PREPARASI KANDIDAT VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 MENGGUNAKAN PRINSIP ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PREPARASI KANDIDAT VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 MENGGUNAKAN PRINSIP ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH"

Transkripsi

1 PREPARASI KANDIDAT VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 MENGGUNAKAN PRINSIP ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Preparasi Kandidat Vaksin Avian Influenza H5N1 Menggunakan Prinsip Antibodi Anti-Idiotipe adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Pebruari 2010 Ketut Karuni Nyanakumari Natih NIM B

3 ABSTRACT KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH. The Preparation of Candidate Vaccine Avian Influenza H5N1 Using The Principle of Anti-idiotype Antibody. Under direction of RETNO D. SOEJOEDONO, I. WAYAN T. WIBAWAN, and FACHRIYAN H. PASARIBU Avian Influenza (AI) represent one of the greatest concerns for public health that has emerged from the animal reservoir in recent time. The aim of this research was to prepare candidate vaccine AI H5N1 using the principle of anti-idiotype antibody. A polyclonal antibody was collected from guinea pigs which had been immunized with inactivated AI vaccine H5N1 Legok strain. Antibody of H5N1 AI in serum was detected using an Agar Gel Precipitation Test and Hemmaglutination Inhibition Test. The highest titre of antibody was obtained one week after the third immunization. Serum of guinea pigs which contain IgG was purified using the montage antibody purification kit & spin column with prosep A media (Millipore). The AI H5N1 IgG concentration was 8 mg/ml. AI H5N1 IgG, was then cut with a pepsin enzym to obtain F(ab) 2 ; it was called Ab 1. The concentration of IgG and F(ab) 2 and purity of IgG were determined by UV spectrophotometer and showed that Ab 1 concentration was 1 mg/ml. Molecular weight was established by Sodium Dedocyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis. Production of Ab 2 was done by inoculation of rabbits with Ab 1. The first immunization with 500 µg of Ab 1 in Complete Freund Adjuvant was applied subcutaneously. The immunization was repeated with the same dose in Incomplete Freund Adjuvant at 1 week intervals. One week after the second dose of immunization, the rabbit s serum was harvested and IgG was purified using the montage antibody purification kit & spin column with prosep A media (Millipore). The rabbit IgG, called Ab 2, was an antiidiotype antibody against AI. Identification of Ab 2 was determined by Agar Gel Precipitation Test. A precipitation line appeared between Ab 1 and Ab 2 and a partial identity reaction appeared between Ab 2 and the AI H5N1 antigen. The results of immunogenecity test indicated that Ab 2 has a possibility to be an antigen for protection against AI virus H5N1 infection. Keywords: avian influenza, immunoglobulin G, anti-idiotype antibody

4 RINGKASAN KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH. Preparasi Kandidat Vaksin Avian Influenza Menggunakan Prinsip Antibodi Anti-idiotipe. Dibimbing oleh RETNO D. SOEJOEDONO, I. WAYAN T. WIBAWAN, dan FACHRIYAN H. PASARIBU Penyakit flu burung atau Avian Influenza adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyakit ini disebabkan oleh virus influenza tipe A famili Orthomyxoviridae dengan galur bervariasi antigen 16 hemaglutinin dan 9 neuraminidase. Penyakit Avian Influenza termasuk daftar list A dalam Office International Des Epizooties dan merupakan penyakit eksotik karena sebelumnya tidak pernah ditemukan di Indonesia. Direktur Jenderal Peternakan pada tanggal 25 Januari 200 dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 96/KPTS/PP.620/2/200 tanggal 3 Pebruari 200, menetapkan bahwa Indonesia telah terjangkit wabah penyakit Avian Influenza pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H5N1. Vaksinasi merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam penanganan Avian Influenza. Vaksinasi diyakini sebagai salah satu cara untuk mengurangi kasus klinis penyakit Avian Influenza dan secara langsung mengurangi kontaminasi lingkungan oleh virus Avian Influenza. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyiapkan kandidat vaksin Avian Influenza H5N1 menggunakan prinsip antibodi anti-idiotipe. Penelitian diawali dengan pembuatan antibodi poliklonal yang dikoleksi dari marmut yang telah diimunisasi dengan vaksin Avian Influenza H5N1 inaktif strain Legok. Keberadaan antibodi AI H5N1 di dalam serum marmut diperiksa dengan uji Agar Gel Presipitasi dan diukur titernya dengan uji hambatan hemaglutinasi. Titer antibodi tertinggi diperoleh seminggu setelah imunisasi ke tiga dengan Geometric Mean Titer Pemurnian Imunoglobulin G serum marmut dilakukan dengan montage antibody purification kit & spin column with prosep A media. Konsentrasi Imunoglobulin G Avian Influenza H5N1 diukur dengan spektrofotometer ultra violet sebesar 8 mg/ml. Imunoglobulin G AI H5N1 kemudian dipotong dengan enzim pepsin sehingga diperoleh F(ab) 2 selanjutnya disebut Ab 1. Konsentrasi F(ab) 2 ditentukan dengan spektrofotometer ultra violet dan diperoleh konsentrasi Ab 1 sebesar 1 mg/ml, sedangkan berat molekulnya ditentukan dengan Sodium Dedocyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis sebesar 110 kda. Produksi antibodi anti-idiotipe dilakukan dengan menginokulasi Ab 1 pada kelinci. Imunisasi pertama dengan dosis 500 µg dilarutkan dalam Freund s Adjuvant komplit yang diaplikasikan secara subkutan. Imunisasi diulang dengan dosis yang sama dicampur dalam Freund s Adjuvant inkomplit dengan interval 1 minggu. Setiap minggu setelah imunisasi kedua, serum kelinci dikoleksi dan diidentifikasi dengan uji Agar Gel Presipitasi. Serum kelinci dipanen dan pemurnian Imunoglobulin G kelinci dilakukan dengan montage antibody purification kit & spin column with prosep A media. Konsentrasi Ab 2 ditentukan dengan spektrofotometer ultra violet dan diperoleh konsentrasi Ab 2 sebesar 8 mg/ml, sedangkan berat molekulnya ditentukan dengan Sodium Dedocyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis sebesar 150 kda.

5 Imunoglobulin G kelinci selanjutnya disebut Ab 2 adalah antibodi anti-idiotipe terhadap Avian Influenza H5N1. Identifikasi Ab 2 dilakukan dengan uji Agar Gel Presipitasi. Garis presipitasi terbentuk antara Ab 1 dan Ab 2 dan terbentuk reaksi identitas parsial antara Ab 2 dan antigen AI H5N1. Selanjutnya dilakukan uji imunogenesitas pada ayam SPF dengan kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok Imunoglobulin G kelinci kontrol, kelompok antibodi anti-idiotipe dan kelompok vaksin AI H5N1. Pengambilan darah ayam dilakukan setiap minggu selama minggu. Keberadaan titer antibodi diukur dengan uji hambatan hemaglutinasi dan uji serum netralisasi in vitro terhadap beberapa isolat lokal. Pengukuran titer antibodi dengan uji hambatan hemaglutinasi menunjukkan bahwa walaupun titer antibodi anti-idiotipe lebih rendah dibandingkan dengan titer vaksin AI H5N1 tapi bersifat protektif baik terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003), antigen AI H5N1 IPB (2007), antigen AI H5N1 IPB (2008), dan antigen AI H5N1 IPB (2009). Secara statistik antara perlakuan Ab 2 dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata sehingga antibodi-anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin AI. Pengukuran titer antibodi dengan uji serum netralisasi menunjukkan bahwa walaupun titer antibodi anti-idiotipe lebih rendah dibandingkan dengan titer vaksin AI H5N1 tapi bersifat protektif terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dan antigen AI H5N1 IPB (2005), tetapi tidak protektif terhadap A/Goose/Bojonggenteng/IPB2- RS/2006. Secara statistik antara perlakuan Ab 2 dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dan isolat AI H5N1 IPB (2005) sehingga antibodi-anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin AI. Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya peluang Ab 2 sebagai antigen dalam pencegahan infeksi virus Avian Influenza H5N1. Kata kunci: avian influenza, imunoglobulin G, antibodi anti-idiotipe

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 PREPARASI KANDIDAT VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 MENGGUNAKAN PRINSIP ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2008 sampai Agustus 2009 ini adalah preparasi vaksin Avian Influenza dengan judul Preparasi Kandidat Vaksin Avian Influenza H5N1 Menggunakan Prinsip Antibodi Anti-Idiotipe. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, M.S., sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S., serta Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu sebagai anggota komisi pembimbing, dan Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, M.S., PhD. sebagai ketua Program Studi Sains Veteriner atas segala bimbingannya dari awal hingga terselesaikannya disertasi ini. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Sumber Daya Manusia Departemen Pertanian atas pelimpahan beasiswa untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Sains Veteriner di Institut Pertanian Bogor. Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si. dan drh Ekowati Handharyani, M.S., PhD. yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan Nastiti Kusumorini, PhD., sebagai pimpinan sidang pada ujian tertutup. Terimakasih juga kepada drh. H. Agus Setiyono, M.S., PhD. dan Dr. drh. Abdul Rahman, atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka dan Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S. sebagai pimpinan sidang pada ujian terbuka. Kepada semua pihak penulis sampaikan terimakasih atas saran, kritik, dan masukan yang diberikan untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada drh. Agus Heriyanto, M.Phil., Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan periode tahun yang memberikan motivasi, dukungan dan fasilitas dari awal hingga selesai penulisan disertasi. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. drh. Setyo Widodo yang memberikan motivasi dan rekomendasi untuk melanjutkan studi ke jenjang doktor. Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada ibu Susandra Kuswandi dan Dra. Inggriani, M. Biomed. dari PT. Nutrilab Pratama, drh, Hartono (Ketua Pinsar), drh. Okti Nadia Poetri, MSi. (Fakultas Kedokteran Hewan IPB), drh. Darsono (PT. Bofarma) dan Risa, S.Si. (BBalitvet) atas bantuan bahan-bahan penelitian dan kerjasamanya yang sangat baik, juga kepada drh. Carolos Baso Darmawan (USDA) atas motivasi dan sumbangan daftar pustakanya dan drh. Roosnilasari Endah Pertiwi, M.Si atas motivasi dan doanya. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. drh. Sayu Putu Paryati, M.Si. (Unjani Bandung), drh. Ida Lestari, M.Sc., unit uji Virologi (terutama drh. Yuni Yupiana, M.Sc., Neni Nuryani, Ipat H, Dodo Hermawan, Tarim) dan Hewan Percobaan (terutama drh. IGA Gede Anom, Agus Sting, Deni) Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, dan staf Laboratorium Imunologi FKH-IPB atas bantuannya selama penelitian.

10 Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan kepada teman-teman seperjuangan, terutama kepada Dr. drh. Nyoman Suarsana, M.Si.(Udayana Bali), Dr. Muharam Saepulloh, S.Si.,M.Sc. (BBalitvet Bogor), drh. Sophia Setyawati, M.P. (Karantina Hewan Jakarta), drh. Sutiatuti W., M.Si. (BBalitvet Bogor), drh. Mustofa Sabri, M.P. (Unsyah Aceh), Dr. Ir. Najamudin, M.Si. (Universitas Tadulako Palu), serta teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih yang mendalam kepada ayahanda Drs. I. Ketut N. Natih, M.Hum. dan ibunda Ketut Geniki serta kakak-kakak dan adik-adik, atas doanya yang terus menerus, dukungan moril dan finansial. Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis juga sampaikan kepada keponakan-keponakan tersayang yang selalu memberikan semangat dan doa. Terimakasih kepada keluarga tercinta Kompol I Nengah Ganti, S.H. atas ijin, dan doanya, dan kepada ananda Putu Gayatridevi Ganti Karuni Natih yang selalu mendampingi mama dalam suka dan duka meraih cita-cita mama. Terimakasih sayang atas pengorbanan, pengertian, kesabaran, ketabahan, doa yang tulus serta dorongan semangat yang terus menerus. Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat. Bogor, Pebruari 2010 Ketut Karuni Nyanakumari Natih

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Singaraja (Bali) pada tanggal 21 Desember 1967 sebagai anak ke-empat dari pasangan Drs. I. Ketut N. Natih, M.Hum dan Ketut Geniki. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, melalui PMDK, lulus sarjana kedokteran hewan tahun 1992 dan lulus profesi dokter hewan tahun Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan Program Master Sains di Program Studi Sains Veteriner Pascasarjana IPB. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi di perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pertanian Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Medik Veteriner Unit Uji Virologi di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian sejak tahun 199 sampai sekarang. Karya Ilmiah berjudul Preparasi Imunoglobulin G Kelinci Sebagai Antigen Penginduksi Antibodi Spesifik Terhadap Virus Avian Influenza H5N1 Strain Legok akan diterbitkan pada Jurnal Veteriner Volume 11 No1 Edisi Maret 2010 yang merupakan bagian dari program S3 penulis.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xviii I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Permasalahan Maksud dan Tujuan Manfaat Penelitian Hipotesis... 5 II TINJAUAN PUSTAKA Antibodi Antibodi Anti-idiotipe Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Vaksin Virus Influenza Virus Avian influenza (AI) Patogenesis Avian influenza Reseptor Virus Avian influenza Mekanisme Infeksi Virus Avian influenza Vaksin dan Vaksinasi Avian influenza III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Hewan Percobaan Bahan dan Media Peralatan Metode Reidentifikasi Vaksin AI H5N Produksi Antibodi Poliklonal Avian influenza H5N1 (Ab 1 ) Pada Marmut Reidentifikasi Serum Anti AI H5N1 (Ab 1 )... 32

13 Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab 1 ) Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan Pemurnian Fragmen F(ab) Produksi Antibodi Anti-Idiotipe (Ab 2 ) Pada Kelinci Pemurnian Imunoglobulin G Kelinci Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2 ) Imunogenesitas Kandidat Vaksin (Antibodi Antiidiotipe ) Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji HI Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji SN Analisis Data IV HASIL DAN PEMBAHASAN Reidentifikasi Vaksin AI H5N Produksi Antibodi Poliklonal Avian influenza H5N1 (Ab 1 ) Reidentifikasi Serum Anti AI (Ab 1 ) Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab 1 ) Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan H5N2 dan Pemurnian Fragmen F(ab) Produksi Antibodi Anti-Idiotipe (Ab 2 ) pada kelinci Pemurnian Imunoglobulin G Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2 ).3.2 Reidentifikasi Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2 ) Imunogenesitas Kandidat Vaksin (Antibodi Anti- idiotipe)..1 Uji serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji HI Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji SN V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.. 83

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Protein Influenza A Persyaratan Vaksin Primer Untuk mengamplifikasi Virus AI H5N Titer Antibodi Poliklonal virus AI H5N Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji SN Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Isolat AI H5N1 IPB 2005 dengan Uji SN Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan Uji SN... 68

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tiga Kelas Determinan Antigenik The idiotypic network 9 3 Virus Influenza Tipe A, B dan C Ilustrasi Antigenic Drift Virus Influenza Ilustrasi Antigenic Shift Virus Influenza RNA Virus Influenza A Replikasi Virus Influenza Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan primer subtipe H Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR dengan subtipe N Reaksi Presipitasi Serum Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi Gambaran Titer Antibodi Poliklonal AI H5N Reaksi Presipitasi Imunoglobulin G Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi Skema Pemotongan Imunoglobulin dengan Enzim Pepsin Profil pita protein Imunoglobulin G yang telah dipurifikasi Profil pita protein Fragmen F(ab) Antibodi Anti-idiotipe sebagai imunogen Reaksi Identitas Parsial Imunoglobulin G Kelinci Spesifik Terhadap Ab 1 dan Antigen Virus Avian influenza H5N Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti Anti-idiotipe dengan Antigen

16 19 AI H5N1... Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti-idiotipe dengan Antibodi Anti Anti-idiotipe Regulasi idiotipik dari respon imun Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI Biakan sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) kontrol Sel MDCK yang diinfeksi oleh virus AI H5N Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat AI H5N1 Strain Legok (2003) dengan Uji SN Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat AI H5N1 IPB (2005) dengan Uji SN Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan Uji SN... 69

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Daftar Vaksin Avian Influenza di Indonesia Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji SN Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Isolat AI H5N1 IPB (2005) dengan Uji SN Hasil Pengujian Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan Uji SN Prosedur Polymerase Chain Reaction (PCR) Metode Konvensional Prosedur Uji Agar Gel Presipitasi (Agar Gel Presipitation = AGP) Prosedur Uji Hambatan Hemaglutinasi (Hemaglutination Inhibition Test = HI ) Prosedur Pemurnian Imunoglobulin G (IgG) Prosedur Sodium Deodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis SDS-PAGE Prosedur Uji Serum Netralisasi (SN) Prosedur Pembuatan Antigen Avian Influenza

18 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit ini adalah virus influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Virus ini mempunyai galur bervariasi yaitu 16 antigen hemaglutinin (HA) dan 9 neuraminidase (NA) (Fouchier 2005). Penyakit AI termasuk daftar list A dalam Office International Des Epizooties (OIE) (OIE 2008) dan merupakan penyakit eksotik karena sebelumnya tidak pernah ditemukan di Indonesia. Wabah AI H5N1 mulai terjadi pada tahun 1997 di Hongkong kemudian menyebar ke Korea Selatan, Jepang, Thailand, Filipina, Korea Utara, Kamboja, Siberia, Romania, dan Turki. Virus ini bersifat sangat patogen dan zoonosis karena dapat menginfeksi unggas dan manusia (Swayne 200). Virus influenza berbentuk pleiomorfik yaitu filamen atau sferoid (bola) dengan diameter nm (Harris et al. 2006). Kasus AI H5N1 di Indonesia pertama kali dilaporkan pada bulan Agustus 2003, menyerang beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Direktur Jenderal Peternakan pada tanggal 25 Januari 200 dan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 96/KPTS/PP.620/2/200 tanggal 3 Pebruari 200 tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas (Avian Influenza) dibeberapa provinsi di wilayah Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 393/Kpts/PD.620/7/2007, menetapkan bahwa Indonesia telah terjangkit wabah penyakit AI pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H5N1 yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (Ditjennak 2008). Kasus ini kemudian meluas keberbagai daerah di Indonesia dan telah menyerang berbagai jenis unggas. Virus AI sudah terjadi secara endemis pada perunggasan di Indonesia khususnya di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi (Songserm et al. 2006; FAO 2009). Daerah tertular virus AI H5N1 sudah mencapai 31 provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Avian Influenza masih menjadi penyakit zoonosa yang penting karena wabah AI di Indonesia

