MEMPELAJARI PENGARUH PRE-CONDITIONER, KECEPATAN ULIR DAN SUBSTITUSI GANDUM UTUH TERHADAP EKSTRUSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEMPELAJARI PENGARUH PRE-CONDITIONER, KECEPATAN ULIR DAN SUBSTITUSI GANDUM UTUH TERHADAP EKSTRUSI"

Transkripsi

1 MEMPELAJARI PENGARUH PRE-CONDITIONER, KECEPATAN ULIR DAN SUBSTITUSI GANDUM UTUH TERHADAP EKSTRUSI SKRIPSI GILANG F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 LEARNING THE INFLUENCES OF PRE-CONDITIONER, SCREW SPEED, AND WHOLE WHEAT SUBSTITUTION ON EXTRUSION Gilang and Dedi Fardiaz Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone , ABSTRACT Extrusion cooking is the process of forcing a material to flow under a variety of conditions through a shaped hole (die) at a predetermined rate to achieve various resulting products. This research was done to learn the influences of preconditioner, screw speed, and whole substitusion in extrusion process.several extrusion treatments were studied, as follows: pre-conditioner treatment, proportion (0 %, 5 %, and 10 %), and screw speed (350, 360, and 370 ). Pre-conditioner, proportion, and screw speed found to affect the product in different ways. Pre-conditioning treatment increases the product s moisture, gelatinisation degree, WSI (Water Solubility Index), WAI (Water Absorbtion Index), hardness and product s length but it decreases the product s bulk density. The higher proportion between 0 % to 10 % increases gelatinisation degree, WSI, hardness, and bulk density. On the other hand, increasing of screw speed around 350 to 370 will increases gelatinisation degree, WSI, product s length, hardness, but decreases product s expansion degree. Keyword: extrusion, pre-conditioner, screw speed, whole

3 Gilang. F Mempelajari Pengaruh Pre-conditioner, Kecepatan Ulir, dan Substitusi Gandum Utuh Terhadap Ekstrusi. Di bawah bimbingan Dedi Fardiaz RINGKASAN Ekstrusi adalah suatu proses pengolahan yang meliputi pencampuran, penggilingan, pemasakkan, pendinginan, pengeringan, dan pencetakkan. Dasar dari proses ekstrusi memberikan dorongan pada bahan baku untuk mengalir dengan kondisi tertentu untuk melalui suatu lubang (die). Karakteristik produk ekstrusi yang dihasilkan dipengaruhi beberapa hal seperti karakteristik bahan baku dan pengaturan ekstruder selama proses berlangsung. Karakteristik bahan dapat dikontrol dengan membuat formulasi yang tepat dan menggunakan pre-conditioner sedangkan pengaturan ekstruder meliputi kontrol suhu dan kecepatan ulir. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pre-conditioner, kecepatan ulir ekstruder dan tingkat substitusi gandum utuh pada karakteristik akhir produk ekstrusi. Penelitian ini dilakukan dengan menentukan karakteristik produk akhir yang dihasilkan pada berbagai perlakuan yang berbeda. Perlakuan-perlakuan yang dikontrol dalam penelitian ini meliputi perlakuan pre-conditioning, tingkat substitusi gandum (0 %, 5 %, dan 10 %), dan kecepatan ulir (350, 360, dan 370 ). Analisis yang dilakukan terhadap produk akhir ekstrusi adalah analisis kadar air, derajat gelatinisasi, WSI (Water Solubility Index), WAI (Water Absorbtion Index), bulk density, derajat pengembangan, panjang produk, dan analisis tekstur. Berdasarkan hasil analisis kadar air produk berkisar antara 3,88 % hingga 3,89 %. Berdasarkan hasil analisis, nilai derajat gelatinisasi dari ekstrudat yang dihasilkan adalah 9,68 % sampai 15,47 %. Hasil analisis menunjukkan nilai WSI berkisar antara 5,1 mg/ml hingga 9,5 mg/ml. Hasil analisis menunjukkan nilai WAI berkisar antara 4,86 mg/ml hingga 5,45 mg/ml. Hasil analisis menunjukkan bahwa bulk density berkisar antara 0,08 g/ml hingga 0,10 g/ml. Derajat pengembangan yang didapat pada kali ini berkisar antara 386,4 % hingga 423,07 %. Nilai yang didapat pada analisa tekstur kali ini berkisar antara 19,43 kg force hingga kg force. Berdasarkan uji ANOVA pada taraf signifikansi 5 % diketahui bahwa perlakuan preconditioning memberikan pengaruh pada kadar air, derajat gelatinisasi, WSI, WAI, bulkdensity, panjang, dan tekstur produk. Perlakuan pre-conditioning dalam penelitian ini akan meningkatkan kadar air produk, derajat gelatinisasi produk, WSI, WAI, dan panjang produk, serta menurunkan bulk density produk. Kecepatan ulir memberikan pengaruh pada tingkat derajat gelatinisasi, WSI, derajat pengembangan, panjang dan tekstur produk. Kecepatan ulir yang lebih tinggi dalam penelitian ini meningkatkan derajat gelatinisasi, WSI, panjang, dan kekerasan produk namun menurunkan derajat pengembangan produk. Tingkat substitusi gandum memberikan pengaruh pada derajat gelatinisasi, WSI, bulk density dan tekstur produk. Tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi dalam penelitian ini meningkatkan derajat gelatinisasi, WSI, kekerasan dan bulk density. Uji korelasi menunjukkan bahwa tingkat substitusi gandum memiliki nilai korelasi paling tinggi dalam menentukan tingkat derajat gelatinisasi, dan bulk density produk. Perlakuan preconditioning memiliki nilai korelasi paling tinggi dalam menentukan kadar air, WSI, dan WAI. Kecepatan ulir memiliki nilai korelasi paling tinggi dalam menentukan derajat pengembangan, panjang produk, dan tingkat kekerasan produk.

4 MEMPELAJARI PENGARUH PRE-CONDITIONER, KECEPATAN ULIR DAN SUBSTITUSI GANDUM UTUH TERHADAP EKSTRUSI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh GILANG F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

5 Judul Skripsi Nama NIM : Mempelajari Pengaruh Pre-conditioner, Kecepatan Ulir, dan Substitusi Gandum Utuh Terhadap Ekstrusi : GILANG : F Menyetujui, Dosen Pembimbing I, Pembimbing Lapang, (Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, MSc) (Iwan Surjawan, Ph.D) NIP Mengetahui : Ketua Departemen, (Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP Tanggal sidang : 10 Agustus 2012

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Mempelajari Pengaruh Pre-conditioner, Kecepatan Ulir, dan Substitusi Gandum Utuh Terhadap Ekstrusi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 2012 Yang memebuat pernyataan Gilang F

7 Hak cipta milik Gilang, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,mikrofilm, dan sebagainya

8 BIODATA RINGKAS Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 November 1990 dari pasangan Djoko Sutanto Hartawan dan Rose Hermiati Soedali. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2002 di SD Santa Maria Fatima Jakarta. Selanjutya penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Kristen 5 Jakarta hinga tahun 2005 dan menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Kristen 3 Jakarta pada tahun Selama masa sekolah penulis memiliki beberapa prestasi di antaranya adalah medali perak olimpiade matematika pada Olimpiade Sains Nasional Setelah tamat pendidikan menengah atas, penulis diterima sebagai mahasiswa departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif sebagai pengurus Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) periode tahun dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) periode tahun 2010 dan Di dalam kepengurusan KMB, penulis menduduki jabatan ketua divisi pelayanan masyarakat sedangkan di dalam pengurusan Himitepa, penulis menduduki jabatan sebagai anggota. Penulis juga aktif dalam kepanitian Himitepa, yaitu sebagai anggota divisi Konsumsi Seminar dan Training HACCP VIII Himitepa IPB. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian di PT GarudaFood Putra Putri Jaya dengan judul Mempelajari Pengaruh Pre-conditioner, Kecepatan Ulir, dan Substitusi Gandum Utuh Terhadap Ekstrusi di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, M.Sc.

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Tuhan dan karunia-nya sehinga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Mempelajari Pengaruh Pre-conditioner, Kecepatan Ulir, dan Substitusi Gandum Utuh Terhadap Ekstrusi dilaksanakan di PT GarudaFood Putra Putri Jaya sejak bulan Februari hingga Juni Skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan, dukungan, dan doa berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, M.Sc sebagai dosen pembimbing utama (pembimbing akademik) yang telah membimbing dan memberikan arahan serta motivasi. 2. Iwan Surjawan, Ph.D atas bimbingan, saran, dan batuannya selama rangkaian kegiatan penyelesaian tugas akhir selaku pembimbing di tempat magang. 3. Ir. Subarna, MSi yang bersedia menjadi dosen penguji ke dua dan memberikan saran selama sidang berlangsung. 4. Orang tua dan adik-adik saya yang selalu memberi semangat dan menghibur saya. 5. Dosen-dosen departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas ilmu yang telah diberikan. 6. PT Garudafood Putra Putri Jaya atas kesempatan magang yang telah diberikan. 7. Pak Teguh dan Mas Ade yang memberikan bantuan penuh selama trial di pilot plan Gunung Putri. 8. Mbak Ochid, Mbak Wati, Mbak Teti, Ranto dan Pak Dian, teman-teman di ITD yang selalu memberikan ide dan memberikan motivasi di HO GarudaFood. 9. Mbak Tri, Asof, Hendi, Mbak Ita, Mbak Rossa, Sari, dan Mbak Della yang memberikan arahan selama saya di laboratorium. 10. Utie, Enie, Anita dan teman-teman divisi RnD atas candanya. 11. Teman-teman ITP 45 yang telah berjuang bersama selama 3 tahun di IPB. Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan. Terima kasih. Bogor, 10 Agustus 2012 Gilang iii

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 2 II. PROFIL PERUSAHAAN... 3 III. TINJAUAN PUSTAKA Ekstrusi Ekstruder Ulir Tunggal Pre-conditioning Kecepatan Ulir Gandum... 6 IV. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Metode Penelitian Tahapan Produksi Ekstrudat Analisis Fisik dan Kimia V. HASIL DAN PEMBAHASAN Air Derajat Gelatinisasi Water Solubility Index (WSI) Water Absorption Index (WAI) Bulk Density Derajat Pengembangan dan Panjang Analisa Tekstur VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran Daftar Pustaka LAMPIRAN iv

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perbandingan jagung dan gandum utuh... 6 Tabel 2. Formulasi adonan... 7 Tabel 3. Pengaturan ekstruder... 8 Tabel 4. Rancangan Percobaan Ekstrusi... 9 Tabel 5. Setting Texture Analyzer untuk Kekerasan Produk..10 Tabel 6. Data analisis kadar air.. 30 Tabel 7. Data analisis derajat gelatinisasi.. 31 Tabel 8. Data analisis Water Solubility Index (WSI). 32 Tabel 9. Data analisis Water Absorption Index (WAI).. 33 Tabel 10. Data analisis bulk density Tabel 11. Data analisis derajat pengembangan dan panjang. 35 Tabel 12. Data analisis tekstur v

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram alir proses preconditioning 8 Gambar 2. Diagram alir proses ekstrusi. 9 Gambar 3. Grafik hubungan antara derajat gelatinisasi dan perlakuan pre-conditioning.. 13 Gambar 4. Grafik hubungan antara derajat gelatinisasi dan kecepatan ulir Gambar 5. Grafik hubungan antara derajat gelatinisasi dengan kadar gandum 14 Gambar 6. Grafik hubungan antara WSI dan perlakuan pre-conditioning Gambar 7. Grafik hubungan antara WSI dan kecepatan ulir Gambar 8. Grafik hubungan antara WSI dan kadar gandum Gambar 9. Grafik hubungan antara WAI dan perlakuan pre-conditioning Gambar 10. Grafik hubungan antara bulk density dengan perlakuan pre-conditioning Gambar 11. Grafik hubungan antara bulk density dengan kadar gandum Gambar 12. Grafik hubungan derajat pengembangan dan kecepatan ulir Gambar 13. Grafik hubungan panjang produk dengan kecepatan ulir Gambar 14. Grafik hubungan antara panjang produk dan perlakuan pre-conditioning Gambar 15. Grafik hubungan antara tingkat kekerasan dengan perlakuan pre-conditioning 22 Gambar 16. Grafik hubungan antara tingkat kekerasan dengan kecepatan ulir. 23 Gambar 17. Grafik hubungan antara tingkat kekerasan dengan kadar gandum 24 Gambar 18. Produk berdasarkan kode Gambar 19. Foto produk berdasarkan perlakuan pre-conditioning dan kadar gandum utuh. 29 Gambar 20. Foto produk berdasarkan kecepatan ulir vi

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Foto setiap produk hasil ekstrusi Lampiran 2. Foto produk hasil ekstrusi Lampiran 3. Hasil analisis kadar air Lampiran 4. Hasil analisis derajat gelatinisasi Lampiran 5. Hasil analisis Water Solubility Index (WSI) Lampiran 6. Hasil analisis Water Absorption Index (WAI) Lampiran 7. Hasil analisis bulk density Lampiran 8. Hasil analisis derajat pengembangan dan panjang Lampiran 9. Hasil analisis tekstur (kekerasan) Lampiran 10. Analisis pengaruh pre-conditioning, tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir terhadap kadar air Lampiran 11a. Analisis pengaruh pre-conditioning, tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir terhadap derajat gelatinisasi Lampiran 11b. Uji lanjut Duncan untuk derajat gelatinisasi Lampiran 12a. Analisis pengaruh pre-conditioning, tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir terhadap WSI Lampiran 12b. Uji lanjut Duncan untuk WSI Lampiran 13. Analisis pengaruh pre-conditioning, tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir terhadap WAI Lampiran 14a. Analisis pengaruh pre-conditioning, tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir terhadap bulk density Lampiran 14b. Uji lanjut Duncan untuk bulk density Lampiran 15a. Analisis pengaruh pre-conditioning, tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir terhadap derajat pengembangan Lampiran 15b. Uji lanjut Duncan untuk derajat pengembangan Lampiran 16a. Analisis pengaruh pre-conditioning, tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir terhadap panjang produk Lampiran 16b. Uji lanjut Duncan untuk panjang produk Lampiran 17a. Analisis pengaruh pre-conditioning, tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir terhadap tekstur Lampiran 17b. Uji lanjut Duncan untuk tekstur Lampiran 18. Uji korelasi vii

14 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa dekade ini telah diperkenalkan berbagai produk pangan yang tergolong dalam kategori makanan ringan. Perkembangan makanan ringan sangat pesat di mana survey CIC tahun 2005 yang menyebutkan bahwa market size pada tahun 2004 snack modern mencapai 59.5 ribu ton atau naik dari tahun 2003 sebesar 53.6 ribu ton (Hidayat 2006). Banyak industri mencoba masuk ke pasar makanan ringan dan menciptakan banyak brand produk baru. Hal ini mendorong setiap produsen makanan ringan untuk berkompetisi dalam menjaga kualitas makanan ringan yang mereka buat dengan terus melakukan inovasi. Makanan ringan yang beredar di pasaran diproduksi dengan berbagai jenis metode. Salah satu metode yang banyak digunakan adalah ekstrusi. Ekstrusi adalah teknologi yang memiliki peranan besar dalam terciptanya makanan ringan generasi ke-2 dan ke-3. Pemasakkan dengan metode ekstrusi telah dipelajari lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Di dalam proses ekstrusi terdapat serangkaian proses pengolahan meliputi pencampuran, penggilingan, pemasakkan, pendinginan, pengeringan, dan pencetakkan. Beberapa proses yang dapat disatukan dalam satu proses substitusi mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari proses produksi tersebut baik pada segi tenaga kerja maupun energi yang dibutuhkan. Hal inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa teknologi ekstrusi mulai banyak diaplikasikan secara luas dalam industri pangan. Dalam pemasakkan dengan metode ekstrusi ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Salah satu dari parameter tersebut adalah campuran bahan baku. Campuran bahan baku yang akan diproses dalam ekstruder harus memenuhi beberapa standar yang harus dijaga meliputi standar fisik (kadar air, keseragaman dan ukuran partikel, serta suhu) dan kimia (komposisi campuran, kadar pati, protein, lemak dan serat). Tidak semua bahan baku di dalam adonan memenuhi standar yang harus dijaga, oleh karena itu dibuat suatu alat yang disebut pre-conditioner. Pre-conditioning adalah proses menyiapkan adonan sehingga siap diekstrusi. Pre-conditioning secara umum akan menentukan karakteristik produk akhir sehingga proses pre-conditioning ini harus dikontrol sebaik-baiknya. Selain dari campuran bahan baku, parameter proses ekstrusi juga merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Setiap perbedaan suhu ekstrusi, kecepatan ekstrusi, dan laju masuknya bahan ke dalam ekstruder akan memberikan perbedaan karakteristik produk yang dihasilkan. Produk ekstrusi yang berbahan dasar jagung sudah banyak diterima secara umum, namun nilai nutrisinya jauh dari memuaskan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan konsumen. Penelitian untuk mensubstitusi jagung dengan bahan lain seperti whole grain dan polong-polongan menunjukkan hasil positif sebagai produk yang kaya protein dan serat (Berrios 2006). Di sisi lain, penambahan substitusi whole grain dan polong-polongan mempengaruhi tekstur, pengembangan, serta penerimaan produk oleh konsumen (Liu et al. 2000). Hal ini disebabkan setiap bahan baku yang berbeda memiliki perilaku yang berbeda selama proses ekstrusi berlangsung. Data-data mengenai karakteristik setiap bahan baku untuk proses ekstrusi menjadi hal diperhatikan selama proses ekstrusi. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mendapatkan produk ekstrusi dengan karakteristik yang lebih baik dari bahan baku berupa whole grain. Secara khusus penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pre-conditioning, kecepatan ulir ekstruder dan tingkat substitusi gandum utuh pada karakteristik akhir produk ekstrusi.

15 1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna dalam memperbaiki karakteristik produk ekstrusi yang diproduksi di industri pangan. Informasi yang ada dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang aplikasi dan fungsi preconditioner dan produk ekstrusi berbahan dasar whole grain. 2

16 II. PROFIL PERUSAHAAN Garuda Food Group berawal dari PT. Tudung, didirikan di Pati, Jawa Tengah pada tahun 1958 dan bergerak di bisnis tepung tapioka. Pada tahun 1979 PT. Tudung berubah nama menjadi PT. Tudung Putra Jaya (TPJ). Pendiri perusahaan adalah mendiang Bapak Darmo Putra dan Ibu Poesponingrum, mantan pejuang yang memilih menekuni dunia usaha setelah bangsa Indonesia merdeka. Garuda Food adalah perusahaan makanan dan minuman di bawah kelompok usaha Tudung (Tudung Group). Selain Garuda Food, Tudung Group juga menaungi SNS Group (PT. Sinar Niaga Sejahtera) bergerak di bisnis distribusi logistik, PT. Bumi Mekar Tani (BMT) fokus di bidang plantationas, PT. Nirmala Tirta Agung (NTA) bisnis air minum dalam kemasan kaleng bermerek Prestine, dan Global Solution Institute (GSI) bergerak di bidang pelayanan jasa pelatihan, seminar, event organizer, dan konsultasi manajemen. Saat ini Garudafood memiliki 11 buah pabrik yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Pabrik-pabri tersebut yaitu di Gresik (biskuit), Bogor (jelly drink), dua pabrik di Pati (kacang), Lampung, Rancaekek, Tangerang, Sidoarjo, Makasar, Pekanbaru, dan Sukabumi. Jumlah karyawan yang dimiliki Garudafood berkisar orang dan total kapasitas produksi sekitar ton. 3

17 III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Ekstrusi Ekstrusi adalah proses pemasakan dengan cara memberikan dorongan positif pada bahan baku untuk mengalir dengan kondisi tertentu untuk melalui suatu lubang (die) yang memiliki bentuk tertentu (Gray & Chinnaswamy 1995). Teknologi ini merupakan hasil pengembangan aplikasi teknologi pengolahan/pencetakan metal alumunium, yang kemudian berkembang ke teknologi pengolahan plastik dan polimer sejenisnya, sampai akhirnya diterapkan untuk pengolahan hasil pakan, ekstrusi minyak dan pengolahan pangan modern seperti produk-produk serealia sarapan, makanan ringan serta banyak ragam produk konfeksioneri atau makanan pabrikasi lainnya (Muchtadi 1988). Perkembangannya yang sangat pesat membuat teknologi ini disebut sebagai teknologi yang sangat sangat dikenal. Ekstrusi banyak dikembangkan karena mengingat banyaknya keuntungan yang diberikan. Ekstrusi memiliki kemampuan untuk mengolah bahan dengan cepat, penghematan energi yang luar biasa dan sedikit tenaga kerja dibutuhkan. Ekstrusi juga menawarkan produk yang sangat seragam, peralatannya sangat mudah dioperasikan dan dibersihkan dan kapasitasnya besar. Produk akhirnya juga praktis dan memiliki kandungan mikroba yang sangat rendah karena mati selama produksi. Proses ekstrusi memiliki pengaruh yang nyata terhadap komponen-komponen pangan. Pati mengalami gelatinisasi dalam proses ekstrusi akibat adanya suhu dan kelembaban yang cukup. Pati yang tergelatinisasi mudah dirusak oleh suhu, tekanan, dan gesekkan sehingga menghasilkan kondisi yang berrongga. Karakteristik pati yang berbeda menghasilkan produk yang berbeda. amilosa dan amilopektin misalnya akan mempengaruhi sifat-sifat fisik produk ekstrusi. Pati dengan amilosa yang tinggi akan menghasilkan produk yang tidak mengembang namun memiliki dinding sel yang lebih tebal (lebih keras) sedangkan pati dengan amilopektin yang tinggi akan menghasilkan produk yang mengembang namun rapuh (Muchtadi et al. 1988). Pati dengan kadar amilosa lebih banyak lebih mudah diberi perisa dan cocok sebagai produk pendamping susu karena mampu mempertahankan kerenyahannya di dalam susu. Protein selama proses ekstrusi akan mengalami denaturasi dan kehilangan kelarutannya. Protein dalam proses ekstrusi hancur dan bercampur dengan pati terutama amilopektin. Keberadaan protein ini mencegah rusaknya amilopektin dengan membentuk ikatan kovalen dengan amilopektin dan dapat meningkatkan derajat pengembangan (Gimeno et al. 2004). Lemak dalam proses ekstrusi kurang diperhatikan karena bahan baku yang biasa digunakan tidak banyak mengandung lemak. Secara umum penggunaan lemak dapat mengurangi gesekkan pada barrel sehingga menghemat energi dan menjaga komponen lain agar lebih stabil. Walau demikian lemak dalam proses ekstrusi dapat mengurangi derajat pengembangan produk (Faubion et al., 1982). Untuk vitamin sendiri dipastikan mengalami penurunan dalam proses ekstrusi terutama vitamin B dan vitamin C. 3.2 Ekstruder Ulir Tunggal Ekstruder adalah alat yang memiliki prinsip utama memberikan gaya dorong yang tinggi pada bahan sehingga bahan mampu keluar melalui lubang (die) baik dengan atau tanpa pemanasan. Secara umum ekstruder disusun atas ulir (screw), barrel, tempat memasukkan bahan (screw) dan lubang keluaran (die). Ekstruder dapat dimofikasi lebih lanjut dengan penambahan pemanas, tempat preconditioner, dan tempat memasukkan cairan (liquid feeder) (Weller 1997). 4

18 Berdasarkan jumlah ulir di dalamnya, ekstruder lebih jauh dapat diklasifikasikan menjadi ekstruder ulir tunggal dan ekstruder ulir ganda. Ekstruder ulir tunggal banyak digunakan karena biaya untuk prosesnya lebih ringan (Dziezak 1989). Ekstruder ulir tunggal dikarakterisasi berdasarkan rasio panjang dan diameter (L/D) dan rasio tekanan. Ekstruder jenis ini lebih lanjut memiliki beberapa tipe yaitu pasta extruder, high pressure forming extruder, low shear cooking extruder, collet extruder, dan high shear cooking extruder. Ekstruder ulir tunggal pada dasarnya adalah pendorong, penukar panas dan bioreaktor yang secara terus menerus mendorong, memanaskan, menarik, mengaduk, membentuk dan mengubah sifak fisik dan kimia bahan pada tekanan dan suhu tertentu dalam waktu singkat. Material yang melalui ekstruder ulir tunggal mengalami perubahan fisik lebih lanjut karena adanya ekspansi dan kehilangan kelembaban secara cepat setelah melewati die (Chiruvella et al. 1996). 3.3 Pre-conditioning Pre-conditioning adalah proses lanjutan yang dilakukan setelah pencampuran campuran. Preconditioner adalah ruang di mana butiran bahan mentah dibasahi merata hingga kelembaban yang diinginkan dan/atau dipanaskan dengan air atau uap yang mengalir. Peran utama dari pre-conditioning adalah mengaduk, hidrasi, melunakan, memberi panas awal bahan baku dan memberi waktu tunggu di mana dapat terjadi reaksi kimia. Penambahan uap sebesar 4 % hingga 5 % secara umum cukup untuk mencapai kondisi suhu produk yang keluar dari pre-conditioner sebesar 93 o C. Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa temperatur produk cukup 75 o C untuk mencapai karakteristik yang diinginkan. Pengadukkan juga merupakan parameter penting dalam pre-conditioner. Sebagian besar teknologi pre-conditioning yang baru menerapkan waktu retensi yang cukup lama sekitar 3 hingga 5 menit (Rokey et al. 2006). Perlakuan dengan pre-conditioner dapat meningkatkan residence time, mengurangi konsumsi energi, meningkatkan kapasitas, meningkatkan kualitas produk akhir, mengurangi gesekan pada barrel, dan meningkatkan efesiensi ekstruder (Harper 1989). Pre-conditioning penting dilakukan dalam pembuatan makanan ringan terutama makanan ringan berbasis jagung dan gandum. Gandum misalnya memiliki flavor tidak baik yang dapat dihilangkan dengan pre-conditioning. Hal yang perlu diperhatikan dalam pre-conditioning adalah penambahan air, waktu tinggal (residence time), dan suhu atau uap yang diberikan (Booth 1990). Pre-conditioner dapat diberi tekanan atau dengan tekanan atmosfir. Pre-conditioner yang diberi tekanan kurang diminati karena cenderung memberikan efek negatif pada produk akhir dan pengoperasiannya lebih sulit dibanding pre-conditioner dengan tekanan atmosfir (Booth 1990). Pengaduk pada pre-conditioner dapat berupa ribbon atau pedal. Jenis pengaduk ini menentukan jenis bahan baku yang dapat diolah dengan baik dalam pre-conditioner. 3.4 Kecepatan Ulir Berbagai bentuk snack dapat dihasilkan dengan ekstruder. Biasanya untuk produksi snack yang mengembang (expanded snack) menggunakan proses HTST di mana kualitas produk dilihat dari kerenyahannya. Kerenyahan ini ditentukan dari derajat gelatinisasi produk yang dipengaruhi oleh suhu, kecepatan ulir, dan adonan yang akan diekstrusi. Kecepatan ulir berpengaruh nyata dalam proses ekstrusi. Pada laju masuknya bahan yang konstan, perlambatan kecepatan ulir yang berlebih menyebabkan bahan tidak dapat mengembang dengan sempurna, sebaliknya peningkatan kecepatan ulir yang berlebih akan meningkatkan keperluan energi yang lebih tinggi, energi termal juga perlu ditingkatkan dan suhu produk di die akan meningkat 5

19 (Meuser et al., 1987). Oleh karena itu kecepatan ulir perlu diperhatikan untuk mendapatkan kecepatan yang sesuai untuk mendapatkan target produk yang diinginkan. Menurut Anderson et al., 1969, peningkatan kecepatan ulir dan penurunan kadar air dapat meningkatkan derajat pengembangan dan water solubility index (WSI) namun menurunkan water absorption index (WAI). 3.5 Gandum Akhir-akhir ini sebagian besar sereal untuk sarapan dan snack dibuat dari tepung yang sudah dimurnikan. Penggunaan gandum utuh diketahui sebagai bahan baku yang baik untuk kesehatan. Gandum telah banyak digunakan di dalam industri ekstrusi dan efek-efek variabel proses pada ekstrusi gandum telah banyak dipelajari. Dibandingkan beras, jagung, tapioka dan kentang, gandum memiliki entalpi gelatinisasi yang paling rendah (Harper 1989). Hal ini menunjukkan bahwa gandum lebih mudah tergelatinisasi dibanding beras dan jagung. Substitusi gandum pada produk ekstrusi berbasis jagung akan meningkatkan derajat gelatinisasi produk dan memungkinkan perbaikkan karakteristik produk yang diinginkan. Walau demikian penggunaan gandum utuh (whole ) mengandung protein dan serat yang memungkinkan penurunan derajat pengembangan dibanding menggunakan terigu. Tabel 1. Perbandingan jagung dan gandum utuh Komponen Gritz Jagung (%) Gandum Utuh (%) Total Karbohidrat Protein 9 14 Serat 7 12 Lemak 5 2 Sumber : 6

20 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam proses ekstrusi dan pre-conditioning adalah gritz jagung, tepung gandum, tepung beras, minyak dan air. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah HCl 0.5M, NaOH 10M, dan iodium. Alat-alat yang digunakan dalam proses ekstrusi dan pre-conditioning adalah timbangan, preconditioner, single screw extruder, dryer dan ribbon mixer. Alat yang digunakan untuk analisis adalah rapeseed, erlenmeyer, ayakan 60 mesh, ayakan 100 mesh, tumbukan, timbangan, waring blender, sentrifuse, pipet, tabung, spektrofotometri, cawan, oven, desikator, tumbukkan, stirrer, dan Stable Micro System TA.TX Texture Analyzer. 4.2 Metode Penelitian Tahapan Produksi Ekstrudat Formulasi Adonan Ada tiga formula dasar adonan yang digunakan untuk percobaan kali ini. Bahan dasar yang digunakan dalam proses preconditioning dan ekstrusi berupa tepung gandum utuh, grits jagung, tepung beras, dan minyak. Ketiga formulasi dasar adonan tersebut masing-masing berjumlah 10 kg dan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Formulasi adonan Formulasi Tepung gandum utuh Grits jagung Tepung Beras Minyak Lesitin (kg) % (kg) % (kg) % (mg) % (mg) % Tahapan Pre-conditioning Dari 10 kg adonan untuk setiap formula yang disiapkan diambil 5 kg untuk diproses dengan preconditioning dan 5 kg sisanya diproses tanpa pre-conditioning. Adonan yang akan diproses dengan pre-conditioner dimasukkan ke dalam ribbon mixer dan diaduk selama 5 menit. Bahan dipindahkan dari ribbon mixer ke dalam feeder dari pre-conditioner. Uap bertekanan dialirkan pada preconditioner dan semua ulir pada pre-conditioner dijalankan. Bahan yang keluar diambil dan langsung dimasukkan ke dalam ekstruder. 7

21 Adonan Ribbon Mixer Feeder Pre-conditioner Mixing I Stea Discharge Adonan Dengan Prekondisi Gambar 1. Diagram alir proses pre-conditioning Proses Ekstrusi Tabel 3. Pengaturan ekstruder T die 170 o C Auger speed 14 Knife speed 6 Adonan yang sudah melalui pre-conditioner langsung dimasukkan ke dalam ekstruder. Untuk adonan yang tidak melalui preconditioner diaduk terlebih dahulu dengan ribbon mixer dan ditambahkan air sebesar 128 ml sehingga kadar air adonan yang tidak melalui pre-conditioner dan melalui pre-conditioner sama. Adonan dimasukkan ke dalam feeder pada single screw ekstruder. Pengaturan yang harus dijaga konstan selama proses ekstrusi dapat dilihat pada tabel 3. Setelah pengaturan umum sudah disiapkan auger dijalankan dan kecepatan ulir awal yang digunakan 350. Selama proses berlangsung, 0,5 kg bahan pertama dibuang karena proses belum stabil, 1 kg bahan kedua diambil sebagai produk ekstrusi pada kecepatan 350. Kemudian kecepatan ulir diubah ke 360 dan 0,5 kg bahan pertama dibuang karena dianggap tidak stabil, 1 kg bahan kedua diambil sebagai produk ekstrusi pada kecepatan 360. Kemudian kecepatan ulir diubah ke 370 dan 0,5 kg bahan pertama dibuang karena dianggap tidak stabil, 1 kg bahan kedua diambil sebagai produk ekstrusi pada kecepatan 370. Kemudian ekstruder dibersihkan dengan 0,5 kg bahan yang tersisa. 8

22 Adonan Tanpa Prekondisi Adonan Dengan Prekondisi Air Ribbon Mixer Ekstrusi Ekstrudat Gambar 2. Diagram alir proses ekstrusi Secara keseluruhan semua produk ekstrusi yang dihasilkan dan rancangan produksi ekstrusi penelitian ini tercantum pada tabel 4. Tabel 4. Rancangan Percobaan Ekstrusi Kode Gandum (%) Pre-conditioning/Non pre-conditioning Kecepatan Ulir () Non pre-conditioning Pre-conditioning Non pre-conditioning Pre-conditioning Non pre-conditioning Pre-conditioning

23 4.2.2 Analisis Fisik dan Kimia Air Metode Oven (AOAC, 1995) Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit pada suhu o C dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu o C selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai didapat berat konstan. air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus : air = Keterangan : a = berat cawan dan berat sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g) Analisis tekstur (kekerasan) produk akhir (Stable Micro System TA.XT Texture Analyzer) Pengukuran tekstur dilakukan secara objektif menggunakan Stable Micro System TA.XT Texture Analyzer. Parameter yang diukur adalah kekerasan produk. Tingkat kekerasan ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan probe dan dinyatakan dalam kilogram force (kgf). Semakin besar gaya yang digunakan untuk menekan produk hingga patah, maka nilai kekerasan akan semakin besar yang berarti produk semakin keras. Probe yang digunakan ialah 100 mm Compression Platen (P/100). Kekerasan dianggap berbanding terbalik dengan kerenyahan produk. Setting texture analyzer yang digunakan dalam pengukuran kekerasan produk ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Setting Texture Analyzer untuk Kekerasan Produk Pre-Test Speed Test Speed Post-Test Speed Distance Trigger Force Data Acquisition Rate 1 mm/s 1 mm/s 10mm/s 10 mm 10 g 100 pps Derajat Pengembangan (Chinnaswamy dan Hanna, 1988) dan Panjang Produk Pengukuran panjang dilakukan secara langsung. Derajat pengembangan produk ekstrusi ditentukan dengan cara membagi diameter produk dengan diameter die ekstruder. Derajat pengembangan produk ekstrusi ditentukan dengan rumus : Derajat pengembangan (%) = % Pengukuran diameter dan panjang produk dilakukan menggunakan jangka sorong. Water Absorption Index (WAI), metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson, 1969 di dalam Ganjyal et al., 2006) Sebanyak 0.5 gram sampel dalam bentuk tepung dengan ukuran 100 mesh disuspensikan dalam 15 ml aquades, diaduk dengan menggunakan stirrer selama 30 menit sampai semua bahan terdispersi merata. Selanjutnya tabung disentrifugasi dengan kecepatan 3000 pada suhu ruang selama 10 10

24 menit. Supernatan yang diperoleh dituangkan secara hati-hati ke dalam wadah lain, sedangkan tabung sentrifuse beserta residunya ditimbang untuk mengetahui beratnya. Berat residu yang diperoleh mengekspresikan banyaknya jumlah air yang terserap. Water absorption index (WAI) dapat dihitung dengan menggunakan rumus : WAI (ml/g) = Water Solubility Index (WSI), metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson, 1969 di dalam Ganjyal et al., 2006) Diambil contoh dari supernatan hasil sentrifugasi sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu o C sampa semua air dalam cawan menguap ( 4 jam). Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai bahan kering yang terlarut dalam supernatan. Water solubility index (WSI) ditentukan sebagai berikut : WSI (g/2 ml) = Derajat gelatinisasi, metode spektrofotometri (Wooton et al., 1971 di dalam Muchtadi et al., 1988) Produk dihaluskan sampai 60 mesh, ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan dalam 100 ml air dalam waring blender selama 1 menit. Suspensi ini kemudian disentrifuse pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0.5 ml HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Pada salah satu tabung duplo tersebut ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Kemudian keduanya diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 600 nm di mana sampel yang tidak diberi iodin sebagai blanko. Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml NaOH 10 M. Suspensi dikocok salama 5 menit kemudian disentrifuse selama 15 menit pada suhu ruang dengan kecepatan Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, ditambah 0.5 HCL 0.5 M dan dijadikan 10 ml dengan aquades. Pada salah satu tabung tersebut ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm di mana contoh yang tidak diberi iodin sebagai blanko. Bulk Density (Pan et al., 1998 di dalam Lin et al., 2002) Volume produk ekstrusi dihitung menggunakan gelas ukur 100 ml dengan pergantian volume oleh rapeseed. Rapeseed dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml dengan merata, kemudian dipindahkan sementara ke wadah lain. Sejumlah sampel yang telah diketahui beratnya ( 5 g) dimasukkan ke dalam gelas ukur, kemudian sisa ruang kosong ditutupi kembali dengan rapeseed. Rapeseed yang tersisa dihitung sebagai volume yang tergantikan oleh sampel. Volume sejumlah sampel dihitung secara acak untuk setiap test. Rasio berat sampel dengan volume yang terpindahkan oleh rapeseed dihitung sebagai bulk density (w/v). 11

25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal ini adalah hal yang menjadi perhatian konsumen dalam mengkonsumsi produk ekstrusi. Berdasarkan hasil analisis kadar air produk berkisar antara 3,88 % hingga 3,89 %. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa hanya perlakuan pre-conditioning yang berpengaruh nyata terhadap kadar air produk pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 10). Sebagian kadar air pada produk yang diproses dengan pre-conditioner memiliki kadar air akhir yang sedikit lebih rendah. Penyebaran air pada bahan yang diproses dengan pre-conditioner jauh lebih baik dibandingkan penyebaran air pada bahan yang diproses tanpa pre-conditioner. Hal ini disebabkan oleh uap yang digunakan pada pre-conditioner lebih mudah menyebar dibanding menggunakan air. Selain itu, bahan yang diproses dengan pre-conditioner sudah menerima energi panas sebelum masuk ke dalam ekstruder. Hal ini menyebabkan energi yang diterima bahan di dalam ekstruder digunakan sebagian untuk menguapkan air sementara bahan yang tidak diproses dengan pre-conditioner menggunakan sebagian energi dari proses ekstrusi untuk menaikkan suhu bahan serta sebagai energi awal untuk gelatinisasi. air produk yang tertinggi dan terendah produk hanya memiliki selisih 0,0043%. Selisih yang tidak terlalu besar ini disebabkan oleh kadar air bahan yang diproses dengan pre-conditioner dan tanpa pre-conditioner sudah diatur sama. air produk ekstrusi yang dihasilkan pada penelitian ini sesuai dengan standar SNI di mana kadar air akhir produk snack ekstrusi maksimal 4 %. 5.2 Derajat Gelatinisasi Derajat gelatinisasi pati atau biasa disebut sebagai derajat kematangan merupakan parameter yang penting dalam ekstrudat. Selain menentukan daya cerna suatu ekstrudat, derajat gelatinisasi juga akan mempengaruhi karakteristik produk yang akan dihasilkan serta kestabilan selama penyimpanan (Paton dan Spartt 1980). Berdasarkan hasil analisis, nilai derajat gelatinisasi dari ekstrudat yang dihasilkan adalah 9,68 % sampai 15,47 %. Nilai derajat gelatinisasi tertinggi sebesar 15,47 % didapatkan pada ekstrudat dengan substitusi gandum utuh 10% yang melalui pre-conditioner dan diproses dengan kecepatan ulir 370, sedangkan nilai derajat gelatinisasi terendah sebesar 9,68 % didapatkan pada ekstrudat dengan substitusi gandum 5% yang tidak melalui pre-conditioner dan diproses dengan kecepatan ulir 350. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioning dan kecepatan ulir yang berbeda berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi produk pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 11a). Uji lanjut duncan dilakukan untuk menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar variabel (Lampiran 11b). Kecepatan ulir 350, 360, dan 370 memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada produk yang dihasilkan. Tingkat substitusi gandum 0 %, 5 % dan 10 % juga memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan uji korelasi kadar gandum memiliki nilai korelasi yang paling tinggi (Lampiran 18). 12

26 16.6 Derajat Gelatinisasi (%) preconditioner non preconditioner 4.6 0%, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, %, %, %, 370 Gambar 3. Grafik hubungan antara derajat gelatinisasi dan perlakuan pre-conditioning Dilihat dari pengaruh pre-conditioner pada derajat gelatinisasi ekstrudat dapat disimpulkan bahwa pre-conditioner secara nyata meningkatkan derajat gelatinisasi ekstrudat pada setiap kombinasi tingkat substitusi gandum (0 %, 5 %, dan 10 %) dan kecepatan ulir (350, 360, dan 370 ) yang diujikan. Pada pre-conditioner bahan baku mendapat perlakuan panas secara langsung dari steam yang bersentuhan langsung dengan bahan baku. Suhu yang didapat saat bahan baku keluar dari preconditioner adalah 74 o C di mana ini sudah di atas suhu awal gelatinisasi dari gandum (Harper 1989). Adanya energi termal tersebut menyebabkan bahan sudah mengalami gelatinisasi awal sebelum masuk ke dalam ekstruder dan suhu bahan baku sebelum masuk ke dalam ekstruder lebih tinggi dari bahan baku yang tidak melalui pre-conditioner, sehingga energi yang didapatkan bahan selama proses ekstrusi dapat langsung digunakan untuk proses gelatinisasi. Gambar 4. Grafik hubungan antara derajat gelatinisasi dan kecepatan ulir 13

27 Kecepatan ulir memberikan pengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi. Derajat gelatinisasi produk dengan kecepatan ulir 350 dan 360 tidak saling berbeda nyata namun berbeda nyata dibanding dengan kecepatan ulir 370. Kecepatan ulir 370 menghasilkan derajat gelatinisasi yang lebih tinggi dibanding 350 dan 360. Semakin tinggi kecepatan ulir yang digunakan akan meningkatkan gesekan pada bahan baku dan memberikan energi pada bahan baku sehingga memungkinkan terjadinya gelatinisasi. Walau demikian, menurut Bhattacharya dan Milford, 1987, kecepatan ulir yang terlalu tinggi akan menurunkan residence time dan bahan baku akan lebih sedikit mendapatkan panas dari ekstruder sehingga derajat gelatinisasi pada bahan baku akan lebih rendah. Gambar 5. Grafik hubungan antara derajat gelatinisasi dengan kadar gandum Tingkat substitusi gandum sendiri memberikan pengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi ekstrudat. Tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 % tidak saling berbeda nyata namun berbeda nyata terhadap produk dibandingkan dengan substitusi gandum 10 %. Tingkat substitusi gandum 10 % memiliki derajat gelatinisasi yang lebih tinggi dibanding tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 %. Tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 % tidak berbeda nyata, hal ini menunjukkan tingkat substitusi gandum 5 % belum dapat memberikan pengaruh yang nyata dalam hal derajat gelatinisasi. Gandum memiliki entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan jagung. Hal ini menyebabkan ekstrudat dengan tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi memiliki derajat gelatinisasi yang lebih tinggi. 5.3 Water Solubility Index (WSI) Water solubility index dan water absorption index adalah salah satu karakteristik dari ekstrudat dan umumnya penting dalam memperkirakan bagaimana sifat ekstrudat ketika diproses lebih lanjut. Water solubility index menunjukkan jumlah molekul ekstrudat yang dapat tersuspensi ke dalam air. Hasil analisis menunjukkan nilai WSI berkisar antara 5,1 mg/ml hingga 9,5 mg/ml. Nilai WSI terendah sebesar 5,1 mg/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, tanpa proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 350. Sedangkan nilai WSI tertinggi sebesar 9,5 mg/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 10 %, dengan proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir

28 Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioning dan kecepatan ulir yang berbeda berpengaruh nyata terhadap WSI ekstrudat pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 12a). Uji lanjut duncan dilakukan untuk menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar parameter (Lampiran 12b). Kecepatan ulir 350, 360, dan 370 memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada produk yang dihasilkan. Tingkat substitusi gandum 0 %, 5 % dan 10 % juga memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan uji korelasi perlakuan pre-conditioning memiliki nilai korelasi yang paling tinggi terhadap WSI (Lampiran 18) WSI (g/ml) preconditioner non preconditioner %, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, %, %, %, 370 Gambar 6. Grafik hubungan antara WSI dan perlakuan pre-conditioning Perlakuan pre-conditioner secara langsung meningkatkan water solubility index. Hal ini dapat dilihat dari nilai WSI ekstrudat yang diproses melalui pre-conditioner lebih tinggi dari nilai WSI ekstrudat yang diproses tanpa pre-conditioner pada setiap kombinasi tingkat substitusi gandum dan kecepatan ulir yang digunakan. Adanya panas dari pre-conditioner menyebabkan bahan baku tergelatinisasi dan sebagian besar amilopektin yang ada pada bahan dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana. Molekul sederhana inilah yang dapat larut ke dalam air. 15

29 WSI (g/ml) Kecepatan ulir () 0%, nonpreconditioner 0%, preconditioner 5%, nonpreconditioner 5%, preconditioner 10%, nonpreconditioner 10%, preconditioner Gambar 7. Grafik hubungan antara WSI dan kecepatan ulir Kecepatan ulir memberikan pengaruh nyata terhadap WSI. WSI produk dengan kecepatan ulir 350 dan 360 tidak saling berbeda nyata namun berbeda nyata dibanding dengan kecepatan ulir 370. Kecepatan ulir 370 menghasilkan nilai WSI yang lebih tinggi dibanding 350 dan 360. Kecepatan ulir yang lebih tinggi memberikan gaya gesek yang lebih tinggi pada bahan menyebabkan timbulnya energi yang mampu memecah molekul makro pada bahan baku menjadi lebih sederhana dan lebih mudah larut WSI (g/ml) % 5% 10% Gandum 350 preconditioner 360 preconditioner 370 preconditioner 350 nonpreconditioner 360 non preconditioner 370 nonpreconditioner Gambar 8. Grafik hubungan antara WSI dan kadar gandum Tingkat substitusi gandum sendiri memberikan pengaruh nyata terhadap nilai WSI. Tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 % tidak saling berbeda nyata namun keduanya berbeda nyata terhadap produk dibandingkan dengan substitusi gandum 10 %. Tingkat substitusi gandum 10 % memiliki WSI yang lebih tinggi dibanding tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 %. Tingkat substitusi gandum 0 % 16

30 dan 5 % tidak berbeda nyata, hal ini menunjukkan tingkat substitusi gandum 5 % belum dapat memberikan pengaruh yang nyata pada nilai WSI. Hal ini menunjukkan keberadaan gandum juga menentukan nilai WSI dari ekstrudat. Gandum utuh memiliki proporsi kandungan amilosa dan amilopektin yang berbeda dengan jagung. Di antara amilosa dan amilopektin, amilosa lebih mudah larut di dalam air (Muchtadi et al., 1988). 5.4 Water Absorption Index (WAI) Water absorption index menunjukkan jumlah air yang dapat terserap oleh ekstrudat. Hasil analisis menunjukkan nilai WAI berkisar antara 4,86 mg/ml hingga 5,45 mg/ml. Nilai WAI terendah sebesar 4.86 mg/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 10 %, tanpa proses preconditioning dan pada kecepatan ulir 360. Sedangkan nilai WAI tertinggi sebesar 5.45 mg/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, dengan proses pre-conditioning dan pada kecepatan ulir 370. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa di antara tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioning dan kecepatan ulir, hanya perlakuan pre-conditioning yang berpengaruh nyata terhadap WAI ekstrudat pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 13). Uji lanjut duncan tidak dilakukan karena tingkat substitusi gandum dan kecepatan ulir tidak berbeda nyata. 5.5 WAI (ml/g) 5 preconditioner non preconditioner 4.5 0%, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, %, %, %, 370 Gambar 9. Grafik hubungan antara WAI dan perlakuan pre-conditioning Sebagian besar nilai WAI dari perlakuan pre-conditioning lebih tinggi dibanding nilai WAI pada perlakuan tanpa pre-conditioning. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Gomez dan Aguilera, 1983, yang menyebutkan bahwa semakin tinggi degradasi pati akan meningkatkan nilai dari WSI dan menurunkan nilai dari WAI. Hal ini disebabkan oleh derajat gelatinisasi yang ada tidak terlalu besar sehingga amilopektin yang ada pada bahan baku tidak dipecah menjadi molekul yang sangat sederhana namun menjadi molekul dengan panjang rantai menengah di mana banyak terdapat gugus hidrofilik sehingga lebih mudah menyerap air. Berdasarkan Mezreb et al. perubahan kecepatan ulir sebesar 100 memiliki pengaruh yang tidak signifikan untuk WAI. Walau demikian, peningkatan kecepatan ulir dapat meningkatkan rusaknya molekul makro dari pati dan menyebabkan pati lebih mudah larut di dalam air sehingga 17

31 molekul yang mampu menahan air pada ekstrudat lebih sedikit. Tingkat substitusi gandum 0 %, 5 %, dan 10 % juga tidak nyata dalam menentukan nilai WAI. 5.5 Bulk Density Bulk density adalah salah satu nilai yang menggambarkan kepadatan dari produk ekstrusi yang dinyatakan dalam satuan berat per volume. Secara tidak langsung bulk density menggambarkan struktur dari produk ekstrusi. Pada bulk densitiy rendah umumnya produk memiliki volume rongga yang lebih besar dan dinding pembentuk rongga tersebut lebih tipis. Sebaliknya produk dengan bulk density tinggi umumnya produk memiliki volume rongga yang lebih kecil dan dinding pembentuk rongga tersebut lebih tebal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bulk density berkisar antara 0,08 g/ml hingga 0,10 g/ml. Bulk density terendah sebesar 0,08 g/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, dengan proses pre-conditioning dan pada kecepatan ulir 350. Sedangkan bulk density tertinggi sebesar 0,10 g/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 10 %, dengan tanpa proses preconditioning dan pada kecepatan ulir 350. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa interaksi di antara tingkat substitusi gandum dan perlakuan pre-conditioning berpengaruh nyata terhadap bulk density ekstrudat pada taraf signifikansi 5% sedangkan kecepatan ulir tidak memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 14a). Uji lanjut duncan dilakukan pada tingkat substitusi gandum dan hasil menunjukkan bahwa tingkat substitusi 0 % dan 5 % tidak memberikan produk dengan bulk density berbeda nyata namun keduanya memberikan produk dengan bulk density yang berbeda nyata terhadap produk dengan tingkat substitusi 10 % (Lampiran 14b). Uji korelasi menunjukkan kadar gandum memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan preconditioning (Lampiran 18) Bulk density (g/ml) preconditioner non preconditioner %, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, %, %, %, 370 Gambar 10. Grafik hubungan antara bulk density dengan perlakuan pre-conditioning 18

32 Bulk density (g/ml) gandum (%) 350 nonpreconditioner 360 nonpreconditioner 370 nonpreconditioner 350 preconditioner 360 preconditioner 370 preconditioner Gambar 11. Grafik hubungan antara bulk density dengan kadar gandum Tingkat gelatinisasi yang lebih tinggi akan menyebabkan tingginya volume dan rendahnya densitas pada produk ekstrusi (Schwartz 1992). Untuk pengaruh pre-conditioning dapat dilihat bahwa produk ekstrusi dengan perlakuan pre-conditioning memiliki bulk density yang lebih rendah pada semua kombinasi tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir yang digunakan. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dibuat Schwartz (1992). Walau demikian pada pengaruh tingkat substitusi gandum utuh, hal yang serupa tidak ditemukan. Derajat gelatinisasi yang lebih tinggi pada tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi tidak membuat bulk density lebih rendah melainkan lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh gandum utuh yang digunakan tidak hanya terdiri dari pati saja. Gandum utuh berbeda dengan jagung, gandum utuh mengandung komponen di luar pati yang lebih tinggi dibandingkan jagung seperti protein dan serat. Hal inilah yang memberikan pengaruh terhadap bulk density yang lebih besar pada tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi. 5.6 Derajat Pengembangan dan Panjang Derajat pengembangan dan panjang adalah dua parameter yang penting untuk mendapatkan bentukkan fisik dari produk yang diinginkan. Menurut Wang, 1997, derajat pengembangan erat kaitannya dengan tekstur produk. Pengembangan yang baik akan berdampak positif terhadap kerenyahan produk. Derajat pengembangan yang didapat pada kali ini berkisar antara 386,4 % hingga 423,07 %. Derajat pengembangan terendah sebesar 386,4 % didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 10 %, dengan proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 370. Sedangkan derajat pengembangan tertinggi sebesar 423,07 % didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, dengan proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 350. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa interaksi di antara tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioner dan kecepatan ulir, hanya kecepatan ulir yang berpengaruh nyata terhadap derajat pengembangan ekstrudat pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 15a). Uji lanjut duncan dilakukan pada kecepatan ulir dan hasil menunjukkan bahwa kecepatan ulir 350, 360, dan 370 berbeda nyata (Lampiran 15b). Dilihat dari kecepatan ulir yang digunakan menunjukkan bahwa pada kecepatan ulir 350, 360, dan 370, kecepatan ulir 19

33 350 selalu memberikan derajat pengembangan yang lebih besar diikuti oleh kecepatan ulir 360 dan yang paling rendah derajat pengembangannya adalah 370. Derajat pengembangan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kelembaban adonan, jenis pati, ukuran partikel adonan, dan kecepatan ulir (Apriani 2009). Jenis pati yang digunakan mempengaruhi derajat pengembangan. Umumnya pati tersusun atas amilosa dan amilopektin, pati yang kaya akan amilopektin umumnya akan lebih mudah mengembang dibandingkan pati yang kaya amilosa. Hal ini disebabkan rantai amilosa terikat satu sama lain selama proses pemasakan membuat strukturnya lebih padat (Monaru & Kokini 2003). Derajat pengembangan juga berbanding lurus dengan derajat gelatinisasi dari produk (Schwartz 1992). Pada hasil analisis penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada produk ekstrusi dengan berbagai tingat substitusi dengan gandum utuh. Hal ini disebabkan karena kandungan amilosa dan amilopektin pada jagung dan gandum tidak jauh berbeda. Selain itu derajat gelatinisasi pada tingkat substitusi gandum memang lebih tinggi namun ada beberapa komponen pada gandum seperti protein dan serat yang membatasi derajat pengembangan produk. Tingkat substitusi gandum yang berkisar 0 % hingga 10 % juga masih belum cukup untuk menghasilkan perbedaan derajat pengembangan yang berbeda. Pengukuran panjang yang dilakukan menunjukkan panjang produk ekstrusi yang didapat dalam penelitian ini berkisar antara 19,72 mm hingga 25,58 mm. Panjang produk yang terendah sebesar 19,72 mm didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, tanpa proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 350. Sedangkan panjang produk yang tertinggi sebesar 25,58 mm didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 5 %, dengan proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 370. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa interaksi di antara tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioner dan kecepatan ulir, ada dua hal yang berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi ekstrudat pada taraf signifikansi 5 % yaitu kecepatan ulir dan perlakuan pre-conditioner (Lampiran 16a). Uji korelasi menunjukkan kecepatan ulir memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dibanding perlakuan pre-conditioner dalam menentukkan panjang produk (Lampiran 18). Derajat Pengembangan (%) Kecepatan ulir () 0%, nonpreconditioner 0%, preconditioner 5%, nonpreconditioner 5%, preconditioner 10%, nonpreconditioner 10%, preconditioner Gambar 12. Grafik hubungan derajat pengembangan dan kecepatan ulir 20

34 Panjang (mm) Kecepatan ulir () 0% nonpreconditioner 0% preconditioner 5% nonpreconditioner 5% preconditioner 10% nonpreconditioner 10% preconditioner Gambar 13. Grafik hubungan panjang produk dengan kecepatan ulir Uji lanjut duncan dilakukan pada kecepatan ulir dan hasil menunjukkan bahwa kecepatan ulir 350, 360, dan 370 berbeda nyata (Lampiran 16b). Pada kecepatan ulir 350, 360, dan 370, kecepatan ulir 370 menghasilkan produk dengan panjang yang tertinggi, diikuti kecepatan ulir 360 dan yang paling pendek adalah 350. Hal ini berbanding terbalik dengan derajat pengembangan di mana pada derajat pengembangan kecepatan ulir 350 menghasilkan nilai yang terbesar sedangkan kecepatan ulir 370 menghasilkan nilai yang terendah. Pada kecepatan ulir 350 hingga 370 dapat dilihat bahwa pada kecepatan ulir yang lebih tinggi produk yang dihasilkan cenderung mengembang ke arah panjang, sedangkan pada kecepatan ulir lebih rendah produk yang dihasilkan cenderung mengembang ke arah lebar Panjang (mm) Preconditioner nonpreconditioner 18 0% 350 0% 360 0% 370 5% 350 5% 360 5% % 10% 10% Gambar 14. Grafik hubungan antara panjang produk dan perlakuan pre-conditioning 21

35 Preconditioner tidak mempengaruhi derajat pengembangan produk namun mempengaruhi panjang produk. Dalam hal panjang, preconditioner meningkatkan panjang produk ekstrusi pada setiap kombinasi kecepatan ulir dan tingkat substitusi gandum utuh yang digunakan. Hal ini serupa dengan penurunan bulk density pada produk yang diberi perlakuan preconditioner. Tingkat gelatinisasi yang lebih tinggi pada preconditioner tidak memberikan pengaruh yang nyata pada derajat pengembangan namun memberikan nilai yang nyata pada panjang dari produk ekstrusi. Sehingga dengan bentuk die yang digunakan lebih membatasi produk untuk mengembang ke arah lebar. 5.7 Analisa Tekstur Analisa tekstur pada penelitian kali ini dilakukan dengan mengukur force atau gaya yang diperlukan oleh Texture Analyzer untuk menekan produk pada jarak tertentu. Besarnya gaya ini akan menentukan karakteristik dari tekstrur produk ekstrusi yang dianalisa. Nilai yang didapat pada analisa tekstur kali ini berkisar antara 19,43 kg force hingga kg force. Hasil tertinggi yang diperlukan oleh Texture Analyzer adalah kg force yang diperoleh oleh produk tanpa perlakuan preconditioning, kecepatan ulir 370, dan tingkat substitusi gandum utuh sebesar 10 % sedangkan nilai gaya terendah diperoleh oleh produk tanpa pre-conditioning, kecepatan ulir 350, dan tingkat substitusi gandum utuh sebesar 0 %. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa interaksi di antara tingkat substitusi gandum, kecepatan ulir dan perlakuan pre-conditioning berpengaruh nyata terhadap gaya yang diperlukan Texture Analyzer untuk menekan ekstrudat pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 17). Uji lanjut duncan dilakukan pada tingkat substitusi gandum dan kecepatan ulir. Hasil menunjukkan bahwa tingkat substitusi 0 % dan 5 % tidak memberikan gaya yang berbeda nyata namun keduanya memberikan gaya yang berbeda nyata terhadap produk dengan tingkat substitusi 10 %. Kecepatan ulir 350 dan 360 tidak memberikan gaya yang berbeda nyata namun keduanya memberikan gaya yang berbeda nyata terhadap produk dengan dengan kecepatan ulir 370. Uji korelasi menunjukkan kecepatan ulir memiliki nilai korelasi yang paling tinggi dalam menentukkan tekstur produk (Lampiran 18) Tingkat kekerasan (kg) preconditioner non preconditioner %, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, %, %, %, 370 Gambar 15. Grafik hubungan antara tingkat kekerasan dengan perlakuan pre-conditioning 22

36 Secara umum penerimaan energi yang lebih tinggi oleh bahan di dalam ekstruder, akan meningkatkan denaturasi karbohidrat dan protein dan menyusun diri sepanjang aliran laminar di dalam ekstruder. Molekul-molekul kecil yang terbentuk ini membentuk ikatan silang menjadi struktur baru yang dapat mengembang setelah keluar dari die (Muchtadi 1988). Hasil yang diperoleh menunjukkan hal yang berbeda. Perlakuan pre-conditioning memberikan energi panas pada bahan tetapi produk yang didapatkan secara umum lebih keras. Pemberian energi yang terlalu besar memang tidak diinginkan karena dapat menggelatinisasi secara keseluruhan menyebabkan terjadinya dekstrinisasi yang menghasilkan tekstur yang tidak diinginkan. Walau demikian analisis derajat gelatinisasi menunjukkan hasil derajat gelatinisasi yang tidak terlalu tinggi. Tingkat kekerasan (kg) Kecepatan Ulir () 0%, nonpreconditioner 0%, preconditioner 5%, nonpreconditioner 5%, preconditioner 10%, nonpreconditioner 10%, preconditioner Gambar 16. Grafik hubungan antara tingkat kekerasan dengan kecepatan ulir Menurut Jin, 1994, peningkatan kecepatan ulir meningkatkan derajat gelatinisasi bahan yang secara umum meningkatkan daya cerna produk dan karakteristik tekstur menjadi lebih renyah. Walau demikian, Muchtadi, 1988, peningkatan kecepatan ulir akan meningkatkan efek pemotongan dan penyusunan ulang molekul-molekul besar seperti karbohidrat dan protein sehingga rusak dan kehilangan sifat untuk mengembang atau memiliki dinding tebal sehingga tekstur lebih keras. Pada analisis yang dilakukan didapatkan hasil bahwa semakin tinggi kecepatan ulir dalam kisaran 350 hingga 370 menyebabkan tekstur yang semakin keras. 23

37 Tingkat kekerasan (kg) % 5% 10% Gandum 350 nonpreconditioner 360 nonpreconditioner 370 nonpreconditioner 350 preconditioner 360 preconditioner 370 preconditioner Gambar 17. Grafik hubungan antara tingkat kekerasan dengan kadar gandum Substitusi gandum dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur. Hal ini disebabkan gandum dan jagung merupakan dua bahan baku dengan karakteristik yang berbeda. Lebih tingginya kadar protein dan serat pada gandum serta perbedaan karakteristik pati pada gandum dan jagung merupakan hal yang mendasari perbedaan ini. Tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi menyebabkan karakteristik produk yang terbentuk lebih keras. Hal ini disebabkan oleh keberadaan protein pada gandum menyebabkan energi yang diterima bahan digunakan sebagian untuk mendenaturasi protein. Tingkat gelatinisasi menjadi lebih rendah dan tekstur yang dihasilkan lebih keras. Analisis tekstur yang dilakukan pada penelitian ini menghasilkan banyak hal-hal yang tidak dapat dijelaskan. Karakteristik tekstur produk tidak hanya dipengaruhi oleh kecepatan ulir, perlakuan pre-conditioning, dan substitusi gandum utuh. Hal ini menyebabkan pembahasan pada karakteristik tekstur produk belum maksimal. 24

38 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Penelitian ini secara umum menunjukkan bahwa interaksi perlakuan pre-conditioning, kecepatan ulir, dan tingkat substitusi gandum utuh merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam produksi suatu produk ekstrusi. Diperlukan kombinasi yang tepat untuk mendapatkan karakteristik produk yang diinginkan. Berdasarkan hasil analisis kadar air produk berkisar antara 3,88 % hingga 3,89 %. Berdasarkan hasil analisis, nilai derajat gelatinisasi dari ekstrudat yang dihasilkan adalah 9,68 % sampai 15,47 %. Hasil analisis menunjukkan nilai WSI berkisar antara 5,1 mg/ml hingga 9,5 mg/ml. Hasil analisis menunjukkan nilai WAI berkisar antara 4,86 mg/ml hingga 5,45 mg/ml. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bulk density berkisar antara 0,08 g/ml hingga 0,10 g/ml. Derajat pengembangan yang didapat pada kali ini berkisar antara 386,4 % hingga 423,07 %. Nilai yang didapat pada analisa tekstur kali ini berkisar antara 19,43 kg force hingga kg force. Berdasarkan uji statistik yang digunakan perlakuan pre-conditioning memberikan pengaruh pada kadar air, derajat gelatinisasi, WSI, WAI, bulkdensity, panjang, dan tekstur produk. Perlakuan preconditioning dalam penelitian ini meningkatkan kadar air produk, derajat gelatinisasi produk, WSI, WAI, kekerasan produk dan panjang produk, serta menurunkan bulk density produk. Kecepatan ulir memberikan pengaruh pada derajat gelatinisasi, WSI, derajat pengembangan, panjang dan tekstur produk. Kecepatan ulir yang lebih tinggi dalam penelitian ini meningkatkan derajat gelatinisasi, WSI, panjang, dan kekerasan produk namun menurunkan derajat pengembangan produk. Tingkat substitusi gandum memberikan pengaruh pada derajat gelatinisasi, WSI, bulk density dan tekstur produk. Tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi dalam penelitian ini meningkatkan derajat gelatinisasi, WSI, kekerasan dan bulk density. Uji korelasi menunjukkan bahwa tingkat substitusi gandum memiliki nilai korelasi paling tinggi dalam menentukan tingkat derajat gelatinisasi, dan bulk density produk. Perlakuan pre-conditioning memiliki nilai korelasi paling tinggi dalam menentukan kadar air, WSI, dan WAI. Kecepatan ulir memiliki nilai korelasi paling tinggi dalam menentukan derajat pengembangan, panjang produk, dan tingkat kekerasan produk. 6.2 Saran Penelitian ini merupakan dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang pre-conditioner dan penggunaan bahan dasar whole grain dalam proses ekstrusi. Proses pre-conditioning perlu dimaksimalkan dan perlu dibuat kontrol pada pre-conditioner yang suhu dan tekanannya tidak dapat dikontrol sehingga peran pre-conditioner dapat semakin nyata. Pre-conditioner yang ada belum terhubung langsung dengan ekstruder sehingga ada panas yang hilang selama pemindahan bahan dari discharge pre-conditioner ke feeder ekstruder. Oleh karena itu, pre-conditioner dan ekstruder perlu dibuat terhubung langsung menjadi satu lintasan sistem yang tertutup sehingga panas dari preconditioner tidak hilang dan energi yang diperlukan ekstruder lebih rendah. Analisis karakteristik whole grain lain selain gandum utuh pada produk ekstrusi juga perlu ditingkatkan untuk meningkatkan mutu produk ekstrusi dan mendukung difersivikasi pangan. 25

39 Daftar Pustaka Anderson RA, Conway HF, Pfeifer VF, dan Griffin EL Gelatinisation of corn grits by roll and extrusion cooking. Cereal Science Today 14(1), 4-12 Apriani RN Mempelajari pengaruh ukuran partikel dan kadar air tepung jagung serta kecepatan ulir ekstruder terhadap karakteristik snack ekstrusi.[skripsi]. Bogor, Institut Pertanian Bogor AOAC Official Method of Analysis of The Association Analytical Chemist. Inc., Washington DC Berrios JJ Extrusion cooking of legumes: Dry bean flours. Encyclopedia of Agricultural, Food, and Biological Engineering 1: 1-8 Bhattacharya M dan Milford AH Textural properties of extrusion cooked corn starch. Lebensm- Wiss Technology, 20, Booth R Gordon Snack Food. USA, Reinhold Van Nostrand. Chinnaswamy R dan Hanna MA Expansion, Colour dan Shear Strength Properties of Corn Starch Extrusion Cooked With Urea and Salt. J. Food Science 40: Chiruvella RV, Jaluria J, dan Mukund V K Numerical Simulation of the Extrusion Process for Food Materials in a Single-screw Extruder. J. Food Engineering 30: Dziezak JD.1989.Single and Twin Screw Extruders in Food Processing. Food Technol 43(4): Faubion JM, Hoseney RC, dan Seib PA Functionality of Grain Components in Extrusion. J. Cereal Food World. 27: Ganjyal M, Hanna MA, Supprung P, Noomhorm, dan Jones D Modeling Selected Properties of Extruded Rice Flour and Rice Starch by Neutral Networks and Statistics. J. Cereal Chemist 83(3): Gimeno E, Monaro CI, dan Kokini JL Effect of Xanthan Gum and CMC on The Structure and Texture of Corn Flours Pellets Expanded by Microwave Heating. American Association of Cereal Chemistry. J. Cereal Chemistry 81(1): Gomez MH dan JM Auilera A physiochemical model for extrussion of corn starch. J. Food Science 49: 40. Gray DR dan Chinnaswmy R Role of Extrution in Food Processing. Di dalam: Gaonkar AG (ed). Food Processing: Recent Developments. Atchison, Midwest Grain Products, Inc. Harper JM Food Extruders and Their Applications, in Extrusion Cooking, Mercier C, Linko P dan Harper JM (ed.), Amer Assoc. Cereal Chem., St. Paul, MN, pp Hidayat T Bisnis Snack. [20 Februari 2012] Jin Z, Hsieh F, dan Huff HE Extrusion cooking of corn meal with soy fiber, salt, and sugar. J. Cereal Chem 71(3): Lin YH, Yeh CS, Lu S Evaluation on Quality Indices and Retained Tocopherol Contents in the Production of the Rice-Based Cereal by Extrusion. J. Food and Drug Analysis(10) 3: Liu Y, Hsieh F, Heymann H, dan Huff HE Effect of process conditions on the physical and sensory properties of extruded oat-corn puff. J. Food Science 65: Meuser F, Van Lengerich B, dan Reimers H Technological Aspect Regarding Specifics Changes to Characteristic Properties of Extrudates by HTST Extrusion-Cooking. London, Elsevier Applied Science Publisher. Mezreb K, Adeline G, Robert R, dan Michele Q Application of image analysis to measure screw speed influence on physical properties of corn and extrudates. Journal of Food Engineering 57 (2003):

40 Monaru CJ dan Kokini JL Nucleation and Expansion During Extrusion and Microwave Heating of Cereal Food. Food Science and Centre for Advance Food Technology, Univ Brunswick Muchtadi Tien R, Purwiyatno, dan Adil Basuki.1988.Teknologi Pemasakan Ekstrusi.Bogor, Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Paton D dan Spratt WA Simulated Approach to the Estimation of Degree of Cooking of an Extruded Cereal Product. J. Cereal Chemistry 58 (3): Rokey G, Rob S, dan Brian P Improved Performance of Pellet Mills Utilizing DDC Preconditioners. [14 Juni 2012] Schwartz et al Effect of Starch Gelatinization on Physical Properties of Extruded Wheat and Corn-Based Product. J. Cereal Chemistry 69 (4): Wang SS Gelatinization and Melting of Startch and Tribochemistry in Extrusion Starch. J. Cereal Chemistry 45: Weller Curtis L Extrusion Equipment and Design.Lincold, University of Nebraska. (22 Juni 2012) (22 Juni 2012) 27

41 LAMPIRAN Lampiran 1. Foto setiap produk hasil ekstrusi Gambar 18. Produk berdasarkan kode 28

42 Lampiran 2. Foto produk hasil ekstrusi Gambar 19. Foto produk berdasarkan perlakuan pre-conditioner dan kadar gandum utuh Gambar 20. Foto produk berdasarkan kecepatan ulir 29

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan IV. METODE PENELITIAN 4.1 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam proses ekstrusi dan pre-conditioning adalah gritz jagung, tepung gandum, tepung beras, minyak dan air. Bahan yang digunakan untuk analisis

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah grit jagung berukuran 24 mesh, tepung beras, tepung gandum, tepung kentang, bubuk coklat, garam, pemanis, pengembang,

Lebih terperinci

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan (April 2009 Juni 2009) di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Laboratorium pengolahan pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Foto setiap produk hasil ekstrusi. Gambar 18. Produk berdasarkan kode

LAMPIRAN. Lampiran 1. Foto setiap produk hasil ekstrusi. Gambar 18. Produk berdasarkan kode LAMPIRAN Lampiran 1. Foto setiap produk hasil ekstrusi Gambar 18. Produk berdasarkan kode 28 Lampiran 2. Foto produk hasil ekstrusi Gambar 19. Foto produk berdasarkan perlakuan pre-conditioner dan kadar

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Oktober 2012. Adapun laboratorium yang digunakan selama penelitian antara lain Pilot

Lebih terperinci

SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH UKURAN PARTIKEL DAN KADAR AIR TEPUNG JAGUNG SERTA KECEPATAN ULIR EKSTRUDER TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK EKSTRUSI

SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH UKURAN PARTIKEL DAN KADAR AIR TEPUNG JAGUNG SERTA KECEPATAN ULIR EKSTRUDER TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK EKSTRUSI SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH UKURAN PARTIKEL DAN KADAR AIR TEPUNG JAGUNG SERTA KECEPATAN ULIR EKSTRUDER TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK EKSTRUSI Oleh : RESNA NUR APRIANI F24051138 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. GAMBARAN UMUM MESIN DAN KONDISI PENGOPERASIAN EKSTRUDER Mesin ekstruder yang digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis mesin ektruder berulir ganda (Twin Screw Extruder).

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Peralatan yang digunakan adalah kaleng (simulasi tumbler), Digital Sieve Shaker Retch AS 200 (simulasi siever), saringan 20 mesh; 50 mesh; 100 mesh; 140 mesh;

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN 1 PENGGORENGAN 2 TUJUAN Tujuan utama: mendapatkan cita rasa produk Tujuan sekunder: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan aktivitas air pada permukaan atau seluruh

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI

TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI Proses Ekstrusi: adalah perlakuan kombinasi dari proses tekanan, gesekan, dan suhu dalam waktu yang bersamaan dalam suatu ulir yang bergerak. To Extrude : artinya membentuk

Lebih terperinci

x100% LAMPIRAN PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Ganjyal et al., 2006; Shimelis et al., 2006)

x100% LAMPIRAN PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Ganjyal et al., 2006; Shimelis et al., 2006) LAMPIRAN PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Ganjyal et al., 2006; Shimelis et al., 2006) Prosedur pengujian daya serap air: 1. Sampel biskuit dihancurkan dengan menggunakan mortar. 2. Sampel

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu)

OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu) OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu) Process and Formula Optimizations on Dried Sago (Metroxylon sagu) Noodle Processing Adnan Engelen, Sugiyono, Slamet Budijanto

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan produk ekstrusi, yaitu jewawut, air dan minyak kelapa sawit. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat 18 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2010 di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Rekayasa Proses

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, PEMANGANGAN

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, PEMANGANGAN PENGOLAHAN TERMAL II PENGGORENGAN, EKSTRUSI, PEMANGANGAN TIM DOSEN TPPHP UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 2 TUJUAN TUJUAN UTAMA: mendapatkan cita rasa produk TUJUAN SEKUNDER: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun Analisis

Lebih terperinci

MAKALAH MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN (Ekstruder)

MAKALAH MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN (Ekstruder) MAKALAH MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN (Ekstruder) Oleh: Kelompok II Ahyat Hartono (240110100032) Tina Sartika (240110100020) Dudin Zaenudin (240110100105) JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU Pasca penggilingan padi jumlah asam lemak bebas pada bekatul meningkat dengan cepat (Ubaiddilah, 2010; Budijanto et al., 2010; Damardjati et al., 1990).

Lebih terperinci

FAKTOR PENENTU KARAKTERISTIK PRODUK EKSTRUSI DENGAN BAHAN BAKU JAGUNG MAKALAH KOMPREHENSIF

FAKTOR PENENTU KARAKTERISTIK PRODUK EKSTRUSI DENGAN BAHAN BAKU JAGUNG MAKALAH KOMPREHENSIF FAKTOR PENENTU KARAKTERISTIK PRODUK EKSTRUSI DENGAN BAHAN BAKU JAGUNG MAKALAH KOMPREHENSIF OLEH: STEVANY KOE 6103008011 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA

Lebih terperinci

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG III. KEGIATAN MAGANG A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG Kegiatan magang dilaksanakan di sebuah perusahaan snack di wilayah Jabotabek selama empat bulan. Kegiatan magang ini dimulai pada tanggal 10 Maret sampai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian analisis sifat fisik cookies berbahan baku tepung terigu dengan substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat Dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstruder ulir ganda (Berto Industries), vibrating screen, pin disc mill, alat penyosoh, alat bantu (baskom,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. 3.1. Materi

Lebih terperinci

METODE Lokasi dan Waktu Materi Rancangan Percobaan Analisis Data

METODE Lokasi dan Waktu Materi Rancangan Percobaan Analisis Data METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Seafast, Pusat

Lebih terperinci

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK SNACK EKSTRUSI BERBAHAN BAKU GRITS JAGUNG YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG PUTIH TELUR SKRIPSI RISMA PITRIAWATI

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK SNACK EKSTRUSI BERBAHAN BAKU GRITS JAGUNG YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG PUTIH TELUR SKRIPSI RISMA PITRIAWATI SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK SNACK EKSTRUSI BERBAHAN BAKU GRITS JAGUNG YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG PUTIH TELUR SKRIPSI RISMA PITRIAWATI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER Suhardi dan Bonimin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Jagung adalah salah satu bahan pangan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Setting Texture Analyser Texture analyser yang digunakan adalah texture analyser Stable microsistem TA-XT Plus. Plunger/probe yang digunakan adalah silinder plat berdiameter

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) :

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Rendemen merupakan persentase perbandingan antara berat produk yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering varietas pioner kuning (P-21). Jagung pipil ini diolah menjadi tepung pati jagung

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat

Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat LAMPIRAN 37 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan aluminium kosong dioven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan sebanyak 5 g sampel dimasukkan ke dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) Pengujian daya serap air (Water Absorption Index) dilakukan untuk bahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA. MAKANAN RINGAN Makanan ringan atau dikenal dengan sebutan snack food adalah makanan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama dan umumnya sudah merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan

Lebih terperinci

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis. 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan dan Hasil Pertanian, Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan muffin adalah tepung terigu, tepung ubi jalar, tepung jagung, margarin, air, garam, telur, gula halus, dan baking

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proses Pengolahan dan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, CV. An-

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan Universitas Diponegoro, Semarang untuk pembuatan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan Universitas Diponegoro, Semarang untuk pembuatan BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni 2017 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan Universitas Diponegoro, Semarang untuk pembuatan pektin kulit jeruk, pembuatan sherbet

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM INSTANSI

BAB IV GAMBARAN UMUM INSTANSI BAB IV GAMBARAN UMUM INSTANSI 4.1. PT. Garuda Food 4.1.1. Sejarah PT. Garuda Food Garuda Food Group berawal dari PT. Tudung, didirikan di Pati, Jawa Tengah pada tahun 1958 dan bergerak di bisnis tepung

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan 14 BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Materi Penelitian Penelitian substitusi tepung suweg terhadap mie kering ditinjau dari daya putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan adalah tepung tapioka, bumbu, air, whey, metilselulosa (MC), hidroksipropil metilselulosa (HPMC), minyak goreng baru, petroleum eter, asam asetat glasial,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Pangan dan Gizi, Prodi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2016-Januari 2017.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2016-Januari 2017. 22 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Materi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2016-Januari 2017. Penelitian kadar air, aktivitas air (a w ), dan pengujian mutu hedonik dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bekatul dari padi non-aromatik (ciherang dan IR 64), dan padi aromatik (pandanwangi dan sintanur) yang diperoleh dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan baku pembuatan biodegradable foam terdiri atas tapioka komersial yang dapat diperoleh di pasar dan ampok jagung yang diperoleh dari sisa pengolahan

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, sementara pengujian mutu gizi dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN 1. Bahan Bahan baku pembuatan pati terdiri atas tapioka dan pati sagu yang diperoleh dari pengolahan masyarakat secara tradisional dari daerah Cimahpar (Kabupaten

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK Pengukuran kadar air menir jewawut dimaksudkan untuk melihat apakah kadar air dari menir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian tentang pengaruh variasi konsentrasi penambahan tepung tapioka dan tepung beras terhadap kadar protein, lemak, kadar air dan sifat organoleptik

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, dan Laboratorium Analisis Kimia Pangan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : bahan baku pembuatan pati termoplastis yang terdiri dari tapioka dan onggok hasil produksi masyarakat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Pioneer 13 dan varietas Srikandi (QPM) serta bahanbahan kimia yang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 17 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2011 sampai Januari 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Cisolok, Palabuhanratu, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto LOGO Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau Mitha Fitriyanto 1409100010 Pembimbing : Prof.Dr.Surya Rosa Putra, MS Pendahuluan Metodologi Hasil dan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI. Oleh MARGI KUSUMANINGRUM

PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI. Oleh MARGI KUSUMANINGRUM PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI Oleh MARGI KUSUMANINGRUM FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO S E M A R A N G

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 14 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni sampai September 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Laboratorium Percobaan Makanan, dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pelaksanaan Penelitian

BAHAN DAN METODE. Pelaksanaan Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Maret 2009. Tempat penelitian di Kebun IPB Tajur I dan analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan tahapan kegiatan, yaitu : bahan baku berupa singkong yang dijadikan bubur singkong,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan mulai Mei sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Industri Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Fermentasi Onggok Singkong (Termodifikasi)

Lampiran 1. Prosedur Fermentasi Onggok Singkong (Termodifikasi) Lampiran 1. Prosedur Fermentasi Onggok Singkong (Termodifikasi) Diambil 1 kg tepung onggok singkong yang telah lebih dulu dimasukkan dalam plastik transparan lalu dikukus selama 30 menit Disiapkan 1 liter

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di Laboratorium Daya dan Alat, Mesin Pertanian, dan Laboratorium Rekayasa Bioproses

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pangan dan Gizi, Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dengan topik Desain Cetakan Tapioca Based Puffed Snack Panggang Dengan Bahan Dasar Stainless Steel dan Aluminium dilakukan di Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-November 2011. Pemeliharaan ternak prapemotongan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci