5 KAJIAN MITIGASI RISIKO (BERDASARKAN SUMBER RISIKO)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 KAJIAN MITIGASI RISIKO (BERDASARKAN SUMBER RISIKO)"

Transkripsi

1 5 KAJIAN MITIGASI RISIKO (BERDASARKAN SUMBER RISIKO) 5.1 Desain Palka Sebagaimana telah dipaparkan pada bab 4, muatan kapal terbesar pada KPIH adalah berupa muatan berbentuk liquid, yaitu air laut dan ikan yang berenang bebas di dalamnya. Muatan berbentuk liquid mudah berubah bentuk. Oleh karena itu Hind (1982) menyarankan agar pada tangki atau palka yang berisi muatan cair, dihindari adanya ruang bebas antara permukaan cairan dengan tutup atau dinding di atasnya. Kondisi ini dimaksudkan agar stabilitas kapal tidak terganggu oleh akibat adanya efek free surface muatan cair yang berada di dalam tangki atau palka. Penentuan desain palka yang sesuai merupakan salah satu langkah mitigasi risiko yang direkomendasikan. Tujuan dari penentuan desain palka yang sesuai adalah untuk memperkecil kemungkinan terbaliknya kapal yang disebabkan karena adanya efek free surface dari muatan liquid yang dibawanya pada saat kapal melakukan gerakan rolling. Semakin kecil efek free surface yang timbul saat kapal melakukan gerakan rolling, maka peluang kapal untuk terbalik menjadi lebih kecil. Selain itu, apabila pergerakan free surface pada muatan liquid tidak terlalu bebas saat kapal melakukan gerakan rolling, maka keberadaan benih ikan di dalam palkapun tidak terlalu terpengaruhi. Sehingga dugaan terjadinya benih ikan mengalami dampak stres akibat timbulnya gerakan massa air yang tidak beraturan saat terjadinya gerakan rolling kapal dapat dihindari. Free surface adalah kondisi permukaan yang biasanya terdapat pada benda berbentuk liquid. Keberadaan permukaan bebas mengakibatkan benda liquid tersebut mudah berubah bentuk sesuai dengan media yang ditempatinya. Efek free surface akan dirasakan terutama saat kapal melakukan gerakan rolling. Pada saat kapal melakukan gerakan rolling, maka terjadilah pergerakan air di bagian permukaan yang mengikuti arah kemiringan kapal akibat momen yang terjadi. Jika massa air yang bergerak ke sisi kapal yang sedang oleng berlebihan, maka titik berat kapal pun akan bergeser ke arah kemiringan kapal. Apabila periode oleng kapal sangat lambat, maka kemungkinan kapal akan terbalik menjadi lebih besar. Dalam kajian terhadap desain palka, kajian pertama adalah mengkaji bentuk palka yang dapat meredam efek free surface. Setelah

2 bentuk palka yang memiliki kemampuan untuk meredam efek free surface ditentukan, maka kajian dilanjutkan dengan memodifikasi bentuk palka terpilih tersebut hingga bentuk palka tersebut lebih mampu lagi meredam efek free surface muatan. Penelitian tentang efek free surface pada kapal pengangkut ikan hidup telah dilakukan oleh Lee et.al (2005) secara simulasi dengan menggunakan model kapal skala laboratorium. Adapun Braathen and Faltinsen (2002), Naito and Sueyoshi (2002), Shiotani and Kodama (1998), dan Shibata et.al (2007) mencoba mengkaji tentang free surface secara numerik. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ketinggian muatan cair dalam tangki, sudut oleng dan periode rolling kapal sangat mempengaruhi besar kecilnya efek free surface yang akan terjadi. Efek free surface dalam penelitian ini ditinjau berdasarkan bentuk profil permukaan air pada saat terjadi gerakan oleng, dalam hal ini adalah implementasi dari dampak gerakan rolling kapal (diistilahkan sebagai profil kemiringan ), dan profil permukaan air saat tidak ada lagi gerakan rolling hingga permukaan air relatif tenang (diistilahkan sebagai profil diam ). Selain itu kajian juga dilakukan terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air mulai dari saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air relatif tenang atau stabil yang untuk selanjutnya diistilahkan sebagai waktu redam Bentuk palka terhadap efek free surface (1) Profil kemiringan permukaan air Profil kemiringan diperoleh dengan menggerakkan jungkat-jungkit ke atas dan ke bawah hingga mencapai sudut kemiringan sekitar 10º. Diperkirakan panjang lintasan gerakan rolling dari kemiringan di sisi kiri ke kemiringan di sisi kanan kapal dan kembali ke kemiringan di sisi kiri kapal sekitar 40º atau 0,698 radian. Pengamatan terhadap kemiringan permukaan air dilakukan saat palka mencapai kemiringan maksimal yaitu 10º ke kiri dan ke kanan. Beberapa contoh profil kemiringan permukaan air yang terjadi disampaikan pada Gambar 32. Pada gambar tersebut terlihat adanya perbedaan ketinggian permukaan air. Kondisi ini terjadi karena perbedaan bentuk palka dengan volume air yang sama pada masing-masing palka tersebut menyebabkan ketinggian air yang dihasilkan berbeda. Model palka silinder (model

3 palka B) memiliki ketinggian permukaan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian permukaan air di model palka kotak (model palka A). Pada gambar tersebut terlihat bahwa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak dan model palka silinder memiliki profil yang relatif sama. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengukuran sudut kemiringan permukaan air terhadap garis yang sejajar permukaan air saat sebelum terjadinya gerakan rolling (Tabel 13). Pada tabel tersebut terlihat tidak adanya perbedaan sudut kemiringan permukaan air baik pada model palka A dan palka B. Hal ini diperkuat dari hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa nilai F hit < F Tab, atau nilai P-Value > 0,05 maka tidak terjadi perbedaan kemiringan air pada palka berbentuk kotak dengan silinder. Atau dengan kata lain, bentuk palka tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kemiringan air pada palkah yang dicobakan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 1.

4 Kiri 3 Kanan 3 Kiri 1 Kanan 1 Kiri 2 Kanan 2 Kiri 3 Kanan 3 Keterangan: Model B Model A Rata air model B Rata air model A Gambar 32 Profil permukaan air saat rolling.

5 Tabel 13 Sudut kemiringan permukaan air saat rolling Posisi Data Kemiringan air (º) Beda kemiringan ke- model palka model palka kemiringan kotak silinder (º) Kiri Rata-rata kiri 5,3 2,9 2, Kanan Rata-rata kanan 5,3 2,9 2,4 Shibata et.al (2007) telah mengkaji hubungan gerakan kapal dengan green water di atas dek kapal. Green water adalah istilah untuk keberadaan air di atas dek kapal akibat hempasan gelombang pada gerak dinamik kapal di laut. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa bentuk permukaan bebas (free surface), tidak mempengaruhi efek yang akan ditimbulkannya. Informasi inilah yang menjelaskan mengapa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak dan model palka silinder saat terjadi rolling tidak menunjukkan perbedaan. Akan tetapi jika diperhatikan bentuk ujung permukaan air yang tertahan oleh dinding palka, terdapat perbedaan, dimana bentuk ujung permukaan air pada model palka kotak lebih landai dibandingkan pada model Palka silinder. Penelitian Bai (2005) terhadap aliran free surface pada ketinggian permukaan air yang berbeda, menjawab fenomena tersebut. Dari hasil

6 penelitian tersebut terungkap bahwa permukaan air yang lebih rendah akan memiliki bentuk aliran free surface yang landai pada saat bertubrukan dengan dinding pembatas. Adapun pada permukaan air yang lebih tinggi, bentuk aliran free surface-nya saat bertubrukan dengan dinding pembatas berbentuk kemiringan yang curam. Bentuk aliran free surface yang landai pada ujung yang bertubrukan dengan dinding pembatas akan menghasilkan gelombang balik yang lebih pendek dan landai dibandingkan dengan bentuk aliran free surface yang curam. Kondisi ini mengakibatkan permukaan air yang lebih rendah akan lebih cepat stabil atau tenang kembali setelah tidak ada gaya eksternal yang mengganggunya. Lee et.al (2005) dalam penelitiannya yang mengkaji keragaan gerakan rolling kapal ikan yang dilengkapi dengan palka ikan hidup, mengemukakan bahwa keberadaan free surface akan meningkatkan damping moment coefficient kapal. Damping moment coefficient adalah merupakan momen koefisien yang menunjukkan kemampuan kapal untuk meredam gaya dari luar (external force) yang mengenai kapal (Bhattacharyya, 1978). Semakin tinggi keberadaan free surface tersebut, akan meningkatkan damping moment coefficient kapal. Jika damping moment meningkat maka kemampuan kapal untuk meredam gaya eksternal yang mengenai kapal (gelombang), akan semakin berkurang. Berdasarkan kajian sebelumnya diperkirakan bahwa efek free surface akan lebih besar dirasakan oleh kapal yang menggunakan palka berbentuk silinder. Jika dihubungkan dengan damping moment coefficient kapal, maka diperkirakan damping moment coefficient pada kapal dengan palka silinder akan lebih besar bila dibandingkan dengan kapal yang memakai palka kotak. Dengan demikian maka kemampuan kapal dengan palka silinder untuk meredam gaya eksternal akan lebih kecil dibandingkan dengan kapal yang memakai palka kotak. Mengecilnya kemampuan redam kapal akan mengakibatkan stabilitas kapal menurun karena dinamika kapal lebih banyak dipengaruhi oleh gaya eksternal. Akan lain permasalahannya jika pada kedua palka diisi penuh oleh air laut. Apabila terjadi gerakan rolling, maka tidak akan terjadi pergerakan fluida dipermukaannya. Sehingga tidak akan terjadi perubahan posisi titik berat di palka yang pada akhirnya tidak akan mempengaruhi stabilitas kapal. Akan tetapi pengkondisian ini mengakibatkan volume air laut di dalam model palka kotak lebih besar bila dibandingkan dengan model palka silinder.

7 (2) Profil permukaan air setelah terjadi rolling Setelah model palka kotak dan silinder diolengkan ke kanan dan ke kiri selama kurang lebih 20 detik, selanjutnya model palka kotak dan silinder diposisikan tegak kembali. Pengamatan mulai dilakukan terhadap profil permukaan air mulai saat posisi model palka tegak hingga 1 detik kemudian. Profil permukaan sesaat setelah posisi model palka ditegakkan dapat dilihat pada Gambar 33. Keterangan: Model B Model A Rata air Model B Rata air Model A Gambar 33 Profil permukaan air saat palka kembali tegak setelah rolling (0 detik). Sebagaimana hasil penelitian Bai (2003), pada gambar tersebut di atas, permukaan air pada model palka B (silinder) yang lebih tinggi daripada model palka A (kotak) nampak sangat dinamis dibandingkan dengan permukaan air pada model palka kotak yang nampak seakan-akan langsung stabil. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap bentuk permukaan air serta ketinggian permukaan air pada profil permukaan air setiap 0,1 detik selama 1 detik (Gambar 34). Pada Gambar 34 terlihat bahwa pada ordinat pengukuran tertentu, menjelang 1 detik pengamatan, pada model palka kotak permukaan airnya semakin banyak yang telah menyamai garis rata air pada saat tidak ada gerakan. Berdasarkan ketinggian permukaan air pada ordinat pengukuran, terlihat bahwa ketinggian permukaan air pada ordinat-ordinat pengukuran pada model palka kotak cenderung lebih rendah dibandingkan pada model palka silinder. Permukaan air yang lebih tinggi pada model palka silinder menunjukkan bahwa permukaan air pada model palka silinder lebih dinamis dibandingkan pada model palka kotak. Apabila permukaan muatan cair di dalam palka sangat dinamis, maka kondisi kapal untuk

8 kembali tegak setelah gaya yang mengakibatkan gerakan rolling kapal hilang akan lebih sulit. Perlu diketahui bahwa walaupun palka sudah tidak diolengkan, akan tetapi gerakan fluida cair masih terus terjadi terlebih jika fluida cair tersebut terus bertubrukan dengan dinding pembatas.

9 Keterangan: Palka B Palka A Rata air Palka B Rata air Palka A Gambar 34 Profil permukaan air 0,1-0,9 detik setelah model palka kembali tegak.