19 sudah banyak menelan korban jiwa manusia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa jumlah penderita flu burung pada manusia sampai Desember 2009 sebanyak 161 orang diantaranya meninggal dunia sebanyak 13 orang (tingkat kematian %) (FAO 2009; WHO 2009). Pola penularan virus ini pada manusia belum diketahui dengan pasti. Keadaan ini mengkhawatirkan akan terjadinya pandemi AI. Pemerintah Indonesia melakukan upaya penanganan AI berupa 9 (sembilan) langkah strategis dalam rangka pengendalian wabah AI tersebut Salah satunya adalah vaksinasi (Ditjennak 2008). Vaksinasi diyakini sebagai salah satu cara untuk mengurangi kasus klinis penyakit AI dan secara langsung mengurangi kontaminasi lingkungan oleh virus AI (Naipospos 200) dan sejak tahun 200 Indonesia sudah menggunakan 00 juta dosis vaksin AI (Bouma et al. 2009). Vaksin AI yang digunakan di Indonesia saat ini adalah vaksin AI yang telah diinaktifkan Pembuatan vaksin AI umumnya dilakukan dengan menyuntikkan virus pada telur ayam berembrio (TAB) (OIE 2008) atau dibiakkan pada kultur jaringan (sel) dengan menggunakan sel primer Chicken Embrio Fibroblast (CEF) atau sel lestari Madin Darby Canine Kidney (MDCK). Virus AI ditumbuhkan pada TAB yang tidak mengandung virus atau patogen apapun yang dikenal dengan istilah Specific Pathogen Free (SPF). Virus AI juga dapat ditumbuhkan sel MDCK karena virus influenza sangat mudah bereplikasi pada sel tersebut sehingga dapat digunakan untuk produksi vaksin influenza (Liu et al. 2009). Virus AI yang telah ditumbuhkan selanjutnya diinaktifkan dengan bahan kimia (beta-propiolakton) untuk dijadikan vaksin (OIE 2008). Kendalanya vaksin dibuat dari virus yang virulen, maka ada kemungkinan masih terdapat vaksin yang dapat menimbulkan kasus penyakit dan juga membahayakan pekerja laboratorium yang memproduksinya. Pengembangan terhadap vaksin yang aman, efektif dan protektif sangat diperlukan saat ini. Vaksin antibodi anti-idiotipe merupakan solusi terhadap pembuatan vaksin dari virus yang virulen. Vaksin antibodi anti-idiotipe adalah vaksin yang dibuat atas dasar adanya daerah pengenalan antigen oleh antibodi. Pengenalan antigen dengan antibodi dapat menghasilkan imunitas spesifik untuk mencapai tujuan imunisasi. Hewan yang disuntik dengan suatu antigen, maka respon imun akan terjadi pada tubuh hewan tersebut. Respon humoral yang terjadi akan menghasilkan antibodi (Ab 1 ) yang

20 mengekspresikan beberapa kumpulan idiotipe di daerah variable yang akan dikenali oleh epitop dari antigen yang disuntikkan. Antibodi (Ab 1 ) bila disuntikkan kepada hewan lain, maka kumpulan atau populasi antibodi yang mengenalinya disebut antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) (Vizcaino 200). Penggunaan vaksin antibodi anti-idiotipe sebagai vaksin alternatif untuk penyakitpenyakit yang disebabkan oleh agen infeksius yang ganas, berbahaya dan sulit dibiakkan. Vaksin antibodi anti-idiotipe juga tidak mengandung resiko adanya agen infeksius yang dapat menimbulkan penyakit pada hewan yang divaksinasi. Antibodi anti-idiotipe dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan biaya produksi yang lebih murah. Antibodi anti-idiotipe yang hanya bereaksi terhadap epitop tunggal agen infeksius mampu memberikan perlindungan protektif terhadap antigen yang memiliki banyak epitop, selain itu antibodi anti-idiotipe juga mampu meniru sifat antigenik sehingga dapat digunakan sebagai imunogen yang dapat menimbulkan respon spesifik terhadap agen infeksius (Lin & Zhou 1995). 1.2 Rumusan Permasalahan Penyakit Avian Influenza merupakan penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar karena dapat menyebabkan kematian massal berbagai macam galur unggas sampai mencapai angka kematian (mortalitas) 100% dalam waktu relatif singkat dan dapat menular pada hewan lain juga manusia (zoonosis). Pemerintah Indonesia mencanangkan sembilan langkah strategis dalam rangka pengendalian dan pemberantasan penyakit AI. Sembilan langkah strategis tersebut meliputi (1) penerapan biosekuriti secara ketat, (2) depopulasi selektif di daerah tertular, (3) vaksinasi, () pengendalian lalu lintas ternak unggas, (5) surveilans dan penelusuran, (6) peningkatan kesadaran masyarakat (public awarness), (7) pengisian kembali (restocking) unggas, (8) stamping out di daerah tertular baru, dan (9) monitoring, pelaporan dan evaluasi (Ditjennak 2008). Vaksinasi telah digunakan sebagai cara pengendalian penyakit AI pada unggas bersama-sama dengan tindakan lain secara paralel, seperti peningkatan tindakan biosekuriti yang lebih ketat, pengendalian lalu lintas ternak, surveilan dan monitoring, restrukturisasi peternakan serta pembuatan dan penegakkan aturan (regulasi) yang dibuat

21 oleh suatu negara. Vaksinasi tampaknya akan semakin dipilih karena berbagai pertimbangan antara lain pertimbangan ekonomi, tindakan karantina, eradikasi atau stamping out yang dilakukan secara berdiri sendiri tidak menjamin keamanan unggas, khususnya unggas-unggas yang dipelihara dengan densitas tinggi pada daerah yang sudah bersifat endemik. Disisi lain pertimbangan etika internasional, khususnya berkaitan dengan penyediaan bahan pangan yang aman dan keamanan lingkungan bagi seluruh makhluk hidup (Wibawan et al. 2006). Indonesia menerapkan vaksinasi sebagai salah satu strategi kebijakan penanggulangan AI, hal ini merupakan peluang bisnis bagi kalangan swasta untuk mendatangkan vaksin dari luar negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan vaksin bagi para peternak maupun industri perunggasan di Indonesia. Keadaan ini berdampak masuknya bermacam-macam vaksin AI konvensional produksi luar negeri dengan berbagai subtipe (H5N1, H5N2, dan H5N9) dan strain (Mexico, Wisconsin, dan England) dan vaksin rekombinan atau GMO (Geneticcally Modified Organism). Vaksinasi AI di Indonesia saat ini menggunakan vaksin inaktif yang dapat beresiko masih adanya virus virulen akibat inaktifasi yang tidak sempurna. Penggunaan vaksin anti-idiotipe selain sebagai vaksin alternatif untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh agen infeksius yang ganas, berbahaya dan sulit dibiakkan juga tidak mengandung resiko adanya agen infeksius yang dapat menimbulkan penyakit pada hewan yang divaksinasi. Antibodi anti-idiotipe dapat diproduksi dalam jumlah banyak sehingga biaya produksi menjadi lebih murah. Antibodi anti-idiotipe yang hanya bereaksi terhadap epitop tunggal agen infeksius mampu memberikan perlindungan protektif terhadap antigen yang memiliki banyak epitop, antibodi anti-idiotipe juga mampu meniru sifat antigenik sehingga dapat digunakan sebagai imunogen yang dapat menimbulkan respon spesifik terhadap agen infeksius.

22 1.3 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai kandidat vaksin untuk pencegahan Avian Influenza. 2. Mengetahui fenomena kekebalan hasil vaksinasi menggunakan vaksin antibodi anti-idiotipe dan vaksin Avian Influenza yang beredar. 1. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu metode pengembangan antibodi anti-idiotipe yang efektif, protektif dan aman. 1.5 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Antibodi anti-idiotipe AI bersifat imunogenik dan mampu menginduksi terbentuknya antibodi yang berikatan secara homolog dengan antigen virus AI. 2. Antibodi anti-idiotipe AI dapat digunakan sebagai kandidat vaksin. 3. Antibodi anti-idiotipe memberikan hasil yang lebih protektif dibandingkan dengan vaksin komersil secara in vitro.

23 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi Respon imun akan terjadi dalam tubuh hewan yang terpapar oleh suatu antigen. Respon humoral tubuh yang terinfeksi akan menghasilkan antibodi. Antibodi merupakan suatu molekul protein atau globulin yang diproduksi oleh sel B dan saling berikatan secara spesifik dengan antigen. Antibodi ditemukan pada darah atau kelenjar tubuh vertebrata lainnya, dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan dan menetralisasikan benda asing seperti bakteri dan virus. Molekul antibodi adalah globulin, maka umumnya dikenal sebagai imunoglobulin (Ig). Ada 5 kelas utama imunoglobulin dalam serum yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE (Alberts et al 2002; Roitt 2003). Bila serum protein dipisahkan dengan cara elektrophoresis, maka imunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin gama, meskipun ada beberapa imunoglobulin yang juga ditemukan dalam fraksi globulin alfa dan beta (Bratawidjaja 2002). Semua molekul imunoglobulin mempunyai rantai polipeptida yang terdiri dari dua pasang rantai polipeptida berat (heavy = H) dan dua rantai ringan (light = L) yang identik. Keempatnya bergabung melalui ikatan disulfida antar rantai. Struktur molekul antibodi berbentuk seperti huruf Y, masing-masing mempunyai daerah variabel (V H dan V L ) dan daerah konstan (C H dan C L ). Fragmen imunoglobulin yang identik disebut Fab (Fragment antigen binding) yang merupakan bagian imunoglobulin yang mengikat antigen serta bereaksi dengan determinan antigen dan hapten. Bagian tunggal imunoglobulin disebut Fc (Fragment crystallizable) oleh karena mudah dikristalkan. Daerah variabel (V) tersusun dari sekitar 110 sampai 130 asam amino, merupakan gugus NH 2 sebagai tempat ikatan antara rantai H dan L. Daerah konstan C pada rantai H meliputi daerah aktivasi komplemen dan molekul reseptor Fc dari berbagai jenis sel (Bratawidjaja 2002; Roitt 2003). Daerah V dan C mempunyai tiga kelas determinan antigenik yaitu : (1) determinan isotypic, membedakan rantai ringan menjadi dua klas, yaitu kappa (κ) dan

24 lamda (λ) yang terdiri atas 230 asam amino, sedangkan rantai berat yang terdiri dari asam amino mempunyai lima isotipe berbeda yang membagi imunoglobulin menjadi lima klas yang berbeda dengan fungsi yang berbeda-beda pula (IgG, IgM, IgA, IgE, IgD); (2) determinan allotypic, dibedakan dari produk gen pada lokus yang sama (IgG1, IgG2a, IgG2b); dan (3) determinan idiotypic, dihubungkan dengan spesifisitas ikatan antigen (Saldanha 2000) (Gambar 1). Allotypic, variasi asam amino pada lokus yang Idiotypic, variasi dihubungkan Isotypic, variasi rantai berat γ, μ, ε, Gambar 1 Tiga Kelas Determinan Antigenik (Sumber: Saldanha (2000)) Rantai-rantai pada molekul antibodi tersebut dapat dipisahkan satu sama lain dengan mereduksi ikatan S-S atau dengan pengasaman. Pada IgG yang merupakan tipe antibodi terbanyak, daerah engsel yang terpapar memanjang oleh adanya kandungan prolein yang tinggi, karena itu mudah terkena efek proteolitik; molekul akan terpotong oleh papain menjadi dua fragmen Fab yang identik, masing-masing mengandung satu tempat pengikatan antigen dan fragmen ketiga yaitu Fc yang tidak mempunyai kemampuan mengikat antigen. Pepsin memotong pada tempat yang berbeda, melepaskan Fc dari bagian molekul lainnya berupa fragmen 5S yang besar, yang dikenal sebagai F(ab) 2. Fragmen ini mampu mengikat antigen seperti antibodi asal dan masih bersifat divalen. Daerah spesifik untuk berikatan dengan antigen disebut paratop dan mengekspresikan beberapa kumpulan idiotop yang mampu meningkatkan produksi antibodi (Roitt 2003).

25 Menurut Roitt (2003) dapat dibuat antiserum yang spesifik terhadap molekul antibodi individual dan dapat membedakan antara satu antibodi monoklonal dengan lainnya tanpa tergantung dari struktur isotipik maupun alotipik. Antiserum tersebut dapat menetapkan determinan individual yang khas untuk tiap antibodi dan disebut idiotipe. Determinan idiotipe ini terletak di daerah variabel dari antibodi dan berkaitan dengan daerah hipervariabel. 2.2 Antibodi Anti-idiotipe Idiotope adalah determinan antigen tunggal pada regio variabel molekul antibodi yang dapat ditemukan pada sel B dan sel T (Kennedy et al. 1983). Lokasi idiotope pada sisi pengikat antigen, pada rantai berat maupun pada rantai ringan antibodi, namun kebanyakan terletak pada rantai berat (Ban et al. 199). Idiotipe adalah kumpulan idiotope atau epitop spesifik, diekspresikan sebagai reseptor antigen pada sel B dan sel T. Jerne (1985) membuat suatu teori tentang jaringan idiotipik, bahwa imunisasi dengan suatu antigen dapat menginduksi antibodi spesifik terhadap antigen (Ab 1 ). Antibodi yang dihasilkan dari antigen eksternal disebut antibodi idiotipe (Ab 1 ), antibodi yang dihasilkan oleh Ab 1 adalah antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ), antibodi yang dihasilkan Ab 2 adalah antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ), dan seterusnya, sehingga pada akhirnya dapat menginduksi terbentuknya serangkaian autoantibodi yang dapat saling mengenali satu sama lain membentuk suatu jaringan idiotipik. Daerah variabel (V) molekul antibodi mempunyai daerah spesifik untuk berikatan dengan antigen (paratop) dan permukaan yang mampu meningkatan produksi antibodi (idiotop). Paratop dan idiotop terletak pada tempat yang sama, maka anti-idiotipe akan meniru (internal image) struktur antigen melalui proses saling melengkapi (complementary) dan homobodies (Kennedy & Attanasio 1990). Jerne (1985) membuat suatu teori tentang jaringan idiotipik, bahwa imunisasi dengan suatu antigen dapat menginduksi antibodi spesifik terhadap antigen (Ab 1 ).

26 Gambar 2 The idiotypic network: a. Menurut teori jaringan idiotipik dari Jerne, imunisasi dengan antigen dapat mengakibatkan tidak hanya generasi antigen-antibodi spesifik (Ab 1 ) tetapi juga ke antibodi yang mengenali Ab 1. Hal ini terjadi karena struktur unik (idiotipe) dari tempat pengikatan antigen dari Ab 1 merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan Ab 2 yang meniru struktur antigen. Mekanisme yang sama menghasilkan Ab 3. Ab 1 dan Ab 3 memiliki kapasitas mengikat serupa dan dalam banyak kasus, urutan asam aminonya identik mengikat tempat antigen; b. Seperti yang juga dikemukakan oleh Jerne, struktur unik dalam rangka Ab 1 dapat memicu jaringan idiotipik. (Sumber: Shoenfeld (200)) 2.3 Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Vaksin

27 Antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) yang memiliki karakteristik serologik internal image sangat potensial digunakan sebagai antigen dalam serodiagnostik, preparasi vaksin atau modulasi respon imun untuk mengontrol infeksi (Zhou et al. 199). Antibodi antiidiotipe juga dapat digunakan sebagai prekusor awal sistem imun inang terhadap agen infeksius. Pemberian anti-idiotipe pada simpanse sebelum pemberian antigen HBs meningkatkan titer antibodi terhadap HBs dibandingkan dengan tanpa pemberian antiidiotipe (Kennedy et al. 198). Menurut Suartha (2001), antibodi anti-idiotipe mampu memberikan perlindungan 88.8% terhadap serangan bakteri Streptococcus Group C (SGC) ganas. Antibodi anti-idiotipe juga dapat digunakan sebagai antigen pengganti pada imunisasi dengan antigen yang sulit diperoleh dalam jumlah yang banyak (Roitt 2003). Antibodi anti-idiotipe dapat diproduksi dengan mudah dalam jumlah yang banyak, kesulitan yang berhubungan dengan tenaga, biaya dalam penyediaan antigen dari agen penyakit dapat dieliminasi, bahaya penyebaran agen infeksius dalam pelaksanaan di lapangan dapat dihindari (Lin & Zhou 1995). Antibodi anti-idiotipe dapat digunakan sebagai vaksin karena dapat meningkatkan respon kebal dari vaksin konvensional yang semula tidak efektif atau lemah (Huang et al. 1988). Paryati et al (2006), mengatakan antibodi anti-idiotipe mampu menginduksi kadar antibodi protektif terhadap rabies. Antibodi anti-idiotipe juga dapat mengurangi efek klinis yang merugikan dari penggunaan vaksin konvensional (Clark et al. 1996), mampu memberikan kekebalan protektif pada sistem imun prematur (Huang et al. 1988), protektif menghambat penyebaran secara vertikal infeksi suatu mikroorganisma (Kennedy et al. 1996). Vaksin antibodi anti-idiotipe juga dapat merangsang klon imun yang toleran dan tersembunyi (McNamara et al. 198). Chatterjee et al. (2000) menggunakan antibodi anti-idiotipe untuk melawan kanker karena penggunaan vaksin anti-idiotipe lebih baik dari vaksin antigen tradisional, sedangkan Reinarzt et al. (2003) mengatakan antibodi anti-idiotipe dapat sebagai pengganti antigen anti tumor dalam strategi vaksinasi karena dapat menstimulasi sel B. Lebih lanjut antibodi anti-idiotpe dapat meningkatkan respon imun terhadap neoplasma dan meningkatkan produksi auto antibodi pada penyakit autoimun (Rico & Hall 1989).

28 Park et al. (2005) dalam penelitiannya mengembangkan penggunaan antibodi anti-idiotipe terhadap kapsular polisakarida dari Neisseria meningitides group B sebagai vaksin karena belum ada vaksin terhadap penyakit ini yang merupakan penyakit serius penyebab sepsis dan meningitis pada bayi dan balita. 2. Virus Influenza Penyakit flu pada manusia dan hewan disebabkan oleh virus dalam famili Orthomyxoviridae, memiliki pembungkus (envelope), bersegmen dan memiliki negativesingle strand Rybonucleic acid (RNA). Virus ini berukuran nm, merupakan partikel pleimorphic berukuran sedang yang terdiri atas 2 lapis lemak dan terletak diatas matriks M1 yang mengelilingi genom. Permukaan envelope mempunyai dua tonjolan glikoprotein yaitu hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Protein lain selain H dan N, virus influenza A juga memiliki protein matriks (M1, M2), nukleoprotein (NP), polimerase (P1, Pb2, PA), non structural (NS1), dan NEP. Masing-masing protein mempunyai fungsi yang berbeda (Tabel 1) (Mulyadi & Prihatini 2005). Sampai saat ini famili Orthomyxoviridae terdiri dari 5 genus yaitu Influenzavirus A, Influenzavirus B, Influenzavirus C (tiga genus ini biasa disebut dengan influenza tipe A, B, dan C), Thogotovirus dan Isavirus. Hanya Genus Influenzavirus A yang menginfeksi unggas (Capua & Alexander 2009). Virus influenza tipe A dan B memiliki 8 segmen RNA, namun virus influenza tipe C hanya memiliki 7 segmen (Gambar 3) (Hoffmann et al. 2000). Determinan antigenik utama dari virus influenza A dan B adalah glikoprotein transmembran hemaglutinin (H atau HA) dan neuroaminidase (N atau NA), yang mampu memicu terjadinya respon imun dan respon yang spesifik terhadap subtipe virus. Respon ini sepenuhnya bersifat protektif di dalam, tetapi bersifat protektif parsial pada lintas subtipe yang berbeda. Berdasarkan sifat antigenisitas dari glikoprotein-glikoprotein tersebut, saat ini virus influenza dikelompokkan ke dalam enambelas subtipe H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9). Kelompok-kelompok tersebut ditetapkan ketika dilakukan analisis filogenetik terhadap nukleotida dan penetapan urutan (sequences) gen-gen HA dan NA melalui cara deduksi asam amino (Fouchier 2005).

29 Tabel 1 Protein Influenza A Protein Tempat (perkiraan jumlah Fungsi virion) Hamaglutinin (HA) Permukaan (500) Perlekatan sel dan penetrasi, aktivitas penyatuan (fusi) Neuraminidase (NA) Permukaan (100) Pelepasan virus, aktivitas enzim Membran/matrik (M1) Di dalam (interna) (3000) Struktur pembungkus (envelope) utama protein, pertemuan virus M2 Permukaan (20-60) Virus tidak dibungkus dan pertemuan, hubungan ion Nucleoprotein (NP) Di dalam (interna) (3000) Berkaitan dengan RNA dan protein polymerase Polymerase (PB1,PB2,PA) Di dalam (interna) (30-60) Replikasi RNA dan transkripsi NS1 Nonsruktural(sel terinfeksi) Pengaturan replikasi virus NEP Di dalam (interna) ( ) (Sumber : Mulyadi dan Prihatini (2005)) Faktor ekspor inti (nuclear)

30 Gambar 3 Virus Influenza Tipe A, B, dan C (Sumber: Hoffmann et al. (2000)) Virus influenza A mempunyai sifat mudah berubah. Antigen permukaan yang dimiliki virus influenza tersebut dapat berubah secara periodik yang lebih dikenal dengan istilah antigenic drift (mutasi titik/minor) dan antigenic shift (pergeseran genetik/mutasi mayor). Antigenic drift merupakan perubahan yang terjadi akibat mutasi genetik struktur protein permukaan virus, sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut, sedangkan antigenic shift merupakan perubahan genetik virus yang memungkinkan virus ini menginfeksi secara lintas spesies (Gambar dan 5). Mutasi mayor merupakan keunikan virus influenza karena genom virus itu terdiri atas delapan potong RNA, sehingga ketika virus influenza dengan tipe berbeda menginfeksi sel yang sama akan terjadi pertukaran segemen RNA dalam sel. Kedua sifat tersebut dapat menyebabkan kejadian pandemi (Stohr 2005).

31 Gambar Ilustrasi Antigenic drift Virus Influenza (Sumber: FKH IPB (2006))

32 Gambar 5 Ilustrasi Antigenic Shift Virus Influenza (Sumber: FKH IPB (2006)) Berbeda dengan virus influenza tipe A, virus influenza tipe B tidak diklasifikasikan ke dalam subtipe dan hanya menyerang manusia. Namun, virus ini telah diketahui dapat menginfeksi anjing laut. Virus influenza tipe B dapat menyebabkan epidemi pada manusia, namun tidak sampai menyebabkan pandemi. Virus influenza tipe C, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hanya memiliki 7 segmen RNA, tidak seperti virus influenza tipe A ataupun tipe B yang memiliki 8 segmen. Virus influenza tipe C tidak memiliki protein permukaan HA dan NA seperti yang dimiliki oleh virus

33 influenza tipe A dan B, akan tetapi kedua segmen tersebut digantikan oleh glikoprotein tunggal yang disebut dengan haemagglutinin-esterase-fusion (HEF). Virus influenza tipe C hanya menyebabkan gejala penyakit ringan saja dan tidak menyebabkan epidemi maupun pandemi penyakit pada manusia (Nicholson et al. 1998). 2.5 Virus Avian Influenza (AI) Avian Influenza (AI) menyebabkan angka kematian yang tinggi pada ayam di Italia pada tahun Namun baru diketahui pada tahun 1955 bahwa penyebab fowl plague sebenarnya adalah virus AI yang memiliki komposisi gen yang serupa (hampir identik) dengan virus influenza manusia. Virus AI adalah virus influenza tipe A, pada awalnya hanya ditularkan oleh unggas. Unggas tersebut adalah burung, bebek, ayam, selain itu dapat juga ditularkan oleh beberapa hewan lain seperti babi, kuda, anjing laut, ikan paus, musang, dan kucing. Data lain menunjukkan penyakit ini bisa terdapat diburung puyuh dan burung onta. Penyakit ini ditularkan dari burung ke burung, tetapi dapat juga menular ke manusia (Mulyadi & Prihatini 2005). Keberadaan virus AI H5N1 pada unggas air di Indonesia telah dibuktikan dengan ditemukannya isolat dari unggas air di daerah Jawa Barat (Susanti 2008) dan di kucing (Murtini et al. 2008). Berdasarkan atas patogenitasnya, virus AI dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Pada umumnya virus AI subtipe H1-H, H6, H8-H15 ada dalam bentuk LPAI dan umumnya menyebabkan sedikit gejala klinis atau bahkan tidak memperlihatkan gejala klinis sedikitpun. Sifat mudah mutasi dari virus ini menyebabkan keganasannya ditentukan oleh waktu, tempat dan inang yang terinfeksi. Artinya walaupun sama-sama H5 yang menginfeksi belum tentu menunjukkan tingkat keganasan yang sama (Russel & Webster 2005). Menurut Capua dan Alexander (2009), hanya virus AI subtipe H5, H7 dan H10 yang terlihat sebagai penyebab HPAI tapi tidak semua sub tipe H5, H7 dan H10 bersifat virulen. Virus AI dibungkus oleh glikoprotein dan dilapisi oleh lapisan lemak ganda (bilayer lipid). Glikoprotein HA dan NA merupakan protein permukaan yang sangat berperan dalam penempelan dan pelepasan virus dari inang. Protein HA merupakan

34 bagian terbesar dari spike yaitu 80 % dan NA sebesar 20 %. Struktur HA dan NA menentukan subtipe dari virus AI, sedangkan NP dan M digunakan untuk membedakan antara virus influenza A dengan B atau C (Nicholson et al. 1998; Anonim 2010). RNA virus influenza tipe A dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 RNA Virus Influenza A Angka kematian hewan yang terinfeksi virus LPAI sangat rendah bila tidak terjadi infeksi sekunder. Beberapa strain LPAI mampu bermutasi di bawah kondisi lapang menjadi virus HPAI. Virus HPAI bersifat sangat infeksius dan fatal pada unggas. Virus HPAI dapat menyebabkan kematian hingga 100% dalam waktu yang cepat pada unggas dengan atau tanpa memperlihatkan gejala klinis, dan ketika ini terjadi, maka penyakit dapat menyebar dengan cepat antar flock. Penyebaran virus HPAI antara lain melalui aktivitas migrasi burung-burung liar yang merupakan induk semang (inang) alami virus penyebab, kontak langsung dengan hewan terinfeksi, feses, air minum, udara di daerah tercemar, peralatan kandang tercemar, serta secara sekunder melalui pekerja kandang, kendaraan pengangkut, pakan, dan lainlain yang berasal dari daerah tercemar. Virus HPAI ini dapat hidup pada suhu lingkungan dalam jangka waktu yang lama dan dapat bertahan hidup pada bahan-bahan yang telah dibekukan. Satu gram feses hewan yang terinfeksi virus ini mengandung virus yang cukup untuk menginfeksi satu juta unggas.

35 Virus influenza yang sangat virulen (H5N1) dapat hidup di air sampai hari pada suhu 22 o C dan lebih dari 30 hari pada 0 o C, di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit virus dapat bertahan lebih lama, virus akan mati dengan pemanasan 60 o C selama 30 menit atau 56 o C selama 3 jam, deterjen, desinfektan (formalin, iodin) (Horimoto & Kawaoka 2001; Cucunawangsih 2006). 2.6 Patogenesis Avian Influenza Reseptor Virus Avian Influenza Penularan virus influenza A dapat terjadi antar spesies termasuk manusia, namun virus AI tidak efisien dalam replikasi pada sel manusia, demikian juga sebaliknya, virus influenza pada manusia tidak efisien replikasi pada unggas. Hal ini disebabkan oleh perbedaan reseptor yang dimiliki oleh masing-masing sel tersebut. Ikatan pada reseptor merupakan awal patogenesitas virus AI. Virus akan masuk ke sel inang melalui endositosis yang diperantarai oleh reseptor (Elton et al. 2001; Rahardjo 200). Reseptor yang dimiliki oleh sel manusia berupa N-acetylsialic acid yang mengikat galaktosa dengan ikatan alfa 2,6 atau disingkat NeuAcα2,6Gal (asam sialat-α2,6), sedangkan pada unggas dan kuda, senyawa galaktosa diikat pada alfa 2,3 atau disingkat NeuAcα2,3Gal (asam sialat-α2,3). Kebanyakan hewan mempunyai reseptor mirip dengan unggas seperti paus dan anjing laut. Khusus untuk babi, sampai saat ini satu-satunya hewan yang mempunyai kedua macam reseptor tersebut, dalam arti bahwa babi sensitif terhadap AI maupun virus influenza manusia (Nicholson et al. 1998; Suzuki et al. 2000). Perbedaan reseptor ini korelasinya dengan letak asam amino nomer 226 yaitu pada virus influenza manusia diisi oleh leusin (Leu), sedangkan pada pada AI dan virus influenza pada kuda (Equine Influenza) diisi oleh glisin (Gln) (Rahardjo 200) Mekanisme Infeksi Virus Avian Influenza Proses terjadinya infeksi atau patogenesa tahap pertama terjadi secara inhalasi (menghirup) atau ingesti (memakan) AI. Enzim tripsin dan protease lainnya dalam sel tropisma terutama pada epitel saluran pernapasan, paru-paru dan trakhea tersedia untuk pembelahan (cleavage) protein hemaglutinin. Jadi pada saat AI menginfeksi sel, enzim tripsin dan protease dalam sel akan memecah protein hemaglutinin menjadi dua bagian yaitu HA1 dan HA2 (Rahardjo 200).

36 Mekanisme infeksi virus influenza dimulai dengan perlekatan virus pada permukaan membran plasma. Reseptor untuk virus influenza adalah sialoglycolipid atau gangliosides atau sialoglycoprotein. Terminal sialic acid akan dikenali oleh hemaglutinin (HA) yang berperan dalam perlekatan virus. Kedudukan reseptor virus pada bagian distal globular hemaglutinin, yaitu daerah molekul yang menunjukkan sedikit perbedaan yang dikelilingi oleh 3 tempat antigen yang berbeda. Virus akan masuk ke dalam sel dengan bantuan ikatan paku HA pada mukoprotein yang mengandung terminal N-acetyl neuraminic acid (NANA = sialic acid) (Manugerra & Hannoun 1999). Partikel virus setelah melekat akan ditelan melalui proses endositosis dan virus lewat suatu lubang selubung akan masuk ke dalam gelembung endositotik dan akhirnya endosom. mengatakan secara berangsur-angsur lisosom akan menyatu ph akan menurun (ph kira-kira 5). Protein HA akan berikatan dengan reseptor yang terdapat dinding sel inang. Siklus replikasi terjadi dalam saluran pernapasan dan atau saluran pencernaan dengan mengeluarkan bagian dari virus yang bersifat menimbulkan infeksi (Rahardjo 200). Protein virus eksternal seperti HA yang tahan terhadap degradasi enzim (protease). Protein HA akan mengalami perubahan pada saat kondisi ph yang cukup asam tersebut, yaitu dengan membuka bagian hydrophobic sub unit HA2 sehingga memungkinkan terjadinya penyatuan antara membran endosomal seluler dan lapisan lemak ganda (lipid bilayer) virus. Untuk virus influenza tipe A protein M2 memungkinkan destabilization lapisan protein M1. Virus akan masuk pada saat nukleokapsid dilepaskan ke dalam sitoplasma seluler. Penghambatan masuknya virus dapat bervariasi tergantung pada tingkat kekebalan dan bahan kimia. Pengaktifan ph oleh aliran ion akan membuat protein M2 menjadi penting dalam proses uncoating (pelepasan selubung). Spesifik target rangkaian asam nukleat (sequence nucleat) pada nukleoprotein (NP) akibat translokasi nukleokapsid ke dalam nukleus (Manugerra & Hannoun 1999) Virus influenza yang merupakan virus RNA mempunyai 3 tipe virus spesifik RNA (messenger, antigenomic dan viral atau genomic) yang semuanya disintesa di dalam nukleus. Segmen NS melalui sambungan untuk menyandikan protein NS1 (non-struktur) dan NS2. Untuk virus tipe A, segmen M sebagai sandi protein M1 dan M2. Selama infeksi oleh virus influenza, total sintesa protein dipertahankan pada tingkat yang tinggi kemudian terjadi surprising swing dari sintesa protein seluler menjadi protein influenza,

37 seharusnya dalam bagian untuk menghalangi translasi seluler mrna. Translasi ada dalam sitoplasma dimana protein virus disintesa. Ini yang menjalani glikosilasi seperti HA dan NA, lewat ke dalam retikulum endoplasmik dan kemudian Golgi dan trans-golgi apparatus. Pada jalur ini glikoprotein influenza dilekatkan ke dalam lipid bilayer sampai pada permukaan sel. Protein virus yang lain akan datang di bawah membran sel plasma melalui difusi yang sederhana. Virion dibentuk oleh kuncup (budding) pada permukaan membran plasma. Menurut Garman dan Laver (200), hemaglutinin adalah sebuah protein yang mengalami glikosilasi dan asilasi (glycosylated and acylated protein) terdiri dari asam amino yang terikat dalam sampul virus. Kepala membran distalnya yang berbentuk bulat, daerah eskternal yang berbentuk seperti tombol dan berkaitan dengan kemampuannya melekat pada reseptor sel, terdiri dari oligosakharida yang menyalurkan derivat asam neuroaminic. Daerah eksternal (exodomain) dari glikoprotein transmembran yang kedua, neuroamidase (NA), melakukan aktivitas ensimatik sialolitik (sialolytic enzymatic activity) dan melepaskan progeni virus yang terjebak di permukaan sel yang terinfeksi sewaktu dilepaskan. Fungsi ini mencegah tertumpuknya virus dan mungkin juga memudahkan gerakan virus dalam selaput lendir dari jaringan epitel yang menjadi sasaran. Selanjutnya virus pun akan menempel ke sasaran. Ini membuat neoroamidase merupakan sasaran yang menarik bagi obat antivirus. Virion akan masuk dan menyatu kedalam ruang endosom setelah berhasil melekat pada reseptor yang sesuai (Rust 200). Virion akan mengalami degradasi dengan cara menyatukan membran virus dengan membran endosom melalui pemindahan proton terowongan protein dari matrix-2 (M2) virus, pada nilai ph di endosom sekitar 5.0. Proses selanjutnya akan terjadi serangkaian penataan ulang protein matrix-1 (M1) dan kompleks glikoprotein homotrimerik HA. Hasilnya adalah terbuka (exposed) sebuah bidang (domain) yang sangat lipofilik dan fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalam membran endolisomal, dan dengan demikian memulai terjadinya fusi antara membran virus dengan membran lisomal. Berikutnya, kedelapan segmen RNA genomik dari virus, yang terbungkus dalam lapisan pelindung dari protein (ribonucleoprotein complex, RNP) nukleokapsid (N), dilepaskan ke dalam sitoplasma. Ke delepan segmen tersebut disalurkan ke nukleus untuk melakukan transkripsi mrna

38 virus dan replikasi RNA genomik melalui proses yang rumit yang secara cermat diatur oleh faktor virus dan faktor sel. Protein polimerase yang tergantung pada RNA (RdRp) dibentuk oleh sebuah kompleks (gabungan) dari PB1, PB2 dan protein PA virus, dan memerlukan RNA (RNP) yang terbungkus (encapsidated RNA (RNPs)) untuk tugas ini. Protein virus dan perangkaian nukleokapsid yang membawa RNA genomik yang sudah ter-replikasi setelah terjadi translasi, virion-virion progeni tumbuh dari membran sel yang di dalamnya sudah dimasukkan glikoprotein virus sebelumnya. Penataan antara nukleokapsid berbentuk lonjong dan protein pembungkus virus dimediasi oleh protein matrix-1 virus (M1) yang membentuk struktur serupa cangkang tepat di bawah pembungkus virus. Reproduksi virus di dalam sel yang mudah menerimanya berlangsung cepat (kurang dari sepuluh jam) dan dengan proses yang efisien. Gambar 7 Replikasi Virus Influenza (Sumber: Rahardjo (200)) Keterangan gambar: (1) Mula-mula virion menempel pada reseptor sel tropisma melalui protein hemaglutinin. (2) Proses endositosis ini akan berlangsung beberapa waktu. Berdasarkan pengamatan dilaboratorium diketahui selama 10 menit, proses endositosis dan pelepasan selubung telah mencapai 50%, proses ini sampai segmen RNA keluar ke dalam sitoplasma.

