c. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Vibrio parahaemolyticus

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "c. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Vibrio parahaemolyticus"

Transkripsi

1 25 c. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Vibrio parahaemolyticus Vibrio parahaemolyticus adalah salah satu spesies bakteri dari famili Vibrionaceae yang merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang (curved atau straight ), anaerob fakultatif, tidak membentuk spora, pleomorfik, bersifat motil dengan single polar flagellum. Bakteri ini merupakan bakteri halofilik (tumbuh optimum pada media yang berkadar garam 3%), tidak memfermentasi sukrosa dan laktosa, dapat tumbuh pada suhu o C (optimum suhu 37 o C), dimana waktu generasi bakteri pada fase eksponensial adalah 9-13 menit di kondisi optimum pertumbuhannya. Sementara itu kisaran ph dan Aw pertumbuhannya berturut-turut adalah (optimum ) dan (optimum 0.981) (Baumann dan Schubert, 1984; Jay et al. 2005; Lake et al. 2003). Beberapa karakter Vibrio parahaemolyticus yang membedakannya dengan spesies Vibrio lainnya diantaranya tidak memfermentasi sukrosa seperti Vibrio cholerae dan Vibrio alginolyticus. Selain itu pada media padat bakteri ini tumbuh dengan menggunakan lateral flagella serta sifatnya yang halofilik dengan kisaran garam 0.5-8%, sedangkan bakteri Vibrio cholerae mampu tumbuh pada media tanpa garam (Holt dan Krieg, 1984). Gambar 1. Sel V. parahaemolyticus menggunakan scanning electron micrograph (SEM), bar = 1µm (

2 26 Berdasarkan antigennya, Vibrio parahaemolyticus terdiri atas kelompok antigen yaitu : tipe H (flagellar), tipe O (somatic) dan tipe K (capsular). Antigen tipe H merupakan antigen paling umum untuk seluruh galur Vibrio parahaemolyticus, sedangkan antigen tipe O bersifat thermolabile dan antigen tipe K bersifat thermostable. Saat ini, terdapat 12 grup antigen O dan lebih dari 70 antigen K yang telah menghasilkan 76 serotipe (Tabel 4), dimana 5 dari antigen K dengan 2 antigen O membentuk serotipe O:K, yang kemudian digunakan untuk investigasi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Vibrio parahaemolyticus (Kaysner dan DePaola, 2004). Skema antigen ini pertama kali dipublikasikan oleh Sakazaki et al. (1963), selanjutnya beberapa serotipe ditambahkan oleh Komite Serotipe Vibrio parahaemolyticus Jepang dimana antigen K : 2, 14, 16, 29, 35 dan 62 bukan merupakan hasil dari Komite. Antigen K : 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 19 bisa ditemukan lebih dari satu antigen O. Tabel 4. Hubungan antara antigen tipe O dan K pada V. parahaemolyticus Antigen O Kaysner dan De Paola (2004) Antigen K 1,25,26,32,38,41,56,58,64,69 3,28 4,5,6,7,27,30,31,33,37,43,45,48,54,57,58,59,65 4,8,9,10,11,12,13,34,42,49,53,55,63,67 5,15,17,30,47,60,61,68 6,18,46 7,19 8,20,21,22,39,70 9,23,44 19,24,52,66,71 36,40,50,51,61 52 Vibrio parahaemolyticus merupakan flora normal di lingkungan perairan payau seperti pantai, muara sungai atau tambak yang tersebar di seluruh dunia. Keberadaan bakteri ini umumnya lebih sering ditemui pada wilayah beriklim sedang dan tropis atau pada musim panas di negara-negara empat musim. V. parahaemolyticus umumnya terdeteksi pada air laut, sedimen, plankton, ikan, krustasea, kekerangan dan moluska. Produk perikanan memberikan semua kondisi yang dibutuhkan oleh V. parahaemolyticus untuk tumbuh dan

3 27 berkembang biak seperti keberadaan garam, kandungan nutrien, ph dan Aw yang optimum dan faktor lainnya sehingga bakteri ini sering disebut flora normal pada produk perikanan. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Keberadaan V. parahaemolyticus Bakteri patogen yang terkait dengan produk perikanan secara umum dikelompokkan atas 3 yaitu : bakteri yang merupakan flora normal perairan laut (Vibrio spp., Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum dan Aeromonas hydrophila), bakteri yang berasal dari kontaminasi feses (Salmonella spp., E. coli patogenik, Shigella spp., Campylobacter spp., dan Yersinia enterocolitica), dan bakteri yang berasal dari kontaminasi selama pengolahan (Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan Clostridium perfringens). V. parahaemolyticus merupakan flora normal yang hidup di perairan payau dan sebagian jenisnya bersifat patogen pada produk perikanan seperti udang, ikan, kepiting, tiram, kerang, dan jenis cephalopoda. (Feldhusen, 2000; Liston, 1990; Liu dan Chen, 2004; Su dan Liu, 2007). Keberadaan V. parahaemolyticus di lingkungan perairan dan produk perikanan dipengaruhi oleh musim, lokasi, polutan, jenis sampel dan metode analisis (Cook et al. 2002; DePaola et al. 1990; DePaola et al. 2000; Kaneko dan Colwell, 1973; Kaysner et al. 1990; Watkins dan Cabelli, 1985). Suhu perairan merupakan faktor penting yang mengontrol tingkat V. parahaemolyticus pada lingkungan, dimana terjadi peningkatan jumlah V. parahaemolyticus pada kisaran suhu C (De Paola et al. 1990; Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan Cabelli, 1985). Penelitian menunjukkan V. parahaemolyticus jarang ditemukan saat suhu perairan di bawah 10 C akan tetapi keberadaannya akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu perairan. Studi ekologi lainnya menyebutkan bahwa V. parahaemolyticus dapat bertahan hidup pada biota perairan (plankton, kekerangan, kustasea, ikan) dan sedimen selama musim dingin dan akan terlepas ke perairan saat suhu meningkat pada awal musim panas (Kaneko dan Colwell, 1973). DePaola et al. (1990) melaporkan, hasil survei 9 pantai di USA dalam kurun waktu menunjukkan densitas V. parahaemolyticus yang cukup rendah di perairan (4 koloni/ml) ketika terjadi penurunan suhu di bawah 16 C.

4 28 Namun demikian, densitas bakteri ini meningkat menjadi 10 3 koloni/ml saat suhu perairan mencapai 25 C. Pada budidaya tiram di Oregon juga menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah V. parahaemolyticus dengan peningkatan suhu dan pupolasi tertinggi terjadi pada musim panas (Duan dan Su, 2005). Sementara itu keberadaan V. parahaemolyticus di produk perikanan diketahui lebih banyak teridentifikasi pada saat terjadi peningkatan suhu lingkungan. Keysner dan DePaola (2000) melaporkan jumlah V. parahaemolyticus pada tiram yang dipanen pada musim semi dan panas lebih banyak dibandingkan musim dingin yaitu di atas 10 3 cfu/g dan dapat berkembang biak dengan cepat pada tiram yang terpapar suhu tinggi. Hasil penelitian Gooch et al. (2002) menunjukkan bahwa populasi V. parahaemolyticus pada tiram meningkat kali lipat dari jumlah awal selama 24 jam setelah panen jika disimpan pada suhu 26 C. Sementara itu, hasil survei sampel tiram yang diambil dari restoran dan seluruh pasar produk hasil perikanan tingkat eceran sampai grosir di USA selama Juni Juli 1999 menyimpulkan bahwa V. parahaemolyticus memiliki kepadatan tertinggi (> 10 3 MPN/g) pada musim panas (Cook et al. 2002). V. parahaemolyticus dapat dideteksi pada rentang salinitas yang cukup besar (5-35 ppt) dengan salinitas optimal berkisar 22 ppt (DePaola et al. 1990). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang tidak langsung antara polusi fekal dengan keberadaan V. parahaemolyticus karena diduga merupakan biostimulasi dari mikrofauna yang berasosiasi dengan V. parahaemolyticus (Watkins dan Cabelli, 1985). Selain itu V. parahaemolyticus diduga terkait erat dengan keberadaan zooplankton terutama copepoda yang dikaitkan dengan aktivitas dan afititas kitinase dari kitin (Fratamico et al. 2005; Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan Cabelli, 1985). Penyakit Bawaan Pangan (foodborne diseases) oleh Vibrio parahaemolyticus Keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan dapat menyebabkan penyakit pada manusia melalui konsumsi pangan (foodborne diseases) terutama melalui pangan mentah atau yang tidak dimasak sempurna. Keberadaan V. parahaemolyticus dapat disebabkan oleh kontaminasi silang antar

5 29 pangan olahan dan mentah atau melalui pencucian pangan dengan air yang mengandung V. parahaemolyticus. Penyakit karena V. parahaemolyticus adalah gastroenteristis seperti diare (98%), kejang bagian perut (82%), mual (71%), muntah (52%), dan demam (27%) dengan masa inkubasi 4-96 jam dengan ratarata 15 jam (Barker dan Gangarosa, 1974; Levine et al. 1993). Sebagian kecil kasus, bakteri ini menyebabkan kerusakan (luka) pada mukosa usus sehingga terdapat darah pada feses penderita bahkan dapat menyebabkan septisemia. Penyakit bawaan pangan oleh V. parahaemolyticus umumnya lebih sering terjadi di negara beriklim tropis karena merupakan kondisi optimum pertumbuhan bakteri ini. Awalnya kasus V. parahaemolyticus terjadi secara sporadis akan tetapi menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan menjadi kasus kejadian luar biasa (KLB). Kasus infeksi karena V. parahaemolyticus melalui konsumsi pangan pertama sekali terjadi di Osaka-Jepang pada tahun 1951 akibat mengkonsumsi ikan sardine mentah. Kasus ini memakan korban sebanyak 272 orang menderita sakit dan 20 orang meninggal (Daniels et al. 2000). Tahun 1998 kasus infeksi karena V. parahaemolyticus meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1997 dan melebihi jumlah kasus yang disebabkan oleh Salmonella. Pada kurun waktu terjadi 20-30% kasus KLB (IDSC, 1999 dalam US-FDA, 2005). Negara Asia lainnya adalah Taiwan, sebanyak 57% (42/74 kasus KLB) adalah yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus seperti yang dilaporkan Kementerian Kesehatan Taiwan tahun Kurun waktu sebanyak 35% (197/555 kasus) merupakan kasus yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus (Pan et al. 1996; Pan et al.1997). Sementara itu terjadi 5 kasus KLB di di Thailand, dimana 7-93 orang terinfeksi setelah mengkonsumsi kepiting dan ikan makarel olahan pada tahun Pada November 1970-Juni 1973, sebanyak 7930 sampel klinis penderita diare teridentifikasi V. parahaemolyticus (Phayakvichien et al. 1990). Di Vietnam, kasus KLB terdeteksi sebanyak 548 kasus pada tahun , dimana 90% terjadi pada usia di atas 5 tahun. Dalam kasus ini sebanyak 77% menderita muntah, diare (53%), dan diare berdarah (6%) (Tuyet et al. 2002). Indonesia sendiri pernah terjadi kasus sebesar 3.7% (19/514 pasien) dengan gastroenteristis akut dan diketahui positif V. parahaemolyticus sepanjang tahun

6 (Bonang et al. 1974). Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus yang terjadi di negara-negara di Asia dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Asia No Negara Insiden V. parahaemolyticus Referensi 1 Jepang - Kasus I tahun 1951 (272 orang sakit; 20 orang meningal Daniels et al. (2000) % kasus KLB ( ) US-FDA (2005) 2 Taiwan - 57% (42/72 kasus KLB) terjadi pada tahun 1994 Pan et al.(1996) - Tahun sebesar 35% (197/ Pan et al.(1997) 555 kasus) adalah kasus Vp 3 Thailand - Terjadi 5 kasus KLB karena konsumsi Phayakvichien et al. kepiting dan makarel pada tahun 1971 (1990) - Tahun terdapat Vp pada 7390 sampel klinis pasien diare 4 Vietnam - Tahun , terjadi 548 kasus Tuyet et al. (2002) 5 Indonesia - Tahun 1974 ditemukan 3.7% (19/154 Bonang et al. (1974) pasien) dengan gastroenteris akut karena Vp Kasus KLB V. parahaemolyticus juga dilaporkan terjadi di negara Eropa dan Amerika (Tabel 6) walaupun lebih jarang dibandingkan negara-negara di Asia. Robert-Pillot et al. (2004) menyebutkan bahwa kasus KLB serius pernah terjadi di Perancis pada tahun 1997 karena mengkonsumsi udang yang diimpor dari Asia dan memakan korban 44 orang. Amerika Serikat melaporkan terjadi 40 kasus KLB yaitu sepanjang di 15 negara bagian dan wilayah Guam dengan 1064 penderita dan median tingkat serangan 56% (3-100%) dimana sebagian besar kasus terjadi di bulan Juli. Penyebabnya adalah tiram dan kerang mentah (38% kasus) atau yang tidak dimasak sempurna. Pada periode ini, 30% KLB terjadi pada dan tiga diantaranya cukup besar yaitu Juli Agustus 1997, keracunan disebabkan oleh konsumsi tiram mentah dari Puget Sound, Washington selanjutnya dua kasus KLB gastroenteritis karena V. parahaemolyticus terjadi pada Mei Juni 1998 akibat mengkonsumsi tiram mentah yang berasal dari Galveston Bay, Texas dan di akhir Juli 1998, KLB V. parahaemolyitcus terkait dengan konsumsi tiram dan kerang mentah yang berasal dari Teluk Oyster, Long Island, New York (Daniels et al, 2000).

7 31 Kasus KLB V. parahaemolyitcus di New York, Oregon dan Washington, kembali terjadi pada 20 Mei 31 Juli 2006 setelah mengkonsumsi tiram dan remis mentah dan olahan di restoran. Tiram dan remis berasal dari daerah pantai Washington dan British Columbia-Canada yang didistribusikan secara nasional ke pasar ikan dan restoran. Luasnya daerah pemasaran berdampak pada meluasnya daerah sebaran penyakit. Pada tahun 2006, 122 kasus berasal dari 17 sumber produk hasil perikanan yang sama dan berimplikasi pada penutupan perusahaan pemanenan tiram yang merupakan pemasok utama tiram penyebab KLB (Balter et al, 2006). Selain itu kasus KLB juga dilaporkan di Chile pada November April 1998, dimana kasus ini terkait dengan konsumsi kerang. Hal ini diduga adanya pengaruh El Nino selain suhu perairan yang kemungkinan dapat membantu blooming bakteri. Spanyol juga menghadapi kasus KLB karena V. parahaemolyticus antara Agustus-September 1999, dimana 64 orang menderita sakit setelah mengkonsumsi tiram mentah yang berasal dari pasar lokal (Cordova et al. 2002; Lozano-Leon et al. 2003). Tabel 6. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Eropa dan Amerika No Negara Insiden V. parahaemolyticus Referensi 1 Perancis - Tahun 1997 karena konsumsi udang yang diimpor dari Asia Robert-Pillot et al. (2004) 2 Amerika Serikat - Tahun , 40 kasus KLB di 15 negara bagian dan wilayah Guam dengan 1064 penderita Daniels et al. (2000) - Mei-Juli 2006, terjadi kasusklb Balter et al. (2006) setelah mengkonsumsi tiram dan remis mentah dan olahan 3 Chile - November 1997-April 1998, terjadi kasus KLB terkait dengan konsumsi kerang 4 Spanyol - Bulan Agustus-September 1999, sebanyak 64 orang terinfeksi Vp Cordova et al. (2002) Lozano-Leon et al. (2003) Penyakit bawaan pangan karena V. parahaemolyitcus sangat terkait dengan cara mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Kasus V. parahaemolyitcus yang terjadi di Taiwan disebabkan oleh kebiasaan masyarakatnya mengkonsumsi produk perikanan dalam kondisi mentah. Kondisi yang sama tampaknya juga

8 32 terjadi di beberapa negara Asia lainnya yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi produk perikanan dalam kondisi mentah seperti Jepang, Cina, Vietnam, dan Thailand. Selain itu infeksi karena V. parahaemolyitcus juga terjadi setelah mengkonsumsi produk perikanan olahan. Hal ini terutama disebabkan oleh pemasakan yang tidak sempurna sehingga tidak membunuh semua V. parahaemolyitcus yang ada, atau proses penanganan yang buruk seperti kondisi higiene dan sanitasi tidak terjaga, penyimpanan produk pada suhu ruang selama beberapa jam sebelum diolah/dikonsumsi, atau terjadinya kontaminasi silang antara produk yang telah dimasak dengan produk mentah. Di Thailand, tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus pada produk perikanan sebesar 77.5% pada kurun waktu Penelitian lain menyebutkan terdapat 27% dan 49% produk perikanan beku dan mentah mengandung V. parahaemolyticus. Sementara itu sebanyak 78% seafood mentah di Bangkok pada Mei-Oktober 1994 terkontaminasi V. parahaemolyticus, dimana kontaminasi tertinggi terdapat pada remis (100%), kerang (96%), udang (68%) dan kepiting bakau (51%). Produk udang beku yang siap diekspor juga ditemukan V. parahaemolyticus sebesar 64% pada Mei 1995-Juli Sampel udang beku di unit pengolahan di Propinsi Chachoengsao-Thailand juga terkontaminasi V. parahaemolyticus sebesar 80% (April-Mei 1999) (Limuthaitip, 1995; Kowcachaporn, 1997; Phayakvichien et al. 1990; Phumiprapat, 1992; Pungchitton, 1999 dalam Jaesawang, 2005). Infeksi V. parahaemolyticus pada manusia terkait dengan galur patogenik dari bakteri ini. Galur bakteri penyebab gastroenteritis pada manusia pertama kali diisolasi dari sampel klinis penderita kasus KLB di Calcutta-India tahun yaitu V. parahaemolyticus O3:K6 (Okuda et al. 1997). V. parahaemolyticus O3:K6 ini bersifat pandemik di negara Asia Tenggara akan tetapi bukan merupakan galur yang sama dengan galur O3:K6 yang masuk melalui turis-turis Asia (international travellers) yang terjadi pada tahun (Chiou et al. 2000; Okuda et al. 1997; Vuddhakul et al. 2000). Galur O3:K6 juga teridentifikasi di USA pada tahun 1998 dan menyebabkan kasus KLB (416 orang) setelah mengkonsumsi tiram mentah (Daniels et al. 2000). Selain itu galur ini pada produk yang sama juga menyebabkan kasus KLB di Connecticut, New Jersey, dan New York (CDC, 1999). Galur patogen lainnya yang dominan

9 33 dan menyebabkan peningkatan KLB di dunia adalah O4:K68 dan O1:K untypeable (KUT), dimana galur ini dilaporkan terkait dekat dengan galur O3:K6 (Martinez-Urtaza et al. 2004). Faktor Virulen Vibrio parahaemolyticus Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa V. parahaemolyticus patogenik umumnya diisolasi dari 90% sampel klinis dan hanya sekitar 1-2% dari lingkungan maupun produk perikanan (Kelly dan Dan Stroh, 1988; Miyamoto et al. 1969; Sakazaki et al. 1968). V. parahaemolyticus patogenik umumnya dihubungkan dengan kemampuan bakteri ini memproduksi hemolisis. Berdasarkan kemampuannya memproduksi hemolisis, terdapat 3 jenis hemolisis yang dihasilkan oleh V. parahaemolyticus yaitu thermolabile hemolysin (TLH), thermostable direct hemolysin (TDH), dan TDH related hemolysin (TRH). Thermolabile hemolysin (TLH) adalah protein dengan berat molekul berturut-turut 47.5 dan 45.3kDa yang memiliki aktivitas phospholipase/lyso phospholipase. Hemolisis ini terdapat pada semua galur V. parahaemolyticus akan tetapi peranannya dalam patogenesis tidak diketahui secara pasti (Bhunia, 2008). Gen penyandi tlh banyak digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus pada sampel dengan menggunakan metode berbasis molekuler. Infeksi oleh V. parahaemolyticus penyebab gastroenteritis pada manusia terkait dengan keberadaan thermostable direct hemolysin (TDH). Kejadian ini dikenal dengan istilah fenomena Kanagawa (KP) dan disebut sebagai faktor virulen. Fenomena Kanagawa (KP+) merupakan aktivitas β hemolisis pada media agar Wagatsuma (mengandung sel darah merah manusia) yang ditandai dengan pembentukan zona bening di sekitar koloni pada media agar setelah diinkubasi pada suhu 37 C selama jam (Joseph et al. 1982; Miyamoto et al. 1969; Sakazaki et al. 1968). Keberadaan KP+ terkait dengan produksi TDH yang dapat menyebabkan lisis pada membran sel darah merah melalui pembentukan pori sehingga beberapa ion masuk ke dalam sel dan terjadi pembengkakan sel yang mengakibatkan kematian sel karena ketidakseimbangan ion (Bhunia, 2008). Mekanisme hemolisis yang disebabkan oleh TDH diawali dengan tahap pengikatan membran sel darah merah, selanjutnya terbentuk pori trans membran

10 34 yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan pada membran sel (Honda et al. 1992). Thermostable direct hemolysin (TDH) bersifat stabil terhadap panas (100 C; 10 menit) dan aktivitas hemolitiknya tidak dapat ditingkatkan dengan penambahan lesitin. Hal ini yang menunjukkan bahwa TDH memiliki aktivitas langsung terhadap sel darah merah (Nishibuchi dan Kaper, 1995). Aktivitas TDH menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium dalam sel sehingga memicu sekresi ion klorida melalui sel intestinal. Thermostable direct hemolysin (TDH) merupakan protein (terdiri dari 165 asam amino) yang tidak memiliki lipida dan karbohidrat dengan berat molekul 42 kda. Thermostable direct hemolysin (TDH) terdiri dari 2 sub unit identik yang masing-masing memiliki berat molekul 21 kda (Honda dan Iida, 1993; Miyamoto et al. 1980; Takeda et al dalam Levin, 2009). Gen penyandi TDH pertama kali dikloning oleh Kaper et al. (1984) yang disebut tdh1, kemudian ditemukan gen tdh2 oleh Hida dan Yamamoto (1990). Nishibuchi dan Kaper (1990) melaporkan bahwa semua KP+ pada sampel klinis galur V. parahaemolyticus umumnya mengandung gen tdh1 dan tdh2 dan jika galur V. parahaemolyticus menunjukkan aktivitas hemolisin yang rendah pada agar Wagatsuma maka diduga hanya memiliki 1 gen tdh. Thermostable direct hemolysin (TDH) disebut sebagai faktor virulen pertama V. parahaemolyticus dan digunakan untuk mengidentifikasi galur patogenik V. parahaemolyticus (Cook et al. 2002; Okuda et al. 1997). V. parahaemolyticus patogenik umumnya terkait erat dengan KP+, akan tetapi Honda et al. (1987 dan 1988) melaporkan bahwa ditemukan V. parahaemolytic patogenik pada sampel klinis pasien KLB di Maldives pada tahun1985 yang ditandai dengan Fenomena Kanagawa negatif (KP-). Galur ini diketahui tidak memproduksi TDH tetapi memproduksi TDH-related hemolysin (TRH) yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Shirai et al. (1990) menyatakan bahwa 52 galur dari sampel klinis 8 pasien diare hanya memproduksi TRH sehingga disebut juga sebagai gen patogen V. parahaemolyticus. Gen trh umumnya dikaitkan dengan V. parahaemolyticus yang menunjukkan hasil urease yang positif sehingga sering dijadikan indikator untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik walaupun tidak mutlak (Suthienkul et al. 1995; Kaufman et al. 2002). Sekuen gen trh diketahui memiliki kemiripan dengan gen

11 35 tdh sebesar 68%. Gen trh diketahui lebih labil terhadap panas karena inaktivasi gen trh dapat dilakukan pada suhu 65 C selama 15 menit. Selain kemampuan memproduksi hemolisin, aktivitas urease diduga terkait dengan V. parahaemolyticus patogenik. Umumnya V. parahaemolyticus tidak memproduksi urease (Okuda et al. 1997; Osawa et al. 1996). Kelly dan Stroh (1989) melaporkan bahwa isolasi dari sampel klinis pasien gastroenteritis di Canada menunjukkan semua sampel memberikan hasil urease positif (Uh + ) dan hasil Kanagawa negatif. Produksi urease oleh V. parahaemolyticus pada umumnya dikaitkan dengan keberadaan faktor virulen TRH sehingga diduga dapat digunakan untuk identifikasi V. parahaemolytic patogenik yang memproduksi gen trh ( Osawa et al. 1996). Aktivitas urease dan TRH dilaporkan saling terkait karena adanya hubungan secara genetis antara gen urease (urec) dan gen trh pada kromosom dari galur V. parahaemolyticus patogenik (Iida et al. 1997; Park et al. 2000). Namun demikian, gen urease tidak berpengaruh terhadap regulasi ekspresi gen tdh dan trh (Nakaguchi, 2003). Genom V. parahaemolyticus O3:K6 diketahui memiliki dua gen sistim sekresi tipe III (TTSS) yaitu TTSS1 dan TTSS2 yan terdapat pada kromoson I dan II. TTSS merupakan factor virulen penyebab diare yang dimiliki oleh bakteri seperti Shigella, Salmonella, dan enteropathogenic E. coli (EPEC). Secara umum mekanisme sistim sekresi tipe III (TTSS) ini terlibat dalam perpindahan protein efektor bakteri menuju sitoplasma sel inang dari bakteri tersebut (Makino et al. 2003). Hal ini diduga juga merupakan faktor virulen yang terdapat pada V. parahaemolyticus. Salah satu faktor virulen yang dimiliki bakteri Gram negatif termasuk V. parahaemolyticus adalah kemampuan menempel pada sel epitel inangnya. V. parahaemolyticus diketahui dapat memproduksi sel yang berasosiasi dengan hemaaglutinin (HA) pada saat menempel di mukosa usus (Yamamoto dan Yokota, 1989). Hemaaglutinin merupakan glikoprotein antigenik yang berperan dalam proses terikatnya virus pada sel yang terinfeksi sehingga menyebabkan sel darah merah menggumpal. Selain itu pili dari V. parahaemolyticus diduga memiliki peranan dalam hal menempelnya reseptor epitel usus (Nakasone dan Iwanaga, 1990).

12 36 Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik Metode untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik telah banyak dikembangkan. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dapat dilakukan dengan metode Kanagawa (KP+) yaitu dengan melihat aktivitas β hemolisis yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar Wagatsuma. Metode ini memiliki kelemahan antara lain waktu preparasi dan analisis yang panjang, interpretasi hasil analisis yang kurang akurat, sensivitas rendah, dan belum tersedianya media analisis untuk mengidentifikasi faktor virulen TRH. Kendala - kendala metode konvensional untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik tersebut mendorong pengembangan metode identifikasi dengan hasil yang lebih akurat, sensitifitas tinggi dan tepat serta waktu analisis yang pendek. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berbasis pendekatan molekuler seperti polymerase chain reaction (PCR) telah banyak dilakukan. Metode PCR telah banyak dikembangkan untuk pengujian-pengujian mikrobiologi karena memiliki beberapa keunggulan diantaranya tingkat akurasi dan sensitifitas tinggi, ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif cepat dan dapat digunakan untuk pengujian komponen yang jumlahnya sangat sedikit. Metode PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985 dan memiliki tingkat sensitifitas tinggi sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Proses PCR memiliki 4 komponen utama yaitu cetakan DNA (DNA template), merupakan fragmen DNA yang akan dilipatgandakan; oligonukleatida primer yaitu sekuen oligonukletida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA; deoksiribonukleotida trifosfat (dntp) yang terdiri dari datp, dctp, dgtp, dttp; dan enzim DNA polimerase merupakan enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Enzim yang digunakan adalah Taq DNA polimerase karena enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk tahap pemisahan rantai cetakan DNA (denaturasi) sehingga tidak dibutuhkan penambahan enzim pada tiap siklus PCR (Yuwono, 2006). Selain itu komponen

13 37 lain yang berperan pada proses PCR adalah senyawa buffer yang berperan dalam proses penempelan primer (annealing) dimana di dalam senyawa buffer terkandung mm Tris-HCl (ph ), KCl, MgCl 2, dan komponen lain seperti gelatin dan deterjen non ionik seperti Tween 20 untuk mempertahankan kestabilan enzim Taq DNA polimerase. Metode PCR didasarkan atas 3 tahapan untuk reaksi sintesis DNA (pelipatgandaan fragmen DNA). Tahapan-tahapan pada proses PCR dimulai dari : a. Denaturasi; merupakan tahap awal PCR yang bertujuan untuk memisahkan rantai DNA yang berantai ganda menjadi rantai tunggal karena pembuatan copy DNA oleh enzim Taq DNA polimerase membutuhkan DNA berantai tunggal. Denaturasi dilakukan pada suhu 94 C selama 1-2 menit. b. Annealing (penempelan); merupakan tahap penempelan primer pada cetakan DNA yang telah berantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan DNA pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Annealing dilakukan pada suhu 55 C selama 1-2 menit. Suhu 55 C yang digunakan pada tahap annealing memiliki spesifitas reaksi amplifikasi yang lebih tinggi akan tetapi efisiensinya menurun. Amplifikasi lebih efisien pada suhu 37 C tetapi umumnya terjadi penempelan primer di tempat yang salah. Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang memiliki sekuan identik dengan salah satu rantai cetakan DNA pada ujung 5 fosfat dan oligonukleotida yang identik dengan sekuen pada ujung 3 OH pada rantai cetakan DNA lain. c. Ekstensi; merupakan tahap pembentukan polimerisasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada cetakan DNA. Setelah terbentuk polimerisasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan DNA. Tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72 C yang merupakan suhu optimum aktivitas Taq DNA polimerase selama 1-2 menit. DNA rantai ganda yang terbentuk antara rantai cetakan DNA dengan rantai DNA hasil polimerasi selanjutnya didenaturasi kembali pada suhu 94 C untuk memperoleh rantai DNA tunggal yang baru dan berfungsi sebagai cetakan reaksi polimerasi selanjutnya.

14 38 Reaksi polimerasi ini diulangi kembali sebanyak siklus dan pada akhir siklus akan diperoleh molekul DNA rantai ganda hasil polimerasi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah cetakan DNA yang digunakan. Selanjutnya DNA hasil polimerasi di elektroforesis pada gel agarose dan divisualisasikan (Sambrook et al. 1989). Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus. Amplifikasi gen tdh dan trh dilakukan menggunakan sepasang primer spesifik dari masing-masing gen penyandi tersebut. Salah satu sekuen nukleotida dan protokol PCR yang digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik adalah hasil penelitian dari Tada et al. (1992) yaitu untuk target gen tdh amplifikasi dilakukan pada ukuran amplikon 251 bp dan untuk gen trh pada ukuran amplikon 250 bp. Sekuen nukleotida baik gen tdh maupun gen trh bakteri V. parahaemolyticus secara keseluruhan adalah 570 bp. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa sekuen nukleotida gen tdh V. parahaemolyticus memiliki keragaman yang relatif sedikit (kurang dari 33%) sedangkan gen trh memiliki sekuen yang lebih bervariasi (gen trh1 dan trh2). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tada et al. (1992) menggunakan beberapa kombinasi pasangan primer untuk gen tdh dan trh serta optimasi protokol PCR terutama untuk penentuan suhu annealing (penempelan primer), diketahui bahwa pasangan primer untuk identifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus pada ukuran amplikon 251 bp dan 250 bp memberikan hasil dengan spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi. Spesifisitas primer dikonfirmasi dengan analisis Southern blot hybridization menggunakan probe gen tdh dan trh. Sedangkan sensitifitas metode PCR dikofirmasi dengan menggunakan DNA genom V. parahaemolyticus WP1 dan AQ4037 yang merupakan galur V. parahaemolyticus penghasil gen tdh dan trh. Amplifikasi sekuen nukleotida untuk mengidentifikasi gen tdh dan trh bakteri V. parahaemolyticus dengan target gen tdh dan trh pada ukuran amplikon yang berbeda juga telah dilakukan. Bej et al. (1999) melaporkan identifikasi V. parahaemolyticus dapat dilakukan dengan metode multiplex PCR dimana sekuen primer gen tdh (L-tdh dan R-tdh) dan trh (L-trh dan R-trh) menggunakan

15 39 pasangan primer pada ukuran amplikon masing-masing 269 bp (Nishibuchi dan Kaper, 1985) dan 500bp (Honda dan Iida, 1993; Honda et al. 1991). Sementara itu, penelitian Rosec et al. (2009) menyebutkan bahwa untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen tdh menggunakan sekuen primer VP21 dan VP22 pada ukuran amplikon 400 bp dan gen trh dengan pasangan primer S1 dan S2 pada ukuran amplikon 460 bp.

PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama ( )

PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama ( ) 18 PENDAHULUAN Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas unggulan program revitalisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selain tuna dan rumput laut sejak tahun 2005. Disamping itu udang

Lebih terperinci

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Vibrio parahaemolyticus PATOGENIK PADA UDANG TAMBAK YUSMA YENNIE

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Vibrio parahaemolyticus PATOGENIK PADA UDANG TAMBAK YUSMA YENNIE ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Vibrio parahaemolyticus PATOGENIK PADA UDANG TAMBAK YUSMA YENNIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI Di dalam Bab XII ini akan dibahas pengertian dan kegunaan teknik Reaksi Polimerisasi Berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) serta komponen-komponen dan tahapan

Lebih terperinci

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Masyarakat FIKK Universitas Negeri Gorontalo Abstrak (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah

Lebih terperinci

: Vibrio vulnificus. Klasifikasi

: Vibrio vulnificus. Klasifikasi Vibrio vulnificus Vibrio vulnificus merupakan bakteri yang relatif baru dalam identifikasinya sebagai bakteri yang patogen bagi manusia. Bakteri ini ditemukan sebagai patogen di tiram pada tahun1976 dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Sintesis fragmen 688--1119 gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur A/Indonesia/5/2005 dilakukan dengan teknik overlapping extension

Lebih terperinci

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Disusun oleh: Hanif Wahyuni (1210411003) Prayoga Wibhawa Nu Tursedhi Dina Putri Salim (1210412032) (1210413031) SEJARAH Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1985

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 HASIL 3.1.1 Isolasi Vibrio harveyi Sebanyak delapan isolat terpilih dikulturkan pada media TCBS yaitu V-U5, V-U7, V-U8, V-U9, V-U24, V-U27, V-U41NL, dan V-V44. (a) (b) Gambar

Lebih terperinci

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Oleh: TIM PENGAMPU Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember Tujuan Perkuliahan 1. Mahasiswa mengetahui macam-macam teknik dasar yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor Escherich pada tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor Escherich pada tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Escherichia coli O157:H7 Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor Escherich pada tahun 1885. Sebagian besar dari E. coli berada dalam saluran pencernaan

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN 14 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Konfirmasi bakteri C. violaceum dan B. cereus dilakukan dengan pewarnaan Gram, identifikasi morfologi sel bakteri, sekuensing PCR 16s rdna dan uji kualitatif aktivitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut (6):

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut (6): BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Escherichia coli Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut (6): Kingdom Divisio Classis Ordo Familia Genus Spesies : Bacteria : Proteobacteria : Gammaproteobacteria :

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan PCR, terlebih dahulu dilakukan perancangan primer menggunakan program DNA Star. Pemilihan primer dilakukan dengan mempertimbangkan parameter spesifisitas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keamanan pangan merupakan salah satu isu yang harus menjadi perhatian baik pemerintah maupun masyarakat. Pengolahan makanan yang tidak bersih dapat memicu terjadinya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah.

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

PRINSIP UMUM DAN PELAKSANAAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

PRINSIP UMUM DAN PELAKSANAAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Unitas, Vol. 9, No. 1, September 2000 - Pebruari 2001, 17-29 PRINSIP UMUM DAN PELAKSANAAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) [General Principles and Implementation of Polymerase Chain Reaction] Darmo Handoyo

Lebih terperinci

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( ) Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella (10.2011.185) Identifikasi gen abnormal Pemeriksaan kromosom DNA rekombinan PCR Kromosom waldeyer Kromonema : pita spiral yang tampak pada kromatid Kromomer : penebalan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat adalah memiliki kemampuan untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat. Berdasarkan tipe fermentasi, bakteri asam laktat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009) TINJAUAN PUSTAKA Lactobacillus plantarum Bakteri L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, Ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan

Lebih terperinci

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan sekuen non kode (sekuen yang tidak mengalami sintesis

Lebih terperinci

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis KATAPENGANTAR Fuji syukut ke Hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang beijudul "Skrining Bakteri Vibrio sp Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik Sekuens

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Bab Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ix x xii I II III PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 2 1.3 Tujuan Penelitian... 2 1.4 Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR...... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12 MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12 MIKROORGANISME MAKANAN DAN KEMASAN Bahan pangan mempunyai mikroflora spesifik yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hewan Babi Hewan babi berasal dari Genus Sus, Linnaeus 1758 mempunyai bentuk hidung yang rata sangat khas, hewan ini merupakan jenis hewan omnivora atau hewan pemakan segala.

Lebih terperinci

REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Debbie S. Retnoningrum Sekolah Farmasi, ITB Pustaka: 1. Glick, BR and JJ Pasternak, 2003, hal. 27-28; 110-120 2. Groves MJ, 2006, hal. 40 44 3. Brown TA, 2006,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. 4.1 Angka Lempeng Total (ALT) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Angka lempeng total mikroba yang diperoleh dari hasil pengujian terhadap permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Babi Babi adalah sejenis hewan ungulata yang bermoncong panjang dan berhidung leper dan merupakan hewan yang aslinya berasal dari Eurasia. Didalam Al-Qur an tertera dengan

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA Oleh: Gregorius Widodo Adhi Prasetyo A2A015009 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM

Lebih terperinci

BAKTERI PENCEMAR MAKANAN. Modul 3

BAKTERI PENCEMAR MAKANAN. Modul 3 BAKTERI PENCEMAR MAKANAN Modul 3 PENDAHULUAN Di negara maju 60% kasus keracunan makanan akibat Penanganan makanan yg tidak baik Kontaminasi makanan di tempat penjualan Di negara berkembang tidak ada data

Lebih terperinci

Fakultas Biologi Unsoed

Fakultas Biologi Unsoed TEKMK PCR oleh Drs. Agus Hery Susanto, M.S. staf pengajar Pendahuluan Teknik PCR (polymerase chain reaction) digunakan untuk menggandakan fragmen DNA (urutan basa nukleotida) tertentu secara invitro melalui

Lebih terperinci

TOKSIN MIKROORGANISME. Dyah Ayu Widyastuti

TOKSIN MIKROORGANISME. Dyah Ayu Widyastuti TOKSIN MIKROORGANISME Dyah Ayu Widyastuti Toksin bisa juga disebut racun Suatu zat dalam jumlah relatif kecil, bila masuk ke dalam tubuh dan bekerja secara kimiawi dapat menimbulkan gejala-gejala abnormal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Gambar 3 Diagram alir identifikasi bakteri Gram Positif Sumber: Bergey dan Breed 1994; Lay 1994 Analisis Data Analisis data dengan menggunakan metode deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

Pengujian DNA, Prinsip Umum

Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian berbasis DNA dalam pengujian mutu benih memang saat ini belum diregulasikan sebagai salah satu standar kelulusan benih dalam proses sertifikasi. Dalam ISTA Rules,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar karena makanan adalah sumber energi manusia. Makanan yang dikonsumsi manusia mempunyai banyak jenis dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif

Lebih terperinci

KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN

KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul penyakit yang disebabkan oleh pangan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli perairan Amerika Latin. Udang ini dibudidayakan mulai dari pantai barat

Lebih terperinci

MIKROORGANISME PATOGEN. Prepare by Siti Aminah Kuliah 2. Prinsip Sanitasi Makanan

MIKROORGANISME PATOGEN. Prepare by Siti Aminah Kuliah 2. Prinsip Sanitasi Makanan MIKROORGANISME PATOGEN Prepare by Siti Aminah Kuliah 2. Prinsip Sanitasi Makanan Sub Pokok Bahasan Definisi mikroorganisem pathogen Infeksi dan intoksikasi Jenis-jenis mikroorganisme pathogen dalam makanan

Lebih terperinci

Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat)

Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat) 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Mantis 2.1.1 Biologi Udang Mantis Udang mantis merupakan kelas Malocostraca, yang berhubungan dengan anggota Crustasea lainnya seperti kepiting, lobster, krill, amphipod,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan program komputer berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana proses sintesis daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Es batu merupakan air yang dibekukan dan biasanya dijadikan komponen

BAB 1 PENDAHULUAN. Es batu merupakan air yang dibekukan dan biasanya dijadikan komponen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Es batu merupakan air yang dibekukan dan biasanya dijadikan komponen pelengkap minuman (Hadi, 2014). Es batu termasuk produk yang penting dalam berbagai bidang usaha

Lebih terperinci

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup Marselinus Laga Nur Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup Bacilus cereus Gram-positif Aerobik membentuk endospora Tahan terhadap panas kering dan disinfektan kimia

Lebih terperinci

MAKALAH GENETIKA PCR ( Polimerase Chain Reaction ) «apikde...

MAKALAH GENETIKA PCR ( Polimerase Chain Reaction ) «apikde... http://apikdewefppundip201wordpress.com/2012/06/29/makalah-gene... 1 of 6 19/12/2012 23:43 APIKDEWEFPPUNDIP2011 Just another WordPress.com site MAKALAH GENETIKA PCR ( Polimerase Chain Reaction ) JUN 29

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sambal Cabai 1. Sambal Sambal salah satu bahan yang terbuat dari cabai dan ditambah bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal memiliki cita rasa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bumbu bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bumbu bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sosis 1. Pengolahan sosis Bahan dasar sosis adalah daging giling, dan bahan tambahan antara lain bumbu bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak, penyedap,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perempuan di dunia dan urutan pertama untuk wanita di negara sedang

I. PENDAHULUAN. perempuan di dunia dan urutan pertama untuk wanita di negara sedang I. PENDAHULUAN Kanker serviks menduduki urutan kedua dari penyakit kanker yang menyerang perempuan di dunia dan urutan pertama untuk wanita di negara sedang berkembang (Emilia, dkk., 2010). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR; BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional molekuler. Data yang diperoleh berasal dari pemeriksaan langsung yang dilakukan peneliti sebanyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resistensi bakteri Resistensi antibiotik menjadi masalah ketika antibiotik digunakan secara luas dengan tujuan pemusnahan bakteri, akan tetapi bakteri yang resisten terhadap

Lebih terperinci

PERANAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN KARYA TULIS ILMIAH. Oleh

PERANAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN KARYA TULIS ILMIAH. Oleh PERANAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN KARYA TULIS ILMIAH Oleh ELLIWATI HASIBUAN, S.Si, M.Si NIP. 1962 1017 2000 03 2 001 Pranata Laboratorium Perguruann

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan manusia untuk pertumbuhan dan perkembangan badan. Makanan yang dikonsumsi harus aman dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di

I. PENDAHULUAN. Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di dalam industri pangan dalam menghasilkan pangan fungsional. Fungsi ini dikarenakan kemampuan BAL yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mitokondria Mitokondria merupakan salah satu organel yang mempunyai peranan penting dalam sel berkaitan dengan kemampuannya dalam menghasilkan energi bagi sel tersebut. Disebut

Lebih terperinci

SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP SEL VEGETATIF DAN SPORA

SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP SEL VEGETATIF DAN SPORA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Manusia membutuhkan nutrisi yang bersumber dari makanan agar tubuh tetap sehat dan bugar sehingga dapat menjalankan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi dan Struktur Mitokondria Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma. Mitokondria berfungsi sebagai organ respirasi dan pembangkit energi dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan gram

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan gram BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Staphylococcus aureus 1.1. Morfologi Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan gram terlihat bentuk kokus ukurannya 0.8-1.0 mm dengan diameter 0.7-0.9

Lebih terperinci

KONTAMINASI DAN FOODBORNE (PERSPEKTIF SANITASI)

KONTAMINASI DAN FOODBORNE (PERSPEKTIF SANITASI) KONTAMINASI DAN FOODBORNE (PERSPEKTIF SANITASI) Asep Awaludin Prihanto, S.Pi, MP FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2011 Kontaminasi tergantung dari tipe seafood, kualitas air untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 2008). Tanaman ini sudah banyak dibudidayakan di berbagai negara dan di

BAB 1 PENDAHULUAN. 2008). Tanaman ini sudah banyak dibudidayakan di berbagai negara dan di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sawo (Manilkara zapota) adalah tanaman buah yang termasuk dalam famili Sapotaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko (Puspaningtyas, 2013). Tanaman sawo

Lebih terperinci

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DARI FESES BAYI DAN EVALUASI IN VITRO POTENSI PROBIOTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DARI FESES BAYI DAN EVALUASI IN VITRO POTENSI PROBIOTIK ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DARI FESES BAYI DAN EVALUASI IN VITRO POTENSI PROBIOTIK 1. Widodo, S.P., M.Sc., Ph.D. 2. Prof. drh. Widya Asmara, S.U., Ph.D. 3. Tiyas Tono Taufiq, S.Pt, M.Biotech

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Megalocytivirus merupakan salah satu genus terbaru dalam famili Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan kerugian ekonomi serta kerugian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Budi Daya Udang di Indonesia Pasokan ikan dunia pada saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di perairan laut. Namun demikian, pemanfaatan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tahu merupakan makanan yang biasa dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat Asia lainnya. Masyarakat Indonesia sudah sangat lama mengkonsumsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi DNA Metode isolasi dilakukan untuk memisahkan DNA dari komponen sel yang lain (Ilhak dan Arslan, 2007). Metode isolasi ini sesuai dengan protokol yang diberikan oleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu dari beberapa tanaman palma penghasil minyak yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan termasuk industri padat karya. Pengusahaan tanaman

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Purifikasi Bakteri Isolasi merupakan proses pemindahan organisme dari habitat asli ke dalam suatu habitat baru untuk dapat dikembangbiakkan. Purifikasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini masyarakat dunia dan juga Indonesia mulai mengutamakan penggunaan obat secara alami (back to nature). Pemanfaatan herbal medicine ramai dibicarakan,

Lebih terperinci

II. RERAN DAN KARAKTERISTIK MIKROBIA YANG PENTING DALAM PANGAN

II. RERAN DAN KARAKTERISTIK MIKROBIA YANG PENTING DALAM PANGAN II. RERAN DAN KARAKTERISTIK MIKROBIA YANG PENTING DALAM PANGAN 2.1. KLASIFIKASI DAN NOMENCLATUR Klasifikasi Mikroorganisme dapat diklasifikasikan menurut berbagai kriteria Contoh : suhu optimum pertumbuhan

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI. Perubahan Genetik, Replikasi DNA, dan Ekspresi Gen

BIOTEKNOLOGI. Perubahan Genetik, Replikasi DNA, dan Ekspresi Gen BIOTEKNOLOGI Perubahan Genetik, Replikasi DNA, dan Ekspresi Gen Sekilas tentang Gen dan Kromosom 1882, Walther Flemming menemukan kromosom adalah bagian dari sel yang ditemukan oleh Mendel 1887, Edouard-Joseph-Louis-Marie

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerang-kerangan yang termasuk dalam Kelas Bivalvia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Kerang-kerangan yang termasuk dalam Kelas Bivalvia merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerang-kerangan yang termasuk dalam Kelas Bivalvia merupakan organisme yang menetap di dasar laut dengan cara membenamkan diri di dalam pasir atau lumpur bahkan menempel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI GEN flic DENGAN METODE PCR UNTUK DETEKSI Salmonella typhi GALUR INDONESIA

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI GEN flic DENGAN METODE PCR UNTUK DETEKSI Salmonella typhi GALUR INDONESIA ABSTRAK OPTIMASI AMPLIFIKASI GEN flic DENGAN METODE PCR UNTUK DETEKSI Salmonella typhi GALUR INDONESIA T. Robertus, 2007. Pembimbing I : Johan Lucianus, dr., M.Si. Pembimbing II : Ernawati Arifin Giri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi permasalahan utama di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue yang jika tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Foodborne disease adalah penyakit yang ditularkan lewat makanan, dengan ciri berupa gangguan pada saluran pencernaan dengan gejala umum sakit perut, diare dan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak asasi setiap orang untuk keberlangsungan hidupnya. Makanan adalah unsur terpenting dalam menentukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari, komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat kompleks, tetapi ketersediaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Makanan dan minuman merupakan kebutuhan primer bagi manusia sebagai penghasil energi yang digunakan tubuh dalam melakukan aktivitas demi kelangsungan hidupnya. Ada berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Madu merupakan produk alam yang dihasilkan oleh lebah dan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Madu merupakan produk alam yang dihasilkan oleh lebah dan dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Madu Madu merupakan produk alam yang dihasilkan oleh lebah dan dapat dikonsumsi karena mengandung bahan gizi yang sangat essensial. Madu bukan hanya merupakan bahan pemanis,

Lebih terperinci

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan Jumlah dan jenis populasi mikroorganisme yang terdapat pada berbagai produk perikanan sangat spesifik. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan 4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP

KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP Tujuan Kajian Risiko Mikrobiologi Mengkaji secara sistematis tingkat risiko dari

Lebih terperinci

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Isolasi dan identifikasi bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Isolasi dan identifikasi bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik Tahap I BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Isolasi dan identifikasi bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik Hasil pengukuran sampel tanah yang digunakan pada percobaan 1 meliputi ph tanah, kadar

Lebih terperinci