BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas 1. Pengertian Agresivitas Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis. Tingkah laku agresif adalah tingkah laku yang tertuju pada keberhasilan menyakiti atau melukai hidup yang tidak ingin diperlakukan demikian (Bron & Byrne, dalam Sarwono, 2009). Dalam hal ini jika menyakiti seseorang karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Sebuah definisi klasik diusulkan oleh Buss (Krahé, 2005). Ia mengkarakterisasikan agresi sebagai sebuah respons yang mengantarkan stimuli beracun kepada makluk hidup lain. Dalam arti tertentu, ternyata definisi yang behavioristis ini dianggap terlalu luas, karena mencakup banyak bentuk perilaku yang seharusnya tidak dapat digolongkan seagai agresi. Tetapi dalam arti lain, definisi tersebut terlalu sempit karena mengesampingkan semua proses nonperilaku seperti pikiran dan perasaan. Menurut Buss (1992), agresi manusia tidak muncul sebagai adaptasi khusus untuk menangani masalah tertentu tetapi muncul sebuah adaptasi untuk menangani sejumlah masalah yang berkaitan untuk kelangsungan hidup manusia. 8

2 Baron dan Richardson (Krahé, 2005) mengusulkan penggunaan istilah agresi untuk mendeskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu. Motif utama perilaku agresif bisa jadi adalah keinginan menyakiti orang lain untuk mengeskpresikan perasaan-perasaan negatif, seperti pada agresi permusuhan atau keinginan mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan agresif (Krahé, 2005). Berkowits (Krahé, 2005) mendefinisikan agresi dalam hubungannya dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial berarti mengabaian masalah bahwa evaluasi normatif mengenai perilaku yang sering kali berbeda, bergantung pada perspektif pihak yang terlibat. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap hukuman badan adalah cara pengasuhan anak yang efektif dan dapat diterima, sementara yang lainnya menganggap sebagai bentuk agresi yang tidak dapat diterima. Pemicu yang umum dari agresi adalah ketika seseorang mengalami salah satu kondisi emosi tertentu, yang sering dilihat adalah emosi marah (Sarwono, 2009). Marah adalah sebuah pernyataan yang disimpulkan dari perasaan yang ditunjukkan yang sering disertai dengan konflik atau frustasi (Segall, dkk dalam Sarwono,2009). Ada dua istilah yang berhubungan erat dengan agresi yaitu koersi (paksaan) dan violence (kekerasaan). Koersi diartikan oleh Tedeschi dan Felson (Krahé, 2005) sebagai tindakan yang dilakukan dengan niat membuat 9

3 orang lain menderita atau memaksa orang lain patuh. Tindakan koersif dapat berbentuk ancaman, hukuman, atau paksaan badaniah. Berlawanan dengan koersi, yang lebih luas dibandingkan agresi, istilah kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi yang menunjuk pada bentukbentuk agresi fisik ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai pemberian tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuan merusak, menghukum,atau mengontrol (Geen dalam Krahé, 2005). Sedangkan Archer dan Browne (Krahé, 2005) mendefinisikan kekerasan sebagai serangan fisik yang merusak yang bagaimanapun juga tidak dibenarkan secara sosial. Berdasarkan definisi di atas maka penulis menyimpulkan bahwa agresivitas adalah tingkah laku seseorang yang sengaja ditujukan untuk melukai individu lain. 2. Penyebab Agresivitas Menurut Sarwono (2009) ada beberapa sumber agresivitas, antara lain : a. Sosial Frustasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya mencapai tujuan kerap menjadi penyebab agresi. Dalam keadaan frustasi seseorang akan mengambil tindakan yang bernuansa agresif seperti penyerangan terhadap orang lain. Selain itu faktor provokasi verbal atau fisik merupakan penyebab agresi. Faktor sosial lainnya adalah alkohol. Penelitian atas 14 negara menemukan pola bahwa tingkah laku kriminal dilakukan oleh pelaku saat menenggak alkohol. :

4 b. Personal Personal merupakan pola tingkah laku berdasarkan kepribadian. Orang bertipe A cenderung lebih agresif dibandingkan orang dengan tipe B. Tiper A cenderung indentik dengan karakteristik terburu-buru dan kompetitif (Gifford dalam Sarwono, 2009). Orang tipe A cenderung lebih melakukan hostile aggression. Hostile aggression merupakan agresi yang bertujuan untuk melukai atau menyakiti korban. Sedangkan tipe B lebih melakukan instrumental aggression. Instumental agresi adalah tingkah laku agresif yang dilakukan karena ada tujuan yang utama dan tidak ditujukan untuk melukai atau menyakiti korban. c. Sumber Daya Salah satu penyebab munculnya agresi adalah budaya. Segall,dkk (dalam Sarwono, 2009) menengarai faktor kebudayaan terhadap agresi. Lingkungan geografis, seperti pantai/ pesisir, menunjukkan karakter lebih keras dibandingkan masyarakat yang hidup dipedalaman. d. Situasional Ada yang mengatakan cuaca yang cerah membuat hati juga cerah. Sedangkan cuaca panas membuat hati panas. Ketidaknyamaan akibat cuaca panas menyebabkan kerusuhan dan dan bentuk-bentuk agresi lain (Hariies dalam Sarwono, 2009). Hal yang paling sering muncul ketika cuaca panas adalah timbulnya rasa tidak nyaman yang berujung pada meningkatnya agresi sosial (Harries dan Stadler dalam Sarwono, 2009).,<

5 e. Sumber Daya Manusia ingin memenuhi kebutuhnya dengan daya dukung alam. Dibutuhkan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan tawar menawar. Jika tidak terjadi kesepakatan maka ada dua kemungkinan tindakan yang diambil. Pertama, mencari sumber pemenuhan kebutuhan lain, kedua mengambil paksa dari pihak yang memilikinya. Sumber daya lain adalah letak daerah yang strategis untuk perdagangan, yang sering memunculkan perselisihan hingga peperangan. f. Media Massa Tayangan dari televisi berpotensi besar diimitasi oleh pemirsanya (Mardiana dalam Sarwono, 2009). Banyak faktor yang bisa menimbulkan agresi pada akhirnya membutuhkan kerangka pikir proses dari agresi yang berupa model. 3. Bentuk Agresivitas Manusia akan cenderung melakukan agresi bila ada faktor-faktor eksternal maupun internal yang membuat seseorang merasa terancam atau terusik ketenangannya. Setiap kondisi dan situasi, individu mengekspresikan perilaku agresifnya ke dalam bentuk yang berbeda. Buss dan Perry (1992) berpendapat behwa ada empat bentuk pola agresi yang biasa dilakukan oleh individu, yaitu : a. Agresi fisik. Agresi yang dilakukan untuk melukai diri sendiri maupun orang lain secara fisik seperti memukul, menendang, dan lain-lain.,,

6 b. Agresi verbal. Agresi yang dilakukan secara verbal kepada lawan, seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek, membentak, dan berdebat. c. Kemarahan. Agresi yang semata-mata dilakukan sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai, menyakiti atau agresi yang tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban. Reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatik, dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat sematik atau jasmaniah maupun yang verbal. d. Permusuhan. Agresi yang dilakukan oleh individu sebagai cara untuk mencapai tujuan tertentu. Permusuhan cenderung untuk menimbulkan kerugian, kejahatan, gangguan atau kerusakan pada orang lain, kecenderung melontarkan rasa kemarahan pada orang lain.,(

7 B. Konseling Kelompok 1. Pengertian Konseling Kelompok Konseling kelompok merupakan bentuk khusus dari layanan konseling, yaitu wawancara konseling antara konselor profesional dengan beberapa orang sekaligus yang tergabung dalam suatu kelompok kecil (Winkel & Hastuti, 2006). Prayitno (1999) mengemukakan bahwa layanan konseling kelompok adalah layanan yang menggunakan dinamika kelompok sebagai media kegiatannya, apabila dinamika kelompok dikembangkan dan dimanfaatkan secara efektif maka dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dinamika kelompok perlu dibentuk pada sesi awal konseling. Apabila pembentukan dinamika antar kelompok gagal maka konseling akan berjalan tidak efektif. Melalui konseling kelompok pada siswa yang memiliki kesamaan masalah dapat disadarkan bahwa banyak siswa lain yang mengalami permasalahan tersebut. Penyadaran tersebut akan memberi suatu penguatan kepada siswa untuk terbuka dan bebas dalam mengutarakan permasalahan pribadinya. 2. Tahap tahap Konseling Kelompok Menurut Corey & Corey (dalam Loekmono, 2003) konseling kelompok dlaksanakan secara bertahap. Terdapat 5 tahap yaitu tahap pembentukan kelompok, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir, serta tahap evaluasi dan tindak lanjut.,3

8 Berikut ini penjelasan tahap tahap konseling kelompok secara singkat. a. Tahap pementukan kelompok Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling kelompok. Pada tahap ini terutama tahap pembentukan kelompok, yang dilakukan dengan seleksi anggota dan menawarkan program kepada calon peserta konseling sekaligus membangun harapan kepada calon peserta. b. Tahap permulaan (orietasi dan eksplorasi) Pada tahap ini, konselor mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasi harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai menegaskan tujuan kelompok. Setiap aggota kelompok mulai mengenalkan dirinya dan menjelaskan tujuan atau harapannya. Kelompok mulai membangun norma untuk mengontrol aturan-aturan kelompok dan menyadari makna kelompok untuk mencapai tujuan. c. Tahap transisi Pada masa transisi ini para anggota masih merasa takut dan cemas dan perasaan itu masih cukup tinggi. Pada awal tahap kedua ini anggota kelompok mempunyai keinginan untuk terbuka tetapi pada sisi lain takut untuk terbuka pada kelompoknya. d. Tahap bertumbuh / berkembang Pada tahap ini anggota kelompok sudah mulai mengungkapkan permasalahan pribadinya secara terbuka apa adanya. Dalam tahap ini anggota kelompok juga mulai berinteraksi dan beradaptasi dalam kelompok dan telah meninggalkan fase bagaimana belajar dan berinteraksi dengan kelompok. e. Tahap penutup Tahap ini adalah tahap di mana kelompok sudah memasuki tahap lamanya waktu sesi kelompok yang sudah disepakati bersama. C. Self Management 1. Pengertian Self Management Self management adalah suatu proses di mana konseli mengarahkan perubahan tingkah laku sendiri, dengan menggunakan satu strategi atau kombinasi strategi (Cormier & Nurius, 2003). Dalam menggunakan prosedur self management, konseli mengarahkan usaha perubahan dengan mengubah aspek-aspek lingkungan atau dengan mengatur konsekuensi.,4

9 Dalam teknik ini konseli harus aktif untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Menurut Cormier & Nurius (2003), ada empat macam strategi dalam self management yaitu: a. Self monitoring : upaya konseli untuk mengamati diri sendiri, mencatat sendiri tingkah laku tertentu (pikiran, perasaan dan tindakan) tentang dirinya dan interaksinya dengan peristiwa lingkungan. b. Stimulus control : merancang sebelumnya antesendent atau isyarat pedoman/ petunjuk untuk menambah atau mengurangi tingkah laku. c. Self reward : pemberian hadiah pada diri sendiri, setelah tercapainya tujuan yang diinginkan. d. Self as model : menggunakan diri sendiri sebagai model, melihat diri sendiri menampilkan tujuan perilaku yang dirubah. Keempat strategi ini dikelompokkan menjadi strategi self management karena masing-masing prosedur konseli sendiri yang mengarahkan secara langsung gayanya, memonitor, mengubah, memberi penghargaan, sebagai model, dan proses self efficacy untuk menampilkan tugas yang khusus untuk menciptakan keinginan merubah perilakunya (Cormier & Nurius, 2003). 2. Ciri ciri Program Self Management yang Efektif Program self management yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik mempunyai beberapa keuntungan (Cormier & Nurius, 2003) yaitu: a. Menambahkan pengawasan individu terhadap lingkungan dan mengurangi ketergantungan terhadap konselor atau yang lainnya.,5

10 Perasaan dapat mengawasi lingkungan sering kali memotivasi konseli untuk melakukan tindakan. b. Praktis, tidak mahal, dan gampang. c. Mudah dijawab. Karakteristik strategi self management efektif (Cormier & Nurius, 2003) adalah : a. Menggunakan kombinasi strategi, beberapa memusatkan pada tingkah laku anteseden dan yang lain pada konsekuensi. b. Menggunakan strategi secara konsisten dalam jangka waktu tertentu. c. Adanya bukti evaluasi diri dari konseli, membentuk tujuan dengan standar yang tidak terlalu tinggi, realistik dan terjangkau. d. Menggunakan penguat diri. e. Adanya dukungan lingkungan. 3. Pengembangan Program Self management efektif Menurut Cormier & Nurius (2003) menyatukan lima karakteristik self management yang efektif ke dalam gambaran dari langkah langkah untuk menghubungkan dengan program self management. Berikut ini langkah langkah program self management yang efektif : a. Konseli mengidentifikasi dan mencatat target tingkah laku dan mengawasi antesenden dan konsekuensinya. Untuk mengembangkan program self management yang efektif, langkag 1 dan 2 merupakan pembentukan evaluasi diri dan self efficacy. Tahap ini,6

11 meliputi self monitoring yang mana konseli mengumpulkan garis besar data mengenai perilaku yang akan dirubah. b. Konseli secara tegas mengidentifikasi tingkah laku yang ingin diubah, kondisi, dan tingkatan perubahan. Tingkah laku, kondisi, dan tingkatan dari perubahan merupakan tiga bagian dari tujuan outcome konseling. Penggambaran tujuan adalah bagian penting dari program self management karena efek motivasi yang memungkinkan dari pembentukan tujuan. c. Konselor menjelaskan kemungkinan stategi self management. Langkah ketiga dan keempat langsung menolong konseli memilih kombinasi dari strategi self management yang digunakan. Konselor akan menjelaskan semua program self management yang memungkinkan untuk konseli. Konselor sebaiknya menjelaskan bahwa konseli sebaiknya memilih beberapa strategi yang meliputi pengaturan sebelumnya dari antesenden dan beberapa yang meliputi manipulasi dan pengaturan diri dari konsekuensi. d. Konseli memilih satu atau lebih strategi self management. Akhirnya konseli bertanggung jawab untuk memilih yang mana strategi self management yang akan digunakan. Pemilihan strategi konseli merupakan bagian penting dari semua self directed dari program self management, meskipun langkah ini mungkin berguna dari asisten konselor dari konselor professional atau yang lainnya meliputi dukungan usaha konseli selesai memilih berbagai pilihan strategi.,8

12 e. Konseli secara verbal menyatakan untuk melaksanakan langkah keempat. Langkah kelima samapai kesembilan semua meliputi pertimbangan prosedural yaitu kekuatan komitmen konseli dan mendorong konsistensi penggunaan strategi setiap waktu. Konseli menyatakan kepada diri sendiri secara verbal untuk melakukan dengan spesifikasi apa dan bagaimana banyaknya perubahan yang diinginkan dan langkah strategi, konseli akan menciptakan perubahan. f. Konselor mengajarkan dan memberi contoh strategi yang dipilih. Konselor akan mengajarkan konseli bagaimana melakukan strategi yang dipilih. Konselor juga dapat mengikuti daftar pedoman untuk self monitoring, stimulus control maupun self reward. Secara tegas instruksi dan contoh oleh konselor mendorong konseli untuk menggunakan prosedur lebih akurat dan efektif. g. Konseli berlatih strategi yang dipilih. Kumpulan petunjuk diberikan oleh konselor mungkin memberikan pengaruh untuk beberapa tingkatan untuk semua hasil layanan. Konseli juga dapat menggunakan strategi strategi secara lebih efektif jika ada kesempatan untuk melatih kembali prosedur di bawah bimbingan konselor. h. Konseli menggunakan strategi yang dipilih dalam kehidupan nyata. i. Konseli mencatat penggunaan dan tingkatan target tingkah laku.,9

13 Konseli mencatat (mengawasi) frekuensi penggunaan dari tiap tiap strategi dan tingkatan dari target perilaku. Beberapa dari pengaruh layanan self management dapat juga berfungsi untuk pencatatan diri konseli. j. Data konseli ditinjau kembali oleh konselor dan konseli, konseli melanjutkan atau merevisi program. Langkah kesepuluh dan kesebelas meliputi aspek dari evaluasi diri, penguatan diri, dan dukungan lingkungan. Konseli mempunyai kesempatan untuk mengevaluasi kemajuan ke arah tujuan dengan meninjau kembali data pencatatan diri yang terkumpul selama pelaksanaan. Peninjauan kembali data dapat mengindikasi bahwa program berjalan secara lancer atau beberapa penyesuaian dibutuh. k. Membuat peta data hasil penguatan diri dan lingkungan untuk kemajuan konseli. Ketika data menyarankan bahwa beberapa kemajuan kea rah tujuan dibuat, evaluasi diri konseli dapat mengumpulkan kesempatan untuk penguatan diri. Pembuatan peta data dapat mempertinggi penguatan diri dan dapat mendatangkan dukungan lingkungan yang penting untuk pemeliharaan jangka panjang perubahan konseli. 4. Strategi Self Management a. Self Monitoring Self monitoring adalah suatu proses di mana konseli mengamati dan mencatat hal hal tentang diri dan interaksi dengan situasi lingkungan.,:

14 Langkah langkah self monitoring yaitu : 1) Rasional Konselor memberi penjelasan tentang apa yang akan dimonitor dan mengapa, menekankan bahwa hal ini dapat dilakukan sendiri, dan dapat dilakukan sesering mungkin. 2) Penentuan respon Konselor membantu konseli menentukan usaha yang ditargetkan secara eksplisit. 3) Mencatat respon Konselor mengajarkan konseli tentang waktu, metode dan alat alat untuk mencatat. Dalam hal ini menggunakan post behavior monitoring. 4) Membuat peta respon Setiap minggu konseli dapat menjumlahkan frekuensi dan membuat petanya. 5) Memperlihatkan data Konseli dapat menempelkan di tempat tertentu agar dapat mendorong kemajuan perilaku yang baru. 6) Analisi data Selama periode self monitoring konseli hendaknya membawa data ke konselor untuk ditinjau kembali. Konseli dapat memulai sendiri data dengan membandingkan data sebelumnya dengan tingkah laku yang diinginkan dan tingkat perubahannya. (<

15 b. Stimulus Control Stimulus control adalah penyusunan/ perancangan kondisi kondisi lingkungan yang telah ditentukan sebelumnya, yang membuat terlaksanakan/ dilakukannya tingkah laku tertentu. c. Self Reward Self reward digunakan untuk memperkuat atau menambah respon yang diinginkan. Self reward berfungsi mempercepat target tingkah laku. Ada 4 komponen yang merupakan bagian integral dari prosedur self reward yang efektif. 1) Pemilihan hadiah yang memadai/ cocok : a) Hadiah bersifat mendidik. b) Gunakan hadiah yang terjangkau. c) Gunakan beberapa hadiah. d) Gunakan bermacam jenis (verbal, material, mutakhir, potensial,dan sebagainya). e) Tukar hadiah bila tidak cocok. 2) Pengadaan hadiah a) Konseli sendiri yang menentukan kelayakan respon yang ditargetkan. b) Tentukan sendiri seberapa banyak yang akan dilakukan dalam hubungan dengan hadiah yang telah dipilih. (,

16 3) Pengaturan waktu self reward a) Hadiah harus dilakukan sesudahnya, bukan sebelum tingkah laku. b) Hadiah harus disegerakan. c) Hadiah harus mengikuti perubahan, bukan janji janji. 4) Rencana untuk mempertahankan pengubahan diri a) Cari bantuan orang lain untuk sharing atau menyalurkan hadiah. b) Tinjauan dengan konselor. Konselor hendaknya menemukan cara memperkuat pernyataan keterlibatan konseli untuk menggunakan strategi self management secara konsisten. Menurut Nursalim,dkk (2005) beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: a. Banyak konseli ragu terhadap metode ini pada pertama kali proses konseling. Maka konselor hendaknya tidak memperkenalkan strategi self management pada pertemuan awal. b. Penggunaan strategi self management sebagian tergantung terhadap motivasi konseli untuk berubah. d. Self As Model Prosedur Self as model menggunakan konseli sebagai model. Hosford dan de Visser ( dalam Cormier dan Nurius, 2003) mendeskripsikan self-modeling sebagai prosedur yang mana konseli melihat dirinya sebagai model dan menampilkan tujuan sikap yang ingin dirubah. Latihan yang berhasil diberi hadiah, dan yang salah dikoreksi. ((

17 Sebagai catatan bahwa prosedur ini tidak hanya modeling tetapi juga latihan dan umpanbalik. Dowrick ( dalam Cormier dan Nurius, 2003) menelaah mengenai self as model, digunakan dari anak- anak sampai orang tua dan mencakup target seperti keterampilan fisik ( rehabilitasi dan olahraga), akademik dan tujuan vokasional, komunkasi, serta penyesuaikan pribadi dan sosial. Tingkah laku yang dimodelkan hendaknya disesuaikan dengan usia konseli, gender, dan budaya. Diadopsi 5 langkah yang diasosiasikan dengan prosedur self as model dari Hosford dan de Visser. 5 komponen tersebut sebagai berikut : 1) Dasar pemikiran tentang strategi. 2) Merekam perilaku yang diinginkan. 3) Mengedit perilaku. 4) Mendemonstrasikan 5) Pekerjaan rumah : konseli mengobservasi dan melatihkan secara rutin. D. Penelitian yang Relevan Kursin (2005) meneliti tentang Efektivitas Layanan Konseling Kelompok dalam Mengurangi Perilaku Agresif Siswa Panti Pamardi Putra Mandiri Semarang Tahun 2004/2005 menjelaskan bahwa perilaku agresif fisik siswa pada mulanya tinggi dan setelah mendapatkan layanan konseling kelompok menurun menjadi kategori rendah sedangkan perilaku agresif verbal siswa yang pada mulanya sangat tinggi setelah mendapatkan layanan konseling kelompok (3

18 juga menurun menjadi kategori rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil uji wilcoxon diperoleh Zhitung = 2,521 > Ztabel = 1,96. Maka layanan konseling kelompok sangat efektif untuk mengurangi perilaku agresif siswa di Panti Pamardi Putra Mandiri Semarang. Laila Indriyati (2007) meneliti tentang Keefektifan Konseling Kelompok dengan Pendekatan Behavioral untuk Mengurangi Perilaku Agresif pada Siswa kelas XI SMA Purusatama Semarang Tahun 2006/2007 menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan pendekatan behavioral secara signifikan dapat mengurangi perilaku agresif pada siswa kelas XI SMA Purusatama Semarang Tahun 2006/2007 yang ditunjukkan dengan p= 0,004 lebih kecil dari a= 0,05. Novi Kristina (2011) meneliti mengenai Pengaruh Layanan Konseling Kelompok terhadap Perilaku Agresif pada siswa kelas VIII MTs At-Taqwa Jatingarang Bodeh Pemalang Tahun 2010/2011 mengemukakan bahwa ada pengaruh layanan konseling kelompok terhadap perilaku agresif pada siswa kelas VIII MTs At-Taqwa Jatingarang Bodeh Pemalang Tahun 2010/2011 yang ditunjukkan dengan t hitung = 2,208 > t tabel = 1,684. E. Hipotesis Layanan Konseling Kelompok dengan Teknik Self Management secara efektif dapat mengurangi agresivitas siswa kelas VIII G SMP N 2 Ambarawa. (4

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembinaan generasi muda diarahkan untuk mempersiapkan kader penerus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembinaan generasi muda diarahkan untuk mempersiapkan kader penerus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembinaan generasi muda diarahkan untuk mempersiapkan kader penerus bangsa dan pembangunan nasional dengan memberikan bekal ketrampilan, kepemimpinan, kesegaran jasmani,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

A. Kelas : VIII G. B. Semester/ Tahun : II/ C. Tanggal : 4,11, 16, 23, Februari 2012, D. Alokasi Waktu / Pertemuan : 45 menit/ I - VIII

A. Kelas : VIII G. B. Semester/ Tahun : II/ C. Tanggal : 4,11, 16, 23, Februari 2012, D. Alokasi Waktu / Pertemuan : 45 menit/ I - VIII LAMPIRAN PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 2 AMBARAWA Jl. Kartini 1A, Telp. (0298) 591176 Ambarawa 50611 SATUAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING A. Kelas : VIII G B. Semester/ Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi MODUL PERKULIAHAN AGRESI Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 61119

Lebih terperinci

AGRESI. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom.

AGRESI. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. AGRESI Modul ke: Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Fakultas Psikologi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain maupun lingkungannya. Berbicara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanaan di SMP Negeri 2 Ambarawa Kabupaten Semarang. Lokasi penelitian tersebut berada di Jl.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Agresivitas 2.1.1 Pengertian Agresivitas Sebuah definisi klasik diusulkan oleh Buss (dalam Krahe, 2005). Mengungkapkan bahwa mengkarakterisasikan agresi sebagai sebuah respons

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam bentuk pengerusakan terhadap orang atau benda dengan unsur

BAB II LANDASAN TEORI. dalam bentuk pengerusakan terhadap orang atau benda dengan unsur BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perilaku Agresi 2.1.1. DefinisiPerilaku Agresi Menurut Scheneiders (1955) perilaku agresif merupakan luapan emosi sebagai reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampilkan

Lebih terperinci

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata,

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata, BAB ll KAJIAN TEORI 2.1 Perilaku Agresif 2.1.1 Pengertian perilaku agresif Pengertian secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang di lakukan oleh suatu organisme terhadap oranisme lain,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. maupun mental. Perilaku agresi yang diukur adalah berupa bentuk agresi fisik

BAB II LANDASAN TEORI. maupun mental. Perilaku agresi yang diukur adalah berupa bentuk agresi fisik BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Agresivitas 2.1.1 Pengertian Agresivitas Buss & Perry (1992) menyatakan agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif.

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku agresif seringkali diperbincangkan oleh masyarakat karena hal tersebut memicu kekhawatiran masyarakat sekitar, terutama di kalangan pelajar SMK. Hal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresi 2.1.1 Definisi Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental (Aziz & Mangestuti, 2006). Perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agresif atau korban dari perilaku agresif orang lain tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. agresif atau korban dari perilaku agresif orang lain tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku agresif kini dilakukan oleh berbagai usia baik itu anak anak, remaja, maupun dewasa, bahkan lansia. Perilaku agresif ini pula dilakukan oleh perseorangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang variabel-variabel dimana didalamanya terdapat definisi, faktor dan teori dari masing-masing variabel dan juga berisi tentang hipotesis penelitian ini. 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif pada Siswa 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Siswa Sobur (2009) Agresif adalah mengekspresikan pikiran, perasaa dan keyakinan kita dengan cara yang kurang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental semu. Menurut Azwar (1999) penelitian eksperimental semu adalah jenis penelitian yang meniru kondisi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak kriminalitas dilakukan oleh remaja (Republika, 2 0 0 5 ). Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat

Lebih terperinci

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan jalur pendidikan formal yang berfungsi untuk mendidik, mengajar dan melatih siswa mempersiapkan dirinya di masa yang akan datang. Sekolah Menengah

Lebih terperinci

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

AGRESI MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PSIKOLOGI SOSIAL I AGRESI Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 13 61016 Abstract Materi tentang pengertian agresi, teoriteori dan cara menguranginya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola,

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga yang penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola, maka globalisasi yang paling sukses disepanjang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas

BAB II LANDASAN TEORI. A. Agresivitas BAB II LANDASAN TEORI A. Agresivitas Semua orang seperti memahami apa itu agresi, namun pada kenyatannya terdapat perbedaan pendapat tentang definisi agresivitas. agresi identik dengan hal yang buruk.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresivitas 2.1.1 Definisi Agresivitas Agresi adalah pengiriman stimulus tidak menyenangkan dari satu orang ke orang lain, dengan maksud untuk menyakiti dan dengan harapan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional (Santrock, 2003).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN oleh Rosita E.K., M.Si Konsep dasar dari konseling adalah mengerti

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 55 BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Bab IV mendeskripsikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hasil penelitian. Baik dengan rumusan masalah penelitian, secara berurutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pertumbuhan dan perkembangannya manusia mengalami masa remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa peralihan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan berkembang pertama kalinya. Menurut Reiss (dalam Lestari, 2012;4), keluarga adalah suatu kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ukuran pencapaian sebuah bangsa yang diajukan oleh UNICEF adalah seberapa baik sebuah bangsa memelihara kesehatan dan keselamatan, kesejahteraan, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan

Lebih terperinci

PENGARUH BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK MODELING UNTUK MENGURANGI PERILAKU AGRESIF PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 3 WERU TAHUN PELAJARAN 2017/2018

PENGARUH BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK MODELING UNTUK MENGURANGI PERILAKU AGRESIF PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 3 WERU TAHUN PELAJARAN 2017/2018 PENGARUH BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK MODELING UNTUK MENGURANGI PERILAKU AGRESIF PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 3 WERU TAHUN PELAJARAN 2017/2018 Ardhitya Dwi Yulianto 1 ABSTRAK Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin berkumpul untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimen yang digunakan adalah desain eksperimen semu (quasi experimental

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimen yang digunakan adalah desain eksperimen semu (quasi experimental BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen. Jenis penelitian eksperimen yang digunakan adalah desain eksperimen semu (quasi experimental design). Desain

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV maka terdapat beberapa hasil yang dapat disimpulkan di dalam penelitian ini, yaitu: Tingkat kecenderungan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Hampir setiap hari banyak ditemukan pemberitaan-pemberitaan mengenai perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi tersebut merupakan

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, salah satunya adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari Komnas Perlindungan anak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri.dalam sepanjang rentang kehidupan, dapat dipastikan bahwa manusia tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri.dalam sepanjang rentang kehidupan, dapat dipastikan bahwa manusia tidak dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidak dapat dipungkiri bahwa agresivitas manusia tidak dapat dihilangkan dari muka bumi ini, karena agresivitas merupakan potensi yang ada dalamdiri manusia itu sendiri.dalam

Lebih terperinci

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA MADYA DI SMA X BOGOR LATAR BELAKANG MASALAH Agresivitas Persahabatan Kesepian Penolakan AGRESIVITAS Perilaku merugikan atau menimbulkan korban pihak

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya mereka dapat menggantikan generasi terdahulu dengan sumber daya manusia, kinerja dan moral

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Disiplin terhadap Tata Tertib Sekolah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Disiplin terhadap Tata Tertib Sekolah BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Disiplin terhadap Tata Tertib Sekolah a. Pengertian Disiplin terhadap Tata Tertib Sekolah Istilah disiplin seringkali dikaitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena akhir-akhir ini sangatlah memprihatinkan, karena kecenderungan merosotnya moral bangsa hampir diseluruh dunia. Krisis moral ini dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari hubungan dengan lingkungan sekitarnya. individu dan memungkinkan munculnya agresi.

BAB I PENDAHULUAN. dari hubungan dengan lingkungan sekitarnya. individu dan memungkinkan munculnya agresi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siswanto (2007) menjelaskan bahwa agresi merupakan salah satu koping tindakan langsung. Koping dalam tindakan langsung merupakan usaha tingkah laku yang dijalankan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Menurut Sugiyono (2010) penelitian korelasional merupakan penelitian untuk mengetahui ada atau tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Remaja adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan insan pembangunan

I. PENDAHULUAN. Remaja adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan insan pembangunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Remaja adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan insan pembangunan nasional. Keterlibatan remaja sebagai generasi penerus berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Brigham (dalam Dayakisni, 2009) menerangkan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku untuk menyokong kesejahteraan orang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Membolos 1. Pengertian Membolos Menurut Gunarsa (1981) membolos adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Membolos sering terjadi tidak hanya saat ingin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami perubahan dari masa kanak kanak menuju masa dewasa perubahan ini terjadi diantara usia 13 dan 20 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsinya sebagai individu maupun makhluk sosial. Komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsinya sebagai individu maupun makhluk sosial. Komunikasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan sarana paling utama dalam kehidupan manusia, yang berarti tak ada seorangpun yang dapat menarik diri dari proses ini baik dalam fungsinya

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BK KELOMPOK Diana Septi Purnama KOHESIFITAS KELOMPOK

BK KELOMPOK Diana Septi Purnama   KOHESIFITAS KELOMPOK BK KELOMPOK Diana Septi Purnama Email: dianaseptipurnama@uny.ac.id KOHESIFITAS KELOMPOK Hipotesis dari kohesivitas kelompok adalah analog sebuah hubungan dalam konseling individual. Bukti yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Efikasi Diri (self-efficacy) Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang 1 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan di bahas secara berturut-turut mengenai: (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan masalah, (3) perumusan masalah, (4) tujuan masalah, (5)manfaat masalah,

Lebih terperinci

PENGARUH PENDEKATAN TIDWELL DAN BACHUS DALAM LAYANAN KONSELING KELOMPOK TERHADAP AGRESIVITAS PESERTA DIDIK KELAS VIII PAGI SMPN 9 TAMBUN

PENGARUH PENDEKATAN TIDWELL DAN BACHUS DALAM LAYANAN KONSELING KELOMPOK TERHADAP AGRESIVITAS PESERTA DIDIK KELAS VIII PAGI SMPN 9 TAMBUN 65 PENGARUH PENDEKATAN TIDWELL DAN BACHUS DALAM LAYANAN KONSELING KELOMPOK TERHADAP AGRESIVITAS PESERTA DIDIK KELAS VIII PAGI SMPN 9 TAMBUN Istianah 1 Dra. Endang Setyowati 2 Herdi, M. Pd. 3 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakikat Bimbingan Kelompok dengan Teknik Symbolic Modeling a. Bimbingan Kelompok 1) Pengertian Bimbingan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakikat Bimbingan Kelompok dengan Teknik Symbolic Modeling a. Bimbingan Kelompok 1) Pengertian Bimbingan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakikat Bimbingan Kelompok dengan Teknik Symbolic Modeling a. Bimbingan Kelompok 1) Pengertian Bimbingan Kelompok Bimbingan dan Konseling memiliki layanan untuk

Lebih terperinci

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Self-control dibutuhkan agar individu dapat membimbing, mengarahkan dan mengatur segi-segi perilakunya yang pada akhirnya mengarah kepada konsekuensi positif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

LANDASAN PSIKOLOGIS BK. Diana Septi Purnama

LANDASAN PSIKOLOGIS BK. Diana Septi Purnama LANDASAN PSIKOLOGIS BK Diana Septi Purnama Email: dianaseptipurnama@uny.ac.id Batasan Motif Sumadi Suryabrata (1995) motif adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, kasus tindak kekerasan semakin marak terjadi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di tempat yang rawan kriminalitas saja tetapi juga banyak terjadi di berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja, dalam bidang pendidikan pun, keluarga merupakan sumber pendidikan utama karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

Jurnal Psikologi Pendidikan dan bimbingan Vol. 13. No.1, Juli 2012

Jurnal Psikologi Pendidikan dan bimbingan Vol. 13. No.1, Juli 2012 PENGGUNAAN STRATEGI PENGELOLAAN DIRI (SELF- MANAGEMENT)UNTUK MENGURANGI TINGKAT KEMALASAN BELAJAR PADA SISWA KELAS VIII E MTs AL ROSYID DANDER-BOJONEGORO Trio Isnansyah Marwi 1, Drs. Sutijono, M.M 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605). BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan untuk menekan atau untuk mencegah tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Menurut Piaget, remaja usia 11-20 tahun berada dalam tahap pemikiran formal operasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang ditandai dengan perubahan-perubahan didalam diri individu baik perubahan secara fisik, kognitif,

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN INTENSI AGRESI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN YAYASAN KEJURUAN TEKNOLOGI BARU (SMK YKTB) 2 KOTA BOGOR Oleh: Amalina Ghasani 15010113130113 FAKULTAS

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI. dalam bentuk verbal juga ada. Tak jarang masing-masing antar anggota pencak

RINGKASAN SKRIPSI. dalam bentuk verbal juga ada. Tak jarang masing-masing antar anggota pencak RINGKASAN SKRIPSI A. PENDAHULUAN Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia persilatan memang sangat identik dengan perilaku kekerasan atau agresi. Mulai dari latihan pencak silat yang tampak terlihat memberikan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk memenenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Gelar Sarjana S1 Psikologi Oleh: Dony Sinuraya F. 100 030 142 FAKULTAS

Lebih terperinci

PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU, MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA

PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU, MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU, MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA A. RASIONAL Remaja melalui dua cara yang berbeda dalam melalui periode kedua

Lebih terperinci

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran)

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran) A. Identitas Nama Umur Jenis kelamin Agama Pekerjaan Asal Sekolah Kelas : Nissa (Nama Samaran) : 18 tahun : Perempuan : Islam : Siswa : SMA Negeri 1 Sanden : XII Semester : 1 Alamat B. Deskripsi Kasus

Lebih terperinci

AGRESI: asal-usul, sebab, & penanggulangannya.

AGRESI: asal-usul, sebab, & penanggulangannya. AGRESI: asal-usul, sebab, & penanggulangannya. AGRESI 1. Perspektif Teoritis ttg Agresi 2. Determinan Agresi manusia 3. Agresi dalam hubungan jangka panjang: agresi di tempat kerja 4. Pencegahan dan pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan investasi yang berharga bagi peradaban umat manusia, pada saat yang bersamaan pendidikan dan penalaran moral juga merupakan pilar yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berpendidikan akan mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya dan

BAB I PENDAHULUAN. yang berpendidikan akan mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses yang dinamis dalam mengembangkan segenap potensi yang ada pada diri manusia, tingkat pendidikan suatu bangsa merupakan cermin kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siaran televisi saat ini telah menjadi suatu kekuatan yang sudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Televisi sebagai media massa memiliki karakteristik tersendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.

Lebih terperinci

A. Konsep Dasar. B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

A. Konsep Dasar. B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah A. Konsep Dasar Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran dan emosi

BAB II LANDASAN TEORI. merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran dan emosi BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Asertif 2.1.1. Pengertian Perilaku Asertif Menurut Smith (dalam Rakos, 1991) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber informasi yang sangat penting bagi masyarakat. Di antara berbagai media

BAB I PENDAHULUAN. sumber informasi yang sangat penting bagi masyarakat. Di antara berbagai media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media komunikasi massa di waktu ini, dengan dukungan berbagai peralatan yang semakin canggih, berkembang dengan pesat untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia.

Lebih terperinci

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL 1. Teori Asosiasi Diferensial (differential association Theory) Teori ini dikembangan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1930-an,

Lebih terperinci