BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING"

Transkripsi

1 BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING Perlakuan paripurna adalah perlakuan yang dilaksanakan di dalam tanur pengering pada akhir proses pengeringan. Perlakuan ini dilaksanakan dengan pengaturan yang baru terhadap suhu dan kelembaban. Perlakuan paripuma mencakup perlakuan penyeragaman kadar air, dan kondisioning (pembebasan sortimen kayu dari tegangan pengeringan). Perlakuan paripurna dilakukan apabila muatan kayu memperlihatkan beberapa fenomena ketidak-normalan setelah mengalami proses pengeringan. Abnormalitas itu dapat berupa keragaman kadar air akhir yang tinggi, besarnya tegangan pengeringan yang dialami oleh kayu atau bahkan kayu telah menderica case hardening (carat pengerasan pada kayu bagian luar). Untuk membeuktikan bahwa muatan kayu mangalami abnormalitas, maka beberapa pengujian perlu dilakukan Berbagai Jenis Pengujian dan Pengujian Kadar Air Akhir Proses pengeringan yang mengikuti skedul suhu dan kelembaban telah dilakukan sesuai dengan pengubahan suhu dan kelembaban serta sirkulasi udara secara bertahap di dalam tanur pengering. Pada bagian akhir dari proses pengeringan itu didapatkan kayu kering, dengan tingkat kekeringan yang sesuai dengan kadar air yang diharapkan atau direncanakan. Pada bagian akhir proses pengeringan tersebut, perlu dilakukan pengujian terhadap beberapa contoh uji pengeringan untuk mengetahui tiga hal, yaitu (1) kadar air akhir, (2) distribusi kadar air di dalam papan dan (3) adanya tegangan pengeringan. Di samping terhadap contoh uji, pengujian untuk tujuan yang sama juga dapat dilakukan terhadap papan-papan kayu yang dikeringkan. Suctah tentu papan tersebut perlu dicuplik secara random dari muatan kayu yang dikeringkan. Berbagai jenis pengujian akhir ini dapat dilakukan dengan prosedur berikut. (1) memotong contoh uji pengeringan atau papan kayu yang dikeringkan itu dalam arah memanjang, sehingga dihasilkan tiga buah contoh uji masing-masing sepanjang 1 inchi (2,54 cm). Pemotongan tidak dimulai dari ujung contoh uji atau ujung papan itu, tetapi beberapa (3 sampai 4) inci dari ujung contoh uji atau papan tersebut. (2) memisahkan masing-masing hasil pemotongan itu sesuai dengan kegunaannya, yaitu satu sebagai bahan untuk pengujian kadar air akhir, satu lagi untuk bahan pengujian distribusi kadar air di dalam papan, satu potongan yang ketiga digunakan untuk pengujian adanya cacat pengerasan pada bagian terluar kayu (case hardening). Universitas Gadjah Mada 1

2 Pola pemotongan sortimen kayu untuk mendapatkan contoh-contoh uji bagi pengujian kadar air akhir, distribusi kadar air di dalam papan dan tegangan pengeringan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 24. Pola pemotongan contoh uji pada sortimen kayu Pengujian terhadap kadar air akhir proses pengeringan dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Mengambil salah satu contoh uji yang diperuntukkan bagi kepentingan penentuan kadar air akhir tersebut, kemudian menimbangnya. 2. Mengeringkan contoh uji tersebut di dalam oven dan menimbangnya. Pengeringan dan penimbangan ini dilakukan secara berulang-ulang, sehingga contoh uji mencapai kondisi kering mutlak. 3. menghitung kadar air akhir dengan menggunakan rumus: Ka = ( (wb wo)) x 100% dengan keterangan bahwa wb adalah berat contoh uji yang baru saja dipotong dari satu sortimen kayu dan wo adalah berat contoh uji itu dalam kondisi kering mutlak Penyeragaman Kadar Air Penyeragaman kadar air merupakan suatu aktivitas pengaturan baru terhadap suhu dan kelembaban yang diberlakukan di dalam tanur pengering. Pengaturan ulang ini dilakukan pada saat perjalanan proses pengeringan mencapai tahap akhir. Penyeragaman kadar air ini bertujuan untuk mengusahakan keseragaman kadar air dalam setiap sortimen kayu yang dikeringkan. Perlakuan penyeragaman kadar air perlu dilakukan apabila kadar air yang dimiliki oleh setiap sortimen kayu mengalami variabilitas (keragaman) yang relatif mencolok pada akhir proses pengeringan. Sebaliknya perlakuan penyeragaman ini tidak perlu dilakukan apabila kadar air antar sortimen kayu tidak mengalami perbedaan yang mencolok. Dengan kata lain, bila kadar air relatif seragam pada setiap sortimen kayu yang berada pada akhir proses pengeringan, maka perlakuan penyeragaman kadar air tidak diperlukan. Universitas Gadjah Mada 2

3 Keragaman kadar air akhir di antara sortimen kayu yang dikeringkan memiliki kemungkinan yang besar untuk terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masing-masing sortimen kayu memiliki karakter pengeringan yang berbeda-beda antara yang satu terhadap yang lain. Perabedaan karakter tersebut disebabkan karena adanya perbedaan dalam sifat anatomi, sifat fisik, dan sifat kimia, pola penggolongan komposisi kayu teras dan kayu gubal penyusun sortimen, ketebalan dan kadar air awal. Perbedaan karakter pengeringan ini akan berakibat pada perbedaan kadar air akhir, meskipun dikeringkan dalam skedul suhu dan kelembaban yang sama. Kedua, masing-masing sortimen kayu menempati posisi yang berbeda-beda dalam tumpukan dan masing-masing tumpukan sebagai penyusun muatan kayu yang dikeringkan juga menempati posisi yang berbeda-beda di dalam ruangan tanur pengering. Sementara itu, kondisi udara juga berbedabeda di setiap bagian ruangan tanur pengering, meskipun udara tersebut telah diatur oleh satu skedul suhu dan kelembaban yang sama. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan variabilitas kadar air akhir pada masing-masing sortimen kayu. Dalam suatu proses pengeringan, terdapat banyak sortimen kayu yang dikeringkan secara bersama-sama. Ada sortimen yang menempati bagian bawah, ada sortimen yang menempati bagian tengah, serta ada pula sortimen yang menempati bagian atas pada satu tumpukan. Di camping itu, ada sortimen yang menempati bagian tepi tumpukan dan ada yang berada pada bagian tengah tumpukan. Pada tanur pengering yang berkapasitas kecil, ruangan tanur hanya mampu menampung satu tumpukan kayu sebagai muatan, sehingga proses pengeringan hanya berlangsung terhadap satu tumpukan saja. Sebaliknya, pada tanur pengering yang berkapasitas besar, ruangan tanur akan mampu menampung lebih banyak tumpukan kayu, sehingga masing-masing tumpukan akan menempati posisi yang berbeda-beda di dalam tanur pengering. Pada posisi yang berbeda-beda tersebut, kondisi suhu dan kelembaban, serta kecepatan sirkulasi udara juga akan berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena setiap posisi tersebut memiliki jarak yang berbeda-beda terhadap sumber pangs dan sumber kelembaban. Dengan demikian, perbedaan posisi sortimen kayu di dalam tumpukan dan atau posisi tumpukan di dalam tanur pengering dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan kadar air akhir. Sebagai ilustrasi tentang adanya variabilitas yang besar atas kadar air akhir ini maka dapat diamati dalam data tentang kadar air pada masing-masing contoh uji berikut. Diasumsikan bahwa pengeringan kayu direncanakan untuk mencapai kadar air akhir sebesar 10 %. Ketika dilakukan pengukuran kadar air terhadap masing-masing contoh uji, diperoleh kadar air akhir secara berurutan sebesar 12,34 %, 16,02 %, 13,24 %, 11,45 %, 10,21 %, dan 8,76 %. Urutan kadar air tersebut berlaku bagi masing-masing contoh uji Universitas Gadjah Mada 3

