VALIDASI METODA PENGUKURAN KADAR AIR BUBUK PERISA MENGGUNAKAN MOISTURE ANALYZER HALOGEN HB43-S, SEBAGAI ALTERNATIF METODA OVEN DAN KARL FISCHER

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VALIDASI METODA PENGUKURAN KADAR AIR BUBUK PERISA MENGGUNAKAN MOISTURE ANALYZER HALOGEN HB43-S, SEBAGAI ALTERNATIF METODA OVEN DAN KARL FISCHER"

Transkripsi

1 VALIDASI METODA PENGUKURAN KADAR AIR BUBUK PERISA MENGGUNAKAN MOISTURE ANALYZER HALOGEN HB43-S, SEBAGAI ALTERNATIF METODA OVEN DAN KARL FISCHER HILDA KUMALASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada peguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Bogor, Oktober Hilda Kumalasari NIM F

3 ABSTRACT HILDA KUMALASARI. Validation of Moisture Content Method in Seasoning powder using Moisture Analyzer Halogen HB-43S, as alternative of Oven and Karl Fischer Method. Under direction of RIZAL SYARIEF and FAHIM M. TAQI. In seasoning industries, moisture content of the product is one of important parameters to be measured and reported to assure the food product quality. The common analysis method to measure it in the food industry is Loss on drying (LOD) method by oven and Karl Fischer method. The result of LOD method is recognized as moisture content, while the result of Karl Fischer method commonly known as water content. The method that preferably used by PT. Givaudan Indonesia is Loss on drying method. This research aimed to obtain the heating conditions (temperature) in Moisture Analyzer Halogen HB43-S which can make the analysis result of this equipment will close to the result of LOD method using oven UM-400. The data obtained will be tested statistically using Dunnett Test method that compare these with the control. The result revealed that the use of Moisture Analyzer HB43-S at 105 o C provided similar result to oven UM-400 method, however the use of oven methods is still more efficient rather than using Moisture Analyzer for the higher number of samples that more than 30. Moisture analyzer efficiently used for the limited samples only. Base on this research result we will use Moisture Analyzer method for handling the urgent request only. Karl Fischer method suitable for derivate sucrose products, it is able to replace oven analysis to measure vanilla flavour. This validation is needed to give information and data that can be used to expedite the approval of products. Keywords: oven method, moisture content, Moisture Analyzer

4 RINGKASAN HILDA KUMALASARI. Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF dan FAHIM M. TAQI. Pada industri perisa bubuk, kadar air merupakan parameter penting yang diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk perisa bubuk. Metode pengukuran kadar air yang banyak digunakan industri adalah dan metode Loss on Drying (LOD) dengan menggunakan oven dan metode Karl Fischer. Diantara kedua metode tersebut, metode LOD lebih banyak digunakan di PT. Givaudan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suhu pengukuran yang tepat pada alat Moisture Analyzer HB43-S yang memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan hasil kadar air dengan metode oven yang selama ini digunakan. Hasil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan diterapkan di PT Givaudan Indonesia. Validasi data diperlukan untuk mendapatkan informasi apakah alat tersebut dapat menggantikan metode oven sehingga dapat digunakan untuk mempercepat kelolosan produk. Dalam proses validasi tersebut digunakan perhitungan statistik tes Dunnett yang membandingkan hasil rata-rata seluruh perlakuan dengan data kontrol. asil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan diterapkan di PT Givaudan Indonesia. Penelitian ini mencakup tiga tahapan penelitian, semua dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan dan memvalidasi metoda pengukuran kadar air menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S, metoda yang nantinya diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti bagi metoda LOD menggunakan oven dan metoda Karl Fischer yang selama ini sudah digunakan oleh PT Givaudan Indonesia sebagai metoda standar pengukuran kadar air produk bubuk perisa. Penelitian pendahuluan dilakukan terhadap sampel tepung tapioka untuk melihat kesetaraan hasil pengukuran metoda oven dengan metoda analisis cepat menggunakan Moisture Analyzer Mettler Toledo Halogen HB43-S. Untuk memastikan bahwa sampel tapioka yang diukur menggunakan kedua alat tersebut memiliki kandungan air awal yang identik dan diketahui secara pasti, maka dilakukan proses penyeragaman kadar air awal sampel. Sampel tapioka dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang berbeda, kelompok A adalah sampel tapioka yang diseragamkan kadar air awalnya menggunakan

5 larutan garam jenuh MgCl 2 (RH 25 C =32,73%), kelompok B diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh NaCl (RH 25 C =75,32%), dan kelompok C diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh KCl (RH 25 C =84,32%). Penelitian tahap pertama dilakukan terhadap tiga jenis bahan dasar yang biasa digunakan sebagai bahan pembawa atau bahan pengisi pada produk perisa yaitu tepung tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan setting suhu pemanasan yang tepat untuk masing masing bahan pada alat Moisture Analyzer, sehingga bila nantinya diterapkan untuk pengukuran kadar air, hasil pengukuran yang didapatkan oleh Moisture Analyzer akan setara dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi (SNI butir 5.1). Suhu tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran kadar air produk bubuk perisa yang sebagian besar komponennya adalah ketiga bahan dasar yang telah disebutkan di atas. Penelitian kedua dilakukan pada bubuk perisa HVP, Garlic, dan Vanilla.yang sebagian besar komponennya adalah tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini dilakukan untuk memverifikasi apakah setting suhu pemanasan yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya dapat diterapkan untuk analisis kadar air produk perisa HVP (berbahan dasar maltodekstrin), perisa garlic (berbahan dasar campuran tapioka - maltodekstrin), dan perisa vanilla (berbahan dasar laktosa). Apabila dapat ditunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar air ketiga produk ini menunjukkan perilaku yang sama dengan hasil pengukuran pada bahan dasarnya, maka selanjutnya metoda pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer HB43-S untuk produk - produk perisa jenis lain akan mengikuti metoda pengukuran bahan dasarnya. Hasil penelitian menunjukkan moisture analyzer HB43-S dengan setting suhu 105 o C dapat digunakan untuk mengukur kadar air perisa HVP dimana hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM-400 (dioperasikan pada suhu 105 o C). Suhu pengukuran pada 105 o C ini sesuai dengan suhu yang digunakan untuk penelitian terhadap bahan baku tapioka dan maltodekstrin. Namun untuk perisa Garlic, agar diperoleh hasil pengukuran kadar air yang mendekati hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven, setting suhu alat moisture analyzer perlu diturunkan menjadi 100 o C dikarenakan dalam perisa garlic terkandung asam lemak yang sensitif terhadap panas. Dari hasil penelitian ini didaptkan bahwa alat moisture analyzer HB43-S dapat menjadi alternatif pengganti metode oven pada bahan jadi dengan bagan dasar maltodekstrin. Didapat pula bahwa metode yang paling sesuai untuk pengukuran kadar air bahan turunan gula adalah metode Karl Fischer. Kadar air laktosa dan perisa vanilla (mengandung 80% laktosa) sebaiknya tidak diukur menggunakan metoda LOD yang menggunakan panas intens pada proses analisisnya Hal ini disebabkan sifat-sifat laktosa yang peka terhadap panas (dapat terdekomposisi dan terpolimerisasi) sehingga data hasil pengukuran kadar air menjadi tidak akurat. Namun demikian hasil penelitian pada perisa vanilla menunjukkan bahwa produk ini masih mungkin diukur kadar airnya menggunakan oven suhu 105 C. Hasil pengukuran kadar air perisa vanilla menggunakan perangkat KF tidak berbeda nyata dengan hasil kadar air menggunakan oven. iv

6 Dalam kondisi normal dan untuk jumlah sampel yang besar (di atas 30 sampel) secara teknis waktu analisis kadar air menggunakan metode oven masih lebih efektif dibanding waktu analisis menggunakan moisture analyzer. Namun untuk kondisi mendesak dan dibutuhkan hasil yang cepat maka alat Moisture Analyzer dapat dijadikan pilihan bilamana sampel yang akan dianalisis kadar airnya jumlahnya hanya sedikit. Template Laporan Validasi dirancang untuk mempermudah pelaporan dimana analis hanya perlu memasukkan nama metode yang akan dibandingkan dan kontrol, nama penguji, tanggal, kondisi atau perlakuan kontrol, serta hasil pengukuran 10 ulangan untuk baik untuk metode yang akan divalidasi maupun kontrol. Data masukan diketikkan pada bagian yang berwarna kuning. Uji statistik yang digunakan untuk proses validasi adalah uji Dunnett. Suatu alat/metoda dikatakan dapat menggantikan alat/metoda yang dianggap sebagai kontrol apabila hasil uji Dunnett menyatakan hasil pengukuran keduanya tidak berbeda nyata. Hasil perhitungan pada template dalam bentuk excel tersebut telah dibandingkan dengan hasil perhitungan statistik menggunakan program SPSS dan hasil perhitungannya memberikan hasil yang sama. Kata kunci: metode oven, kadar air, Moisture Analyzer v

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. vi

8 Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer. HILDA KUMALASARI Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Teknologi Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr.

10 Judul Tugas Akhir : Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer. Nama : Hilda Kumalasari NIM : F Disetujui, Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua Fahim M. Taqi, STP, DEA Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan Dekan Pasca Sarjana IPB Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.AGR Tanggal Ujian : 19 April 2012 Tanggal Lulus :

11 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, Pengasih dan Penyayang atas bimbingan dan hikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief DESS dan Fahim M. Taqi, STP, DEA sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penyusunan Tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan moral, bantuan dan kerja sama dari rekan-rekan di PT. Givaudan Indonesia, terutama kepada Ibu Ade dan Dwi Wulansari yang telah banyak membantu sehingga penelitian dapat dijalankan dengan lancar. Juga kepada teman-teman seangkatan dan seluruh keluarga besar yang sangat mendukung dan memberi semangat serta doa. Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih belumlah sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Oktober 2012 Hilda Kumalasari

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1971 dari Bapak A.A. Pranatadjaja dan Ibu Jeanne Harjanti. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas di Sekolah Santa Maria Surabaya sejak tahun , , dan Penulis diterima di Universitas Surabaya jurusan Teknik Kimia pada tahun 1990 dan pada tahun 1993 karena tugas orang tua, maka penulis harus mengajukan cuti selama 1 tahun dan berhijrah ke kota Bogor pada tahun 1994 dan melanjutkan pendidikan Program Studi S1 di Institut Teknologi Indonesia jurusan Teknologi Industri Pertanian dan lulus pada tahun Pada tahun 2009 penulis menjadi mahasiswa program Magister Profesi Teknologi Pangan (MPTP). Setelah bekerja selama 12 tahun, penulis melanjutkan program master pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan - Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja di PT. Quest International Indonesia sejak tahun Pada tahun 2007 perusahaan tersebut dibeli oleh perusahaan lain dan berganti nama menjadi PT. Givaudan Indonesia sampai sekarang. Departemen yang menjadi tanggung jawab penulis sejak tahun 1999 sampai saat ini adalah Quality Control dengan peningkatan jabatan dari QC Technician menjadi QC Supervisor pada tahun 2004 dan kemudian diangkat menjadi QC Manager sejak tahun 2007 sampai sekarang. Pada bulan Mei 2012 penulis dipindahkan oleh perusahaan untuk menjadi QC Manager di Givaudan Singapore PTE. LTD. Bogor, Oktober 2012 Hilda Kumalasari

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN... Error! Bookmark not defined. A. Latar Belakang... Error! Bookmark not defined. B. Tujuan Penelitian... Error! Bookmark not defined. C. Manfaat Penelitian... Error! Bookmark not defined. D. Ruang Lingkup Penelitian... Error! Bookmark not defined. TINJAUAN PUSTAKA...5 A. Air dalam Bahan Pangan...5 B. Teknik Pengukuran Kadar Air Bahan PanganError! Bookmark not defined.5 D. Pengolahan Data Statistik... Error! Bookmark not defined.9 METODOLOGI PENELITIAN...41 A. Tempat dan Waktu Penelitian...41 B. Bahan...41 C. Peralatan...41 D. Metode Percobaan...41 E. Metoda Pengamatan...47 HASIL DAN PEMBAHASAN...51 A. Penelitian Pendahuluan...51 B. Penelitian Tahap Pertama: Pengukuran Kadar Air Bahan Dasar Bubuk Perisa...54 C. Penelitian Tahap Kedua: Pengukuran Kadar Air Produk Bubuk Perisa...58 D. Uji Efisiensi...62 E. Pembuatan Template Laporan Validasi SIMPULAN DAN SARAN...65 A. Simpulan...65 B. Saran...66 DAFTAR PUSTAKA...67 LAMPIRAN...71

14 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhuerror! Bookmark not Tabel 2 Kondisi pengukuran kadar air yang direkomendasikanerror! Bookmark not defined.9 Tabel 3 Spesifikasi alat HB43-S...21 Tabel 4 Reagen yang diperlukan untuk analisis Karl Fischer...23 Tabel 5 Analisis Varian/Keragaman untuk Rancangan Acak Lengkap...33 Tabel 6 Nilai RH yang dibentuk oleh 3 larutan garam jenuh yang digunakan pada suhu 25 o C...46 Tabel 7 Peningkatan kadar air tepung tapioka pada suhu 100 o C dengan MA pada berbagai a w...51 Tabel 8 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis basah di berbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda...52 Tabel 9 ANOVA tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl 2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda...52 Tabel 10 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl 2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda...52 Tabel 11 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis kering (g/100 g padatan) diberbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda...52 Tabel 12 ANOVA tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl 2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda...53 Tabel 13 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl 2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda...53 Tabel 14 Kadar Air rata-rata Tepung Tapioka...55 Tabel 15 Perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Tepung Tapioka...55 Tabel 16 Kadar air rata-rata Maltodekstrin...56 Tabel 17 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Maltodekstrin...56 Tabel 18 Kadar air Laktosa diukur menggunakan beberapa jenis metode Tabel 19 Data hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Laktosa...58 Tabel 20 Kadar air rata-rata perisa HVP...58 Tabel 21 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa HVP...59 Tabel 22 Kadar air rata-rata perisa Garlic...60 Tabel 23 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Garlic...60 Tabel 24 Data kadar air Perisa Vanilla pada beberapa jenis metode Tabel 25 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Vanilla...61 Tabel 26 Waktu untuk analisis kadar air bubuk dan bahan baku perisa...63

15 x DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Hubungan laju reaksi/pertumbuhan dengan aktivitas air (Koesnandar. 2010, sumber Labuza.1971)...10 Gambar 2 Kurva Isoterm Sorpsi Air (sumber: Gambar 3 Eksperimen Sorpsi Isotermis (sumber: Kusnandar 2010)...13 Gambar 4 Bagian bagian dari alat Moisture Analyzer HB43-S Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan perisa bubuk di PT Givaudan Indonesia...27 Gambar 6 Ilustrasi Akurasi dan Presisi Data (Sumber: Kenkel. 2003)...31 Gambar 7 Faktor faktor yang berpengaruh terhadap hasil analisis One Way ANOVA...32 Gambar 8 Skema pengujian pada uji Dunnett dari Sumber : Rafter et al (2002)..38 Gambar 9 Skenario penelitian pendahuluan...42 Gambar 10 Skenario penelitian tahap pertama...43 Gambar 11 Skenario penelitian tahap kedua...44 Gambar 12 Persiapan wadah proses penyeragaman kadar air...45 Gambar 13 Proses penyeragaman kadar air sampel tapioka...47 Gambar 14 Alat oven Memmert yang digunakan untuk pengujian kadar air.error! Bookmark not de Gambar 14 Perangkat autotitrator KF Mettler Toledo DL Gambar 15 Grafik sorpsi isotermis tepung tapioka basis kering pada kondisi setimbang pada tapioka pada suhu penyimpanan 25 o C...54

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 SNI Cara uji makanan dan minuman...72 Lampiran 2 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 95% Lampiran 3 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 99% Lampiran 4 Hasil Analisis Penelitian Pendahuluan...75 Lampiran 5 Hasil Analisis Penelitian Pertama terhadap Bahan Baku...79 Lampiran 6 Hasil Analisis Penelitian Kedua terhadap Bahan Jadi...82 Lampiran 7 Data waktu analisis berbagai metode terhadap jumlah sampel Lampiran 8 Jumlah sampel dengan waktu analisis kurang dari pengujian dengan metode oven...93 Lampiran 9 Sertifikat Kalibrasi Oven Memmert...94 Lampiran 10 Sertifikat Kalibrasi Moisture Analysis...95 Lampiran 11 Template Laporan Validasi dengan Excel...98 Lampiran 12 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian Pertama...99 Lampiran 13 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian Kedua...102

17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kadar air pada bahan pangan merupakan faktor yang sangat penting dalam industri pangan untuk menentukan kualitas dan ketahanan pangan terhadap kerusakan yang mungkin terjadi. Penentuan kadar air biasanya diperlukan untuk menghitung kadar komponen pangan lainnya (Nielsen, 2010). Air memiliki peran yang sangat penting dalam bahan pangan, pada produk pangan segar kadar air merupakan indikator tingkat kesegaran dan kualitas tekstural, sedangkan pada produk pangan olahan terutama produk pangan kering kadar air sangat menentukan stabilitas produk selama masa penyimpanan (umur simpan produk). Bagi sebagian pelaku industri pangan, kadar air adalah salah satu parameter penentu penerimaan atau penolakan suatu produk, oleh sebab itu metoda atau prosedur yang akan digunakan untuk mengukur kadar air harus disepakati terlebih dahulu oleh pihak pihak yang bertransaksi sebelum kontrak penjualan ditandatangani. Untuk produk berbentuk bubuk atau serbuk, ada dua metoda pengukuran kadar air yang lazim digunakan oleh industri pangan yaitu: metode Loss on drying (LOD) dan metode titrimetri Karl Fischer. Hampir seluruh perisa bubuk produksi PT Givaudan Indonesia diukur kadar airnya dengan metoda Loss on drying (LOD) standar menggunakan oven (SNI butir 5.1), terkecuali untuk perisa yang mengandung bahan yang mudah teroksidasi atau menguap akibat pemanasan seperti ethanol, minyak esensial, asam lemak jenuh dan tanin. Bubuk perisa jenis tersebut diukur kadar airnya menggunakan metoda Karl Fischer. Menurut Andarwulan (2011) penggunaan metoda LOD untuk mengukur kadar air bahan yang mengandung senyawa yang mudah menguap atau teroksidasi dapat menyebabkan nilai kadar air hasil pengukuran akan lebih besar dari nilai sebenarnya, karena kehilangan berat yang terjadi akan dianggap sebagai air yang

18 2 hilang. Di PT Givaudan Indonesia metoda Karl Fischer juga digunakan untuk mengukur sampel yang memiliki kadar air yang sangat rendah. Pada metode loss on drying (LOD), bahan yang telah diketahui beratnya dipanaskan dalam oven bersuhu 105 o C selama minimum 3 jam hingga hingga beratnya konstan, selisih berat sebelum dengan sesudah pengeringan adalah kandungan air dalam bahan. Pengukuran kandungan air dengan metoda ini terbilang murah namun menyita banyak waktu. Sedangkan metoda titrimetri Karl Fischer, meski sangat akurat dan hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat, metoda ini membutuhkan reagen dan alat spesifik yang cukup mahal harganya. Dengan semakin meningkatnya volume pesanan dari pelanggan, metode LOD standar tidak lagi mampu mengimbangi kebutuhan akan kecepatan dalam melepas atau mengirim produk, karena analisis kadar air dengan metoda ini membutuhkan waktu yang lama (3 jam). Hambatan waktu ini dapat diatasi dengan penggunaan alat Moisture Analyzer. Waktu yang dibutuhkan untuk mengukur kadar air bahan pangan menggunakan Moisture Analyzer HB43-S rata rata hanya membutuhkan waktu antara 3 15 menit/sampel tergantung jenis sampelnya, hasil analisis langsung dapat dilihat di layar monitor atau langsung dicetak ke alat pencetak (printer). Pada Moisture Analyzer HB43-S tahapan penimbangan dan pengeringan sampel serta perhitungan hasil analisis, seluruhnya dilakukan dalam satu alat. Dengan demikian kemungkinan terjadinya human error akan dapat diminimalkan dan didapatkan hasil analisis yang lebih akurat. Terlepas dari semua kelebihan yang dimiliki, penggunaan Moisture Analyzer HB43-S sebagai alternatif pengganti metoda LOD standar yang selama ini digunakan, tetap membutuhkan satu proses validasi terlebih dahulu baik terhadap metoda maupun hasil analisis yang diperoleh. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Mendapatkan suhu pemanasan yang tepat pada alat Moisture Analyzer Halogen HB43-S sehingga hasil pengukuran kadar air (LOD) pada alat ini sebanding dengan hasil pengukuran kadar air metode LOD menggunakan oven UM-400 sebagai metode rujukan untuk produk bubuk perisa.

19 3 2. Memperoleh gambaran tentang konsistensi antara data pengukuran kadar air metode LOD menggunakan moisture analyzer terhadap data pengukuran kadar air menggunakan oven dan metode Karl Fischer. 3. Mendapatkan informasi metode mana yang lebih efisien secara teknis. 4. Menghasilkan template yang dapat digunakan untuk mempermudah proses pelaporan hasil validasi alat atau metode analisis atribut mutu bubuk perisa C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan diterapkan di PT Givaudan Indonesia. D. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup tiga tahapan penelitian, semua dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan dan memvalidasi metoda pengukuran kadar air menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S, metoda yang nantinya diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti bagi metoda LOD menggunakan oven dan metoda Karl Fischer yang selama ini sudah digunakan oleh PT Givaudan Indonesia sebagai metoda standar pengukuran kadar air produk bubuk perisa.

20 4

21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Durasi umur simpan suatu bahan pangan dibatasi oleh perubahan biologis, kimia, dan fisika yang berlangsung dan terus berlanjut dalam bahan tersebut. Kelanjutan dan laju proses perubahan itu, kesemuanya sangat dipengaruhi oleh kadar air dan aktifitas air (water activity). Semakin tinggi kadar air suatu bahan pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak. Pengurangan kadar air bahan pangan akan berakibat berkurangnya ketersediaan air untuk menunjang kehidupan mikroorganisme dan juga untuk berlangsungnya reaksi reaksi fisikokimiawi. Dengan demikian baik pertumbuhan mikroorganisme maupun reaksi fisikokimiawi keduanya akan terhambat, bahan pangan akan dapat bertahan lebih lama dari kerusakan. Pengaturan kadar air merupakan salah satu basis dan kunci terpenting dalam teknologi pangan (Kupriannoff. 1958). Sekitar 60-95% total berat bahan pangan adalah air, komponen ini merupakan komponen paling dominan dibanding komponen pangan yang lain seperti lemak, minyak, protein, karbohidrat, mineral, garam, dan asam. Di dalam bahan pangan, air dapat berperan sebagi fasa kontinyu dimana substansi lainnya terdispersi dalam bentuk molekular, koloida atau sebagai emulsi. Garam - garam seperti NaCl, citrat atau fosfat dapat meningkatkan daya ikat air adonan yang didominasi oleh protein, hal seperti ini dapat diamati pada proses pengolahan daging giling atau sosis. Keberadaan air dan pendistribusiannya di dalam sistem biologis adalah faktor yang sangat penting untuk diperhitungkan, perubahan kandungan air (water content) dan cara pendistribusiannya akan menyebabkan perubahan nyata pada produk pangan (Kupriannoff. 1958). Pada industri bubuk perisa, kadar air merupakan parameter penting yang diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk. Kadar air merupakan penentu kestabilan produk bubuk perisa selama penyimpanan, dimana tinggi rendah parameter ini akan sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu organoleptik terutama penampakan, warna dan rasa, serta terjadinya penggumpalan selama produk ini disimpan. Dalam perdagangan bubuk perisa kadar air adalah

22 6 salah satu kriteria utama penerimaan dan penolakan produk, oleh karenanya metoda pengukuran parameter ini menjadi sangat penting dan harus disepakati terlebih dahulu oleh pemasok dan konsumen sebelum suatu transaksi dijalankan. A. Air dalam Bahan Pangan A.1. Keberadaan Air dalam Bahan Pangan Ditinjau dari Derajat Keterikatan Semua produk pangan mengandung air, di dalam bahan pangan air dapat dijumpai dalam bentuk air bebas dan air terikat bound water dengan derajat keterikatan yang beragam. Menurut Kupriannoff (1958) terdapat empat kemungkinan bentuk keterikatan air dalam bahan pangan yang dipengaruhi komposisi kimia dan struktur fisika bahan: 1. Air bebas yang terdapat dalam bentuk murni sebagai air permukaan, air ini tidak termasuk sebagai komponen produk tetapi berasal dari luar seperti kondensasi atau proses pencucian dan lain-lain. Air tersebut dapat di kelompokkan sebagai air bebas selama tidak bercampur atau bereaksi pada komponen permukaan bahan. 2. Air yang terikat secara kimiawi pada beberapa jenis garam, air jenis ini bisa dalam bentuk ikatan valensi (contoh NaOH) atau sebagai hidrat (contoh CoCl 2.6H 2 O). Air yang terikat secara kimia ini tidak dapat dilepaskan dengan proses pangan dengan menggunakan metoda biasa. 3. Air yang teradsorbsi membentuk lapisan tipis mono atau polimolekular pada permukaan internal atau ekternal produk akibat adanya gaya tarik antar molekul, atau terakumulasi di dalam pori - pori halus karena kondensasi kapiler. 4. Air hidratasi yaitu air yang teradsorbsi oleh substansi koloid yang menyebabkan pembengkakan massa gel, kondisi ini dapat terjadi karena karakter dipolar dari air. Dari keempat bentuk di atas, maka bentuk yang dinyatakan pada butir 3 dan 4 adalah bentuk air terikat yang terpenting dalam bahan pangan. Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1989), Winarno (1992), dan Kusnandar (2010) berdasarkan derajat keterikatannya air dalam bahan pangan dapat dibedakan menjadi empat tipe:

23 7 Tipe I adalah air yang secara molekular terikat pada komponen lain (seperti protein atau karbohidrat) membentuk hidrat melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Pembentukan hidrat menyebabkan air tipe ini tidak lagi memiliki sifat yang sama dengan sifat air murni, yakni tidak dapat membeku dan hanya sebagian saja yang dapat dihilangkan dengan proses pengeringan biasa. Air tipe ini sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya. Tipe II, adalah molekul-molekul air yang terdapat pada permukaan bahan pangan yang bersifat hidrofilik. Molekul molekul air ini berikatan satu sama lain dengan ikatan hidrogen membentuk lapisan monolayer atau multilayer. Sebutan lain air tipe II adalah air teradsorbsi adsorbed water. Dibanding air normal air tipe ini lebih susah dihilangkan/diuapkan selama proses pengeringan, jika air tipe II dihilangkan seluruhnya maka kadar air bahan akan berkisar antara 3-7%. Tipe III adalah molekul air yang ditemukan permukaan jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe ini hanya terikat secara fisik sehingga mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Karena sifat sifatnya, air tipe III sering kali disebut sebagai air bebas free water. Apabila air tipe ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25% Tipe IV. Air tipe ini tidak memiliki ikatan apapun dengan matriks jaringan bahan pangan, dan sifat-sifatnya sama dengan air murni dengan keaktifan penuh. Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan pangan misalnya proses mikrobiologi, kimiawi, enzimatik, bahkan aktivitas serangga perusak (Sudarmadji et al 2003). Menurut Kuprianoff (1958) telah diterima secara umum bahwa air terikat didefinisikan sebagai bagian dari kadar air produk yang akan tetap berada dalam bahan ini dalam kondisi tak berubah (terikat) setelah dilakukan prosedur pengeringan biasa seperti pembekuan, dehidrasi kimia, dan lain-lain (cara ini hanya dapat menghilangkan air bebas saja). Air jenis ini hanya dapat dihilangkan dengan jalan memanaskan produk pada suhu C untuk waktu yang cukup lama. Jika air yang teruapkan pada suhu C disebut sebagai kadar air total

24 8 produk, maka kadar air terikat sama dengan kadar air total dikurangi kadar air bebas. A.2. Kadar Air dan Kestabilan Produk Pangan Selama Masa Simpan Air yang tekandung dalam bahan pangan dapat menjadi penentu apakah produk tersebut dapat dijual dan telah memenuhi standar produksi. Kandungan air tersebut dapat mempengaruhi daya simpan, kecepatan penggumpalan produk bubuk, kestabilan terhadap kontaminan mikrobiologi, kemampuan daya alir atau curah produk, total padatan kering, konsentrasi atau kemurnian, kesesuaian dengan perjanjian, nilai nutrisi, dan kesesuaian dengan peraturan pemerintah. Kadar air adalah banyaknya air yang terkandung dalam bahan pangan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu parameter penting dalam menentukan kualitas bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi menyebabkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Dwijoseputro,1994). Pada sebagian besar produk pangan, air merupakan komponen penyusun yang memiliki proporsi paling besar. Dari sisi fungsional pentingnya keberadaan air dalam produk pangan tidak hanya sebatas kuantitasnya saja. Air adalah komponen penentu karakter tekstural dan estetis buah-buahan dan sayuran, dimana hilangnya air dari produk ini akan berakibat pada penurunan kualitas. Ketersediaan air juga merupakan prakondisi yang menjadi syarat utama terjadinya reaksi kimia dan pertumbuhan mikroba, atau dengan kata lain air adalah salah satu unsur yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimia produk pangan. Pengaruh air terhadap stabilitas bahan pangan tidak hanya terletak pada sisi kuantitasnya semata, namun harus dilihat juga dari sisi efektivitasnya, parameter yang mampu menjelaskan masalah ini adalah A w atau aktivitas air (Berk. 2009). Keberadaan air adalah penentu karakteristik struktural atau turgiditas sel, dan lebih jauh nilai gizi serta citarasa bahan pangan. Menurut Kuprianoff (1958), proses pengeringan akan punya pengaruh besar terhadap karakter tersebut dan dapat

25 9 menjadi penentu besarnya perubahan yang tak dapat kembali irreversible changes selama masa simpan produk yang telah dikeringkan. Hal terpenting yang wajib diperhatikan dalam pengeringan pangan yaitu kandungan air harus diturunkan hingga satu nilai dimana proses mikrobiologis, enzimatis, dan kimia penyebab kerusakan pangan dapat dihambat lajunya selama masa simpan produk. Tingkat irreversible changes yang akan terjadi pada produk pangan kering dalam masa simpan sangat bergantung kepada kandungan air produk ini, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut penurunan kandungan air berakibat pada pengurangan permukaan kontak (permukaan dimana terjadi reaksi) fasa cair dan juga effect penghambatan inhibitive effect pada sistem enzim akibat peningkatan konsentrasi enzim pada fasa cair. Faktor suhu penyimpanan penting pula untuk diperhatikan karena irreversible changes akan dipercepat pada penyimpanan di suhu yang lebih tinggi. Nilai kadar air saja tidak dapat menjelaskan seberapa kuat molekul air terikat dalam bahan pangan sehingga tidak lagi tersedia untuk reaksi kimia, aktivitas enzim, dan pertumbuhan mikroba, sulit mencari hubungan antara parameter ini dengan kestabilan atau keawetan pangan. Sebaliknya aktivitas air (a w ) adalah kuantifikasi tingkat air yang ada atau tersedia untuk interaksi hidrasi, pertumbuhan mikroba dan kimia dan reaksi enzimatik (Bhandari dan Adhikari. 2008), parameter ini adalah penduga yang baik potensi kerusakan bahan pangan selama penyimpanan. Aktivitas air merupakan salah satu parameter hidratasi yang menunjukkan jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno. 1992; Syarief & Halid. 1993). Nilai a w suatu bahan atau produk pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 berarti dalam makanan tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa bahan pangan tersebut hanya terdiri dari air murni. Nilai a w suatu bahan pangan dapat diturunkan antara lain dengan cara menambahkan suatu senyawa yang dapat mengikat air (Estiasih & Ahmadi. 2009). Sama halnya dengan kebutuhan terhadap tingkat keasaman (ph), mikroorganisme juga mempunyai nilai a w minimum, maksimum dan optimum untuk tumbuh dan berkembang biak (Estiasih & Ahmadi. 2009). Hubungan antara nilai a w dengan laju reaksi/pertumbuhan relatif dapat dilihat pada gambar 1.

26 10 Gambar 1. Hubungan laju reaksi/pertumbuhan mikroba dengan aktivitas air (Koesnandar. 2010) Kapang, khamir, dan bakteri ternyata memerlukan nilai a w yang paling tinggi untuk pertumbuhannya. Nilai a w terendah dimana bakteri dapat hidup adalah 0,86. Bakteri-bakteri yang bersifat halofilik atau dapat tumbuh pada kadar garam tinggi dapat hidup pada nilai a w yang lebih rendah yaitu 0,75. Sebagian besar makanan segar mempunyai nilai a w = 0,99. Pada produk pangan tertentu supaya lebih awet biasa atau dilakukan penurunan nilai a w. A.3. Fenomena Adsorpsi dan Desorpsi Air Pada Bahan Pangan Nilai a w bahan pangan bersifat dinamis, nilai ini akan naik atau turun mengikuti perubahan kondisi kelembaban dan suhu udara yang berada disekitarnya. Ketika air berinteraksi dengan zat terlarut solutes sebenarnya air tidak sepenuhnya tersedia untuk interaksi ini. Aktivitas air adalah kesetimbangan yang tercapai di dalam sebuah sistem pada semua fasanya yang mengandung air, dan definisikan sebagai perbandingan tekanan uap terhadap tekanan uap air murni pada suhu yang sama (Bhandari and Adhikari. 2008; Berk. 2009). a w dapat

27 11 diekspresikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut, dimana: P _ tekanan parsial uap air bahan pangan pada suhu T P 0 _ kesetimbangan tekanan uap air murni pada suhu T Perbandingan sejenis juga dapat di definisikan sebagai kelembaban relatif dari udara, RH ( biasanya di nyatakan dalam persense) : dimana : P = tekanan parsial dari uap air di udara. Jika bahan pangan telah mencapai kesetimbangan dengan udara, maka P = P. Maka selanjutnya aktifitas air dari bahan pangan adalah sama dengan kelembaban relatif atmosfir pada saat kesetimbangan. Oleh karenanya terkadang aktifitas air diekspresikan sebagai kesetimbangan kelembaban relatif (ERH, equilibrium relative humidity). Bila bahan pangan dengan kadar air tinggi disimpan di lingkungan dengan kelembaban relatif yang rendah (kering), maka sebagian air dari bahan tersebut akan berangsur bermigrasi ke lingkungannya (desorpsi) hingga kondisi kesetimbangan tercapai. Sebaliknya, bila pangan berkadar air rendah disimpan pada lingkungan dengan kelembaban relatif yang tinggi, maka pangan tersebut akan menyerap air (adsorbsi) hingga terbentuk kondisi kesetimbangan. Kadar air yang terukur pada kondisi kesetimbangan dengan lingkungan dikenal sebagai kadar air kesetimbangan (Equilibrium Moisture Content /EMC).

28 12 Kurva hubungan antara kadar air kesetimbangan dengan kelembaban relatif pada hakikatnya dapat menggambarkan hubungan antara kadar air dan aktivitas air. Kurva tersebut sering disebut sebagai kurva Isoterm Sorpsi Air (ISA). Menurut Berk (2009) hubungan antara kadar air (gram air per gram bahan kering) dan aktivitas air pada suhu konstan disebut sorpsi isotermis uap air (the water vapor sorption isotherm) atau sorpsi isotermis kelembaban (moisture sorpstion isoterm) dari suatu bahan pangan. Bentuk umum hipotetik dari sebuah sorpsi isotermis ditunjukkan pada gambar 2 di bawah ini. Gambar 2 Kurva Isoterm Sorpsi Air (sumber: Andarwulan et al (2011) menyatakan bahwa Isotermis Sorpsi Air (ISA) bahan pangan dapat memberikan pola tertentu dalam proses penambahan air pada bahan kering (adsorpsi) dan pengurangan air dari bahan basah (desorpsi). Setiap material mempunyai kurva isoterm sorpsi air yang khas, yang berbeda dengan material lainnya. Pada kurva tersebut dapat diketahui bahwa kadar air yang sama belum tentu memberikan a w yang sama tergantung jenis bahannya. Pada kadar air yang tinggi belum tentu memberikan a w yang tinggi bila bahannya berbeda. Bahan yang tersusun dari komponen yang dapat mengikat air hanya menyisakan air bebas yang

29 13 relatif sedikit, akibatnya bahan jenis ini akan mempunyai a w yang rendah (Wulanriky. 2011). Suatu material dapat mencapai kadar air keseimbangannya melalui dua alternatif pendekatan : dengan penyerapan uap air (adsorpsi) atau dengan pengeringan (desorpsi). Pada tingkat kadar air yang sama, nilai tekanan uap kesetimbangan suatu material yang bersifat porous (memiliki banyak pori dan kapiler) dapat saja berbeda, hal ini mungkin terjadi karena penentuan nilai tersebut tergantung pada pendekatan mana yang diambil. Fenomena ini dikenal sebagai hysteresis (gambar 1). Kadar air keseimbangan akan tercapai bilamana material berinteraksi dengan lingkungannya dalam waktu yang cukup lama. Dalam proses penyetimbangan, terjadi difusi air secara merata diseluruh bagian material, kadar air material akan terus berubah sampai kesetimbangan tercapai. Proses perubahan ini mengikuti perubahan kondisi yang terpantau pada permukaan material (pv, T). Pada kondisi kesetimbangan, terjadi proses distribusi air internal yang berlangsung secara tetap di dalam material. Secara teoritis dibutuhkan waktu yang tidak terbatas untuk mencapai kondisi kesetimbangan, namun untuk kebutuhan praktis terdapat sejumlah prosedur dan metode perhitungan waktu kesetimbangan dengan tingkat akurasi yang dapat diterima (Molnar. 2006). Kurva sorpsi isothermis ditentukan secara eksperimental, sampel bahan pangan ditempatkan dalam wadah tertutup yang telah diketahui RHnya (gambar 3) hingga sampel ini mencapai kadar air kesetimbangan. Setelah setimbang, maka sampel akan dianalisis kadar airnya (Berk. 2009) Gambar 3 Eksperimen Sorpsi Isotermis (sumber: Kusnandar 2010)

30 14 Air murni yang dimasukkan ke dalam desikator/wadah tertutup akan membentuk kesetimbangan tekanan uap antara air murni dengan lingkungannya. Air akan menguap dan membentuk kondisi jenuh uap air di lingkungan di dalam desikator. Kandungan uap air di udara biasa dinyatakan dengan kelembaban relatif. Kelembaban relatif uap air di lingkungan akan mencapai 100% jika terjadi kondisi kesetimbangan antara air dengan lingkungannya, artinya udara dipenuhi dengan uap air. Tekanan uap air murni (Po) adalah tekanan yang terukur dalam lingkungan desikator tersebut. Tekanan uap air akan dipengaruhi oleh suhu, dimana semakin tinggi suhu maka tekanan uap air murni akan semakin besar berdasarkan hukum gas ideal. Apabila isi desikator tertutup tersebut diganti dengan larutan garam jenuh, misalnya larutan garam LiCl jenuh, maka air akan lebih sulit menguap akibat adanya interaksi ionik antara air dengan ion Li + dan Cl -. Tekanan uap (P) yang terbentuk di dalam desikator ini akan lebih rendah dibandingkan tekanan uap dalam desikator berisi air murni (udara tidak jenuh oleh uap air). Jenis larutan garam jenuh yang diisikan dalam desikator akan menentukan tekanan uap dan kelembaban relatif yang dihasilkan (tabel 1), perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan kekuatan interaksi ionik dari masing masing jenis garam dengan air. Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhu Larutan garam jenuh Kelembaban relatif yang terbentuk (RH, %) 20 o C 25 o C 30 o C NaOH 6,98 6,95 6,87 LiCl 11,14 11,15 11,16 KC 2 H 3 O 2 23,10 22,60 22,00 MgCl 2 30,30 32,73 32,38 NaI 39,18 37,75 36,25 Mg(NO 3 ) 2 54,47 52,86 51,33 KI 69,86 68,76 67,85 NaCl 75,42 75,32 75,21 KBr 81,77 80,71 - KCl 85,31 84,32 83,53 Na 2 SO4 86,90 85,95 86,40 BaCl 2 90,69 90,26 - NH 4 H 2 PO 4 92,20 92,70 91,10 K 2 SO 4 97,20 96,90 96,60 Sumber : Syarief & Halid (1993) dan Koesnandar (2010)

31 15 Bila contoh makanan dimasukkan dalam desikator berisi larutan-larutan garam tersebut maka kandungan air dalam pangan tersebut akan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan hingga tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan (migrasi) uap air terjadi dari lingkungan ke pangan atau sebaliknya dan bila kondisi ini dibiarkan beberapa lama, maka akan tercapai kondisi kesetimbangan sampai tidak terjadi lagi migrasi air dari atau ke pangan. B. Teknik Pengukuran Kadar Air Bahan Pangan Molnar (2006) mengungkapkan bahwa penentuan kadar air bahan basah tampak sederhana, namun hasil yang diperoleh seringkali tidak cukup akurat, yang disebabkan karena turut menguapnya komponen selain air atau terjadinya perubahan kimia (oksidasi, dekomposisi, distilasi merusak, dan lainnya) pada saat proses pemanasan. Pada saat yang sama air teradsorpsi harus dibedakan dari air kristalisasi, yang mana merupakan suatu masalah yang sangat kompleks. Pada saat pemilihan teknik penentuan kadar air maka harus diperhitungkan akurasi yang diinginkan, prosedur, lama investigasi, dan kompleksitas instrumen yang diperlukan dan peralatan yang ada. Kemungkinan metode yang dapat digunakan untuk mengukur distribusi kadar air selama pengeringan adalah: 1. Metode Langsung, pada dasarnya adalah penentuan kadar air dengan cara mengeringkan sampel dalam oven pengering dengan atau tanpa tiupan udara, atau dengan pengeringan dalam oven vakum atau dalam desikator vakum. 2. Metode Tidak Langsung, kondisi persaingan industri saat ini menuntut pengukuran kadar air bahan dilakukan dengan metode yang lebih cepat, salah satunya adalah metode elektris yang mempunyai tiga varian utama: pengukuran kadar air berdasarkan perubahan resistansi ohmik arus DC, pengukuran kapasitansi elektrostatis (konstanta dielektrik material), dan pengukuran kehilangan pada medan listrik AC. Metode cepat lain adalah metode kimia seperti metode Karl-Fischer, metode distilasi toluena, dan metode ekstraksi menggunakan metanol absolut.

32 16 B.1. Cara Fisik Gravimetri LOD B.1.1. Prinsip, Kelebihan dan Kekurangan Cara Gravimetri Kadar air dari bahan pangan dapat ditentukan dengan berbagai metode, tapi untuk memperoleh data yang akurat dan tepat umumnya adalah tantangan tersendiri (Nielsen. 2010). Metode yang berbeda menghasilkan nilai kadar air yang berbeda pula sebagaimana di jelaskan sebagai berikut : Pengeringan dengan oven konveksi: di samping air akan ikut teruapkan pula sedikit komponen volatil. Seringkali sampel tidak benar-benar kering karena pemanasan dengan cara konveksi tidaklah cukup kuat. Nilai pengukuran akan berada di atas kadar air (water content) tetapi di bawah kadar air total (total moisture content) Moisture Analyzer otomatis, yang memanfaatkan lampu inframerah atau halogen sebagai sumber panas. Pengeringan dengan inframerah atau halogen selain menguapkan air juga akan menguapkan komponen yang sangat sulit menguap. Kadar air total bahan ditentukan dengan pemanasan intensif menggunakan metode pengeringan adsorpsi. Dalam kebanyakan kasus, nilai pengukuran berada di atas hasil pengukuran referensi menggunakan metode pengeringan oven. Analisis kadar air menggunakan alat ini tergolong cepat, tetapi sangat bersifat matrix dependent (masalah yang sering terjadi penyumbatan pori atau terjadinya pembakaran/pengerasan pada permukaan) dan membutuhkan pengujian trial-and-error untuk menentukan pengaturan yang benar untuk level energi dan waktu. Pengering air gelombang mikro dapat menguapkan air dan hanya sedikit komponen sangat volatil. Berkat prinsip pengeringan adsorpsi, terorientasi atau dipoles, maka nilai pengukuran sangat dekat pada kadar air dan biasanya lebih rendah dari hasil pengeringan dengan oven. Metode titrasi Karl Fischer menentukan jumlah molekul air dengan reaksi kimia. Nilai ukur sesuai dengan kadar air dengan akurasi tertinggi. Menurut Kern & Sohn GmbH (2012), terdapat dua metode referensi yang diakui secara internasional metode oven dan Karl Fischer. Semua metode lain harus disesuaikan dengan salah satu dari dua metode tersebut jika diperlukan.

33 17 B.1.2. Pengukuran Kadar Air Cara Gravimetri (Lost On Drying) Kadar air dalam sampel dapat diukur secara gravimetri atau loss on drying (LOD) dengan menentukan penurunan berat dalam sampel setelah ditempatkan pada oven yang sesuai (oven konveksi, vakum, atau microwave) untuk waktu tertentu. Pada metode gravimetri, diasumsikan bahwa hanya air yang akan dihilangkan dalam proses pengeringan, dimana pada kenyataanya ada komponen volatil yang turut hilang. Metode ini hanya membutuhkan sejumlah kecil sampel homogen dan dapat mengukur secara efektif kandungan air pada kisaran 0,01% sampai 99,99% (Rennie. 2001). Prinsip dari metode pengering dengan menggunakan oven adalah bahwa air yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan pada suhu 105 o C selama waktu tertentu hingga tercapai berat konstan. Perbedaan antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air (Astuti. 2007). Berat dinyatakan sudah konstan bilamana hasil dua kali penimbangan berturut turut pada tingkat presisi tertentu, hasilnya tidak berbeda lebih dari 0,25% (Kenkel. 2003). Suhu pengeringan untuk penentuan kadar air yang ditetapkan dalam SNI butir 5.1 adalah 105 C dengan waktu pengeringan selama 3 jam. Asumsi dasarnya adalah bahwa air bertitik didih 100 C, sehingga dengan pemanasan 5 C di atas suhu didih air, diharapkan semua air dalam bahan dapat diuapkan. Cara tersebut relatif mudah dan murah untuk dilakukan. Metode pengeringan dengan pemanasan (LOD) tidak cocok digunakan untuk sampel uji yang banyak mengandung zat yang mudah menguap karena hasil uji akan lebih besar dari yang sebenarnya (Andarwulan. 2011). Kelemahan cara gravimetri menggunakan pemanasan ini adalah bahan lain selain air ikut menguap bersama dengan uap air misal alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain. Reaksi yang bisa terjadi selama pemanasan dapat menghasilkan air atau zat mudah menguap, contoh : gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi dan lain-lain. Air menjadi terikat kuat di dalam bahan dan sulit dilepaskan meskipun sudah dipanaskan. Meskipun pengukuran kehilangan berat bahan karena penguapan air sering

34 18 digunakan untuk menghitung kadar air, namun harus ditunjukkan bahwa nilai yang diperoleh tersebut bukanlah hasil kadar air yang sebenarnya. Pada beberapa contoh, hanya sebagian saja dari air yang terkandung akan hilang pada suhu pengeringan, sedangkan air terikat sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Ada kecenderungan jumlah air yang hilang akan meningkat jika suhu dinaikkan. Beberapa sampel yang mengandung kadar lemak tinggi bisa menunjukkan hilangnya minyak yang mudah menguap pada suhu pengeringan 100 o C. Kehilangan berat bahan dapat dipengaruhi faktor-faktor seperti ukuran partikel, berat sampel yang digunakan, jenis wadah yang digunakan, dan variasi suhu dalam oven dari rak ke rak. Dengan demikian, sangatlah penting untuk membandingkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan kondisi pengeringan yang sama. Pada umumnya, metode gravimetri hanya memerlukan sejumlah kecil sampel (antara 1 dan 10 g tergantung yang pada kadar airnya). Oleh karena itu, homogenitas sampel sangat kritis dan perlu diperhatikan secara khusus. Harus dipastikan bahwa sampel yang akan diukur telah rata tercampur merata sebelum diambil untuk analisis. Metode yang digunakan untuk homogenisasi akan tergantung pada jenis sampel yang dianalisis. Blender, pengaduk mekanik, mesin pencacah, pengolah makanan, dan parut umumnya digunakan untuk sampel kering, lembab, dan sangat basah. Karena perangkat ini menghasilkan panas, sangat penting untuk mencegah terjadinuya over homogenize, yang menyebabkan kadar air akan hilang. Setelah sampel telah benar-benar homogen, maka penting kiranya untuk dengan segera mengukur kadar air sampel atau bila membutuhkan waktu tunda memindahkannya terlebih dahulu ke suatu wadah kaca atau plastik yang kering dan tertutup rapat. Dalam metode gravimetri, kadar air yang rendah hanya akan menghasilkan kehilangan berat yang sangat kecil setelah pengeringan. Penting diperhatikan untuk mencegah sampel terkontaminasi saat sampel dikeringkan atau pada saat dipindahkan ke oven atau desikator. Jangan memegang wadah dengan tangan telanjang, gunakan penjepit atau sarung tangan. Gunakan penutup wadah bila sampel mudah berbuih atau memercik saat dipanaskan. Hal ini dapat mencegah kontaminasi silang dengan sampel disebelahnya di dalam oven (Ruiz. 2001).

35 19 Tabel 2 Kondisi pengukuran kadar air yang direkomendasikan Sumber : Ruiz (2001) B.1.3. Analysis yang Dipercepat (pemanasan IR-Halogen) dan Pengenalan Alat Moisture Analyzer HB43-S LOD adalah metode analisis kadar air rutin pada industri farmasi. Pada industri ini biasanya menggunakan alat pengukur kadar air meliputi alat timbang yang dilengkapi wadah metal bulat yang dapat diisi dengan granula contoh, dimana terdapat koil pemanas listrik besar di atasnya. Pada saat kumparan listrik memanas, berat sampel secara otomatis dimonitor dan persentase kadar air dihitung dan dan dapat terlihat pada alat. Ketika persentase yeang termonitor mencapai kestabilan maka alat akan berbunyi dan persentase kadar air sampel ditampilkan (Kenkel. 2003). Sebagian kecil radiasi akan dipantulkan atau terserap oleh sampel. Kuantitas energi radiasi yang dipantulkan tersebut tergantung pula pada warna sampel, apakah sampel tersebut berwarna terang atau gelap. Untuk bahan berwarna gelap dapat digunakan suhu yang lebih rendah. Kedalaman penetrasi radiasi infra red (IR) tergantung pada permeabilitas sampel, dimana pada permeabilitas rendah, radiasi IR hanya menembus lapisan atas. Konduktivitas panas dari substansi menentukaan

36 20 transportasi panas lebih lanjut ke dalam lapisan yang lebih dalam. Konduktivitas panas yang lebih tinggi, maka pemanasanpada bahan akan semakin cepat dan lebih homogen, oleh karenanya perlu diingat bahwa substansi harus didistribusikan secara merata berupa lapisan tipis pada wadah sampel. Hasil pengukuran yang berkualitas sangat tergantung pada persiapan sampel yang optimal dan pemilihan parameter utama yang tepat seperti ukuran sampel, suhu pengeringan, kriteria penghentian analisis, lama pengeringan, dan lain - lain. Suhu optimum dan lama pengeringan yang dibutuhkan akan tergantung pada jenis dan ukuran bahan serta hasil akurasi pengukuran yang diinginkan. Kesemuanya hanya bisa ditentukan dengan percobaan (Kern & Sohn GmbH. 2012). Moisture Analyzer HB43-S dengan teknologi halogen yang digunakan dalam penelitian ini memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan metode oven antara lain: 1. Hasil yang lebih tepat 2. Waktu yang lebih cepat 3. Mudah pengoperasiannya 4. Mengurangi human error pada saat penimbangan Penggunaan HB43-S sangat praktis, hanya perlu tiga langkah untuk mengoperasikannya yaitu: mentera alas sampel, meletakkan sampel di atas alas, dan menekan tombol mulai. Hasil analisis akan di cetak secara otomatis dalam beberapa menit. Gambar 4 dan Tabel 3 berikut ini adalah gambar bagian - bagian alat Moisture Analyzer HB43-S dan spesifikasinya.

37 21 Gambar 4 Bagian bagian dari alat Moisture Analyzer HB43-S. Tabel 3 Spesifikasi alat HB43-S

38 22 B.2. Cara Kimia Titrimetri Karl Fischer Pengukuran kadar air dengan metode Karl Fischer ini dalam bahasa Inggris lebih dikenal sebagai water content. Cara ini mentitrasi sampel dengan larutan iodin dalam metanol. Reagen lain yang digunakan dalam titrasi ini adalah sulfur dioksida dan piridin. Metanol dan piridin digunakan untuk melarutkan yudium dan sulfur dioksida agar reaksi dengan air menjadi lebih baik. Selain itu piridin dan metanol akan mengikat asam sulfat yang terbentuk sehingga akhir titrasi dapat lebih jelas dan tepat. Selama masih ada air dalam bahan, iodin akan bereaksi tetapi begitu air habis, maka iodin akan bebas. Titrasi dihentikan pada saat timbul warna iodin bebas. Untuk memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan akhir titrasi akan memberikan warna hijau. I 2 dengan metilen biru akan berubah warnanya menjadi hijau. Cara titrasi ini telah berhasil dipakai untuk penentuan kadar air dalam alkohol, ester-ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung gula, madu, dan bahan makanan yang dikeringkan. Cara ini banyak dipakai karena memberikan nilai yang tepat dan dikerjakan cepat. Tingkat ketelitiannya lebih kurang 0,5 mg dan dapat ditingkatkan lagi dengan sistem elektroda yaitu dapat mencapai 0,2 mg (Sudarmadji. 2003). Pada saat titrasi dilakukan pada sampel dengan pereaksi Karl Fischer, yang mengandung yodium dan sulfur dioksida, maka jumlah yodium akan berkurang jumlahnya karena belerang dioksida bereaksi dengan air yang berasal dari sampel. Air bereaksi dengan reagen KF secara stoikiometri dimana volume pereaksi KF yang diperlukan untuk mencapai titik akhir dari titrasi (yang ditentukan secara visual, conductometric, atau coulometric) berhubungan secara langsung dengan jumlah air dalam sampel. Titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk penentuan air dalam senyawa organik dan beberapa sample yang sebagian terurai jika digunakan pada metoda gravimetri (Nielsen. 2010). Tidak seperti pengukuran gravimetrik yang merupakan metode tidak langsung dimana semua volatile turut pula dihilangkan, titrasi Karl Fischer adalah metode langsung yang hanya spesifik untuk air. Metode ini biasanya digunakan untuk mengukur kadar air yang rendah (<1%) dan dapat mengukur sampai pada kadar air

39 23 <0,01%. Metode titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk mengukur kadar air sampel yang mengandung gula dalam jumlah cukup tinggi atau konsentrasi yang tinggi pada gula dan protein, yang mungkin terurai jika menggunakan metode gravimetri. Tabel 4 Reagen yang diperlukan untuk analisis Karl Fischer Sumber : Nielsen (2010) Metode KF ini adalah air dititrasi dengan larutan metanol anhydrous yang mengandung yodium, sulfur dioksida serta piridin yang berlebihan. Titrasi ini didasarkan pada reaksi yodium dan belerang dioksida yang hanya dapat terjadi jika terdapat air, di mana Py mewakili piridin. Hasil Py-SO 3 bereaksi lebih lanjut dengan metanol untuk membentuk methylsulfate anion: Yodium akan bereaksi dengan dengan rasio stoikiometri 1:1 di dalam larutan alcohol. Dalam larutan yang tidak mmengandung alcohol, reaksi antara yodium dan air akan terjadi dalam rasio stoikiometrik 1:2 seperti berikut: Dari persamaan itu dapat dilihat bahwa setiap satu molekul air membutuhkan satu mol yodium. Titik akhir titrasi ditentukan oleh adanya perbahan warna dimana sampel dititrasi dengan pereaksi Karl Fischer sampai warna yodium permanen tampak (menunjukkan air telah semua bereaksi). Reaksi lain yang terjadi pada

40 24 sample maka perubahan warna biasanya dari kuning sampai kecoklatan, yang sulit untuk dideteksi secara visual. Jumlah sampel berwarna yang cukup tinggi dapat mempengaruhi titik akhir titrasi secara visual (Ruiz. 2001). Titik akhir yang lebih tajam dapat diperoleh jika titrasi dilakukan secara electrometric. Pada titrasi tersebut dua elektroda platinum kecil dicelupkan ke dalam sel titrasi, tegangan konstan kecil dapat dideteksi oleh elektroda dan setiap aliran arus akan diukur oleh galvanometer. Pada titik akhir titrasi baik minimum atau meningkat dari nilai nol. Secara komersial telah tersedia instrumen Karl Fischer yang bekerja berdasarkan prinsip ini dengan mikroprosesor semi-otomatis (Ruiz. 2001). Ada beberapa faktor penting yang yang harus diperhatikan pada saat melakukan pengukuran kadar air menggunakan metode Karl Fischer : Pengaruh ph pada reaksi Karl Fischer Kecepatan maksimum titrasi Karl Fischer dapat dicapai pada kisaran ph 5,5-8,0, maka harus dihindari nilai ph yang lebih dari 8 dan kurang dari 4. Pengaruh pelarut pada reaksi Karl Fischer Stoikiometri (rasio molar H 2 O:I 2 ) tergantung pada jenis pelarut. Hasil penelitian Eberius menunjukkan bahwa yodium dan air bereaksi dengan rasio 1:1 jika persentase metanol dalam pelarut adalah 20% atau lebih. Kehadiran Metanol diperlukan walaupun dalam jumlah minimum untuk terjadinya reaksi. Jika diperlukan menggunakan titrasi bebas metanol (untuk aldehida dan keton), maka dapat digunakan alkohol primer lainnya. Pengaruh jumlah air pada reaksi Karl Fischer Perbandingan molar H 2 O:I 2 juga dipengaruhi oleh jumlah air dalam sampel. J.C. Verhoff dan E. Barenrecht, mengamati kenaikan titer dengan kadar air lebih besar dari 1 mol/l. Namun tidak ada konsekuensi untuk aplikasi praktisnya, karena konsentrasi air dalam pelarut secara signifikan lebih rendah. (Anonim. 1999). Instrumen komersial dapat diklasifikasikan menjadi baik Karl Fischer kolumetrik atau volumetrik. Pada pengukuran Karl Fischer kolumetrik jumlah air

41 25 yang akan bereaksi dengan mengukur jumlah listrik (dalam kolom) yang diperlukan untuk reaksi secara lengkap antara air dan reagen Karl Fischer pada elektroda dengan efisiensi 100%. Keuntungannya adalah bahwa larutan standar tidak diperlukan di sini. Sensitivitas sangat tinggi (<10 g air) dan sangat berguna untuk penelusuran. Dalam titrasi Karl Fischer volumetrik, analisis didasarkan pada pengukuran volume larutan standar (reagen Karl Fischer) yang harus ditambahkan untuk bereaksi dengan air. Konsentrasi air dapat ditentukan dari volume reagen dengan konsentrasi yang telah diketahui yang ditambahkan sampai mencapai titik akhir. Penitrasi Karl Fischer volumetrik mengharuskan reagen Karl Fischer untuk distandarisasi, namun tingkat kadari air dari 10 ppm hingga 100% dapat diukur. Jenis titrator yang dipilih tergantung pada kebutuhan individu (penelusuran atau pengukuran dengan ketelitian tinggi) dan anggaran titrator Karl Fischer koulometrik umumnya biaya lebih mahal dari pada titrator Karl Fischer volumetrik. Meskipun tidak sensitif pada jumlah kadar air yang sangat rendah dibandingkan titrator kulometri Karl Fischer, titrasi volumetrik Karl Fischer membolehkan suatu range yang lebih besar dalam pengukurannya. Karl Fischer merupakan metode yang lebih sensitif yang berhubungan dengan kelembaban apapun, bahkan dari lingkungan sekitarnya yang pengaruhnya harus dihilangkan sebanyak mungkin. Instrumen komersial tersedia dengan wadah kaca dan penutup, yang menjaga kontaminasi kelembaban untuk minimum. Sebagai tambahan, instrumen ini dapat dipasang dengan lubang ke bejana reaksi di mana sampel dapat ditambahkan secara langsung. Kerugian penambahan "langsung" dari sampel adalah adanya partikulat dan bahan yang terdekomposisi dalam bejana reaksi, yang pada akhirnya harus dibuang dengan lebih sering. Analisis kadar air yang banyak digunakan adalah metode gravimetri terutama karena biaya yang lebih tinggi dari peralatan dan penggunaan bahan kimia dalam metode Karl Fischer (Ruiz. 2001).

42 26 C.1. Produk Perisa Bubuk Müller (2007) menyatakan bahwa perisa adalah kategori pangan penting yang secara sengaja ditambahkan pada bahan pangan. Perisa adalah bahan konsentrat yang disiapkan dengan tujuan utama untuk memberikan rasa terkecuali bahan yang secara eksklusif telah memiliki rasa manis, asam, dan asin. Perisa ditambahkan dalam jumlah kecil pada bahan pangan dan tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara langsung. Semua substansi yang ditambahkan pada bahan pangan disebut sebagai ingredient, misalnya flavour atau perisa, warna, emulsifier, garam dan sebagainya yang dibedakan antara bahan alami dan sintetik menurut asalnya. Pada beberapa Negara, perisa diklasifikasikan sebagai bahan tambahan makanan (food additive) seperti di Amerika dan Jepang. Di bagian negara lainnya, flavour dipertimbangkan sebagai suatu bentuk bahan pangan yang spesial seperti di Eropa. Menurut SNI (2006) tentang bahan tambahan pangan, perisa adalah bahan tambahan makanan (BTM) yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk memberikan aroma atau rasa atau keduanya (citarasa), akan tetapi bahan ini tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara langsung. Berdasarkan asal bahan baku aromatik yang digunakan, perisa di kelompokkan dalan perisa alami, perisa identik alami, dan perisa buatan. Jika dilihat dari bentuk perisanya, perisa dibagi dalam bentuk cair yaitu campuran perisa cair dan perisa emulsi, perisa semi padat yaitu minyak kental (viscous oil) dan perisa pasta, perisa bubuk, platting atau dispersi perisa, dan perisa terenkapsulasi. Perisa dapat menjadi cukup kompleks dan jumlahnya cukup banyak. Perisa adalah substansi yang dapat memberikan sensasi rasa. Empat rasa dasar dapat dirasakan pada bagian belakang lidah adalah rasa manis, asin, asam dan pahit. Perisa menggunakan bahan alami, artifisial, atau kombinasi dan dapat berupa cairan atau bentuk kering. Secara umumnya jenis perisa yang ada adalah buah-buahan, dairy, meat, sayuran, minuman, dan liquor. Perisa juga diklasifikasikan ke dalam kelompok rempah penting, perisa alami dan artifisial. Material yang digunakan untuk untuk perisa dapat dikelompokkan sebagai rempah dan bahan herbal, minyak esensial dan ekstraknya, buah dan jus buah, dan senyawa alifatik, aromatik dan terpen (Igoe & Hui. 2001).

43 27 Menurut Müller (2007), perisa dapat terdiri dari perisa substansi, preparat perisa, perisa proses, perisa asap, dan perisa pendukung. Terdapat tiga kategori pada sustansi perisa yang didefinisikan oleh IOFI Code of Practice dan EU Flavour Directive 88/388/EEC [1, 2]: 1. Natural flavouring substances, berasal dari bahan alami 2. Nature-identical flavouring substance, berasal dari bahan identik alami 3. Artificial flavouring substances, berasal dari bahan sintetik Bahan Baku Proses Pencampuran Pengambilan Sampel untuk QC Pengayakan (CCP) Penimbangan & Pengemasan Metal Detector (CCP) Pemaletan Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan perisa bubuk di PT Givaudan Indonesia Proses produksi perisa bubuk adalah proses pencampuran kering dengan menggunakan alat pencampur berupa blender dengan proses yang dapat dilihat pada diagram alir berikut. Proses pembuatan perisa bubuk adalah mencampurkan beberapa bahan baku (dapat berupa bahan alami, identik alami atau bahan artifisial) dan bahan pengisi (filler) yang dicampur dengan menggunakan alat pencampur (blender) dengan waktu tertentu. Setelah bahan homogen maka dilakukan pengayakan yang merupakan titik kritis kontrol pertama (CCP) untuk mencegah benda asing dan ukuran partikel yang tidak diinginkan. Setelah itu bahan ditimbang sesuai dengan berat bersih yang diinginkan dan pada saat itu dilakukan pengambilan sampel untuk

44 28 selanjutnya diserahkan ke bagian QC untuk dilakukan pemeriksaan. Setelah bahan dikemas pada dus yang telah diberi label dan ditutup dengan lakban pada bagian atas, maka dus-dus tersebut dilewatkan metal detektor yang merupakan titik kritis kontrol kedua (CCP) untuk mendeteksi cemaran bahan metal dalam produk. Selanjutnya dus tersebut diletakkan pada palet dan selanjutnya disimpan di gudang sebelum dikirimkan ke konsumen. Bagian QC akan memeriksa sampel sesuai dengan spesifikasi setiap bahan. Jika hasil analisis sesuai dengan standar dan spesifikasi maka bahan akan diloloskan pada sistem sehingga dapat dikirim ke konsumen. Jika bahan dalam kondisi pemeriksaan atau keluar dari spesifikasi, maka produk akan terkunci secara sistem dan tidak dapat terkirim ke konsumen. Untuk mempertahankan konsistensi mutu perisa bubuk, maka bagian QC akan melakukan pengujian sebagai berikut: - Penampakan dan warna produk dibandingkan dengan standar ataupun batch sebelumnya dengan menggunakan metode pair comparison. - Aroma dan rasa dibandingkan dengan standar ataupun batch sebelumnya dengan menggunakan metode pair comparison. - Kadar Air / susut pengeringan dengan metode LOD (loss on drying) yaitu menggunakan oven dengan suhu 105 o C selama 3 jam. - Pengukuran kadar garam dengan metode potentiometric dengan menggunakan alat autotitrator. - Pengujian mikrobiologi sesuai dengan spesifikasi setiap perisa. PT. Givaudan Indonesia memproduksi berbagai jenis perisa bubuk beberapa diantaranya adalah perisa garlic, perisa HVP, dan perisa vanilla. Perisa Garlic adalah produk bubuk perisa yang berbasiskan kombinasi flavor base berupa beberapa jenis yeast, bubuk garlic dan 0.4% minyak (asam lemak tidak jenuh) dengan filler campuran 40% tapioka dan 40% maltodekstrin. Sedangkan Perisa HVP mengandung sekitar 40 % maltodektrin, MSG, beberapa jenis yeast dan 1% minyak. Untuk perisa Vanilla digunakan vanilin sebagai flavor base dengan filler laktosa sekitar 80% dan ditambah bahan lain hingga 100%. Dengan proporsi yang sedemikian besar, filler dapat menjadi salah satu penentu karakteristik akhir produk perisa bubuk. Tepung tapioka, maltodekstrin,

45 29 dan laktosa adalah bahan yang banyak dimanfaatkan sebagai filler dalam perisa bubuk, karakteristik ketiga bahan ini patut ditelisik lebih dalam. Tepung Tapioka Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Tapioka yang diolah menjadi sirup glukosa dan destrin sangat diperlukan oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula, penggalengan buah-buahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain. (kadar air: 6-12%) Maltodekstrin diperoleh dari hasil hidrolisis sebagian pati, berbentuk granula atau serbuk kering (kadar air: 5%) berwarna putih yang bersifat agak higrokopis. Maltodekstrin mudah larut atau terdispersi dalam air membentuk larutan yang jernih sampai agak berkabut. Laktosa Berupa serbuk kristal (kadar air: 6% ) berwarna putih sampai putih krem, tidak berbau sampai sedikit berbau khas dengan rasa manis. Bisa berupa anhidrat atau mengandung satu molekul air hidrat, atau mengandung campuran kedua bentuk tersebut jika disiapkan dengan proses pengeringan semprot. Larut dalam air, sangat sukar larut dalam alkohol, tidak larut dalam kloroform dan eter. D. Pengolahan Data Statistik D.1. Presisi, Akurasi, Kalibrasi, dan Validasi Data Presisi Mengacu pada pengulangan pengukuran. Pengukuran yang berulang-ulang dapat memberikan hasil yang menyimpang sedikit satu sama lain dalam batas-batas jumlah angka signifikan yang didapat, maka dapat dikatakan bahwa data yang didapat adalah tepat, atau bahwa hasil menunjukkan tingkat presisi yang tinggi.

46 30 Rata-rata data tersebut mungkin atau mungkin tidak mewakili nilai riil dari parameter itu, yang artinya bisa menjadi tidak akurat (Kenkel. 2003). Ketika sampel di ukur beberapa kali jarang dihasil masing-masing pengukuran bisa sama. Presisi adalah pengukuran dari variasi yang ada. Semakin dekat nilai pengukuran antara masing-masing hasil, maka hasilnya lebih presisi. Jadi presisi adalah indikator dari hasil pengukuran yang dihasilkan secara berulang-ulang (Harvey. 2000) Akurasi Berkaitan ketepatan dari pengukuran atau seberapa dekat hasil terhadap nilai sebenarnya. Sebagai contoh jika diketahui berat sebenarnya dari suatu objek adalah g, maka akurasi penimbangan dapat ditentukan. Objek bisa ditimbang untuk melihat apakah timbangan akan menunjukkan g. Jika beberapa pengulangan menunjukkan hasil antara and g, maka dapat dikatakan bahwa hasil penimbangan tersebut presisi dan akurat. Jika hasil pengulangan penimbangan antara and g, maka dapat dikatakan hasil penimbangangan tersebut presisi namun tidak akurat. Jika pengulangan penimbangan memberikan hasil antara and g, maka dapat dikatakan data tersebut tidak presisi dan akurat. Akhirnya, jika keseluruhan hasil penimbangan memberikan hasil antara and g, dimana reratanya adalah g, maka penimbangan tersebut dapat dikatakan akurat namun tidak presisi. Hal ini dapat diilustrasikan pada gambar 6 berikut ini (Kenkel. 2003) Menurut Harvey (2000), akurasi adalah seberapa dekat hasil percobaan dengan hasil yang diinginkan. Jika hasil pengukuran dari alat penimbang hasilnya lebih dari batas limit presisi maka dapat dikatakan bahwa alat tersebut perlu dikalibrasi.

47 31 Gambar 6 Ilustrasi Akurasi dan Presisi Data (Sumber: Kenkel. 2003) Kalibrasi Mengacu pada prosedur untuk memastikan bahwa alat tersebut memberikan hasil yang sesuai pada nilai tertentu. Sebagai contoh alat penimbang seperti telah didiskusikan di sebelumnya, terkadang alat tersebut dapat secara elektronik disesuaikan atau di adjust untuk memberikan hasil seperti yang telah diketahui. Namun kalibrasi juga bisa mengacu pada prosedur dimana hasil pengukuran yang sebelumnya tidak diketahui menjadi diketahui. Sebagai contoh pada alat spectrofotometer dimana nilai adsorbance pada larutan dengan konsentrasi dapat dikenali oleh alat tersebut. Sebelum prosedur dapat memberikan informasi analisis yang berguna, sangatlah penting untuk menunjukkan kemampuan yang memberikan hasil yang dapat diterima. Validasi adalah evaluasi apakah presisi dan akurasi dapat diperoleh dengan mengikuti prosedur yang sesuai untuk permasalahan yang ada. Sebagai tambahan, validasi menentukan apakah prosedur tertulis telah cukup detail sehingga analis atau laboratorium yang berbeda yang mengikuti prosedur yang sama dapat memberikan hasil yang sebanding. Idealnya validasi dilakukan dengan menggunakan sampel standard dimana komposisi sangat dekat dengan sampel yang prosedurnya sedang dirancang (Harvey. 2000)

48 32 D.1. Perancangan Percobaan, Analisys of Variance (ANOVA) Masalah umum dalam ilmu pengetahuan dan industri adalah membandingkan beberapa perlakuan untuk menentukan manakah yang dapat memberikan hasil yang paling baik. Metode umum untuk mengetahui perbedaan tersebut dikenal dengan nama analysis of variance yang disingkat sebagai ANOVA. Analysis of variance adalah bagaimana mempelajari sejumlah variasi pada y (respon) dan mencoba untuk mengerti dari mana variasi ini berasal. Prosedur ANOVA dibangun berdasarkan hipotesis yang dikenal sebagai F-tes dimana membandingkan seberapa banyak perbedaan antara kelompok dibandingakan dengan seberapa besar variasi antara tiap kelompok. Gambar 7 Faktor faktor yang berpengaruh terhadap hasil analisis One Way ANOVA Variasi antara kelompok disebut sebagai intra-group variation. Perbedaan antara kelompok secara keseluruhan sebagaimana tercermin dari rata-rata populasi untuk tiap faktor disebut inter-group variation (Rowe. 2007) Variasi one-way analysis digunakan bila: Titik akhir diukur nilainya (secara umum pada skala interval); Terdapat satu faktor eksperimen Faktor memiliki tiga atau lebih level.

49 33 Untuk melalukan analysis of variance, setiap kelompok data harus diambil dari populasi distribusi normal dan kesemuanya harus mempunyai standard deviasi yang sama. Sejumlah kecil sampel tidak sesuai untuk menggunakan metode ini. Analysis of variance dimulai dengan perumusan stastistik pengujian hipotesa untuk melihat perbedaan antara rata-rata populasi. Hipotesis nol adalah : Dimana merupakan suatu keharusan untuk semua rata-rata perlakuan adalah sama. Sebagai contoh, Ho sebagai nul hipotesis adalah desain wadah mempengaruhi pada penjualan, dimana pada peneliti sangat tertarik apakah ada perbedaan antara ratarata populasi yang ada dan hipotesis alternatifnya adalah sebagai Hα. Ini dapat dikatakan sebagai satu perlakuan yang menghasilkan rata-rata hasil yang berbeda. Teknik statistik yang digunakan dalam contoh ini dikenal sebagai singlefactor ANOVA yang dikenal juga sebagai F-tes karena perhitungan hasil dalam bentuk angka sebagai F. Berdasarkan nilai F maka keputusan dapat diambil apakah diterima atau tidak diterima terhadap hipotesa nol (null hypothesis). Ketika keputusannya adalah ditolak terhadap hipotesa nol, maka kesimpulan yang diambil adalah terdapat perbedaan antara rata-rata populasi yang ada (Rafter et al, 2002). Dalam perhitungan, Kuadrat Tengah Galat (KTG) diperoleh dari analisis ragam, dimana jumlah banyaknya ulangan dinyatakan sebagai ragam (r), α sebagai taraf nyata, p adalah banyaknya perlakuan tidak termasuk kontrol (p = t-1), sedangkan dfe adalah derajat bebas galat. Tabel 5 Analisis Varian/Keragaman untuk Rancangan Acak Lengkap Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung Perlakuan t 1 JKP JKP/(t-1) KTP/KTG JKG/(rtt) S Galat (rt-1)-(t-1) JKG JKP+JK Total Rt-1 G Dimana : F 5% F 1%

50 34 t = perlakuan termasuk kontrol p = perlakuan tidak termasuk kontrol = (t-1) r = ragam = jumlah ulangan rt = banyaknya pengamatan = r x t db total = banyaknya pengamatan-1 = rt - 1 db perlakuan = total banyaknya perlakuan-1 = t - 1 db galat = db total - db perlakuan FK = faktor koreksi=( (Y ij )) 2 /rt) = (total jendral) 2 /total pengamatan JKT = (Y ij ) 2 -FK = kuadrat tengah=total jendral kuadrat-fk JKP = ( (Y ij ) 2 )/r)-fk =(( total perlakuan) 2 /r) - FK JKG = JKT-JKP KTP = JKP/dbp = Kuadrat Tengah Perlakuan = JK Perlakuan/(t-1) KTG = JKG/t*(r-1) = Kuadrat Tengah Galat= JK Galat /t (r-1) F hitung = KTP/KTG = KT Perlakuan/KT Galat Kk = koefisien keragaman= (KTG 0.5 x100%)/nilai tengah umum jika kk < 20% maka derajat ketepatan atau keterandalan percobaan semakin baik. Menurut Rumsey (2009), kesimpulan dapat diambil dalam one of two ways dimana nilai p tercapai atau nilai kritis termendekati (F-statistik). Kaitan nilai p untuk F-tes terletak pada faktor baris dibawah kolom dengan judul P, nilai statistik F-tes terletak pada baris baris dibawah kolom F. Pendekatan nilai p adalah : H o ditolak, jika nilai p adalah kurang dari α yang telah ditentukan (umumnya 0.05), H o diterima, jika nilai p lebih besar dari α, terjadi bila tidak cukup bukti dari data tersebut yang menyatakan rata-rata populasi k terdapat perbedaaan. Pendekatan nilai kritis adalah : Merata-ratakan nilai p, maka akan didapatkan nilai perpotongan pada F-distribution dengan derajat bebas (k 1, n k). Perpotongan ini disebut sebagai nilai kritis, yang

51 35 telah ditentukan sebelumnya (umumnya 0.05). α = 0.05 adalah yang paling umum dipakai pada distribusi F. Berdasarkan table-f, titik kritis dicari dan dibandingkan dengan perhitungan statistik F pada F-distribution yang sesuai dengan derajat bebas (k 1, n k) untuk menarik kesimpuan: H o ditolak, jika perhitungan statistik F keluar (lebih atau kurang) dari nilai yang ditemukan dalam table F, tidak Dapat dikatakan paling sedikit dua perlakuan atau populasi yang memiliki rata-rata yang berbeda. H o diterima, jiak perhitungan statistik F lebih kecil dati nilai table F. Dibutuhkan penilaian yang objektif yang lebih dalam, pada saat inilah follow up atau post hoc dibutuhkan. Disebut demikian karena secara tradisional hanya digunakan setelah ANOVA terbukti berbeda secara signifikan, meskipun sebenarnya tidak ada aturan untuk mengikuti urutan tersebut. Menurut Rowe (2007), uji ANOVA hanyalah uji statistik yang menguji signifikasi. Analysis of variance hanya memberitahukan apakah terdapat perbedaan antara perlakuan yang ada, namun tidak memberitahukan perlakuan mana yang berbeda dengan lainnya atau seberapa besar perbedaan antara pasangan perlakuan yang ada. Follow-up tes memperbaiki kedua kekurangan tersebut : Dunnett s membandingkan satu populasi kontrol terhadap lainnya (satu perlakuan dipilih sebagai kontrol atau populasi acuan. Semua perlakuan kemudian dibandingakan dengan kontrol) Tukey s membandingkan semua populasi terhadap lainnya (semua populasi dibandingkan dengan populasi lainnya pada setiap pasangan yang memungkinkan) Berikut ini adalah langkah-langkah umum dalam menggunakan one-way ANOVA: 1. Periksa kondisi ANOVA, gunakan data yang yang sudah terkumpul dari tiap populasi k. 2. Menentukan hipotesis Ho: µ1 = µ2 =... = µk lawan Ha: paling tidak dua ratarata dari populasi berbeda. Cara lainnya untuk menentukan hipotesa alternative dengan mengatakan Ha: paling tidak dua dari µ1, µ2,... µk adalah berbeda.

52 36 3. Mengumpulkan data dari random dari sample k, satu dari tiap populasi. 4. Gunakan uji F pada data dari langkah ketiga, gunakan hipotesis dari langkah kedua dan temukan nilai p. 5. Buat kesimpulan : jika Ho ditolak (ketika nilai p lebih kecil dari 0.05 atau dari nilai α yang telah ditentukan), simpulkan bahwa dua dari rata-rata populasi adalah berbeda atau simpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak Ho, dapat dikatakan rata-ratanya adalah berbeda (Rumsey. 2009). D.2. Prosedur Multiple Comparison dan Tes Dunnett Metoda multiple comparison didesain untuk menyelidiki perbedaan antara pasangan dari rata-rata spesifik atau kombinasi linier dari rata-rata yang lebih umum adalah subset dari rata-rata populasi menggunakan data sampel. Prosedur multiple comparison dipakai untuk membandingkan beberapa perlakuan secara bersamaan dengan kontrol atau perlakuan standar yang didesain digunakan untuk menguji signifikan dari perbedaan antara tiap perlakuan dan kontrol terhadap nilai tertentu 1 P untuk tingkat signifikan yang sama atau untuk menentukan batas kepercayaan pada nilai sebenarnya dari perlakuan yang berbeda dari kontrol terhadap nilai P tertentu untuk koefisien yang sama. Jadi prosedur memiliki sifat mengendalikan secara percobaan dibandingkan perbandingan awal yang tingkat kesalahannya terkait dengan perbandingan itu sendiri yang biasa dikenal sebagai prosedur multiple comparison dari Tukey. Perbandingan antara perlakuan dan sebuah kontrol atau standar lebih diminati pada percobaan biologi. Pada situasi tertentu tipe prosedur multiple comparison yang penting bagi peneliti. Prosedur multiple comparison dapat digunakan untuk membuat pernyataan yang meyakinkan. Perbandingan utama dari ketertarikan peneliti adalah antara masing-masing dari tiga perlakuan terhadap kontrol (Dunnett. 1964). Tujuan dari prosedur multiple comparison adalah untuk mengendalikan tingkat signifikan secara keseluruhan dari beberapa kesimpulan yang dilakukan sebagai follow up pada ANOVA. Tingkat signifikan secara keseluruhan atau derajat kesalahan adalah probabilitas tergantung pada hipotesa nol yang diuji

53 37 dengan benar, dengan menolak paling tidak salah satu atau sebanding, memiliki paling tidak satu interval kepercayaan tidak termasuk nilai yang benar. Banyak metode prosedur multiple comparison. Sebagian besar membandingkan rata-rata dari pasangan kelompok atau menentukan mana yang berbeda secara signifikan. Variasi metode berbeda pada seberapa baik dapat mengendalikan tingkat perbedaan nyata secara keseluruhan. Salah satunya adalah tes Dunnett yang digunakan untuk membandingkan sample (kontrol) terhadap setiap perlakuan, namun tidak membandingkan antara tiap perlakuan. D.2.1. Many-to-One Comparisons Many-to-one comparisons secara umum digunakan untuk membandingkan perlakuan percobaan yang berbeda dibandingakn terhadap rata-rata perlakuan kontrol yang ditujukan sebelum pengumpulan data. Data yang mengandung k-1 perbandingan berpasangan dengan rata-rata kontrol dalam setiap perbandingan. Seringkali, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perlakuan percobaan dengan hasil yang signifikansi "lebih baik" dari kontrol ini karena memerlukan uji hipotesis satu sisi. Jika tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perlakuan yang secara signifikan "lebih baik" atau secara signifikan "buruk" hasilnya, maka uji hipotesis dua sisi diperlukan. Sebuah aplikasi kedua dari many-to-one comparisons ini digunakan ketika rata-rata percobaan eksperimental yang berbeda dibandingkan dengan rata-rata percobaan "terbaik". Tes Dunnett adalah pengujian nyata bagi keluarga many-to one comparisons ketika kontrol telah ditentukan sebelum pengumpulan data (Rafter et al. 2002). Tes Dunnett digunakan hanya jika semua rata-rata dibandingkan dengan satu rata-rata yang disebut kelompok kontrol. Beberapa variasi beras dapat dibandingkan dengan beras yang umum (dan hanya dibandingakan dengan beras yang umum, tidak dibandingakan antara perlakuan), tes Dunnett menjadi prosedur multiplecomparison yang sesuai. Dunnett's t-tes adalah prosedur yang di rancang untuk membandingkan kondisi perlakuan yang berbeda terhadap kondisi umum kontrol. Prosedur untuk membandingkan tiap rata-rata percobaan terhadap kontrol disebut sebagai Tes Dunnett.

54 38 D.2.2. Tes Dunnett Tes Dunnett digunakan saat sebuah perlakuan dipilih dan disebut sebagai kontrol atau kelompok acuan. Tes Dunnett akan memperlakukan satu populasi sebagai acuan dan kemudian membandingkannya terhadap perlakuan lainnya. Tingkat kepercayaan diperhitungkan antara tiap pasangan perlakuan. Jika interval tidak termasuk nol diperbandingan secara stastistik, hasilnya akan nyata. Jika interval diperhitungkan untuk memberikan perbandingan lebih kecil 5 per resiko yang dihasilkan maka akan menghasilkan kesalahan positif maka keseluruhan perbandingan akan di kumpulkan dengan total 5 per resiko (Rowe. 2007). O'Mahony 1986 menjelaskan bahwa Tes Dunnett digunakan jika semua ratarata akan dibandingkan dengan satu rata-rata yang disebut sebagai kontrol. Tes Dunnett membandingakan rata-rata populasi yang ada dan ini spesifik dirancang untuk kondisi dimana semua populasi dibandingkan terhadap satu acuan populasi. Secara umum digunakan setelah ANOVA telah menolak hipotesis dari kesebandingan rata-rata dari distribusi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi populasi yang memiliki rata-rata yang berbeda nyata dari rata-rata populasi acuan. Uji tesebut adalah hipotesis nol dimana tidak ada populasi denga rata-rata berbeda nyata dari rata-rata populasi kontrol. Gambar 8 Skema pengujian pada uji Dunnett (Sumber : Rafter et al, 2002)

55 39 Menurut Rafter et al (2002), karena kontrol sangat penting pada Tes Dunnett maka perlu mempunyai jumlah sample yang lebih banyak dari populasi lainnya. Aturan yang berlaku untuk mengoptimalisasi prosedur yaitu jika setiap populasi percobaan k-1 memiliki nilai n, maka populasi kontrol harus memiliki nilai kirakira. Jika populasi percobaan memiliki jumlah sample yang berbeda, ratarata jumlah sample harus dikali dengan untuk memutuskan jumlah sample populasi kontrol. Bentuk two-sided tes adalah : Tes Dunnett menuntut semua populasi mempunyai jumlah sampel yang sama. Jika ANOVA ditolak berdasarkan persamaan hipotesis, maka pertanyaan populasi mana yang memiliki rata-rata yang berbeda nyata dengan populasi kontrol. Tes Dunnett dengan sukses membandingkan : Populasi kontrol vs populasi 1 (H 0 : µ t = µ 1 / H 1 : µ t µ 1 ), Populasi kontrol vs populasi 2 (H 0 : µ t = µ 2 / H 1 : µ t µ 2 ), Populasi kontrol vs populasi 3 (H 0 : µ t = µ 3 / H 1 : µ t µ 3 ). Setiap pasang (Kontrol, populasi i ), Tes Dunnett memperhitungkan nilai dari statistik «t observed». Nilai ini dibandingakan dengan nilai kritis yang dapat di baca pada "Tabel Dunnett". Nilai kritis ini tergantung pada jumlah sampel, jumlah populasi yang akan dibandingakan terhadap reference/kontrol dan pemilihan level signifikan. Nilai t* adalah nilai yang diperoleh dari tabel t- Dunnett (lampiran 2 dan lampiran 3) pada taraf nyata α dengan derajat bebas = dfe. Pada tabel t-dunnett biasanya telah ditentukan untuk pengujian dua arah. Tes Dunnett mengendalikan derajat bebas percobaan dan lebih hebat dari pada pengujian lain yang dirancang membandingkan tiap rata-rata terhadap rata-rata lainnya. Uji ini dilakukan dengan memperhitungkan modifikasi t-tes antara setiap populasi dan populasi kontrol. Rumus dari t-tes Dunnett adalah :

56 40 Dimana M i adalah rata-rata dari populasi percobaan ke- i, M c adalah rata-rata dari populasi kontrol, MSE adalah rata-rata dari akar kesalahan yang dihitung dari analysis of variance dan nh adalah rata-rata jumlah sample populasi percobaan dan kontrol yang harmonis (Rafter et al. 2002). Perhitungan dengan Tes Dunnett : Galat Baku = ( 2 KTG / r) 0.5 Nilai d = t (Dunnett) x Galat Baku Nilai tunggal dari Dunnett (d atau DLSD) tersebut adalah : Untuk pasangan (kontrol, populasi i ), jika t i observed adalah lebih besar dari nilai kritis t critical rata-rata dari grup i dinyatakan berbeda nyata dari rata-rata grup kontrol. Dimana µ I adalah rata-rata dari populasi percobaan dan µ c adalah rata-rata populasi kontrol. Perbedaan nyata tampak ketika interval kepercayaan untuk µ I - µ c tidak sama dengan nol. Untuk tes one-sided yang lebih rendah dengan laternatif hipotesis yang sesuai H α :µ I - µ c <0, perbedaan nyata ditunjukkan ketika tes one-sided yang lebih tinggi kurang dari nol. Untuk tes one-sided yang lebih tinggi dengan alternatif hipotesis yang sesuai adalah H α :µ I - µ c >0, perbedaan nyata ditunjukkan ketika tes one-sided yang lebih rendah lebih besar dari nol (Rafter et all, 2002). Jika t observed > t critical pada beberapa populasi maka H 0 yang berkaitan dengan populasi ini akan ditolak, dan rata-rata populasi mean aan dinyatakan berbeda nyata dari rata-rata populasi kontrol (pada signifikan level tertentu).

57 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium PT. Givaudan Indonesia. Penelitian dilakukan mulai bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Desember B. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tepung tapioka, maltodekstrin, dan laktosa yang merupakan bahan filler dalam pembuatan produk bubuk perisa, serta tiga jenis bubuk perisa yaitu perisa HVP, perisa Garlic dan perisa Vanilla. Khusus untuk tapioka yang digunakan pada penelitian pendahuluan, dilakukan proses penyeragaman kadar air awal terlebih dahulu sebelum bahan ini dipakai. C. Peralatan Peralatan yang digunakan berupa oven konveksi (Memert UM-400), Moisture Analyzer Halogen (Mettler Toledo HB43-S), desikator, kotak plastic kedap udara, inkubator, cawan alumunium, neraca analitik (Sartorius BP160P), dan Karl Fischer autotitrator Mettler Toledo DL31. D. Metode Percobaan Percobaan dalam penelitian ini terbagi atas tiga tahapan, yaitu (1) penelitian pendahuluan, (2) penelitian tahap pertama dan (3) penelitian tahap kedua. D.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan terhadap sampel tepung tapioka untuk melihat kesetaraan hasil pengukuran metoda oven dengan metoda analisis cepat menggunakan Moisture Analyzer Mettler Toledo Halogen HB43-S. Untuk memastikan bahwa sampel tapioka yang diukur menggunakan kedua alat tersebut

58 42 memiliki kandungan air awal yang identik dan diketahui secara pasti, maka dilakukan proses penyeragaman kadar air awal sampel. Sampel tapioka dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang berbeda, kelompok A adalah sampel tapioka yang diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh MgCl 2 (RH 25 C =32,73%), kelompok B diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh NaCl (RH 25 C =75,32%), dan kelompok C diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh KCl (RH 25 C =84,32%). Masing masing kelompok sampel tapioka yang telah mencapai kadar air kesetimbangan (equilibrium moisture content/emc) kemudian diukur kadar airnya menggunakan oven konveksi yang dioperasikan pada suhu tetap 105 C (sampel A1) dan Moisture Analyzer Mettler Toledo HB43-S yang dioperasikan pada 7 tingkat suhu yaitu 95 C (sampel A2), 100 C (A3), 105 C (sampel A4), 110 C (sampel A5), 115 C (sampel A6), 120 C (sampel A7), dan 125 C (sampel A8). Secara skematis skenario percobaan di tahap ini dapat dilihat pada gambar 9. Tapioka disimpan dengan RH tertentu selama 21 hari, kemudian diuker dengan menggunakan metoda LOD - Oven (3 kali pengulangan) Pengukuran kadar air tapioka yang sudah dikondisikan tersebut dengan menggunakan Moisture Analyzer Halogen (3 kali pengulangan) pada 7 suhu yang berbeda A1 Mana suhu yang hasilnya mendekati? A2 A6 A3 A7 A4 A8 A5 Suhu yang menghasilkan kadar air yang sama dengan LOD Menjadi acuan suhu pengukuran kadar air pada pengujian selanjutnya Keterangan: A = tapioka ; 1 = oven 105 C ; 2 = MA 95 C ; 3 = MA 100 C ; 4 = MA 105 C ; 5 = MA 110 C ; 6 = MA 115 C ; 7 = MA 120 C ; 8 = MA 125 C Gambar 9 Skenario penelitian pendahuluan

59 43 D.2. Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama dilakukan terhadap tiga jenis bahan dasar yang biasa digunakan sebagai bahan pembawa atau bahan pengisi pada produk perisa yaitu tepung tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan setting suhu pemanasan yang tepat untuk masing masing bahan pada alat Moisture Analyzer, sehingga bila nantinya diterapkan untuk pengukuran kadar air, hasil pengukuran yang didapatkan oleh Moisture Analyzer akan setara dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi (SNI butir 5.1). Suhu tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran kadar air produk bubuk perisa yang sebagian besar komponennya adalah ketiga bahan dasar yang telah disebutkan di atas. Skenario penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 10. Keterangan: A = tapioka ; B = maltodekstrin ; C = laktosa 1 = oven 105 C ; 2 = MA 100 C ; 3 = MA 105 C ; 4 = MA 110 C Gambar 10 Skenario penelitian tahap pertama

60 44 D.3. Penelitian Tahap Kedua Penelitian kedua dilakukan pada bubuk perisa HVP, Garlic, dan Vanilla.yang sebagian besar komponennya adalah tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini dilakukan untuk memverifikasi apakah setting suhu pemanasan yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya dapat diterapkan untuk analisis kadar air produk perisa HVP (berbahan dasar maltodekstrin), perisa garlic (berbahan dasar campuran tapioka - maltodekstrin), dan perisa vanilla (berbahan dasar laktosa). Apabila dapat ditunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar air ketiga produk ini menunjukkan perilaku yang sama dengan hasil pengukuran pada bahan dasarnya, maka selanjutnya metoda pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer HB43-S untuk produk - produk perisa jenis lain akan mengikuti metoda pengukuran bahan dasarnya. Skenario penelitian tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 11. Khusus untuk perisa vanilla dilakukan pula pengukuran kadar air menggunakan metoda titrimetri Karl Fischer karena produk ini banyak mengandung bahan bahan yang diperkirakan akan terdekomposisi bila terekspose panas tinggi. Keterangan: A = perisa HVP ; B = perisa garlic ; C = perisa vanilla 1 = oven 105 C ; 2 = MA 100 C ; 3 = MA 105 C ; 4 = MA 110 C Gambar 11 Skenario penelitian tahap kedua

61 45 D.4. Penyeragaman Kadar Air Sampel Tapioka Penyeragaman kadar air sampel tapioka yang digunakan pada tahap penelitian pendahuluan dilakukan dengan cara menempatkan sample uji ke dalam beberapa desikator/wadah kedap udara yang didalamnya masing masing telah ditempatkan larutan garam jenuh (A) MgCl 2 RH 25 C = 32,73%, (B) NaCl RH 25 C = 75,32%, dan KCl (C) RH 25 C = 84,32%. Wadah kedap udara/desikator tersebut selanjutnya disimpan dalam inkubator bersuhu konstan 25 C selama 3 (tiga) minggu. Di akhir penyimpanan diharapkan kadar air sampel telah mencapai kadar air kesetimbangan (equilibrium moisture content) sesuai dengan kondisi RH udara penyimpanan. (a) (b) (c) Gambar 12 Persiapan wadah proses penyeragaman kadar air (d)

62 46 Tabel 6 Nilai RH yang dibentuk oleh 3 larutan garam jenuh yang digunakan pada suhu 25 o C Larutan garam jenuh Kelembaban relatif yang terbentuk (RH, %) 25 o C MgCl 2 32,73 NaCl 75,32 KCl 84,32 Sumber : Syarief & Halid (1993) dan Koesnandar (2010) Proses penyeragaman kadar air dimulai dengan penyiapan kontainer plastik kedap udara sebagai pengganti desikator, dan mengisi kontainer tersebut dengan larutan garam jenuh sesuai dengan RH yang hendak disasar (Gambar 12a dan 12b). Bagian bawah kontainer plastik tersebut diberi penyangga supaya larutan garam tidak bersentuhan dengan cawan yang digunakan untuk menaruh sampel (Gambar 12c). Cawan yang akan digunakan ditimbang (Gambar 12d) kemudian ditambahkan sampel kedalamnya dan ditimbang lagi. Cawan berisi sampel yang telah ditimbang diletakkan di dalam kontainer di atas sekat dan ditutup rapat (gambar 13a, 13b dan 13c) setelah itu dimasukkan dalam inkubator 25 o C dan dibiarkan selama 3 minggu (Gambar 13d dan 13e). Setelah 3 minggu maka sampel dikeluarkan dari inkubator.

63 47 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 13 Proses penyeragaman kadar air sampel tapioka E. Metoda Pengamatan E.1. Kadar Air dengan Oven (SNI butir 5.1) Cawan alumunium atau botol timbang bertutup dikeringkan pada suhu 105 C selama 1 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang, diisi dengan contoh yang akan ditentukan kadar airnya, ditimbang dengan seksama sebanyak 1 sampai 2 gram. Sampel tersebut dikeringkan pada di oven suhu 105 o C hingga diperoleh bobot tetap. atau sampai tercapai berat konstan. % Kadar Air = W sampel (W akhir W cawan) x 100 % (1.4) Basis Basah W sampel % Kadar Air = W sampel (W akhir W cawan) x 100 % (1.5) Basis Kering (W akhir W cawan)

64 48 Gambar 14 Alat oven Memmert yang digunakan untuk pengujian kadar air. E.2. Pengukuran Kadar Air dengan menggunakan Moisture Analyzer HB43-S Alat Moisture Analyzer di nyalakan selama 30 menit. Suhu pengukuran yang diinginkan diatur pada alat dengan memilih metode yang sesuai dengan menekan tombol Mode. Alas alumunium bersih diletakkan pada tempat alas dan alat akan melakukan tare secara otomatis. Sebanyak sekitar 3 gr sampel diratakan pada alas alumunium, kemudian alat ditutup, maka alat akan memanaskan produk dengan pijaran halogennya dan menimbang secara otomatis sampai berat bahan konstan dan hasil akan tercetak pada alat pencetak. E.3. Pengukuran Kadar Air dengan menggunakan metoda Karl Fischer Karl Fischer Method (AOAC , 1995) Pemeriksaan konsentrasi titran (Hydranal Composit 5) dan Hydranal Methanol perlu dilakukan dan memastikan selang terhubung dengan tepat ke alat. Pastikan wadah dalam kondisi kering. Alat Karl Fischer Titrator DL-31 dinyalakan tekan tombol POWER. Pastikan printer LX8-terhubung dengan alat KF dan dalam kondisi aktif. Wadah titrasi dibilas bersih dan selang diturunkan mendekati dasar wadah. Tekan tombol pompa untuk memasukkan cairan Hydranal Methanol ±40 ml sebagai pelarut ke dalam wadah, titratasi awal pelarut tersebut dengan Hydranal Composit 5 untuk menghilangkan kadar air dalam pelarut. Setelah stabil, masukkan sampel pada wadah dan tutup rapat. Masukkan berat sampel pada alat,

65 49 dan tekan tombol mulai, maka alat akan mentitrasi sampel dan setelah titik akhir terdeteksi oleh elektroda, maka hasil kadar air atau water content (%) akan tercetak secata otomatis. Gambar 15 Perangkat autotitrator KF Mettler Toledo DL31

66 50

67 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan, tepung tapioka dikondisikan dengan menempatkan sampel ini di dalam wadah yang berisi larutan garam jenuh dan disimpan dalam inkubator 25 o C selama 3 minggu. Adapun garam jenuh yang digunakan adalah MgCl 2 dengan RH 25 o C = 32,73%, NaCl dengan RH 25 o C = 75,32%, KCl dengan RH 25 o C = 84,32%. Larutan garam dinyatakan jenuh apabila sebagian dari kristal garam tersebut tidak dapat larut lagi di dalam air atau membentuk endapan. Tabel 7 Peningkatan kadar air tepung tapioka pada suhu 100 o C dengan MA pada berbagai a w Kadar Air Tapioka diukur dengan MA 100 o C Jenis Garam MgCl 2 NaCl KCl RH 32,73 75,32 84,32 Hari ke 0 9,63 9,63 9,63 Hari ke 1 9,25 12,75 13,23 Hari ke 7 8,47 14,13 15,74 Hari ke 9 8,68 14,48 16,34 hari ke 12 8,78 14,26 16,54 hari ke 21 8,75 14,43 16,30 Pada pengujian pendahuluan ini beberapa sampel diambil dari wadah yang berisi larutan garam jenuh untuk melihat apakah tepung tapioka yang ditaruh di dalamnya telah mencapai kesetimbangan atau belum. Penyimpanan dilakukan selama 21 hari karena belum diketahui berapa lama tepung tapioka perlu disimpan sampai kesetimbangan tercapai. Dari tabel 7 didapatkan informasi baru bahwa tepung tapioka yang dikondisikan pada berbagai RH tersebut telah mencapai kesetimbangan pada hari ke-9 penyimpanan pada suhu 25 o C. Berikut ini adalah hasil rata-rata perhitungan kadar air tepung tapioka basis kering dan basis basah yang telah dikondisikan pada berbagai RH yang telah mencapai kesetimbangan ERH (equilibrium relative humiditt) yang diukur pada berbagai suhu pengukuran yang berbeda untuk mendapatkan suhu pengukuran

68 52 yang sesuai yang dapat digunakan pada pengujian selanjutnya. Hasil kadar air yagn didapat dapat disebut sebagai EMC (equilibrium moisture content). Perhitungan ANOVA dan Dunnett dilakukan pada tepung tapioka yang disimpan pada larutan garam jenuh MgCl 2 (RH=32,72) pada tabel 9 dan 10 hasil perhitungan kadar air basis basah, sedangkan tabel 12 dan 13 yang merupakan hasil perhitungan menggunakan basis kering. Tabel 8 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis basah di berbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda Garam RH a w Rata-rata kadar air basis basah pada Tapioka diukur dengan alat dan suhu yang berbeda Oven MA MA MA MA MA MA MA MgCl 2 32,72 0,33 9,1534 8,6500 8,7567 9,2533 9,4100 9,6867 9, ,1050 NaCl 75,32 0,75 14, , , , , , , ,4000 KCl 84,32 0,84 16, , , , , , , ,2533 Tabel 9 ANOVA tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl 2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda Sumber Keragaman DB JK KT Fhitung F 5% F 1% Perlakuan Galat Total Tabel 10 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl 2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda Perbandingan Beda Mutlak Kontrol Sample vs ( Y i -Y j ) Nilai d Hasil MA 95 o C Oven 105 o C Beda Nyata MA 100 o C Oven 105 o C Beda Nyata MA 105 o C Oven 105 o C Tidak Nyata MA 110 o C Oven 105 o C Beda Nyata MA 115 o C Oven 105 o C Beda Nyata MA 120 o C Oven 105 o C Beda Nyata MA 125 o C Oven 105 o C Beda Nyata Tabel 11 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis kering (g/100 g padatan) diberbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda Garam RH a w Rata-rata kadar air basis kering pada Tapioka diukur dengan alat dan suhu yang berbeda Oven MA MA MA MA MA MA 105 MA MgCl 2 32,7 0,33 10,0757 9,4692 9, , , , , ,2409 NaCl 75,3 0,75 17, , , , , , , ,2034 KCl 84,3 0,84 19, , , , , , , ,8508

69 53 Tabel 12 ANOVA tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl 2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda Sumber Keragaman DB JK KT Fhitung F 5% F 1% Perlakuan 7,00 8,25 1,18 111,06 2,92 3,73 Galat 16,00 0,17 0,01 Total 23,00 8,42 Tabel 13 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl 2 (RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda Perbandingan Beda Mutlak Kontrol Sample vs ( Y i -Y j ) Nilai d Hasil MA 95 o C Oven 105 o C 0,606 0,246 Beda Nyata MA 100 o C Oven 105 o C 0,479 0,246 Beda Nyata MA 105 o C Oven 105 o C 0,121 0,246 Tidak Nyata MA 110 o C Oven 105 o C 0,312 0,246 Beda Nyata MA 115 o C Oven 105 o C 0,650 0,246 Beda Nyata MA 120 o C Oven 105 o C 0,887 0,246 Beda Nyata MA 125 o C Oven 105 o C 1,165 0,246 Beda Nyata Dari tabel data di atas terlihat bahwa hasil pengukuran EMC menggunakan moisture analyzer yang diatur pada suhu 105 C menunjukkan hasil yang paling mendekati hasil pengukuran menggunakan oven konveksi UM-400 yang diperlakukan sebagai kontrol. Uji ANOVA terhadap data data tersebut membuktikan bahwa sekurang kurangnya terdapat 95% yang memiliki hasil F hitung kurang dari F tabel 2.92 seperti tampak pada tabel 10 dan 12. Selanjutnya dengan uji lanjutan Dunnett dapat dibuktikan bahwa hasil pengukuran EMC tepung tapioka menggunakan moisture analyzer HB43-S yang diatur pada suhu 105 C adalah secara statistik setara dengan hasil pengukuran menggunakan oven konveksi UM-400. Hasil pengukuran dengan MA 105 C tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran pada oven 105 C seperti tampak pada tabel 11 dan 13. Untuk detail perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4. Dari hasil percobaan pendahuluan ini maka dapatkan suhu yang akan dipakai untuk pengujian selanjutnya adalah 105 o C beserta suhu di bawah dan diatasnya +/- 5 o C.

70 54 Kadar Air (oven) vs aw Tapioka suhu penyimpanan 25 o C selama 3 minggu Rata-rata KA Kadar Air Kesetimbangan(%) Aktifitas Air (aw ) Gambar 15 Grafik sorpsi isotermis tepung tapioka basis kering pada kondisi setimbang pada tapioka pada suhu penyimpanan 25 o C Menurut Andarwulan (2011) dan Koesnandar (2010), hubungan kadar air dan a w suatu bahan pangan mengikuti suatu pola tertentu yang dinamakan dengan sorpsi isotermis air. Kadar air kesetimbangan (ERH atau EMC) hasil perhitungan menggunakan basis kering dalam gram per 100 gram padatan pada Tabel 11 untuk sample yang dikondisikan pada RH tertentu yang diukur dengan oven dapat dibuat kurva sorpsi isotermis air tapioka seperti dapat dilihat pada Gambar 15 dengan aktifitas air sebagai sumbu x. Dari tabel kurva isotermis sorpsi air pada gambar tersebut dapat diperkirakan berapa kadar air tapioka pada keadaan kesetimbangan jika bahan ditaruh pada RH tertentu. Misalkan jika tepung tapioka diletakkan pada ruangan dengan RH 75% sampai bahan menjadi setimbang (a w = 0,75), maka kadar air kesetimbangan tepung terigu akan mencapai 16.86%. B. Penelitian Tahap Pertama: Pengukuran Kadar Air Bahan Dasar Bubuk Perisa Tahapan ini bertujuan untuk mengkonfirmasi lebih lanjut bahwa suhu pengukuran menggunakan alat moisture analyzer yang diperoleh dari tahapan penelitian sebelumnya, yaitu suhu 105 o C, bila diterapkan untuk pengukuran kadar air bahan baku bubuk perisa (tapioka, maltodekstrin, dan laktosa) dapat

71 55 memberikan hasil pengukuran yang setara dengan hasil pengukuran kadar air bahan-bahan tersebut menggunakan metoda standar yang selama ini digunakan. B.1. Tepung Tapioka Pada percobaan ini sampel sampel tepung tapioka diukur kadar airnya menggunakan satu Moisture Analyzer yang sama namun diukur pada 3 (tiga) suhu yang berbeda yaitu suhu 100, 105, 110 o C, hasil pengukuran yang didapat dibandingkan dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan metoda oven konveksi (SNI butir 5.1). Seperti tampak pada tabel 14, rata-rata pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer yang diukur pada suhu 105 o C memberikan hasil kadar air 9,78%, mendekati hasil pengukuran menggunakan oven yang diset pada suhu yang sama yaitu 9,7589%. Tabel 14 Kadar Air rata-rata Tepung Tapioka Kadar Air (%) Oven 105 o C MA 100 o C MA 105 o C MA 110 o C Rata-rata 9,7589 9,59 9,78 10,12 Standar Deviasi 0,1302 0,0859 0,0909 0,0662 Koefisien Varian 1,33% 0,90% 0,93% 0,65% Tabel 15 Perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Tepung Tapioka Moisture analyzer vs oven Beda Mutlak Nilai d ( Y i -Y j ) Dunnett Hasil MA 100 o C vs Oven 105 o C 0,167 0,105 Beda Nyata MA 105 o C vs Oven 105 o C 0,020 0,105 Tidak Nyata MA 110 o C vs Oven 105 o C 0,368 0,105 Beda Nyata Uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji post hoc menggunakan tes Dunnett seperti tampak pada tabel 15 dan Lampiran 5 (5.1), membuktikan bahwa pengukuran kadar air sampel tapioka menggunakan alat Moisture Analyzer yang diatur pada suhu 105 o C secara statistik hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air sampel tapioka yang diukur dengan oven 105 o C. Oleh karena itu dapat disimpulkan untuk tepung tapioka, metoda pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer yang diatur pada suhu 105 o C dapat menggantikan metoda oven konveksi yang selama ini digunakan sebagai metoda standar untuk pengukuran kadar air.

72 56 B.2. Maltodekstrin Kadar air maltodekstrin diukur dengan alat Moisture Analyzer HB43-S pada tiga suhu yang berbeda (100, 105, 110 o C) untuk mengetahui hasil kadar air mana yang mendekati hasil pengukuran dengan metode oven UM-400. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kadar air maltodekstrin yang diukur dengan alat Moisture Analyzer pada suhu 105 o C memberikan hasil kadar air 5,20% yang hasilnya mendekati dengan kadar air yang diukur dengan alat oven pada suhu yang sama yaitu % seperti tampak pada Tabel 16. Tabel 16 Kadar air rata-rata Maltodekstrin Kadar Air (%) Oven 105 o C MA 100 o C MA 105 o C MA 110 o C Rata-rata 5,2055 4,70 5,20 5,30 Standar Deviasi 0,0393 0,0993 0,0769 0,0538 Koefisien Varian 0,75% 2,11% 1,48% 1,02% Tabel 17 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Maltodekstrin Moisture analyzer vs oven Beda Mutlak Nilai d Hasil ( Y i -Y j ) MA 100 o C vs Oven 105 o C 0,353 0,096 Beda Nyata MA 105 o C vs Oven 105 o C 0,005 0,096 Tidak Nyata MA 110 o C vs Oven 105 o C 0,093 0,096 Beda Nyata Hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett pada Tabel 17 menunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan Moisture Analyzer pada suhu 105 o C memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan hasil dengan metode oven. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Moisture Analyzer pada suhu 105 o C memberikan hasil yang mendekati hasil metode oven sehingga moisture HB43-S pada suhu 105 o C dan dapat digunakan sebagai metode pengganti oven UM-400 untuk bahan baku maltodekstrin. Secara lengkap perhitungan statistik dengan tes Dunnett dapat dilihat di Lampiran 5 (5.2). B.3. Laktosa Menurut Andarwulan (2011), laktosa, sukrosa, dan maltosa merupakan senyawa disakarida yang juga merupakan senyawa polimer yang bersifat mengikat air, keberadaannya dalam sampel bahan pangan dapat menyebabkan air

73 57 sulit keluar dari sampel tersebut. Penggunaan suhu pemanasan yang cukup tinggi (suhu o C) dapat menyebabkan laktosa mengalami dekomposisi dan terurai menghasilkan senyawa yang bersifat volatil, sehingga hal ini dapat mempengaruhi data kadar air yang diperoleh. Untuk menganalisis kadar air sampel bahan pangan yang mengandung gula khususnya fruktosa atau laktosa, AOAC (1984) merekomendasikan metoda LOD menggunakan oven vakum suhu o C. Metode pemanasan sebenarnya kurang sesuai digunakan untuk mengukur kadar air laktosa, karena sifatnya yang peka dan mudah terdekomposisi bila terkena panas. Kadar air bahan seperti ini akan lebih tepat bila diukur menggunakan metode Karl Fischer yang tidak membutuhkan pemanasan pada proses analisisnya. Berdasar kekhususan sifat yang dimilikinya, untuk laktosa dan produk bubuk perisa yang dibuat dari bahan ini metode Karl Fischerlah yang dijadikan sebagai metoda referensi analisis kadar air, bukan metoda oven konveksi. Pereaksi Karl Fischer sangat sensitif terhadap air sehingga metode ini dapat diaplikasikan untuk analisis kadar air bahan pangan yang mempunyai kandungan air yang sangat rendah seperti produk minyak/lemak, gula, madu dan bahan kering. Tabel 18 Kadar air laktosa diukur menggunakan beberapa jenis metode. Water Content Kadar Air (%) KF Oven 105 o C MA 100 o C MA 105 o C MA 110 o C Rata-rata 5,39 0,0604 0,84 0,91 1,54 Standar Deviasi 0,1479 0,0067 0,1078 0,1593 0,2059 Koefisien Varian 2,75% 11,13% 12,78% 17,49% 13,41% Hasil pengukuran kadar air dengan metode KF menggunakan autotitrator Mettler Toledo DL31 adalah 5,39% (Tabel 18), sangat jauh bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari pengukuran menggunakan moisture analyzer dengan setting suhu 100, 105 dan 110 o C ataupun oven konveksi suhu 105 C. Karl Fischer merupakan metode yang sensitif yang dapat mendeteksi kelembaban apapun, bahkan dari lingkungan sekitarnya yang pengaruhnya harus dihilangkan sebanyak mungkin, itulah sebabnya mengapa kadar air hasil pengukuran menggunakan KF. Hal ini di perkuat dengan hasil pengujian statistik dengan menggunakan tes Dunnett (Tabel 19 dan Lampiran 5 bagian 5.3) dimana hasil

74 58 pengujian terhadap semua suhu pengukuran memberikan hasil berbeda nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa pengukuran kadar air dengan pemanasan bukanlah metode yang tepat untuk mengukur bahan tersebut dan tidak dapat menggantikan pengukuran dengan metode KF. Tabel 19 Data hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Laktosa Metoda lain vs Karl Fischer Beda Mutlak ( Y i -Y j ) Nilai d Hasil Oven 105 o C vs KF 5,326 0,166 Beda Nyata MA 100 o C vs KF 4,542 0,166 Beda Nyata MA 105 o C vs KF 4,475 0,166 Beda Nyata MA 110 o C vs KF 3,850 0,166 Beda Nyata C. Penelitian Tahap Kedua: Pengukuran Kadar Air Produk Bubuk Perisa Pengukuran kadar air dengan moisture analyzers sangatlah cepat, namun seringkali hasilnya sangat dipengaruhi oleh struktur dan komposisi sampel yang dianalisis, dibutuhkan upaya coba coba trial-and-error untuk menentukan setelan pemanasan dan waktu yang tepat agar diperoleh hasil analisis yang akurat. Dengan sangat beragamnya jenis bubuk perisa yang harus diuji kadar airnya, tentu akan sangat membebani operator bilamana harus menghafal prosedur untuk setiap jenis sampel. Pada tahapan ini akan dikaji kemungkinan penyeragaman metoda analisis kadar air bubuk perisa berdasarkan kandungan bahan baku penyusunnya yang paling dominan (tapioka, maltodekstrin, dan laktosa). C.1. Perisa HVP Perisa HVP adalah bubuk perisa yang mengandung 40% maltodekstrin sebagai bahan baku utama. Sama seperti maltodekstrin, bubuk perisa juga diukur kadar airnya menggunakan Moisture Analyzer yang diset pada tiga tingkat suhu yang berbeda yakni 100, 105, dan 110 C hasilnya dibandingkan dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi 105 C. Tabel 20 Kadar air rata-rata perisa HVP Kadar Air (%) Oven 105 o C MA 100 o C MA 105 o C MA 110 o C Rata-rata 3,2348 3,09 3,26 3,66 Standar Deviasi 0,0616 0,0607 0,0471 0,0600 Koefisien Varian 1,91% 1,96% 1,44% 1,64%

75 59 Tabel 21 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa HVP Perbandingan Beda Mutlak Kontrol Sample vs ( Y i -Y j ) Nilai d Hasil MA 100 o C Oven 105 o C Beda Nyata MA 105 o C Oven 105 o C Tidak Nyata MA 110 o C Oven 105 o C Beda Nyata Pada Tabel 20 terlihat kecenderungan trend hasil analisis kadar air perisa HVP, memiliki kemiripan dengan hasil analisis kadar air untuk maltodeksrin (tabel 15). Pemanasan sampel pada suhu 105 o C baik pada oven konveksi maupun Moisture Analyzer menghasilkan nilai kadar air perisa HVP yang berdekatan yakni 3,2348% untuk oven dan 3.26% untuk Moisture Analyzer. Sedangkan pengukuran kadar air sampel HVP yang dilakukan menggunakan Moisture Analyzer bersuhu 100, dan 110 C hasilnya berbeda dengan hasil analisis menggunakan oven konveksi 105 C. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan statistik dengan menggunakan tes Dunnett seperti tampak pada Tabel 21 dan Lampiran 6. Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan untuk perisa HVP, metode pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer 105 o C dapat menjadi alternatif pengganti bagi metode oven konveksi 105 o C. Untuk perisa yang memiliki kemiripan karakteristik dengan perisa HVP, metode pengukuran kadar airnya menggunakan Moisture Analyzer kemungkinan dapat didasarkan pada metode pengukuran kadar air maltodekstrin. C.2. Perisa Garlic Perisa Garlic mengandung campuran bahan baku maltodekstrin 40% dan 40% tapioka, perisa ini juga mengandung asam lemak tidak jenuh dan bahan baku lainnya sebesar dengan total jumlah 20%. Hasil pengukuran kadar air dengan mengunakan Moisture Analyzer untuk perisa Garlic memberikan tren yang berbeda saat dibandingkan dengan bahan bakunya (tapioka dan maltodekstrin).

76 60 Tabel 22 Kadar air rata-rata perisa Garlic Kadar Air (%) Oven 105 o C MA 90 o C MA 100 o C MA 105 o C MA 110 o C Rata-rata ,80 Standar Deviasi ,1290 Koefisien Varian 1.42% 1.04% 1.74% 1.12% 2,22% Tabel 23 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Garlic Perbandingan Beda Mutlak Kontrol Sample vs ( Y i -Y j ) Nilai d Hasil MA 90 o C Oven 105 o C 0,428 0,100 Beda Nyata MA 100 o C Oven 105 o C 0,047 0,100 Tidak Nyata MA 105 o C Oven 105 o C 0,187 0,100 Beda Nyata MA 110 o C Oven 105 o C 0,301 0,100 Beda Nyata Pada perisa Garlic, hasil pengukuran kadar air (Table 22) dengan menggunakan Moisture Analyzer pada suhu 100 o C (5,45%) memberikan hasil yang mendekati hasil pengukuran dengan metode oven (5,4985%) sebagaimana diperkuat dengan hasil pada perhitungan statistik tes Dunnett (Tabel 23). Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena dua hal, perisa garlic selain mengandung 10% asam lemak tidak jenuh juga bahan baku lainnya yang sensitif terhadap panas dan intensitas pemanasan yang lebih tinggi pada alat moisture analyser halogen. Menurut Andarwulan 2011, senyawa yang mudah menguap seperti etanol, minyak esensial dan senyawa mudah menguap lainnya serta senyawa yang mudah teroksidasi seperti asam lemak tidak jenuh dan tanin dapat menyebabkan nilai kadar air yang diperoleh menjadi lebih besar dari sesungguhnya karena kehilangan berat yang terjadi dianggap sebagai air yang hilang. Pemanasan pada moisture analyser dapat berlangsung lebih intens dibanding pada oven konveksi, meskipun alat ini dioperasikan pada suhu yang lebih rendah (100 C). Pada moisture analyser pemanasan sampel tidak hanya sebatas permukaannya saja, karena sistem pemanasan pada alat ini memanfaatkan gelombang elektromagnetik pada spektrum inframerah yang mampu menembus ke bagian dalam sampel sehingga didapatkan pemanasan yang lebih merata. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa untuk perisa garlic pengukuran kadar air menggunakan moisture analyser dengan suhu pemanasan 100 C dapat menggantikan metoda oven 105 C, kedua metoda tersebut dianggap dapat memberikan hasil pengukuran yang setara.

77 61 C.3. Perisa Vanilla Perisa vanilla mengandung 80% laktosa. Hampir sama dengan perilaku atau tren hasil pengukuran kadar air laktosa, seperti tampak pada Table 24 hasil pengukuran kadar air perisa vanilla dengan alat Moisture Analyzer memberikan hasil yang tidak konsisten dengan hasil pengukuran menggunakan perangkat KF, sebaliknya pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM-400 (4,9179%) mendekati rata-rata kadar air dengan metode KF (4,43%). Tabel 24 Data kadar air Perisa Vanilla pada beberapa jenis metode. Water Content Kadar Air (%) KF Oven 105 o C MA 100 o C MA 105 o C MA 110 o C Rata-rata 4,43 4, ,11 12,51 17,91 Standar Deviasi 0,1610 0,1584 2,2606 2,1041 1,4921 Koefisien Varian 3,64% 3,22% 14,03% 16,82% 8,33% Tabel 25 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Vanilla Perbandingan Beda Mutlak Kontrol Sample vs ( Y i -Y j ) Nilai d Hasil Oven 105 o C KF 0,491 1,741 Tidak Nyata MA 100 o C KF 11,681 1,741 Beda Nyata MA 105 o C KF 8,083 1,741 Beda Nyata MA 110 o C KF 13,478 1,741 Beda Nyata Perhitungan statistik tes Dunnett pada Tabel 25 menunjukkan hasil pengukuran kadar air metode KF menggunakan Mettler Toledo DL31 tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air metode oven, namun berbeda nyata dengan hasil pengukuran menggunakan alat Moisture Analyzer pada seluruh tingkatan suhu yang diuji. Intensitas pemanasan yang tinggi ( o C) dapat menyebabkan senyawa-senyawa dalam perisa vanilla mengalami dekomposisi dan terurai menjadi senyawa lainnya yang bersifat volatil, hal ini membuat hasil pembacaan kadar air Moisture Analyzer lebih tinggi dari dua metoda lainnya.. Hasil ini menunjukkan bahwa pengukuran kadar air menggunakan alat Moisture Analyzer bukanlah metode yang tepat untuk perisa vanilla dan tidak dapat menggantikan metode KF. Sedangkan metoda oven konveksi meski juga menggunakan pemanasan suhu tinggi, tetapi karena intensitas pemanasannya

78 62 lebih rendah, metoda ini masih mungkin digunakan untuk mengukur kadar air produk perisa vanilla. Dari pengujian pengukuran kadar air yang dilakukan terhadap beberapa jenis bahan baku dan produk perisa, diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran bahan bahan tersebut menggunakan metode LOD. Faktor-faktor itu dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, golongan pertama adalah faktor yang berhubungan dengan proses pemanasan yaitu prinsip pemanasan (langsung dan tak langsung), suhu pemanasan, dan pemvakuman. Sedangkan golongan kedua adalah faktor yang berhubungan dengan sifat bahan, yang termasuk golongan ini adalah struktur dan komposisi bahan. D. Uji Efisiensi Salah satu tujuan penggantian metoda oven dengan metoda analisis cepat menggunakan moisture analyzer adalah penghematan waktu. Dari catatan penelitian diperoleh fakta bahwa waktu analisis bervariasi tergantung pada jenis sampelnya (tabel 26 kolom 1). Moisture analyzer dan perangkat KF hanya dapat digunakan untuk menganalisis 1 (satu) sampel saja dalam setiap siklus operasi, sedangkan oven dapat menampung sampai 30 sampel per siklus operasi. Untuk menganalisis 1 sampel maltodekstrin dengan moisture analyzer dibutuhkan waktu 0,087 jam (5 menit 13,2 detik), bila dilakukan dengan oven akan membutuhkan waktu 3,26 jam (3 jam 15 menit 36 detik). Bila jumlah sampel ditingkatkan menjadi 30 sampel maka analisis kadar air menggunakan moisture analyzer akan membutuhkan waktu 2,6 jam (2 jam 36 menit) sementara dengan metoda oven diperlukan 3,347 jam (3 jam 20 menit 49,2 detik), seperti ditunjukkan pada tabel 26 kolom 2. Apabila waktu 3,347 jam, waktu yang dibutuhkan untuk menganalisis 30 sampel jika digunakan metoda oven, dijadikan patokan waktu. Maka dalam kurun waktu yang sama bila digunakan moisture analyzeruntuk maltodekstrin dapat dianalisis sebanyak 38 sampel sedangkan untuk perisa vanilla hanya dapat dianalisis sebanyak 4 sampel. Sebagai pembanding bila digunakan perangkat KF dalam waktu 3,347 jam dapat dianalisis sebanyak 30 sampel vanilla. Untuk produk/bahan yang lain, jumlah sampel yang dapat dianalisis per 3,347 jam dapat dilihat pada tabel 26 kolom 3.

79 63 Tabel 26 Waktu untuk analisis kadar air bubuk dan bahan baku perisa Metode Waktu analis/sample (jam) Waktu analisis/30 sampel (jam) Jumlah Sampel yang dpt dianalisis per 3,347 jam Oven Konveksi 105 o C Semua jenis sample 3,260 3, Moisture Analyzer 105 o C Tapioka 0,196 5, Maltodextrin 0,087 2, HVP 0,114 3, Garlic 0,162 4, Vanilla 0,721 21,633 4 Karl Fischer Laktosa 0,157 4, Vanilla 0,107 3, Dari hasil tersebut tampak waktu analisis maltodekstrin dan perisa HVP menggunakan Moisture Analyzer suhu 105 o C lebih cepat atau sebanding dengan metode oven, demikian pula untuk pengujian menggunakan metode Karl Fischer bagi perisa vanilla. Untuk jumlah sampel lebih dari 30, lama pengujian menggunakan Moisture Analyzer suhu 105 o C menjadi tidak efektif bagi tapioka, Garlic, dan vanilla dikarenakan waktu pengujian menjadi lebih lama dari pada metode oven. Hal yang sama dijumpai pada laktosa yang dianalisis menggunakan perangkat KF. Dari pengamatan terhadap kerja analis ditemukan bahwa selama waktu pengeringan 3 jam menggunakan oven, analis bisa melakukan analisis lainnya. Sangat berbeda keadaannya jika menggunakan Moisture Analyzer atau perangkat KF, dimana analis harus menunggu di depan alat saat pengujian sampai analisis selesai dilakukan, sehingga penanganan pekerjaan lainnya banyak yang terpotong-potong. Secara teknis metode oven efektif untuk menganalisis sampel dalam jumlah banyak, sedangkan alat moisture analyzer dan perangkat KF efektif jika digunakan untuk jumlah sampel sedikit. Analisis kadar air menggunakan metoda Karl Fischer juga butuh perhatian ekstra karena bahan pereaksinya berbahaya dan tidak aman untuk lingkungan. Disarankan perangkat KF hanya

80 64 diperuntukan bagi produk berbahan baku turunan gula atau bahan yang kadar airnya sangat rendah yang tidak mungkin dianalisis menggunakan metoda lainnya. E. Pembuatan Template Laporan Validasi Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah memberikan hasil sebuah template dalam bentuk Excel yang dapat dipergunakan untuk mempermudah pelaporan validasi alat maupun metode. Template tersebut dapat dilihat pada Lampiran 11, dimana analis hanya perlu memasukkan nama metode yang akan dibandingkan dan kontrol, nama penguji, tanggal, kondisi atau perlakuan kontrol, serta hasil pengukuran 10 ulangan untuk baik untuk metode yang akan divalidasi maupun kontrol. Data masukan diketikkan pada bagian yang berwarna kuning. Uji statistik yang digunakan untuk proses validasi adalah uji Dunnett. Suatu alat/metoda dikatakan dapat menggantikan alat/metoda yang dianggap sebagai kontrol apabila hasil uji Dunnett menyatakan hasil pengukuran keduanya tidak berbeda nyata. Hasil perhitungan pada template dalam bentuk excel tersebut telah dibandingkan dengan hasil perhitungan statistik menggunakan program SPSS dan hasil perhitungannya memberikan hasil yang sama seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13.

81 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Alat moisture analyzer HB43-S dengan setting suhu 105 o C dapat digunakan untuk mengukur kadar air perisa HVP dimana hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM- 400 (dioperasikan pada suhu 105 o C). Suhu pengukuran pada 105 o C ini sesuai dengan suhu yang digunakan untuk penelitian terhadap bahan baku tapioka dan maltodekstrin. Namun untuk perisa Garlic, agar diperoleh hasil pengukuran kadar air yang mendekati hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven, setting suhu alat moisture analyzer perlu diturunkan menjadi 100 o C dikarenakan dalam perisa garlic terkandung asam lemak yang sensitif terhadap panas. Dari hasil penelitian ini didaptkan bahwa alat moisture analyzer HB43-S dapat menjadi alternatif pengganti metode oven pada bahan jadi dengan bagan dasar maltodekstrin. 2. Metode yang paling sesuai untuk pengukuran kadar air bahan turunan gula adalah metode Karl Fischer. Kadar air laktosa dan perisa vanilla (mengandung 80% laktosa) sebaiknya tidak diukur menggunakan metoda LOD yang menggunakan panas intens pada proses analisisnya Hal ini disebabkan sifat-sifat laktosa yang peka terhadap panas (dapat terdekomposisi dan terpolimerisasi) sehingga data hasil pengukuran kadar air menjadi tidak akurat. Namun demikian hasil penelitian pada perisa vanilla menunjukkan bahwa produk ini masih mungkin diukur kadar airnya menggunakan oven suhu 105 C. Hasil pengukuran kadar air perisa vanilla menggunakan perangkat KF tidak berbeda nyata dengan hasil kadar air menggunakan oven. 3. Dalam kondisi normal dan untuk jumlah sampel yang besar (di atas 30 sampel) secara teknis waktu analisis kadar air menggunakan metode oven masih lebih efektif dibanding waktu analisis menggunakan moisture

82 66 analyzer. Namun untuk kondisi mendesak dan dibutuhkan hasil yang cepat maka alat Moisture Analyzer dapat dijadikan pilihan bilamana sampel yang akan dianalisis kadar airnya jumlahnya hanya sedikit. 4. Template dalam bentuk Excel yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mempermudah dalam pembuatan laporan intern validasi alat atau metode. Template ini dapat memberikan hasil perhitungan yang sama dan sesuai dengan hasil perhitungan menggunakan piranti lunak SPSS. B. Saran Pengukuran kadar air pada perisa sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang terkandung di dalamnya. Adanya asam lemak atau oleoresin walaupun konsentrasinya tidak dominan, dapat memberikan hasil pembacaan kadar air yang berbeda ketika parameter ini diukur menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S dan metode oven UM-400. Dengan memanfaatkan apa yang telah dihasilkan dalam penelitian ini, disarankan untuk memperluas cakupan jenis sampel yang akan diuji sehingga dapat mencakup keseluruhan produk yang dihasilkan oleh PT Givaudan Indonesia atau setidaknya produk produk yang dapat dijadikan model untuk analisis produk lainnya. Dengan demikian dapat dipetik manfaat yang lebih besar dari investasi yang telah dikeluarkan untuk pengadaan alat Moisture Analyzer halogen HB43-S.

83 DAFTAR PUSTAKA [Anonym] Fundamentals of the Volumetric Karl Fischer Titration with 10 Selected Applications. MT DL31 Application broschure 26. Mettler-Toledo GmbH, Switzerland [Anonim] Mettler-Toledo AG, Laboratory & Weighing Technologies, CH Greifensee, Switzerland Application Methods HB43-S Moisture Analyzers. Solutions/Moisture_Analyzer/HB43-S_1.html {4 Nov 2011}. [Anonym] Multiple-Comparison Procedures. Sumber: akses: 2 Januari Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D Analisis Pangan. Jakarta: Dian Rakyat [AOAC] Association of Official Analytical Chemists Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemists. Washington DC, USA: Association of Official Analitical Chemist. Astuti Petunjuk Praktikum Analisis Bahan Biologi. Yogyakarta: Jurdik Biologi FMIPA UNY. Bell LN, Labuza TP Moisture, Practical Aspects of Isoterm Measurement and Use, Second Edition American Association of Cereal Chemist, Inc. Berk, Z Food Process Engineering and Technology. Elsevier Inc. Bhandari, B.R. and Adhikari B. P Water activity in food processing and preservation in Food. Chen, X.D. and Mujumdar, A.S. (eds). Drying Technologies in Food Processing. Blackwell Publishing Ltd Dunnett CW A Multiple Comparison Procedure for Comparing Several Treatments with a Control. Journal of the American Statistical Association. Vol. 50, No. 272 (Dec., 1955), pp Dunnett CW New Tables for Multiple Comparisons with a Control. Biometrics, Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp , International Biometric Society. Estiasih T, Ahmadi Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara. Harvey, D Modern Analytical Chemistry. The McGraw-Hill Companies, Inc Igoe, R.S. and Hui, Y.H Dictionary of Food Ingredients. Aspen Publishers, Maryland

84 68 Kenkel, J Analytical Chemistry for Technicians. CRC Press, LLC KERN & Sohn GmbH, Application notes Moisture analyzer. Kodeks Makanan Indonesia Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Kupriannoff, J Bound Water in Kupriannoff, J. (ed) Fundamental aspects of Dehydration of Foodstuff. Soc.Chem. Indtr. Karlsruhe; Germany Kusnandar, F Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta : Dian Rakyat. Molnar, K Experimental Techniques in Drying in Mujumdar, A. (ed) Handbook of Industrial Drying 3 rd edition. Taylor & Francis, Philadelphia Müller, D.A Flavours: the Legal Framework in Berger (Ed.) Flavours and Fragrances Chemistry, Bioprocessing and Sustainability. Springer-Verlag Berlin Heidelberg Nielsen, S.S Food Analysis Laboratory Manual 2 nd Science+Business Media, LLC Edition. Springer O'Mahony, Sensory Evaluation of Food: Statistical Methods and Procedures. New York: Marcell Dekker, Inc. Rafter, J.A., Abell, M.L., AND Braselton, J.P Multiple Comparison Methods for Means. Siam Review Vol. 44, No. 2, pp Society for Industrial and Applied Mathematics Rennie P. Ruiz Gravimetric Determination of Water by Drying and Weighing in Wrolstad,R.E. et al (eds). Current Protocols in Food Analytical Chemistry. John Wiley & Sons, Inc. Rowe, P Essential Statistics For The Pharmaceutical Sciences. John Wiley & Sons Ltd, England. Rumsey, D Statistics II For Dummies. Wiley Publishing, Inc Indianapolis SNI Cara uji makanan dan minuman. BSN. SNI Bahan tambahan pangan Persyaratan perisa dan penggunaan dalam produk pangan. BSN. Sudarmadji, S, Bambang, H., dan Suhardi Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty. Syarief R, Halid H Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta, Arcan. Winarno FG Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama. Hal

85 69 Winarno FG Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumsi. Jakarta: Gramedia Pustaka. Wirakartakusumah MA et al Prinsip teknik pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas (PAU). IPB Wulanriky Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven Pengering. Oven-Pengering-aa/. Diakses tanggal 4 November diakses 4 November 2011.

86 70

87 LAMPIRAN

88 Lampiran 1 SNI Cara uji makanan dan minuman 72

89 73 Lampiran 2 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 95%. Sumber : Dunnett, CW New Tables for Multiple Comparisons with a Control. Biometrics, Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp , International Biometric Society.

90 74 Lampiran 3 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 99%. Sumber : Dunnett, CW New Tables for Multiple Comparisons with a Control. Biometrics, Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp , International Biometric Society.

91 75 Lampiran 4 Hasil Analisis Penelitian Pendahuluan 4.1. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air (EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh MgCl Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air (EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh MgCl 2

92 Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air (EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh NaCl 4.4. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air (EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh NaCl

93 4.5. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air (EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh KCl 77

94 4.6. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air (EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh KCl 78

95 79 Lampiran 5 Hasil Analisis Penelitian Pertama terhadap Bahan Baku 5.1. Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Tapioka

96 5.2 Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Maltodekstrin 80

97 Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Laktosa 81

98 82 Lampiran 6 Hasil Analisis Penelitian Kedua terhadap Bahan Jadi 6.1. Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk HVP

99 6.2. Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Garlic 83

100 6.3 Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Vanilla 84

101 85 Lampiran 7 Data waktu analisis berbagai metode terhadap jumlah sampel Data waktu analisis metode Oven 105 o C terhadap jumlah sampel Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat Oven 105 o C dalam jam Waktu penimbangan Sample Awal = Waktu peng-ovenan = Waktu Cooling Down dalam desikator = Waktu penimbangan Sample Akhir = Total Waktu analisis 1 sampel = Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini : Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total Metoda Oven

102 Data waktu analisis metode MA 105 o C pada Tapioka terhadap jumlah sampel. Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA Pengujian Tapioka o C dalam jam Waktu penimbangan Sample Awal = Waktu peng-ovenan suhu 105oC - Tapioka = Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = Total analisis persampel = Kadar Air rata-rata (%) = Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini : Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total dengan Moisture Analyser KESIMPULAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK

103 Data waktu analisis metode MA 105 o C pada Maltodekstrin terhadap jumlah sampel. Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA Pengujian Maltodextrin o C dalam jam Waktu penimbangan Sample Awal = Waktu peng-ovenan suhu 105oC Maltodextrin = Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = Total analisis persampel = Kadar Air rata-rata (%) = Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini : Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total dengan Moisture Analyser KESIMPULAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN

104 88 Data waktu analisis metode MA 105 o C pada Laktosa terhadap jumlah sampel tidak diperhitungkan karena hasilnya jauh dari hasil kadar air dengan metode oven Waktu analisis Metode KF untuk Laktosa terhadap jumlah sampel. Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat KF Pengujian Laktosa dalam jam Waktu penimbangan Sample Awal = Waktu titrasi Laktosa = Waktu Drift = Total analisis persampel = Kadar Air rata-rata (%) = 5.36 Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini : Waktu Pengujian Jumlah Sampel Total dengan Karl Fischer KESIMPULAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK

105 Data waktu analisis metode MA 105 o C pada HVP terhadap jumlah sampel. Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA Pengujian HVP o C dalam jam Waktu penimbangan Sample Awal = Waktu peng-ovenan suhu 105oC - HVP = Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = Total analisis persampel = Kadar Air rata-rata (%) = Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini : Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total dengan Moisture Analyser KESIMPULAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN TIDAK

106 Data waktu analisis metode MA 105 o C pada Garlic terhadap jumlah sampel. Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA Pengujian Garlic o C dalam jam Waktu penimbangan Sample Awal = Waktu peng-ovenan suhu 105oC - Garlic = Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = Total analisis persampel = Kadar Air rata-rata (%) = 5.8 Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini : Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total dengan Moisture Analyser KESIMPULAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK

107 Data waktu analisis metode MA 105 o C pada Vanilla terhadap jumlah sampel. Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA Pengujian Vanilla o C dalam jam Waktu penimbangan Sample Awal = Waktu peng-ovenan suhu 105oC - Vanilla = Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = Total analisis persampel = Kadar Air rata-rata (%) = Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini : Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total dengan Moisture Analyser KESIMPULAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK

108 Waktu analisis Metode KF untuk Vanilla terhadap jumlah sampel. Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat KF Pengujian Vanilla dalam jam Waktu penimbangan Sample Awal = Waktu titrasi Vanilla = Waktu Drift = Total analisis persampel = Kadar Air rata-rata (%) = Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini : Jumlah Sampel Waktu Pengujian Total dengan Karl Fischer KESIMPULAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN DISARANKAN

109 93 Lampiran 8 Jumlah sampel dengan waktu analisis kurang dari pengujian dengan metode oven Jumlah sampel yang mempunyai waktu analisis setara metode oven u/30 sampel: Metode Waktu/sampel (jam) Waktu 30 sampel (jam) Jumlah Sampel < 3,35 jam Oven 105 o C Tapioka - MA 105 o C Maltodextrin - MA 105 o C Laktosa KF HVP MA 105 o C Garlic MA 105 o C C Vanilla MA 105 o C Vanilla KF

110 Lampiran 9 Sertifikat Kalibrasi Oven Memmert 94

111 Lampiran 10 Sertifikat Kalibrasi Moisture Analysis 95

112 96

113 97

114 Lampiran 11 Template Laporan Validasi dengan Excel 98

115 99 Lampiran 12 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian Pertama Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Tapioka

116 12.2. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Maltodekstrin 100

117 12.3 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Laktosa 101

118 102 Lampiran 13 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian Kedua Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada HVP

119 13.2. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Garlic 103

120 13.3. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Vanilla 104

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan, tepung tapioka dikondisikan dengan menempatkan sampel ini di dalam wadah yang berisi larutan garam jenuh dan disimpan

Lebih terperinci

Kemampuan yang ingin dicapai:

Kemampuan yang ingin dicapai: Kemampuan yang ingin dicapai: Mahasiswa dapat menjelaskan karakteristik hidratasi pada bahan pangan serta hubungannya dengan pengolahan dan mutu pangan. A. PENGERTIAN Karakteristik hidratasi : karakteristik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Durasi umur simpan suatu bahan pangan dibatasi oleh perubahan biologis, kimia, dan fisika yang berlangsung dan terus berlanjut dalam bahan tersebut. Kelanjutan dan laju proses perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan bahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom

Lebih terperinci

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN Kegunaan Penyimpangan Persediaan Gangguan Masa kritis / peceklik Panen melimpah Daya tahan Benih Pengendali Masalah Teknologi Susut Kerusakan Kondisi Tindakan Fasilitas

Lebih terperinci

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 9 BAB X AIR Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita.

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan untuk menduga umur simpan dari sampel. Kondisi akselerasi dilakukan dengan mengondisikan sampel pada RH yang tinggi sehingga kadar air kritis lebih cepat

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupaka pelarut yang kuat, melarutkan banyak zat kimia. Zat-zat yang larut dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupaka pelarut yang kuat, melarutkan banyak zat kimia. Zat-zat yang larut dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air dalam Bahan Pangan Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kpa (1 bar) dan temperature 273,15 K (0ºC). Air

Lebih terperinci

Analisa Kadar Air (Moisture Determination) Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc

Analisa Kadar Air (Moisture Determination) Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc Analisa Kadar Air (Moisture Determination) Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc 90 Pemaparan dan Tanya Jawab 10 Practice problem Toleransi keterlambatan 30 menit Kontrak Kuliah Materi dapat diunduh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

KADAR AIR KESETIMBANGAN (Equilibrium Moisture Content) BUBUK KOPI ROBUSTA PADA PROSES ADSORPSI DAN DESORPSI

KADAR AIR KESETIMBANGAN (Equilibrium Moisture Content) BUBUK KOPI ROBUSTA PADA PROSES ADSORPSI DAN DESORPSI KADAR AIR KESETIMBANGAN (Equilibrium Moisture Content) BUBUK KOPI ROBUSTA PADA PROSES ADSORPSI DAN DESORPSI SKRIPSI oleh Rakhma Daniar NIM 061710201042 JURUSAN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

Air. Shinta Rosalia Dewi

Air. Shinta Rosalia Dewi Air Shinta Rosalia Dewi Materi Air Karbohidrat Polisakarida Vitamin Mineral Diagram fasa Air Air penting dalam kehidupan : Mempengaruhi suhu tubuh Sebagai pelarut / solven Sebagai pembawa nutrien dan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Produk baru yang dihasilkan harus memiliki penanganan yang tepat agar

Lebih terperinci

PENENTUAN KADAR AIR LAPIS TUNGGAL MENGGUNAKAN PERSAMAAN BRUNAUER-EMMETT-TELLER (BET) DAN GUGGENHAIM-ANDERSON-deBOER (GAB) PADA BUBUK TEH

PENENTUAN KADAR AIR LAPIS TUNGGAL MENGGUNAKAN PERSAMAAN BRUNAUER-EMMETT-TELLER (BET) DAN GUGGENHAIM-ANDERSON-deBOER (GAB) PADA BUBUK TEH PENENTUAN KADAR AIR LAPIS TUNGGAL MENGGUNAKAN PERSAMAAN BRUNAUER-EMMETT-TELLER (BET) DAN GUGGENHAIM-ANDERSON-deBOER (GAB) PADA BUBUK TEH Hatmiyarni Tri Handayani 1, Purnama Darmadji 2 1 Email: hatmiyarnitri@gmail.com

Lebih terperinci

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak Firman Jaya OUTLINE PENGERINGAN PENGASAPAN PENGGARAMAN/ CURING PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. FAKTOR MUTU KRITIS Seasoning danmicroencapsulated Ginger Powder merupakan produk flavor berbentuk bubuk yang memiliki kadar air rendah (kurang dari 5%) dan flowability yang tinggi.

Lebih terperinci

Pengeringan (drying)/ Dehidrasi (dehydration)

Pengeringan (drying)/ Dehidrasi (dehydration) Pengeringan (drying)/ Dehidrasi (dehydration) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB Director of Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center, Bogor Agricultural

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aktifitas Air (Aw) Aktivitas air atau water activity (a w ) sering disebut juga air bebas, karena mampu membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN Paper Pendugaan Umur Simpan Produk Kopi Instan Formula Merk-Z Dengan Metode Arrhenius, kami ambil dari hasil karya tulis Christamam Herry Wijaya yang merupakan tugas

Lebih terperinci

Oleh : Dr. Ai Nurhayati, M.Si. AIR

Oleh : Dr. Ai Nurhayati, M.Si. AIR Oleh : Dr. Ai Nurhayati, M.Si. AIR Air bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian analisis sifat fisik cookies berbahan baku tepung terigu dengan substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil Fortifikasi dengan penambahan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) selama penyimpanan, dilakukan analisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGERINGAN BEKATUL Proses pengeringan bekatul dilakukan dengan pengering rak karena cocok untuk bahan padat, suhu udara dapat dikontrol, dan terdapat sirkulator udara. Kipas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5)

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENGAMATAN. Natrium Asetat Hari Berat Alufo Berat Awal sampel

BAB IV HASIL PENGAMATAN. Natrium Asetat Hari Berat Alufo Berat Awal sampel BAB IV HASIL PENGAMATAN 1. Natrium Asetat Natrium Asetat Berat Alufo 0.1197 0.1681 0.0919 0.0708 0.0973 0.1372 0.1126 1.0809 1.0008 1.0440 1.0155 1.0164 1.0491 1.0632 +alufo 1.2700 1.2361 1.1143 1.1793

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karet Alam Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet termasuk tanaman tahunan yang tergolong dalam famili Euphorbiaceae, tumbuh baik di dataran

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN

PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN Souvia Rahimah Jatinangor, 5 November 2009 Pengertian PENGERTIAN UMUM : PROSES PENGURANGAN AIR DARI SUATU BAHAN SAMPAI TINGKAT KEKERINGAN TERTENTU. Penerapan panas dalam

Lebih terperinci

Air dan air limbah- Bagian 3: Cara uji padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) secara gravimetri

Air dan air limbah- Bagian 3: Cara uji padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) secara gravimetri Standar Nasional Indonesia Air dan air limbah- Bagian 3: Cara uji padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) secara gravimetri ICS 13.060.50 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein, karena daging mengandung protein yang bermutu tinggi, yang mampu menyumbangkan

Lebih terperinci

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak dan lemak secara gravimetri

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak dan lemak secara gravimetri Standar Nasional Indonesia Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak dan lemak secara gravimetri ICS 13.060.50 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel. BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PRODUK 4.1.1 Fenomena dan penyebab terjadinya case hardening Pada proses pengeringan yang dilakukan oleh penulis khususnya pada pengambilan data

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdapat dalam bahan makanan. Istilah yang umumnya dipakai hingga sekarang ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdapat dalam bahan makanan. Istilah yang umumnya dipakai hingga sekarang ini BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air dalam Bahan Makanan Sampai sekarang belum diperoleh suatu istilah yang tepat untuk air yang terdapat dalam bahan makanan. Istilah yang umumnya dipakai hingga sekarang ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pendinginan Proses pendinginan merupakan proses pengambilan kalor/panas dari suatu ruang atau benda untuk menurunkan suhunya dengan jalan memindahkan kalor yang terkandung

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Volume Pengembangan Roti Manis

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Volume Pengembangan Roti Manis 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik 4.1.1. Volume Pengembangan Roti Manis Adonan roti manis yang tersusun dari tepung terigu dan tepung gaplek dapat mengalami pengembangan, hal ini dikarenakan adanya

Lebih terperinci

kimia Kelas X LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT K-13 A. Pengertian Larutan dan Daya Hantar Listrik

kimia Kelas X LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT K-13 A. Pengertian Larutan dan Daya Hantar Listrik K-13 Kelas X kimia LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami perbedaan antara larutan elektrolit dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Teknologi 29 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung serta di Laboratorium

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

III. METODELOGI. Penelitian dilaksanakan di laboratorium PT KH Roberts Indonesia dan

III. METODELOGI. Penelitian dilaksanakan di laboratorium PT KH Roberts Indonesia dan 29 III. METODELOGI Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium PT KH Roberts Indonesia dan laboratorium program studi ilmu pangan di Bogor. Pelaksanan penelitian dilakukan selama 6 bulan dari

Lebih terperinci

AIR: komponen yang paling banyak di alam & pangan, I.e.: juice 87% air, susu 87%, daging 60%, apel 85% keju 37% tepung 12%. Struktur mol. : H 2 O.

AIR: komponen yang paling banyak di alam & pangan, I.e.: juice 87% air, susu 87%, daging 60%, apel 85% keju 37% tepung 12%. Struktur mol. : H 2 O. AIR: komponen yang paling banyak di alam & pangan, I.e.: juice 87% air, susu 87%, daging 60%, apel 85% keju 37% tepung 12%. Struktur mol. : H 2 O. Ionisasi mol. Air menghasilkan gugus hidrogen (H + & ion

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK (Laporan Penelitian) Oleh RIFKY AFRIANANDA JURUSAN TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT DI SUSUN OLEH : NAMA : IMENG NIM : ACC 109 011 KELOMPOK : 2 ( DUA ) HARI / TANGGAL : SABTU, 28 MEI 2011

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung tapioka merk ROSE BRAND". Dari hasil analisa bahan baku (AOAC,1998), diperoleh komposisi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN JASAD RENIK

PERTUMBUHAN JASAD RENIK PERTUMBUHAN JASAD RENIK DEFINISI PERTUMBUHAN Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pada organisme multiselular, yang disebut pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Alat - Moisture Balance - Gilingan Inti - aluminium-plate - Spatula - Extraction timble - Cawan penguap 250 ml Pyrex - Kapas - Labu ekstraksi 250 ml Pyrex - Neraca analitik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI DESORPSI PRODUK KAKAO FERMENTASI PADA BERBAGAI SUHU DAN KELEMBABAN

PERUBAHAN NILAI DESORPSI PRODUK KAKAO FERMENTASI PADA BERBAGAI SUHU DAN KELEMBABAN PERUBAHAN NILAI DESORPSI PRODUK KAKAO FERMENTASI PADA BERBAGAI SUHU DAN KELEMBABAN Sri Widata Dosen DPK Pada Politeknik LPP Yogyakarta E-mail: swidhata@yahoo.co.id ABSTRAK Kakao merupakan produk yang dapat

Lebih terperinci

Air dan air limbah Bagian 20 : Cara uji sulfat, SO 4. secara turbidimetri

Air dan air limbah Bagian 20 : Cara uji sulfat, SO 4. secara turbidimetri Standar Nasional Indonesia Air dan air limbah Bagian 20 : Cara uji sulfat, SO 4 2- secara turbidimetri ICS 13.060.50 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata....ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN Oleh : Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat RESUME Santan adalah emulsi minyak dalam

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN II Disusun oleh : Nur Aini Condro Wibowo Rumpoko Wicaksono UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

PENENTUAN KADAR KARBONAT DAN HIDROGEN KARBONAT MELALUI TITRASI ASAM BASA

PENENTUAN KADAR KARBONAT DAN HIDROGEN KARBONAT MELALUI TITRASI ASAM BASA PENENTUAN KADAR KARBONAT DAN HIDROGEN KARBONAT MELALUI TITRASI ASAM BASA 1 Tujuan Percobaan Tujuan dari percobaan ini adalah menentukan kadar natrium karbonat dan natrium hidrogen karbonat dengan titrasi

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI Oleh : Indah Asriningrum 0333010052 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, Maksud dan tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Kerangka Berpikir, Hipotesa penelitian dan Waktu dan tempat penelitian.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

Air dan air limbah Bagian 2: Cara uji kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dengan refluks tertutup secara spektrofotometri

Air dan air limbah Bagian 2: Cara uji kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dengan refluks tertutup secara spektrofotometri Standar Nasional Indonesia Air dan air limbah Bagian 2: Cara uji kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dengan refluks tertutup secara spektrofotometri ICS 13.060.50 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar

Lebih terperinci

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri Standar Nasional Indonesia Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri ICS 13.060.50 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bumbu rujak Rujak manis adalah semacam salad. Rujak manis terdiri dari campuran beberapa potongan buah segar dengan dibumbui saus manis pedas. Pada umumnya bumbu rujak manis terbuat

Lebih terperinci

METODA GRAVIMETRI. Imam Santosa, MT.

METODA GRAVIMETRI. Imam Santosa, MT. METODA GRAVIMETRI Imam Santosa, MT. METODA GRAVIMETRI PRINSIP : Analat direaksikan dengan suatu pereaksi sehingga terbentuk senyawa yang mengendap; endapan murni ditimbang dan dari berat endapan didapat

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari \ Menentukan koefisien transfer massa optimum aweiica BAB II LANDASAN TEORI 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Proses pengeringan adalah perpindahan masa dari suatu bahan yang terjadi karena perbedaan konsentrasi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP

PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP FOOD SCIENCE AND TECHNOLOGY AGRICULTURAL TECHNOLOGY BRAWIJAYA UNIVERSITY 2011 THE OUTLINE PENDAHULUAN PENGGARAMAN REFERENCES 2 METODE

Lebih terperinci

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI 1 Sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk olahan Pengolahan : Menambah ragam pangan Perpanjang masa simpan bahan pangan Bahan Pangan 2 Komponen Utama Penyusun Bahan Pangan

Lebih terperinci

3. Metodologi Penelitian

3. Metodologi Penelitian 3. Metodologi Penelitian 3.1 Alat dan bahan 3.1.1 Alat Peralatan gelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas kimia, gelas ukur, labu Erlenmeyer, cawan petri, corong dan labu Buchner, corong

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

Cara uji kadar air total agregat dengan pengeringan

Cara uji kadar air total agregat dengan pengeringan Standar Nasional Indonesia Cara uji kadar air total agregat dengan pengeringan ICS 93.020 Badan Standardisasi Nasional BSN 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian

Lebih terperinci

1. mutu berkecambah biji sangat baik 2. dihasilkan flavour yang lebih baik 3. lebih awet selama penyimpanan

1. mutu berkecambah biji sangat baik 2. dihasilkan flavour yang lebih baik 3. lebih awet selama penyimpanan KOPI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN PADA BAHAN PENYEGAR Mutu kopi dipengaruhi pengolahan dari awal - pemasaran. Kadar air kopi kering adalah 12-13% 13% Pada kadar air ini : 1. mutu berkecambah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus L. Merr) Nanas merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada buahnya.

Lebih terperinci

Pilihan Ganda Soal dan Jawaban Sifat Koligatif Larutan 20 butir. 5 uraian Soal dan Jawaban Sifat Koligatif Larutan.

Pilihan Ganda Soal dan Jawaban Sifat Koligatif Larutan 20 butir. 5 uraian Soal dan Jawaban Sifat Koligatif Larutan. 1 Pilihan Ganda Soal dan Jawaban Sifat Koligatif Larutan 20 butir. 5 uraian Soal dan Jawaban Sifat Koligatif Larutan. Berilah tanda silang (X) pada huruf A, B, C, D atau E di depan jawaban yang benar!

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama dalam penyimpanannya membuat salah satu produk seperti keripik buah digemari oleh masyarat. Mereka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7)

Lebih terperinci