Bab I. Pendahuluan. negara lain. Hak tersebut dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab I. Pendahuluan. negara lain. Hak tersebut dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan"

Transkripsi

1 Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Dalam dunia internasional, setiap individu yang mengalami ketakukatan maupun penyiksaan yang disebabkan oleh konflik atau perang serta ketidakadilan di negara asalnya berhak untuk mendapatkan perlindungan dan memperoleh suaka dari negara lain. Hak tersebut dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Oleh karena itu, banyak penduduk dari negara-negara berkonflik atau negara-negara miskin memilih untuk meninggalkan negaranya dan mencari suaka ke negara lain. Dan Australia merupakan salah satu negara yang banyak dipilih untuk menjadi negara tujuan bagi para pencari suaka. Seperti diketahui, status Australia sebagai negara maju dan negara anggota dari Konvensi Jenewa tahun 1951 tentang status pengungsi serta Protokol New York 1967, yang mempunyai kewajiban dalam memberikan perlindungan internasional untuk pengungsi, menjadikan Australia bagaikan surga bagi para pencari suaka. Sebagai negara yang ikut meratifikasi Konvensi Jenewa 1951, Australia seharusnya berkewajiban dalam memberikan suaka dan status pengungsi bagi para pencari suaka yang masuk ke wilayah negaranya. Namun dalam aplikasinya, pemerintah Australia justru membuat kebijakan yang bertentangan dengan komitmennya sebagai negara penandatangan konvensi, dalam penerimaan para pencari suaka yang dinamakan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Border (OSB). 1

2 Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) dibuat oleh Perdana Menteri (PM) Tony Abbott berupa strategi operasi penjagaan keamanan perbatasan yang dipimpin oleh militer serta didukung dan dibantu oleh berbagai lembaga pemerintah federal. Tujuan dari operasi ini sendiri adalah untuk menghentikan kedatangan para pencari suaka di pantai utara-barat wilayah Australia. Dan implementasi kebijakan ini di antaranya adalah dengan mencegat dan memulangkan kembali kapal-kapal yang membawa para pencari suaka ke negara embarkasi. 1 Sebelumnya, kebijakan serupa sudah pernah diberlakukan pada masa pemerintahan John Howard (Partai Liberal) pada tahun Howard membuat kebijakan yang disebut Pasific Solution yaitu pemindahan pencari suaka ke pusat detensi yang tersebar di negara-negara kepulauan di Samudra Pasifik. Salah satu strategi aplikasi kebijakan tersebut adalah Operasi Relex yaitu strategi perlindungan perbatasan wilayah Australia di laut lepas dengan melakukan pencegatan, penahanan, dan pencegahan kapal yang membawa orang-orang yang hendak masuk ke Australia tanpa visa. Walaupun kebijakan tersebut pernah diberhentikan pada pergantian kepemimpinan di masa pemerintahan Kevin Rudd (Partai Buruh) tahun 2007, namun pada akhirnya kebijakan serupa di masa Howard kembali diterapkan pada masa pemerintahan Tony Abbott dengan kerangka kebijakan Operation Sovereign Border (Rahmawaty 2014). 1 Negara embarkasi adalah negara terakhir yang dijadikan tempat transit untuk pemberangkatan perahu para pencari suaka. 2

3 Jika dilihat dari penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Border yang dimaksudkan untuk merespon dan membendung gelombang pencari suaka yang masuk ke wilayah Australia, bisa dikatakan tidak berhasil dalam menanggulangi arus kedatangan para pencari suaka. Kebijakan-kebijakan tersebut dilihat malah lebih cenderung berkontribusi secara signifikan pada berbagai isu yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional seperti diskriminasi dan pelanggaran HAM. Dengan mengutamakan pendekatan sekuritisasi dalam menangani isu para pencari suaka ini, pada beberapa tahun terakhir ditenggarai banyak menyebabkan kecelakaan perahu, manusia terbengkalai di lautan hingga korban jiwa yang meninggal akibat penolakan keras dari pihak Australia (Soesilowati 2013). B. Rumusan Masalah Di sini penulis mengajukan pertanyaan penelitian : Mengapa pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Border (OSB) walaupun dikonotasikan gagal dalam menangani kasus para pencari suaka (Asylum Seekers)? C. Tinjauan Pustaka Banyak literatur yang mendiskusikan tentang kajian pencari suaka dan kebijakan Australia mengenai Asylum seekers. Namun penjelasan yang diberikan dalam tulisan-tulisan tersebut hanya bersifat umum dan tidak secara spesifik membahas tentang kebijakan dalam negeri Australia tentang pengungsi atau pencari suaka pada masa John Howard dan Tony Abbott berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders. 3

4 Tulisan pertama dari Atik Krustiyati dalam tulisan yang berjudul Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia; Kajian dari Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol Penulis di sini berusaha menjelaskan jika pada dasarnya masalah pengungsi tersebut merupakan masalah humaniter dan seharusnya ditangani sesuai dengan prinsip-prinsip humaniter pula. Adanya pengungsi sebagai akibat dari natural disaster, maka penanganannya dapat dikatakan sederhana, karena kebutuhan utama mereka adalah tempat tinggal dan kebutuhan dasar di tempat mereka pergi untuk menyelamatkan diri, sampai mereka dapat kembali lagi ke daerah asalnya karena kondisinya sudah memungkinkan. Dalam hal ini, pertolongan (relief) dan bantuan (assistance) yang diutamakan adalah makanan, air, pakaian, sanitasi, kesehatan dan sebagainya. Sedangkan pengungsi akibat human made disaster terutama yang menjadi korban gangguan terus menerus terhadap pribadi atau kebebasan fundamental mereka, atau persekusi (persecution), karena ras, warna kulit, etnis, agama, golongan sosial, atau opini politik, dan mencari keamanan serta keselamatan di luar negara asalnya, pada dasarnya juga tetap merupakan persoalan humaniter dan ditangani secara humaniter pula (Krustiyati 2012). Mengingat para pengungsi tersebut tidak memperoleh perlindungan nasional dari pemerintah asal negara mereka, maka selain memerlukan pertolongan (relief) dan bantuan (assistance) bagi kelangsungan hidup, para pencari suaka juga memerlukan kebutuhan vital yaitu perlindungan internasional (international protection). Tetapi dengan posisi Indonesia yang tidak ikut meratifikasi perjanjian UNHCR, maka 4

5 pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi atau yang biasa disebut dengan Refugee Status Determination (RSD). Dalam tulisan ini hanya berusaha mengaitkan antara hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menggolongkan kriteria kepentingan nasional Indonesia tanpa membahas lebih jauh efek dari isu pencari suaka ini terhadap hubungan bilateral Indonesia-Australia. Tulisan kedua adalah buku dari Chusnul Mar iyah dengan judul Indonesia- Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral yang diterbitkan tahun Pembahasan yang utama pada buku ini antara lain membahas isu-isu yang mempengaruhi keberadaan kebijakan luar negeri maupun kebijakan dalam negeri baik di Australia maupun Indonesia. Isu-isu yang ditampilkan dalam buku ini seperti isu keamanan, politik strategis, kepentingan domestik, peran dan perkembangan media dalam membentuk opini publik, perwakilan politik perempuan dan perkembangan sistem pendidikan domestik sebagai sarana sosialisasi nilai-nilai demokrasi (Mar iyah 2005). Pembahasan tersebut sebagian besar hanya membahas isu-isu yang menjadi tantangan dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia, namun tidak ada pembahasan mendalam tentang isu para pencari suaka. Tulisan yang ketiga dari Rebecca M.M. Wallace dalam buku yang berjudul International Law yang diterjemahkan dan diterbitkan di Semarang tahun 1993, yang membahas kajian hukum internasional. Dalam bukunya, menurut Wallace salah satu sumber hukum internasional adalah perjanjian. Perjanjian (Treaty) bisa terjadi antara dua negara (bipartite) atau lebih dari dua negara (multipartite), yang membuat peraturan-peraturan secara jelas diakui dan ditaati oleh negara-negara yang terlibat. 5

6 Sehingga suatu negara yang menandatangani suatu perjanjian internasional, berkewajiban untuk membuat atau memodifikasi perundang-undangan domestiknya sesuai dengan perjanjian internasional tersebut. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk melaksanan kewajiban-kewajiban secara jujur yang dideklarasikan dari sebuah perjanjian internasional (Wallace 1993). Dikaitkan dengan kasus Australia mengenai pelaksanaan hukum internasional, posisi Australia yang telah menandatangani perjanjian dalam Konevensi Jenewa tahun 1951 dan Protokol New York tahun 1967 merupakan suatu bentuk keterlibatan Australia dalam dunia Internasional khususnya mengenai status pengungsi dan para pencari suaka. Namun dalam penerapannya, Australia sebagai suatu negara yang seharusnya berkomitmen dalam Konvensi Jenewa dan Protokol New York malah membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan perjanjian tersebut berupa Operation Sovereign Border (OSB) di tahun Bahkan pada tahun 2001 di masa pemerintahan John Howard, Australia juga pernah mengeluarkan kebijakan yang serupa dengan sebutan Pacific Solution. Dimana inti dari kedua kebijakan ini bertujuan untuk mencegat dan memulangkan kembali kapal-kapal dengan penumpang para pencari suaka ke negara embarkasi. Dalam buku hukum internasional ini sebenarnya sudah sangat jelas disebutkan bagaimana suatu negara melakukan sebuah perjanjian internasional, hukum dan kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional, kaitan hukum internasional dan hukum nasional, sampai dengan penyelesaian masalah dengan hukum internasional. Tetapi untuk menjelaskan kecurangan yang dilakukan 6

7 negara Australia dalam mengeluarkan kebijakan nasional yang melanggar perjanjian internasional dalam UNHCR tidak dijelaskan secara jelas pada buku ini. Selanjutnya tulisan dari Adrini Pujayanti yang berjudul Isu Pengungsi Global dan Kebijakan Australia tahun Pada tulisannya, Adirini Pujayanti menjabarkan keadaan pemerintah Australia dibawah PM Tonny Abbot yang kewalahan menghadapi serbuan para pencari suaka. Keadaan tersebut yang menjadi alasan Australia dengan PM Tony Abbot menerapkan strategi preventive dengan mengeluarkan kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) guna mencegah masuknya para pencari suaka ke negaranya. Dalam jurnal ini juga sedikit menjabarkan tentang dinamika politik yang terjadi di Australia serta isu penyuapan yang melanda pemerintah Australia di bawah PM Tony Abbott. Masalah para pencari suaka ini telah menjadi isu politik di Australia. Pemerintahan PM Tony Abbott berada dibawah tekanan kuat parlemen karena dianggap menggunakan uang wajib pajak yang justru dibutuhkan untuk halhal lain. Sejauh ini Perdana Menteri Tony Abbott secara konsisten tidak mengomentari rincian operasional di lapangan karena hal itu terkait keamanan operasional. Perdana menteri Tony Abbott pun berupaya menghentikan polemik di parlemen dengan menyerahkan surat kepada Senat agar seluruh dokumen-dokumen terkait kasus ini segera ditutup karena dapat mengganggu keamanan nasional, pertahanan dan hubungan internasional. Analisa utama dari jurnal ini adalah kebijakan pragmatis yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Australia di bawah Perdana Menteri Tony Abbott berupa Operation Sovereign Borders ini cenderung menimbulkan polemik di kalangan elit 7

8 serta masyarakat Australia. Tetapi pada tulisannya ini, masih belum begitu spesifik membahas kebijakan Australia di masa pemerintahan Perdana Menteri John Howard dengan Pacific Solution (Pujayanti 2014). Jadi sebagian besar literatur yang ada hanya bersifat umum dan lebih menekankan isu-isu yang berkembang di antara perjalanan hubungan bilateral Indonesia-Australia dan lebih menjabarkan hukum internasional sebagai kebiasaan internasional yang harus ditaati oleh negara yang terlibat di dalamnya. Sebagai tambahan adanya penjelasan tentang pengertian pencari suaka, status pengungsi dan hak-hak individu yang harus dihormati baik dalam tingkat nasional maupun internasional. D. Kerangka Teori Untuk dapat menjawab pertanyaan dari rumusan masalah, digunakan teori rational choice, agar dapat mengetahui kebijakan yang diambil oleh sebuah negara berdasarkan atas kalkulasi untung rugi sehingga dapat memutuskan pilihan yang sesuai dengan alternatif dengan resiko paling kecil. Anthony Downs (1957) seorang yang bukan ilmuwan politik tetapi sangat berperan penting untuk pendekatan konsep rational choice dalam ilmu politik. Dalam memaknai rasionalitas ekonomi dan politik, Downs menyajikan teori rasionalitas di mana individu di arena politik dan pemerintahan dipandu oleh kepentingan karena mereka mengejar pilihan dengan tingkat kegunaan (utility) tertinggi. Konsep utility sangat bermanfaat untuk mengurangi biaya dalam pembuatan keputusan dalam sebuah pemerintahan. 8

9 Kenneth Shepsle dan Mark Bonchek (1997) menulis teks standar dari konsep rational choice dengan menambahkan catatan penting dari Downs yang memberikan contoh dalam pemilu politik yang menunjukkan bagaimana pemilih yang rasional dalam menentukan pilihannya sesuai dengan ideologinya. Begitu juga para kandidat dan partai politik berusaha memaksimalkan dukungan dari pemilihnya dengan mengeluarkan program-program yang menarik bagi kepentingan pemilihan. Menurut Downs (1957), pemerintahan dengan self-interest yang tinggi tidak akan ideal untuk mewujudkan kesejahteran sosial atau kepentingan umum. Pemerintah sebaiknya berorientasi untuk mengembangkan program-program yang berkaitan dengan kaitan untuk menyenangkan para pemilihnya (Ishiyama & Breuning 2010). Sedangkan masuknya teori rational choice dalam ilmu politik, bisa dikatakan diawali dengan pendekatan teori koalisi politik yang digagas olah William Riker (1962). Riker mengambil teori ekonomi dan matematika berbasis pada permainan yang tegas dan berlaku untuk pengambilan keputusan politik, menyajikan alternatif untuk ilmu politik berfokus pada konsep-konsep seperti kekuasaan dan otoritas. Riker melihat rasionalitas dalam hal individu yang berusaha untuk menang dan bukan untuk kalah. Riker mencoba keluar dari konsep rational choice tradisional yang berfokus pada permainan dan ekonomi, dan mencoba mengalihkan ke dunia politik dan pemerintahan. Fokus teori rational choice adalah adanya hak-hak individu untuk memutuskan sesuatu dengan informasi yang mereka terima, dari pengetahuan tentang preferensi mereka sendiri atau melalui konsekuensi alternatif sendiri. Riker menjadi 9

10 salah satu tokoh yang paling kontroversial dalam ilmu politik modern, dengan alasan untuk ilmu politik secara terbuka merangkul rational choice sebagai masa depannya. Pendekatan Riker dalam mempelajari politik menggambarkan ciri-ciri yang menonjol dari rational choice modern. Pertama, adanya penggunaan umum tentang asumsi rasionalitas untuk memandu analisi dan penelitian. Individu diasumsikan untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip memaksimalkan keuntungan dan mengejar self-interest. Kedua, lebih fokus dengan apa yang disebut elemen inti dari rational choice sebagai cara untuk menjelaskan realitas dan politik dalam menghadapi perkembangannya. Untuk menggambarkannya, Riker menyebutkan bahwa mempertimbangkan biaya individu dan manfaat merupakan tindakan dari teori rational choice, atau kalkulasi untung rugi yang didasari dari keputusan untuk memilih atau tidak memilih. Ketiga, menyebutkan jika rational choice adalah evolusi yang berkelanjutan seperti yang diharapkan dari setiap pendekatan ilmiah. Rational choice dalam dekade terakhir ini tidak sama dengan era 1960an dan 1970an. Riker dalam pendekatan ini terlihat menggunakan herethestics, yaitu berfokus pada penggunaan strategi komunikasi (seperti kalimat dan bahasa) oleh pemimpin politik atau elit dalam kaitannya seperti kontrol agenda dan pembentukan koalisi. Ditambahkan Buchanan (1972), teori rational choice merupakan teori ekonomi yang diaplikasikan pada sektor publik. Teori ini mencoba menjembatani antara mikro ekonomi dengan politik dengan melihat tindakan-tindakan warga negara, politisi, dan pelayan publik sebagai sebuah analogi terhadap kepentingan pribadi produsen dan konsumen. Ada beberapa nama untuk konsep ini, seperti 10

11 ekonomi politik atau welfare economics, namun yang paling sering dipakai adalah istilah rational choice atau pilihan rasional (Frederickson & Smith 2003). Menurut Axelrod dan Keohane, mengasumsikan rational choice pada rasionalitas yakni pilihan yang diambil atas dasar kalkulasi untung rugi, sehingga dapat memutuskan pilihan sesuai dengan alternatif yang paling menguntungkan. Teori ini meminjam istilah dari teori ekonomi yang memaknai rasionalitas adalah cost and benefit atau Axelrod menyebutnya dengan istilah Payoff. Jadi negara sebagai aktor harus dapat mendefenisikan kepentingan, mengkalkulasi cost and benefit atau disebut juga payoff, sehingga dapat berjalan menurut alternatif yang dia anggap secara cost and benefit paling menguntungkan. Axelrod dan Keohane menyebutkan ada tiga dimensi yang mempengaruhi kecenderungan aktor dalam melakukan kerjasama, yang pada gilirannya akan mempengaruhi berhasil tidaknya atau kuat tidaknya suatu kerjasama antara lain: kepentingan bersama (Mutuality of Interest), bayangan terhadap masa depan (The shadow of the future), dan jumlah pemain (Number of actors). Rational Choice juga digambarkan dalam bentuk-bentuk game theory seperti Prisioner Dilemma, Payoff Structure, Stag Hunt,dan Chicken Game. Dalam teori permainan tersebut, masingmasing menggambarkan tentang rasionalitas dalam mengkalkulasi tindakan yang mengakibatkan keuntungan atau kerugian. Teori Rational Choice merupakan teori yang berangkat dari asumsi neo realis. Dalam asumsi ini, struktur internasional adalah anarki, dimana tidak ada satu 11

12 kekuatan dominan yang dapat mengatur negara-negara dalam sistem internasional. Ketiadaan kekuatan yang dominan tersebut, berarti tidak ada juga jaminan bahwa terciptanya kepatuhan di antara negara-negara. Kondisi ini menjadikan negara sebagai aktor utama yang rasional dalam hubungan dengan negara lain untuk mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya semaksimal mungkin. Dalam pandangan Morgenthau, kemampuan minimum negara-bangsa adalah melindungi identitas fisik, politik dan kulturalnya dari gangguan bangsa-bangsa lain. Jadi pemimpin suatu bangsa jika berangkat dari tujuan-tujuan umum itu bisa menurunkan kebijakan-kebijakan spesifik terhadap negara lain, baik bersifat kerjasama atau konflik. Menurut asumsi neo realis, pada struktur yang anarkis memungkinkan untuk terbentuknya kerjasama. Dan kerjasama akan terjadi jika kebijakan yang ditempuh antara negara satu akan menguntungkan negara lainnya (adanya harmonisasi). Tapi, jika kerjasama tersebut tidak menemukan harmonisasi atau tidak sesuai dengan satu sama lain maka akan terjadi sebuah konflik. Rasionalitas merupakan pilihan yang dapat diambil menurut kalkulasi untung rugi, sehingga negara dapat mengambil keputusan yang paling menguntungkan. Dalam perspektif neo realis yang mementingkan kepentingan nasional di atas segalanya, kerugian harus dihindari untuk mencapai kepentingan nasional secara maksimal. Mengenai hubungan penerapan kebijakan Australia mengenai pencari suaka (Asylum Seekers), Negara Australia menempatkan diri sebagai aktor yang rasional. Segala sesuatu yang dilakukan dianggap sebagai akibat dari tindakan-tindakan aktor rasional, yang sengaja dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yaitu kepentingan 12

13 nasionalnya. Pembuatan kebijakan suatu negara digambarkan sebagai suatu proses intelektual, dengan demikian kebijakan yang dibuat harus memusatkan perhatian pada kepentingan nasional. Alternatif-alternatif haluan kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah suatu negara harus melalui perhitungan untung rugi. Dalam hal ini, kebijakan Australia tentang Asylum Seekers diasumsikan sebagai aktor yang rasional dengan keputusan yang rasional. E. Hipotesis Berdasarkan uraian teori Rational Choice di atas, dapat ditarik sebuah hipotesis mengenai pengambilan kebijakan Australia tentang pencari suaka (Asylum Seekers) berupa Pacific Solution di masa John Howard dan Operation Sovereign Border (OSB) di masa Tony Abbott merupakan suatu tindakan yang rasional. Mengingat pada tahun 2001 diketahui 80% dari pencari suaka yang telah dinaturalisasi menjadi warga negara Australia ternyata adalah migran ekonomi. Kurangnya pilihan migrasi membuat banyak migran ilegal, bukan pengungsi, menipu dengan status sebagai pencari suaka karena hal ini merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan mereka untuk diterima di negara lain. Ratusan migran ekonomi masuk ke Australia dengan cara tersebut, sehingga akhirnya Australia bersikap keras terhadap para pencari suaka melalui kebijakan tersebut. F. Metode Penelitian Penelitian Kebijakan Australia Mengenai Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Berupa Pacific Solution dan Operation Soveriegn Borders memakai metode riset yang mendeskripsikan kebijakan tentang pencari suaka ke Australia 13

14 berupa strategi kebijakan Pacific Solution di masa Pemerintahan John Howard dan kebijakan Operation Sovereign Borders di masa Pemerintahan Tony Abbott. Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian deduktif. Penulis menggunakan metode penelitian deduktif karena penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperoleh jawaban yang terkait berdasarkan kerangka teori yang ada. Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan metode Library Research yaitu teknik pengumpulan data melalui studi pustaka berupa buku, jurnal, serta sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. G. Sistematika Penulisan Penelitian ini ini terbagi menjadi lima bab, dengan sistematika sebagi berikut. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Permasalahan, Rumusan Masalah, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Hipotesis, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Bab II berisi uraian tentang kehadiran para pencari suaka (asylum seekers) di Australia dan munculnya konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) di Australia. Bab III membahas penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB) guna membendung arus kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke Australia. 14

15 Bab IV membahas alasan pemerintah Australia dalam menerapkan kebijakan Pacific Solution dan OSB guna membendung arus kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke Australia. Bab V berisi kesimpulan, kebijakan Australia mengenai Asylum Seekers berupa Pacific Solution dan Operartion Sovereign Borders ini merupakan pilihan yang rasional, mengingat banyaknya migran ekonomi yang datang ke Australia. 15

BAB I PENDAHULUAN. yang stabil dalam hal politik maupun ekonomi. Oleh sebab itu, para imigran yang

BAB I PENDAHULUAN. yang stabil dalam hal politik maupun ekonomi. Oleh sebab itu, para imigran yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Australia merupakan negara yang banyak dijadikan tujuan oleh para imigran dari berbagai negara untuk mendapatkan perlindungan dan memulai kehidupan baru yang lebih

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Coplin, W. D Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis. Bandung. Indonesia.

Daftar Pustaka. Coplin, W. D Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis. Bandung. Indonesia. Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Bergin, Anthony and Sam Bateman. 2005. Future unknown: The terrorist threat to Australian maritime security. Australian Strategic Policy Institute. Canberra. Coplin, W. D.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. memiliki beberapa kesimpulan terkait dengan fokus penelitian.

BAB V PENUTUP. memiliki beberapa kesimpulan terkait dengan fokus penelitian. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Meskipun dalam penelitian ini masih terdapat beberapa kekurangan informasi terkait permasalahan pengungsi karena keterbatasan peneliti dalam menemukan data-data yang terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan pengungsi dan pencari suaka hingga saat ini menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia internasional. Ketimpangan pembangunan dan peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi membuka kesempatan besar bagi penduduk dunia untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah integrasi dalam komunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengungsi dan pencari suaka kerap kali menjadi topik permasalahan antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai mandat

Lebih terperinci

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang Bab V KESIMPULAN Dalam analisis politik perdagangan internasional, peran politik dalam negeri sering menjadi pendekatan tunggal untuk memahami motif suatu negara menjajaki perjanjian perdagangan. Jiro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, korban jiwa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, korban jiwa BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Peristiwa terorisme pada tahun 2002 di Bali dikenal dengan Bom Bali I, mengakibatkan banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengungsi internasional merupakan salah satu hal yang masih menimbulkan permasalahan dunia internasional, terlebih bagi negara tuan rumah. Negara tuan rumah

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N0. 177 A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan organisasi perdamaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam satu ruang, yaitu globus atau dunia. Pendapat ini mencoba menyampaikan

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Diskriminasi merupakan bentuk ketidakadilan. Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menjelaskan bahwa pengertian

Lebih terperinci

R-188 REKOMENDASI AGEN PENEMPATAN KERJA SWASTA, 1997

R-188 REKOMENDASI AGEN PENEMPATAN KERJA SWASTA, 1997 R-188 REKOMENDASI AGEN PENEMPATAN KERJA SWASTA, 1997 2 R-188 Rekomendasi Agen Penempatan kerja Swasta, 1997 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 2 K-189: Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi

Lebih terperinci

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15A Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15A/ 1 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 - Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) 2 K168 Konvensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi, perpindahan atau pergerakan manusia dari negara asal ke negara yang baru bukanlah fenomena yang baru saja terjadi belakangan ini. Selama berabad-abad, jauh

Lebih terperinci

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5)

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5) PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5) Definisi Partai Politik Secara umum dapat dikatakan partai politik adalah suatu kelompok

Lebih terperinci

Keterangan Pers Presiden RI pada acara Indonesia-Australia Annual Leaders Meeting, Bogor,5 Juli 2013 Jumat, 05 Juli 2013

Keterangan Pers Presiden RI pada acara Indonesia-Australia Annual Leaders Meeting, Bogor,5 Juli 2013 Jumat, 05 Juli 2013 Keterangan Pers Presiden RI pada acara Indonesia-Australia Annual Leaders Meeting, Bogor,5 Juli 2013 Jumat, 05 Juli 2013 KETERANGAN PERS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA INDONESIA-AUSTRALIA ANNUAL

Lebih terperinci

A. DASAR HUKUM JERMAN DALAM MENYUSUN KEBIJAKAN MENGENAI PENGUNGSI

A. DASAR HUKUM JERMAN DALAM MENYUSUN KEBIJAKAN MENGENAI PENGUNGSI BAB III KEBIJAKAN JERMAN TERHADAP PENGUNGSI DI EROPA Pada bab III akan dijelaskan mengenai kebijakan Jerman terhadap masalah pengungsi. Bab ini akan diawali dengan penjelasan mengenai aturanaturan apa

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia 101 BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Fokus utama dari bab ini adalah menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi jawaban yang dapat ditarik dari pembahasan dan

Lebih terperinci

R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958

R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958 R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958 2 R-111 Rekomendasi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan Oleh : K. Zulfan Andriansyah * Naskah diterima: 28 September 2015; disetujui: 07 Oktober 2015 Indonesia sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu para pencari suaka politik (asylum seeker 1 ) ke Australia menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Isu para pencari suaka politik (asylum seeker 1 ) ke Australia menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu para pencari suaka politik (asylum seeker 1 ) ke Australia menjadi permasalahan nasional yang dihadapi oleh Australia. Gelombang kedatangan pencari suaka politik

Lebih terperinci

Perlindungan sosial untuk pekerja migran di ASEAN. Celine Peyron Bista Kantor Regional ILO untuk Asia dan Pasifik Jakarta, 29 September 2016

Perlindungan sosial untuk pekerja migran di ASEAN. Celine Peyron Bista Kantor Regional ILO untuk Asia dan Pasifik Jakarta, 29 September 2016 Perlindungan sosial untuk pekerja migran di ASEAN Celine Peyron Bista Kantor Regional ILO untuk Asia dan Pasifik Jakarta, 29 September 2016 Struktur presentasi Apa itu perlindungan sosial? Perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dunia internasional tidak luput dari masalah-masalah yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dunia internasional tidak luput dari masalah-masalah yang mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia internasional tidak luput dari masalah-masalah yang mengakibatkan timbulnya perang serta konflik di berbagai negara sehingga menimbulkan ketidakamanan yang dialami

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memberi perlindungan dan mencari solusi jangka panjang bagi pengungsi, UNHCR telah menempuh upaya-upaya khususnya:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memberi perlindungan dan mencari solusi jangka panjang bagi pengungsi, UNHCR telah menempuh upaya-upaya khususnya: BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Sebagai satu-satunya organisasi internasional yang diberi mandat untuk memberi perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengungsi menjadi salah satu isu global yang banyak dibicarakan oleh masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus dari dunia internasional

Lebih terperinci

KONSOLIDASI DEMOKRASI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT

KONSOLIDASI DEMOKRASI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Seminar DEMOKRASI UNTUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia. Keterkaitannya selalu menjadi bagian dari perilaku umat manusia dan setua dengan sejarah fenomena

Lebih terperinci

BAB I. Tenggara dengan luas wilayah sebesar km 2 serta terletak di posisi

BAB I. Tenggara dengan luas wilayah sebesar km 2 serta terletak di posisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan luas wilayah sebesar 1.904.569 km 2 serta terletak di posisi strategis yang diapit

Lebih terperinci

BAB III POTENSI ANCAMAN YANG DIAKIBATKAN OLEH HADIRNYA IMIGRAN ILEGAL

BAB III POTENSI ANCAMAN YANG DIAKIBATKAN OLEH HADIRNYA IMIGRAN ILEGAL BAB III POTENSI ANCAMAN YANG DIAKIBATKAN OLEH HADIRNYA IMIGRAN ILEGAL Luasnya wilayah perairan Indonesia menjadi salah satu pendorong marak terjadinya kasus imigran ilegal di Indonesia yang turut diikuti

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN 2015-2019 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Komitmen Negara Republik

Lebih terperinci

RESUME. bagian selatan yang juga merupakan benua terkecil di dunia. Di sebelah. barat Australia berbatasan dengan Indonesia dan Papua New Guinea,

RESUME. bagian selatan yang juga merupakan benua terkecil di dunia. Di sebelah. barat Australia berbatasan dengan Indonesia dan Papua New Guinea, RESUME Australia adalah sebuah negara yang terdapat di belahan bumi bagian selatan yang juga merupakan benua terkecil di dunia. Di sebelah barat Australia berbatasan dengan Indonesia dan Papua New Guinea,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.368, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HUKUM. Luar Negeri. Pengungsi. Penanganan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN

Lebih terperinci

PERNYATAAN KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA UNILEVER

PERNYATAAN KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA UNILEVER PERNYATAAN KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA UNILEVER Kami meyakini bahwa bisnis hanya dapat berkembang dalam masyarakat yang melindungi dan menghormati hak asasi manusia. Kami sadar bahwa bisnis memiliki tanggung

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM Sebelum PD I studi Hubungan Internasional lebih banyak berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional Setelah PD I mulai ada

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,

Lebih terperinci

Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya

Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990) KOMNAS PEREMPUAN KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Mengenal

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai BAB V PENUTUP Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai hubungan antara kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah dengan persepsi Amerika Serikat, yang

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai tujuan Konvensi

Lebih terperinci

Sebelum meratifikasi AATHP, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Indonesia agar keputusan yang diambil merupakan keputusan yang rasional.

Sebelum meratifikasi AATHP, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Indonesia agar keputusan yang diambil merupakan keputusan yang rasional. BAB IV KESIMPULAN Kebakaran hutan yang menjadi cikal bakal permasalahan persebaran asap di ASEAN telah terjadi semenjak tahun 1980-an di Indonesia. Setelah diterapkannya zero-burning policy pada tahun

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177)

K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177) K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177) 1 K177 - Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177) 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA UPAYA JEPANG DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGGARA RESUME SKRIPSI Marsianaa Marnitta Saga 151040008 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI FOCUS GROUP DISCUSSION DAN WORKSHOP PEMBUATAN MODUL MATERI HAM UNTUK SPN DAN PUSDIK POLRI Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 17 18 Maret 2015 MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan yang diakibatkan oleh peperangan. dengan Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan yang diakibatkan oleh peperangan. dengan Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pengungsi bukanlah isu yang baru, baik bagi negara Indonesia maupun masyarakat internasional. Masalah pengungsi ini semakin mengemuka seiring terjadinya

Lebih terperinci

1. Asal muasal dan standar

1. Asal muasal dan standar Diskriminasi dan kesetaraan: 1. Asal muasal dan standar Kesetaraan dan non-diskriminasi di tempat kerja di Asia Timur dan Tenggara: Panduan 1 Tujuan belajar 1. Mengakui hubungan antara bias dengan diskriminasi

Lebih terperinci

Realisme dan Neorealisme I. Summary

Realisme dan Neorealisme I. Summary Realisme dan Neorealisme I. Summary Dalam tulisannya, Realist Thought and Neorealist Theory, Waltz mengemukakan 3 soal, yaitu: 1) pembentukan teori; 2) kaitan studi politik internasional dengan ekonomi;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan pemerintah Australia dalam mengatasi masuknya pengungsi secara ilegal melalui jalur laut adalah dengan mengusir perahu sebelum memasuki teritori laut

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Modul ke: 09 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Hak Asasi Manusia : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat http://www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

RESUME 21 BUTIR PLATFORM KEBIJAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (1) PEMANTAPAN EKONOMI MAKRO

RESUME 21 BUTIR PLATFORM KEBIJAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (1) PEMANTAPAN EKONOMI MAKRO RESUME 21 BUTIR PLATFORM KEBIJAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (1) PEMANTAPAN EKONOMI MAKRO Membangun kembali fundamental ekonomi yang sehat dan mantap demi meningkatkan pertumbuhan, memperluas pemerataan,

Lebih terperinci

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1 Abstrak Masalah kewarganegaraan dan tak berkewarganegaraan merupakan masalah yang asasi, dan menyangkut perlindungan

Lebih terperinci

LEMBAGA NASIONAL UNTUK MEMAJUKAN DAN MELINDUNGI HAK ASASI MANUSIA. Lembar Fakta No. 19. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

LEMBAGA NASIONAL UNTUK MEMAJUKAN DAN MELINDUNGI HAK ASASI MANUSIA. Lembar Fakta No. 19. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia LEMBAGA NASIONAL UNTUK MEMAJUKAN DAN MELINDUNGI HAK ASASI MANUSIA Lembar Fakta No. 19 Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia PENDAHULUAN PBB terlibat dalam berbagai kegiatan yang bertujuan mencapai salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bila masa depan adalah kenyataan, apakah masa depan akan dialami oleh setiap orang? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Tetapi yang paling terpenting adalah masa depan itu

Lebih terperinci

23 Oktober Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

23 Oktober Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia 23 Oktober 2017 Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Setelah mengikuti siklus ketiga Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review - UPR) Indonesia, saya menyambut

Lebih terperinci

Sejak Edisi Pertama diterbitkan pada tahun 2008 sudah banyak perubahan yang terjadi baik

Sejak Edisi Pertama diterbitkan pada tahun 2008 sudah banyak perubahan yang terjadi baik Politik Global; Dalam Teori dan Praktik Edisi 2 oleh Aleksius Jemadu Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-889398; Fax: 0274-889057; E-mail: info@grahailmu.co.id

Lebih terperinci

Strategi Gerakan untuk Kepentingan Perempuan Surya Tjandra Unika Atma Jaya Jakarta, 10 Maret 2016

Strategi Gerakan untuk Kepentingan Perempuan Surya Tjandra Unika Atma Jaya Jakarta, 10 Maret 2016 Strategi Gerakan untuk Kepentingan Perempuan Surya Tjandra Unika Atma Jaya Jakarta, 10 Maret 2016 Pijakan Awal Pengalaman perjuangan rakyat untuk gagasan2, prinsip2 dan kemungkinan2 baru, perlu terus berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan.

dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan. dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan. 3. Afrika Selatan Di Afrika Selatan, proses pembuatan konstitusi perlu waktu 3 tahun dan rakyat

Lebih terperinci

R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981

R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981 R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981 2 R-165 Rekomendasi Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, 1981 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

ARTI PENTING PENYUSUNAN KAMPANYE ANTI DISKRIMINASI * Oleh: Suparman Marzuki **

ARTI PENTING PENYUSUNAN KAMPANYE ANTI DISKRIMINASI * Oleh: Suparman Marzuki ** ARTI PENTING PENYUSUNAN KAMPANYE ANTI DISKRIMINASI * Oleh: Suparman Marzuki ** Pendahuluan Persamaan merupakan pilar bagi setiap masyarakat demokratis yang bercita-cita mencapai keadilan sosial dan hak

Lebih terperinci

SUAKA DAN HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL

SUAKA DAN HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL SUAKA DAN HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL Maya I. Notoprayitno Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jl. Kyai Tapa No. 1 Grogol, Jakarta Barat Email: m.notoprayitno@ymail.com Abstract: Asylum and Law for International

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN AGAMA TUAL TUAL, PEBRUARI 2012 Halaman 1 dari 14 halaman Renstra PA. Tual P a g e KATA PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945

Lebih terperinci

R198 REKOMENDASI MENGENAI HUBUNGAN KERJA

R198 REKOMENDASI MENGENAI HUBUNGAN KERJA R198 REKOMENDASI MENGENAI HUBUNGAN KERJA 1 R-198 Rekomendasi Mengenai Hubungan Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

15B. Catatan Sementara NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15B. Catatan Sementara NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15B Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15B/ 1 NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN

Lebih terperinci

10. KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA

10. KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA 10. KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA Kebijakan Hak Asasi Manusia Sebagai salah satu perusahaan global yang beroperasi di lebih 15 negara di empat benua, Indorama Ventures Public Company Limited (IVL) sangat

Lebih terperinci

K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA

K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA 1 K 105 - Penghapusan Kerja Paksa 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan

Lebih terperinci

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. UU Migas adalah UU yang lahir disebabkan, karena desakan internasional dalam

BAB IV PENUTUP. UU Migas adalah UU yang lahir disebabkan, karena desakan internasional dalam BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan UU Migas adalah UU yang lahir disebabkan, karena desakan internasional dalam pembentukkannya, desakan ini terjadi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997-1999

Lebih terperinci

BAB I. memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah. dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan

BAB I. memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah. dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai anggota keluarga warga negara yang sangat rentan terhadap pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah SWT yang

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan A. Kesimpulan BAB V PENUTUP Model representasi dan linkage politik para aleg perempuan di Pati cukup beragam. Beragamnya model ini dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman pribadi serta latar belakang sosial

Lebih terperinci

R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011

R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011 R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011 2 R-201: Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011 R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

60 menit tahun. Misi: Kesetaraan Gender. Subjek. Hasil Belajar. Persiapan. Total waktu:

60 menit tahun. Misi: Kesetaraan Gender. Subjek. Hasil Belajar. Persiapan. Total waktu: Misi: Kesetaraan Gender P1 Misi: Kesetaraan Gender Freida Pinto Aktris Subjek Geografi, Sains, Pemahaman Bahasa Hasil Belajar Untuk mengetahui definisi kesetaraan gender Untuk mengeksplorasi beberapa penyebab

Lebih terperinci

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA HAM MERUPAKAN BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL: (Pasal 38.1 Statuta Mahkamah Internasional) Konvensi internasional; Kebiasaan internasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember 1984 mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mennunjukan komitmennya untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

International IDEA, Strömsborg, Stockholm, Sweden Phone , Fax: Web:

International IDEA, Strömsborg, Stockholm, Sweden Phone , Fax: Web: Extracted from Democratic Accountability in Service Delivery: A practical guide to identify improvements through assessment (Bahasa Indonesia) International Institute for Democracy and Electoral Assistance

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN AUSTRALIA TERHADAP IMIGRAN GELAP PADA MASA PEMERINTAHAN PARTAI BURUH AUSTRALIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN AUSTRALIA TERHADAP IMIGRAN GELAP PADA MASA PEMERINTAHAN PARTAI BURUH AUSTRALIA Andhika Bayu Prastya, et.al Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Australia terhadap Imigran 1 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN AUSTRALIA TERHADAP IMIGRAN GELAP PADA MASA PEMERINTAHAN PARTAI

Lebih terperinci

UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA)

UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA) UPAYA PENANGANAN IMIGRAN ILEGAL DI INDONESIA (THE EFFORTS TO HANDLE ILLEGAL IMMIGRANTS IN INDONESIA) SKRIPSI oleh Satria Gunawan NIM 080910101030 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL

Lebih terperinci

K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR

K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR 1 K-106 Istirahat Mingguan Dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

TUGAS ILMUWAN POLITIK DALAM PENGAWALAN POTENSI RESIKO JELANG PEMILUKADA 2015

TUGAS ILMUWAN POLITIK DALAM PENGAWALAN POTENSI RESIKO JELANG PEMILUKADA 2015 TUGAS ILMUWAN POLITIK DALAM PENGAWALAN POTENSI RESIKO JELANG PEMILUKADA 2015 Oleh : Tedi Erviantono (Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana) Disampaikan dalam Munas Forum Dekan FISIP se Indonesia

Lebih terperinci