BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA"

Transkripsi

1 Katalog : Daerah Istimewa Yogyakarta ht tp :// yo gy ak ar ta.b ps.g o. id 2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

2 Daerah Istimewa Yogyakarta ht tp :// yo gy ak ar ta.b ps.g o. id 2016

3 STATISTIK DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2016 ISSN : No. Publikasi : Katalog : Ukuran Buku : 17,6 cm X 25 cm Jumlah Halaman : viii + 82 halaman Naskah : Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik Badan Pusat Istimewa Yogyakarta Gambar kulit : Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS DIY Badan Pusat Istimewa Yogyakarta Diterbitkan oleh : Badan Pusat Istimewa Yogyakarta Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik

4 STATISTIK DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2016 TIM PENYUSUN Penanggung Jawab : Y. Bambang Kristianto Editor Naskah Pengolah Data Layout : Mainil Asni Mutijo : Waluyo : Gita Oktavia Waluyo : Waluyo

5 ar ta.b ps ak yo gy :// tp ht id.g o.

6 Kata Pengantar Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya buku oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Publikasi ini memuat berbagai informasi dan indikator terpilih seputar Daerah Istimewa Yogyakarta yang dianalisis secara sederhana untuk membantu pengguna data dalam memahami perkembangan pembangunan serta potensi yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku diterbitkan secara rutin setiap tahun untuk melengkapi publikasi-publikasi statistik yang sudah terbit sebelumnya. Berbeda dengan publikasi-publikasi yang sudah ada, publikasi ini lebih menekankan pada aspek analisis dalam membaca dan memahami data BPS secara sederhana. Materi yang disajikan dalam buku Istimewa Yogyakarta 2016 berupa informasi dan indikator terpilih yang terkait dengan pembangunan di berbagai sektor. Diharapkan informasi tersebut dapat menjadi rujukan dan bahan kajian dalam perencanaan maupun evaluasi kegiatan pembangunan. Kritik dan saran konstruktif berbagai pihak kami harapkan untuk penyempurnaan penerbitan di masa mendatang. Semoga publikasi ini mampu memenuhi tuntutan kebutuhan data statistik, baik oleh institusi pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat luas. Yogyakarta, September 2016 Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Kepala Y. Bambang Kristianto v

7 ar ta.b ps ak yo gy :// tp ht id.g o.

8 Daftar Isi Kata Pengantar v Daftar Isi vii 1. Geografi dan Iklim 1 2. Pemerintahan 3.g o. id 3. Penduduk Pendidikan 17 ar ta.b ps 4. Ketenagakerjaan 6. Kesehatan Pembangunan Manusia Kemiskinan dan Ketimpangan 27 ak 9. Pertanian Industri Pengolahan 42 yo gy 10. Pertambangan dan Energi :// 12. Konstruksi 45 ht tp 13 Hotel dan Pariwisata Transportasi dan Komunikasi Perbankan dan Investasi Harga-harga Pengeluaran Penduduk Perdagangan Luar Negeri Produk Domestik Regional Bruto Perbandingan Regional 68 Lampiran 72 vii

9 ar ta.b ps ak yo gy :// tp ht id.g o.

10 1 GEOGRAFI DAN IKLIM Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang memiliki luas wilayah administrasi terkecil kedua di Republik Indonesia, setelah Provinsi DKI Jakarta. Luas wilayah DIY mencapai 3.185,80 km2, atau 0,17 persen dari seluruh wilayah daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). KONDISI GEOGRAFIS.g o. id Secara astronomis, wilayah administrasi DIY terbentang pada posisi 7o Lintang Selatan dan 110o o.50 Bujur Timur. Posisi geografis DIY berada di bagian tengah Pulau Jawa, tepatnya sisi bagian selatan. Seluruh wilayah administrasi DIY dikelilingi oleh wilayah Provinsi Jawa Tengah. Gambar 1.1. Peta Wilayah Administrasi DIY Sumber: Bakosurtanal, elantowow.wordpress.com Gambar 1.2. Bentang Alam Kawasan Utara DIY yo gy Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Boyolali Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Wonogiri Sebelan selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo. ak ar ta.b ps Tahukah Anda Batas-batas wilayah DIY? ht tp :// Bentang alam wilayah DIY merupakan kombinasi antara daerah pesisir, dataran rendah, dan perbukitan. Bentang wilayah ini dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi. Pertama, satuan fisiografi Gunung Merapi yang berada di ketinggian m. Wilayah ini terbentang dari kerucut gunung api sampai dataran fluvial gunung api dan bentang lahan vulkanik di wilayah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul. Wilayah ini cukup subur dan potensial untuk budidaya pertanian tanaman semusim. Gambar 1.3. Bentang Alam Kawasan Pesisir Selatan DIY Kedua, satuan fisiografi Pegunungan Selatan dengan ketinggian m. Wilayah ini menjadi bagian dari jalur Pegunungan Seribu yang terletak di wilayah Kabupaten Gunungkidul dan bagian timur Kabupaten Bantul. Kawasan ini didominasi 1

11 1 Gambar 1.4. Bentang Alam Pegunungan Selatan Gunungkidul Tabel 1.1. Ringkasan Kondisi Cuaca di Wilayah DIY, Tahun Indikator Satuan Suhu Udara Terendah 0 C Suhu Udara Tertinggi 0 C Rata-rata Suhu Udara 0 C Kelembaban Udara Min. % Kelembaban Udara Mak. % Rata-rata Kelembaban % Tekanan Udara Min. mb Tekanan Udara Mak. mb Rata-rata Tekanan Udara mb Sumber: Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika Kelas I Yogyakarta, diolah Tahukah Anda? Arah angin selama bulan Maret- September bergerak dari selatan, sementara pada bulan Oktober- Februari angin bergerak dari arah barat daya. Curah hujan tertinggi terjadi di wilayah Kulonprogo dan Sleman. 2 oleh perbukitan batu kapur dan karst yang tandus, sehingga kurang potensial untuk budidaya pertanian semusim. Ketiga, satuan fisiografi Pegunungan Kulonprogo yang terletak di wilayah utara Kabupaten Kulonprogo. Kawasan ini berupa perbukitan dan cukup potensial untuk pengembangan komoditas perkebunan. Keempat, satuan fisiografi dataran rendah dengan ketinggian 0-80 m yang terbentang mulai dari pesisir Kulonprogo sampai wilayah Bantul. Kawasan ini sangat subur dan potensial untuk kegiatan budidaya pertanian semusim. KONDISI IKLIM DAN CUACA Letak wilayah DIY berada di sebelah selatan garis khatulistiwa, sehingga beriklim tropis dan memiliki dua musim penghujan dan kemarau. Secara umum, karakteristik cuaca di wilayah DIY bertemperatur tinggi atau memiliki suhu udara panas serta memiliki kelembaban udara dan curah hujan yang cukup tinggi. Rata-rata suhu udara selama tahun 2015 tercatat pada di kisaran 26 0 C. Suhu tertinggi mencapai 33 0 C dan terjadi di bulan Oktober-November. Sementara, suhu terendah mencapai 21 0 C dan terjadi di bulan Juli-Agustus. Intensitas hujan tertinggi yang diukur dari rata-rata curah hujan terjadi pada bulan Maret, sementara jumlah hari hujan terbanyak terjadi di Bulan Januari dan Maret. Rata-rata kelembaban udara tercatat sebesar 83 persen dan cenderung menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kelembaban udara minimum tercatat sebesar 48 persen yang terjadi pada bulan Oktober, sementara kelembaban maksimum mencapai 97 persen dan terjadi di bulan Maret. Tekanan udara rata-rata tercatat sebesar 998 milibars. Pada bulan Maret sampai September angin lebih banyak bergerak dari arah selatan, sementara pada bulan Oktober- Februari arah angin bergerak dari barat daya. Rata-rata kecepatan angin selama tahun 2015 tercatat sebesar 0,15 m/s.

12 PEMERINTAHAN 2 DIY memiliki keistimewaan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan yang tertuang dalam UU No 13 Tahun 2012 tentang kedudukan hukum DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gurbernur dan Wakil; kelembagaan; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang. Wilayah administrasi DIY terbagi menjadi lima kabupaten/kota, yakni Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul, Sleman, dan kota Yogyakarta. Pusat pemerintahan berada di Kota Yogyakarta. Jumlah kecamatan pada tahun 2015 sebanyak 78 kecamatan dan terbagi menjadi 438 desa/ kelurahan. Jumlah tersebut tidak mengalami perubahan dalam dua dekade terakhir. Daerah dengan wilayah terluas adalah Gunungkidul sebesar 1.485,4 km 2 atau 46,6 persen luas DIY. Sementara, Kota Yogyakarta memiliki wilayah terkecil sebesar 32,5 km 2 atau 0,01 persen dari luas wilayah DIY. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Penyelenggara pemerintahan di DIY terdiri dari pemerintah daerah selaku eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selaku legislatif. Pemerintah daerah dipimpin oleh seorang Gubernur dan Wakil Gubernur. Dalam penyelenggaraan pemerintahan gubernur dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari Sekretaris Daerah (Sekda) dan Lembaga Teknis Daerah. DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPRD) Jumlah anggota DPRD DIY periode hasil Pemilu Legislatif 2014 sebanyak 55 orang. Komposisinya terdiri dari 48 anggota laki laki (87,3 persen) dan 7 anggota perempuan (12,7 persen). Proporsi keterwakilan perempuan dalam parlemen yang cenderung menurun dibandingkan dengan hasil pemilu Komposisi anggota DPRD periode menurut parpol pengusung didominasi oleh legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebanyak 14 orang (25 persen). Berikutnya adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar masingmasing sebanyak 8 wakil, diikuti oleh Partai Gerindra dan Partai keadilan Sejahtera (PKS) Tabel 2.1. Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2014 Sumber : BPS DIY Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak dipilih melalui proses pemilukadal, tetapi melalui proses penetapan Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam yang bertahta Gambar 2.1. Komposisi Anggota DPRD DIY Periode menurut Partai Politik Demokrat 2 (4%) PAN 8 (14%) Golkar 8 (15%) PDIP 14 (25%) Sumber : Sekretariat DPRD DIY PKS 6 (11%) Gerindra 7 (13%) Nasdem 2 (4%) PKB 5 (9%) PPP 3 (5%) 3

13 2 Gambar 2.2. Komposisi Anggota DPRD Kabupaten/Kota/ Provinsi menurut Jenis Kelamin, Yogyakarta Sumber : Sekretariat DPRD DIY Tabel 2.2. Komposisi PNS Daerah di DIY Berdasarkan Golongan Kepangkatan, Jumlah Sumber : BKN Regional I Jawa Tengah dan DIY Gambar 2.3. Komposisi PNS Daerah Berdasarkan Pendidikan Tertinggi, (Persen) Sleman Gunungkidul Bantul Kulonprogo Golongan SD SLTP SLTA D1/D2/D3/D4 Sarjana Pasca Sarjana 1,25 2,66 1,41 1,46 DIY 2,92 3,04 24,29 24,65 25,33 Laki-laki 75,00 76,00 22,86 87,27 86,67 82,50 24,47 93,33 25,68 Perempuan 45,63 43,09 41, Sumber : BKN Regional I Jawa Tengah dan DIY 4 25,00 24,00 12,73 13,33 6,67 17, Jumlah % Jumlah % Jumlah % (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) I , , ,07 II , , ,05 III , , ,44 IV , , ,43 4,15 3,45 Struktur PNS daerah DIY didominasi oleh PNS berpendidikan sarjana dan memiliki golongan kepangkatan golongan III. Komposisi PNS menurut jenis kelamin terlihat berimbang 3,13 dengan wakil masing-masing 7 dan 6 orang. Partai Demokrat mengalami punurunan tajam dari 10 kursi di periode menjadi 2 kursi di periode Komposisi keterwakilan perempuan dalam parlemen di semua DPRD kabupaten/ kota di DIY masih relatif rendah. Proporsi yang tertinggi tercatat di Kota Yogyakarta sebesar 25 persen (10 anggota perempuan dari total 40 anggota). Proporsi terendah tercatat di Kabupaten Bantul sebesar 6,7 persen (3 perempuan dari 45 anggota). PEGAWAI NEGERI SIPIL Komposisi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di di wilayah DIY terdiri dari pegawai daerah dan pegawai pusat. Pegawai daerah mencakup semua PNS yang sistem penggajiannya dicakup oleh dana APBD, sementara pegawai pusat mencakup semua PNS yang bekerja di institusi perwakilan pemerintah pusat dan sistem penggajiannya dicakup oleh dana APBN. Jumlah PNS daerah di DIY pada akhir tahun 2015 tercatat sebanyak pegawai yang terdiri dari laki laki (49%) dan perempuan (51%). Fakta ini menggambarkan partisipasi gender di birokrasi/pemerintahan DIY sudah setara. Dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah pegawai daerah menurun sebesar 3,3 persen akibat proses pensiun. Berdasarkan golongan kepangkatan, mayoritas PNS daerah DIY merupakan pegawai golongan III (47,4%). Berikutnya adalah pegawai golongan IV dan II dengan proporsi masing-masing sebesar 35,4 persen dan 15,0 persen. Sementara, proporsi pegawai golongan I tercatat sebanyak 2,1 persen dan jumlahnya semakin menurun dari tahun ke tahun. Dari sisi pendidikan, struktur PNS daerah DIY didominasi oleh pegawai yang berpendidikan tertinggi Sarjana/S1 dengan proporsi 45,6 %. Komposisi terbesar berikutnya adalah pegawai berpendidikan SLTA sederajat dan Diploma I/II/III/IV dengan

14 porsi masing-masing sebesar 24,3 persen dan 22,9 persen. Sementara, jumlah pegawai yang berpendidikan SLTP ke bawah memiliki proporsi sebesar 3,9 persen. Berdasarkan daerah penempatan, proporsi pegawai terbanyak ditempatkan di Pemda kabupaten Sleman dan Bantul masing-masing sebesar 20,9 persen dan 19,9 persen. KEUANGAN DAERAH Penerimaan daerah untuk membiayai pembangunan berasal dari beberapa sumber, yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD); transfer dana perimbangan (dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana Alokasi Khusus/DAK) dan transfer lainnya (dana otonomi khusus dan dana penyesuaian); serta penerimaan lain yang sah. Perkembangan realisasi pendapatan dan belanja pemerintah DIY dalam enam tahun terakhir terlihat semakin meningkat. Pendapatan daerah meningkat dari Rp 1,4 triliun di tahun 2010 menjadi 3,4 triliun di tahun 2015 atau secara nominal tumbuh 20 persen per tahun. Belanja dan transfer juga meningkat searah dengan pendapatan. Nilai belanja dan transfer pada tahun 2015 mencapai Rp 3,5 triliun, sehingga terjadi defisit Rp 96,4 milyar. Defisit ini dibiayai melalui SILPA tahun sebelumnya dan penerimaan lain. Komposisi pendapatan mengalami perubahan cukup nyata, terutama pasca penetapan UU Keistimewaan DIY. Sampai dengan tahun 2011, komponen PAD masih mendominasi dengan proporsi 54,0 persen, diikuti pendapatan transfer (45,6 %) dan pendapatan lain yang sah (0,4 %). Mulai tahun 2012 sampai 2015, pendapatan transfer pemerintah pusat terlihat semakin mendominasi. Komponen PAD yang memiliki andil terbesar adalah pajak daerah terutama dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor. Komponen pajak daerah memberi andil 41,1 persen terhadap total pendapatan daerah Sementara, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan PAD Tabel 2.3. Komposisi PNS Daerah menurut Jenis Kelamin dan Wilayah Penempatan, 2015 Golongan Laki-laki Perempuan L+P Jumlah % Jumlah % Jumlah % (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Kulonprogo , , Bantul , , Gunungkidul , , Sleman , , Yogyakarta , , DIY , , Jumlah , , Sumber : BKN Regional I Jawa Tengah dan DIY Realisasi pendapatan dan belanja pemerintah DIY meningkat tajam pasca dicairkannya alokasi dana keistimewaan sejak tahun 2012 sebagai salah satu implementasi keistimewaan DIY. 2 Tabel 2.4. Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah DIY Berdasarkan Sumber, (Milyar Rp.) Sumber : diolah dari DJPK, Kemenkeu RI 5

15 2 Tabel 2.5. Distribusi Pendapatan dan Belanja Pemerintah DIY Berdasarkan Sumber, (Persen) Sumber : diolah dari DJPK, Kemenkeu RI Gambar 2.4. Distribusi Belanja Pemerintah DIY menurut Fungsi, 2015 (Persen) Perumahan dan Fasilitas Umum; 12,55 Pelayanan Umum; 48,16 Ekonomi; 10,48 Sumber : diolah dari DJPK, Kemenkeu RI 6 Pendidikan; 9,60 Pariwisata dan Budaya; 10,48 Kesehatan; 4,82 Perlindungan Sosial; 2,37 Ketertiban dan Keamanan; 1,08 Lingkungan Hidup; 0,46 lain kontribusinya relatif kecil. Komponen pendapatan transfer yang cukup dominan adalah dana perimbangan (30,6 %) dengan sumber utama berasal dari DAU (27,1 %), diikuti bagi hasil pajak dan dana alokasi khusus. Transfer pemerintah berupa dana otonomi khusus dan dana penyesuaian memberi sumbangan sebesar 22,7 terhadap pendapatan daerah Struktur pengeluaran pemerintah terdiri dari dua komponen, yakni belanja (belanja operasi, belanja modal, dan belanja tak terduga) dan transfer (bagi hasil pajak, bagi hasil retribusi, dan lainnya). Realisasi pengeluaran pemerintah DIY dalam beberapa tahun masih didominasi komponen belanja dengan proporsi sekitar 83 persen dari total pengeluaran. Sementara, pengeluaran transfer memiliki proporsi pada kisaran 17 persen. Jenis belanja yang paling dominan adalah belanja operasi, meskipun proporsinya cenderung menurun. Proporsi belanja operasi pada tahun 2015 tercatat sebesar 65,4 persen. Beban untuk belanja pegawai, belanja hibah dan bantuan keuangan secara proporsi menurun, sementara belanja barang terlihat meningkat. Proporsi belanja modal pada tahun 2015 tercatat sebesar 18 persen dan terlihat meningkat secara nyata dalam enam tahun terakhir. Jenis belanja modal yang dominan adalah belanja gedung dan bangunan serta belanja jalan, irigasi dan jaringan. Komponen transfer berupa bagi hasil pajak kepada pemerintah kabupaten/kota/desa memiliki proporsi 16,7 persen di tahun Berdasarkan fungsinya, realisasi belanja pemerintah DIY tahun 2015 yang terbesar digunakan untuk kegiatan pelayanan umum (48,2 %). Proporsi terbesar berikutnya adalah pengeluaran bidang perumahan dan fasilitas umum (12,6 %), diikuti oleh pengeluaran bidang ekonomi dan bidang pariwisata budaya (10,5 %). Pengeluaran bidang lingkungan hidup, bidang ketertiban dan keamanan, perlindungan sosial dan kesehatan memiliki proporsi di bawah 5 persen.

16 PENDUDUK 3 JUMLAH DAN PERTUMBUHAN PENDUDUK Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk DIY tercatat sebanyak jiwa. Komposisinya adalah 49,4 persen laki-laki dan 50,6 persen perempuan. Jumlah penduduk DIY semakin bertambah setiap tahun dengan laju pertumbuhan yang berfluktuasi. Hasil Sensus Penduduk tahun 1971 mencatat jumlah penduduk DIY sebanyak 2,5 juta jiwa dan meningkat menjadi 3,5 juta jiwa di tahun Jumlah penduduk ini akan bertambah menjadi 3,9 juta di tahun 2020 berdasarkan hasil proyeksi penduduk Laju pertumbuhan penduduk DIY selama periode tercatat sebesar 1,10 persen per tahun. Laju ini melambat menjadi 0,58 persen per tahun di periode dan 0,72 persen per tahun di periode sebagai dampak keberhasilan pelaksanaan program Keluarga Berencana dan perbaikan kesehatan penduduk. Hal ditandai oleh membaiknya kesehatan ibu dan balita, sehingga terjadi penurunan angka kematian bayi yang diikuti oleh penurunan fertilitas. Namun, pada periode pertumbuhan penduduk kembali meningkat menjadi 1,04 persen per tahun. Laju pertumbuhan penduduk tercepat selama empat dekade terjadi di Kabupaten Sleman dan Bantul. Pada periode , kedua daerah memiliki laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,9 dan 1,6 persen per tahun. Sementara, Kota Yogyakarta justru mengalami pertumbuhan negatif sebesar 0,2 persen. Sebagai pusat perekonomian sekaligus pemerintahan, wilayah Kota Yogyakarta yang terbatas sudah semakin jenuh untuk menampung penduduk akibat meningkatnya aktivitas perekonomian. Dampaknya, terjadi perkembangan kawasan pemukiman yang masif di wilayah yang menjadi penyangga Kota Yogyakarta, terutama di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Tabel 3.1. Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di DIY, Hasil Sensus Penduduk (Jiwa) Sumber : Data Sensus Penduduk, BPS DIY Tabel 3.2. Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun menurut Kabupaten/Kota di DIY (Persen) Sumber : Data Sensus Penduduk , BPS DIY Gambar 3.1. Proyeksi Jumlah Penduduk DIY menurut Jenis Kelamin, (Ribu Jiwa) Sumber : Proyeksi Penduduk Indonesia Tahukah Anda? Proporsi jumlah penduduk DIY hanya 1,4 persen dari populasi penduduk Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk DIY (1,04%) lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk Indonesia (1,49%). 7

17 3 Tabel 3.3. Distribusi Penduduk menurut Kabupaten/Kota Hasil SP Tahun (Persen) Sumber : Profil Kependudukan Hasil SP 2010, BPS DIY Gambar 3.2. Laju Pertumbuhan Penduduk DIY menurut Kecamatan (Persen) Sumber : Profil Kependudukan Hasil SP 2010, BPS DIY Gambar 3.3. Kepadatan Penduduk DIY menurut Kecamatan Hasil SP 2010 (jiwa/km 2 ) Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY 8 PERSEBARAN DAN KEPADATAN PENDUDUK Persebaran penduduk DIY sampai tahun 2010 terpusat di Kabupaten Sleman dan Bantul. Kedua kabupaten memiliki distribusi penduduk terbesar dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sementara, penduduk di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul juga semakin meningkat, namun laju pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan Sleman dan Bantul, sehingga distribusi penduduknya semakin menurun. Sementara, Kota Yogyakarta menjadi wilayah yang populasi sudah jenuh, bahkan cenderung berkurang akibat wilayah administasi yang terbatas untuk pemukiman Kepadatan penduduk DIY pada tahun 2010 tercatat sebesar jiwa/km 2, artinya setiap 1 km 2 wilayah dihuni oleh penduduk. Kepadatan penduduk ini menempati urutan ketiga secara nasional setelah DKI Jakarta ( jiwa/km 2 ) dan Jawa Barat (1.217 jiwa/km 2 ). Dibandingkan dengan tahun 2000 (979 jiwa/km 2 ), kepadatan penduduk tahun 2010 meningkat dengan selisih 106 jiwa/km 2. Artinya, selama sepuluh tahun jumlah penduduk di setiap 1 km 2 wilayah DIY bertambah sebanyak 106 jiwa. Berdasarkan wilayah, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kota Yogyakarta. Setiap 1 km 2 wilayah Kota Yogyakarta dihuni oleh jiwa penduduk. Tingginya kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta berkaitan dengan luas wilayah administrasi yang terbatas (1,0 % wilayah DIY) dan sudah jenuh untuk menampung populasi penduduk akibat perkembangan aktivitas perekonomian yang semakin menggeser kawasan pemukiman. Kabupaten Sleman dan Bantul menjadi daerah yang memiliki peningkatan kepadatan penduduk tertinggi. Pada tahun 2010, kepadatan penduduk di kedua daerah

18 mencapai jiwa/km 2 dan jiwa/km 2. Gunungkidul menjadi daerah dengan kepadatan penduduk terendah (445 jiwa/km 2 ). Rendahnya kepadatan penduduk di Gunungkidul berkaitan dengan karakteristik wilayah yang relatif luas dan memiliki topografi berupa pegunungan yang kurang menarik untuk dijadikan sebagai tempat tinggal maupun tempat untuk melakukan aktivitas ekonomi. Bahkan, terdapat kecenderungan kaum terdidik dari daerah ini justru melakukan migrasi keluar dengan tujuan mencari penghidupan yang lebih baik. KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT USIA DAN JENIS KELAMIN Komposisi penduduk DIY berdasarkan kelompok usia hasil SP1971 sampai SP2010 menunjukkan pergeseran yang cukup nyata. Komposisi penduduk hasil SP 1971 didominasi oleh kelompok penduduk berusia muda (< 20 tahun), sementara kelompok yang berusia tua jumlahnya tidak dominan. Hal ini terjadi akibat tingginya angka kelahiran selama periode an, sementara angka harapan hidup penduduk juga relatif rendah. Komposisi penduduk hasil SP1980 dan SP2000 semakin bergerak ke atas. Kelompok usia yang cukup dominan dalam dalam piramida 2000 adalah tahun. Namun demikian, populasi pada kelompok usia di atasnya juga terlihat semakin membesar dibandingkan dengan piramida periode sebelumnya. Komposisi penduduk dalam piramida hasil SP 2010 terlihat semakin merata dibandingkan dengan piramida pada tiga dekade sebemumnya. Hal ini berarti sebaran populasi mulai kelompok usia <4 tahun sampai usia tahun menjadi lebih merata. Populasi pada kelompok tua juga terlihat semakin membesar. Secara umum, fenomena ini menggambarkan perkembangan populasi penduduk kelompok usia muda yang cukup progresif dan mendorong peningkatan jumlah angkatan kerja. Hal ini bisa Tabel 3.4. Luas Wilayah (km 2 ) dan Kepadatan Penduduk DIY (jiwa/km 2 ) Hasil SP Sumber : Profil Kependudukan Hasil SP 2010, BPS DIY Gambar 3.4. Piramida Penduduk DIY Hasil SP 1971, 1980, 2000 dan 2010 (Ribu Jiwa) Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY 3 Tabel 3.5. Sex Ratio Penduduk DIY menurut Kabupaten/ Kota Hasil Sensus Penduduk

19 3 Gambar 3.4. Sex Ratio Penduduk DIY menurut Kelompok Umur Hasil SP 2010 Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY Tabel 3.6. Dependency Ratio Penduduk DIY Hasil SP (Persen) Kab/Kota Rasio Beban Ketergantungan Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta DIY Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY Tahukah Anda? Seks rasio penduduk DIY kurang dari 100, artinya jumlah perempuan lebih dominan dari laki-laki. Dependency ratio DIY pada kisaran 45%, artinya 100 penduduk berusia produktif menanggung 45 penduduk yang belum produktif dan sudah tidak produktif. menjadi potensi ketika penduduk yang masuk pasar kerja memiliki keahlian yang mumpuni dan didukung oleh tersedianya kesempatan kerja yang memadai. Jika kesempatan kerja yang tersedia terbatas peningkatan penduduk usia produktif perlu diantisipasi agar tidak berdampak pada peningkatan penganggur. Komposisi penduduk DIY hasil SP 2010 lebih didimonasi oleh penduduk perempuan dengan seks rasio sebesar 97,7. Artinya, terdapat 98 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan. Seks rasio ini mengalami penurunan dibandingkan dengan hasil SP2000 (98,3). Seks rasio menurut kabupaten/kota memiliki nilai kurang dari 100, kecuali di Kabupaten Sleman. Artinya jumlah penduduk perempuan lebih dominan dari laki-laki, kecuali di Kabupaten Sleman. Seks rasio menurut kelompok umur hasil SP 2010 di DIY memiliki pola semakin menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur. Nilai seks rasio saat lahir sampai usia 29 tahun berada di atas 100, artinya jumlah penduduk laki-laki lebih dominan. Mulai usia 30 tahun ke atas, jumlah penduduk perempuan cenderung lebih dominan. Bahkan, pada kelompok usia di atas 70 tahun jumlah penduduk perempuan terlihat jauh lebih dominan dengan seks rasio di bawah 80. Rasio beban ketergantungan (Dependency Ratio) dihitung dari perbandingan antara penduduk yang belum/tidak produktif secara ekonomi (usia <15 tahun dan 65 tahun ke atas) dengan penduduk yang berusia produktif (usia tahun). Rasio ketergantungan penduduk DIY hasil beberapa sensus memiliki pola yang semakin menurun. Pada tahun 2010 rasio beban ketergantungan tercatat sebesar 45,9 persen, sehingga setiap 100 penduduk produktif menanggung 46 orang yang belum produktif dan sudah tidak produktif. Angka tersebut lebih tinggi dari tahun 2000 (44,7 %). 10

20 KETENAGAKERJAAN 4 Tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi yang memiliki peran sentral dalam menggerakkan aktivitas perekonomian. Konsep ketenagakerjaan yang digunakan BPS merujuk pada rekomendasi dari International Labor Organization (ILO). Penduduk berusia produktif (15 tahun ke atas) dibagi berdasarkan aktivitasnya menjadi dua kelompok, yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terbagi menjadi dua bagian yakni bekerja dan penganggur. Sementara, bukan angkatan kerja mencakup mereka yang bersekolah, mengurus rumah tangga, dan lainnya. Pertumbuhan angkatan kerja memiliki arah yang sama dengan pertumbuhan penduduk, namun pertumbuhan penciptaan kesempatan kerja berjalan lebih lambat. Akibatnya, tidak semua angkatan kerja mampu terserap oleh pasar tenaga kerja dan terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja sehingga terjadi pengangguran dan persoalan ketenagakerjaan lainnya. Beberapa aspek ketenagakerjaan yang dikaji dalam bagian ini menyangkut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), serta karakteristik penduduk bekerja. Komposisi penduduk berusia kerja (15 tahun ke atas) di DIY menurut kegiatan utama berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bulan Agustus dalam beberapa tahun terakhir disajikan dalam Tabel 4.1. Jumlah penduduk berusia kerja meningkat dari 2,7 juta jiwa di bulan Agustus 2010 menjadi 2,9 juta jiwa di bulan Agustus Komposisi angkatan kerja terhadap penduduk berusia kerja berfluktuasi antara 68 sampai 72 persen. Sementara, komposisi bukan angkatan kerja berfluktuasi antara 28 sampai 32 persen. TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA Pada bulan Februari 2016, jumlah angkatan kerja di DIY tercatat sebanyak 2,1 juta jiwa sehingga TPAK-nya sebesar 72,2 persen. Angka ini menggambarkan proporsi atau bagian Gambar 4.1. Bagan Pembagian Penduduk Berdasarkan Aktivitas Ketenakagerjaan Tabel 4.1. Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kegiatan Utama di DIY, (Ribu Jiwa) Sumber: Sakernas Agustus, BPS Tahukah Anda? TPAK perdesaan DIY lebih tinggi dari perkotaan dan TPAK laki-laki lebih tinggi dari perempuan. 11

21 4 Gambar 4.2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) DIY menurut Jenis Kelamin, (%) Sumber: Sakernas, BPS DIY Gambar 4.3. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) DIY menurut Wilayah, (%) Sumber: Sakernas, BPS DIY Gambar 4.4. Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY, (%) dari penduduk berusia kerja yang terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian. Secara umum, terdapat pola TPAK bulan Februari yang cenderung lebih tinggi dari TPAK bulan Agustus. Fenomena ini terkait dengan siklus masa puncak panen tanaman pangan yang terjadi selama kuartal pertama. Masa puncak panen mendorong peningkatan TPAK di daerah perdesaan, karena pada masa tersebut permintaan pekerja pertanian meningkat. Perkembangan TPAK DIY menurut jenis kelamin menunjukkan TPAK laki-laki lebih tinggi dari perempuan. TPAK laki-laki berfluktuasi pada kisaran persen. TPAK perempuan berfluktuasi berada pada kisaran persen. Fenomena ini mengindikasikan keterlibatan penduduk laki-laki dalam aktivitas perekonomian lebih dominan. Hal ini terjadi karena sebagian besar aktivitas mengurus rumah tangga di DIY dilakukan oleh perempuan. Selain itu, ada pandangan bahwa mencari nafkah adalah tanggung jawab lakilaki sehingga lebih sedikit perempuan yang masuk dalam pasar tenaga kerja. Perkembangan TPAK menurut wilayah menunjukkan TPAK perdesaan selalu lebih tinggi dari perkotaan. TPAK perdesaan berfluktuasi antara persen dan TPAK perkotaan berfluktuasi antara persen. Fenomena ini terkait dengan kecenderungan penduduk perkotaan yang lebih memilih menyelesaikan masa studi sampai tuntas sebelum masuk pasar tenaga kerja serta lebih selektif dalam memilih jenis pekerjaan. Sementara, penduduk perdesaan memiliki masa bersekolah yang lebih singkat kemudian masuk pasar tenaga kerja dengan motif membantu ekonomi keluarga, meski berstatus pekerja keluarga atau di sektor informal. Sumber: Sakernas, BPS DIY Fluktuasi TPT di DIY dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro (pertumbuhan ekonomi dan inflasi) serta faktor musiman. TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) TPT merepresentasikan bagian/proporsi dari angkatan kerja yang tidak terserap oleh pasar tenaga kerja. Perkembangan TPT DIY selama Februari 2005-Februari 2016 memiliki pola yang berfluktuasi pada kisaran 12

22 2,2-7,6 persen dan memiliki kecenderungan yang semakin menurun. Pada bulan Februari 2005, TPT DIY tercatat sebesar 5,0 persen dan meningkat tajam menjadi 7,9 persen di bulan November 2005 sebagai dampak dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Pada periode berikutnya, secara bertahap TPT DIY semakin menurun hingga mencapai level 2,8 persen di bulan Februari Perkembangan TPT menurut wilayah menunjukkan pola yang hampir sama, namun terdapat kecenderungan TPT daerah perkotaan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan. Secara kasar, fenomena ini menunjukkan bahwa angkatan kerja di perdesaan lebih mudah terserap pasar kerja. Alasannya pada umumnya mereka akan menerima jenis pekerjaan apa saja termasuk jenis pekerjaan informal dan berstatus pekerja keluarga. Sebaliknya, angkatan kerja perkotaan lebih selektif dalam memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan upah. Lamanya waktu dalam mencocokkan jenis pekerjaan inilah yang mendorong TPT daerah perkotaan lebih tinggi. TPT perkotaan pada bulan Februari 2016 tercatat sebesar 3,5 persen, sementara TPT perdesaan sebesar 1,3 persen. Pola TPT menurut jenis kelamin tampak lebih dinamis dan lebih berfluktuasi, meski keduanya terlihat memiliki kecenderungan menurun. Mulai periode Februari 2005-Agustus 2008, TPT perempuan tercatat lebih tinggi, namun di selama Februari 2009-Februari 2011 TPT laki-laki tercatat lebih tinggi. Pada Februari 2016, TPT laki-laki tercatat sebesar 3,6 persen dan perempuan sebesar 1,9 persen. STRUKTUR ANGKATAN KERJA MENURUT PENDIDIKAN Berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, komposisi angkatan kerja yang berpendidikan rendah (SLTP ke bawah) dan berpendidikan tinggi (SLTA ke atas) hampir seimbang. Pada kondisi bulan Agustus 2015, komposisi angkatan kerja yang tidak/belum pernah sekolah dan tidak/belum tamat SD Tabel 4.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY menurut Wilayah, (%) Sumber: Sakernas, BPS DIY Tabel 4.3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY menurut Jenis Kelamin, (%) Sumber: Sakernas, BPS DIY Tabel 4.4. Struktur Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja dan Penganggur di DIY menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi, 2015 Sumber: Sakernas, Agustus 2015 BPS DIY 4 13

23 4 Gambar 4.5. Komposisi Penduduk Bekerja dan Penganggur di DIY menurut Pendidikan Tertinggi (Persen) Sumber: Sakernas, Agustus 2015 BPS DIY Gambar 4.6. Komposisi Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha di DIY (Persen) Sumber: Sakernas Agustus 2015, BPS DIY Pengangguran terdidik yang semakin meningkat berkaitan dengan persoalan friksional, angkatan kerja yang baru masuk pasar tenaga kerja lebih selektif dalam memilih jenis pekerjaan dan upah yang sesuai dengan bidang pendidikannya 14 sebesar 13,1 persen. Komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SD dan SLTP masing-masing sebesar 17,9 dan 18,0 persen. Sementara, komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SLTA dan Akademi/PT masingmasing sebesar 35,6 dan 15,4 persen. Perkembangan angkatan kerja menurut pendidikan selama beberapa tahun terakhir terlihat cukup dinamis. Komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SD ke bawah cenderung menurun, sementara yang berpendidikan SLTP relatif stabil. Sebaliknya, angkatan kerja yang berpendidikan SLTA ke atas cenderung komposisinya semakin meningkat. Secara umum, hal ini menggambarkan adanya perbaikan kualitas angkatan kerja. Komposisi penduduk bekerja secara umum memiliki pola yang sama dengan komposisi angkatan kerja. Komposisi penduduk bekerja yang berpendidikan SD ke bawah masih cukup besar dan mayoritas terdapat di perdesaan. Komposisi pekerja yang berpendidikan SLTA ke atas menunjukkan pola yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Persoalan ketenagakerjaan yang cukup serius adalah semakin meningkatnya komposisi penganggur yang berpendidikan tinggi atau penganggur terdidik. Berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2015, 74 persen penganggur berpendidikan SLTA ke atas (penganggur terdidik). STRUKTUR PENDUDUK BEKERJA MENURUT LAPANGAN USAHA Pasar tenaga kerja di DIY didominasi oleh empat lapangan usaha, yakni pertanian; perdagangan, hotel dan restoran; jasa-jasa; dan sektor industri pengolahan. Lapangan usaha pertanian yang pada masa awal pembangunan sangat dominan dalam menyerap angkatan kerja, secara berangsur-angsur peranannya mulai tergantikan oleh lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran. Pada bulan Agustus 2015, lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran menyerap 26,7 persen angkatan kerja. Sementara, lapangan usaha

24 pertanian masih mampu menyerap 23,1 persen angkatan kerja. Lapangan usaha jasa-jasa dan industri pengolahan masing-masing menyerap 21,2 persen dan 14,6 persen. Lapangan usaha lainnya menyerap angkatan kerja dengan proporsi yang bervariasi di bawah 10 persen. Berdasarkan series data selama enam tahun terakhir, lapangan usaha pertanian memiliki kontribusi menyerap angkatan kerja yang semakin menurun. Sementara, kontibusi lapangan usaha industri pengolahan, transportasi dan komunikasi, keuangan, dan lainnya relatif stabil. Lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran; konstruksi; dan jasa-jasa memiliki kontibusi menyerap tenaga kerja yang semakin meningkat. Struktur penduduk bekerja berdasarkan status dalam pekerjaan utama didominasi oleh mereka yang berstatus buruh/karyawan/ pegawai. Pada bulan Agustus 2015, komposisinya mencapai 45,3 persen dan proporsinya cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Proporsi pekerja yang statusnya berusaha mencapai 33 persen, terdiri dari berusaha sendiri (15,5 %), berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar (14,0 %) dan berusaha dibantu buruh tetap (3,5 %). Perkembangan proporsi pekerja yang berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar semakin menurun, sementara yang berusaha sendiri semakin meningkat. Proporsi pekerja bebas/ lepas di sektor pertanian dan non pertanian tercatat sebesar 9,7 persen, sementara pekerja tak dibayar sebesar 11,9 persen. TINGKAT SETENGAH PENGANGGURAN Isu ketenagakerjaan lain yang cukup menarik untuk dicermati adalah struktur pekerja menurut jam kerja per minggu. Komposisi pekerja dengan jumlah jam kerja di atas jam kerja normal (35 jam seminggu) berdasarkan hasil Sakernas selama beberapa tahun terakhir berada di atas 70 persen. Pada kondisi Agustus 2015, proporsinya sebesar 77,2 persen. Sementara, komposisi pekerja dengan jam kerja di bawah jam kerja normal tercatat sebesar 22,8 Tabel 4.5. Struktur Penduduk Bekerja di DIY menurut Lapangan Pekerjaan Utama (Persen) Sumber: Sakernas Agustus , BPS DIY Gambar 4.7. Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut Status Pekerjaan Utama, 2015 (Persen) Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar; 3,48 Buruh/ Karyawan; 45,31 Sumber: Sakernas Agustus 2015, BPS DIY Gambar 4.8. Komposisi Penduduk Bekerja menurut Jumlah Jam Kerja per Minggu, (Persen) Sumber: Sakernas, BPS DIY Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Tidak Dibayar; 14,04 Pekerja Bebas ; 9,72 Berusaha Sendiri; 15,54 Pekerja Tak Dibayar; 11,92 Proporsi pekerja bebas di sektor pertanian di DIY semakin menurun, sebaliknya pekerja bebas non pertanian proporsinya semakin meningkat Jam Jam 0 dan 35+ Jam ,2 66,3 76,1 73,4 71,7 75,7 71, ,6 76,7 77, , ,1 18,1 18,8 21,6 21,5 17,7 18,0 17,6 16, ,3 5,9 7,7 7,8 6,7 6,6 7,4 7,5 5,8 6,0 0 Feb'11 Ags'11 Feb'12 Ags'12 Feb'13 Ags'13 Feb'14 Ags'14 Feb'15 Ags'

25 4 Tahukah Anda? Mayoritas penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal berstatus sebagai pekerja tak dibayar, terdapat di sektor pertanian, dan berada di daerah perdesaan. Gambar 4.6. Perkembangan Upah Minumum Provinsi (UMP) DIY, (Rp 000) persen. Jika lebih dirinci, maka sebanyak 16,8 persen pekerja memiliki jumlah jam kerja jam seminggu dan 6 persen lainnya memiliki jumlah jam kerja 1-14 jam seminggu. Hal ini mengindikasikan masih cukup besar populasi pekerja yang termasuk dalam kategori setengah pengangguran (under unemployment) karena memiliki jam kerja kurang dari jam kerja normal. Dalam beberapa tahun terakhir angka setengah pengangguran di DIY menunjukkan perkembangan yang semakin menurun. UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP) ht tp :// yo gy ak ar ta.b ps.g o. id UMP merupakan standar upah minimal yang harus dibayarkan oleh pengusaha/ perusahaan kepada karyawan/buruh/pegawai sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup minimum yang layak (KHL) yang berlaku di provinsi yang bersangkutan. Tujuan utama penetapan upah minimum adalah untuk menjaga daya beli penduduk/pekerja akibat adanya kenaikan harga atau inflasi. Penentuan UMP dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah yang terdiri dari perwakilan birokrat, akademisi dan serikat pekerja melalui survei kebutuhan hidup minimum yang dilakukan setiap tahun. UMP DIY diambil dari nilai Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang terendah di DIY yakni UMK Kabupaten Gunungkidul. 16 UMP menjadi isu yang sensitif karena dalam realita tidak semua perusahaan mampu melakukan pembayaran upah sesuai dengan ketentuan. Sementara, nilai UMP yang ditetapkan di lain pekerja dinilai masih jauh dari kebutuhan hidup minimum yang layak. Pada tahun 2016, UMP DIY secara nominal ditetapkan sebesar Rp 1,24 juta per bulan. UMP ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2015 yang sebesar Rp 1,1 juta. Secara nominal, UMP dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan, meskipun dari sisi KHL cenderung berfluktuasi dan sangat tergantung pada tingkat perubahan harga yang berlaku.

26 PENDIDIKAN 5 Salah satu tujuan negara yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk mewujudkannya adalah dengan meningkatkan kualitas manusia melalui jalur pendidikan baik formal maupun non formal. Sub-bab ini menyajikan perkembangan beberapa indikator bidang pendidikan seperti rasio murid-guru, rasio murid-kelas, angka partisipasi sekolah, angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah penduduk. RASIO MUDIR GURU DAN MURID KELAS Data infrastruktur pada berbagai tingkatan pendidikan di DIY secara umum berkualitas baik, namun belum merata dari sisi sebaran antar wilayah. Berdasarkan data dari Disdikpora DIY selama beberapa tahun terakhir, rata-rata jumlah murid dan jumlah guru per sekolah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Pada tahun ajaran 2015/2016, setiap sekolah level SD ratarata menampung 154 murid, level SLTP 296 murid, level SLTA 325 murid dan level SMK 373 murid. Rasio murid-guru memiliki pola yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan, sehingga rasio murid-guru pada tingkat SD lebih tinggi dari SLTP dan rasio murid-guru tingkat SLTP lebih tinggi dari SLTA dan SMK. Pada tahun ajaran 2015/2016, seorang guru SD rata-rata memiliki beban untuk mengajar sebanyak 14 murid. Sementara, pada tingkat SLTP; SLTA dan SMK masing masing memiliki beban mengajar sebanyak 13, 10, dan 9 murid. Perkembangan rasio murid guru pada semua tingkatan selama beberapa tahun terakhir masih berada dalam kondisi ideal dan hal ini menjadi indikasi yang baik karena ketersediaan tenaga pendidik masih tercukupi. Rasio murid-kelas pada tingkat SD berada pada kisaran 21 murid per kelas dan angka ini menggambarkan daya tampung kelas pada tingkat SD yang masih lebih rendah dibanding dengan tingkat SLTP maupun SLTA. Sementara, Tabel 5.1. Rata-rata Murid dan Guru per Sekolah, Rasio Murid-Guru, dan Murid-Kelas menurut Tingkatan Pendidikan di DIY Sumber : Diolah dari data Disdikpora DIY Tahukah Anda? Rasio murid-kelas dan murid-guru di DIY sudah berada pada taraf ideal. Hal ini menjadi prasyarat utama kegiatan belajar mengajar dapat berjalan secara efektif. 17

27 5 Gambar 5.1. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Kelompok Penduduk Usia Sekolah DIY, (Persen) daya tampung pada tingkat SLTP, SLTA dan SMK di tahun 2013/2014 berada pada kisaran murid per kelas. Secara umum, rasio murid-kelas di semua jenjang masih ideal. Sumber : BPS Gambar 5.2. Angka Partisipasi Sekolah menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin di DIY, 2015 (Persen) Sumber : Susenas 2015, BPS Tahukah Anda? APS DIY memiliki pola menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur (APS 7-12>APS 13-15>APS 16-18>19-24 tahun). APS laki-laki dan perempuan menurut kelompok usia sudah setara, artinya tidak ada kesenjangan gender dalam mengakses sekolah. APS perdesaan lebih rendah dari perkotaan, karena infrastruktur sekolah menengah ke atas terpusat di perkotaan. 18 ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH (APS) APS merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Indikator ini berguna untuk mengetahui seberapa besar akses penduduk usia sekolah terhadap institusi pendidikan yang tersedia APS dihitung dari rasio antara jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah yang bersekolah pada berbagai tingkatan dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sesuai. Semakin tinggi APS mencerminkan semakin besar peluang penduduk usia sekolah yang mendapat kesempatan bersekolah. APS penduduk DIY berusia 7-12 (usia SD) tahun selama satu dekade terakhir terlihat sudah mendekati 100 persen, tepatnya sebesar 99,9 persen pada tahun Angka ini mengindikasikan masih ada 0,1 persen penduduk berusia 7-12 tahun yang belum/tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah atau sudah putus sekolah. APS penduduk berusia tahun (usia SLTP) juga terlihat semakin meningkat mendekati angka 100 persen. Pada tahun 2015 tercatat sebesar 99,7 persen, artinya masih ada 0,3 persen penduduk berusia tahun yang tidak/belum pernah bersekolah atau sudah tidak sekolah lagi. Berbagai permasalahan seperti biaya pendidikan, akses ke sekolah, membantu ekonomi keluarga, atau tidak mau bersekolah karena alasan tidak mampu mengikuti menjadi mereka bagi mereka yang tidak berpartisipasi dalam sekolah. APS penduduk berusia tahun selama satu dekade terakhir menunjukkan peningkatan yang lebih tajam, meski dari sisi level masih jauh di bawah kelompok usia 7-12 tahun dan tahun. Pada tahun 2015, APS penduduk berusia tahun tercatat sebesar 86,8 persen. Sementara, APS

28 penduduk berusia tahun tercatat pada kisaran 49,2 persen. Gambar 5.3. APM Penduduk DIY menurut Jenjang Pendidikan, (Persen) ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH MURNI (APM) Partisipasi sekolah penduduk juga bisa dikaji berdasarkan nilai APM. APM dihitung dari jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada jenjang sekolah yang sesuai dengan usianya dibagi dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama. Indikator ini berguna untuk melihat proporsi penduduk sekolah yang tepat waktu. APM penduduk berusia SD di DIY pada tahun 2015 mencapai 99 persen. Artinya, jumlah penduduk berusia 7-12 tahun yang Sumber : BPS sedang bersekolah pada tingkat SD mencapai 99 persen. Sisanya sebanyak 0,8 persen kemungkinan belum bersekolah pada tingkat Tahukah Anda? SD atau sudah bersekolah di tingkat SLTP atau sudah putus sekolah. Selama satu dekade terakhir APM usia SD cenderung meningkat, meski terjadi penurunan di tahun 2011 akibat perubahan metodologi Susenas. APM tingkat SLTP dan SLTA tahun 2015 masing-masing sebesar 82,7 persen dan 68,6 Gambar 5.4 persen. APM semakin menurun seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan, sehingga APM SD>SLTP>SLTA. Berdasarkan jenis kelamin, APM di semua jenjang tidak menunjukkan perbedaan, sehingga kesetaraan jender untuk mengakses pendidikan sampai level pendidikan menengah di DIY sudah tercapai. Level APM usia SD tahun 2015 di DIY menjadi yang tertinggi secara nasional. Level APM usia SLTP dan SLTA DIY tahun 2015 berada di peringkat keempat secara nasional di bawah Provinsi Bali, NAD, dan Kepri. Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas di DIY, (Persen) 5 ANGKA MELEK HURUF (AMH) AMH menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan pendidikan di masa lampau dan mencerminkan kualitas pencapaian stok modal manusia di suatu wilayah. Indikator ini menggambarkan kemampuan dasar penduduk dalam berkomunikasi secara lisan (verbal) dan secara tertulis maupun kemampuan untuk menyerap informasi dari berbagai media. AMH diukur dari proporsi penduduk 15 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis baik dalam huruf latin maupun lainnya. Sumber : Susenas Maret, BPS RI 19

29 5 Tabel 5.2. Angka Melek Huruf (AMH) DIY dan Nasional menurut Kelompok Umur, (Persen) Kelompok Umur/ Wilayah (1) (9) (10) (11) (12) (13) (14) DIY 90,84 91,04 92,00 92,82 94,44 94,50 Indonesia 92,91 92,44 92,97 93,92 95,12 95,22 DIY 99,38 99,37 99,66 99,80 99,91 99,81 Indonesia 98,29 97,69 97,97 98,39 98,76 98,90 DIY 78,05 78,94 80,83 82,47 86,29 87,20 Indonesia 81,75 81,85 82,83 84,85 87,75 88,11 Sumber : Susenas Maret, BPS Gambar 5.5 Rata-rata Lama Bersekolah Penduduk DIY dan Nasional, (Tahun) ,22 8,38 7,24 7,30 8,50 8,59 7,40 7,47 7,52 8,71 8,78 8,51 8,53 20 DIY 7,72 Nasional 8,63 8,72 7,46 7,52 7,59 7, *)2011*)2012*)2013*)2014*)2015*) Sumber : Susenas Maret, BPS RI Catatan : *) dihitung menggunakan data penduduk 25+ tahun Tahukah Anda? AMH penduduk laki-laki di DIY lebih tinggi dari penduduk perempuan, artinya ada ketimpangan gender dalam mengakses pendidikan pada masa lampau. Profil penduduk buta huruf di DIY sebagian besar berusia lanjut (dampak dari tingginya usia harapan hidup) dan tinggal di perdesaan, Secara alamiah, jumlahnya semakin berkurang 8,84 7,73 9,00 7,84 Perkembangan AMH penduduk DIY selama periode menunjukkan pola yang semakin meningkat. Pada tahun 2003, AMH tercatat sebesar 85,8 persen dan secara bertahap meningkat menjadi 94,5 persen di tahun Hal ini berarti masih ada 5,5 persen penduduk yang berstatus buta huruf (tidak/belum memiliki kemampuan baca tulis). Dibandingkan dengan level nasional, AMH penduduk DIY cenderung lebih rendah. Berdasarkan kelompok usia, maka terlihat cukup jelas penyebab tingginya AMH di DIY adalah andil AMH pada kelompok penduduk tua (>45 tahun). Sementara, AMH usia tahun di DIY sudah lebih tinggi dari level nasional. Pada tahun 2015, AMH usia 45+ tahun di DIY tercatat sebesar 87,2 persen dan lebih rendah dari AMH nasional (88,1 persen). RATA-RATA LAMA SEKOLAH Kualitas modal manusia juga dapat dilihat dari Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang ditempuh oleh penduduk berusia produktif. Sampai tahun 2009, RLS dihitung menggunakan kelompok penduduk berusia15 tahun ke atas dan mulai tahun 2010 dihitung menggunakan kelompok penduduk berusia 25 tahun ke atas. Pendekatan baru menghasilkan level RLS yang lebih rendah lebih rendah, tetapi lebih representatif. Perkembangan RLS penduduk DIY tahun menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2010 terlihat ada penurunan level akibat penyempurnaan cakupan penduduk. RLS DIY pada tahun 2015 tercatat sebesar 9,0 tahun, artinya lama masa sekolah yang dijalani oleh penduduk berusia 25 tahun ke atas hingga jenjang tertinggi setara dengan kelas 9 SLTP. Secara umum, RLS penduduk DIY cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan level nasional. Fenomena ini menggambarkan capaian kualitas modal manusia di DIY yang lebih baik dibandingkan dengan rata-rata nasional.

30 KESEHATAN 6 Misi pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, merata, dan terjangkau dengan sasaran terwujudnya masyarakat yang hidup dalam lingkungan sehat dan berperilaku hidup sehat serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas secara adil dan merata di seluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk mengkaji implementasi misi tersebut diperlukan beberapa indikator, diantaranya adalah ketersediaan infrastruktur dan tenaga kesehatan, kemudahan mengakses sarana yang tersedia, angka kematian bayi, angka harapan hidup, dan angka kesakitan. Tabel 6.1. INFRASTRUKTUR DAN AKSES KESEHATAN Infrastruktur kesehatan utama yang tersedia di DIY mencakup rumah sakit, rumah bersalin, puskesmas/puskesmas pembantu/ puskesmas keliling, balai pengobatan, dan apotek. Tenaga kesehatan yang tersedia terdiri dari dokter, bidan, perawat, mantra, tabib, dan lainnya. Jumlah rumah sakit di DIY pada tahun 2015 tercatat sebanyak 74 unit terdiri dari 14 rumah sakit pemerintah dan 60 swasta. Total kapasitas tempat tidur yang tersedia sebanyak unit. Dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, jumlah rumah sakit dan kapasitas tempat tidur bertambah secara nyata. Dari sisi aksibilitas, rasio rumah sakit per penduduk mencapai 2 unit. Artinya, terdapat 2 unit rumah sakit untuk setiap penduduk atau satu rumah sakit ratarata menanggung pelayanan sekitar 50 ribu jiwa penduduk. Rasio kapasitas tempat tidur mencapai 170 tempat tidur atau satu tempat tidur melayani sebanyak 589 orang. Persebaran fasilitas kesehatan rumah sakit di DIY terlihat belum merata dan masih terpusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Tidak semua orang sakit mampu dilayani oleh rumah sakit akibat keterbatasan jumlah. Oleh karena itu, pemerintah memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dasar di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Pada tahun 2015, terdapat 561 unit puskesmas/puskestu/ puskesling dengan rincian puskesmas 121 unit, puskestu 319 unit, dan puskesling sebanyak 121 unit. Kemudahan dalam mengakses puskesmas Jumlah dan Sebaran Sarana Kesehatan Rumah Sakit dan Puskesmas/Pustu/Keliling di DIY, 2015 Kabupaten/ Kota Rumah Sakit Tempat Unit Unit Tidur Rawat Inap Sumber : Dinas Kesehatan DIY, 2015 Puskesmas Tempat Tidur Pembantu Keliling (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta DIY Tabel 6.2. Rasio Jumlah Rumah Sakit, Puskesmas/Pustu/ Keliling dan Kapasitas Tempat Tidur per Penduduk DIY, 2015 Kabupaten/ Kota Rumah Sakit Rasio per Penduduk Tempat Tidur Puskes mas/ Pustu Tempat Tidur Puskesmas (1) (2) (3) (4) (5) Kulonprogo 1,94 125,67 25,47 22,56 Bantul 1,44 110,24 12,45 15,95 Gunungkidul 0,70 42,50 23,77 21,25 Sleman 2,31 210,88 10,28 6,08 Yogyakarta 4,85 458,92 10,90 6,06 DIY 2,01 169,85 15,25 13,48 Sumber : Diolah dari data Dinas Kesehatan DIY, 2015 Untuk melayani kesehatan penduduk di daerah terpencil juga didirikan puskesmas pembantu dan puskesmas keliling. Rata-rata di setiap kecamatan DIY terdapat 1-2 Puskesmas dan 4 Pustu. 21

31 6 Gambar 6.1. Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Hidup di DIY, (Jiwa) Sumber : SP, SDKI, BPS Gambar 6.2. Persentase Penolong Persalinan Bayi di DIY, Sumber : Susenas, BPS SP 2000 SDKI 2002 SDKI 2007 SP 2010 SDKI ,10 2,78 2,19 3,47 0,40 0,16 0,51 95,90 97,22 97,81 96,53 99,60 99,84 99, Non Medis Tenaga Medis dapat dilihat dari nilai rasio puskesmas/ puskestu/puskesling per penduduk. Rasio pada tahun 2015 mencapai 15, artinya setiap satu sarana memiliki beban untuk melayani penduduk sebanyak jiwa. ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) Indikator lain yang digunakan untuk mengkaji derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi. Perkembangan angka kematian bayi DIY selama beberapa dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun, meskipun terlihat sedikit meningkat di tahun Secara tidak langsung, fenomena ini mengindikasikan adanya peningkatan derajat kesehatan masyarakat terutama ibu dan bayi. Penurunan angka kematian bayi sangat erat berkaitan dengan meningkatnya pengetahuan ibu tentang kehamilan, kesehatan serta gizi bayi dan balita, dan penolong persalinan. Hasil SP 2010 mencatat angka kematian bayi di DIY sebesar 16, artinya terdapat 16 kasus kematian bayi dari setiap 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 yang sebanyak 19 per 1000 kelahiran hidup maupun hasil SP 2000 yang sebanyak 24 per kelahiran hidup. Sebagian besar kasus kematian bayi tersebut terjadi pada bulan pertama setelah bayi tersebut lahir (kematian neonatal) dengan jumlah mencapai 79 persen (SDKI 2007). Hal ini membawa implikasi pentingnya penanganan persalinan oleh tenaga penolong persalinan yang terdidik serta peningkatan pengetahuan ibu tentang tata cara perawatan bayi pasca kelahiran dan di masa kehamilan. Tahukah Anda? Lebih dari 99 persen persalinan bayi di DIY ditangani oleh tenaga medis dan lebih dari 95 persen proses persalinan dilakukan di rumah sakit/rumah sakit bersalin dan bidan/klinik. 22 TENAGA PENOLONG PERSALINAN Berdasarkan hasil Susenas, mayoritas persalinan di DIY ditangani oleh tenaga medis, seperti dokter, bidan, dan tenaga medis lainnya. Sampai tahun 2015, proses persalinan pertama dan terakhir telah mendekati seratus persen ditangani oleh tenaga medis. Sementara, proses persalinan yang ditangani oleh tenaga non medis atau

32 6 tenaga tradisional jumlahnya semakin menurun. Tempat melakukan persalinan sebagian besar dilakukan di rumah sakit bersalin/rumah sakit dan praktek bidan/klinik dengan persentase 96,5 persen. Perubahan preferensi masyarakat dalam memilih tenaga penolong dan tempat persalinan mengindikasikan adanya kemajuan dalam berfikir sekaligus menjadi variabel antara penurunan kematian bayi. PEMBERIAN AIR SUSU IBU Peran pendidikan ibu dalam menunjang kesehatan bayi dan balita juga dapat dikaji dengan indikator lamanya menyusui balita. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi pertumbuhan dan kesehatan bayi karena mengandung gizi dan zat pembentuk kekebalan tubuh. Selama periode , sebagian besar balita berusia 2-4 tahun telah mendapat asupan ASI lebih dari 24 bulan (2 tahun) dan porsinya juga semakin meningkat hingga menjadi 68,7 persen di tahun Hal ini menjadi fenomena yang baik dan sekaligus mencerminkan peningkatan pengetahuan ibu terkait dengan manfaat ASI bagi bayi mereka. Porsi terbesar selanjutnya adalah mereka yang mendapat asupan ASI bulan, jumlahnya sebesar 14 persen. Hal yang harus menjadi perhatian adalah masih terdapat balita berusia 2-4 tahun yang mendapat asupan ASI kurang dari 5 bulan dengan porsi sebesar 6 persen. Rata-rata lama periode menyusui balita berusia 2-4 tahun di DIY pada tahun 2014 tercatat sebesar 17,8 bulan. Secara umum, lama periode menyusui balita dapat dibagi menjadi dua yakni pemberian ASI tanpa makanan tambahan (ASI eksklusif) dan pemberian ASI ditambah dengan makanan tambahan. Periode pemberian ASI eksklusif bagi balita berusia 2-4 tahun selama beberapa tahun terakhir memiliki rata-rata di atas empat bulan, artinya sudah melebihi ketentuan dari Departemen Kesehatan. ANGKA KESAKITAN PENDUDUK Derajat kesehatan penduduk juga bisa diukur menggunakan indikator angka kesakitan (morbiditas). Indikator ini menggambarkan Gambar 6.3. Komposisi Balita Usia 2-4 Tahun di DIY menurut Lamanya Disusui, (Persen) ,7 55,7 56,8 54,8 20,4 19,8 20,5 20,5 20,4 14,3 15,8 12,1 11,9 12,3 7,6 7,7 4,2 5,9 5,9 5,3 4,9 3,2 6,0 6,6 4,9 7,2 5,2 6, Sumber : Diolah dari Data Susenas, BPS Gambar 6.4. Rata-rata Pemberian ASI dan Makanan Tambahan Balita Usia 2-4 Tahun di DIY, (Bulan) ,50 16,73 12,17 12,25 <= >=24 19,90 15,38 21,19 Sumber : Diolah dari Data Susenas, BPS 62,0 16,39 17,82 4,33 4,48 4,52 4,81 4,96 68,7 Lamanya Diberi ASI ASI Eksklusif ASI dengan Makanan Pendamping Tabel 6.2. Proporsi Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan, Rata-rata Hari Terganggu, dan Berobat Jalan di DIY, 2015 Kabupaten/ Kota Mengalami Keluhan Kesehatan Aktivitas Ter ganggu Rata-rata Terganggu Kesehatan Jenis Gangguan Parah Tidak 12,85 Berobat Jalan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Kulonprogo 42,60 45,43 5,96 20,10 79,90 58,13 Bantul 41,57 46,99 4,41 16,31 83,69 60,90 Gunungkidul 38,17 52,46 5,84 18,44 81,56 66,12 Sleman 39,80 46,97 5,57 21,00 79,00 46,14 Yogyakarta 33,66 50,59 5,64 17,12 82,88 48,84 DIY 39,58 48,16 5,36 18,71 81,29 55,68 Sumber : Diolah dari Susenas Maret 2015, BPS 23

33 6 Gambar 6.5. proporsi penduduk yang mengalami keluhan Distribusi Penduduk DIY yang Melakukan Rawat kesehatan pada periode tertentu. Jalan menurut Fasilitas Kesehatan, 2015 (Persen) USIA HARAPAN HIDUP PENDUDUK Nasional ,6 72,90 73,00 73,10 73,11 73,16 74,17 74,26 74,36 74,45 74,50 74, ,01 69,21 69,81 68,47 68,70 69,00 67,6 68, *)2011*)2012*)2013*)2014*)2015*) ht tp Sumber : IPM , BPS :// 50 70,4 70,59 70,78 yo gy 60 70,2 Meningkatnya derajat kesehatan penduduk akan ditandai oleh usia harapan hidup penduduk yang semakin panjang. Pada tahun 2002, angka harapan hidup saat lahir penduduk DIY mencapai 72,4 tahun. Hal ini berarti perkiraan rata-rata yang usia akan dijalani oleh seorang bayi yang dilahirkan hidup pada tahun 2002 hingga akhir hayatnya adalah 72,4 tahun. Secara bertahap, usia harapan hidup penduduk DIY terus meningkat hingga 74,7 tahun di tahun ak DIY ar ta.b ps.g o. id Berdasarkan data Susenas Maret 2015, tercatat sebanyak 39,6 persen penduduk mengalami keluhan kesehatan selama 1 bulan terakhir referensi pencacahan. Dari penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, sebanyak 48,2 persennya mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari dengan rata-rata lama terganggu sebanyak 5 hari. Sebanyak 81,3 persen penduduk yang mengalami keluhan kesehatan mengaku gangguan yang dialami cukup parah. Namun demikian, hanya 55,7 persen dari penduduk yang mengalami Sumber : Susenas 2015 Maret, BPS keluhan kesehatan melakukan penyembuhan dengan rawat jalan. Fasilitas yang digunakan Gambar 6.6. untuk rawat jalan terutama adalah dokter/ Angka Harapan Hidup Penduduk Saat lahir (e0) di bidan praktek dan puskesmas. DIY dan Nasional, (Tahun) Dibandingkan dengan provinsi lain atau rata-rata nasional, maka angka harapan hidup penduduk DIY cenderung lebih tinggi. Angka Harapan hidup level nasional di tahun 2015 tercatat sebesar 70,8 tahun. Secara umum, tingginya angka harapan hidup penduduk DIY dipengaruhi oleh faktor gaya hidup (life style) yang dikenal low profile disamping faktor perbaikan kualitas kesehatan dan gizi masyarakat yang mendorong penurunan angka kematian bayi dan balita. Tahukah Anda? Angka harapan hidup penduduk DIY pada saat lahir (e0) berada di urutan tertinggi secara nasional 24

34 PEMBANGUNAN MANUSIA 7 Pembangunan manusia dimaknai sebagai perluasan pilihan bagi penduduk yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah perluasan pilihan atau sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut (UNDP, 1991). Konsep ini mengkaji manusia dari dua sisi yang berbeda, tetapi berjalan secara berimbang, yakni meningkatkan kapabilitas fisik atau pembentukan kemampuan berfungsi serta bagaimana memanfaatkan kapabilitas atau kemampuan yang dimiliki untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang sifatnya produktif. Gambar 7.1. Tujuan Pembangunan Milenium (MDG s) dan Pembangunan Berkelanjutan (SDG s) Sumber : United Nations Konsep pembangunan manusia memiliki persinggungan dengan tujuan pembangunan milenium (MDG s) dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG s). Keduanya menempatkan manusia sebagai titik sentral dalam proses pembangunan dan hampir semua dimensi pembangunan manusia tertuang ke dalam butir-butir MDG s maupun SDG s. Pencapaian pembangunan manusia antar wilayah dan antar waktu dapat dikaji menggunakan indikator Human Development Index (HDI). Indeks ini dirilis pertama kali oleh UNDP pada tahun 1990 sebagai ukuran untuk menilai kinerja pembangunan manusia. Selanjutnya, secara berkala indeks ini digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan manusia antar wilayah di berbagai negara. Di Indonesia, HDI diterjemahkan menjadi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan dihitung sampai level kabupaten/kota. IPM merupakan indeks komposit yang merangkum dimensi pembangunan manusia yang paling mendasar. Ketiga dimensi tersebut adalah dimensi kesehatan atau peluang hidup (longevity), dimensi pengetahuan (knowledge), dan dimensi standar kehidupan yang layak (standard of living). IPM telah mengalami penyempurnaan metode beberapa kali sejak dirilis dan yang terakhir dilakukan pada tahun Hal ini dilakukan dengan pertimbangan beberapa indikator sudah tidak tepat untuk digunakan, seperti Angka Melek Huruf (AMH) sudah tidak relevan dan indikator PDB/PDRB per kapita juga belum bisa menggambarkan pendapatan masyarakat secara utuh. PERKEMBANGAN IPM DIY DAN KOMPONEN PENYUSUNNYA Perkembangan IPM DIY selama periode menunjukkan pola yang semakin meningkat. Pada tahun 1996, nilai IPM DIY 25

35 7 Gambar 7.2. Perkembangan IPM DIY dan Nasional, ,8 68,7 70,8 72,9 73,5 73,7 74,15 74,88 75,23 75,37 75,93 76,15 76,44 76,81 77, , ,3 65, Sumber : BPS ,7 69,6 70,1 70,59 71,17 71,76 66,53 67,09 67,70 68,31 68,90 69, Ket.: *) IPM dihitung dengan metode baru DIY Nasional Penyempurnaan Metode Penghitungan Tabel 7.1. IPM DIY Beserta Komponen Pensusun, Sumber : BPS Tabel 7.2. IPM Kabupaten/Kota DIY, Sumber : BPS IPM DIY tahun 2015 berada di peringkat kedua tertinggi setelah DKI Jakarta dan di atas Kalimantan Timur *) 2011*) 2012*) 2013*) 2014*) 2015*) tercatat sebesar 71,8 dan berada di peringkat kedua secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta. Tahun 1999, IPM DIY mengalami penurunan tajam hingga mencapai level 68,7 akibat dampak krisis ekonomi 1997/1998 yang berimbas pada penurunan daya beli penduduk. Pasca krisis, kondisi perekonomian semakin membaik dan secara berangsurangsur IPM DIY juga meningkat menjadi 77,59 pada tahun Berdasarkan kriteria UNDP, nilai IPM DIY selama lima tahun terakhir berada pada kategori tinggi (IPM antara 70-80). Perkembangan IPM DIY selama periode memiliki pola yang sama dengan dengan IPM nasional. Secara level, IPM DIY jauh berada di atas level nasional. Hal ini mengisyaratkan kualitas pembangunan manusia di DIY yang relatif lebih baik dibandingkan dengan rata-rata pencapaian secara nasional. Penyempurnaan metode penghitungan memberi dampak terhadap penurunan level IPM secara nasional di tahun , namun tidak berpengaruh terhadap level IPM DIY. Peningkatan IPM DIY tidak terlepas dari peningkatan semua komponen penyusunnya. Semua indikator penyusun IPM DIY beserta nilai indeksnya terlihat semakin meningkat. Indeks harapan hidup memberi sumbangan terbesar terhadap IPM DIY, diikuti oleh indeks daya beli penduduk dan indeks pendidikan. IPM KABUPATEN/KOTA DI DIY Secara umum, kualitas pembangunan manusia yang tertinggi dicapai oleh Kota Yogyakarta dan diikuti oleh Kabupaten Sleman dan Bantul. Sebaliknya, pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Gunungkidul selama satu dekade terakhir selalu berada di peringkat terakhir. Pencapaian IPM tahun 2015 Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman berada pada kategori sangat tinggi, sementara IPM Kabupaten Bantul dan Kulonprogo berada pada kategori tinggi. Hanya IPM Kabupaten Gunungkidul yang berada pada kategori sedang.

36 KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN 8 Tujuan utama pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan yang dimaksud tidak semata-mata diukur tinggi atau rendahnya pendapatan perkapita dan pertumbuhannya, tetapi menyangkut aspek penurunan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. PENGUKURAN DAN PERKEMBANGAN GARIS KEMISKINAN Dimensi kemiskinan tidak semata menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga menyangkut aspek sosial dan kultural atau dengan kata lain kemiskinan bersifat multidimensional. Namun demikian, metode pengukuran kemiskinan yang digunakan di banyak negara termasuk Indonesia masih bertumpu pada pendekatan ekonomi. Konsep kemiskinan di Indonesia diukur dengan pendekatan pengeluaran atau pendekatan kebutuhan dasar minimum (basic needs approach). Kebutuhan dasar minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang yang mencakup kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan non makanan (pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya) yang disebut dengan garis kemiskinan. Seseorang dikatakan miskin apabila memiliki pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan. Perkembangan garis kemiskinan DIY selama periode menunjukkan pola yang terus meningkat seiring dengan kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga. Pada tahun 2002, nilai nominal garis kemiskinan DIY tercatat sebesar Rp 113,- ribu perkapita per bulan dan terus meningkat menjadi Rp 354,- ribu di bulan Maret Secara umum, garis kemiskinan DIY selalu lebih tinggi dibandingkan dengan level nasional. Berdasarkan wilayah, garis kemiskinan perkotaan tercatat selalu lebih tinggi dari daerah Gambar 8.1. Perkembangan Garis Kemiskinan DIY dan Nasional, (000 rupiah) Sumber : BPS Gambar 8.2. Perkembangan Garis Kemiskinan DIY menurut Wilayah, (000 rupiah) Sumber : BPS Garis kemiskinan dihitung dalam bentuk absolut berdasarkan Susenas modul konsumsi dan angka kemiskinan diestimasi berdasarkan data Susenas kor secara berkala. 27

37 8 Tabel 8.1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin (Head Count-HC) dan Persentase (Head Count Index- HCI) di DIY menurut Wilayah, perdesaan, namun keduanya menunjukkan pola yang semakin meningkat. Secara umum, garis kemiskinan DIY baik perkotaan maupun perdesaan selalu lebih tinggi dari level nasional. Faktor ini menjadi salah satu penyebab level kemiskinan DIY yang cenderung lebih tinggi dari angka nasional, karena ukuran kemiskinan sangat sensitif terhadap garis kemiskinan yang digunakan. Sumber : BPS Gambar 8.3. Pola Perkembangan Persentase Penduduk Miskin DIY menurut Wilayah, Sumber : BPS Perkembangan penduduk miskin perkotaan dan perdesaan hampir sama dan gap antar kedua wilayah terlihat semakin mengecil 28 PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DIY Perkembangan jumlah penduduk miskin (HC) di DIY selama periode menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun, meskipun terdapat pola yang berfluktuasi. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 1.035,8 ribu jiwa dengan persentase (HCI) sebesar 33,39 persen. Tingginya level kemiskinan pada saat itu masih terpengaruh dampak krisis ekonomi 1997/1998 yang belum sepenuhnya pulih. Secara bertahap, jumlah penduduk miskin maupun persentasenya semakin menurun hingga mencapai jumlah 494,9 ribu jiwa atau 13,4 persen di bulan Maret Berdasarkan data series, jumlah penduduk miskin terlihat meningkat beberapa kali seperti pada tahun 2003, , , 2014 dan Hal ini terjadi akibat pengaruh kenaikan harga (inflasi) yang cukup tinggi terutama harga kelompok komoditas pangan dan kelompok energi (bahan bakar minyak, listrik, dan gas). Kenaikan harga komoditas ini mendorong kenaikan harga barang dan jasa yang lainnya, sehingga garis kemiskinan, jumlah dan persentase penduduk miskin juga meningkat. Lebih dari satu dekade terakhir, tingkat kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih dominan dibandingkan dengan daerah perkotaan. Hal ini terlihat dari persentase penduduk miskin perdesaaan yang selalu lebih tinggi dari perkotaan, meskipun dari sisi jumlah penduduk miskin (head count) di daerah perkotaan sudah melampaui daerah perdesaan sejak tahun 2005.

38 8 PERKEMBANGAN INDEKS KEDALAMAN DAN KEPARAHAN KEMISKINAN Persoalan kemiskinan tidak sekedar mencakup urusan jumlah dan persentase penduduk miskin, tetapi juga menyangkut dimensi kedalaman (poverty gap index) dan keparahan (poverty severity index) dari kemiskinan maupun sifatnya baik persisten maupun transitory. Secara sederhana, indeks kedalaman kemiskinan (P 1 ) menggambarkan sejauh mana pendapatan kelompok penduduk miskin menyimpang dari garis kemiskinan. Sementara, indeks keparahan kemiskinan (P 2 ) menyatakan ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks kedalaman dan keparahan menunjukkan persoalan kemiskinan yang semakin kronis. Berdasarkan data series selama , terdapat kecenderungan penurunan indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan di DIY. Penurunan ini menjadi sinyal yang cukup mengembirakan bagi pengentasan kemiskinan. Namun demikian, kedua indeks terlihat beberapa kali meningkat di bulan Maret 2009 dan Maret 2012 dan Maret Penyebab kenaikan kedua indeks adalah pertumbuhan garis kemiskinan yang melebihi pertumbuhan pengeluaran kelompok penduduk miskin. Selama periode , indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di daerah perdesaan dan perkotaan terlihat semakin menurun. Secara umum, nilai indeks di daerah perdesaan tercatat selalu lebih tinggi dari perkotaan. Fenomena tingginya indeks di daerah perdesaan menjadi gambaran kemiskinan di perdesaan yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan perkotaan. Nilai indeks kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan DIY pada bulan Maret 2016 masing-masing tercatat sebesar 2,3 dan 0,6. Nilai ini sedikit menurun dibandingkan periode bulan yang sama di tahun Artinya, secara rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin semakin menyempit. Gambar 8.4. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1 ) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2 ) DIY, Sumber : BPS, Beberapa Terbitan Tabel 8.2. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1 ) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2 ) DIY menurut Wilayah, Sumber : BPS, Beberapa Terbitan Tahukah Anda? Tingginya angka kemiskinan, indeks kedalaman, dan keparahan kemiskinan di daerah perdesaan berkaitan dengan produktivitas dan pendapatan penduduk perdesaan yang lebih rendah dari perkotaan 29

39 8 Tabel 8.3. Indikator Kemiskinan Kabupaten/Kota di DIY, Sumber : BPS Perbedaan level kemiskinan yang mencolok antar kabupaten/kota di DIY berkaitan dengan distribusi hasil pertumbuhan yang tidak merata antar wilayah Gambar 8.5. Distribusi Pendapatan Berdasarkan Golongan Pendapatan Penduduk DIY, (Persen) Sumber : diolah dari Susenas bulan Maret, BPS 30 SEBARAN PENDUDUK MISKIN MENURUT KABUPATEN/KOTA Distribusi penduduk miskin menurut kabupaten/kota di DIY menunjukkan pola yang tidak merata. Ketidakmerataan ini ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin (HC) maupun persentasenya (HCI) yang sangat bervariasi. Berdasarkan jumlah, sebaran penduduk miskin pada tahun 2014 sebagian besar terdapat di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul dengan jumlah masing-masing sebesar 148,4 ribu dan 153,5 ribu jiwa. Sementara, populasi penduduk miskin terendah terdapat di Kota Yogyakarta sebanyak 36,6 ribu jiwa. Berdasarkan persentase, Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo merupakan daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi masing-masing sebesar 20,83 persen dan 20,64 persen. Sementara, Kota Yogyakarta dan Sleman merupakan daerah dengan persentase kemiskinan terendah. Perbedaan tersebut merepresentasikan kesejahteraan penduduk antar wilayah yang cukup heterogen. Perbedaan kualitas infrastruktur pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan infrastruktur fisik lainnya maupun kemudahan dalam mengakses sarana menjadi penjelas perbedaan kualitas kesejahteraan yang cukup mencolok. Secara umum, perkembangan kemiskinan di semua kabupaten/kota selama lima tahun terakhir menunjukkan pola yang menurun. KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Kebijakan untuk mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi di satu sisi berdampak baik bagi peningkatan kesejahteraan penduduk, namun juga membawa persoalan berupa peningkatan ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan. Hal ini terjadi karena distribusi aset dan skill tidak tersebar secara merata, sehingga pendapatan yang diperoleh juga sangat bervariasi. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan (distribusi ukuran) adalah ukuran Bank Dunia dan Gini Rasio.

40 Berdasarkan hasil Susenas bulan Maret tahun , distribusi pendapatan yang diproksi dengan pendekatan pengeluaran perkapita penduduk menunjukkan pola yang semakin tidak merata. Pada tahun 2015, 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima 15,6 persen dari total pendapatan, sementara 20 persen penduduk golongan pendapatan tertinggi memperoleh porsi sebesar 50,3 persen. Jika dihitung dengan rasio Kuznets maka pendapatan 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi besarnya lebih dari 3 kali lipat pendapatan 40 persen penduduk golongan berpendapatan terendah. Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan yang lebar. Hal ini diperjelas oleh nilai koefisien Gini DIY pada bulan Maret 2015 yang sebesar 0,43. Perkembangan indeks Gini selama periode juga menunjukkan pola yang semakin meningkat. Peningkatan indeks ini menggambarkan distribusi pendapatan antar penduduk yang semakin tidak merata. Dibandingkan dengan level nasional, nilai indeks Gini DIY terlihat lebih tinggi atau distribusinya lebih timpang. Selain isu ketimpangan pendapatan antar penduduk, isu ketimpangan pendapatan antar wilayah (ketimpangn regional) juga menjadi persoalan krusial di DIY. Salah satu pendekatan metode untuk mengukur ketimpangan regional adalah indeks Williamson. Perkembangan indeks Williamson di DIY selama periode menunjukkan pola yang semakin meningkat dari 0,46 di tahun 2000 menjadi 0,47 di tahun Fenomena ini menggambarkan kesenjangan atau ketimpangan pendapatan antar wilayah yang semakin tidak merata. Salah satu pemicunya adalah terpusatnya aktivitas perekonomian di daerah perkotaan terutama di Kota Yogyakarta dan Sleman. Sementara, perkembangan kawasan perdesaan di Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo jauh lebih lambat. Persoalan infrastruktur dan kualitas modal manusia antar wilayah yang tidak merata juga menjadi penyebab lain dari tingginya ketimpangan regional di DIY. Gambar 8.6. Perkembangan Indeks Gini DIY dan Nasional, Sumber : diolah dari Susenas bulan Maret, BPS Gambar 8.7. Perkembangan Indeks Ketimpangan Regional (Indeks Williamson) DIY, (Persen) Sumber : diolah dari PDRB DIY Series 2010, BPS DIY Lambatnya penurunan kemiskinan di DIY karena pertumbuhan yang dihasilkan juga membawa distribusi pendapatan antar penduduk ke arah yang semakin timpang Sumber : Kompas.com 8 31

41 9 PERTANIAN Kelangsungan dan keberlanjutan budidaya pertanian sangat ditentukan olah keberadaan lahan. Mayoritas usaha pertanian di DIY adalah pertanian berbasis lahan, baik lahan sawah maupun lahan bukan sawah. Lahan sawah digunakan untuk budidaya tanaman pertanian semusim, sementara lahan bukan sawah digunakan untuk budidaya tanaman tahunan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. PENGGUNAAN LAHAN Distribusi lahan di DIY sampai tahun 2015 sebagian besar dimanfaatkan untuk lahan pertanian dengan luas 242,2 ribu hektar atau 76,0 persen dari luas wilayah DIY. Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah seluas 55,4 ribu hektar (17,4 %) dan lahan bukan sawah seluas 186,8 hektar (58,6 persen). Luas lahan pertanian semakin berkurang dan beralih fungsi menjadi lahan bukan pertanian seperti pemukiman, pertokoan, perkantoran, dan infrastruktur lainnya. Luas lahan bukan pertanian di DIY mencapai 76,3 ribu hektar atau 24 persen dari luas wilayah DIY. ar ta.b ps.g o. id Gambar 9.1. Distribusi Lahan menurut Penggunaan di DIY, 2015 (Persen) Sumber : SP-VA, Dinas Pertanian DIY ht tp :// yo gy ak Tabel 9.1. Hal yang perlu mendapat perhatian serius Luas Lahan Pertanian dan Bukan Pertanian adalah semakin berkurangnya lahan pertanian menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2015 (Ha) Sumber: Dinas Pertanian DIY Angka dalam () menunjukkan % produktif terutama sawah berpengairan/ irigasi. Selama periode , luas lahan sawah di DIY berkurang lebih dari hektar atau setiap tahun berkurang sebesar 234 hektar. Jika alih fungsi ini terus berlangsung secara masif dalam waktu yang lama, maka akan menganggu stabilitas dan ketahanan pangan di masa yang akan datang. Distribusi lahan menurut penggunaan didominasi oleh lahan tegal/kebun (33 persen) Gambar 9.2. dan diikuti oleh lahan pertanian lainnya (hutan, Distribusi Lahan Pertanian dan Bukan Pertanian tambak, kolam, dan lainnya) sebesar 26 persen. menurut Penggunaan di DIY, 2015 (Persen) Proporsi lahan sawah beririgasi sebesar 14 persen dan sawah tadah hujan 3 persen. Berdasarkan wilayah, distribusi lahan sawah yang terbesar terdapat di Kabupaten Sleman dan Bantul. Distribusi lahan bukan sawah terbesar terdapat di Gunungkidul dengan luas 117,4 ribu hektar. Sekitar 79 persen wilayah Gunungkidul merupakan lahan pertanian bukan sawah. Sementara, lahan pertanian terkecil terdapat di Kota Yogyakarta. Sumber: Dinas Pertanian DIY Angka dalam () menunjukkan % 32

42 PRODUKSI TANAMAN BAHAN MAKANAN Tanaman bahan makanan mencakup komoditas padi (sawah dan ladang), palawija (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, dan cantel) serta tanaman hortikultura tahunan dan semusim. Padi menjadi komoditas paling dominan karena menjadi bahan makanan pokok penduduk DIY. Produksi Padi Beras menjadi komoditas pangan yang bernilai strategis, karena menjadi bahan makanan pokok sebagian besar penduduk DIY. Jaminan ketersediaan pasokan beras dan stabilitas harga beras menjadi bidang intervensi pemerintah dalam proses produksi, distribusi, maupun konsumsi. Produksi padi DIY dalam satuan gabah kering panen selama dua dekade terakhir menunjukkan tren yang meningkat dengan pola berfluktuasi. Produksi padi sampai tahun 2007 berfluktuasi di bawah 700 ribu ton dan meningkat secara bertahap sampai level 975 ribu ton di tahun Peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya luas panen dan meningkatnya produktivitas. Produktivitas padi sawah tercatat sebesar 66,1 kw/ha dengan luas panen 113 ribu ha, sementara produktivitas padi ladang sebesar 46,3 kw/ha dengan luas panen 42,8 ribu ha. Produksi padi juga ditentukan oleh faktor musim dan cuaca, terutama curah hujan. Masa penanaman padi secara masif dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember atau pada saat memasuki musim penghujan. Panen raya akan terjadi pada bulan Januari-April (subround I) setiap tahun. Rata-rata luas panen padi di bulan Januari-April mencapai dua kali lipat luas panen bulan Mei-Agustus, sementara luas panen bulan Mei-Agustus rata-rata dua kali lipat luas panen bulan September-Desember. Produksi Palawija Komoditas tanaman palawija yang cukup potensial dibudidayakan di DIY adalah jagung, ubi kayu, kacang tanah dan kedelai. Hal ini Tabel 9.3. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Padi di DIY, Sumber : BPS Gambar 9.4. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Padi di DIY menurut Sub Round, Sumber : BPS Tahukah Anda? Kenaikan produksi padi DIY didorong oleh peningkatan produktivitas padi sawah dari 62,2 kw/ha di tahun 2014 menjadi 66,1 kw/ ha di tahun Produksi padi sawah DIY disumbang oleh luas panen di Sleman (45%) dan Bantul (26%), sementara produksi padi ladang ditopang oleh luas panen di Gunungkidul (98%) 9 33

43 9 Tabel 9.2. Luas Panen (Hektar) dan Produksi (Ton) Tanaman Palawija di DIY, Sumber : BPS Lebih dari 84 persen luas panen tanaman palawija diusahakan di wilayah Kabupaten Gunungkidul dengan sistem tumpangsari dan campuran 34 terlihat dari luas panen keempat komoditas selama beberapa tahun yang terlihat mendominasi. Pada umumnya, komoditas palawija sebagian besar diusahakan di lahan pertanian di Kabupaten Gunungkidul. Perkembangan luas panen dan produksi tanaman palawija selama periode relatif berfluktuasi. Luas panen tanaman jagung mencapai puncak pada tahun 2010 sebesar 86,8 ribu hektar dengan total produksi sebesar 345,6 ribu ton. Namun, produksi jagung selama lima tahun terakhir terlihat menurun hingga sebesar 299 ribu ton di tahun Produksi tanaman kedelai menunjukkan pola yang semakin menurun dari 68,10 ribu ton di tahun 2000 menjadi 18,8 ribu ton di tahun Penyebabnya adalah penurunan luas panen, meskipun dari sisi produktivitas terus menunjukkan peningkatan. Fenomena ini menggambarkan minat petani di DIY untuk menanam kedelai semakin menurun dan cenderung memilih kacang tanah atau komoditas sayuran sebagai penggantinya. Luas panen tanaman kacang tanah relatif berfluktuasi dan terlihat meningkat hingga mencapai 70,9 ribu hektar. Sementara, produktivitasnya juga terus meningkat secara nyata. Hal ini memberi pengaruh terhadap produksi yang meningkat secara berfluktuasi. Pada tahun 2015, produksi kacang tanah mencapai 83,3 ribu ton dan meningkat 16 persen dari tahun sebelumnya. Komoditas palawija lainnya yang memiliki kenaikan produksi selama tahun 2015 adalah ubi jalar dengan produksi sebesar 6,1 ribu ton, meskipun dari sisi luas panennya menurun. Komoditas ubi kayu mengalami penurunan produksi yang cukup nyata dalam tiga tahun terakhir dari 1.013,6 ribu ton menjadi 873,4 ribu ton di tahun 2015 atau turun 13,8 persen dibanding tahun Penurunan produksi terjadi akibat luas panen yang berkurang dan produktivitas yang menurun. Produksi Kacang Hijau juga menunjukkan penurunan selama lima tahun terakhir dari 610 ton di tahun 2010 menjadi 230 ton di tahun 2015.

44 9 ar ta.b ps Produksi cabe merah pada tahun 2015 mengalami peningkatan. Cabe besar yang dominan dari sisi luas panen mengalami peningkatan produksi dari 177,6 ribu kw menjadi 233,9 ribu kw atau tumbuh 31,7 persen dari tahun Pertumbuhan produksi ini semata-mata disebabkan oleh peningkatan produktivitas, karena dari sisi luas panen justru turun 0,9 persen. Produksi cabe rawit juga meningkat 3,4 persen, meskipun dari sisi luas panen mengalami penurunan. id Komoditas sayuran semusim yang potensial dibudidayakan di DIY adalah cabe merah dan bawang merah. Kedua komoditas ini menjadi produk unggulan yang dibudidayakan di sepanjang Pesisir Selatan Kabupaten Bantul dan Kulonprogo. Produksi bawang merah selama tahun 2015 mencapai 87,98 ribu kw dengan luas panen ha. Dibandingkan dengan tahun 2014, produksi bawang merah menurun 28,8 persen akibat berkurangnya luas panen dan menurunnya produktivitas. Tabel 9.3. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Sayuran Unggulan di DIY, g o. Produksi Tanaman Sayur-sayuran Sumber : BPS Tabel 9.4. Produksi Tanaman Buah-buahan Unggulan di DIY menurut Wilayah, 2015 ht tp :// yo gy ak Tanaman sayuran lain yang mengalami kenaikan produksi adalah sawi, kangkung dan bayam. Peningkatan produksi ini disebabkan oleh kenaikan luas panen dan produktivitas. Sementara, kacang panjang dan terung tercatat mengalami penurunan produksi akibat penurunan luas panen. Luas panen budidaya kelima jenis sayuran tersebut memang relatif lebih kecil dibandingkan dengan bawang merah. Pada tahun 2015, luas panen kacang panjang tercatat sebesar 416 ha dan produksi mencapai 27,8 ribu kw. Luas panen sawi tercatat sebesar 558 ha dengan produksi mencapai 64,5 ribu kw. Sumber : BPS Komoditas tanaman buah-buahan yang unggul dari sisi produksi di DIY adalah salak, pisang, mangga, pepaya, nangka, rambutan,dan melon. Produksi salak tahun 2015 tercatat mencapai ribu ton dan sebagian besar diusahakan di Kabupaten Sleman. Produksi pisang selama tahun 2015 mencapai 405,8 ribu ton dan sebagian besar dihasilkan di Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo. 35

45 9 Tabel 9.5. PRODUKSI TANAMAN PERKEBUNAN Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan ProduktiTanaman perkebunan unggulan yang vitas tanaman Perkebunan di DIY, banyak dibudidayakan di DIY adalah kelapa, jambu mete, coklat, tembakau rakyat dan tebu rakyat. Kelapa menjadi komoditas yang paling dominan dengan luas tanaman mencapai 43 ribu ha dan luas panen 34,6 ribu ha di tahun Produksi kelapa selama 2015 mencapai 50,4 ribu ton atau turun 5,8 persen dibandingkan dengan tahun 2014 (53,5 ribu ton). Penyebab penurunan produksi kelapa adalah berkurangnya produktivitas. ar ta.b ps.g o. id Tanaman jambu mete dan coklat menjadi tanaman unggulan berikutnya dengan luas tanaman masing-masing sebesar 12,5 ribu ha dan 5,2 ribu ha. Kedua tanaman ini banyak dibudidayakan di Gunungkidul dan Kulonprogo. Produksi kedua tanaman pada tahun 2015 mencapai 447 ton dan 1,6 ribu ton. Dibandingkan dengan tahun 2014, produksi jambu mete turun 1,3 persen dan produksi coklat meningkat 18,4 persen. Sumber : BPS Potensi tanaman kakao/cokelat di Kulonprogo terdapat di Kecamatan Kalibawang, Samigaluh dan Kokap. Sementara di Gunungkidul terdapat di Kecamatan Patuk. ht tp :// yo gy ak Tanaman tembakau rakyat sebagian besar diusahakan di wilayah Sleman dan Bantul. Produksi tembakau selama tahun 2015 sebesar 1,45 ribu ton. Produksi ini turun 5,7 persen dibandingkan dengan tahun 2014, akibat musim yang kurang mendukung untuk kegiatan budidaya. Komoditas tebu rakyat banyak diusahakan di Kabupaten Sleman dan Bantul. Selama tahun 2015, tanaman tebu rakyat mengalami kenaikan produksi dari 9,9 ribu ton menjadi 12,7 ribu ton. Peningkatan ini dipengaruhi oleh meningkatnya produktivitas. Tabel 9.6. Tanaman perkebunan yang lain yakni Populasi Ternak Besar, Ternak Kecil, dan Unggas di cengkeh, dan jarak pagar tercatat mengalami DIY, (Ekor) penurunan produksi selama PRODUKSI TERNAK DAN UNGGAS Sumber : BPS 36 Jenis ternak besar dan kecil yang banyak dibudidayakan di wilayah DIY adalah sapi, kambing, dan domba. Sapi masih menjadi ternak unggulan yang mayoritas diusahakan oleh rumah tangga usaha peternakan di Gunungkidul. Jumlah populasi sapi selama periode terlihat berfluktuasi. Pada

46 tahun 2015, jumlah populasi sapi di DIY tercatat mencapai 306,7 ribu ekor. Budidaya sapi perah terpusat di Kabupaten Sleman dengan populasi di atas 90 persen. Kegiatan budidaya sapi perah sempat terganggu oleh aktivitas erupsi Gunung Merapi dan secara perlahan juga mulai menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2015, jumlah populasi sapi perah di DIY mencapai ekor dan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun Populasi ternak besar lainnya yang semakin bertambah adalah kuda dan kerbau. Populasi kambing dan domba pada tahun 2015 tercatat sebanyak 400 ribu dan 177,6 ribu ekor. Dibandingkan dengan tahun 2014, populasi kedua jenis ternak meningkat sebesar 3,8 persen dan 6,6 persen. Populasi babi pada tahun 2015 tercatat sebanyak 13 ribu ekor dan relatif stabil dibandingkan tahun sebelumnya. Jenis unggas yang banyak dibudidayakan di DIY adalah ayam ras (pedaging dan petelur) dengan populasi mencapai 10,7 juta ekor. Sementara populasi ayam kampung dan itik masing-masing mencapai 4,4 juta ekor dan 568,7 ribu ekor. Ketiga jenis unggas ini mengalami peningkatan yang cukup nyata dibandingkan dengan tahun Produksi daging dari beberapa komoditas ternak dan unggas selama dua dekade terakhir terlihat cukup berfluktuasi (Gambar 9.4). Produksi daging sapi mencapai puncaknya pada tahun 2012 sebesar ton dan meningkat 12,10 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun produksi di tahun terlihat mengalami penurunan hingga mencapai ton. Pola yang lebih berfluktuasi terjadi pada produksi daging kambing dan domba. Meskipun tren produksi selama dua dekade terakhir cenderung menurun, jumlah produksi daging kambing dan domba di tahun terlihat mengalami peningkatan. Pada tahun 2015, produksi daging kambing dan domba masing-masing tercatat sebesar ton dan ton. Sebanyak 50% populasi sapi dibudidayakan di Gunungkidul, 93% populasi sapi perah terdapat di Sleman, dan 82% populasi kuda terdapat di Bantul Gambar 9.5. Produksi Daging Sapi, Kambing, Domba dan Unggas di DIY, (Ton) Sumber : Dinas Pertanian DIY Tahukah Anda? 9 37

47 9 Gambar 9.6. Produksi Perikanan Darat dan Laut di DIY, (Ton) Perikanan Darat Perikanan Laut Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Gambar 9.7. Distribusi Produksi Perikanan Darat DIY menurut Jenis Budidaya, 2015 (Persen) Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Tahukah Anda? Penyumbang produksi perikanan laut terbesar adalah Gunungkidul (64%), diikuti Bantul (20%) dan Kulonprogo (16%). Jenis ikan tangkapan yang cukup dominan adalah manyung, kuniran, tiga waja, cakalang, dan layur. Produksi daging unggas yang terdiri dari daging ayam ras, daging ayam bukan ras dan daging itik selama dua dekade terakhir terakhir menunjukkan tren yang semakin meningkat dengan pola yang berfluktuasi. Produksi daging unggas mencapai puncaknya pada tahun 2014 dengan jumlah produksi mencapai dan 47,3 ribu ton. Namun demikian, produksi daging unggas tahun 2015 menurun 2,3 persen menjadi 45,8 ribu ton. PRODUKSI PERIKANAN DIY memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan laut dan dilalui oleh beberapa jalur sungai, sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya perikanan laut maupun darat. Namun, potensi perikanan belum dikelolanya secara optimal sehingga produktivitas perikanan laut dan darat masih jauh dari harapan. Produksi perikanan darat selama periode menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 2004, produksi perikanan darat mencapai ton dan meningkat secara signifikan menjadi ton pada tahun Hampir 95 persen produksi perikanan darat merupakan hasil budidaya kolam dan sisanya hasil budidaya tambak (4,7 %). Budidaya ikan darat terpusat di Kabupaten Sleman dengan pangsa produksi 53 persen. Produksi perikanan laut belum meningkat secara nyata, karena hanya dihasilkan dari hasil penangkapan. Sementara, produksi hasil budidaya perikanan laut masih sangat sedikit. Selama periode , produksi perikanan laut lebih berfluktuasi dan sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca dan iklim. Produksi perikanan laut mencapai puncaknya di tahun 2009 dengan total produksi sebesar ton. Kondisi cuaca yang buruk menyebabkan gelombang Laut Selatan menjadi tinggi, sehingga banyak nelayan yang terpaksa tidak melaut. Di samping itu, rendahnya produksi juga disebabkan kurangnya sumber daya manusia yang terampil dan mumpuni, serta keterbatasan alat tangkap.

48 PERTAMBANGAN DAN ENERGI 10 Potensi pertambangan dan penggalian di wilayah DIY merupakan penggalian tipe C (pasir, batu, tanah, dan sirtu) yang mayoritas terdapat di sepanjang aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi PERTAMBANGAN Lapangan usaha pertambangan dan penggalian mencakup kegiatan pertambangan migas dan non migas serta kegiatan penggalian batu, pasir, dan tanah. DIY tidak memiliki pertambangan migas, namun memiliki potensi pertambangan pasir besi di Kawasan Pantai Selatan Kulonprogo dan potensi penggalian golongan C (batu, pasir atau bahan galian lainnya). Potensi ini bersumber dari material sisa erupsi Gunung Merapi. Nilai tambah yang dihasilkan oleh kegiatan penggalian di DIY selama tahun 2015 mencapai Rp 573 milyar dan memberi andil 0,6 persen terhadap PDRB DIY. Laju pertumbuhan nilai tambah penggalian mencapai puncak tahun 2011 pasca erupsi Merapi 2010 dengan laju 7,3 persen. Dalam empat tahun terakhir laju pertumbuhannya cenderung melambat. Penggalian menjadi tumpuan hidup sebagian penduduk yang tinggal di lereng Merapi dan daerah aliran sungai yang menjadi alur materialnya. Hal ini terkait dengan kualitas galian yang dikenal baik untuk mendukung kegiatan konstruksi dan industri pendukung konstruksi seperti ubin, bus beton, dan lainnya. Tabel Jumlah Pelanggan (000 unit), Daya Listrik Terpasang dan Terjual (Juta Kwh) di DIY, LISTRIK Listrik yang didistribusikan oleh PT PLN Divisi Regional DIY tidak diproduksi di wilayah DIY, tetapi berasal dari pembangkit listrik di provinsi lain terutama Jawa Tengah. Volume daya listrik yang didistribusikan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan rumah tangga dan kegiatan ekonomi. Pada tahun 2015, jumlah pelanggan listrik di DIY tercatat sebanyak ribu dan meningkat 6,3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara, daya listrik yang terpasang dan terjual 2015 masing- Sumber : PLN Yogyakarta 39

49 10 Gambar Distribusi Konsumen/Pelangga Listrik di DIY menurut Kelompok Pelanggan, 2015 (%) Sumber : PLN Yogyakarta Gambar Distribusi Daya Listrik Terjual di DIY menurut Kelompok Pelanggan, 2015 (%) Sumber : PLN Yogyakarta Tahukah Anda? Mayoritas pengguna listrik di wilayah DIY memanfaatkan listrik yang dibangkitkan oleh PLN. Rumah tangga menjadi pelanggan/konsumen listrik PLN terbesar di DIY dengan proporsi 92 persen dan total daya yang dikonsumsi mencapai juta KWH (55,4 %). 40 masing sebesar juta Kwh dan juta Kwh. Dibandingkan tahun 2014, daya listrik yang terjual meningkat sebesar 4,8 persen. Komposisi pengguna layanan listrik dikategorikan menjadi kelompok rumah tangga, usaha, industri dan umum (pemerintah, kegiatan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, tempat ibadah dan lainnya). Pada tahun 2015, pelanggan listrik terbesar di DIY adalah kelompok rumah tangga dengan proporsi 92,0 persen. Meskipun dominan dari sisi jumlah pelanggan, pangsa jumlah daya listrik yang dikonsumsi oleh rumah tangga hanya 55,4 persen dari total daya listrik yang terjual dan semakin menurun dari tahun ke tahun. Konsumen terbesar berikutnya adalah kegiatan usaha yang mencakup perdagangan, hotel, restoran, perkantoran dan lainnya dengan proporsi sebesar 4,6 persen. Total daya listrik yang dikonsumsi oleh kelompok ini mencapai 21,9 persen dan semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Proporsi pelanggan dari kelompok umum (sekolah, rumah sakit, perkantoran pemerintah dan rumah ibadah) mencapai 3,3 persen dengan total konsumsi mencapai 12,1 persen. Sementara, jumlah pelanggan dari kelompok industri hanya 0,06 persen, dengan total konsumsi daya sebesar 9,6 persen dari total daya listrik yang terjual. AIR BERSIH Air bersih digunakan penduduk sebagai sumber air minum, MCK, dan lainnya. Tidak semua penduduk mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan air bersih secara mandiri dengan berbagai pertimbangan. Hal ini membutuhkan peran pemerintah dan swasta untuk memproduksi dan mendistribusikannya. Terdapat enam unit perusahaan air bersih yang beroperasi di DIY dan lima diantaranya berstatus Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) hanya satu yang berstatus perusahaan swasta. Potensi kapasitas produksi air bersih di

50 DIY pada tahun 2015 tercatat liter/detik, namun baru efektif digunakan sebesar liter/detik atau 87,6 persen. Dibandingkan dengan tahun 2014, kapasitas produksi potensial maupun kapasitas produksi efektif mengalami peningkatan. Sumber air bersih yang diolah berasal dari sungai, waduk, mata air, serta air tanah dan lainnya (air hujan). Dari keempat sumber tersebut, sebanyak 64,3 persen atau ribu m 3 berasal dari air tanah dan lainnya. Sumber dari mata air dan sungai masing-masing mencapai ribu m 3 (22,5 %) dan ribu m 3 (11,2 %). Sementara, air dari sumber waduk mencapai 950 ribu m 3 atau sebesar 2,0 persen. Volume air bersih yang terbesar disalurkan ke konsumen rumah tangga dengan jumlah mencapai m 3 atau 88,0 persen dari total volume air yang disalurkan. Instansi pemerintah mengkonsumsi air bersih dengan volume mencapai ribu m 3 atau 3,8 persen. Kelompok niaga dan industri serta institusi sosial mengkonsumsi air bersih dengan porsi masing-masing sebesar 3,0 persen dan 3,3 persen. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, konsumsi kelompok niaga dan jasa cenderung menurun, tetapi kelompok institusi pemerintah dan sosial justru meningkat. Sementara, volume air yang susut akibat kualitas infrastruktur distribusi air yang memburuk karena faktor usia maupun pemakaian illegal juga masih cukup besar. Volume susut pada tahun 2015 tercatat sebesar 0,6 persen. Nilai produksi atau pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan air bersih dari tahun ke tahun terus meningkat akibat kenaikan volume maupun kenaikan harga. Pada tahun 2015 besarnya nilai produksi air bersih yang tersalurkan mencapai 119,8 milyar rupiah dan meningkat 7,6 persen dibandingkan dengan tahun 2014 (111,3 milyar rupiah). Penyumbang terbesar nilai produksi tahun 2015 berasal dari komponen non niaga (rumah tangga dan instansi pemerintah) dengan andil masingmasing sebesar 85,0 persen dan 5 persen. Gambar Distribusi Air Bersih yang Diolah Perusahaan di DIY Berdasarkan Sumbernya, 2015 (%) Sumber : BPS DIY Gambar Distribusi Air Bersih menurut Konsumen di DIY, 2015 (%) Sumber : BPS DIY 10 41

51 11 INDUSTRI PENGOLAHAN Struktur industri pengolahan di DIY berdasarkan hasil Sensus Ekonomi didominasi oleh usaha industri berskala mikro dan kecil, sementara industri yang berskala menengah dan besar populasinya kecil Gambar Distribusi Perusahaan IBS DIY menurut Golongan Industri, 2013 (Persen) Sumber : Survei Industri Besar dan Sedang, BPS DIY Tabel Jumlah Tenaga Kerja (orang) dan Upah Perusahaan IBS DIY menurut Jenis Kelamin dan Golongan Industri, 2014 Sumber : BPS DIY Tahukah Anda? Struktur tenaga kerja perusahaan IBS di DIY yang terbesar terserap oleh industri tekstil dan produk tekstil (pakaian jadi). Rata-rata upah per pekerja tertinggi terdapat pada industri barang galian non logam dan percetakan 42 JUMLAH PERUSAHAAN DAN TENAGA KERJA INDUSTRI BESAR DAN SEDANG (IBS) Jumlah perusahaan industri berskala besar dan sedang yang respon berdasarkan Survei IBS tahun 2014 tercatat sebanyak 339 perusahaan. Berdasarkan golongannya, industri furnitur memiliki populasi terbesar sebanyak 49 usaha (14,8 %). Berikutnya adalah industri pakaian jadi (13,0 %), industri makanan dan minuman (12,4 %), industri barang galian bukan logam (11,8 %), dan industri kayu dan barang dari kayu (10,0 %). Jumlah usaha pada golongan yang lainnya relatif kecil dengan persentase di bawah 10 persen. Salah satu indikator untuk mengkategorikan skala perusahaan industri adalah jumlah tenaga kerja. Tenaga kerja menjadi faktor produksi terpenting, selain modal dan bahan baku. Jumlah tenaga kerja hasil survei perusahaan IBS 2014 DIY tercatat sebanyak orang, terdiri dari pekerja laki-laki (48,5 %) dan perempuan (51,5 %). Dibandingkan dengan tahun 2013, jumlah tenaga kerja perusahaan IBS meningkat 4 persen. Nilai total balas jasa pekerja selama tahun 2014 mencapai Rp 1,2 triliun, sehingga upah per pekerja tercatat sebesar Rp 20,0 juta per tahun. Struktur tenaga kerja yang terbesar terserap oleh golongan industri pakaian jadi sebanyak orang (22 %) dengan nilai balas jasa mencapai Rp 280,8 milyar. Artinya, rata-rata satu pekerja menerima upah Rp 21,7 juta per tahun. Industri tekstil dan industri makanan dan minuman menyerap tenaga kerja 17,9 persen dan 10,8 persen. Nilai balas jasa per pekerja yang tertinggi terdapat pada golongan industri batubara, kimia dan obat sebesar 32,17 juta rupiah per tahun.

52 11 STRUKTUR INPUT DAN OUTPUT IBS Struktur input produksi perusahaan IBS mencakup biaya bahan baku dan bahan penolong; biaya listrik, bahan bakar dan pelumas; biaya sewa gedung, mesin, dan alatalat; dan biaya lainnya. Nilai output mencakup nilai barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, pendapatan dari jasa, selisih nilai stok barang setengah jadi, dan penerimaan lain. Nilai output yang dihasilkan perusahaan IBS selama tahun 2014 mencapai Rp 17,5 triliun dan sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan ini terkait dengan tingkat respon perusahaan IBS dalam pendataan yang meningkat. Sementara, nilai input produksi atau biaya antara yang digunakan mencapai Rp 7,7 triliun, sehingga rasio input output tahun 2014 tercatat sebesar 0,44. Rasio biaya antara menunjukkan seberapa besar kebutuhan input antara dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan satu unit output. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, rasio input output tahun 2014 sedikit menurun sehingga proses produksi IBS 2014 berjalan lebih efisien. Nilai output terbesar dihasilkan oleh golongan industri makanan dan minuman dengan andil 25,1 persen terhadap total output dan 31,1 persen terhadap total NTB. Output dan nilai tambah terbesar berikutnya dihasilkan oleh golongan industri tekstil dan produk tekstil (pakaian jadi). Kedua golongan ini menyumbang nilai tambah masing-masing sebesar 24,6 persen dan 12,4 persen. Sementara, rasio input output terbesar dihasilkan oleh golongan industri kulit dan barang dari kulit sebesar 0,68. Artinya, golongan industri ini paling tidak efisien dalam pemanfaatan input. Perkembangan indikator perusahaan IBS DIY selama disajikan dalam Tabel Rata-rata jumlah pekerja per perusahaan IBS pada tahun 2014 tercatat sebesar 173 orang dan sedikit menurun dari tahun Rata-rata upah pekerja per tahun meningkat 6,5 dibandingkan tahun Produktivitas pekerja yang diukur dari rasio output terhadap jumlah pekerja menunjukkan perkembangan Tabel Nilai Output, Input, dan Nilai Tambah Bruto Perusahaan IBS di DIY menurut Golongan Industri, 2013 Sumber : Survei IBS, BPS DIY Tabel Distribusi Persentase Nilai Output dan Nilai Tambah Bruto Perusahaan IBS di DIY menurut Golongan Industri, (Persen) Sumber : Survei IBS, BPS DIY Tahukah Anda? Sumbangan nilai tambah terbesar dihasilkan oleh golongan industri makanan dan minuman; industri tekstil; dan industri pakaian jadi. Golongan industri yang paling efisien dalam menghasilkan output adalah industri pengolahan batubara, kimia, dan obat. 43

53 11 Tabel Perkembangan Rata-rata Jumlah Pekerja, Upah, Produktivitas, Rasio Input Output, dan NTB Perusahaan IBS di DIY, Sumber : BPS DIY Tabel Distribusi Perusahaan IBS di DIY menurut Status Permodalan, (Persen) Sumber : BPS DIY Gambar Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan IMK DIY dan Nasional, (2010=100) Sumber : BPS DIY 44 positif. Demikian pula dengan rasio input output terlihat menurun atau semakin efisien. STATUS PERMODALAN PERUSAHAAN IBS Status permodalan perusahaan industri bisa berasal dari penanaman modal dalam negeri (PMDN), penanaman modal asing (PMA), dan non fasilitas. Berdasarkan hasil Survei IBS, mayoritas perusahaan IBS yang beroperasi di DIY selama tujuh tahun terakhir memiliki status modal non fasilitas dengan jumlah 77,3 persen pada tahun Proporsi perusahan yang berstatus modal PMDN dan PMA masing-masing sebanyak 14,2 persen dan 8,6 persen.. INDUSTRI MIKRO DAN KECIL Dari sisi jumlah atau populasi, struktur lapangan usaha industri pengolahan di DIY didominasi oleh industri yang berskala kecil dan mikro (usaha rumah tangga). Hasil Sensus Ekonomi 2006 menunjukkan populasi industri mikro kecil DIY mencapai 90,62 persen. Kelompok industri mikro kecil ini terbukti memiliki daya tahan yang kuat terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia, namun perkembangannya sering terkendala oleh keterbatasan modal dan strategi pemasaran. Berdasarkan hasil pendataan Survei Industri Mikro Kecil (IMK) yang dilaksanakan secara periodik setiap triwulan dapat disajikan perkembangan indeks produksi triwulanan dan pertumbuhan produksinya. Perkembangan indeks produksi triwulanan (2010=100) di DIY secara umum berada di bawah level nasional. Nilai rata-rata indeks produksi tahunan 2011 tercatat sebesar 106,6. dan menurun menjadi 100,9 di tahun 2012 atau tumbuh -5,4 persen. Indeks produksi kembali meningkat menjadi 113,4 di tahun 2013 dan 122,4 pada tahun Angka sebesar 122,4 ini mengandung arti selama periode terjadi kenaikan produksi industri kecil dan mikro sebesar 22,4 persen atau tumbuh 4,5 persen per tahun.

54 12 KONSTRUKSI Lapangan usaha konstruksi berupa pekerjaan baru/pembangunan, perbaikan, penambahan, dan perubahan. Kegiatan konstruksi mencakup konstruksi bangunan gedung (tempat tinggal, perkantoran, pertokoan), bangunan sipil (jalan raya, jembatan, rel, pelabuhan, dan lainnya), dan konstruksi khusus (penyiapan lahan, instalasi gedung, dan lainnya). id Kegiatan konstruksi senantiasa tumbuh searah dengan perkembangan kegiatan investasi fisik. Kegiatan konstruksi dapat dilakukan atas nama sendiri atau atas dasar balas jasa/kontrak. Selama tahun 2015, lapangan usaha konstruksi memberikan andil yang cukup nyata sebesar 9,4 persen terhadap perekonomian DIY. Tabel Jumlah Perusahaan Konstruksi, Tenaga Kerja Tetap dan Nilai Konstruksi di DIY, g o. PERKEMBANGAN KEGIATAN KONSTRUKSI ht tp :// yo gy ak ar ta.b ps Jumlah perusahaan konstruksi yang beroperasi di DIY dan melakukan kegiatan konstruksi pada tahun 2014 tercatat sebanyak unit perusahaan. Dibandingkan dengan tahun 2013, jumlah perusahaan yang beroperasi tahun 2014 sedikit menurun. Penurunan jumlah perusahaan konstruksi tidak selalu berelasi dengan adanya penurunan kegiatan konstruksi di wilayah DIY. Tidak adanya ketentuan yang mengatur kegiatan konstruksi di suatu wilayah tertentu harus dilakukan oleh perusahaan konstruksi di daerah yang sama. Sudah banyak Sumber : BPS terjadi bahwa perusahaan konstruksi yang berdomisili di wilayah DIY mengerjakan proyek Tahukah Anda? di luar wilayah DIY atau sebaliknya. Jenis kegiatan konstruksi yang dominan di Jumlah tenaga kerja tetap yang bekerja wilayah DIY adalah konstruksi bangunan sipil di perusahaan konstruksi pada tahun 2014 seperti jalan raya dan jembatan serta konstruksi tercatat sebanyak pekerja. Sementara, bangunan gedung tempat tinggal, pertokoan, dan perkantoran. nilai pekerjaan konstruksi yang diselesaikan oleh perusahaan konstruksi selama tahun 2014 mencapai Rp 6.1 triliun. Jenis konstruksi yang paling dominan dari sisi nilai adalah konstruksi bangunan sipil dengan proporsi mendekati 60 persen, diikuti oleh konstruksi bangunan gedung, dan konstruksi khusus dengan proporsi masing-masing di atas 20 persen. Selama beberapa tahun terakhir terlihat adanya peningkatan nominal nilai konstruksi yang dilaksanakan di wilayah DIY. 45

55 12 Tabel Distribusi Penguasaan Tempat Tinggal oleh Rumah Tangga di DIY, (Persen) Sumber : Susenas, BPS Catatan: 1) merupakan gabungan antara kontrak dan sewa 2) merupakan gabungan antara milik orang tua, bebas sewa dan lainnya Gambar Distribusi Penguasaan Tempat Tinggal menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2015 (Persen) Sumber : Susenas, BPS Tahukah Anda? Mayoritas rumah tangga di DIY menempati tempat tinggal milik sendiri. Rumah tangga yang menempati tempat tinggal secara sewa/kontrak sebagian besar terdapat didaerah Kota Yogyakarta dan daerah di sekitarnya. PENGUASAAN TEMPAT TINGGAL Kontribusi rumah tangga dalam kegiatan konstruksi terutama konstruksi bangunan tempat tinggal di DIY masih sangat vital. Berdasarkan data Susenas dapat diperoleh distribusi persentase rumah tangga menurut status penggunaan bangunan tempat tinggal. Pada tahun 2015, rumah tangga yang menempati tempat tinggal milik sendiri tercatat sebanyak 77 persen. Proporsi ini menjadi yang terbesar dan secara berturut-turut diikuti oleh rumah tangga yang menempati tempat tsecara kontrak/ sewa, dengan proporsi mencapai 13,6 persen. Rumah tangga yang menempati tempat tinggal milik orang tua, bebas sewa, rumah dinas, dan lainnya memiliki porsi 9,4 persen. Meskipun sama-sama didominasi oleh rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri, persentase rumah tangga yang tinggal di perdesaan jauh lebih besar dibandingkan dengan perkotaan. Di daerah perdesaan rumah tangga yang menempati rumah sendiri proporsinya di atas 95 persen, sementara di daerah perkotaan sekitar 65 persen. Status penggunaan tempat tinggal di perkotaan cenderung lebih bervariasi baik sewa per bulan maupun secara kontrak selama jangka waktu tertentu. Status penguasaan tempat tinggal di wilayahwilayah yang menjadi pusat pendidikan pada umumnya didominasi oleh pelajar/ mahasiswa yang tinggal secara kontrak atau sewa. Di samping itu, sebagian dari penduduk perkotaan adalah pelaku urbanisasi, yang datang ke kota untuk berusaha atau mengadu nasib. Pada umumnya mereka menyewa atau mengontrak tempat tinggal sesuai kemampuan daya belinya. Gambar 12.1 mengilustrasikan distribusi penguasaan tempat tinggal oleh rumah tangga menurut kabupaten/kota. Mayoritas rumah tangga di semua kabupaten/kota menempati tempat tinggal milik sendiri, meskipun proporsinya bervariasi. 46

56 HOTEL DAN PARIWISATA 13 Visi pembangunan pariwisata DIY adalah muwujudkan Yogyakarta sebagai destinasi wisata berkelas dunia, memiliki keunggulan saing dan banding, berwawasan budaya, berkelanjutan, mampu mendorong pembangunan daerah, dan berbasis kerakyatan sebagai pilar utama perekonomian. Pariwisata merupakan industri yang digerakkan oleh permintaan atau dihidupi oleh wisatawan dan suplainya disediakan oleh kegiatan sektoral terutama hotel, akomodasi, restoran, transportasi, komunikasi, dan jasa-jasa. Perkembangan kegiatan wisata dapat diukur dari indikator akomodasi, jumlah kunjungan wisata, tingkat penghunian kamar hotel dan rata-rata lama menginap tamu. HOTEL DAN AKOMODASI LAINNYA Kegiatan akomodasi dikategorikan menjadi hotel bintang dan non bintang, vila, penginapan, hostel, dan akomodasi lainnya. Jumlah hotel bintang di DIY pada akhir tahun 2015 tercatat sebanyak 85 unit dengan rincian di Kabupaten Bantul dan Gunungkidul masingmasing 1 unit, 26 unit di Kabupaten Sleman, dan 57 unit di Kota Yogyakarta. Dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah hotel bintang meningkat sebanyak 14 unit. Peningkatan ini terjadi di Kota Yogyakarta dan mulai marak sejak tahun Jumlah kamar hotel bintang pada tahun 2015 tercatat sebanyak unit dengan kapasitas tempat tidur sebanyak unit. Jumlah kamar dan tempat tidur meningkat selaras dengan peningkatan jumlah hotel. Jumlah akomodasi hotel non bintang di akhir tahun 2015 tercatat sebanyak hotel dan tersebar di lima kabupaten/kota dengan rincian Kulonprogo 26 unit, Bantul 261 unit, Gunungkidul 69 unit, Sleman 363 unit dan Kota Yogyakarta 362 unit. Jumlah kamar tidur yang tersedia tercatat sebanyak unit dengan kapasitas tempat tidur unit. Dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah hotel Tabel Jumlah Akomodasi, Kamar dan Tempat Tidur di DIY menurut Jenis Hotel, (Unit) Sumber : BPS DIY Tahukah Anda? Fasilitas hotel akomodasi lainnya di wilayah DIY terpusat di kawasan wisata Pantai Selatan, Kaliurang, dan Kota Yogyakarta 47

57 13 Gambar Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, (000 Jiwa) non bintang, jumlah kamar, dan kapasitas tempat tidur sedikit mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah akomodasi hotel bintang dan non bintang, jumlah kamar, dan kapasitas tempat tidur menggambarkan kunjungan wisata ke DIY yang semakin bergairah. Sumber : BPS DIY Gambar Pangsa Wisatawan Asing yang Berkunjung ke DIY menurut Negara Asal, 2015 (Persen) Sumber : BPS DIY 48 JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN Indikator yang dapat menggambarkan aktivitas pariwisata adalah jumlah kunjungan wisatawan baik domestik maupun asing. DIY dikenal sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia selain Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Kepulauan Riau. Khasanah kekayaan wisata DIY sangat beragam, baik wisata alam maupun wisata budaya, wisata yang sifatnya massal maupun minat khusus. Jumlah kunjungan wisatawan dapat diukur dengan pendekatan jumlah tamu yang menginap di hotel atau berdasarkan catatan pengunjung di setiap kawasan wisata. Kelemahan pengukuran dengan pendekatan jumlah tamu yang menginap di hotel adalah tidak mampu mencatat wisatawan yang tidak menginap atau wisatawan yang berkunjung ke DIY tetapi menginap di hotel di luar DIY. Jumlah kunjungan wisata ke DIY selama periode menunjukkan tren meningkat dan berfluktuasi. Jumlah kunjungan wisata tercatat mengalami penurunan pada tahun 2006 sebagai dampak dari gempa bumi dan tahun 2010 sebagai dampak dari erupsi Merapi, namun dalam lima tahun terakhir jumlahnya meningkat secara nyata. Pada tahun 2015, jumlah wisatawan yang berkunjung ke DIY mencapai 4,1 juta, terdiri dari 3,8 juta wisatawan domestik dan 218 ribu wisatawan asing. Kunjungan wisatawan domestik selama tumbuh 5,4 persen per tahun, sementara wisatawan asing tumbuh 10,6 persen per tahun. Kunjungan wisatawan domestik lebih dominan dengan proporsi 94,5 persen. Berdasarkan negara asal, wisatawan asing yang berkunjung ke DIY selama tahun 2015 didominadi oleh wisatawan dari

58 Belanda (10,8 %), Jepang (9,6 %), dan Malaysia (9,1 %). Peta negara asal wisatawan dalam beberapa tahun tidak berubah, tapi dari sisi persentase semakin homogen. Wisatawan asal Belanda dan Jepang terlihat dominan karena adanya ikatan historis kedua negara pernah menduduki Indonesia khususnya Yogyakarta. Pangsa wisatawan asing berdasarkan kawasan negara asal menunjukkan sebanyak 47 persen wisatawan berasal dari kawasan Asia dengan rincian 22,6 persen negara ASEAN dan 24,5 persen negara di kawasan Asia lainnya. Sementara, kawasan Eropa yang mendominasi kunjungan wisata DIY pada tahun 2012 (52,9 persen) mengalami penurunan proporsi menjadi 37,8 persen. Secara absolut, jumlah wisatawan dari kawasan Eropa meningkat, tetapi pertumbuhannya lebih rendah dari kawasan Asia. Pemetaan negara dan kawasan asal wisatawan asing sangat penting bagi perencanaan kegiatan promosi dan pemasaran wisata DIY di luar negeri. RATA-RATA LAMA MENGINAP Kinerja pariwisata juga bisa diukur dengan indikator rata-rata lama menginap (Length of Stay - LOS). Semakin tinggi nilai LOS, menunjukkan semakin lama wisatawan tinggal di wilayah DIY, sehingga akan semakin besar pula konsumsinya. Semakin besar konsumsi wisatawan akan menggerakkan perekonomian pada sisi supplai terutama yang terkait dengan lapangan usaha hotel, restoran, industri kreatif, transportasi, dan jasa lainnya. Kendati volume wisatawan asing lebih rendah dari wisatawan domestik, rata-rata lama menginapnya justru lebih panjang. Pada tahun 2015, rata-rata lama menginap wisatawan asing mencapai 2 malam. Sementara, rata-rata lama menginap wisatawan domestik hanya 1,4 malam. Secara umum, rata-rata lama menginap wisatawan asing dan domestik di DIY selama periode menunjukkan pola yang semakin menurun. Perkembangan rata-rata lama menginap menurut bulan menunjukkan adanya pola Gambar Pangsa Wisatawan Asing yang Berkunjung ke DIY menurut Negara Asal, 2015 (Persen) Sumber : BPS DIY Gambar Rata-rata Lama Menginap Wisatawan Domestik dan Asing di Hotel DIY, (malam) Sumber : BPS DIY Tabel Rata-rata Lama Menginap Wisatawan menurut Bulan, (malam) Sumber : BPS DIY 13 49

59 13 Gambar Tingkat Penghunian Kamar menurut Jenis Hotel di DIY, (Persen) musiman, meskipun tidak ada hubungan yang sistematis antara jumlah kunjungan dan rata-rata lama menginap. Rata-rata lama menginap tertinggi biasa terjadi pada saat momentum liburan sekolah, perayaan hari raya, dan pergantian tahun. Sumber : BPS DIY Tabel Tingkat Penghunian Kamar Hotel menurut Bulan di DIY, (Persen) Sumber : BPS DIY Tahukah Anda? LOS dan TPK hotel bintang cenderung lebih tinggi dari hotel non bintang, karena aktivitas MICE (Meetings, incentives, conferences and exhibitions) di hotel bintang lebih marak. 50 TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR (TPK) Indikator kinerja pariwisata yang lain adalah Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel. TPK hotel mencerminkan produktivitas hotel, semakin tinggi nilainya maka semakin produktif. TPK dihitung dalam persen dengan cara membagi jumlah kamar yang terjual dengan jumlah kamar yang tersedia. Perkembangan TPK hotel DIY selama periode menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, meskipun ada pola yang berfluktuasi. TPK hotel mengalami penurunan tajam di tahun akibat kondisi perekonomian yang lesu dan dampak bencana gempa bumi. Pada tahun 2015, TPK tercatat sebesar 36,1 persen dan cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir akibat pertambahan jumlah kamar. Berdasarkan golongan, TPK hotel bintang tercatat selalu lebih tinggi dari hotel non bintang. Pada tahun 2015, TPK hotel bintang mencapai 57,1 dan TPK hotel non bintang tercatat sebesar 27,2 persen. TPK hotel bintang cenderung meningkat dalam empat tahun terakhir, sementara TPK hotel non bintang cenderung turun. Fenomena ini menggambarkan kecenderungan wisatawan untuk menginap di hotel bintang lebih tinggi. Pola perkembangan TPK bulanan selama tahun terlihat cukup berfluktuasi. TPK 2015 mencapai puncak tertinggi pada bulan Desember dan Agustus, sementara TPK 2014 mencapai puncaknya di bulan Mei dan Desember. Bulan tersebut bersamaan dengan momentum liburan sekolah dan pergantian tahun. TPK terendah selama tahun 2014 dan 2015 terjadi pada bulan Juli yang bersamaan waktunya dengan momentum bulan puasa Ramadhan.

60 TRANSPORTASI DAN KOMUNIKASI 14 Visi pembangunan bidang perhubungan, transportasi, dan informatika DIY adalah terwujudnya transportasi berkelanjutan dan terintegrasi yang mendukung pariwisata, pendidikan dan budaya, serta terwujudnya Jogja Cyber Province dan masyarakat informasi menuju peradaban baru yang mendukung keistimewaan DIY PANJANG JALAN Indikator yang menggambarkan kualitas infrastruktur di bidang transportasi darat adalah panjang jalan beserta kualitasnya. Jalan menjadi infrastruktur strategis yang akan menentukan kelancaran jalur distribusi bahan baku maupun output hasil produksi. Jalan yang berada di wilayah DIY terbagi menjadi tiga jenis, jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota. Panjang jalan negara di wilayah DIY pada tahun 2015 tercatat sepanjang 247,9 km yang tersebar di empat kabupaten/kota. Berdasarkan kualitasnya, 89,0 persen jalan negara berada dalam kondisi baik dan sisanya dalam kondisi sedang. Panjang jalan provinsi tercatat sepanjang 619,3 km dan 37,4 persen berada dalam kondisi baik. Sisanya, 36,6 persen berada dalam kondisi sedang dan 22,9 persen rusak. Sementara, panjang jalan kabupaten tercatat sebesar 2.890,3 km dan 64,1 persen berada dalam kondisi baik. TRANSPORTASI DARAT Berdasarkan data Ditlantas Polda DIY, jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah DIY mencapai 2,2 juta unit. Mobil penumpang tercatat sebanyak 206,7 ribu unit dan tumbuh 10,7 persen per tahun selama periode Angkutan bus dan mobil beban (truk) masing-masing tercatat sebanyak unit dan unit atau tumbuh 1,1 persen dan 7,5 persen per tahun. Jumlah sepeda motor cukup dominan sebanyak 1,9 juta unit dan tumbuh 7,9 persen per tahun. Kereta api menjadi alternatif transportasi darat, terutama untuk jalur lintas provinsi. Tabel Panjang Jalan Negara, Provinsi, dan Kabupaten serta Kondisi Jalan Berkualitas Baik di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2015 Sumber: Dinas PU, Perumahan,dan ESDM DIY Tabel Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar di DIY menurut Jenis Kendaraan, (Unit) Sumber: Ditlantas Polda DIY, Tahukah Anda? Sebaran kendaraan bermotor menurut wilayah terpusat di Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta dengan proporsi masing-masing sebesar 35,6 persen, 24,6 persen, dan 21,4 persen. 51

61 14 Tabel Jumlah Penumpang dan Barang dengan Kereta Api dari Stasiun di DIY, Penumpang yang menggunakan jasa kereta api pada tahun 2015 tercatat sebanyak 3,5 juta orang dan meningkat 29,3 persen dari tahun Peningkatan ini dipengaruhi oleh kenaikan penumpang kelas ekonomi yang tumbuh 41,6 persen dan memiliki andil 53,8 persen. Sementara, angkutan kereta api barang pada tahun 2015 terlihat menurun 4,51 persen dan didominasi oleh angkutan BBM dengan porsi 95,5 persen. Sumber: Ditlantas Polda DIY, Tabel Arus Lalu Lintas Udara Dalam Negeri Melalui Bandar Udara Adi Sujipto Yogyakarta, Sumber: Ditlantas Polda DIY, Tabel Jumlah Media Komunikasi di DIY, (Unit) TRANSPORTASI UDARA Transportasi udara memiliki peran yang sangat strategis dan semakin meningkat. Namun, keberadaan Bandara Adi Sucipto sudah tidak mampu menampung lalu lintas udara keluar dan menuju DIY akibat terbatasnya kawasan dan pemanfaatan utama bandara untuk kepentingan militer. Pada tahun 2015, jumlah pesawat yang datang ke Bandara Adi Sucipto tercatat sebanyak penerbangan (tumbuh 6,6%) dan yang berangkat dari Bandara Adi Sucipto sebanyak penerbangan (tumbuh 5,7%). Jumlah penumpang yang datang tercatat 3,0 juta (tumbuh 2,2%), berangkat 2,97 juta (tumbuh 1,7%), dan transit 5,6 ribu penumpang (turun 37%). Jumlah barang yang dibongkar dari bagasi mencapai 20 ribu ton (tumbuh 6,5%) dan dimuat 22,8 ton (tumbuh 6,0%). Sementara, barang yang dibongkar melalui kargo dan paket pos tercatat sebesar 6,6 ribu ton (tumbuh 15,2%) dan dimuat sebesar 11,2 ribu ton (tumbuh 6,4 %). Sumber: Dishubkominfo DIY, 52 MEDIA KOMUNIKASI Informasi bisa diakses penduduk melalui media surat kabar, radio, televisi, dan internet. Pada tahun 2015, jumlah media cetak di DIY tercatat sebanyak 11 unit, stasiun radio termasuk radio komunitas sebanyak 65 unit, stasiun televisi sebanyak 4 unit, dan stasiun televisi berjejaring 12 unit. Penduduk usia 15 tahun ke atas di DIY yang mengakses internet dalam tiga bulan terakhir di bulan Maret 2015 mencapai 35 persen. Media yang paling banyak digunakan adalah HP dan laptop.

62 PERBANKAN DAN INVESTASI 15 Perkembangan aktivitas perbankan dapat dilihat dari kelembagaan, nilai aset, pinjaman pihak ketiga, dan kredit yang disalurkan. Sementara, aktivitas investasi dapat diketahui dari realisasi penanaman modal dalam negeri dan luar negeri KELEMBAGAAN Jumlah bank yang beroperasi di DIY pada tahun 2015 tercatat sebanyak 105 unit. Rinciannya terdiri dari 4 bank pemerintah, 34 bank swasta nasional, 2 bank pembangunan daerah, dan 65 bank perkreditan rakyat. Dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah bank yang beroperasi bertambah 1 unit yakni bank pembangunan daerah. Jumlah kantor pelayanan bank pada tahun 2015 sebanyak 744 unit, terdiri dari 150 unit kantor bank pemerintah, 203 unit kantor bank swasta nasional, 143 unit kantor bank pembangunan daerah, dan 248 unit kantor BPR. Jumlah kantor bank yang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir adalah BPR. Tabel Perkembangan Jumlah Bank di DIY (Unit) Sumber : Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY Tabel Jumlah Aset, Dana Pihak Ketiga, dan Kredit Perbankan di DIY, PERKEMBANGAN KEGIATAN PERBANKAN Perkembangan kegiatan perbankan di DIY selama periode menunjukkan perkembangan yang meningkat. Nilai aset perbankan pada akhir tahun 2015 tercatat sebesar Rp 59,3 triliun dan secara nominal tumbuh 10,5 persen dibandingkan dengan tahun Lebih dari 90 persen total aset perbankan merupakan aset bank umum baik pemerintah maupun swasta dan sisanya merupakan aset bank perkreditan rakyat. Sumber : Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY Peningkatan aset dari sisi pasiva didorong oleh peningkatan simpanan/dana pihak ketiga yang tumbuh sebesar 10,9 persen. Nominal Tahukah Anda? dana pihak ketiga yang mampu dihimpun dari Struktur dana pihak ketiga yang dihimpun masyarakat sampai akhir tahun 2015 mencapai sebagian besar berasal dari tabungan dengan Rp 49,5 triliun. Meskipun tingkat suku bunga nilai Rp 26,4 triliun (53,4%), sisanya dari simpanan mengalami penurunan sejalan dengan berjangka/deposito dan giro dengan nilai Rp 17,2 penurunan BI rate, minat masyarakat untuk triliun (34,8 %) dan Rp 5,8 triliun (11,8 %) menyimpan dana di tabungan masih tetap 53

63 15 Tabel Perkembangan Jumlah Kredit menurut Jenis Penggunaan di DIY, (Rp Milyar) Sumber : Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY Gambar Distribusi Pemanfaatan Kredit menurut Lapangan Usaha, 2015 (Persen) Sumber : Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY Gambar Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR) dan non Performing Loans (NPL) DIY (Persen) Sumber : Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY 54 tinggi yang terlihat dari besarnya share dana milik perorangan yang lebih dari 75 persen. Dari sisi aktiva, peningkatan aset didorong oleh kenaikan jumlah kredit yang disalurkan yang mampu tumbuh sebesar 5,7 persen. Jumlah nominal kredit yang tersalurkan pada akhir tahun 2015 mencapai Rp 31,4 triliun. Penggunaan kredit sebagian besar untuk kegiatan konsumsi sebesar Rp12,7 triliun (40,3 %). Pemanfaatan kredit untuk modal kerja dan investasi masingmasing sebesar Rp 12,4 triliun (39,4 %) dan Rp 6,4 triliun (20,4 %). Secara umum, pertumbuhan kredit tahun 2015 mengalami perlambatan dibandingkan tahun Secara sektoral, pemanfaatan kredit perbankan tahun 2015 yang terbesar disalurkan ke sektor bukan lapangan usaha (lainnya), terutama kredit konsumsi dan diikuti oleh kredit sektor perdagangan (34 %). Posisi selanjutnya secara berturut-turut adalah kredit sektor jasa (13 %); industri pengolahan (6 %); dan konstruksi (3 %). Kinerja perbankan juga dapat diukur dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yang dihitung dari rasio antara jumlah kredit yang disalurkan dengan jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat. LDR di DIY pada akhir tahun 2015 mencapai 63,5 persen dan sedikit menurun dibanding tahun Penurunan ini menunjukkan peran dan fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan berjalan kurang optimal, terlebih jika kredit yang disalurkan digunakan untuk kegiatan yang sifatnya tidak produktif. Nilai LDR selama masih berada di bawah ketentuan minimum LDR yang sebesar 78 persen. Belum optimalnya LDR salah satunya disebabkan oleh persoalan rendahnya penyaluran kredit terutama dari bank umum yang dihimpun di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Dengan share dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun mencapai 19,3 persen dan 70,0 persen, pangsa kredit yang tersalurkan di kedua daerah hanya mencapai 16,3 persen dan 68,1persen.

64 Akibatnya, LDR di Sleman dan Kota Yogyakarta pada akhir tahun 2015 menjadi yang terendah. LDR yang tertinggi terjadi di Gunungkidul sebesar 126,3 persen, artinya dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank umum belum mampu untuk mencukupi permintaan kredit oleh masyarakat dan pelaku usaha sehingga harus dicukupi dari daerah lainnya. Non Performing Loans (NPLs) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat resiko kredit perbankan. Nilai NPLs tahun menunjukkan pola semakin menurun. Penurunan ini menunjukkan resiko perbankan dalam menyalurkan kredit menjadi semakin rendah atau tingkat pembayaran/ pengembalian cicilan menjadi lebih lancar. NPLs mencapai level terendah tahun 2013 sebesar 1,97 persen dan terlihat meningkat kembali pada tahun 2015 menjadi 2,2 persen. Resiko kredit perbankan di DIY selama delapan tahun terakhir berada di bawah kategori aman karena nilai NPLs-nya di bawah 5 persen. NILAI TUKAR VALUTA ASING Nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing menjadi salah satu variabel ekonomi yang sangat perlu dipantau perkembangannya. Perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah setahun terhadap beberapa valuta asing yang disajikan bersumber dari beberapa sampel perusahaan valas. Secara umum, nilai jual beberapa mata uang asing yang diperdagangkan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai mata uang yang dibeli. Nilai tukar beberapa mata uang asing terhadap rupiah memiliki pola yang sama dengan nilai tukar Dolar Amerika (USD), karena sampai saat ini USD menjadi mata uang rujukan dalam transaksi internasional. Nilai tukar rupiah terhadap USD terlihat melemah di beberapa tahun terakhir hingga mencapai level di atas Rp 13 ribu. Nilai tukar rupiah terhadap Dolar Hongkong, Poundsterling, dan Dolar Singapura terlihat melemah. Sementara nilai tukar terhadap Dolar Australia, Yen Jepang, Ringgit Malaysia, dan Euro terlihat menguat. Tabel Pangsa Aset, Dana Pihak Ketiga, Kredit dan LDR Bank Umum menurut Kabupaten/Kota di DIY, (Persen) Sumber : Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY 15 Tabel Rata-rata Nilai Tukar Jual dan Beli Valuta Asing menurut Jenis Valuta Asing di DIY, Sumber: BPS DIY 55

65 15 Tabel Realisasi Komulatif PMA dan PMDM menurut Sektor di DIY, 2015 (Milyar) Tabel Realisasi Komulatif PMDM, PMA (Milyar) di DIY menurut Sektor, 2015 Sumber : BKPM DIY Gambar Realisasi PMDM dan PMA menurut Kabupaten/ Kota di DIY, 2015 (Milyar) Sumber : BKPM DIY 56 INVESTASI PMDN DAN PMA Data investasi yang tersedia merupakan rencana dan realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) yang dilaporkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah DIY. Realisasi penanaman modal secara kumulatif tahun 2015 mencapai Rp 11,2 triliun, dengan rincian PMDN Rp 4,0 triliun (53,4% dari yang direncanakan) PMA mencapai nilai Rp 7,3 triliun (119,7% dari yang direncanakan). Berdasarkan sektornya, realisasi investasi PMDN dan PMA dominan pada sektor tersier dengan porsi 54,9 persen dan 71,6 persen. Jumlah perusahaan yang melakukan investasi PMDN sampai tahun 2015 tercatat sebanyak 135 perusahaan dengan pekerja domestik orang dan pekerja asing 17 orang. Sementara, jumlah perusahaan yang melakukan investasi PMA tercatat sebanyak 139 perusahaan dengan jumlah pekerja domestik orang dan pekerja asing 170 orang. Berdasarkan sektor, realisasi PMDN terbesar dilakukan sektor tersier, terutama untuk hotel dan restoran dengan proporsi 33,4 persen. Berikutnya adalah sektor sekunder terutama pada industri tekstil dengan proporsi 20,7 persen. Realisasi pada kelompok primer (pertanian dan pertambangan) proporsinya hanya 0,7 persen. Realisasi investasi PMA yang terbesar juga terjadi pada sektor tersier, terutama untuk kegiatan perdagangan dan reparasi (23,8%), perhotelan dan restoran (19,2%), dan transportasi komunikasi (18,2%). Sementara, porsi kelompok sektor primer dan sekunder didominasi untuk kegiatan pertambangan (7,6) dan industri makanan (11,4%). Secara umum, investasi PMDN dan PMA di DIY lebih diarahkan pada sektor-sektor yang berbasis pariwisata. Berdasarkan lokasi, realisasi PMDN dan PMA masih terpusat di Kota Yogyakarta dengan pangsa di atas 43 persen. Berikutnya adalah Kabupaten Sleman dengan pangsa mendekati 40 pesen. Sementara, peningkatan investasi yang cukup tinggi terjadi di Kulonprogo.

66 HARGA-HARGA 16 Indikator untuk mengukur stabilitas perekonomian adalah tingkat harga dan perubahannya. Harga merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran barang dan jasa dalam pasar barang. Tingkat harga komoditas diukur pada level konsumen dan produsen menggunakan indeks harga beserta perubahannya (inflasi/deflasi). INDEKS HARGA KONSUMEN DAN INFLASI Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan perbandingan antara harga paket komoditas barang atau jasa pada suatu periode waktu terhadap harganya pada periode tertentu (tahun dasar). Persentase perubahan IHK antar waktu menunjukkan besarnya Inflasi/ deflasi yang mencerminkan daya beli dari uang yang dibelanjakan penduduk. IHK dihitung pada tingkat konsumen, yaitu harga transaksi antara pedagang eceran dan konsumen dalam satuan terkecil secara tunai. IHK Periode Juni 2008-Desember 2013 didasarkan pada pola konsumsi hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2007, sementara mulai Januari 2014 menggunakan hasil SBH Nilai IHK Kota Yogyakarta pada akhir tahun 2013 (2007=100) tercatat sebesar 145,6. Angka ini berarti dibandingkan dengan hargaharga komoditas kebutuhan rumah tangga tahun 2007, harga tahun 2013 mengalami kenaikan dengan rata-rata 45,6 persen. Sementara, IHK akhir tahun 2015 (2012=100) berada pada posisi 120,4. Artinya, selama periode tingkat harga konsumen secara agregat meningkat 20 persen. Level IHK tertinggi tercatat pada kelompok bahan makanan sebesar 132,8 persen dan terendah pada kelompok pendidikan sebesar 107,1 persen. Selama tahun 2015, semua kelompok mengalami peningkatan IHK. Perkembangan inflasi tahunan Kota Yogyakarta menunjukkan pola yang berfluktuasi. Pada tahun 2015, inflasi umum tercatat sebesar 3,1 persen. Artinya, tingkat harga secara umum di tahun 2015 meningkat 3,1 persen dibandingkan dengan harga Tabel IHK Kota Yogyakarta menurut Kelompok Pengeluaran, (Persen) Sumber : BPS DIY Cat. *) Tahun dasar 2007=100 **) Tahun dasar 2012=100 Tabel Inflasi Kota Yogyakarta menurut Kelompok Pengeluaran, (Persen) Sumber : BPS DIY Cat. *) Tahun dasar 2007=100 **) Tahun dasar 2012=100 Tahukah Anda? Perkembangan inflasi Kota Yogyakarta dan Nasional selama periode memiliki pola yang hampir sama. Inflasi Kota Yogyakarta dan nasional mencapai level tertinggi di atas 77 persen pada tahun 1998 akibat dampak dari krisis ekonomi 1997/

67 16 Gambar Perkembangan Inflasi Tahunan Kota Yogyakarta dan Nasional, (Persen) Sumber : BPS DIY Gambar Perkembangan IHK Umum Bulanan Kota Yogyakarta, (Persen) Sumber : BPS DIY Gambar Perkembangan Inflasi Bulanan Kota Yogyakarta, (%) Sumber : BPS DIY 58 Cat. *) 2012=100 komoditas pada tahun Inflasi atau kenaikan harta tertinggi terjadi pada kelompok sandang sebesar 5,9 persen. Sementara, kelompok transportasi dan komunikasi tercatat mengalami deflasi atau penurunan harga sebesar 2,5 persen. Secara umum, perkembangan inflasi Kota Yogyakarta dan nasional selama periode memiliki pola yang hampir sama. Inflasi mencapai puncak tertinggi dengan level di atas 77 persen pada tahun 1998 akibat dampak krisis ekonomi 1997/1998. Selama masa krisis, daya beli penduduk menurun drastis yang berpengaruh terhadap penurunan konsumsi dan kenaikan jumlah penduduk miskin. Pasca krisis inflasi berfluktuasi dibawah 10 persen dan tercatat melampaui 10 persen di tahun 2005 akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dengan besaran di atas 100 persen. Perkembangan IHK bulanan di Kota Yogyakarta selama periode menunjukkan pola meningkat secara berfluktuasi. Gambar 16.1 mengilustrasikan terjadi penurunan level IHK akibat perbedaan penggunaan tahun dasar 2007 dan Peningkatan indeks harga yang cukup tajam terjadi pada tahun 2010, 2013 dan 2014, sementara pada tahun 2011 dan 2012 pola IHK terlihat relatif datar. Perkembangan inflasi bulanan Kota Yogyakarta selama periode menunjukkan adanya pengaruh pola musiman yang cukup kuat. Di samping itu, juga terdapat pengaruh kebijakan pemerintah dalam menaikkan atau menyesuaikan harga komoditas energi (BBM, listrik, dan elpiji). Hal ini terlihat dari nilai inflasi yang mencapai level tertinggi selama periode selalu bersamaan waktunya dengan momentum perayaan hari raya keagamaan, liburan sekolah dan akhir tahun atau menjelang/sesudah pengumuman kenaikan harga komoditas energi seperti listrik, BBM, dan elpiji. Pada Tahun 2015, inflasi tertinggi terjadi pada bulan Desember (0,96%) dan Juli (0,6%). Sementara, pada bulan Februari terjadi deflasi 0,4 persen.

68 16 NILAI TUKAR PETANI (NTP) NTP merupakan indikator yang berguna untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani secara kasar, yaitu dengan mengukur kemampuan tukar produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumah tangga petani. NTP dihitung dari rasio antara indeks yang diterima (I t ) dan indeks yang dibayar oleh petani (I b ). Dengan rasio tersebut dapat diketahui apakah kenaikan harga jual produksi pertanian akan menambah pendapatan petani dan mampu mengkompensasi kebutuhan petani akibat kenaikan harga yang harus dibayar. Semakin tinggi nilai NTP, maka semakin kuat pula daya beli petani dan secara kasar mengindikasikan kesejahteraan semakin meningkat. Perkembangan nilai rata-rata tahunan It dan Ib DIY tahun menunjukkan pola yang meningkat. Secara umum, nilai It selalu lebih tinggi dari Ib dan perkembangannya juga lebih cepat sehingga nilai NTP selalu berada di atas 100. Nilai NTP 2008 (2007=100) berada pada level 105,3 dan meningkat menjadi 116,9 di tahun 2013, meskipun sedikit melambat di tahun (2012=100) menjadi 101,1 akibat pergantian tahun dasar. NTP di atas 100 secara kasar menggambarkan kesejahteraan petani yang membaik, dengan asumsi komoditas yang harganya meningkat banyak dibudidayakan oleh petani di DIY. Peningkatan nilai Ib lebih didorong oleh kenaikan indeks konsumsi. Pola perkembangan NTP secara bulanan terlihat berfluktuasi dengan nilai di atas 100 dan ada kecenderungan yang semakin meningkat. Pola patahan pada bulan Desember 2013 menunjukkan adanya pergantian tahun dasar Selama tiga tahun terakhir pasca pergantian tahun dasar, perkembangan NTP terlihat lebih datar. Bahkan, di beberapa titik (Desember 2014 dan Maret-Mei 2015) terlihat nilai Ib lebih tinggi dari It sehingga NTP pada bulan-bulan tersebut kurang dari 100. Tabel Rata-rata Tahunan Nilai Indeks yang Diterima dan Dibayar Petani serta NTP DIY, (Persen) Sumber : BPS DIY Cat. Mulai Desember 2013 menggunakan tahun dasar 2012 Gambar Perkembangan Indeks Diterima, Indeks Dibayar dan NTP Bulanan di DIY, (Persen) Sumber : BPS DIY Cat. Mulai Desember 2013 menggunakan tahun dasar 2012 Tahukah Anda? NTP sebesar 101,1 di tahun 2015 didorong oleh NTP di subsektor perkebunan (113,5) dan perikanan (105,4). Sementara, NTP subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan tahun 2015 tercatat di bawah

69 17 POLA KONSUMSI PENDUDUK Konsumsi/pengeluaran penduduk menjadi salah satu komponen permintaan akhir yang menentukan aktivitas perekonomian suatu wilayah. Rata-rata pengeluaran perkapita, komposisi, dan pertumbuhannya menjadi indikator kesejahteraan penduduk secara agregat. Tabel Rata-rata Pengeluaran Perkapita Sebulan di DIY menurut Wilayah, (Rupiah) Sumber : BPS DIY Gambar Pertumbuhan Pengeluaran Perkapita Penduduk menurut Kelompok Pengeluaran, (%) Sumber : BPS DIY 60 PENGELUARAN RUMAH TANGGA Komposisi pengeluaran penduduk dibagi menjadi dua kelompok, makanan dan non makanan. Pola pengeluaran menurut kelompok dan pergeserannya terjadi seiring dengan peningkatan pendapatan dan dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas barang dan jasa yang dikonsumsi. Ketika pendapatan meningkat maka porsi pengeluaran makanan akan semakin menurun, sebaliknya porsi pengeluaran non makanan akan meningkat. Nilai pengeluaran perkapita penduduk DIY pada tahun 2015 tercatat sebesar Rp 926,6 ribu. Rinciannya adalah pengeluaran makanan sebesar Rp 365,0 ribu dan non makanan sebesar Rp 563,6 ribu. Nilai tersebut meningkat nyata dibandingkan dengan tahun 2014, meskipun peningkatannya belum sepenuhnya menggambarkan peningkatan kuantitas karena masih ada pengaruh perubahan harga. Peningkatan terjadi pada kelompok makanan dan non makanan. Secara umum, pengeluaran per kapita penduduk di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan. Hal ini memberi gambaran kasar tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan secara rata-rata lebih baik dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Sampai dengan tahun 2015, proporsi pengeluaran non makanan sudah lebih besar dari pengeluaran makanan seiring dengan peningkatan pendapatan penduduk. Proporsi pengeluaran makanan mencapai 39,3 persen dan non makanan mencapai 60,7 persen dari total konsumsi per kapita penduduk. Pola konsumsi di daerah perdesaan berbeda dengan

70 perkotaan, di mana pengeluaran makanan masih lebih dominan dari non makanan. Distribusi pengeluaran penduduk tahun 2015 menurut kelompok pengeluaran didominasi oleh pengeluaran kelompok perumahan, bahan bakar, dan penerangan sebesar 26,7 persen. Berikutnya adalah pengeluaran kelompok jasa-jasa (pendidikan, kesehatan, rekreasi, transportasi, komunikasi dan keuangan) sebesar 17,8 persen dan kelompok makanan dan minuman jadi sebesar 14,3 persen. Komposisi pengeluaran di daerah perdesaan dan perkotaan memiliki pola yang hampir sama. Perbedaan yang cukup mencolok adalah pengeluaran kelompok padi-padian, tembakau dan sirih di daerah perdesaan tercatat cukup besar. KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN Tingkat kecukupan gizi yang diukur dari konsumsi kalori dan protein menjadi salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Jumlah konsumsi kalori dan protein dihitung berdasarkan jumlah hasil kali antara kuantitas makanan yang dikonsumsi dengan kandungan kalori dan protein dalam setiap makanan. Angka kecukupan konsumsi energi dan protein berdasarkan Widyakarya Pangan dan Gizi ke-8 tahun 2004 masing-masing sebesar kkal dan 50 gram protein per kapita per hari. Rata-rata kalori yang dikonsumsi oleh penduduk DIY selama periode terlihat berfluktuasi antara kkal sampai kkal per kapita per hari. Jika mengacu pada standar kecukupan kebutuhan minimum energi yang sebesar kkal per kapita per hari, maka rata-rata konsumsi kalori penduduk DIY tahun 2015 masih berada di bawah standar yang ditentukan. Konsumsi kalori per kapita per hari penduduk perdesaan secara umum tercatat lebih tinggi dari penduduk perkotaan. Konsumsi kalori per kapita per hari penduduk perkotaan tercatat sebesar kkal, sementara konsumsi penduduk perdesaan tercatat sebesar kkal. Tabel Pengeluaran Perkapita Sebulan di DIY menurut Kelompok Pengeluaran, 2015 Sumber : BPS DIY Gambar Rata-rata Konsumsi Kalori Perkapita Sehari di DIY, (kkal) Sumber : BPS DIY Tahukah Anda? Konsumsi kalori perkapita sehari penduduk DIY tahun 2015 masih berada di bawah standar kebutuhan minimum yang ditentukan (2.000 kkal), sementara konsumsi protein perkapita sehari sudah melampaui standar yang ditentukan (50 gram) 17 61

71 17 Gambar Rata-rata Konsumsi Protein Perkapita Sehari di DIY, (gram) Sumber : BPS DIY Tabel Rata-rata Konsumsi Kalori Perkapita Sehari (kkal) menurut Jenis Pengeluaran, Sumber : BPS DIY Tabel Rata-rata Konsumsi Protein Perkapita Sehari (kkal)menurut Jenis Pengeluaran, Sumber : BPS DIY 62 Konsumsi protein penduduk DIY selama periode terlihat berfluktuasi dan mencapai puncaknya di tahun sebesar 62 gram per kapita per hari. Meskipun demikian, konsumsi protein tahun 2015 terlihat menurun menjadi 57 gram. Jika mengacu pada kebutuhan minimum protein yang sebesar 50 gram per kapita per hari, maka rata-rata konsumsi protein penduduk DIY sudah melebihi kecukupan minimum yang ditentukan. Berdasarkan wilayah, pola konsumsi protein penduduk perkotaan selama sepuluh tahun terakhir masih lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Hal ini terjadi karena konsumsi kelompok makanan yang menjadi sumber protein penduduk perkotaan sudah lebih bervariasi dibandingkan dengan kelompok makanan yang dikonsumsi penduduk perdesaan. Pada Tahun 2015, konsumsi protein per kapita per hari penduduk daerah perkotaan mencapai 60 gram dan daerah perdesaan mencapai 52 gram. Angka ini memberi gambaran bahwa konsumsi protein menurut wilayah sudah melebihi angka kecukupan minimum protein yang ditentukan. Sumber utama kalori yang dikonsumsi penduduk DIY berasal dari kelompok padipadian sebesar 677 kkal (andil 35%). Sumber terbesar berikutnya berasal dari kelompok makanan jadi sebesar 539 kkal (andil 28,3 %) serta kelompok lemak dan minyak sebesar 227 kkal (andil 11,7 %). Kelompok bahan makanan lainnya memberi andil kalori kurang dari 6 persen. Sumber utama protein yang dikonsumsi penduduk berasal dari kelompok makanan jadi sebesar 19,9 gram (andil 34,6 %). Sumber berikutnya berasal dari kelompok padi-padian sebesar 15,9 gram (andil 27,7%) dan kelompok kacang-kacangan sebesar 5,7 gram (andil 10%). Andil konsumsi protein dari kelompok susu, telur, dan hasilnya; kelompok daging dan hasilnya; serta kelompok ikan memiliki proporsi di atas 5 persen dan cenderung meningkat. Sementara, sumber protein dari kelompok buah-buahan, umbi-umbian, sayur-sayuran, dan lainnya relatif masih rendah.

72 PERDAGANGAN LUAR NEGERI 18 Ketersediaan komoditas barang dan jasa kebutuhan rumah tangga merupakan hal yang sangat penting untuk dijaga. Tidak semua barang yang dibutuhkan untuk konsumsi dan permintaan antara dapat dipenuhi oleh produksi sendiri, dan tidak semua barang yang diproduksi akan dikonsumsi sendiri. Kegiatan perdagangan komoditas baik dalam negeri maupun luar negeri menjadi jembatan untuk menjamin ketersediaan dan distribusi komoditas. Kinerja ekspor komoditas asal DIY ke luar negeri selama empat tahun terakhir terlihat semakin membaik. Hal ini terlihat dari volume barang yang diekspor yang meningkat nyata di tahun , setelah sebelumnya menurun di periode akibat krisis finansial yang terjadi di beberapa negara tujuan utama ekspor terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada tahun 2015, volume ekspor tercatat sebesar 56,9 ribu ton atau meningkat 2,2 persen dari tahun Nilai ekspor luar negeri yang terlihat mengalami penurunan tajam di tahun 2008, secara bertahap kembali meningkat hingga mencapai US $ 242,5 juta di tahun Peningkatan nilai ini disebabkan oleh faktor kenaikan harga dan nilai tukar serta kenaikan volume penjualan. Sebagai catatan, nilai ekspor masih dalam bentuk nominal dan dihitung atas dasar harga pasar yang berlaku sehingga masih mengandung unsur perubahan harga. Berdasarkan volume, komoditas asal DIY selama sebagian besar diekspor ke negara-negara Uni Eropa, meski proporsi volume dan nilainya terlihat semakin menurun. Negara-negara Uni Eropa tujuan utama ekspor komoditas asal DIY terdiri dari Jerman, Perancis dan Inggris. Porsi volume ekspor terbesar selanjutnya adalah ekspor ke kawasan Asia. Pangsa volume ekspor ke negara-negara di kawasan Asia selama 2015 mencapai 26,1 persen, sementara pangsa nilainya mencapai 28,4 persen. Negara-negara di kawasan Asia yang menjadi tujuan utama ekspor DIY adalah Jepang, China dan Korea Selatan.Dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya volume Gambar Volume dan Nilai Ekspor DIY, Sumber : BPS DIY Tabel Pangsa Volume dan Nilai Ekspor DIY menurut Negara, (Persen) Sumber : BPS DIY Tahukah Anda? Ekspor luar negeri dari DIY didominasi oleh komoditas tekstil dan produk tekstil serta industri mebel dan kerajinan kayu, sementara impor komoditas luar negeri ke DIY didominasi oleh komponen bahan baku industri. 63

73 18 Tabel Volume dan Nilai Ekspor DIY Menurut Negara Tujuan, dan nilai ekspor DIY ke kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara terlihat semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan potensi kedua kawasan ini sebagai pasar alternatif bagi pemasaran komoditas ekspor asal DIY. id Komoditas ekspor unggulan DIY berdasarkan volume dan nilai ekspornya adalah tekstil dan produk tekstil berupa pakaian jadi dan sarung tangan, dan diikuti oleh komoditas mebel kayu dan kerajinan kayu. Komoditas ekspor yang lainnya memiliki pangsa nilai di bawah 5 persen. Berdasarkan pelabuhan muat, ekspor komoditas asal DIY sebagian besar dimuat di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang dengan proporsi 90 persen. ht tp :// yo gy ak ar ta.b ps.g o. Perkembangan kegiatan impor ke DIY sulit dicatat sesuai kondisi sebenarnya, karena lokasi pelabuhan bongkar dan pelaku impor umumnya berada di luar DIY. Di samping itu, dan belum semua perusahaan melaporkan kegiatan impornya. Jenis komoditas yang Sumber : BPS DIY diimpor dari luar negeri ke DIY hampir semuanya merupakan bahan baku produksi, Tabel Volume dan Nilai Impor ke DIY Menurut Negara bukan barang konsumtif. Barang-barang Asal, tersebut diantaranya adalah tekstil, bahan baku susu, kulit disamak, sparepart mesin pertanian, kapas, label dan asesoris garmen. Sumber : BPS DIY 64 Realisasi impor luar negeri yang tercatat masuk ke DIY selama tahun 2015 mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 9,4 juta. Volume impor didominasi oleh komoditas tekstil dan sparepart mesin pertanian. Berdasarkan negara asal, pangsa volume impor ke DIY didominasi komoditas asal China (42,5 %), Korea Selatan (19,3 %) dan Selandia Baru (16,6 %). Sementara, dari sisi nilai impor proporsi yang tertinggi berasal dari Hongkong dan Taiwan sebesar 15,2 persen dan 15,0 persen. Berikutnya adalah Korea Selatan dan China.

74 19 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai penjumlahan nilai tambah bruto (selisih antara nilai output dengan biaya antara) yang timbul dari seluruh aktivitas perekonomian dalam suatu wilayah tertentu tanpa memperhatikan dari mana faktor produksi yang digunakan berasal. Gambar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB DIY Series 2010 Atas Dasar harga Berlaku beserta indikator turunannya menggambarkan dan Konstan, (Rp Triliun) PDRB DAN PERTUMBUHAN EKONOMI PDRB ADHB 110 PDRB ADHK , ,83 id 90 83,46 79,53 75,63 71,37 68,05.g o ,92 77, ,68 64, ar ta.b ps kemajuan kegiatan perekonomian suatu wilayah. Penghitungan PDRB dapat dilakukan menggunakan tiga pendekatan, yakni produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sampai saat ini, yang lazim digunakan adalah pendekatan produksi (PDRB lapangan. tp :// yo gy ak Perkembangan nilai PDRB DIY dalam 30 beberapa tahun terakhir menunjukkan 20 pola yang semakin meningkat. Atas dasar harga berlaku, PDRB meningkat dari Rp 64,7 triliun di tahun 2010 menjadi Rp 101,4 triliun Sumber : BPS DIY di tahun Atas dasar harga konstan tahun 2010, PDRB meningkat dari Rp 64,7 Gambar triliun di tahun 2010 menjadi Rp 83,5 triliun Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi DIY, di tahun Selama periode , (Persen) kinerja perekonomian DIY yang diukur dari 7,0 pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh rata- 6,5 6,0 5,47 rata 5,2 persen per tahun. 5,37 5,21 5,5 5,12 5,16 5,03 4, ht ,73 Laju pertumbuhan ekonomi DIY periode 5,0 4,64 4,54 4,50 4,58 4,31 4,26 4, terlihat berfluktuasi di bawah 5,5 3,95 4,0 persen, setelah mengalami kontraksi yang 3,5 3,70 dalam di tahun Secara bertahap 3,0 perekonomian mulai pulih yang ditandai oleh 2,5 laju pertumbuhan ekonomi hingga level 5,12 2,0 persen di tahun Kebijakan menaikkan Sumber : BPS DIY harga BBM tahun 2005 dan bencana gempa bumi bulan Mei 2006 berdampak terhadap melambatnya perekonomian hingga level Tahukah Anda? 3,7 persen di tahun Selama , Andil pertumbuhan DIY 2015 terbesar perekonomian juga tumbuh melambat hingga dihasilkan oleh kategori usaha industri level 4,4 persen akibat dampak krisis finansial pengolahan (0,6%) dan informasi komunikasi yang melanda beberapa negara tujuan ekspor (5,6%), andil pertumbuhan terendah dimiliki terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa. Krisis oleh kategori penggalian dan pengadaan listrik, gas, dan air bersih. ini memukul sektor industri pengolahan yang 65

75 19 Tabel PDRB ADHB dan ADHK DIY menurut Lapangan Usaha, (Rp milyar) PDRB Pertum Andil Kat. Uraian ADHB ADHK buhan Pertum 2015 buhan (%) (%) A Pertanian ,60 0,46 B Penggalian ,13 0,03 C Industri Pengolahan ,75 0,63 D,E Pengadaan LGA ,39 0,01 F Konstruksi ,24 0,46 G Perdagangan Besar dan Eceran ,19 0,41 H Transportasi dan Pergudangan ,73 0,27 I Akomodasi dan Makan Minum ,77 0,46 J Informasi dan Komunikasi ,11 0,53 K Jasa Keuangan dan Asuransi ,27 0,18 L Real Estate ,45 0,36 M,N Jasa Perusahaan ,31 0,06 O Administrasi Pemerintahan ,18 0,37 P Jasa Pendidikan ,28 0,44 Q Jasa Kesehatan ,15 0,13 R,S,T,U Jasa lainnya ,00 0,14 PDRB ,94 4,94 Sumber : BPS DIY Tabel PDRB DIY ADHB dan ADHK menurut Pengeluaran, (Rp milyar) PDRB Pertum Andil Uraian ADHB ADHK buhan Pertum 2014 buhan (%) (%) Konsumsi Rumah Tangga ,87 2,94 Konsumsi LNPRT ,90 0,08 Konsumsi Pemerintah ,32 0,81 PMTB ,34 1,16 Perubahan Inventori ,73 0,06 Net Ekspor ,70-0,28 Ekspor Luar Negeri ,15 0,17 Impor Luar Negeri ,46 0,69 Net Ekspor Antar Daerah ,45 0,31 PDRB ,94 4,94 Sumber : BPS DIY Gambar19.3. Distribusi Persentase PDRB ADHB DIY menurut Lapangan Usaha, 2015 (Persen) Akomodasi dan Makan Minum; 10,2 Konstruksi; 9,4 Jasa Pendidikan; 8,5 Sumber : BPS DIY Pertanian; 10,7 Administrasi Pemerintahan; 8,2 Perdagangan Besar dan Eceran; 8,2 Informasi dan Komunikasi; 8,1 66 Pengadaan LGA; 0,2 Penggalian ; 0,6 Jasa Perusahaan; 1,0 Jasa Kesehatan ; 2,5 Jasa lainnya; 2,6 Jasa Keuangan dan Asuransi; 4,0 Transportasi dan Pergudangan ; 5,7 Real Estate; 7,0 berbasis ekspor. Selama periode perekonomian secara perlahan membaik yang ditandai oleh laju pertumbuhan ekonomi hingga 5,5 persen dan level pertumbuhan tertinggi yang mampu dicapai DIY selama lebih dari satu dasawarsa. Dalam dua tahun terakhir, perekonomian tumbuh melambat hingga level 4,9 persen di tahun Dari sisi penawaran, pertumbuhan sebesar 4,9 persen didorong oleh pertumbuhan positif semua lapangan usaha. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada kategori jasa keuangan dan asuransi (8,3%) dan diikuti jasa lainnya (8,0%). Terdapat beberapa lapangan usaha tumbuh di bawah 4 persen, yakni pertanian; penggalian; industri pengolahan, pengadaan listrik, gas dan air bersih, dan transportasi. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi 4,9 persen didorong oleh peningkatan semua komponen permintaan akhir. Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,9 persen dan memberi andil sebesar 2,9 persen terhadap pertumbuhan Konsumsi non makanan memiliki proporsi 57,9 persen dan masih dominan mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga di DIY. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebagai representasi kegiatan investasi tumbuh 4,3 persen dan memberi andil 1,2 persen terhadap pertumbuhan. Sementara, konsumsi pemerintah tumbuh 5,3 persen dan memberi andil sebesar 0,8 persen terhadap pertumbuhan. Pencairan dana khusus sebagai implementasi Keistimewaan Yogyakarta memengaruhi terhadap peningkatan konsumsi pemerintah. Ketergantungan terhadap barang dan jasa dari luar daerah dan luar negeri masih cukup tinggi. Hal ini diindikasikan oleh nilai net ekspor yang bertanda negatif. Industri Pengolahan; 13,1 STRUKTUR PEREKONOMIAN DIY Struktur perekonomian bisa dikaji berdasarkan kontribusi semua lapangan usaha dalam perekonomian. Struktur perekonomian DIY tahun 2015 pasca implementasi SNA 2008 dan perubahan tahun dasar 2010 terlihat lebih homogen. Tidak ada lapangan usaha yang

76 mendominasi perekonomian secara mencolok. Lapangan usaha yang memiliki andil terbesar dalam perekonomian adalah industri pengolahan (13,1%), diikuti oleh kategori pertanian (10,7%) dan akomodasi makan minum (10,2%). Kategori lainnya memiliki andil kurang dari 10 persen. Bahkan, kategori penggalian dan pengadaan listrik, gas, dan air bersih memiliki andil kurang dari satu persen. Struktur PDRB DIY dari sisi pengeluaran didominasi oleh komponen konsumsi rumah tangga (67,7%), diikuti oleh PMTB (30,5%) dan konsumsi pemerintah (16,7%). Komponen net ekspor yang dihitung dari selisih antara ekspor luar negeri dan ekspor antar daerah dikurangi dengan impor luar negeri dan impor antar daerah memiliki arah negatif. Artinya, tidak semua barang dan jasa yang dikonsumsi dihasilkan oleh kegiatan ekonomi di wilayah DIY, sehingga harus diimpor dari wilayah lain dan jumlah barang dan jasa yang diimpor lebih besar daripada yang diekspor. PDRB PERKAPITA PDRB perkapita dihitung dari hasil bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Ukuran ini menjadi salah satu indikator kesejahteraan penduduk suatu wilayah, namun masih bersifat kasar. Semakin tinggi PDRB perkapita mencerminkan kesejahteraan penduduk yang meningkat. Perkembangan PDRB perkapita DIY tahun menunjukkan pola meningkat. Pada tahun 2008, PDRB perkapita DIY ADHB mencapai Rp 16,1 juta per tahun dan meningkat secara bertahap menjadi Rp 27,6 juta di tahun Angka ini masih mengandung unsur perubahan harga, sehingga belum mencerminkan nilai riil. Secara riil atau ADHK tahun 2010, PDRB perkapita meningkat hingga mencapai level Rp 22,7 juta per tahun di tahun 2015 atau tumbuh 3,8 persen per tahun. Secara kasar, hal ini menggambarkan terjadinya perbaikan kesejahteraan penduduk dengan asumsi semua penduduk menerima manfaat yang sama dari pertumbuhan yang dihasilkan. Sumber : BPS DIY 19 Gambar19.4. Distribusi Persentase PDRB ADHB DIY menurut Pengeluaran, 2015 (Persen) Net Ekspor Perubahan Inventori PMTB Konsumsi Pemerintah Konsumsi LNPRT Konsumsi Rumah Tangga -19,18 1,16 16,71 3,13 30,51 67, Gambar Perkembangan PDRB Perkapita DIY ADHB dan ADHK 2010 Serta Pertumbuhannya, PDRB Perkapita Setahun (Rp Juta) ADHB ADHK 2010 Pertumbuhan PDRB Perkapita 4,23 4,11 4,5 3,99 3,94 3,94 3,74 4,0 3,51 3,41 3,5 22,68 21,87 21,04 3,0 20,18 19,39 18,65 18,04 2,5 17,43 27,56 2,0 25,52 23,62 21,74 20,33 1,5 18,65 17,34 16,11 1, Sumber : BPS DIY Tahukah Anda? Pertumbuhan PDRB perkapita riil memiliki pola yang searah dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan terlihat melambat di tahun akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi, sementara pertumbuhan penduduk relatif stabil 0,5 0,0 Pertumbuhan PDRB Perkapita (Persen) 67