10 172 Pada Gambar 35 disajikan profil permukaan air pada kedua model palka setelah 1 detik. Terlihat bahwa pada model palka kotak permukaan airnya relatif telah lebih banyak bagian yang telah sejajar dengan garis rata air dibandingkan dengan pada model palka silinder. Keterangan: Palka B Palka A Rata air Palka B Rata air Palka A Gambar 35 Profil permukaan air setelah 1 detik model palka kembali tegak. (3) Waktu Redam Waktu redam adalah lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air di dalam model palka, mulai dari saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air tersebut relatif tenang kembali atau stabil. Dari 10 kali pengukuran, terlihat bahwa waktu redam permukaan air pada model palka kotak adalah antara 9-13 detik. Adapun di model palka silinder waktu redam permukaan air adalah antara detik. Dengan demikian waktu redam permukaan air di model palka kotak lebih kecil dibandingkan di model palka silinder. Bahkan dari data waktu redam, permukaan air pada model palka kotak rata-rata tiga kali lebih cepat stabil dibandingkan dengan permukaan air pada model palka silinder. Waktu redam permukaan air yang lebih singkat pada model palka kotak dimungkinkan terjadi, mengingat profil ujung aliran permukaan air berada pada dinding palka yang landai sehingga tekanan balik pada ujung aliran saat bertubrukan dengan dinding palka tidak terlalu besar sehingga momen tubrukan antara aliran air di permukaan dengan dinding pembatas tidak terlalu besar. Kondisi inilah yang mengakibatkan waktu redam permukaan air pada model palka kotak lebih singkat

11 173 dibandingkan dengan di model palka silinder yang memiliki profil ujung aliran permukaan air pada dinding palka yang curam. Hal ini dibuktikan pula oleh ketinggian permukaan air terhadap garis rata air di model palka kotak yang cenderung lebih rendah daripada di model palka silinder selama 1 detik pengamatan. Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui bahwa waktu redam permukaan air pada model palka berbentuk kotak dengan pada model palka berbentuk silinder berbeda nyata. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 1. Bentuk palka silinder yang lebih hidrodinamis dibandingkan dengan palka kotak, memungkinkan gerakan permukaan air di dalam palka silinder lebih dinamis. Hal ini disebabkan tidak ada bagian di dalam palka silinder yang dapat menghambat gerakan atau aliran muatan cair atau fluida cair tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, maka model palka berbentuk silinder memiliki efek free surface lebih besar dibandingkan pada palka berbentuk kotak Pengaruh sirip peredam terhadap efek free surface Beberapa upaya telah dilakukan oleh manusia untuk mengurangi efek free surface yang berlebihan saat membawa atau mengangkut muatan cair. Cara yang lebih umum dilakukan adalah dengan memenuhi wadah dengan muatan cair hingga penuh sehingga tidak ada ruang kosong di antara permukaan muatan cair dengan tutup atau dinding atas wadah atau media. Para pedagang ikan hias, sebelum menggunakan jirigen atau kantong plastik yang diisi air dan oksigen, telah menggunakan keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang dilapisi dengan cat kedap air. Keranjang tersebut memiliki dinding yang miring ke arah dalam sebagaimana terlihat pada ilustrasi yang disajikan pada Gambar 36. Saat keranjang tersebut dipikul dan dibawa berjalan oleh si pedagang, maka permukaan air di dalam keranjang tersebut akan bergerak bebas sesuai dengan arah ayunan keranjang. Semakin kuat gerakan keranjang ikan saat dipikul, maka akan semakin besar pula pergerakan free surface-nya. Akan tetapi dengan bentuk konstruksi keranjang yang demikian, maka pergerakan permukaan air menuju ke dalam keranjang. Kondisi ini memperkecil peluang tumpahnya air keluar dari keranjang.

12 cm 43 cm (a) Tampak atas 38 cm 43 cm (b) Tampak samping Gambar 36 Keranjang pengangkut ikan hias. Pada prinsipnya, bentuk keranjang tersebut memungkinkan untuk membatasi gerakan aliran air. Demikian pula prinsip penggunaan bilge keel atau sirip kseimbangan yang dipasang di sisi luar badan kapal dan breakwater di pelabuhan. Pemasangan bilge keel ini dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas kapal dengan cara menahan laju gerakan rolling kapal. Adapun breakwater yang dipasang di depan jalur masuk ke kolam pelabuhan, berfungsi untuk menahan gelombang yang akan masuk ke kolam pelabuhan. Tertahannya gelombang oleh breakwater menjadikan gelombang yang masuk ke kolam pelabuhan telah memiliki energi yang jauh kecil dibandingkan dengan gelombang yang sebelum mengenai breakwater. Terilhami dari bentuk media pengangkut ikan hias, sirip keseimbangan, dan breakwater, maka peneliti mencoba memasang sirip yang akan dipasang di bagian dalam dinding palka. Sirip tersebut diharapkan dapat menahan gerakan atau aliran air yang akan melewatinya, sehingga gerakan free surface dapat tertahan dan pada akhirnya akan teredam. Prinsip kerja sirip peredam dapat dikatakan hampir sama dengan break water di pelabuhan, bilge keel pada kapal atau bentuk lengkung media pengangkut muatan cair pada keranjang pengangkut ikan hias. Break water yang di pasang di depan jalur kolam pelabuhan, berfungsi untuk mengurangi energi gelombang yang akan masuk ke kolam pelabuhan. Apabila energi gelombang (E w ) yang masuk ke dalam kolam pelabuhan

13 175 dapat dikurangi bahkan jika mungkin E w = 0, maka diharapkan tidak terdapat gelombang di dalam kolam pelabuhan. Demikian pula bentuk lengkung di bagian atas pada keranjang pengangkut ikan hias, dimaksudkan untuk mengurangi energi yang timbul saat permukaan benda cair bergerak seiring dengan bergeraknya media yang ditempatinya. Adapun bilge keel pada kapal berfungsi untuk meredam pergerakan oleng kapal dengan menahan sejumlah luasan massa air yang tertahan oleh luasan permukaan bilge keel. Sirip peredam dipasang di sisi bagian dalam di sekeliling dinding model palka (Gambar 14). Luas sirip peredam yang dipasang di dua sisi dinding bagian dalam model palka adalah sebesar lebar sirip peredam (l s ) dikalikan dengan panjang seluruh sirip peredam yang dipasang di sisi bagian dalam model palka. Panjang sirip peredam yang dipasang di sisi dinding dalam model palka terdiri dari dua ukuran, yaitu: 1) Ukuran panjang sirip peredam pertama (p s 1) adalah = panjang palka (p p ) 2) Ukuran panjang sirip peredam kedua (p s 2) adalah = lebar palka (l p ) dikurangi dua kali lebar sirip peredam (l s ), sehingga p s 2 = l p 2l s. Dikarenakan dinding palka berbentuk kotak terdiri dari empat sisi, maka penentuan panjang sirip sebagaimana dijelaskan di atas mengakibatkan tiap ukuran panjang sirip peredam masing-masing terdiri dari dua unit. Oleh karena itu, maka luas sirip peredam adalah:... (31) atau... (32) dimana A sp adalah luas sirip peredam. Dengan demikian total luas sirip peredam yang dipasang di sekeliling model palka dengan ukuran panjang palka (p p ) lebar palka (l p ) = 25 cm 25 cm adalah sebesar {(50 cm 2) + (42 cm 2)} = 184 cm 2. Adapun luas permukaan muatan liquid (A fs ) di dalam model palka tersebut adalah sebesar 625 cm 2. Pada saat terjadi gerakan oleng, dapat dikatakan bahwa permukaan cair yang bergerak adalah seluas permukaan palka yaitu 625 cm 2. Akan tetapi karena adanya sirip peredam yang dipasang di sekeliling dinding model palka yaitu tepat di bagian atas permukaan cair, maka permukaan liquid seluas sirip peredam yaitu 184 cm 2 akan tertahan oleh sirip

14 176 peredam. Jika luas sirip peredam dibandingkan dengan luas permukaan cair yang terdapat di dalam model palka, maka akan diperoleh rasio sebagai berikut:... (33) Sehingga dapat dikatakan bahwa luas sirip peredam yang menghambat pergerakan free surface adalah sebesar 29 % dari luas free surface. Berdasarkan paparan di atas, maka kajian terhadap desain palka ini memiliki tujuan khusus yaitu: untuk mengetahui apakah penggunaan sirip peredam yang dipasang di sepanjang dinding dalam model palka mampu meredam efek free surface saat terjadi rolling ataukah tidak. Selanjutnya efek free surface dalam penelitian ini akan ditinjau berdasarkan bentuk profil permukaan air pada saat terjadi gerakan oleng, dalam hal ini adalah implementasi dari dampak gerakan rolling kapal (diistilahkan sebagai profil kemiringan ), dan profil permukaan air saat tidak ada lagi gerakan rolling hingga permukaan air relatif tenang (diistilahkan sebagai profil diam ). Selain itu kajian juga dilakukan terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air mulai dari saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air relatif tenang atau stabil yang untuk selanjutnya diistilahkan sebagai waktu redam. (1) Profil kemiringan permukaan air Sebagaimana telah disampaikan dalam metode penelitian, profil kemiringan diper-oleh dengan menggerakkan jungkat-jungkit ke atas dan ke bawah hingga mencapai sudut sekitar 10º dengan periode oleng rata-rata selama 2 detik. Diperkirakan panjang lintasan gerakan rolling dari kemiringan di sisi kiri ke kemiringan di sisi kanan kapal dan kembali ke kemiringan di sisi kiri kapal sekitar 40º atau 0,698 radian. Pengamatan terhadap kemiringan permukaan air dilakukan saat palka mencapai kemiringan maksimal yaitu 10º ke kiri dan ke kanan. Beberapa contoh profil kemiringan permukaan air yang terjadi disampaikan pada Gambar 37. Pada gambar tersebut terlihat bahwa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak tanpa sirip peredam dan model palka kotak dengan sirip peredam memiliki profil yang berbeda. Profil permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam tidak terlalu miring jika dibandingkan dengan profil permukaan air pada palka tanpa sirip

15 177 peredam. Berdasarkan besarnya sudut yang terbentuk antara kemiringan permukaan air dengan garis rata air saat tidak terjadi rolling, terlihat bahwa sudut kemiringan permukaan air pada palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam lebih besar jika dibandingkan dengan sudut kemiringan permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Besarnya sudut kemiringan permukaan air pada kedua palka tersebut disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sudut kemiringan permukaan air saat rolling Posisi kemiringan Data ke- Kemiringan air (º) Beda kemiringan (º) tanpa sirdam dengan sirdam Kiri Rata-rata kiri 5,3 2,9 2, Kanan Rata-rata kanan 5,3 2,9 2,4

16 Kiri 3 Kanan Kiri 1 Kanan 1 Kiri 2 Kanan 2 Kiri 3 Kanan 3 Keterangan: dengan sirdam tanpa sirdam Rata air Gambar 37 Profil permukaan air saat rolling. Besar sudut kemiringan permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam berkisar antara 4-6º dengan sudut rata-rata sebesar 5,3º. Adapun besarnya sudut kemiringan permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam berkisar antara 2-3º dengan sudut rata-rata sebesar 2,9º. Perbedaan

17 179 kemiringan permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam dengan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam adalah berkisar antara 2-3º dengan perbedaan sudut rata-rata sebesar 2,4º. Berdasarkan hasil uji statistik, menunjukkan bahwa nilai F hit > F Tab, atau nilai P-Value < 0,05. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemiringan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam dan tanpa sirip peredam. Artinya penggunaan sirip peredam berpengaruh nyata terhadap perbedaan kemiringan air pada palkah. Analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan perbedaan sudut kemiringan permukaan air tersebut, maka diperkirakan bahwa keberadaan sirip peredam mampu menahan pergerakan free surface antara %. Fenomena ini terjadi dikarenakan pada saat gerakan rolling terjadi, free surface pada model palka tanpa sirip peredam mengalir dengan bebas ke arah kemiringan palka hingga kondisi free surface kembali rata. Lain halnya dengan yang terjadi pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, saat terjadi gerakan rolling, free surface juga mengalir ke arah kemiringan palka. Akan tetapi sebelum kondisi free surface kembali rata, sirip peredam yang dipasang di dinding dalam palka menghambet.aliran free surface tersebut. Pada saet.aliran free surface tersebut mengenai sirip peredam, maka akan ada sebagian aliran free surface tersebut yang tertahan oleh sirip peredam. Bukan saja tertahan, akan tetapi juga terjadi refleksi dari aliran free surface yang mengenai sirip peredam. Refleksi aliran free surface yang terjadi biasanya memiliki gaya atau tekanan yang sama besarnya dengan gaya atau tekanan aliran free surface saat mengenai sirip peredam. Hanya saja arahnya berlawanan. Triatmodjo (1999) mengemukakan bahwa apabila gelombang mengenai dinding pembatas, maka akan terjadi refleksi gelombang. Dinding pembatas yang vertikal terhadap kedatangan gelombang dan tidak permeabel, akan memantulkan sebagian besar energi gelombang. Oleh karena itu tinggi gelombang yang dipantulkan sama dengan tinggi gelombang datang. Demikian pula lah yang terjadi pada aliran free surface di dalam palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Adanya refleksi aliran free surface yang tekanannya sama besar dengan tekanan aliran free surface yang mengenai sirip peredam akan tetapi berlawanan arah, mengakibatkan tertahannya aliran free surface yang berada dibelakangnya. Sehingga timbulah turbulensi yang pada akhirnya menghambat gerakan aliran free surface. Apabila luas penampang sirip peredam sebanding dengan luas aliran free surface yang mengenainya,