4 nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Dengan demikian, maka terlihat bahwa variabilitas kadar air begitu mencolok, yakni terendah 8,76 % dan tertinggi 16,02 %. Apabila kondisi keragaman kadar air akhir sedemikian mencolok, maka dipandang perlu untuk melaksanakan perlakuan penyeragaman kadar air akhir. Menurut Rasmussen (1961), perlakuan penyeragaman kadar air mulai diteerapkan ketika kadar air pada contoh uji yang paling kering mencapai 2 % di bawah kadar air akhir yang dikehendaki. Sebagai contoh, bila pengeringan kayu menargetkan kadar air akhir sebesar 10 %, maka kadar air contoh uji terkering adalanh sebesar 8 %. Bila perlakuan penyeragaman kadar air tidak dilakukan, maka variasi kadar air akhir pada sortimen kayu seringkali menyebabkan munculnya hambatan atau bahkan kesulitan yang serius pada sortimen kayu tersebut. Hambatan itu baru muncul tatkala sortimen itu diolah, baik dalam proses pengolahan kayu atau permesinan kayu, maupun dalam pemanfaatan kayu. Di samping itu, variabilitas ini jugs akan menyebabkan kesulitan ketika melakukan perlakuan untuk melepaskan tegangan pengeringan, yang disebut kondisioning. Bahkan usaha untuk melepaskan tegangan pengeringan ini tidak dapat dilakukan sama sekali bila variabilitas kadar air akhir terlalu besar. Perlakuan penyeragaman kadar air akhir dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Menentukan titik waktu dimulainya perlakuan penyeragaman, yakni ketika kadar air contoh uji terkering mencapai 2 % lebih rendah dibandingkan dengan kadar air akhir yang menjadi target proses pengeringan. 2. Menentukan kadar air seimbang (KAS) penyeragaman didalam tanur pengering, kadar air seimbang tersebut adalah kadar air seimbang yang nilainya sama dengan kadar air contoh uji terkering. Pada ilustrasi diatas, KAS sama dengan 8 %, karena contoh uji terkering berkadar air 8 %. 3. Mengatur kondisi suhu dan kelembaban di dalam tanur pengering sesuai dengan kondisi suhu dan kelembaban bagi penyeragaman kadar air ini. Suhu ditetapkan setinggi suhu tertinggi yang dimungkinkan (diinginkan) dalam skedul suhu dan kelembaban yang sedang dioperasikan. Sementara itu, nilai kelembaban diatur atau ditentukan berdasarkan kadar air contoh uji terkering, yakni 8 %. Penentuan kelembaban dilakukan dengan bantuan tabel hubungan antara depresi suhu bola basah dan temperatur suhu bola kering. 4. Mempertahankan kondisi suhu dan kelembaban bagi penyeragaman ini secara terus-menerus sampai contoh uji terbasah mencapai kadar air akhir rata-rata yang dikehendaki. Dalam ilustrasi diatas, kadar air contoh uji terbasah sebesar 16,02 % itu diusahakan untuk mencapai 10 %. Universitas Gadjah Mada 4

5 10.3. Pengujian Distribusi Kadar Air dalam Arah Tebal Papan Potongan yang kedua digunakan untuk menguji distribusi kelembaban (kadar air) dalam masing-masing lapisan atau bagian papan, yakni dari lapisan terluar papan (bagian luar papan) dan lapisan terdalam papan (bagian inti papan). Untuk mengetahui distribusi kadar air itu, maka dilakukan beberapa langkah aktifitas yang mengikuti prosedur berikut. Pertama berupa pemotongan papan untuk memisahkan kayu yang pada bagian terluar papan tersebut (lihat Gambar 25). Bagian terluar papan yang dipisahkan tersebut berketebalan 0,25 inci. Setelah aktifitas pemotongan pada bagian luar tersebut, akan menyisakan kayu yang berada pada bagian dalam. Masing-masing bagian ini secara berturutan sering disebut sebagai bagian kulit dan bagian inti. Kedua, menimbang secara terpisah bagian inti dan bagian kulit. Ketiga mengeringkan di dalam tanur kering masingmasing bagian kayu tersebut sehingga berkondisi kering mutlak dan menimbangnya. Keempat menghitung kadar air bagian kayu inti maupun bagian kayu luar dengan menggunakan rumus di atas. Kelima, membuat grafik yang menggambarkan disitribusi kadar air di dalam papan kayu. Gambar 25. Pola pemotongan untuk menentukan distribusi kadar air. Sumber Rasmussen (1961). Dengan mengikuti prosedur tersebut, maka kadar air masing-masing bagian itu dapat ditampilkan dalam sebuah grafik dengan kemungkinan penampilan sebagai berikut: Gambar 26. Grafik distribusi kadar air di dalam kayu Universitas Gadjah Mada 5

6 Dari grafik itu, terlihat bahwa grafik distribusi kadar air pada setiap lapisan kayu yang dibuat dalam arch tebal papan akan tampak sebagai bentuk parabola. Semakin kecil perbedaan antara kadar air pada kayu bagian luar dan kadar air bagian kayu yang lebih dalam, berarti distribusi kadar air semakin merata. Bila distribusi kadar air ini semakin merata, maka proses pengeringan terhadap kayu tersebut semakin berkualitas. Dengan kata lain, skedul suhu dan kelembaban yang diterapkan dalam mengeringkan kayu semakin sesuai dengan karakter kayu yang dikeringkan. Sementara itu, contoh uji (potongan) ketiga digunakan sebagai bahan pengujian terhadap tegangan pengeringan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui dua hal. Pertama untuk mengetahui ada tidaknya cacat pengerasan kayu bagian luar sebelum perlakuan kondisioning diterapkan. Kedua, untuk mengetahui tingkat kemanjuran perlakuan kondisioning dalam membebaskan cacat pengerasan tersebut. Sebagimana diketahui, bahwa perlakuan kondisioning perlu dilakukan terhadap muatan kayu yang menderita cacat pengerasan-kayu-bagian-luar. Perlakuan tersebut diterapkan dengan tujuan untuk menetralkan atau menyembuhkan kayu tersebut dari cacat pengerasan yang telah menimpanya. Oleh karena itu, pada tahap akhir penerapan perlakuan kondisioning, maka pengujian terhadap adanya tegangan pengeringan ini perlu dilakukan. Dalam konteks inilah, pengujian teganan pengeringan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemanjuran perlakuan kondisioning tersebut bagi pembebasan cacat pengerasan tersebut. Prosedur untuk melaksanakan pengujian dalam rangka memastikan keberadaan cacat pengerasan kayu pada bagian luar, akan disajikan setelah sub-bab yang membahas tentang mekanisme terjadinya cacat pengerasan kayu bagian permukaan. Dengan demikian, prosedur pengujian tersebut akan dibahas pada sub-bab ke-4 di bawah ini Mekanisme Pengerasan Kayu Bagian Permukaan (case hardening). Proses terjadinya case hardening dapat dijelaskan dengan mengadakan pemintakatan (zonasi) antar bagian-bagian kayu pada penampang melintang sortimen gergajian. Dengan demikian, diasumsikan adanya zonasi bagian yang berlapis-lapis dari bagian permukaan sampai dengan bagian dalam atau inti sortimen kayu. Untuk mempermudah memahami konsep tersebut, berikut disajikan gambar zonasi lapisan lapisan kayu dari permukaan kayu sampai dengan ke pusat kayu. Universitas Gadjah Mada 6

7 Gambar 27. Zonasi lapisan-lapisan pada penampang melintang kayu. Dengan mendasarkan diri pada prinsip bahwa kayu mengering dari lapisan terluar, maka pada tahap awal proses pengeringan, kayu pada lapisan terluar akan mengering terlebih dahulu. Sementara itu, lapisan bagian dalam akan mengering pada tahap berikutnya setelah lapisan terluar menjadi lebih kering. Dengan demikian pada suatu saat tertentu dalam proses pengeringan, terdapat dua kondisi kadar air yang berbeda antara lapisan terluar dan lapisan yang lebih dalam. Pada kondisi tertentu tersebut, lapisan kayu terluar telah mengering sedemikian rupa sehingga kadar aimya mencapai di bawah jenuh serat. Sementara itu, bagian yang lebih dalam kayu belum mengering sampai pada titik jenuh serat, sehingga pada bagian tersebut, lapisan kayu masih berkadar air di atas titik jenuh serat. Kondisi tersebut akan membawa konsekuensi tertentu, yaitu bahwa lapisan terluar tersebut telah mengalami penyusutan, sedangkan lapisan di dalamnya belum mengalami penyusutan sedikit pun. Hal itu menyebabkan bahwa ekspresi penyusutan yang terjadi pada lapisan terluar itu akan ditahan oleh lapisan yang lebih dalam. Artinya, penyusutan pada lapisan terluar tidak dapat diekspresikan secara sempurna. Oleh karena itu, maka besarnya penyusutan pada lapisan terluar yang dapat diwujudkan akan berkurang atau menjadi lebih kecil, bila dibandingkan dengan penyusutan yang terjadi seandainya lapisan terluar itu dipisahkan dari lapisan yang lebih dalam. Dengan kata lain, usaha untuk mewujudkan penyusutan pada lapisan luar itu tertahan oleh lapisan yang lebih dalam. Keadaan ini dapat dikatakan bahwa lapisan terluar berada di bawah kondisi ditarik atau mengalami gaya tank atau mengalami tension. Dengan demikian, lapisan terluar mengalami tegangan tank (regangan). Bila dalam kondisi mengalami tegangan tank demikian dan kemudian kayu bagian terluar ini mengalami pengerasan (setting atau hardening), maka lapisan terluar berada pada kondisi tertank yang telah membaku (setting) dan berlangsung secara nyata. Mengingat lapisan terluar ini berbentuk seperti wadah (case) yang melingkar pada setiap bagian luar papan, maka pengerasan lapisan terluar yang berada dalam kondisi tegangan tank ini disebut sebagai pengerasan kayu bagian permukaan (case hardening). Bila perhatian dialihkan fokusnya, yakni pada bagian atau lapisan yang lebih dalam papan tersebut, maka bagian yang lebih dalam ini belum mengering pada kadar air di bawah titik jenuh serat. Kondisi ini sudah tentu berarti bahwa dirinya belum mengalami penyusutan. Meskipun demikian lapisan yang lebih dalam yang belum menyusut ini, dipaksa untuk ikut menyusut. Pemaksaan untuk ikut menyusut ini dilakukan oleh lapisan yang lebih luar yang telah mengering di bawah kondisi tjs. Dengan demikian, lapisan kayu lebih dalam ini mengalami tekanan atau kompresi. Bila berada dalam kondisi kompresi ini kayu pada bagian Universitas Gadjah Mada 7

8 lebih dalam itu mengalami pengerasan (setting) yang permanen (hardening), maka lapisan lebih dalam berada dalam kondisi kompresi. Dalam perjalanan proses pengeringan selanjutnya, maka lapisan kayu lebih dalam tersebut berubah statusnya dari kondisi kadar air di atas titik jenuh serat menjadi (memasuki) kondisi kadar air dibawah titik jenuh serat. Perubahan status kadar air ini akan diikuti dengan penyusutan. Mengingat kayu ini telah mengecil dimensinya ketika masih berstatus di atas titik jenuh serat yang diakibatkan oleh daya kompresi yang dipaksakan oleh lapisan kayu terluar, maka penyusutan yang diakibatkan oleh perubahan status kadar air pada dirinya tersebut akan mengakibatkan dimensi lapisan-kayu-lebih-dalam ini lebih kecil dibandingkan dengan dimensi yang dimiliki oleh lapisan-kayu-terluar. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pada diri lapisan kayu-lebih-dalam ini dari kondisi mengalami kompresi menjadi kondisi yang mengalami tensi. Situasi berlawanan terjadi pada lapisan-terluar-kayu. Lapisan terluar kayu akan berubah kondisinya dari kondisi yang mengalami tensi berubah menjadi kondisi yang mengalami kompresi. Hal ini disebabkan karena lapisan-terluar-kayu menerima daya penyusutan secara paksaan yang berasal dari lapisan kayu-lebih-dalam, yakni ketika lapisan kayu-lebih-dalam ini berubah status kadar air dari diatas TJS menjadi di bawah TJS. Dari penjelasan di atas, dipahami bahwa perubahan yang dialami oleh lapisanterluar-kayu dari kondisi tensi menjadi kondisi kompresi dan perubahan yang dialami oleh lapisan-kayu-lebih-dalam dari kondisi kompresi menjadi kondisi tensi akan berlangsung seirama dengan perjalanan proses pengeringan. Apabila hubungan antara kedua perubahan itu dan perjalanan proses pengeringan ini diilustrasikan dengan grafts, maka dinamikanya dapat diamati dalam gambar berikut. Gambar 28. Dinamika perubahan lapisan kayu terhadap proses pengeringan Pengujian terhadap Adanya Cacat Pengerasan Kayu Bagian Permukaan. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa potongan ketiga digunakan sebagai bahan pengujian tegangan pengeringan, untuk mengetahui tingkat kemanjuran perlakuan kondisioning dalam rangka untuk membebaskan cacat pengerasan kayu bagian luar tersebut. Prosedur pengujian case hardening dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Potongan ini digergaji sedemikian rupa sehingga bentuknya menyerupai garpu (prong). Jika muatan mempunyai ketebalan kurang dari 6/4 inchi, maka pada arah Universitas Gadjah Mada 8

9 tebal sortimen itu digergaji untuk membentuk 3 buah ujung garpu, kemudian pusat garpu (bagian tengah garpu) dipenggal atau dihilangkan. Jika muatan mempunyai ketebalan 6/4 inchi atau lebih, maka dalam arah tebal itu digergaji untuk membentuk 6 buah ujung garpu, kemudian ujung garpu yang berdekatan dengan ujung garpu yang paling luar dihilangkan. Dengan demikian, ujung garpu kedua dan garpu kelimalah yang dipenggal atau dihilangkan. (lihat gambar di bawah ini ). 2. Melakukan evaluasi awal terhadap adanya cacat pengerasan kayu tersebut. Evaluasi ini dilakukan bersamaan dengan proses menggergaji potongan ketiga tersebut untuk dibentuk garpu. Bila ujung garpu yang paling luar dari contoh uji ini bergerak menjauhi bilah gergaji pada jarak yang sama dengan (atau bahkan lebih dari) ketebalan garpu, maka muatan biasanya bebas dari cacat pengerasan kayu bagian luar. Dengan demikian, tindakan untuk mematikan tanur pengering dapat dilakukan dan muatan dapat didinginkan dan kemudian dikeluarkan dari ruang pengeringan. Sebaliknya, apabila ujung garpu terluar masih lurus saja atau bahkan menjepit bilah gergaji, maka dapat dipastikan bahwa muatan mengalami cacat pengerasan tersebut. Dengan demikian, perlakuan kondisioning dapat dilanjutkan sampai terjadinya pelepasan yang cukup memuaskan atas tegangan yang ada pada muatan, dan hal itu ditandai bahwa pengujian garpu berikutnya memperlihatkan bahwa muatan sudah terbebas dari cacat ini. 3. Setelah melakuan evaluasi-evaluasi awal, operator perlu meletakkan irisan pengujian garpu itu di dalam ruangan selama 24 jam. Tabiat garpu itu perlu diamati lebih lanjut dengan tiga kemungkinan berikut: a. ujung garpu terluar telah bergerak secara nyata ke arah dalam; hal ini mengindikasikan bahwa muatan masih menderita cacat pengerasan, sehingga durasi kondisioning perlu diperpanjang bagi muatan dengan material yang sama yang akan dikeringkan periode berikutnya. b. Ujung garpu terluar berada dalm kondisi lurus, hal ini mengindikasikan bahwa kayu gergajian terbebas sepenuhnya dari cakuras, sehingga durasi kondisioning yang sama perlu diterpkan bagi muatan dengan material yang sama yang akan dikeringkan periode berikutnya. c. Ujung garpu terluar telah bergerak secara nyata ke arah luar; hal ini mengindikasikan bahwa muatan menderita cakuras terbalik, sehingga durasi kondisioning perlu diperpendek bagi muatan dengan material yang sama yang akan dikeringkan periode berikutnya. Universitas Gadjah Mada 9

10 Gambar 29. Pengujian adanya cacat pengerasan kayu bagian luar Sumber Rasmussen (1961) Kerugian yang Menyertai Cacat Pengerasan Kayu Bagian Permukaan. Kerugian yang disebabkan oleh adanya cakuras sekurang-kurangnya ada tiga macam. Pertama, sambungan yang dibentuk oleh alur dan lidah akan melonggar. Kedua, papan akan melengkung ke arah bagian sisi yang lebih banyak dikenai proses pemasahan (penyerutan). Ketiga, pemotongan papan dalam arah panjang yang dilakukan pada bagian (tempat) yang lebih kering akan mengakibatkan terjadinya retak-dalam pada bagian (tempat) tersebut. Mengingat kerugian tersebut di atas, maka case hardening yang telah terjadi harus dipulihkan (disembuhkan atau dibebaskan). Pemulihan itu dilakukan dengan cara pengukusan (yaitu mengatur kelembaban relatif dalam tanur pengering pada posisi atau nilai yang lebih tinggi) yang dilakukan pada suhu yang tinggi pula. Kelembaban dan suhu yang tinggi pada udara yang dijadikan media pengeringan itu akan mengakibatkan kayu yang sedang dikeringkan menjadi plastis kembali. Plastisnya kembali jaringan kayu akan mengakibatkan terbebasnya kembali bagian kayu yang mengeras, baik berupa regangan (tension) pada bagian luar maupun tekanan (compression) yang dialami oleh bagian yang lebih dalam, dari papan kayu yang sedang dikeringkan. Proses pemulihan cakuras ini disebut sebagai perlakuan kondisioning (pengkondisian). Universitas Gadjah Mada 10

11 10.7. Perlakuan Kondisioning Perlakuan kondisioning dapat dilakukan dengan diawali oleh perlakuan penyeragaman kadar air (equalizing), tetapi dapat pula dilakukan tanpa diawali oleh perlakuan penyeragaman kadar air tersebut. Perlakuan penyeragaman ini tidak dilakukan bila kadar air tertinggi pada contoh uji sama dengan kadar air yang diminta. Perlakuan kondisioning dimulai pada saat kadar air contoh uji yang paling basah sama dengan kadar air akhir yang dicanangkan dalam proses pengeringan. Apabila kadar air rata-rata sampel yang terbasah belum mencapai kadar air rata-rata akhir yang dikehendaki, maka perlakuan kondisioning belum boleh untuk dimulai. Prosedur untuk melaksanakan perlakuan kondisioning terhadap sebuah muatan tanur pengering adalah sebagai berikut : a. Tingginya temperatur yang diterapkan dalam tahap kondisioning ini adalah sama dengan tingginya suhu yang tercantum pada bagian akhir dari skedul suhu dan kelembaban yang dioperasikan. Dengan kata lain, temperatur tertinggi pada kadar air seimbang dalam tahap kondisioning ini masih memungkinkan untuk dikontrol atau dikendalikan. Untuk kayu jarum (soft wood), temperatur suhu bola basah diatur sedemikian rupa sehingga k.a.s pada saat kondisioning akan 3% diatas nilai rata-rata kadar air akhir yang dikehendaki. Sementara itu, untuk kayu-daun (hard wood), temperatur suhu bola basah diatur sedemikian rupa sehingga k.a.s pada saat kondisioning ini akan 4% di atas nilai ratarata kadar air akhir yang dikehendaki (diminta). Depresi suhu bola basah yang akan mengarah pada k.a.s kondisioning yang diinginkan diperoleh dari tabel yang menyajikan hubungan antara TSBK, DSBB, kadar air dan k.a.s. Jika nilai depresi suhu bola basah tidak memperlihatkan k.a.s yang dikehendaki, meskipun tingginya temperatur yang diinginkan pada perlakuan kondisioning tersebut telah diikuti, maka dipilih nilai depresi suhu bola basah yang terdekat dengan k.a.s yang lebih tinggi yang diberikan oleh temperatur tersebut. Sebagai contoh, diasumsikan bahwa kasus ini terjadi pada kayu-daun ( hard wood ). Kadar akhir yang dikehendaki 8% dan temperatur saat perlakuan kondisioning adalah 170 F. K.a.s pada perlakuan kondisioning tersebut adalah 12% ( lihat tabel 33 ) pada suhu 170 F dan depresi suhu bola basah 8% akan memberi k.a.s sebesar 12,4% ( lihat tabel 2 ). Jika muatan yang dikeringkan itui adalah kayu jarum, maka k.a.s saat kondisioning akan sebesar 11% dan depresi suhu bola basah adalah 10. Contoh yang kedua. Pada suatu pengeringan kayu-daun mempersyaratkan : (1) kadar air akhir yang dikehendaki adalah sebesar 12% (kadar air ini merupakan rata-rata dari bagian tepi kayu yang kadar airnya 9% dan bagian tengah kayu yang kadar airnya 15%). (2) suhu akhir pengeringan menurut skedul yang diterapkan adalah 180 F (82 C), maka pada saat perlakuan kondisioning itu kondisi udara perlu diatur agar k.a.s nya 12% + 4% = 16%. Universitas Gadjah Mada 11

12 Berdasarkan tabel 2, k.a.s 16% pada suhu 180 F ini akan menghasilkan kelembaban relatif 92 93%. b. Perlakuan kondisioning dilanjutkan selama durasi waktu tertentu sehingga pelepasan tegangan secara memuaskan dapat dicapai Durasi Perlakuan Kondisioning Durasi waktu yang sungguh sungguh diperlukan selama perlakuan proses kondisioning itu sangat bervariasi. Variasi tersebut ditentukan oleh banyak faktor, yaitu (1) spesies kayu yang dikeringkan, (2) ketebalan sortimen kayu gergajian, (3) derajat ketegangan yang terjadi pada kayu gergajian, (4) kadar akhir proses pengeringan, (5) tipe dan bentuk tanur pengering, juga (6) kinerja ( periformance ) tanur pengering. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, perlakuan kondisioning bagi kayu daun pada umumnya memerlukan durasi 16 sampai dengan 24 jam untuk muatan yang berdimensi 4/4 inchi (2,54 cm), dan 16 s.d 48 jam untuk muatan yang berdimensi 8/4 inchi Bagi kayu jarum, durasi perlakuan pengkondisian itu lebih pendek lagi, yaitu lebih kurang hanya 4 jam untuk sortimen denangan ukuran ketebalan 4/4 inchi Durasi terpendek bagi perlakuan kondisioning itu perlu dicari dan ditentukan. Pencarian dan penentuan durasi terpendek yang diperlukan untuk mencapai tingkat pembebasan tegangan dalam ketebalan kayu tertentu dan pada spesies tertentu pula. Penentuan itu dilakukan berdasarkan uji garpu. Uji garpu dilakukan pada interval waktu tertentu, yaitu ketika ada keyakinan pada diri operator bahwa case hardening telah hampir dibebaskan Informasi yang telah dikumpulkan tentang hubungan antara durasi kondisioning dan hasil uji garpu ini dapat digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan lamanya proses kondisioning bagi muatan kayu berikutnya dari spesies dan sortimen yang sama Pencarian durasi waktu terpendek bagi kondisioning ini sangat dianjurkan. Hal itu dimaksudkan agar konsumsi uap dapat dikurangi atau dihemat, sehingga biaya pengeringan juga dapat ditekan. Disamping itu, durasi yang pendek ini juga sebagai usaha untuk menghindarkan adanya pengambilan kelembaban (desorbsi ) yang terlalu banyak, terutama pada kayu yang berat jenisnya rendah. Alasan yang ketiga, agar tidak terjadi kebalikan case haardening pada muatan. Cacat kebalikan case hardening juga merupakan cacat yang berakibat serius, seserius akibat case hardening. Bahkan apabila case hardening terbalik ini telah terjadi, tiada satu metode pun yang yang dapat dilakukan untuk pemulihan terhadap cacat ini dengan hasil yang cukup memuaskan. Alasan keempat yang merupakan alasan yang terpenting adalah bahwa proses kondisioning (yang sudah tentu mengoperasikan suhu (TSBK) dan kelembaban (k.a.s) yang tinggi ini ) akan mempercepat kemunduran kualitas (bangunan dan besi penyusun ) tanur pengering. Universitas Gadjah Mada 12

13 Berdasarkan atas keempat alasan itulah maka sangat disarankan untuk tidak memperpanjang (memperlama) proses kondisioning ini melebihi durasi waktu yang diperlukan. Dengan kata lain, sangat penting untuk menghindari suatu proses kondisioning yang lebih lama dari durasi yang tepat dan durasi yang sesungguhnya diperlukan bagi perlakuan pelepasan ketegangan itu. Daftar Pertanyaan 1. Mengapa perlakuan penyeragaman kadar air perlu dilakukan? 2. Bagaimana prosedur pelaksanaan perlakuan penyeragaman kadar air? 3. Bagiamana melakukan pengujian distribusi kadar air dalam arah tebal 4. Jelaskan mekanisme terjadinya pengerasan kayu bagian permukaan (case hardening). 5. Bagiamana cara melakukan pengujian terhadap cacat pengerasan permukaan kayu 6. Apa kerugian yang menyertai cacat pengerasan kayu bagian permukaan 7. Apakah yang dimaksud dengan perlakuan kondisioning 8. Mengapa durasi perlakuan kondisioning perlu diperhatikan? Universitas Gadjah Mada 13

BAB 3 HUBUNGAN ANTARA KAYU DAN AIR: PENYUSUTAN KAYU

BAB 3 HUBUNGAN ANTARA KAYU DAN AIR: PENYUSUTAN KAYU BAB 3 HUBUNGAN ANTARA KAYU DAN AIR: PENYUSUTAN KAYU 3.1.Keterkaitan Antara Kondisi Kebasahan/Kekeringan Kayu dan Kandungan Air serta Kadar Air Dan uraian pada kuliah kedua minggu yang lalu, dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB 7 SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN

BAB 7 SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN BAB 7 SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN 7.1. Arti dan Tujuan Skedul suhu dan kelembaban merupakan istilah baru sebagai penyempurnaan terhadap istilah skedul pengeringan. Mengapa demikian Istilah skedul pengeringan

Lebih terperinci

BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN

BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN 8.1. Fungsi Contoh Uji Bagan suhu dan kelembapan udara yang diterapkan di dalam tanur pengering berpengaruh terhadap tegangan pengeringan yang dialami oleh

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada 1

Universitas Gadjah Mada 1 I. Nama Mata Kuliah : Pengeringan Kayu II. Kode/SKS : KTT 350/ 2,1 III. Prasyarat : Anatomi dan Identifikasi Kayu KTT 210 Fisika Kayu KTT 220 Mekanika Kayu KTT 221 Kimia Kayu KTT 230 IV. Status Matakuliah

Lebih terperinci

BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU

BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU 2.1. Perspektif Hubungan Kayu dan Air Hubungan antara air dan kayu dapat dilihat dari dua perspektif atau dua sudut pandang. Sudut pandang pertama dilakukan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL

PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL Yustinus Suranto Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

BAB 9 CACAT KAYU AKIBAT PENGERINGAN DI DALAM TANUR

BAB 9 CACAT KAYU AKIBAT PENGERINGAN DI DALAM TANUR BAB 9 CACAT KAYU AKIBAT PENGERINGAN DI DALAM TANUR 9.1. Penampilan dan Kualitas Kayu Penampilan kayu menjadi indikasi bagi kualitas kayu, sehingga penampilan tersebut berpengaruh terhadap penggunaan kayu,

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN TEBAL KAYU TERHADAP KECEPATAN DAN CACAT PENGERINGAN KAYU TUSAM.

PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN TEBAL KAYU TERHADAP KECEPATAN DAN CACAT PENGERINGAN KAYU TUSAM. PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN TEBAL KAYU TERHADAP KECEPATAN DAN CACAT PENGERINGAN KAYU TUSAM. Yustinus Suranto, Riris Trideny Situmorang Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta.

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP KARAKTER PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN CASING

PENGARUH PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP KARAKTER PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN CASING PENGOLAHAN HASIL HUTAN PENGARUH PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP KARAKTER PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN CASING Yustinus Suranto 1 dan Taufik Haryanto 2 1 Dosen Jurusan

Lebih terperinci

V. POLA DAN TEHNIK PEMBELAHAN

V. POLA DAN TEHNIK PEMBELAHAN V. POLA DAN TEHNIK PEMBELAHAN Sebelum diuraikan mengenai pola dan tehnik pembelahan kayu bulat, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai urut-urutan proses menggergaji, dan kayu bulat sampai menjadi kayu

Lebih terperinci

BAGIAN III BAB 6 PENGERINGAN DI DALAM TANUR PENGERING

BAGIAN III BAB 6 PENGERINGAN DI DALAM TANUR PENGERING BAGIAN III BAB 6 PENGERINGAN DI DALAM TANUR PENGERING 6.1.Variabilitas Metode Pengeringan Secara Rekayasa atau Buatan Di samping ada pengeringan secara alami, ada pula beberapa metode yang dapat digunakan

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Iwan Risnasari : Kajian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix INTISARI... x BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kekuatan sambungan tarik double shear balok kayu pelat baja menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran tertentu ini dilakukan selama kurang lebih

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENELITIAN

PELAKSANAAN PENELITIAN BABill PELAKSANAAN PENELITIAN 3.1. Persiapan Bahan dan Alat Dalam pelaksanaan penelitian sangat diperlukan alat dan bahan yang akurat, agar supaya hasil dari penelitian ini nantinya akan benar-benar sesuai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel CLT, dan pengujian

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN Pilihan suatu bahan bangunan tergantung dari sifat-sifat teknis, ekonomis, dan dari keindahan. Perlu suatu bahan diketahui sifat-sifat sepenuhnya. Sifat Utama

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Kayu merupakan suatu bahan mentah yang didapatkan dari pengolahan pohon pohon yang terdapat di hutan. Kayu dapat menjadi bahan utama pembuatan mebel, bahkan dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung. 22 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sifat Anatomi Bambu 4.1.1 Bentuk Batang Bambu Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Selain itu, bambu juga memiliki buku (node) yang memisahkan antara 2 ruas (internode).

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dari bulan Pebruari hingga Juni 2009. Identifikasi herbarium dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, sementara pengamatan

Lebih terperinci

MATERI/MODUL MATA PRAKTIKUM

MATERI/MODUL MATA PRAKTIKUM PENGUJIAN KAYU 6.1. Umum Kayu merupakan salah satu elemen konstruksi yang mudah di dapat dan tersedia dalam jumlah yang relatif banyak. Kekuatan kayu untuk menahan gaya tarik, desak maupun geser yang cukup

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kayu merupakan bahan alami yang bersifat higroskopis. Hal ini berarti kayu mempunyai kemampuan untuk menarik atau mengeluarkan air dari udara atau dari dalam tergantung pada

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia

SNI Standar Nasional Indonesia SNI 03-6448-2000 SNI Standar Nasional Indonesia Metode pengujian kuat tarik panel kayu struktural ICS 79.060.01 Badan Standarisasi Nasional Daftar Isi Daftar Isi...i 1 Ruang Lingkup...1 2 Acuan...2 3 Kegunaan...2

Lebih terperinci

MORFOLOGI DAN POTENSI. Bagian-Bagian Kayu - Kulit kayu - Kambium - Kayu gubal - Kayu teras - Hati - Lingkaran tahun - Jari-jari

MORFOLOGI DAN POTENSI. Bagian-Bagian Kayu - Kulit kayu - Kambium - Kayu gubal - Kayu teras - Hati - Lingkaran tahun - Jari-jari Kayu Definisi Suatu bahan yang diperoleh dari hasil pemungutan pohon-pohon di hutan, yang merupakan bagian dari pohon tersebut setelah diperhitungkan bagian-bagian mana yang lebih banyak dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN KAYU. (Studi Kasus Pengeringan Kayu Nyatoh Bersortimen 5,3 cm x 20,2 cm x 500 cm) Yustinus Suranto Jurusan Teknologi

Lebih terperinci

Mutu dan Ukuran kayu bangunan

Mutu dan Ukuran kayu bangunan Mutu dan Ukuran kayu bangunan 1. Ruang lingkup Standar ini meliputi definisi, istilah, penggolongan, syarat mutu, ukuran, syarat pengemasan, dan syarat penendaan kayu bangunan. 2. Definisi Kayu bangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2011 Januari 2012 dan dilaksanakan di Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Bagian Kimia Hasil Hutan, Bagian Biokomposit

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN HUBUNGAN ANTARA KADAR AIR DAN KEPADATAN PADA CAMPURAN TANAH SEMEN

METODE PENGUJIAN HUBUNGAN ANTARA KADAR AIR DAN KEPADATAN PADA CAMPURAN TANAH SEMEN METODE PENGUJIAN HUBUNGAN ANTARA KADAR AIR DAN KEPADATAN PADA CAMPURAN TANAH SEMEN 1. Ruang Lingkup a. Metode ini meliputi pengujian untuk mendapatkan hubungan antara kadar air dan kepadatan pada campuran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Struktur kayu merupakan suatu struktur yang susunan elemennya adalah kayu. Dalam merancang struktur kolom kayu, hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan besarnya

Lebih terperinci

Kayu lapis untuk kapal dan perahu

Kayu lapis untuk kapal dan perahu Standar Nasional Indonesia Kayu lapis untuk kapal dan perahu ICS 79.060.10 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah, definisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga

BAB I PENDAHULUAN. pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan beton dan bahan-bahan vulkanik sebagai pembentuknya (seperti abu pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga sebelum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel, dan pengujian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu. Menurut Kementriaan Kehutanan (2014), data

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Juni hingga Agustus 2011 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

E(Pa) E(Pa) HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengujian Tarik Material Kayu. Spesimen uji tarik pada kayu dilakukan pada dua spesimen uji.

E(Pa) E(Pa) HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengujian Tarik Material Kayu. Spesimen uji tarik pada kayu dilakukan pada dua spesimen uji. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Pengujian Tarik Material Kayu Spesimen uji tarik pada kayu dilakukan pada dua spesimen uji. Dengan mengacu pada ASTM (American Standart for Testing Material) Wood D07 Tensile

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Kayu Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan

Lebih terperinci

BAB 4 DASAR TEORI PROSES PENGERINGAN KAYU

BAB 4 DASAR TEORI PROSES PENGERINGAN KAYU BAB 4 DASAR TEORI PROSES PENGERINGAN KAYU 4.1. Konsep Pengeringan Kayu Pengeringan kayu merupakan suatu system yang melibatkan banyak unsur (elemen). Unsur-unsur itu dipadukan secara bersama-sama agar

Lebih terperinci

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL Syahrizal & Johny Custer Teknik Perkapalan Politeknik Bengkalis Jl. Bathin Alam, Sei-Alam, Bengkalis-Riau djalls@polbeng.ac.id

Lebih terperinci

Kayu gergajian Bagian 1: Istilah dan definisi

Kayu gergajian Bagian 1: Istilah dan definisi Standar Nasional Indonesia Kayu gergajian Bagian 1: Istilah dan definisi ICS 79.040 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan akan banyak terjadi peristiwa yang bisa dialami oleh pohon yang

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan akan banyak terjadi peristiwa yang bisa dialami oleh pohon yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pertumbuhan tumbuhan berkayu/pohon tidak tertutup kemungkinan akan banyak terjadi peristiwa yang bisa dialami oleh pohon yang tumbuh secara normal. Salah satu

Lebih terperinci

III. DASAR PERENCANAAN

III. DASAR PERENCANAAN III. DASAR PERENCANAAN Persamaan kekuatan secara umum dapat dituliskan seperti pada Persamaan 3.1, dimana F u adalah gaya maksimum yang diakibatkan oleh serangkaian sistem pembebanan dan disebut pula sebagai

Lebih terperinci

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku BABII TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku laporan tugas akhir dan makalah seminar yang digunakan sebagai inspirasi untuk menyusun konsep penelitian

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Berat Jenis dan Kerapatan Kayu Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara 0.2-1.28 kg/cm 3. Berat jenis kayu merupakan suatu petunjuk dalam menentukan kekuatan

Lebih terperinci

BAB V PELAKSANAAN PEKERJAAN. Pekerjaan persiapan berupa Bahan bangunan merupakan elemen

BAB V PELAKSANAAN PEKERJAAN. Pekerjaan persiapan berupa Bahan bangunan merupakan elemen BAB V PELAKSANAAN PEKERJAAN 5.1 Pekerjaan Persiapan Pekerjaan persiapan berupa Bahan bangunan merupakan elemen terpenting dari suatu proyek pembangunan, karena kumpulan berbagai macam material itulah yang

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN UJI BASAH DAN KERING CAMPURAN TANAH SEMEN DIPADATKAN

METODE PENGUJIAN UJI BASAH DAN KERING CAMPURAN TANAH SEMEN DIPADATKAN METODE PENGUJIAN UJI BASAH DAN KERING CAMPURAN TANAH SEMEN DIPADATKAN SNI 13-6427-2000 1. Ruang Lingkup 1.1 Metode pengujian ini meliputi prosedur penentuan kehilangan campuran tanah semen, perubahan kadar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 %

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 % TINJAUAN PUSTAKA Limbah Penggergajian Eko (2007) menyatakan bahwa limbah utama dari industri kayu adalah potongan - potongan kecil dan serpihan kayu dari hasil penggergajian serta debu dan serbuk gergaji.

Lebih terperinci

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH Oleh/By Muhammad Faisal Mahdie Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

METODE PENGAMBILAN DAN PENGUJIAN BETON INTI

METODE PENGAMBILAN DAN PENGUJIAN BETON INTI METODE PENGAMBILAN DAN PENGUJIAN BETON INTI SNI 03-2492-2002 1 Ruang Lingkup 1) Metoda ini mencakup cara pengambilan beton inti, persiapan pengujian dan penentuan kuat tekannya; 2) Metode ini tidak memberikan

Lebih terperinci

KAYU GERGAJIAN RIMBA

KAYU GERGAJIAN RIMBA Page 1 of 12 Standar Nasional Indonesia SNI 01-5008.1-1999/ Revisi SNI 01-0191-1987 KAYU GERGAJIAN RIMBA 1. Ruang lingkup Standar ini meliputi acuan, definisi, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2008 sampai bulan Februari 2009. Tempat pembuatan dan pengujian glulam I-joist yaitu di Laboratorium Produk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel. BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PRODUK 4.1.1 Fenomena dan penyebab terjadinya case hardening Pada proses pengeringan yang dilakukan oleh penulis khususnya pada pengambilan data

Lebih terperinci

PENGGERGAJIAN KAYU. Oleh : Arif Nuryawan, S.Hut, M.Si NIP

PENGGERGAJIAN KAYU. Oleh : Arif Nuryawan, S.Hut, M.Si NIP KARYA TULIS PENGGERGAJIAN KAYU Oleh : Arif Nuryawan, S.Hut, M.Si NIP. 132 303 839 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN AGUSTUS 2008 Arif Nuryawan : Penggergajian Kayu,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis dari panel CLT yang diuji yaitu, kerapatan (ρ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV) dan penyusutan volume (SV). Hasil pengujian sifat fisis

Lebih terperinci

POLA DASAR SADAPAN POLA DASAR SADAPAN

POLA DASAR SADAPAN POLA DASAR SADAPAN POLA DASAR SADAPAN POLA DASAR SADAPAN Kriteria matang sadap Tanaman karet dapat disadap apabila telah memenuhi kriteria matang sadap pohon dan matang sadap kebun, yaitu: a. Matang sadap pohon - Umur tanaman

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian Jenis kayu yang dipakai dalam penelitian ini adalah kayu rambung dengan ukuran sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerusakan hutan alam di Indonesia periode antara tahun 1985-1997 mencapai 1,6 juta ha setiap tahunnya. Pada periode antara tahun 1997-2000 kerusakan hutan mencapai rata-rata

Lebih terperinci

PENGERINGAN KAYU SECARA UMUM

PENGERINGAN KAYU SECARA UMUM KARYA TULIS PENGERINGAN KAYU SECARA UMUM Disusun Oleh: Tito Sucipto, S.Hut., M.Si. NIP. 19790221 200312 1 001 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 KATA PENGANTAR Puji

Lebih terperinci

.:::: Powered By Ludarubma ::::. KAYU CENDANA

.:::: Powered By Ludarubma ::::. KAYU CENDANA Page 1 of 6 Standar Nasional Indonesia SNI 01-5008.6-1999/ Revisi SNI 01-2026-1990 KAYU CENDANA 1. Ruang lingkup Standar ini meliputi acuan, definisi, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi,

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN KEPADATAN RINGAN UNTUK TANAH

METODE PENGUJIAN KEPADATAN RINGAN UNTUK TANAH METODE PENGUJIAN KEPADATAN RINGAN UNTUK TANAH SNI 03-1742-1989 BAB I DESKRIPSI 1.1 Maksud Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan hubungan antara kadar air dan berat isi tanah dengan memadatkan di dalam

Lebih terperinci

KAYU LAPIS DAN PAPAN BLOK PENGGUNAAN UMUM

KAYU LAPIS DAN PAPAN BLOK PENGGUNAAN UMUM Page 1 of 13 1. Ruang lingkup Standar Nasional Indonesia SNI 01-5008.2-1999/ Revisi SNI 01-2704-1992 KAYU LAPIS DAN PAPAN BLOK PENGGUNAAN UMUM Standar ini meliputi acuan, definisi, lambang dan singkatan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan 3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI 3.1. Pendahuluan Analisa teoritis dan hasil eksperimen mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam mekanika bahan (Gere dan Timoshenko, 1997). Teori digunakan untuk

Lebih terperinci

Penelitian sifat-sifat fisika dan mekanika kayu Glugu dan Sengon kawasan. Merapi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat Merapi

Penelitian sifat-sifat fisika dan mekanika kayu Glugu dan Sengon kawasan. Merapi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat Merapi Laporan Penelitian sifat-sifat fisika dan mekanika kayu Glugu dan Sengon kawasan Merapi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat Merapi pasca letusan Merapi 21 Disusun oleh: Ali Awaludin,

Lebih terperinci

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol., No., Juni 009 : 7 PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL THE INFLUENCE OF NATURAL AND ARTIFICIAL DRYING FOWORD THE

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan pasokan bahan baku, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman. Namun, produksi kayu dari hutan alam menurun

Lebih terperinci

Spesifikasi Pipa Beton untuk Air Buangan, Saluran Peluapan dari Gorong-Gorong

Spesifikasi Pipa Beton untuk Air Buangan, Saluran Peluapan dari Gorong-Gorong Spesifikasi Pipa Beton untuk Air Buangan, Saluran Peluapan dari Gorong-Gorong SNI 03-6367-2000 1 Ruang lingkup Spesifikasi ini meliputi pipa beton tidak bertulang yang digunakan sebagai pembuangan air

Lebih terperinci

Obat Alami Diabetes Dapat Mencegah Amputasi Pada Diabetesi

Obat Alami Diabetes Dapat Mencegah Amputasi Pada Diabetesi Obat Alami Diabetes Dapat Mencegah Amputasi Pada Diabetesi Obat Alami Diabetes Untuk Pengobatan Komplikasi Pada Diabetesi Komplikasi Pada Kaki Penderita diabetes dapat mengalami banyak permasalahan pada

Lebih terperinci

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal

Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal Spesifikasi kelas kekuatan kayu bangunan yang dipilah secara masinal 1 Ruang lingkup Spesifikasi ini memuat ketentuan mengenai jenis, ukuran, persyaratan modulus elastisitas dan keteguhan lentur mutlak

Lebih terperinci

(trees). Terdapat perbedaan pengertian antara pohon dan tanam-tanaman

(trees). Terdapat perbedaan pengertian antara pohon dan tanam-tanaman DASAR-DASAR STRUKTUR KAYU A. MENGENAL KAYU 1. Pengertian kayu Kayu adalah bahan yang kita dapatkan dari tumbuh-tumbuhan (dalam) alam dan termasuk vegetasi hutan. Tumbuh-tumbuhan yang dimaksud disini adalah

Lebih terperinci

BAB 2 BAMBU LAMINASI

BAB 2 BAMBU LAMINASI BAB 2 BAMBU LAMINASI 2.1 Pengertian Bambu Laminasi Bambu Laminasi adalah balok/papan yang terdiri dari susunan bilah bambu yang melintang dengan diikat oleh perekat tertentu. Pada tahun 1942 bambu laminasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tempat pelaksanaan penelitian sebagai berikut: 2. Pengujian kekuatan tarik di Institute Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat.

III. METODE PENELITIAN. Tempat pelaksanaan penelitian sebagai berikut: 2. Pengujian kekuatan tarik di Institute Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat. 49 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat Penelitian Tempat pelaksanaan penelitian sebagai berikut: 1. Persiapan dan perlakuan serat ijuk di Laboratorium Material Teknik Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung.

Lebih terperinci

Kekuatan Kayu. Revandy Iskandar M. Damanik. Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Kekuatan Kayu. Revandy Iskandar M. Damanik. Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Kekuatan Kayu Revandy Iskandar M. Damanik Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Kayu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dan kebutuhannya

Lebih terperinci

4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN

4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN 4.1.1 Fenomena dan Penyebab Terjadinya Water Front Fenomena lain yang terjadi pada saat penulis mengeringkan tapel parem

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 17 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboraturium Biofisika, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penelitian

Lebih terperinci

Cara uji kepadatan ringan untuk tanah

Cara uji kepadatan ringan untuk tanah Standar Nasional Indonesia Cara uji kepadatan ringan untuk tanah ICS 93.020 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

BAB III PROSES PENGECORAN LOGAM

BAB III PROSES PENGECORAN LOGAM BAB III PROSES PENGECORAN LOGAM 3.1.Peralatan dan Perlengkapan dalam Pengecoran Tahap yang paling utama dalam pengecoran logam kita harus mengetahui dan memahami peralatan dan perlengkapannya. Dalam Sand

Lebih terperinci

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD)

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR ERHADAP SABILIAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSIAS SUMAERA UARA MEDAN 2008 DAFAR ISI Halaman Kata Pengantar.. i Daftar

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari bulan Mei sampai Juli 2011 bertempat di Laboratorium Biokomposit, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS ( 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 - Juni 2017. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, dan Workshop Fakultas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Tempat dan Waktu Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Tempat dan Waktu Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan bahan penelitian ini terdiri atas pelepah salak, kawat, paku dan buah salak. Dalam penelitian tahap I digunakan 3 (tiga) varietas buah salak, yaitu manonjaya, pondoh,

Lebih terperinci

MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM

MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM Materi ini membahas tentang pembuatan besi tuang dan besi tempa. Tujuan instruksional khusus yang ingin dicapai adalah (1) Menjelaskan peranan teknik pengecoran dalam perkembangan

Lebih terperinci

sipil. Kekuatan kayu sebagai bahan untuk struktur dipengaruhi oleh beberapa Kayu dapat menahan gaya tekan yang berbeda-beda sesuai dengan kelas

sipil. Kekuatan kayu sebagai bahan untuk struktur dipengaruhi oleh beberapa Kayu dapat menahan gaya tekan yang berbeda-beda sesuai dengan kelas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu merupakan salah satu bahan untuk struktur dalam bangunan teknik sipil. Kekuatan kayu sebagai bahan untuk struktur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : 1. Kayu Bangunan Struktural : Kayu Bangunan yang digunakan untuk bagian struktural Bangunan dan

Lebih terperinci

SNI MUTU SIRAP DEWAN STANDARDISASI NASIONAL- DSN SNI UDC STANDAR NASIONAL INDONESIA

SNI MUTU SIRAP DEWAN STANDARDISASI NASIONAL- DSN SNI UDC STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI 03-3529 - 1994 UDC 691.024.15.035.3 MUTU SIRAP DEWAN STANDARDISASI NASIONAL- DSN DAFTAR ISI Halaman 1. RUANG LINGKUP... 1 2. DEFiNISI... 1 3. ISTILAH... 1 4. KLASIFIKAS1...

Lebih terperinci

BAGIAN II BAB 5 PENGERINGAN KAYU SECARA ALAMI

BAGIAN II BAB 5 PENGERINGAN KAYU SECARA ALAMI BAGIAN II BAB 5 PENGERINGAN KAYU SECARA ALAMI 5.1. Pengertian Pengeringan Alami Pengeringan alami atau disebut juga sebagai pengeringan udara adalah suatu sistem pengeringn kayu gergajian yang unsur-unsur

Lebih terperinci

III RANCANGAN DAN PROFIL GIG! GERGAJI A. Tipe Gigi

III RANCANGAN DAN PROFIL GIG! GERGAJI A. Tipe Gigi III RANCANGAN DAN PROFIL GIG! GERGAJI A. Tipe Gigi Meskipun mungkin banyak terdapat bentuk-bentuk gigi gergaji, padaa dasarnya hanya terdapat tiga atau empat bentuk pokok. Empat bentuk atau tipe gigi gergaji

Lebih terperinci

TEORI SAMBUNGAN SUSUT

TEORI SAMBUNGAN SUSUT TEORI SAMBUNGAN SUSUT 5.1. Pengertian Sambungan Susut Sambungan susut merupakan sambungan dengan sistem suaian paksa (Interference fits, Shrink fits, Press fits) banyak digunakan di Industri dalam perancangan

Lebih terperinci

Kayu gergajian daun lebar Bagian 1: Klasifikasi, persyaratan dan penandaan

Kayu gergajian daun lebar Bagian 1: Klasifikasi, persyaratan dan penandaan Standar Nasional Indonesia Kayu gergajian daun lebar Bagian 1: Klasifikasi, persyaratan dan penandaan ICS 79.040 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN KUAT TEKAN KAYU DI LABORATORIUM

METODE PENGUJIAN KUAT TEKAN KAYU DI LABORATORIUM METODE PENGUJIAN KUAT TEKAN KAYU DI LABORATORIUM SNI 03-3958-1995 BAB I DESKRIPSI 1.1 Maksud dan Tujuan 1.1.1 Maksud Metode pengujian ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegangan dalam pengujian kuat tekan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kolom lentur. Kolom merupakan elemen struktur yang menahan gaya aksial dan momen 2.1.1. Pengertian dan prinsip dasar kolom Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. 2. Air yang berasal dari Laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknik

III. METODE PENELITIAN. 2. Air yang berasal dari Laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknik 26 III. METODE PENELITIAN A. Bahan Bahan Penetilian 1. Sampel tanah yang digunakan pada penelitian ini yaitu berupa tanah lempung yang berasal dari Kecamatan Yosomulyo, Kota Metro, Provinsi Lampung. 2.

Lebih terperinci

CAMPURAN SERBUK GERGAJI, SERBUK KETAM DAN SERBUK AMPLASAN KAYU JATI DENGAN PEREKAT RESIN DAN HARDENER SEBAGAI BAHAN PERBAIKAN KAYU (275M)

CAMPURAN SERBUK GERGAJI, SERBUK KETAM DAN SERBUK AMPLASAN KAYU JATI DENGAN PEREKAT RESIN DAN HARDENER SEBAGAI BAHAN PERBAIKAN KAYU (275M) CAMPURAN SERBUK GERGAJI, SERBUK KETAM DAN SERBUK AMPLASAN KAYU JATI DENGAN PEREKAT RESIN DAN HARDENER SEBAGAI BAHAN PERBAIKAN KAYU (275M) Achmad Basuki 1 1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret,

Lebih terperinci

ANALISA JENIS LIMBAH KAYU PADA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISA JENIS LIMBAH KAYU PADA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN ANALISA JENIS LIMBAH KAYU PADA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN THE ANALYSIS OF VARIETY OF WOOD WASTE MATERIAL FROM WOOD INDUSTRY IN SOUTH BORNEO Djoko Purwanto *) *) Peneliti Baristand Industri

Lebih terperinci

VI. RANCANGAN KERJA DAN TATA LETAK. A. Prinsip Rancangan dan Kerja Industri Penggergajian

VI. RANCANGAN KERJA DAN TATA LETAK. A. Prinsip Rancangan dan Kerja Industri Penggergajian VI. RANCANGAN KERJA DAN TATA LETAK A. Prinsip Rancangan dan Kerja Industri Penggergajian Agar suatu industri penggergajian yang didirikan dapat berjalan lancar, sesuai dengan rencana, selama jangka waktu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi herbarium yang dilakukan mempertegas bahwa ketiga jenis kayu yang diteliti adalah benar burmanii Blume, C. parthenoxylon Meissn., dan C. subavenium Miq. 4.1

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA II.1 UMUM Kayu merupakan hasil hutan dari sumber kekayaan alam, merupakan bahan mentah yang mudah diproses dan dibentuk untuk dijadikan barang maupun konstruksi yang sesuai dengan

Lebih terperinci