39 (3) Segmen-segmen tersebut masuk ke dalam ini sel (nukleus) dan mengalami transkripsi, untuk mengubah bentuk (-) RNA menjadi (+) RNA. () Sebagian segmen keluar kembali ke sitoplasma untuk mempersiapkan protein selubung untuk dipakai oleh virus baru yang akan dihasilkan. Protein yang dimaksud adalah protein hemaglutinin, neuraminidase, matriks dan protein nonstruktural. (5) Delapan segmen yang berada di inti sel ditambah dengan segmen RNA yang masih tersisa di sitoplasma melakukan replikasi yaitu perbanyakan RNA. Berbeda dengan virus RNA lainnya, dimana replikasinya terjadi di luar inti sel. Dengan berlangsung di dalam inti sel, AI menggunakan bahan-bahan yang diperlukan dari dalam inti sel inang. Proses ini memudahkan terjadinya proses Antigenic drift dan antigenic shift. (6) Segmen RNA yang sudah mengalami replikasi, keluar ke sitoplasma untuk dibungkus dengan protein HA, NA dan M serta NS, menjadi anak AI yang siap dilepas dari sel inang. Untuk bisa keluar dari sel inang, virus baru ini akan menempel pada reseptor yang terdapat dalam sel inang. Penempelan ini dilakukan oleh protein neuraminidase bukan hemaglutinin seperti pada saat masuk ke sel. Proses ini bisa berlangsung selama 2 jam setelah infeksi (Rahardjo 200). 2.7 Vaksin dan Vaksinasi Avian Influenza Salah satu kebijakan pemerintah dalam mengendalikan penyakit AI di Indonesia adalah vaksinasi yang berpedoman pada ketentuan Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE 200; OIE 2008). Program vaksinasi merupakan 1 (satu) dari 9 (sembilan) langkah strategi penanggulan HPAI yang diterapkan Pemerintah Indonesia sejak tahun 200. Pada pelaksanaannya, kebijakan vaksinasi ini diterapkan dengan : (a) menggunakan vaksin yang sudah mendapatkan registrasi; (b) pada peternakan sektor 1, 2 dan 3 dilakukan secara swadaya; (c) pada peternakan sektor pengadaan vaksin dan operasional vaksinasinya dibantu pemerintah; dan (d) program vaksinasi dilaksanakan dengan mengikuti SOP (Standar Operasional Prosedur) Pengendalian AI yang telah ditetapkan (Ditjennak 2008). Vaksin AI mengacu pada ketentuan OIE (2008) adalah sebagai berikut: 1. Vaksin yang direkomendasikan penggunaannya adalah vaksin AI inaktif. Vaksin AI aktif konvensional tidak direkomendasikan.

40 2. Vaksin AI inaktif konvensional hanya boleh diproduksi dengan menggunakan seed virus low pathogenic. 3. Vaksin bersifat imunogenik, dilihat dari respon pembentukkan antibodi yang tinggi. Vaksin yang baik menurut Pyre et al. (2008) adalah vaksin harus potensial, aman, stabil pada suhu ruang, dapat diberikan hanya dengan dosis tunggal, murah serta mampu dibedakan antara hewan vaksinasi dan infeksi secara alam (Differentiation of Infected From Vaccinated Animals/DIVA). Vaksin Ideal Homolog Inaktif ( H5N1) Tabel 3 Persyaratan Vaksin Heterolog Inaktif (H5N2) Rekombinan FP (H5) Rekombinan (RG H5N1) Rekombinan AI/ND (H5/ND) Murni/aman/potensi +/+/+ +/+/± +/+/± +/+/± +/±/± Suhu stabil Tidak Tidak Tidak Tidak Ya/Tidak * Dosis tunggal Tidak Tidak Ya Ya/ Tidak Ya/ Tidak Pemberian mudah Tidak Tidak Tidak Ya/ Tidak Ya (tetes (oral/mucosal) mata) DIVA Tidak Ya Ya Ya/ Tidak Ya Murah Bervariasi tergantung Negara ( US dollar) Vaksin Eropa lebih mahal dari Asia. Keterangan : RG. Reverse Genetik ; AI. Avian Influenza; ND. New Castle Disease; FP.Fowl Pox; DIVA. Differentiation of Infected From Vaccinated Animals (Sumber: Pyre et al. (2008)) Kendala dalam pembuatan vaksin yang sering timbul adalah antigenic drift dan antigenic shift. Dengan alasan tersebut di atas maka vaksin inaktif yang menggunakan isolat lokal merupakan pilihan yang terbaik. Vaksin ini relatif mudah membuatnya dan memerlukan waktu singkat untuk memproduksinya. Namun demikian, vaksin ini perlu dievaluasi tiap tahun dengan mengamati apakah telah terjadi antigenic drift atau antigenic shift di lapangan. Apabila hal tersebut terjadi, maka diperlukan isolat baru sebagai bibit vaksin. Kebijakan pemerintah Indonesia berdasarkan rekomendasi hasil pertemuan Direktorat Kesehatan Hewan, Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Komisi Obat Hewan dan Narasumber UPP-AI Pusat yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal Maret

41 2009 adalah untuk menghasilkan vaksin yang baik dengan kualitas, efikasi dan keamanan yang tinggi serta potensi yang optimal diperlukan pemilihan master seed baru dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi. Untuk memenuhi prinsip kehati-hatian tersebut, ditentukan kriteria master seed baru sebagai berikut: 1. Subtipe H5N1 2. Sifat imunogenesitas tinggi 3. Sifat antigenesitas dengan cakupan geografis yang luas.. Sifat genetik antigenik yang stabil. 5. Tingkat proteksi yang tinggi terhadap uji tantang dengan beberapa isolat virus yang berbeda karakter genetik dan antigeniknya (Ditjennak 2009). Hingga tahun 2009, Indonesia telah menggunakan vaksin AI impor dan produksi dalam negeri yang masih menggunakan master seed Legok 2003 (HPAI H5N1) dan H5N2. Jumlah vaksin AI di Indonesia yang telah mendapat registrasi sementara dari Departemen Pertanian RI adalah sebanyak 2 vaksin (Lampiran 1) yang menggunakan master seed, yaitu H5N1 (HPAI, isolat lokal, strain Legok), H5N1 (HPAI, isolat lokal, strain Purwakarta), H5N2 (LPAI, strain England N-28), H5N2 (LPAI, strain Mexico 232), H5N2+ND (LPAI, strain England N-28 dan ND strain Lasota), H5N9 (LPAI, strain Wisconsin 68), dan H5N1 reverse genetic (isolat lokal Legok dengan Puerto Rico), dan vaksin vektor (H5N8 dengan FP 89) (Ditjennak 2009). Strategi vaksinasi AI yang dilakukan di Indonesia berdasarkan prosedur operasional standar pengendalian penyakit AI (Ditjennak 2008) adalah sebagai berikut: 1. Vaksin AI yang digunakan adalah vaksin inaktif yang strain virusnya homolog dengan subtipe virus isolat lokal (H5) baik yang diproduksi secara konvensional maupun rekayasa genetika. 2. Vaksin yang digunakan harus telah mendapatkan nomor registrasi dari pemerintah c.q Direktorat jenderal Peternakan Departemen Pertanian. 3. Strategi vaksinasi dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pada daerah bebas dilarang melakukan vaksinasi; b. Pada daerah kasus rendah, tidak dianjurkan melakukan vaksinasi;

42 c. Pada daerah kasus tinggi atau endemis, dilakukan vaksinasi secara tertarget.. Pelaksanaan vaksinasi tertarget tersebut dipilih pada populasi tertentu di daerah tertentu dengan kasus tinggi penyakit pada AI pada unggas, terdapat kasus manusia dan atau terdapat peternakan sektor1,2 dan 3 di sekitarnya. 5. Vaksinasi dilakukan 3- kali dalam satu tahun, dan atau sesuai petunjuk produsen yang tertera pada etiket atau brosur. 6. Vaksinasi hanya dilakukan pada unggas yang sehat. 7. Cakupan vaksinasi meliputi seluruh populasi unggas terancam di daerah tertular yakni ayam buras, bebek, itik, entok, kalkun, angsa, burung merpati, burung puyuh, ayam ras petelur dan ayam ras pedaging yang termasuk peternakan sektor. 8. Vaksinasi dilakukan oleh petugas dinas dan atau kader/relawan desa terdidik, yang telah dilatih dan telah mengikuti pelatihan vaksinasi (vaksinator). 9. Program vaksinasi dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan setempat. Strategi vaksinasi diharapkan dapat menurunkan kerentanan terhadap infeksi virus sekaligus mengurangi pengeluaran virus dari tubuh unggas, baik dari segi jumlah maupun lamanya waktu, sehingga merupakan alat yang tepat untuk menekan terjadinya kasus baru dan sirkulasi virus di lingkungan. Kesuksesan program vaksinasi dapat tercapai apabila vaksinasi dianggap sebagai alat untuk memaksimalkan tindak biosekuriti tanpa mengesampingkan pelaksanaan surveilans agar setiap perubahan antigenik virus yang bersirkulasi dilapangan dapat segera terdeteksi (Capua & Marangon 2006; Maas et al. 2007). Efek perlindungan pasca vaksinasi merupakan respon kebal terhadap protein hemaglutinin (HA) pada permukaan virus dan atau neuraminidase (NA). Efek perlindungan yang diberikan oleh sebuah vaksin hanya terhadap subtipe HA individual yang terdapat dalam vaksin. Pemeriksaan serologi dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pembentukkan antibodi terhadap virus influenza A yang dapat diamati pada hari ke7 sampai ke 10 pasca infeksi. Pemeriksaan serologik yang dipakai adalah uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutination Inhibition/HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap

43 hemaglutinin (H) dan uji Agar Gel Presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuraminidase (N) (Rahardjo 200; WHO 2002; OIE 2008).

44 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) dan di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2008 sampai Agustus Bahan dan Alat Hewan Percobaan Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah marmut (Cavia porcellus) dengan berat badan gr untuk produksi antibodi poliklonal AI H5N1 (Ab 1 ); kelinci New Zealand White dengan berat badan berat 2.5 kg untuk preparasi antibodi terhadap Ab 1 atau antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ); ayam petelur strain White Leghorn Specific Pathogen Free (SPF) umur minggu untuk produksi antibodi terhadap Ab 2 (Ab 3 ) atau uji imunogenesitas kandidat vaksin AI (antibodi anti-idiotipe). Marmut, kelinci dan ayam diberikan pakan berbentuk pelet sesuai dengan standar pakan hewan laboratorium BBPMSOH Bahan dan Media Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah vaksin Avian Influenza (AI) H5N1 inaktif strain Legok, PCR kit AI (Super Script TM III One-Step RT-PCR System with Platinum R Taq DNA Polymerase-Invitrogen), TRIZOL R LS Reagent (Invitrogen), Ethanol (Merck), Chloroform (Merck), Isoprophil Alcohol (Merck), Diethilpyrocarbonate (DEPC) (Invitrogen), Primer H5 (Invitrogen) dan N1 (Eurogentec), Tris Boric Edta (TBE) (Invitrogen), Agarose (Invitrogen), Ethium Bromide (Sigma), BlueJuice Gel Loading (Invitrogen), antigen AI H5N1 strain Legok 2003 (BBalitvet), sel darah merah ayam SPF, Larutan Alsever, Natrium azide (Merck), Phosphate Buffer Saline (PBS) (Gibco), Montage Antibody Purification Kit & Spin Column with Procep A

45 (Millipore-Montage), Polyethilenglycol 6000 (Merck), Bovine Serum Albumin (Sigma), Sodium Dodecyl Sulfate (Invitrogen), Acrylamide (Invitrogen), Tris HCl (Sigma), NNmethhylene bis acrilamide (Invitrogen), Amonium persulfat (Sigma), Tetra Methyl Etilen Diamin (TEMED)(Invitrogen), Methanol (Sigma), Marker protein (Invitrogen, Promega), Mercaptoethanol (Sigma), Tris Base (Sigma), Natrium Sitrat (Merck), Amonium Sulfat (Sigma), Enzim pepsin (Sigma), Diethylaminoethyl (DEAE), Cellulose, Asam acetat glacial (Sigma), Comassie blue (Sigma), Imunoglobulin G kontrol (Promega), Freund s Complete Adjuvant (FCA) dan Freund s Incomplite Adjuvant (FIA)(Sigma), alkohol 70%, aquabidest, formaldehyde, Minimum Eagle Media (Gibco), Fetal Bovine Serum (Gibco), Penicillin Streptomycin (Gibco), Triptose Phosphate Broth (TPB)(BD), L- Glutamin (Gibco), NaHCO 3 (Merck) dan Thioglycollate (TGC) (Difco). Bahan lain adalah TAB SPF, biakan jaringan MDCK, isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI IPB (2005), isolat AI H5N1 IPB (2007), isolat AI H5N1 IPB (2008), isolat AI H5N1 IPB (2009), dan isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 (Susanti 2008) Peralatan Peralatan yang digunakan adalah kandang marmut, kelinci dan ayam dan perlengkapan makan dan minum. Peralatan lain adalah alat suntik (1 ml, 3 ml, 5 ml dan 10 ml), filter (0.5 µm dan 0.22 µm), tabung sentrifus, mikropipet (single dan multichannel), tips, tabung ependorf (microtube), beker glass, rak tabung, gelas objek, microwave, microplate 96 lubang dengan dasar V (Nunc), microplate 96 lubang steril dengan dasar datar (Nunc), botol biakan jaringan (Nunc), botol duran, magnetic sitrer, stirer, vortex mixer, pipet Mohr (1ml, 2 ml, 5 ml dan 10 ml), perlengkapan uji agar gel presipitasi (Agar Gel Precipitation/AGP), ph meter, mesin sentrifus, mesin thermocycle, gel elektrophoresis, transluminator, spektrofotometer, inkubator telur, inkubator biakan jaringan, timbangan, penangas air, peralatan untuk Sodium Deodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE), conector, pelubang telur, thoma cythometerl, inverted microscope, dan laminar air flow (Biosafety Level II).

46 3.3 Metode Reidentifikasi Vaksin AI H5N1 Vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok diekstraksi dengan menggunakan pelarut lemak (kloroform atau eter, disentrifugasi kemudian endapannya diambil untuk uji Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) (Ditjennak 2007). Isolasi RNA dilakukan dengan menggunakan metoda TRIZOL R LS Reagent (Invitrogen) sebagai berikut : sebanyak 250 μl vaksin dan 750 μl Trizol dimasukkan kedalam tabung eppendorf 1.8 ml, kemudian dihomogenkan memakai vortex mixer. Larutan diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar (25 30 o C), kemudian ditambahkan 500 μl chloroform. Tabung tersebut dihomogenkan selama 15 detik dan diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit, kemudian disentrifus dengan kecepatan g pada suhu 2 8 o C selama 15 menit. Sebanyak 500 μl fase cair pada supernatan (putih bening) diambil dan dimasukkan kedalam tabung baru. Fase cair tersebut ditambahkan 500 μl isoprophil alcohol dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar. Larutan selanjutnya disentrifus dengan kecepatan g pada suhu 2 8 o C selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang. Hasilnya adalah endapan RNA. Ke dalam endapan tersebut ditambahkan 1000 μl ethanol 75% dan disentrifus dengan kecepatan g selama 5 menit. Endapan RNA dikeringkan selama 7 menit di dalam laminar air flow, selanjutnya dilarutkan dengan 10 μl air suling bebas Rnase atau DEPC. Tahap akhir adalah larutan RNA diinkubasikan dalam penangas air 60 o C selama 10 menit. Larutan RNA di simpan pada suhu 20 o C sampai dilakukan RT-PCR. Reverse transcription adalah pembuatan cdna yang bersifat komplementer dengan RNA virus, menggunakan enzim reverse transcriptase. Reverse Transcriptase- Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dilakukan dengan metoda Super Script TM III One- Step RT-PCR System with Platinum R Taq DNA Polymerase (Invitrogen). Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen H5 adalah menurut Lee dan Suarez (200) dan primer N1 (Tabel ). Reaksi PCR (PCR mix) dibuat sebanyak 50 µl dengan komposisi sebagai berikut : 25 μl 2x reaction PCR mix, 2 μl Platinum Taq, 5 μl RNA template, 1 μl Primer forward (10 µm), 1 μl Primer reverse (10 µm) dan 16 μl ddh 2 O (ultrapure H 2 O). Campuran tersebut dihomogenkan dengan vortex mixer, kemudian dimasukkan ke dalam mesin thermocycle yang telah diprogram. Program RT-PCR adalah menurut Lee et al.

47 2001: cdna synthesis 60 o C selama 30 menit, predenaturasi 95 o C selama 2 menit, selanjutnya 35 siklus terdiri dari denaturasi 95 o C selama 0 detik, penempelan 50 o 55 o C selama 0 detik, ekstensi 72 o C selama 1 menit dan post ekstensi 72 o C selama menit. Pita DNA spesifik hasil PCR diidentifikasi dengan elektroforesis pada gel agarose 2 %. Tabel Primer Untuk mengamplifikasi Virus AI H5N1 Primer Sekuen basa Produk (pb) 1 H5N1-H5-forward: 5 AAA CAG AGA GGA AAT AAG TTG AAAA ATT 3 55 H5N1-H5-reverse: 5 AAA GAT AGA CCA GCT ACC ATG ATT GC 3 2 H5N1-N1-forward GD: 5'- TTG CTT GGT C(A/G)G CAA GTG C 120 H5N1-N1-reverse Yong: 5'- TGA T(A/G)G TGT CTG TTA TTA TGC C pb: pasangan basa Elektroforesis produk amplifikasi PCR (DNA) dilakukan menggunakan ultrapure agarose (Invitrogen) 2%. Sebanyak 2 gram agarose dilarutkan dalam 100 ml TBE buffer, kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larutan menjadi jernih. Ethium bromide ditambahkan ke dalam gel hangat selanjutnya gel dituangkan ke dalam dish mupid (sebanyak 50 ml kedalam dish yang besar) dan dibiarkan pada suhu kamar selama 15 menit. Sambil menunggu, sebanyak 250 ml TBE buffer dituangkan ke dalam mupid electrophoresis. Gel yang beku diletakkan di dalam mupid elektroforesis dengan aliran listrik negatif mengalir ke positif. Sebanyak 2 μl loading dye (BlueJuice Gel Loading-Invitrogen) dan 8 μl produk amplifikasi PCR dicampur dan dimasukkan ke dalam lubang gel. Voltase yang digunakan sebesar 50 Volt selama 5 menit. Pita atau fragmen DNA yang teramplifikasi dilihat dibawah sinar ultaviolet Produksi Antibodi Poliklonal Avian Influenza H5N1 (Ab 1 ) Produksi antibodi poliklonal AI H5N1 dilakukan pada 10 ekor marmut dengan berat badan gram. Darah preimunisasi diambil untuk mengetahui titer antibodi terhadap virus AI H5N1. Imunisasi dilakukan dengan menyuntik satu dosis vaksin AI

48 H5N1 inaktif strain Legok (0,5 ml) secara subkutan. Penyuntikan diulang sebanyak 3 kali dengan interval 3 minggu. Keberadaan antibodi dideteksi dengan uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutination Inhibition/HI) (WHO 2002, OIE 2005) dan uji agar gel presipitasi (Agar Gel Precipitationt/AGP). Serum dikoleksi setelah titer antibodi tinggi dalam darah yaitu seminggu setelah imunisasi ke Reidentifikasi Serum Anti AI H5N1 (Ab 1 ) Reidentifikasi serum marmut dilakukan dengan uji HI dan uji AGP (OIE 2005). Serum marmut diinaktifasi terlebih dahulu dalam penangas air 56 o C selama 30 menit dan diabsorbsi dengan sel darah merah ayam pada suhu ruang selama 30 menit, selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 1000 g selama 5 menit dan diambil supernatannya untuk selanjutnya di uji HI. Uji hambatan hemaglutinasi adalah sebagai berikut: pada semua lubang microplate 96 lubang dimasukkan pengencer PBS dan pada lubang pertama dimasukkan 25 µl serum. Pengenceran secara seri kelipatan dua sampai dengan lubang 11, selanjutnya ditambahkan sebanyak 25 µl antigen AI H5N1 HAU/25 µl. Campuran tersebut diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit, kemudian ditambahkan sel darah merah ayam SPF 1% sebanyak 25 µl pada semua lubang dan selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar selama 0 menit. Titer antibodi ditentukan dari pengenceran tertinggi serum yang mampu menghambat aglutinasi sel darah merah. Uji agar gel presipitasi adalah sebagai berikut: agar gel dibuat dengan melarutkan 0. g agarose dan 1.2 g Poly Ethylene Glycol (PEG) 6000, 0.1% Na azide dalam 25 ml PBS ph 7. dan 25 ml akuades ph 7.. Larutan ini dipanaskan dalam microwave sampai larut dan warna larutan menjadi bening. Larutan sebanyak 3.75 ml dituangkan pada gelas obyek dan ditunggu sampai mengeras, kemudian dibuat sumur-sumur dengan puncher. Antigen sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam sumur tengah dan antibodi sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam sumur disekelilingnya Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab 1 ) Pemurnian Imunoglobulin G (IgG) AI H5N1 dari serum marmut (Ab 1 ) dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody purification kit & spin column with Prosep A

49 media (Millipore). Prosep A dilepaskan dari tutup atas dan bawahnya kemudian dimasukkan kedalam spin colomn. Spin column dicuci dengan 10 ml binding buffer, kemudian disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 15 menit. Serum marmut di saring dengan menggunakan steriflip GP filter 0,22 µm, selanjutnya sampel serum dilarutkan dengan binding buffer dengan perbandingan 1:1 v/v, lalu dimasukkan kedalam spin column dan disentrifus pada kecepatan 150 g selama 20 menit. Spin colomn dicuci kembali dengan 10 ml binding buffer dan disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 5 menit, pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Imunoglobulin G di elusi dengan 10 ml buffer dan elusi dilakukan langsung kedalam tabung sentrifus yang berisi 1,3 ml buffer netral, selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 5 menit. Larutan yang ada dibawah ditampung dan merupakan IgG. Imunoglobulin G di desalting dengan menggunakan Amicon Ultra 15 dan disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 30 menit. Larutan yang ada diatas ditampung dan merupakan IgG poliklonal. Reidentifikasi IgG AI H5N1 dilakukan dengan uji AGP dan untuk mengetahui berat molekul IgG dilakukan SDS-PAGE (Hames & Rickwood 1987) dengan menggunakan sistem diskontinyu. Sistem ini terdiri atas gel pemisah dengan konsentrasi 12 % dan gel pengumpul dengan konsentrasi %. Gel diwarnai dengan commassie blue dan estimasi berat molekul protein berdasarkan perbandingan dengan marker umum berat molekul, selanjutnya konsentrasi IgG dihitung dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan Pemurnian Fragmen F(ab) 2 Pemotongan Imunoglobulin G (IgG) dari serum marmut ditujukan untuk memperoleh fragmen F(ab) 2 dari imunoglobulin. Fragmen F(ab) 2, selanjutnya disebut Ab 1, akan digunakan untuk merangsang terbentuknya antibodi spesifik terhadap epitop Ab 1 pada kelinci. Antibodi yang akan terbentuk oleh Ab 1 ini merupakan antibodi antiidiotipe (Ab 2 ). Pemotongan dilakukan dengan menggunakan enzim pepsin, sehingga akan diperoleh 1 fragmen F(ab) 2 divalen yang mengandung 2 Fab dan 1 fragmen Fc. Imunoglobulin G dibuat menjadi 5 mg/ml dalam Na sitrat 100 mm ph 3.5. Pemotongan IgG dilakukan dengan menggunakan 5 µg pepsin untuk 1 mg IgG, kemudian diinkubasi dalam penangas air pada suhu 37 0 C selama 2 jam, setelah 2 jam reaksi pemotongan dihentikan dengan Tris buffer 3 M ph 8,8 sebanyak 10%, lalu disentrifus

50 dengan kecepatan g selama 30 menit. Larutan ini kemudian di desalting dengan Amicon Ultra 15 dengan kecepatan 500 g selama 20 menit. Larutan ini kemudian di dialisis dalam PBS ph 8.0 selama 2 jam untuk menghilangkan garam yang terdapat pada larutan protein. Proses dialisis ini akan menyebabkan molekul-molekul garam keluar melalui pori-pori tabung secara bertahap hingga konsentrasi garam di dalam dan di luar tabung dialisis menjadi sama. Hasil dialisis inilah yang akan digunakan sebagai Ab 1 untuk mengimunisasi kelinci. Reidentifikasi dilakukan dengan metode SDS-PAGE. Fragmen F(ab) 2 memiliki berat molekul 110 kda, selanjutnya konsentrasi ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet Produksi Antibodi Anti-Idiotipe (Ab 2 ) Pada Kelinci Antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) disiapkan dengan cara menyuntik kelinci dengan Ab 1 (F(ab) 2 ). Produksi Ig G menggunakan 3 ekor kelinci New Zealand White berat 2.5 kg. Dua ekor kelinci diimunisasi dengan 500 µg Ab 1 H5N1 dalam Freund s Complete Adjuvant (FCA) secara subcutan dan satu ekor kelinci sebagai kontrol. Imunisasi ulangan dilakukan satu minggu berikutnya dengan menyuntikkan 500 µg Ab 1 dalam Freund s Incomplete Adjuvant (FIA) secara subcutan. Satu minggu kemudian serum dikoleksi dan identifikasi keberadaan Ab 2 H5N1 strain Legok dengan uji AGP. Berat molekul ditentukan dengan metode SDS-PAGE dan konsentrasinya dihitung dengan spektofotometer ultra violet Pemurnian Imunoglobulin G Kelinci Anti-Idiotipe (Ab 2 ) Pemurnian Imunoglobulin G (IgG) AI H5N1 dari serum kelinci (Ab 2 ) dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody purification kit & spin column with Prosep A media (Millipore). Prosep A dilepaskan dari tutup atas dan bawahnya kemudian dimasukkan kedalam spin column. Spin column dicuci dengan 10 ml binding buffer, kemudian disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 15 menit. Serum marmut di saring dengan menggunakan steriflip GP filter 0,22 µm, selanjutnya sampel serum dilarutkan

51 dengan binding buffer dengan perbandingan 1:1 v/v, lalu dimasukkan kedalam spin column dan disentrifus pada kecepatan 150 g selama 20 menit. Spin column dicuci kembali dengan 10 ml binding buffer dan disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 5 menit, pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Imunoglobulin G di elusi dengan 10 ml buffer dan elusi dilakukan langsung kedalam tabung sentrifus yang berisi 1.3 ml buffer netral, selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 5 menit. Larutan yang ada dibawah ditampung dan merupakan IgG. Imunoglobulin G di desalting dengan menggunakan Amicon Ultra 15 dan disentrifus dengan kecepatan 500 g selama 30 menit. Larutan yang ada diatas ditampung dan merupakan IgG. Reidentifikasi IgG kelinci dilakukan dengan uji AGP dan untuk mengetahui berat molekul IgG dilakukan SDS-PAGE (Hames & Rickwood 1987) dengan menggunakan sistem diskontinyu. Sistem ini terdiri atas gel pemisah dengan konsentrasi 12 % dan gel pengumpul dengan konsentrasi %. Gel diwarnai dengan commassie blue dan estimasi berat molekul protein berdasarkan perbandingan dengan marker umum berat molekul, selanjutnya konsentrasi IgG dihitung dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet Imunogenesitas Kandidat Vaksin (Antibodi Anti-idiotipe) Imunisasi Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2 ) pada ayam dilakukan untuk mendeteksi terbentuknya antibodi terhadap Ab 2. Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ). Antibodi ini diharapkan mempunyai karakteristik serologi sama dengan antibodi dari serum marmut (Ab 1 ), sehingga mampu bereaksi homolog dengan Ab 2 maupun dengan antigen virus AI. Imunisasi dilakukan sebagai berikut: sebanyak 20 ekor ayam 5 ekor menjadi kelompok, yaitu kelompok I sebagai kontrol; kelompok II sebagai kelompok Ig G kelinci kontrol, kelompok III sebagai kelompok kandidat vaksin (antibodi antiidiotipe) dan kelompok IV sebagai kelompok vaksin AI H5N1. Kelompok kontrol adalah kelompok ayam yang tidak diberi perlakuan. Kelompok Ig G kelinci kontrol adalah kelompok ayam yang diimunisasi dengan 500 µg Ig G kelinci kontrol dalam FCA secara intramuscular. Kelompok antibodi anti-idiotipe adalah kelompok ayam yang diimunisasi dengan 500 µg Ab 2 dalam FCA secara intramuscular. Kelompok vaksin AI H5N1 adalah kelompok ayam yang diimunisasi dengan 1 dosis vaksin komersil AI H5N1

52 inaktif strain Legok secara intramuscular. Serum darah dikoleksi sebelum imunisasi (preimunisasi) dan tiap minggu post imunisasi selama 1 bulan. Pengukuran titer antibodi dari imunisasi antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) menggunakan uji HI dan uji serum netralisasi (SN) (Ditjennak 2007; WHO 2002) Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji HI Persiapan untuk melakukan uji serologi antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan uji HI adalah dengan memproduksi antigen AI (Lampiran 15) dari beberapa isolat, yaitu isolat AI H5N1 IPB (2007), isolat AI H5N1 IPB (2008), dan isolat AI H5N1 IPB (2009), sedangkan antigen AI H5N1 strain Legok (2003) diperoleh dari Balitvet. Uji serologi antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan uji HI sebagai berikut: sebanyak 25 µl PBS dimasukkan ke dalam setiap lubang pada microplate 96 lubang, kemudian ditambahkan 25 µl serum pada lubang yang pertama. Serum diencerkan dengan kelipatan 2 sampai lubang ke 11, kemudian ditambahkan dengan 25 µl antigen ( HAU) pada semua lubang. Microplate diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit, selanjutnya ditambahkan 25 µl sel darah merah ayam SPF 1% pada semua lubang. Larutan tersebut diinkubasikan selama 0 menit pada suhu kamar. Titer antibodi ditentukan dari pengenceran tertinggi serum yang mampu menghambat aglutinasi sel darah merah Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji SN Persiapan untuk melakukan uji serologi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan uji SN adalah dengan mempropagasi dan mengukur kandungan virus dari isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI H5N1 IPB (2005) dan isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2- RS/2006 pada TAB dan sel MDCK (Lampiran 1) Uji serum netralisasi dilakukan dengan menggunakan biakan sel MDCK. Sebanyak 25 µl medium dimasukkan ke dalam setiap lubang microplate (96 well), kemudian 25 µl serum pada lubang yang pertama. Serum diencerkan dengan kelipatan 2 sampai lubang ke 11, kemudian ditambahkan dengan 25 µl virus AI (100 TCID 50 ) pada semua lubang. Microplate diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 0 C dengan 5% CO 2 selama satu jam, selanjutnya ditambahkan dengan 100 µl sel MDCK (10 6 sel/ml) pada

53 semua lubang. Biakan sel diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 0 C dengan 5% CO 2. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 7 hari. Titer antibodi ditentukan dari pengenceran tertinggi serum yang mampu menetralisasi efek sitopatik Analisis Data Karakteristik uji dari antibodi anti-idiotipe dianalisis secara deskriptif yaitu berdasarkan gambaran hasil yang diperoleh dan secara statistik dengan menggunakan metode Mann Whitney dengan soft ware SPSS-16 dengan tingkat kepercayaan (Pvalue) Mann Whitney adalah metode statistik yang digunakan untuk membedakan dua parameter dengan data non parametrik. Salah satu indikasi untuk mengetahui suatu data parametrik atau tidak adalah dengan melihat sebaran data (distribusi normal berarti parametrik) (Field 2005).

54 IV HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Reidentifikasi Vaksin AI H5N1 Vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok diekstraksi RNAnya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya berdasarkan gen hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Reidentifikasi ini penting dilakukan untuk mengetahui bahwa master seed yang digunakan memiliki hemaglutinin H5 dan neuraminidase N1. Vaksin AI yang beredar di Indonesia harus terdaftar di Departemen Pertanian dan diuji mutunya di BBPMSOH (Lampiran 1). Spesifikasi master seed yang digunakan dalam produksi vaksin harus identik dengan keterangan dalam label vaksin (Ditjennak 2007). Reidentifikasi vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan primer H5 (Lee & Suarez 200) dan primer N1 menunjukkan hasil positif terhadap virus AI subtipe H5N1. Gambaran pita DNA H5 berada pada 55 pb sesuai dengan primer subtipe H5 (Gambar 8) dan pita DNA N1 berada pada 120 pb sesuai dengan primer subtipe N1 (Gambar 9). Hasil ini menunjukkan bahwa vaksin tersebut menggunakan master seed H5N1. Master seed ini adalah virus AI yang berasal dari isolat lapang saat wabah AI pertamakali terjadi di Indonesia. Isolat berasal dari ayam yang terinfeksi oleh virus AI subtipe H5N1 dari daerah Legok, Banten. Penggunaan isolat tersebut sebagai master seed vaksin produksi lokal merupakan kebijakan pemerintah RI saat keadaan darurat untuk mengatasi wabah AI saat itu walaupun master seed vaksin AI yang direkomendasikan oleh OIE harus berasal dari isolat virus yang Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) (OIE 200). Beberapa kejadian menunjukkan bahwa tidak semua primer H5 dapat digunakan untuk melacak subtipe H5N1. Konfirmasi yang paling tepat untuk menentukan primer adalah dengan mengetahui urutan nukleotida gen HA dan NA (Suwarno et al. 2006).

55 250 pb 200 pb 150 pb 100 pb 55 pb 50 pb M Gambar 8 Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan Primer subtipe H5 (produk 55 pb): 1. Kontrol negatif; 2. Kontrol negatif H5; 3. Vaksin;. Kontrol positif H5; M. Marker 50 pb (Invitrogen) 120 bp 00 pb 300 pb 200 pb 100 pb M Gambar 9 Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan Primer subtipe N1 (produk 120 pb): 1. Kontrol negatif; 2. Kontrol negatif N1; 3. Kontrol positif N1;. Vaksin; M. Marker 100 pb (Invitrogen).2 Produksi Antibodi Poliklonal Avian Influenza H5N1 (Ab 1 ) Pada Marmut Antibodi poliklonal AI H5N1 dalam serum marmut dapat dideteksi dengan uji Agar Gel Presipitasi (AGP) dan uji hambatan hemaglutinasi (HI) (OIE 2005)..2.1 Reidentifikasi Serum Anti AI H5N1 (Ab 1 )

56 Reidentifikasi serum anti AI H5N1 (Ab 1 ) dengan uji AGP menunjukkan reaksi positif terhadap antigen AI H5N1 dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 10). Hasil ini menunjukkan bahwa telah terbentuk antibodi yang homolog terhadap virus AI H5N1 yang diimunisasikan Ag 3 5 Gambar 10 Reaksi Presipitasi Serum Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian Influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi: Ag. Antigen AI H5N1; 1. Serum marmut 1; 2. Serum marmut 2; 3. Serum marmut 3;. Serum marmut ; 5. Serum marmut 5; 6. Serum marmut 6; ( ) Garis presipitasi Keberadaan antibodi poliklonal Avian Influenza H5N1 dideteksi dengan uji HI. Hasil titer antibodi dapat dilihat pada Tabel dan Gambar 11. Titer antibodi yang terbentuk satu minggu setelah imunisasi ke tiga sebesar (2 10. ). Claassen et al. (2007), mengukur titer antibodi yang dihasilkan oleh ayam layer (white leghorn) SPF terhadap beberapa vaksin AI subtipe H5N1 produksi lokal yang berisi master seed virus AI H5N1 strain Legok. Titer antibodi yang dihasilkan setelah vaksinasi dan diuji dengan HI adalah tinggi yaitu Li et al. (2005) dalam penelitiannya mengatakan bahwa hasil titer antibodi terhadap virus AI sebanyak 2 10 (102) adalah tinggi dan dapat dilakukan panen serum untuk penelitian selanjutnya. Tabel Titer Antibodi Poliklonal AI H5N1 dengan Uji HI Marmut Titer Antibodi Pre imunisasi I II III

57 GMT Keterangan: I. Pasca imunisasi pertama; II. Pasca imunisasi kedua; III. Satu minggu pasca imunisasi ketiga; GM. Geometric Mean Titer T iter Antibodi (GM T Titer Waktu (minggu) Gambar 11 Gambaran Titer Antibodi Poliklonal AI H5N1 Semua virus influenza A memiliki nukleokapsid dan antigen matriks secara antigenik yang sama. Antigen matrik tersebar lebih cepat dibandingkan dengan antigen nukleoklapsid. Uji AGP digunakan secara luas di berbagai negara untuk deteksi antibodi dan antigen spesifik virus AI. Uji AGP dilakukan untuk melihat reaksi pengendapan antigen oleh antibodi spesifik. Pengendapan antigen oleh antibodi ini diperlihatkan oleh adanya garis presipitasi di media agar gel. Jika sediaan antibodi tidak homolog dengan antigen maka tidak akan terbentuk garis presipitasi.

58 Penggunaan uji AGP dalam penelitian ini karena teknik imunopresipitasi merupakan salah satu cara yang masih dipakai untuk menganalisis atau mengukur kadar antigen atau antibodi. Antibodi yang direaksikan dengan antigen spesifik membentuk kompleks yang tidak larut (presipitat) yang dapat dianalisis dengan berbagai cara. Reaksi presipitasi dapat dilangsungkan dalam media cair maupun media semisolid (gel). Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam teknik imunopresipitasi. Hal yang paling menentukan adalah spesifisitas antiserum atau antibodi yang digunakan dan larutan standar yang stabil dengan kadar yang pasti. Reaksi imunopresipitasi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah aviditas antibodi. Aviditas antibodi menentukan derajat stabilitas kompleks antigen-antibodi pada tempat pengikatan (antigen binding site). Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk cenderung berdisosiasi bila antibodi mempunyai aviditas yang lemah, sebaliknya makin tinggi aviditas antibodi makin stabil kompleks yang terbentuk. Faktor-faktor lain yang berpengaruh misalnya suhu, ph dan molaritas larutan yang dipakai, dan yang tidak boleh diabaikan adalah perbandingan antara konsentrasi antigen dengan antibodi dalam reaksi. Perbandingan konsentrasi antigen dengan antibodi merupakan faktor terpenting dalam reaksi presipitasi. Pembentukkan presipitasi terjadi apabila antara konsentrasi antigen dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk (postzone effect), sedangkan antibodi berlebihan menyebabkan komplek antigen antibodi tetap ada dalam larutan tanpa membentuk presipitasi (prozone effect) (Kresno 2001). Hasil penelitian ini terlihat bahwa pembentukkan garis presipitasi antara antigen dan antibodi karena kosentrasi antigen dan antibodi seimbang (zone ekivalen) (Gambar 10). Titer antibodi terhadap AI H5N1 adalah (Tabel ), sedangkan titer antigen AI H5N1 standar sebesar Pembentukan antibodi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: imunogenesitas, kualitas, bentuk kelarutan stimulan, spesies hewan yang di injeksi, rute imunisasi, dan sensitifitas assay (Bellanti 1993). Imunisasi terhadap marmut pada penelitian ini dilakukan sebanyak 3 kali. Tujuannya adalah untuk membentuk kondisi hiperimun pada marmut, sehingga dihasilkan antibodi dengan titer tinggi. Vaksin inaktif umumnya diperlukan dua atau tiga kali vaksinasi untuk memperoleh titer antibodi tinggi. Vaksinasi pertama adalah untuk memperkenalkan dan kedua sebagai booster atau ulangan sangat

59 diperlukan, supaya daya imunitasnya cukup tinggi (Roitt 2003; Rantam 2005). Titer antibodi yang tertinggi pada penelitian ini dicapai satu minggu setelah imunisasi ke tiga. Hemaglutinasi adalah fenomena aglutinasi sel darah merah oleh virus tertentu antara lain oleh virus influenza, sebagian besar virus Myxo beberapa virus Pox (Variola, Vaccinia dan Ectromelia), semua virus Reo, sebagian besar virus Toga, beberapa virus Entero dan lainnya. Bagian virus yang mengaglutinasi sel darah merah disebut hemaglutinin. Virus akan menempel pada permukaan sel darah merah melalui hemaglutinin tanpa menembus masuk ke dalam sel tersebut. Tempat virus menempel pada permukaan sel darah merah merupakan reseptor yang terdiri dari karbohidrat (mukopolisakarida) bersifat seperti lem dan sifat kimiawinya mirip musin pada saluran pernafasan. Hemaglutinasi terjadi karena banyak virus melekat pada sel darah merah dan bila dua sel darah merah yang mengandung partikel virus pada permukaannya bersentuhan mereka saling menempel melalui jembatan protoplasma yang terbentuk antara kedua sel tersebut. Lama kelamaan terbentuk massa yang cukup besar besar terdiri dari sel darah merah yang saling berdekatan (aglutinasi) dan karena massa tersebut cukup berat secara perlahan-lahan akan mengendap ke dasar tabung atau microplate. Hemaglutinasi oleh virus dapat dihambat oleh antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut, sehingga uji hambatan hemaglutinasi digunakan untuk mengetahui dan mengukur adanya antibodi dalam serum. Batas akhir aktivitas penghambatan adalah pengenceran tertinggi dari serum yang masih dapat menghambat secara sempurna penggumpalan sel darah merah. Uji hambatan hemaglutinasi merupakan salah satu uji serologik yang sederhana, cepat dan memiliki sensitiftas yang tinggi untuk deteksi antibodi virus AI (OIE 2008; Capua & Alexander 2009). Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi selanjutnya. Titer antibodi masih rendah pada tahap respon permulaan. Antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Antibodi yang baru terbentuk merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas, hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi

60 terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu titer antibodi yang dihasilkan juga tinggi. Vaksin inaktif diperlukan dalam jumlah banyak untuk dapat merangsang respon antibodi. Respon antibodi tergantung dari antigen yang berada dalam vaksin. Hubungan antara kandungan antigen dalam vaksin inaktif dan respon antibodi penting untuk mengetahui penggunaan vaksin yang optimal (Maas et al. 2007). Antibodi yang dihasilkan dari imunisasi marmut dengan vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok adalah antibodi poliklonal karena antibodi ini dihasilkan oleh turunan dari beberapa sel B yang mengenali epitop berbeda pada antigen yang sama (Alberts et al. 2002). Menurut Roitt (2003), antibodi poliklonal dihasilkan dengan cara menyuntikkan antigen ke dalam tubuh hewan lalu memurnikan antibodi dari serum darah. Antibodi ini umumnya bereaksi dengan banyak epitop Berdasarkan definisinya antibodi poliklonal adalah antibodi yang diperoleh dari hiperimun, disebut juga serum hiperimun dan dapat bereaksi dengan sejumlah determinan antigen yang berbeda pada antigen (bereaksi pada banyak epitop)..2.2 Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab 1 ) Pemurnian Imunoglobulin G dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody Purification Kit & Spin Column with Procep A (Millipore). Pemurnian dilakukan untuk mendapatkan IgG murni sehingga memudahkan proses pemotongan F(ab) 2 dari Fc. Kit ini mempergunakan protein A, yaitu protein dinding sel Staphylococcus aureus yang akan berikatan dengan bagian Fc dari IgG. Reidentifikasi IgG AI H5N1 dengan uji AGP menunjukkan reaksi positif dengan antigen AI H5N1, ditunjukkan dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 12). Hal ini berarti bahwa terjadi reaksi serologi yang homolog antara IgG H5N1 dengan antigen AI H5N1 karena IgG AI H5N1 merupakan antibodi spesifik terhadap virus AI H5N1. Konsentrasi IgG AI H5N1 yang diperoleh sebesar 8 mg/ml Ag

61 6 5 Gambar 12 Reaksi Presipitasi Imunoglobulin G Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian Influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi: Ag. Antigen AI H5N1; 1,2,3,,5. IgG AI H5N1; ( ) Garis presipitasi Imunoglobulin G (IgG) adalah klas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah dan mempunyai afinitas yang tinggi untuk berikatan dengan antigen. Imunoglobulin G mampu menetralisasi virus dengan cara mengaglutinasi dan mempresipitasikan antigen (Alberts et al. 2002; Roitt 2003)..2.3 Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan Pemurnian Fragmen F(ab) 2 Pemotongan Imunoglobulin G (IgG) dengan pepsin untuk memperoleh fragmen F(ab) 2 yang selanjutnya akan dimurnikan. Enzim pepsin hampir menghancurkan bagian fragmen Fc tetapi tidak menghancurkan kedua fragmen Fab (Gambar 13). Daerah pengikatan antigen Daerah pengikatan antigen Antibodi pepsin A B C Gambar 13 Skema Pemotongan Imunoglobulin dengan Enzim Pepsin: A. Imunoglobulin yang dipotong dengan enzim pepsin; B. Fragmen Fc; C. Fragmen F(ab) 2 Pemurnian fragmen F(ab) 2 dengan desalting menggunakan Amicon Ultra 15. Protein dengan berat molekul < 30 kda akan berada pada bagian bawah dan protein dengan berat molekul yang lebih tinggi akan berada di bagian atas. Fragmen F(ab) 2 akan berada pada bagian atas, karena protein ini memiliki berat molekul 110 kda. Fragmen F(ab) 2 kemudian didialisis untuk menghilangkan garam yang terdapat pada larutan protein. Dialisis dilakukan menggunakan PBS ph 8,0 selama 2 jam. Proses dialisis ini

62 akan menyebabkan molekul-molekul garam keluar melalui pori-pori tabung secara bertahap hingga konsentrasi garam di dalam dan di luar tabung dialisis menjadi sama. Fragmen F(ab) 2 hasil pemurnian ini kemudian di analisa profil pita proteinnya menggunakan Sodium Dodecyl Sulphonat Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS- PAGE) dan diukur konsentrasinya dengan spektrofotometer ultraviolet. Profil pita protein Imunoglobulin G dan fragmen F(ab) 2 dapat dilihat pada Gambar 1 dan 15. Imunoglobulin G mempunyai berat molekul 150 kda dan fragmen F(ab) 2 mempunyai berat molekul 110 kda. Pengukuran konsentrasi fragmen F(ab) 2 dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet diperoleh hasil sebesar 1 mg/ml. Jumlah ini cukup untuk digunakan sebagai antigen, guna menginduksi terbentuknya antibodi anti-idiotipe pada kelinci. Dosis antigen berkisar antara µg (Leenars et al. 1997; Paryati 2006; Poetri et al. 2008). Secara in vivo dengan 100 µg fragmen F(ab) 2 dapat mencegah virus AI H5N1 (Lu et al. 2006), namun untuk antigen protein dianjurkan memakai dosis antara µg (Leenars et al. 199). M M

63 Gambar 1 Profil pita protein Imunoglobulin G yang telah dipurifikasi: M. Marker (Invitrogen); 1. IgG Ab 1 ; 2. IgG kelinci kontrol; 3. IgG Ab 2 ;. IgG Ab 2 ; 5. IgG kelinci standar (Promega) Gambar 15 Profil pita protein Fragmen F(ab) 2 : M. Marker (Promega); 1. F(ab) 2 ; 2. F(ab) 2 dan Fc Fragmen F(ab) 2 adalah antibodi AI H5N1 (Ab 1 ) dan digunakan untuk mengimunisasi kelinci untuk produksi antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ). Fragmen F(ab) 2 ini mampu mengikat antigen seperti antibodi asal dan masih bersifat divalen. Fragmen ini masih dapat mempresipitasikan antigen karena masih mempunyai kedua binding site (tempat ikatan) (Roitt 2003) Menurut Rantam (2003), SDS-PAGE adalah protein dielektrophoresis dalam detergen ionik yaitu SDS. Detergen ini akan mengikat residu hidrophobik dari bagian belakang peptida secara komplit, dengan demikian protein SDS-komplek migrasi melalui poliakrilamid tergantung dari berat molekulnya. Ada dua sistem pada SDS yaitu kontinyu (Weber & Osbon) dan diskontinyu (Laemli). Sistem kontinyu, campuran protein dilapiskan pada bagian atas (bands pada bagian atas dari separating gel), sehingga kelemahan pada sistem ini akan terjadi resolusi dengan sampel. Penelitian ini menggunakan sistem diskontinyu, dimana protein migrasi dengan cepat melaui pelarut ion pada stacking gel dan separating gel. Protein terkonsentrasi pada garis tipis berupa pita atau band yang tipis. Lebih lanjut Rantam (2003) menyatakan bahwa Polyacrylamide Gel Electrophoresis (PAGE) adalah merupakan standar metode pengujian terhadap berat molekul protein, struktur subunit dan kemurnian protein. Poliakrilamid adalah matrix pilihan untuk memisahkan protein yang mempunyai berat molekul antara Dalton. Pori-pori pada matrik dibentuk oleh rantai cross-linking linear polyacrylamid dengan bis acrylamide. Ukuran pori-pori berkurang sesuai dengan peningkatan total presentasi acrylamide atau peningkatan derajat presentasi konsentrasi campuran dengan bisacrylamide. Dengan pembuatan atau pemilihan total konsentrasi yang tepat akan menentukan pula ukuran yang tepat terhadap ukuran protein yang diinginkan. Jadi semakin tinggi total presentasi akan menghalangi pergerakan protein ke dalam gel, begitu juga bila terlalu rendah total presentasi akan mengakibatkan pergerakan protein menjadi

64 terlalu cepat bergerak melalui gel yang mengakibatkan didapatkan protein spesifik rendah dan tidak sesuai dengan protein yang diinginkan. Awal terjadinyapolimerasi biasanya disempurnakan oleh ammonium persulfat dan dikatalisa oleh N,N,N,N- Tetramethylethylenediamine (TEMED). Antibodi (Ab 1 ) murni satu spesies yang disuntikkan ke spesies yang berbeda akan dikenali sebagai antigen asing dan menimbulkan respon humoral (Ab 2 ) yang kuat (Harlow & Lane 1988; Roitt 2003). Penggunaan fragmen F(ab) 2 dari antibodi sebagai Ab 1 dapat meningkatkan spesifisitas dan mengurangi heterogenitas antibodi yang akan terbentuk dari hasil imunisasi menggunakan Ab 1 sebagai antigen. Imunisasi dengan fragmen Fab IgG menunjukkan respon yang lebih besar dibandingkan imunisasi dengan IgG yang disebabkan sifat menghambat bagian Fc (Roitt 2003)..3 Produksi Antibodi Anti-Idiotipe (Ab 2 ) Pada Kelinci Fragmen F(ab) 2 dari marmut atau disebut juga Ab 1 digunakan untuk menginduksi antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ). Fragmen ini diemulsikan dengan menggunakan FCA yaitu Freund s adjuvant bentuk lengkap dan diimunisasikan pada kelinci. Dua ekor kelinci di imunisasi dengan Ab 1, dan satu ekor kelinci sebagai kontrol. Satu minggu kemudian fragmen F(ab) 2 diemulsikan dengan FIA yaitu Freund s adjuvant bentuk tidak lengkap. Serum kelinci diperiksa keberadaan antibodi terhadap Ab 1 dengan uji AGP. Akibat rangsangan antibodi (Ab 1 ) akan terbentuk antibodi dengan urutan asam amino khas yang diekspresikan sebagai epitop unik pada regio variabel molekul antibodi (Ab 2 ). Idiotipe pada Ab 2 digunakan sebagai dasar pembuatan vaksin yang potensial untuk melawan agen infeksius (Kennedy & Attanasio 1990). Identifikasi serum kelinci dengan uji AGP menunjukkan terbentuknya garis presipitasi antara Ab 1 dengan serum kelinci, hasil ini menunjukkan bahwa Ab 2 memiliki kemiripan antigenic determinant dengan virus AI yang digunakan sebagai master seed vaksin. Antibodi anti-idiotipe ini selanjutnya dimurnikan IgG-nya.3.1 Pemurnian Imunoglobulin G Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2 )

65 Pemurnian IgG kelinci dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody Purification Kit & Spin Column with Procep A (Millipore). Pemurnian dilakukan untuk mendapatkan IgG murni. Imunoglobulin G kelinci adalah antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) yang merupakan antibodi poliklonal yang mengandung antibodi dengan spesifisitas, afinitas dan isotipe yang berbeda. Antibodi poliklonal relatif stabil dan bereaksi dengan sejumlah antigen determinan yang berbeda, sehingga mengakibatkan terbentuknya komplek antigen-antibodi yang lebih besar dan mudah mempresipitasikan antigen. Karakterisasi antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) dilakukan dengan mengukur berat molekul dengan SDS-PAGE. Imunoglobulin G kelinci mempunyai berat molekul 150 kda (Gambar 15)..3.2 Reidentifikasi Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2 ) Hasil pemurnian Ig G kelinci selanjutnya diidentifikasi dengan uji AGP. Identifikasi menunjukkan reaksi positif yang ditandai dengan terbentuknya garis presipitasi antara Ab 1 dan Ab 2, artinya telah terbentuk antibodi terhadap Ab 1 (Gambar 16). Ab 2 Ab 2 Ab 2 Ab 1 Ab 2 Ab 2 Ab 2 Gambar 16 Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Imunogen: Ab 1. Antibodi AI H5N1; Ab 2. Antibodi anti-idiotipe; ( ) garis presipitasi Adanya garis presipitasi merupakan adanya reaksi homolog antara Ab 1 dan Ab 2. Daerah variabel suatu antibodi yang mengikat antigen bersifat antigenik dan dapat menstimulasi terbentuknya antibodi terhadap daerah variabel itu sendiri jika disuntikkan

66 pada hewan yang berbeda spesiesnya atau bahkan pada hewan yang sama spesiesnya (Migliorini & Schwartz 1988; Roitt 2003). Antibodi ini disebut sebagai antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) Avian Influenza H5N1. Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotipe dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotipe. Anti-idiotipe yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari antigen asal. Antibodi Ab 2 ini dapat digunakan sebagai antigen pengganti karena memiliki karakteristik yang sama dengan antigen aslinya terlihat dengan terbentuknya reaksi Ab 2 identitas parsial antara antibodi anti-idiotipe AI H5N1 dengan antigen H5N1 (Gambar 17). Reaksi ini menunjukkan virus AI H5N1 mempunyai determinan antigen yang sama dengan antibodi anti-idiotipe AI H5N1. Menurut Jerne 1985, daerah hipervariabel dari imunoglobulin dapat bersifat sebagai antigen dan antibodi yang terbentuk dari antigen tersebut merupakan antibodi anti-idiotipe yang dapat berikatan secara langsung dengan paratope atau daerah pengikatan antigen dari Ab 1. Hasil uji AGP ini membuktikan bahwa Ab 2 mempunyai kemampuan untuk meniru struktur antigen aslinya sehingga Ab 2 dapat digunakan sebagai imunogen dalam pencegahan infeksi virus AI H5N1. Abu- Shakra et al mengatakan bahwa molekul imunoglobulin yang merupakan protein bersifat antigenik sehingga hewan yang diimunisasi dengan imunoglobulin akan menghasilkan antibodi anti imunoglobulin yang dapat mencegah terjadinya penyakit. Preparasi vaksin untuk mengontrol infeksi viral dengan menggunakan prinsip antibodi anti-idiotipe telah dikembangkan dengan penelitian (Tackaberry et al. 1992; Zhou et al. 199; Huang et al. 1995; Lin & Zhou 1995; Kennedy et al. 1996).

67 1 Ab 1 Ag 3 Ab 2 2 Gambar 17 Reaksi Identitas Parsial Imunoglobulin G Kelinci Spesifik Terhadap Ab 1 dan Antigen Virus Avian Influenza H5N1: Ag. Antigen H5N1; Ab 1. antibodi AI H5N1; Ab 2. Antibodi anti-idiotipe; ( ) garis presipitasi Konsentrasi IgG kelinci diukur dengan spektrofotometer ultraviolet yang diperoleh sebesar 8 mg/ml. Imunoglobulin G kelinci ini digunakan sebagai imunogen pengganti virus AI H5N1 yang diemulasikan dengan Freund s adjuvant untuk imunisasi ayam SPF umur minggu. Adjuvan adalah substansi yang jika dicampurkan dengan antigen kemudian disuntikkan akan bekerja memperbesar imunogenesitas antigen sehingga akan memperkuat respon imun terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Kuby 1997). Penggunaan adjuvan di dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan respon imun tubuh sehingga antibodi yang terbentuk cukup banyak. Adjuvan membantu imunogen yang kurang imunogenik dalam menggertak sistem imun tubuh. Adjuvan digunakan untuk meningkatkan respon imun apabila antigen memiliki imunogenesitas rendah atau apabila jumlah antigen sedikit. Adjuvan juga dapat berfungsi sebagai depot antigen karena adjuvan sebagai pembawa antigen menuju lokasi sistem imun dan melepaskannya sedikit demi sedikit, sehingga masa pembentukan antibodi berlangsung lebih lama (Leenaars et al. 199). Penggunaan adjuvan untuk memacu respons imun dengan afinitas yang tinggi dengan cara memperluas permukaan antigen dan memperlambat pelepasan antigen dalam tubuh, sehingga pembentukan antibodi lebih optimal. Adjuvan memperluas permukaan antigen dan memperlama penyimpanan antigen di dalam tubuh sehingga

68 memberi kesempatan pada sistem limfoid untuk menuju antigen sehingga antibodi akan diproduksi dalam jangka waktu lama (Bellanti 1993; Rantam 2005). Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya ant-idiotipe. Anti-idiotipe yang terbentuk juga mempunyai idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti anti idiotipe dan seterusnya. Freund s Complete Adjuvant berupa emulsi antigen cairan dalam minyak mineral mengandung mikobakterium mati karena pemanasan. Freund s Incomplete Adjuvant yaitu emulsi antigen cairan dalam minyak mineral tapi tidak mengandung mikobakterium.. Imunogenesitas Kandidat Vaksin (Antibodi Anti-idiotipe) Imunoglobulin G kelinci (Antibodi anti-idiotipe/ab 2 ) yang diperoleh dari serum kelinci kemudian diimunisasikan ke ayam SPF (uji imunogenesitas). Uji imunogenesitas dilakukan dengan membandingkan kelompok kandidat vaksin antibodi anti-idiotipe dengan kelompok kontrol, kelompok IgG kelinci kontrol, dan kelompok vaksin AI H5N1. Antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) sebagai antigen diemulsikan dalam adjuvan yang bertujuan untuk meningkatkan respon imun ayam. Emulsi antigen dengan CFA dan IFA dapat sebagai depot antigen sehingga pembentukkan antibodi akan berlangsung terus. Pengujian imunogenesitas dilakukan untuk mengetahui sifat imunogenik antibodi anti-idiotipe dari IgG kelinci terhadap ayam sebagai hewan target. Metode ini merupakan uji potensi vaksin AI yang mengacu pada Farmakope Obat Hewan Indonesia (FOHI) (Ditjennak 2007). Vaksin AI H5N1 sebagai pembanding adalah vaksin dengan strain yang sama dengan Ab 2. Serum ayam dikoleksi sampai minggu dengan interval 1 minggu. Paratop pada Ab 2 adalah idiotop Ab 1. Idiotop pada Ab 2 menimbulkan pembentukkan Ab 3 (Kennedy & Attanasio 1990). Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ), selanjutnya dilakukan uji HI untuk mengetahui titer antibodinya dan uji serum netralisasi untuk mengetahui titer antibodi secara in vitro.

69 . Untuk mengetahui reaksi spesifik antara Ab 3 dan antigen AI H5N1 serta reaksi antara Ab 2 dan Ab 3 dilakukan pengujian dengan uji AGP. Adanya garis presipitasi pada Gambar 18 mengambarkan adanya reaksi homolog antara Ab 3 dan antigen AI H5N1 dan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 19) menggambarkan adanta reaksi homolog antara Ab 2 dan Ab 3. Reaksi spesifik antara Ab 3 dan antigen AI H5N1 menunjukkan bahwa pada serum ayam telah terbentuk antibodi yang sama dengan Ab 1 dan mampu berikatan secara spesifik dengan antigen AI H5N1. Antibodi anti-idiotipe mengandung internal image atau merupakan mimikri dari antigen AI H5N1 yang dapat menginduksi Ab 3 spesifik terhadap antigen aslinya. Kemampuan meniru struktur antigen aslinya merupakan landasan penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai antigen (Shoenfeld 200). Ab 3 Ab 3 Ag Ab 3 Ab 2 Ab 3 Ab 3 Ab 3 Ab 3 Gambar 18 Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti Anti-idiotipe dengan Antigen AI H5N1: Ab 3. Antibodi anti antiidiotipe; Ag. Antigen AI H5N1; ( ) garis presipitasi Gambar19 Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti-idiotipe dengan Antibodi Anti Antiidiotipe: Ab 2. Antibodi antiidiotipe; Ab 3. Antibodi anti anti-idiotipe; ( ) garis presipitasi Roitt (2003) menggambarkan regulasi idiotipik respon imun yaitu interaksi idiotipe dan anti-idiotipe yang terdapat pada antibodi dan reseptor sel T. Telah dilakukan penelitian sebagai berikut: antigen disuntikkan pada hewan pertama dan antibodi terbentuk Ab 1 (idiotipe) dimurnikan dan disuntikan pada hewan ke-2, Ab 2 (anti-idiotipe)

70 dimurnikan dan digunakan untuk imunisasi hewan ke-3 dan seterusnya. Secara konsisten ditemukan bahwa Ab 2 mengenal idiotipe (Ab 1 ) yang juga jelas ditemukan pada Ab 3. Ab bersifat seperti Ab 2 dalam mengenali idiotipe yang serupa pada Ab 1 dan Ab 3., jadi meskipun Ab 1 dan Ab 3 sama-sama idiotipe, hanya fraksi kecil Ab 3 bereaksi dengan antigen asal. Hasil ini terlihat bila idiotipe tersebut Id yang bereaksi silang (Id umum) berada pada sejumlah antibodi yang bervariasi (secara tidak langsung adalah reseptor B) dengan spesifisitas berbeda. Antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) bila disuntikkan pada hewan ke- 3 akan bereaksi dengan semua sel B pembawa Id1 dan hanya sebagian saja yang mempunyai spesifisitas sama dengan serum asal (Gambar 20). Gambar 20 Regulasi idiotipik dari respon imun: Ab 1 yang dihasilkan oleh rangsangan antigen disuntikan kepada hewan ke-dua untuk menghasilkan Ab 2, yang dimurnikan dan disuntikkan ke hewan 3, dan seterusnya. Ab 2 dan Ab masingmasing bereaksi dengan idiotip pada Ab 1 dan Ab 3 tetapi bagian dari Ab 3 bereaksi dengan antigen asal. (Sumber: Roitt (2003))..1 Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji HI Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ), selanjutnya dilakukan uji serologi dengan uji HI. Uji hambatan hemaglutinasi dilakukan terhadap beberapa antigen, yaitu antigen AI H5N1 strain Legok (2003), antigen AI H5N1 IPB (2007), antigen AI H5N1 IPB (2008), dan antigen AI H5N1 IPB Ab 3 Ab (2009). Ab 3

71 Titer antibodi yang dihasilkan pada uji imunogenesitas (Ab 3 ) dengan uji HI terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003), antigen AI H5N1 IPB (2007), antigen AI H5N1 IPB (2008), dan antigen AI H5N1 IPB (2009) dapat dilihat pada Tabel 5 sampai Tabel 8. Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 menurun pada minggu ke- sedangkan pada kelompok vaksin AI H5N1 meningkat. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-3 dan minggu ke- berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 5). Tabel 5 Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe terhadap Antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre imunisasi a 0 a 0 a 0 a 0 1 minggu pasca a 0 a 0 a 0 a 0 imunisasi 2 minggu pasca a 0 a b b imunisasi 3 minggu pasca imunisasi a 0 a b c minggu pasca imunisasi a 0 a b d 57.2 Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji HI terlihat bahwa pada kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (12.13), meningkat pada minggu ketiga (8.50) dan menurun pada minggu keempat (27.86). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 21).

72 250 Rataan titer Ab (GMT) kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 0 pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi mgg pi Waktu Imunisasi Gambar 21 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan ke- pasca imunisasi. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-3 dan minggu ke- berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 6). Tabel 6 Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI

73 Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre imunisasi a 0 a 0 a 0 a 0 1 minggu pasca a 0 a 0 a 0 a 0 imunisasi 2 minggu pasca imunisasi a 0 a b c.38 3 minggu pasca imunisasi a 0 a 0 16d 0 8.9e minggu pasca imunisasi a 0 a e f 0 Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan uji HI terlihat bahwa kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (5.28), meningkat pada minggu ketiga (16) dan makin meningkat pada minggu keempat (55.72). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 22). Rataan Titer Ab (GMT) pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi mgg pi kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 Waktu Imunisasi Gambar 22 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2.

74 Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan menurun pada minggu ke- pasca imunisasi. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-2 tidak berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-3 dan minggu ke- berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 7) Tabel 7 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre imunisasi a 0 a 0 a 0 a 0 1 minggu pasca a 0 a 0 a 0 a 0 imunisasi 2 minggu pasca imunisasi a 0 a b b minggu pasca imunisasi a 0 a c d minggu pasca imunisasi a 0 a c c 7.2 Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan uji HI terlihat bahwa pada kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (6.06), meningkat pada minggu ketiga (2.22) dan menurun pada minggu keempat (2.25). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 23).

75 Rataan titer Ab (GMT) pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi mgg pi kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 Waktu Imunisasi Gambar 23 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan makin meningkat pada minggu ke- pasca imunisasi. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-2 berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-3 dan minggu ke- tidak berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 8). Tabel 8 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI

76 Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre imunisasi a 0 a 0 a 0 a 0 1 minggu pasca a 0 a 0 a 0 a 0 imunisasi 2 minggu pasca imunisasi a 0 a b c.38 3 minggu pasca imunisasi a 0 a cd de 8.76 minggu pasca imunisasi a 0 a ef f Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan uji HI terlihat bahwa pada kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (6.96), meningkat pada minggu ketiga (21.11) dan makin meningkat pada minggu keempat (36.76). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 2). 60 Rataan Titer Ab (GMT) kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 0 pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi mgg pi Waktu Imunisasi Gambar 2 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI Secara gambaran umum pada kelompok kontrol dan kelompok IgG kontrol tidak menghasilkan titer antibodi terhadap antigen AI H5N1 karena dalam penelitian ini menggunakan ayam SPF. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada reaksi kontaminasi dari kelompok antibodi anti-idiotipe dan vaksin AI H5N1. Kelompok

77 antibodi anti-idiotipe titer antibodi muncul pada minggu ke-2 pasca imunisasi dan meningkat pada minggu ke-3 pasca imunisasi. Titer tersebut menunjukkan bahwa ayam pada kelompok antibodi anti-idiotipe mempunyai kekebalan yang baik terhadap AI H5N1, demikian juga dengan kelompok vaksin AI H5N1. Antara perlakuan kelompok Ab 2 dengan kelompok vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata sehingga antibodi anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin. Antigen yang diimunisasikan pada hewan akan menginduksi terbentuknya antibodi sekitar 1-2 minggu pasca imunisasi. Penurunan kadar antibodi dalam serum merupakan cermin dari hilangnya populasi sel plasma penghasil antibodi spesifik. Sekali berdiferensiasi penuh, sel plasma mati setelah 3-6 hari dan Ig yang dihasilkan ini menurun perlahan-lahan karena proses katabolisme (Tizard 1995). Menurut Alberts et al. (2002), antibodi yang terbentuk oleh sel B akan bertahan melawan agen infeksi dengan mengikat virus...2 Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji SN Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ), juga dilakukan uji serologi secara in vitro dengan uji SN pada sel lestari dari ginjal anjing (MDCK). Uji serum netralisasi (SN) dilakukan terhadap beberapa isolat, yaitu isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI H5N1 IPB (2005) dan isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006. Persiapan sebelum melakukan uji SN adalah dengan menumbuhkan virus AI dari isolat-isolat tersebut pada telur ayam berembrio TAB SPF umur 9 hari, dilanjutkan dengan menumbuhkan dan memperbanyak virus AI pada sel MDCK. Hasil propagasi virus AI pada sel MDCK selanjutnya digunakan untuk uji serologi. Pertumbuhan virus AI pada sel MDCK dapat dilihat pada Gambar 26 dimana terlihat adanya efek sitopatik (Cythopathic Effect/CPE), sedangkan pada Gambar 25 terlihat sel MDCK normal.

78 Gambar 25 Biakan sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) kontrol (Objektif 0x) A B C Gambar 26 Sel MDCK yang diinfeksi oleh virus AIH5N1: A. Efek sitopatik hari pertama, B. Efek sitopatik hari ke-dua, C. Efek sitopatik hari ke-tiga (Objektif 0x) Titer antibodi yang dihasilkan pada uji imunogenesitas (Ab 3 ) dengan uji SN terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI H5N1 IPB (2005), dan A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dapat dilihat pada Tabel 9 sampai Tabel 11. Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji SN, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca imunisasi. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan makin meningkat pada minggu ke- pasca imunisasi. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-2,3 dan berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 9)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi Respon imun akan terjadi dalam tubuh hewan yang terpapar oleh suatu antigen. Respon humoral tubuh yang terinfeksi akan menghasilkan antibodi. Antibodi merupakan suatu molekul

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Reidentifikasi Vaksin AI H5N1 Vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok diekstraksi RNAnya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya berdasarkan gen hemaglutinin (HA) dan neuraminidase

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI kol FKH IPB tahun 3 6 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel ). Uji HA

Lebih terperinci

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus AgroinovasI Waspadailah Keberadaan Itik dalam Penyebaran Virus Flu Burung atau AI Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus penyakit flu burung, baik yang dilaporkan pada unggas

Lebih terperinci

ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE SEBAGAI KANDIDAT VAKSIN RABIES SAYU PUTU YUNI PARYATI

ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE SEBAGAI KANDIDAT VAKSIN RABIES SAYU PUTU YUNI PARYATI ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE SEBAGAI KANDIDAT VAKSIN RABIES SAYU PUTU YUNI PARYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia memegang peran penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dibudidayakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peternakan Ayam Broiler Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama

Lebih terperinci

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2 KUNTO WIDYASMORO

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2 KUNTO WIDYASMORO PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2 KUNTO WIDYASMORO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Preparasi Imunoglobulin G Kelinci sebagai Antigen Penginduksi Antibodi Spesifik Terhadap Virus Avian Influenza H5N1 Strain Legok

Preparasi Imunoglobulin G Kelinci sebagai Antigen Penginduksi Antibodi Spesifik Terhadap Virus Avian Influenza H5N1 Strain Legok Jurnal Veteriner Juni 2010 Vol. 11 No. 2 : 99-106 ISSN : 1411-8327 Preparasi Imunoglobulin G Kelinci sebagai Antigen Penginduksi Antibodi Spesifik Terhadap Virus Avian Influenza H5N1 Strain Legok (THE

Lebih terperinci

GAMBARAN TITER ANTIBODI ANTI H5 PADA SERUM DAN KUNING TELUR AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN INAKTIF H5N2 WA ODE YUSRAN

GAMBARAN TITER ANTIBODI ANTI H5 PADA SERUM DAN KUNING TELUR AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN INAKTIF H5N2 WA ODE YUSRAN GAMBARAN TITER ANTIBODI ANTI H5 PADA SERUM DAN KUNING TELUR AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN INAKTIF H5N2 WA ODE YUSRAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt.

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt. SISTEM IMUN SPESIFIK Lisa Andina, S.Farm, Apt. PENDAHULUAN Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon

Lebih terperinci

ASPEK DIAGNOSIS DAN PATOGENESIS ISOLAT LOKAL CANINE PARVOVIRUS (RIVS 57) KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH

ASPEK DIAGNOSIS DAN PATOGENESIS ISOLAT LOKAL CANINE PARVOVIRUS (RIVS 57) KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH ASPEK DIAGNOSIS DAN PATOGENESIS ISOLAT LOKAL CANINE PARVOVIRUS (RIVS 57) KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH. Aspek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza H5N1 Morfologi Virus Avian Influenza H5N1 merupakan salah satu penyebab penyakit unggas yang bersifat zoonosis. Virus ini menyebabkan penyakit flu pada unggas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Avian influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong virus RNA (Ribonucleic acid)

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT)

DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT) DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT) ADINI ALVINA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

Tinjauan Mengenai Flu Burung

Tinjauan Mengenai Flu Burung Bab 2 Tinjauan Mengenai Flu Burung 2.1 Wabah Wabah adalah istilah umum baik untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Avian Influenza

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Avian Influenza 4 TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Avian Influenza Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, merupakan genom RNA rantai tunggal dengan 8 segmen, serta berpolaritas negatif.

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mayarakat secara umum harus lebih memberi perhatian dalam pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti

Lebih terperinci

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Denpasar, 13 Desember 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Made Wirtha dan Ibu dr. Ni Putu Partini Penulis menyelesaikan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut :

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut : 25 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep berikut : Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai Manajemen Unggas di TPnA - Keberadaan SKKH - Pemeriksaan - Petugas Pemeriksa - Cara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus rabies sangat ditakuti dikalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza Avian Influenza adalah penyakit infeksi pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza strain tipe A. Penyakit yang pertama diidentifikasi

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ayam peliharaan merupakan hasil domestikasi dari ayam hutan yang ditangkap dan

Lebih terperinci

Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Umumnya tipe ini ditemukan pada burung dan unggas. Kasus penyebaran :

Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Umumnya tipe ini ditemukan pada burung dan unggas. Kasus penyebaran : !!"!!#$ Dewasa ini virus H5N1 atau yang lazim dikenal sebagai virus flu burung (Avian Influenza) telah mewabah dimana mana. Virus ini pada awalnya hanya menginfeksi unggas. Namun akhir akhir ini diberitakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini jenis sampel diambil berupa serum dan usap kloaka yang diperoleh dari unggas air yang belum pernah mendapat vaksinasi AI dan dipelihara bersama dengan unggas

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI FLU BURUNG AVIAN FLU AVIAN INFLUENZA BIRD FLU RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI VIRUS INFLUENZA Virus famili orthomyxoviridae Tipe A,B,C Virus A dan B penyebab wabah pada manusia Virus C

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit Microgen TM GN-ID Identification dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat negara kita baru mulai bangkit dari krisis, baik krisis ekonomi, hukum dan kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Serum Kuda Anti Rabies Serum kuda anti rabies berbentuk cairan tak berwarna dalam kemasan utuh dengan nomor bacth RSM 013, diproduksi tanggal 18 Maret 2003. Waktu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Influenza merupakan penyakit saluran pernafasan akut yang di sebabkan infeksi Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. Penyakit

Lebih terperinci

MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO

MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO DepKes RI 2007 Tujuan Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Umum : Dapat menjelaskan dasar dasar Flu Burung, pandemi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam subfamily Paramyxovirinae, family Paramyxoviridae (OIE, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam subfamily Paramyxovirinae, family Paramyxoviridae (OIE, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Newcastle Disease (ND) atau penyakit tetelo disebabkan oleh strain virulen avian Paramyxovirus serotipe tipe 1 (AMPV-1) dari genus Avulavirus yang termasuk dalam subfamily

Lebih terperinci

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Gianyar, 11 Nopember 1993, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Ketut Ardika dan Ibu Ni Wayan Suarni. Penulis menyelesaikan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti virus dan bakteri sangat perlu mendapat perhatian

Lebih terperinci

UJI PENEGUHAN REAL TIME PCR AVIAN INFLUENZA DI BBKP SURABAYA TERHADAP METODE UJI STANDAR AVIAN INFLUENZA SESUAI STANDAR OIE.

UJI PENEGUHAN REAL TIME PCR AVIAN INFLUENZA DI BBKP SURABAYA TERHADAP METODE UJI STANDAR AVIAN INFLUENZA SESUAI STANDAR OIE. UJI PENEGUHAN REAL TIME PCR AVIAN INFLUENZA DI BBKP SURABAYA TERHADAP METODE UJI STANDAR AVIAN INFLUENZA SESUAI STANDAR OIE. OLEH: FITRIA ARDHIANI, ROFIQUL A LA, FIFIN KURNIA SARI, RETNO OKTORINA LABORATOIUM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pada unggas yang sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi)

Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : MEDIA INDONESIA Edisi 27 Pebruari 2006) Flu burung, penyakit yang ditulari hewan ke manusia akis

Lebih terperinci

EVALUASI HASIL VAKSINASI AVIAN INFLUENZA (AI) DI KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG ANI SITI NURFITRIANI

EVALUASI HASIL VAKSINASI AVIAN INFLUENZA (AI) DI KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG ANI SITI NURFITRIANI EVALUASI HASIL VAKSINASI AVIAN INFLUENZA (AI) DI KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG ANI SITI NURFITRIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANI SITI NURFITRIANI.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i iii i PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2 TINJAUAN

Lebih terperinci

Pertanyaan Seputar "Flu Burung" (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006)

Pertanyaan Seputar Flu Burung (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006) Pertanyaan Seputar "Flu Burung" (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006) Reproduced from FAQ "Frequently Asked Question" of Bird Flu in

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah penyakit menular ganas pada babi yang disebabkan oleh virus dengan gejala utama gangguan reproduksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Allotypic, variasi asam amino pada lokus yang sama. Gambar 1. Skema antibodi dengan determinan isotypic, allotypic dan idiotypic.

TINJAUAN PUSTAKA. Allotypic, variasi asam amino pada lokus yang sama. Gambar 1. Skema antibodi dengan determinan isotypic, allotypic dan idiotypic. 5 TINJAUAN PUSTAKA Antibodi Jika hewan terpapar oleh suatu antigen, maka respon imun akan terjadi pada tubuh hewan tersebut. Respon humoral yang terjadi menghasilkan antibodi. Struktur molekul antibodi

Lebih terperinci

Penyebaran Avian Flu Di Cikelet

Penyebaran Avian Flu Di Cikelet 6 Bab II Penyebaran Avian Flu Di Cikelet 2.1 Sejarah virus Avian Flu Avian Flu merupakan infeksi virus influenza A subtipe H5N1 yang umumnya menyerang unggas, burung, ayam dan babi, tetapi setelah menyerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam berdarah adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan satu atau lebih virus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Virus Influenza A, B dan C

TINJAUAN PUSTAKA. Virus Influenza A, B dan C 16 TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza A, B dan C Virus influenza merupakan virus RNA memiliki amplop (envelope) yang termasuk anggota dari famili Orthomyxoviridae. Genomnya terdiri dari negative single strand

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease (ND)

TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease (ND) TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease (ND) Newcastle Disease (ND) pertama kali ditemukan di Newcastle Inggris pada tahun 1926. Virus ini menyerang berbagai macam spesies burung dan unggas. Tingkat kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

Kajian Vaksin Avian Influesa (AI) pada Ayam Buras dengan Sistem Kandang Kurung di Gunung Kidul Yogyakarta

Kajian Vaksin Avian Influesa (AI) pada Ayam Buras dengan Sistem Kandang Kurung di Gunung Kidul Yogyakarta Sains Peternakan Vol. 11 (2), September 2013: 79-83 ISSN 1693-8828 Kajian Vaksin Avian Influesa (AI) pada Ayam Buras dengan Sistem Kandang Kurung di Gunung Kidul Yogyakarta W. Suwito 1, Supriadi 1, E.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Btetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7B Byang

TINJAUAN PUSTAKA. Btetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7B Byang TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza Virus influenza terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe A, tipe B dan tipe C. Virus tipe A menyerang hewan, tetapi dapat menyebabkan epidemik pada manusia. Sementara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas kesadaran itu, Departemen Pertanian (2011) mengarahkan pengembangan subsektor peternakan sebagai bagian

Lebih terperinci

FLU BURUNG. HA (Hemagglutinin) NA (Neoraminidase) Virus Flu Burung. Virus A1. 9 Sub type NA 15 Sub type HA. 3 Jenis Bakteri 1 Jenis Parasit

FLU BURUNG. HA (Hemagglutinin) NA (Neoraminidase) Virus Flu Burung. Virus A1. 9 Sub type NA 15 Sub type HA. 3 Jenis Bakteri 1 Jenis Parasit Penyakit influensa pada unggas (Avian Influenza/A1) yang saat ini kita kenal dengan sebutan flu burung adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influensa tipe A dari Family Orthomyxomiridae. Virus ini

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI

EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 21 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai Maret sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Mikrobiologi Medis, laboratorium Terpadu unit pelayanan mikrobiologi

Lebih terperinci

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PENGGUNAAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA PADA UNGGAS DELIN NOFIFTA B

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PENGGUNAAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA PADA UNGGAS DELIN NOFIFTA B KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PENGGUNAAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA PADA UNGGAS DELIN NOFIFTA B04110128 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi immunoglobulin Y (IgY) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 9,57 mg/ml dan immunoglobulin G (IgG) adalah 3,75 mg/ml. Pada penelitian ini, antibodi yang dilapiskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Virus Influenza Tipe A Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari genus Orthomyxovirus yang menyebabkan penyakit avian influenza. Virus ini merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A

TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A Penyakit Avian Influensa (AI) disebabkan oleh virus influensa tipe A yang merupakan virus RNA dari famili Orthomyxoviridae dengan genus Orthomyxovirus. Berbentuk

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMAKASIH... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya peningkatan sistem kekebalan tubuh terhadap serangan berbagai virus atau antigen spesifik lainnya dewasa ini sangat perlu mendapat perhatian serius.

Lebih terperinci

KEMAMPUAN NETRALISASI ANTIBODI SPESIFIK AVIAN INFLUENZA H5 TERHADAP BEBERAPA VIRUS H5N1 ISOLAT LAPANG 1)

KEMAMPUAN NETRALISASI ANTIBODI SPESIFIK AVIAN INFLUENZA H5 TERHADAP BEBERAPA VIRUS H5N1 ISOLAT LAPANG 1) Kemampuan Netralisasi Antibodi Spesifik Avian Influenza H5 (A.H. Angi et al.) KEMAMPUAN NETRALISASI ANTIBODI SPESIFIK AVIAN INFLUENZA H5 TERHADAP BEBERAPA VIRUS H5N1 ISOLAT LAPANG 1) (Neutralization Ability

Lebih terperinci

Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Indluenza

Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Indluenza Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Indluenza Influenza adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza. Virus influenza diklasifikasi menjadi tipe A, B dan C karena nukleoprotein dan matriks proteinnya.

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Sistem Kekebalan Tubuh Pada Unggas

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Sistem Kekebalan Tubuh Pada Unggas 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam petelur putih termasuk dalam jenis ayam petelur ringan. Ayam ini mempunyai badan yang ramping/kurus-mungil/kecil dan mata bersinar. Bulunya berwarna putih bersih dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit PENDAHULUAN Latar Belakang Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit pernafasan pada unggas dan termasuk list A Office International des Epizooties (OIE) sebagai penyakit yang sangat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM PENGENDALIAN FLU BURUNG DI INDONESIA DIREKTUR PANGAN DAN PERTANIAN BOGOR, 25 FEBRUARI 2009

KEBIJAKAN UMUM PENGENDALIAN FLU BURUNG DI INDONESIA DIREKTUR PANGAN DAN PERTANIAN BOGOR, 25 FEBRUARI 2009 KEBIJAKAN UMUM PENGENDALIAN FLU BURUNG DI INDONESIA DIREKTUR PANGAN DAN PERTANIAN BOGOR, 25 FEBRUARI 29 1 OUTLINE 1. PENDAHULUAN 2. DAMPAK WABAH AI 3. PERMASALAHAN 4. KEBIJAKAN UMUM 4.1. STRATEGI PENGENDALIAN

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN IBD KILLED SETENGAH DOSIS DAN DITANTANG DENGAN VIRUS IBD CHARLES JONSON SIREGAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PENGENDALIAN FLU BURUNG DI JAWA BARAT. oleh : Ir. Koesmajadi TP Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat

PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PENGENDALIAN FLU BURUNG DI JAWA BARAT. oleh : Ir. Koesmajadi TP Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PENGENDALIAN FLU BURUNG Latar Belakang DI JAWA BARAT oleh : Ir. Koesmajadi TP Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Highly Pathogenic Avian influenza(hpai) adalah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Avian Influenza Avian Influenza (AI) yang popular disebut flu burung merupakan penyakit infeksius pada unggas. Penyakit ini telah menyebar ke seluruh dunia dan menyerang berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan ilmu pengobatan tidak menjamin manusia akan bebas dari penyakit. Hal ini disebabkan karena penyakit dan virus juga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Ayam yang diimunisasi dengan antigen spesifik akan memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut dalam jumlah banyak dan akan ditransfer ke kuning telur (Putranto 2006).

Lebih terperinci

MATURASI SEL LIMFOSIT

MATURASI SEL LIMFOSIT BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi IgY Anti Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Antibodi spesifik terhadap S. Enteritidis pada serum ayam dan telur dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SPESIES BAKTERI STAFILOKOKUS PADA IKAN KERAPU DI KARANGASEM DENGAN ANALISIS SEKUENS 16S rrna SKRIPSI. Oleh. Ketut Wella Mellisandy

IDENTIFIKASI SPESIES BAKTERI STAFILOKOKUS PADA IKAN KERAPU DI KARANGASEM DENGAN ANALISIS SEKUENS 16S rrna SKRIPSI. Oleh. Ketut Wella Mellisandy IDENTIFIKASI SPESIES BAKTERI STAFILOKOKUS PADA IKAN KERAPU DI KARANGASEM DENGAN ANALISIS SEKUENS 16S rrna SKRIPSI Oleh Ketut Wella Mellisandy NIM. 0909005030 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN STANDARISASI ANTIGEN AI H5N1 KOMERSIAL UNTUK MONITORING TITER ANTIBODI HASIL VAKSINASI AI DI INDUSTRI PETERNAKAN AYAM

PEMBUATAN DAN STANDARISASI ANTIGEN AI H5N1 KOMERSIAL UNTUK MONITORING TITER ANTIBODI HASIL VAKSINASI AI DI INDUSTRI PETERNAKAN AYAM Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2012, hlm. 41-47 ISSN 0853 4217 Vol. 17 No.1 PEMBUATAN DAN STANDARISASI ANTIGEN AI H5N1 KOMERSIAL UNTUK MONITORING TITER ANTIBODI HASIL VAKSINASI AI DI INDUSTRI PETERNAKAN

Lebih terperinci

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92 Darmawan, Dyah Estikoma dan Rosmalina Sari Dewi D Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK Untuk mendapatkan gambaran antibodi hasil vaksinasi Rabivet Supra

Lebih terperinci

SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH

SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH 29-211 Sri Handayani Irianingsih *, Rama Dharmawan * Dessie Eri Waluyati ** dan Didik Arif Zubaidi *** * Medik Veteriner pada Laboratorium

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala

Lebih terperinci

KONSEP DASAR IMUNOLOGI

KONSEP DASAR IMUNOLOGI KONSEP DASAR IMUNOLOGI Oleh : DR. I Ketut Sudiana,MS Staf Pengajar : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Program Pascasarjana Universitas Airlangga TUJUAN DARI PENULISAN INI ADALAH UNTUK MEMBANTU

Lebih terperinci