18 180 maka aliran free surface tidak melewati sirip peredam. Lain halnya jika luas sirip peredam lebih kecil dibandingkan dengan luas aliran free surface yang mengenainya, walaupun terjadi refleksi aliran free surface, sebagian aliran free surface yang tidak mengenai sirip peredam akan melewati sirip peredam tersebut. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa volume aliran free surface yang melewati sirip peredam tersebut jauh lebih sedikit dan dengan tekanan yang telah berkurang. Fenomena inilah yang diduga menjadi penyebab lebih kecilnya sudut kemiringan permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam dibandingkan pada palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam saat terjadi gerakan rolling. Berdasarkan kajian terhadap profil permukaan air saat terjadi gerakan rolling, penggunaan sirip peredam dapat mengurangi besarnya sudut yang dibentuk oleh profil permukaan air saat oleng dengan pernukaan air saat tidak oleng. Jika dihubungkan dengan damping moment coefficient kapal, maka diperkirakan damping moment coefficient pada kapal yang menggunakan palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam akan lebih besar dibandingkan dengan kapal yang menggunakan palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam. Sehingga kemampuan kapal dengan palka kotak tanpa sirip peredam untuk meredam gaya eksternal akan lebih kecil dibandingkan kapal dengan palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam. Mengecilnya kemampuan redam kapal akan mengakibatkan stabilitas kapal menurun dikarenakan dinamika kapal lebih dipengaruhi oleh gaya eksternal. (2) Profil permukaan air sesaat setelah terjadi rolling Kedua model palka tersebut diolengkan ke kanan dan ke kiri dengan cara menaik-turunkan jungkat-jungkit pada salah satu sisinya, dengan periode oleng selama 2 detik. Kemudian untuk selanjutnya kedua model palka tersebut diposisikan tegak kembali. Pengamatan mulai dilakukan terhadap profil permukaan air mulai saat posisi model palka tegak hingga 1 detik kemudian. Profil permukaan sesaat setelah posisi model palka ditegakkan (s= 0 detik ) dapat dilihat pada Gambar 38.

19 181 Gambar 38 Profil permukaan air saat model palka kembali tegak setelah rolling (0 detik). Pada Gambar 38 terlihat bahwa profil permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam, sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, membentuk gelombang di salah satu ujung aliran free surface. Lain halnya dengan yang terjadi pada profil permukaan air di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Profil permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, banyak membentuk riak di sepanjang free surface. Bentuk free surface sesaat setelah kedua model palka kembali ditegakkan, dapat dilihat pada Gambar 39. Gelombang di permukaan Riak di permukaan (a) (b) Keterangan: (a) gelombang di permukaan model palka tanpa sirdam (b) riak di permukaan model palka dengan sirdam Gambar 39 Profil permukaan air dilihat dari atas pada kedua model sesaat setelah gerakan rolling.

20 182 Pada Gambar 39 terlihat bahwa gerakan free surface pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam masih dapat bergerak bebas sehingga terbentuklah gelombang. Lain halnya pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, gerakan free surface tertahan oleh keberadaan sirip peredam tersebut. Sehingga refleksi aliran free surface mengakibatkan terjadinya tubrukan dengan aliran free surface yang berada di belakangnya, dan pada akhirnya mengakibatkan timbulnya riak pada permukaan. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap bentuk permukaan air serta ketinggian permukaan air pada profil permukaan air setiap 0,1 detik selama 1 detik (Gambar 40). Pada Gambar 40 terlihat bahwa pada ordinat pengukuran tertentu, menjelang 1 detik pengamatan, pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, permukaan airnya semakin banyak yang telah menyamai garis rata air pada saat tidak ada gerakan. Berdasarkan ketinggian permukaan air pada ordinat pengukuran, terlihat bahwa ketinggian permukaan air pada ordinat-ordinat pengukuran pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam cenderung lebih rendah dibandingkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam. Jika dilihat dari bentuk profil permukaan yang terjadi, pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, permukaan airnya membentuk riak-riak kecil. Riak-riak kecil tersebut terbentuk karena seringnya aliran free surface bertubrukan dengan sirip peredam yang di pasang di sekeliling dinding palka. Saet.aliran free surface menabrak sirip peredam, maka aliran free surface akan terpecah sebagaimana yang terjadi pada gelombang yang menabrak breakwater. Kondisi tersebut di atas, menunjukkan bahwa permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam tersebut lebih dinamis dibandingkan pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Apabila permukaan muatan cair di dalam palka sangat dinamis, maka kondisi kapal untuk kembali tegak setelah gaya yang mengakibatkan gerakan rolling kapal hilang akan lebih sulit. Perlu diketahui bahwa walaupun palka sudah tidak diolengkan, akan tetapi gerakan fluida cair masih terus terjadi terlebih jika fluida cair tersebut terus bertubrukan dengan dinding pembatas. Berdasarkan uji statistik, diperoleh nilai F hit > F Tab, atau nilai P-Value < 0,05. Artinya bahwa terdapat perbedaan ketinggian riak air maksimum pada palka yang dilengkapi dengan sirdam dan tanpa sirdam. Dengan kata lain, bahwa penggunaan sirdam berpengaruh nyata terhadap perbedaan ketinggian riak air yang terjadi di dalam kedua

21 183 model palka. Data tinggi permukaan air tertinggi yang dihasilkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peradam dan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam disajikan pada Tabel 15. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 2. Tabel 15 Ketinggian riak air maksimum pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam (non sirdam) dan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam (sirdam) Waktu pengamatan Ketinggian riak tertinggi dari rata garis air (mm) detik ke- tanpa sirdam dengan sirdam 0,0 2,0 1,2 0,1 2,0 1,9 0,2 1,8 0,8 0,3 1,0 1,0 0,4 3,0 1,6 0,5 1,0 1,0 0,6 2,0 2,0 0,7 2,0 0,5 0,8 1,8 1,0 0,9 2,0 1,1 1,0 2,0 0,5 Pada Gambar 41 disajikan profil permukaan air pada kedua model palka setelah 1 detik. Terlihat bahwa permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam relatif telah banyak yang sejajar dengan garis rata air dibandingkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.

22 184 Keterangan: tanpa sirip peredam dengan sirip peredam Rata air 100 Gambar 40 Profil permukaan air setelah 0,1 0,9 detik model palka kembali tegak.

23 Gambar 41 Profil permukaan air setelah 1 detik palka kembali tegak. (3) Waktu redam Waktu redam adalah lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air di dalam model palka, mulai saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air tersebut kembali relatif tenang atau stabil. Pada Tabel 16 disajikan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air mulai dari saat gerakan rolling ditiadakan hingga relatif tenang atau stabil atau yang diistilahkan sebagai waktu redam. Dari tiga kali pengukuran terlihat bahwa waktu redam permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam adalah antara detik. Adapun waktu redam di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam adalah antara 5 7 detik. Dengan demikian waktu redam permukaan air di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam 2 3 kali lebih cepat dibandingkan di model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.

24 158 Tabel 16 Waktu redam permukaan air di dalam model palka Data ke- Tanpa sirip peredam (detik) Dengan sirip peredam (detik) Rata-rata: 15,6 5,95 Pada kondisi yang normal, bentuk profil permukaan air sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, seperti yang terjadi pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam. Permukaan air terus bergerak bebas cenderung ke atas dinding pembatas searah gerakan rolling yang telah ditiadakan. Akan tetapi, pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, setiap gerakan air tertahan oleh permukaan sirip peredam. Tertahannya gerakan air inilah yang memungkinkan waktu redam pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam lebih cepat jika dibandingkan dengan model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam. Berdasarkan hasil kajian terhadap profil kemiringan permukaan air dan waktu redam, maka dapat dikatakan bahwa luas permukaan sirip peredam yang hanya sebesar 29 % dari luas free surface telah mampu meredam atau mereduksi efek free surface yang akan muncul saat terjadinya gerakan oleng pada kapal. Jika luas sirip peredam yang digunakan lebih dari 29 %, maka akan lebih banyak lagi free surface yang dapat ditahan oleh sirip peredam. Terlebih jika rasio luas sirip peredam dengan luas free surface mencapai nilai 1, maka dikatakan tidak terdapat free surface. Kondisi ini sama dengan kondisi dimana muatan liquid dimasukkan ke dalam palka hingga terisi penuh sehingga muatan liquid mengisi palka hingga ke dinding bagian atas palka. Selain itu pula, berdasarkan hasil kajian terhadap profil permukaan air di dalam model palka baik pada saat diolengkan maupun sesaat setelah dioleng, maka dapat diperkirakan bahwa

25 159 pemasangan sirip peredam pada sisi bagian dalam model palka mampu meredam efek free surface hingga %. Akan tetapi berdasarkan waktu redam, keberadaan sirip peredam mampu meredam efek free surface antara 33,3 50 %. 5.2 Sistem Pemeliharaan Kualitas Air Pada KPIH Opened hull, sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka dilakukan dengan menggunakan sistem sirkulasi. Sistem sirkulasi mengakibatkan terjadinya pertukaran air laut di dalam palka dengan air laut yang berasal dari luar badan kapal. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya pada kajian risiko KPIH Opened hull, kualitas air laut di dalam palka sangat ditentukan oleh kualitas air laut yang masuk. Berdasarkan saran langkah mitigasi risiko, sistem sirkulasi diganti dengan sistem resirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka. Pada kenyataannya, sistem resirkulasi adalah merupakan sistem pemeliharaan kualitas air yang biasa digunakan di bak-bak atau aquarium penampungan ikan. Penggunaan sistem tersebut dapat menjaga kestabilan kualitas air di dalam bak hingga waktu yang lama (lebih dari 1 minggu). Bahkan di toko-toko yang menjual ikan hias, terkadang di dalam akuarium hanya dimasukkan aerator yang berfungsi untuk menambah konsentrasi oksigen terlarut di dalam akuarium. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taufik et.al (2008), menyimpulkan bahwa sistem resirkulasi merupakan sistem pergantian air yang paling baik dalam pemeliharaan benih ikan betutu (Oxyeleotris marmorata Blkr). Diduga, sistem resirkulasi inipun sesuai pula sebagai sistem pergantian air dalam pemeliharaan benih ikan kerapu bebek. Berdasarkan paparan di atas, maka dalam kajian sistem pemeliharaan kualitas air, akan dikaji kinerja dari sistem pemeliharaan kualitas air yang hanya dilengkapi dengan aerator (sistem aerasi), sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasiaerasi. Oleh karena itu, kajian ini memiliki tujuan khusus yaitu untuk mendapatkan kinerja dari masing-masing sistem pemeliharaan kualitas air dalam menjaga kondisi fisik (konsentrasi oksigen terlarut/do dan suhu air) dan kimia (nilai ph dan NH 3 tak terionisasi/un-ionized) air laut di dalam model palka. Pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, terjadi pertukaran air di dalam model palka. Pertukaran air terjadi antara model palka dengan bak filter. Lain halnya dengan model palka yang

26 160 dilengkapi dengan sistem aerasi, tidak terjadi pertukaran air di dalam model palka tersebut Suhu air laut Pengamatan terhadap suhu air laut di dalam model palka pada setiap sistem pemeliharaan kualitas air dilakukan pada suhu ruangan yang berkisar antara 24-25ºC. Hasil pengukuran suhu air laut pada setiap perlakuan, disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 42. Adapun nilai hasil pengukuran suhu air laut di dalam model palka pada ketiga sistem pemeliharaan kualitas air disajikan pada Tabel 17. Gambar 42 Fluktuasi suhu air laut (selama 24 jam pengamatan) Tabel 17 Rata-rata suhu air laut pada setiap sistem pemeliharaan kualitas air laut (ºC) Jam Sistem pemeliharaan kualitas air Resirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi 7:30 25,6 26,0 24,9 10:30 25,7 26,3 25,1 13:30 25,8 26,3 25,3 16:30 25,9 26,5 25,4 19:30 25,9 26,9 25,5 22:30 25,8 26,7 25,4 01:30 25,6 26,6 25,2 04:30 25,5 26,4 24,9 Rata-rata: 25,70 26,44 25,23

27 161 Pada grafik tersebut terlihat adanya perbedaan antara suhu air laut yang berada pada sistem aerasi, resirkulasi dan kombinasi resirkulasi-aerasi. Hal ini diperkuat dari hasil uji statistik yang menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 3. Pada grafik juga terlihat bahwa suhu air laut pada sistem aerasi lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu air laut pada sistem resirkulasi dan kombinasi aerasi-resirkulasi. Lebih rendahnya suhu air laut pada sistem aerasi dimungkinkan dapat terjadi. Kondisi isi disebabkan karena pada dua sistem lainnya terdapat pompa air yang pemasangannya berada di dalam bak filter. Selama mesin pompa air tersebut bekerja, mesin pompa tersebut menghasilkan panas yang selanjutnya mempengaruhi suhu air laut yang berada di sekitarnya. Air laut yang berada di dalam filter tersebut untuk selanjutnya dialirkan ke dalam model-model palka. Jika dibandingkan antara sistem resirkulasi dan sistem kombinasi aerasiresirkulasi, walaupun keduanya dilengkapi dengan pompa air yang dipasang di dalam bak filter, akan tetapi suhu air laut yang terdapat di dalam model palka berbeda. Suhu air laut pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi lebih besar jika dibandingkan dengan suhu air laut pada sistem kombinasi aerasi-resirkulasi. Kondisi ini diduga terjadi karena keberadaan aerasi yang melengkapi sistem kombinasi aerasiresirkulasi turut membantu menurunkan suhu air laut di dalam model palka. Proses aerasi memungkinkan terjadinya pencampuran air yang lebih merata di dalam model palka. Pada model palka yang hanya dilengkapi dengan sistem resirkulasi, pencampuran massa air di dalam model palka tersebut hanya tergantung kepada aliran air yang masuk ke dalam model palka melalui saluran inlet dan keluar dari dalam model palka melalui saluran outlet. Selanjutnya jika pada grafik tersebut ditarik garis trend, terlihat bahwa pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi cenderung untuk terus mengalami peningkatan suhu. Lain halnya dengan model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi dan kombinasi aerasi-resirkulasi, berdasarkan garis trend terlihat bahwa model palka yang dilengkapi dengan kedua sistem tersebut tidak menunjukkan peningkatan suhu yang signifikan. Pada sistem aerasi dan kombinasi resirkulasi-aerasi, terlihat bahwa walaupun terjadi peningkatan suhu air laut, yaitu mulai siang atau sore hari, akan tetapi menjelang pagi hari, suhu air laut mulai mengalami penurunan. Pada sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, kisaran suhu air laut yang terjadi selama 24 jam

28 162 berkisar antara 25,5 25,9 ºC. Adapun kisaran suhu air laut pada sistem aerasi dan resirkulasi masing-masing berkisar antara 24,9 25,5 ºC dan 26,0 26,9 ºC. Berdasarkan perubahan suhu air laut yang terjadi di dalam model palka selama 24 jam, terlihat bahwa suhu air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi menunjukkan kestabilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem aerasi dan sistem resirkulasi. Sun et.al (2007), dalam penelitiannya terhadap benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara), menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning pada kondisi air laut dengan kisaran suhu air antara 25,7 29,1ºC terlihat dalam kondisi normal. Normal yang dimaksud di sini adalah kondisi ikan terlihat sehat, aktivitas dan warna badan normal (FishVet.Inc., 2000). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketiga sistem pemeliharaan kualitas air tersebut dapat mempertahankan suhu air pada kisaran yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu Konsentrasi oksigen terlarut (Dissolved oxygen concentration) Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya interaksi antara permukaan air dengan udara di atasnya, serta seberapa besar interaksi tersebut terjadi sehingga mengakibatkan masuknya oksigen dari udara ke dalam massa air. Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tumbuhan laut yang dapat memproduksi oksigen, seperti ganggang laut, phytoplankton dan sebagainya. Adapun pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air bergantung pada banyak atau sedikitnya organisme hidup yang menggunakan oksigen untuk mempertahankan hidupnya. Organisme hidup tersebut mulai dari yang berukuran kecil seperti plankton, hingga berukuran besar seperti ikan. Pada Gambar 43 disajikan hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka pada setiap perlakuan, dan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang terukur disajikan pada Tabel 18.

29 163 Gambar 43 Fluktuasi konsentrasi oksigen terlarut (selama 24 jam pengamatan) Tabel 18 Rata-rata nilai konsentrasi oksigen terlarut pada setiap perlakuan (mg O 2 /liter) Jam Sistem pemeliharaan kualitas air Rersirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi 7:30 6,8 6,6 6,5 10:30 6,8 6,5 6,6 13:30 6,7 6,5 6,6 16:30 6,7 6,5 6,6 19:30 6,6 6,4 6,5 22:30 6,6 6,4 6,5 1:30 6,5 6,5 6,5 4:30 6,6 6,5 6,5 Kisaran: 6,5 6,8 6,4 6,6 6,5 6,6 Rata-rata: 6,66 6,49 6,54 Pada Gambar 43 terlihat bahwa berdasarkan kisaran nilai konsentrasi oksigen terlarut pada setiap perlakuan, menunjukkan adanya perbedaan. Berdasarkan uji statistik pun menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang dihasilkan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil uji Tukey (Beda Nyata Jujur), sistem kombinasi resirkulasiaerasi memberikan dampak yang berbeda bila dibandingkan dengan sistem resirkulasi dan aerasi. Mengacu pada nilai rata-rata yang terdapat pada Tabel 18, terlihat bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi menghasilkan konsentrasi oksigen terbesar

30 164 dibandingkan dengan dua sistem lainnya. Adapun hasil uji Tukey (Beda Nyata Jujur) terhadap sistem resirkulasi dan aerasi, keduanya tidak memberikan dampak yang berbeda nyata terhadap konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka. Hal ini terlihat pula dari nilai rata-rata dan nilai kisaran konsentrasi oksigen terlarut dari kedua sistem tersebut. Mengacu pada perubahan nilai konsentrasi oksigen terlarut dengan pengukuran selama 24 jam, terlihat bahwa pada setiap perlakuan ada kecenderungan yang sama, yaitu nilai konsentrasi oksigen terlarutnya cenderung bertambah besar mulai saat siang hari dan kembali turun menjelang sore hari. Hasil pengukuran suhu air laut sebelumnya juga menunjukkan bahwa pada siang hari terjadi peningkatan suhu air laut dan menjelang sore hari suhu air mulai mengalami penurunan. Apabila dikaitkan antara suhu air dan konsentrasi oksigen terlarut, maka dapat dikatakan bahwa peningkatan suhu air akan berakibat pada meningkatnya konsentrasi oksigen terlarut, demikian pula sebaliknya, penurunan suhu air akan berakibat pada menurunnya konsentrasi oksigen terlarut. Beberapa penelitian yang terkait dengan kebutuhan ikan akan jumlah konsentrasi oksigen terlarut di lingkungan hidupnya, diantaranya adalah Langkosono (2006), Pescod dan Okun (1973), Huet (1971) dan Sun et.al (2007). Langkosono (2006) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang baik bagi ikan kerapu adalah 3,95-4,28 ml/liter, sedangkan Sun et.al (2007) menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara) masih tetap dalam kondisi normal pada kondisi air laut dengan konsentrasi oksigen terlarut di atas 6 mg O 2 /liter. Normal yang dimaksud di sini adalah kondisi ikan terlihat sehat, aktivitas dan warna badan normal serta kondisi berkelompok (FishVet.Inc., 2000). Adapun Pescod dan Okun (1973) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang baik bagi kehidupan ikan harus lebih dari 2 ppm. Terkait dengan jumlah konsentrasi oksigen yang dibutuhkan selama pengangkutan, Huet (1971) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut minimal yang masih dapat ditoleransi oleh ikan selama pengangkutan berkisar antara 2 3 mg/liter. Mengacu pada beberapa hasil penelitian di atas, berdasarkan kisaran nilai konsentrasi oksigen terlarut yang dihasilkan oleh ketiga sistem pemeliharaan kualitas air sebagaimana disajikan pada Gambar 37, maka dapat dikatakan bahwa ketiga sistem

31 165 tersebut mampu mempertahankan konsentrasi oksigen terlarut dengan kisaran nilai yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu Amoniak tak terionisasi (NH 3 un-ionized) NH 3 un-ionized merupakan zat yang bersifat racun bagi ikan. NH 3 un-ionized tersebut akan lebih bersifat racun lagi apabila terdapat pada perairan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah (Boyd, 1982). Gowen and Bradbury (1987) dalam Leung et al (1999), menyatakan bahwa lebih dari 50 % nitrogen yang masuk ke dalam sistem budidaya perikanan laut adalah merupakan hasil pembuangan. Boyd (1992) menyatakan bahwa amoniak adalah produk sisa metabolisme yang utama dari ikan, dikeluarkan melalui insang dan urine. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa organisme hidup yang tinggal di dalam perairan tidak saja organisme yang berukuran besar, akan tetapi juga organisme yang berukuran kecil yang mungkin saja tidak terlihat secara kasat mata, seperti misalnya phytoplankton dan zooplankton. Pada Gambar 44 dan Tabel 19 menunjukkan hasil pengukuran amoniak unionized di awal, tengah dan di akhir pengamatan pada setiap sistem pemeliharaan kualitas air. Gambar 44 Perubahan kandungan NH 3 un-ionized selama 24 jam pengamatan.

32 166 Tabel 19 Rata-rata hasil pengukuran NH 3 un-ionized (mg/liter) Contoh air Sistem pemeliharaan kualitas air saat di Resirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi Awal 0,013 0,013 0,013 Tengah 0,009 0,008 0,015 Akhir 0,015 0,011 0,025 Gambar 44 menunjukkan nilai NH 3 un-ionized dari setiap contoh air yang diambil di awal, tengah dan akhir pengamatan. Pada grafik terlihat bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dan sistem resirkulasi yang sama-sama dilengkapi dengan sistem filter, menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada kedua sistem tersebut, konsentrasi NH 3 un-ionized di tengah pengamatan cenderung menurun, dan kembali meningkat pada akhir pengamata. Penurunan jumlah konsentrasi NH 3 un-ionized terbesar (saat di tengah pengamatan) terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi yaitu sebesar 0,005 mg/liter. Adapun penurunan jumlah konsentrasi NH 3 unionized terkecil terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi yaitu sebesar 0,004 mg/liter. Akan tetapi peningkatan konsentrasi NH 3 un-ionized di akhir pengamatan, peningkatan terbesar terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, yaitu sebesar 0,006 mg/liter. Adapun peningkatan konsentrasi NH 3 un-ionized di dalam air laut yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi sebesar 0,003 mg/liter. Lain halnya dengan konsentrasi NH 3 un-ionized pada air laut yang dilengkapi dengan sistem aerasi terus mengalami peningkatan mulai dari awal hingga akhir pengamatan. Berdasarkan kondisi perubahan jumlah konsentrasi NH 3 un-ionized di awal, tengah dan akhir pengamatan di setiap sistem pemeliharaan kualitas air, terlihat bahwa keberadaan filter dan air stone diduga memiliki peranan dalam setiap fenomena perubahan jumlah konsentrasi NH 3 un-ionized di ketiga sistem pemeliharaan kualitas air tersebut. Peranan filter dalam sistem pemeliharaan kualitas air dipastikan dapat mereduksi jumlah konsentrasi NH 3 un-ionized di dalam air. Akan tetapi timbulnya gelembung udara yang disebabkan oleh keberadaan air stone di dalam model palka, diduga sebagai pemicu terjadinya peningkatan aktivitas mikro organisme yang telah ada di dalam air. Meningkatnya aktivitas suatu organisme, umumnya disertasi dengan meningkatnya ekskresi dari organisme itu sendiri.

33 167 Apabila konsetrasi amoniak pada lingkungan meningkat, maka ekskresi amoniak pada ikan akan menurun sehingga kadar amoniak dalam darah dan jaringan akan meningkat. Ikan yang terus menerus terekspos amoniak pada kosentrasi lebih dari 0,02 mg/liter, dapat menurunkan ketahanan hidup ikan terhadap penyakit (Boyd, 1992). Mengacu pada kadar amoniak sebagaimana dijelaskan oleh Boyd (1992), sistem aerasi dikhawatirkan tidak dapat menahan peningkatan kadar amoniak di dalam air. Terlebih pada saat pengukuran amoniak di akhir pengamatan, kadar amoniak dalam air laut di dalam model palka yang masih belum diisi ikan, telah mencapai nilai 0,025 mg/liter Kadar ph Kadar ph dalam air berperan penting dalam menjaga kelangsungan metabolisme dan fisiologi biota yang hidup di dalam air (Parra and Baldisserotto. 2007). Kadar ph yang ekstrim memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan (Zweigh et.al, 1999), dan terkadang dapat mengakibatkan kematian massal dalam suatu budidaya ikan. Perubahan kadar ph yang ekstrim bagi suatu organisme air dapat menyebabkan kemerosotan fungsi jaringan pada insang dan meningkatkan produksi lendir, yang pada akhirnya akan membunuh ikan karena ikan mengalami sesak napas (asphyxia ) (Boyd, 1990 dalam Filho et.al, 2009). Tingkat sensitifitas ikan terhadap kadar ph yang ekstrim sangat bervariasi, tergantung kepada jenis ikan dan usia ikan (larva, juvenil atau dewasa) (Lloyd and Jordan, 1964 dalam Filho et.al, 2009). Filho et.al (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh kadar ph dalam air terhadap ketahanan hidup larva Prochilodus lineatus, menunjukkan bahwa larva tersebut dapat bertahan hidup pada kisaran ph antara 4,8 9,2. Pada Tabel 20 disajikan hasil pengukuran ph pada setiap kombinasi perlakuan. Untuk mempermudah penilaian, maka nilai ph hasil pengukuran disajikan dalam bentuk grafik sebagaimana tertera pada Gambar 45.

