati Resisten Penggunaan produk kaya akan serat pangan sebagai bahan pensubtitusi tepung konvensional dalam pembuatan produk makanan diketahui secara

27 55 signifikan mengurangi mutu sensori dan daya terima produk yang dihasilkan sehingga pati resisten diharapkan dapat memperbaiki tekstur, penampakan dan mouth feel produk pangan yang dihasilkan (Sajilata et al. 2006). Pati resisten dalam penelitian ini diolah menjadi tepung bubur instan. Tepung bubur instan yang dianalisis terdiri dari tepung bubur pati singkong yang telah tergelatinisasi, tepung bubur pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3). Pati resisten yang dibuat dalam penelitian ini merupakan pati resisten hasil modifikasi fisik melalui proses autoclaving dan retrogradasi pati. Pati resisten yang dihasilkan dari proses ini adalah pati resisten tipe III. Menurut Leu et al. (2003) yang diacu dalam Satriawan (2010) pati resisten tipe III terdiri atas pati teretrogradasi yang terbentuk saat bahan pangan yang mengandung pati dimasak dan didinginkan. Pati singkong dimasak dengan pemanasan melalui proses autoclaving dan pendinginan melalui cooling. Hasil kadar pati resisten pati dan bubur instan dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26 Grafik persentase kadar pati resisten pada pati dan tepung bubur instan Pati singkong tanpa perlakuan modifikasi mengandung kadar pati resisten sebesar 5.59% (bk). Hasil ini lebih tinggi dari kadar pati resisten hasil penelitian Juliana (2007) sebesar 4.33% (bk). Kandungan pati resisten tipe III dalam bahan makanan secara alami pada umumnya rendah. Kemungkinan pati yang terukur pada pati singkong tanpa perlakuan modifikasi didominasi pati resisten tipe II. Pati resisten tipe II (RS II) terdiri atas granula pati yang secara alami sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase (Leu et al dalam Satriawan 2010).

28 56 Kadar pati resisten tepung bubur instan dari pati singkong tergelatinisasi (PS), pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta pati singkong resisten formula terpilih (F3) masing-masing adalah 4.46% (bk), 7.09% (bk), 8.00% (bk) dan 5.60% (bk). Kadar pati resisten pada tepung bubur pati singkong (BPS) adalah yang paling rendah dari semua perlakuan. Hasil tersebut sama dengan kadar pati resisten pada pati singkong (PS) alaminya yang juga paling rendah diantara pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3). Tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3) memiliki kandungan pati resisten yang sedikit lebih tinggi daripada tepung bubur instan pati singkong (BPS) disebabkan bahan baku pati resisten pada produk, sedangkan pada tepung bubur instan pati singkong (BPS) hanya pati singkong yang tergelatinisasi. Persentase pati resisten yang lebih tinggi pada produk turut mempengaruhi kadar pati resistennya. Pati resisten tipe III (RS III) merupakan pati resisten yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Jumlah pati resisten tipe III yang rendah secara alami pada makanan dapat ditingkatkan melalui modifikasi baik secara fisik, enzimatis, maupun kimiawi. Kadar pati resisten yang dihasilkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) dengan waktu gelatinisasi 15 menit lebih tinggi yaitu sebesar 10.50% (bk) dibandingkan kadar pati resisten pada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dengan waktu gelatinisasi 30 menit sebesar 7.28% (bk). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengulangan siklus dalam pembuatan pati singkong resisten metode autoclaving-cooling meningkatkan kadar pati resisten. Semakin tinggi pengulangan siklus pada proses modifikasi maka akan meningkatkan kadar pati resisten bahan. Hasil kadar pati resisten pada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) lebih tinggi daripada kadar pati resisten hasil penelitian Juliana (2007) sebesar 6.52% (bk). Selain perbedaan botani singkong yang digunakan dan suhu cooling pati singkong resisten saat modifikasi turut mempengaruhi kadar pati resisten yang dihasilkan. Pati singkong termodifikasi dibuat dengan metode autoclavingcooling dengan cara mensuspensikan pati dengan air 1:4 dan dimodifikasi 1 siklus serta 3 siklus dengan waktu gelatinisasi masing-masing 30 menit dan 15 menit pada suhu 121ºC (Lehnmann 2003). Hal-hal yang mempengaruhi kadar pati resisten yang terbentuk adalah (1) rasio amilosa:amilopektin pada pati, amilosa yang lebih tinggi dapat meningkatkan kadar pati resisten, (2) rasio pati:air dalam pembuatan pati resisten, (3) proses pemanasan yang dilakukan,

