BAB I PENDAHULUAN. Secara sekilas, judul tersebut cukup layak untuk disematkan dalam jajaran dunia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Secara sekilas, judul tersebut cukup layak untuk disematkan dalam jajaran dunia"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG A man consists of a body, a soul, and a passport. 1 World at War, sebuah judul hiperbolik dari UNHCR yang mempublikasikan laporannya mengenai displaced person pada tahun Secara sekilas, judul tersebut cukup layak untuk disematkan dalam jajaran dunia hiburan, khususnya film-film box office. Namun siapa sangka, dibalik judul yang memiliki kesan dekat dengan dunia hiburan itu, terdapat beberapa fakta yang cukup mencengangkan bagi nilai-nilai kemanusiaan di dunia ini. Bagaimana tidak, tahun 2014 menjadi momen dimana hampir 60 juta orang terpaksa harus meninggalkan rumahnya karena konflik, penyiksaan, dan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya. Lebih dari 20 juta diantaranya merupakan pengungsi dan pencari suaka yang mana menjadi fokus dari penelitian ini. 3 Kondisi ini diperburuk dengan realitas bahwa hampir sebagian besar negara-negara di dunia memiliki kecenderungan untuk menolak kedatangan pengungsi dan pencari suaka di wilayahnya, terutama pada periode pasca-perang 1 Diambil dari buku John George Stoessinger, The Refugee and the World Community, (Minneapolis: The University of Minnesota Press, 1956) Hal. 3 2 UNHCR, World at War: UNHCR Global Trends Forced Displacement in (Geneva: UNHCR, 2015) 3 Ibid. Hal. 2-4

2 2 Dingin dan peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. 4 Negara-negara tersebut cenderung menerapkan kebijakan imigrasi yang cukup ketat dan dalam beberapa hal sangat represif, guna menghadang laju dari para pengungsi dan pencari suaka yang akan masuk ke dalam wilayah kedaulatannya melalui berbagai macam cara. 5 Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Asia Tenggara. Kawasan yang hampir sebagian besar negara-negaranya bukan menjadi pihak atau aktor yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967 ini menjadi kawasan yang memiliki jumlah pengungsi dan pencari suaka yang cukup besar. 6 Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri bagi nasib dan status para pencari suaka dan pengungsi yang akan atau telah datang di negara-negara tersebut. Maka tak heran, perilaku yang jauh dari norma Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh negara-negara kawasan terhadap pengungsi dan pencari suaka yang datang ke wilayahnya menjadi sangat sering terjadi, terutama satu dekade ini. Munculnya kebijakan-kebijakan yang bersifat eksklusif dari negara-negara tersebut terhadap para pengungsi, sangat erat hubungannya dengan proses sekuritisasi yang terjadi di dalam politik domestik suatu negara. Sebagai aktor 4 Lihat analisis dari Geoff Gilbert, Running Scared Since 9/11: Refugees, UNHCR, and the purposive approach to treaty interpretation dalam James C. Simeon (ed.), Critical Issues in International Refugee Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2010) Hal Scott D. Watson. The Securitization of Humanitarian Migration: Digging Moats and Sinking Boats. (New York: Routledge, 2009) Hal Susan Kneebone, ASEAN and the conceptualization of Refugee Protection in Southeastern Asian States dalam Ademola Abass dan Francesca Ippolito, Regional Approches to the Protection of Asylum Seekers: An International Legal Perspective (England: Ashgate Publishing Limited, 2014) Hal

3 3 utama di dalam logika keamanan internasional, negara memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap penyelesaian permasalahan mengenai pengungsi. 7 Seperti yang umum diketahui, migrasi internasional saat ini dikendalikan oleh kebijakan nasional dari sebuah negara dan berbagai macam kesepakatan antar-negara. Lebih lanjut lagi, gagasan mengenai individu-individu asing tertentu yang menjadi ancaman bagi negara bukanlah persoalan baru.. Menurut Bourbeau ada tiga faktor yang saat ini dijadikan patokan oleh negara sebagai tanda bahaya yang mengancam keamanan mereka, yang salah satunya adalah migrasi dalam jumlah yang sangat besar. 8 Kondisi inilah yang kemudian memicu negara-negara kawasan seakan bersaing untuk mengusir dan menahan laju dari pengungsi dan pencari suaka di kawasan yang datang ke negaranya. Persoalannya kemudian, jika keamanan diterjemahkan dalam sudut pandang negara, tentu individu yang dijadikan ancaman oleh securitizing actor, sebenarnya berada pada posisi yang sangat terancam keberadannnya. Terlebih atmosfer negara-sentris masih mendominasi kontestasi hubungan internasional di kawasan Asia Tenggara. 9 Hal inilah yang membuat proses desekuritisasi terhadap pengungsi dan pencari suaka sulit untuk 7 Barry Buzan, Ole Weaver dan Jaap de Wilde. Security: A New Framework for Analysis (USA: Lynne Rienner Publisher, 1998) Hal Philippe Bourbeau, The Securitization of Migration: A Study of Movement and Order (USA: Routledge, 2011) Hal Amitav Acharya. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and The Problem of Regional Order. (London: Routledge, 2001) Hal. 1-30

4 4 terjadi. Mengamini argumen dari Weaver, ketika atmosfer negara-sentris masih menghinggapi sebuah negara, posisi audiens akan menjadi pasif, sehingga keberhasilan sekuritisasi oleh negara tidak membutuhkan penerimaan masal dari publik PERMASALAHAN DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN Dengan bangunan latar-belakang diatas, penelitian ini melihat bagaimana sekuritisasi yang dilakukan oleh negara-negara kawasan, khususnya Indonesia, Malaysia dan Thailand terhadap para pengungsi?. Seperti yang kita ketahui, ketiga negara tersebut sampai hari ini belum meratifikasi Konvensi Pengungsi dan Protokol New York Hal ini mengindikasikan bahwa negara-negara tersebut belum memiliki perangkat hukum domestik untuk mengakui status bagi para pengungsi dan pencari suaka. Sebaliknya, negara-negara tersebut lebih cenderung mempersepsikan persons of concern tersebut sebagai sebuah ancaman bagi negaranya. Ada dua pertanyaan turunan dari problem statement diatas yang akan dijawab dalam tesis ini, yakni; 1. Apa saja wujud emergency respons yang dilakukan oleh negara terhadap para pengungsi? 2. Logika apa saja yang digunakan oleh securitizing actor dalam hubungannya dengan kemunculan existential threat pada proses speech act? 10 Ole Weaver, Securitization and desecuritization dalam Lipschutz (ed.), On Security (New York: Colombia University Press, 1995) Hal

5 5 Lingkup spasial penelitian ini secara khusus adalah Indonesia, Malaysia dan Thailand. Ketiga negara ini digunakan sebagai representasi dari kawasan Asia Tenggara. Ada dua argumen yang mendasari ketiga negara ini sebagai sampel penelitian mengenai wacana pengungsi di Asia Tenggara. Yang pertama walaupun tidak meratifikasi konvensi pengungsi dan protokolnya, secara tradisionil negara-negara tersebut merupakan negara suaka (country of asylum), terutama pada periode rezim Comprehensive Plan of Action (CPA). Argumen selanjutnya adalah ketiga negara tersebut merupakan tiga negara yang paling besar di kawasan dan eksistensinya sangat mempengaruhi dinamika negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sedangkan untuk batasan temporal, penelitian ini akan menggunakan periode setelah Perang Dingin berakhir hingga Tragedi Rohingya yang baru-baru ini terjadi TINJAUAN PUSTAKA Tidak banyak literatur kontemporer yang membahas masalah pengungsi dan pencari suaka di kawasan Asia Tenggara. Kajian mengenai migrasi humaniter di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam konteks penanganan pengungsi, di dominasi oleh wacana mekanisme perlindungan terhadap manusia perahu dari Indochina. Selain memang disebabkan oleh jumlah pengungsi yang sangat besar dari beberapa negara seperti Vietnam, Kamboja dan Laos, tema ini juga menjadi menarik secara politik, terutama bagi negara-negara yang menjadi sekutu Amerika Serikat. Maka tak heran kajian-kajian yang muncul membahas isu ini, hampir sebagian besar datang dari negara-negara tersebut. Ada tiga tematik yang akan disajikan dalam tinjauan-pustaka ini. Yang pertama adalah permasalahan

6 6 pengungsi Indocina, kondisi pengungsi pasca-perang Dingin di kawasan dan yang terakhir adalah sekuritisasi terhadap migrasi. Mengenai tema pengungsi Indocina, ada beberapa literatur yang cukup menarik. Nghia M. Vo, mantan pengungsi Indochina yang saat ini telah menjadi Warga Negara Australia 11, mencoba mengaitkan antara eksodus masyarakat Vietnam Utara menuju Vietnam Selatan tahun 1954, dengan eksodus besarbesaran masyarakat Vietnam 20 tahun setelahnya. Vo memaparkan, lebih dari satu juta manusia bergerak dari Utara menuju Selatan pada tahun 1954 dengan berbagai macam alasan, seperti; menghindari perang, kelaparan dan menjauh dari kampanye reformasi agraria komunis. Pengalaman dari orang-orang yang melakukan eksodus pada tahun 1954 ini, menurut Vo dalam beberapa hal memberikan sebuah dinamikanya tersendiri terhadap eksodus besar-besaran masyarakat Vietnam yang dimulai pada tahun Tidak hanya berhenti disitu, Vo juga memberikan sebuah eksplanasi yang cukup komprehensif terkait permasalahan yang dihadapi oleh manusia perahu Vietnam, seperti rencana untuk melarikan diri, pemilihan rute, menghadapi bajak laut, dan berjuang untuk bertahan hidup di tenda-tenda penampungan. Pada masa Perang Dingin, praktis hanya Kamboja sebagai satu-satunya negara di Kawasan Asia Tenggara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi dan Protokol New York. Kekosongan rezim migrasi humaniter ini berdampak secara langsung terhadap penanganan pengungsi Indocina di kawasan pada awal 11 Nghia M. Vo, Vietnamese Boat People, 1954 and (United States of America: Mcfarland and Company, 2006)

7 7 eksodusnya, sekitar tahun Setelah beberapa tahun tidak ada koordinasi yang jelas diantara negara-negara kawasan dalam mengatasi permasalahan ini, yang menyebabkan terkatung-katungnya para manusia perahu di laut lepas, dunia internasional kemudian mulai menyoroti secara tajam permasalahan manusia perahu tersebut. Sampai pada akhirnya diselenggarakanlah sebuah konferensi internasional pada tahun 1979, yang menghasilkan kesepakatan bersama untuk mengatasi gelombang manusia perahu Indocina. Seperti yang diutarakan oleh Astri Suhrke, pada awalnya mekanisme yang menjadikan negara-negara kawasan sebagai tempat pemberi suaka sementara sekaligus pusat untuk memproses pengungsi sebelum dikirim ke negara ketiga untuk proses resettlement, berjalan dengan lancar. 12 Namun pada sekitar tahun 1981, negara-negara tersebut hilang kesabarannya, karena manusia perahu Indocina terus saja berdatangan ke tenda-tenda pengungsian, menggantikan mereka yang sudah dikirim ke negara ketiga. Kesepakatan ulang untuk mengatasi permasalahan manusia perahu Indocina kemudian didiskusikan ulang pada tahun 1989, dengan UNHCR sebagai pihak yang berperan sebagai garda terdepan. Yang menjadi catatan di dalam pembicaraan kali ini adalah hadirnya perwakilan dari negara asal manusia perahu, yakni Vietnam. Diskursus ini kemudian menghasilkan sebuah program yang dinamakan Comprehensive Plan of Action (CPA). Alexander Betts menilai 12 Astri Suhrke, Indochinese Refugees: The Law and Politics of First Asylum:, dalam Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 467, The Global Refugee Problem: U.S. and World Response, 1983, Hal

8 8 program ini memberikan suatu kemajuan yang positif bagi permasalahan manusia perahu. 13 Dalam sebuah studinya, Betts memaparkan kesuksesan rezim CPA ini sebagai wujud keberhasilan UNHCR di dalam mengaitkan isu manusia perahu dengan isu-isu lainnya, yang membuat negara secara sadar atau tidak, menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang berlaku. Tema berikutnya adalah kondisi pengungsi pasca-perang Dingin di kawasan. Vitit Muntarbhorn menjelaskan bahwa terjadi sebuah peningkatan jumlah pengungsi dan pencari suaka yang datang ke negara-negara Asia, termasuk kawasan Asia Tenggara, pasca-perang Dingin. 14 Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara di kawasan tersebut, yang memiliki kecenderungan negatif di dalam mengkonstruksikan pengungsi. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Sara Davies 15. Di dalam analisisnya, Sara menjelaskan mengapa negara-negara Asia Tenggara cenderung bersikap antipati terhadap permasalahan migrasi humaniter sehingga belum memiliki kemauan untuk meratifikasi Konvensi PBB mengenai pengungsi 1951 dan Protokol New York Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah kedua instrumen tersebut merupakan produk Barat dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan Barat. Seperti yang kita ketahui, konvensi pengungsi 1951 memang mendefinisikan 13 Alexander Betts, Protection By Persuasion: International Cooperation In The Refugee Regime, Loc.cit. 1992) 14 Vitit Muntabhorn, The Status of Refugee in Asia. (Oxford: Clarendon Press, 15 Sara E. Davies, Legitimising Rejection: International Refugee Law in Southeast Asia (Leiden: Koninklijke Brill, 2008)

9 9 bahwa mereka yang diakui sebagai pengungsi adalah mereka yang telah keluar dari batas-batas negaranya karena Perang Dunia Kedua, sebelum tanggal 1 Januari Namun permasalahannya, konvensi tersebut hanya mengakui orang-orang Eropa yang telah melalui batas negaranya. Untuk tema sekuritisasi dalam wacana migrasi, Scott Watson dengan kritis menganalisa proses perubahan cara berpikir para elit politik di Australia dan Kanada terhadap migran humaniter yang datang ke negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 itu. Watson menambahkan, sekuritisasi diejawantahkan kedalam sebuah peraturan-peraturan negara, terutama kebijakan imigrasinya, yang diperketat untuk mencegah masuknya migran humaniter ke negara-negara tersebut. Setelah kita tinjau beberapa literatur di atas, terdapat kekosongan di dalam melihat perilaku negara-negara kawasan terhadap pengungsi dan pencari suaka, terutama setelah periode Perang Dingin. Tesis ini ditujukan untuk mengisi kekosongan tersebut. Dengan menggunakan Teori Sekuritisasi, penulis berusaha untuk menganalisa dan mengidentifikasi kebijakan-kebijakan keamanan negara kawasan yang direpresentasikan oleh Indonesia, malaysia dan Thailand, terhadap para pengungsi, baik yang telah datang maupun yang akan datang KERANGKA ANALISIS Konsepsi Pengungsi di Asia Tenggara Secara umum pergerakan migran di seluruh dunia ini dimotivasi oleh berbagai macam faktor, yang kemudian menyebabkan kesulitan untuk

10 10 mengidentifikasikan motivasi atau alasan para migran melakukan migrasi. Mengikuti logika negara penerima migran, Scott Watson membagi tiga kategori untuk menjelaskan motivasi dari para migran, yakni migrasi ekonomi, migrasi keluarga dan migrasi humaniter. 16 Pada penelitian ini saya menggunakan migrasi humaniter sebagai objek penelitian. Mengikuti argumen dari Dauvergne 17 dan diperkuat oleh Watson, migrasi humaniter merupakan sebuah pola migrasi yang didasarkan pada gagasan bahwa migran harus diijinkan masuk ke dalam suatu negara, karena penolakan akan menjadi bumerang bagi keselamatan dan eksistensi migran tersebut. Artinya disini motivasi politik migran akan keselamatan dan eksistensinya menjadi sebuah penekanan tersendiri dalam konsep tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri pula, bahwa hampir sebagian besar migran tetap memiliki motivasi ekonomi dibelakangnya. Jika kita jabarkan lagi definisi umum di atas, konsep migrasi humaniter akan mengarah kepada apa yang kita kenal sebagai people of concern, yang terdiri dari kelompok-kelompok manusia paling rentan, seperti pengungsi (refugee), pencari suaka (asylum seeker) dan individu yang tidak memiliki negara (statelessness), terutama yang disebabkan oleh konflik. Ketiga terma ini memiliki 16 Scott D. Watson, The Securitization of Humanitarian Migration: Digging Moats and Sinking Boats (New York: Routledge, 2009) Hal Catherine Dauvergne, Humanitarianism, Identity, and Nation: Migration Laws of Australia and Canada (Vancouver: UBC Press, 2005) Hal. 1-20

11 11 sebuah kondisi yang serupa, hanya yang membedakan adalah status legal yang sudah dimiliki oleh mereka yang sudah ditetapkan sebagai pengungsi. Konvensi mengenai Pengungsi tahun 1951 yang kemudian disempurnakan oleh Protokol New York Tahun 1967, menyatakan bahwa pengungsi adalah individu atau kelompok yang terbukti dengan alasan kuat menjadi bagian (dalam hal ini korban) dari suatu bentuk persekusi atau penyiksaan atas dasar ras, agama, suku bangsa, keanggotaan kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik, yang sudah melewati atau berada diluar batas geo-politik negaranya, dan tidak bisa atau tidak bersedia kembali ke negara asalnya karena alasan keselamatan dan keamanan. 18 Beberapa kesepakatan regional untuk mengatasi permasalahan pengungsi seperti di Afrika (OAU) dan Amerika Latin (Deklarasi Cartagena) juga memiliki definisi yang menyerupai definisi pengungsi PBB. Hanya saja kedua mekanisme tersebut memberikan tempat kepada mereka yang melewati batas negaranya untuk ditetapkan sebagai seorang pengungsi dengan alasan agresi pihak asing, kekerasan massal, konflik internal, pelanggaran terhadap HAM dan kejadian luar biasa lainnya yang mengganggu tatanan publik. 19 Di dalam hukum pengungsi internasional, yang berakar pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967, pengungsi merupakan sebuah status legal dan diakui 18 Jane McAdam dan Fiona Chong, Refugees: Why Seeking Asylum is Legal and Australia s Policies are not (Sydney: University of New South Wales Press, 2014) Hal.37-50

12 12 secara global keberadaannya. Penentuan para pencari suaka untuk mendapatkan status sebagai pengungsi merupakan wewenang dari negara yang telah meratifikasi konvensi dan protokol pengungsi, serta UNHCR jika negara tersebut belum meratifikasi keduanya. 20 Jika pengungsi merupakan status legal, maka pencari suaka dan statelessness merupakan kelompok manusia yang memiliki situasi seperti pengungsi (refugee-like situation), namun belum mendapatkan status sebagai seorang pengungsi. Dalam realitas di kawasan Asia Tenggara, pencari suaka bisa kita bagi kedalam dua kondisi, yakni kondisi legal dan ilegal. Kondisi legal mengacu kepada posisi pencari suaka yang berada di negara transit dan diamankan di rumah detensi migrasi, untuk menunggu proses ditetapkan sebagai pengungsi oleh UNHCR. Sedangkan kondisi ilegal adalah orang-orang yang telah keluar karena persekusi dari negara asalnya dan sedang menuju atau berada di negara transit secara ilegal, sehingga belum terdeteksi, baik oleh negara transit maupun UNHCR, sehingga belum bisa diproses untuk menjadi seorang pengungsi. Dalam konteks Asia Tenggara, konsep statelessness yang dimaksud menyerupai posisi etnis Rohingya di dalam Pemerintahan Myanmar saat ini. Di satu sisi, mereka tetap berupaya untuk terus menjadi bagian integral dari negara Myanmar, tapi di sisi lain pemerintah tidak pernah menganggap Rohingya sebagai bagian dari negara-bangsa tersebut. Ini berbeda dengan Moro di Filipina atau 20 Gil Loescher, The UNHCR and World Politics: A Perilous Path (New York: Oxford University Press, 2001) Hal

13 13 Uighur di Cina, yang mana mereka sebenarnya telah diakui menjadi bagian dari kedua negara-bangsa tersebut, hanya saja mereka menginginkan sebuah konsensus dan partisipasi yang lebih didalamnya. Pencari Suaka Pengungsi Statelessness Pengungsi Sebagai Prima Facie Jika kita amati, kedatangan para migran humaniter ke dalam suatu negara untuk mencari perlindungan, dalam beberapa kejadian terjadi pada skala yang cukup besar. Hal ini tentu menjadi masalah, baik bagi negara peserta konvensi maupun UNHCR untuk menentukan status mereka sebagai seorang pengungsi. 21 Di dalam permasalahan ini, peraturan internasional memiliki suatu mekanisme untuk mengakui mereka sebagai pengungsi Prima Facie. Mekanisme Prima Facie ini sebenarnya berbeda dengan pemberian status pengungsi reguler. Para pengungsi Prima Facie tidak memiliki dokumen atau surat yang dikeluarkan oleh 21 Untuk mendapatkan status pengungsi secara legal, sesuai dengan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol New York 1967, mereka harus mengikuti syarat-syarat yang diberikan. Ada dua proses yang dilakukan oleh UNHCR didalam menentukan pemberian status kepada pengungsi. Yang pertama adalah pembuktian terhadap hal, kejadian atau peristiwa yang terjadi pada diri pencari suaka. Yang kedua adalah mencari kesesuaian antara definisi pengungsi sebagaimana tercantum dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 dengan fakta-fakta yang diberikan oleh pencari suaka. Lihat Jesuit Refugee Service, Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia (Indonesia: JRS Indonesia, 2013) Hal. 18

14 14 UNHCR maupun negara pihak, untuk kemudian mendapatkan hak untuk mendapatkan perlindungan sementara atau resettlement di negara ketiga. Penentuan status prima facie pengungsi ini dalam beberapa hal memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang kritis. Beberapa diantaranya seperti prosedur seperti apa yang harus dilakukan untuk melakukan hal tersebut? jika tidak ditentukan secara individu untuk diuji kebenarannya, bagaimana bisa kita membedakan antara mereka yang murni pengungsi dengan mereka para migran yang tidak memiliki unsur keterdesakan kemanusiaan, seperti migran ekonomi? Secara umum prima facie memiliki makna pada kesan atau penampilan pertama. Buku yang diterbitkan oleh UNHCR dengan judul Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status menjelaskan bagaimana kondisi yang memungkinkan terjadinya pengakuan pengungsi secara prima facie, yakni; Situation have...arisen in which entire groups have been displaced under circumstances indicating that members of the group could be considered individually as refugees. In such situations the need to provide assistance is often extremely urgent and it may not be possible for purely practical reason to carry out and individual determination of refugee status for each member of the group. Recourse has therefore been had to so-called group determination of refugee status. Whereby each member of the group is regarded prima facie (i.e. in the absence of evidence to the contrary) as a refugee. 22 Selama lima puluh tahun kebelakang, pendekatan prima facie ini telah digunakan secara luas oleh beberapa kawasan di beberapa kesempatan. Seperti pengungsi Hungaria yang meninggalkan negaranya untuk menuju Eropa Barat 22 UNHCR, Handbook and Guidelines on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol Relating to The Status of Refugee, 2011, HCR/1P/4/ENG/REV.3, Hal. 44

15 15 pada tahun 1956 karena revolusinya yang gagal. Hal yang sama juga pernah terjadi di Benua Afrika, baik sebelum maupun sesudah Konvensi Pengungsi OAU Di Asia seperti yang kita ketahui bersama, manusia perahu Indochina (sebagian besar dari Vietnam) pada awalnya juga diakui oleh negara-negara kawasan sebagai pengungsi dengan menggunakan pendekatan prima facie. 23 Pemahaman ini menjadi penting, karena hampir sebagian besar migran humaniter yang datang ke Kawasan Asia Tenggara, jika menggunakan analisis di atas, sebenarnya bisa dikategorikan sebagai pengungsi prima facie. Seperti contohnya pengungsi yang berasal dari Myanmar, baik itu Rohingya, Karen dan beberapa suku lainnya, yang sering mendapat berbagai bentuk persekusi di negara asal. Walaupun dari segi jumlah memang tidak sebanding dengan pengungsi yang berasal dari negara-negara seperti Suriah dan Afganistan, namun gelombang pengungsi yang ada di kawasan, terutama yang datang dari Myanmar sangat stabil dan bahkan cenderung meningkat jumlahnya Logika Sekuritisasi Konsepsi mengenai sekuritisasi (securitization) lahir dari dialektika mengenai wacana keamanan (security). Seperti yang jamak diketahui pada awalnya studi mengenai keamanan sangat state-centris, terutama dalam kaca mata perang dan militer. Hal tersebut sejalan dengan sangat dominannya 23 Pendekatan ini berakhir ketika program Comprehensive Plan of Action mulai berlaku. Hal ini dikarenakan program ini mewajibkan pengungsi harus diseleksi secara individu agar dapat diketahui dengan pasti keabsahannya.

16 16 perspektif realisme dan neo-realisme di dalam Ilmu Hubungan Internasional, terutama selama Perang Dingin berlangsung. Pembongkaran kekakuan di dalam memandang keamanan mulai dilakukan pada masa akhir Perang Dingin, dan semakin masif ketika Perang Dingin berakhir. Pembongkaran ini didasarkan kepada konsep keamanan manusia (human security) yang tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang negara dan militer saja, akan tetapi mencakup aspek yang lebih luas lagi, seperti penyakit, lingkungan, migrasi dan lain sebagainya. 24 Dengan menggunakan model pendekatan diatas, wacana mengenai studi keamanan menjadi semakin luas, baik dalam dimensi vertikal maupun dimensi horizontal. 25 Sejalan dengan hal tersebut, konsepsi mengenai teori sekuritisasi mulai menyebar, dipimpin oleh ilmuwan-ilmuwan dari Copenhagen School. Dalam pandangan mereka, sekuritisasi merupakan suatu bentuk atau cara ekstrim politisasi para elit. Sekuritisasi dipahami sebagai sebuah proses politik untuk menjadikan isuisu yang ada di sekitar kita sebagai ancaman dalam wacana keamanan, sehingga isu tersebut dapat menjadi sebuah wacana keamanan nasional. Teori ini sangat bergantung kepada kekuatan ide dan tindakan politis aktor untuk menyebarkan suatu isu untuk kemudian bertransformasi menjadi wacana keamanan. Maka dari 24 Barry Buzan, People, States, and Fear : The National Security Problems in International Relations (USA: The University of North Carolina Press, 1983) Hal Barry Buzan, dkk., Security: A New Framework for Analysis (USA: Lynne Rienner Publisher, 1998) Hal. 1-10

17 17 itu, speech act 26 dari aktor yang menyebarkan suatu isu menjadi penting dalam konsep ini Speech Act dan Penempatan Audiens Argumen yang paling penting dalam Teori Sekuritisasi Konvensional 27 adalah keamanan merupakan sebuah produk dari speech act, mengikuti istilah Weaver it is by labelling something a security that is becomes one. Dalam memahami speech act, terdapat tiga unit analisis, yaitu; Referent object: sesuatu yang dilihat kondisinya terancam dan memiliki legitimasi untuk bertahan hidup 2. Securitizing actors : aktor yang mendeklarasikan isu-isu keamanan dan berperan dalam membentuk objek yang terancam 3. Functional actors: aktor yang mempengaruhi dinamika sektor. Tanpa menjadi referent object atau securitizing actor, namun memiliki kapasitas untuk mewacanakan suatu ancaman yang ada di tengah publik. 26 Kemampuan untuk melakukan sosialisasi terhadap ide yang dimiliki, yang sangat berpengaruh terhadap tipologi ancaman, yang bersinggungan dengan keamanan suatu negara. 27 Terminologi sekuritisasi konvensional mengacu kepada pendekatan yang digunakan oleh Copenhagen School, terutama oleh Barry Buzan dan Ole Waever, sebagai pencetus awal ide sekuritisasi dalam diskursus keamanan internasional. Hal ini ditujukan untuk membedakan ide sekuritisasi awal dengan perkembangan teori tersebut di kemudian hari, yang mengalami banyak revisi dari para kritikusnya. Beberapa ilmuwan pengembang Teori Sekuritisasi diantaranya Thierry Balzacq, Didier Bigo, Scott Watson, dan beberapa nama lainnya. 28 Ole Weaver, The UE as a Security Actors: Reflection from Pessimistic Constructivist on Post Sovereign Security Orders. (London: Routledge, 2000) Hal. 286

18 18 Dalam Teori Sekuritisasi Konvensional, variabel speech act merupakan elemen yang sangat penting di dalam mewujudkan existential threat bagi para securitizing actor. Namun yang cukup disayangkan, jika mengikuti sepenuhnya logika yang diberikan oleh Copenhagen School tersebut, sulit bagi kita untuk menemukan hubungan antara bukti-bukti empiris dengan bentuk-bentuk penerimaan audiens atau referent object terhadap proses speech act yang tengah berlangsung. 29 Ada dua hal yang cukup mengganggu pikiran saya dalam hal ini. Yang pertama adalah kita tidak akan pernah mengetahui kapan ide mengenai pengungsi sebagai ancaman masuk ke dalam alam pikir securitizing actor. Apakah ini hasil dari sifat manusia yang cenderung memiliki ketakutan terhadap orang asing atau justru ini sebenarnya merupakan buah dari proses sekuritisasi yang terdahulu?. Lalu yang kedua adalah bagaimana membuktikan secara empiris bahwa securitizing move yang dilakukan oleh securitizing actor diterima atau ditolak secara sukses oleh para audiens?. Hal ini menjadi penting mengingat salah satu kesuksesan dari sekuritisasi adalah bagaimana para securitizing actor mampu untuk mempengaruhi para audiens untuk menerima dan menyetujui pandangan mereka terkait ancaman yang nyata (existential threat). Lantas apa indikator yang digunakan untuk mengetahui bentuk-bentuk penerimaan dan sekaligus bentuk-bentuk penolakan. Sejauh analisa 29 Lihat analisis yang cukup menarik mengenai bahasan ini dari tulisan Sarah Leonard dan Christian Kaunert, Reconceptualizing the audience in securitization theory dalam Thierry Balzacq (ed.), Securitization Theory: How Security Problems Emerge and Dissolve (NewYork: Routledge, 2011) Hal

19 19 saya terhadap buku ini, mereka tidak memberikan jawaban yang pasti dan cenderung mengakui kelemahan ini. 30 Untuk mengurai masalah ini, dalam beberapa hal Ole Weaver mengajukan suatu tawaran yang cukup diplomatis terkait peran dari referent object. Seperti yang dinyatakan dalam bukunya, kesuksesan sekuritisasi tidak selalu membutuhkan penerimaan massal dari para audiens secara harfiah, akan tetapi cukup dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara (emergency respons) terhadap ancaman, tidak menimbulkan eskalasi perdebatan yang cukup tinggi di kalangan publik. 31 Argumen ini mengindikasikan bahwa keberadaan audiens untuk menerima ataupun mengetahui securitizing move tidak terlalu diperhitungkan selama mereka tidak menempatkan dirinya sebagai oposisi di ruang publik dan mempengaruhi kontestasi tersebut. Bahkan adapula akademisi yang sama sekali menghilangkan peran dari masyarakat dengan menjadikan pemerintah yang berkuasa sebagai referent object/audiens yang relevan dan agen keamanan khusus sebagai securitizing actor. 32 Namun hal ini dibantah secara tegas oleh Balzacq, yang menyatakan bahwa masyarakat atau publik adalah satusatunya audiens yang relevan dalam proses sekuritisasi dan memiliki dua peran utama, yakni mendukung secara moral atau mengevaluasi legitimasi politik dari 30 Ibid., Hal Ole Waever, Securitization and desecuritization dalam Lipschutz (ed.), On Security (New York: Columbia University Press, 1995) Hal Didier Bigo, When Two Become One dalam Kelstrup, Morten dan Michael Williams (eds.), International Relations Theory and the Politics of European Integration, Power, Security and Community (London: Routledge, 2000) Hal. 195

20 20 kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara terhadap suatu ancaman yang dikonstruksikan. 33 Maka dari itu, mengikuti diskusi di atas speech act yang dilakukan oleh securitizing actor dalam tesis ini bukan ditujukan untuk membentuk ancaman yang nyata, tetapi digunakan untuk melegitimasi tindakan yang negara lakukan terhadap para pengungsi. Ukuran yang digunakan bukanlah penerimaan secara harfiah masyarakat terhadap speech act yang dilakukan oleh securitizing actor, melainkan tidak adanya penolakan yang masif terkait dengan emergency responses yang dilakukan oleh negara. Namun speech act disini bukannya tidak memiliki peran yang penting dalam logika sekuritisasi yang digunakan tesis ini. Variabel tersebut digunakan oleh penulis untuk mendefinisikan secara utuh sejauh-mana pengungsi dikonstruksikan sebagai sebuah ancaman oleh para elit politik yang notabenenya adalah securitizing actor. Seperi yang disebutkan oleh Bigo secara jelas; 34 it is possible to securitise certain problem without speech or discourse and the military and the police have known that for a long time. The practical work, dicipline and expertise are as important as all forms of discourse. 33 Thierry Balzacq, The Three Faces of Securitisation: Political Agency, Audience and Context dalam European Journal of International Relations, No. 11, 2005, Hal Didier Bigo, Op.cit. Hal. 194

21 21 Berulang kali Buzan, dkk menyatakan dalam bukunya mengenai posisi sentral dari emergency respons di dalam logika sekuritisasi. Bahkan, ketika existential threat sudah terbentuk namun belum ada respon atau kebijakan terkait ancaman, hal ini belum bisa dikategorikan sebagi sekuritisasi yang berhasil. Dalam bahasa Buzan dkk, fenomena tersebut hanya akan menjadi securitizing move. 35 Selanjutnya, sekuritisasi juga tidak akan terjadi hanya karena respon atau kebijakan yang dilakukan untuk mengatasi ancaman cenderung untuk melanggar norma-norma domestik atau internasional. Melainkan, masih menurut Buzan dkk., hadirnya ancaman memiliki legitimasi yang kuat untuk melanggar norma-norma tersebut. 36 Keamanan Pembentukan Existential Threat dan Institusionalisasi Pada intinya, Teori Sekuritisasi lebih menitik-beratkan kepada kebijakan atau aksi yang dilakukan untuk mengamankan mereka dari ancaman yang dikonstruksikan. Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan pemahaman konvensional yang lebih menitik-beratkan kepada pembangunan ancaman itu 35 Barry Buzan, dkk., Op.cit. Hal Ibid.

22 22 sendiri. Argumen ini secara gamblang dijelaskan oleh Buzan dkk yang menyebutkan bahwa; what is essential is the designation of an existential threat requiring emergency action or special measures and the acceptance of that designation by a significant audience 37 Jika kita kaitkan hal di atas dengan logika speech act yang digunakan di dalam tesis ini, menjadi jelas bahwa pembentukan ide mengenai ancaman bukanlah sebuah variabel tunggal yang memiliki hukum kausalitas. Maksudnya, jika A mengatakan bahwa LGBT berbahaya, tidak lantas membuat B menerima dan mengamini argumen tersebut. Pembentukan ide mengenai ancaman sangat erat kaitannya dengan dialektika ruang dan waktu seorang manusia. Dalam konteks ini akan menjadi dilematis ketika pemaksaan ide mengenai ancaman disematkan kedalam satu entitas kolektif individu. Namun, hal inilah yang terjadi di dalam alam pikir warga negara yang berada pada sebuah negara. Pengkonstruksian pengungsi menjadi sebuah ancaman merupakan proses yang sangat dialektis, seiring dengan sejarah persepsi negara terhadap kelompok tersebut, atau dalam bahasa Copenhagen School Constant drama does not have to be present. 38 Oleh sebab itu, Barry Buzan dkk, menyediakan alternatif lain mengenai permasalahan ancaman terus-menerus (persistent threat), bahwa sekuritisasi bisa diejawantahkan dalam bentuk ad hoc maupun institusional Ibid., Hal Ibid. 39 Ibid., Hal. 28

23 23 Watson juga menambahkan, bahwa dalam spektrum ini peran audiens dibatasi dan speech act dari securitizing actor hanya ditujukan untuk elit-elit pemerintahan yang berwenang. Lebih lanjut Watson berargumen, dalam proses institusionalisasi keamanan ini proses identifikasi dan respon yang dikeluarkan terhadap existential threat sering kali diimplementasikan tanpa mempertanyakan legitimasi dari tindakan yang diambil. 40 KERANGKA KONSEPTUAL the influx of stable refugee/asylum seeker Securitizing Move by Securitizing Actor The Emergence emergence of of Existential Threat Thr Logic of Economic Logic of Politic Logic of Societal Emergency Respons by States Institutionalized Respons Emergency Measures Breaking Free of Rules Successful Securitization 40 Scott D. Watson, The Securitization of Humanitarian Migration: Digging Moats and Sinking Boats (USA: Routledge, 2009) Hal. 23

24 METODE PENELITIAN Untuk menganalisa dan menjelaskan permasalahan yang telah dipaparkan, penulis menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Hal tersebut diperlukan guna menggambarkan fakta-fakta yang ada dengan menganalisa dan menginterpretasikan data-data yang telah terkumpul. 41 Ada dua pendekatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengumpulkan data. Pendekatan pertama adalah field research atau penelitian lapangan. Pada proses ini penulis mendapatkan dua jenis data, yakni data wawancara dan data tertulis. Data wawancara diperoleh khususnya dari lembaga-lembaga seperti International Organization for Migration (IOM) dan Je Suit Refugee Service (JRS). Selain menjadi fakta pembanding, secara pribadi pendekatan ini juga sangat berguna untuk menambah rasa exposure dan insight penulis di dalam melakukan analisis mengenai permasalahan pengungsi. Selain itu, hampir sebagian besar data tertulis yang penulis dapat merupakan laporan tahunan yang dikeluarkan oleh organisasi-organisasi tersebut. Pendekatan kedua adalah library research. Ada beberapa perpustakaan di daerah Jakarta dan Yogyakarta, yang penulis kunjungi sebagai sebuah upaya untuk mendapatkan data. Yang pertama adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Ada beberapa literatur klasik yang menurut penulis sangat penting sebagai salah satu fondasi penelitian ini yang ditemukakan disini. Salah satunya adalah buku dari Vitit Muntarbhorn yang berjudul the status of refugee 41 Nawawi Hadari, Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003) Hal. 63

25 25 in Asia. Selanjutnya, perpustakaan yang cukup penting lainnya bagi penelitian ini adalah Perpustakaan UPT UGM dan Perpustakaan Fisipol UGM. Beberapa buku penunjang penelitian ini dapat ditemukan di dua perpustakaan ini ARGUMEN UTAMA Pasca-Perang Dingin, kawasan Asia Tenggara cenderung menjadi salah satu tempat yang tidak bersahabat dengan pengungsi dan pencari suaka. Seiring dengan semakin membesarnya gelombang pengungsi dan pencari suaka yang datang ke kawasan ini, negara-negara tersebut justru semakin gencar untuk memperketat kebijakan imigrasinya sebagai sebuah sikap untuk menolak kedatangan orang-orang tersebut ke negaranya. Rasa penolakan ini bisa kita lihat dari emergency respon yang seakan-akan sudah menjadi kebijakan normal karena sudah dilakukan oleh negara-negara tersebut secara berulang kali. Seperti diantaranya adalah melakukan sergapan secara mendadak bagi manusia perahu yang akan masuk ke dalam wilayah perairannya, pendetensian pengungsi dan pencari suaka yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, dan operasi jaring pengungsi yang bertujuan untuk menangkap para pengungsi dan pencari suaka di negara masing-masing, sebelum ditempakan di rudenim (rumah detensi imigrasi). Upaya-upaya represif yang dilakukan oleh negara di atas, sebenarnya sejalan dengan proses speech act yang dilakukan oleh negara terhadap pengungsi dan pencari suaka. Negara melalui elit-elit politiknya memandang dan mengkonstruksikan bahwa pengungsi dan pencari suaka merupakan sebuah

26 26 ancaman bagi keamanan mereka. Ada tiga persepsi yang paling menonjol dalam proses speech act yang dilakukan oleh elit-elit negara, yakni pengungsi sebagai ancaman politik, pengungsi sebagai ancaman ekonomi dan pengungsi sebagai ancaman sosial SISTEMATIKA PENULISAN Bab I merupakan bagian pendahuluan, dimana berguna sebagai fondasi dari penelitian ini. Bab ini terdiri dari Latar-Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, Argumen Utama dan Sistematika Penulisan. Bab II memberikan gambaran mengenai eksistensi pengungsi dan pencari suaka di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam dua periode, yakni ketika Perang Dingin dan pasca-perang Dingin. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pra-kondisi, sebelum menjelaskan terjadinya sekuritisasi yang dilakukan oleh negara-negara kawasan. Bab III mengidentifikasi usaha-usaha atau emergency respons yang dilakukan oleh negara untuk menghalangi dan menolak kedatangan serta keberadaan pengungsi di wilayahnya. Hal ini menjadi penting sebagai tolak ukur kesuksesan sekuritisasi terhadap pengungsi secara keseluruhan. Bab IV menangkap ide-ide dari proses speech act yang dilakukan oleh securitizing actor, dalam upayanya melegitimasi tindakan serta membuat sebuah persepsi terhadap audiens, bahwa pengungsi dan pencari suaka merupakan ancaman bagi negara dan masyarakat.

27 27 Bab V menghadirkan suatu kesimpulan bahwa sekuritisasi yang dilakukan oleh negara-negara asia tenggara terhadap pengungsi dan pencari suaka cukup berhasil. Sesuai dengan arahan copenhagen school di dalam menilai pola sekuritisi, yakni existential threat, emergency respons dan breaking free of rules, ketiga gejala sekuritisasi tersebut hadir secara nyata sebagaimana kita saksikan pada bab-bab yang disajikan dalam penelitian ini.

BAB I. Tenggara dengan luas wilayah sebesar km 2 serta terletak di posisi

BAB I. Tenggara dengan luas wilayah sebesar km 2 serta terletak di posisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan luas wilayah sebesar 1.904.569 km 2 serta terletak di posisi strategis yang diapit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengungsi dan pencari suaka kerap kali menjadi topik permasalahan antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai mandat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi dan free movement merupakan salah satu konsekuensi yang tidak terelakan dari adanya proses globalisasi. Meski demikian, arus migrasi yang meningkat drastis

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. dapat bertahan hidup. UNHCR mencatat di awal tahun 2015, sekitar 59,5 juta orang.

BAB I Pendahuluan. dapat bertahan hidup. UNHCR mencatat di awal tahun 2015, sekitar 59,5 juta orang. BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Tahun 2014 diwarnai dengan peristiwa global yang sering disebut sebagai krisis pengungsi global. Tercatat, jutaan orang terpaksa meninggalkan tempat asalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi membuka kesempatan besar bagi penduduk dunia untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah integrasi dalam komunitas

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengungsi internasional merupakan salah satu hal yang masih menimbulkan permasalahan dunia internasional, terlebih bagi negara tuan rumah. Negara tuan rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang stabil dalam hal politik maupun ekonomi. Oleh sebab itu, para imigran yang

BAB I PENDAHULUAN. yang stabil dalam hal politik maupun ekonomi. Oleh sebab itu, para imigran yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Australia merupakan negara yang banyak dijadikan tujuan oleh para imigran dari berbagai negara untuk mendapatkan perlindungan dan memulai kehidupan baru yang lebih

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam satu ruang, yaitu globus atau dunia. Pendapat ini mencoba menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia. Keterkaitannya selalu menjadi bagian dari perilaku umat manusia dan setua dengan sejarah fenomena

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengungsi menjadi salah satu isu global yang banyak dibicarakan oleh masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus dari dunia internasional

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan dan Jawaban atas Wawancara yang Dilakukan Kepada Beberapa Narasumber:

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan dan Jawaban atas Wawancara yang Dilakukan Kepada Beberapa Narasumber: Lampiran 1. Daftar Pertanyaan dan Jawaban atas Wawancara yang Dilakukan Kepada Beberapa Narasumber: 1. Bapak Ardi Sofinar (Perwakilan UNHCR Medan) Pertanyaan yang diajukan seputar: Keberadaan UNHCR di

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memberi perlindungan dan mencari solusi jangka panjang bagi pengungsi, UNHCR telah menempuh upaya-upaya khususnya:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memberi perlindungan dan mencari solusi jangka panjang bagi pengungsi, UNHCR telah menempuh upaya-upaya khususnya: BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Sebagai satu-satunya organisasi internasional yang diberi mandat untuk memberi perlindungan

Lebih terperinci

Realisme dan Neorealisme I. Summary

Realisme dan Neorealisme I. Summary Realisme dan Neorealisme I. Summary Dalam tulisannya, Realist Thought and Neorealist Theory, Waltz mengemukakan 3 soal, yaitu: 1) pembentukan teori; 2) kaitan studi politik internasional dengan ekonomi;

Lebih terperinci

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Dengan telah dimulainya ASEAN Community tahun 2015 merupakan sebuah perjalanan baru bagi organisasi ini. Keinginan untuk bisa mempererat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional, tidak terlepas dari munculnya berbagai organisasi internasional pasca Perang Dunia ke II. Terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang berusaha untuk bangkit kembali menjadi salah satu kekuatan besar di dunia. Usaha Jepang untuk bangkit kembali dilakukan

Lebih terperinci

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI FOCUS GROUP DISCUSSION DAN WORKSHOP PEMBUATAN MODUL MATERI HAM UNTUK SPN DAN PUSDIK POLRI Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 17 18 Maret 2015 MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Juli Time Magazine, 21 September 2015, hal. 9.

BAB I PENDAHULUAN. Juli Time Magazine, 21 September 2015, hal. 9. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sejak tahun 2011 Suriah dilanda konflik yang berjalan berlarut-larut dan menimbulkan banyak korban. Keadaan ini memicu masyarakat Suriah mengungsi dari negaranya. Berdasarkan

Lebih terperinci

DAFTAR SINGKATAN. Intergovernmental Committee for European Migration. Intergovernmental Committee for Migration

DAFTAR SINGKATAN. Intergovernmental Committee for European Migration. Intergovernmental Committee for Migration vi DAFTAR SINGKATAN ICEM ICM IDP IGO IOM MCOF PICMME Intergovernmental Committee for European Migration Intergovernmental Committee for Migration Internally Displaced People Inter-Government Organization

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal BAB V KESIMPULAN Malaysia merupakan negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, sebagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, Malaysia merupakan salah satu pendiri organisasi di kawasan Asia Tenggara,

Lebih terperinci

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Oleh : K. Zulfan Andriansyah * Naskah diterima: 28 September 2015; disetujui: 07 Oktober 2015 Indonesia sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok

Lebih terperinci

JURNAL. ( Studi Kasus Eks Pengungsi Timor Timur) Diajukan Oleh : MARIANUS WATUNGADHA

JURNAL. ( Studi Kasus Eks Pengungsi Timor Timur) Diajukan Oleh : MARIANUS WATUNGADHA JURNAL STATUS KEWARGANEGARAAN MASYARAKAT YANG BERDOMISILI DI KAWASAN PERBATASAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR LESTE KHUSUSNYA YANG BERDOMISILI DI WILAYAH KABUPATEN BELU ( Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi ekonomi bagi seluruh bangsa di dunia adalah fakta sejarah yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan ASEAN. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan yang diakibatkan oleh peperangan. dengan Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan yang diakibatkan oleh peperangan. dengan Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pengungsi bukanlah isu yang baru, baik bagi negara Indonesia maupun masyarakat internasional. Masalah pengungsi ini semakin mengemuka seiring terjadinya

Lebih terperinci

Signifikasi Kawasan Asia Pasifik. Yesi Marince, S.Ip., M.Si

Signifikasi Kawasan Asia Pasifik. Yesi Marince, S.Ip., M.Si Signifikasi Kawasan Asia Pasifik Yesi Marince, S.Ip., M.Si A NEW WORLD AND ASIA PACIFIC ORDER Bagaimana Berakhirnya Perang Dingin mempengaruhi kawasan Asia Pasifik? 1. Alasan pelaksanaan containment policy

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. memiliki beberapa kesimpulan terkait dengan fokus penelitian.

BAB V PENUTUP. memiliki beberapa kesimpulan terkait dengan fokus penelitian. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Meskipun dalam penelitian ini masih terdapat beberapa kekurangan informasi terkait permasalahan pengungsi karena keterbatasan peneliti dalam menemukan data-data yang terkait

Lebih terperinci

PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. Jun Justinar

PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. Jun Justinar PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA Jun Justinar Abstrak Dari sudut pandang negara penerima, pengungsian merupakan masalah kemanusiaan yang dapat berdampak pada bidang keamanan, ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Omet Rasyidi, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Omet Rasyidi, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Vietnam merupakan salah satu negara yang ada di Asia Tenggara yang memiliki sejarah panjang dalam usaha meraih dan mempertahankan kemerdekaannya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun 1980. Globalisasi selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak yang mengkhawatirkan bagi negara yang

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Budi, Winarno, (2001), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Bentang Pustaka.

DAFTAR PUSTAKA. Budi, Winarno, (2001), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Bentang Pustaka. 91 DAFTAR PUSTAKA Buku: Ali, Mahrus dan Bayu Aji Pramono, (2011), Perdagangan Orang : Dimensi, Instrumen Internasional dan Pengaturannya Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti. Budi, Winarno, (2001),

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai BAB V PENUTUP Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai hubungan antara kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah dengan persepsi Amerika Serikat, yang

Lebih terperinci

AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL. Pengantar Hubungan Internasional FISIP UMJ 2017

AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL. Pengantar Hubungan Internasional FISIP UMJ 2017 AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Pengantar Hubungan Internasional FISIP UMJ 2017 STATE Miriam Budiardjo: Negara sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan

Lebih terperinci

A. DASAR HUKUM JERMAN DALAM MENYUSUN KEBIJAKAN MENGENAI PENGUNGSI

A. DASAR HUKUM JERMAN DALAM MENYUSUN KEBIJAKAN MENGENAI PENGUNGSI BAB III KEBIJAKAN JERMAN TERHADAP PENGUNGSI DI EROPA Pada bab III akan dijelaskan mengenai kebijakan Jerman terhadap masalah pengungsi. Bab ini akan diawali dengan penjelasan mengenai aturanaturan apa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau dalam bahasa

Lebih terperinci

UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA)

UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA) UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA) SKRIPSI oleh Satria Gunawan NIM 080910101030 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL

Lebih terperinci

JURNAL PERANAN UNHCR TERHADAP PERLINDUNGAN PENGUNGSI ROHINGYA DI ACEH INDONESIA

JURNAL PERANAN UNHCR TERHADAP PERLINDUNGAN PENGUNGSI ROHINGYA DI ACEH INDONESIA JURNAL PERANAN UNHCR TERHADAP PERLINDUNGAN PENGUNGSI ROHINGYA DI ACEH INDONESIA Diajukan Oleh: Ni Made Maha Putri Paramitha NPM : 120510952 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Hukum tentang

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM Sebelum PD I studi Hubungan Internasional lebih banyak berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional Setelah PD I mulai ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mesir, Libya, Bahrain, Yaman, Irak, dan Suriah. 1

BAB I PENDAHULUAN. Mesir, Libya, Bahrain, Yaman, Irak, dan Suriah. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi suatu fenomena revolusi di Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain, Yaman, Irak, dan Suriah. 1 Fenomena revolusi yang

Lebih terperinci

Pendahuluan. Utama, Jakarta, 2000, p Hadi, dkk., pp

Pendahuluan. Utama, Jakarta, 2000, p Hadi, dkk., pp Pendahuluan Timor Timur berada di bawah penjajahan Portugal selama lebih dari empat abad sebelum akhirnya Revolusi Anyelir di tahun 1974 membuka jalan bagi kemerdekaan negaranegara koloninya. Setelah keluarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerjasama ASEAN telah dimulai ketika Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina pada tahun 1967. Sejak saat

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dengan dinamika kebijakan politik luar negeri yang dinamis. Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Amerika Serikat disesuaikan dengan isu

Lebih terperinci

F-IL PERIHAL PENANGANAN TERHADAP ORANG ASING YANG MENYATAKAN DIRI SEBAGAI PENCARI SUAKA ATAU PENGUNGSI

F-IL PERIHAL PENANGANAN TERHADAP ORANG ASING YANG MENYATAKAN DIRI SEBAGAI PENCARI SUAKA ATAU PENGUNGSI JURNAL PELAKSANAAN OPERASI KOMANDO TUGAS (KOGAS) KEMANUSIAAN GALANG 96 DALAM RANGKA PEMULANGAN PENCARI SUAKA ASAL VIETNAM TAHUN 1996 DI PULAU GALANG DITINJAU DARI SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL IMIGRASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. <http://www.japantimes.co.jp/news/2013/06/01/world/the-evolution-of-ticad-since-its-inception-in-1993/>, diakses 16 Juni 2016.

BAB I PENDAHULUAN. <http://www.japantimes.co.jp/news/2013/06/01/world/the-evolution-of-ticad-since-its-inception-in-1993/>, diakses 16 Juni 2016. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak kebijakan ODA Jepang mulai dijalankan pada tahun 1954 1, ODA pertama kali diberikan kepada benua Asia (khususnya Asia Tenggara) berupa pembayaran kerusakan akibat

Lebih terperinci

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI Organisasi internasional atau lembaga internasional memiliki peran sebagai pengatur pengungsi. Eksistensi lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri tercepat dan terbesar yang menggerakkan perekonomian. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. industri tercepat dan terbesar yang menggerakkan perekonomian. Menurut World BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Selama beberapa dekade terakhir, pariwisata telah mengalami perkembangan dan perubahan yang membuat pariwisata menjadi salah satu industri tercepat dan terbesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memperoleh status kewarganegaraan merupakan hak setiap individu,

BAB I PENDAHULUAN. Memperoleh status kewarganegaraan merupakan hak setiap individu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memperoleh status kewarganegaraan merupakan hak setiap individu, sebagaimana yang termaktub dalam Universal Declaration of Human Rights 1948. 9 Sehingga secara teoritik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian New Zealand merupakan negara persemakmuran dari negara Inggris yang selama Perang Dunia I (PD I) maupun Perang Dunia II (PD II) selalu berada di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi Migrasi Pengungsi Rohingya di Aceh tahun

Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi Migrasi Pengungsi Rohingya di Aceh tahun Indonesian Perspective, Vol. 2, No. 1 (Januari-Juni 2017): 1-17 Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi Migrasi Pengungsi Rohingya di Aceh tahun 2012-2015 Hardi Alunaza S.D M. Kholit Juani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, Persaingan Usaha, Kebijakan, Harmonisasi.

Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, Persaingan Usaha, Kebijakan, Harmonisasi. 1 HARMONISASI KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Oleh I Gusti Ayu Agung Ratih Maha Iswari Dwija Putri Ida Bagus Wyasa Putra Ida Bagus Erwin Ranawijaya Program Kekhususan Hukum Internasional,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni.

DAFTAR PUSTAKA. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni. DAFTAR PUSTAKA Buku, 2005, Pengenalan Tentang Perlindungan Internasional (Melindungi Orang-orang yang Menjadi Perhatian UNHCR) Modul Pembelajaran Mandiri, Geneva: Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi.

Lebih terperinci

ENVIRONMENT CHANGE, SECURITY & CONFLICT

ENVIRONMENT CHANGE, SECURITY & CONFLICT ENVIRONMENT CHANGE, SECURITY & CONFLICT Isu Lingkungan = Perluasan Konsep Keamanan? By: Dewi Triwahyuni 1 Isu Lingkungan = Perluasan Konsep Keamanan? Sejak 1920an, adanya pergerakan negara totaliter di

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya. Konflik etnis merupakan salah satu permasalahan yang masih terjadi

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya. Konflik etnis merupakan salah satu permasalahan yang masih terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pecahnya Uni Soviet telah meninggalkan berbagai permasalahan dibekas wilayahnya. Konflik etnis merupakan salah satu permasalahan yang masih terjadi pasca jatuhnya

Lebih terperinci

INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA

INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA by: Dewi Triwahyuni INTERNATIONAL RELATIONS DEPARTMENT COMPUTER UNIVERSITY OF INDONESIA (UNIKOM) BANDUNG 2013 1 SOUTHEAST ASIA (SEA) 2 POSISI GEOGRAFIS

Lebih terperinci

Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial

Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial Ringkasan terjemahan laporan Persons with Disabilities in Indonesia: Empirical Facts and Implications for Social Protection Policies (Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aliran masuk remitansi (remittance inflow) global telah mengalami pertumbuhan pesat

BAB I PENDAHULUAN. Aliran masuk remitansi (remittance inflow) global telah mengalami pertumbuhan pesat Total inflow (Miliar Dolar AS) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aliran masuk remitansi (remittance inflow) global telah mengalami pertumbuhan pesat sejak memasuki era 1990-an. Pertumbuhan remitansi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia terletak di benua Asia, tepatnya di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang terletak di kawasan ini memiliki sebuah perhimpunan yang disebut dengan ASEAN (Assosiation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah organisasi internasional yang paling terkenal saat ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah organisasi internasional yang paling terkenal saat ini adalah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebuah organisasi internasional yang paling terkenal saat ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat ini PBB memiliki anggota hampir seluruh negara di dunia.

Lebih terperinci

UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA)

UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA) UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA) SKRIPSI oleh Satria Gunawan NIM 080910101030 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL

Lebih terperinci

Dalam dua dekade terakhir, tren jumlah negara yang melakukan eksekusi hukuman mati menurun

Dalam dua dekade terakhir, tren jumlah negara yang melakukan eksekusi hukuman mati menurun Konferensi Pers SETARA Institute Temuan Pokok Riset tentang Pemetaan Implikasi Politik Eksekusi Mati pada Hubungan Internasional Indonesia Jakarta, April 2015-04- Dalam dua dekade terakhir, tren jumlah

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin BAB IV KESIMPULAN Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin memiliki implikasi bagi kebijakan luar negeri India. Perubahan tersebut memiliki implikasi bagi India baik pada

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat berlangsungnya Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur, Vietnam ikut terlibat dalam Perang Vietnam melawan Amerika Serikat (AS). Blok barat

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA RUU KEAMANAN NASIONAL. Oleh: Al Araf

PROBLEMATIKA RUU KEAMANAN NASIONAL. Oleh: Al Araf PROBLEMATIKA RUU KEAMANAN NASIONAL Oleh: Al Araf WHAT IS SECURITY? 1. Security = Securus (Latin) = terbebas dari bahaya, terbebas dari ketakutan, terbebas dari ancaman. 2. Dua Pendekatan: a) Traditional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi suatu negara ke dalam kawasan integrasi ekonomi telah menarik perhatian banyak negara, terutama setelah Perang Dunia II dan menjadi semakin penting sejak tahun

Lebih terperinci

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Hendra Wijayanto PERTANYAAN Apa yang dimaksud government? Apa yang dimaksud governance? SEJARAH IDE GOVERNANCE Tahap 1 Transformasi government sepanjang

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika : Jakarta Timur,

DAFTAR PUSTAKA. Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika : Jakarta Timur, DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika : Jakarta Timur, Hamid, Sulaiman, 2002, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional,PT Rajagrapindo Persada: Jakarta. Achmad,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signifikan terhadap perkembangan penetapan hukum di dunia ini, dimana

BAB I PENDAHULUAN. signifikan terhadap perkembangan penetapan hukum di dunia ini, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Serangan 11 September pada tahun 2001 telah memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan penetapan hukum di dunia ini, dimana serangan teroris tertentu telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti terjadi penurunan ancaman dari luar yang akan dihadapi oleh banyak Negara

BAB I PENDAHULUAN. berarti terjadi penurunan ancaman dari luar yang akan dihadapi oleh banyak Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berakhirnya perang dingin yang diiringi menyebarnya demokratisasi juga berarti terjadi penurunan ancaman dari luar yang akan dihadapi oleh banyak Negara di dunia.

Lebih terperinci

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar. Tiga Gelombang Demokrasi Demokrasi modern ditandai dengan adanya perubahan pada bidang politik (perubahan dalam hubungan kekuasaan) dan bidang ekonomi (perubahan hubungan dalam perdagangan). Ciriciri utama

Lebih terperinci

GROWTH AND RESILIENCY: THE ASEAN STORY. (Nugraha Adi) I. Latar Belakang

GROWTH AND RESILIENCY: THE ASEAN STORY. (Nugraha Adi) I. Latar Belakang GROWTH AND RESILIENCY: THE ASEAN STORY (Catatan Pertemuan the 8 th ASEAN Finance Ministers Investor Seminar (AFMIS), 8 November 2011, Jakarta I. Latar Belakang (Nugraha Adi) Kawasan ASEAN telah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan sebuah organisasi geo-politik dan ekonomi dari negara-negara yang berada dalam kawasan Asia Tenggara.

Lebih terperinci

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN Dewi Triwahyuni International Relation Department, UNIKOM 2013 Backgroud History 1950an 1980an Hubungan internasional di Asia Tenggara pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengacu pada tulisan-tulisan yang berkaitan dengan peran organisasi internasional dalam peacebuilding.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Pertama

BAB V PENUTUP Pertama BAB V PENUTUP Tesis ini adalah media sosial sebagai strategi gerakan dalam konteks demokrasi. Peneliti memandang media sosial dengan cara pandang teknorealis. Artinya, media sosial bagai pedang bermata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis finansial yang menimpa kawasan Asia Timur pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Krisis finansial yang menimpa kawasan Asia Timur pada tahun BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Krisis finansial yang menimpa kawasan Asia Timur pada tahun 1997 1998 bermula di Thailand, menyebar ke hampir seluruh ASEAN dan turut dirasakan juga oleh Korea Selatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang cukup menjadi perhatian besar bagi umat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang cukup menjadi perhatian besar bagi umat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa sekarang, permasalahan perubahan iklim dianggap sebagai suatu masalah yang cukup menjadi perhatian besar bagi umat manusia, dimana perkembangan perubahan iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negera besar dengan posisi strategis tepat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negera besar dengan posisi strategis tepat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negera besar dengan posisi strategis tepat di silang lalu lintas dunia. Letak geografis tersebut menyebabkan kini menghadapi masalah besar

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. negara lain. Hak tersebut dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan

Bab I. Pendahuluan. negara lain. Hak tersebut dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Dalam dunia internasional, setiap individu yang mengalami ketakukatan maupun penyiksaan yang disebabkan oleh konflik atau perang serta ketidakadilan di negara asalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

Sekuritisasi Migrasi Paksa Pengungsi Lintas- Batas di Indonesia

Sekuritisasi Migrasi Paksa Pengungsi Lintas- Batas di Indonesia Seminar 43 Nasional Nurul Hukum Azizah Zayda Universitas Negeri Semarang Volume 3 Nomor 1 Tahun 2017, 43-54 Fakultas Hukum, Faculty of Law Sekuritisasi Migrasi Paksa Pengungsi Lintas- Batas di Indonesia

Lebih terperinci

BONUS DEMOGRAFI SEBAGAI ANCAMAN KONFLIK. Disusun sebagai Karya Esai Kritis Limas Oleh: Elsa Safira Hestriana Ilmu Hubungan Internasional 2013

BONUS DEMOGRAFI SEBAGAI ANCAMAN KONFLIK. Disusun sebagai Karya Esai Kritis Limas Oleh: Elsa Safira Hestriana Ilmu Hubungan Internasional 2013 BONUS DEMOGRAFI SEBAGAI ANCAMAN KONFLIK Disusun sebagai Karya Esai Kritis Limas 2015 Oleh: Elsa Safira Hestriana Ilmu Hubungan Internasional 2013 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU PUITIK UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal,

BAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara negara dunia pasca perang dunia II gencar melaksanakan pembangunan guna memperbaiki perekonomian negaranya yang hancur serta memajukan kesejahteraan penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang masalah Negara mempunyai tugas untuk melindungi segenap warga negaranya, hal itu tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditambah dengan isi Pancasila pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini disahkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini disahkan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Organisasi Regional di Asia Tenggara dimulai dari inisiatif pemerintah di lima negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci