VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN. memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN. memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional,"

Transkripsi

1 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN 8.1. Kesirnpulan 1. Pola konsurnsi dan pengeluaran rata-rata rumahtangga di wilayah KT1 memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional, Jawa, rnaupun luar Jawa. Beberapa ciri yang serupa tersebut adalah pangsa pengeluaran pangan yang rnasih lebih besar (lebih dari 60 persen) dibanding pangsa pengetuaran non-pangan; diantara jenis pangan, pangsa beras terhadap struktur pengeluaran rumahtangga rnaupun dalam kontribusi konsurnsi energi (40-60 persen) dan protein (3649 persen) rnasih dorninan. 2. Tingkat konsumsi pangan surnber karbohidrat rata-rata rurnahtangga di pedesaan KTI lebih tinggi dibanding di kota, narnun untuk konsurnsi surnber protein (hewani rnaupun nabati) terjadi ha1 yang sebaliknya. Tingkat konsumsi surnber vitamin/rnineral dan pangan lainnya hampir sarna antara daerah kota dan desa. Untuk semua jenis pangan, tingkat konsurnsi per kapita rata-rata rumahtangga di KT1 meningkat dengan rneningkatnya pendapatan. Pola serupa juga terlihat untuk tingkat konsumsi energi maupun protein. 3. Pola konsumsi pangan pokok non beras di wilayah KT1 rnulai tergeser peranannya oleh beras. Propinsi-propinsi yang semula (tahun 1979) tidak berpola pangan pokok beras pada tahun 1996 bergeser ke pola beras.

2 4. Terdapat kecenderungan hubungan yang positif antara potensi surnberdaya wilayah dengan pola konsurnsi penduduk. Wilayah dengan potensi tanaman pangan (padi) cenderung rnengkonsumsi beras lebih tinggi dibanding wilayah lain. Dernikian halnya untuk wilayah dengan potensi perikanan, petemakan, rata-rata penduduknya mengkonsumsi kornoditas tersebut lebih banyak dibanding wilayah lain. Dengan pola konsumsi seperti itu analisis sistem permintaan menunjukkan bahwa perrnintaan kornoditas tersebut di wilayah yang bersangkutan cenderung rnernpunyai respon yang kecil (in- elastis) terhadap perubahan harga rnaupun pendapatan. 5. Permintaan pangan di pedesaan KT1 lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding daerah kota, kecuali untuk umbi-umbian, sayuran. dan rninyak goreng. Secara umurn terlihat sernakin tinggi tingkat pendapatan semakin kurang responsif permintaan kornoditas pangan terhadap perubahan harga pangan yang bersangkutan. Kecuali untuk susu, sayuran dan makanan jadi, perrnintaan makin responsif terhadap perubahan harga untuk kelompok pendapatan rendah ke sedang, dan permintaan rnakin kurang reponsif untuk kelompok pendapatan sedang ke tinggi. 6. Terdapat hubungan substitusi antara beras dengan serealia lain, umbiumbian, rnielterigu, makanan jadi, susu, kacang-kacangan dan minyak goreng. Namun demikian perubahan harga kornoditas substitusi tersebut

3 sangat kecil pengaruhnya terhadap permintaan beras. Hal sebaliknya terjadi, yaitu perubahan harga beras memiliki respon yang lebih kuat terhadap perubahan permintaan komoditas-komoditas tersebut. 7. Di wilayah KT1 secara total. desa maupun kota, semua komoditas pangan yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai elastisitas pendapatan. Terdapat pola bahwa permintaan sebagian besar komoditas pangan di daerah pedesaan KT1 lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dibanding di kota. Makin tinggi tingkat pendapatan permintaan komoditas pangan semakin kurang responsif terhadap perubahan pendapatan (kecuali untuk komoditas telur). Bagi kelornpok pendapatan rendah dan sedang, permintaan daging dan susu di wilayah KT1 justru mengalami penurunan apabila terjadi peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan lain yang lebih pokok. 8. Posisi beras sebagai pangan pokok telah rnenggeser pangan pokok non beras, yang ditunjukkan oleh besaran nilai elastisitas harga beras dibanding serealia lain atau umbi-umbian. Di NTT (semula dikenal wilayah dengan konsumsi jagung dorninan) permintaan serealia lain (jagung termasuk didalamnya) lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding perrnintaan beras. Dernikian hafnya Maluku yang dikenal sebagai konsurnen sagu, permintaan urnbi-umbian (sagu termasuk di

4 dalarnnya) lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding perrnintaan beras. 9. Dikaitkan dengan upaya pernenuhan konsurnsi zat gizi bagi kelompok penduduk berpendapatan rendah di wilayah KTI. Diperlukan upaya peningkatan pendapatan per kapita sebesar 3.0 persen dan 3.5 persen masing-masing untuk mernenuhi angka kecukupan energi dan protein sebesar Kkallkapl hr dan 46.2 grlkaplhari. 10. Ketidakseirnbangan antara luas dan potensi wilayah KT[ dengan jumlah penduduk (SDM) dan terbatasnya infrastruktur merupakan kendala utama dalarn pemacuan percepatan pembangunan wilayah KTI lrnplikasi Kebijakan 1 Besarnya peranan beras dalam pola konsumsi rurnahtangga di wilayah KT1 baik dalam alokasi pengeluaranlanggaran rumahtangga, kontribusi terhadap konsurnsi energi dan protein rnaupun lebih kuatnya respon perubahan harga beras terhadap kornoditas substitusilkornplernennya, rnengindikasikan bahwa intervensi kebijakan di bidang perberasan tetap diperlukan. Narnun demikian dalarn irnplernentasinya dipedukan prioritas kebijakan yang berbeda antar wilayah. Wilayah dengan respon perubahan harga lebih kuat dari perubahan pendapatan lebih tepat diterapkan kebijakan stabilisasi harga beras. Namun untuk wilayah dimana respon pendapatan lebih kuat dari perubahan harga, rnaka

5 kebijakan penciptaan lapangan kerja di wilayah tersebut yang dapat mendorong peningkatan pendapatan akan lebih tepat. Selain itu diperlukan upaya penggalakan pengernbangan pangan lokal non beras sesuai potensi wilayah KT1 untuk rnenekan laju pergeseran pola pangan pokok ke arah pola beras. 2. Mengingat untuk sebagian besar jenis pangan daerah pedesaan dan golongan penduduk berpendapatan rendah memiliki respon yang lebih kuat terhadap perubahan pendapatan maupun harga-harga kornoditas pangan, rnaka prioritas kebijakan di bidang pangan (dan gizi) perlu lebih rnemfokuskan pada kelompok tersebut. Pada kelompok tersebut tingkat konsurnsi energi dan protein (pada tahun 1996) masih lebih rendah dari angka kecukupan yang direkomendasikan. Diperlukan peningkatan pendapatan per kapita sekitar persen untuk memenuhi kebutuhan konsurnsi zat gizi yang diperlukan. Peningkatan pendapatan tersebut perlu dibarengi dengan kebijakan sosialisasi dan peningkatan pengetahuan tentang pangan dan gizi melalui penyuluhan, pendidikan dan iklan layanan masyarakat melalui media massa. 3. Penetapan 13 kawasan andalan di witayah KT1 perlu didorong realisasinya. Dalam ha1 ini perlu diciptakan situasi yang kondusif untuk mengundang investor menanamkan modalnya di wilayah KTI. Mengutip istilah Bachtiar (1997). membedah isolasi alam rnerupakan keharusan awal guna membedah kernacetan pembangunan di lrian Jaya (dan

6 wilayah KTI pada urnumnya). karena terbatasnya sarana infrastruktur menjadi salah satu pengharnbat utarna rendahnya rninat investor menanamkan modal ke KTI. Dengan terbukanya isolasi wilayah, rnobilitas penduduk tidak lagi terharnbat dan rnendorong aktivitas ekonorni lebih berkernbang. Pada gilirannya peningkatan jurnlah penduduk dengan rneningkatnya aktivitas ekonomi wilayah KT1 akan rnendorong peningkatan perrnintaan terhadap komoditas pangan di wilayah KTI. Untuk ini perlu antisipasi kebijakan di bidang penyediaan dan distribusi pangan di wilayah KTI Kontribusi Penelitian 1. Penelitian ini rnemperkaya kajian pola konsurnsi dan perrnintaan pangan yang telah banyak dilakukan di Indonesia. Namun demikian studi ini dapat rnengisi keterbatasan studi konsurnsi dan permintaan pangan di wilayah KTI. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam perencanaan. distribusi dan alokasi pangan dan gizi di wilayah KTI. 2. Studi ini menunjukkan bukti empiris adanya hubungan positif antara potensi sumberdaya wilayah dengan pola konsurnsi penduduk setempat. Wilayah dengan potensi tanarnan pangan (padi), penduduknya rnengkonsumsi beras lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Dernikian halnya wilayah dengan potensi peternakan atau perikanan, tingkat

7 konsumsi hasil ternak (daging) atau ikan di wilayah relatif lebih tinggi dibanding wilayah lain. 3. Hasil penelitian menunjukkan pula secara empiris peran beras yang dominan dalam struktur pengeluaran rumah tangga rnaupun kontribusi konsumsi energi dan protein di wilayah KTI. Selain itu secara empiris terbukti pula adanya pergeseran pola konsumsi pangan pokok di wilayah KT1 yang mengarah kepada pola beras. 4. Analisis permintaan pangan di KT1 menunjukkan secara emperis perlunya prioritas kebijakan pangan dan gizi di wilayah KT1 kepada kelornpok pendapatan rendah dan daerah pedesaan. Hal ini ditunjukkan oleh respon perubahan perrnintaan yang lebih kuat oleh kelompok pendapatan rendah dan daerah pedesaan dibanding daerah kota dan kelompok pendapatan sedang dan tinggi Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini rnenggunakan data Susenas tahun 1996, setelah analisis selesai dilakukan data yang lebih b a yaitu ~ Susenas tahun 1999 baru tersedia. Oleh karena itu penelitian ini tidak rnarnpu mengungkap fakta yang lebih aktual rnaupun menangkap perubahan pola konsumsi dan permintaan pangan setelah adanya krisis ekonomi yang mulai melanda perekonomian Indonesia sejak tahun f 997.

8 2. Sesuai dengan ketersediaan data Susenas, analisis yang dilakukan bersifat parsial yaitu hanya menelaah sisi konsumen dan mengabaikan konsumen yang berperan pula sebagai produsen bahan pangan. Dalam ha1 ini rurnahtangga pertanian tidak dianalisis secara khusus, karena urnumnya rumahtangga pertanian (tanaman pangan) berperan sebagai produsen sekaligus juga sebagai konsumen. 3. Penggunaan peubah JART dalam penelitian ini tidak rnernpertimbangkan jenis kelarnin dan kelornpok umur. Padahal untuk rnenghitung konsumsi zat gizi pengelompokan tersebut diperlukan agar penghitungan konsumsi lebih akurat. 4. Analisis yang dilakukan dalarn penelitian ini terbatas pada wilayah propinsi, daerah kota-desa dan kelompok pendapatan. Padahal isu hangat saat ini antara lain adalah dilaksanakannya Undang-Undang Otonomi Daerah yang pada intinya mernberikan keleluasaan yang besar kepada pengarnbil keputusan di tingkat kabupaten. Oleh karena itu hasil penelitian ini belurn dapat dirnanfaatkan secara maksirnal bagi pengambil keputusan di tingkat kabupaten Saran Untuk Penelitian Lanjutan 1. Penelitian pola konsumsi dan analisis permintaan pangan di wilayah KT1 dengan rnenggunakan data Susenas terbaru (1999) akan dapat rnengungkap fakta yang lebih aktual dan rnenangkap perubahan pola

9 konsumsi dan perrnintaan pangan di wilayah KT1 setelah terjadi krisis ekonorni. 2. Penelitian yang akan datang disarankan menggunakan model analisis yang lebih kornprehensif ("household model") yang rnernpertimbangkan rumahtangga pertanian sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen bahan pangan. Untuk keperluan ini diperlukan data rurnahtangga yang rneliputi proses produksi dan konsurnsi serta pengeluaran untuk bahan pangan. 3. Analisis permintaan dengan cakupan wilayah sampai tingkat kabupaten akan rnernperkaya analisis disamping berrnanfaat bagi pengarnbil keputusan tingkat kabupaten dalam rnerumuskan kebijakan di bidang pangan dan gizi. Untuk ini diperlukan data survei konsurnsi dan pengeluaran rumahtangga semacarn Susenas untuk cakupan wilayah kabupaten. 4. Mernasukkan peubah JART dengan rnempertimbangkan komposisi umur dan jenis kelarnin pada model perrnintaan maupun studi pola konsurnsi pangan akan mernperkaya analisis terutarna dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsurnsi zat gizi.

V. POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGANlGlZl

V. POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGANlGlZl V. POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGANlGlZl 5.1. Pola Pengeluaran Pangan Non-Pangan Secara garis besar kebutuhan konsumsi barang dan jasa oleh konsumen (rurnahtangga) dapat dikelompokkan kedalam dua kategori

Lebih terperinci

Bab ini akan membahas hal-ha1 berikut: (1) pengujian restriksi, (2) respon perubahan pendapatan. (5) pemintaan pangan antar wilayah.

Bab ini akan membahas hal-ha1 berikut: (1) pengujian restriksi, (2) respon perubahan pendapatan. (5) pemintaan pangan antar wilayah. VI. ANALISIS PERMINTAAN PANGAN Dl KAWASAN TlMUR INDONESIA Bab ini akan membahas hal-ha1 berikut: (1) pengujian restriksi, (2) interpretasi dugaan parameter perrnintaan, (3) respon perubahan harga, (4)

Lebih terperinci

Ketahanan Pangan yaitu pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan

Ketahanan Pangan yaitu pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan rnerupakan kebutuhan dasar rnanusia agar dapat hidup dan beraktivitas. Kondisi terpenuhinya kebutuhan ini dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Undang-undang No. 7

Lebih terperinci

IV. METODA PENELITIAN

IV. METODA PENELITIAN IV. METODA PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Telaahan pola konsumsi dilakukan dengan melakukan pengelompokan rumahtangga menurut daerah pedesaan dan perkotaan, menurut golongan pendapatan, dan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang. bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang. bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernbangunan daerah rnerupakan bagian dari pernbangunan nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalarn pernbangunan ekonorni Indonesia, sektor perdagangan luar

I. PENDAHULUAN. Dalarn pernbangunan ekonorni Indonesia, sektor perdagangan luar I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Dalarn pernbangunan ekonorni Indonesia, sektor perdagangan luar negeri rnernpunyai peranan yang sangat penting. Pada periode tahun 1974-1981 surnber utarna pernbangunan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 199 IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan data Susenas tahun 2008, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia di berbagai wilayah lebih banyak mengkonsumsi

Lebih terperinci

Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia,

Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia, tetapi seiring dsngan perkembangannya tanaman kelapa sawit ini rnarnpu tumbuh dan berkernbang dengan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan

I. PENDAHULUAN. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA. Bagian ini akan mengulas berbagai studi tentang pola konsumsi,

11. TINJAUAN PUSTAKA. Bagian ini akan mengulas berbagai studi tentang pola konsumsi, 11. TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini akan mengulas berbagai studi tentang pola konsumsi, permintaan pangan dan kaitannya dengan konsumsi zat gizi di lndonesia yang telah dilakukan para peneliti terutama yang

Lebih terperinci

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan Analisis Data METODE PENELlTlAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini rnenggunakan rnenggunakan data sekunder yang berkaitan dengan rnasalah kerawanan pangan tahun 2004 atau 2005 serta intewensi yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Secara konstitusional koperasi telah mendapat posisi politis

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Secara konstitusional koperasi telah mendapat posisi politis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Koperasi memiliki kedudukan yang khusus dalam perekonomian Indonesia. Secara konstitusional koperasi telah mendapat posisi politis X yang kuat dalam UUD 1945, dan dalam

Lebih terperinci

V. PRODUKSI DAN PERAN SUB SEKTOR PETERNAKAN KABUPATEN BENGKALlS. adalah ternak sapi, kerbau, kambing, babi, ayarn buras, ayarn pedaging,

V. PRODUKSI DAN PERAN SUB SEKTOR PETERNAKAN KABUPATEN BENGKALlS. adalah ternak sapi, kerbau, kambing, babi, ayarn buras, ayarn pedaging, V. PRODUKSI DAN PERAN SUB SEKTOR PETERNAKAN KABUPATEN BENGKALlS 5.1. Produksi dan Kebutuhan Ternak 5.1.1 Jenis dan Populasi Ternak Secara urnum jenisjenis ternak yang dikernbangkan rnasyarakat adalah ternak

Lebih terperinci

Dalarn rnengantisipasi rneningkatnya perrnintaan konsurnen

Dalarn rnengantisipasi rneningkatnya perrnintaan konsurnen I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalarn rnengantisipasi rneningkatnya perrnintaan konsurnen terhadap produk olahan perikanan yang berrnutu, dewasa ini rnuncul industri pengolahan perikanan yang rnengalarni

Lebih terperinci

Kelapa sawit termasuk salah satu komoditi andalan lndonesia di. sektor lndustri Agribisnis, karena kelapa sawit merupakan bahan baku

Kelapa sawit termasuk salah satu komoditi andalan lndonesia di. sektor lndustri Agribisnis, karena kelapa sawit merupakan bahan baku I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit termasuk salah satu komoditi andalan lndonesia di sektor lndustri Agribisnis, karena kelapa sawit merupakan bahan baku minyak nabati untuk memenuhi konsurnsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

dirnensi kehidupan terrnasuk sektor agribisnis akan sangat berpengaruh pada derajat persaingan pada tingkat lokal, wilayah dan nasional tetapi

dirnensi kehidupan terrnasuk sektor agribisnis akan sangat berpengaruh pada derajat persaingan pada tingkat lokal, wilayah dan nasional tetapi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi yang sedang berjalan dewasa ini di berbagai dirnensi kehidupan terrnasuk sektor agribisnis akan sangat berpengaruh pada derajat persaingan pada tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN

PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN JAKARTA, 7 FEBRUARI 2012 OUTLINE I. Pendahuluan II. Peluang Pengembangan Industri Agro III. Hal-hal yang Perlu Dilakukan IV.Contoh Pengembangan

Lebih terperinci

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK DI BEBERAPA PROPINSI DI INDONESIA

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK DI BEBERAPA PROPINSI DI INDONESIA POLA KONSUMSI PANGAN POKOK DI BEBERAPA PROPINSI DI INDONESIA Oleh: Mewa Arifin dan Handewi P. Saliemo ABSTRAK Dengan menggunakan data Susenas disertai beberapa penyesuaian untuk menghitung konsumsi energi

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

BAB l PENDAHULUAN. Pasar Farrnasi lndonesia rnerupakan salah satu sektor yang

BAB l PENDAHULUAN. Pasar Farrnasi lndonesia rnerupakan salah satu sektor yang BAB l PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pasar Farrnasi lndonesia rnerupakan salah satu sektor yang rnenarik untuk diamati rneskipun dalam kondisi krisis beberapa tanun terakhir ini. Tingginya populasi masyarakat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN: Analisis Data SUSENAS Handewi P.Saliem dan Ening Ariningsih

PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN: Analisis Data SUSENAS Handewi P.Saliem dan Ening Ariningsih PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN: Analisis Data SUSENAS 1999 2005 1 Handewi P.Saliem dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. No.397, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 43/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain variabel konsumsi rumahtangga yang membedakan pada tiap klasifikasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN. Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi

VII. SIMPULAN. Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi VII. SIMPULAN 7.1. Simpolan Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi terhadap ketahanan pangan nasional, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Model ekonometrika yang dibangun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) antara lain dalam memperjuangkan terbitnya

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan memp&aii kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan mempakan bagian dari hak asasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen

Lebih terperinci

menjadi peubah-peubah eksogen, yaitu persamaan harga irnpor dan persarnaan harga dunia. Adanya kecenderungan volume impor daging sapi yang terus

menjadi peubah-peubah eksogen, yaitu persamaan harga irnpor dan persarnaan harga dunia. Adanya kecenderungan volume impor daging sapi yang terus RINGKASAN NYAK ILHAM. Penawaran dan Perrnintaan Daging Sapi di lndonesia : Suatu Analisis Sirnulasi (dibawah birnbingan BONAR M. SINAGA, sebagsi ketua, KOOSWARDHONO MUDIKDJO dan TAHLIM SUDARYANTO sebagai

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Konsumsi beras di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Konsumsi beras di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Konsumsi beras di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya seiiring dengan meningkatnya jumlah

Lebih terperinci

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PENELITIAN Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Studi

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR Menimbang : a.

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya 5 TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya Dikemukakan oleh Maslow, pangan merupakan salah satu kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup (Sumarwan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI IKAN PADA KELUARGA NELAYAN DAN BUKAN NELAYAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZl BALITA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI IKAN PADA KELUARGA NELAYAN DAN BUKAN NELAYAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZl BALITA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI IKAN PADA KELUARGA NELAYAN DAN BUKAN NELAYAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZl BALITA (Kasus di Desa Pasar Krui dan Desa Ulu Krui, Kecamatan Pesisir Tengah Krui,

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI IKAN PADA KELUARGA NELAYAN DAN BUKAN NELAYAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZl BALITA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI IKAN PADA KELUARGA NELAYAN DAN BUKAN NELAYAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZl BALITA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI IKAN PADA KELUARGA NELAYAN DAN BUKAN NELAYAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZl BALITA (Kasus di Desa Pasar Krui dan Desa Ulu Krui, Kecamatan Pesisir Tengah Krui,

Lebih terperinci

BAB l PENDAHULUAN. bidang perkebunan dan perindustrian teh dan karet dengan produksi yang

BAB l PENDAHULUAN. bidang perkebunan dan perindustrian teh dan karet dengan produksi yang BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT. Gunung Lingkung merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan dan perindustrian teh dan karet dengan produksi yang paling dominan saat ini adalah teh.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Pola Konsumsi Non Beras Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga di DIY menurut wilayah tempat

BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga di DIY menurut wilayah tempat BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan 1. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga di DIY menurut wilayah tempat tinggal, tingkat kemiskinan dan distribusi raskin yang terbanyak adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

Oleh : DlNA RATNA SARI A

Oleh : DlNA RATNA SARI A STRATEGI KELUARGA DALAM MENANGGULANGI NAIKNYA HARGA PANGAN UNTUK KONSUMSI BALITA (Kasus di Desa Pangkalan Jati, Kecamatan Limo, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) Oleh : DlNA RATNA SARI A 30.0370 JURUSAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalarn rangka pernbangunan bidang ekonomi, sektor pertanian sangat

I. PENDAHULUAN. Dalarn rangka pernbangunan bidang ekonomi, sektor pertanian sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalarn rangka pernbangunan bidang ekonomi, sektor pertanian sangat diandalkan sebagai salah satu tumpuan dalam memulihkan kondisi perekonomian rnasyarakat, bahkan secara

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA Data pola konsumsi rumah tangga miskin didapatkan dari data pengeluaran Susenas Panel Modul Konsumsi yang terdiri atas dua kelompok, yaitu data pengeluaran

Lebih terperinci

Kesimpulan. Beberapa kesimpulan yang menjadi perhatian dari penelitian ini disusun

Kesimpulan. Beberapa kesimpulan yang menjadi perhatian dari penelitian ini disusun KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang menjadi perhatian dari penelitian ini disusun dalarn rangkaian berikut ini: (1) Karakteristik Personal: Sernua peternak, baik peternak ayarn buras

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola pembangunan ekonomi sentralistik yang telah berlangsung selama lebih dari 32 tahun telah rnernberikan darnpak yang luas bagi pernbangunan ekonomi nasional, khususnya

Lebih terperinci

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN ahanan pangan nasional harus dipahami dari tiga aspek, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses, serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

PELUANG DAN TANTANGAN lndustrl BERBASlS HASIL SAMPING PENGOLAXAN PAD!

PELUANG DAN TANTANGAN lndustrl BERBASlS HASIL SAMPING PENGOLAXAN PAD! PELUANG DAN TANTANGAN lndustrl BERBASlS HASIL SAMPING PENGOLAXAN PAD! Sam Pierodian Ketua Urnurn Perhimpunan Teknik Perianian Indonesia Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian - IPB. PENDAWULUAN Padi

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakanq. Setiap keluarga berusaha mernenuhi kebutuhan dengan menggunakan

PENDAHULUAN. Latar Belakanq. Setiap keluarga berusaha mernenuhi kebutuhan dengan menggunakan PENDAHULUAN Latar Belakanq Setiap keluarga berusaha mernenuhi kebutuhan dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia. Karena kebutuhan semakin beragarn dan saling rnendesak untuk didahulukan, rnaka individu

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

Oleh AGUS RIYANTO JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS BERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR A

Oleh AGUS RIYANTO JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS BERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR A ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADA USAHATANI BAWANG MERAH (Studi Kasus di Desa Keboledan, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Dati II Brebes, Propinsi Dati I Jawa Tengah) Oleh

Lebih terperinci

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Menurut Balitbang (2008), Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah

I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah pendekatan orientasi pembangunan yang tadinya dari atas ke bawah (top-down) menjadi pembangunan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN INDIKATOR KINERJA (IKU) INSTANSI VISI MISI TUJUAN TUGAS : BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TIMUR : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

ditunjukkan oleh kenaikan RGDP, disebabkan karena biaya produksi yang relatif lebih murah mampu mendorong kenaikan produksi barang-barang

ditunjukkan oleh kenaikan RGDP, disebabkan karena biaya produksi yang relatif lebih murah mampu mendorong kenaikan produksi barang-barang VII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl 7.1. Keslmpulan 1. Penurunan tarif impor meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh kenaikan RGDP, disebabkan karena biaya produksi yang relatif lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang dapat dicerminkan dari tersedianya pangan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

PDB 59,4 % dan terhadap penyerapan tenaga

PDB 59,4 % dan terhadap penyerapan tenaga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonorni dan rnoneter telah mernberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perturnbuhan perekonornian Indonesia yang ditunjukkan dengan rnenurunnya Produk Dornestik

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

memegang peranan penting dalam menunjang keberhasilan agribisnis di yang baik dan benar akan mampu mengeliminasi

memegang peranan penting dalam menunjang keberhasilan agribisnis di yang baik dan benar akan mampu mengeliminasi A. Latar Belakang Benih merupakan salah satu faktor produksi pertanian yang memegang peranan penting dalam menunjang keberhasilan agribisnis di tingkat lahan (on-fam) maupun di luar lahan (off-farm). Penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka mempertinggi taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai dan terjangkau oleh seluruh

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Jumlah penduduk lndonesia yang besar dengan laju tingkat

PENDAHULUAN. Jumlah penduduk lndonesia yang besar dengan laju tingkat L PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk lndonesia yang besar dengan laju tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi merupakan pasar yang potensial bagi pemasaran berbagai jenis produk

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA

IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 31 IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 4.1. Pengeluaran dan Konsumsi Rumahtangga Kemiskinan tidak terlepas dari masalah tingkat pendapatan yang masih rendah dan hal ini umumnya terjadi di wilayah pedesaan Distribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri daging olahan merupakan salah satu industri yang bergerak dalam bidang

I. PENDAHULUAN. Industri daging olahan merupakan salah satu industri yang bergerak dalam bidang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri daging olahan merupakan salah satu industri yang bergerak dalam bidang peternakan. Pada tahun 2009, industri pengolahan daging di dalam negeri mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein. hewani belum terpenuhi, dan status gizi masyarakat yang masih

Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein. hewani belum terpenuhi, dan status gizi masyarakat yang masih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Biro Pusat Statistik (1997) dan Biro Analisis dan Pengembangan Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein hewani belum terpenuhi, dan status

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan ketahanan pangan Nasional pada hakekatnya mempunyai arti strategis bagi pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata,

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia

Lebih terperinci

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN BAHASAN 1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN NUHFIL HANANI AR UNIVERSITAS BAWIJAYA Disampaikan

Lebih terperinci