29 57 (4) banyaknya siklus pada proses modifikasi, dan (5) suhu autoclaving (Sajilata et al. 2006). Kadar pati singkong resisten yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah daripada kadar pati resisten pada pati garut pada penelitian Anggraini (2007). Kadar pati resisten pada pati garut termodifikasi dengan perlakuan autoclaving cooling 3 siklus adalah 10.91% (bk), sedangkan kadar pati singkong resisten 3 siklus adalah 10.5% (bk). Hal ini disebabkan karena kandungan amilosa pada pati garut lebih tinggi daripada pati singkong. Pati resisten tidak dapat terhidrolisis di usus halus dalam waktu 120 menit setelah konsumsi, tetapi langsung difermentasi di kolon (Zaragoza et al. 2010). Hal tersebut disebabkan pati resisten yang melalui tahapan autoclaving yaitu pemanasan dengan air pada suhu tinggi atau gelatinisasi meningkatkan daya cerna pada enzim pencernaan. Namun, pati yang telah digelatinisasi kemudian didinginkan pada suhu rendah atau cooling akan menyebabkan kristalisasi sehingga resisten terhadap enzim pencernaan (Haralampu 2000). Daya Cerna Pati Analisis daya cerna pati dilakukan pada pati singkong (PS), pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3), tepung bubur instan pati singkong (BPS), tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta tepung bubur instan pati resisten singkong formula terpilih (F3). Daya cerna pati dijadikan parameter utama dalam pengolahan bubur instan dari pati singkong resisten karena jika daya cerna pati tinggi maka kadar pati resisten pada pati tersebut rendah. Daya cerna pati juga menggambarkan kemampuan suatu enzim pemecah pati untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil (Prangdimurti, Palupi, & Zakaria 2007). Penentuan daya cerna pati sampel dilakukan secara in vitro dengan metode yang dikembangkan Muchtadi (1992). Sampel dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi unit sederhana seperti maltosa. Hasil analisis daya cerna pati in vitro pati dan tepung bubur instan dapat dilihat pada Gambar 27.

30 58 Gambar 27 Grafik persentase daya cerna pati dan tepung bubur instan Berdasarkan Gambar 27 terlihat bahwa daya cerna pati singkong alami lebih besar daripada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3). Hal ini menunjukkan bahwa modifikasi pati singkong menggunakan proses pengulangan siklus autoclaving-cooling mampu menurunkan daya cerna pati. Perbedaan pengolahan pati rsingkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) adalah waktu autoclaving dan suhu retrogradasi pati saat cooling. Waktu autoclaving pada pati resisten 1 siklus (RS 1) adalah 30 menit, sedangkan waktu pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) adalah 15 menit. Hal ini didasarkan pada penelitian Pratiwi (2008) bahwa waktu pemanasan 30 menit menghasilkan daya cerna pati yang lebih tinggi pada pati garut modifikasi. Suhu cooling pati resisten 1 siklus (RS 1) hanya mencapai 8ºC, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) mencapai 4ºC sehingga proses retrogradasi lebih sempurna. Pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) memiliki daya cerna pati yang lebih rendah daripada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1). Hasil ini serupa dengan penelitian Anderson et al. (2002) bahwa pati termodifikasi dengan waktu pemanasan 30 menit menghasilkan daya cerna pati lebih tinggi dibandingkan pati termodifikasi dengan waktu pemanasan 15 menit, baik pada modifikasi 1 siklus, 3 siklus, dan 5 siklus. Penurunan daya cerna pati disebabkan siklus autoclaving-cooling karena terjadi penyusunan ulang molekul-molekul pati antara amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, amilopektin-amilopektin yang berakibat pada penguatan ikatan pati dan membuat pati sulit tercerna (Shin 2004). Rendahnya daya cerna pati berhubungan dengan tingginya kandungan yang tidak tercerna dalam usus halus, seperti serat pangan. Persentase daya cerna pati pada pati resisten singkong lebih besar dengan hasil analisis Juliana

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu mulai Februari 2011 sampai dengan Juli 2011 di Kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Gaplek Menurut Soetanto (2008), umbi ketela atau singkong umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 6-12 bulan setelah tanam. Pada penelitian ini bahan dasar tepung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat dewasa ini telah memandang pentingnya menjaga kesehatan sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang baik tetapi juga yang dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.)