34 168 Gambar 45 Fluktuasi nilai ph (hasil pengukuran selama 24 jam pengamatan) Tabel 20 Nilai ph hasil pengukuran selama 24 jam pengamatan Jam Sistem pemeliharaan kualitas air Resirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi 7:30 8,02 8,09 8,15 10:30 8,03 8,08 8,18 13:30 8,04 8,07 8,19 16:30 8,07 8,01 8,20 19:30 8,04 7,98 8,16 22:30 8,08 7,99 8,18 1:30 8,08 7,98 8,16 4:30 8,08 7,99 8,17 Kisaran: 8,02-8,08 7,98-8,09 8,15-8,20 Rata-rata: 8,06 8,02 8,17 Berdasarkan grafik yang disajikan pada Gambar 45, nampak terlihat bahwa nilai ph air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasiaerasi dengan sistem resirkulasi tidak berbeda siknifikan. Lain halnya dengan nilai ph air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi, menunjukkan adanya perbedaan yang cukup siknifikan dengan nilai ph air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dan sistem resirkulasi. Hal ini dipertegas dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Tukey (Beda Nyata Jujur) yang disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan rata-rata nilai ph sebagaimana disajikan pada Tabel 20, terlihat bahwa nilai ph air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi

35 169 memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai ph air laut di kedua sistem lainnya. Adapun nilai ph pada air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi, berdasarkan rata-rata nilai ph, memiliki kisaran yang paling rendah dibandingkan dengan dua sistem pemeliharaan kualitas air lainnya. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi lebih bersifat basa di bandingkan dengan kondisi air laut di kedua sistem lainnya. Walaupun memiliki perbedaan kisaran nilai ph, akan tetapi semua kisaran nilai ph tersebut masih berada pada kisaran yang normal bagi benih ikan kerapu. Sun et.al (2007), dalam penelitiannya terhadap benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara), menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning pada kondisi air laut dengan kadar ph antara 7,56 8,90 terlihat dalam kondisi hidup yang normal. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa ketiga sistem pemeliharaan dapat mempertahankan kadar ph pada kisaran yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu. Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat dikatakan bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, sistem resirkulasi dan sistem aerasi dapat menjaga kestabilan nilai konsentrasi oksigen terlarut, suhu air dan nilai ph air laut di dalam model palka. Berdasarkan perubahan nilai konsentrasi NH 3 un-ionized, sistem resirkulasi memiliki kinerja yang lebih baik dalam mempertahankan kestabilan nilai konsentrasi NH 3 unionized. 5.3 Densitas Benih Ikan Kerapu Bebek Berdasarkan Kebutuhan Konsumsi Oksigen Dalam FAO Document Repasitory tentang Transport of Fish Seed and Brood Fish, turunnya kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen) dalam air karena respirasi ikan, dan hiperaktivitas dan stress karena penanganan dan ruang terbatas merupakan dua dari beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kematian ikan selama transportasi. Oleh karena itu, densitas benih ikan yang optimal dalam suatu volume air sangat mempengaruhi tingkat ketahanan hidup ikan selama transportasi. Santoso (2007) mengemukakan bahwa laju pemakaian oksigen oleh ikan hidup tidak saja dipengaruhi oleh bobot ikan dan suhu air, akan tetapi juga ditentukan oleh tingkat kepadatan ikan dalam suatu volume air tertentu.

36 170 Beberapa penelitian telah dilakukan sehubungan dengan densitas ikan dan benih ikan dalam sistem transportasi ikan hidup, diantaranya Harianto (2003), Slamet et.al (2002), Suriansyah et.al (2006) dan Purwaamidjaja (2006). Akan tetapi penelitian yang telah dilakukan adalah penentuan densitas ikan atau benih ikan dalam transportasi tertutup. Kondisi saat ini, penentuan densitas benih ikan dalam transportasi yang menggunakan KPIH, hanyalah berdasarkan kebiasaan semata. BPPT (2008) dalam kajian desain KPIH, memperhitungkan densitas ikan dalam palka berdasarkan kapasitas produksi dari tiap unit karamba jaring apung (KJA). Densitas benih ikan yang terlalu padat atau besar, akan mengakibatkan ketersediaan oksigen terlarut di dalam palka akan berkurang karena banyak yang terkonsumsi oleh benih ikan yang ada. Apabila benih ikan mengalami kekurangan oksigen, maka dapat dipastikan benih ikan akan mulai memasuki fase stres. Apabila benih ikan mengalami stres, maka produksi amoniak sebagai hasil sekresi benih ikan akan berlebih sehingga akan mempengaruhi kualitas air laut di sekitar benih ikan. Peningkatan amoniak di air, akan terakumulasi seiring dengan semakin tinggi tingkatan stres benih ikan yang pada akhirnya tidak saja mengakibatkan peningkatan konsentrasi amoniak, akan tetapi juga akan meningkatkan suhu dan menurunkan ph air di sekitar benih ikan itu berada. Semakin buruk kualitas air di sekitar benih ikan, maka akan semakin berkurang ketahanan hidup benih ikan. Sehingga tingkat risiko kematian benih ikan akan semakin besar. Konsentrasi oksigen dalam air merupakan salah satu faktor lingkungan yang harus tersedia di lingkungan dimana ikan (termasuk benih ikan) tersebut berada. Ketersediaan oksigen terlarut di lingkungan merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang dapat menyebabkan ikan (termasuk benih ikan) stres. Ikan yang stres akan mengalami penurunan kualitas hidup ikan. Kajian yang dilakukan pada sub bab 5.3 ini adalah merupakan kajian mitigasi tingkat risiko yang bersumber dari densitas benih ikan yang diduga akan berdampak pada kesediaan dan kestabilan konsentrasi oksigen terlarut dalam air di dalam palka. Oleh karena itu, kajian ini memiliki tujuan khusus yaitu: untuk menghitung tingkat konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 7 cm (TL) dan menentukan densitas benih ikan kerapu bebek dalam satu liter air.

37 Konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) Pembahasan tentang konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek, dilengkapi dengan pembahasan tentang perubahan suhu air laut, konsentrasi NH 3 un-ionized dan tingkah laku ikan kerapu bebek selama di dalam tabung respirometer. Tujuannya adalah untuk mendukung hasil pengukuran konsumsi oksigen benih ikan yang diperoleh. (1) Suhu air laut selama pengukuran Pada Gambar 46 disajikan grafik hasil pengukuran suhu air rata-rata pada kondisi K k, I i dan I k dalam tabung respirometer selama 2 jam pengamatan. Nilai yang ditunjukkan pada masing-masing grafik tersebut adalah merupakan nilai pengukuran dari hasil tiga kali pengukuran. Gambar 46 Perubahan suhu air laut rata-rata selama 120 menit (2 jam) pada kondisi I i, I k dan kosong. Pada Gambar 46 terlihat bahwa suhu ruang selama pengamatan tidak mengalami perubahan. Dapat dipastikan bahwa perubahan suhu air laut tidak dipengaruhi oleh faktor luar. Terlihat pula bahwa hasil pengukuran suhu air laut selama 2 jam pengamatan, baik pada kondisi K k, I i dan I k, mengalami peningkatan. Pada kondisi I i, perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan berkisar antara 0,7 0,9 ºC. Adapun pada kondisi I k, perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan berkisar antara 0,9 1,0 ºC. Jika perubahan suhu air laut pada kondisi I i

38 172 dibandingkan dengan kondisi I k, maka terlihat bahwa pada kondisi I k mengalami perubahan suhu air laut yang lebih besar dibandingkan pada kondisi I i. Kondisi ini dapat dipahami karena pada kondisi I k, perubahan suhu air laut merupakan penjumlahan dari aktivitas yang dilakukan oleh tiga ekor benih ikan di dalam tabung respirometer. Sedangkan pada kondisi I i, perubahan suhu air laut hanya disebabkan oleh aktivitas satu ekor benih ikan. Selanjutnya jika hasil pengukuran pada kondisi I i dan I k dirata-ratakan, maka terlihat bahwa suhu air pada saat pengukuran I k mencapai 2 hingga 3 kali suhu air pada pengukuran I i. Pada Gambar 46 terlihat pula bahwa pada kondisi K k, suhu air laut selama 2 jam pengamatan tetap mengalami perubahan. Berdasarkan hasil pengukuran, diketahui bahwa perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan pada kondisi K k berkisar antara 0,6 0,7 ºC. Perubahan suhu air laut tersebut walaupun di dalam tabung respirometer tidak terdapat benih ikan, kuat dugaan hal ini disebabkan adanya mesin pompa yang di tempatkan di salah satu tabung respirometer. Selama bekerja, mesin pompa menghasilkan panas yang selanjutnya mempengaruhi suhu air di sekitarnya. Dugaan ini diperkuat dari hasil pengukuran suhu air laut di dalam tabung respirometer yang tidak dilengkapi dengan mesin pompa. Pengukuran suhu air laut di dalam tabung respirometer juga dilakukan selama 2 jam. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa suhu air di dalam tabung respirometer tersebut di awal pengukuran tetap sama dengan saat setelah 2 jam pengamatan, yaitu sebesar 27,2 ºC pada suhu ruang 27,0 ºC. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa perubahan suhu air pada kondisi I i dan I k adalah tidak sepenuhnya diakibatkan oleh adanya aktivitas benih ikan di dalamnya, akan tetapi juga karena adanya mesin pompa yang saat bekerja menghasilkan panas. Apabila suhu air laut pada kondisi I i dan I k dikurangi dengan suhu air laut pada kondisi K k, maka hasil pengurangan tersebut adalah merupakan suhu air laut yang disebabkan oleh aktivitas benih ikan. Dengan demikian, perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan yang disebabkan oleh aktivitas benih ikan pada kondisi I s berkisar antara 0,1 0,3 ºC. Adapun perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan yang disebabkan oleh aktivitas benih ikan pada kondisi I k adalah berkisar antara 0,2 0,4 ºC. Secara sederhana, dapat dihitung besarnya kontribusi tiap benih ikan terhadap perubahan suhu air pada kondisi pengukuran I k, yaitu sebesar 0,07-0,13 ºC per benih ikan selama 120 menit (2 jam). Dengan demikian terlihat bahwa kontribusi perubahan

39 173 suhu air yang disebabkan oleh individu benih ikan yang berada tidak sendiri di dalam tabung respirometer (I k ) lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi perubahan suhu air yang disebabkan oleh individu benih ikan yang berada sendiri di dalam tabung respirometer (I i ). Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan nilai F hit > F tab. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kontribusi suhu yang dihasilkan oleh individu benih ikan pada kondisi I i dengan individu benih ikan pada kondisi I k. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 4. Inoue et.al (2008) dan Chandroo et.al (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas ikan pada saat ikan mengalami stres. Stres dapat mengakibatkan meningkatnya produksi amoniak dan peningkatan suhu tubuh pada ikan. Grøttum and Sigholt (1998) menyebutkan bahwa metabolisme individu ikan dalam tabung respirometer lebih tinggi dibandingkan dengan di kolam budidaya. Tingkat stres yang tinggi dalam tabung respirometer diduga sebagai penyebab meningkatnya metabolisme dalam tubuh benih ikan. Kondisi ini disebabkan keterbatasan ruang gerak benih ikan di dalam tabung respirometer yang berbeda dengan kondisi normal keberadaan benih ikan baik di bak penampungan atau keramba apung atau alamnya. Budidaya pembenihan ikan kerapu bebek biasanya dilakukan dalam keramba jaring apung atau bak penampungan. Benih-benih ikan tersebut ditempatkan tidak sendirian akan tetapi bersama ratusan hingga ribuan benih ikan kerapu lainnya dalam satu unit penampungan. Kondisi benih ikan yang dimasukkan ke dalam tabung respirometer yang memiliki volume terbatas diduga menjadi penyebab meningkatnya metabolisme benih ikan akibat stres sehingga pada akhirnya menyebabkankan peningkatan suhu air selama pengukuran. Walaupun demikian ketidaksendirian benih ikan di dalam tabung respirometer, diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat stres benih ikan yang terjadi. Lebih rendahnya tingkat stres yang muncul, mengakibatkan peningkatan metabolisme dan suhu tubuh benih ikan tidak terlalu besar. (2) Konsentrasi oksigen terlarut Walaupun individu benih ikan yang dimasukkan ke dalam tabung respirometer pada setiap pengukuran dan kondisi pengukuran tidaklah sama, akan tetapi kesemua benih ikan tersebut memiliki ukuran TL antara 5 7 cm. Penggunaan benih ikan yang berbeda pada setiap pengukuran dan kondisi pengukuran dimaksudkan untuk

40 174 menghindari pengaruh faktor keterbiasaan ikan di dalam tabung respirometer yang mungkin dapat terjadi. Ukuran panjang dan berat tiap benih ikan kerapu bebek yang digunakan disajikan pada Tabel 21. Pada tabel tersebut terlihat bahwa benih ikan kerapu bebek yang berukuran TL antara 5-7 cm, memiliki kisaran berat tubuh antara 3,35-3,86 gram per benih ikan. Adapun tinggi badan ikan yang diukur dari bagian perut paling bawah hingga bagian punggung paling atas adalah berkisar antara 2,5-2,8 cm. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ukuran benih ikan kerapu yang digunakan relatif sama besar. Pada Gambar 47, disajikan grafik hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut (DO) rata-rata dari masing-masing kondisi K k, I i dan I k. Tabel 21 Panjang dan berat ikan kerapu bebek yang dijadikan contoh uji Kondisi Pengukuran Ukuran Benih Ikan Kerapu Bebek Panjang (cm) Berat (gram) ke-1 6,5 3,47 I i ke-2 6,6 3,55 ke-3 6,8 3,58 6,8 3,40 ke-1 6,9 3,62 6,1 3,35 I k ke-2 ke-3 6,8 3,55 6,9 3,86 6,7 3,43 6,7 3,63 6,8 3,70 6,7 3,51

41 175 Gambar 47 Rata-rata perubahan konsentrasi oksigen terlarut selama 120 menit (2 jam) pada kondisi K k, I i dan I k. Gambar 47 menampilkan grafik perubahan nilai konsentrasi oksigen terlarut secara rata-rata dari tiga kondisi pengukuran, yaitu kondisi K k, I i dan I k. Terlihat bahwa pada pengukuran kondisi kosong tidak terjadi pengurangan konsentrasi oksigen terlarut selama 2 jam pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat penggunaan oksigen selama 2 jam pengamatan pada kondisi kosong. Adapun grafik untuk kondisi I i dan I k mengalami perubahan, yaitu terjadi penurunan nilai konsentrasi oksigen terlarut. Dari nilai rata-rata hasil pengukuran konsentrasi oksigen pada kondisi I i, terlihat bahwa ketiga individu benih ikan yang diukur selama 2 jam pengamatan menggunakan oksigen dalam jumlah yang relatif sama. Demikian pula pada pengukuran tiga kelompok benih ikan pada kondisi I k, menunjukkan hasil pengukuran yang relatif sama. Dari jumlah konsentrasi oksigen terlarut yang berkurang selama 2 jam pengamatan, pengurangan jumlah konsentrasi oksigen terlarut pada pengukuran I i adalah berkisar antara 0,8 0,9 mg O 2 /liter. Adapun jumlah pengurangan konsentrasi oksigen terlarut selama pengukuran tiga kondisi I k adalah berkisar antara 1,1 1,3 mg O 2 /liter. Dapat dikatakan bahwa pengurangan konsentrasi oksigen terlarut sebesar 1,1 1,3 mg O 2 /liter pada pengukuran kondisi I k merupakan pengurangan konsentrasi oksigen terlarut yang diakibatkan oleh adanya aktivitas 3 ekor benih ikan di dalamnya. Oleh karena itu diperkirakan setiap individu benih ikan pada ketiga kelompok benih ikan yang diukur, selama 2 jam pengamatan mengkonsumsi oksigen sebesar 0,37 0,40 mg O 2 /liter. Jika dibandingkan antara pengurangan konsentrasi oksigen terlarut selama 2 jam

42 176 pengamatan oleh individu benih ikan pada pengukuran kondisi I i dengan individu benih ikan pada pengukuran I k, terlihat bahwa pengurangan oksigen terlarut oleh individu benih ikan pada kondisi I k, lebih kecil bila dibandingkan dengan individu benih ikan pada kondisi I i. Telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa benih ikan yang mengalami stres, akan mengakibatkan terjadinya peningkatan metabolisme dalam tubuh benih ikan. Sehingga untuk mengimbangi peningkatan metabolisme di dalam tubuh benih ikan tersebut, maka benih ikan yang stres akan mengkonsumsi oksigen lebih benyak lagi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa benih ikan yang berada sendiri di dalam tabung respirometer diduga mengalami stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih ikan yang tidak sendiri di dalam tabung respirometer. Jika grafik I i dan I k saling dibandingkan, maka terlihat bahwa mulai menit ke-0 hingga menit ke-70 pengamatan, kedua grafik cenderung mengalami penurunan yang relatif sama. Barulah pada menit ke-70 hingga ke-120, terjadi perubahan penurunan konsentrasi oksigen terlarut yang cukup signifikan di antara keduanya. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan nilai F hit > F tab. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai konsumsi oksigen benih ikan yang digunakan oleh individu ikan pada kondisi I i dengan individu ikan pada kondisi I k. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 4. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, pengkondisian benih ikan yang berbeda dengan kondisi lingkungan yang selama ini ditempatinya, dapat menimbulkan stres pada benih ikan. Benih ikan yang stres akan mengalami peningkatan metabolisme di dalam tubuh yang ditandai dengan meningkatnya produksi amoniak dan suhu tubuh. Berdasarkan hasil pengukuran suhu air laut pada pembahasan sebelumnya, terlihat bahwa peningkatan suhu air laut yang disebabkan oleh satu ekor benih ikan kerapu bebek pada kondisi I i lebih besar bila dibandingkan dengan satu ekor benih ikan kerapu bebek pada kondisi I k. Lebih besarnya perubahan konsentrasi oksigen terlarut dan suhu air di dalam tabung respirometer yang disebabkan oleh individu benih ikan yang sendirian di dalam tabung respirometer (kondisi I i ) menunjukkan kecenderungan untuk menduga bahwa benih ikan tersebut mengalami tingkat stres yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu benih ikan yang tidak sendirian di dalam tabung

43 177 respirometer (kondisi I k ). Dugaan ini diperkuat dari hasil pengamatan tingkah laku benih ikan yang berada pada kondisi Ii dan I k. (3) Tingkah laku benih ikan Tingkah laku benih ikan juga turut diamati selama pengukuran konsentrasi oksigen terlarut di dalam tabung respirometer. Informasi tentang tingkah laku benih ikan dibutuhkan untuk melengkapi analisis hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut dan suhu air. Pada Tabel 22 disajikan perbandingan tingkah laku benih ikan pada kondisi I i dan I k, ditinjau dari gerakan operculum dan aktivitas fisik selama 120 menit pengamatan. Schreck and Moyle (1990) mengemukakan bahwa respirasi pada ikan merupakan proses mengambil oksigen dari lingkungan dan mengeluarkan gas buang ke lingkungan, sehingga dapat dikatakan bahwa proses membuka dan menutupnya operculum ikan juga merupakan bagian dari proses respirasi. Berdasarkan pengamatan terhadap gerakan operculum, yaitu waktu yang dibutuhkan mulai dari saat terbukanya operculum hingga tertutup, rata-rata di menitmenit awal pengamatan setiap gerakan operculum membutuhkan waktu rata-rata 0,656 detik/bukaan untuk benih ikan yang sendiri (kondisi I i ), dan rata-rata 0,698 detik/bukaan untuk benih ikan yang tidak sendiri (kondisi I k ). Ditinjau dari gerakan operculum di awal pengamatan yang tidak berbeda secara signifikan di kedua kondisi tersebut, menunjukkan bahwa kondisi benih ikan pada kedua kondisi di awal pengamatan berada pada kondisi stres yang sama,yaitu kondisi dimana benih ikan mengalami stres saat dimasukkan ke tempat yang baru.

44 178 Tabel 22 Tingkah laku benih ikan pada kondisi I i dan I k. No Pengamatan terhadap 1 Gerakan operculum: - di awal pengamatan - di tengah pengamatan - di akhir pengamatan 2 Aktivitas fisik: - di awal pengamatan: Kondisi pengamatan I i 0,656 detik/bukaan 0,946 detik/bukaan 0,951 detik/bukaan diam tanpa menggerakkan sirip I k 0,698 detik/bukaan 0,629 detik/bukaan 0,464 detik/bukaan diam tanpa menggerakkan sirip - mulai bergerak dari kondisi diam: - melakukan gerakan renang: - mulai berenang ke atas - berenang ke atas - di akhir pengamatan 3 Posisi benih ikan: - di awal pengamatan: - di akhir pengamatan ± 20 menit setelah di dalam tabung respirometer ± 30 menit setelah di dalam tabung respirometer ± 60 menit setelah di dalam tabung respirometer > 10 kali hingga akhir pengamatan diam dengan hanya menggerakkan sirip dada di dasar di dasar ± 50 menit setelah di dalam tabung respirometer ± 70 menit setelah di dalam tabung respirometer ± 85 menit setelah di dalam tabung respirometer < 5 kali hingga akhir pengamatan (bergantian) diam dengan hanya menggerakkan sirip dada dan ekor di dasar di dasar Gerakan operculum benih ikan pada kondisi I i dan I k diawal pengamatan hingga akhir pengamatan mengalami perubahan. Benih ikan pada kondisi I i, semakin lama berada di dalam tabung respirometer, gerakan membuka dan menutup operculumnya semakin bertambah lama. Operculumnya pun terbuka semakin lebar. Semakin lama atau lebarnya bukaan operculum ikan, menandakan bahwa benih ikan tersebut semakin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengambil oksigen dari lingkungan. Lain halnya yang terjadi pada kondisi benih ikan yang tidak sendiri (I k ), dimana gerakan operculum di awal hingga akhir pengamatan semakin bertambah cepat. Kondisi ini

45 179 menunjukkan adanya pengurangan waktu gerakan operculum di akhir pengamatan bila dibandingkan dengan di awal pengamatan. Peneliti juga mencoba melakukan pengamatan terhadap gerakan operculum benih ikan di bak penampungan dalam kondisi normal. Pada kondisi normal, teramati gerakan operculum benih ikan kerapu dengan ukuran yang sama dengan yang diteliti, memiliki gerakan yang lebih cepat sehingga peneliti sulit untuk menghitung kecepatan gerak operculum benih ikan tersebut. Diduga kecepatan gerak operculum benih ikan di bak penampungan lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan gerak operculum di akhir pengamatan pada kondisi I k (lebih kecil dari 0,464 detik/bukaan). Semakin lamanya waktu yang dibutuhkan oleh operculum untuk membuka hingga menutup kembali, menunjukkan adanya upaya yang lebih keras lagi dari benih ikan tersebut untuk menyaring oksigen dari air yang berada di sekitarnya. FishVet.Inc. (2000), menyatakan bahwa terdapat beberapa tingkatan stres, yaitu escape, adapt, fatique, dan exhaustion. Keempat tingkatan stres tersebut ditandai dengan meningkatnya gerakan operculum pada ikan. Peningkatan gerakan operculum yang dimaksud bisa berupa semakin bertambah cepat atau sebaliknya, semakin lambat tergantung pada kondisi normal ikan. Berdasarkan pemaparan di atas, semakin besarnya bukaan operculum pada benih ikan kerapu bebek menandakan bahwa benih ikan kerapu bebek mengalami peningkatan metabolisme sehingga membutuhkan oksigen yang lebih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi benih ikan yang sendiri diduga lebih stres bila dibandingkan dengan benih ikan yang tidak sendiri, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya oleh Grøttum and Sigholt (1998). Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi benih ikan kerapu di akhir pengukuran pada kondisi I k lebih mendekati kondisi normal benih ikan kerapu tersebut saat di bak penampungan. Berdasarkan aktivitas fisik, benih ikan yang sendiri lebih cepat melakukan gerakan setelah diam beberapa saat sejak dimasukkan ke dalam tabung respirometer dibandingkan dengan benih ikan yang tidak sendiri. Bahkan benih ikan yang sendiri rata-rata 25 menit lebih cepat bila dibandingkan benih ikan yang tidak sendiri untuk melakukan gerakan berenang ke atas. Pada Gambar 48 dan 49 disajikan beberapa kondisi benih ikan saat pengamatan dilakukan.

46 180 (a) Ikan sendiri (I i ) (b) Ikan tidak sendiri (I k ) Gambar 48 Tingkah laku ikan di awal pengamatan. (a) Ikan berenang ke atas (b) Salah satu ikan berenang ke atas Gambar 49 Aktivitas ikan: berenang ke atas. Pada Tabel 22 terlihat bahwa benih ikan yang sendiri (kondisi I i ) mulai berenang ke atas setelah 60 menit sejak dimasukkan ke dalam tabung respirometer. Adapun benih ikan yang tidak sendiri (kondisi I k ) mulai berenang ke atas setelah 85 menit sejak dimasukkan ke dalam tabung respirometer, dan aktivitas berenang ke atas dilakukan secara bergantian di antara ketiga benih ikan tersebut. Di akhir pengamatan, benih ikan pada kondisi I i rata-rata diam di dasar hanya dengan menggerakan sirip dada. Adapun benih ikan pada kondisi I k, rata-rata ketiganya juga diam di dasar, akan tetapi sambil menggerakkan sirip dada dan ekor.

4 KAJIAN RISIKO KPIH Opened Hull

4 KAJIAN RISIKO KPIH Opened Hull 4 KAJIAN RISIKO KPIH Opened Hull KPIH Opened hull telah digunakan sebagai moda untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek. Transportasi benih ikan dengan menggunakan KPIH Opened hull adalah merupakan sistem

Lebih terperinci

KERAGAAN FREE SURFACE MODEL PALKA BERBENTUK KOTAK DAN SILINDER Free Surface Performance of Box and Cylinder Holds Shapes

KERAGAAN FREE SURFACE MODEL PALKA BERBENTUK KOTAK DAN SILINDER Free Surface Performance of Box and Cylinder Holds Shapes Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 1, No. 1, November 2010 Hal: 21-28 KERAGAAN FREE SURFACE MODEL PALKA BERBENTUK KOTAK DAN SILINDER Free Surface Performance of Box and Cylinder Holds Shapes Oleh: Yopi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Di awal eksperimen dilakukan penimbangan berat model kapal berikut model palka dan muatannya. Penimbangan berat ini dilakukan terhadap setiap perlakuan. Berdasarkan

Lebih terperinci

PENGARUH FREE SURFACE TERHADAP STABILITAS KAPAL PENGANGKUT IKAN HIDUP. Oleh: Yopi Novita 1*

PENGARUH FREE SURFACE TERHADAP STABILITAS KAPAL PENGANGKUT IKAN HIDUP. Oleh: Yopi Novita 1* BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume XIX No. 2 Edisi Juli 2011 Hal 35-43 PENGARUH FREE SURFACE TERHADAP STABILITAS KAPAL PENGANGKUT IKAN HIDUP Oleh: Yopi Novita 1* ABSTRAK Muatan utama kapal pengangkut ikan

Lebih terperinci

PENGARUH SIRIP PEREDAM TERHADAP STABILITAS KAPAL PENGANGKUT IKAN HIDUP. Departemen PSP FPIK IPB 2. BPPT

PENGARUH SIRIP PEREDAM TERHADAP STABILITAS KAPAL PENGANGKUT IKAN HIDUP. Departemen PSP FPIK IPB 2. BPPT 27 Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XVII (1): 27-34 ISSN: 0853-6384 Full Paper PENGARUH SIRIP PEREDAM TERHADAP STABILITAS KAPAL PENGANGKUT IKAN HIDUP Yopi Novita *1, Budhi H Iskandar 1, Bambang Murdiyanto

Lebih terperinci

6 RANCANGAN UMUM KPIH CLOSED HULL

6 RANCANGAN UMUM KPIH CLOSED HULL 211 6 RANCANGAN UMUM KPIH CLOSED HULL Berdasarkan hasil kajian dan uji coba hasil kajian mitigasi risiko, maka KPIH yang direkomendasikan untuk mengangkut benih ikan kerapu adalah KPIH Closed hull. Dimana

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS SIRIP PEREDAM DALAM MEREDAM EFEK FREE SURFACE YANG MEMPENGARUHI GERAKAN ROLLING KAPAL MODEL

EFEKTIVITAS SIRIP PEREDAM DALAM MEREDAM EFEK FREE SURFACE YANG MEMPENGARUHI GERAKAN ROLLING KAPAL MODEL Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 5 No. 2 November 2014: 187-197 ISSN 2087-4871 EFEKTIVITAS SIRIP PEREDAM DALAM MEREDAM EFEK FREE SURFACE YANG MEMPENGARUHI GERAKAN ROLLING KAPAL MODEL THE EFFECTIVENESS

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS SIRIP PEREDAM DALAM MEREDAM EFEK FREE SURFACE YANG MEMPENGARUHI GERAKAN ROLLING KAPAL MODEL DWI PUTRA YUWANDANA

EFEKTIVITAS SIRIP PEREDAM DALAM MEREDAM EFEK FREE SURFACE YANG MEMPENGARUHI GERAKAN ROLLING KAPAL MODEL DWI PUTRA YUWANDANA EFEKTIVITAS SIRIP PEREDAM DALAM MEREDAM EFEK FREE SURFACE YANG MEMPENGARUHI GERAKAN ROLLING KAPAL MODEL DWI PUTRA YUWANDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS SIRIP PEREDAM DALAM MEREDAM EFEK FREE SURFACE YANG MEMPENGARUHI GERAKAN ROLLING KAPAL MODEL

EFEKTIVITAS SIRIP PEREDAM DALAM MEREDAM EFEK FREE SURFACE YANG MEMPENGARUHI GERAKAN ROLLING KAPAL MODEL Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 187-197 ISSN 2087-4871 EFEKTIVITAS SIRIP PEREDAM DALAM MEREDAM EFEK FREE SURFACE YANG MEMPENGARUHI GERAKAN ROLLING KAPAL MODEL (THE EFFECTIVENESS

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Benih Ikan Lele Rata-rata tingkat kelangsungan hidup (SR) tertinggi dicapai oleh perlakuan naungan plastik transparan sebesar

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stabilitas

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stabilitas 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stabilitas Nomura dan Yamazaki (1977) menjelaskan bahwa stabilitas merupakan kemampuan kapal untuk kembali ke posisi semula setelah miring akibat pengaruh gaya dari dalam maupun

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 03 Februari sampai dengan 17

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 03 Februari sampai dengan 17 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 03 Februari sampai dengan 17 Maret 2014, bertempat di Laboratorium Budidaya Perikanan Program Studi Budidaya Perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila.

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air Sebagai Tempat Hidup Ikan Bawal Air Tawar Hasil analisis kualitas media air yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis kualitas

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

LATIHAN SOAL MENJELANG UJIAN TENGAH SEMESTER STAF PENGAJAR FISIKA TPB

LATIHAN SOAL MENJELANG UJIAN TENGAH SEMESTER STAF PENGAJAR FISIKA TPB LATIHAN SOAL MENJELANG UJIAN TENGAH SEMESTER STAF PENGAJAR FISIKA TPB Soal No. 1 Seorang berjalan santai dengan kelajuan 2,5 km/jam, berapakah waktu yang dibutuhkan agar ia sampai ke suatu tempat yang

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Metodologi penelitian sesuai dengan Supriyono, et al. (2010) yaitu tahap pendahuluan

Lebih terperinci

6 KESELAMATAN OPERASIONAL KAPAL POLE AND LINE PADA GELOMBANG BEAM SEAS

6 KESELAMATAN OPERASIONAL KAPAL POLE AND LINE PADA GELOMBANG BEAM SEAS 6 KESELAMATAN OPERASIONAL KAPAL POLE AND LINE PADA GELOMBANG BEAM SEAS 6.1 Keragaan Kapal Bentuk dan jenis kapal ikan berbeda-beda bergantung dari tujuan usaha penangkapan. Setiap jenis alat penangkapan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2011 bertempat di. Balai Budidaya Ikan Hias, Natar, Lampung Selatan.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2011 bertempat di. Balai Budidaya Ikan Hias, Natar, Lampung Selatan. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2011 bertempat di Balai Budidaya Ikan Hias, Natar, Lampung Selatan. B. Alat dan Bahan Penelitian

Lebih terperinci

USAHA DAN ENERGI. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MT., MS.

USAHA DAN ENERGI. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MT., MS. USAHA DAN ENERGI Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MT., MS. SOAL - SOAL : 1. Pada gambar, kita anggap bahwa benda ditarik sepanjang jalan oleh sebuah gaya 75

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Dimensi Utama

5 PEMBAHASAN 5.1 Dimensi Utama 5 PEMBAHASAN 5.1 Dimensi Utama Keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh pengrajin kapal tradisional menyebabkan proses pembuatan kapal dilakukan tanpa mengindahkan kaidahkaidah arsitek perkapalan. Dasar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penyusunan Buah Dalam Kemasan Terhadap Perubahan Suhu Penelitian ini menggunakan dua pola penyusunan buah tomat, yaitu pola susunan acak dan pola susunan teratur. Pola

Lebih terperinci

DASAR PENGUKURAN MEKANIKA

DASAR PENGUKURAN MEKANIKA DASAR PENGUKURAN MEKANIKA 1. Jelaskan pengertian beberapa istilah alat ukur berikut dan berikan contoh! a. Kemampuan bacaan b. Cacah terkecil 2. Jelaskan tentang proses kalibrasi alat ukur! 3. Tunjukkan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

VI IDENTIFIKASI RISIKO PERUSAHAAN

VI IDENTIFIKASI RISIKO PERUSAHAAN VI IDENTIFIKASI RISIKO PERUSAHAAN 6.1 Sumber-sumber Risiko pada Usaha Pemasaran Benih Ikan Patin PT Mitra Mina Nusantara (PT MMN) dalam menjalankan kegiatan usahanya menghadapi risiko operasional. Risiko

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam adalah jenis ikan patin yang diintroduksi dari Thailand (Khairuman dan Amri, 2008; Slembrouck et al., 2005). Ikan patin

Lebih terperinci

STABILITAS BEBERAPA KAPAL TUNA LONGLINE DI INDONESIA

STABILITAS BEBERAPA KAPAL TUNA LONGLINE DI INDONESIA III - 555 STABILITAS BEBERAPA KAPAL TUNA LONGLINE DI INDONESIA Yopi Novita 1* dan Budhi Hascaryo Iskandar 1 * yopi1516@gmail.com / 0812 8182 6194 1 Departemen PSP FPIK IPB ABSTRAK Kapal merupakan bagian

Lebih terperinci

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Radiator Radiator memegang peranan penting dalam mesin otomotif (misal mobil). Radiator berfungsi untuk mendinginkan mesin. Pembakaran bahan bakar dalam silinder mesin menyalurkan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 di Laboratorium Desain dan Dinamika Kapal, Bagian Kapal dan Transportasi Perikanan, Departemen Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai ekonomis tinggi dan merupakan spesies asli Indonesia. Konsumsi ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di Ruang Penelitian, Hanggar 2, Balai Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang akan diterapkan yaitu pemakaian

Lebih terperinci

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus)

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus) PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus) Rukmini Fakultas Perikanan dan Kelautan UNLAM Banjarbaru Email rukmini_bp@yahoo.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 di lahan percobaan Fakulas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Bahan dan Alat Penelitian Adapun

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak II. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit, kapasitas serap

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Penelitian 2.1.1 Alat dan Bahan Bahan yang akan digunakan pada persiapan penelitian adalah kaporit, sodium thiosulfat, detergen, dan air tawar. Bahan yang digunakan pada

Lebih terperinci

SIMULASI NUMERIK UJI EKSPERIMENTAL PROFIL ALIRAN SALURAN MULTI BELOKAN DENGAN VARIASI SUDU PENGARAH

SIMULASI NUMERIK UJI EKSPERIMENTAL PROFIL ALIRAN SALURAN MULTI BELOKAN DENGAN VARIASI SUDU PENGARAH SIMULASI NUMERIK UJI EKSPERIMENTAL PROFIL ALIRAN SALURAN MULTI BELOKAN DENGAN VARIASI SUDU PENGARAH Syukran 1* dan Muh. Haiyum 2 1,2 Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Pada tahap pendahuluan dilakukan penentuan kemampuan puasa ikan, tingkat konsumsi oksigen,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam Jumlah rata rata benih ikan patin siam sebelum dan sesudah penelitian dengan tiga perlakuan yakni perlakuan A kepadatan

Lebih terperinci

PENGARUH MODIFIKASI AERATOR KINCIR TIPE PEDAL LENGKUNG PADA PENINGKATAN KADAR OKSIGEN AIR. Oleh: SARI ROSMAWATI F

PENGARUH MODIFIKASI AERATOR KINCIR TIPE PEDAL LENGKUNG PADA PENINGKATAN KADAR OKSIGEN AIR. Oleh: SARI ROSMAWATI F PENGARUH MODIFIKASI AERATOR KINCIR TIPE PEDAL LENGKUNG PADA PENINGKATAN KADAR OKSIGEN AIR Oleh: SARI ROSMAWATI F14102049 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan November Desember 2013, bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, yang melaksanakan tugas operasional

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, yang melaksanakan tugas operasional BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian BBIP Lamu, merupakan calon Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)/Instalasi Pembenihan dibawah pengawasan dan pengelolaan Dinas Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, ph, NH 3, CO 2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan efektivitas

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi 1 Udang Galah Genjot Produksi Udang Galah Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi gaya rumah susun. Setiap 1 m² dapat diberi 30 bibit berukuran 1 cm. Hebatnya kelulusan hidup meningkat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelititan Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013 bertempat di Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

juga didefinisikan sebagai sebuah titik batas dimana titik G tidak melewatinya, agar kapal selalu memiliki stabilitas yang positif.

juga didefinisikan sebagai sebuah titik batas dimana titik G tidak melewatinya, agar kapal selalu memiliki stabilitas yang positif. 3 STABILITAS KAPAL Stabilitas sebuah kapal mengacu pada kemampuan kapal untuk tetap mengapung tegak di air. Berbagai penyebab dapat mempengaruhi stabilitas sebuah kapal dan menyebabkan kapal terbalik.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di Laboratorium Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Suhu Udara Hasil pengukuran suhu udara di dalam rumah tanaman pada beberapa titik dapat dilihat pada Gambar 6. Grafik suhu udara di dalam rumah tanaman menyerupai bentuk parabola

Lebih terperinci

Marine Fisheries ISSN Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 1-8

Marine Fisheries ISSN Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 1-8 Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 1-8 KONSUMSI OKSIGEN BENIH IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) UKURAN PANJANG 5-7 CM Oxygen Consumption Level of Humpback Grouper Juvenile

Lebih terperinci

FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI

FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI BAB VI FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI VI.1 Pendahuluan Sebelumnya telah dibahas pengetahuan mengenai konversi reaksi sintesis urea dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Lebih terperinci

PERAN TITIK BERAT MUATAN CAIR DAN PENGARUHNYA TERHADAP ROLLING MOTION KAPAL MODEL BERBENTUK ROUND BOTTOM HANEINA RAMANENDRA

PERAN TITIK BERAT MUATAN CAIR DAN PENGARUHNYA TERHADAP ROLLING MOTION KAPAL MODEL BERBENTUK ROUND BOTTOM HANEINA RAMANENDRA PERAN TITIK BERAT MUATAN CAIR DAN PENGARUHNYA TERHADAP ROLLING MOTION KAPAL MODEL BERBENTUK ROUND BOTTOM HANEINA RAMANENDRA DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS 6.1 Pre Eksperimen BAB VI HASIL Sebelum dilakukan eksperimen tentang pengolahan limbah cair, peneliti melakukan pre eksperimen untuk mengetahui lama waktu aerasi yang efektif menurunkan kadar kandungan

Lebih terperinci

USAHA, ENERGI DAN MOMENTUM. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT.

USAHA, ENERGI DAN MOMENTUM. Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT. USAHA, ENERGI DAN MOMENTUM Fisika Dasar / Fisika Terapan Program Studi Teknik Sipil Salmani, ST., MS., MT. Impuls dan momentum HUKUM KEKEKALAN MOMENTUM LINIER : Perubahan momentum yang disebabkan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1. Kualitas Warna Perubahan warna ikan maskoki menjadi jingga-merah terdapat pada perlakuan lama pemberian pakan berkarotenoid 1, 2 dan 4 hari yaitu sebanyak 11,

Lebih terperinci

UJI MODEL GEOMETRI KONSTRUKSI PELINDUNG KOLAM PELABUHAN BIRA KABUPATEN BULUKUMBA

UJI MODEL GEOMETRI KONSTRUKSI PELINDUNG KOLAM PELABUHAN BIRA KABUPATEN BULUKUMBA UJI MODEL GEOMETRI KONSTRUKSI PELINDUNG KOLAM PELABUHAN BIRA KABUPATEN BULUKUMBA Juswan 1 A. Haris MUHAMMAD 1 and Amalia NURDIN 1 1 Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL & ANALISIS

BAB 4 HASIL & ANALISIS BAB 4 HASIL & ANALISIS 4.1 PENGUJIAN KARAKTERISTIK WATER MIST UNTUK PEMADAMAN DARI SISI SAMPING BAWAH (CO-FLOW) Untuk mengetahui kemampuan pemadaman api menggunakan sistem water mist terlebih dahulu perlu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 RANCANGAN OBSTACLE Pola kecepatan dan jenis aliran di dalam reaktor kolom gelembung sangat berpengaruh terhadap laju reaksi pembentukan biodiesel. Kecepatan aliran yang tinggi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2 11 METODE PENELITIAN Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

SNI METODE PENGUJIAN KINERJA PENGOLAH LUMPUR AKTIF

SNI METODE PENGUJIAN KINERJA PENGOLAH LUMPUR AKTIF SNI 19-6447-2000 METODE PENGUJIAN KINERJA PENGOLAH LUMPUR AKTIF DAFTAR ISI Daftar isi 1. Ruang Lingkup 2. Acuan 3. Pengertian 4. Hal-Hal Yang Diuji Pada Instalasi Pengolahan Lumpur Aktif 5. Ketentuan Umum

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah akuarium dengan dimensi 50 x 30 x 30 cm 3 untuk wadah pemeliharaan ikan, DO-meter, termometer, ph-meter, lakban, stoples bervolume 3 L,

Lebih terperinci

3. METODE Penelitian 1: Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele.

3. METODE Penelitian 1: Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele. 17 3. METODE Rangkaian penelitian ini terdiri dari empat tahap penelitian. Seluruh kegiatan dilakukan dalam kurun waktu tahun 2009 sampai dengan 2011 di Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (d/h Loka Riset

Lebih terperinci

SOAL FISIKA UNTUK TINGKAT PROVINSI Waktu: 180 menit Soal terdiri dari 30 nomor pilihan ganda, 10 nomor isian dan 2 soal essay

SOAL FISIKA UNTUK TINGKAT PROVINSI Waktu: 180 menit Soal terdiri dari 30 nomor pilihan ganda, 10 nomor isian dan 2 soal essay SOAL FISIKA UNTUK TINGKAT PROVINSI Waktu: 180 menit Soal terdiri dari 30 nomor pilihan ganda, 10 nomor isian dan 2 soal essay A. PILIHAN GANDA Petunjuk: Pilih satu jawaban yang paling benar. 1. Grafik

Lebih terperinci

Tegangan Permukaan. Fenomena Permukaan FLUIDA 2 TEP-FTP UB. Beberapa topik tegangan permukaan

Tegangan Permukaan. Fenomena Permukaan FLUIDA 2 TEP-FTP UB. Beberapa topik tegangan permukaan Materi Kuliah: - Tegangan Permukaan - Fluida Mengalir - Kontinuitas - Persamaan Bernouli - Viskositas Beberapa topik tegangan permukaan Fenomena permukaan sangat mempengaruhi : Penetrasi melalui membran

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian Penelitian biofiltrasi ini targetnya adalah dapat meningkatkan kualitas air baku IPA Taman Kota Sehingga masuk baku mutu Pergub 582 tahun 1995 golongan B yakni

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2012, di Balai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2012, di Balai III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2012, di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. B. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering Sebuah penelitian dilakukan oleh Pearlmutter dkk (1996) untuk mengembangkan model

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Hatchery Ciparanje Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran pada bulan April sampai Mei 2013. Tahapan yang

Lebih terperinci

WADAH BUDIDAYA IKAN (WBI) ADI SUCIPTO

WADAH BUDIDAYA IKAN (WBI) ADI SUCIPTO KONSTRUKSI WADAH BUDIDAYA IKAN (WBI) ADI SUCIPTO dito.id@gmail.comid@gmail BALAI BUDIDAYA AIR TAWAR SUKABUMI BALAI BUDIDAYA AIR TAWAR SUKABUMI 2005 PENGANTAR AQUACULTURE PASAR PANEN TOTAL/SEBAGIAN KAT

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pelabuhan, fasilitas pelabuhan atau untuk menangkap pasir. buatan). Pemecah gelombang ini mempunyai beberapa keuntungan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pelabuhan, fasilitas pelabuhan atau untuk menangkap pasir. buatan). Pemecah gelombang ini mempunyai beberapa keuntungan, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Bangunan tanggul pemecah gelombang secara umum dapat diartikan suatu bangunan yang bertujuan melindungi pantai, kolam pelabuhan, fasilitas pelabuhan atau untuk menangkap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) benih ikan patin yang dipelihara dengan masa pemeliharaan 30 hari memiliki hasil

Lebih terperinci

Harga tiap varietas dan ukuran Ikan Maskoki berbeda-beda. Namun yang paling menentukan

Harga tiap varietas dan ukuran Ikan Maskoki berbeda-beda. Namun yang paling menentukan Persiapan untuk mengadopsi Ikan Maskoki Ikan Maskoki adalah hewan yang hidup di dalam air. Untuk memeliharanya, Anda tentu membutuhkan sebuah wadah untuk tempat pemeliharaan; serta air sebagai medium kehidupannya.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Simulasi Distribusi Suhu Kolektor Surya 1. Domain 3 Dimensi Kolektor Surya Bentuk geometri 3 dimensi kolektor surya diperoleh dari proses pembentukan ruang kolektor menggunakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh kosentrasi limbah terhadap gerakan insang Moina sp Setelah dilakukan penelitian tentang gerakan insang dan laju pertumbuhan populasi Moina sp dalam berbagai kosentrasi

Lebih terperinci

SILABUS MATA KULIAH FISIKA DASAR

SILABUS MATA KULIAH FISIKA DASAR LAMPIRAN TUGAS Mata Kuliah Progran Studi Dosen Pengasuh : Fisika Dasar : Teknik Komputer (TK) : Fandi Susanto, S. Si Tugas ke Pertemuan Kompetensi Dasar / Indikator Soal Tugas 1 1-6 1. Menggunakan konsep

Lebih terperinci

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan keseragaman.induk yang baik untuk pemijahan memiliki umur untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DA PEMBAHASA

IV. HASIL DA PEMBAHASA IV. HASIL DA PEMBAHASA 4.1 Hasil 4.1.1 Pertumbuhan 4.1.1.1 Bobot Bobot rata-rata ikan patin pada akhir pemeliharaan cenderung bertambah pada setiap perlakuan dan berkisar antara 6,52±0,53 8,41±0,40 gram

Lebih terperinci

FLUIDA. Staf Pengajar Fisika Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia

FLUIDA. Staf Pengajar Fisika Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia FLUIDA Staf Pengajar Fisika Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia FLUIDA Fluida merupakan sesuatu yang dapat mengalir sehingga sering disebut sebagai zat alir. Fasa zat cair dan gas termasuk ke

Lebih terperinci

siswa mampu menentukan hubungan tekanan, gaya yang bekerja dan luas permukaan. tanah liat, nampan, balok kayu, balok besi, balok alumunium.

siswa mampu menentukan hubungan tekanan, gaya yang bekerja dan luas permukaan. tanah liat, nampan, balok kayu, balok besi, balok alumunium. 6.5 Tekanan Apa kamu pernah mendengar orang terkena penyakit darah tinggi? Hal itu terjadi karena adanya penyempitan pada pembuluh darah. Kejadian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara besar tekanan

Lebih terperinci

APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus)

APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus) APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus) Oleh Adi Hardiyanto, Marwa dan Narulitta Ely ABSTRAK Induk ikan mandarin memanfaatkan pakan untuk reproduksi. Salah satu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

BERKAS SOAL OLIMPIADE BIDANG STUDI FISIKA

BERKAS SOAL OLIMPIADE BIDANG STUDI FISIKA BERKAS SOAL OLIMPIADE BIDANG STUDI FISIKA KOMPETISI SAINS MADRASAH (KSM) 2014 PROVINSI JAWA TIMUR SURABAYA, 2014 1. Besaran turunan dan satuannya menurut Sistem Internasional (SI) yang benar pada tabel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laju Pertumbuhan Mutlak Nila Gift Laju pertumbuhan rata-rata panjang dan berat mutlak ikan Nila Gift yang dipelihara selama 40 hari, dengan menggunakan tiga perlakuan yakni

Lebih terperinci

Soal :Stabilitas Benda Terapung

Soal :Stabilitas Benda Terapung TUGAS 3 Soal :Stabilitas Benda Terapung 1. Batu di udara mempunyai berat 500 N, sedang beratnya di dalam air adalah 300 N. Hitung volume dan rapat relatif batu itu. 2. Balok segi empat dengan ukuran 75

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan terhadap ikan didapatkan suatu parameter pertumbuhan dan kelangsungan hidup berupa laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan panjang mutlak dan derajat kelangsungan

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

ke dalam bak filter. Berdasarkan Anonim (2011 ) waktu tinggal dapat dihitung dengan rumus :

ke dalam bak filter. Berdasarkan Anonim (2011 ) waktu tinggal dapat dihitung dengan rumus : ke dalam bak filter. Berdasarkan Anonim (2011 ) waktu tinggal dapat dihitung dengan rumus : DT = Dimana : DT = detention time atau waktu tinggal (menit) V = volume wadah (liter) Q = debit air (liter/detik)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci