BAB I Pendahuluan. dapat bertahan hidup. UNHCR mencatat di awal tahun 2015, sekitar 59,5 juta orang.
|
|
- Sugiarto Darmadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Tahun 2014 diwarnai dengan peristiwa global yang sering disebut sebagai krisis pengungsi global. Tercatat, jutaan orang terpaksa meninggalkan tempat asalnya agar dapat bertahan hidup. UNHCR mencatat di awal tahun 2015, sekitar 59,5 juta orang. Dari jumlah ini, 19,5 juta berstatus sebagai pengungsi, 1.8 juta berstatus sebagai pencari suaka, dan 38,2 berstatus sebagai internally displaced people (IDP) (UNHCR 2015). Negara berkembang, termasuk Indonesia, memegang peranan penting dalam krisis pengungsi global, yaitu dengan menampung 86% dari jumlah pengungsi. Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika politik global, kondisi domestik dituntut untuk responsif terhadap perubahan internasional. Dalam krisis pengungsi global, Indonesia berposisi sebagai negara transit yang menghubungkan negara asal pengungsi dan negara tujuan. Posisi ini sangat signifikan bagi negara Asia Pasifik, terutama Australia, sehingga Indonesia disebut sebagai quintessential transit country (Hugo, Tan, and Napitupulu 2014). Secara geografis, Indonesia menghubungkan Australia dengan Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Sebagai negara kepulauan, kondisi Indonesia memudahkan pengungsi untuk menjadikan 6
2 Indonesia sebagai batu loncatan. Hal ini berdampak pada banyaknya pengungsi yang memilih Indonesia sebagai rute perjalanan. Diagram 1.1: Rute Migrasi Pengungsi Sumber: IOM Fact and Figures 2015 Peranan ini membuat Indonesia banyak dilalui oleh pengungsi sehingga meningkatkan jumlah pengungsi yang berada di Indonesia. Peningkatan pengungsi di Indonesia cukup signifikan, tercatat jumlah pengungsi naik hingga 30% dari tahun 2014 menuju Di tahun selanjutnya, tren peningkatan masih terjadi dan tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Tabel 1.1 Jumlah Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia Tahun Pengungsi Pencari Suaka Total ,386 8,039 14, ,590 7,248 13, ,277 7,911 13, ,830 6,286 10,116 7
3 2013 2,078 8,262 10,340 Sumber: UNHCR Yearly Report Meningkatnya jumlah pengungsi dan peran penting Indonesia sebagai negara transit tidak diikuti dengan kebijakan yang komprehensif dalam penanganan pengungsi. Berakar dari keputusan Indonesia untuk tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951, Indonesia tidak terikat dalam keharusan untuk mengakomodasi pengungsi. UNHCR dan IOM kemudian mengisi kekosongan peran Indonesia dalam mengakomodasi kebutuhan pengungsi yang berada di Indonesia. Keberadaan pengungsi di Indonesia mulai mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Indonesia, diawali dari Bali Process; Indonesia dan Australia menyepakati bahwa keberadaan pengungsi beresiko menimbulkan kejahatan transnasional yang berupa penyelundupan manusia. Kesepakatan ini diimplementasikan secara domestik melalui penanganan pengungsi yang lebih terfokus pada upaya untuk membatasi pergerakan pengungsi untuk mencegah tindak penyelundupan manusia. Kebijakan ini tidak diikuti dengan aspek penanganan pengungsi yang lain, seperti akomodasi, penyelamatan, dan penempatan kembali. Dampaknya adalah kondisi di Indonesia disebut Duston sebagai legal vacuum dalam penanganan pengungsi di Indonesia (insideindonesia.org 2017). Titik balik penanganan pengungsi di era Presiden Joko Widodo terjadi pada saat pengungsi Rohingya masuk ke Indonesia pada bulan Mei Perahu pertama masuk perairan Indonesia pada 10 Mei 2015 dengan membawa 578 orang pengungsi dari Rohingya dan Bangladesh. Masyarakat Aceh kemudian tergerak untuk menolong pengungsi tersebut dengan cara membawa mereka ke darat dan memberikan tempat 8
4 tinggal sementara di Lhokseumawe. Dalam beberapa hari selanjutnya, jumlah pengungsi yang masuk semakin meningkat, sehingga Angkatan Laut Indonesia merasa perlu untuk mengambil tindakan darurat untuk mencegah masuknya pengungsi. Beberapa kapal yang ditemukan oleh AL Indonesia ditarik kembali ke luar wilayah Indonesia. Akan tetapi, tindakan ini justru memicu protes dari masyarakat dan elit politik Indonesia. Tindakan AL dinilai tidak manusiawi, dan tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Isu ini bergulir menjadi isu politik, DPR Indonesia misalnya, mengangkat masalah ini ke dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 18 Mei Tekanan ini kemudian membuat sikap pemerintah Indonesia melunak, yakni dengan memperbolehkan pengungsi Rohingya untuk masuk ke wilayah Indonesia. Hal tersebut menunjukkan sikap tegas pemerintah Indonesia tidak sejalan dengan solidaritas masyarakat kepada pengungsi. Titik balik selanjutnya adalah pengesahan Peraturan Presiden No. 125 tahun Perpres ini merupakan terobosan besar dalam penanganan pengungsi di Indonesia. Poin penting dari Perpres ini adalah pengakuan negara terhadap status pengungsi, hal yang selama ini hanya dilakukan melalui surat edaran yang diberlakukan oleh Direktorat Jendral Imigrasi. Dengan ini pengakuan status pengungsi berlaku secara lintas institusi di bawah Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, perpres ini tidak serta merta membuat Indonesia lebih terbuka terhadap pengungsi, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah mengangkat pengungsi sebagai isu lintas instrusi, yang melibatkan Kementrian Luar Negeri, Kementrian Politik Hukum dan Keamanan, Kementrian Sosial, Kementrian Hukum dan HAM, Polisi, Militer, dan Pemerintah Daerah. Dengan kata lain, kebijakan ini merupakan penanganan pengugsi yang 9
5 dilakukan secara lebih kompreshensif. Berbeda dengan penanganan pengungsi di era sebelumnya, kebijakan ini tidak hanya terfokus pada aspek penyelundupan manusia akibat keberadaan pengungsi saja, namun juga meliputi aspek penemuan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan keimigrasian. Dari dua titik balik tersebut, terdapat kaitan yang hilang yakni solidaritas masyarakat terhadap pengungsi tidak berujung pada keterbukaan kebijakan Indonesia terhadap pengungsi. Pemerintah justru mengambil kebijakan yang komprehensif untuk menangani pengungsi. Di satu sisi pemerintah memberikan perlindungan yang selama ini tidak dicakup dalam regulasi pengungsi, namun di sisi lain pemerintah mengangkat pengungsi sebagai permasalahan politik. Kaitan antara kedua kejadian tersebut dapat dijelaskan melalui pendekatan sekuritisasi, yakni dengan melihat pengungsi bukan sebagai isu yang normal dalam proses birokrasi negara, namun sudah dipolitisasi, bahkan disekuritisasi oleh Pemerintah Indonesia. Bentuk sekuritisasi dalam penanganan pengungsi muncul dalam upaya pemerintah untuk meyakinkan masyarakat bahwa pengungsi adalah ancaman, sehingga perlu diambil tindakan eksepsional untuk mengatasinya. Dampaknya adalah masyarakat menerima penggambaran pemerintah bahwa pengungsi adalah ancaman sehingga membuka jalan untuk proses legislasi kebijakan terhadap pengungsi. Tulisan ini akan membahas proses sekuritisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan melihat dari dua sisi, yaitu upaya pemerintah dalam mengkonstruksikan penanganan pengungsi sebagai ancaman dan upaya pemerintah dalam melegislasi dan mengimplementasikan kebijakan penanganan pengungsi. Konstruksi ancaman dan kebijakan dikaji sebagai bagian yang saling terkait dalam 10
6 proses sekuritisasi. Proses sekuritisasi terfokus pada masyarakat sebagai Audience, yang berusaha untuk diyakinkan pemerintah sebagai Securitizing actor, dalam melihat pengungsi sebagai referent object yang memiliki potensi ancaman. 1.2 Rumusan Masalah Penulis melihat adanya indikasi dalam proses sekuritisasi dalam penanganan pengungsi di Indonesia, yang terlihat dari konstruksi ancaman dan perubahan kebijakan. Dari indikasi tersebut penulis mengajukan rumusan masalah berupa: Bagaimana proses sekuritisasi dalam penanganan pengungsi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia? 1.3 Tinjauan Literatur Sekuritisasi Dalam Konteks Asia Tenggara dan Asia Pasifik Indonesia terletak dalam dua kawasan sekaligus, yakni di Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Proses sekuritisasi di kedua kawasan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada politik domestik di Indonesia. Dalam penelitian ini, penelitian sekuritisasi terdahulu digunakan untuk menentukan konteks politik kawasan yang berlaku dalam proses sekuritisasi di Indonesia. Kecenderungan sekuritisasi ini muncul dalam kebijakan Australia dalam menangani pengungsi yang masuk ke Australia secara ilegal, atau yang sering disebut sebagai manusia perahu. Penelitian Hyndman menunjukkan bahwa kecenderungan sekuritisasi di Australia muncul dari tradisi politik (Hyndman dan Mountz 2008). Sekuritisasi ini berakar dari kebijakan era PM John Howard dan masih diterapkan di era Julia Gillard. Kebijakan ini muncul dalam bentuk penggambaran potensi ancaman yang dibawa oleh pengungsi terhadap nilai-nilai masyarakat Australia. Keberadaan pengungsi di tengah masyarakat dinilai akan menimbulkan gesekan sosial. Hal ini 11
7 diikuti PM Julia Gillard dengan menggunakan sekuritisasi dalam jargon politik berupa border protection, stronger borders dan border security dalam pernyataannya. Hal ini berdampak pada kebijakan untuk menangkal masuknya pengungsi dengan melakukan memberlakukan kebijakan penghentian perahu dan offshore processing (McDonald 2011, 292). Sejalan dengan hal ini, penelitian dari Kneebone menunjukkan bahwa kebijakan sekuritisasi Australia berpengaruh pada implementasi kebijakan penanganan pengungsi di Indonesia (Kneebone 2017). Pada Tahun Australia berusaha memperluas kebijakan sekuritisasi penanganan pengungsi dari lingkup domestik menuju lingkup regional, caranya adalah dengan menjalin kerjasama dengan mitra strategis kawasan. Kerjasama ini berupa penandatanganan dua perjanjian yaitu Regional Cooperative Agreement dan Bali Process. Dua kerjasama ini kemudian diimplementasikan di dalam negeri Indonesia dengan peningkatan kapasitas detensi dan penguatan kapabilitas pengawasan pergerakan pengungsi. Penelitian dari May menunjukkan bahwa sekuritisasi dilakukan dalam isu migrasi oleh elit politik Malaysia dengan menggambarkan pekerja migran sebagai ancaman terhadap kondisi ekonomi sosial dan politik di Malaysia, sehingga diperlukan pembatasan terhadap pekerja migran ilegal. Sekuritisasi dilakukan oleh elit politik Malaysia melalui politik identitas, yaitu dengan membenturkan ideologi dan nilai-nilai bumiputera dengan stigma negatif terhadap pekerja migran dalam penggambaran negatif seperti ilegal dan indon (May 2015, 34). Dampak dari penggambaran negatif ini adalah terjadinya kebijakan yang membatasi pekerja migran yang dibungkus dalam jargon politik seperti Hire Indonesians Last.(May 2015, 37) 12
8 Sekuritisasi dilakukan dengan menggambarkan pekerja ilegal sebagai ancaman terhadap perekonomian Malaysia. Persaingan lapangan kerja digambarkan oleh elit politik Malaysia sebagai ancaman terhadap perekonomian masyarakat Malaysia. Penggambaran ini membuka jalan terhadap kebijakan yang lebih ketat untuk mengusir pekerja ilegal, yaitu melalui Operasi Nyah I dan II. Kebijakan ini kemudian diikuti dengan penyisiran yang dilakukan oleh Ikatan Relawan Rakyat (Rela) yang merupakan organisasi paramiliter yang disokong oleh negara. Tindakan penyisiran dan deportasi ini menimbulkan bentrok fisik, sehingga menimbulkan ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia. Dua penelitan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada di kawasan yang jamak melakukan sekuritisasi dalam isu migrasi. Baik negara di kawasan Asia Tenggara maupun Asia Pasifik melakukan sekuritisasi terhadap migrasi. Kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara tersebut membuat Indonesia mengimplementasikan kebijakan dengan pola yang kurang lebih sama terhadap pengungsi Pandangan Mengenai Sekuritisasi Terhadap Pengungsi Penggambaran pengungsi merupakan titik awal dalam proses sekuritisasi, yaitu dengan menggambarkan pengungsi sebagai ancaman, maka tindakan eksepsional dapat diambil. Penggambaran dilakukan dengan menghubungkan pengungsi dengan potensi ancaman yang ditimbulkan. Penelitian Innes menujukkan bahwa di Britania Raya, pengungsi digambarkan membawa potensi ancaman dalam aspek ancaman tradisional, ekonomi, dan identitas sosial.(innes 2010) Ancaman tradisonal dimaknai Innes sebagai ancaman fisik yang dapat ditimbulkan pengungsi kepada masyarakat ataupun negara. 13
9 Sedangkan ancaman ekonomi dimaknai persaingan sumber daya yang akan terpakai untuk memenuhi kebutuhan hidup pengungsi (subsistence security). Ancaman identitas sosial muncul dari perbedaan antara pengungsi dan masyarakat setempat yang berpotensi menimbulkan ketidakcocokan. Sejalan dengan Innes, Lee menggunakan indikator ancaman tersebut ke dalam konteks Indonesia. Lee membagi ancaman menjadi tiga, yaitu ancaman keamanan tradisional, ancaman ekonomi, dan acaman sosial.(lee 2015) Ancaman keamanan tradisional dalam konteks Indonesia meliputi: wilayah dan kedaulatan, keamanan transnasional (penyelundupan, narkoba, dan perdagangan manusia), pemalsuan dokumen, legalitas status pengungsi, pengungsi sebagai kriminal, dan terorisme. Ancaman selanjutnya adalah dalam bidang ekonomi, yang meliputi: beban negara, inflasi, kecemburuan masyarakat, dan permasalahan penanganan yang berkepanjangan. Aspek terakhir adalah ancaman sosial, yaitu identitas, agama, permasalahan sosial, dan gesekan dengan masyarakat. Tulisan dari Lee juga menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia melakukan sekuritisasi terhadap pengungsi melalui pernyataan yang disampaikan dalam media masa (Lee 2015). Lee membandingkan perbedaan perlakuan terhadap pengungsi dalam dua periode, yaitu gelombang pengungsi Indochina ( ) dan gelombang pengungsi baru ( ). Lee menyimpulkan bahwa penanganan pengungsi Indochina berada dalam tahap politisasi, sedangkan pengungsi baru berada dalam tahapan sekuritisasi. Pemerintah melakukan sekuritisasi melalui dua aktor dominan, yaitu Polri dan Dirjen Imigrasi. Kedua aktor tersebut banyak memberikan penggambaran negatif pengungsi di media masa, terutama melalui penyebutan 14
10 imigran gelap sehingga menjadi pengungsi mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Kesimpulan yang dapat diambil dari tinjauan literatur ini adalah tren sekuritisasi terjadi di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik, dan berdampak pada implementasi kebijakan terhadap pengungsi di Indonesia. Pengungsi dapat dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dari tiga aspek, yaitu ancaman keamanan tradisional, ekonomi, dan identitas sosial. 1.4 Kerangka Pemikiran Teori Sekuritisasi Tujuan utama dari penggunaan teori sekuritisasi adalah untuk menganalisis konstruksi pengungsi sebagai ancaman bagi masyarakat. Argumen utama dari sekuritisasi adalah perluasan terhadap pemaknaan keamanan, Buzan melihat bahwa keamanan tidak hanya dimaknai secara militeristik, melainkan dapat diperluas ke dalam lima sektor; yakni: militer, politik, ekonomi, lingkungan dan masyarakat (Buzan 1991). Asumsi dasar dari sekuritisasi adalah bahasa dapat digunakan untuk mengubah isu yang normal menjadi eksepsional (Buzan, Waever, & de Wilde 1998). Penggunaan bahasa tersebut bertujuan untuk melegitimasi tindakan eksepsional yang dilakukan dalam rangka merespon permasalahan keamanan. Dalam menganalisis konstruksi ancaman, sekuritisasi terlebih dahulu membagi isu tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu sebagai isu yang normal, terpolitisasi, dan tersekuritisasi. Pembagian ini didasarkan pada urgensi isu tersebut, yang diindikasikan melalui sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam merespon isu tersebut. Semakin dalam pemerintah terlibat, maka semakin isu tersebut akan semakin tersekuritisasi. 15
11 Dengan kata lain, politisasi yang ekstrem oleh pemerintah terhadap penanganan pengungsi mengindikasikan terjadinya sekuritisasi. Fitur sentral dari teori sekuritisasi terletak pada konsep speech act, yaitu ujaran yang ditujukan untuk mengkonstruksi ancaman. Ancaman ini didefinisikan Buzan sebagai a point of no return and present a solution ; dengan kata lain speech act mengimplikasikan urgensi, bahwa harus ada tindakan yang diambil untuk merespon ancaman. (Buzan, Waever, & de Wilde 1998, 33). Proses ini dimungkinkan karena menurut teori sekuritisasi, ancaman tidaklah statis, melainkan dinamis karena merupakan hasil dari kesepakatan intersubyektif antara pemerintah dan masyarakat yang terbangun melalui interaksi sosial. Dampaknya adalah semua pihak dapat mengangkat isu apapun sebagai permasalahan keamanan. Van Munster menunjukkan bahwa speech act terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu (a) adanya ancaman eksistensial dari pengungsi yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup (survival) host community. (b) Ancaman tersebut perlu ditangani oleh Pemerintah dengan tindakan eksepsional untuk menjamin kelangsungan hidup warga negara. (c) Kedua komponen tersebut saling menjustifikasi dan melegitimasi terjadinya peralihan dari prosedur yang normal (misal : demokratis) (van Munster 2005: 3, dalam Turner 2011, 107). Analisis sekuritisasi dilakukan dengan memetakan dinamika penanganan pengungsi ke dalam hubungan antar unit sekuritisasi. Sekuritisasi dapat dibagi menajdi securitizing actor, referent object, dan audience (Buzan, Waever, & de Wilde, 1998, 21-23). Securitizing actor didefinisikan sebagai pihak yang melakukan speech act. Dalam konteks penanganan pengungsi, pemerintah memiliki otoritas sekaligus 16
12 legitimasi dalam menyampaikan potensi ancaman kepada masyarakat. Secara spesifik, penelitian ini menempatkan Pemerintah yang diwakili Presiden, Menteri, Militer, Polisi, Kepala Daerah, dan Birokrat sebagai Securitizing actor. Referent object merupakan pihak yang perlu dilindungi akibat ancaman yang muncul penanganan pengungsi. Secara luas, referent object dapat dimaknai sebagai semua hal yang terancam akibat keberadaan pengungsi, contohnya adalah kedaulatan, identitas, dan ikatan sosial. Penelitian ini mengkhususkan pada masyarakat sekitar tempat penampungan pengungsi sebagai pihak yang paling terancam (host commmunity). Pengkhususan ini ditujukan untuk memberikan gambaran yang konkret mengenai dampak dari konstruksi ancaman. Poin selanjutnya dari sekuritisasi terletak pada audience, karena kesuksesan sekuritisasi ditentukan dari penerimaan ancaman oleh audience. Penelitian ini menempatkan masyarakat Indonesia secara luas sebagai audience, karena kebijakan penanganan pengungsi merupakan kebijakan yang berlaku secara domestik. Penerimaan audience atas adanya ancaman dari penanganan pengungsi berdampak pada legitimasi untuk mengangkat masalah penanganan pengungsi ke dalam agenda keamanan. Sebagai sebuah proses, sekuritisasi merupakan dinamika yang tercipta dari interaksi antara securitizing actor dan audience. Secara garis besar proses sekuritisasi ditandai dari dua fenomena, yakni terbangunnya ancaman yang diikuti dengan pengesahan kebijakan eksepsional. Secara lebih rinci, Sjöstedt menggambarkan interaksi tersebut ke dalam empat tahapan (Sjöstedt 2017). Tahap pertama adalah mengkonstruksikan ancaman, yakni dengan mengaitkan pengungsi dengan ancaman sesuai dengan konteks yang berlaku Indonesia. Kedua, menyampaikan penggambaran 17
13 pengungsi sebagai ancaman kepada audience. Ketiga, mengukur sejauhmana penggambaran pengungsi dapat diterima oleh masyarakat. Keempat, mengesahkan kebijakan sebagai respon atas ancaman tersebut. Tahapan tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut: Diagram 1.2: Proses Sekuritisasi Sumber: Oxford References Keempat tahapan tersebut menunjukkan kaitan antara kebijakan yang eksepsional dan speech act. Yakni speech act memberikan legitimasi terhadap kebijakan eksepsional, sehingga kebijakan tersebut lebih mudah untuk diterima masyarakat. Kesuksesan sekuritisasi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu audience centered, context dependent, dan power-laden (Balzacq 2005). Pertama sekuritisasi harus mengetengahkan audience, yakni penerimaan masyarakat Indonesia terhadap penggambaran ancaman yang dilakukan oleh pemerintah. Cara ini dapat ditempuh melalui faktor kedua, yakni penggambaran ancaman harus menyesuaikan diri dengan konteks yang berlaku di Indonesia. Pemerintah tidak dapat menetapkan segala jenis isu 18
14 sebagai ancaman, melainkan harus selektif dalam menentukan isu, tergantung pada konteks yang berlaku di masyarakat. Terakhir, Pemerintah menggunakan relasi kuasa dalam proses sekuritisasi, yaitu dalam argumen pemerintah memiliki pengaruh yang lebih kuat daripada masyarakat. Keseluruhan dari proses ini bersifat self referential, yakni pemerintah berperan dalam menentukan hal apa saja yang menjadi ancaman dan bagaimana dampak dari ancaman tersebut. Ketiga faktor tersebut menjadi pertimbangan utama dalam proses sekuritisasi yang dilakukan oleh pemerintah, Konstruksi Pengungsi Sebagai Ancaman Indikasi sekuritisasi ditunjukkan dengan upaya speech act yang dilakukan oleh pemerintah sebagai securitizing actor. Speech act ini meliputi pernyataan yang merujuk kepada ancaman eksistensial, survival of referent object, dan ajakan untuk segera mengambil tindakan. Ketiga hal ini menjadi indikasi kuat atas berjalannya proses sekuritisasi. Buzan berpendapat bahwa konstruksi ancaman harus berupa ancaman eksistensial, yakni ancaman yang menyangkut hidup matinya masyarakat, terutama host community. Akan tetapi konstruksi ini juga tidak dapat mengambil bentuk yang terlalu ekstrim, karena harus menghasilkan felicity condition yang menjamin penerimaan masyarakat terhadap isu tersebut. Dengan kata lain, isu pengungsi dapat digambarkan sebagai ancaman melalui berbagai macam cara, akan tetapi kesuksesan sekuritisasi bergantung pada pengadaptasian konstruksi ancaman dengan kondisi yang berlaku di masyarakat Penulis melihat bahwa konstruksi ancaman yang diambil pemerintah mengambil jalan tengah dengan menyesuaikan konteks yang berlaku di Indonesia. Konteks tersebut adalah posisi Indonesia dalam tatanan regim pengungsi global, yakni 19
15 sebagai sebagai negara transit. Pola konstruksi ancaman yang umum dilakukan dalam menggambarkan pengungsi adalah mengaitkan pengungsi dengan resiko yang mungkin ditimbulkan dari masuknya pengungsi. Penulis melihat bahwa di Indonesia, resiko yang muncul terkait dengan karakteristik sebagai negara transit yang pada akhirnya tercermin dari konstruksi ancaman. Karakteristik tersebut antara lain: fitur geografi yang memudahkan masuknya pengungsi; legislasi yang kurang dan lemahnya penegakkan hukum; kurangnya pengawasan imigrasi; dan banyaknya gembong kriminal yang memfasilitasi masuknya pengungsi (Perrin 2010). Penulis mengambil kesimpulan bahwa konstuksi ancaman dari pengungsi harus disesuakan dengan karakteristik Indonesia sebagai negara transit. Pemetaan yang dilakukan oleh Innes cukup membantu untuk mengkaji konstruksi ancaman terdahap isu penanganan pengungsi di Indonesia. Innes berpendapat bahwa ancaman dari pengungsi dapat muncul dari aspek ancaman tradisional/fisik, ekonomi, dan identitas. Lee kemudian mengembangkan ancaman tersebut dalam konteks Indonesia, yakni dengan memperhatikan dua faktor penting yakni konstruksi hukum terhadap status pengungsi di Indonesia, dan keterlibatan Indonesia dalam mengakomodasi kebutuhan pengungsi. Pemetaan tersebut merupakan perluasan dari konsep survival yang menjadi fitur sentral dalam sekuritisasi. Survival tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai keselamatan fisik host community saja, namun juga pada kelangsungan hidup masyarakat dalam bidang ekonomi dan identitas sosial. Innes menjabarkan pemaknaan survival dalam bentuk keselamatan fisik dengan melihat bahwa keberadaan pengungsi di tengah host community berpotensi menimbulkan konflik yang berdampak pada 20
16 keselamatan fisik host community. Hal hal seperti tindak kriminal dan bentrok fisik berpotensi mengancam keselamatan fisik masyarakat. Definisi survival juga diperluas dalam bidang ekonomi, yakni dengan melihat bahwa pengungsi secara tidak langsung mengancam kelangsungan hidup masyarakat dalam bidang ekonomi. Perluasan ini dijabarkan melalui konsep subsistence yakni dengan melihat bahwa host community dan pengungsi bersaing dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas. Bentuk konkret dari sumber daya ini adalah bantuan ekonomi dari pemerintah. Keberadaan pengungsi dikonstruksikan akan mengurangi bantuan dari pemerintah, terutama untuk kalangan host community yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Perluasan konsep survival selanjutnya terjadi dalam aspek identitas sosial, yakni keberadaan pengungsi berpotensi untuk mengubah tatanan sosial yang ada di masyarakat. Kompatibilitas identitas antara host community dan pengungsi menjadi pemicu terjadinya konflik yang ada di masyarakat. Survival muncul dalam bentuk bahwa identitas sosial host community tidak akan lagi sama akibat keberadaan pengungsi, oleh karena itu keberadaan pengungsi di tengah host community dipandang sebagai hal yang meresahkan. Dari uraian diatas, maka konstruksi pengungsi sebagai ancaman dalam konteks Indonesia dapat dipetakan ke dalam aspek keamanan tradisional, ekonomi, dan sosial (Innes 2010, 456). Ancaman keamanan tradisional dalam konteks Indonesia meliputi: wilayah dan kedaulatan, keamanan transnasional (penyelundupan, narkoba, dan perdagangan manusia), pemalsuan dokumen, legalitas status pengungsi, pengungsi sebagai kriminal, dan terorisme. Ancaman selanjutnya adalah dalam bidang ekonomi, yang meliputi: beban negara, inflasi, kecemburuan masyarakat, dan permasalahan 21
17 penanganan yang berkepanjangan. Sedangkan aspek terakhir adalah ancaman sosial, yaitu identitas, agama, permasalahan sosial, dan bentrokan dengan masyarakat (Lee 2015, 75 76) Kebijakan Eksepsional Dalam Penanganan Pengungsi. Proses selanjutnya adalah pembentukan kebijakan yang sifatnya eksepsional. Proses ini adalah kelanjutan dari keberhasilan pemerintah dalam meyakinkan masyarakat. Teori sekuritisasi menunjukkan bahwa penanganan pengungsi akan naik statusnya sebagai agenda sekuritisasi Pemerintah Indonesia. Indikasi dari hal ini adalah penggunaan cara-cara militer dalam penanganan pengungsi, yang muncul dalam bentuk pengetatan penjagaan perbatasan. Karakteristik selanjutnya adalah kebijakan yang mencerminkan peralihan dari kebiasaan normal kebijakan penanganan pengungsi. Peralihan tersebut bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur pengungsi di Indonesia. Dalam penelitian ini peralihan terjadi dalam kerangka hukum penanganan pengungsi yakni dari kondisi legal vacum menjadi kerangka hukum yang komprehensif. Watson memetakan kebijakan eksepsional ke dalam tiga kelompok kebijakan, yakni deter, detain dan deport. Deter adalah kebijakan yang bertujuan untuk menangkal masuknya pengungsi ke suatu negara. Kebijakan ini muncul dalam bentuk tindakan militer maupun kebijakan politik. Selanjutnya detain adalah kebijakan untuk membatasi pergerakan pengungsi. Kebijakan ini pada umumnya berupa kebijakan detensi 22
18 1.5 Hipotesis Penulis berpendapat bahwa penanganan pengungsi di Indonesia mengindikasikan terjadinya sekuritisasi. Proses sekuritisasi dijalankan dalam dua tahap, yakni pemerintah mengkontsruksi ancaman terhadap publik indonesia, yang dilanjutkan dengan penerapan kebijakan yang komprehensif yang mendandai peralihan dari kebijakan yang berlaku sebelumnya. Ancaman dikonstruksi melalui pengaitan pemaknaan pengungsi dengan aspek negatif pengungsi terhadap masyarakat. Konstruksi ancaman tersebut dapat diamati dari speech act Pemerintah Indonesia yang memaknai pengungsi secara negatif. Penulis berpendapat bahwa pemerintah akan memaknai pengungsi sebagai ancaman tradisional, ekonomi, dan identitas sosial. Proses selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengesahkan kebijakan eksepsional yang bertujuan untuk merespon ancaman tersebut. Penulis berpendapat bahwa kebijakan eksepsional dapat dikelompokkan menjadi deter, detain, dan deport. 1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan data-data yang diperoleh dari studi literatur untuk memperkuat argumen yang dibangun oleh penulis. Untuk mengamati kebijakan pemerintah, penulis mengambil teks yang berasal berkaitan dengan kebijakan penanganan tersebut. Teks tersebut berasal dari aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti Undang-Undang, Perpres, Peraturan Menteri, hingga peraturan yang berada dalam tingkat institusi. 23
19 Penelitian ini mentitikberatkan pada penggunaan bahasa yang digunakan oleh pemerintah dalam memaknai pengungsi sebagai ancaman. Data tersebut dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung oleh pemeritah. Secara langsung data yang digunakan berasal dari pidato resmi dari pemerintah dan elit politik lainya. Sedangkan secara langsung berasal dari penggunaan bahasa yang termediasi melalui media masa, yang meliputi pernyataan pemerintah, publik figur, ataupun elit politik, editorial, artikel dan opini, dan berita berupa liputan dan analisis. Selain itu, penulis juga memperluas cakupan literatur untuk digunakan dalam proses analisis data menggunakan data yang bersumber dari sumber literatur lain, seperti buku, jurnal dan artikel ilimiah, dan penelitian seperti thesis dan disertasi. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini dilakukan dengan sistematika sebagai berikut: Pada Bab I penulis menjabarkkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tinjauan literatur, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada Bab II, penulis menguraikan kebijakan penanganan pengungsi yang berlaku di Indonesia dalam era Presiden Joko Widodo. Bab ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan yang terjadi, yakni dengan membandingkan kondisi kebijakan di akhir 2014 dengan di awal Perubahan yang ditemukan penulis akan digunakan sebagai dasar argumen kebijakan eksepsional yang diambil oleh Pemerintah Indonesia. Bab III menekankan pada konstruksi ancaman oleh Pemerintah Indonesia dalam penanganan pengungsi. Tujuannya adalah menunjukan ancaman apa saja yang mendominasi konstruksi ancaman dalam penanganan pengungsi. Bab IV berisi analisis sekuritisasi yang menunjukkan bahwa ancaman digunakan untuk menjustifikasi kebjakan eksepsional 24
20 dalam penanganan pengungsi. Analisis dilakukan dengan melihat kaitan antara temuan di bab II dan III dengan menggunakan teori sekuritisasi. Bab ini berfungsi untuk menganalisis keberhasilan dan kesalahan Pemerintah Indonesia dalam proses sekuritisasi dalam penanganan pengungsi. Bab V berisi kesimpulan dan saran yang didasarkan pada temuan penelitian ini. 25
BAB I. Tenggara dengan luas wilayah sebesar km 2 serta terletak di posisi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan luas wilayah sebesar 1.904.569 km 2 serta terletak di posisi strategis yang diapit
Lebih terperinciBAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL
BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL Isu imigran ilegal yang terus mengalami kenaikan jumlah di Indonesia yang juga turut menimbulkan dampak tersendiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengungsi dan pencari suaka kerap kali menjadi topik permasalahan antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai mandat
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.368, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HUKUM. Luar Negeri. Pengungsi. Penanganan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam satu ruang, yaitu globus atau dunia. Pendapat ini mencoba menyampaikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang stabil dalam hal politik maupun ekonomi. Oleh sebab itu, para imigran yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Australia merupakan negara yang banyak dijadikan tujuan oleh para imigran dari berbagai negara untuk mendapatkan perlindungan dan memulai kehidupan baru yang lebih
Lebih terperinciRechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan
Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Oleh : K. Zulfan Andriansyah * Naskah diterima: 28 September 2015; disetujui: 07 Oktober 2015 Indonesia sejak
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA
Lebih terperinciKERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN
LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.
Lebih terperinciDAFTAR SINGKATAN. Intergovernmental Committee for European Migration. Intergovernmental Committee for Migration
vi DAFTAR SINGKATAN ICEM ICM IDP IGO IOM MCOF PICMME Intergovernmental Committee for European Migration Intergovernmental Committee for Migration Internally Displaced People Inter-Government Organization
Lebih terperincisebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.
BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik
Lebih terperinciBAB III POTENSI ANCAMAN YANG DIAKIBATKAN OLEH HADIRNYA IMIGRAN ILEGAL
BAB III POTENSI ANCAMAN YANG DIAKIBATKAN OLEH HADIRNYA IMIGRAN ILEGAL Luasnya wilayah perairan Indonesia menjadi salah satu pendorong marak terjadinya kasus imigran ilegal di Indonesia yang turut diikuti
Lebih terperinciInternalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak
Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Dengan telah dimulainya ASEAN Community tahun 2015 merupakan sebuah perjalanan baru bagi organisasi ini. Keinginan untuk bisa mempererat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negera besar dengan posisi strategis tepat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negera besar dengan posisi strategis tepat di silang lalu lintas dunia. Letak geografis tersebut menyebabkan kini menghadapi masalah besar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi dan free movement merupakan salah satu konsekuensi yang tidak terelakan dari adanya proses globalisasi. Meski demikian, arus migrasi yang meningkat drastis
Lebih terperincibilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika
BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dengan dinamika kebijakan politik luar negeri yang dinamis. Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Amerika Serikat disesuaikan dengan isu
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Indonesia dibalik penundaan ratifikasi ini. Kesimpulan yang penulis sampaikan
BAB V KESIMPULAN Penelitian ini menjabarkan mengenai alasan dari penundaan ratifikasi AATHP oleh Indonesia yang selanjutnya mengindikasikan pada kepentingan Indonesia dibalik penundaan ratifikasi ini.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Australia begitu gencar dalam merespon Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing), salah satu aktivitas ilegal yang mengancam ketersediaan ikan
Lebih terperincimengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea
BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan
Lebih terperinciBAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL
BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM
Lebih terperinciBAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL
BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap
Lebih terperinciSambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, Selasa, 08 Desember 2009
Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, 8-12-09 Selasa, 08 Desember 2009 Â SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY DI GEDUNG MERDEKA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia. Keterkaitannya selalu menjadi bagian dari perilaku umat manusia dan setua dengan sejarah fenomena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,
Lebih terperinciPidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016
Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Bapak Presiden SMU PBB, Saya ingin menyampaikan ucapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi membuka kesempatan besar bagi penduduk dunia untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah integrasi dalam komunitas
Lebih terperinciLAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN
LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN 1. Umum. Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan
Lebih terperinci6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.
243 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayah
Lebih terperinciPENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017
PENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017 Dalam perkembangan pergaulan internasional saat ini, tidak mungkin
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pertahanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Aksi penyelundupan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Aksi penyelundupan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (narkoba) merupakan salah satu bentuk tindak kejahatan transnasional. Amerika Serikat, menurut
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dampak era globalisiasi telah mempengaruhi sistem perekonomian negara
1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Dampak era globalisiasi telah mempengaruhi sistem perekonomian negara Indonesia dan untuk mengantisipasinya diperlukan perubahan peraturan perundang-undangan, baik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. DeklarasiComprehensive Partnership memuat roadmap bagi. pengembangan hubungan bilateral ke depan (expand and deepen)antara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan Diplomatik Indonesia-Australia dibuka tahun 1949, dan Indonesia membuka hubungan diplomatic penuh pada tanggal 17 Maret 1950 dengan menunjuk Dr. Oesman
Lebih terperinciAnalisis Kebijakan Keimigrasian dalam Upaya Pencegahan Penyelundupan Orang dan Imigran Gelap di Indonesia
Seminar 135 Nasional Andi Aina Hukum Ilmih Universitas Negeri Semarang Volume 3 Nomor 1 Tahun 2017, 135-148 Fakultas Hukum, Faculty of Law Analisis Kebijakan Keimigrasian dalam Upaya Pencegahan Penyelundupan
Lebih terperinciJURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA
UPAYA JEPANG DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGGARA RESUME SKRIPSI Marsianaa Marnitta Saga 151040008 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I Pemerintah Provinsi Banten PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Perencanaan merupakan suatu proses pengambilan keputusan untuk menentukan tindakan masa depan secara tepat dari sejumlah pilihan, dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang terlalu dominan. Sesuai
Lebih terperinciBAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan
BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memberi perlindungan dan mencari solusi jangka panjang bagi pengungsi, UNHCR telah menempuh upaya-upaya khususnya:
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Sebagai satu-satunya organisasi internasional yang diberi mandat untuk memberi perlindungan
Lebih terperinciLampiran 1. Daftar Pertanyaan dan Jawaban atas Wawancara yang Dilakukan Kepada Beberapa Narasumber:
Lampiran 1. Daftar Pertanyaan dan Jawaban atas Wawancara yang Dilakukan Kepada Beberapa Narasumber: 1. Bapak Ardi Sofinar (Perwakilan UNHCR Medan) Pertanyaan yang diajukan seputar: Keberadaan UNHCR di
Lebih terperinciDalam dua dekade terakhir, tren jumlah negara yang melakukan eksekusi hukuman mati menurun
Konferensi Pers SETARA Institute Temuan Pokok Riset tentang Pemetaan Implikasi Politik Eksekusi Mati pada Hubungan Internasional Indonesia Jakarta, April 2015-04- Dalam dua dekade terakhir, tren jumlah
Lebih terperinciPUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1
ABSTRAK KAJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN DI SELAT MALAKA Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang masuk dalam wilayah teritorial
Lebih terperinciTabel 1. Potensi Ancaman Perang Asimetris di Indonesia Ditinjau dari Berbagai Aspek Pelaku Sasaran Skala Metode Motif Dampak
PERANG ASIMETRIS (Disarikan dari Nugraha, A & Loy, N 2013, Pembangunan Kependudukan untuk Memperkuat Ketahanan Nasional dalam Menghadapi Ancaman Asymmetric War, Direktorat Analisis Dampak Kependudukan,
Lebih terperinciuntuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang
Bab V KESIMPULAN Dalam analisis politik perdagangan internasional, peran politik dalam negeri sering menjadi pendekatan tunggal untuk memahami motif suatu negara menjajaki perjanjian perdagangan. Jiro
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk sekitar 231 juta jiwa merupakan negara kepulauan yang memiliki
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia, sebagai negara berpopulasi tertinggi ke empat di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 231 juta jiwa merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17,600
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. konteks hubungan internasional guna mengatasi berbagai masalah dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peluang kerjasama dalam era globalisasi saat ini sangat diperlukan dalam konteks hubungan internasional guna mengatasi berbagai masalah dengan meningkatkan hubungan
Lebih terperincinegara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk
BAB IV KESIMPULAN Sejak berakhirnya Perang Dingin isu-isu keamanan non-tradisional telah menjadi masalah utama dalam sistem politik internasional. Isu-isu keamanan tradisional memang masih menjadi masalah
Lebih terperinciKeterangan Pers Presiden RI pada acara Indonesia-Australia Annual Leaders Meeting, Bogor,5 Juli 2013 Jumat, 05 Juli 2013
Keterangan Pers Presiden RI pada acara Indonesia-Australia Annual Leaders Meeting, Bogor,5 Juli 2013 Jumat, 05 Juli 2013 KETERANGAN PERS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA INDONESIA-AUSTRALIA ANNUAL
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting
Lebih terperinciMI STRATEGI
------...MI STRATEGI KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, buku "Strategi Pertahanan Negara" yang merupakan salah satu dari produk-produk strategis di bidang pertahanan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, korban jiwa
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Peristiwa terorisme pada tahun 2002 di Bali dikenal dengan Bom Bali I, mengakibatkan banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing,
Lebih terperinciVI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV
VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Pada bagian ini diuraikan kesimpulan, implikasi dan rekomendasi berdasar hasil penelitian yang telah dilakukan. 6.1. Kesimpulan Berdasarkan temuan-temuan dan analisa
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER
145 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER DAN POLITIK DI INDONESIA (Studi Tentang Kebijakan Dwifungsi ABRI Terhadap Peran-peran Militer di Bidang Sosial-Politik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang seperti teknologi, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan migrasi manusia akhir-akhir ini telah mengalami peningkatan yang signifikan. Seiring dengan adanya arus globalisasi yang mendorong perubahan di berbagai
Lebih terperinciBab I. Pendahuluan. negara lain. Hak tersebut dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Dalam dunia internasional, setiap individu yang mengalami ketakukatan maupun penyiksaan yang disebabkan oleh konflik atau perang serta ketidakadilan di negara asalnya
Lebih terperinciKEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 Oleh Herry Darwanto 2 I. PERMASALAHAN Sebagai negara yang masyarakatnya heterogen, potensi konflik di Indonesia cenderung akan tetap
Lebih terperinciPANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK:
PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK: 1 The Regional Support Office of the Bali Process (RSO) dibentuk untuk mendukung dan memperkuat kerja sama regional penanganan migrasi
Lebih terperincimemperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.
BAB V PENUTUP Kebangkitan Cina di awal abad ke-21tidak dapat dipisahkan dari reformasi ekonomi dan modernisasi yang ia jalankan. Reformasi telah mengantarkan Cina menemukan momentum kebangkitan ekonominya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sektor konstruksi mempunyai potensi dalam memberikan kontribusi terhadap
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor konstruksi mempunyai potensi dalam memberikan kontribusi terhadap perekonominan nasional, serta mempunyai peran penting bagi pencapaian sasaran pembangunan nasional
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek
BAB V KESIMPULAN Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk
Lebih terperinciBAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME
BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME A. KONDISI UMUM Keterlibatan dalam pergaulan internasional dan pengaruh dari arus globalisasi dunia, menjadikan
Lebih terperinciK143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975
K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang
Lebih terperinci2 Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Neg
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.200, 2015 PERTAHANAN. Pertahanan Negara. 2015-2019 Kebijakan Umum. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 2015 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA
Lebih terperinciUPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA)
UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA) SKRIPSI oleh Satria Gunawan NIM 080910101030 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL
Lebih terperinciPenyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial
Ringkasan terjemahan laporan Persons with Disabilities in Indonesia: Empirical Facts and Implications for Social Protection Policies (Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk
Lebih terperinciSejarah AusAID di Indonesia
Apakah AusAID Program bantuan pembangunan luar negeri Pemerintah Australia merupakan program yang dibiayai Pemerintah Federal untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negaranegara berkembang. Program ini
Lebih terperinciBAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME
BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME A. KONDISI UMUM Keterlibatan dalam pergaulan internasional dan pengaruh dari arus globalisasi dunia, menjadikan Indonesia secara langsung maupun tidak langsung
Lebih terperinciPUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH
Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setelah Mahkamah Hukum Internasional menjatuhkan putusan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002, Indonesia memasuki suatu
Lebih terperinciTOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL
TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DUNIA Salah satu langkah penting dalam diplomasi internasional adalah penyelenggaraan KTT Luar Biasa ke-5 OKI untuk penyelesaian isu Palestina
Lebih terperinciBAB IV POTA (PREVENTION OF TERRORISM ACT) SEBAGAI UPAYA PEMERINTAH MALAYSIA DALAM MEMBENDUNG TERORISME GLOBAL DAN FAKTOR PENDORONG DIBUATNYA POTA
BAB IV POTA (PREVENTION OF TERRORISM ACT) SEBAGAI UPAYA PEMERINTAH MALAYSIA DALAM MEMBENDUNG TERORISME GLOBAL DAN FAKTOR PENDORONG DIBUATNYA POTA Pada bab ini akan membahas tentang faktor pendorong dibuatnya
Lebih terperinciKEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke
KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA Penyunting Humphrey Wangke Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2011
Lebih terperinciPOLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN
POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN Ir. Sunarsih, MSi Pendahuluan 1. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara
Lebih terperincimerupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengungsi internasional merupakan salah satu hal yang masih menimbulkan permasalahan dunia internasional, terlebih bagi negara tuan rumah. Negara tuan rumah
Lebih terperinciKEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika.
KEWARGANEGARAAN Modul ke: GLOBALISASI DAN NASIONALISME Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Abstract : Menjelaskan pengertian globalisasi
Lebih terperinciRechtsVinding Online. Aktor Non-Negara
PENYEMPURNAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI PENYELENGGARAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI INDONESIA Oleh: Yeni Handayani Sebagai negara kesatuan yang
Lebih terperinciPidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010
Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010 PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENGENAI DINAMIKA HUBUNGAN indonesia - MALAYSIA DI MABES
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. baru dengan adanya terobosan Kebijakan Pembangunan Pangkalan Militer
BAB V KESIMPULAN Perjalanan sejarah strategi kekuatan militer China telah memasuki babak baru dengan adanya terobosan Kebijakan Pembangunan Pangkalan Militer China di Djibouti, Afrika pada Tahun 2016.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki sekitar
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki sekitar 80% merupakan wilayah lautan. Hal ini menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai jalur alur
Lebih terperinciKeterangan Pers Bersama Presiden RI dengan Perdana Menteri Perancis, Jakarta, 1 Juli 2011 Jumat, 01 Juli 2011
Keterangan Pers Bersama Presiden RI dengan Perdana Menteri Perancis, Jakarta, 1 Juli 2011 Jumat, 01 Juli 2011 KETERANGAN PERS BERSAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN PERDANA MENTERI PERANCIS, Y.M. FRANÃ
Lebih terperinciBAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI
BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI Organisasi internasional atau lembaga internasional memiliki peran sebagai pengatur pengungsi. Eksistensi lembaga
Lebih terperinciHUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *
HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * Naskah diterima: 12 Desember 2014; disetujui: 19 Desember 2014 Trend perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Berkembangnya berbagai bidang pada era globalisasi ini telah mempermudah manusia dalam melakukan berbagai kegiatan dan mengakses bermacam-macam hal dengan sangat mudah,
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. Pencurian minyak dengan modus illegal tapping, illegal drilling dan
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Pencurian minyak dengan modus illegal tapping, illegal drilling dan penyelewengan BBM di Indonesia sudah tergolong sebagai kejahatan transnasional dan terorganisir. Hal unik
Lebih terperinciMUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM
MUHAMMAD NAFIS 140462201067 PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM Translated by Muhammad Nafis Task 8 Part 2 Satu hal yang menarik dari program politik luar negeri Jokowi adalah pemasukan Samudera Hindia sebagai
Lebih terperinciAlur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.403, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHAN. Pengamanan. Wilayah Perbatasan. Kebijakan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN PENGAMANAN WILAYAH
Lebih terperinciChalengging Change : Non-Tradional Security, Democracy and Regionalism
Ma ruf Habibie Siregar TMJ 6 AeU 4811020011 Chalengging Change : Non-Tradional Security, Democracy and Regionalism Rangkuman Pada chapter ini dibahas tentang apa- apa yang akan dilakukan ASEAN menuju ke
Lebih terperinciUPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA)
UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA) SKRIPSI oleh Satria Gunawan NIM 080910101030 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergulirnya wacana otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi stimulan berbagai daerah untuk mengembangkan daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan
Lebih terperinciluas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laut sebagai anugerah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, harus senantiasa terjaga sumber daya alam kelautannya. Keberhasilan Indonesia untuk menetapkan identitasnya
Lebih terperinciMissbach, Antje, Trouble transit. UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology. Resensi Buku
Resensi Buku Antje Missbach, 2016, Troubled Transit: Asylum Seekers Stuck in Indonesia. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute. Jumlah halaman: xvii + 288 (25 hlm. bibliografi, 10 hlm. index) ISBN: 978-981-4620-56-7
Lebih terperinci50 Tahun ASEAN, Menuju Episentrum Pertumbuhan Ekonomi Dunia Jumat, 11 Agustus 2017
50 Tahun ASEAN, Menuju Episentrum Pertumbuhan Ekonomi Dunia Jumat, 11 Agustus 2017 Terjaganya stabilitas kawasan dan terus bergerak mewujudkan kesejahteraan bersama menjadi dasar yang kuat bagi ASEAN untuk
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis. dengan ini menarik kesimpulan sebagai sebagai berikut :
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis dengan ini menarik kesimpulan sebagai sebagai berikut : Pertama, terkait Pengaruh Penerapan ASEAN Community
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau dalam bahasa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN
22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN 2.1. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2.1.1. Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN Masyarakat Ekonomi ASEAN
Lebih terperinci