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) Umbi garut yang digunakan dalam penelitian ini berumur sekitar 10 bulan ketika dipanen. Kandungan pati maksimum adalah pada saat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu jenis tanaman hias yang memiliki ciriciri daun yang memanjang menyerupai lidah dan memiliki duri dibagian pinggirnya. Lidah

Lebih terperinci

A. Bubur Beras Instan

A. Bubur Beras Instan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bubur Beras Instan Bubur dikenal juga dengan sebutan pure yang berasal dari bahasa Inggris pure yang berarti sup yang kental. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), bubur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan telah banyak dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur TINJAUAN PUSTAKA Tempe Tempe adalah bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori 4. PEMBAHASAN Sorbet merupakan frozen dessert yang tersusun atas sari buah segar, air,gula, bahan penstabil yang dapat ditambahkan pewarna dan asam (Marth & James, 2001). Pada umumnya, frozen dessert ini

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman.

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman. 26 TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta) Ubi kayu (Manihot esculenta) tumbuh dengan sangat baik di daerah-daerah dengan suhu antara 25 o C-29 o C dengan ketinggian daerah sekitar 1.500 m. dpl.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Convolvulaceae. Ubi jalar termasuk tanaman tropis, tumbuh baik di daerah yang memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. L Kadar Protein Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan bahwa penambahan gula aren dengan formulasi yang berbeda dalam pembuatan kecap manis air kelapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai ton, beras ketan diimpor dari Thailand dan Vietnam, sedangkan BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto LOGO Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau Mitha Fitriyanto 1409100010 Pembimbing : Prof.Dr.Surya Rosa Putra, MS Pendahuluan Metodologi Hasil dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut karena terjadi peningkatan jumlah industri makanan dan nonmakanan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Ganyong Tahapan pembuatan tepung ganyong meliputi pemilihan bahan, pengupasan bahan, pembersihan dan pencucian ganyong, serta proses pengeringan dengan drum dryer.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh terpenuhinya kebutuhan gizi dalam makanannya. Pada usia 6 bulan pertama,

BAB I PENDAHULUAN. oleh terpenuhinya kebutuhan gizi dalam makanannya. Pada usia 6 bulan pertama, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Fase perkembangan fisik dan fungsi fisiologis bayi sangat didukung oleh terpenuhinya kebutuhan gizi dalam makanannya. Pada usia 6 bulan pertama, kebutuhan gizi bayi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Analisa kadar air dilakukan untuk mengetahui pengaruh proporsi daging dada ayam dan pisang kepok putih terhadap kadar air patties ayam pisang. Kadar air ditentukan secara

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEPUNG UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN DENGAN PENCAMPURAN TEPUNG TEMPE SKRIPSI

PEMANFAATAN TEPUNG UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN DENGAN PENCAMPURAN TEPUNG TEMPE SKRIPSI PEMANFAATAN TEPUNG UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN DENGAN PENCAMPURAN TEPUNG TEMPE SKRIPSI OLEH DIKA YULANDA BP. 07117007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ungu Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar yang memiliki warna ungu pekat. Ubi jalar ungu menjadi sumber vitamin C dan betakaroten (provitamin A) yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. agar gluten yang terbentuk dapat menyimpan gas sebanyak-banyaknya. Umumnya, dalam

TINJAUAN PUSTAKA. agar gluten yang terbentuk dapat menyimpan gas sebanyak-banyaknya. Umumnya, dalam TINJAUAN PUSTAKA Tepung Terigu Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bahan dasar gandum yang diperoleh dengan cara penggilingan gandum yang banyak digunakan dalam industri pangan. Komponen yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit pada konsumen (Silalahi, 2006). Salah satu produk yang. makanan ringan, jajanan atau cemilan. Makanan ringan, jajanan atau

BAB I PENDAHULUAN. penyakit pada konsumen (Silalahi, 2006). Salah satu produk yang. makanan ringan, jajanan atau cemilan. Makanan ringan, jajanan atau BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan fungsional merupakan makanan produk segar ataupun makanan olahan yang tidak hanya memberikan rasa kenyang namun juga memberikan keuntungan bagi kesehatan serta

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengamatan dilakukan terhadap sifat fisik (uji lipat), organoleptik (uji hedonik), uji skoring dan analisis kimia (Pb). 1.1 Uji Lipat Uji lipat (folding test) merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kue Bolu Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, lemak, dan telur. Menurut Donald (2013), kue bolu merupakan produk yang di hasilkan dari tepung terigu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Snack atau makanan ringan adalah makanan yang dikonsumsi di sela-sela waktu makan dan bukan merupakan makanan pokok yang harus dikonsumsi setiap hari secara teratur.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia memiliki beraneka ragam jenis umbi-umbian yang belum

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia memiliki beraneka ragam jenis umbi-umbian yang belum I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI PATI UBI JALAR Ubi jalar putih varietas Sukuh yang digunakan pada penelitian ini memiliki umur panen berkisar empat bulan. Penampakan ubi jalar putih varietas Sukuh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang merupakan salah satu buah tropis yang paling banyak ditemukan dan dikonsumsi di Indonesia. Produksi pisang di Indonesia adalah yang tertinggi dibandingkan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati,

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 3 No.1 ; Juni 2016 ISSN 2407-4624 PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW *RIZKI AMALIA 1, HAMDAN AULI

Lebih terperinci

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi POLISAKARIDA Shinta Rosalia Dewi Polisakarida : polimer hasil polimerisasi dari monosakarida yang berikatan glikosidik Ikatan glikosidik rantai lurus dan rantai bercabang Polisakarida terbagi 2 : Homopolisakarida

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka pemikiran, dan (6) Hipotesis. 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. OPTIMASI FORMULA 1. Penentuan Titik Maksimum Tahap awal dalam penelitian ini adalah penentuan titik maksimum substitusi tepung jagung dan tepung ubi jalar. Titik maksimum

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebesar ton

I. PENDAHULUAN. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebesar ton 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebesar 2.366.410 ton dari luas lahan 166.332 Ha (BPS, 2013). Ubi jalar ungu ( Ipomea batatas)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Sidang Program

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia 4. PEMBAHASAN Biskuit adalah salah satu makanan ringan yang disukai oleh masyarakat, sehingga dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk biskuit yang lebih sehat. Pembuatan biskuit ini menggunakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT 3.1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun, dan air distilata. Tepung sukun yang digunakan diperoleh dari Badan Litbang Kehutanan,

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia bayi dibawah tiga tahun merupakan fase emas pertumbuhan yang harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. Winarno dan Rika

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan 1. Penentuan Formulasi Bubur Instan Berbasis Tepung Komposit : Tepung Bonggol Pisang Batu dan Tepung Kedelai Hitam Tujuan: - Mengetahui

Lebih terperinci

Volume 5 No. 2 Juni 2017 ISSN: KARAKTERISASI DAN PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP PRODUKSI TEPUNG BERAS MERAH (Oryza nivara) INSTAN

Volume 5 No. 2 Juni 2017 ISSN: KARAKTERISASI DAN PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP PRODUKSI TEPUNG BERAS MERAH (Oryza nivara) INSTAN KARAKTERISASI DAN PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP PRODUKSI TEPUNG BERAS MERAH (Oryza nivara) INSTAN FIRMAN SANTHY GALUNG Email : firman_galung@yahoo.com Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Rata-rata kadar air kukis sagu MOCAL dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji lanjut DNMRT terhadap kadar air kukis (%) SMO (Tepung sagu 100%, MOCAL 0%) 0,331"

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Pragel Pati Singkong Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar berwarna putih. Rendemen pati yang dihasilkan adalah sebesar 90,0%.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Snack merupakan suatu jenis produk pangan sebagai makanan selingan yang umumnya dikonsumsi dalam jumlah kecil dan umumnya dikonsumsi di antara waktu makan pagi, siang,

Lebih terperinci

PATI ALAMI. Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman.

PATI ALAMI. Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. PATI ALAMI Pati adalah salah suatu bahan penyusunan yang paling banyak dan luas terdapat di alam,sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. Sebagian besar pati di simpan dalam akar,umbi,akar,biji

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (6) Hipotesa dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (6) Hipotesa dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pikiran, (6) Hipotesa dan (7) Tempat dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : 1. Latar Belakang, 2. Identifikasi Masalah, 3. Maksud dan Tujuan Penelitian, 4. Manfaat Penelitian, 5. Kerangka Pemikiran, 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci