BAB 7 SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 7 SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN"

Transkripsi

1 BAB 7 SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN 7.1. Arti dan Tujuan Skedul suhu dan kelembaban merupakan istilah baru sebagai penyempurnaan terhadap istilah skedul pengeringan. Mengapa demikian Istilah skedul pengeringan sering kali dimengerti sebagai jadwal aktifitas pengeringan yang diproyeksikan dalam satuan hari atau waktu. Sebagai contoh, menurut skedul pengeringan yang telah direncanakan, maka pada hari Selasa yang akan datang merupakan saat untuk memulai mengeringkan kayu jati. Pengertian skedul pengeringan seperti itu merupakan pengertian yang bias. Oleh karena itu, lebih baik kita menyebut skedul suhu dan kelembaban. Di samping itu, skedul suhu dan kelembaban yang pemah populer dengan nama skedul pengeringan itu sering disebut sebagai jadwal pengeringan atau bagan pengeringan. Sekurang-kurangnya terdapat tiga definisi yang memerikan terminologi skedul suhu dan kelembaban ini. Pertama didefinisikan oleh Rasmussen. Menurut Rasmussen (1961), skedul suhu dan kelembaban adalah seperangkat himpunan suhu bola kering dan suhu bola basah, yang dapat digunakan oleh operator untuk mengeringkan produk-produk kayu yang spesifik pada tingkat kecepatan pengeringan yang memuaskan, tanpa disertai oleh cacat pengeringan yang berarti. Sementara itu, menurut Vlasov (1968), skedul pengeringan diartikan sebagai nama yang diberikan kepada suatu label suhu dan kelembaban relatif udara, yang harus diselenggarakan dalam tanur pengeringan selama proses pengeringan berlangsung. Di dalam Vademicum Kehutanan (1976) dicantumkan definisi yang lain lagi, yaitu bahwa skedul pengeringan merupakan suatu pedoman untuk menetapkan suhu, kelembaban relatif dan langkah perubahan suhu dan kelembaban itu selama proses pengeringan kayu, agar kayu dapat dikeringkan dalam durasi waktu yang singkat tanpa mengalami cacat. Sebagai salah satu contoh, skedul suhu dan kelembaban dengan kode T1O.D4. merupakan skedul yang sesuai untuk mengeringkan sortimen kayu jati berketebalan 1,5 inci (3,81 cm atau mendekati 4 cm). Kayu jati tersebut memiliki berat jenis sebesar 0,7. Sebagai contoh berikutnya, disajikan Skedul suhu dan kelembaban ini dengan kode T8.C3 yang disusun. untuk mengeringkan sortimen maple berukuran 4/4. Penampilan skedul untuk maple dapat dilihat sebagai berikut. Universitas Gadjah Mada 1

2 Skedul suhu dan kelembaban diterapkan untuk mencapai tiga tujuan. Pertama, agar pengeringan kayu gergajian dapat dilakukan dalam durasi (jangka waktu) yang relatif cepat. Kedua, kayu-kayu yang dikeringkan tersebut relatif bebas dari carat pengeringan. Ketiga, biaya yang dikeluarkan selama proses pengeringan relatif kecil dan ekonomis Skedul Umum dan Skedul Khusus Skedul pengeringan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu skedul umum dan skedul khusus. Skedul umum mencakup berbagai kondisi pengeringan yang normal dan secara keseluruhan skedul umum ini digunakan dalam tanur pengering. Suatu skedul umum digunakan untuk mengeringkan setiap produk kayu dengan pertimbangan ekonomi yang rasional. Sementara itu, skedul khusus adalah skedul pengeringan yang dikembangkan untuk melayani pengeringan terhadap obyek tertentu. Skedul khusus diterapkan misalnya bertujuan untuk menguranngi jangka waktu pengeringan, atau mengeringkan secara tepat kayu-kayu yang telah diperlakukan dengan bahan kimia, atau untuk memelihara kekuatan maksimum kayu yang dikeringkan itu bagi penggunaan khusus. Meskipun ada pembagian skedul seperti itu, ternyata tidak ada satu pun skedul suhu dan kelembaban, baik yang umum maupun yang khusus, dapat dikatakan sebagai skedul suhu dan kelembaban yang ideal. Hal ini disebabkan karena begitu banyaknya variabilitas sifat-sifat kayu, bentuk dan kondisi pengeringan, kualitas pengeringan yang diperlukan, serta pemikiran tentang biaya pengeringan. Oleh karena itu, skedul yang disajikan dalam bab ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi operator tanur untuk membuat sendiri skedul suhu dan kelembaban yang paling sesuai terhadap operasi pengeringan yang menjadi profesinya. Sebagai tambahan informasi, bahwa dalam skedul suhu dan kelebaban itu telah mencakup berbagai tahap pengeringan. Tahap-tahap dalam proses pengeringan ini meliputi tahap untuk sterilisasi, tahap untuk pengeringan, tahap untuk penyeragaman kadar air serta Universitas Gadjah Mada 2

3 tahap kondisioning (perlakuan paripuma). Masing-masing tahap ini telah disesuaikan dengan jangka waktu proses pengeringan secara keseluruhan Skedul Suhu dan Kelembaban Menurut Kadar Air atau Menurut Waktu Pengeringan dalam tanur yang berlangsung secara cepat dapat diusahakan dengan penggunaan temperatur tinggi dan kelebaban relatif rendah. Meskipun demikian, kits perlu waspada bahwa kesalahan dalam penggunaan suhu dan kelembaban itu akan mengarah pada terbentuknya cacat pengeringan. Cacat pengeringan ini disebabkan oleh tegangan (stress) yang berkembang di dalam kayu selama kayu tersebut dikeringkan Tegangan kayu berhubungan erat dengan kadar air rata-rata yang dimiliki oleh muatan kayu yang sedang dikeringkan. Oleh karena keterkaitan itulah maka skedul suhu dan kelembaban ada yang dibuat berdasarkan pada kadar air tumpukan kayu. Karena kadar air berkurang selama perjalanan proses pengeringan dan besarnya pengurangan itu seirama dengan panjangnya jangka waktu yang menyertai berlangsungnya proses pengeringan, maka skedul pengeringan juga sangat mungkin untuk didasarkan pada jangka waktu pengeringan. Kayu daun lebar pada umumnya memerlukan waktu yang relatif panjang untuk mengering bila dibandingkan dengan kayu daun jarum. Di samping itu, berbagai pemanfaatan kayu daun lebar juga sangat kritis terhadap cacat pengeringan dan kondisi kadar air. Oleh karena itu, skedul pengeringan kayu daun lebar biasanya didasarkan pada kadar air. Perkembangan tegangan pengeringan pada kayu daun memungkinkan untuk menurunkan kelembaban relatif dan meningkatkan temperatur secara terpisah, dalam upaya untuk mendapatkan tingkat pengeringan yang tercepat. Beberapa skedul berdasar kadar air dapat diubah menjadi skedul berdasar waktu, ketika muatan yang sama dan serupa pada jenis kayu yang sama dikeringkan secara berulang-ulang di dalam tanur yang sama pula. Pada saat bentuk muatan atau prosedur operasi berubah, maka operator harus kembali kepada skedul yang berdasar pada kadar air. Skedul pengeringan berbasis waktu telah diberlakukan oleh industri dengan hasil yang memuaskan ketika industri tersebut mengeringkan secara berulang-ulang terhadap barangbarang yang berasal dan kayu jarum yang mempunyai karakter yang sama dan pengeringan itu selalu dilaksanakan dalam tanur pengering yang sama. Oleh karena itu, operator yang belum berpengalaman dalam pengeringan kayu jarum, mungkin akan mendapatkan basil yang lebih baik apabila menggunakan skedul berbasis kadar air. Demikian pula seorang operator yang telah berpengalaman mungkin dapat menghemat waktu pengeringan dengan menggunakan skedul berdasar kadar air, ketika dirinya merasakan bahwa jangka waktu pengeringan terlalu panjang. Skedul yang dibahas dalam pada bab ini, dirancang untuk digunakan dalam tanur moderen dengan aliran udara yang dipercepat, yaitu udara yang sirkulasinya diatur pada Universitas Gadjah Mada 3

4 kecepatan udara antara kaki per menit ketika melewati muatan. Modifikasi terhadap skedul ini dapat dilakukan bila tanur yang operasikan dengan udara yang sirkulasi berkecepatan rendah. Modifikasi yang lain lagi terhadap skedul ini mungkin diperlukan bila tanur yang digunakan berkecepatan sirkulasi udara yang lebih tinggi. Pemilihan skedul suhu dan kelembaban hares didasarkan pada kesamaam persepsi antara operator dan kebijakan manajemen dalam hal standar hasil pengeringan yang dikehendaki. Standar ini antara lain mencakup cacat pengeringan yang diperbolehkan, kadar air akhir rata-rata, derajat keseragaman kadar air dan kondisi kayu pada akhir proses pengeringan. Skedul umum cukup konservatif untuk menghasilkan muatan dengan cacat pengeringan yang minimal dan jangka waktu pengeringan yang relatif pendek. Operator tidak boleh membuat skedul yang lebih konservatif tanpa disertai salah satu dari dua alasan berikut Pertama, bahwa dirinya sedang melakukan pengeringan terhadap muatan kayu yang abnormal. Kedua, penampilan tanur sedang berada di bawah standar kinerjanya yang normal. Dengan perawatan yang cukup terhadap tanur, sangatlah mungkin untuk membuat modifikasi terhadap skedul suhu dan kelembaban dalam rangka memperpendek jangka waktu pengeringan tersebut Skedul Umum bagi Kayu Daun Forest Product Laboratory (FPL) di Amerika telah mengembangkan skedul suhu dan kelembaban berdasarkan banyak percobaan yang terpadu secara ekstensif. Hasil pengembangan skedul yang diperuntukkan bagi kayu daun itu yang disajikan disini. Penerapan skedul tersebut bagi penggunaan komersiil dengan cakupan yang luas menunjukkan hasil pengeringan yang cukup memuaskan, terutama ketika diberlakukan untuk mengeringkan kayu gergajian yang berketebalan 2 inci atau lebih tipis lagi atau untuk mengeringkan beberapa produk (sortimen) yang lain. Skedul umum ini membentuk sebuah dasar yang dapat digunakan oleh operator untuk dapat mengembangkan skedul yang paling ekonomis untuk diterapkan pada tanur dengan tipe khusus. Informasi yang berkaitan dengan penerapan skedul dan modifikasinya juga disajikan bersama dengan saran untuk pengeringan kayu daun yang lebih tebal Skedul Berdasar Kadar Air bagi Kayu Daun Kesuksesan dalam mengendalikan cacat pengeringan pada kayu daun bergantung pada pengaturan yang tepat atas suhu dan kelembaban udara selama proses pengeringan. Dengan kata lain, prosedur pengeringan harus diikuti secara tepat. Pada saat memulai pengeringan, temperatur yang cukup rendah diperlukan untuk melindungi kayun terhadap cacat salah bentuk dan retak-dalam. Kelembaban relatif hams dijaga pada posisi tinggi agar dapat melindungi kayu dari retak permukaan dan retak ujung, sehingga pemunculan kedua cacat itu dapat ditekan pada tingkat yang relatif minimum. Pada kondisi- Universitas Gadjah Mada 4

5 kondisi yang sejuk ini, kayu gergajian juga akan kehilangan kelembabannya secara tepat. Untuk menjaga tingkat pengeringan yang cepat, kelembaban relatif harus segera diturunkan dan temperatur harus ditingkatkan sesuai dengan keadaan kadar air dan tegangan pada kayu yang akan terjadi. Kelembaban akan diturunkan secara berangsurangsur setelah kayu mengalami kehilangan kadar air sekitar sepertiga dari kadar air ketika berkondisi segar. Temperatur dapat ditingkatkan secara berangsur-angsur dan peningkatan ini dimulai pada saat kadar air rataratanya mencapai 30%. Peningkatan temperature itu dapat diubah menjadi perubahan secara drastis ketika bagian kayu pada pertengahan tebal sortimen telah mencapai kadar air 30%. Oleh karena itu, suatu prinsip pengeringan berikut perlu dijunjung tinggi, yaitu bahwa untuk melaksanakan pengeringan secara efisien, maka diperlukan skedul kayu daun yang didasarkan pada kadar air muatan kayu. Disamping itu, juga harus menggunakan banyak contoh uji untuk mamantau proses pengeringan dalam tanur. Prosedur penentuan contoh uji perlu diikuti, yakni bahwa contoh uji (sample) perlu diambil dari sortimen kayu yang terbasah. Kadar air rata-rata pada sample yang terbasah itulah yang ditetapkan sebagai faktor untuk menentukan saat dimulainya pengubahan kondisi pengeringan. Sampel yang digunakan untuk menentukan saat pengubahan kondisi pengeringan itulah yang disebut sebagai sampel pengontrol Pengembangan Skedul Berdasarkan Pemikiran Tentang Bahan Skedul umum diperuntukkan bagi pengeringan terhadap kayu daun yang berkondisi segar. Skedul umum ini dapat dimodifikasi bila akan diterapkan untuk mengeringkan kayu yang baru saja selesai dari pengeringannya secara alami. Skedul yang dimodifikasi tersebut juga disusun untuk menangani tipe-tipe kayu yang lebih sulit untuk dikeringkan pada spesies tertentu, misalnya kayu teras yang dihasilkan dari gergajian secara tangensial. Disebabkan oleh adanya perbedaan kadar air pada kayu teras dan kayu gubal dalam beberapa spesies, maka sebagian besar contoh-contoh uji tanur harus diambil dari kayu teras yang terbasah. Kadar air kayu teras ini digunakan untuk memantau penerapan skedul pengeringan. Modifikasi terhadap skedul juga perlu dilakukan bila semua muatan kayu yang dikeringkan terdiri atas sortimen kayu gubal Pengembangan Skedul berdasarkan Pemikiran Tentang Pengoperasian Tanur Skedul umum dirancang untuk dioperasikan di dalam tanur kompartemen moderen dengan jangka waktu pengeringan yang penuh. Predikat moderen hanya dapat disandangkan padanya bila tanur kompartemen tersebut memiliki perlangkapan berikut. Pertama, tanur difasilitasi dengan sirkulasi udara secara paksa. Kedua, Tanur mempunyai bola-bola pengontrol suhu yang diletakkan secara tepat pada sisi muatan yang menjadi tempat bagi masuknya udara Universitas Gadjah Mada 5

6 ke dalam muatan itu. Dengan demikian, bola-bola pengontrol itu diletakkan pada untuk lokasi yang dilewati oleh udara terpanas. Apabila tidak demikian, yakni bola-bola pengontrol tidak diletakkan pada zona terpanas, tetapi diletakknan pada sisi tempat keluarnya udara sehingga udara itu tidak pada konsisi yang terpanas, maka Skedul harus dimodifikasi. Jika skedul tidak dimodifikas, maka kayu yang diletakkan pada sisi tempat masuknya udara akan mengalami cacat, karena kayu ini akan menjadi subyek pengeringan dengan kondisi yang berlebihan. Disamping itu, depresi suhu bola basah pada skedul harus dimodifikasi jika kecepatan udara yang melewati muatan adalah kurang dari 200 kaki per menit. Pada tanur dengan blower eksternal, depresi suhu bola basah pada tingkat awal dapat dibuat 1 atau 2 F lebih tinggi dari suhu yang disarankan dalam skedul. Dalam tanur dengan sikulasi alami, depresi itu dapat ditingkatkan lagi sampai sebanyak 4 F. Selama pengeringan berlangsung, depresi bola basah harus secara berangsur-angsur disesuaikan dengan skedul. Bila kecepatan udara yang melewati muatan lebih dari 400 kaki per menit, mungkin sangatlah perlu untuk menggunakan depresi suhu bola basah yang agak lebih kecil daripada depresi yang ditunjukkkan pada skedul. Universitas Gadjah Mada 6

7 7.8 Skedul yang Disarankan bagi Pengeringan Kayu Daun Lebar Skedul yang tersusun atas temperatur bola basah dan depresi suhu bola basah dan diperuntukka bagi kayu daun disajikan pada tabel 2 dan 3 berikut Tabel 2 Temperature suhu bola kering bagi skedul suhu nomor Tabel 3. Kadar air awal dan depresi suhu bola basah. Universitas Gadjah Mada 7

8 Bersama dengan dua entitas itu, terdapat pula temperatur bola kering dan depresi bola basah yang menurunkan kelembaban relatif dan kadar air seimbang kayu. Hubingan antara suhu bola kering dan depresi suhu bola basah yang mementukan kelembaban relative dan kadar air seimbang tersebut disajikan oleh Tabel 1 di atas. Tabel 2 memberikan 14 bush skedul suhu yang berkisar dari skedul yang sangat lunak, yaitu T.1, sampai skedul yang keras, yaitu T.14. Dalam semua kasus pengeringan, suhu awal dipertahankan sampai kadar air rata-rata pada sampel pengontrol mencapai 30%. Tabel 2 memberikan katagori depresi bola basah yang terbagi ke dalam 6 kelas kadar air, yaitu A s.d F. Kelas-kelas ini berkaitan dengan kadar air kayu dalam kondisi segar (Tabel 4). Di camping itu, terdapat pula 8 katagori pada penentuan skedul yang bersumber dari depresi bola basah. Dari 8 katagori itu, katagori nomor 1 sebagai yang terlunak dan nomor 8 sebagai yang paling keras. Temperatur bola basah yang harus diterapkan, acapkali dijadikan sarana dalam pemantauan atau perekaman kondisi pengeringan. Temperatur bola basah ini diperoleh sebagai basil pengurangan temperatur bola kering oleh depresi bola basah. Tabel 12 merupakan indeks skedul yang disarankan untuk 4/4 sampai dengan 8/4 kayu gergajian daun lebar atau barang-barang yang lain. Sementara skedul yang sama diberikan bagi muatan 4/4, 5/4 dan 6/4, yang sudah tentu berbagai ketebalan ini akan sangat jelas mempunyai waktu pengeringan yang saling berbeda. Oleh karena itu sortimen dengan ketebalan berbeda harus dikeringkan secara terpisah. Untuk mengeringkan muatan 6/4 dari jenis kayu yang sifatnya sulit dikeringkan, misalnya oak, maka skedul pengeringan yang diperuntukkan bagi muatan 8/4 mungkin diperlukan untuk mengeringkan muatan 6/4 tersebut. Pengeringan di dalam tanur terhadap kayu daun berkondisi segar dengan sortimen yang lebih tebal dari 8/4, biasanya tidak praktis. Hal ini disebab kan karena jangka waktu pengeringan yang panjang. Praktik terbaik bagi kayu yang berspesifikasi demikian ini adalah dengan memberikan pelapisan (coating) pada bagian ujung. Sebagai altematifnya, sortimen demikian dikeringkan dalam pengeringan udara secara alami di bawah atap, sesudah itu bari diikuti dengan mengeringkannya dalam tanur pengering. Tabel 13 merupakan indeks skedul yang disarankan untuk kayu daun yang berbentuk kayu gergajian berketebalan 10/4 atau lebih. Skedul ini harus dipikirkan sebagai alternative, jika pengujian terhadap skedul tersebut belum dilakukan secara komersil. Universitas Gadjah Mada 8

9 7.9. Penyusunan Skedul Pengeringan Dengan menggunakan sebuah bentuk matriks sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1, Rasmussen (1961) menyarankan untuk menyusun sebuah skedul pengeringan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Dari Tabel 1, tentukan keseragaman kadar air dan kurva tegangan pengeringan diperoleh dengan perlakuan penyamaan dan pengkondisian pada tahap akhir pengeringan sebagaimana untuk bahan bagi sugar maple 4/4 pada tabel 1 tertunjuk nomor kode T. 8 - C. 3. Tempatkan nomor-nomor kode dalam ruang yang diseiakan pada bagian atas formulir tersebut. 2. Mengingat kondisi pertama pada kondisi pengeringan melibatkan depresi bola basah, maka tulislah langkah-langkah depresi bola basah nomor 1,2,3,4,5,6 pada kolom Pada kolom 3 formulir itu, tulislah nilai kadar air yasng berhubungan dengan langkahlangkah tersebut dari kel;as kadar air yang sesuai pada tabel 2. Dalam contoh ini, kelas itu adalah C dan nilai tersebut masing- masing adalah >40, 40, 35, 30, 25 dan Dalam kolom 5 formulir tersebut, tulislah depresi bola basah yang berhubungan dengan langkah-langkah dari nomor skedul depresi bola basah yang sesuai dari Tabel 3. Nomor itu dalam contoh uji ini adalah nomor 3 dan depresi bola basah masing-masing 5,7,11,19, 35 dan Tulislah nomor-nomor langkah temperatur dalam kolom 1 formulir tersebut. Karena perubahan temperatur bola kering tidak dibuat sampai rata-rata kadara air pada contoh uji pengontrol mencapai 30 %, ulangilah langkah temperatur nomor 1 sesering mungkin sesuai dengan yang diperlukan. Dalam contoh ini, hal itu diulang 3 kali. Kadar air pada tahap awal langkah temperatur ke-5 adalah 15 % (Tabel 2). Oleh karena itu, dalam pengisisn formulir skedul, sangatlah perlu untuk mengulang depresi bola basah langkah 6 seperti diperlihatkan Tabel Dalam kolom 4 pada formulir itu, tulislah temperatur bola kerng yang behubungan dengan langkah temperatur dalam Tabel 2. Jika langkah 1 diulang, temperatur bola kering pada langkah awal harus diulang seperti diperlihatkan pada Tabel Kurangi depresi bola basah dari suhu bola kering dari setiap langkah untuk mendapatkan termometer suhu bola basah yang berhubungan atau terkait. Nilai-nilai ini dimasukkan dalam kolom 6 pada formulir tersebut. Jika diinginkan kolom untuk kelembaban relatif dan kadar air seimbang dapat ditambahkan pada sebelah kanan tabel. Nilai-nilai tersebut dapat diperoleh dari Tabel 2. Universitas Gadjah Mada 9

10 Skedul T. 8 C. 3 untuk sugar maple 4/4 dan kurva poengeringan diperoleh dari percobaan yang ter[padu dalam pengoperasikan tanur diilustrasikan pada gambar 104. Pada tahap akhir proses pengeringan, temperatur bola basah tidak perlu untuk dikendalikan secara tepat. Ketika skedul depresi suhu bola basah memerlukan depresi suhu bola basah 50 F, sementara temperatur suhu bola kering masih relatif rendah, ketidakberlanjutan kontrol terhadap temperautr suhu bola basah dilakukan dengan penutupan klep tangan penyemprot uap dan pembukaan ventilasi. Jangan menigkatkan temperatur bola kering, tanpa malakukan modifikasi skedul secara berhati-hati. Daftar Pertanyaan 1. Apakah arrti dan tujuan skedul suhu dan kelembaban 2. Apakah yang dimaksu dengan skedul umum dan skedul khusus 3. Jelaskan pengertian anda tentang skedul suhu dan kelembaban menurut kadar air Jelaskan pengertian anda tentang skedul suhu dan kelembaban menurut waktu 4. Bagimana cara menyusun skedul secara umum bagi kayu daun 5. Mengapa Skedul Berdasar Kadar Air lebih utama daripada berdasar waktu 6. Bagimana pengembangan skedul berdasarkan pemikiran tentang bahan 7. Bagimana pengembangan skedul berdasarkan pemikiran tentang kondisi tanur Universitas Gadjah Mada 10

BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING

BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING BAB 10 PERLAKUAN PARIPURNA, TEGANGAN PENGERINGAN DAN CASE HARDENING Perlakuan paripurna adalah perlakuan yang dilaksanakan di dalam tanur pengering pada akhir proses pengeringan. Perlakuan ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN

BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN BAB 8 CONTOH UJI MUATAN KAYU YANG DIKERINGKAN 8.1. Fungsi Contoh Uji Bagan suhu dan kelembapan udara yang diterapkan di dalam tanur pengering berpengaruh terhadap tegangan pengeringan yang dialami oleh

Lebih terperinci

PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL

PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN DASAR UNTUK PENGERINGAN KAYU BINUANG BERSORTIMEN 83 X 118 X 5000 MM DALAM TANUR PENGERING KONVENSIONAL Yustinus Suranto Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada 1

Universitas Gadjah Mada 1 I. Nama Mata Kuliah : Pengeringan Kayu II. Kode/SKS : KTT 350/ 2,1 III. Prasyarat : Anatomi dan Identifikasi Kayu KTT 210 Fisika Kayu KTT 220 Mekanika Kayu KTT 221 Kimia Kayu KTT 230 IV. Status Matakuliah

Lebih terperinci

BAB 3 HUBUNGAN ANTARA KAYU DAN AIR: PENYUSUTAN KAYU

BAB 3 HUBUNGAN ANTARA KAYU DAN AIR: PENYUSUTAN KAYU BAB 3 HUBUNGAN ANTARA KAYU DAN AIR: PENYUSUTAN KAYU 3.1.Keterkaitan Antara Kondisi Kebasahan/Kekeringan Kayu dan Kandungan Air serta Kadar Air Dan uraian pada kuliah kedua minggu yang lalu, dipahami tentang

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP KARAKTER PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN CASING

PENGARUH PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP KARAKTER PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN CASING PENGOLAHAN HASIL HUTAN PENGARUH PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP KARAKTER PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN CASING Yustinus Suranto 1 dan Taufik Haryanto 2 1 Dosen Jurusan

Lebih terperinci

BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU

BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU 2.1. Perspektif Hubungan Kayu dan Air Hubungan antara air dan kayu dapat dilihat dari dua perspektif atau dua sudut pandang. Sudut pandang pertama dilakukan

Lebih terperinci

BAGIAN III BAB 6 PENGERINGAN DI DALAM TANUR PENGERING

BAGIAN III BAB 6 PENGERINGAN DI DALAM TANUR PENGERING BAGIAN III BAB 6 PENGERINGAN DI DALAM TANUR PENGERING 6.1.Variabilitas Metode Pengeringan Secara Rekayasa atau Buatan Di samping ada pengeringan secara alami, ada pula beberapa metode yang dapat digunakan

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV PENYUSUNAN SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN KAYU. (Studi Kasus Pengeringan Kayu Nyatoh Bersortimen 5,3 cm x 20,2 cm x 500 cm) Yustinus Suranto Jurusan Teknologi

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN TEBAL KAYU TERHADAP KECEPATAN DAN CACAT PENGERINGAN KAYU TUSAM.

PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN TEBAL KAYU TERHADAP KECEPATAN DAN CACAT PENGERINGAN KAYU TUSAM. PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN TEBAL KAYU TERHADAP KECEPATAN DAN CACAT PENGERINGAN KAYU TUSAM. Yustinus Suranto, Riris Trideny Situmorang Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta.

Lebih terperinci

PENGAWETAN KAYU. Eko Sri Haryanto, M.Sn

PENGAWETAN KAYU. Eko Sri Haryanto, M.Sn PENGAWETAN KAYU Eko Sri Haryanto, M.Sn PENGERTIAN Pengeringan kayu adalah suatu proses pengeluaran air dari dalam kayu hingga mencapai kadar air yang seimbang dengan lingkungan dimana kayu akan digunakan

Lebih terperinci

DIKTAT PENGERINGAN KAYU. Oleh: Efrida Basri

DIKTAT PENGERINGAN KAYU. Oleh: Efrida Basri 1 DIKTAT PENGERINGAN KAYU Oleh: Efrida Basri I. Konsep Dasar Pengeringan Kayu Pengeringan kayu adalah suatu proses pengeluaran air dari dalam kayu hingga mencapai kadar air yang seimbang dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu. Menurut Kementriaan Kehutanan (2014), data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan pasokan bahan baku, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman. Namun, produksi kayu dari hutan alam menurun

Lebih terperinci

BAB 9 CACAT KAYU AKIBAT PENGERINGAN DI DALAM TANUR

BAB 9 CACAT KAYU AKIBAT PENGERINGAN DI DALAM TANUR BAB 9 CACAT KAYU AKIBAT PENGERINGAN DI DALAM TANUR 9.1. Penampilan dan Kualitas Kayu Penampilan kayu menjadi indikasi bagi kualitas kayu, sehingga penampilan tersebut berpengaruh terhadap penggunaan kayu,

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN Pilihan suatu bahan bangunan tergantung dari sifat-sifat teknis, ekonomis, dan dari keindahan. Perlu suatu bahan diketahui sifat-sifat sepenuhnya. Sifat Utama

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix INTISARI... x BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar

Lebih terperinci

PENGERINGAN KAYU SECARA UMUM

PENGERINGAN KAYU SECARA UMUM KARYA TULIS PENGERINGAN KAYU SECARA UMUM Disusun Oleh: Tito Sucipto, S.Hut., M.Si. NIP. 19790221 200312 1 001 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 KATA PENGANTAR Puji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian Jenis kayu yang dipakai dalam penelitian ini adalah kayu rambung dengan ukuran sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu

Lebih terperinci

BAB 4 DASAR TEORI PROSES PENGERINGAN KAYU

BAB 4 DASAR TEORI PROSES PENGERINGAN KAYU BAB 4 DASAR TEORI PROSES PENGERINGAN KAYU 4.1. Konsep Pengeringan Kayu Pengeringan kayu merupakan suatu system yang melibatkan banyak unsur (elemen). Unsur-unsur itu dipadukan secara bersama-sama agar

Lebih terperinci

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku

BABII TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku BABII TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori dari beberapa sumber buku seperti buku - buku laporan tugas akhir dan makalah seminar yang digunakan sebagai inspirasi untuk menyusun konsep penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat

BAB I PENDAHULUAN. jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu merupakan hasil sumber daya yang berasal dari hutan yang dapat di jadikan sumber pendapatan baik bagi negara ataupun masyarakat. Kayu dapat dijadikan bahan baku

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dari bulan Pebruari hingga Juni 2009. Identifikasi herbarium dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, sementara pengamatan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN November 2008

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN November 2008 KARYA TULIS PENGERINGAN KAYU Oleh : ARIF NURYAWAN, S.Hut, M.Si NIP. 132 303 839 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN November 2008 Arif Nuryawan : Pengeringan Kayu,

Lebih terperinci

BAB VI PERAWATAN DI INDUSTRI

BAB VI PERAWATAN DI INDUSTRI BAB VI PERAWATAN DI INDUSTRI Tenaga kerja, material dan perawatan adalah bagian dari industri yang membutuhkan biaya cukup besar. Setiap mesin akan membutuhkan perawatan dan perbaikan meskipun telah dirancang

Lebih terperinci

BAGIAN II BAB 5 PENGERINGAN KAYU SECARA ALAMI

BAGIAN II BAB 5 PENGERINGAN KAYU SECARA ALAMI BAGIAN II BAB 5 PENGERINGAN KAYU SECARA ALAMI 5.1. Pengertian Pengeringan Alami Pengeringan alami atau disebut juga sebagai pengeringan udara adalah suatu sistem pengeringn kayu gergajian yang unsur-unsur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kayu merupakan bahan alami yang bersifat higroskopis. Hal ini berarti kayu mempunyai kemampuan untuk menarik atau mengeluarkan air dari udara atau dari dalam tergantung pada

Lebih terperinci

INSTRUKSI KERJA ALAT DRYING OVEN BINDER ED-53

INSTRUKSI KERJA ALAT DRYING OVEN BINDER ED-53 INSTRUKSI KERJA ALAT DRYING OVEN BINDER ED-53 Laboratorium Sains Program Studi Teknik Kimia Universitas Brawijaya Malang 2015 Instruksi Kerja Drying Oven BINDER ED-53 Laboratorium Sains Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB III TEGANGAN GAGAL DAN PENGARUH KELEMBABAN UDARA

BAB III TEGANGAN GAGAL DAN PENGARUH KELEMBABAN UDARA BAB III TEGANGAN GAGAL DAN PENGARUH KELEMBABAN UDARA 3.1. Pendahuluan Setiap bahan isolasi mempunyai kemampuan menahan tegangan yang terbatas. Keterbatasan kemampuan tegangan ini karena bahan isolasi bukanlah

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN EVAPORATOR Perencanaan Modifikasi Evaporator

BAB III PERANCANGAN EVAPORATOR Perencanaan Modifikasi Evaporator BAB III PERANCANGAN EVAPORATOR 3.1. Perencanaan Modifikasi Evaporator Pertumbuhan pertumbuhan tube ice mengharuskan diciptakannya sistem produksi tube ice dengan kapasitas produksi yang lebih besar, untuk

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENELITIAN

PELAKSANAAN PENELITIAN BABill PELAKSANAAN PENELITIAN 3.1. Persiapan Bahan dan Alat Dalam pelaksanaan penelitian sangat diperlukan alat dan bahan yang akurat, agar supaya hasil dari penelitian ini nantinya akan benar-benar sesuai

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini adalah pengamatan selintas dan pengamatan utama. 1.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasilnya

Lebih terperinci

Pengukuran iklim kerja (panas) dengan parameter indeks suhu basah dan bola

Pengukuran iklim kerja (panas) dengan parameter indeks suhu basah dan bola Standar Nasional Indonesia Pengukuran iklim kerja (panas) dengan parameter indeks suhu basah dan bola ICS 17.200.10 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii Pendahuluan...

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Termal Kayu Meranti (Shorea Leprosula Miq.) Karakteristik termal menunjukkan pengaruh perlakuan suhu pada bahan (Welty,1950). Dengan mengetahui karakteristik termal

Lebih terperinci

PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN MENURUT TERAZAWA PADA PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN RAAMHOUT

PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN MENURUT TERAZAWA PADA PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN RAAMHOUT PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN MENURUT TERAZAWA PADA PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN RAAMHOUT Implementation of Terazawa s Drying Schedule Formulation on Drying Process of Raamhout

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Prinsip pengeringan lapisan tipis pada dasarnya adalah mengeringkan bahan sampai kadar air bahan mencapai kadar air keseimbangannya. Sesuai

Lebih terperinci

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL Syahrizal & Johny Custer Teknik Perkapalan Politeknik Bengkalis Jl. Bathin Alam, Sei-Alam, Bengkalis-Riau djalls@polbeng.ac.id

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR DAN SORTIMEN TERHADAP SIFAT PENGERINGAN KAYU Acacia auriculiformis PADA PENGERINGAN METODE RADIASI MATAHARI INTISARI

PENGARUH UMUR DAN SORTIMEN TERHADAP SIFAT PENGERINGAN KAYU Acacia auriculiformis PADA PENGERINGAN METODE RADIASI MATAHARI INTISARI C3 PENGARUH UMUR DAN SORTIMEN TERHADAP SIFAT PENGERINGAN KAYU Acacia auriculiformis PADA PENGERINGAN METODE RADIASI MATAHARI Oleh : Yustinus Suranto dan Sutjipto A.H. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas

Lebih terperinci

Kayu gergajian Bagian 2: Pengukuran dimensi

Kayu gergajian Bagian 2: Pengukuran dimensi Standar Nasional Indonesia Kayu gergajian Bagian 2: Pengukuran dimensi ICS 79.040 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. suhu dalam ruang pengering nantinya mempengaruhi kelembaban pada gabah.

BAB III METODE PENELITIAN. suhu dalam ruang pengering nantinya mempengaruhi kelembaban pada gabah. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Model Penelitian Penelitian yang dilakukan ini menitik beratkan pada pengukuran suhu dan kelembaban pada ruang pengering menggunakan sensor DHT21. Kelembaban dan suhu dalam

Lebih terperinci

BAB III PEMBUATAN ALAT Tujuan Pembuatan Tujuan dari pembuatan alat ini yaitu untuk mewujudkan gagasan dan

BAB III PEMBUATAN ALAT Tujuan Pembuatan Tujuan dari pembuatan alat ini yaitu untuk mewujudkan gagasan dan BAB III PEMBUATAN ALAT 3.. Pembuatan Dalam pembuatan suatu alat atau produk perlu adanya sebuah rancangan yang menjadi acuan dalam proses pembuatanya, sehingga kesalahan yang mungkin timbul dapat ditekan

Lebih terperinci

MORFOLOGI DAN POTENSI. Bagian-Bagian Kayu - Kulit kayu - Kambium - Kayu gubal - Kayu teras - Hati - Lingkaran tahun - Jari-jari

MORFOLOGI DAN POTENSI. Bagian-Bagian Kayu - Kulit kayu - Kambium - Kayu gubal - Kayu teras - Hati - Lingkaran tahun - Jari-jari Kayu Definisi Suatu bahan yang diperoleh dari hasil pemungutan pohon-pohon di hutan, yang merupakan bagian dari pohon tersebut setelah diperhitungkan bagian-bagian mana yang lebih banyak dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

DATA METEOROLOGI. 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari

DATA METEOROLOGI. 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari DATA METEOROLOGI 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari Umum Data meteorology sangat penting didalam analisa hidrologi pada suatu daerah

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia

SNI Standar Nasional Indonesia SNI 03-6448-2000 SNI Standar Nasional Indonesia Metode pengujian kuat tarik panel kayu struktural ICS 79.060.01 Badan Standarisasi Nasional Daftar Isi Daftar Isi...i 1 Ruang Lingkup...1 2 Acuan...2 3 Kegunaan...2

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN, PERHITUNGAN BEBAN PENDINGIN, DAN PEMILIHAN UNIT AC

BAB III PERENCANAAN, PERHITUNGAN BEBAN PENDINGIN, DAN PEMILIHAN UNIT AC BAB III PERENCANAAN, PERHITUNGAN BEBAN PENDINGIN, DAN PEMILIHAN UNIT AC Dalam perancangan pemasangan AC pada Ruang Dosen dan Teknisi, data-data yang dibutuhkan diambil dari berbagai buku acuan. Data-data

Lebih terperinci

5/30/2014 PSIKROMETRI. Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB. Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab

5/30/2014 PSIKROMETRI. Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB. Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab PSIKROMETRI Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab 1 1. Atmospheric air Udara yang ada di atmosfir merupakan campuran dari udara kering dan uap air. Psikrometri

Lebih terperinci

PROSES PENGAWETAN KAYU. 1. Persiapan Kayu untuk Diawetkan

PROSES PENGAWETAN KAYU. 1. Persiapan Kayu untuk Diawetkan PROSES PENGAWETAN KAYU 1. Persiapan Kayu untuk Diawetkan Tujuan dari persiapan kayu sebelum proses pengawetan adalah agar 1 ebih banyak atau lebih mudah bahan pengawet atau larutannya meresap ke dalam

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

TUGAS INDUSTRI TEACHING

TUGAS INDUSTRI TEACHING TUGAS INDUSTRI TEACHING Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Practical Teaching Di susun oleh : Abdullah Aisyah Nurjanah Asep Yayan Deasy Wijayanti Iis Nuraisah Rini Sri puspasari Saefudin

Lebih terperinci

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI 1. PENGERINGAN Pengeringan adalah suatu proses pengawetan pangan yang sudah lama dilakukan oleh manusia. Metode pengeringan ada dua,

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian (2017) TUJUAN PEMBELAJARAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penanganan Pasca Panen Lateks Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang masih segar 35 jam setelah penyadapan. Getah yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hardware Sistem Kendali Pada ISD Pada penelitian ini dibuat sistem pengendalian berbasis PC seperti skema yang terdapat pada Gambar 7 di atas. Pada sistem pengendalian ini

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Perkembangan industri peternakan yang semakin pesat menuntut teknologi yang baik dan menunjang. Salah satu industri peternakan yang paling berkembang adalah industri

Lebih terperinci

KAYU JUVENIL (JUVENILE WOOD)

KAYU JUVENIL (JUVENILE WOOD) KARYA TULIS KAYU JUVENIL (JUVENILE WOOD) Disusun oleh : RUDI HARTONO, S.HUT, MSi NIP 132 303 838 JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2006 DAFTAR ISI Kata Pengantar... Daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Saat ini pengeringan merupakan satuan operasi kimia yang paling tua, paling umum dan paling tersebar dimana-mana. Lebih dari 400 jenis pengeringan telah ada dan lebih

Lebih terperinci

Cara uji berat isi beton ringan struktural

Cara uji berat isi beton ringan struktural Standar Nasional Indonesia Cara uji berat isi beton ringan struktural ICS 91.100.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Adapun cara ilmiah yang dimaksud adalah

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Pada bab ini diuraikan mengenai analisis dan interpretasi hasil perhitungan dan pengolahan data yang telah dilakukan pada bab IV. Analisis dan interpretasi hasil akan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea. sistimatika tanaman jagung yaitu sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea. sistimatika tanaman jagung yaitu sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jagung Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum, menurut Purwono dan Hartanto (2007), klasifikasi dan sistimatika tanaman

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Kampus Gedung Meneng, Bandar Lampung pada bulan Desember 2013

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Iwan Risnasari : Kajian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Waktu, Lokasi Pengambilan Tanah Gambut dan Tempat Penelitian Bahan gambut berasal dari Kabupaten Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir, Siak, dan Kampar, Provinsi Riau dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari \ Menentukan koefisien transfer massa optimum aweiica BAB II LANDASAN TEORI 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Proses pengeringan adalah perpindahan masa dari suatu bahan yang terjadi karena perbedaan konsentrasi.

Lebih terperinci

Mutu dan Ukuran kayu bangunan

Mutu dan Ukuran kayu bangunan Mutu dan Ukuran kayu bangunan 1. Ruang lingkup Standar ini meliputi definisi, istilah, penggolongan, syarat mutu, ukuran, syarat pengemasan, dan syarat penendaan kayu bangunan. 2. Definisi Kayu bangunan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sifat-sifat Dasar dan Laboratorium Terpadu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split BAB II DASAR TEORI 2.1 AC Split Split Air Conditioner adalah seperangkat alat yang mampu mengkondisikan suhu ruangan sesuai dengan yang kita inginkan, terutama untuk mengkondisikan suhu ruangan agar lebih

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PROSES PERLAKUAN MEKANIK GRINDING & SIZING

LAPORAN PRAKTIKUM PROSES PERLAKUAN MEKANIK GRINDING & SIZING LAPORAN PRAKTIKUM PROSES PERLAKUAN MEKANIK GRINDING & SIZING Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Laporan Praktikum Proses Pemisahan & Pemurnian Dosen Pembimbing : Ir. Ahmad Rifandi, MSc 2 A TKPB Kelompok

Lebih terperinci

UJI DAYA RACUN BAHAN PENGAWET. 1. Uji Kultur Agar

UJI DAYA RACUN BAHAN PENGAWET. 1. Uji Kultur Agar UJI DAYA RACUN BAHAN PENGAWET 1. Uji Kultur Agar Uji daya racun bahan pengawet dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Uji kultur agar adalah uji bahan pengawet di laboratorium untuk serangan cendawan.

Lebih terperinci

III. DASAR PERENCANAAN

III. DASAR PERENCANAAN III. DASAR PERENCANAAN Persamaan kekuatan secara umum dapat dituliskan seperti pada Persamaan 3.1, dimana F u adalah gaya maksimum yang diakibatkan oleh serangkaian sistem pembebanan dan disebut pula sebagai

Lebih terperinci

JENIS-JENIS PENGERINGAN

JENIS-JENIS PENGERINGAN JENIS-JENIS PENGERINGAN Tujuan Instruksional Khusus (TIK) Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat membedakan jenis-jenis pengeringan Sub Pokok Bahasan pengeringan mengunakan sinar matahari pengeringan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di koridor samping Laboratorium Kekuatan Bahan dan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Penelitian. Waktu

Lebih terperinci

Kayu lapis untuk kapal dan perahu

Kayu lapis untuk kapal dan perahu Standar Nasional Indonesia Kayu lapis untuk kapal dan perahu ICS 79.060.10 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah, definisi,

Lebih terperinci

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD)

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR ERHADAP SABILIAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSIAS SUMAERA UARA MEDAN 2008 DAFAR ISI Halaman Kata Pengantar.. i Daftar

Lebih terperinci

KEMASAN TRANSPOR 31 October

KEMASAN TRANSPOR 31 October KEMASAN TRANSPOR 1 Outline 1. Pendahuluan 2. Karton Gelombang (KG) & Kotak Karton Gelombang (KKG) 3. Tipe Kotak Karton Gelombang (KKG) 4. Sifat Kotak Karton Gelombang (KKG) 5. Jenis Kerusakan Kotak Karton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sirkulasi udara oleh exhaust dan blower serta sistem pengadukan yang benar

BAB I PENDAHULUAN. sirkulasi udara oleh exhaust dan blower serta sistem pengadukan yang benar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini masih banyak petani di Indonesia terutama petani padi masih menggunakan cara konvensional dalam memanfaatkan hasil paska panen. Hal ini dapat

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. mungkin memiliki keseimbangan antara sistem pembangkitan dan beban, sehingga

1 BAB I PENDAHULUAN. mungkin memiliki keseimbangan antara sistem pembangkitan dan beban, sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknik tenaga listrik sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dalam sistem penyaluran tenaga listrik. Namun, masih ada daerah yang masih sulit dijangkau

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel. BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PRODUK 4.1.1 Fenomena dan penyebab terjadinya case hardening Pada proses pengeringan yang dilakukan oleh penulis khususnya pada pengambilan data

Lebih terperinci

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI Standar Nasional Indonesia Papan partikel ICS 79.060.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi... 1 4 Klasifikasi...

Lebih terperinci

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini : 1. Prinsip ekonomi gerakan yang dihubungkan dengan

Lebih terperinci

4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN

4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN BAB IV ANALISA 4.1 FENOMENA DAN PENYEBAB KERUSAKAN KUALITAS PADA PRODUK PENGERINGAN 4.1.1 Fenomena dan Penyebab Terjadinya Water Front Fenomena lain yang terjadi pada saat penulis mengeringkan tapel parem

Lebih terperinci

(trees). Terdapat perbedaan pengertian antara pohon dan tanam-tanaman

(trees). Terdapat perbedaan pengertian antara pohon dan tanam-tanaman DASAR-DASAR STRUKTUR KAYU A. MENGENAL KAYU 1. Pengertian kayu Kayu adalah bahan yang kita dapatkan dari tumbuh-tumbuhan (dalam) alam dan termasuk vegetasi hutan. Tumbuh-tumbuhan yang dimaksud disini adalah

Lebih terperinci

SNI MUTU SIRAP DEWAN STANDARDISASI NASIONAL- DSN SNI UDC STANDAR NASIONAL INDONESIA

SNI MUTU SIRAP DEWAN STANDARDISASI NASIONAL- DSN SNI UDC STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI 03-3529 - 1994 UDC 691.024.15.035.3 MUTU SIRAP DEWAN STANDARDISASI NASIONAL- DSN DAFTAR ISI Halaman 1. RUANG LINGKUP... 1 2. DEFiNISI... 1 3. ISTILAH... 1 4. KLASIFIKAS1...

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGOPERASIAN

PETUNJUK PENGOPERASIAN PETUNJUK PENGOPERASIAN LEMARI PENDINGIN MINUMAN Untuk Kegunaan Komersial SC-178E SC-218E Harap baca Petunjuk Pengoperasian ini sebelum menggunakan. No. Pendaftaran : NAMA-NAMA BAGIAN 18 17 16 1. Lampu

Lebih terperinci

Instruksi Kerja Penggunaan Autoclave All American

Instruksi Kerja Penggunaan Autoclave All American Instruksi Kerja Penggunaan Autoclave All American Laboratorium Kesmavet Program kedokteran Hewan Universitas Brawijaya 2012 Instruksi Kerja Penggunaan Autoclave All American Laboratorium Kesmavet Program

Lebih terperinci

Nama : Maruli Tua Sinaga NPM : 2A Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing :Dr. Sri Poernomo Sari, ST., MT.

Nama : Maruli Tua Sinaga NPM : 2A Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing :Dr. Sri Poernomo Sari, ST., MT. KAJIAN EKSPERIMEN ENERGI KALOR, LAJU KONVEKSI, dan PENGURANGAN KADAR AIR PADA ALAT PENGERING KERIPIK SINGKONG Nama : Maruli Tua Sinaga NPM : 2A413749 Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri

Lebih terperinci

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA Bab ini akan membahas mengenai pengujian dan analisa setiap modul dari sistem yang dirancang. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah sistem yang dirancang

Lebih terperinci

PROSPEK CERAH BISNIS JAMUR MERANG

PROSPEK CERAH BISNIS JAMUR MERANG PROSPEK CERAH BISNIS JAMUR MERANG OLEH: ADHITYA NUGROHO 10.11.3831 S1 TI 1D STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011/2012 A. ABSTRAK Banyaknya permintaan akan jamur merang dikalangan masyarakat akhir-akhir ini sedang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2011 Januari 2012 dan dilaksanakan di Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Bagian Kimia Hasil Hutan, Bagian Biokomposit

Lebih terperinci

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol., No., Juni 009 : 7 PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL THE INFLUENCE OF NATURAL AND ARTIFICIAL DRYING FOWORD THE

Lebih terperinci

HP Color LaserJet CP1210 Series Printer

HP Color LaserJet CP1210 Series Printer HP Color LaserJet CP1210 Series Printer Kertas dan Panduan Media Cetak Hak Cipta dan Lisensi 2007 Copyright Hewlett-Packard Development Company, L.P. Dilarang melakukan reproduksi, adaptasi atau penerjemahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan potensi di bidang industri. Salah satu bidang industri itu adalah industri manufaktur.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kekuatan sambungan tarik double shear balok kayu pelat baja menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran tertentu ini dilakukan selama kurang lebih

Lebih terperinci

BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA

BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA Tujuan Instruksional Khusus Mmahasiswa mampu melakukan perhitungan dan analisis pengkondisian udara. Cakupan dari pokok bahasan ini adalah prinsip pengkondisian udara, penggunaan

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Arang tempurung kelapa dan briket silinder pejal

Gambar 3.1 Arang tempurung kelapa dan briket silinder pejal BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Energi Biomassa, Program Studi S-1 Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiayah Yogyakarta

Lebih terperinci

Penelitian sifat-sifat fisika dan mekanika kayu Glugu dan Sengon kawasan. Merapi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat Merapi

Penelitian sifat-sifat fisika dan mekanika kayu Glugu dan Sengon kawasan. Merapi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat Merapi Laporan Penelitian sifat-sifat fisika dan mekanika kayu Glugu dan Sengon kawasan Merapi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat Merapi pasca letusan Merapi 21 Disusun oleh: Ali Awaludin,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Pada bab ini akan dibahas mengenai analisis dan interpreasi hasil dari pengumpulan dan pengolahan data di bab sebelumnya. Analisis yang akan dibahas antara lain analisis

Lebih terperinci