77 20 PERBANDINGAN REGIONAL Bagian ini menyajikan perbandingan regional pencapaian beberapa indikator strategis di DIY dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Indikator yang diperbandingkan mencakup PDRB, PDRB perkapita dan IPM. Tabel PDRB Seri 2010, Pertumbuhan dan Andil menurut Provinsi, 2015 (Rp Triliun) Provinsi PDRB (Rp Triliun) Pertum Andil buhan ADHB ADHK (%) (%) Rank (1) (2) (3) (4) (5) (6) NAD 129,20 112,67-0,72 1,11 19 Sumut 571,72 440,96 5,10 4,91 6 Sumbar 178,81 140,53 5,41 1,53 13 Riau 652,39 448,94 0,22 5,60 5 Jambi 155,11 125,04 4,21 1,33 15 Sumsel 332,73 254,02 4,50 2,86 10 Bengkulu 50,34 38,07 5,14 0,43 29 Lampung 253,16 199,53 5,13 2,17 11 Kep. Babel 60,99 45,96 4,08 0,52 28 Kep. Riau 203,28 155,16 6,02 1,74 12 DKI Jakarta 1983, ,10 5,88 17,02 1 Jabar 1525, ,00 5,03 13,09 3 Jateng 1014,07 806,61 5,44 8,70 4 DIY 101,40 83,46 4,94 0,87 22 Jatim 1689, ,42 5,44 14,50 2 Banten 477,94 367,96 5,37 4,10 8 Bali 177,17 129,14 6,04 1,52 14 NTB 102,79 88,87 21,24 0,88 21 NTT 76,43 56,82 5,02 0,66 26 Kalbar 146,89 112,26 4,81 1,26 17 Kalteng 100,15 78,89 7,01 0,86 23 Kalsel 137,52 110,89 3,84 1,18 18 Kaltim 564,69 488,90-0,85 4,85 7 Sulut 91,28 70,42 6,12 0,78 24 Sulteng 107,60 82,83 15,56 0,92 20 Sulsel 341,75 250,73 7,15 2,93 9 Sultra 87,74 72,99 6,88 0,75 25 Gorontalo 28,54 22,07 6,23 0,24 32 Sulbar 33,02 25,98 7,37 0,28 31 Maluku 34,34 24,84 5,44 0,29 30 Maluku Utara 26,63 20,38 6,10 0,23 33 Papua Barat 62,88 52,35 4,10 0,54 27 Papua 152,13 131,27 7,97 1,31 16 Indonesia , ,05 4,98 100,00 Sumber : BPS 68 PDRB Nilai PDRB DIY Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) tahun 2015 berada di peringkat kedua puluh dua secara nasional setelah Provinsi NTB dan sebelum Provinsi Kalimantan Tengah. Peringkat ini sedikit melorot dibandingkan dengan tahun 2014 yang berada di peringkat kedua puluh. Dibandingkan dengan lima provinsi lainnya di Pulau Jawa, nilai PDRB DIY ADHB tahun 2015 berada di posisi yang terendah. Kontribusi PDRB DIY terhadap total PDB nasional ADHB tercatat sebesar 0,87 persen. Sementara, dibandingkan dengan nilai andil tahun 2010 (0,94 %) persen, andil PDRB DIY tahun 2015 sedikit mengalami penurunan. Kontribusi PDRB seluruh provinsi di Pulau Jawa terhadap total PDB nasional tercatat sebesar 58,3 persen. Angka ini sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2014 yang mencapai 57,4 persen. Fenomena ini menggambarkan konsentrasi kegiatan perekonomian nasional yang masih terpusat di Pulau Jawa, meskipun dalam beberapa dekade levelnya semakin berkurang. Kontribusi PDRB DIY terhadap total PDB nasional yang relatif rendah juga searah dengan level pertumbuhan DIY yang termasuk dalam kelompok bawah. Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2015 tercatat sebesar 4,98 persen dan sedikit melambat dibandingkan dengan tahun 2014 (5,2%). Sementara, level pertumbuhan ekonomi DIY tahun 2015 tercatat sebesar 4,9 persen. Rata-rata pertumbuhan provinsi-provinsi di Pulau Jawa mencapai 5,5 persen. Rendahnya kontribusi PDRB DIY terhadap perekonomian

78 20 nasional terkait dengan luas wilayah DIY yang relatif lebih kecil serta rendahnya kontribusi nilai tambah dari sektor migas. Kegiatan perekonomian DIY lebih berorientasi pada sektor jasa terutama jasa pendidikan dan jasa yang berbasis pariwisata dan kebudayaan. PDRB PERKAPITA Perbandingan nilai PDRB per kapita tahun 2015 ADHB maupun ADHK 2010 menurut provinsi di Indonesia menunjukkan adanya gap atau kesenjangan yang cukup lebar. Gambar 20.1 mengilustrasikan level PDRB perkapita nominal Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015 sudah berada pada level Rp 194,9 juta setahun. Angka ini tercatat 13 kali PDRB perkapita nominal Provinsi terendah yakni NTT (Rp 14,9 juta). Demikian pula secara riil (ADHK 2000), nilai PDRB perkapita DKI tercatat 12 kali PDRB perkapita NTT. Fenomena ini menggambarkan kesenjangan pendapatan regional yang sangat kontras. Provinsi DKI Jakarta menjadi prototype daerah maju sebagai representasi pusat pemerintahan maupun pusat perekonomian, sementara NTT merepresentasikan daerah yang pembangunan ekonominya masih jauh tertinggal. Secara nasional, level PDRB perkapita nominal tahun 2015 tercatat sebesar Rp 45,6 juta per tahun dan setara dengan Rp 35,4 juta atas dasar harga konstan Berdasarkan level tersebut, tercatat 8 dari 34 provinsi di Indonesia yang memiliki nilai PDRB perkapita riil dan konstan di atas level nasional. Kedelapan provinsi tersebut secara berurutan adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Utara, Papua Barat, Papua, dan Jambi. Sementara, 26 provinsi yang lainnya memiliki nilai PDRB perkapita nominal dan riil di bawah level nasional, termasuk DIY. Berdasarkan peringkat secara nasional, PDRB perkapita riil DIY pada tahun 2015 berada di urutan berada ke-26 dan berada diantara Provinsi Jawa Tengah dan Bengkulu. Beberapa provinsi yang memiliki nilai PDRB perkapita tinggi seperti Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau dan Papua Gambar PDRB Perkapita ADHB menurut Provinsi di Indonesia, 2015 (Rp Juta) Sumber : BPS Gambar PDRB Perkapita ADHK 2010 menurut Provinsi di Indonesia, 2015 (Rp Juta) Sumber : BPS 69

79 20 Tahukah Anda? Pertumbuhan PDRB perkapita riil memiliki pola yang searah dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan terlihat melambat di tahun akibat melambatnya kinerja perekonomian, sementara pertumbuhan penduduk relatif stabil Gambar IPM Metode Baru 34 Provinsi di Indonesia dan Peringkatnya, 2015 Provinsi AHH HLS RLS PPP IPM Rank (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) NAD 69,50 13,73 8, ,45 13 Sumut 68,29 12,82 9, ,51 10 Sumbar 68,66 13,60 8, ,98 9 Riau 70,93 12,74 8, ,84 6 Jambi 70,56 12,57 7, ,89 17 Sumsel 69,14 12,02 7, ,46 23 Bengkulu 68,50 13,18 8, ,59 20 Lampung 69,90 12,25 7, ,95 25 Kep. Babel 69,88 11,60 7, ,05 15 Kep. Riau 69,41 12,60 9, ,75 4 DKI Jakarta 72,43 12,59 10, ,99 1 Jabar 72,41 12,15 7, ,50 11 Jateng 73,96 12,38 7, ,49 12 DIY 74,68 15,03 9, ,59 2 Jatim 70,68 12,66 7, ,95 16 Banten 69,43 12,35 8, ,27 8 Bali 71,35 12,97 8, ,27 5 NTB 65,38 13,04 6, ,19 30 NTT 65,96 12,84 6, ,67 32 Kalbar 69,87 12,25 6, ,59 29 Kalteng 69,54 12,22 8, ,53 21 Kalsel 67,80 12,21 7, ,38 22 Kaltim 73,65 13,18 9, ,17 3 Kaltara 72,16 12,54 8, ,76 18 Sulut 70,99 12,43 8, ,39 7 Sulteng 67,26 12,72 7, ,76 26 Sulsel 69,80 12,99 7, ,15 14 Sultra 70,44 13,07 8, ,75 19 Gorontalo 67,12 12,70 7, ,86 28 Sulbar 64,22 12,22 6, ,96 31 Maluku 65,31 13,56 9, ,05 24 Maluku Utara 67,44 13,10 8, ,91 27 Papua Barat 65,19 12,06 7, ,73 33 Papua 65,09 9,95 5, ,25 34 Indonesia 70,78 12,55 7, ,55 Sumber : BPS 70 tercatat memiliki potensi pertambangan minyak dan gas maupun pertambangan bahan mineral lainnya, sehingga mendorong tingginya nilai PDRB perkapita wilayah yang bersangkutan. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA IPM DIY pada tahun 2015 tercatat sebesar 77,6. Angka ini berada di peringkat kedua tertinggi secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta (IPM 78,99). Sejak dihitung menggunakan pendekatan metode baru mulai tahun 2010, peringkat IPM DIY tidak mengalami perubahan dan selalu berada di peringkat kedua. Keunggulan IPM DIY terletak pada tingginya rata-rata usia harapan hidup penduduk pada saat lahir (AHH) dan angka harapan lama sekolah penduduk (HLS). AHH yang merepresentasikan dimensi kesehatan penduduk secara agregat tercatat mencapai 74,5 tahun dan menjadi harapan hidup yang tertinggi secara nasional. Secara kasar, angka ini menggambarkan kualitas kesehatan penduduk DIY yang lebih baik dan berkualitas dibandingkan dengan provinsiprovinsi lain di Indonesia. Angka harapan hidup yang tinggi memiliki relasi yang kuat dengan rendahnya angka kematian bayi dan balita. Hal dipengaruhi oleh ketersediaan sarana prasarana dan tenaga penolong kesehatan yang memadai serta kemudahan dalam mengaksesnya. Faktor yang lainnya adalah pendidikan dan gaya hidup penduduk DIY yang dikenal low profile serta tingkat keamanan dan kenyamanan wilayah yang ditunjukkan oleh tingginya preferensi penduduk untuk menghabiskan masa tuanya juga di wilayah DIY. HLS penduduk DIY pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 15,0 tahun dan menjadi level tertinggi secara nasional. Angka ini merepresentasikan perkiraan rata-rata tahun lama sekolah yang akan dijalani oleh penduduk DIY sampai menuntaskan jenjang pendidikan tertingginya. Tingginya HLS berkaitan dengan status Yogyakarta sebagai Kota Pelajar yang menjadi rujukan studi pelajar/mahasiswa dari berbagai penjuru Nusantara. Hal ini tidak lepas

80 20 dari ketersediaan infrastruktur dan sarana pendidikan yang relatif lengkap mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah dan tinggi. Faktor yang lainnya terkait dengan cara pandang sebagian besar orang tua di DIY yang menganggap kebutuhan pendidikan anak sebagai bentuk proses investasi yang hasilnya akan dinikmati pada masa mendatang. Indikator rata-rata lama sekolah penduduk berusia kerja (25 tahun ke atas) berada pada peringkat keenam tertinggi dengan level 9,0 tahun. Hal ini terjadi karena pada umumnya para pelajar atau mahasiswa dari daerah luar yang telah menyelesaikan jenjang pendidikannya akan melakukan migrasi ke daerah lain atau pulang ke daerah asal untuk memperoleh lapangan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan kapasitas yang dimilikinya. Aspek kehidupan yang layak yang diukur dari daya beli (pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan) penduduk DIY berada di peringkat keempat tertinggi setelah Provinsi DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Bali. Fenomena tingginya daya beli penduduk DIY terkait dengan tingkat harga relatif barang dan jasa yang lebih rendah atau lebih murah dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal ini menyebabkan nilai nominal uang yang sama ketika dibelanjakan di wilayah DIY akan mendapatkan barang atau jasa dalam kuantitas yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya. 71

81 ar ta.b ps ak yo gy :// tp ht LAMPIRAN id.g o.

82 Tabel 1. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah DIY, (juta Rp.) Rincian (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) PENDAPATAN (100) (100) (100) (100) (100) (100) Pendapatan Asli Daerah (53,86) (54,03) (46,23) (47,08) (46,65) (46,86) Pajak daerah (46,19) (45,81) (40,14) (41,16) (41,14) (41,11) Retribusi daerah (2,39) (2,24) (1,57) (1,47) (1,42) (1,35) Hasil pengelolaan kekayaan dipisahkan (1,92) (1,80) (1,63) (1,58) (1,54) (1,54) Lain-lain PAD yang sah (3,37) (4,17) (2,89) (2,86) (2,55) (2,85) Pendapatan Transfer (45,76) (45,58) (53,46) (52,52) (53,07) (52,80) Transfer Pusat - Dana Perimbangan (45,60) (45,01) (41,19) (37,07) (32,29) (30,06) Dana Bagi Hasil Pajak (6,00) (4,73) (5,45) (3,42) (2,24) (1,56) Dana Bagi Hasil Bukan Pajak dan Cukai (0,40) (0,38) - (0,00) (0,25) (0,20) (0,28) Dana alokasi umum (38,38) (38,68) (34,86) (32,07) (28,66) (27,07) Dana alokasi khusus (0,83) (1,21) (0,88) (1,34) (1,18) (1,15) Transfer Pemerintah Pusat - Lainnya (0,15) (0,57) (12,27) (15,45) (20,79) (22,74) Dana Otonomi Khusus - (0,00) - (0,00) - (0,00) (4,48) (9,38) (11,77) Dana Penyesuaian (0,15) (0,57) (12,27) (10,97) (11,40) (10,97) Lain-lain Pendapatan yang sah (0,38) (0,39) (0,30) (0,40) (0,28) (0,35) Pendapatan Hibah (0,38) (0,39) (0,30) (0,40) (0,28) (0,35) BELANJA DAN TRANSFER (100) (100) (100) (100) (100) (100) Belanja (84,15) (82,84) (84,70) (84,99) (84,16) (83,32) Belanja Operasi (74,84) (73,70) (74,10) (70,27) (69,25) (65,37) Belanja Pegawai (31,19) (31,92) (27,85) (25,30) (20,93) (19,15) Belanja Barang (26,27) (23,96) (19,13) (17,93) (23,38) (26,57) Belanja Hibah (6,64) (1,13) (22,31) (21,63) (20,52) (16,08) Belanja Bantuan sosial (6,53) (7,35) (1,18) (0,51) (0,34) (0,20) Belanja Bantuan Keuangan (4,21) (9,34) (3,64) (4,90) (4,08) (3,37) Belanja Modal (9,11) (9,14) (10,54) (14,72) (14,84) (17,95) Tanah - (0,00) (1,08) (1,44) (1,13) (1,77) (3,04) Peralatan dan Mesin - (0,00) (1,37) (2,73) (3,11) (2,44) (2,96) Gedung dan Bangunan - (0,00) (3,29) (3,74) (3,74) (5,16) (4,18) Jalan, irigasi dan jaringan - (0,00) (2,89) (2,53) (6,56) (5,37) (7,32) Aset tetap lainnya - (0,00) (0,08) (0,08) (0,14) (0,06) (0,09) Aset lainnya (9,11) (0,42) 466 (0,02) 945 (0,04) (0,04) (0,36) Belanja tidak terduga (0,20) 23 (0,00) (0,06) - (0,00) (0,07) - (0,00) Belanja tidak terduga (0,20) 23 (0,00) (0,06) - (0,00) (0,07) - (0,00) Transfer (15,85) (17,16) (15,30) (15,01) (15,84) (16,68) Bagi Hasil Pajak ke Kab/Kota/Desa - (0,00) (16,76) (15,14) (15,01) (15,84) (16,68) Bagi Hasil Retribusi ke Kab/Kota/Desa - (0,00) (0,22) (0,17) - (0,00) - (0,00) - (0,00) Bagi Hasil Lainnya ke Kab/Kota/Desa (15,85) (0,18) - (0,00) - (0,00) - (0,00) - (0,00) SELISIH PENDAPATAN DAN BELANJA PEMBIAYAAN Penerimaan Pembiayaan Pengeluaran Pembiayaan SILPA TAHUN BERJALAN Sumber : diolah dari data DPPKA DIY Catatan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase 73 73

83 Tabel 2. Jumlah Penduduk Usia Kerja (15 Tahun +) menurut Kegiatan Selama Seminggu yang lalu, TPAK dan TPT di DIY, (orang) Kegiatan Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) Angkatan Kerja Bekerja Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Sekolah Mengurus Rumah Tangga Lainnya Jumlah Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 69,76 72,93 70,39 71,29 71,52 70,01 69,29 71,84 71,05 73,10 68,38 72,20 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 5,69 5,53 4,32 3,95 3,86 3,73 3,24 2,16 3,33 4,07 4,07 2,81 Sumber : Sakernas, BPS DIY Tabel 3 Distribusi Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha Kegiatan Utama di DIY, (%) Kegiatan Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) Pertanian 30,40 24,29 26,17 25,43 27,82 24,38 28,18 25,42 25,41 25,10 23,08 22,81 Industri Pengolahan 13,92 14,22 14,68 15,65 14,97 12,96 13,36 14,91 13,97 17,70 14,61 17,85 Konstruksi 6,19 5,55 7,30 5,68 6,92 6,39 5,54 4,84 7,48 8,15 8,19 8,53 Perdagangan, Hotel dan Restoran 24,69 25,92 25,76 26,37 24,52 26,38 25,87 26,64 25,86 24,34 25,67 26,60 Transportasi dan Komunikasi 3,80 4,75 3,70 3,72 3,27 3,87 3,48 3,78 3,52 2,38 3,23 2,35 Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 2,18 2,20 2,74 2,68 3,06 3,34 2,87 3,37 3,75 2,98 3,00 2,61 Jasa-jasa 17,93 21,83 18,73 20,25 18,58 21,46 19,93 20,75 19,14 18,71 21,25 18,39 Pertambangan, Penggalian, dan LGA 0,89 1,25 0,92 0,22 0,86 1,22 0,77 0,29 0,86 0,65 0,96 0,87 Jumlah Sumber : Sakernas, BPS DIY Sumber : Sakernas, BPS DIY Tabel 4. Distribusi Penduduk Bekerja di DIY menurut Status Pekerjaan Utama, (Persen) Kegiatan Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) Berusaha Sendiri 13,75 15,30 13,47 13,61 12,52 13,52 12,92 12,14 13,92 15,06 15,54 14,15 Berusaha Dibantu Buruh Tidak 24,35 17,52 20,67 21,32 19,51 20,15 19,83 19,97 16,59 15,01 14,04 19,49 Tetap/Tidak Dibayar Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh 3,90 4,26 4,16 3,90 4,35 4,10 4,57 4,10 3,90 3,92 3,48 3,52 Dibayar Buruh/ Karyawan 30,57 39,35 39,10 38,18 38,79 39,75 39,46 41,81 43,22 41,94 45,31 38,11 Pekerja Bebas 8,56 8,61 8,32 7,14 8,47 8,74 7,12 5,13 7,62 9,46 9,72 11,44 Pekerja Tak Dibayar 18,87 14,96 14,28 15,85 16,36 13,73 16,10 16,85 14,75 14,61 11,92 13,29 Jumlah

84 Tabel 5. Jumlah Sekolah, Kelas, Murid, Guru, Rata-rata Murid dan Guru per Sekolah, dan Rasio Murid Guru dan Murid Kelas menurut Tingkatan Pendidikan di DIY, Jenjang Sumber : diolah dari data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY Sekolah Kelas Murid Guru Murid Guru (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) SD/MI (Negeri+ Swasta) SLTP/MTS (Negeri+ Swasta) SLTA/MA (Negeri+ Swasta) SMK (Negeri+ Swasta) Tahun Ajaran Jumlah Rata-rata per Sekolah 2015/ / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / Rasio Murid Guru Rasio Murid Kelas 2011/ / / / / / / / / / / / / /

85 Tabel 6. Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Angka Partisipasi Murni (APM) menurut Kelompok Usia/Tingkatan Pendidikan di DIY, (Persen) Partisipasi Sekolah Kelompok Usia Tahun (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) Angka Partisipasi Sekolah (APS) Angka Partisipasi Ka s a r (APK) Angka SD 91,98 92,55 95,46 94,38 93,53 94,32 94,38 94,76 91,98 96,03 98,72 98,98 99,23 Partisipasi SLTP 79,06 77,37 83,27 72,30 74,94 75,31 75,34 75,55 69,15 72,64 75,82 82,20 82,86 Murni (APM) SLTA 59,77 61,51 62,45 55,85 57,88 58,96 58,69 59,35 59,68 64,02 64,92 68,46 68,60 Sumber : BPS DIY Sumber : BPS ,67 98,77 99,05 99,35 99,29 99,62 99,65 99,69 99,46 99,77 99,96 99,94 99, ,10 95,02 95,16 90,55 92,62 92,91 93,42 94,02 97,59 98,32 96,71 99,48 99, ,58 75,96 74,86 71,18 71,82 72,46 72,26 73,06 75,85 80,22 81,50 86,44 86, ,29 47,00 41,21 39,71 43,38 43,47 43,30 44,03 41,73 44,32 46,73 49,08 49,17 Tabel 7. Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 25 Tahun ke Atas di DIY, (Tahun) Kabupaten/Kota 76 SD 102,83 107,36 106,60 107,97 112,20 115,03 111,10 108,16 104,52 107,13 108,31 109,11 106,69 SLTP 100,57 97,29 98,21 91,30 102,35 104,81 92,47 93,47 89,40 88,99 83,54 90,66 97,88 SLTA 75,32 77,48 78,05 72,57 75,87 79,04 78,33 79,29 86,50 83,09 89,74 94,62 82,64 Rata-rata Lama Sekolah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) D.I. Yogyakarta 8,51 8,53 8,63 8,72 8,84 9,00 0,57 0,57 0,58 0,58 0,59 0,60 Kulonprogo 7,85 7,88 7,93 8,02 8,20 8,40 0,52 0,53 0,53 0,53 0,55 0,56 Bantul 8,34 8,35 8,44 8,72 8,74 9,08 0,56 0,56 0,56 0,58 0,58 0,61 Gunungkidul 5,59 5,74 6,08 6,22 6,45 6,46 0,37 0,38 0,41 0,41 0,43 0,43 Sleman 9,79 10,03 10,03 10,03 10,28 10,30 0,65 0,67 0,67 0,67 0,69 0,69 Kota Yogyakarta 10,88 11,01 11,22 11,36 11,39 11,41 0,73 0,73 0,75 0,76 0,76 0,76 Kabupaten/Kota Tabel 8. Harapan Lama Sekolah Penduduk di DIY, (Tahun) Indeks Rata-rata Lama Sekolah Harapan Lama Sekolah Indeks Harapan Lama Sekolah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) D.I. Yogyakarta 14,15 14,61 14,64 14,67 14,85 15,03 0,79 0,81 0,81 0,81 0,82 0,84 Kulonprogo 12,20 12,75 12,87 13,00 13,27 13,55 0,68 0,71 0,72 0,72 0,74 0,75 Bantul 13,55 13,95 14,15 14,35 14,62 14,72 0,75 0,77 0,79 0,80 0,81 0,82 Gunungkidul 11,52 11,83 12,14 12,49 12,82 12,92 0,64 0,66 0,67 0,69 0,71 0,72 Sleman 15,42 15,45 15,48 15,52 15,64 15,77 0,86 0,86 0,86 0,86 0,87 0,88 Kota Yogyakarta 15,68 15,75 15,82 15,89 15,97 16,32 0,87 0,88 0,88 0,88 0,89 0,91 Sumber : BPS

86 Tabel 9. Angka Harapan Hidup Penduduk Saat Lahir (e 0 ) menurut Kabupaten/Kota di DIY, (Tahun) Kabupaten/Kota Harapan Lama Sekolah Indeks Harapan Lama Sekolah Sumber : BPS Sumber : BPS (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) D.I. Yogyakarta 74,17 74,26 74,36 74,45 74,50 74,68 0,83 0,83 0,84 0,84 0,84 0,84 Kulonprogo 74,84 74,86 74,87 74,89 74,90 75,00 0,84 0,84 0,84 0,84 0,84 0,85 Bantul 73,14 73,17 73,19 73,22 73,24 73,44 0,82 0,82 0,82 0,82 0,82 0,82 Gunungkidul 73,35 73,36 73,37 73,38 73,39 73,69 0,82 0,82 0,82 0,82 0,82 0,83 Sleman 74,43 74,44 74,46 74,47 74,47 74,57 0,84 0,84 0,84 0,84 0,84 0,84 Kota Yogyakarta 74,00 74,02 74,04 74,05 74,05 74,25 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 Tabel 10. Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan Disesuaikan (PPP) menurut Kabupaten/Kota di DIY, (Rp) Pengeluaran Perkapita Disesuaikan (PPP) Indeks PPP Kabupaten/Kota (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) D.I. Yogyakarta ,76 0,76 0,76 0,76 0,76 0,77 Kulonprogo ,64 0,65 0,65 0,65 0,65 0,66 Bantul ,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,81 Gunungkidul ,64 0,64 0,64 0,64 0,64 0,65 Sleman ,80 0,80 0,80 0,81 0,81 0,82 Kota Yogyakarta ,85 0,85 0,85 0,86 0,86 0,87 Tabel 11. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut Kabupaten/Kota di DIY, Kabupaten/Kota Indeks Pembangunan Manusia 1) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) D.I. Yogyakarta 72,91 73,50 73,70 74,15 74,88 75,23 75,37 75,93 76,15 76,44 76,81 77,59 Kulonprogo 70,92 71,50 72,01 72,76 73,26 73,77 68,83 69,53 69,74 70,14 70,68 71,51 Bantul 71,50 71,95 71,96 72,78 73,38 73,75 75,31 75,79 76,13 76,78 77,11 78,00 Gunungkidul 68,86 69,27 69,44 69,68 70,00 70,17 64,20 64,83 65,69 66,31 67,03 67,41 Sleman 75,10 75,57 76,22 76,70 77,24 77,70 79,69 80,04 80,10 80,26 80,73 81,20 Kota Yogyakarta 77,42 77,70 77,81 78,14 78,95 79,28 82,72 82,98 83,29 83,61 83,78 84,57 Sumber : BPS Catatan 1) mulai tahun 2010 ihitung dengan metode barui 77 77

