Industri Unggulan Daerah dalam Perspektif Aglomerasi dan Daya Saing
|
|
- Erlin Oesman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Fokus Industri Unggulan Daerah dalam Perspektif Aglomerasi dan Daya Saing Dr. Alla Asmara, SPt, MSi Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Astri Fikanti Zuliastri, SE Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor 30 Volume 19 No. 2 Desember 2014
2 Pendahuluan Dinamika perekonomian global yang berkembang mengarah kepada tingkat persaingan yang semakin tinggi. Salah satu sektor utama dalam perekonomian Indonesia yang menghadapi tantangan persaingan yang semakin tinggi adalah sektor industri. Persaingan yang dihadapi oleh sektor industri nasional tidak hanya terjadi di pasar internasional tetapi juga di pasar domestik. Serbuan barang-barang impor di pasar domestik dapat mengancam produksi industri nasional. Demikian pula dengan ekspor produk industri nasional dapat terancam dengan keberadaan produk sejenis dari negara pesaing. Oleh karena itu, sektor industri nasional dituntut untuk mampu mengembangkan daya saing yang dimilikinya. Seperti sudah diketahui bahwa sektor industri merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor tersebut terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Selama periode kontribusi sektor industri terhadap pembentukkan PDB berkisar 25,54% hingga 25,80% (BPS, 2014). Pangsa sektor industri tersebut jauh berada di atas sektor-sektor lainnya. Namun demikian, pangsa sektor industri dalam pembentukan PDB menunjukkan trend penurunan. Pada tahun 2010 pangsa sektor industri sebesar 25,80%, menurun menjadi 25,71% (tahun 2011) dan kembali menurun menjadi 25,60% (tahun 2012) dan 25,54% (tahun 2013) (BPS, 2014). Penurunan kontribusi tersebut menjadi salah satu indikator yang membuat sebagian pihak menilai bahwa terjadi gejala deindustrialisasi di Indonesia. Berdasarkan Global Competitiveness Report tahun 2014 diketahui bahwa posisi daya saing Indonesia masih berada pada peringkat ke 34 dari 144 negara yang disurvei. Dengan posisi tersebut, daya saing Indonesia masih lebih rendah dibandingkan beberapa Negara ASEAN lainnya yaitu Singapura (ranking 2), Malaysia (ranking 20), dan Thailand (ranking 31). Rendahnya daya saing Indonesia tersebut tentunya terkait dengan daya saing sector industri nasional. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi daya saing industri nasional adalah terjadinya peningkatan biaya energi dan tingginya biaya ekonomi terkait dengan belum memadainya ketersediaan infrastruktur dan layanan birokrasi. Selain masalah eksternal tersebut, sektor industri juga mengalami masalah internal yaitu struktur industri hulu ke hilir yang masih lemah dan rendahnya penguasaan teknologi. Untuk mendorong peningkatan daya saing industri nasional maka sudah selayaknya pembangunan industri dilakukan secara terintegrasi mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjamin pembangunan industri yang terintegrasi adalah dengan pendekatan top down dan pendekatan bottom up. Melalui pendekatan top down maka pembangunan industri dilakukan dengan memperhatikan prioritas yang ditentukan secara nasional berdasarkan kemampuan untuk bersaing di pasar domestik dan internasional serta diikuti oleh partisipasi daerah. Adapun pendekatan bottom up merupakan pengembangan industri unggulan daerah melalui pemberdayaan produk industri unggulan daerah (Kemenperin, 2010). Volume Volume No. No. 2 Desember
3 Fokus Fokus kerajinan kayu dan industri tekstil dan produk tekstil. Lebih lanjut juga akan diuraikan terkait bagaimana hubungan aglomerasi dengan daya saing pada industri unggulan daerah. Aglomerasi dan Daya Saing Industri Unggulan Daerah Pengembangan industri unggulan daerah dilakukan dalam rangka mendorong terciptanya daya saing industri yang kuat di daerah. Pemusatan kegiatan industri di dalam suatu wilayah akan memberikan keuntungan berupa aglomerasi. Kuncoro (2004) mengungkapkan bahwa pengembangan sektor industri yang berbasis pada potensi dan sumberdaya yang dimiliki setiap daerah dengan dibarengi pendekatan aglomerasi merupakan suatu langkah strategis untuk meningkatkan daya saing industri. Keuntungan aglomerasi diperoleh karena lokasi yang saling berdekatan antar industri sehingga terjadi penghematan biaya produksi. Tambunan (2001) mengungkapkan bahwa pendekatan aglomerasi dapat meningkatkan daya saing dan menciptakan kekuatan industri nasional dalam bentuk saling ketergantungan, keterkaitan dan saling menunjang antara industri hulu, industri hilir, industri pendukung dan industri terkait. Sementara itu, Vidyatmoko et al. (2011) menyatakan bahwa salah satu penguat daya saing nasional adalah adanya efisiensi produksi pada kegiatan industri. Efisiensi produksi lebih mudah dicapai melalui aglomerasi industri karena faktor produksi yang dibutuhkan (tenaga kerja terampil) akan terkonsentrasi di lokasi tersebut. Selain itu, dengan teraglomerasinya industri maka transfer pengetahuan menjadi lebih mudah sehingga produktivitas industri dapat meningkat dan mempercepat pertumbuhan industri. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran daya saing dan aglomerasi beberapa industri unggulan daerah terpilih yang meliputi: industri pengolahan kakao, pengolahan karet, pengolahan kelapa, pengolahan kelapa sawit, pengolahan hasil laut, industri Aglomerasi industri merupakan pengelompokkan industri inti yang saling berhubungan dengan industri pendukung (supporting industries), industri terkait (related industries), jasa penunjang dan infrastruktur ekonomi. Pendekatan aglomerasi dalam pembangunan industri diartikan sebagai pemusatan kegiatan industri di suatu lokasi tertentu. Adanya aglomerasi tersebut dapat mengurangi biaya-biaya terutama biaya transaksi dan transportasi yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas sehingga berdampak pada peningkatan daya saing industri (Kuncoro, 2004). Keuntungan yang dihasilkan dari pembentukan aglomerasi industri yaitu peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar, kemudahan modal, akses pada supplier dan terjadinya transfer informasi serta sebaran pengetahuan (knowledge spillover). Aglomerasi merupakan fenomena yang lebih kompleks dibandingkan klaster industri. Perbedaan antara aglomerasi dan klaster industri terletak pada skala ekonomi, spesialisasi dan keanekaragaman industri (Kuncoro, 2012). Skala ekonomi dan keanekaragaman industri merupakan peran penting dalam pembentukan dan pertumbuhan aglomerasi. Sedangkan ciri utama dari suatu klaster industri adalah spesialisasi sektoral. Selain itu, perbedaan antara aglomerasi dan klaster industri terlihat pada output yang dihasilkan. Klaster merupakan kumpulan industri sejenis yang terkonsentrasi di suatu lokasi sehingga menghasilkan output yang lebih homogen. Sedangkan aglomerasi terbentuk karena berkumpulnya beragam industri pada suatu lokasi tertentu sehingga menghasilkan output yang heterogen. Akan tetapi, ada kaitan antara aglomerasi dan klaster, yaitu bahwa secara sederhana aglomerasi merupakan kumpulan klaster dari berbagai jenis industri. 32 Volume 19 No. 2 Desember 2014
4 Metode yang sering digunakan dalam menganalisis aglomerasi industri yaitu indeks konsentrasi tenaga kerja atau dikenal dengan istilah Hoover Balassa Index (HBI). Indeks Hoover Balassa ini menyatakan bahwa industri akan teraglomerasi pada suatu lokasi ketika share tenaga kerja untuk industri tersebut lebih besar daripada share tenaga kerja industri secara agregat (Tian, 2013). Nilai HBI > 1 menunjukkan bahwa industri unggulan teraglomerasi pada suatu wilayah dan jika nilai HBI < 1 menunjukkan industri tersebut tidak teraglomerasi. Sementara itu, suatu industri dikatakan berdaya saing apabila mampu menghasilkan barang dan jasa dengan biaya yang rendah (efisiensi biaya) sehingga dapat mempertahankan pangsanya secara berkelanjutan. Indikator yang sering digunakan untuk menilai daya saing suatu industri yaitu indeks Location Quotient (LQ) yang berbasis output. Industri dikatakan berdaya saing jika pangsa output industri di tingkat daerah (provinsi) lebih besar dibandingkan pangsa output secara nasional atau memiliki nilai LQ > 1. Sebaliknya, jika nilai LQ < 1, maka industri tersebut tergolong tidak berdaya saing. Pemetaan industri unggulan daerah berdasarkan tingkat daya saing dan aglomerasi disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa sebagian besar industri unggulan daerah memiliki daya saing yang tinggi (nilai LQ > 1) dan teraglomerasi (HBI > 1). Namun demikian, ada beberapa industri unggulan daerah yang memiliki daya saing rendah (kode 23 dan 29), tidak teraglomerasi (kode 24), serta memiliki daya saing rendah dan tidak teraglomerasi (kode 10, 31, 32). Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk peningkatan daya saing dan pengembangan aglomerasi perlu terus dilakukan. Peningkatan daya saing industri unggulan daerah dapat dilakukan dengan pengembangan kawasan yang memberikan insentif bagi terbentuknya aglomerasi industri. Dengan terbentuknya aglomerasi industri tersebut maka akan mengurangi biaya transaksi dan memudahkan industri untuk berinteraksi dengan industri-industri terkait sehingga akan meningkatkan produktivitas dan daya saing industri tersebut. Selain itu, peningkatan daya saing industri unggulan daerah juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi produk industri yang dihasilkan yaitu dengan peningkatan efisiensi produksi melalui adopsi teknologi. Keterangan: 1. Kakao (Sumatera Barat) 11. Kelapa Sawit (Sumut) 21. Hasil Laut (Sultra) 31. Tekstil (Jawa Timur) 2. Kakao (NTT) 12. Kelapa Sawit (Riau) 22. Hasil Laut (Maluku) 32. Kayu (DKI Jakarta) 3. Kakao (Sulawesi Barat) 13. Kelapa Sawit (Jambi) 23. Hasil Laut (Gorontalo) 33. Kayu (Jawa Tengah) 4. Kakao ( Sulawesi Selatan) 14. Kelapa Sawit (Kalbar) 24. Hasil Laut (Babel) 34. Kayu (DI Yogyakarta) 5. Karet (Sumatera Selatan) 15. Kelapa Sawit (Kalsel) 25. Hasil Laut (Sulut) 35. Kayu (Jawa Timur) 6. Karet (Bengkulu) 16. Kelapa Sawit (Kaltim) 26. Hasil Laut (Sulsel) 36. Kayu (Papua Barat) 7. Karet (Sumatera Utara) 17. Kelapa (Maluku Utara) 27. Hasil Laut (Papua Barat) 8. Karet (Jambi) 18. Kelapa (Riau) 28. Tekstil (Jawa Barat) 9. Karet (Kalimantan Barat) 19. Kelapa (Sulawesi Utara) 29. Tekstil (Banten) 10. Karet (Kalimantan Timur) 20. Hasil Laut (Sulteng) 30. Tekstil (Jawa Tengah) Gambar 1. Pemetaan Industri Unggulan Daerah Berdasarkan Tingkat Daya Saing dan Aglomerasi Volume 19 No. 2 Desember
5 Fokus Rubrik Utama Apabila dikaji lebih detail untuk setiap jenis industri diketahui bahwa tingkat daya saing dan aglomerasi yang dicapai relatif beragam. Sebaran tingkat daya saing dan aglomerasi tertinggi untuk setiap jenis industri adalah sebagai berikut: (1) industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan (kode 4); (2) industri pengolahan kelapa sawit di Jambi (kode 13); (3) industri pengolahan kelapa di Sulawesi Utara (kode 19); (4) industri tekstil di Jawa Barat (kode 28); (5) industri pengolahan karet di Kalimantan Barat (kode 9); (6) industri pengolahan hasil laut di Sulawesi Tengah; dan (7) kerajinan kayu di Jawa Timur. Industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan memiliki nilai LQ 9,49 dan nilai HBI sebesar 9,35. Tingginya daya saing industri kakao di daerah tersebut dikarenakan besarnya nilai tambah dan produktivitas tenaga kerja. Industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan teraglomerasi secara spasial di Kota Makasar, Kabupaten Luwu, Pinrang, Kabupaten Bone dan Kota Palopo. Sementara itu, industri kelapa sawit di Jambi mencapai nilai LQ 9,48 dan nilai HBI sebesar 9,50. Industri pengolahan kelapa kelapa sawit di Jambi didukung oleh produksi kelapa sawit yang mencapai 1,3 juta ton per tahun dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai ribu hektar. Untuk industri pengolahan kelapa di Sulawesi Utara, daya saing yang tinggi didukung oleh capaian nilai tambah yang dihasilkan. Selain itu, industri pengolahan kelapa di Sulawesi Utara memiliki tingkat efisiensi biaya yang besar. Industri pengolahan kelapa di Sulawesi Utara teraglomerasi secara spasial di Kabupaten Talaud, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Daya saing industri tekstil di Jawa Barat didukung oleh peningkatan produktivitas tenaga kerja. Industri tekstil di Jawa Barat teraglomerasi secara spasial di Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Bogor, Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Cirebon, Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cimahi dan Kabupaten Bekasi. Sementara itu, daya saing industri pengolahan karet di Kalimantan Barat memiliki tren peningkatan daya saing. Peningkatan daya saing tersebut didorong oleh peningkatan nilai tambah dan produktivitas. Industri karet tersebut teraglomerasi secara spasial di Kabupaten Pontianak, Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Kapuas Hulu. Daya saing industri pengolahan hasil laut di Sulawesi Tengah didukung oleh ketersedian sumber bahan baku. Industri pengolahan hasil laut tersebut teraglomerasi secara spasial di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi Biromaru, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una Una, Kabupaten Morowali, Kabupaten Toli-Toli, Kabupaten Buol, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Banggai Kepulauan. 34 Volume 19 No. 2 Desember 2014
6 Sementara itu, daya saing industri kerajinan kayu di Jawa Timur didukung oleh ketersediaan bahan baku dan tenaga kerja terampil. Industri pengolahan kayu tersebut teraglomerasi secara spasial di Kota Jepara, Kabupaten Lamongan dan kawasan Pantura. Pengujian hubungan antara aglomerasi dengan daya saing industri unggulan daerah dilakukan dengan Uji Granger Causality. Hasil pengujian Granger Causality disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Kausalitas Granger Null Hypothesis F-stat Prob HBI does not Granger Cause LQ LQ does not Granger Cause HBI Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa aglomerasi memengaruhi daya saing industri dan juga sebaliknya, daya saing memengaruhi aglomerasi industri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada industri unggulan daerah, hubungan kausalitas aglomerasi dengan daya saing bersifat dua arah. Artinya, aglomerasi dan daya saing bersifat saling mempengaruhi. Ketika industri beraglomerasi di suatu lokasi maka industri tersebut menjadi lebih mudah dan murah untuk berinteraksi dengan industriindustri terkait sehingga dapat meminimalkan biaya transaksi dan meningkatkan daya saing industri. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa industri yang teraglomerasi di suatu daerah akan memperoleh penghematan berupa penurunan biaya transportasi dan biaya transaksi karena lokasi yang saling berdekatan antar industri. Begitu juga, semakin berdaya saing suatu industri maka semakin terdorong untuk beraglomerasi di suatu lokasi dengan tujuan untuk lebih meningkatkan efisiensi. Secara empiris, pemetaan industri (Gambar 1) menunjukkan bahwa sebagian besar industri unggulan daerah yang berdaya saing merupakan industri yang beraglomerasi. Penutup Sebagian besar industri unggulan daerah di Indonesia merupaka industri yang berdaya saing dan teraglomerasi. Lebih lanjut, dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah antara daya saing dan aglomerasi pada industri unggulan daerah. Dengan demikian, pengembangan industri berbasis unggulan daerah yang dikombinasikan dengan pendekatan aglomerasi merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing industri unggulan daerah. Referensi [BPS] Badan Pusat Statistik Statistik Indonesia 2014: Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun Jakarta:BPS. Kementerian Perindustrian Perkembangan Penyusunan Peta Panduan Pengembangan Industri Unggulan Provinsi. kemenperin.go.id. Kementerian Perindustrian Statistik Industri Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian. Kuncoro M Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta : Erlangga. Kuncoro M Ekonomika Aglomerasi. : Dinamika dan Dimensi Spasial Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Landiyanto EA Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur Tinjauan Empiris di Kota Surabaya. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 5(2): Puga The Magnitude and Causes of Agglomeration Economies. Journal of Regional Science 50 (1) : Tambunan T Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang : Kasus Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. Tian, Zheng Measuring Agglomeration Using the Standardized Location Quotient with a Bootstrap Method. The Journal of Regional Analysis and Policy 43 (2) : Vidyatmoko D, Rosadi H, Taufiq R Peningkatan Daya Saing Industri : Metode dan Studi Kasus. Jakarta : BPPT Press. Zuliastri F Analisis Faktor Yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Unggulan Daerah Dan Hubungannya Dengan Daya Saing Industri Daerah [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Volume 19 No. 2 Desember
BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang melimpah. Sumber daya alam nantinya dapat digunakan sebagai pendukung
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam nantinya dapat digunakan sebagai pendukung kegiatan industri serta
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).
Lebih terperinciKEBUTUHAN FORMASI CPNS BNN TAHUN 2013
BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEBUTUHAN FORMASI CPNS BNN TAHUN 2013 LAMPIRAN PENGUMUMAN NOMOR : PENG/01/IX/2013/BNN TANGGAL : 4 SEPTEMBER 2013 No. 1 ACEH BNNP Aceh Perawat D-3 Keperawatan
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA
KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN
Lebih terperinciWORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)
WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:
Lebih terperinciDAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH
DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN 2010-2014 PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH BAB.I ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN WILAYAH 2010-2014 1.1 Pendahuluan...
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP
KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Selain sebagai sumber utama minyak nabati, kelapa sawit
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong
Lebih terperinciDAFTAR SATUAN KERJA TUGAS PEMBANTUAN DAN DEKONSENTRASI TAHUN 2009 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
DAFTAR SATUAN KERJA DAN TAHUN 2009 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM NO. KAB/KOTA 1 PENATAAN RUANG - - 32 32 2 SUMBER DAYA AIR 28 132-160 3 BINA MARGA 31 - - 31 59 132 32 223 E:\WEB_PRODUK\Agung\Pengumuman\NAMA
Lebih terperinciANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA PONTIANAK DENGAN METODE LOCATION QUOTIENT, SHIFT SHARE DAN GRAVITASI
Buletin Ilmiah Mat. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 05, No. 1 (2016), hal 19 24. ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA PONTIANAK DENGAN METODE LOCATION QUOTIENT, SHIFT SHARE DAN GRAVITASI Evi Julianti,
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN
BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografis Negara Indonesia Penulis menyajikan gambaran umum yang meliputi kondisi Geografis, kondisi ekonomi di 33 provinsi Indonesia. Sumber : Badan Pusat Statistik
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Analisis Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 1.1 Simpulan 5.1.1 Simpulan Analisis Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Berdasarkan analisis rasio ketergantungan daerah, semua pemerintah daerah di Pulau Sulawesi, memiliki
Lebih terperinciPROGRAM KEGIATAN DITJEN PPI TAHUN 2011 DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PRIORITAS
PROGRAM KEGIATAN DITJEN PPI TAHUN 2011 DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PRIORITAS DIREKTORAT JENDERAL PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI 28 Februari 2011 Indonesia memiliki keunggulan komparatif
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI DALAM KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET)
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI DALAM KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) DirektoratPengembangan Fasilitasi Industri Wilayah I Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayhan Industri 2013 POKOK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT
V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan
Lebih terperinciDAFTAR PENERIMA SURAT Kelompok II
DAFTAR PENERIMA SURAT Kelompok II Lampiran I Surat No. B.41/S.KT.03/2018 Tanggal: 19 Februari 2018 Kementerian/Lembaga 1. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman 2. Sekretaris Kementerian
Lebih terperinciPEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA
Pendahuluan Policy Brief PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing pertanian. Di tingkat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sektor Industri merupakan sektor yang menjadi mesin pertumbuhan bagi sebuah perekonomian. Industiralisasi dianggap sebagai strategi sekaligus obat bagi banyak Negara.
Lebih terperinciInfo Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan
Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856
Lebih terperinciDaftar Daerah yang Melaksanakan Pilkada Serentak Tahun 2018 (Masa Jabatan Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah Berakhir Tahun 2018 dan Tahun 2019)
Daftar Daerah yang Melaksanakan Pilkada Serentak Tahun 2018 (Masa Jabatan Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah Berakhir Tahun 2018 dan Tahun 2019) No Provinsi Akhir Masa Jabatan 1. Sumut 17-06-2018 2. Sumsel
Lebih terperinciPOTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)
POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi
BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk
Lebih terperinciKATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI DEDI MULYADI
KATA PENGANTAR Renstra Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri 2010-2014 disusun agar dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan nasional
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik (Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo) sampai dengan teori ekonomi modern (W.W. Rostow dan
Lebih terperinciMENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada: SEMINAR NASIONAL FEED THE WORLD JAKARTA, 28 JANUARI 2010 Pendekatan Pengembangan Wilayah PU Pengembanga n Wilayah SDA BM CK Perkim BG AM AL Sampah
Lebih terperinciPOTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)
POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan
Lebih terperinciPERKEMBANGAN PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA SEMENTARA 2015)
No. 17/03/72/Th.XIX, 01 Maret 2016 PERKEMBANGAN PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA SEMENTARA 2015) A. PADI Angka Sementara (ASEM) produksi padi Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2015 sebesar 1.015.368 ton
Lebih terperinciVI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN
VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN Pada bab V telah dibahas potensi dan kesesuaian lahan untuk seluruh komoditas pertanian berdasarkan pewilayahan komoditas secara nasional (Puslitbangtanak,
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku
Lebih terperinciNAMA SATKER LINGKUP BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN TAHUN 2014
NAMA SATKER LINGKUP BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN TAHUN 2014 NO NAMA SATKER BADAN KETAHANAN PANGAN, KEMENTERIAN PERTANIAN DKI JAKARTA 1 DINAS KELAUTAN DAN PERTANIAN PROVINSI DKI JAKARTA
Lebih terperinciRENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018
RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 30 Mei 2017 CAPAIAN INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN PERKEBUNAN NO.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Iva Prasetyo Kusumaning Ayu, FE UI, 2010.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan berlangsungnya pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional, maka transformasi struktural dalam perekonomian merupakan suatu proses yang tidak terhindarkan.
Lebih terperinciBoks 2. Ketahanan Pangan dan Tata Niaga Beras di Sulawesi Tengah
Boks 2. Ketahanan Pangan dan Tata Niaga Beras di Sulawesi Tengah Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk Sulawesi Tengah dengan padi, kakao, kelapa, cengkeh dan ikan laut sebagai komoditi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP
KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan
Lebih terperinciPERKEMBANGAN PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA SEMENTARA 2014)
No. 19/03/72/Th.XVIII, 2 Maret 2015 PERKEMBANGAN PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA SEMENTARA 2014) A. PADI Angka Sementara (ASEM) produksi padi Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2014 sebesar 1.020.561 ton
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN
BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN A. Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis 2 0 08 LU serta 3 0 02 LS serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Industri pengolahan
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Industri menurut BPS (Badan Pusat Statistik) adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang
Lebih terperinciBADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM MENGAKSELERASI PROGRAM PANGAN BERKELANJUTAN DAN PENINGKATAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia
Lebih terperinciIndonesia Economy : Challenge and Opportunity
Indonesia Economy : Challenge and Opportunity NUNUNG NURYARTONO Go-Live Round Table Discussion Adelaide 7 November Outline A Fact on Indonesia Economy Problem and Challenge Opportunity Discussion 1 Indonesia
Lebih terperinciPOTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)
POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.
Lebih terperinciVIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN
185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya
Lebih terperinciDr. Prasetijono Widjojo MJ, MA Deputi Bidang Ekonomi Bappenas. Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013
Dr. Prasetijono Widjojo MJ, MA Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013 SISTEMATIKA 1. Arah Kebijakan Prioritas Nasional 2. Isu-isu Penting dalam Prioritas
Lebih terperinciPROGRAM KERJA 2009 & RENCANA KERJA 2010 DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO DAN KIMIA
PROGRAM KERJA 2009 & RENCANA KERJA 2010 DITJEN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA Disampaikan oleh : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO DAN KIMIA pada Rapat Kerja Departemen Perindustrian dengan Dinas Propinsi/Kabupaten/Kota
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk
Lebih terperinciPENGEMBANGAN MODEL KONSENTRASI SPASIAL PENGUATAN USAHA KECIL MENENGAH (Kasus Industri Kecil Menengah di Pantura Jawa Tengah)
PENGEMBANGAN MODEL KONSENTRASI SPASIAL PENGUATAN USAHA KECIL MENENGAH (Kasus Industri Kecil Menengah di Pantura Jawa Tengah) Semarang, 12 Mei 2010 Tim Peneliti: Darwanto, S.E, M.Si. (NIP. 19781108 200812
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pada saat sekarang ini pertumbuhan industri sedang gencar-gencarnya,
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat sekarang ini pertumbuhan industri sedang gencar-gencarnya, seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia. Industri tidak dapat dilepaskan dari penggunaan air, baik
Lebih terperinciBoks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model
Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013
BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Pada posisi semacam ini investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan
Lebih terperinciDAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009
ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT
Lebih terperinci5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT
5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang
Lebih terperinciV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas
Lebih terperinciKAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia
Lebih terperinciPOTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)
POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional
Lebih terperinciNAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA
2012, No.659 6 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR PER.07/MEN/IV/2011
Lebih terperinciRingkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional
Ringkasan Kebijakan Pembangunan Industri Nasional Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak sangat ketatnya persaingan, dan cepatnya terjadi perubahan lingkungan
Lebih terperinciMETODE SPASIAL DALAM MEMETAKAN SEKTOR PETERNAKAN UNGGULAN DI INDONESIA. Oleh: Nur Faijah 1 Abdul Azim Wahbi 2
METODE SPASIAL DALAM MEMETAKAN SEKTOR PETERNAKAN UNGGULAN DI Oleh: Nur Faijah 1 Abdul Azim Wahbi 2 1 Alumni Universitas Indraprata PGRI, Jakarta 2 Dosen Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta ABSTRAK Tujuan
Lebih terperinciPANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan
PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan Subdit Pengelolaan Persampahan Direktorat Pengembangan PLP DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Aplikasi SIM PERSAMPAHAN...(1)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun
1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing
Lebih terperinciDINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan
Lebih terperinci5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA
86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan
Lebih terperinciREKAPITULASI REALISASI ANGGARAN PER SATKER PER KEWENANGAN TAHUN ANGGARAN 2015 KONDISI PER TANGGAL 4 JULI 2015
REKAPITULASI REALISASI ANGGARAN PER SATKER PER KEWENANGAN TAHUN ANGGARAN 2015 KONDISI PER TANGGAL 4 JULI 2015 No. SATKER PAGU ANGGARAN (RP.) REALISASI (RP.) % 1 019032 DINAS KELAUTAN, PERTANIAN DAN KETAHANAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam usaha percepatan pembangunan ekonomi, industrialisasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam usaha percepatan pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah yang dapat menciptakan pemerataan pembangunan
Lebih terperinciDAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana
Lebih terperinciAssalamu alaikum Wr. Wb.
Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan
Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kelemahan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu dan krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah menimbulkan berbagai persoalan yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto
Lebih terperinciJumlah No. Provinsi/ Kabupaten Halaman Kabupaten Kecamatan 11. Provinsi Jawa Tengah 34 / 548
4. Kota Bekasi 23 109 5. Kota Bekasi 10 110 6. Kabupaten Purwakarta 17 111 7. Kabupaten Bandung 43 112 8. Kodya Cimahi 3 113 9. Kabupaten Sumedang 26 114 10. Kabupaten Garut 39 115 11. Kabupaten Majalengka
Lebih terperinciNAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA. No Nama UPT Lokasi Eselon Kedudukan Wilayah Kerja. Bandung II.b DITJEN BINA LATTAS
5 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR PER.07/MEN/IV/2011
Lebih terperinciPENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN Kementerian Pertanian Seminar Nasional Agribisnis, Universitas Galuh Ciamis, 1 April 2017 Pendahuluan Isi Paparan Kinerja dan permasalahan Posisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara maritim yang kaya akan potensi ikannya, sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan dan perairan. Sektor perikanan menjadi bagian yang sangat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bencana banjir berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 1815 2013 yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Lebih terperinciPENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN BERBASIS PRODUK PERTANIAN DI KABUPATEN-KABUPATEN PROVINSI JAWA BARAT
PENGEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN BERBASIS PRODUK PERTANIAN DI KABUPATEN-KABUPATEN PROVINSI JAWA BARAT Oleh: Juri Juswadi Program Studi Agribisnis Universitas Wiralodra e-mail: yuswadi_yuri@yahoo.co.id
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan. berlangsung dalam jangka panjang (Suryana:2000).
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi ini mengandung
Lebih terperinciKEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
BELANJA MELALUI KPPN DAN BUN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 211 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 18 DEPARTEMEN PERTANIAN : 4 DITJEN HORTIKULTURA : LRBEB 1b : 9 Maret 215 : 1 SEMULA SETELAH 1 IKHTISAR
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM
BAB IV GAMBARAN UMUM A. Provinsi Jawa Barat Kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Jawa
Lebih terperinciINDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 No. 29/05/72/ThXX, 05 Mei 2017 IPM Sulawesi Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Sulawesi Tengah terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya
Lebih terperinciIV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok
Lebih terperinciPENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS REVITALISASI PERKEBUNAN (KELAPA SAWIT, KAKAO, KARET) TAHUN 2013
PENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS REVITALISASI PERKEBUNAN (KELAPA SAWIT, KAKAO, KARET) TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum No. 11/02/94/Th. VII, 6 Februari 2017 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan
Lebih terperinciPERKEMBANGAN REALISASI ANGGARAN SATKER LINGKUP BKP PER 11 NOVEMBER 2013
PERKEMBANGAN REALISASI ANGGARAN SATKER LINGKUP BKP PER 11 NOVEMBER 2013 SATKER PAGU REALISASI % DINAS KELAUTAN DAN PERTANIAN PROVINSI DKI JAKARTA 3,025,650,000 2,207,781,900 72.97 BADAN KETAHANAN PANGAN
Lebih terperinciPAGU ANGGARAN ESELON I MENURUT PROGRAM DAN JENIS BELANJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA. 2012
NO KODE UNIT KERJA/PROGRAM PAGU ANGGARAN ESELON I MENURUT PROGRAM DAN JENIS KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA. 212 BARANG MODAL (Dalam ribuan rupiah) 1 SEKRETARIAT JENDERAL 12,47,993 53,265,361 283,213,727
Lebih terperinciTABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA
No. 01/08/53/TH.XIV, 5 AGUSTUS PERTUMBUHAN EKONOMI NTT TRIWULAN II TUMBUH 5,21 PERSEN Pertumbuhan ekonomi NTT yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan II tahun
Lebih terperinciAKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian
AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) melindungi segenap bangsa
Lebih terperinci