KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI DEDI MULYADI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI DEDI MULYADI"

Transkripsi

1 KATA PENGANTAR Renstra Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri disusun agar dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010), Kebijakan Industri Nasional (Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007), serta Renstra Kementerian Perindustrian Dalam rangka menjamin keberhasilan pelaksanaannya dan terwujudnya pencapaian Visi Renstra Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri , maka akan dilakukan evaluasi setiap tahun dan apabila diperlukan akan disempurnakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dengan tanpa mengubah visi dan misi Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri periode Renstra Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri diharapkan akan mampu meningkatkan keterpaduan, keteraturan, dan keterkendalian perencanaan program dan kegiatan dari seluruh unit kerja dalam rangka mencapai kinerja yang tinggi sebagaimana yang digariskan pada indikator kinerja dari masing-masing unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri. Jakarta, Januari 2012 DIREKTUR JENDERAL PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI DEDI MULYADI Renstra Ditjen PPI i

2 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Kondisi Umum... 1 B. Potensi dan Permasalahan Perkembangan Industri Daerah Potensi dalam Pengembangan Perwilayahan Industri Permasalahan dalam Pengembangan Perwilayahan Industri C. Maksud dan Tujuan Tugas Pokok dan Fungsi Ruang Lingkup BAB II VISI, MISI, DAN TUJUAN DIREKTORAT JENDERAL PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI A. Visi B. Misi C. Pendekatan D. Kondisi yang Diharapkan Tahun E. Kondisi yang Diharapkan Tahun F. Tujuan G. Sasaran BAB III ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI A. Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Perindustrian B. Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri BAB IV PENUTUP LAMPIRAN Renstra Ditjen PPI ii

3 DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Sumatera... 5 Tabel 1.2 Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Jawa... 6 Tabel 1.3 Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Kalimantan... 7 Tabel 1.4 Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Sulawesi... 7 Tabel 1.5 Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Bali dan Nusa Tenggara... 8 Tabel 1.6 Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Kepulauan Maluku... 9 Tabel 1.7 Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Papua... 9 Tabel 2.1 Sasaran Kuantitatif Peran PDRB Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDB Sektor Industri Pengolahan Nonmigas Tabel 2.2 Sasaran Kuantitatif Peran PDB Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDB Nasional Renstra Ditjen PPI iii

4 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Kontribusi PDRB Berdasarkan Wilayah Tahun Gambar 1.2 Kontribusi PDRB Berdasarkan Pulau Tahun Gambar 1.3 Posisi Provinsi pada Kuadran Pertumbuhan dan LQ Gambar 3.1 Peta Strategi Ditjen PPI Gambar 3.2 Struktur Organisasi Ditjen PPI Renstra Ditjen PPI iv

5 BAB I PENDAHULUAN A. KONDISI UMUM Sektor industri merupakan sektor yang memberikan nilai tambah terbesar dan memberikan kesempatan kerja yang luas serta memiliki kontribusi yang signifikan dalam menyelesaikan permasalahan pengentasan kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Mengingat kompleksitas permasalahan industri nasional, pengembangan industri harus dilakukan secara sinergi, holistik dan integratif di seluruh wilayah Indonesia, sehingga setiap daerah di Indonesia dapat memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan penyelesaian masalah bangsa. Kebijakan Industri Nasional telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008, dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing industri baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional. Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan industri nasional serta menselaraskan dan mensinergikan langkah-langkah pelaksanaannya, diperlukan kerja sama yang erat dan berkelanjutan antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Dalam upaya dimaksud, diperlukan dukungan organisasi kelembagaan dalam sebuah mekanisme operasional sebagai alat koordinasi dan monitoring bagi pelaksanaan kebijakan pengembangan industri baik di daerah maupun di tingkat nasional agar tujuan pembangunan industri tercapai sepenuhnya. Peningkatan daya saing nasional pada dasarnya merupakan akumulasi dari peningkatan daya saing daerah. Daya saing Indonesia merupakan gambaran lemah atau kuatnya daya saing daerah. Peringkat daya saing Indonesia menurut World Economic Forum (WEF) tahun 2011 berada pada posisi urutan ke 42 dari 142 negara yang dinilai, turun dua peringkat dari tahun 2010 (urutan 44 dari 132 negara). Peringkat daya saing Indonesia tahun 2011 masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Renstra Ditjen PPI

6 Tenggara lainnya; misalnya Singapura berada pada urutan ke 2, Malaysia pada urutan ke 21, Brunei pada Thailand pada urutan ke 39. Dengan demikian, diperlukan upaya yang lebih besar untuk dapat meningkatkan kinerja dan daya saing industri nasional maupun daerah untuk mengejar ketertinggalan dari negara anggota ASEAN lainnya. Dalam rangka mendukung pencapaian visi Pembangunan Industri Nasional Jangka Panjang (2025) yaitu Membawa Indonesia untuk menjadi Negara Industri Tangguh Dunia pada tahun 2025, diperlukan proses pengenalan masalah dan isu strategis yang harus segera ditangani. Terdapat empat permasalahan dan isu strategis yang teridentifikasi berkaitan dengan pengembangan perwilayahan industri. Pertama, Adanya ketimpangan pembangunan antar sektor ekonomi yang ditunjukkan oleh menurunnya sumbangan sektor industri terhadap PDRB dan semakin tingginya kontribusi sektor primer dan perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah masih lebih berperan sebagai pemasok komoditas, sehingga nilai tambah yang diperoleh relatif kecil. Fenomena ini diakibatkan belum efektifnya pemberian insentif bagi pelaku yang bergerak di bidang pengolahan komoditi primer di daerah. Dengan demikian, isu strategisnya adalah pengembangan kebijakan yang bersifat mendorong pemangku kepentingan di daerah untuk penciptaan nilai tambah domestik yang lebih besar. Kedua, Belum adanya terobosan dalam implementasi otonomi daerah yang terkait dengan pengembangan otonomi ekonomi khususnya otonomi industri. Selama ini implementasi otonomi daerah masih sebatas pada otonomi keuangan daerah mengingat desain awal otonomi daerah lebih fokus kepada kebijakan dan peraturan mengenai otonomi keuangan daerah. Hal ini menimbulkan konsekuensi PDB sektor industri di sebagian besar daerah semakin tertinggal perkembangan ekonomi daerahnya. Melihat kondisi tersebut, isu strategisnya adalah membangun komitmen yang tinggi dari stakeholder industri di daerah dalam membangun kompetensi inti yang dapat menghela perekonomian daerahnya. Renstra Ditjen PPI

7 Ketiga, Industri di daerah sebagian besar berskala kecil dan menengah (IKM), yang umumnya memiliki keterbatasan dalam permodalan, teknologi, sumber daya manusia (SDM), pasar dan manajemen sehingga masih berdaya saing rendah. Isu strategisnya adalah membangun program pemberdayaan IKM agar memiliki daya saing yang lebih baik. Keempat, Lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari produktivitas yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional. Diperlukan model pengembangan industri yang berskala ekonomi tertentu dan tidak dibatasi oleh wilayah pemerintahan namun merupakan kolaborasi dan sinergi antar kabupatenkota dalam geografis tertentu yang mempunyai keunggulan sepanjang rantai pasokan suatu produk. Isu strategisnya adalah mengembangkan model pengembangan sumber daya, infrastruktur, teknologi, tata kelola industri dan kebijakan sebagai stimulan agar daerah mau berpatisipasi dan berkolaborasi dalam rantai pasokan produk unggulan. Berdasarkan kondisi, permasalahan dan isu strategis di atas, peningkatan daya saing industri di daerah mutlak diperlukan untuk kepentingan industri daerah yang nantinya berujung pada penguatan industri nasional. Upaya peningkatan ini merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, selain diperlukan perbaikan internal di masing-masing daerah, diperlukan juga kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dalam upaya mengatasi isu-isu strategis tersebut, maka Kementerian Perindustrian membentuk unit eselon 1 baru yaitu Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, yang menyelenggarakan fungsi antara lain perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang perwilayahan industri. Renstra Ditjen PPI

8 Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri sebagai salah satu Unit Organisasi Kementerian Perindustrian perlu menyusun Rencana Strategis untuk 5 (lima) tahun ke depan sebagai pedoman dalam rangka melakukan fasilitasi, koordinasi dan memonitor pelaksanaan kebijakan pengembangan industri di daerah dan nasional agar implementasi pembangunan industri nasional dilakukan secara holistik, sinergi dan terintegrasi. B. POTENSI DAN PERMASALAHAN 1. Perkembangan Industri Daerah a. Perkembangan PDRB berdasarkan Wilayah Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun menunjukkan ketimpangan nilai PDRB antara wilayah Jawa dan wilayah luar Jawa. Wilayah Jawa masih menjadi pusat kegiatan ekonomi utama dengan sumbangan/kontribusi PDRB ratarata per tahun sekitar dari 60 persen dan wilayah Sumatera lebih dari 22 persen, sementara sumbangan wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya sekitar 17 persen. Sumber : BPS diolah Kemenperin Gambar 1.1. Kontribusi PDRB Berdasarkan Wilayah Tahun Selama tahun 2000 sampai tahun 2009, kontribusi PDRB terhadap PDB berdasarkan pulau tidak mengalami perubahan secara Renstra Ditjen PPI

9 signifikan. Hal ini berarti perkembangan perekonomian di daerah cenderung stabil atau relatif tidak ada pergeseran kontribusi antar pulau. Pada tahun 2000, Pulau Jawa berkontribusi sebesar 58,85 persen dan turun sedikit menjadi 58,58 persen pada tahun Pulau Sumatera pada tahun 2000 mempunyai 22,71 persen menjadi 22,90 persen di tahun Secara keseluruhan kontribusi PDRB di luar pulau Jawa hanya naik sekitar 1 persen selama 9 tahun terakhir Sumber : BPS diolah Kemenperin Gambar 1.2. Kontribusi PDRB Berdasarkan Pulau Tahun 2000 dan 2009 b. Kontribusi Sektor Industri berdasarkan Provinsi 1) Sumatera Tabel 1.1. Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Sumatera No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kep. Riau Jambi Renstra Ditjen PPI

10 No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Total Sumber : BPS diolah Kemenperin Kontribusi PDRB sektor industri terbesar untuk Pulau Sumatera pada tahun 2009 adalah Provinsi Kepulauan Riau sebesar 46,20 persen. Kontribusi sektor industri di Kepulauan Riau tersebut didukung oleh sekitar 10 kawasan industri. Kontribusi terbesar kedua disumbang oleh Provinsi Sumatera Utara sebesar 23,15 persen, dan kemudian Provinsi Bangka Belitung sebesar 21,62 persen (Tabel 1.1). 2) Jawa Kontribusi PDRB sektor industri terbesar untuk Pulau Jawa pada tahun 2009 adalah Provinsi Banten sebesar 49,25 persen, diikuti Jawa Barat sebesar 37,76 persen, diikuti Jawa Timur 28,14 persen dan Jawa Tengah sebesar 20,06 persen (Tabel 1.2). Tabel 1.2. Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Jawa No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Renstra Ditjen PPI

11 No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB Total Sumber : BPS diolah Kemenperin 3) Kalimantan Tabel 1.3. Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Kalimantan No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Total Sumber : BPS diolah Kemenperin Pada tahun 2009, Provinsi Kalimantan Barat memiliki kontribusi sektor industri terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu 18,96 persen, kemudian Kalimantan Selatan sebesar 9,86 persen, dan kontribusi terendah dicapai oleh Provinsi Kalimantan Timur sebesar 4,75 persen. 4) Sulawesi Tabel 1.4. Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Sulawesi No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Renstra Ditjen PPI

12 No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Total Sumber : BPS diolah Kemenperin Berdasarkan tabel diatas, semua Provinsi di Pulau Sulawesi mempunyai kontribusi sektor industri terhadap PDRB dibawah 10 persen, kecuali Provinsi Sulawesi Selatan dengan kontribusi sebesar 12,52 persen. Sebagaimana diketahui bahwa hanya ada 1 (satu) kawasan industri yang beroperasi di Pulau Sulawesi, yaitu Kawasan Industri Makassar (KIMA) di Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan di provinsi lainnya masih dalam tahap pembangunan kawasan industri. 5) Bali dan Nusa Tenggara Provinsi Bali mempunyai beragam industri kecil dan menengah, sehingga sampai tahun 2009 industri pengolahannya mampu berkontribusi sebesar 9,27 persen. Sementara itu, Provinsi NTB dan NTT hanya berkontribusi di bawah 5 persen, yaitu masing-masing 3,39 persen dan 1,55 persen. Tabel 1.5. Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Bali dan Nusa Tenggara No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Total Sumber : BPS diolah Kemenperin 6) Maluku Renstra Ditjen PPI

13 Tabel 1.6. Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Kepulauan Maluku No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB Maluku Maluku Utara Total Sumber : BPS diolah Kemenperin 7) Papua Tabel 1.7. Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Pulau Papua No. Provinsi Share Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDRB Papua Papua Barat Total Sumber : BPS diolah Kemenperin Renstra Ditjen PPI

14 c. Pertumbuhan dan LQ (Location Quotient) berdasarkan Provinsi II I IV III Sumber : BPS diolah Kemenperin Keterangan: Kuadran I: Jabar (12) dan Kep. Riau (5) Kuadran II: Riau (4), Sumsel (7), Bengkulu (9),Lampung (10), Jateng (14), bali (17), Sulut (22), Sulteng (24), Sulsel (25), Sulbar (26), Sultra (27), NTB (28), dan Papua Barat(33) Kuadran III: Sumut (2), Banten (13), dan Jatim (16) Kuadran IV: NAD (1), Sumbar(3), Jambi (6), Babel (8), DKI Jakarta (11), DIY (15), Kalbar (18), Kalteng (19), Kalsel (20), Kaltim (21), Gorontalo (23), NTT (29), Maluku (30), Malut (31), Papua (32) Gambar 1.3. Posisi Provinsi pada Kuadran Pertumbuhan dan LQ Pada gambar di atas terlihat bahwa provinsi yang mempunyai pertumbuhan di atas rata-rata dan LQ di atas 1 hanya Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Kepulauan Riau (Kuadran I). Hal ini menunjukkan bahwa selama ini pengembangan industri berupa kawasan industri terkonsentrasi di kedua Provinsi tersebut. Di samping itu Provinsi Jawa Barat dan Kepulauan Riau merupakan provinsi yang mempunyai kontribusi sektor industri terhadap PDRB diatas 30 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sektor industri merupakan sektor basis pada Provinsi Jawa Barat dan Kepulauan Riau. Renstra Ditjen PPI

15 Pada kuadran II, terdapat 13 Provinsi yang mempunyai pertumbuhan di atas rata-rata dan LQ kurang dari 1, yaitu: Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Papua Barat. Hal ini berarti sektor industri di 13 provinsi tersebut mempunyai kontribusi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi sektor industri secara nasional. Namun demikian ke 13 provinsi tersebut merupakan daerah potensial untuk pengembangan industri ke depan karena didukung oleh tingginya pertumbuhan sektor industri. Pada kuadran III, terdapat 3 Provinsi yang mempunyai pertumbuhan di bawah rata-rata dan LQ di atas 1, yaitu: Provinsi Sumut, Banten, dan Jatim. Pertumbuhan industri pada ketiga provinsi tersebut dibawah rata-rata 4,7 persen disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan sektor industri pada tahun akibat terjadinya krisis keuangan global pada akhir tahun Walaupun pertumbuhan industri di Provinsi Sumut, Banten, dan Jatim di bawah rata-rata, sektor industri tetap menjadi sektor basis pada ketiga provinsi tersebut. Kuadran IV merupakan posisi Provinsi yang terbanyak yaitu 15 Provinsi. Kuadran ini mempunyai pertumbuhan di bawah rata-rata dan LQ kurang dari 1, yaitu: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Jambi, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Provinsi Papua (32). Hal ini berarti sektor industri di 15 provinsi tersebut mempunyai kontribusi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi sektor industri secara nasional. Oleh karena itu, provinsi tersebut perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat dalam rangka mendorong peningkatan pertumbuhan sektor industri. Renstra Ditjen PPI

16 2. Potensi dalam Pengembangan Perwilayahan Industri Indonesia sebagai bangsa yang besar memiliki banyak potensi, antara lain: a. Kandungan sumber daya alam (SDA) yang terkandung di bumi dan di laut Indonesia cukup melimpah dan dapat dimanfaatkan secara optimal. Kekuatan ini tercermin dari ketersediaan lahan yang luas dan subur sehingga dapat menanam sepanjang tahun. Potensi sumber daya laut yang melimpah dan ketersediaan sumber daya mineral yang cukup besar; b. Jumlah sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan ke empat terbesar di dunia, sehingga dapat dijadikan sebagai modal bagi pertumbuhan industri berbasis tenaga kerja. Ketersediaan SDM yang besar juga berpeluang bagi tumbuhnya sektor industri berbasis iptek, dan apabila SDM dimaksud memiliki kualitas keterampilan teknis, keahlian professional maka SDM tersebut juga akan memiliki keunggulan yang kompetitif; c. Letak geografis Indonesia yang strategis di orbit geostasioner, sehingga menguntungkan bagi lintasan satelit komunikasi. Selain hal tersebut Indonesia diapit oleh dua samudra dan dua benua serta adanya selat Malaka yang sarat dengan pelayaran internasional; d. Sumber daya Daerah yang beragam dan memiliki keunikan pada daerah-daerah di Indonesia yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan dan tidak dapat ditiru oleh daerah lainnya, sehingga dimungkinkan dapat ditentukan sebagai kompetensi inti suatu daerah. 3. Permasalahan dalam Pengembangan Perwilayahan Industri Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan perwilayahan industri di antaranya adalah : a. Masalah Internal Pengembangan Perwilayahan 1) Penyebaran industri masih terfokus di Pulau Jawa, sehingga terjadi kesenjangan dalam penyebaran industri; Renstra Ditjen PPI

17 2) Masih kurangnya industri pengolahan berbasis SDA yang tersedia menjadi bahan baku dan atau bahan setengah jadi dan bahan jadi; 3) Masih kurangnya pengembangan potensi daerah yang berdasarkan keunikan daerah untuk mendorong kemandirian daerah berbasis kompetensi inti industri daerah (KIID) dalam membangun daya saing; 4) Belum optimalnya kemampuan suatu daerah dalam rangka mengembangkan perekonomian melalui produk unggulan provinsi; 5) Masih terbatasnya kawasan industri di luar Pulau Jawa dan belum optimalnya pemanfaatan kawasan industri yang sudah ada. b. Masalah eksternal Pengembangan Perwilayahan 1) Keterbatasan infrastruktur (jaringan jalan, jembatan, pelabuhan kereta api, listrik, pasokan gas, dan lainnya); 2) Masalah kepastian hukum; 3) Ketersediaan Lahan (masalah pembebasan lahan); 4) Koordinasi dan sinergitas antar Stakeholder belum optimal. C. MAKSUD DAN TUJUAN (DASAR HUKUM) Rencana Strategis (RENSTRA) disusun untuk memenuhi amanat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. Penentuan arah kebijakan Industri Nasional Jangka Panjang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun sebagaimana Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Fokus Pembangunan Industri Nasional ditentukan dengan memperhatikan pemerataan, persebaran dan pertumbuhan atau pro job, pro poor dan pro growth. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri memberikan arah kebijakan dan strategi pembangunan industri di daerah dengan melakukan perencanaan terpadu dan menyelaraskan Renstra Ditjen PPI

18 pelaksanaan program, serta pengendaliannya untuk kurun waktu , sehingga diharapkan mampu mendukung pencapaian tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri. 1. Tugas Pokok dan Fungsi Sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No 105 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenperin, maka Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri (PPI) memiliki tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pengembangan perwilayahan industri. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Ditjen PPI menyelenggarakan fungsi: 1. Perumusan kebijakan di bidang pengembangan perwilayahan industri termasuk penyiapan penetapan peta panduan pengembangan industri unggulan propinsi dan peta panduan pengembangan kompetensi inti industri kabupaten/kota serta pengembangan kawasan industry; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pengembangan perwilayahan industri 3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengembangan perwilayahan industri; 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengembangan perwilayahan industri; 5. Pelaksanaan administrasi Ditjen PPI. Untuk melaksanakan tugas dan fungsi di atas, sesuai dengan Permenperin No. 105 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenperin, Ditjen PPI terdiri atas unit Eselon II sebagai berikut : a. Sekretariat Direktorat Jenderal; b. Direktorat Pengembangan Fasilitasi Industri Wilayah I; c. Direktorat Pengembangan Fasilitasi Industri Wilayah II; d. Direktorat Pengembangan Fasilitasi Industri Wilayah III. 2. Ruang Lingkup Rencana strategis Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri yang merupakan bagian dari perencanaan jangka panjang industri dan ekonomi yang bersifat rolling plan dengan ruang lingkupnya Renstra Ditjen PPI

19 mencakup: Visi, Misi, Analisis Perkembangan Strategis, Tujuan dan Sasaran, Kebijakan, Program, dan Kegiatan dalam rangka Pengembangan Industri Berbasis Sumber Daya Daerah. Penyusunan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri memiliki ruang waktu dari tahun Renstra Ditjen PPI

20 BAB II VISI, MISI DAN TUJUAN DITJEN PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI A. VISI Dalam rangka mendukung visi Pembangunan Industri Nasional Jangka Panjang (2025) yaitu Membawa Indonesia untuk menjadi Negara Industri Tangguh Dunia pada tahun 2025 dan mendukung Visi Kementerian Perindustrian tahun 2014 yaitu Memantapkan daya saing basis industri manufaktur yang berkelanjutan serta terbangunnya pilar industri andalan masa depan, serta mempertimbangkan pentingnya sinergi keunggulan dan keunikan lokal yang tersebar di wilayah geografis Indonesia, maka Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri menetapkan visi sebagai berikut: Terwujudnya industri berbasis sumber daya daerah yang berdaya saing global Sesuai dengan visi tersebut, Direkorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri menjadi lembaga pengembangan bidang industri yang berbasis sumber daya daerah sehingga memiliki daya saing di tingkat global. Direktorat Jenderal ini juga menjadi fasilitator dalam perencanaan bersama untuk mewujudkan pembangunan industri yang koordinatif, kooperatif dan komprehensif. B. MISI Dalam rangka mewujudkan visi tersebut di atas, Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri mengemban misi sebagai berikut: 1. Mendorong percepatan pembangunan industri di daerah yang berlandaskan keunggulan komparatif yang dimiliki daerah; 2. Membangun kompetensi inti industri daerah untuk mewujudkan keunggulan kompetitif; Renstra Ditjen PPI

21 3. Mendorong penyebaran pembangunan industri ke luar Pulau Jawa melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan industri yaitu Kawasan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK); 4. Mengoptimalkan pemanfaatan kawasan industri yang sudah ada. C. PENDEKATAN Sesuai amanat Perpres 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional bahwa pembangunan industri di daerah dilakukan secara sinergi dan terintegrasi di seluruh wilayah, dengan 2 (dua) pendekatan, yaitu : 1. Top-down Dalam pendekatan top down, pemerintah menetapkan Klaster Industri Prioritas dari hasil pemetaan yang berjumlah 35 industri prioritas. Ketiga puluh lima klaster industri prioritas tersebut dibagi menjadi enam kelompok yakni: a. Kelompok Klaster Industri Basis Industri Manufaktur, b. Kelompok Klaster Industri Agro, c. Kelompok Klaster Industri Alat Angkut, d. Kelompok Klaster Industri Elektronika & Telematika, e. Kelompok Klaster Industri Penunjang Industri Kreatif dan Industri Kreatif Tertentu, dan f. Kelompok Klaster Industri Kecil dan Menengah Tertentu. 2. Bottom up Dalam pendekatan bottom-up, Provinsi memilih dan menentukan industri unggulan dan Kabupaten/Kota memilih dan menentukan kompetensi inti industri yang akan dikembangkan untuk menciptakan industri berdaya saing tinggi di daerahnya. Kompetensi Inti Industri Daerah adalah sekumpulan keunggulan atau keunikan sumber daya termasuk sumber daya alam dan kemampuan suatu daerah untuk membangun daya saing dalam rangka mengembangkan perekonomian Provinsi dan Kabupaten/Kota menuju kemandirian. Karakteristiknya yakni merupakan produk unggulan di daerah atau yang memiliki potensi sebagai unggulan, memiliki keterkaitan yang kuat (baik keterkaitan horizontal maupun keterkaitan vertikal), produk memiliki keunikan Renstra Ditjen PPI

22 lokal, ditunjang oleh sumber daya manusia dengan keterampilan yang memadai. Kompetensi Inti yang dipilih harus memenuhi kriteria bernilai tambah tinggi, memiliki keunikan daerah, keterkaitan kuat dengan sumber daya yang dimiliki daerah, serta berpeluang menembus pasar internasional. Dengan kata lain, penentuan Kompetensi Inti suatu daerah harus memberikan dampak yang besar dalam merangsang pertumbuhan ekonomi daerah. D. KONDISI YANG DIHARAPKAN TAHUN Sesuai dengan visi 2025, menjadikan Indonesia Negara Industri Tangguh di dunia, dan arah kebijakan di atas, serta dengan asumsi bahwa pencapaian industri di tahun-tahun sebelumnya sesuai dengan yang diharapkan, maka dapat dirumuskan kondisi yang diharapkan untuk kurun waktu tahun sebagai berikut: 1. Terolahnya potensi sumber daya daerah menjadi produk-produk olahan yang berdaya saing tinggi melalui pengembangan Kompetensi Inti Industri Daerah, Industri Unggulan Provinsi dan Pengembangan kawasan industri; 2. Menguatnya struktur industri di daerah; 3. Persebaran industri ke luar Pulau Jawa telah terwujud dengan baik, sehingga peran Pulau Jawa sebagai lokasi industri telah berkurang sampai di bawah 60 persen, sedangkan sisanya tersebar di luar Pulau Jawa; 4. Terjadi pergeseran pertumbuhan industri dari industri berbasis tenaga kerja dan industri berbasis sumber daya alam ke industri padat modal dan industri berbasis teknologi yang didukung oleh kemampuan teknologi dan R&D sebagai ujung tombak daya saing industri; 5. Terbangunnya Kawasan Industri Generasi Ke-3 yang berbasis pada sumberdaya industri daerah, didukung oleh infrastruktur terpadu, berwawasan lingkungan, inovatif dengan kegiatan penelitian dan pengembangan industri, dan dilengkapi dengan fasilitas pengembangan masyarakat seperti perumahan, institusi pendidikan, pusat perbelanjaan, dan lain-lain; Renstra Ditjen PPI

23 6. Terpusatnya kegiatan industri di area kawasan industri. E. KONDISI YANG DIHARAPKAN TAHUN Kondisi yang diharapkan akan dicapai pada tahun 2014 sebagai berikut: 1. Terolahnya potensi sumber daya alam daerah menjadi produk-produk olahan yang bernilai tambah melalui pengembangan kompetensi inti industri daerah, industri unggulan provinsi dan pengembangan kawasan industri; 2. Tersebarnya industri ke luar Pulau Jawa sehingga peran Industri di Luar Pulau Jawa sebagai lokasi industri meningkat sampai di atas 35 persen. 3. Tumbuhnya industri-industri potensial yang mampu menciptakan lapangan kerja di daerah yang akan menjadi kekuatan penggerak pertumbuhan ekonomi di daerah; 4. Terpusatnya seluruh kegiatan industri di suatu kawasan khusus. Diharapkan dalam kurun waktu telah terjadi pergeseran penyebaran industri ke luar Pulau Jawa. Share Pulau Jawa terhadap PDB sektor industri nonmigas diharapkan menurun dari angka tahun 2009 sebesar 74,48 persen menjadi 70,42 persen pada tahun Penurunan share ini diharapkan akan berlanjut terus sehingga mencapai 59,42 persen pada tahun Sebaliknya, peran industri di luar Pulau Jawa diharapkan mengalami peningkatan. Peran Sumatera secara keseluruhan diharapkan meningkat dari 19,10 persen pada tahun 2009 menjadi 22,27 persen pada tahun 2014 dan meningkat lagi menjadi 29,86 persen pada tahun Pulau Sulawesi yang kontribusinya hanya 2,08 persen pada tahun 2009 diharapkan akan mengalami peningkatan menjadi 2,70 persen pada tahun 2014 dan 4,57 persen pada tahun Peran Maluku dan Papua yang pada tahun 2009 hanya sebesar 0,33 persen diharapkan akan meningkat menjadi 0,52 persen pada tahun 2014 dan 1,18 persen pada tahun Kalimantan yang pada tahun 2009 Renstra Ditjen PPI

24 memberikan share sebesar 3,25 persen, diharapkan akan meningkat kontribusinya menjadi 3,27 persen pada tahun 2014 dan 3,71 persen pada tahun Terakhir, Bali dan Nusa Tenggara yang pada tahun 2009 memberikan share sebesar 0,76 persen, diharapkan akan meningkat menjadi 0,84 persen pada tahun 2014, dan 1,28 persen pada tahun Tabel 2.1 Sasaran Kuantitatif Peran PDRB Sektor Industri Pengolahan Nonmigas di Daerah terhadap PDB Sektor Industri Pengolahan Nonmigas NO WILAYAH Jawa Bali Sumatera Kalimantan Nusa Tenggara Sulawesi Maluku Papua Total Sumber : BPS diolah Kemenperin Tabel 2.2 Sasaran Kuantitatif Peran PDB Sektor Industri Pengolahan Nonmigas terhadap PDB Nasional NO WILAYAH Jawa Luar Jawa Total Renstra Ditjen PPI

25 F. TUJUAN Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan visi dan misi yang telah diuraikan di atas adalah : 1. Menciptakan dan memperkuat industri di daerah yang memiliki keunggulan komparatif; 2. Menciptakan industri di daerah yang memiliki keunggulan kompetitif berdasarkan Kompetensi Inti Industri Daerah; 3. Mewujudkan pemerataan industri ke seluruh daerah; 4. Menciptakan pusat-pusat pertumbuhan industri baru untuk mendorong pembangunan industri di daerah; 5. Menciptakan organisasi yang profesional dan akuntabel dalam mendukung pengembangan perwilayahan industri. G. SASARAN Sesuai tujuan yang telah ditetapkan, maka sasaran yang akan dicapai adalah : 1. Meningkatnya peranan sektor industri terhadap PDRB; 2. Berkembangnya industri berbasis sumber daya lokal yang memiliki keunggulan bersaing; 3. Tersebarnya pembangunan industri; 4. Meningkatnya pengembangan industri daerah melalui koordinasi antar stakeholder; 5. Meningkatnya pengembangan industri di daerah melalui promosi investasi dan pemasaran KI, KEK, KIID, dan IUP; 6. Berkembang dan meratanya industri di daerah melalui pembentukan dan pengoperasian pusat-pusat pertumbuhan industri di daerah; 7. Meningkatnya kualitas perencanaan pengembangan industri di daerah melalui penetapan peta panduan pengembangan industri di daerah; 8. Membangun dan mengembangkan kemampuan SDM aparatur yang kompeten, serta sistem informasi yang terintegrasi dan handal dalam rangka membangun organisasi yang profesional dan akuntabel. Renstra Ditjen PPI

26 BAB III ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI A. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) , visi Indonesia adalah menjadi negara mandiri, maju, adil dan makmur. Visi pembangunan ini menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan pembangunan industri nasional. Visi jangka panjang tersebut bermaksud membawa Indonesia menjadi negara industri yang tangguh pada tahun 2025, dengan ciri-ciri: 1. Industri kelas dunia; 2. PDB Sektor Industri yang seimbang antara Pulau Jawa dan di Luar Jawa; 3. Teknologi telah menjadi ujung tombak pengembangan produk dan penciptaan pasar. B. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI DIREKTORAT JENDERAL PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI Sesuai dengan visi, misi dan sasaran yang telah ditetapkan, maka disusun strategi pokok dan strategi fungsional yang dapat dirinci sebagai berikut: 1. Strategi Pokok a. Peningkatan daya saing daerah melalui pengembangan Industri Unggulan Provinsi dan Kompetensi Inti Industri Daerah; b. Peningkatan kerjasama dan kolaborasi antar wilayah, antar instansi terkait, dan antara pemerintah dengan dunia usaha dan akademisi; c. Peningkatan fasilitasi infrastruktur industri untuk peningkatan daya tarik investasi. 2. Strategi Fungsional Strategi fungsional dapat diuraikan sebagai berikut: a. Strategi Pengembangan Kompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota Kebijakan dalam pembangunan industri di daerah diarahkan untuk meningkatkan daya saing daerah melalui pemanfaatan sumber Renstra Ditjen PPI

27 daya yang dimiliki daerah dan direncanakan secara sinergi antara Pusat-Daerah dan antar daerah secara sistematik dan komprehensif. Kegiatan sektor industri di daerah merupakan hal yang penting dan strategi sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat lokal yang pada gilirannya menjadi stimulan untuk mensejahterakan masyarakat di daerah. Berdasarkan arah pembangunan industri di daerah dan permasalahan yang dihadapi maka pengembangan kompetensi inti industri di daerah ditetapkan sebagai berikut : 1) Memanfaatkan sumber daya termasuk sumber daya alam yang dimiliki daerah secara optimal; 2) Menyebarkan industri ke berbagai daerah; 3) Melakukan kerjasama antara Pusat-Daerah dan antar daerah agar terbangun kerjasama yang harmonis baik antara daerah yang memiliki keunggulan yang sama maupun berbeda; 4) Melakukan koordinasi dan sinkronisasi baik dengan sektoral maupun sektor ekonomi lain yang menunjang terbangunnya kompetensi inti industri daerah; 5) Membangun keunikan yang dimiliki daerah yang daerah lain tidak memilikinya; Sedangkan strategi yang dijalankan dalam pengembangan kompetensi inti industri daerah meliputi: 1) Meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai untuk komoditi unggulan daerah; 2) Menyusun perencanaan secara komprehensif dan sistematik pengembangan industri di daerah; 3) Membangun jejaring dengan seluruh pemangku kepentingan dan untuk meningkatkan produktivitas dan efektifitas pengembangan industri; 4) Menerapkan konsep Public-Private Partnership dalam membangun kompetensi inti industri di daerah; Renstra Ditjen PPI

28 5) Merancang kelembagaan dalam menunjang kompetensi inti industri daerah termasuk membangun kebutuhan investasi dan iklim usaha yang kondusif. b. Strategi Pengembangan Kawasan Industri (KI) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kawasan Ekonomi Khusus dikembangkan untuk mempercepat pencapaian pembangunan dan penyebaran industri di daerah yang diperlukan guna terciptanya pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional. Pengembangan industri di daerah dilakukan sebagai model terobosan pengembangan kawasan guna menumbuhkan industri di daerah sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan. Pengembangan KEK, termasuk Kawasan industri, bertujuan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan, meningkatkan daya saing industri dan investasi, memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur sehingga mampu menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Strategi Dalam rangka mencapai tujuan tersebut diatas diperlukan strategi yang sistematik dan terukur. Strategi tersebut meliputi: 1) Mengembangkan Kawasan Industri dan akan diprioritaskan pada daerah/lokasi yang merupakan prioritas pembangunan nasional berbasis klaster industri; 2) Memfasilitasi pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus/Kawasan Industri ke daerah yang memiliki kompetensi inti industri daerah dan memiliki keunggulan komparatif; Renstra Ditjen PPI

29 3) Melakukan koordinasi dan fasilitasi kerjasama dalam Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus/Kawasan Industri dengan intansi pemerintah pusat terkait, pemerintah daerah dan pihak swasta. c. Strategi Pengembangan infrastruktur industri Infrastruktur industri merupakan fasilitas utama yang diperlukan dalam upaya menarik para calon investor, dimana kerjasama dan komunikasi yang efektif dengan dunia usaha perlu diperkuat. Saat ini, kecenderungan permintaan fasilitasi pemerintah bagi dunia usaha tidak lagi pada insentif fiskal namun lebih pada insentif non fiskal, yaitu fasilitasi penyediaan infrastruktur industri yang memadai. Berdasarkan penilaian World Bank tentang kondisi infrastruktur di Indonesia pada tahun 2011, Indonesia berada pada peringkat ke 76 dari 142 negara yang dinilai. Adapun komponen penilaian infrastrukur dimaksud antara lain : jalan, pelabuhan udara dan laut, pergudangan dan fasilitas bongkar muat, fasilitas telekomunikasi dan teknologi informasi serta power plant (ketenagalistrikan), reservoar air. Strategi Berdasarkan kondisi tersebut, pengembangan infrastruktur Kawasan Ekonomi Khusus/Kawasan Industri dilakukan dengan strategi antara lain: 1) Dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus/Kawasan Industri, Pemerintah dapat melakukan investasi langsung pada pembangunan sarana infrastruktur di Kawasan Ekonomi Khusus/Kawasan Industri yang dimiliki oleh Pemerintah/BUMN; 2) Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur di Kawasan Industri yang dimiliki oleh pihak swasta; 3) Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan instansi lainnya dalam membangun infrastruktur pendukung untuk pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus/Kawasan Industri. Renstra Ditjen PPI

30 Strategi yang telah disusun harus dapat diimplementasikan dalam bentuk kegiatan sehingga mampu direalisasikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kegiatan yang direncanakan dalam fasilitasi pengembangan Infrastruktur di dalam kawasan industri meliputi: 1) Penyusunan dokumen perencanaan (Soft Utility) berupa Master Plan, Detail Engineering Design (DED), Bussiness Plan, studi kelayakan ekonomi dan finansial; 2) Pembangunan Gedung pelatihan/workshop, Pusat Inovasi Industri, Sekolah Menengah Kejuruan dan lain-lain; 3) Fasilitasi Pembangunan infrastruktur di kawasan industri termasuk tahap persiapan seperti jalan, IPAL dan lain-lain. d. Strategi Pengembangan kerjasama industri unggulan provinsi Komoditi unggulan yang mempunyai nilai tambah tinggi dan menimbulkan efek pengganda akan didorong untuk menjadi industri unggulan provinsi, yang merupakan kumpulan terintegrasi dari serangkaian keahlian dan teknologi dalam rangka memproduksi komoditi unggulan yang merupakan akumulasi dari pembelajaran, yang akan didorong bagi keberhasilan bersaing usaha di daerah. Industri unggulan provinsi adalah industri berbasis kompetensi inti dalam skala provinsi yang memiliki keunggulan komparatif ataupun kompetitif. Strategi 1) Pemilihan industri unggulan berdasarkan kompetensi inti industri daerah yang cukup dominan dan terdapat di beberapa kabupatan/kota 2) Melakukan kerjasama antar kabupaten/kota dengan tiga pendekatan dari sisi kesamaan produk, kedekatan wilayah dan produk yang sama dalam Value Chain. Renstra Ditjen PPI

31 Dalam rangka mewujudkan pencapaian sasaran industri , telah disusun peta strategi Ditjen PPI yang mengacu pada visi Ditjen PPI sebagai berikut : Gambar 3.1. Peta Strategi Ditjen PPI Dalam rangka mencapai visi dan melaksanakan misi Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, maka sasaran strategis Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri terbagi dalam tiga perspektif yaitu stakeholder, tupoksi, dan kelembagaan sebagai berikut : 1. Sasaran Strategis Perspektif Stakeholder : a. Meningkatnya peranan sektor industri terhadap PDRB; b. Berkembangnya industri berbasis sumber daya lokal yang memiliki keunggulan bersaing; c. Tersebarnya pembangunan industri. 2. Sasaran Strategis Perspektif Tupoksi : a. Mengkoordinasikan pengembangan jejaring kerja (pemerintah pusat, provinsi, kabupaten / kota, dunia usaha); b. Memfasilitasi promosi, investasi dan pemasaran KIID, IUP, KI dan KEK; Renstra Ditjen PPI

32 c. Memfasilitasi pengembangan pusat-pusat pertumbuhan industri di daerah; d. Menetapkan peta panduan pengembangan industri. 3. Sasaran Strategis Perspektif Kelembagaan : a. Membangun kemampuan SDM yang kompeten; b. Membangun organisasi yang profesional dan pro bisnis; c. Membangun sistem informasi industri yang terintegrasi dan handal; d. Meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaporan; e. Meningkatkan sistem tata kelola keuangan dan BMN yang profesional. Masing-masing sasaran tersebut di atas dijabarkan melalui indikator kinerja yang meliputi target pencapaian dan kebijakan yang diambil. Sasaran didukung oleh program dan kegiatan yang masing-masing juga memiliki indikator kinerja serta target pencapaiannya. Indikator kinerja dari sasaran strategis di atas antara lain : 1. Sasaran Strategis Perspektif Stakeholder : a. Meningkatnya peranan sektor industri terhadap PDRB mempunyai indikator kinerja : 1) Rata-rata persentase kontribusi sektor industri di Pulau Jawa terhadap PDB Nasional, dengan target sasaran sebesar 18,50 %; 2) Rata-rata persentase kontribusi sektor industri di Luar Pulau Jawa terhadap PDB Nasional, dengan target sasaran sebesar 6,50 %. b. Berkembangnya industri berbasis sumber daya lokal yang memiliki keunggulan bersaing, mempunyai indikator kinerja pertumbuhan nilai tambah industri yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri tentang roadmap KIID, dengan target sasaran sebesar 5 %. c. Tersebarnya pembangunan industri, mempunyai indikator kinerja : 1) Komposisi nilai tambah sektor industri di Pulau Jawa, dengan target sasaran sebesar 72,42%; 2) Komposisi nilai tambah sektor industri di Luar Pulau Jawa, dengan target sasaran sebesar 27,58 %. Renstra Ditjen PPI

33 2. Sasaran Strategis Perspektif Tupoksi : a. Mengkoordinasikan pengembangan jejaring kerja (pemerintah pusat, provinsi, kabupaten / kota, dunia usaha), mempunyai indikator kinerja jumlah rapat koordinasi, dengan target sasaran sebanyak 3 kali; b. Memfasilitasi promosi, investasi dan pemasaran KIID, IUP, KI dan KEK, mempunyai indikator kinerja jumlah promosi yang dilaksanakan, dengan target sasaran sebanyak 6 kali; c. Memfasilitasi pengembangan pusat-pusat pertumbuhan industri di daerah, mempunyai indikator kinerja : 1) Jumlah Kawasan Industri (KI) yang terfasilitasi, dengan target sasaran sebanyak 11 KI; 2) Jumlah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang terfasilitasi, dengan target sasaran sebanyak 6 KEK. d. Menetapkan peta panduan pengembangan industri, mempunyai indikator kinerja jumlah roadmap KIID yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri, dengan target sasaran sebanyak 38 KIID. 3. Sasaran Strategis Perspektif Kelembagaan : a. Membangun kemampuan SDM yang kompeten, mempunyai indikator kinerja : 1) Jumlah SDM yang mengikuti diklat teknis, dengan target sasaran sebanyak 26 orang; 2) Jumlah diklat yang diselenggarakan, dengan target sasaran sebanyak 4 diklat. b. Membangun organisasi yang profesional dan pro bisnis, mempunyai indikator kinerja jumlah SOP yang diterbitkan, dengan target sasaran sebanyak 4 SOP. c. Membangun sistem informasi industri yang terintegrasi dan handal, mempunyai indikator kinerja : 1) Jumlah database industri provinsi, dengan target sasaran sebanyak 33 provinsi; Renstra Ditjen PPI

34 2) Jumlah database industri kabupaten / kota, dengan target sasaran sebanyak 497 kabupaten / kota; 3) Jumlah database industri Kawasan Industri / Kawasan Ekonomi Khusus, dengan target sasaran sebanyak 1 paket. d. Meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaporan, mempunyai indikator kinerja : 1) Jumlah revisi DIPA, dengan target sasaran sebanyak 3 kali; 2) Persentase kegiatan yang terlaksana, dengan target sasaran sebesar 100 %; 3) Persentase ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan, dengan target sasaran sebesar 80%; 4) Persentase laporan tepat waktu, dengan target sasaran sebesar 100 %. e. Meningkatkan sistem tata kelola keuangan dan BMN yang profesional, mempunyai indikator kinerja : 1) Persentase penyerapan anggaran, target sasarannya sebesar 95,43 %; 2) Kesesuaian pengeluaran dana dengan rencana penyerapan anggaran, dengan target sasaran sebesar 80 %; 3) Jumlah daftar inventaris BMN, dengan target sasaran sebanyak 37 daftar. Dalam rangka merealisasikan visi, misi, dan sasaran strategis seperti diuraikan di atas, diperlukan sumber daya manusia, ketatalaksanaan, kelembagaan, dan struktur organisasi yang tepat dan efisien. Organisasi Kementerian Perindustrian yang ada selama lebih dari 30 tahun terakhir relatif tidak berubah sehingga diperkirakan sulit untuk mewujudkan pencapaian sasaran tersebut di atas. Oleh karenanya, telah dilakukan kaji ulang terhadap organisasi yang ada dan disesuaikan dengan pelaksanaan kebijakan industri nasional (Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008) dan dinamika lingkungan strategis. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Renstra Ditjen PPI

PROGRAM KEGIATAN DITJEN PPI TAHUN 2011 DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PRIORITAS

PROGRAM KEGIATAN DITJEN PPI TAHUN 2011 DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PRIORITAS PROGRAM KEGIATAN DITJEN PPI TAHUN 2011 DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PRIORITAS DIREKTORAT JENDERAL PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN INDUSTRI 28 Februari 2011 Indonesia memiliki keunggulan komparatif

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografis Negara Indonesia Penulis menyajikan gambaran umum yang meliputi kondisi Geografis, kondisi ekonomi di 33 provinsi Indonesia. Sumber : Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

PROGRAM KERJA TAHUN 2013 DAN RENCANA KERJA TAHUN 2014 DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH

PROGRAM KERJA TAHUN 2013 DAN RENCANA KERJA TAHUN 2014 DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH PROGRAM KERJA TAHUN 2013 DAN RENCANA KERJA TAHUN 2014 DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH Oleh: EUIS SAEDAH Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian B A H A N

Lebih terperinci

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA Pendahuluan Policy Brief PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal tentang pentingnya peningkatan daya saing pertanian. Di tingkat

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan Subdit Pengelolaan Persampahan Direktorat Pengembangan PLP DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Aplikasi SIM PERSAMPAHAN...(1)

Lebih terperinci

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional UNIT PELAKSANA TEKNIS DITJEN KP3K UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Sekretariat Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan

Lebih terperinci

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah deddyk@bappenas.go.id Abstrak Tujuan kajian

Lebih terperinci

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada: SEMINAR NASIONAL FEED THE WORLD JAKARTA, 28 JANUARI 2010 Pendekatan Pengembangan Wilayah PU Pengembanga n Wilayah SDA BM CK Perkim BG AM AL Sampah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH Oleh: DR. Syarief Hasan, MM. MBA. Menteri Negara Koperasi dan UKM Pada Rapimnas Kadin Yogyakarta, 3 4 Oktober 2012 UMKM DALAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Pada posisi semacam ini investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

Rencana Aksi Pengembangan Industri Unggulan Provinsi Buku Peta Jalan Pengembangan Kompetensi Inti Industri Daerah

Rencana Aksi Pengembangan Industri Unggulan Provinsi Buku Peta Jalan Pengembangan Kompetensi Inti Industri Daerah PEDOMAN PELAKSANAAN DISKUSI KELOMPOK PADA RAPAT KERJA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DENGAN DINAS PERINDUSTRIAN KABUPATEN/KOTA DI KAWASAN BARAT INDONESIA Surabaya, 13 Maret 2008 pkl. 09.00 21.00 WIB 1. Latar

Lebih terperinci

PROGRAM KERJA DITJEN PPI TA 2012 DAN IMPLEMENTASI MP3EI DI KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

PROGRAM KERJA DITJEN PPI TA 2012 DAN IMPLEMENTASI MP3EI DI KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN PROGRAM KERJA DITJEN PPI TA 2012 DAN IMPLEMENTASI MP3EI DI KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN Oleh: DR. Dedi Mulyadi, M.Si Jakarta, 1 Februari 2012 Rapat Kerja Kementerian Perindustrian OUTLINE I. PENDAHULUAN II.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun

FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun 2017-2020 SK KETUA DEWAN RISET NASIONAL NOMOR: 27/Ka.DRN/X/2017 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA PERIODE

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena

Lebih terperinci

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014 Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014 Kementerian Perindustrian

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROGRAM LISTRIK PERDESAAN DI INDONESIA: KEBIJAKAN, RENCANA DAN PENDANAAN Jakarta, 20 Juni 2013 DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KONDISI SAAT INI Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

Keynote Speech. Menteri Pertanian Republik Indonesia PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

Keynote Speech. Menteri Pertanian Republik Indonesia PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN Keynote Speech Menteri Pertanian Republik Indonesia PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN PADA SEMINAR NASIONAL AGRIBISNIS DALAM RANGKA DIES NATALIS KE 19 UNIVERSITAS GALUH, CIAMIS,

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

PERCEPATAN PEMBANGUNAN KTI MELALUI EKONOMI KELAUTAN & PERIKANAN

PERCEPATAN PEMBANGUNAN KTI MELALUI EKONOMI KELAUTAN & PERIKANAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN KTI MELALUI EKONOMI KELAUTAN & PERIKANAN Fadel Muhammad Menteri Kelautan dan Perikanan KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN MAKASSAR, 2010 Ketertinggalan Ekonomi KTI Persebaran Penduduk

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016 Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016 BIRO PERENCANAAN 2016 Formulir C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 Tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan

Lebih terperinci

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 - Direktur Otonomi Daerah Bappenas - Temu Triwulanan II 11 April 2017 1 11 April 11-21 April (7 hari kerja) 26 April 27-28 April 2-3 Mei 4-5 Mei 8-9 Mei Rakorbangpus

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA 2012, No.659 6 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR PER.07/MEN/IV/2011

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN Kementerian Pertanian Seminar Nasional Agribisnis, Universitas Galuh Ciamis, 1 April 2017 Pendahuluan Isi Paparan Kinerja dan permasalahan Posisi

Lebih terperinci

Kegiatan Penelitian. Kegiatan Penelitian

Kegiatan Penelitian. Kegiatan Penelitian Kegiatan Penelitian Dalam memasuki periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap ke-2 yaitu tahun 2010 2014 setelah periode RPJMN tahap ke-1 tahun 2005 2009 berakhir, pembangunan pertanian

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan

Lebih terperinci

INDONESIA Percentage below / above median

INDONESIA Percentage below / above median National 1987 4.99 28169 35.9 Converted estimate 00421 National JAN-FEB 1989 5.00 14101 7.2 31.0 02371 5.00 498 8.4 38.0 Aceh 5.00 310 2.9 16.1 Bali 5.00 256 4.7 30.9 Bengkulu 5.00 423 5.9 30.0 DKI Jakarta

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017 LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017 KEMENTERIAN PERTANIAN-RI DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN OKTOBER 2017 2017 Laporan Kinerja Triwulan III DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

ALOKASI ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA 2016

ALOKASI ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA 2016 KODE PROGRAM RUPIAH MURNI 19.1.2 19.2.7 19.3.6 19.4.8 19.5.9 19.6.3 19.7.12 19.8.1 19.9.11 Program Pengembangan SDM Industri dan Dukungan Manajemen Kementerian Perindustrian Program Peningkatan Sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

PAGU ANGGARAN ESELON I MENURUT PROGRAM DAN JENIS BELANJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA. 2012

PAGU ANGGARAN ESELON I MENURUT PROGRAM DAN JENIS BELANJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA. 2012 NO KODE UNIT KERJA/PROGRAM PAGU ANGGARAN ESELON I MENURUT PROGRAM DAN JENIS KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA. 212 BARANG MODAL (Dalam ribuan rupiah) 1 SEKRETARIAT JENDERAL 12,47,993 53,265,361 283,213,727

Lebih terperinci

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 30 Mei 2017 CAPAIAN INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN PERKEBUNAN NO.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015

PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015 PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015 Bahan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian Nasional 3 4 Juni 2015 KEMENTERIAN PERTANIAN

Lebih terperinci

Indonesia Economy : Challenge and Opportunity

Indonesia Economy : Challenge and Opportunity Indonesia Economy : Challenge and Opportunity NUNUNG NURYARTONO Go-Live Round Table Discussion Adelaide 7 November Outline A Fact on Indonesia Economy Problem and Challenge Opportunity Discussion 1 Indonesia

Lebih terperinci

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA. No Nama UPT Lokasi Eselon Kedudukan Wilayah Kerja. Bandung II.b DITJEN BINA LATTAS

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA. No Nama UPT Lokasi Eselon Kedudukan Wilayah Kerja. Bandung II.b DITJEN BINA LATTAS 5 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR PER.07/MEN/IV/2011

Lebih terperinci

PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN

PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN DISAMPAIKAN OLEH : DEPUTI SESWAPRES BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN, SELAKU

Lebih terperinci

PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012

PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012 No Kode PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012 Nama Satuan Kerja Pagu Dipa 1 4497035 DIREKTORAT BINA PROGRAM 68,891,505.00 2 4498620 PELAKSANAAN JALAN NASIONAL WILAYAH I PROVINSI JATENG 422,599,333.00

Lebih terperinci

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011

PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011 PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011 ARAHAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN TINGKAT NASIONAL (MUSRENBANGNAS) 28 APRIL 2010

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA Oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Indonesia memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, terdiri dari pulau-pulau

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN 2010-2014 PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH BAB.I ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN WILAYAH 2010-2014 1.1 Pendahuluan...

Lebih terperinci

KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN

KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN DEPUTI SESWAPRES BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN SELAKU SEKRETARIS EKSEKUTIF TIM NASIONAL

Lebih terperinci

RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH TAH

RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH TAH Jakarta, 2 Maret 2012 Rapat Kerja dengan tema Akselerasi Industrialisasi Dalam Rangka Mendukung Percepatan Pembangunan Ekonomi yang dihadiri oleh seluruh Pejabat Eselon I, seluruh Pejabat Eselon II, Pejabat

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 DALAM KERANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PENATAAN RUANG

IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 DALAM KERANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PENATAAN RUANG KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 DALAM KERANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PENATAAN RUANG Oleh : Ir. DIAH INDRAJATI, M.Sc Plt.

Lebih terperinci

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Oleh : Dr. Ir. Sumarjo Gatot Irianto, MS, DAA Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian *) Disampaikan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN MARET 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Meskipun

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN KEWILAYAHAN DAN ANTARWILAYAH

PEMBANGUNAN KEWILAYAHAN DAN ANTARWILAYAH PEMBANGUNAN KEWILAYAHAN DAN ANTARWILAYAH I. Pendahuluan Dengan mengacu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Visi-Misi Presiden serta Agenda Prioritas Pembangunan (NAWA CITA),

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kecil dan Menengah (IKM) memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia, karena sektor ini dapat mengatasi permasalahan pemerataan dalam distribusi pendapatan

Lebih terperinci

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN Pada bab V telah dibahas potensi dan kesesuaian lahan untuk seluruh komoditas pertanian berdasarkan pewilayahan komoditas secara nasional (Puslitbangtanak,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak

Lebih terperinci

SUMBER ANGGARAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA 2015 BERDASARKAN JENIS BELANJA

SUMBER ANGGARAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA 2015 BERDASARKAN JENIS BELANJA SUMBER ANGGARAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TA 215 BERDASARKAN JENIS NO SUMBER ANGGARAN RINCIAN ANGGARAN TA 215 (dalam ribuan rupiah) BARANG MODAL JUMLAH 1 RUPIAH MURNI 629459711 1.468.836.8 42882193 2.527.117.694

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia NARASI PADA ACARA TEMU USAHA DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL MENENGAH DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG

Menteri Perindustrian Republik Indonesia NARASI PADA ACARA TEMU USAHA DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL MENENGAH DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG Menteri Perindustrian Republik Indonesia NARASI PADA ACARA TEMU USAHA DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL MENENGAH DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG Parigi, 4 Mei 2015 Yth.: 1. Bupati Parigi Moutong; 2.

Lebih terperinci

Rapat Koordinasi Kemenko PMK: Agenda Strategis 2017 dan RKP 2018

Rapat Koordinasi Kemenko PMK: Agenda Strategis 2017 dan RKP 2018 REPUBLIK INDONESIA Rapat Koordinasi Kemenko PMK: Agenda Strategis 2017 dan RKP 2018 Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi 17 Januari 2017 1 OUTLINE (1) Ruang Lingkup Kementerian Desa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran strategi dalam pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk terlibat dalam kegiatan UMKM

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI B A B BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berbagai upaya ditempuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah Dalam konteks pembanguan saat ini,

Lebih terperinci

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah 2015 Palangka Raya, 16Desember 2015 DR. Ir. Sukardi, M.Si Kepala BPS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA No. 01/08/53/TH.XIV, 5 AGUSTUS PERTUMBUHAN EKONOMI NTT TRIWULAN II TUMBUH 5,21 PERSEN Pertumbuhan ekonomi NTT yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 46/05/Th. XVIII, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 KONDISI BISNIS MENURUN NAMUN KONDISI EKONOMI KONSUMEN SEDIKIT MENINGKAT A. INDEKS

Lebih terperinci

B. VISI : Indonesia Menjadi Negara Industri yang Berdaya Saing dengan Struktur Industri yang Kuat Berbasiskan Sumber Daya Alam dan Berkeadilan

B. VISI : Indonesia Menjadi Negara Industri yang Berdaya Saing dengan Struktur Industri yang Kuat Berbasiskan Sumber Daya Alam dan Berkeadilan RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 1 : RENCANA PENCAPAIAN SASARAN STRATEGIS PADA KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA TAHUN ANGGARAN : 216 A. KEMENTRIAN : (19) KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Pada bagian perumusan isu strategi berdasarkan tugas dan fungsi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan mengemukakan beberapa isu strategis

Lebih terperinci

RENCANA KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN ANGGARAN 2015 JAKARTA, APRIL 2014

RENCANA KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN ANGGARAN 2015 JAKARTA, APRIL 2014 RENCANA KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN ANGGARAN JAKARTA, APRIL DAFTAR ISI I. Laporan Rekapitulasi Rencana Kerja Kementerian Perindustrian Tahun Anggaran II. Rekapitulasi Per Program Rincian kegiatan

Lebih terperinci

Dr. Ir. Kemas Danial, MM Direktur Utama

Dr. Ir. Kemas Danial, MM Direktur Utama Dr. Ir. Kemas Danial, MM Direktur Utama KONDISI KOPERASI 1. Total Koperasi : 209.488 Unit 2. Koperasi Aktif : 147.249 Unit (NIK) dan didalamnya telah RAT sebanyak 80.000 Unit 3. Koperasi Tidak Aktif :

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN No. 10/02/91 Th. VI, 6 Februari 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang dihasilkan Badan Pusat Statistik melalui

Lebih terperinci

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014 ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014 OUTLINE 1. LINGKUNGAN STRATEGIS 2. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI 2 1. LINGKUNGAN STRATEGIS 3 PELUANG BONUS DEMOGRAFI Bonus Demografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

Jakarta, 10 Maret 2011

Jakarta, 10 Maret 2011 SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM ACARA TEMU KONSULTASI TRIWULANAN KE-1 TAHUN 2011 BAPPENAS-BAPPEDA PROVINSI SELURUH INDONESIA Jakarta,

Lebih terperinci

TUNJANGAN KINERJA JABATAN STRUKTURAL

TUNJANGAN KINERJA JABATAN STRUKTURAL 5 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG JABATAN DAN KELAS JABATAN SERTA TUNJANGAN KINERJA PEGAWAI DI LINGKUNGAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN

Lebih terperinci

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014) F INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014) Kemampuan Siswa dalam Menyerap Mata Pelajaran, dan dapat sebagai pendekatan melihat kompetensi Pendidik dalam menyampaikan mata pelajaran 1

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT Tujuan dari pemetaan dan kajian cepat pemetaan dan kajian cepat prosentase keterwakilan perempuan dan peluang keterpilihan calon perempuan dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) Pemilu 2014 adalah: untuk memberikan

Lebih terperinci