BAB II PENDEKATAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENDEKATAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II PENDEKATAN TEORI 2.1. Perkembangan Moda Produksi dan Petani Perkembangan Moda Produksi Secara umum, moda produksi merepresentasikan cara yang ditempuh masyarakat dalam melakukan proses produksi (ways of production) guna menyediakan produk untuk memenuhi kebutuhan material (Shanin, 1990). Dengan demikian, moda produksi akan mempengaruhi keseluruhan ciri hidup sebuah masyarakat 12 (Shanin, 1990). Secara khusus, Shanin (1990) dan Russel (1989) menjelaskan bahwa moda produksi terdiri dari : 1) kekuatan/daya produksi (force of production) yang akan mempengaruhi produktivitas, dan 2) hubungan sosial produksi (relation of production) yang akan membentuk posisi superior dan posisi sub-ordinat sehingga hubungan sosial tersebut akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Selain itu, Shanin (1990) juga menjelaskan bahwa antara kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi saling tergantung (interdependence) 13. Lebih lanjut, Russel (1989) menjelaskan bahwa kekuatan produksi terdiri dari : kekuatan tenaga kerja manusia (human labour power), kreativitas, ide, pengetahuan, dan motivasi serta peralatan, perlengkapan, bangunan, teknologi, tanah, dan energi. Dengan kata lain, secara ringkas kekuatan produksi merupakan basis materil yang terdiri dari keterampilan pekerja dan alat produksi (means of production). Sementara itu, hubungan sosial produksi terdiri dari hu- 12 Berkaitan dengan kekuatan produksi yang akan mempengaruhi ciri hidup masyarakat, Shanin (1990) mengemukakan bahwa pendekatan pemahaman moda produksi merupakan pendekatan yang baik dalam upaya menyusun tipologi masyarakat Bahkan secara tegas dikemukakan juga bahwa penyusunan tipologi masyarakat berdasarkan pendekatan pemahaman teknologi (seperti teknik agronomi) dan/atau kebudayaan merupakan langkah yang salah arah (misleading). 13 Mosher (1976), Hayami dan Kikuchi (1987), serta Temple (1976) memberikan contoh bagaimana hubungan antara kekuatan produksi yang diwakili oleh teknologi dengan perubahan hubungan produksi dalam proses produksi pertanian. Bila seorang petani merubah penggunaan teknologi dari teknologi padat kerja menjadi teknologi padat modal (misalnya penggunaan mesin-mesin pertanian), maka hubungan sosial dan ketergantungan petani dengan buruh semakin lemah sedangkan hubungan sosial dan ketergantungan petani dengan pihak yang menguasai mesin semakin kuat. Akibatnya, ketergantungan petani terhadap kekuatan ekonomi dari pihak luar komunitas (aras makro) semakin besar sedangkan keterikatan petani untuk memenuhi kewajiban tradisional dalam komunitas (aras mikro) semakin memudar. 12

2 bungan antara satu aktor dengan aktor lainnya. Hubungan sosial tersebut mencakup : pemilikan (property), hubungan kekuasaan (power) dan pengawasan (control) dalam penguasaan aset produktif masyarakat, hubungan kerja bersama (cooperative work relation) serta hubungan antar kelas masyarakat Dengan acuan utama pada hubungan sosial dalam produksi, Russel (1989) mengemukakan adanya tiga tipe moda produksi yang berbeda, yaitu : 1. tipe egalitarian, 2. tipe kelas, dan 3. tipe transisi (Tabel 2.1). Pada tipe egalitarian ciri utama yang menonjol adalah hubungan sosial produksi masih setara, sedangkan pada tipe kelas ciri utama yang menonjol adalah hubungan sosial produksi bersifat eksploitatif. Sementara itu, pada tipe transisi meskipun hubungan sosial produksi mulai tidak setara tetapi belum menunjukkan sifat hubungan yang eksploitatif. Tabel 2.1. Tipe-tipe Moda Produksi 1. Tipe Egalitarian (Egalitarian Types) 1.1. Komunal Disusun oleh kekuatan yang masih dasar dan hubungan (Communal) produksi egalitarian yang sederhana 1.2. Komunis Disusun oleh kekuatan yang maju dan hubungan (Communist) produksi egalitarian yang komplek 2. Tipe Kelas (Class Types) 2.1. Negara (State) Didasarkan pada aturan negara yang menerapkan pajak secara eksploitatif dan upeti dari masyarakat (rest society) Didasarkan pada pemilik budak yang mengeksploitasi tenaga kerja budak Didasarkan pada tuan tanah yang mengeksploitasi sewa 2.2. Budak (Slave) 2.3. Feodal (Feudal) dari para petani (peasant) 2.4. Kapitalis (Capitalist) 3. Tipe Transisi (Transitional Types) 3.1. Petani Bebas (Independent peasant) 3.2. Pemilikan sederhana (Simple Property) 3.3. Sosialist (Socialist) Sumber : Russel (1989) Didasarkan atas pemilik kapitalis yang mengeksploitasi nilai surplus dari pekerja Berdasarkan rumahtangga yang otonom, terisolasi atau dikelompokkan di desa, memiliki lahan sendiri Berdasarkan atas rumahtangga dengan pemilikan alat produksi yang tidak setara (unequal means of production) dalam hal lahan dan ternak, tetapi hubungan sosial produksi tidak mempekerja kan atau mengeksploitasi aktor lain Berdsarkan pemilikan oleh negara atas alat-lat produksi penting dan bermaksud mengejar keadilan sosial 13

3 Moda produksi egalitarian (komunal) terutama berkembang dalam masa berburu dan meramu. Moda produksi tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Russel, 1989) : 1) kekusaan setara pada seluruh area produksi dalam komunitas, 2) anggota komunitas berperan sebagai tenaga kerja kooperatif dan mereka memiliki posisi yang setara sehingga perbedaan dalam kerja hanya terjadi karena perbedaan usia tenaga kerja, 3) penguasaan alat produksi sama untuk semua anggota komunitas, dan 4) anggota komunitas menerima pangan dan kebutuhan lain dengan jumlah yang sama. Dalam perjalannya, penerapan moda produksi komunal kemudian semakin melemah. Hal ini terjadi karena tumbuhnya ketidaksetaraan, terutama dalam : 1) partisipasi kerja, 2) kontrol terhadap alat produksi, dan 3) konsumsi. Namun demikian, adanya beragam ketidaksetaraan tersebut tidak merupakan kondisi yang cukup untuk melahirkan moda produksi kelas karena sebagaimana dikemukakan Russel (1989) perlu ditambah dengan berlangsungnya hubungan produksi yang eksploitatif 14. Dengan kata lain, tumbuhnya ketidaksetaraan hanya dapat melahirkan moda produksi transisional, yaitu moda produksi yang sudah meninggalkan moda produksi komunal tetapi belum sepenuhnya berlandaskan moda produksi kelas. Selain timbulnya ketidaksetaraan, tumbuhnya proses produksi yang berorientasi pasar juga menumbuhkan kondisi yang membawa pada situasi semakin menurunnya moda produksi komunal (Russel, 1989). Berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat yang menjalankan moda produksi komunal maupun transisi, pada masyarakat yang menjalankan moda produksi kelas ketidaksetaraan kekuasaan akan muncul pada seluruh aspek kehidupan (Russel, 1989). Pengembangan moda produksi kapital akan mendorong akumulasi kapital; rasionalisasi produksi; dan industri. Proses tersebut kemudian akan menyebabkan disintegrasi dan hilangnya usaha skala kecil karena kalah 14 Menurut Marx dalam Russel (1989), eksploitasi merupakan suatu proses dimana kelas dominan menghisap surplus tenaga kerja yang berada pada posisi sub-ordinat untuk kepentingan kelas dominan. Penghisapan surplus pada petani seringkali dilakukan melalui penetapan harga output yang murah bersamaan dengan penetapan harga input dan harga kebutuhan sehari-hari yang mahal. Namun demikian, pada komunitas petani, sebagaimana dikemukakan Scott (1989), cara penentuan apakah suatu hubungan produksi termasuk eksploitatif atau tidak eksploitatif relatif sulit. Misalnya pungutan-pungutan yang jumlahnya relatif besar tetapi tidak mengganggu stabilitas subsistensi petani akan dianggap mereka sebagai tidak eksploitatif. Sebailknya, pungutan yang relatif kecil tetapi mengganggu stabilitas subsistensi petani akan dianggap mereka sebagai eksploitatif. 14

4 bersaing dengan usaha besar. Marx dalam Bendix dan Lipset (1966) menjelaskan bahwa tendensi yang muncul pada moda produksi kapitalis adalah terpisahnya alat produksi (means of production) dari tenaga kerja. Dalam situasi ini akan terjadi transformasi tenaga kerja menuju tenaga kerja upahan (wage-labor) dan transformasi alat produksi menuju modal (capital). Kemudian kecenderungan ini juga akan mendorong pemisahan tanah milik (land property) dari modal dan tenaga kerja. Selain itu, Marx dalam Russel (1989) menjelaskan bahwa dalam moda produksi kelas, suatu kelas 15 (minoritas) yang memiliki hak-hak istimewa (privileged class) akan menguasi atau mengontrol alat produksi penting serta akan mengeksploitasi tenaga kerja. Dalam hal ini eksploitasi dilakukan para minoritas dengan cara membayar buruh kurang dari nilai murni barang-barang yang diproduksi sehingga mereka dapat memaksa kelas pekerja berada dalam posisi subordinat dan tergantung. Meskipun secara umum perkembangan moda produksi kapitalis atau kelas semakin menguat dan meluas, tetapi pada masyarakat kontemporer (khususnya pada belahan dunia bukan Barat) seringkali beroperasi lebih dari satu moda produksi atau suatu moda produksi yang merupakan kombinasi antara moda produksi kapitalis dan non kapitalis (Taylor, 1979, dan Schuurman dalam Ray, 2002). Secara lebih rinci, ragam moda produksi yang berpotensi hadir pada masyarakat kontemporer adalah seperti berikut (Russel, 1989): 1) hadir beberapa moda produksi secara bersamaan tetapi salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya, 2) terdapat beberapa praktek moda produksi yang berbeda tetapi hadir secara berdampingan, 3) di antara bagian wilayah masyarakat terdapat praktek moda produksi yang berbeda, 4) terdapat moda produksi baru yang ciri-cirinya merupakan gabungan ciri-ciri dari lebih satu moda produksi. Lebih lanjut Schuurman dalam Ray (2002), menjelaskan bahwa munculnya beragam moda produksi terjadi karena : 1) kehadiran moda produksi kelas (kapitalis) tidak dapat dihalangi dan semakin kuat, dan 2) keberadaan moda produksi non kapitalis masih tetap diperlukan untuk mempertahankan keberlanjutan kehi- 15 Kelas sosial dalam terminologi Marx merupakan kumpulan (agregate) orang-orang yang melakukan fungsi sama dalam sebuah organisasi produksi. Kelas-kelas tersebut dibedakan antara yang satu dengan lainnya oleh perbedaan posisi ekonomi (Marx dalam Bendix dan Lipset, 1966). 15

5 dupan masyarakat lokal. Selain itu, adanya moda yang berbeda dapat menghubungkan kelas sosial berbeda yang berada dalam suatu populasi 16. Untuk kasus masyarakat Indonesia, adanya keragaman moda produksi dalam sebuah masyarakat (termasuk di dalamnya petani) terjadi dalam masyarakat Minangkabau sebagaimana digambarkan oleh penelitian Kahn (1974). Dalam masyarakat tersebut hidup berdampingan tiga moda produksi berikut : 1) moda produksi subsisten (subsistence production) pada usaha pertanian tanaman pangan, terutama padi dan sayuran, 2) moda produksi komersial 17 (petty commodity production) pada usaha perkebunan rakyat, dan 3) moda produksi kapitalis (capitalist production) pada usaha perkebunan besar. Sementara itu, hadirnya moda produksi baru yang berbeda dari kedua moda produksi sebelumnya dapat terjadi sebagai hasil fusi (fusion) atau artikulasi (articulation) kedua moda produksi tersebut. Dengan demikian, artikulasi moda produksi (articulation of mode of production) dapat terjadi sebagai suatu artikulasi di antara moda produksi kapitalis yang mendominasi dengan moda produksi pre kapitalis yang didominasi. Dalam proses artikulasi sangat mungkin terjadi hal berikut : 1) struktur sosial salah satu moda produksi menyesuaikan diri terhadap hubungan produksi dari moda produksi lainnya, atau 2) hubungan produksi baru menyesuaikan diri terhadap struktur sosial yang sudah ada sebelumnya (tanpa merubah tetapi hanya modifikasi). Kemudian, resultan dari moda produksi tersebut akan menghasilkan : 1) moda produksi dengan ciri-ciri berasal dari kedua moda produksi lama, atau 2) moda produksi dengan ciri baru yang spesifik. Dalam paham material historis, gejala hadirnya dua moda produksi atau lebih secara bersamaan dan saling terkait namun salah satu moda produksi cenderung mendominasi moda produksi lainnya disebut formasi sosial (Taylor, 1979 serta Worsley dalam Sitorus, 2000). Sementara itu, oleh Marx, konsep formasi sosial didefinisikan lebih luas karena merupakan gabungan struktur ekonomi (comprising economic structure) atau gabungan moda produksi yang menentukan 16 Misalnya, industri kapitalis kota eksis secara bersamaan (co-exist) dan saling melengkapi dengan produksi pertanian pedesaan. 17 Sitorus (1999) mengalihbahasakan petty commodity production sebagai komersial karena penekanannya pada orientasi pasar atau orientasi komersial, bukan pada pemenuhan subsisten (seperti pada produksi subsisten) dan juga bukan pada akumulasi modal (seperti pada produksi kapitalis) 16

6 superstruktur negara dan hukum serta ideologi. Kemudian Althussar dalam Taylor (1979) mengembangkan ide tersebut, dimana formasi sosial diartikan sebagai totalitas kompleks yang mengandung sejumlah praktek berbeda ekonomi; politik; ideologi; dan teori yang keseluruhannya membangun suatu praktek sosial (social practice). Masing-masing praktek tersebut mempunyai struktur yang secara umum tidak berbeda (a common invariant structure). Pengamatan pada aras makro, menunjukkan bahwa semakin dominannya peran moda produksi kapitalis akan mengikat suatu wilayah (regional dan atau nasional) pada sebuah hubungan kapitalistik (Schuurman dalam Ray, 2002). Akan tetapi, sejalan dengan pemikiran Wallerstein dan Frank dalam Hashim (1988), proses pengembangan moda produksi kapitalistik pada wilayah tersebut berlangsung tidak rata sehingga sebenarnya wilayah tersebut akan terbagi paling tidak menjadi dua bagian, yaitu sebuah formasi sosial pusat (central) yang relatif lebih maju dan formasi sosial pinggiran (peripherial) yang relatif kurang maju atau terbelakang. Walaupun demikian, keduanya tetap bekerja saling melengkapi dan saling mendukung sehingga membentuk suatu hubungan simbiosis (Amin dalam Hashim, 1988). Dalam hal ini, sektor pertanian dikembangkan secara simultan dengan sektor industri dan keduanya saling komplemen. Lebih lanjut, Wallerstein dalam Sanderson (2003) menjelaskan bahwa kapitalis pusat secara politis, ekonomis serta penguasaan teknologi sangat dominan sehingga memiliki kemampuan untuk mengambil surplus secara besar-besaran dari kapitalis pinggiran. Oleh sebab itu, sebagaimana dijelaskan Kautsky dalam Shanin (1990) transformasi moda produksi kapitalis dalam masyarakat desa akan mendorong akumulasi kapital 18 pada masyarakat industri tetapi akan mensubordinatkan dan merusak usaha pertanian kaum tani (peasant agriculture). Konsep tersebut juga menjelaskan bahwa perkembangan kapitalisme di pusat berbeda dengan di pinggiran. Akumulasi dan perkembangan kapitalisme di pusat merupakan proses alami yang digerakkan oleh dinamikanya sendiri (auto- 18 Schuurman dalam Ray (2002) menjelaskan bahwa para aktor yang bekerja berlandaskan moda produksi kapitalis dapat mengeksploitasi penyediaan tenaga kerja lokal yang murah sehingga mereka dapat melakukan akumulasi kapital dari kelebihan keuntungan. Sebaliknya, para aktor yang berada pada moda produksi lain harus bekerja keras mencari jalan agar dapat memperoleh keuntungan. 17

7 centric). Sebaliknya, akumulasi dan pengembangan kapitalisme di pinggiran tergantung dan dibatasi kapitalis pusat karena umumnya ditujukan untuk meladeni pengembangan kapitalisme di pusat. Sebagaimana dikemukakan Wallerstein dalam Sanderson (2003), kapitalisme di wilayah pinggiran dikembangkan untuk memproduksi bahan mentah yang dibutuhkan kapitalis pusat Perkembangan Petani Mengikuti rumusan Shanin (1990), ternyata definisi peasant dimaknai cukup luas. Definisi tersebut tidak hanya dikaitkan dengan tujuan dan ukuran produksi yang dilakukan petani dan ciri-ciri produksi pertanian yang berakar pada ciri-ciri ekonomi peasant tetapi juga mencakup hubungan petani dengan lahan. Namun demikian, hubungan sosial produksi antar petani maupun antara petani dengan pihak terkait lain tidak dikupas secara jelas. Dalam hal ini, Shanin merinci definisi peasant sebagai berikut : 1) produsen pertanian kecil atau sempit (small agricultural producers) yang proses produksinya dibantu peralatan sederhana dan tenaga kerja keluarga, 2) produksi usahatani ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga sehingga mereka relatif tidak tergantung pada produsen lain maupun pasar, 3) kebutuhan lahan merupakan kebutuhan untuk memasuki lapangan kerja, 4) usahatani keluarga merupakan unit dasar pemilikan, produksi, konsumsi, dan kehidupan sosial, 5) aktivitas produksi petani dipengaruhi keseimbangan antara konsumsi, ketersediaan tenaga kerja keluarga; dan potensi produktivitas usahatani, 6) struk-tur sosial keluarga ditunjukkan oleh pembagian kerja dan hirarki status sosial, 7) keluarga merupakan tim produksi usahatani dan posisi dalam keluarga menunjukkan tugas dalam usahatani sehingga irama usahatani (hubungan sosial dan nilai) merupakan irama kehidupan keluarga, 8) solidaritas keluarga menyediakan kerangka dasar untuk saling membantu; saling mengontrol; dan sosialisasi, 9) motivasi akumulasi dan keuntungan jarang muncul Sementara itu, menurut pandangan antropologi ekonomi sebagaimana dikemukakan Netting (1993), petani kecil dikonsepkan sebagai smallholders atau householders. Lebih lanjut Netting merumuskan definisi smallholders sebagai berikut : 1) seorang petani pedesaan (rural cultivator) yang memiliki lahan 18

8 relatif kecil dan berada di wilayah pedesaan yang penduduknya relatif padat, 2) mengerjakan pertanian secara intensif; permanen; dan berdiversifikasi, 3) memiliki hak milik tanah secara berkelanjutan sehingga dapat mewariskannya, 4) hidup bersama di kebun atau dekat kebun, 5) sebagian besar hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga (untuk subsistensinya) dan sebagi-an kecil lainnya untuk dijual di pasar, 6) dalam pelaksanaan proses produksi berlangsung pilihan-pilihan rasional melalui alokasi waktu; serta melalui pilihan usaha; alat; tanah; dan modal yang dikaitkan dengan perubahan iklim; ketersediaan sumberdaya; dan pasar 19. Mengacu pada rumusan Shanin (1990) tentang peasant serta Netting (1993) tentang smallholders (Tabel 2.2.) nampak bahwa di antara keduanya terdapat sejumlah kesamaan dan sejumlah perbedaan pandangan. Adapun kesamaan pandangan antara pengertian peasant dan smallholder adalah : merupakan petani berlahan relatif sempit dimana hasil produksinya terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, walaupun dalam pengertian smallholder para petani sudah menjual sebagian produksinya di pasar. Sementara itu, sejumlah perbedaan antara pengertian peasant dan pengertian smallholder adalah : 1) kesadaran utama hubungan sosial produksi peasant adalah untuk mempertahankan subsistensi keluarganya sedangkan kesadaran utama hubungan sosial produksi smallholder sudah memperhitungkan keuntungan dengan menggunakan pendekatan rasionalitas utilitarian (kapitalis), 2) seorang smallholder mengerjakan pertaniannya secara intensif; permanen, dan mereka melakukan diversifikasi usaha, dan 3) posisi petani sebagai sub-ordinat sangat nampak dalam pengertian peasant dimana tujuan produksi petani selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga untuk 19 Chayanov dalam Wolf (1985) menjelaskan bahwa konsep ekonomi petani (pedesaan) yang khsusus adalah sebagai berikut : karakteristik mendasar ekonomi petani adalah perekonomian keluarga. Oleh sebab itu, seluruh organisasinya ditentukan oleh ukuran dan komposisi keluarga petani itu dan oleh kordinasi tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja. Dengan demikian, pengertian laba dalam perekonomian petani berbeda dengan pengertian ekonomi kapitalis sehingga pengertian laba kapitalis tidak dapat diterapkan pada perekonomian petani. Laba kapitalistik merupakan laba bersih yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan total dengan semua biaya produksi. Cara ini tidak cocok untuk perekonomian petani, karena dalam perekonomian petani unsur-unsur biaya produksi dinyatakan dalam unit-unit yang tidak dapat diperbandingkan dengan apa yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Misalnya tenaga kerja keluarga yang telah dicurahkan tidak dapat diukur dengan banyaknya uang/upah karena merupakan jerih payah yang bernilai subjektif. Tujuan utama perekonomian petani adalah bagaimana memenuhi anggaran konsumsi tahunan keluarga. 19

9 memenuhi kewajiban pada pihak yang memiliki kekuasaan ekonomi dan atau kekuasaan politik 20 Selain menjelaskan definisi peasant, Shanin (1990) juga menjelaskan bahwa komunitas petani merepresentasikan keadaan sosial-ekonomi spesifik yang beroperasi di dalam suatu komunitas. Oleh sebab itu, kaum tani (peasantry) selain merupakan pola dominan kehidupan sosial juga menunjukkan sebuah tahapan dalam perkembangan umat manusia. Khususnya, perkembangan umat manusia sejak masa non-kapitalis sampai masa kontemporer (kapitalis). Sejalan dengan pemahaman itu, sebenarnya aktivitas produksi kaum tani yang hanya dibantu oleh peralatan sederhana dan tenaga kerja keluarga, sebagaimana didefinisikan Shanin, merupakan perkembangan tahap awal komunitas petani. Dengan demikian, pada tahap ini usahatani keluarga (family farm) menjadi unit dasar dalam pemilikan, produksi, konsumsi dan kehidupan sosial. Selain itu, pada tahap ini motivasi akumulasi dan keuntungan atau maksimalisasi pendapatan jarang muncul. Motivasi yang lebih mengakar adalah strategi bertahan hidup (survival strategies). Akan tetapi, dengan menguatnya orientasi pasar, Shanin pun melihat adanya perubahan pada kaum tani. Dengan mengutip pendapat Kroeber, Shanin (1990) kemudian menjelaskan bahwa kaum tani pada tahap berikutnya menjadi bagian dari masyarakat (societies) dan kebudayaan (culture) yang lebih besar sehingga kehidupan kaum tani atau masyarakat pedesaan (rural) berhubungan erat dengan pasar kota (market town) dan secara umum kaum tani menjadi sub-ordinasi masyarakat kota. Dalam situasi ini, para petani menjadi tidak terisolasi tetapi mereka tidak sepenuhnya otonom dan kemampuan mereka memenuhi kebutuhan oleh dirinya sendiri menjadi berkurang. 20 Sitorus (2002) membedakan peasant dengan smallholder berdasarkan orientasi ekonominya, dimana peasant berorientasi domestik sedangkan smallholder berorientasi pasar. Sejalan dengan itu, Sitorus mengemukakan bahwa ekonomi desa berubah dari peasant economy menjadi smallholder economy. Kemudian LPIS dalam Billah (1984) membedakan peasant dengan farmer sebagai berikut : peasant merupakan petani kecil yang menghadapi kesulitan dalam menghadapi petani kaya sedangkan farmer merupakan petani kaya yang mempunyai kecenderungan menanam kembali modalnya di dalam kegiatan usahatani (capital oriented) 20

10 Tabel 2.2. Perbedaan Ciri-ciri Peasant dan Smallholder Peasant (Antropologi Substantif) produsen pertanian kecil yang berlahan sempit (small agricultural producers) hasil produksi terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri hasil produksi juga digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pemilik kekuasaan ekonomi/ politik hubungan dengan tanah dan ciri produksi pertanian terletak pada ciri khusus ekonomi peasant kebutuhan akan lahan merupakan kebutuhan untuk memasuki lapangan kerja, usahatani keluarga merupakan unit dasar pemilik-an, produksi, konsumsi, dan kehidupan sosial, keseimbangan antara konsumsi, ketersediaan tenaga kerja keluarga; dan potensi produktivitas usahatani mempengaruhi aktivitas petani, motivasi akumulasi dan keuntungan jarang muncul struktur sosial keluarga ditunjukkan oleh pemba-gian kerja dan hirarki status dari prestasi sosial, keluarga merupakan tim produksi usahatani, posisi dalam keluarga menunjukkan tugas dalam usaha-tani sehingga irama usaha tani merupakan irama kehidupan keluarga, yaitu hubungan dan nilai solidaritas keluarga menyediakan kerangka untuk saling membantu, mengontrol, dan sosialisasi. proses produksinya dibantu peralatan sederhana dan tenaga kerja keluarga Sumber : Diadaptasi dari Shanin (1990) dan Netting (1993) Smallholder (Antropolgi Pilihan Rasional) seorang penanam pedesaan (rural cultivator) pada lahan usahatani yang relatif kecil/gurem, berada di wilayah pedesaan yang penduduknya relatif padat hasil produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri (untuk subsistensi) dan untuk dijual di pasar memiliki hak milik atas tanah yang berkelanjutan sehingga dapat mewariskannya berlangsung pilihan rasional melalui pilihan waktu; usaha; alat; tanah; dan modal berkaitan dengan peru-bahan iklim; ketersediaan sumberdaya; dan pasar mengerjakan pertanian intensif; permanen, dan berdiversifikasi, 21

11 MASYARAKAT SUPRA LOKAL Negara Maju (Negara Industrialis- Kapitalis yang diwakili oleh TNCs) Masyarakat Urban Kabupaten-Nasional (Negara, Korporasi, Swasta) Lapisan Petani Kaya Lapisan Petani Menengah Lapisan Petani Miskin KOMUNITAS PETANI Gambar 2.1. Struktur Hubungan Sosial Kamunitas Petani dengan Masyarakat Supra Lokal Sebagaimana dikutip Hashim (1988), Shanin mengemukakan secara tegas bahwa transformasi peasant menumbuhkan integrasi peasant pada ekonomi yang lebih luas. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hubungan pertukaran dan produksi komoditi yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : posisi peasant menjadi tidak rata karena menjadi tergantung pada hubungan dengan pusat pertukaran seperti jaringan pasar, pelabuhan komersial (yang merupakan bagian sistem kapitalis dunia), dan jaringan komunikasi. Akibatnya sistem kapitalis dunia akan mengatur tata ekonomi dan sosial kaum tani (pedesaan) sehingga sistem 22

12 produksi maupun struktur sosial kaum tani sebenarnya menjadi sub-ordinasi dari sistem produksi dan struktur sosial kapitalis (Gambar 2.1.). Lebih lanjut, Meillassoux, Terray, Rey, Godelier sebagaimana dikutip Hashim (1988) mengemukakan bahwa meskipun kaum tani berada dalam subordinasi moda produksi kapitalis tetapi mereka tetap eksis atau tetap bertahan. Akan tetapi, dalam komunitas petani tersebut kemudian tumbuh artikulasi moda produksi dan mereka berada dalam kondisi terbelakang. Mengacu pada pendapat Frank dalam Sanderson (2003), keterbelakangan kaum tani sebenarnya bukan keadaan asli mereka tetapi sebagai sesuatu yang tercipta dalam masyarakat prakapitalis yang telah mengalami hubungan ekonomi dan politik dengan masyarakat kapitalis sehingga terjadi ketergantungan ekonomi, dimana masyarakat nonkapitalis menjadi subordinasi masyarakat kapitalis. Keadaan ini lebih lanjut menyebabkan surplus ekonomi dalam ekonomi dunia mengalir dari masyarakat non-kapitalis (satelit) menuju masyarakat kapitalis (pusat). Sementara itu, Russel (1989) menjelaskan bahwa meskipun terjadi perkembangan kaum tani, ternyata moda produksi yang dijalankan kaum tani tersebut bukan moda produksi kelas (kapitalis penuh) tetapi hanya sebuah moda produksi semi kelas. Dalam komunitas petani (peasant) dimaksud kemudian terjadi jalinan antara moda produksi kapitalis (kelas) yang datang dari luar komunitas kaum tani dengan moda produksi non-kapitalis (egaliter) yang sudah berkembang dalam komunitas kaum tani yang kemudian akhirnya jalinan tersebut menghasilkan moda produksi transisional. Lebih lanjut Russel (1989) menjelaskan bahwa beberapa ciri moda produksi semi-kelas yang dijalankan kaum tani adalah : 1) kontrol terhadap lahan dilakukan secara individu, 2) tidak ada kelas dalam tenaga kerja dan tidak ada orang yang bekerja untuk orang lain meskipun subsisten, 3) tidak ada sub-ordinat dalam produksi, 4) alat produksi dikuasai oleh anggota masyarakat yang berbeda sehingga masyarakat terbagi menjadi lapisan kaya dan lapisan miskin, 5) kelas sosial berlandaskan pada peranan dalam sistem ekonomi yang sudah mulai eksploitatif, 6) pemilikan peribadi mulai ada dan berperanan dalam diferensiasi sosial tetapi belum menurunkan diferensiasi kelas ekonomi, 7) kekuasaan anggota 23

13 masyarakat terhadap alat produksi berbeda tetapi mereka tidak dapat mengontrolnya secara eksklusif. Tentang terhambatnya perkembangan moda produksi kaum tani yang hanya sampai moda produksi transisional sejalan dengan pemikiran Kautsky (Hashim,1998). Dalam hal ini, Kautsky mengemukakan bahwa ekspansi kapitalis pada kaum tani berjalan lambat dan bentuknya berbeda bila dibanding dengan yang terjadi dalam masyarakat industri 21. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan mendasar antara pertanian dan industri sehingga proses kerja keduanya berbeda. Misalnya, tanah sebagai kekuatan produksi dalam usaha pertanian tidak dapat direproduksi seperti modal (finansial) yang merupakan kekuatan produksi dalam usaha industri. Dengan demikian, bila seorang petani (petani kaya) bermaksud menambah luas pemilikan lahan maka ia harus melakukan pencabutan hak pemilikan petani lain (petani kecil). Gambaran Russel (1989) tentang moda produksi transisional, menurut Sitorus (2000), mirip dengan gambaran Kahn (1974) tentang moda produksi subsisten dan moda produksi komersial karena keduanya sudah menerapkan cara produksi petani mandiri ataupun pemilikan sederhana. Lebih lanjut Sitorus (2000) merumuskan perbedaan ciri-ciri di antara ketiga moda produksi tersebut (Tabel 2.3.) berdasarkan : 1) kekuatan produksi, 2) unit produksi, 3) sumber tenaga kerja utama, 4) produk utama, 5) hubungan produksi, 6) hubungan sosial antar pekerja, dan 7) orientasi usaha. Bertolak dari ciri-ciri tersebut, khusus untuk usahatani perkebunan, moda produksi komersial berlangsung di usahatani yang dijalankan oleh para petani berlahan sempit sedangkan moda produksi kapitalis berlangsung pada usahatani yang dijalankan oleh perusahaan besar baik perusahaan negara maupun perusahaan swasta. 21 Di Jerman Kautsky meneruskan pemikiran Marx untuk menganalisa masyarakat pertanian, khususnya tentang dampak kapitalisme terhadap pertanian. Kautsky berpandangan bahwa logika moda produksi kapitalis Marx tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada pertanian Ternyata transformasi pada kaum tani dapat ditunda (tidak sampai pada moda produksi kapitalis). Oleh sebab itu, Kautsky membuat sejumlah perbaikan atas analisa Marx tentang peranan moda produksi kapitalis pada pertanian 24

14 Tabel 2.3. Perbedaan Ciri antara Moda Produksi Subsisten, Komersial, dan Kapitalis Ciri-ciri Kekuatan Produksi Unit Produksi Sumber Tenaga Kerja Utama Produk Utama Hubungan produksi Hubungan Sosial antar Pekerja Orientasi Usaha Sumber : Sitorus (2000) Cara Produksi Subsisten Komersial Kapitalis Tanah Sebagai Tanah dan Non Mencakup Modal Alat Produksi Tanah Sebagai Sebagai Alat Alat Produksi Produksi Keluarga Individu (Keluarga Perusahaan (Luas) Anggota Keluarga /Kerabat Inti) Individu/Anggota Keluarga (Buruh Upahan Langka) Buruh Upahan Padi Komoditas Ekspor Komoditas Ekspor Terbatas Pada Keluarga Inti Egaliter (Eksploitasi Hanya Terjadi Pada Pola Bagi Hasil) Subsisten Gejala Eksploitasi Surplus Melalui Ikatan Kerabat Dekat Hubungan Sosial Antara Pekerja Egaliter tetapi Kompetitif Pasar (Domestik/Internas ional) Struktur Hubungan : Majikan (Pemilik Modal) Buruh (Pemilik Tenaga) Surplus Diserap Pemilik Modal Perdagangan Internasional / Ekspor Konsepsi tentang petani subsisten juga dikemukakan oleh Wharton (1969), namun pemahamannya dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) produksi subsisten (subsistent production), dan 2) hidup subsisten (subsistent living) 22. Dalam konsep produksi subsisten terdapat pengertian produksi subsisten penuh (pure 22 Konsep hidup subsisten merujuk pada pengertian tingkat hidup yang rendah. Meskipun relatif sulit didefinisikan karena sangat relatif dan merefleksikan nilai-nilai sosial dan ekonomi, subsisten paling minimum atau garis kemiskinan dapat merujuk pada standar ilmiah kemiskinan yang dirumuskan Zweig. Dalam hal ini, subsisten paling minimum merupakan suatu keadaan dimana tingkat hidup yang lebih rendah dari itu akan menimbulkan penyakit defisiensi nutrisi. Dengan menggabungkan kedua pengertian tersebut, maka akan ditemukan seorang atau satu keluarga petani yang termasuk kategori petani produsen subsisten yang bekerja untuk mencapai tingkat hidup subisten (susbsistence producer working for subsistence living) atau kombinasikombinasi lainnya. 25

15 subsistent production) yang merujuk pada proses produksi dimana seluruh produk yang dihasilkan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga (tidak ada yang dijual). Dengan kata lain, produksi subsisten penuh mempunyai ciri bebas dari komersialisasi dan monetisasi. Walaupun demikian, dalam kenyataannya petani yang termasuk kategori produksi subsisten penuh jarang ditemukan. Pada umumnya para petani memiliki ciri yang merupakan kombinasi antara subsisten dan komersial. Oleh sebab itu, meskipun secara teoritis mungkin ada tiga tipe petani yang disebut : 1) subsisten penuh (pure subsistence), 2) semi subsisten (semi-subsistence atau dual farmer), dan 3) komersial penuh (pure comercial), namun dalam realitasnya yang lebih banyak adalah tipe petani semi subsisten. Pemahaman ini sejalan dengan pemahaman berlangsungnya moda produksi transisi pada komunitas petani kontemporer. Tabel 2.4. Keterkaitan antara Jenis Tanaman dengan Perkembangan Petani Perkembangan Petani Subsisten Penuh Subsisten Maju Konersial Tanaman yang Diusahakan Padi-sawah Perkebunan (karet) Sayuran V V V Sumber : Penny (1969) Sejalan dengan pemikiran atau konsep yang dikembangkan Wharton, Penny (1969) melakukan penelitian pada delapan desa di Sumatera Utara. Dengan menggunakan indek pikiran ekonomi (index of economic mindedness) 23 yang dikonstruksi untuk menunjukkan ciri dan tingkat perbedaan keinginan dan kemampuan petani berpartisipasi dalam proses pembangunan, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa setelah 50 tahun berjalan para petani berubah dari 23 Penny (1969) menggunakan 10 indikator untuk menyusun indek pikiran ekonomi (index of economic mindedness), yaitu : 1) luas penanaman tanaman komersial, 2) keinginan petani meninggalkan tanaman non komersial yang ditanam di masa lalu, 3) maksud petani memilih tanaman komersial di masa mendatang, 4) peningkatan keinginan petani untuk berhubungan dengan sumber input luar, 5) penggunaan upaya pengendalian hama dan penyakit, 7) penggunaan teknologi hemat tenaga kerja, 8) penggunaan persyaratan produksi yang dibeli, 9) penggunaan uang pinjaman, dan 10) ketergantungan petani terhadap pangan yang dibeli 26

16 semula (seluruhnya) merupakan petani subsisten penuh (pure subsistent) menjadi 3 (tiga) tipologi petani yang perubahannya berbeda tergantung dari moda produksi yang dijalankan pada tanaman yang diusahakan. Dalam hal ini, ketiga tipologi baru tersebut adalah (Tabel 2.4.) : 1) petani yang tetap tipikal subsisten atau subsisten penuh : fenomena ini terjadi di desa-desa yang tanaman utamanya padi-sawah, 2) petani yang berubah menjadi petani subsisten maju (expand subsisten) : fenomena ini terjadi di desa-desa yang tanaman utamanya perkebunan (karet), dan 3) petani yang berubah menjadi petani komersial : fenomena ini terjadi di desa-desa yang tanaman utamanya sayuran Transformasi Struktur Agraria Dalam kegiatan usaha pertanian, sumberdaya agraria (lahan) merupakan salah satu elemen daya/atau kekuatan produksi (force of production) yang penting karena diatas lahan kegiatan produksi komoditas penghasil surplus dimulai (Kautsky dalam Hashim, 1998). Terkait dengan keberadaan sumberdaya agraria sebagai elemen kekuatan produksi, maka muncul berbagai pola hubungan antara manusia dan sumberdaya agraria serta hubungan sosial di antara para petani atau antara petani dengan pihak lain agar para petani dapat menguasai atau memanfaatkan sebidang sumberdaya agraria. Hubungan sosial dimaksud oleh Shanin (1990), Russel (1989), dan Wiradi (1984) disebut sebagai hubungan sosial produksi atau hubungan penguasaan lahan. Sejalan dengan itu, Sitorus (2002) mengemukakan bahwa agraria mencakup dua aspek, yaitu aspek objek yang menunjuk pada sumber-sumber agraria dan aspek subjek yang menunjuk pada pelaku-pelaku yang mempunyai : 1) hubungan teknis dengan sumber agraria, dan 2) hubungan sosial antarsesamanya. Lebih lanjut Sitorus menjelaskan bahwa dalam konteks sumberdaya agraria, sosiologi akan mengkaji : 1) hubungan antara manusia dengan tanah, dan 2) hubungan antarmanusia berkaitan dengan tanah. Fokus analisis sosiologi agraria adalah struktur agraria dan dinamikanya, yaitu hubungan sosio-agraria antargolongan penguasaan tanah dan perubahan-perubahan dalam hubungan tersebut, baik yang direncanakan atau tidak. Secara spesifik, analisis transformasi hubungan sosial 27

17 tersebut akan terfokus pada gejala penajaman diferensiasi kelas berdasar akses atau penguasaan terhadap sumberdaya agraria. Secara historis, bentuk pemilikan lahan berubah bersamaan dengan perkembangan budaya umat manusia dalam usaha pertanian guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sanderson (2003) menggambarkan bahwa perkembangan pemilikan lahan pada masyarakat pra-kapitalis (mulai masyarakat berburu dan meramu sampai masyarakat agraris) cenderung semakin memperkuat tumbuhnya pemilikan perorangan (Tabel 2.5.). Pemilikan tanah secara perorangan muncul ketika manusia telah mengenal kehidupan menetap, bertani dan berternak. Oleh sebab itu, dengan semakin berkembangnya pertanian menetap serta masuknya ekonomi uang (monetisasi), pemilikan lahan beralih dari pemilikan komunal dalam bentuk tanah adat atau tanah ulayat menjadi pemilikan perorangan. Tabel 2.5. Perubahan Pemilikan Lahan dalam Masyarakat Pra-kapitalis Sistem Pertanian Berburu, Meramu (Abad IX) Hortikultura Sederhana Hortikultura Intensif Agraris Skala Besar (Kerajaan Romawi Kapitalisme Modern) Sumber: Sanderson (2003). Bentuk Pemilikan Komunisme Primitif Lineage Ownership (Pemilikan Oleh Keluarga Besar) Chiefly Ownership (Pemilikan oleh Pemimpin) Pemilikan Seigneurial Keterangan Sumberdaya penting yang menopang hidup dimiliki bersama oleh seluruh komunitas Lineage/clan memiliki kekayaan bersama (pemilikan secara komunal oleh kelompok keluarga, bukan oleh seluruh komunitas). Para anggota kelompok berpartisipasi dalam pemanfaatan tanah Seorang individu yang kuat (pemimpin keluarga besar) menyatakan pemilikan pribadi atas sebidang tanah yang sangat luas dan melakukan kontrol yang kuat atas pemanfaatan tanah tersebut. Orang lain yang memanfaatkan harus menyerahkan sebagian hasil Pemilikan oleh sekelompok kecil tuan tanah atau aparat pemerintah yang kuat yang berfungsi untuk kepentingan tuan tanah. Diatasnya hidup petani dan budak yang membayar rente, pajak, dan pengabdian tertentu. Tuan tanah mempunyai kekuasaan yang sangat besar terhadap produsen utama (buruh tani) dan memberikan beban yang berat kepada mereka. 28

18 Dengan kata lain, pada saat moda produksi baru yang lebih kapitalis (moda produksi transisional) semakin dominan, maka pada saat itu akan terjadi transformasi struktur agraria. Transformasi struktur agraria tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownship) menuju penguasaan perorangan (private ownship). Suatu perubahan dari hak setiap orang untuk memanfaatkan sumberdaya agraria menjadi hanya sebagian orang yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria sehingga terjadi ketidaksamaan akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria. Sejalan dengan pendapat Wiradi dan Makali (1984), Gunawan (1986), serta Kano (1984), pada periode penguasaan perorangan, konsep hubungan penguasaan sumberdaya agraria mencakup penguasaan tetap (misalnya pemilikan perorangan) dan penguasaan sementara (misalnya bagi hasil, sewa, dan gadai) 24. Pengalaman di Jawa masa lalu pun terjadi transformasi penguasaan sumberdaya agararia (lahan) dari kolektif (komunal) 25 ke perorangan (pribadi). Kejadian tersebut terutama dipicu oleh tekanan penduduk yang semakin berat serta tidak adanya cadangan tanah baru yang dapat dibuka (Kroef, 1984). Selain itu, sebagaimana hasil penelitian Soentoro (1980) ternyata transformasi hak komunal ke hak milik pribadi (melalui pelaksanaan landreform) telah mendorong makin seringnya terjadi jual beli tanah sawah. Sementara itu, sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro (1999), di luar Jawa tidak dikenal konsep pemilikan tanah semutlak seperti di Jawa, sehingga konsep tanah kolektif (hak ulayat/ adat) lebih menguasai pengaturan tentang penguasaan (bukan pemilikan tanah). Selain itu, konsep tanah bebas berlaku di kalangan peladang berpindah. Mereka memaknai pemilikan komunal di tangan kepala suku (tidak ada tuan tanah). 24 Sistem sewa merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain dan besarnya uang sewa ditetapkan atas dasar kesepakatan antara pemilik dan penyewa sedangkan resiko produksi ditanggung penyewa. Sistem sakap merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain dan besarnya bagian hasil penggarap atau pemilik didasarkan pada perjanjian bersama yang mengacu pada perbandingan kewajiban masing-masing pihak dalam menanggung sarana produksi. Selain itu, dalam sistem ini pemilik turut menanggung resiko produksi. Sementara itu, sistem gadai merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain, karena pemilik meminjam sejumlah uang secara tunai, dan pemilik dapat mengambil kembali hak atas tanahnya bila pinjamannya telah dibayar. 25 Menurut Kroef (1984), dalam sistem komunal semua tanah baik yang ditanami maupun tanah cadangan seluruhnya berda dalam pengawasan desa dan petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. 29

19 Oleh sebab itu, seseorang yang akan membuka dan mengerjakan sebidang lahan hutan akan meminta persetujuan kepada kepala suku. Dengan kata lain, sebenarnya tanah yang digarap peladang merupakan tanah milik marga/suku. Sebagaimana dikemukakan Utomo (1985), permintaan izin kepada kepala suku atau kepala marga juga harus dilakukan oleh para pendatang atau kelompok perintis yang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Akan tetapi setelah adanya UU No, 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, peran ketua adat digantikan oleh kepala desa (Adimihardja, 1999). Adapun gambaran keterkaitan antara kemajuan budaya pertanian dengan perubahan pola penguasaan lahan yang terjadi di luar Jawa dapat dilihat pada dikajian Soetarto (2002) dalam masyarakat Dayak Kanayant di Kalimantan Barat (Tabel 2.6). Pola penguasaan yang berciri komunalistik atau kolektif (marga) hanya terjadi pada pertanian tidak intensif (ekstensif) seperti usaha hutan serta usaha perikanan di sungai dan di danau. Sementara itu, pada usaha pertanian semi intensif (transisi dari tidak intensif ke intensif) seperti ladang dan kebun buahbuahan pola penguasaannya oleh unit kerabat (pareneatn) dan/atau secara perorangan. Lebih lanjut, pada usaha pertanian yang dikelola intensif terutama kebun karet dan sawah pola penguasaan lahannya adalah perorangan. Tabel 2.6. Kaitan antara Perkembangan Pertanian dengan Perubahan Pola Penguasaan Lahan (Kasus Pada Masyarakat Dayak) Jenis Usaha Pertanian Pola Penguasaan Kolektif Keluarga Perorangan 1. Kawasan Hutan V 2. Sungai dan Danau V 3. Kebun Buah-buahan V V 4. Ladang dan Bawas V V 5. Kebun Karet V 6. Sawah V Sumber: Diolah dari E. Soetarto (2002) Sejalan dengan gambaran tersebut, Geertz (1976) menjelaskan adanya perbedaan persepsi penguasaan tanah antara masyarakat di wilayah Jawa-Madura (Indonesia Dalam) dan masyarakat di wilayah Luar Jawa-Madura (Indonesia 30

20 Luar). Di wilayah Jawa-Madura tanah dianggap hak milik perorangan dan dipandang sebagai alat produksi, sehingga batas kepemilikan tanah biasanya jelas. Sementara itu, di wilayah Luar Jawa - Madura tanah merupakan hak ulayat dan kepemilikannya ditunjukkan oleh tanaman yang tumbuh diatas tanah (bukan pada tanah itu sendiri) sehingga batas kepemilikan tanah biasanya tidak jelas. Lebih lanjut Li (2002) menjelaskan bahwa proses transformasi struktur agraria tersebut bukan hal yang baru tetapi sudah dimulai sejak pemilihan lahan kolektif diprivatisasi menjadi pemilikan lahan perorangan. Pada waktu pemilikan lahan masih kolektif, seluruh warga mempunyai kekuasaan yang sama untuk memanfaatkan lahan. Pada saat itu, meskipun terdapat hak pribadi atas lahan (private right on land) yang diperoleh perintis pertama tetapi keturunannya tidak dapat membagi lahan berdasarkan sistem pewarisan. Lahan tersebut tetap menjadi sumberdaya kolektif sehingga para tetangga atau kerabat dapat meminjamnya secara gratis untuk penggunaan lahan (paling tidak satu musim). Pada saat itu tidak ada penduduk yang tidak menguasai lahan bila mereka bermaksud menjalankan kegiatan usahatani. Dengan kata lain, pada saat itu, sistem penguasaan lahan relatif merata. Hasil studi Li (2002) juga menunjukkan bahwa proses transformasi sistem penguasaan lahan yang terjadi di wilayah dataran tinggi adalah seperti berikut : Tahap I : Privatisasi lahan dimulai dengan adanya penanaman tanaman tahunan di lahan ladang sehingga lahan tersebut tidak lagi menjadi lahan kolektif. Pada tahap ini, petani yang memiliki modal lebih banyak (untuk ganti rugi buka lahan), tenaga kerja, dan pengetahuan genealogis tentang dimana nenek moyang mereka membuka lahan dapat mengkonsolidasikan penguasaan lahan pada areal yang luas. Sementara itu, orang-orang yang lambat memulai dan tidak memiliki klaim tanah nenek moyang akan kehilangan lahan. Tahap II : Lahan yang telah diprivatisasi mulai diperlakukan sebagai komoditas, sehingga lahan tersebut dapat dijual kepada pihak ketiga, dan selanjutnya oleh pihak ketiga lahan tersebut diberlakukan sebagai lahan milik perorangan secara permanen. 31

21 Tahap III : Para elite pantai dan atau para pengusaha kota 26 yang memiliki kapital (modal finansial) secara signifikan membeli kebun kakao di dataran tinggi untuk dikelola oleh para tenaga kerja upahan. Secara umum, berlangsungnya transformasi struktur agraria dalam suatu masyarakat akan berkaitan dengan hal-hal berikut (Wiradi, 2002) : 1) dinamika internal masyrakat, 2) intervensi pemerintah melalui berbagai kebijakannya, 3) intervensi pihak lain atau pengaruh faktor eksternal (misalnya gerakan bisnis dari perusahaan multi-nasional; kepentingan para penyedia dana internasional; serta perubahan-perubahan kondisi politik dan ekonomi dunia), dan 4) warisan sejarah. Sementara itu, Hayami dan Kikuchi (1987) mengemukakan bahwa perubahan sistem pemilikan sumberdaya lahan terjadi karena kemajuan teknologi dan bertambahnya keuntungan dari investasi. Mengacu pada kasus transformasi agraria yang terjadi pada komunitas petani kakao di Sulawesi Tengah, Li (2002) mengemukakan bahwa transformasi agraria tidak dapat dipandang hanya sebagai hasil otomatis (outomatic outcome) dari kapitalisme atau globalisasi (yang berasal dari luar komunitas). Perubahan tersebut merupakan hasil mediasi kultural aktivitas manusia (human actions) dalam waktu dan ruang tertentu melalui proses historis (yang berasal dari dalam komunitas). Sebagai contoh, sejumlah kejadian lokal yang berkaitan dengan diferensiasi agraria di antaranya adalah : 1) adanya program penempatan ulang (resettlement) dimana pemerintah memfasilitasi transfer lahan, 2) implementasi UUPA Tahun dimaknai sebagai tidak ada lagi lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan adat sehingga pemimpin desa dapat mengabaikan tuntutan atas tanah yang diajukan warga desa yang dipimpinnya, serta 3) munculnya para perantara dalam pelaksanaan penjualan tanah Pada lahan sawah pun bila yang diusahakannya tanaman komersial tebu yang relatif padat modal, ternyata usaha tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh pemilik uang dari kota (Soentoro, 1980) Sebenarnya UUPA mengakui keberadaan hak ulayat. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro (1999), UUPA 1960 mengandung benih dualisme legal karena disatu pihak mengakui hak ulayat/adat tetapi sebaliknya hukum negara juga menjadi pegangan. 32

22 2.3. Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris Diferensiasi terutama digunakan dalam teori perubahan sosial serta merupakan konsep penting dalam menganalisa perubahan sosial dan dalam membandingkan masyarakat (industri dan pra industri). Konsep ini merujuk pada proses dimana seperangkat aktivitas sosial yang dibentuk oleh sebuah institusi sosial terbagi di antara institusi sosial yang berbeda. Diferensiasi menggambarkan terjadinya peningkatan spesialisasi bagian-bagian masyarakat yang diikuti terjadinya peningkatan heterogenitas di dalam masyarakat Secara spesifik, berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria, diferensiasi sosial masyarakat pedesaan (masyarakat agraris) yang berlangsung akan merujuk pada gejala terjadinya penambahan kelas petani. Diferensiasi tersebut kemudian akan membentuk struktur sosial masyarakat agararis 28 yang semakin berlapis (terstratifikasi) atau struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi. Suatu struktur sosial masyarakat agraris bukanlah suatu struktur yang tetap sepanjang masa, tetapi secara dinamis struktur tersebut akan berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, termasuk berlangsungnya transformasi moda produksi dan transformasi struktur agraria yang dijalankan kaum tani. Pada kasus masyarakat agraris, Hayami dan Kikuchi (1987) mengartikan stratifikasi 29 sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas masyarakat agraris dalam rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai tuan tanah yang tidak mengusahakan sendiri tanahnya. Sementara itu, polarisasi diartikan sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat agraris menjadi hanya dua lapisan, yakni lapisan petani luas komersial yang kaya dan lapisan buruh tani tunakisma yang miskin Struktur sosial masyarakat agraris dibentuk oleh kehadiran pola-pola hubungan sosial yang terkait dengan sumberdaya agraria (lahan). Dalam hal ini, struktur sosial masyarakat agraris akan menysusun peta susunan posisi-posisi sosial-ekonomi warga dalam masyarakat berbasiskan penguasaan sumber-daya agraria. Secara umum, stratifikasi diartikan sebagai ketimpangan struktur (structured inequalities) di antara group orang yang berbeda, sehingga masyarakat dipandang sebagai susunan strata dalam sebuah hirarki, dimana pihak yang memiliki hak istimewa bearda pada posisi diatas dan yang tidak memiliki hak istimewa berda pada posisi di bawah (Gidens, 1997). 33

23 Tabel 2.7. Diferensiasi Sosial Masyarakat Masy./Lahan/Komoditas (Penggagas) Masyaraat Industri German (Marx) Masyarakat Tani (Marx) Kaum Tani (Peasant) - Rusia (Lenin) Petani Sawah Tebu (Soentoro) Petani Lahan Kering Kakao (Li, Sitorus) Kaum Tani (Peasant) - German (Kautsky) Petani Lahan Kering - Karet Pola PIR-BUN (Undang Fadjar dkk.) Kaum Tani (Peasant) - Rusia (Shanin) Petani Sawah - Padi (Geertz) Petani Sawah-Padi (Hayami) Petani Sawah Padi serta Petani Lahan Kering - Karet di Malaysia (Wan Hasyim) Struktur Masy. Agraria Polarisasi Polarisasi Polarisasi Polarisasi Polarisasi Polarisasi, tetapi prosesnya lambat Polarisasi vs Stratifikasi Leveling (Stratifikasi), Pemiskinan Keterangan Moda Produksi Kapitalis (akumulasi kapital, rasionalisasi produksi, industrialisasi) desitegrasi, usaha kecil hilang Dominasi moda produksi kapitalis Petani yang melakukan proses produksi sendiri secara bertahap ditransformasikan menjadi : 1) kapitalis kecil yang mengeksploitasi tenaga kerja petani lain (buruh tani), atau 2) tenaga upahan (buruh tani) yang kehilangan kekuatan produksi. Diferensiasi pemiskinan kelas menengah kaum tani 2 kelas terpolarisasi : 1) kapitalis, 2) kaum miskin pedesaan Pertanian kapitalis proletar desa bergabung dengan proletar kota revolusi sosial Polarisasi terjadi karena masuknya pemodal kuat dari kota (melalui sistem sewa lahan) Proses polarisasi berlangsung melalui mekanisme : 1) Privatisasi lahan, 2) Komoditasi lahan, 3) Masuknya elit kota Petani Bugis menjadi pemilik, Petani Kaili bukan pemilik Pada pertanian ekspansi kapitalis berjalan lambat, bentuknya beda karena proses kerjanya beda Tanah sebagai kekuatan produksi tidak dapat direproduksi seperti modal finansial. Seorang kapitalis, untuk memperoleh hak atas tanah harus mencabut hak orang lain (petani miskin). Stratifikasi : melalui pewarisan, bagi hasil Polarisasi : Sewa kebun dan pembelian kebun oleh petani kaya, serta tenaga kerja upahan Mobilitas kaum tani = mobilitas siklikal dan multidimensial menambah lapisan (bukan mempolarisasikan) Pengembangan kapitalis dihadang oleh proses yang muncul dari dalam kaum tani sendiri Transformasi peasant integrasi peasant pada ekonomi yang lebih luas (pertukaran, produksi komoditi) posisi peasant menjadi tidak rata (tergantung pusat pertukaran) sistem kapitalis dunia mengatur tata ekonomi/sosial desa Terjadi Pemiskinan Kesejahteraan ekonomi menurun Polarisasi tidak terjadi Kesadaran kelas tidak eksis Terjadi kemiskinan berbagi Tidak nampak diferensiasi Stratifikasi Penetrasi pasar mendorong ke polarisasi, tetapi tertahan oleh : 1) ikatan moral petani, 2) pranata tradisional (misal sakap), 3) sistem pemilikan yang tidak ekstrim Stratifikasi berevolusi ke polarisasi, jika distribusi pendapatan timpang dan penetrasi pasar sangat kuat Tidak terbentuk kelas, yang terjadi leveling (stratifikasi) Sumber : Diolah dari berbagai sumber Beragam kelas pemilikan lahan kaum tani tetap eksis Kaum tani ditransformasikan (sebagai hasil perluasan dan dominasi moda produksi kapitalis yang berasal dari luar) dalam formasi sosial spesifik perbedaan ciri penetrasi terhadap kapitalis, serta perbedaan pengembangan kapitalis di antara tipe spesifik desa artikulasi moda produksi Sebagian kaum tani menjadi tenaga kerja migrasi, sebagian lainnya tetap menjadi kaum tani yang memiliki kekuatan produksi tetapi sebagai sub-ordinat kapitalis. 34

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 10.1. Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan kakao di Indonesia telah menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam memenuhi kelangsungan hidup (survival) dan membuat kehidupan yang lebih

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II 2.1 Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Perkebunan Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan 2 dalam Undang-undang

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, Pemerintahan Orde Baru menggalakkan program transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi, Kalimantan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tugas-tugas pada posisinya tersebut. Apabila kita berbicara tentang tugas-tugas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tugas-tugas pada posisinya tersebut. Apabila kita berbicara tentang tugas-tugas BAB II KAJIAN PUSTAKA Sebagai sebuah mekanisme yang terus berfungsi, masyarakat harus membagi anggotanya dalam posisi sosial yang menyebabkan mereka harus melaksanakan tugas-tugas pada posisinya tersebut.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

Ringkasan. 1. Pendahuluan. Undang Fadjar 2, M.T. Felix Sitorus 3, Arya Hadi Dharmawan 4, S.M.P. Tjondronegoro 5

Ringkasan. 1. Pendahuluan. Undang Fadjar 2, M.T. Felix Sitorus 3, Arya Hadi Dharmawan 4, S.M.P. Tjondronegoro 5 ISSN : 1978-4333, Vol. 02, No. 02 1 Perubahan Sistem Pertanian dan Munculnya Strategi Amphibian dalam Praktek Moda Produksi 1 (Studi Kasus pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya bahwa pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pembangunan Pertanian Dalam memacu pertumbuhan ekonomi sektor pertanian disebutkan sebagai prasyarat bagi pengembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Batasan Analisis Batasan analisis dalam penelitian ini adalah: Pertama, Pokok persoalan yang diangkat adalah persoalan keterbatasan lahan, tingkat kerentanan produk tembakau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN TEORI DEPENDENSI Dr. Azwar, M.Si & Drs. Alfitri, MS JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ANDALAS Latar Belakang Sejarah Teori Modernisasi

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Agraria Pengertian agraria menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 (UU No.5 Tahun 1960) adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa,

Lebih terperinci

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. RINGKASAN FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM 2007-2015 Pendahuluan 1. Target utama Kementerian Pertanian adalah mencapai swasembada

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis

BAB V PENUTUP. didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Daerah pedalaman di Indonesia sudah sejak lama mendapatkan tempat didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis penelitian dengan rupa-rupa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep marketable dan marketed surplus, serta faktor-faktor yang memepengaruhinya.

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key words : agricultural production system, agrarian structure, social structure, peasant community, cocoa ABSTRAK

ABSTRACT. Key words : agricultural production system, agrarian structure, social structure, peasant community, cocoa ABSTRAK TRANSFORMASI SISTEM PRODUKSI PERTANIAN DAN STRUKTUR AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP DIFERENSIASI SOSIAL DALAM KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Provinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat) Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal sosial Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman kita tentang masyarakat dan komunitas.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA

PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA Indonesia lahir sebagai sebuah negara republik kesatuan setelah Perang Dunia II berakhir. Masalah utama yang dihadapai setelah berakhirnya Perang Dunia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Menurut Wiradi (2008) dalam tulisannya tentang Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, istilah land tenure dan land tenancy sebenarnya merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)

Lebih terperinci

Pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung. perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sektor pertanian

Pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung. perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sektor pertanian 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sektor pertanian merupakan salah satu

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

Konflik Politik Karl Marx

Konflik Politik Karl Marx Konflik Politik Karl Marx SOSIALISME MARX (MARXISME) Diantara sekian banyak pakar sosialis, pandangan Karl Heindrich Marx (1818-1883) dianggap paling berpengaruh. Teori-teorinya tidak hanya didasarkan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1

Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1 ISSN : 1978-4333, Vol. 03, No. 01 1 Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1 Martua Sihaloho, Heru

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lingkungan sekitarnya. Perubahan tersebut bisa terlihat didalam perilaku atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lingkungan sekitarnya. Perubahan tersebut bisa terlihat didalam perilaku atau BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Sosial di Pedesaan Setiap individu atau masyarakat tentunya mengalami suatu perubahan. Lambat atau cepat perubahan itu terjadi tergantung kepada banyaknya faktor di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

INDEKS. biofuel 63, ceteris paribus 164 constant return to scale 156, 166

INDEKS. biofuel 63, ceteris paribus 164 constant return to scale 156, 166 INDEKS A adopsi teknologi 94, 100, 106, 111, 130, 171, 177 agregat 289, 295, 296, 301, 308, 309, 311, 313 agribisnis 112, 130, 214, 307, 308, 315, 318 agroekosistem 32, 34, 35, 42, 43, 52, 55, 56, 57,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu juga Indonesia merupakan negara agraris

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial BAB VIII PENUTUP Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas ini mengambil tiga fokus kajian yakni ekonomi politik kebijakan hutan rakyat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

Pendekatan Historis Struktural

Pendekatan Historis Struktural Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kenajuan bagi negara dunia ketiga

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan. IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Penggunaan tenaga kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya

Lebih terperinci

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 39 BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi SOSIOLOGI PERTANIAN: Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur Lambang Triyono Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : dl@ub.ac.id Tujuan Pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi

Lebih terperinci

Lecture Paper. Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. No. 11, Vol. I, 2012 SOSIOLOGI UMUM: PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN

Lecture Paper. Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. No. 11, Vol. I, 2012 SOSIOLOGI UMUM: PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN Lecture Paper Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat No. 11, Vol. I, 2012 SOSIOLOGI UMUM: PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN Oleh: Fredian Tonny Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Sumaryanto PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam penyediaan pangan, pangsa pasar, dan hasil produksi.

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam penyediaan pangan, pangsa pasar, dan hasil produksi. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sektor pertanian berpengaruh bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia, terutama pada wilayah-wilayah di pedesaan. Sektor pertanian juga memegang peranan penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan pada sektor pertanian. Di Indonesia sektor pertanian memiliki peranan besar dalam menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di pedesaan merupakan sebagian dari proses pembangunan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di pedesaan merupakan sebagian dari proses pembangunan nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di pedesaan merupakan sebagian dari proses pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah, sekaligus mengindikasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga sering disebut sebagai negara agraris yang memiliki potensi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang dilaksanakan secara terencana rencana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kebangkitan dan keruntuhan suatu bangsa tergantung pada sikap dan tindakan mereka sendiri. Penulis melakukan penelitian studi komparatif sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta TINJAUAN PUSTAKA Monokultur Pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Cara budidaya ini meluas praktiknya

Lebih terperinci

EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN: teori dan aplikasi di Indonesia

EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN: teori dan aplikasi di Indonesia EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN: teori dan aplikasi di Indonesia Modul 1 Tutorial Ekonomi Produksi Pertanian ini wajib dibaca sebagai bahan kajian utama pada tutorial pertama. Sumber pembelajaran dan komunikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur Agraria: Dinamika Struktur Agraria Dulu dan Sekarang Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada dua komunitas yaitu komunitas Suku Bajo Mola, dan Suku Bajo Mantigola, menunjukkan telah terjadi perubahan sosial, sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi 153 V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pembangunan ekonomi di antaranya adalah untuk. meningkatkan pertumbuhan ekonomi, disamping dua tujuan lainnya yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pembangunan ekonomi di antaranya adalah untuk. meningkatkan pertumbuhan ekonomi, disamping dua tujuan lainnya yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dari pembangunan ekonomi di antaranya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, disamping dua tujuan lainnya yaitu pemerataan (distribution of income)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan (palawija), merupakan makanan pokok bagi masyarakat. total pendapatan domestik bruto (id.wikipedia.org).

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan (palawija), merupakan makanan pokok bagi masyarakat. total pendapatan domestik bruto (id.wikipedia.org). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, artinya masyarakat banyak yang bermata pencaharian sebagai petani. Penggolongan pertanian terbagi atas dua macam, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini. difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara

BAB I PENDAHULUAN. Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini. difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara pengembangan bidang industrialisasi

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN Ir. Sunarsih, MSi Pendahuluan 1. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara

Lebih terperinci

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN Slamet Widodo Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * Oleh : Aladin Nasution DISTRIBUSI PEMILIKAN TANAH PERTANIAN Pemilikan tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat pedesaan karena merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakat terutama masyarakat kecil dan masyarakat yang masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya

Lebih terperinci

Geografi Pertanian (PGF 253) Lesson 1. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP GEOGRAFI PERTANIAN

Geografi Pertanian (PGF 253) Lesson 1. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP GEOGRAFI PERTANIAN Geografi Pertanian (PGF 253) Lesson 1. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP GEOGRAFI PERTANIAN Geografi (Seminar Geografi di Semarang tahun 1988) Mengkaji persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PERTANIAN ( ) Aspek Ekonomi Desa

SOSIOLOGI PERTANIAN ( ) Aspek Ekonomi Desa SOSIOLOGI PERTANIAN (130121112) Aspek Ekonomi Desa Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. teguhfp.wordpress.com 1 Kompetensi Khusus: Mahasiswa mampu menemukan perbedaan aspek ekonomi desa-desa di Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kadang-kadang tidak mencukupi (Ekstensia, 2003). Peran sektor pertanian di Indonesia terlebih di Sumatera Utara

PENDAHULUAN. kadang-kadang tidak mencukupi (Ekstensia, 2003). Peran sektor pertanian di Indonesia terlebih di Sumatera Utara PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting bagi bangsa Indonesia. Pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia, sampai saat ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI

TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam) UNDANG FADJAR SEKOLAH

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian subsektor perkebunan mempunyai arti penting dan strategis terutama di negara yang sedang berkembang, yang selalu berupaya: (1) memanfaatkan kekayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia modern sekarang suatu negara sulit untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan negara lain. Dengan kemajuan teknologi yang sangat

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam melihat ketahanan pasar nagari di Minangkabau dalam menghadapi ekonomi dunia/supra

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 26 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis Penelitian 3.1.1 Model Ekonomi Rumahtangga Pertanian Pada umumnya rumahtangga pertanian di pedesaan mempunyai ciri semi komersial karena penguasaan skala

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diversifikasi Siegler (1977) dalam Pakpahan (1989) menyebutkan bahwa diversifikasi berarti perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk baru yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. struktur ekonomi manusia yang di dalamnya bidang pertanian, industri-perdagangankomunikasi-transportasi

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. struktur ekonomi manusia yang di dalamnya bidang pertanian, industri-perdagangankomunikasi-transportasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Ekonomi Geografi ekonomi adalah cabang geografi manusia yang bidang studinya struktur aktivitas keruangan ekonomi sehingga titik

Lebih terperinci

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Masyarakat dunia pada

Lebih terperinci

Unsur-unsur subsistem agribisnis (usaha tani)

Unsur-unsur subsistem agribisnis (usaha tani) SUB SISTEM ON FARM Unsur-unsur subsistem agribisnis (usaha tani) Unsur-unsur yang terlibat dalam subsistem produksi (usaha Tani) 1. Tanah (Hamparan Tanah) Lahan Usaha (Land) 2. Tenaga Kerja (Labour) 3.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Program transmigrasi di usianya kurang lebih lima puluh tahun memberikan catatan tersendiri perihal keberhasilan dan kegagalannya. Tak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Pembangunan Ekonomi Pembangunan menurut Todaro dan Smith (2006) merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan rejim ekonomi politik di Indonesia yang terjadi satu dasawarsa terakhir dalam beberapa hal masih menyisakan beberapa permasalahan mendasar di negeri ini.

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL

POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL TUGAS AKHIR O l e h : E k o P r a s e t y o L2D 000 415 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT.

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. KAJIAN (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. 2009/10 1 FOKUS Mempelajari hubungan antara manusia yang mengatur penguasaan

Lebih terperinci