87 Tabel 12. Laju Inflasi Tahunan Kota Yogyakarta menurut Kelompok Komoditas, (Persen) Kelompok Komoditas Umum 10,40 7,98 10,80 2,93 7,38 3,88 4,31 7,32 6,59 3,09 Sumber : BPS Tabel 13 Perkembangan Laju Inflasi Bulanan Kota Yogyakarta, (Persen) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) ,44 0,96 0,13 1,56 0,31 1,2 1,01 1,32 0,83 2,29 0,44 0,24 10, ,74 0,29 0,2 1,66 0,34-0,08 1,33 1,23 0,53 1,27 0,62 0,23 8, ,19 0,61 0,67 0,17-0,34 0,62-0,02-0,53 0,35 0,02 0,7 1,34 4, ,94 2,05 1,1-0,17 0,32 0,41 0,62-0,06 0,17 0,48 1,21 0,94 10, ,47 1,56 1,29-0,72 0,53-0,31 1,46 1,29 0,49 0,87 1,38 0,24 8, ,32 1,36 1,59 1,64 0,08-0,41 1,21 0,73 0,64 0,34 0,3 0,84 9, ,23 1,1-0,37-1,05-0,07 0,1 0,6-0,66 0,15 0,66 1,03 0,33 3, ,17 0,88 0,53 0,01-0,4-0,11 0,95 1,24 1,76 1,67 2,81 3,21 12, ,23 14,58 5,38 4,11 3,57 4,75 8,6 7,53 4,43-0,14-0,24 0,83 77, ,46 0,31 0,28-0,51-0,14-0,46-0,61-0,1-0,39-0,05 0,47 2,51 2, ,78-0,34 0,09 0,3 0,37 0,65 1,3 0,36 0,3 0,72 1,2 1,37 7, ,08 1,31 1,26 0,48 0,9 1,16 1,75 0,32 1,08 0,67 1,49 1,57 12, ,44 0,75 0,33-0,25 1,53 0,4 1,38 0,82 1,56 0,51 1,68 1,27 12, ,88 0,1-0,02 0,22 0,11 0,67 1,06 0,06 0,53 0,75 0,67 0,57 5, ,6-0,2 0,44 0,75 0,86 0,31 0,55 0,54 0,26 0,5 1,08 1,05 6, ,2 0,14 0,95 0,3 0,47 0,66 1,09 0,87 1,06 6,53 1,4-0,45 14, ,5 0,21-0,17 0,64 1,05 0,83 0,6 0,84 1,07 0,79 0,43 1,17 10, ,89 0,54 0,42 0,02 0,07 0,08 0,77 1,4 0,96 1,09 1,01 0,47 7, ,25 1,01 0,56 0,21 1,08 2,51 1,31 0,67 1,15 0,62 0,07-0,11 9, ,09 0,32 0,18-0,34 0,27 0,18 0,32 0,77 0,8-0,03 0,09 0,24 3, ,57 0,31 0,13 0,25 0,14 1,26 1,4 0,43 1,06 0,28 0,62 0,72 7, ,84 0,1 0,21-0,28 0,13 0,26 0,9 0,63 0,19 0,04 0,33 0,48 3, ,25 0,1 0,36 0,11 0,05 0,75 0,76 0,42 0,19 0,38 0,2 0,66 4, ,96 0,93 0,79-0,3-0,29 0,84 2,58 0,87-0,24 0,61 0,2 0,17 7, ,05 0,07 0,14 0,07 0,05 0,43 0,85 0,09 0,49 0,28 1,13 1,76 6, ,13-0,40 0,15 0,38 0,36 0,35 0,63 0,33 0,04 0,01 0,13 0,96 3, ,53-0,09 0,02-0,16 0,08 0,43 0,94 Sumber : BPS 78 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) Bahan Makanan 15,62 13,30 14,92 3,91 18,86 1,82 8,10 12,31 7,70 4,64 Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau 13,85 7,33 9,01 7,50 5,47 7,07 6,90 8,15 2,95 5,04 Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar 6,68 6,17 13,78 1,40 5,49 3,01 2,99 5,18 8,92 4,41 Sandang 8,04 9,34 9,90 5,81 5,41 9,40 3,56 0,00 3,61 5,87 Kesehatan 16,09 4,37 8,19 1,86 1,97 5,64 1,93 3,08 5,49 4,21 Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga 15,36 12,57 5,62 2,26 4,25 1,73 1,43 3,17 2,37 1,36 Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan 1,50 2,97 6,12-1,23 5,57 2,40 1,30 10,45 9,36-2,51 Tahun Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan-Des

88 Tabel 14 Perkembangan Indikator Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di DIY, Kab/Kota Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/ Bulan) Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa) Persentase Penduduk Miskin Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/ Bulan) Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa) Persentase Penduduk Miskin Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/ Bulan) Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa) Persentase Penduduk Miskin Lanjutan Sumber : BPS (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Kulonprogo ,9 24, ,0 23, ,8 23,62 Bantul ,5 17, ,9 16, ,4 17,28 Gunungkidul ,7 24, ,7 22, ,1 23,03 Sleman ,5 11, ,0 10, ,3 10,61 Yogyakarta ,3 10, ,8 9, ,7 9,62 DIY ,9 16, ,4 15, ,3 16,14 Kab/Kota Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/ Bulan) Jumlah Garis Persentase Penduduk Kemiskinan Penduduk Miskin (Rp/Kapita/ Miskin (000 Jiwa) Bulan) Jumlah Persentase Penduduk Penduduk Miskin Miskin (000 Jiwa) Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/ Bulan) Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa) Persentase Penduduk Miskin (1) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) Kulonprogo ,4 23, ,5 21, ,7 20,64 Bantul ,8 17, ,6 16, ,5 15,89 Gunungkidul ,5 22, ,2 21, ,4 20,83 Sleman ,8 10, ,8 9, ,4 9,50 Yogyakarta ,6 9, ,6 8, ,6 8,67 DIY ,1 15, ,9 15, ,6 14,

89 Wilayah Sumber : BPS 80 Tabel 15. Perkembangan Indikator Kemiskinan DIY menurut Wilayah, Bulan/ Tahun Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/ Bln) Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin (P 0 ) Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1 ) Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2 ) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Perkotaan (K) Mar , ,8 16, Mar , ,3 16, Mar , ,4 15, Mar , ,3 16, Mar , ,0 17, Mar , ,3 15,63 3,08 0,88 Mar , ,2 14,99 2,72 0,71 Mar , ,5 14,25 2,84 0,81 Mar , ,4 13,98 2,27 0,56 Mar , ,3 13,16 1,93 0,50 Sep , ,9 12,88 1,93 0,48 Mar , ,9 13,13 3,56 1,32 Sep , ,5 13,10 2,29 0,58 Mar , ,5 13,43 2,08 0,50 Sep , ,5 13,73 2,18 0,52 Mar , ,0 13,81 2,22 0,53 Sep , ,4 13,36 2,03 0,52 Mar , ,7 13,43 2,55 0,71 Sep , ,6 11,93 2,19 0,60 Mar , ,7 11,79 1,78 0,38 Perdesaan (D) Mar , ,9 25, Mar , ,5 24, Mar , ,8 23, Mar , ,5 24, Mar , ,7 27, Mar , ,2 25,03 5,08 1,55 Mar , ,1 24,32 4,49 1,29 Mar , ,3 22,60 4,74 1,46 Mar , ,9 21,95 3,89 1,02 Mar , ,6 21,82 3,67 0,93 Sep , ,3 22,57 3,54 0,81 Mar , ,4 21,76 3,29 0,79 Sep , ,6 21,29 4,07 1,09 Mar , ,7 19,29 3,02 0,63 Sep , ,7 17,62 2,03 0,34 Mar , ,8 17,36 2,11 0,40 Sep , ,2 16,88 2,98 0,79 Mar , ,6 17,85 3,70 1,09 Sep , ,9 15,62 2,57 0,68 Mar , ,2 16,63 3,41 1,05 Perkotaan (K) + Perdesaan (D) Mar , ,7 20, Mar , ,8 19, Mar , ,2 19, Mar , ,8 18, Mar , ,7 19, Mar , ,5 18,99 3,80 1,12 Mar , ,3 18,32 3,35 0,92 Mar , ,8 17,23 3,52 1,04 Mar , ,3 16,83 2,85 0,73 Mar , ,9 16,08 2,51 0,65 Sep , ,2 16,14 2,48 0,59 Mar , ,3 16,05 3,47 1,14 Sep , ,1 15,88 2,89 0,75 Mar , ,2 15,43 2,40 0,55 Sep , ,2 15,03 2,13 0,46 Mar , ,9 15,00 2,19 0,48 Sep , ,6 14,55 2,35 0,61 Mar , ,2 14,91 2,93 0,83 Sep , ,6 13,16 2,32 0,63 Mar , ,9 13,34 2,30 0,59

90 Tabel 16. Produk Domestik Regional Bruto DIY Seri 2010 Atas Dasar Harga Berlaku, (Rp Milyar) Kat. Uraian *) 2015 **) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 7 252, , , , , ,37 B Pertambangan dan Penggalian 406,71 455,99 467,15 495,04 537,60 573,13 C Industri Pengolahan 9 215, , , , , ,29 D Pengadaan Listrik dan Gas 94,73 91,00 90,99 86,39 89,67 92,61 E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 76,11 79,89 83,13 89,65 102,67 109,70 F Konstruksi 6 183, , , , , ,92 G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 5 146, , , , , ,65 H Transportasi dan Pergudangan 3 651, , , , , ,75 I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5 740, , , , , ,39 J Informasi dan Komunikasi 6 184, , , , , ,24 K Jasa Keuangan dan Asuransi 2 037, , , , , ,36 L Real Estate 4 498, , , , , ,66 M,N Jasa Perusahaan 722,49 783,19 836,06 855,44 956, ,36 O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 4 777, , , , , ,23 P Jasa Pendidikan 5 428, , , , , ,74 Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1 540, , , , , ,55 R,S,T,U Jasa lainnya 1 723, , , , , ,17 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO , , , , , ,12 Sumber : BPS Tabel 17. Produk Domestik Regional Bruto DIY Seri 2010 Atas Dasar Konstan Berlaku, (Rp Milyar) Kat. Uraian *) 2015 **) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 7 252, , , , , ,98 B Pertambangan dan Penggalian 406,71 436,33 443,63 461,01 470,73 471,32 C Industri Pengolahan 9 215, , , , , ,53 D Pengadaan Listrik dan Gas 94,73 100,06 110,27 116,97 121,27 119,66 E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 76,11 76,35 78,99 79,74 82,86 85,26 F Konstruksi 6 183, , , , , ,70 G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 5 146, , , , , ,90 H Transportasi dan Pergudangan 3 651, , , , , ,31 I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 5 740, , , , , ,13 J Informasi dan Komunikasi 6 184, , , , , ,14 K Jasa Keuangan dan Asuransi 2 037, , , , , ,73 L Real Estate 4 498, , , , , ,13 M,N Jasa Perusahaan 722,49 769,96 831,52 858,73 924,04 991,56 O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 4 777, , , , , ,58 P Jasa Pendidikan 5 428, , , , , ,28 Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1 540, , , , , ,41 R,S,T,U Jasa lainnya 1 723, , , , , ,95 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO , , , , , ,57 Sumber : BPS 81 81

91 Tabel 18. Produk Domestik Regional Bruto DIY Seri 2010 Atas Dasar Harga Berlaku menurut Pengeluaran, (Rp Milyar) PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO , , , , , ,12 Sumber : BPS Tabel 19. Produk Domestik Regional Bruto DIY Seri 2010 Atas Dasar Harga Konstan menurut Pengeluaran, (Rp Milyar) Sumber : BPS Komponen Pengeluaran *) 2015 **) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga , , , , , ,88 Makanan , , , , , ,19 non Makanan , , , , , ,69 Pengeluaran Konsumsi LNPRT 1 529, , , , , ,19 Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 9 847, , , , , ,02 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) , , , , , ,04 Perubahan Inventori 996,13 935,15 969,33 967,15 980, ,16 Net Ekspor Luar Negeri 1 198, , , , , ,57 Ekspor Luar Negeri 2 719, , , , , ,71 Impor Luar Negeri 1 520, , , , , ,15 Net Ekspor Antar Daerah , , , , , ,74 Komponen Pengeluaran *) 2015 **) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga , , , , , ,80 Makanan , , , , , ,16 non Makanan , , , , , ,49 Pengeluaran Konsumsi LNPRT 1 529, , , , , ,37 Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 9 847, , , , , ,85 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) , , , , , ,61 Perubahan Inventori 996,13 813,14 804,88 832,54 930,60 974,65 Net Ekspor Luar Negeri 1 198, , , , ,71 685,51 Ekspor Luar Negeri 2 719, , , , , ,22 Impor Luar Negeri 1 520, , , , , ,72 Net Ekspor Antar Daerah , , , , , ,21 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO , , , , , ,57 82

92 id.g o. ar ta.b ps ak DATA ht tp :// yo gy MENCERDASKAN BANGSA BADAN PUSAT STATISTIK Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jl. Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul Telp. (0274) (Hunting) Fax. (0274) Homepage:

Katalog BPS : Statistik. Daerah Istimewa Yogyakarta BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Katalog BPS : Statistik. Daerah Istimewa Yogyakarta BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Katalog BPS : 1101002.34 Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 STATISTIK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. 1.1 Profil Daerah Istimewa Yogyakarta. Peta 2.1

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. 1.1 Profil Daerah Istimewa Yogyakarta. Peta 2.1 BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN 1.1 Profil Daerah Istimewa Yogyakarta Peta 2.1 1. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta keberadaannya dalam konteks historis dimulai dari sejarah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. A. Kondisi Geografis dan Profil Singkat Daerah Istimewa Yogyakarta. Gambar 4.1

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. A. Kondisi Geografis dan Profil Singkat Daerah Istimewa Yogyakarta. Gambar 4.1 58 BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Profil Singkat Daerah Istimewa Yogyakarta Gambar 4.1 Peta Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), D.I.

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI DIY PADA AGUSTUS 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,97 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI DIY PADA AGUSTUS 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,97 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XI, 05 Januari 2009 No. 52/11/34/Th.XIV, 5 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI DIY PADA AGUSTUS 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,97

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Batas admistrasi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian tengah, di bagian selatan dibatasi lautan Indonesia, sedangkan di bagian

Lebih terperinci

Ketenagakerjaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Ketenagakerjaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Katalog BPS : 2301003.34 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Statistik BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XI, 05 Januari 2009 No. 47/12/34/Th.XI, 01 Desember 2009 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN (Di

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Yogyakarta Agustus 2017 No. 65/11/34/Thn.XIX, 6 Nopember 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI D.I YOGYAKARTA Keadaan Ketenagakerjaan Yogyakarta Agustus 2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BENGKONG

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BENGKONG STATISTIK DAERAH KECAMATAN BENGKONG 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BENGKONG 2015 No Publikasi : 2171.15.31 Katalog BPS : 1102001.2171.081 Ukuran Buku : 24,5 cm x 17,5 cm Jumlah Halaman : 11 hal. Naskah

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat Keadaan Ketenagakerjaan No. 69/11/76/Th. XI, 6 November BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Di Provinsi Sulawesi Barat : Tingkat Pengangguran Terbuka di Sulawesi Barat

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT 2.1. Gambaran Umum 2.1.1. Letak Geografis Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Sumba, salah satu

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017 Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Provinsi DKI Jakarta No. 55/11/31/Th. XIX, 6 November 2017 PROVINSI DKI JAKARTA KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017 Tingkat P Terbuka (TPT) sebesar 7,14

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012

Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012 Kata pengantar Publikasi Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012 merupakan publikasi perdana yang berisi data penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan indikator keuangan

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografi dan Demografi Provinsi Jawa Timur terletak pada 111,0 hingga 114,4 Bujur Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG IV. DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG 4.1. Provinsi Lampung 4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Lampung meliputi wilayah seluas 35.288,35 kilometer persegi, membentang di ujung selatan pulau Sumatera, termasuk pulau-pulau

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017 No. 103/11/Th. XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017 A. KEADAAN KETENAGAKERJAAN Agustus 2017: Tingkat

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 36 BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Keadaan Geografi Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis terletak pada koordinat 7º 21 7º 31 LS dan 110º 10 111º 40 BT. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber I. Pendahuluan Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dari delapan tujuan yang telah dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 adalah mendorong kesetaraan gender dan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 78//35/Th. XIII, 5 November 05 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 05 AGUSTUS 05: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,47 PERSEN Jumlah angkatan kerja di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Sejak tahun 2000, Indonesia telah meratifikasi Millenium Development Goals (MDGs) di bawah naungan Persatuan Bangsa- Bangsa.

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah provinsi di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM 51 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Keadaan Geografis 1. Keadaan Alam Wilayah Kabupaten Bantul terletak antara 07 o 44 04 08 o 00 27 Lintang Selatan dan 110 o 12 34 110 o 31 08 Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2008 SEBESAR 6,04 PERSEN

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2008 SEBESAR 6,04 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2008 SEBESAR 6,04 PERSEN No. 17/05/34/Th. X, 15 Mei 2008 Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional

Lebih terperinci

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau Kata pengantar Publikasi Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2013 merupakan publikasi kedua yang berisi data penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan indikator keuangan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Sumatera Barat Agustus 2017 No. 62/11/13/Th. XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Sumatera Barat Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2016 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,81 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2016 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,81 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 28/05/34/Th.XVIII, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2016 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,81 PERSEN Jumlah penduduk yang bekerja

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Pada tahun

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI MALUKU UTARA Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Maluku Utara sebesar 5,33 persen. Angkatan kerja pada Agustus

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara, Kabupaten Klaten di bagian timur laut,

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara, Kabupaten Klaten di bagian timur laut, BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Profil Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu dari 34 provinsi di Indonesia yang terletak di pulau jawa bagian selatan tengah.

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 12 IndikatorKesejahteraanRakyat,2013 INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014 No. ISSN : 0854-9494 No. Publikasi : 53522.1002 No. Katalog : 4102004 Ukuran Buku Jumlah Halaman N a s k a

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI TENAGA KERJA KONSTRUKSI. Tenaga kerja konstruksi merupakan bagian dari sektor konstruksi yang mempunyai

BAB IV KONDISI TENAGA KERJA KONSTRUKSI. Tenaga kerja konstruksi merupakan bagian dari sektor konstruksi yang mempunyai BAB IV KONDISI TENAGA KERJA KONSTRUKSI 4.1 Umum Tenaga kerja konstruksi merupakan bagian dari sektor konstruksi yang mempunyai peran yang signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional. Dalam Analisis Kebutuhan

Lebih terperinci

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI ACEH 2016 Nomor Publikasi : 11522.1605 Katalog BPS : 4102004.11 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : xvii + 115 Halaman Naskah Gambar Kulit Diterbitkan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN q BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No.29/05/34/Th.XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN Pada Februari 2017, Penduduk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Secara geografis Provinsi Jawa Tengah terletak antara 5 40 dan 8 30

BAB IV GAMBARAN UMUM. Secara geografis Provinsi Jawa Tengah terletak antara 5 40 dan 8 30 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Jawa Tengah terletak antara 5 40 dan 8 30 Lintang Selatan dan antara 108 30 dan 111 30 Bujur Timur (temasuk Pulau Karimunjawa). Sebelah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014 No. 22/5/Th.XVII, 5 Mei 2014 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,75 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 67/11/34/Th.XVII, 5 November KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN Hasil Survei Angkatan Kerja

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 20/05/34/Th. XI, 15 Mei 2009 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2014 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,16 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2014 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,16 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 29/05/34/Th.XVI, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2014 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,16 PERSEN Jumlah penduduk yang bekerja

Lebih terperinci

INDIKATOR KETENAGAKERJAAN

INDIKATOR KETENAGAKERJAAN INDIKATOR KETENAGAKERJAAN KABUPATEN MAMUJU TAHUN 2012 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAMUJU INDIKATOR KETENAGAKERJAAN KABUPATEN MAMUJU TAHUN 2012 No Publikasi : 76042.1202 Katalog BPS : 2302003.7604 Ukuran

Lebih terperinci

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS : 4102004.1111 Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara Jl. T. Chik Di Tiro No. 5 Telp/Faks. (0645) 43441 Lhokseumawe 24351 e-mail : bpsacehutara@yahoo.co.id, bps1111@bps.go.id BADAN PUSAT

Lebih terperinci

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK

TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI DI KOTA YOGYAKARTA, NAMUN JUMLAH PENGANGGUR TERBANYAK BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 03/01/34/Th.X, 02 Januari 2008 SAKERNAS AGUSTUS 2007 MENGHASILKAN ANGKA PENGANGGURAN PERBANDINGAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI DIY : TINGKAT PENGANGGURAN TERTINGGI

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA, FEBRUARI 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,09 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA, FEBRUARI 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,09 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XI, 05 Januari 2009 No. 23/05/34/Th.XIV, 7 Mei 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA, FEBRUARI 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Profil Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu dari 34 provinsi di Indonesia yang terletak di pulau jawa bagian selatan tengah.

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 31/05/34/Th.XVII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN Jumlah penduduk yang bekerja

Lebih terperinci

Kata pengantar. Tanjungpinang, September 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Kata pengantar. Tanjungpinang, September 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau Kata pengantar Publikasi Statistik Sosial Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014 merupakan publikasi yang berisi data penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dan Indeks Demokrasi Indonesia

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 29/05/32/Th.XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT FEBRUARI 2017 Angkatan kerja pada Februari 2017 sebanyak 22,64 juta orang, naik sekitar 0,46 juta orang

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Kalimantan Selatan Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Kalimantan Selatan Agustus 2017 Keadaan Ketenagakerjaan Kalimantan Selatan 2017 No. 064/11/63/Th. XIX, 06 November 2017 Keadaan Ketenagakerjaan Kalimantan Selatan 2017 Kalimantan Selatan mengalami TPT sebesar 4,77 persen. Jumlah angkatan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI WILAYAH

BAB II DESKRIPSI WILAYAH BAB II DESKRIPSI WILAYAH 1.1 Kondisi Geografis 2.1.1 Kota Magelang a. Letak Wilayah Berdasarkan letak astronomis, Kota Magelang terletak pada posisi 110 0 12 30 110 0 12 52 Bujur Timur dan 7 0 26 28 7

Lebih terperinci

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar KABUPATEN WAROPEN TAHUN 2014 Oleh : Muhammad Fajar KATA PENGANTAR Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik mengamanatkan Badan Pusat Statistik (BPS) bertanggung jawab atas perstatistikan di

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. 31/05/21/Th. VI, 5 Mei 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN FEBRUARI 2011 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI SEBESAR 7,04 PERSEN Jumlah

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN LEMBEH UTARA

STATISTIK DAERAH KECAMATAN LEMBEH UTARA STATISTIK DAERAH KECAMATAN LEMBEH UTARA 2016 B A D A N P U S AT S TAT I S T I K KO TA B I T U N G Statistik Kecamatan Lembeh Utara 2016 Statistik Kecamatan Lembeh Utara 2016 No. Publikasi : 7172.1616 Katalog

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015 No. 27/05/Th.XVIII, 5 Mei 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 7,73 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. xxx/05/21/th. V, 10 Mei 2010 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN FEBRUARI 2010 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI TERENDAH DALAM EMPAT TAHUN

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2013 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 76/11/35/Th. XI, 6 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2013 AGUSTUS 2013 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,33 PERSEN Penduduk usia 15

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR GRAFIK... xiii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-5

Lebih terperinci

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Adi Setiyanto PENDAHULUAN Tenaga kerja merupakan motor penggerak dalam pembangunan ekonomi. Tenaga kerja sebagai sumber daya

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2012 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No.51/11/31/Th. XIV, 5 November KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS Jumlah angkatan kerja di Provinsi DKI Jakarta pada mencapai 5,37 juta orang, bertambah 224,74 ribu

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN SEKUPANG 2015 No Publikasi : 2171.15.27 Katalog BPS : 1102001.2171.060 Ukuran Buku : 24,5 cm x 17,5 cm Jumlah Halaman : 14 hal. Naskah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 No. 06/05/53/Th. XVI, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,59% Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Februari 2016 mencapai 3,59

Lebih terperinci

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA 1. Gambaran Umum Demografi DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA Kondisi demografi mempunyai peranan penting terhadap perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah karena faktor demografi ikut mempengaruhi pemerintah

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK. Keadaan Ketenagakerjaan NTB Agustus Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 3,32 persen

BERITA RESMI STATISTIK. Keadaan Ketenagakerjaan NTB Agustus Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 3,32 persen Keadaan Ketenagakerjaan NTB Agustus 2017 No. 74/11/Th. XI, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Keadaan Ketenagakerjaan NTB Agustus 2017 Agustus 2017:

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jambi Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jambi Agustus 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAMBI Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jambi Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka Sebesar 3,87 Persen Jumlah angkatan kerja di Provinsi Jambi pada Agustus

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI FEBRUARI 2017 No. 34/05/51/Th. XI, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI FEBRUARI 2017 Jumlah angkatan kerja di Provinsi Bali pada Februari 2017 mencapai 2.469.104 orang, bertambah 86.638 orang dibanding

Lebih terperinci

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5 IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN.1. Kondisi Geografi dan Topografi Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 74/11/35/Th. XIV, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,21 PERSEN Jumlah angkatan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2011

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2011 BPS PROVINSI DKI JAKARTA KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2011 TPT DKI JAKARTA BULAN FEBRUARI 2011 SEBESAR 10,83 PERSEN No. 19/05/31/Th XIII, 5 Mei 2011 Jumlah angkatan kerja pada Februari

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 1101002.6409010 Statistik Daerah Kecamatan Babulu 2015 Statistik Daerah Kecamatan Babulu No. Publikasi : 6409.550.1511 Katalog BPS : 1101002.6409010 Naskah : Seksi Statistik Neraca Wilayah

Lebih terperinci

I. KARAKTERISTIK WILAYAH

I. KARAKTERISTIK WILAYAH I. KARAKTERISTIK WILAYAH Sumber : http//petalengkap.blogspot.com. Akses 31 Mei 2016 A B Gambar 1. A. Peta Jl Magelang, B. Peta Jl Solo Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 AGUSTUS 2017 TINGKAT PENGANGGUR- AN TERBUKA SEBESAR 4,33 PERSEN Penduduk yang bekerja pada Agustus 2017 berkurang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Geografis Daerah Kota Bengkulu merupakan ibukota dari Provinsi Bengkulu dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SERASAN STATISTIK DAERAH KECAMATAN SERASAN ISSN : - Katalog BPS : 1101002.2103.060 Ukuran Buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : 10 halaman Naskah : Seksi Neraca Wilayah dan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 54/11/31/Th. XVII, 5 November 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2015 TPT DKI JAKARTA BULAN AGUSTUS 2015 SEBESAR 7,23 PERSEN Jumlah angkatan kerja pada Agustus

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BATAM KOTA

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BATAM KOTA STATISTIK DAERAH KECAMATAN BATAM KOTA 2015 Statistik Daerah Kecamatan Batam Kota Kota Batam 2014 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BATAM KOTA 2015 No Publikasi : 2171.14.26 Katalog BPS : 1102001.2171.051 Ukuran

Lebih terperinci

STATISTIK GENDER 2011

STATISTIK GENDER 2011 STATISTIK GENDER 211 STATISTIK GENDER 211 ISBN: 978-979 - 64-46 - 9 No. Publikasi: 421.111 Katalog BPS: 21412 Ukuran Buku: 19 cm x 11 cm Naskah: Sub Direktorat Statistik Rumah tangga Gambar Kulit: Sub

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SAGULUNG

STATISTIK DAERAH KECAMATAN SAGULUNG STATISTIK DAERAH KECAMATAN SAGULUNG 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN SAGULUNG 2015 No Publikasi : 2171.15.24 Katalog BPS : 1102001.2171.041 Ukuran Buku : 24,5 cm x 17,5 cm Jumlah Halaman : 9 hal. Naskah

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 No. 79/11/33/Th. XI, 06 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017 Agustus

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 31/05/32/Th. XVII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,40 PERSEN Berdasarkan hasil Sakernas bulan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kondisi Geografi dan Iklim Kota Madiun Gambar 4.1. Peta Wilayah Kota Madiun Kota Madiun berada di antara 7 o -8 o Lintang Selatan dan 111 o -112 o Bujur Timur. Kota Madiun

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 No. 06/05/53/Th. XV, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 1,97% Angkatan kerja NTT pada Februari 2014 mencapai 2.383.116 orang, bertambah

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011 No.027/05/63/Th XV, 5 Mei 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011 Jumlah penduduk angkatan kerja pada 2011 sebesar 1,840 juta jiwa. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 0,36

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI AGUSTUS 2016 No. 76/11/51/Th. X, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI BALI AGUSTUS 2016 Jumlah angkatan kerja di Provinsi Bali pada Agustus 2016 mencapai 2.463.039 orang, bertambah sebanyak 80.573 orang

Lebih terperinci

ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN

ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN Johny Montolalu Joorie M. Ruru RINGKASAN Undang-undang Nomor 33

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2016 No.62/11/ 63/Th XX/07 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2016 Jumlah angkatan kerja mencapai 2,08 juta orang atau terjadi penambahan sebesar 91,13 ribu orang dibanding Agustus

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013

STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013 Katalog BPS : 1101002.6271020 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013 BADAN PUSAT STATISTIK KOTA PALANGKA RAYA STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013 STATISTIK DAERAH KECAMATAN BUKIT BATU 2013

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM A. Peta Daerah Istimewa Yogyakarta BAB IV GAMBARAN UMUM GAMBAR 4.1 Peta Daerah Istimewa Yogyakarta B. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi

Lebih terperinci