HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fungsional Tepung Jagung Swelling Volume

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fungsional Tepung Jagung Swelling Volume"

Transkripsi

1 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fungsional Tepung Jagung Swelling Volume Swelling volume dan kelarutan memberikan petunjuk adanya ikatan nonkovalen antara molekul pati dan seberapa besar kekuatan ikatan tersebut pada suhu tertentu (Moorthy 2002). Pembengkakan granula dan kelarutan pati terjadi jika pati dipanaskan dalam air yang berlebih sehingga menyebabkan putusnya ikatan hidrogen dan gangguan pada struktur kristalin pati. Lebih lanjut gugus hidroksil amilosa dan amilopektin akan terpapar sehingga molekul air dapat berikatan dengan gugus hidroksil pati tersebut melalui pembentukan ikatan hidrogen. Hal ini mengakibatkan meningkatnya pembengkakan granula dan kelarutan pati (Hoover 2001). Nilai swelling volume tepung jagung berkisar antara 8,14-9,62 (ml/g bk) (Tabel 5). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 3 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap swelling volume tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon swelling volume pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda (p 0,05). Swelling volume tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 lebih tinggi dibandingkan swelling volume tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2. Swelling volume cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH) 2. Penurunan nilai swelling volume pada tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 disebabkan oleh terbentuknya ikatan silang antara molekul pati melalui pembentukan jembatan kalsium selama proses nisktamalisasi. Semakin tinggi konsentrasi Ca(OH) 2 yang digunakan maka semakin banyak pula ion Ca 2+ yang berinteraksi dengan molekul pati. Hal ini dapat dilihat dari data kadar kalsium yang semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH) 2 (Tabel 6). Fernandez-Munoz et al. (2001) menjelaskan bahwa peningkatan kadar kalsium

2 41 pada proses nikstamalisasi disebabkan oleh terikatnya ion-ion Ca 2+ pada polimer amilosa dan amilopektin. Tabel 5 Swelling volume tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Ca(OH) 2 0% 0,25% 0,5% Lama pemasakan Swelling volume (ml/g bk) 0 menit 9,22 ± 0,04 bcd 5 menit 9,29 ± 0,03 bc 10 menit 9,62 ± 0,04 a 15 menit 9,51 ± 0,16 ab 20 menit 9,22 ± 0,12 bcd 0 menit 8,83 ± 0,15 fg 5 menit 9,16 ± 0,19 cde 10 menit 9,24 ± 0,04 bcd 15 menit 9,12 ± 0,24 cdef 20 menit 9,06 ± 0,08 cdef 0 menit 8,57 ± 0,15 gh 5 menit 8,84 ± 0,26 efg 10 menit 8,95 ± 0,20 def 15 menit 8,43 ± 0,17 h 20 menit 8,14 ± 0,13 i Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Tabel 6 Kadar kalsium tepung jagung pada perlakuan lama pemasakan 20 menit dengan berbagai perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 Konsentrasi Ca(OH) 2 Kadar kalsium (%bk) 0% 0,2512 ± 0,0009 0,25% 0,3717 ± 0,0019 0,50% 0,4909 ± 0,0020 Bryan & Hamaker (1997) melaporkan bahwa penggunaan larutan Ca(OH) 2 dalam proses nikstamalisasi menyebabkan ph larutan meningkat. Kondisi alkali ini menyebabkan Ca(OH) 2 terionisasi menjadi kation Ca 2+ dan anion OH - dimana kemudian ion Ca 2+ akan membentuk ikatan dengan molekul pati. Lebih lanjut Rodriguez et al. (1996) menjelaskan bahwa dengan adanya Ca 2+ dalam pati akan

3 42 merusak ikatan antara pati dengan molekul air dan membentuk ikatan silang dengan molekul amilosa dan amilopektin yang ada dalam pati. Swelling volume tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 meningkat pada lama pemasakan hingga 10 menit dan kemudian menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Hal ini berkaitan dengan kapasitas penyerapan air tepung jagung tersebut. Kapasitas penyerapan air tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit, kemudian menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Swelling volume dipengaruhi oleh kemampuan molekul pati untuk mengikat air melalui pembentukan ikatan hidrogen. Setelah gelatinisasi ikatan hidrogen antara molekul pati terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Pembengkakan granula pati secara cepat yang disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen intermolekuler pada area daerah amorf terjadi pada suhu di bawah 70 0 C (De la Torre-Gutiérrez et al. 2008). Hal ini dapat menjelaskan bahwa semakin tinggi kapasitas penyerapan air, maka semakin tinggi pula swelling volume tepung jagung sehingga terdapat korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan swelling volume tepung jagung (r = 0,865; p 0,01) (Gambar 4). Kapasitas penyerapan air (g/g bk) 8,6 8,5 8,4 8,3 8,2 8,1 8 7,9 7,8 7,7 7,6 7,5 r = 0, Swelling volume (ml/g bk) Gambar 4 Hubungan antara swelling volume dengan kapasitas penyerapan air tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan

4 43 Swelling volume tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25%, cenderung meningkat dengan adanya perlakuan pemasakan. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa pada konsentrasi Ca(OH) 2 yang rendah yaitu 0,25%, perlakuan pemasakan dalam kondisi alkali menyebabkan kerusakan daerah kristalin, matriks granula mengalami peregangan karena adanya pertukaran proton pada ion kalsium yang menyebabkan volume granula pati meningkat (Bryant & Hamaker 1997). Swelling volume tepung jagung perlakuan Ca(OH) 2 0,5% cenderung meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit, kemudian menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pada lama pemasakan di atas 10 menit, jumlah ion-ion Ca 2+ yang berikatan dengan molekul pati semakin banyak dan ion-ion Ca 2+ ini bertindak untuk menstabilkan dan meningkatkan kekakuan granula sehingga menurunkan volume granula (Bryant & Hamaker 1997). Data pengaruh lama pemasakan terhadap kadar kalsium tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,5% dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kadar kalsium tepung jagung pada perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,5% dan berbagai lama pemasakan Lama pemasakan (menit) Kadar kalsium (%bk) 0 0,3260 ± 0, ,3346 ± 0, ,3312 ± 0, ,3426 ± 0, ,3717 ± 0,0019 Penghambatan pembengkakan granula sebagai hasil dari ikatan silang berhubungan dengan rapatnya susunan struktur molekul granula pati dan banyaknya jembatan kalsium intermolekuler yang terbentuk di dalam molekul pati selama proses ikatan silang. Peningkatan derajat ikatan silang semakin menurunkan kemampuan granula untuk mengembang dan menurunkan viskositasnya (Mendez-Montealvo et al. 2006). Wurzburg et al. (2006) menambahkan bahwa ikatan silang yang terjadi antar molekul pati dapat memperkuat struktur granula dengan cara memperkuat

5 44 ikatan hidrogen yang bertanggung jawab mempertahankan keutuhan granula dan dapat juga digunakan untuk mengatasi sensitifitas granula pati yang membengkak akibat kondisi pengolahan. Ikatan silang dapat menghambat pembengkakan granula karena mengikat granula pati pada lokasi acak. Semakin tinggi konsentrasi senyawa yang ditambahkan maka semakin banyak ikatan silang yang terbentuk sehingga pembengkakan granula akibat pemanasan dapat semakin dihambat. Hasil yang serupa dilaporkan oleh Koo et al. (2010), di mana swelling factor yang diukur pada suhu 70 0 C menurun secara signifikan dengan meningkatnya jumlah reagen ikatan silang. Mirmoghtadaie et al. (2009) juga melaporkan terjadinya penurunan swelling factor pada pati oat ikatan silang dengan meningkatnya derajat ikatan silang. Hal ini disebabkan bahwa ikatan silang memperkuat ikatan antara rantai pati, sehingga menyebabkan pati tersebut resisten terhadap pembengkakan granula. Perbedaan swelling volume antar masing-masing perlakuan juga mengindikasikan perbedaan struktur pati. Swelling volume dipengaruhi oleh kekuatan ikatan jaringan micellar, struktur molekul amilopektin dan kandungan amilosa (Tang et al. 2005). Menurut Fredriksson et al. (1998) sifat pati selama gelatinisasi dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Amilopektin berperan terhadap pengembangan dan sifat adonan pati, sedangkan amilosa menghambat pengembangan. Granula pati dengan kadar amilopektin tinggi menghasilkan granula yang lebih mengembang dan viskositas tinggi, sementara rantai linier amilosa keluar dari granula dan membuat fase kontinyu di luar granula bersama lipid sehingga menghambat pengembangan dan menghasilkan viskositas adonan yang semakin rendah. Swelling volume juga meningkat dengan meningkatnya kandungan amilopektin rantai panjang dan menurunnya kandungan amilosa (Srichuwong et al. 2005). Menurut Mondragón et al. (2006) perlakuan pemasakan dalam larutan Ca(OH) 2 dapat menghambat leaching amilosa, sehingga pada penelitian ini diduga kandungan amilosa pada tepung jagung yang diberi perlakuan pemasakan dalam larutan Ca(OH) 2 (nikstamalisasi) lebih tinggi daripada tepung jagung yang dimasak tanpa larutan Ca(OH) 2, sehingga swelling volume tepung jagung nikstamal lebih rendah.

6 45 Kelarutan (Solubility) Nilai kelarutan tepung jagung berkisar antara 25,56-38,60 % bk (Tabel 8). Hasil analisis data yang disajikan pada Lampiran 4 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap kelarutan tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon kelarutan pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda. Tabel 8 Kelarutan tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Ca(OH) 2 0% 0,25% 0,5% Lama pemasakan Kelarutan (% bk) 0 menit 36,59 ± 2,46 abc 5 menit 37,49 ± 1,80 abc 10 menit 38,60 ± 0,89 a 15 menit 38,15 ± 1,77 ab 20 menit 38,13 ± 0,88 ab 0 menit 34,66 ± 1,97 bcd 5 menit 35,96 ± 3,25 abc 10 menit 34,06 ± 2,71 cd 15 menit 31,67 ± 1,99 de 20 menit 30,13 ± 1,66 ef 0 menit 32,40 ± 2,09 de 5 menit 31,94 ± 1,45 de 10 menit 26,66 ± 4,76 g 15 menit 27,02 ± 1,22 fg 20 menit 25,56 ± 1,95 g Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2. Kelarutan cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH) 2 pada lama pemasakan yang sama. Fenomena yang dapat menjelaskan hal ini adalah terkait dengan interaksi pati dengan ion Ca 2+. Semakin tinggi konsentrasi Ca(OH) 2, maka semakin banyak pula ikatan silang yang terbentuk antara molekul pati melalui pembentukan jembatan kalsium. Nabeshima & Grossmann (2001) menjelaskan

7 46 bahwa ikatan silang dapat memperkuat integritas granula sehingga mengurangi kelarutannya. Sementara pada tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 ikatan antar molekul pati hanya dipertahankan oleh ikatan hidrogen lemah, sehingga memiliki kelarutan yang lebih tinggi. Perlakuan lama pemasakan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap nilai kelarutan tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2, sedangkan pada tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2, kelarutan cenderung menurun dengan semakin lamanya pemasakan. Semakin lama pemasakan maka semakin banyak ion-ion Ca 2+ yang berinteraksi dengan molekul pati melalui pembentukan jembatan kalsium intermolekuler sehingga kelarutan tepung jagung semakin menurun. Koo et al. (2010) menjelaskan bahwa ikatan silang pada pati dapat menghambat kelarutan, terdapat kecenderungan penurunan kelarutan dengan meningkatnya derajat ikatan silang. Hasil yang serupa dilaporkan oleh Kaur et al. (2006) untuk pati kentang yang dimodifikasi dengan EPI dan POCl 3 pada berbagai konsentrasi. Penurunan kelarutan pati kentang ini diduga karena peningkatan densitas ikatan silang pada struktur pati sehingga menyebabkan granula pati kurang mengalami kerusakan (disintegrasi) selama gelatinisasi (Jyothi et al. 2006). Pembengkakan granula pati yang berlebihan akan diikuti dengan leaching molekul amilosa dari dalam granula sebagai akibat ketidakmampuannya menahan tekanan. Semakin tinggi kemampuan granula untuk mengembang, maka semakin tinggi pula jumlah amilosa yang keluar dari granula pati. Hal ini menyebabkan adanya korelasi antara swelling volume dengan kelarutan tepung jagung (r = 0,765; p 0,01) (Gambar 5).

8 47 Kelarutan (%) 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 r = 0,765 8,00 8,50 9,00 9,50 10,00 Swelling volume (ml/g bk) Gambar 5 Hubungan antara swelling volume dengan kelarutan tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Kapasitas Penyerapan Air Kapasitas penyerapan air (KPA) memberikan gambaran jumlah air yang tersedia untuk gelatinisasi. Kapasitas penyerapan air yang rendah diinginkan dalam pembuatan bubur (Elkhalifa et al. 2005). Menurut Hodge & Osman (1976), tepung yang memiliki KPA tinggi memiliki gugus hidrofilik yang lebih banyak. Lebih lanjut Hoover & Sosulski (1986) menjelaskan bahwa perbedaan KPA bahan dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat pengikatan gugus hidroksil yang membentuk ikatan hidrogen dan ikatan kovalen antar rantai pati. Nilai KPA tepung jagung berkisar antara 7,62-8,44 (g/g bk) (Tabel 9). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 5 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon KPA pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda.

9 48 Tabel 9 Kapasitas penyerapan air tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Ca(OH) 2 0% 0,25% 0,5% Lama Pemasakan Kapasitas Penyerapan Air (g/g bk) 0 menit 8,21 ± 0,07 bc 5 menit 8,32 ± 0,10 ab 10 menit 8,44 ± 0,09 a 15 menit 8,25 ± 0,15 b 20 menit 8,27 ± 0,06 b 0 menit 8,17 ± 0,08 bc 5 menit 8,29 ± 0,05 b 10 menit 8,24 ± 0,04 b 15 menit 8,06 ± 0,06 cd 20 menit 8,00 ± 0,15 de 0 menit 7,85 ± 0,12 f 5 menit 8,01 ± 0,15 de 10 menit 8,07 ± 0,08 cd 15 menit 7,88 ± 0,03 ef 20 menit 7,62 ± 0,11 g Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Kapasitas penyerapan air tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 lebih tinggi dibandingkan KPA tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2. Kapasitas penyerapan air cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH) 2. Kemampuan untuk menyerap air tepung jagung disebabkan karena bagian amorphous mengalami sedikit pengembangan sehingga beberapa ikatan hidrogen antara bagian amorphous dan bagian kristalin akan putus kemudian berikatan dengan hidrogen dari air. Penurunan KPA pada tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2, diduga karena ikatan silang yang terbentuk antara gugus hidroksil pati dengan ion-ion Ca 2+ menyebabkan gugus hidroksil yang tersedia untuk berikatan dengan gugus hidrogen dari air menjadi berkurang. Kamid (2005) menjelaskan bahwa ikatan yang terbentuk antara ion-ion Ca 2+ dengan molekul pati dapat memperkuat integritas granula pati sehingga menghambat penyerapan air ke dalam pati jagung. Semakin meningkat konsentrasi Ca(OH) 2, maka semakin banyak pula ikatan silang yang terbentuk antara molekul pati sehingga menyebabkan kapasitas penyerapan airnya semakin menurun.

10 49 Kapasitas penyerapan air tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 cenderung meningkat pada lama pemasakan hingga 10 menit, kemudian menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Pemasakan biji jagung dapat meningkatkan gelatinisasi pati dan porositas tepung jagung yang dihasilkan. Pati yang tergelatinisasi memiliki gugus hidrofilik yang lebih banyak untuk berikatan dengan air dan porositas tepung juga dapat memfasilitasi penyerapan air, sehingga semakin lama pemasakan semakin tinggi tingkat gelatinisasi dan porositas tepung jagung (Ma et al. 2011). Namun pada perlakuan lama pemasakan di atas 10 menit, KPA tepung jagung cenderung menurun. Perlakuan pemasakan biji jagung yang lebih lama menyebabkan banyaknya padatan yang leaching ke dalam medium pemasak sehingga KPA tepung jagung menurun (Njintang & Mbofung 2006). Selama pemasakan, protein mengalami denaturasi sehingga menyebabkan residu asam amino yang bersifat hidrofilik terpapar dan berikatan dengan molekul air. Pembengkakan serat kasar juga dapat meningkatkan kapasitas penyerapan air tepung jagung (Aguilera et al. 2009). Kapasitas penyerapan air tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25% cenderung menurun dengan semakin lamanya pemasakan. Hal ini disebabkan oleh semakin lama pemasakan, maka semakin banyak pula gugus hidroksil pati yang berikatan dengan ion Ca 2+ sehingga ketersediaan gugus hidroksil untuk berikatan dengan molekul air menjadi terbatas. Kapasitas penyerapan air tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,5% cenderung meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit kemudian menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Pemasakan biji jagung yang lebih lama saat proses nikstamalisasi menyebabkan jenuhnya gugus hidroksil pati oleh ion Ca 2+ dan Ca(OH) + sehingga mengurangi kemampuannya untuk mengikat air (Sefa-Dedeh 1991 diacu dalam Sefa-Dedeh et al. 2004). Bryant & Hamaker (1997) menjelaskan bahwa perbedaan KPA tepung jagung yang diberi perlakuan pemasakan dalam berbagai konsentrasi larutan Ca(OH) 2 dapat disebabkan oleh interaksi antara ion Ca 2+ dengan molekul pati. Pada konsentrasi Ca(OH) 2 yang tinggi, terjadi peningkatan kekakuan granula pati oleh adanya interaksi antara kation divalen Ca 2+ yang berikatan secara kuat dengan molekul pati sehingga menyebabkan kapasitas penyerapan air menurun.

11 50 Amilosa merupakan rantai lurus yang mempunyai kemampuan menyerap air lebih rendah dibanding amilopektin yang merupakan rantai bercabang. Hal ini mengakibatkan semakin tinggi kadar amilosa, semakin rendah kapasitas penyerapan air pada tepung jagung, demikian juga semakin besar rasio amilosa dan amilopektin pada tepung jagung akan menghasilkan kapasitas penyerapan air yang semakin kecil. Proses nikstamalisasi dapat menghambat leaching amilosa sehingga tepung jagung yang mengalami proses nikstamalisasi (pemasakan dalam larutan Ca(OH) 2 ) memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan tepung jagung tanpa perlakuan nikstamalisasi. Hal ini kemungkinan juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya KPA tepung jagung nikstamal. Peningkatan KPA selalu berhubungan dengan peningkatan kelarutan serta hilangnya struktur kristalin pati (Gunaratne & Hoover 2002), sehingga menyebabkan adanya korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan kelarutan (r = 0,812; p 0,01) (Gambar 6). Kelarutan (% bk) r = 0, ,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6 Kapasitas penyerapan air (g/g bk) Gambar 6 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan kelarutan tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Kapasitas Penyerapan Minyak Kapasitas penyerapan minyak (KPM) yang rendah diperlukan pada produkproduk yang diproses dengan penggorengan sehingga tidak menyerap minyak dalam jumlah yang besar. Kapasitas penyerapan minyak pada tepung terutama

12 51 berkaitan dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau protein, semakin besar KPM. Hal ini berhubungan dengan mekanisme KPM yang disebabkan pemerangkapan minyak secara fisik dengan gaya kapiler dan peran hidrofobisitas protein (Voutsinas & Nakai 1983). Nilai KPM tepung jagung berkisar antara 4,73-5,40 g/g bk (Tabel 10). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 6 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap KPM tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon KPM pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda. Tabel 10 Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Ca(OH) 2 0% 0,25% 0,5% Lama Pemasakan Kapasitas Penyerapan Minyak (g/g bk) 0 menit 4,84 ± 0,09 bc 5 menit 5,33 ± 0,15 a 10 menit 5,39 ± 0,11 a 15 menit 5,38 ± 0,11 a 20 menit 5,40 ± 0,14 a 0 menit 4,88 ± 0,05 bc 5 menit 4,91 ± 0,10 bc 10 menit 4,87 ± 0,04 bc 15 menit 4,90 ± 0,15 bc 20 menit 4,95 ± 0,19 b 0 menit 4,80 ± 0,07 bc 5 menit 4,86 ± 0,05 bc 10 menit 4,80 ± 0,09 bc 15 menit 4,73 ± 0,16 c 20 menit 4,76 ± 0,08 bc Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 lebih rendah dibandingkan tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 pada perlakuan lama pemasakan yang sama. Berdasarkan hasil uji Duncan, KPM tepung jagung dengan perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25% tidak berbeda nyata

13 52 dengan KPM tepung jagung dengan konsentrasi Ca(OH)2 0,5%, namun berbeda nyata dengan KPM tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2. Tingginya nilai KPM pada tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 dengan semakin lamanya pemasakan disebabkan oleh meningkatnya jumlah protein yang terdenaturasi dan kandungan protein yang memiliki gugus samping non-polar pada sampel tersebut sehingga meningkatkan KPM tepung jagung. Pengaruh lama pemasakan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap KPM tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 cenderung meningkat dengan adanya pengaruh pemasakan. Peningkatan KPM berhubungan dengan meningkatnya sifat hidrofobik protein dan kemampuan pengikatan minyak oleh rantai samping asam amino non-polar. Perlakuan pemasakan menyebabkan residu non-polar pada molekul protein terbuka dan dapat berikatan dengan minyak (Njintang & Mbofung 2006). Pendapat ini didukung oleh Sosulski et al. (1976) yang menyatakan KPM tergantung kepada ketersediaan gugus asam amino hidrofobik. Selain itu, perlakuan pemasakan juga menyebabkan peningkatan porositas tepung jagung sehingga lebih mudah mengikat minyak (Njintang & Mbofung 2006). Kapasitas penyerapan minyak suatu bahan diperlukan untuk pengembangan produk pangan baru berhubungan dengan stabilitas penyimpanan bahan pangan tersebut (terutama yang berhubungan dengan flavor binding dan ketengikan oksidatif). Mekanisme penyerapan minyak kemungkinan melalui pemerangkapan minyak secara fisik yang berhubungan dengan keberadaan gugus non-polar protein. Kandungan protein dan jenis protein berkonstribusi terhadap sifat kapasitas penyerapan minyak bahan pangan (Ravi & Sushelamma 2005). Kapasitas penyerapan minyak tepung juga diperlukan untuk meningkatkan mouth feel dan menahan flavor (Kinsella 1976). ph Nilai ph tepung jagung merupakan salah satu parameter kualitas yang memengaruhi flavor dan umur simpan produk yang diproses secara nisktamalisasi. Analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 7 menunjukkan

14 53 bahwa interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon nilai ph tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda (p 0,05). Sampel tepung jagung yang diproses tanpa menggunakan larutan Ca(OH) 2 memiliki ph yang lebih rendah dibandingkan sampel yang diproses menggunakan larutan Ca(OH) 2 (Tabel 11). Tabel 11 Nilai ph tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Ca(OH) 2 0% 0,25% 0,5% Lama Pemasakan ph 0 menit 6,48 ± 0,04 g 5 menit 6,47 ± 0,04 g 10 menit 6,49 ± 0,08 g 15 menit 6,48 ± 0,03 g 20 menit 6,48 ± 0,02 g 0 menit 6,85 ± 0,01 f 5 menit 6,88 ± 0,03 ef 10 menit 6,93 ± 0,02 def 15 menit 6,98 ± 0,01 de 20 menit 7,00 ± 0,02 d 0 menit 7,61 ± 0,11 c 5 menit 7,75 ± 0,03 b 10 menit 7,81 ± 0,01 ab 15 menit 7,88 ± 0,02 a 20 menit 7,91 ± 0,02 a Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Nilai ph tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 lebih tinggi dibandingkan ph tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2. Nilai ph cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH) 2. Hal ini disebabkan oleh ion-ion Ca 2+ dan OH - yang dihasilkan oleh ionisasi Ca(OH) 2. Pengaruh lama pemasakan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap ph tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2. Nilai ph tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 cenderung meningkat dengan semakin lamanya pemasakan. Semakin lama pemasakan maka semakin banyak pula ion-ion hasil ionisasi Ca(OH) 2 yang berikatan dengan molekul pati dan meningkatkan nilai ph.

15 54 Namun pengaruh lama pemasakan ini tidak terlalu besar memengaruhi ph tepung jagung jika dibandingkan dengan pengaruh konsentrasi Ca(OH) 2. Studi lain melaporkan bahwa ph tepung jagung beserta produk-produknya yang diproses secara nikstamalisasi berhubungan erat dengan jumlah Ca(OH) 2 yang digunakan dan jumlah pengikatan Ca(OH) 2 tersebut selama pemasakan dan perendaman (Serna-Saldivar 1990). Lebih lanjut Bryant & Hamaker (1997) menjelaskan meningkatnya nilai ph pada tepung jagung yang diberi perlakuan Ca(OH) 2 menandakan molekul pati mengikat Ca 2+. Nilai ph sistem yang tinggi pada saat pemasakan dan perendaman biji jagung menyebabkan gugus hidroksil pati mengalami ionisasi dan berinteraksi dengan ion Ca 2+ hasil ionisasi Ca(OH) 2. Nilai ph tepung jagung pada penelitian ini berkisar antara 6,47-7,91. Khusus untuk tepung jagung yang mengalami perlakuan nikstamalisasi (pemasakan dalam larutan Ca(OH) 2 ) memiliki nilai ph 6,88-7,91. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Sefa-Dedeh et al. (2004) yang melaporkan ph tepung jagung nikstamal berkisar antara 7,01-7,88 dan ph tepung jagung nikstamal varietas Meksiko berkisar antara 6,2-6,9 (Flores-Farías et al. 2000). Kekuatan Gel Kekuatan gel menunjukkan besarnya beban yang diberikan pada saat gel mulai pecah. Nilai kekuatan gel tepung jagung berkisar antara 53,00-104,15 gf (Tabel 12). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 8 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap kekuatan gel tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon kekuatan gel pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda. Tabel 12 Kekuatan gel tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan

16 55 Konsentrasi Ca(OH) 2 0% 0,25% 0,5% Lama Pemasakan Kekuatan gel (gf) 0 menit 60,75 ± 5,02 e 5 menit 101,95 ± 0,07 a 10 menit 104,15 ± 1,48 a 15 menit 91,20 ± 0,85 b 20 menit 77,05 ± 1,20 cd 0 menit 69,60 ± 7,50 d 5 menit 97,50 ± 2,69 ab 10 menit 96,45 ± 6,58 ab 15 menit 81,25 ± 2,19 c 20 menit 72,25 ± 1,91 cd 0 menit 43,90 ± 4,53 f 5 menit 77,10 ± 1,22 cd 10 menit 72,40 ± 1,70 cd 15 menit 53,00 ± 5,94 e 20 menit 59,40 ± 6,93 e Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Kekuatan gel tepung jagung perlakuan Ca(OH) 2 0,5% lebih rendah dibandingkan kekuatan gel tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 dan kekuatan gel tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25%. Kekuatan gel tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 secara umum tidak berbeda secara signifikan dengan kekuatan gel tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25% kecuali pada perlakuan tanpa dimasak dan lama pemasakan 15 menit. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Zobel (1988) diacu dalam Mondragn et al. (2006) yang melaporkan bahwa rendahnya kekuatan gel pada pati jagung nikstamal yang diberi perlakuan pemasakan dalam larutan Ca(OH) 2 dengan konsentrasi di atas 0,2% dapat disebabkan oleh ion-ion Ca 2+ menghambat kristalisasi kembali molekul pati selama pendinginan gel sehingga menghasilkan jaringan gel yang lemah. Stabilisasi jaringan gel berhubungan dengan pengembangan struktur kristalin karena penggabungan kembali molekul amilosa. Kekuatan gel tepung jagung pada semua perlakuan Ca(OH) 2 cenderung meningkat pada perlakuan pemasakan hingga 10 menit, kemudian menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Denaturasi protein dan pregelatinisasi pati yang terjadi selama precooking biji chickpea dapat memfasilitasi pembentukan jaringan gel tepung chickpea yang kuat (Ma et al. 2011). Perlakuan pemasakan

17 56 biji jagung di atas 10 menit menyebabkan banyak padatan yang leaching ke dalam medium pemasakan sehingga jumlah molekul pati yang akan bergabung kembali pada saat pendinginan menjadi lebih sedikit. Stabilisasi jaringan gel berhubungan dengan pengembangan struktur kristalin lokal karena penggabungan kembali molekul amilosa (Mondragn et al. 2006). Menurut Collado & Corke (1999), peningkatan leaching amilosa akan meningkatkan kekuatan gel. Oleh karena proses nikstamalisasi dapat menghambat leaching amilosa, maka tepung jagung yang diberi perlakuan pemasakan dalam larutan Ca(OH) 2 akan menghasilkan gel yang lemah. Lebih lanjut Takashi et al. (1989) melaporkan bahwa terjadi penurunan kekuatan gel pada pati jagung dan pati gandum yang dimodifikasi ikatan silang. Nilai ph tepung jagung juga memengaruhi kekuatan gel yang dihasilkan. Gambar 7 menunjukkan adanya korelasi negatif antara ph dengan kekuatan gel tepung jagung (r = -0,610, p 0,01). Semakin tinggi ph tepung jagung yang dihasilkan, maka akan semakin rendah kekuatan gel adonan jagung. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Aini (2009) yang menyatakan bahwa kekuatan gel tepung jagung yang didapat melalui proses fermentasi spontan semakin rendah dengan meningkatnya nilai ph tepung jagung tersebut. Kekuatan gel (gf) r = -0, ,5 7 7,5 8 ph Gambar 7 Hubungan antara ph dengan kekuatan gel tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Pada ph yang rendah, pati lebih cepat tergelatinisasi dan akan menghasilkan gel yang kuat. Pada ph rendah yang sangat ekstrim akan menyebabkan hidrolisis

18 57 pati, dimana bagian amorf granula pati akan dipecah terlebih dahulu sedangkan bagian kristalin dihidrolisis pada kecepatan yang lebih rendah. Pada penelitian ini tepung jagung yang digunakan memiliki kisaran ph 6,47 sampai 7,91 sehingga belum terjadi hidrolisis pati. Menurut Kilara (2006), gel paling lemah terbentuk pada ph asam yang ekstrim (ph 1-2) dan ph sangat basa (ph > 10), sedangkan pada ph 12 tidak terbentuk gel. Kemampuan gel dalam mengikat air dapat memengaruhi kekuatan gel. Semakin tinggi nilai kekuatan gel berarti semakin tinggi kemampuan gel tersebut dalam menyerap air. Hal ini dapat dilihat dengan adanya korelasi antara kekuatan gel dengan kapasitas penyerapan air tepung jagung (r = 0,753; p 0,01) (Gambar 8). Kekuatan gel (gf) r = 0, ,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6 Kapasitas penyerapan air (g/g bk) Gambar 8 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan kekuatan gel tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Nilai kekuatan gel merupakan parameter tepung jagung yang penting dalam pembuatan bubur jagung instan MP-ASI. Karakteristik tepung jagung yang diinginkan dalam pembuatan bubur instan MP-ASI adalah tepung jagung yang memiliki kemampuan membentuk gel yang lemah. Densitas Kamba Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas

19 58 kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan. Perhitungan densitas kamba ini sangat penting, selain dalam hal konsumsi terutama juga dalam hal pengemasan dan penyimpanan. Makanan dengan densitas kamba yang tinggi menunjukkan kepadatan produk ruang yang kecil. Densitas kamba tepung jagung berkisar antara 0,1375-0,2249 g/ml (Tabel 13). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 9 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap densitas kamba tepung jagung (p 0,05). Interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon densitas kamba pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda. Tabel 13 Densitas kamba tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Ca(OH) 2 0% 0,25% 0,5% Lama Pemasakan Densitas Kamba (g/ml) 0 menit 0,2053 ± 0,0040 cd 5 menit 0,1915 ± 0,0018 gh 10 menit 0,1870 ±0,0020 h 15 menit 0,1533 ± 0,0012 i 20 menit 0,1375 ± 0,0010 j 0 menit 0,2001 ± 0,0033 def 5 menit 0,1982 ± 0,0023 ef 10 menit 0,1943 ± 0,0022 fg 15 menit 0,1952 ± 0,0019 fg 20 menit 0,1906 ± 0,0021 gh 0 menit 0,2249 ± 0,0029 a 5 menit 0,2236 ± 0,0025 a 10 menit 0,2163 ± 0,0045 b 15 menit 0,2085 ± 0,0036 c 20 menit 0,2032 ±0,0040 cde Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Nilai densitas kamba tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 lebih rendah dibandingkan nilai densitas kamba tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2. Nilai densitas kamba semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH) 2. Hal ini diduga tingkat gelatinisasi tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 lebih

20 59 rendah dibandingkan tingkat gelatinisasi tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2. Fernández-Munz et al. (2007) melaporkan bahwa gelatinisasi pati dapat dihambat oleh ion kalsium dengan cara mendorong terjadinya agregasi dan interaksi ikatan silang. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab besarnya nilai densitas kamba pada tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 (nikstamalisasi). Pernyataan ini didukung oleh pendapat Case et al. (1992) yang menjelaskan bahwa jika gelatinisasi meningkat, volume produk juga meningkat sehingga nilai densitas kamba menjadi lebih kecil begitu juga sebaliknya. Densitas kamba tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 semakin menurun dengan semakin lamanya pemasakan, begitu juga halnya dengan densitas kamba tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2. Menurunnya nilai densitas kamba pada tepung jagung disebabkan oleh semakin tingginya tingkat gelatinisasi pati pada tepung jagung. Densitas kamba tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 menurun cukup tajam pada lama pemasakan di atas 10 menit sedangkan densitas kamba tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 tidak terlalu tajam. Pada tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2, keberadaan ion-ion Ca 2+ dapat menghambat proses gelatinisasi pati, sehingga penurunan densitas kamba tidak terlalu tajam. Tepung jagung yang diberi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,5% dan tanpa pemasakan memiliki nilai densitas kamba yang paling besar, sedangkan tepung jagung yang tanpa diberi perlakuan Ca(OH) 2 dan lama pemasakan 20 menit memiliki nilai densitas kamba paling kecil. Nilai densitas kamba yang kecil berarti bahan tersebut membutuhkan volume yang besar untuk sejumlah kecil bahan atau dengan perkataan lain semakin kamba bahan tersebut. Sementara untuk makanan bayi diperlukan bahan yang tidak kamba atau nilai densitas kamba yang besar. Wettability Wettability adalah waktu yang dibutuhkan oleh sampel tepung dalam menyerap air. Untuk itu kualitas tepung jagung pregelatinisasi yang dihasilkan salah satunya adalah daya dispersi yang dimilikinya. Semakin besar daya dispersi bahan pangan, maka bahan pangan tersebut akan semakin mudah larut tanpa harus dilakukan pengadukan. Menurut Bahrie (2005), faktor-faktor yang memengaruhi

21 60 daya dispersi suatu bahan pangan adalah porositas, polaritas dan komposisi kimia bahan. Barbosa-Canovas & Vega-Mercado (1996) menjelaskan bahwa terdapat beberapa sifat fungsional dari bahan yang dikeringkan, yaitu 1) wettability, merupakan kemampuan tepung untuk menyerap air. Sifat ini dipengaruhi oleh proses aglomerasi, jumlah yang terserap, adanya partikel non-aglomerat; 2) sinkability, merupakan kemampuan tepung untuk tenggelam setelah dibasahi. Sifat ini dipengaruhi oleh densitas partikel; 3) kelarutan, merupakan kecepatan untuk melarut atau disebut juga dengan total kelarutan. Sifat ini dipengaruhi oleh daya pengembangan; 4) dispersibility, merupakan kemampuan tepung untuk terdistribusi seluruhnya pada air tanpa membentuk gumpalan. Sifat ini dipengaruhi oleh ukuran partikel dan keberadaan aglomerat. Nilai wettability tepung jagung berkisar antara 13,25-135,00 detik (Tabel 14). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 10 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap wettability tepung jagung (p 0,05). Interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon wettability pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda. Wettability tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,5% jauh lebih besar dibandingkan wettability tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 dan wettability tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25%. Semakin tingginya nilai wettability dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH) 2 dapat disebabkan oleh interaksi ion Ca 2+ dengan molekul pati. Mondragn et al. (2006) melaporkan pada konsentrasi Ca(OH) 2 yang tinggi, ion-ion Ca 2+ cenderung menumpuk pada permukaan granula pati sehingga menghalangi penyerapan air oleh granula pati dan menghasilkan nilai wettability yang besar. Tabel 14 Wettability tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Wettability Lama Pemasakan Ca(OH) 2 (detik) 0 menit 32,75 ± 2,22 f 5 menit 15,75 ± 1,71 h 0% 10 menit 13,25 ± 0,96 h 15 menit 13,50 ± 1,29 h

22 61 20 menit 13,25 ± 0,96 h 0 menit 38,75 ± 2,22 e 5 menit 15,25 ± 0,50 h 0,25% 10 menit 15,75 ± 0,96 h 15 menit 25,75 ± 2,99 g 20 menit 41,75 ± 2,06 e 0 menit 82,00 ± 4,97 d 5 menit 85,75 ± 5,12 d 0,5% 10 menit 96,25 ± 2,63 c 15 menit 111,00 ± 3,16 b 20 menit 135,00 ± 4,24 a Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Wettability tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 cenderung menurun dengan semakin lamanya pemasakan. Hal ini disebabkan oleh perlakuan pemasakan dapat meningkatkan gelatinisasi pati. Gomez dan Aguilera (1983) menjelaskan daya dispersi dan indeks penyerapan air bahan dipengaruhi oleh adanya denaturasi protein, gelatinisasi pati dan pembengkakan serat kasar yang terjadi selama proses pengolahan. Semakin besar jumlah pati yang tergelatinisasi, semakin besar pula kemampuan produk untuk menyerap air. Wettability tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25% cenderung menurun pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit kemudian meningkat jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit, sedangkan wettability tepung jagung perlakuan konsentrasi 0,5% cenderung meningkat dengan semakin lamanya pemasakan. Hal ini mengindikasikan semakin lama pemasakan maka semakin banyak ion-ion Ca 2+ yang menghalangi penyerapan air tepung jagung. Tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 memiliki nilai wettability yang tidak berbeda secara signifikan dengan tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25% pada lama pemasakan 5 dan 10 menit, sedangkan pada perlakuan tanpa dimasak dan lama pemasakan 15 dan 20 menit, nilai wettability tepung jagung yang diberi perlakuan Ca(OH) 2 0,25% lebih tinggi. Nilai wettability yang besar menunjukkan bahwa tepung jagung tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbasahi dengan perkataan lain sulit untuk menyerap air. Semakin besar kapasitas penyerapan air, semakin rendah nilai

23 62 wettability. Hal ini menyebabkan adanya korelasi negatif antara kapasitas penyerapan air dengan nilai wettability (r = -0,869; p 0,01) (Gambar 9). Kapasitas penyerapan air (g/g bk) 8,6 8,5 8,4 8,3 8,2 8,1 8 7,9 7,8 7,7 7,6 7,5 r = -0, Wettability (detik) Gambar 9 Hubungan antara wettability dengan kapasitas penyerapan air tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Sifat Reologi Tepung Jagung Analisis sifat reologi tepung jagung dilakukan dengan menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA). RVA lebih praktis digunakan karena waktu pengukuran lebih singkat dan sampel yang diperlukan lebih sedikit. Parameterparamater yang dapat diketahui dari viscoamylogram hasil pengukuran menggunakan RVA antara lain: viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas pasta dingin dan setback. Menurut Mondragn et al. (2006), reologi tepung jagung nikstamal dipengaruhi oleh ikatan silang yang terbentuk antara molekul pati dan derajat ikatan silang tersebut tergantung pada konsentrasi kapur dan lama pemasakan selama proses nikstamalisasi. Lebih lanjut Rodríguez et al. (1996) menjelaskan perlakuan alkali mendorong terjadinya perubahan struktur pati karena adanya ikatan silang antara molekul pati melalui pembentukan jembatan kalsium. Viskositas Puncak (Peak Viscosity) Viskositas puncak merupakan titik puncak viskositas adonan pada proses pemanasan atau kondisi dimana granula pati mencapai pengembangan maksimum

24 63 sehingga selanjutnya akan pecah. Parameter ini dapat digunakan sebagai indikator kemudahan jika dimasak dan juga menunjukkan kekuatan adonan yang terbentuk dari gelatinisasi selama pengolahan dalam aplikasi makanan. Nilai viskositas puncak tepung jagung berkisar antara cp (Tabel 15). Analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 11 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap viskositas puncak tepung jagung (p 0,05). Interaksi antara perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon viskositas puncak pasta tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda. Viskositas puncak tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,5% lebih rendah dibandingkan viskositas puncak tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 dan tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25%. Semakin tinggi konsentrasi Ca(OH) 2 yang digunakan dalam proses nikstamalisasi, maka semakin rendah viskositas puncak tepung jagung yang dihasilkan. Ikatan silang yang terbentuk antara ion Ca 2+ dengan gugus hidroksil pati memungkinkan terjadinya penurunan viskositas puncak pada tepung jagung nikstamal. Viskositas puncak tepung jagung perlakuan Ca(OH) 2 0,5% yang lebih rendah dapat dijelaskan sebagai berikut: pada tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2, molekul amilosa dan amilopektin pati hanya dipertahankan oleh ikatan hidrogen lemah, sementara energi kinetik air semakin tinggi yang selanjutnya dapat masuk ke dalam molekul pati dan granula menjadi membengkak. Pada tepung jagung perlakuan Ca(OH) 2, ikatan yang dimiliki pati tidak hanya ikatan hidrogen lemah, tetapi lebih diperkuat dengan adanya ikatan silang antara molekul pati dengan ion Ca 2+. Hal ini dapat membatasi pembengkakan granula dan menghasilkan viskositas puncak yang rendah. Namun viskositas puncak tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25% tidak berbeda nyata dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 kecuali pada lama pemasakan 20 menit. Tabel 15 Viskositas puncak tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Lama Pemasakan Viskositas puncak Ca(OH) 2

25 64 0 menit 532 ± 9,19 a 5 menit 536 ± 17,68 a 0% 10 menit 525 ± 9,19 a 15 menit 515 ± 1,41 ab 20 menit 519 ± 32,53 a 0 menit 510 ± 17,68 ab 5 menit 515 ± 12,73 ab 0,25% 10 menit 506 ± 9,19 ab 15 menit 479 ± 4,95 bc 20 menit 443 ± 2,12 dc 0 menit 428 ± 20,51 d 5 menit 439 ± 24,75 d 0,5% 10 menit 452 ± 21,21 dc 15 menit 372 ± 23,33 e 20 menit 384 ± 6,36 e Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Perlakuan lama pemasakan tidak memberikan hasil yang berbeda secara signifikan terhadap viskositas puncak tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2. Viskositas puncak tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 semakin menurun dengan semakin lamanya pemasakan. Hal ini disebabkan oleh semakin banyak terbentuk ikatan silang antar molekul pati dengan semakin lama pemasakan, sehingga menghambat kemampuan granula pati untuk mengembang. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Karim et al. (2007) yang melaporkan terjadinya penurunan viskositas puncak pada pati yang diberi perlakuan alkali. Hal ini disebabkan pada pati yang diberi perlakuan alkali, daerah amorf sebagian besar dirusak oleh perlakuan alkali, sehingga menyebabkan lemahnya struktur granula. Oleh karena itu, jika gaya geser (shear) diaplikasi pada pati selama pasting, maka granula tidak dapat mempertahankan kapasitas pembengkakan maksimum sehingga menurunkan viskositas puncak. Penurunan viskositas puncak mengindikasikan terjadi pula penurunan kemampuan untuk mengembang dan polimer yang lepas selama pemanasan (amylosa leaching). Hal tersebut berdasarkan Newport Scientific (1998) diacu dalam Beta dan Corke (2001), bahwa viskositas puncak mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi positif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan volume dan polimer yang lepas. Hal ini sesuai dengan

26 65 hasil penelitian ini dimana viskositas puncak berkorelasi positif dengan swelling volume (r= 0,815, p 0,01), kelarutan (r = 0,858; p 0,01) dan kapasitas penyerapan air (r = 0,851; p 0,01 ). Korelasi positif antara viskositas puncak dengan swelling volume, kelarutan dan kapasitas penyerapan air dapat dilihat pada Gambar 10, 11 dan Viskositas puncak (cp) r = 0, ,00 8,50 9,00 9,50 10,00 Swelling volume (ml/g) Gambar 10 Hubungan antara swelling volume dengan viskositas puncak tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Viskositas puncak (cp) r = 0, ,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 Kelarutan (%bk) Gambar 11 Hubungan antara kelarutan dengan viskositas puncak tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan

27 66 Viskositas puncak (cp) r = 0, ,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6 Kapasitas penyerapan air (g/g bk) Gambar 12 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan viskositas puncak tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Semakin tinggi ph, semakin rendah viskositas puncak tepung jagung. Hubungan antara viskositas puncak dengan ph (r = -0,890, p 0,01) dapat dilihat pada Gambar 13. Hal ini sesuai dengan penelitian Mestres et al. (1996) dan Aini (2009) bahwa viskositas maksimum adonan jagung semakin kecil dengan meningkatnya nilai ph. Viskositas puncak (cp) r = -0,890 6,00 6,50 7,00 7,50 8,00 ph Gambar 13 Hubungan antara nilai ph dengan viskositas puncak tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan

28 67 Viskositas Pasta Panas (Trough Viscosity) dan Breakdown Parameter viskositas pasta panas dan breakdown terkait satu sama lain karena breakdown merupakan selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pasta panas. Penurunan nilai viskositas pasta panas umumnya diikuti dengan peningkatan breakdown. Namun demikian, pada kondisi tertentu penurunan viskositas pasta panas tidak selalu diiringi dengan peningkatan breakdown. Apabila viskositas pasta panas dan viskositas puncak pasta menurun secara proporsional maka breakdown akan cenderung tetap. Viskositas pasta panas merupakan indeks kemudahan pemasakan dan merefleksikan kelemahan granula dalam mengembang. Breakdown merupakan nilai penurunan ketika suspensi pati dipanaskan pada suhu 95 0 C. Breakdown menunjukkan stabilitas adonan selama proses pemasakan. Breakdown merupakan selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pasta panas. Nilai viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Ca(OH) 2 0% 0,25% 0,5% Lama Pemasakan Viskositas pasta panas (cp) Breakdown (cp) 0 menit 98 ± 2,12 g 434 ± 11,31 a 5 menit 139 ± 8,49 cde 397 ± 9,19 b 10 menit 173 ± 4,95 a 352 ± 4,24 cd 15 menit 170 ± 3,54 a 346 ± 4,95 d 20 menit 139 ± 5,66 cde 380 ± 26,87 bc 0 menit 107 ± 3,54 g 403 ± 21,21 b 5 menit 143 ± 7,07 cd 372 ± 5,66 bcd 10 menit 158 ± 4,24 b 348 ± 4,95 d 15 menit 139 ± 3,54 cde 341 ± 2,12 d 20 menit 134 ± 0,00 de 309 ± 2,12 e 0 menit 81 ± 1,41 h 347 ± 21,92 d 5 menit 132 ± 6,36 ef 307 ± 18,38 e

29 68 10 menit 150 ± 6,36 cb 303 ± 14,85 e 15 menit 123 ± 4,24 f 249 ± 19,09 f 20 menit 133 ± 0,00 def 251 ± 6,36 f Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Viskositas pasta panas tepung jagung berkisar antara cp dan breakdown tepung jagung berkisar antara cp. Analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 12 dan 13 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung. Interaksi antara perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda. Secara umum viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 lebih tinggi dibandingkan viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2. Breakdown cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH) 2. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan nikstamalisasi (pemasakan dalam larutan Ca(OH) 2 ) dapat menyebabkan struktur granula pati lebih stabil terhadap pemasakan dan kurang memiliki kecenderungan untuk mengalami penurunan viskositas selama pemasakan dan pengadukan. Stabilitas struktur granula dapat disebabkan adanya ion-ion Ca 2+ yang berikatan dengan molekul pati sehingga meningkatkan kekuatan ikatan di dalam granula dan dengan demikian menurunkan breakdown pasta tepung. Breakdown tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 cenderung menurun pada lama pemasakan hingga 15 menit dan kemudian sedikit meningkat jika lama pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Breakdown tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 semakin menurun dengan semakin lamanya pemasakan. Hal ini disebabkan semakin lama pemasakan maka semakin banyak jembatan kalsium intermolekuler dan ikatan silang yang terbentuk sehingga meningkatkan kekuatan antar molekul pati.

30 69 Semakin tinggi ph tepung jagung, semakin rendah indeks kemudahan pemasakan. Gambar 14 menunjukkan adanya korelasi negatif antara ph dan breakdown tepung jagung (r = -0,788; p 0,01). Semakin besar kapasitas penyerapan air pada suatu bahan, semakin kuat mengikat air dan hal ini juga menyebabkan adonan lebih stabil selama pemanasan. Korelasi positif antara kapasitas penyerapan air dengan breakdown (r = 0,670, p 0,01) dapat dilihat pada Gambar 15. Hal ini sesuai dengan penelitian Henshaw et al. (1996) bahwa perbedaan viskositas merupakan variasi penyerapan air. Breakdown (cp) r = -0, ,5 7 7,5 8 ph Gambar 14 Hubungan antara ph dengan breakdown tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Breakdown (cp) r = 0,670 7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6 Kapasitas penyerapan air (g/g bk)

31 70 Gambar 15 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan breakdown tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Viskositas Pasta Dingin (Final Viscosity) dan Setback Kecenderungan retrogradasi dapat dilihat dari viskositas pasta dingin dan setback. Selama pendinginan, bergabungnya kembali antar molekul pati terutama amilosa akan menghasilkan pembentukan struktur gel dan viskositas akan meningkat ke viskositas pasta dingin. Peningkatan viskositas pada saat pendinginan menentukan kecenderungan bergabungnya kembali pati yang merefleksikan kecenderungan produk untuk teretrogradasi (Hagenimana et al. 2006). Namun apabila kecenderungan untuk bergabung kembali tersebut lemah, ikatan hidrogen akan terbentuk secara lambat. Setback atau perubahan viskositas selama pendinginan diperoleh dari selisih antara viskositas pasta dingin dengan viskositas pasta panas. Semakin tinggi nilai setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai setback menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi. Hal tersebut didasarkan pada pengertian retrogradasi yaitu terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta didinginkan (Winarno 2004). Menurut Beta dan Corke (2001), setback dapat digunakan untuk mengukur kemampuan kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi selama pendinginan. Nilai viskositas pasta dingin dan setback tepung jagung berkisar antara cp dan cp (Tabel 17). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 14 dan 15 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan terhadap viskositas pasta dingin dan setback tepung jagung (p 0,05). Interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon viskositas pasta dingin dan setback pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan yang berbeda.

32 71 Tabel 17 Viskositas pasta dingin dan setback tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Konsentrasi Ca(OH) 2 0% 0,25% 0,5% Lama Pemasakan Viskositas pasta Setback dingin (cp) (cp) 0 menit 224 ± 0,71 i 126 ± 1,41 e 5 menit 299 ± 15,56 cde 160 ± 7,07 ab 10 menit 336 ± 7,07 a 164 ± 2,12 a 15 menit 323 ± 0,71 ab 153 ± 2,83 b 20 menit 273 ± 14,85 fg 134 ± 9,19 de 0 menit 246 ± 1,41 h 140 ± 4,95 d 5 menit 310 ± 8,49 bcd 167 ± 1,41 a 10 menit 315 ± 8,49 bc 157 ± 4,24 ab 15 menit 290 ± 3,54 ef 151 ± 0,00 bc 20 menit 268 ± 1,41 g 134 ± 1,41 de 0 menit 170 ± 4,24 j 89 ± 5,66 f 5 menit 271 ± 12,02 g 139 ± 5,66 d 10 menit 292 ± 11,31 de 143 ± 4,95 cd 15 menit 248 ± 9,19 h 125 ± 4,95 e 20 menit 257 ± 1,41 gh 124 ± 1,41 e Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5% Viskositas pasta dingin tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 0,5% lebih rendah dibandingkan viskositas pasta dingin tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 dan tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 0,25%. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Sefa-Dedeh (1991) diacu dalam Sefa-Dedeh et al. (2004) yang melaporkan terjadinya penurunan viskositas secara drastis pada hasil pengukuran amilografi pada tepung jagung yang diberi perlakuan kapur. Penurunan viskositas yang nyata terlihat pada viskositas pasta dingin. Penurunan viskositas, khususnya selama periode pendinginan kemungkinan dapat disebabkan oleh jenuhnya gugus hidroksil pati oleh ion Ca 2+ dan Ca(OH) + sehingga mencegah penggabungan kembali molekul-molekul pati dan menghasilkan viskositas pasta dingin yang rendah. Viskositas pasta dingin tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 cenderung meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga 15 menit, kemudian menurun jika pemanasan diteruskan hingga 20 menit. Viskositas pasta dingin tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 mencapai nilai maksimum pada lama

33 72 pemasakan 10 menit kemudian menurun jika lama pemasakan diperpanjang hingga 20 menit. Setback tepung jagung memiliki pola yang serupa dengan viskositas pasta dinginnya, dimana tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 0,5% memiliki setback yang lebih rendah dibandingkan tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH) 2 dan tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 0,25%. Rendahnya nilai setback pada tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH) 2 0,5% berkaitan dengan interaksi molekul pati dengan ion-ion Ca 2+. Nadiha et al. (2010) melaporkan bahwa penurunan setback pada pati jagung yang diberi perlakuan alkali dapat disebabkan oleh adanya ion-ion yang membatasi kecenderungan molekul pati untuk bergabung kembali sehingga menyebabkan rendahnya setback. Setback tepung jagung baik tanpa perlakuan Ca(OH) 2 maupun dengan perlakuan Ca(OH) 2 cenderung meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit, kemudian menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Data setback ini memiliki keterkaitan dengan kekuatan gel tepung jagung, dimana semakin tinggi setback suspensi tepung jagung, maka semakin kuat pula gel yang dihasilkan (r = 0,916; p 0,01) (Gambar 16). 120 Kekuatan gel (gf) r = 0, Setback (cp) Gambar 16 Hubungan antara setback dengan kekuatan gel tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan

34 73 Semakin tinggi ph tepung jagung, kecenderungan terjadinya retrogradasi semakin lambat. Hal ini menyebabkan adanya korelasi antara nilai ph dengan setback tepung jagung (r = -0,505; p 0,01) (Gambar 17). Hasil ini didukung oleh penelitian Aini (2009) yang melaporkan bahwa setback tepung jagung yang diberi perlakuan fermentasi spontan menurun dengan meningkatnya nilai ph tepung jagung. 180 Setback (cp) r = -0, ,5 7 7,5 8 ph Gambar 17 Hubungan antara setback dengan ph tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dan lama pemasakan Pada saat gelatinisasi, amilosa keluar dari granula pati dan dapat membentuk kompleks amilosa-lemak. Pembentukan kompleks ini juga dapat mengurangi kecenderungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan teretrogradasi sehingga menghambat kecepatan pengerasan selama pemanasan (Singh et al. 2006). Penurunan setback penting untuk karakteristik tepung yang akan digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI (Muyonga et al. 2001). Karakteristik Bubur Jagung Instan MP-ASI Penentuan Formulasi Formulasi MP-ASI yang dibuat pada penelitian ini adalah formulasi dasar dengan menggunakan bahan-bahan yang merupakan sumber zat gizi makro (karbohidrat, protein dan lemak) tanpa penambahan zat gizi mikro (vitamin dan mineral). Perbedaan pada kedua formulasi adalah jumlah masing-masing bahan

35 74 penyusun yang ditambahkan. Oleh karena pada pembuatan bubur MP-ASI ini tidak ditambahkan zat gizi mikro maka pemilihan formulasi bubur MP-ASI mengacu kepada kandungan zat gizi makronya. Formulasi bubur jagung MP-ASI yang akan dipilih adalah formulasi yang telah memenuhi persyaratan zat gizi makro MP-ASI bubuk instan berdasarkan SNI Kandungan zat gizi makro (untuk 100 gram produk) MP-ASI bubuk instan berdasarkan SNI adalah protein sebesar 8-22 gram, lemak sebesar 6-15 gram dan energi minimal 400 kilokalori. Sumber karbohidrat utama yang digunakan dalam pembuatan bubur jagung MP-ASI adalah tepung jagung yang diperoleh pada penelitian tahap I. Tepung jagung yang digunakan pada pembuatan bubur MP-ASI ini adalah tepung jagung dengan perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25% dengan lama pemasakan 15 menit dan tepung jagung tanpa perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 dengan lama pemasakan 15 menit (Gambar 18). Secara visual tidak terlihat perbedaan antara kedua jenis tepung tersebut. Pemilihan tepung jagung nikstamal dengan perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25% dan lama pemasakan 15 menit dalam pembuatan bubur MP-ASI dikarenakan tepung jagung tersebut memiliki kapasitas penyerapan air, kekuatan gel dan kekentalan yang lebih rendah dibandingkan tepung jagung nikstamal pada perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,25% dan lama pemasakan 5 dan 10 menit. Tepung jagung dengan lama pemasakan 20 menit tidak sesuai digunakan di dalam pembuatan bubur MP-ASI karena memiliki wettability yang lebih tinggi dan menghasilkan aroma yang tidak diinginkan. Tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH) 2 0,5% sulit terdispersi di dalam air dingin ditandai dengan nilai wettabilitynya yang tinggi yaitu berkisar antara detik, sehingga tidak sesuai digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI. Namun pada tahap penentuan formulasi hanya digunakan tepung jagung nikstamal (konsentrasi Ca(OH) 2 0,25% dan lama pemasakan 15 menit). Bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan bubur jagung MP-ASI adalah susu bubuk skim sebagai sumber protein, minyak kelapa sawit sebagai sumber lemak, dan gula bubuk untuk memberikan rasa manis. Produk bubur jagung MP-ASI dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan secara merata karena bahan yang digunakan sudah dalam bentuk matang.

36 75 (a) (b) Gambar 18 Tepung jagung dengan perlakuan lama pemasakan 15 menit: (a) penggunaan Ca(OH) 2 0,25% dan (b) tanpa penggunaan Ca(OH) Kandungan gizi kedua formulasi bubur jagung MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 18. Berdasarkan kandungan energi, protein, lemak, dan abu dari kedua formulasi bubur tersebut, maka bubur jagung MP-ASI formulasi 2 telah memenuhi persyaratan SNI , sedangkan bubur jagung MP-ASI formulasi 1, kandungan lemaknya lebih rendah (4,49% bk) dari kandungan lemak yang dipersyaratkan dalam SNI (6-15%). Tabel 18 Komposisi kimia bubur jagung instan MP-ASI dengan dua formulasi yang berbeda Komposisi kimia Formulasi 1 Formulasi 2 Kadar karbohidrat (%bk) 79,02 ± 0,34 73,92 ± 0,28 Kadar protein (%bk) 13,69 ± 0,02 16,19 ± 0,04 Kadar lemak (%bk) 4,49 ± 0,05 6,70 ± 0,21 Kadar abu (%bk) 2,81 ± 0,31 3,18 ± 0,04 Kadar serat kasar (%bk) 0,91 ± 0,13 0,93 ±0,04 Dengan bertambahnya susu skim yang digunakan dalam formulasi maka semakin tinggi kadar protein dan kadar abu bubur jagung MP-ASI. Disamping itu, penggunaan minyak sawit juga dapat meningkatkan kandungan lemak bubur jagung MP-ASI.

37 76 Kandungan Gizi Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi dua jenis sampel bubur MP-ASI yang masing-masing dibuat dengan bahan baku tepung jagung nikstamal dan tepung jagung non-nikstamal. Sebelumnya sudah ditentukan bahwa bubur MP-ASI formulasi 2 telah memenuhi persyaratan kandungan gizi MP-ASI bubuk instan menurut SNI , maka kedua jenis bubur jagung ini dibuat menggunakan formulasi 2. Perbedaan dari kedua sampel bubur MP-ASI ini hanyalah penggunaan bahan baku jenis tepung jagung yang berbeda yaitu tepung jagung yang diproses tanpa perlakuan nikstamalisasi dan tepung jagung yang diproses dengan perlakuan nikstamalisasi. Pada tahap penentuan formulasi, tepung jagung yang digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI adalah tepung jagung nikstamal, sehingga analisis proksimat untuk sampel ini tidak dilakukan lagi karena sudah didapat data pada tahap penentuan formulasi, hanya dilakukan analisis kadar kalsium. Pada sampel bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung non-nikstamal dilakukan analisis proksimat dan kadar kalsium. Kandungan gizi hasil analisis proksimat dan kadar kalsium bubur jagung MP-ASI dan bubur MP-ASI komersial dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Kandungan gizi bubur jagung instan MP-ASI Komposisi Kimia Bubur jagung non-nikstamal Bubur jagung nikstamal Bubur komersial Persyaratan SNI Protein (%bk) 15,53 ± 0,38 16,19 ± 0,04 14,58* 8-22 Lemak (%bk) 6,63 ± 0,35 6,70 ± 0,21 6,25* 6-15 Karbohidrat (%bk) 74,20 ± 0,29 73,92 ± 0,28 70,83* - Abu (%bk) 3,06 ± 0,20 3,18 ± 0,04 - maks 3,5 Serat kasar (%bk) 0,93 ± 0,06 0,93 ±0, Kalsium (%) 0,57 ± 0,005 0,59 ± 0,002 - min 0,2 Energi (kkal) 418,59 420,74 397,89 Keterangan: * Pembacaaan di label kemasan Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Produk bubur jagung MP-ASI yang dihasilkan pada penelitian ini dibandingkan dengan bubur MP-ASI komersial yang diperuntukkan untuk bayi berusia enam bulan ke atas.

38 77 Kadar protein pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI adalah 15,53% (bk) untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nisktamal dan 16,19% (bk) untuk bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal. Kandungan protein pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI ini lebih tinggi dibandingkan kandungan protein pada bubur MP-ASI komersial yaitu 14,58% (bk). Persyaratan SNI mengenai kandungan protein MP-ASI bubuk instan adalah minimal 8% dan maksimal 22%. Oleh karena itu kandungan protein pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI ini telah sesuai dengan standar. Kadar lemak pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI adalah 6,63% (bk) untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nikstamal dan 6,70% (bk) untuk bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal. Kandungan lemak kedua sampel bubur jagung MP-ASI ini sudah sesuai dengan persyaratan SNI mengenai kandungan lemak MP-ASI bubuk instan yaitu minimal 6% dan maksimal 15%. Jika dibandingkan dengan kandungan lemak bubur MP-ASI komersial, maka kandungan lemak kedua sampel bubur jagung MP-ASI lebih tinggi. Kadar karbohidrat pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI adalah 74,20% (bk) untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nisktamal dan 73,92% (bk) untuk bubur berbahan baku tepung jagung nisktamal, sedangkan kandungan karbohidrat bubur MP-ASI komersial lebih rendah yaitu 70,83% (bk). Begitu juga dengan kandungan energi untuk kedua sampel bubur jagung MP-ASI lebih tinggi dibandingkan kandungan energi bubur MP-ASI komersial. Bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal memiliki kandungan zat gizi yang lebih tinggi (420,74 kkal) dibandingkan bubur berbahan baku tepung jagung nonnikstamal (418,59). Kadar kalsium bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal (0,59% bk) lebih tinggi dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung non-nikstamal (0,57% bk). Lebih tingginya kadar kalsium pada sampel bubur jagung MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal ini disebabkan karena proses pembuatan tepung jagung nikstamal melibatkan proses nikstamalisasi yaitu pemasakan dan perendaman biji jagung dalam larutan Ca(OH) 2. Selama proses nikstamalisasi, terjadi interaksi antara molekul pati

39 78 dengan ion Ca 2+ dimana ion Ca 2+ tersebut berikatan dengan gugus hidroksil pati. Hal ini menyebabkan kadar kalsium sampel bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal lebih tinggi. Kalsium merupakan mineral, sehingga tingginya kadar kalsium pada bubur jagung MP-ASI juga memengaruhi kadar abu sampel. Semakin tinggi kadar kalsium bubur jagung MP-ASI, maka semakin tinggi pula kadar abunya. Baik kadar kalsium maupun kadar abu kedua bubur jagung MP- ASI telah memenuhi persyaratan kadar kalsium dan kadar abu MP-ASI pada SNI Tingginya kandungan kalsium pada kedua bubur jagung MP-ASI tersebut dikarenakan penggunaan susu skim yang memiliki kandungan kalsium yang tinggi. Kadar kalsium dan kadar abu yang dipersyaratkan SNI untuk MP-ASI bubuk instan adalah minimal 0,2% untuk kadar kalsium dan maksimal 3,5% untuk kadar abu. Sifat Fisik Sifat fisik suatu bahan pangan erat kaitannya dengan proses pengolahannya dan merupakan faktor penentu dalam proses selanjutnya seperti pengemasan, penyajian dan umur simpan. Sifat fisik yang dianalisis antara lain: densitas kamba, uji seduh, waktu rehidrasi dan kapasitas penyerapan air. Data hasil analisis sifat fisik kedua sampel bubur jagung MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Sifat fisik bubur jagung instan MP-ASI Sifat Fisik Bubur jagung Bubur jagung Bubur non-nikstamal nikstamal komersial Densitas kamba (g/ml) 0,34 0,41 0,52 Uji seduh (ml) Waktu rehidrasi (detik) Kapasitas penyerapan air (%) 2,76 2,6 4,06 ph 7,03 7,09 7,05 Densitas Kamba Selain dinyatakan dengan kandungan protein, lemak dan energi, tingkat kepadatan gizi suatu produk makanan, terutama makanan bayi dapat dinyatakan pula dengan nilai densitas kamba. Densitas kamba yang kecil berarti bahan tersebut membutuhkan volume yang besar untuk sejumlah kecil bahan. Menurut Hofvander & Underwood (1987) untuk kepentingan konsumsi balita dibutuhkan

40 79 jenis produk pangan yang memiliki kekambaan minimum, sebab makanan yang kamba tidak cocok untuk balita mengingat kapasitas perutnya yang masih terbatas. Selain itu, semakin kecil nilai densitas kamba akan semakin sedikit pula kandungan gizi yang akan diterima oleh bayi. Bahan pangan yang kamba akan membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan yang densitas kambanya besar untuk berat bahan yang sama. Nilai densitas kamba produk bubur MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 20. Nilai densitas kamba untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nikstamal lebih kecil dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal. Hal ini disebabkan tepung jagung non-nikstamal memiliki nilai densitas kamba yang lebih kecil dibandingkan nilai densitas kamba tepung jagung nikstamal, sehingga bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal lebih padat gizi dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung non-nikstamal. Namun jika dibandingkan dengan nilai densitas kamba bubur MP-ASI komersial, kedua sampel bubur jagung MP-ASI ini memiliki nilai densitas kamba yang lebih kecil. Hasil penelitian lain menunjukkan nilai densitas kamba makanan bayi dari campuran tepung terigu dan dekstrin pati garut sebesar 0,3-0,4 g/ml (Susanty 2002), bubur bayi dari campuran tepung kecambah dengan tepung beras 0,31-0,35 g/ml (Fatmawati 2004), sedangkan Mirdhayati (2004) menyatakan kisaran densitas kamba sebesar 0,45-0,67 untuk makanan bayi berbahan baku tepung garut. Jika dibandingkan dengan ketiga hasil penelitian di atas, maka nilai densitas kamba bubur bayi yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Menurut Wirakartakusumah et al. (1992), adanya perbedaan nilai densitas kamba ini sangat dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk partikel, gaya tarik menarik antar partikel bubuk dan penyebaran partikel. Perubahan dari sifat bulk dapat menyebabkan perubahan pada sifat-sifat produk berbentuk bubuk. Nilai densitas kamba dari makanan berbentuk bubuk umumnya antara 0,3-0,8 g/ml. Apabila suatu MP-ASI memiliki nilai densitas kamba yang tinggi tetapi daya serap airnya pun tinggi maka MP-ASI tersebut kurang baik untuk bayi karena MP-ASI akan menyerap air banyak sehingga pada tahap penyajiannya,

41 80 volume MP-ASI akan meningkat setelah diberi air dan ada kemungkinan bubur yang disajikan tidak habis termakan. Uji Seduh dan Waktu Rehidrasi Uji seduh merupakan gambaran dari rasio rehidrasi antara jumlah air yang ditambahkan dengan jumlah bahan makanan setiap penyajian. Uji ini dilakukan dengan cara menambahkan air pada bubur MP-ASI yang masih berbentuk bubuk sampai diperoleh kekentalan bubur yang relatif sama dengan bubur MP-ASI komersial. Untuk mengetahui kekentalan bubur MP-ASI komersial maka dilakukan pengukuran viskositas menggunakan viskometer Brookfield. Viskositas bubur MP-ASI komersial diukur setelah bubur tersebut direhidrasi yaitu dengan mencampurkan 24 gram bubuk MP-ASI komersial dengan 125 ml air hangat (±60 0 C) kemudian diaduk hingga diperoleh kekentalan yang merata. Dari pengukuran tersebut diperoleh kekentalan bubur MP-ASI komersial adalah cp, nilai viskositas ini dijadikan acuan untuk menentukan jumlah air yang diperlukan untuk merehidrasi kedua sampel bubur jagung MP-ASI. Berat produk yang digunakan dalam uji seduh ini adalah 24 gram yang merupakan takaran produk bubur MP-ASI komersial untuk sekali penyajian. Jumlah air yang ditambahkan saat rehidrasi ini sangat ditentukan oleh komponen penyusun produk. Sifat kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang ditambahkan. Hal ini dibuktikan dengan pengujian sifat kapasitas penyerapan air masing-masing bubur. Dimana kapasitas penyerapan air yang rendah memerlukan jumlah air yang sedikit untuk proses rehidrasi. Jumlah air yang ditambahkan pada bubur jagung MP-ASI dan bubur MP- ASI komersial per saji dapat dilihat pada Tabel 20. Jumlah air yang ditambahkan pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI lebih sedikit dibandingkan jumlah air yang ditambahkan pada bubur MP-ASI komersial. Penambahan air untuk merehidrasi bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal juga lebih sedikit dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung non-nikstamal, sehingga pada kekentalan yang sama volume menjadi lebih kecil. Volume kecil ini sangat baik bagi makanan bayi karena bayi menjadi tidak cepat kenyang dan asupan gizinya terpenuhi. Jumlah air yang ditambahkan untuk membentuk bubur

42 81 MP-ASI tidak boleh terlalu banyak karena dapat menyebabkan perut bayi menjadi kembung dan kenyang sebelum kebutuhan energinya tercukupi. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Mirdhayati (2004), jumlah air yang ditambahkan untuk merehidrasi 24 gram bubur garut instan MP-ASI tanpa penambahan dekstrin adalah sebesar 75 ml atau lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Uji waktu rehidrasi dilakukan pada saat produk MP-ASI berbentuk bubuk, kemudian dilakukan penambahan air dengan jumlah yang didapat pada uji seduh untuk masing-masing bubur MP-ASI sehingga produk menjadi bubur dengan kekentalan yang merata. Waktu rehidrasi yang diharapkan pada produk instan adalah yang lebih singkat sehingga mempermudah proses penyajiannya. Namun ukuran dan sebaran partikel bubuk, proses pencampuran bahan dan komposisi bahan penyusun dapat memengaruhi lama penyerapan air. Waktu rehidrasi dapat ditingkatkan dengan pengadukan. Waktu rehidrasi kedua sampel bubur jagung MP-ASI lebih singkat dibandingkan waktu rehidrasi bubur MP-ASI komersial (Tabel 20). Kapasitas Penyerapan Air Kapasitas penyerapan air dapat dijadikan pedoman dalam proses rehidrasi produk instan berbentuk bubuk, karena kapasitas penyerapan air yang tinggi memerlukan jumlah air yang lebih banyak untuk proses rehidrasinya. Sifat yang diharapkan dari kapasitas penyerapan air untuk makanan bubur bayi adalah nilai kapasitas penyerapan air yang rendah karena jika jumlah air yang diperlukan lebih banyak untuk merehidrasi produk dapat menyebabkan bayi cepat kenyang. Menurut Hutton dan Campbell (1981), kapasitas penyerapan air suatu bahan dipengaruhi oleh komponen-komponen penyusunnya seperti protein dan karbohidrat. Molekul karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam hingga tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan molekul protein. Selain itu, beberapa faktor lain yang berpengaruh adalah kemampuan grup-grup polar seperti karboksil, hidroksil, amina dan sulfidril pada protein untuk menyerap air.

43 82 Kemampuan molekul protein untuk menyerap untuk menyerap air terutama berlangsung pada sisi polar asam amino. Kapasitas penyerapan air dinyatakan dengan banyaknya air yang diserap tiap gram bahan. Besarnya nilai kapasitas penyerapan air dari kedua formula bubur bayi dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal memiliki kapasitas penyerapan air yang lebih rendah (2,60 g/g) dibandingkan bubur bayi berbahan baku tepung jagung non-nikstamal (2,76 g/g). Hal ini dapat disebabkan karena tepung jagung nikstamal yang digunakan sebagai bahan baku memiliki kapasitas penyerapan air yang lebih rendah dibandingkan tepung jagung non-nikstamal. Proses nikstamalisasi menyebabkan ion Ca 2+ berikatan dengan gugus hidroksil pati, sehingga mengurangi kemungkinan gugus hidroksil pati untuk berikatan dengan molekul air. Jika dibandingkan dengan nilai kapasitas penyerapan air bubur MP-ASI komersial (4,06 g/g), maka nilai kapasitas penyerapan air kedua sampel bubur jagung MP-ASI ini lebih rendah. Hasil penelitian lainnya melaporkan kapasitas penyerapan air produk makanan bayi bervariasi menurut komponen karbohidat penyusunnya. Kapasitas pengikatan air makanan bayi dari campuran tepung terigu dan dekstrin pati garut bernilai 0,4 2,3 g/g (Susanty 2002), makanan bayi berbahan baku tepung garut bernilai 0,59 3,53 g/g (Mirdhayati 2004) dan kapasitas penyerapan air berbahan baku pisang owak bernilai 2,83 3,33 g/g (Hamid 2000). Daya Cerna Protein Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan dikenal dengan istilah daya cerna protein. Protein yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi akan mengalami pencernaan (pemecahan oleh enzim-enzim protease). Nilai gizi suatu protein ditentukan oleh daya cernanya, yang berarti juga menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Jika suatu protein memiliki daya cerna tinggi maka sebagian besar asamasam aminonya dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sebaliknya, jika protein memiliki daya cerna yang rendah maka sebagian besar akan dibuang oleh feses (Muchtadi 1989).

44 83 Salah satu metode pengujian daya cerna protein adalah dengan metode in vitro. Keuntungan metode ini antara lain adalah praktis atau lebih mudah diterapkan, biaya lebih murah dan efisien, waktu pengujiannya yang lebih singkat dari metode in vivo. Pengujian daya cerna in vitro pada hakekatnya adalah meniru kondisi pencernaan dalam tubuh dengan menggunakan enzim pencernaan dan kondisi suhu dan ph yang sama dengan kondisi dalam tubuh manusia. Dalam penelitian ini digunakan larutan multi-enzim yang terdiri dari tripsin, kimotripsin dan peptidase yang merupakan enzim protease untuk analisis daya cerna in vitro. Di dalam lambung, enzim pepsin akan memecah protein menjadi asam-asam amino atau peptida dengan bantuan HCl. Proses pemecahan tersebut berlanjut baik di dalam usus 12 jari (duodenum) maupun di dalam usus kecil. Dimana enzim pankreatin bersama enzim-enzim lain di dalam usus kecil memecah protein secara sempurna menjadi asam-asam amino (Muchtadi 1989). Berdasarkan data pada Tabel 21, maka dapat diketahui bahwa protein MP- ASI tersebut memiliki mutu yang baik. Daya cerna kedua sampel bubur jagung MP-ASI berada di atas 80%, yaitu 86,46% (bk) untuk bubur jagung non-nikstamal dan 87,36% (bk) untuk bubur jagung nikstamal. Namun daya cerna protein kedua sampel bubur jagung MP-ASI ini tidak terlalu jauh berbeda dengan daya cerna protein bubur MP-ASI komersial (88,81% bk). Perbedaan daya cerna antara kedua sampel bubur jagung MP-ASI dengan bubur MP-ASI komersial disebabkan oleh perbedaan bahan baku dan bahan-bahan penunjang yang digunakan serta proses pengolahan yang berbeda. Tabel 21 Daya cerna protein dan daya cerna pati sampel bubur jagung instan MP-ASI Sampel Daya cerna protein Daya cerna pati (%bk) (%bk) Bubur jagung non-nikstamal 86,46 ± 1,28 82,24 ± 0,46 Bubur jagung nikstamal 87,36 ± 0,00 81,07 ± 0,81 Bubur komersial 88,81 * 86,14 * Kasein 90,81 * Keterangan: * Hasil penelitian Mirdhayati (2004)

45 84 Hasil penelitian lain menunjukkan daya cerna protein makanan bayi dari campuran tepung terigu dan dekstrin pati garut sebesar 86-87% dan bubur bayi nestle sebesar 86% (Susanty 2002), sedangkan daya cerna protein makanan bayi berbahan baku tepung garut berkisar antara 87,18-87,26% (Mirdhayati 2004). Jika dibandingkan dengan dua hasil penelitian di atas, maka nilai daya cerna protein kedua sampel bubur jagung MP-ASI yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Mitchell dan Grundel (1986) mengenai daya cerna protein in vitro untuk produk makanan bayi yang berbentuk tepung berkisar antara 85-88% untuk produk berbahan baku susu dan 88-89% untuk produk berbahan baku kedelai. Dengan demikian daya cerna protein MP-ASI yang diperoleh dalam penelitian ini termasuk dalam kisaran produk berbahan baku susu. Umumnya hasil analisis secara in vitro lebih rendah daripada hasil analisis secara in vivo. Daya Cerna Pati Daya cerna pati adalah kemampuan enzim pemecah pati untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Pengukuran daya cerna pati dapat dilakukan secara in vitro. Beberapa hal yang menyebabkan penurunan daya cerna pati di antaranya adalah penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada waktu pengolahan. Proses pemanasan akan menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen pada pati sehingga amilosa dan amilopektin keluar dari granula pati. Kerusakan granula menyebabkan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi pati terpisah dan masuk ke dalam media yang ada. Amilosa akan larut dan sudah tidak dapat lagi dikenali oleh enzim pencernaan, sementara amilopektin dapat terurai pula, sehingga penguraian pati tidak sempurna dan daya cernanya pun berkurang (Greenwood 1989). Lebih lanjut Tharanthan & Mahadevarma (2003) melaporkan bahwa perlakuan panas selama pengolahan diduga dapat meningkatkan interaksi tersebut sehingga menyebabkan aktivitas enzim alfa amilase dalam menghidrolisis pati jadi menurun. Penggunaan suhu tinggi pada proses pengolahan pangan dengan kandungan pati yang tinggi juga menyebabkan terbentuknya retrogradasi amilosa menjadi pati resisten.

46 85 Daya cerna pati bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal (81,07% bk) lebih rendah daripada daya cerna pati bubur berbahan baku tepung jagung nonnikstamal (82,24% bk). Namun daya cerna pati kedua sampel bubur jagung MP- ASI ini lebih rendah daripada daya cerna pati bubur MP-ASI komersial (86,14%) (Tabel 21). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan tingkat gelatinisasi dan kapasitas penyerapan air masing-masing sampel bubur. Dari data hasil analisis kapasitas penyerapan air didapat kapasitas penyerapan air bubur MP-ASI komersial lebih besar daripada kapasitas penyerapan air kedua sampel bubur jagung MP-ASI dan kapasitas penyerapan air bubur berbahan baku tepung jagung non-nikstamal lebih besar daripada kapasitas penyerapan air sampel bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal. Njintang & Mbofung (2006) melaporkan bahwa peningkatan daya cerna pati dapat disebabkan oleh peningkatan gelatinisasi pati dan kemampuan untuk mengikat air. Daniel dan Whistler (1985) mengemukakan bahwa tingkat gelatinisasi suatu produk makanan berpengaruh terhadap daya cernanya, dimana produk makanan dengan tingkat gelatinisasi yang lebih tinggi lebih mudah dicerna daripada produk dengan tingkat gelatinisasi yang rendah. Pengetahuan seperti ini sangat bermanfaat dalam pembuatan produk makanan khususnya makanan bayi yang memerlukan daya cerna yang tinggi. Menurut Saura-Calixto et al. (1993), perlakuan panas pada biji jagung selama proses nikstamalisasi dapat meningkatkan interaksi antara pati dengan komponen-komponen lain (protein, lipid dan antar sesama pati) sehingga menyebabkan pati jagung tersebut kurang dapat dihidrolisis oleh enzim. Milàn- Carillo et al. (2006) melaporkan meningkatnya pati resisten selama produksi tepung jagung instan yang diperoleh dari biji jagung nikstamal. Selain hal di atas, proses pencernaan pati dipengaruhi juga oleh interaksi antara pati dengan komponen pangan lainnya seperti lipid, protein dan pati itu sendiri dapat memengaruhi daya cerna pati (Tharanthan & Mahadevarma 2003). Komponen pangan yang dapat menurunkan daya cerna pati adalah serat pangan. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan yaitu terhalangnya granula pati oleh serat sehingga sulit dicerna oleh

47 86 enzim-enzim amilolitik manusia. Serat juga dapat menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat (Rimbawan dan Siagian 2004). Sifat Organoleptik Pengujian sifat organoleptik juga merupakan pertimbangan dasar dalam penentuan kualitas MP-ASI karena produk yang diterima oleh konsumen tidak hanya didukung oleh sifat fisik saja, melainkan juga pengujian organoleptik. Makanan bayi yang baik memiliki sifat halus dalam mulut, mudah ditelan dan tidak lengket karena merupakan syarat utama untuk MP-ASI berbentuk bubur. Pengujian sifat organoleptik dilakukan terhadap kedua sampel bubur jagung MP-ASI dan bubur MP-ASI komersial sebagai pembanding. Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal tidak berbeda secara visual dengan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nonnikstamal. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang berjumlah 70 orang dengan menggunakan uji skoring dan uji hedonik. Sifat yang diuji pada uji skoring adalah kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan dan kelengketan. Sedangkan pada uji hedonik warna, aroma, kekentalan, rasa, penerimaan umum (overall). Dalam uji skoring, angka tertinggi adalah lima yang menunjukkan tekstur sangat halus dan sangat mudah ditelan sedangkan angka satu adalah kebalikannya yaitu tekstur kasar/berpasir dan sukar ditelan. Untuk sifat kelengketan angka lima menunjukkan lengket dan angka satu menunjukkan encer. Sifat kehalusan dalam mulut untuk produk MP-ASI yang berbentuk bubur merupakan hal yang harus diperhatikan karena berhubungan dengan kenyamanan bayi dalam mencicipinya. Jika bubur mempunyai tekstur yang kasar, dikhawatirkan bayi tidak menyukai dan mudah untuk disemburkan. Sementara untuk uji hedonik digunakan skala penilaian dari 1 sampai 7, dimana semakin besar nilai skala, maka semakin besar kesukaan panelis terhadap parameter hedonik yang diamati.

48 87 (a) (b) Gambar 19 Bubur instan MP-ASI berbahan baku: (a) tepung jagung non-nikstamal dan (b) tepung jagung nikstamal Hasil analisis data terhadap sifat kehalusan, kemudahan ditelan dan kelengketan sampel bubur MP-ASI dapat dilihat pada Lampiran 16. Pada Tabel 22 dapat terlihat bahwa nilai rata-rata kehalusan bubur jagung MP-ASI berbeda nyata dengan nilai rata-rata kehalusan bubur MP-ASI komersial. Nilai rata-rata kehalusan yang lebih besar pada sampel bubur jagung MP-ASI dibandingkan bubur MP-ASI komersial menandakan kedua sampel bubur jagung MP-ASI memiliki tekstur yang lebih kasar. Sifat kehalusan bubur MP-ASI dalam mulut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan penyusunnya dan proses penyerapan air. Proses penyerapan air yang tidak merata pada bubur dapat menyebabkan bubur terasa agak kasar. Pada penelitian ini proses penyerapan air yang tidak merata bukanlah penyebab kasarnya tekstur bubur, namun lebih disebabkan oleh bahan penyusunnya yaitu tepung jagung yang digunakan memiliki ukuran 60 mesh. Selain itu proses pengolahan juga menyebabkan perbedaan kehalusan bubur jagung MP-ASI dengan bubur MP-ASI komersial. Umumnya bubur MP-ASI komersial diolah dengan cara memasak campuran bahan penyusunnya terlebih dahulu kemudian baru dikeringkan menggunakan drum dryer, sementara pada pembuatan bubur MP-ASI pada penelitian ini hanya dengan mencampurkan bahan-bahan yang sebelumnya sudah matang. Tabel 22 Nilai rata-rata hasil uji skoring bubur jagung MP-ASI dan bubur MP- ASI komersial Kriteria Kehalusan Kemudahan Kelengketan di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati jagung Dalam proses modifikasi pati jagung HMT dilakukan pemilihan suhu dan waktu terbaik selama perlakuan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Rendemen

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Rendemen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen Rendemen tepung dan pati dihitung berdasarkan bobot umbi segar yang telah dikupas (Lampiran 1). Ubi jalar Cilembu menghasilkan tepung dengan rendemen sebesar 15.94%,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengamatan yang dilakukan pada tepung jagung nikstamal adalah sifat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengamatan yang dilakukan pada tepung jagung nikstamal adalah sifat 50 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Jagung Nikstamal Pengamatan yang dilakukan pada tepung jagung nikstamal adalah sifat fisikokimia yang meliputi penampakan mikroskopis, kadar amilosa, kadar pati,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN 1. Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Penelitian ini menggunakan bahan baku beras IR64 dan beras ketan Ciasem yang

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Convolvulaceae. Ubi jalar termasuk tanaman tropis, tumbuh baik di daerah yang memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang terus meningkat. Namun demikian peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga terjadi masalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011). 22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Berat Jenis Berat jenis merupakan perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya. Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hasil pembuatan pati dari beberapa tanaman menghasilkan massa (g) yaitu ubi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kurva standar glukosa untuk pengujian total gula, gula reduksi dan kadar pati

Lampiran 1. Kurva standar glukosa untuk pengujian total gula, gula reduksi dan kadar pati 82 Lampiran 1. Kurva standar glukosa untuk pengujian total gula, gula reduksi dan kadar pati 0.035 Konsentrasi glukosa (mg/ml) 0.030 0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 ŷ = 0,0655x + 0,0038 r = 0,9992

Lebih terperinci

Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles

Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles Oke Anandika Lestari* 1, Feri Kusnandar 2, Nurheni

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air BAB V PEMBAHASAN Cake beras mengandung lemak dalam jumlah yang cukup tinggi. Lemak yang digunakan dalam pembuatan cake beras adalah margarin. Kandungan lemak pada cake beras cukup tinggi, yaitu secara

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

VARIETAS UNGGUL UBIKAYU UNTUK BAHAN PANGAN DAN BAHAN INDUSTRI

VARIETAS UNGGUL UBIKAYU UNTUK BAHAN PANGAN DAN BAHAN INDUSTRI VARIETAS UNGGUL UBIKAYU UNTUK BAHAN PANGAN DAN BAHAN INDUSTRI Ubi kayu dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, pakan maupun bahan dasar berbagai industri. Oleh karena itu pemilihan varietas ubi kayu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI NATIVE 1. Karakteristik Fisik Sifat bahan pangan berbentuk bubuk dapat digolongkan dalam dua tingkat yaitu bubuk sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk).

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Analisa kadar air dilakukan untuk mengetahui pengaruh proporsi daging dada ayam dan pisang kepok putih terhadap kadar air patties ayam pisang. Kadar air ditentukan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

Diagram Sifat-sifat Pati

Diagram Sifat-sifat Pati Diagram Sifat-sifat Pati X-ray Crystallography Mempelajari sifat kristalin pati X-ray pattern, obtained when a crystal is irradiated with X-rays. This pattern is distinctive to the crystal structure 3

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori 4. PEMBAHASAN Sorbet merupakan frozen dessert yang tersusun atas sari buah segar, air,gula, bahan penstabil yang dapat ditambahkan pewarna dan asam (Marth & James, 2001). Pada umumnya, frozen dessert ini

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pati Walur Alami Sifat bahan pangan dalam bentuk bubuk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Jelly drink rosela-sirsak dibuat dari beberapa bahan, yaitu ekstrak rosela, ekstrak sirsak, gula pasir, karagenan, dan air. Tekstur yang diinginkan pada jelly drink adalah mantap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Lama Perendaman Daging Ayam Kampung Dalam Larutan Ekstrak Nanas Terhadap ph

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Lama Perendaman Daging Ayam Kampung Dalam Larutan Ekstrak Nanas Terhadap ph IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Lama Perendaman Daging Ayam Kampung Dalam Larutan Ekstrak Nanas Terhadap ph Hasil penelitian pengaruh perendaman daging ayam kampung dalam larutan ekstrak nanas dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. buah-buahan. Berbagai macam jenis buah tumbuh di Indonesia dan ada beberapa

I. PENDAHULUAN. buah-buahan. Berbagai macam jenis buah tumbuh di Indonesia dan ada beberapa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman buah-buahan. Berbagai macam jenis buah tumbuh di Indonesia dan ada beberapa yang masih belum dikenal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI SENYAWA PHOSPAT DAN PERBANDINGAN AIR PEREBUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG INSTAN HANJELI (Coix lacryma-jobi L.).

PENGARUH KONSENTRASI SENYAWA PHOSPAT DAN PERBANDINGAN AIR PEREBUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG INSTAN HANJELI (Coix lacryma-jobi L.). PENGARUH KONSENTRASI SENYAWA PHOSPAT DAN PERBANDINGAN AIR PEREBUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG INSTAN HANJELI (Coix lacryma-jobi L.). TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Sidang Tugas Akhir Program

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN. Oleh : Astuti Setyowati

KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN. Oleh : Astuti Setyowati KOMPONEN KIMIA BAHAN PANGAN dan PERUBAHANNYA AKIBAT PENGOLAHAN Oleh : Astuti Setyowati KARBOHIDRAT Terdapat dalam : 1. Tumbuhan : monosakarida, oligo sakarida, pati, selulosa, gum 2. Hewan : glukosa, glikogen,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh terpenuhinya kebutuhan gizi dalam makanannya. Pada usia 6 bulan pertama,

BAB I PENDAHULUAN. oleh terpenuhinya kebutuhan gizi dalam makanannya. Pada usia 6 bulan pertama, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Fase perkembangan fisik dan fungsi fisiologis bayi sangat didukung oleh terpenuhinya kebutuhan gizi dalam makanannya. Pada usia 6 bulan pertama, kebutuhan gizi bayi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati adalah bahan baku yang sangat penting untuk industri makanan. Sebagai pengembangan produk makanan yang baru, pati memiliki sifat khusus yang fungsional. Fungsi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU Pasca penggilingan padi jumlah asam lemak bebas pada bekatul meningkat dengan cepat (Ubaiddilah, 2010; Budijanto et al., 2010; Damardjati et al., 1990).

Lebih terperinci

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi POLISAKARIDA Shinta Rosalia Dewi Polisakarida : polimer hasil polimerisasi dari monosakarida yang berikatan glikosidik Ikatan glikosidik rantai lurus dan rantai bercabang Polisakarida terbagi 2 : Homopolisakarida

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kenampakan dan Tekstur PJT Pati jagung yang digunakan berupa serbuk putih halus, yang sesudah dicampur dengan HCl dan NaH 2 PO 4 Na 2 HPO 4 membentuk pasta, tetapi setelah dikenai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial Selulosa mikrobial kering yang digunakan pada penelitian ini berukuran 10 mesh dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut karena terjadi peningkatan jumlah industri makanan dan nonmakanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang

I. PENDAHULUAN. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan

4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan 4. PEMBAHASAN 4.1. Aktivitas Antioksidan Antioksidan berperan untuk menetralkan radikal bebas dengan cara menambah atau menyumbang atom pada radikal bebas (Pokorny et al., 2001). Didukung dengan pernyataan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cake adalah makanan yang sangat populer saat ini. Rasanya yang manis dan bentuknya yang beragam menjadikannya kian digemari oleh masyarakat. Cake dapat disajikan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan

Lebih terperinci

4.1. Pengaruh Pra Perlakuan dan Jenis Larutan Ekstraksi terhadap Rendemen Gelatin yang Dihasilkan.

4.1. Pengaruh Pra Perlakuan dan Jenis Larutan Ekstraksi terhadap Rendemen Gelatin yang Dihasilkan. 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, tulang ikan nila mengalami tiga jenis pra perlakuan dan dua jenis ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak gelatin yang nantinya akan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGERINGAN BEKATUL Proses pengeringan bekatul dilakukan dengan pengering rak karena cocok untuk bahan padat, suhu udara dapat dikontrol, dan terdapat sirkulator udara. Kipas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI PATI UBI JALAR Ubi jalar putih varietas Sukuh yang digunakan pada penelitian ini memiliki umur panen berkisar empat bulan. Penampakan ubi jalar putih varietas Sukuh

Lebih terperinci

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan dua kali proses trial and error sintesis nanoselulosa dengan menggunakan metode hidrolisis kimia dan homogenisasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar Rataan kandungan protein kasar asal daun singkong pada suhu pelarutan yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss 4. PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung 4.1.1. Cooking loss Menurut Kruger et al. (1996), analisa cooking loss bertujuan untuk mengetahui banyaknya padatan dari mi yang terlarut dalam air selama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

A. Bubur Beras Instan

A. Bubur Beras Instan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bubur Beras Instan Bubur dikenal juga dengan sebutan pure yang berasal dari bahasa Inggris pure yang berarti sup yang kental. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), bubur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur

TINJAUAN PUSTAKA. kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur TINJAUAN PUSTAKA Tempe Tempe adalah bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacang-kacangan lainnya yang dibuat secara tradisional dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu

4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu 4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu Sistem warna Hunter L a b merupakan pengukuran warna kolorimetri pada makanan. Dalam teori ini, terdapat tahap pengalihan sinyal-antara antara reseptor cahaya

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Daya Ikat Air Bakso Ayam

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Daya Ikat Air Bakso Ayam 36 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh terhadap Kualitas Fisik 4.1.1. Pengaruh terhadap Daya Ikat Air Bakso Ayam bahan pengisi terhadap daya ikat air pada bakso ayam disajikan pada Tabel 6. Tabel 6.

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp.

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp. BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp. Maizena Awal Akhir 2. Gelatinasi Pati Suspesni Sel Panas Sel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Proses produksi glukosa ester dari beras dan berbagai asam lemak jenuh dilakukan secara bertahap. Tahap pertama fermentasi tepung beras menjadi glukosa menggunakan enzim

Lebih terperinci

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch Arfendi (0706112356) Usman Pato and Evy Rossi Arfendi_thp07@yahoo.com

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Teknologi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel 26 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 P-larut Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel 9 (Lampiran), dan berdasarkan hasil analisis ragam pada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur terhadap Sifat Kimia Tanah Pengaplikasian Electric furnace slag (EF) slag pada tanah gambut yang berasal dari Jambi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci