IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Reidentifikasi Vaksin AI H5N1 Vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok diekstraksi RNAnya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya berdasarkan gen hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Reidentifikasi ini penting dilakukan untuk mengetahui bahwa master seed yang digunakan memiliki hemaglutinin H5 dan neuraminidase N1. Vaksin AI yang beredar di Indonesia harus terdaftar di Departemen Pertanian dan diuji mutunya di BBPMSOH (Lampiran 1). Spesifikasi master seed yang digunakan dalam produksi vaksin harus identik dengan keterangan dalam label vaksin (Ditjennak 2007). Reidentifikasi vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan primer H5 (Lee & Suarez 2004) dan primer N1 menunjukkan hasil positif terhadap virus AI subtipe H5N1. Gambaran pita DNA H5 berada pada 55 pb sesuai dengan primer subtipe H5 (Gambar 8) dan pita DNA N1 berada pada 120 pb sesuai dengan primer subtipe N1 (Gambar 9). Hasil ini menunjukkan bahwa vaksin tersebut menggunakan master seed H5N1. Master seed ini adalah virus AI yang berasal dari isolat lapang saat wabah AI pertamakali terjadi di Indonesia. Isolat berasal dari ayam yang terinfeksi oleh virus AI subtipe H5N1 dari daerah Legok, Banten. Penggunaan isolat tersebut sebagai master seed vaksin produksi lokal merupakan kebijakan pemerintah RI saat keadaan darurat untuk mengatasi wabah AI saat itu walaupun master seed vaksin AI yang direkomendasikan oleh OIE harus berasal dari isolat virus yang Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) (OIE 2004). Beberapa kejadian menunjukkan bahwa tidak semua primer H5 dapat digunakan untuk melacak subtipe H5N1. Konfirmasi yang paling tepat untuk menentukan primer adalah dengan mengetahui urutan nukleotida gen HA dan NA (Suwarno et al. 2006).

2 250 pb 200 pb 150 pb 100 pb 55 pb 50 pb M Gambar 8 Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan Primer subtipe H5 (produk 55 pb): 1. Kontrol negatif; 2. Kontrol negatif H5; 3. Vaksin; 4. Kontrol positif H5; M. Marker 50 pb (Invitrogen) 120 bp 400 pb 300 pb 200 pb 100 pb M Gambar 9 Uji Identitas Vaksin AI H5N1 inaktif Strain Legok dengan uji RT-PCR menggunakan Primer subtipe N1 (produk 120 pb): 1. Kontrol negatif; 2. Kontrol negatif N1; 3. Kontrol positif N1; 4. Vaksin; M. Marker 100 pb (Invitrogen) 4.2 Produksi Antibodi Poliklonal Avian Influenza H5N1 (Ab 1 ) Pada Marmut Antibodi poliklonal AI H5N1 dalam serum marmut dapat dideteksi dengan uji Agar Gel Presipitasi (AGP) dan uji hambatan hemaglutinasi (HI) (OIE 2005) Reidentifikasi Serum Anti AI H5N1 (Ab 1 )

3 Reidentifikasi serum anti AI H5N1 (Ab 1 ) dengan uji AGP menunjukkan reaksi positif terhadap antigen AI H5N1 dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 10). Hasil ini menunjukkan bahwa telah terbentuk antibodi yang homolog terhadap virus AI H5N1 yang dikan Ag Gambar 10 Reaksi Presipitasi Serum Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian Influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi: Ag. Antigen AI H5N1; 1. Serum marmut 1; 2. Serum marmut 2; 3. Serum marmut 3; 4. Serum marmut 4; 5. Serum marmut 5; 6. Serum marmut 6; ( ) Garis presipitasi Keberadaan antibodi poliklonal Avian Influenza H5N1 dideteksi dengan uji HI. Hasil titer antibodi dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 11. Titer antibodi yang terbentuk satu minggu setelah ke tiga sebesar ( ). Claassen et al. (2007), mengukur titer antibodi yang dihasilkan oleh ayam layer (white leghorn) SPF terhadap beberapa vaksin AI subtipe H5N1 produksi lokal yang berisi master seed virus AI H5N1 strain Legok. Titer antibodi yang dihasilkan setelah vaksinasi dan diuji dengan HI adalah tinggi yaitu Li et al. (2005) dalam penelitiannya mengatakan bahwa hasil titer antibodi terhadap virus AI sebanyak 2 10 (1024) adalah tinggi dan dapat dilakukan panen serum untuk penelitian selanjutnya. Tabel 4 Titer Antibodi Poliklonal AI H5N1 dengan Uji HI Marmut Titer Antibodi Pre I II III

4 GMT Keterangan: I. Pasca pertama; II. Pasca kedua; III. Satu minggu pasca ketiga; GM. Geometric Mean Titer T iter Antibodi (GM T Titer Waktu (minggu) Gambar 11 Gambaran Titer Antibodi Poliklonal AI H5N1 Semua virus influenza A memiliki nukleokapsid dan antigen matriks secara antigenik yang sama. Antigen matrik tersebar lebih cepat dibandingkan dengan antigen nukleoklapsid. Uji AGP digunakan secara luas di berbagai negara untuk deteksi antibodi dan antigen spesifik virus AI. Uji AGP dilakukan untuk melihat reaksi pengendapan antigen oleh antibodi spesifik. Pengendapan antigen oleh antibodi ini diperlihatkan oleh adanya garis presipitasi di media agar gel. Jika sediaan antibodi tidak homolog dengan antigen maka tidak akan terbentuk garis presipitasi.

5 Penggunaan uji AGP dalam penelitian ini karena teknik imunopresipitasi merupakan salah satu cara yang masih dipakai untuk menganalisis atau mengukur kadar antigen atau antibodi. Antibodi yang direaksikan dengan antigen spesifik membentuk kompleks yang tidak larut (presipitat) yang dapat dianalisis dengan berbagai cara. Reaksi presipitasi dapat dilangsungkan dalam media cair maupun media semisolid (gel). Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam teknik imunopresipitasi. Hal yang paling menentukan adalah spesifisitas antiserum atau antibodi yang digunakan dan larutan standar yang stabil dengan kadar yang pasti. Reaksi imunopresipitasi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah aviditas antibodi. Aviditas antibodi menentukan derajat stabilitas kompleks antigen-antibodi pada tempat pengikatan (antigen binding site). Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk cenderung berdisosiasi bila antibodi mempunyai aviditas yang lemah, sebaliknya makin tinggi aviditas antibodi makin stabil kompleks yang terbentuk. Faktor-faktor lain yang berpengaruh misalnya suhu, ph dan molaritas larutan yang dipakai, dan yang tidak boleh diabaikan adalah perbandingan antara konsentrasi antigen dengan antibodi dalam reaksi. Perbandingan konsentrasi antigen dengan antibodi merupakan faktor terpenting dalam reaksi presipitasi. Pembentukkan presipitasi terjadi apabila antara konsentrasi antigen dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk (postzone effect), sedangkan antibodi berlebihan menyebabkan komplek antigen antibodi tetap ada dalam larutan tanpa membentuk presipitasi (prozone effect) (Kresno 2001). Hasil penelitian ini terlihat bahwa pembentukkan garis presipitasi antara antigen dan antibodi karena kosentrasi antigen dan antibodi seimbang (zone ekivalen) (Gambar 10). Titer antibodi terhadap AI H5N1 adalah (Tabel 4), sedangkan titer antigen AI H5N1 standar sebesar Pembentukan antibodi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: imunogenesitas, kualitas, bentuk kelarutan stimulan, spesies hewan yang di injeksi, rute, dan sensitifitas assay (Bellanti 1993). Imunisasi terhadap marmut pada penelitian ini dilakukan sebanyak 3 kali. Tujuannya adalah untuk membentuk kondisi hiperimun pada marmut, sehingga dihasilkan antibodi dengan titer tinggi. Vaksin inaktif umumnya diperlukan dua atau tiga kali vaksinasi untuk memperoleh titer antibodi tinggi. Vaksinasi pertama adalah untuk memperkenalkan dan kedua sebagai booster atau ulangan sangat

6 diperlukan, supaya daya imunitasnya cukup tinggi (Roitt 2003; Rantam 2005). Titer antibodi yang tertinggi pada penelitian ini dicapai satu minggu setelah ke tiga. Hemaglutinasi adalah fenomena aglutinasi sel darah merah oleh virus tertentu antara lain oleh virus influenza, sebagian besar virus Myxo beberapa virus Pox (Variola, Vaccinia dan Ectromelia), semua virus Reo, sebagian besar virus Toga, beberapa virus Entero dan lainnya. Bagian virus yang mengaglutinasi sel darah merah disebut hemaglutinin. Virus akan menempel pada permukaan sel darah merah melalui hemaglutinin tanpa menembus masuk ke dalam sel tersebut. Tempat virus menempel pada permukaan sel darah merah merupakan reseptor yang terdiri dari karbohidrat (mukopolisakarida) bersifat seperti lem dan sifat kimiawinya mirip musin pada saluran pernafasan. Hemaglutinasi terjadi karena banyak virus melekat pada sel darah merah dan bila dua sel darah merah yang mengandung partikel virus pada permukaannya bersentuhan mereka saling menempel melalui jembatan protoplasma yang terbentuk antara kedua sel tersebut. Lama kelamaan terbentuk massa yang cukup besar besar terdiri dari sel darah merah yang saling berdekatan (aglutinasi) dan karena massa tersebut cukup berat secara perlahan-lahan akan mengendap ke dasar tabung atau microplate. Hemaglutinasi oleh virus dapat dihambat oleh antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut, sehingga uji hambatan hemaglutinasi digunakan untuk mengetahui dan mengukur adanya antibodi dalam serum. Batas akhir aktivitas penghambatan adalah pengenceran tertinggi dari serum yang masih dapat menghambat secara sempurna penggumpalan sel darah merah. Uji hambatan hemaglutinasi merupakan salah satu uji serologik yang sederhana, cepat dan memiliki sensitiftas yang tinggi untuk deteksi antibodi virus AI (OIE 2008; Capua & Alexander 2009). Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi selanjutnya. Titer antibodi masih rendah pada tahap respon permulaan. Antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Antibodi yang baru terbentuk merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas, hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi

7 terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu titer antibodi yang dihasilkan juga tinggi. Vaksin inaktif diperlukan dalam jumlah banyak untuk dapat merangsang respon antibodi. Respon antibodi tergantung dari antigen yang berada dalam vaksin. Hubungan antara kandungan antigen dalam vaksin inaktif dan respon antibodi penting untuk mengetahui penggunaan vaksin yang optimal (Maas et al. 2007). Antibodi yang dihasilkan dari marmut dengan vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok adalah antibodi poliklonal karena antibodi ini dihasilkan oleh turunan dari beberapa sel B yang mengenali epitop berbeda pada antigen yang sama (Alberts et al. 2002). Menurut Roitt (2003), antibodi poliklonal dihasilkan dengan cara menyuntikkan antigen ke dalam tubuh hewan lalu memurnikan antibodi dari serum darah. Antibodi ini umumnya bereaksi dengan banyak epitop Berdasarkan definisinya antibodi poliklonal adalah antibodi yang diperoleh dari hiperimun, disebut juga serum hiperimun dan dapat bereaksi dengan sejumlah determinan antigen yang berbeda pada antigen (bereaksi pada banyak epitop) Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab 1 ) Pemurnian Imunoglobulin G dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody Purification Kit & Spin Column with Procep A (Millipore). Pemurnian dilakukan untuk mendapatkan IgG murni sehingga memudahkan proses pemotongan F(ab) 2 dari Fc. Kit ini mempergunakan protein A, yaitu protein dinding sel Staphylococcus aureus yang akan berikatan dengan bagian Fc dari IgG. Reidentifikasi IgG AI H5N1 dengan uji AGP menunjukkan reaksi positif dengan antigen AI H5N1, ditunjukkan dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 12). Hal ini berarti bahwa terjadi reaksi serologi yang homolog antara IgG H5N1 dengan antigen AI H5N1 karena IgG AI H5N1 merupakan antibodi spesifik terhadap virus AI H5N1. Konsentrasi IgG AI H5N1 yang diperoleh sebesar 8 mg/ml Ag

8 6 4 5 Gambar 12 Reaksi Presipitasi Imunoglobulin G Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian Influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi: Ag. Antigen AI H5N1; 1,2,3,4,5. IgG AI H5N1; ( ) Garis presipitasi Imunoglobulin G (IgG) adalah klas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah dan mempunyai afinitas yang tinggi untuk berikatan dengan antigen. Imunoglobulin G mampu menetralisasi virus dengan cara mengaglutinasi dan mempresipitasikan antigen (Alberts et al. 2002; Roitt 2003) Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan Pemurnian Fragmen F(ab) 2 Pemotongan Imunoglobulin G (IgG) dengan pepsin untuk memperoleh fragmen F(ab) 2 yang selanjutnya akan dimurnikan. Enzim pepsin hampir menghancurkan bagian fragmen Fc tetapi tidak menghancurkan kedua fragmen Fab (Gambar 13). Daerah pengikatan antigen Daerah pengikatan antigen Antibodi pepsin A B C Gambar 13 Skema Pemotongan Imunoglobulin dengan Enzim Pepsin: A. Imunoglobulin yang dipotong dengan enzim pepsin; B. Fragmen Fc; C. Fragmen F(ab) 2 Pemurnian fragmen F(ab) 2 dengan desalting menggunakan Amicon Ultra 15. Protein dengan berat molekul < 30 kda akan berada pada bagian bawah dan protein dengan berat molekul yang lebih tinggi akan berada di bagian atas. Fragmen F(ab) 2 akan berada pada bagian atas, karena protein ini memiliki berat molekul 110 kda. Fragmen F(ab) 2 kemudian didialisis untuk menghilangkan garam yang terdapat pada larutan protein. Dialisis dilakukan menggunakan PBS ph 8,0 selama 24 jam. Proses dialisis ini

9 akan menyebabkan molekul-molekul garam keluar melalui pori-pori tabung secara bertahap hingga konsentrasi garam di dalam dan di luar tabung dialisis menjadi sama. Fragmen F(ab) 2 hasil pemurnian ini kemudian di analisa profil pita proteinnya menggunakan Sodium Dodecyl Sulphonat Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS- PAGE) dan diukur konsentrasinya dengan spektrofotometer ultraviolet. Profil pita protein Imunoglobulin G dan fragmen F(ab) 2 dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15. Imunoglobulin G mempunyai berat molekul 150 kda dan fragmen F(ab) 2 mempunyai berat molekul 110 kda. Pengukuran konsentrasi fragmen F(ab) 2 dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet diperoleh hasil sebesar 1 mg/ml. Jumlah ini cukup untuk digunakan sebagai antigen, guna menginduksi terbentuknya antibodi anti-idiotipe pada kelinci. Dosis antigen berkisar antara µg (Leenars et al. 1997; Paryati 2006; Poetri et al. 2008). Secara in vivo dengan 100 µg fragmen F(ab) 2 dapat mencegah virus AI H5N1 (Lu et al. 2006), namun untuk antigen protein dianjurkan memakai dosis antara µg (Leenars et al. 1994). M M

10 Gambar 14 Profil pita protein Imunoglobulin G yang telah dipurifikasi: M. Marker (Invitrogen); 1. IgG Ab 1 ; 2. IgG kelinci kontrol; 3. IgG Ab 2 ; 4. IgG Ab 2 ; 5. IgG kelinci standar (Promega) Gambar 15 Profil pita protein Fragmen F(ab) 2 : M. Marker (Promega); 1. F(ab) 2 ; 2. F(ab) 2 dan Fc Fragmen F(ab) 2 adalah antibodi AI H5N1 (Ab 1 ) dan digunakan untuk meng kelinci untuk produksi antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ). Fragmen F(ab) 2 ini mampu mengikat antigen seperti antibodi asal dan masih bersifat divalen. Fragmen ini masih dapat mempresipitasikan antigen karena masih mempunyai kedua binding site (tempat ikatan) (Roitt 2003) Menurut Rantam (2003), SDS-PAGE adalah protein dielektrophoresis dalam detergen ionik yaitu SDS. Detergen ini akan mengikat residu hidrophobik dari bagian belakang peptida secara komplit, dengan demikian protein SDS-komplek migrasi melalui poliakrilamid tergantung dari berat molekulnya. Ada dua sistem pada SDS yaitu kontinyu (Weber & Osbon) dan diskontinyu (Laemli). Sistem kontinyu, campuran protein dilapiskan pada bagian atas (bands pada bagian atas dari separating gel), sehingga kelemahan pada sistem ini akan terjadi resolusi dengan sampel. Penelitian ini menggunakan sistem diskontinyu, dimana protein migrasi dengan cepat melaui pelarut ion pada stacking gel dan separating gel. Protein terkonsentrasi pada garis tipis berupa pita atau band yang tipis. Lebih lanjut Rantam (2003) menyatakan bahwa Polyacrylamide Gel Electrophoresis (PAGE) adalah merupakan standar metode pengujian terhadap berat molekul protein, struktur subunit dan kemurnian protein. Poliakrilamid adalah matrix pilihan untuk memisahkan protein yang mempunyai berat molekul antara Dalton. Pori-pori pada matrik dibentuk oleh rantai cross-linking linear polyacrylamid dengan bis acrylamide. Ukuran pori-pori berkurang sesuai dengan peningkatan total presentasi acrylamide atau peningkatan derajat presentasi konsentrasi campuran dengan bisacrylamide. Dengan pembuatan atau pemilihan total konsentrasi yang tepat akan menentukan pula ukuran yang tepat terhadap ukuran protein yang diinginkan. Jadi semakin tinggi total presentasi akan menghalangi pergerakan protein ke dalam gel, begitu juga bila terlalu rendah total presentasi akan mengakibatkan pergerakan protein menjadi

11 terlalu cepat bergerak melalui gel yang mengakibatkan didapatkan protein spesifik rendah dan tidak sesuai dengan protein yang diinginkan. Awal terjadinyapolimerasi biasanya disempurnakan oleh ammonium persulfat dan dikatalisa oleh N,N,N,N- Tetramethylethylenediamine (TEMED). Antibodi (Ab 1 ) murni satu spesies yang disuntikkan ke spesies yang berbeda akan dikenali sebagai antigen asing dan menimbulkan respon humoral (Ab 2 ) yang kuat (Harlow & Lane 1988; Roitt 2003). Penggunaan fragmen F(ab) 2 dari antibodi sebagai Ab 1 dapat meningkatkan spesifisitas dan mengurangi heterogenitas antibodi yang akan terbentuk dari hasil menggunakan Ab 1 sebagai antigen. Imunisasi dengan fragmen Fab IgG menunjukkan respon yang lebih besar dibandingkan dengan IgG yang disebabkan sifat menghambat bagian Fc (Roitt 2003). 4.3 Produksi Antibodi Anti-Idiotipe (Ab 2 ) Pada Kelinci Fragmen F(ab) 2 dari marmut atau disebut juga Ab 1 digunakan untuk menginduksi antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ). Fragmen ini diemulsikan dengan menggunakan FCA yaitu Freund s adjuvant bentuk lengkap dan dikan pada kelinci. Dua ekor kelinci di dengan Ab 1, dan satu ekor kelinci sebagai kontrol. Satu minggu kemudian fragmen F(ab) 2 diemulsikan dengan FIA yaitu Freund s adjuvant bentuk tidak lengkap. Serum kelinci diperiksa keberadaan antibodi terhadap Ab 1 dengan uji AGP. Akibat rangsangan antibodi (Ab 1 ) akan terbentuk antibodi dengan urutan asam amino khas yang diekspresikan sebagai epitop unik pada regio variabel molekul antibodi (Ab 2 ). Idiotipe pada Ab 2 digunakan sebagai dasar pembuatan vaksin yang potensial untuk melawan agen infeksius (Kennedy & Attanasio 1990). Identifikasi serum kelinci dengan uji AGP menunjukkan terbentuknya garis presipitasi antara Ab 1 dengan serum kelinci, hasil ini menunjukkan bahwa Ab 2 memiliki kemiripan antigenic determinant dengan virus AI yang digunakan sebagai master seed vaksin. Antibodi anti-idiotipe ini selanjutnya dimurnikan IgG-nya Pemurnian Imunoglobulin G Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2 )

12 Pemurnian IgG kelinci dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody Purification Kit & Spin Column with Procep A (Millipore). Pemurnian dilakukan untuk mendapatkan IgG murni. Imunoglobulin G kelinci adalah antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) yang merupakan antibodi poliklonal yang mengandung antibodi dengan spesifisitas, afinitas dan isotipe yang berbeda. Antibodi poliklonal relatif stabil dan bereaksi dengan sejumlah antigen determinan yang berbeda, sehingga mengakibatkan terbentuknya komplek antigen-antibodi yang lebih besar dan mudah mempresipitasikan antigen. Karakterisasi antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) dilakukan dengan mengukur berat molekul dengan SDS-PAGE. Imunoglobulin G kelinci mempunyai berat molekul 150 kda (Gambar 15) Reidentifikasi Antibodi Anti-idiotipe (Ab 2 ) Hasil pemurnian Ig G kelinci selanjutnya diidentifikasi dengan uji AGP. Identifikasi menunjukkan reaksi positif yang ditandai dengan terbentuknya garis presipitasi antara Ab 1 dan Ab 2, artinya telah terbentuk antibodi terhadap Ab 1 (Gambar 16). Ab 2 Ab 2 Ab 2 Ab 1 Ab 2 Ab 2 Ab 2 Gambar 16 Antibodi Anti-idiotipe Sebagai Imunogen: Ab 1. Antibodi AI H5N1; Ab 2. Antibodi anti-idiotipe; ( ) garis presipitasi Adanya garis presipitasi merupakan adanya reaksi homolog antara Ab 1 dan Ab 2. Daerah variabel suatu antibodi yang mengikat antigen bersifat antigenik dan dapat menstimulasi terbentuknya antibodi terhadap daerah variabel itu sendiri jika disuntikkan

13 pada hewan yang berbeda spesiesnya atau bahkan pada hewan yang sama spesiesnya (Migliorini & Schwartz 1988; Roitt 2003). Antibodi ini disebut sebagai antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) Avian Influenza H5N1. Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotipe dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotipe. Anti-idiotipe yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari antigen asal. Antibodi Ab 2 ini dapat digunakan sebagai antigen pengganti karena memiliki karakteristik yang sama dengan antigen aslinya terlihat dengan terbentuknya reaksi Ab 2 identitas parsial antara antibodi anti-idiotipe AI H5N1 dengan antigen H5N1 (Gambar 17). Reaksi ini menunjukkan virus AI H5N1 mempunyai determinan antigen yang sama dengan antibodi anti-idiotipe AI H5N1. Menurut Jerne 1985, daerah hipervariabel dari imunoglobulin dapat bersifat sebagai antigen dan antibodi yang terbentuk dari antigen tersebut merupakan antibodi anti-idiotipe yang dapat berikatan secara langsung dengan paratope atau daerah pengikatan antigen dari Ab 1. Hasil uji AGP ini membuktikan bahwa Ab 2 mempunyai kemampuan untuk meniru struktur antigen aslinya sehingga Ab 2 dapat digunakan sebagai imunogen dalam pencegahan infeksi virus AI H5N1. Abu- Shakra et al mengatakan bahwa molekul imunoglobulin yang merupakan protein bersifat antigenik sehingga hewan yang di dengan imunoglobulin akan menghasilkan antibodi anti imunoglobulin yang dapat mencegah terjadinya penyakit. Preparasi vaksin untuk mengontrol infeksi viral dengan menggunakan prinsip antibodi anti-idiotipe telah dikembangkan dengan penelitian (Tackaberry et al. 1992; Zhou et al. 1994; Huang et al. 1995; Lin & Zhou 1995; Kennedy et al. 1996).

14 1 Ab 1 Ag 3 Ab 2 2 Gambar 17 Reaksi Identitas Parsial Imunoglobulin G Kelinci Spesifik Terhadap Ab 1 dan Antigen Virus Avian Influenza H5N1: Ag. Antigen H5N1; Ab 1. antibodi AI H5N1; Ab 2. Antibodi anti-idiotipe; ( ) garis presipitasi Konsentrasi IgG kelinci diukur dengan spektrofotometer ultraviolet yang diperoleh sebesar 8 mg/ml. Imunoglobulin G kelinci ini digunakan sebagai imunogen pengganti virus AI H5N1 yang diemulasikan dengan Freund s adjuvant untuk ayam SPF umur 4 minggu. Adjuvan adalah substansi yang jika dicampurkan dengan antigen kemudian disuntikkan akan bekerja memperbesar imunogenesitas antigen sehingga akan memperkuat respon imun terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Kuby 1997). Penggunaan adjuvan di dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan respon imun tubuh sehingga antibodi yang terbentuk cukup banyak. Adjuvan membantu imunogen yang kurang imunogenik dalam menggertak sistem imun tubuh. Adjuvan digunakan untuk meningkatkan respon imun apabila antigen memiliki imunogenesitas rendah atau apabila jumlah antigen sedikit. Adjuvan juga dapat berfungsi sebagai depot antigen karena adjuvan sebagai pembawa antigen menuju lokasi sistem imun dan melepaskannya sedikit demi sedikit, sehingga masa pembentukan antibodi berlangsung lebih lama (Leenaars et al. 1994). Penggunaan adjuvan untuk memacu respons imun dengan afinitas yang tinggi dengan cara memperluas permukaan antigen dan memperlambat pelepasan antigen dalam tubuh, sehingga pembentukan antibodi lebih optimal. Adjuvan memperluas permukaan antigen dan memperlama penyimpanan antigen di dalam tubuh sehingga

15 memberi kesempatan pada sistem limfoid untuk menuju antigen sehingga antibodi akan diproduksi dalam jangka waktu lama (Bellanti 1993; Rantam 2005). Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya ant-idiotipe. Anti-idiotipe yang terbentuk juga mempunyai idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti anti idiotipe dan seterusnya. Freund s Complete Adjuvant berupa emulsi antigen cairan dalam minyak mineral mengandung mikobakterium mati karena pemanasan. Freund s Incomplete Adjuvant yaitu emulsi antigen cairan dalam minyak mineral tapi tidak mengandung mikobakterium Imunogenesitas Kandidat Vaksin (Antibodi Anti-idiotipe) Imunoglobulin G kelinci (Antibodi anti-idiotipe/ab 2 ) yang diperoleh dari serum kelinci kemudian dikan ke ayam SPF (uji imunogenesitas). Uji imunogenesitas dilakukan dengan membandingkan kelompok kandidat vaksin antibodi anti-idiotipe dengan kelompok kontrol, kelompok IgG kelinci kontrol, dan kelompok vaksin AI H5N1. Antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) sebagai antigen diemulsikan dalam adjuvan yang bertujuan untuk meningkatkan respon imun ayam. Emulsi antigen dengan CFA dan IFA dapat sebagai depot antigen sehingga pembentukkan antibodi akan berlangsung terus. Pengujian imunogenesitas dilakukan untuk mengetahui sifat imunogenik antibodi anti-idiotipe dari IgG kelinci terhadap ayam sebagai hewan target. Metode ini merupakan uji potensi vaksin AI yang mengacu pada Farmakope Obat Hewan Indonesia (FOHI) (Ditjennak 2007). Vaksin AI H5N1 sebagai pembanding adalah vaksin dengan strain yang sama dengan Ab 2. Serum ayam dikoleksi sampai 4 minggu dengan interval 1 minggu. Paratop pada Ab 2 adalah idiotop Ab 1. Idiotop pada Ab 2 menimbulkan pembentukkan Ab 3 (Kennedy & Attanasio 1990). Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ), selanjutnya dilakukan uji HI untuk mengetahui titer antibodinya dan uji serum netralisasi untuk mengetahui titer antibodi secara in vitro.

16 . Untuk mengetahui reaksi spesifik antara Ab 3 dan antigen AI H5N1 serta reaksi antara Ab 2 dan Ab 3 dilakukan pengujian dengan uji AGP. Adanya garis presipitasi pada Gambar 18 mengambarkan adanya reaksi homolog antara Ab 3 dan antigen AI H5N1 dan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 19) menggambarkan adanta reaksi homolog antara Ab 2 dan Ab 3. Reaksi spesifik antara Ab 3 dan antigen AI H5N1 menunjukkan bahwa pada serum ayam telah terbentuk antibodi yang sama dengan Ab 1 dan mampu berikatan secara spesifik dengan antigen AI H5N1. Antibodi anti-idiotipe mengandung internal image atau merupakan mimikri dari antigen AI H5N1 yang dapat menginduksi Ab 3 spesifik terhadap antigen aslinya. Kemampuan meniru struktur antigen aslinya merupakan landasan penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai antigen (Shoenfeld 2004). Ab 3 Ab 3 Ag Ab 3 Ab 2 Ab 3 Ab 3 Ab 3 Ab 3 Gambar 18 Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti Anti-idiotipe dengan Antigen AI H5N1: Ab 3. Antibodi anti antiidiotipe; Ag. Antigen AI H5N1; ( ) garis presipitasi Gambar19 Reaksi Spesifik antara Antibodi Anti-idiotipe dengan Antibodi Anti Antiidiotipe: Ab 2. Antibodi antiidiotipe; Ab 3. Antibodi anti anti-idiotipe; ( ) garis presipitasi Roitt (2003) menggambarkan regulasi idiotipik respon imun yaitu interaksi idiotipe dan anti-idiotipe yang terdapat pada antibodi dan reseptor sel T. Telah dilakukan penelitian sebagai berikut: antigen disuntikkan pada hewan pertama dan antibodi terbentuk Ab 1 (idiotipe) dimurnikan dan disuntikan pada hewan ke-2, Ab 2 (anti-idiotipe)

17 dimurnikan dan digunakan untuk hewan ke-3 dan seterusnya. Secara konsisten ditemukan bahwa Ab 2 mengenal idiotipe (Ab 1 ) yang juga jelas ditemukan pada Ab 3. Ab 4 bersifat seperti Ab 2 dalam mengenali idiotipe yang serupa pada Ab 1 dan Ab 3., jadi meskipun Ab 1 dan Ab 3 sama-sama idiotipe, hanya fraksi kecil Ab 3 bereaksi dengan antigen asal. Hasil ini terlihat bila idiotipe tersebut Id yang bereaksi silang (Id umum) berada pada sejumlah antibodi yang bervariasi (secara tidak langsung adalah reseptor B) dengan spesifisitas berbeda. Antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) bila disuntikkan pada hewan ke- 3 akan bereaksi dengan semua sel B pembawa Id1 dan hanya sebagian saja yang mempunyai spesifisitas sama dengan serum asal (Gambar 20). Gambar 20 Regulasi idiotipik dari respon imun: Ab 1 yang dihasilkan oleh rangsangan antigen disuntikan kepada hewan ke-dua untuk menghasilkan Ab 2, yang dimurnikan dan disuntikkan ke hewan 3, dan seterusnya. Ab 2 dan Ab 4 masingmasing bereaksi dengan idiotip pada Ab 1 dan Ab 3 tetapi bagian dari Ab 3 bereaksi dengan antigen asal. (Sumber: Roitt (2003)) Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji HI Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ), selanjutnya dilakukan uji serologi dengan uji HI. Uji hambatan hemaglutinasi dilakukan terhadap beberapa antigen, yaitu antigen AI H5N1 strain Legok (2003), antigen AI H5N1 IPB (2007), antigen AI H5N1 IPB (2008), dan antigen AI H5N1 IPB Ab 3 Ab (2009). Ab 3

18 Titer antibodi yang dihasilkan pada uji imunogenesitas (Ab 3 ) dengan uji HI terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003), antigen AI H5N1 IPB (2007), antigen AI H5N1 IPB (2008), dan antigen AI H5N1 IPB (2009) dapat dilihat pada Tabel 5 sampai Tabel 8. Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 menurun pada minggu ke-4 sedangkan pada kelompok vaksin AI H5N1 meningkat. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 5). Tabel 5 Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe terhadap Antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 2 minggu pasca <2a 0 <2a b b minggu pasca <2a 0 <2a b c minggu pasca <2a 0 <2a b d Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap antigen AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji HI terlihat bahwa pada kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (12.13), meningkat pada minggu ketiga (48.50) dan menurun pada minggu keempat (27.86). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 21).

19 250 Rataan titer Ab (GMT) kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 0 pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi 4 mgg pi Waktu Imunisasi Gambar 21 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji HI Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan ke-4 pasca. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 6). Tabel 6 Rataan Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI

20 Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 2 minggu pasca <2a 0 <2a b c minggu pasca <2a 0 <2a 0 16d e minggu pasca <2a 0 <2a e f 0 Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan uji HI terlihat bahwa kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (5.28), meningkat pada minggu ketiga (16) dan makin meningkat pada minggu keempat (55.72). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 22). Rataan Titer Ab (GMT) pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi 4 mgg pi kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 Waktu Imunisasi Gambar 22 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2007) dengan Uji HI Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2.

21 Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan menurun pada minggu ke-4 pasca. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-2 tidak berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 7) Tabel 7 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 2 minggu pasca <2a 0 <2a b b minggu pasca <2a 0 <2a c d minggu pasca <2a 0 <2a c c 7.2 Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan uji HI terlihat bahwa pada kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (6.06), meningkat pada minggu ketiga (42.22) dan menurun pada minggu keempat (24.25). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 23).

22 Rataan titer Ab (GMT) pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi 4 mgg pi kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 Waktu Imunisasi Gambar 23 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2008) dengan Uji HI Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan uji HI, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan makin meningkat pada minggu ke-4 pasca. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-2 berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 tidak berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 8). Tabel 8 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI

23 Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 2 minggu pasca <2a 0 <2a b c minggu pasca <2a 0 <2a cd de minggu pasca <2a 0 <2a ef f Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan uji HI terlihat bahwa pada kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (6.96), meningkat pada minggu ketiga (21.11) dan makin meningkat pada minggu keempat (36.76). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 24). 60 Rataan Titer Ab (GMT) kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 0 pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi 4 mgg pi Waktu Imunisasi Gambar 24 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap antigen AI H5N1 IPB (2009) dengan Uji HI Secara gambaran umum pada kelompok kontrol dan kelompok IgG kontrol tidak menghasilkan titer antibodi terhadap antigen AI H5N1 karena dalam penelitian ini menggunakan ayam SPF. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada reaksi kontaminasi dari kelompok antibodi anti-idiotipe dan vaksin AI H5N1. Kelompok

24 antibodi anti-idiotipe titer antibodi muncul pada minggu ke-2 pasca dan meningkat pada minggu ke-3 pasca. Titer tersebut menunjukkan bahwa ayam pada kelompok antibodi anti-idiotipe mempunyai kekebalan yang baik terhadap AI H5N1, demikian juga dengan kelompok vaksin AI H5N1. Antara perlakuan kelompok Ab 2 dengan kelompok vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata sehingga antibodi anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin. Antigen yang dikan pada hewan akan menginduksi terbentuknya antibodi sekitar 1-2 minggu pasca. Penurunan kadar antibodi dalam serum merupakan cermin dari hilangnya populasi sel plasma penghasil antibodi spesifik. Sekali berdiferensiasi penuh, sel plasma mati setelah 3-6 hari dan Ig yang dihasilkan ini menurun perlahan-lahan karena proses katabolisme (Tizard 1995). Menurut Alberts et al. (2002), antibodi yang terbentuk oleh sel B akan bertahan melawan agen infeksi dengan mengikat virus Uji Serologi Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) dengan Uji SN Antibodi yang diperoleh dari serum ayam merupakan antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ), juga dilakukan uji serologi secara in vitro dengan uji SN pada sel lestari dari ginjal anjing (MDCK). Uji serum netralisasi (SN) dilakukan terhadap beberapa isolat, yaitu isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI H5N1 IPB (2005) dan isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006. Persiapan sebelum melakukan uji SN adalah dengan menumbuhkan virus AI dari isolat-isolat tersebut pada telur ayam berembrio TAB SPF umur 9 hari, dilanjutkan dengan menumbuhkan dan memperbanyak virus AI pada sel MDCK. Hasil propagasi virus AI pada sel MDCK selanjutnya digunakan untuk uji serologi. Pertumbuhan virus AI pada sel MDCK dapat dilihat pada Gambar 26 dimana terlihat adanya efek sitopatik (Cythopathic Effect/CPE), sedangkan pada Gambar 25 terlihat sel MDCK normal.

25 Gambar 25 Biakan sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) kontrol (Objektif 40x) A B C Gambar 26 Sel MDCK yang diinfeksi oleh virus AIH5N1: A. Efek sitopatik hari pertama, B. Efek sitopatik hari ke-dua, C. Efek sitopatik hari ke-tiga (Objektif 40x) Titer antibodi yang dihasilkan pada uji imunogenesitas (Ab 3 ) dengan uji SN terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003), isolat AI H5N1 IPB (2005), dan A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dapat dilihat pada Tabel 9 sampai Tabel 11. Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji SN, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan makin meningkat pada minggu ke-4 pasca. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-2,3 dan 4 berbeda nyata, walaupun titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 9)

26 Tabel 9 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan Uji SN Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 2 minggu pasca <2a 0 <2a b c minggu pasca <2a 0 <2a 0 16c d minggu pasca <2a 0 <2a cd e Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dengan uji SN terlihat bahwa pada kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (5.28), meningkat pada minggu ketiga (16) dan makin meningkat pada minggu keempat (24.25). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 27).

27 100 R ataan Titer A b (GM T) kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 0 pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi 4 mgg pi Waktu Imunisasi Gambar 27 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat AI H5N1 Strain Legok (2003) dengan Uji SN Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat AI H5N1 IPB 2005 dengan uji SN, ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai pada minggu ke-2 pasca. Titer antibodi pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 meningkat pada minggu ke-3 dan makin meningkat pada minggu ke-4 pasca. Antara kelompok Ab 2 dan vaksin AI H5N1 pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 tidak berbeda nyata. Titer antibodi kelompok Ab 2 masih protektif (Tabel 10). Tabel 10 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Isolat AI H5N1 IPB 2005 dengan Uji SN Waktu Imunisasi Titer Antibodi

28 Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2a 0 2 minggu pasca <2a 0 <2a b bc minggu pasca <2a 0 <2a c c minggu pasca <2a 0 <2a d d 8.76 Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap isolat AI H5N1 IPB (2005) dengan uji SN terlihat bahwa pada kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu ke dua (4.00), meningkat pada minggu ketiga (9.18) dan makin meningkat pada minggu keempat (18.38). Walaupun titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 tetapi masih bersifat protektif karena lebih besar dari 16 (Gambar 28). 25 Rataan titer Ab (GMT) pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi 4 mgg pi kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 Waktu Imunisasi Gambar 28 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat AI H5N1 IPB (2005) dengan Uji SN Hasil titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan uji SN adalah antara kelompok kontrol dengan kelompok Ab 2 berbeda nyata. Pembentukkan titer antibodi kelompok Ab 2 dimulai minggu ke-4 pasca dan kelompok vaksin AI H5N1 dimulai minggu ke- 3 pasca vaksinasi. Titer antibodi baik pada kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI

29 H5N1 berbeda nyata. Titer antibodi kelompok Ab 2 dan kelompok vaksin AI H5N1 tidak protektif (Tabel 11). Tabel 11 Titer Antibodi Anti Anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap Isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan Uji SN Waktu Imunisasi Titer Antibodi Kontrol IgG Kontrol Ab 2 Vaksin GMT SD GMT SD GMT SD GMT SD Pre <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2 0 1 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2 0 2 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a 0 <2 0 3 minggu pasca <2a 0 <2a 0 <2a b 0 4 minggu pasca <2a 0 <2a b c 0 Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 0.05 Titer Ab 3 terhadap isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan uji SN terlihat bahwa pada kelompok Ab 2 mulai terbentuk antibodi pada minggu keempat (4.00) pasca. Titer tersebut kadarnya lebih rendah dari kelompok vaksin AI H5N1 dan lebih kecil dari 16, menunjukkan bahwa Ab 2 tidak protektif terhadap isolat tersebut (Gambar 29).

30 8 Rataan Titer Ab (GMT) kontrol IgG kontrol Ab2 Vaksin AI H5N1 0 pre 1 mgg pi 2 mgg pi 3 mgg pi 4 mgg pi Waktu Imunisasi Gambar 29 Rataan Titer Antibodi Anti anti-idiotipe (Ab 3 ) terhadap isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 dengan uji SN Hasil uji serologi in vitro dengan uji SN menunjukkan bahwa titer antibodi anti anti-idiotipe (Ab 3 ) antara perlakuan Ab 2 dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata terhadap isolat AI H5N1 strain Legok (2003) dan isolat AI H5N1 IPB (2005) sehingga antibodi-anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin, sedangkan pada antara perlakuan Ab 2 dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata terhadap isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006, akan tetapi strain ini tidak terlindungi karena titer antibodi kurang dari 16, jadi antibodi antiidiotipe (Ab 2 ) tidak prospektif sebagai kandidat vaksin karena antara kelompok kontrol dan perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Uji serologi sangat penting dilakukan untuk memeriksa titer atau kadar antibodi pada ayam yang telah di oleh vaksin AI. Seekor ayam dapat dinyatakan kebal terhadap penyakit AI jika memiliki titer antibodi serendah-rendahnya 4 (log 2) atau 2 4 atau 16. Sementara itu kelompok peternakan ayam dinyatakan kebal terhadap AI jika lebih dari 90 % memiliki titer antibodi pasca serendah-rendahnya 16 (Ditjennak 2007). Virus influenza A tumbuh dengan baik secara in vivo pada TAB dan in vitro pada biakan sel. Propagasi virus AI menggunakan TAB-SPF yakni telur ayam yang tidak

31 mengandung antibodi terhadap berbagai patogen khususnya virus AI. Biakan sel yang sering digunakan adalah biakan sel primer (sel fibroblas ayam, sel ginjal, sel hati) dan biakan sel lestari seperti MDCK. Uji serum netralisasi dengan menggunakan beberapa isolat AI H5N1 pada sel MDCK untuk mengetahui apakah Ab 3 mampu menetralisasi virus AI. Uji ini (in vitro) penting dilakukan mengingat idealnya vaksin AI harus diuji tantang pada hewan target (in vivo) yang harus menggunakan fasilitas kandang Biosecurity Level 3 (BSL 3). Sel MDCK merupakan sel lestari yang berasal dari epitel ginjal anjing. Sel MDCK diperoleh dari American Tissue Culture Collection 34 (ATCC). Sel ini telah banyak digunakan untuk isolasi virus AI karena virus AI sangat produktif dan mudah tumbuh. Biakan sel tersebut setiap saat dapat disiapkan untuk kepentingan produksi antigen dalam jumlah banyak, dibandingkan telur ayam berembrio SPF selain harganya mahal juga tidak selalu siap pada saat diperlukan untuk pengujian karena harus menunggu umur embrio yang tepat saat inokulasi (9-11 hari). Biakan sel dalam bidang virologi, seringkali digunakan untuk perbanyakkan virus, mengetahui kandungan virus dan diagnosa penyakit. Teknik ini menjadi pilihan karena penggunaan telur ayam berembrio masih mengandung bermacam-macam kontaminasi mikroba (Park et al. 2001). Meskipun demikian teknik biakan sel memerlukan ketrampilan khusus dan harus steril (Tobita et al. 1975). Berdasarkan rekomendasi dari ATCC sel MDCK harus dikembangkan dengan menggunakan medium Eagle yang dilengkapi 10% Fetal Calf Serum (FCS). Selain untuk propagasi virus, sel MDCK digunakan pula untuk uji serologik, yaitu untuk mengetahui antibodi terhadap virus AI dengan menggunakan uji serum neutralisasi (SN) (WHO 2002). Uji SN telah banyak digunakan di laboratorium diagnostik baik untuk screening maupun untuk titrasi antibodi, sehingga dapat diketahui keterpaparan hewan oleh virus tersebut. Pemakaian sel MDCK sangat disarankan mengingat peraturan tentang animal welfare yang melarang penggunaan hewan coba apabila penelitian tersebut masih dapat menggunakan sel lestari asal hewan. Titer antibodi adalah pengenceran serum tertinggi yang dapat menetralisasi virus (Maas et al. 2007). Menurut Reina et al. 1997, sel MDCK adalah biakan sel yang paling sensitif (100%) untuk digunakan sebagai pertumbuhan virus AI dibandingkan sel Vero (green

32 monkey continous cell line) (71.4 %) dan sel MRC-S (human lung embryonated cells ) (57.1 %). Biakan sel MDCK baik digunakan untuk diagnosa virus influenza (Clavijo et al. 2002) dan produksi vaksin influenza (Liu et al. 2009). Penggunaan sel MDCK dalam produksi vaksin AI H5N1 inaktif lebih cepat dan hasilnya lebih baik dibandingkan dengan TAB (Hu et al. 2008). Pertumbuhan virus AI H5N1 pada sel MDCK ditandai dengan terbentuknya efek sitopatik (Cytophatogenic Effect/CPE). Pengamatan dilakukan setiap hari hingga hari ke- 7. Efek sitopatik virus AI akan terbentuk dalam waktu 32 jam (Wanasawaeng et al. 2009) sampai 72 jam. Efek sitopatik terlihat pada hari pertama kemudian akan meningkat pada hari ke 3 (Shankar et al. 2009). Perubahan sel diawali dengan degenerasi, sel-sel bentuknya bundar kemudian nekrosa (Shankar et al. 2009; Wanasawaeng et al. 2009). Efek sitopatik isolat AI H5N1 strain Legok (2003) A/Goose/Bojonggenteng/IPB2- RS/2006 terbentuk pada hari ke pertama dan isolat AI H5N1 IPB (2005) terbentuk pada hari ke-2 (Gambar 26). Menurut Shankar et al. (2009), virus AI yang tidak patogen (LPAI) tidak akan memproduksi CPE pada sel MDCK, tetapi virus AI yang ganas (HPAI) akan membentuk CPE pada sel MDCK. Isolat AI H5N1 Legok (2003) termasuk subtipe HPAI H5N1 (Wiyono et al. 2004). Isolat AI H5N1 IPB (2005) termasuk HPAI yang terdaftar dalam bank isolat pathogen FKH IPB. Isolat A/Goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 (H5N1) adalah virus AI subtipe H5N1 yang berhasil diisolasi dari unggas air subklinis dipeternakan skala rumah tangga di Jawa Barat yang secara molekuler, urutan asam aminonya menunjukkan virus HPAI (Susanti et al. 2008). Antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) dari kelinci merupakan antibodi poliklonal yang mengandung antibodi dengan spesifisitas, afinitas dan isotipe yang berbeda. Antibodi poliklonal relatif lebih stabil, sehingga secara keseluruhan aktivitasnya tidak begitu berpengaruh walaupun titernya sedikit menurun. Antibodi poliklonal bereaksi dengan sejumlah antigen determinan yang berbeda pada antigen sehingga rekativitas multipel ini dapat mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang besar maka terjadi presipitasi antigen. Antibodi monoklonal, karena sifatnya yang monospesifik kurang mempresipitasi antigen (Burgess 1995; Paryati et al. 2006). Menurut Lin dan Zhou (1995) antibodi anti-idiotipe yang hanya bereaksi terhadap epitop tunggal agen infeksius

33 mampu memberikan perlindungan protektif terhadap antigen yang memiliki banyak epitop, selain itu antibodi anti-idiotipe juga mampu meniru sifat antigenik sehingga dapat digunakan sebagai imunogen yang dapat menimbulkan respon spesifik terhadap agen infeksius. Antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) mampu menginduksi titer antibodi pada hewan target dan kadarnya masih mampu melindungi terhadap virus AI. Menurut Roitt (2003) senyawa yang bersifat imunogenik apabila mampu merangsang pembentukkan antibodi spesifik yang bersifat protektif terhadap senyawa tersebut dan meningkatkan respon kekebalan selular. Antibodi anti-idiotipe (Ab 2 ) bersifat imunogenik karena mampu merangsang pembentukkan antibodi spesifik yang bersifat protektif terhadap virus AI H5N1. Kemampuan Ab 2 kelinci untuk menginduksi antibodi pada ayam menunjukkan bahwa Ab 2 bersifat internal image dan mampu menembus barrier spesies (Zhou et al. 1990). Anders et al (1989) mengatakan bahwa penggunaan virus influenza sebagai model untuk preparasi antibodi anti-idiotipe merupakan penelitian yang sangat menarik. Antibodi anti-idiotipe digunakan sebagai imunogen atau antigen. Antibodi anti-idiotipe dapat digunakan sebagai vaksin alternatif untuk penyakit yang disebabkan oleh agen infeksius yang ganas, berbahaya dan sulit dibiakkan juga tidak mengandung resiko adanya agen infeksius yang dapat menimbulkan penyakit pada hewan yang divaksinasi (Lin & Zhou 1995). Penggunaan antibodi anti-idiotipe sebagai vaksin dapat dipertimbangkan, walaupun titer antibodi yang terbentuk lebih rendah bila dibandingkan dengan vaksin virus AI. Perbedaan titer antibodi tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan imunogen, misalnya derajat keasingan. Sistem imun dari suatu individu akan lebih cepat terbentuk terhadap antigen atau virus dibandingkan dengan antibodi anti-idiotipe, karena antibodi merupakan komponen tubuh normal pada suatu individu. Produksi vaksin pada vaksin komersil umumnya diberikan bahan lain sebagai tambahan atau pengawet. Bahan-bahan tambahan yang terdapat di dalam vaksin seperti benzetonium khlorida, etilen glicol, glutamat, neomycin, fenol, streptomycin, atau thimerosal. Bahan-bahan tersebut dapat membuat vaksin lebih awet, stabil pada panas, cahaya, dan kondisi lingkungan lainnya.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI kol FKH IPB tahun 3 6 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel ). Uji HA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Serum Kuda Anti Rabies Serum kuda anti rabies berbentuk cairan tak berwarna dalam kemasan utuh dengan nomor bacth RSM 013, diproduksi tanggal 18 Maret 2003. Waktu

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit Microgen TM GN-ID Identification dapat dilihat

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi IgY Anti Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Antibodi spesifik terhadap S. Enteritidis pada serum ayam dan telur dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi

Lebih terperinci

Preparasi Imunoglobulin G Kelinci sebagai Antigen Penginduksi Antibodi Spesifik Terhadap Virus Avian Influenza H5N1 Strain Legok

Preparasi Imunoglobulin G Kelinci sebagai Antigen Penginduksi Antibodi Spesifik Terhadap Virus Avian Influenza H5N1 Strain Legok Jurnal Veteriner Juni 2010 Vol. 11 No. 2 : 99-106 ISSN : 1411-8327 Preparasi Imunoglobulin G Kelinci sebagai Antigen Penginduksi Antibodi Spesifik Terhadap Virus Avian Influenza H5N1 Strain Legok (THE

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

PREPARASI KANDIDAT VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 MENGGUNAKAN PRINSIP ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH

PREPARASI KANDIDAT VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 MENGGUNAKAN PRINSIP ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH PREPARASI KANDIDAT VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 MENGGUNAKAN PRINSIP ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 16 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mempelajari karakter protein IgG dari kolostrum sapi yang divaksin dengan vaksin AI H5N1. Standar yang digunakan sebagai pembanding pada penghitungan ukuran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Ayam yang diimunisasi dengan antigen spesifik akan memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut dalam jumlah banyak dan akan ditransfer ke kuning telur (Putranto 2006).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini jenis sampel diambil berupa serum dan usap kloaka yang diperoleh dari unggas air yang belum pernah mendapat vaksinasi AI dan dipelihara bersama dengan unggas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi immunoglobulin Y (IgY) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 9,57 mg/ml dan immunoglobulin G (IgG) adalah 3,75 mg/ml. Pada penelitian ini, antibodi yang dilapiskan

Lebih terperinci

PRODUKSI TELUR AYAM RAS MENGANDUNG ANTIBODI (IMUNOGLOBULIN Y ) ANTI PROTEASE Eschericia coli. Oleh: Wendry Setiyadi Putranto

PRODUKSI TELUR AYAM RAS MENGANDUNG ANTIBODI (IMUNOGLOBULIN Y ) ANTI PROTEASE Eschericia coli. Oleh: Wendry Setiyadi Putranto PRODUKSI TELUR AYAM RAS MENGANDUNG ANTIBODI (IMUNOGLOBULIN Y ) ANTI PROTEASE Eschericia coli Oleh: Wendry Setiyadi Putranto FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2006 Abstrak Telur ayam ras

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT... Error! Bookmark not defined. UCAPAN TERIMA KASIH... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 21 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai Maret sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Mikrobiologi Medis, laboratorium Terpadu unit pelayanan mikrobiologi

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN STANDARISASI ANTIGEN AI H5N1 KOMERSIAL UNTUK MONITORING TITER ANTIBODI HASIL VAKSINASI AI DI INDUSTRI PETERNAKAN AYAM

PEMBUATAN DAN STANDARISASI ANTIGEN AI H5N1 KOMERSIAL UNTUK MONITORING TITER ANTIBODI HASIL VAKSINASI AI DI INDUSTRI PETERNAKAN AYAM Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2012, hlm. 41-47 ISSN 0853 4217 Vol. 17 No.1 PEMBUATAN DAN STANDARISASI ANTIGEN AI H5N1 KOMERSIAL UNTUK MONITORING TITER ANTIBODI HASIL VAKSINASI AI DI INDUSTRI PETERNAKAN

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara

Lebih terperinci

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt.

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt. SISTEM IMUN SPESIFIK Lisa Andina, S.Farm, Apt. PENDAHULUAN Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon

Lebih terperinci

ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE SEBAGAI KANDIDAT VAKSIN RABIES SAYU PUTU YUNI PARYATI

ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE SEBAGAI KANDIDAT VAKSIN RABIES SAYU PUTU YUNI PARYATI ANTIBODI ANTI-IDIOTIPE SEBAGAI KANDIDAT VAKSIN RABIES SAYU PUTU YUNI PARYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia memegang peran penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dibudidayakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peternakan Ayam Broiler Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut :

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut : 25 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep berikut : Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai Manajemen Unggas di TPnA - Keberadaan SKKH - Pemeriksaan - Petugas Pemeriksa - Cara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2013 sampai dengan April 2014. Sampel diambil dari itik dan ayam dari tempat penampungan unggas, pasar unggas dan peternakan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Pendahuluan Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroba

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mayarakat secara umum harus lebih memberi perhatian dalam pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan disekitar kita banyak mengandung agen infeksius maupun non infeksius yang dapat memberikan paparan pada tubuh manusia. Setiap orang dihadapkan pada berbagai

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4 LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PERCOBAAN KE 2 PEMISAHAN PROTEIN PUTIH TELUR DENGAN FRAKSINASI (NH 4 ) 2 SO 4 Disusun oleh : Ulan Darulan - 10511046 Kelompok 1 Asisten Praktikum : R. Roro Rika Damayanti (10510065)

Lebih terperinci

I. Tujuan Menentukan berat molekul protein dengan fraksinasi (NH 4 ) 2 SO 4 Teori Dasar

I. Tujuan Menentukan berat molekul protein dengan fraksinasi (NH 4 ) 2 SO 4 Teori Dasar I. Tujuan II. Menentukan berat molekul protein dengan fraksinasi (NH 4 ) 2 SO 4 Teori Dasar Penamabahan garam pada konsentrasi rendah dapat meningkatkan kelarutan protein (salting in). tetapi protein akan

Lebih terperinci

Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor )

Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor ) Ir. Lilik Koesmihartono Putra, M.AgSt (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia) Tahun-3 1. Konstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Avian influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong virus RNA (Ribonucleic acid)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ayam peliharaan merupakan hasil domestikasi dari ayam hutan yang ditangkap dan

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam berdarah adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Infeksi dengan satu atau lebih virus

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tahun 1972 telah berkembang usaha rekayasa genetika yang memberikan harapan bagi industri peternakan, baik yang berkaitan dengan masalah reproduksi, pakan maupun kesehatan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. Pemeliharaan ayam penelitian, aplikasi ekstrak temulawak dan vaksinasi AI dilakukan di kandang

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL

TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM MIKROBIAL Ani Suryani FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENDAHULUAN Sumber Enzim Tanaman dan Hewan Mikroba Enzim dari Tanaman Enzim dari Hewan Enzim dari Mikroba

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti virus dan bakteri sangat perlu mendapat perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya peningkatan sistem kekebalan tubuh terhadap serangan berbagai virus atau antigen spesifik lainnya dewasa ini sangat perlu mendapat perhatian serius.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Avian Influenza

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Avian Influenza 4 TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Avian Influenza Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, merupakan genom RNA rantai tunggal dengan 8 segmen, serta berpolaritas negatif.

Lebih terperinci

Vaksinasi adalah imunisasi aktif secara buatan, yaitu sengaja memberikan

Vaksinasi adalah imunisasi aktif secara buatan, yaitu sengaja memberikan Vaksinasi adalah imunisasi aktif secara buatan, yaitu sengaja memberikan antigen yang diperoleh dari agen menular pada ternak sehingga tanggap kebal dapat ditingkatkan dan tercapai resistensi terhadap

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2011 hingga Januari 2012. Pemeliharaan ayam, vaksinasi dan pelaksanaan uji tantang serta pengamatan gejala klinis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tetelo yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Tetelo yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Newcastle Disease (ND) disebut juga dengan penyakit Tetelo yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ini ditemukan hampir diseluruh

Lebih terperinci

APLIKASI BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG FARMASI APLIKASI BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG FARMASI

APLIKASI BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG FARMASI APLIKASI BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG FARMASI APLIKASI BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG FARMASI APLIKASI BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG FARMASI Aplikasi Bioteknologi mampu meningkatkan kualitas suatu organisme dengan memodifikasi fungsi biologis suatu organisme

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM SEROLOGI IMUNOLOGI IMUNODIFUSI GANDA

LAPORAN PRAKTIKUM SEROLOGI IMUNOLOGI IMUNODIFUSI GANDA LAPORAN PRAKTIKUM SEROLOGI IMUNOLOGI IMUNODIFUSI GANDA DI SUSUN OLEH : Maulina (0801027) Kelompok III` Tanggal praktikum: 22 Desember 2011 Dosen: Adriani Susanty, M.Farm., Apt Asisten: Gusti Wahyu Ramadhani

Lebih terperinci

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK 3821 Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2003 Nama Mata Kuliah : Imunologi Kode /

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya, berada dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertutup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya, berada dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertutup BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Umum Darah Darah adalah jaringan tubuh yang berbeda dengan jaringan tubuh lainnya, berada dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertutup yang dinamakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu telah dikonsumsi sejak zaman dahulu menjadi bahan pangan sumber protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000) 4 TINJAUAN PUSTAKA Tomato infectious chlorosis virus Tomato infectious chlorosis virus (TICV) diklasifikasikan dalam famili Closteroviridae yang terdiri dari 2 genus yaitu Closterovirus dan Crinivirus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dapat disebabkan oleh kausa infeksius, non-infeksius dan nutrisional (Ali dkk.,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dapat disebabkan oleh kausa infeksius, non-infeksius dan nutrisional (Ali dkk., PENDAHULUAN Latar Belakang Tortikolis adalah gejala yang umum terlihat di berbagai jenis unggas yang dapat disebabkan oleh kausa infeksius, non-infeksius dan nutrisional (Ali dkk., 2014). Menurut Capua

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Karakteristik morfologi L. plantarum yang telah didapat adalah positif, berbentuk batang tunggal dan koloni berantai pendek. Karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rabies merupakan penyakit zoonosis yang mematikan dan tersebar di seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan 70.000 orang meninggal setiap tahun karena

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi Respon imun akan terjadi dalam tubuh hewan yang terpapar oleh suatu antigen. Respon humoral tubuh yang terinfeksi akan menghasilkan antibodi. Antibodi merupakan suatu molekul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam subfamily Paramyxovirinae, family Paramyxoviridae (OIE, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam subfamily Paramyxovirinae, family Paramyxoviridae (OIE, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Newcastle Disease (ND) atau penyakit tetelo disebabkan oleh strain virulen avian Paramyxovirus serotipe tipe 1 (AMPV-1) dari genus Avulavirus yang termasuk dalam subfamily

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Avian Influenza-zoonosis Research

Lebih terperinci

MANIPULASI RESPONS IMUN DEBBIE S. RETNONINGRUM SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

MANIPULASI RESPONS IMUN DEBBIE S. RETNONINGRUM SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG MANIPULASI RESPONS IMUN DEBBIE S. RETNONINGRUM SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG JENIS PATOGEN KELAS MHC JENIS SEL T - EFEK Figure 5-2 Figure 8-27 Peran Th17 dalam sistem imun Interaksi patogen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. darah yang hilang akibat perdarahan, luka bakar, mengatasi shock dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. darah yang hilang akibat perdarahan, luka bakar, mengatasi shock dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Transfusi darah Transfusi darah adalah proses pemindahan atau pemberian darah dari seseorang (donor) kepada orang lain (resipien). Transfusi bertujuan mengganti darah yang hilang

Lebih terperinci

Respon imun adaptif : Respon humoral

Respon imun adaptif : Respon humoral Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara

Lebih terperinci

Dari uji kompetisi, persentase penghambatan dengan rasio inokulum 1:1 sudah cukup bagi Bacillus sp. Lts 40 untuk menghambat pertumbuhan V.

Dari uji kompetisi, persentase penghambatan dengan rasio inokulum 1:1 sudah cukup bagi Bacillus sp. Lts 40 untuk menghambat pertumbuhan V. 27 PEMBAHASAN Dari tiga isolat sp. penghasil antimikrob yang diseleksi, isolat sp. Lts 40 memiliki aktivitas penghambatan paling besar terhadap E. coli dan V. harveyi dengan indeks penghambatan masing-masing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

Cell Line Monolayer Tissue Culture FKDL Dan Cell Line OL

Cell Line Monolayer Tissue Culture FKDL Dan Cell Line OL Cell Line Monolayer Tissue Culture FKDL Dan Cell Line OL Sebagai Media Penumbuh Virus pada Pengembangan Bioteknologi Biomolekuler (Penelitian Eksperimental Laboratoris) Hasdianah STIKes Surya Mitra Husada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit ikan merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi dalam usaha

I. PENDAHULUAN. Penyakit ikan merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi dalam usaha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ikan merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi dalam usaha budidaya ikan. Akibat yang ditimbulkan biasanya tidak sedikit antara lain dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya, masyarakat hanya mengetahui bahwa telur ayam merupakan sumber protein hewani pelengkap gizi pada makanan, dan sebagian menggunakannya sebagai

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Identifikasi Morfologi dan Molekuler Larva Tiga (L3) Gnathostoma spinigerum Lebih dari 1000 kista diisolasi dari 985 sampel ikan belut rawa (Monopterus alba)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza Avian influenza (AI) merupakan virus yang termasuk ke dalam famili Orthomyxoviridae, memiliki amplop (envelope), bersegmen dan memilki negative single strange

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan komoditas perikanan yang sangat

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan komoditas perikanan yang sangat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan komoditas perikanan yang sangat populer dan termasuk jenis ikan konsumsi yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia karena mudah

Lebih terperinci

Pengenalan antigen :

Pengenalan antigen : Pengenalan antigen : Immunoglobulin & Reseptor Sel T 1 Immunoglobulin Merupakan molekul glikoprotein terdapat pada serum dan carian tubuh semua hewan mamalia Sebagian berikatan dengan sel B, yang lain

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMAKASIH... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

Waktu Vaksinasi Avian Influenza (AI) yang Tepat untuk Menghasilkan Respon Imunologis Protektif pada Ayam Ras Pedaging

Waktu Vaksinasi Avian Influenza (AI) yang Tepat untuk Menghasilkan Respon Imunologis Protektif pada Ayam Ras Pedaging Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (3): 150-155 ISSN 1410-5020 Waktu Vaksinasi Avian Influenza (AI) yang Tepat untuk Menghasilkan Respon Imunologis Protektif pada Ayam Ras Pedaging The Best Timing

Lebih terperinci

MATURASI SEL LIMFOSIT

MATURASI SEL LIMFOSIT BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Taksonomi Fasciola gigantica Morfologi dan Siklus Hidup

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Taksonomi Fasciola gigantica Morfologi dan Siklus Hidup TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Taksonomi Fasciola gigantica Fasciola spp yang lebih dikenal dengan nama cacing hati merupakan trematoda paling penting sebagai penyebab kerugian ekonomi pada ternak ruminansia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pada unggas yang sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci