PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA"

Transkripsi

1 PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA Indonesia lahir sebagai sebuah negara republik kesatuan setelah Perang Dunia II berakhir. Masalah utama yang dihadapai setelah berakhirnya Perang Dunia II bagi pemerintah Indonesia adalah masalah penguasaaan tanah khususnya di Jawa, Bali, dan beberapa daerah berpenduduk padat di pulaupulau besar luar Jawa dan Bali di dalam wilayah republik. Masalah penguasaan tanah oleh pemimpin-pemimpin Pergerakan Nasional sejak awal abad XX sudah dikenal sebagai masalah dasar yang mengakibatkan kemelaratan bagi penduduk Jawa. Permasalah tanah yang berkaitan dengan kedudukan ekonomi dan sosial penduduk daerah pedesaan mulai menumpuk sejak awal abad XIX, dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda setelah menjalankan pemerintahan secara lebih langsung setelah VOC bangkrut (1799) lebih mengeksploitasi sumber daya tanah dengan cara-cara terpimpin misalnya Tanam Paksa (cultuurstelsel) antara tahun Kebijakan dalam mendistribusi tanah yang dikuasai negara sebenarnya juga diulang pada masa pembagian tanah antara tahun , waktu tanah negaralah yang untuk sebagian besar dijatahkan dan hanya sedikit tanah yang dikurangi sampai tingkat pemilikan maksimal sesuai dengan undangundang. Pada periode tersebut masalah ketimpangan penguasaan tanah antara tuan tanah di satu pihak dan petani gurem maupun buruh tani di pihak lain menjadi pemicu pertikaian politik. Golongan petani yang paling miskin dan buruh tani yang tidak bertanah, dapat dipahami merupakan golongan yang paling gigih melakukan aksi sepihak yaitu menuntut dan merebut bidangbidang tanah mereka yang pemilik tanahnya sudah melebihi batas maksimum. Pola penguasaan tanah orang Jawa cenderung berada diantara dua kutub yang berlawanan yaitu antara pemilik komunal yang kuat atau hak ulayat dan pemilik perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Sebagai akibat tekanan penduduk yang semakin berat dan tidak adanya cadangan tanah baru yang dapat dibuka menjadi tanah pertanian, pola-pola

2 penguasaan perorangan makin bertambah banyak mengorbankan pengawasan komunal yang dahulu prnah ada. Bentuk-bentuk perampasan tanah dan bagi hasil dewasa ini menunjukkan banyak ragam kelenturan. Sekaligus strata sosial tradisoinal masyarakat pedesaan telah terganggu, dan apa yang disebut fungsional baru menjadi nyata di masyarakat desa, terutama dikalangan proletariat pedesaan. Ciri umum banyak negara sedang berkembang adalah masalah kelebihan penduduk agraris yang terdapat surplus tenaga kerja manusia dibanding dengan tersedianya tanah pertanian. Akibat ketiadaan pilihan kesempatan kerja lain maka penduduk desa terus menerus memadati tanah yang ada, menggunakan proses produksi pertanian melebihi batas sehingga menghambat keseluruhan usaha pembangunan ekonomi. Secara tradisional desa Jawa merupakan tatanan sosio-ekonomi yang tertutup, dicirikan oleh pola dan sifat kesetiaan komunal serta hubungan tolong-menolong diantara anggota masyarakat yang luas jangkauannya dan erat terjalin dengan nilai-nilai magis dan religius yang menetapkan titik aspek produksi, distribusi dan konsumsi sumber makanan pokok. 1 Sebidang tanah pertanian tertentu yang pada waktu tertentu mencakup cadangan tanah yang belum digarap, merupakan milik desa. Adat-kebiasan telah menentukan cara pemanfaatan air atau pinggiran sungai dan bagian dasar sungai yang dari waktu ke waktu mengering. Pada abad lalu di Jawa jauh sebelum timbul kecenderungankecenderungan individualisme, bentuk-bentuk penguasaan tanah masih sangat beragam. Dalam semua kemungkinannya bentuk tradisional yang pailng umum adalah hak penguasaan secara komunal. Dengan sistem ini maka semua tanah baik yang dapat ditanami maupun yang merupakan tanah cadangan, seluruhnya berada di bawah penguasaan desa, dan petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Bentuk ini tidak menutup adanya hak atas tanah yang untuk selama-lamanya dikuasakan kepada tuan tanah di suatu desa sebagai 1 Sedionon M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi Dua Abad Penguasan Tanah : Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta : PT Gramedia.

3 bagiannya dari tanah komunal. Dengan demikian tuan tanah dapat menghidupi dirinya beserta keluarga. Ia diperkenankan melimpahkan sebidang tanahnya tersebut kepada ahli warisnya untuk dimanfaatkan, walaupun pengalihan hak keluar desa pada halnya tidak mungkin. Sebagian dari tanah desa dapat juga dipisahkan untuk khusus dimanfaatkan oleh kepala desa dan pegawai-pegawainya, sebagai imbalan untuk jasa-jasanya, sedangkan diwilayah-wilayah yang langsung diperintah oleh penguasapenguasa pribumi di kerajaan-kerajaan Jawa Tengah sudah meninggalkan tradisi sifat-sifat feodal dalam sistem penguasaan tanah dan pemungutan pajak. Fakta penting yang perlu diingat tentang penguasaan tanah di Jawa ialah bahwa dalam abad lalu hak-hak pribadi dalam penguasaan tanah sangat menonjol, sehingga mngakibatkan melemahnya pengawasan komunal. Banyak daerah di Jawa kepemilikan berbagai tanah pada kaum hak-hak komunal dan perorangan diatur dengan prinsip-prinsip penguasaan yang berbeda walaupun letaknya berbatasan. Sudah sejak tahun 1927 Poertjaja Gadroen dan Vink di suatu daerah kecil di Jawa Timur menemukan bentukbentuk pemilikan tanah sebagai berikut: 1. Pemilikan tanah komunal dengan penggarap menggarap tanah secara bergiliran dan luas tanah garapan berbeda ukuran. Dewan desa mempunyai weenang untuk memperbanyak jumlah penggarap yang ikut serta. 2. Pemilikan tanah komunal, tetapi dengan jumlah penggarap terbatas. 3. Pemilikan tanah komunal dengan penggarap bergiliran, tetapi dengan tanah garapan yang luasnya tetap. 4. Pemilikan tanah-tanah komunal dengan hak-hak perorangan tertentu. Hak-hak tersebut tidak pasti dapat diwariskan. Dewan desa harus menentukan siapa yang akan mendapatkan tanah tersebut setelah penggarap sebelumnya meninggal. 5. Seperti pada no. 4 tetapi dengan kepastian hak waris. 6. Seperti pada no. 5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah berssangkutan kepada penduduk lain desa.

4 7. Seperti pada no. 6 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah kepada orang bukan penduduk sedesa, asalkan kewajiban kerja untuk desa dapat dipenuhi oleh pembeli bukan sdesa tersebut. 8. Pemilik tanah pribadi yang dapat diwariskan, tetapi dibatasi oleh kewajiban partisipasi dalam pekerjaan komunal. 9. Pemilik tanah pribadi yang dapat diwariskan tanpa kewajiban kerja komunal selama sebagian tanah garapan lainnya tetap tunduk kepada aturan kewajiban kerja komunal. 10. Pemilik tanah pribadi bercorak Barat dan dapat digadaikan. Studi kasus di suatu desa di Jawa Tengah pada tahun 1953 menunjukan adanya dua bentuk pemilikan tanah : (a) satu bentuk pemilikan tanah bebas perorangan dimana hak ulayat masyarakat desa tidak lagi berlaku atasnya, dan (b) penggarapan tanah yang dikuasai secara komunal dengan hak ulayat masyarakat desa yang terbatas. Kedua bentuk tersebut dapat diwariskan. Dengan demikian hak-hak penguasaan tanah secara komunal tidak hilang seluruhnya, dan kedua pemerintah baik kolonial maupun Republik Indonesia tetap mengakui kedua bentuk pemilikan tanah tersebut. Analisa lapangan lainnya yang dilakukan pada tahun 1956 di Desa Jatiyoso di Jawa Tengah secara jelas menyatakan bahwa semua tanah merupakan milik masyarakat yang berhak membagikannya kepada kelompok-kelompok penduduk desa yang mempunyai hak atasnya. Di desa Jatiyoso terdapat tiga macam tanah, yaitu : 1. Lungguh, terdiri dari tanah pertanian. Seorang penduduk desa dapat memperoleh satu patok (kurang lebih 3,5 ha) untuk digarap. 2. Tanah yang diperuntukan bagi aparat pemerintahan desa sebagai pembayaran atas jasa-jasanya 3. Tanah kas desa yang dimiliki bersama oleh desa dan diolah oleh bururh tani yang tidak memiliki tanah dan berhak atas setengah hasil panen, sisa paneh yang setengahnya lagi dimanfaatkan oleh desa untuk membiayai keperluasan desa bersama (misalnya untuk perbaikan jalan jembatan). Perlu ditegaskan disini bahwa, setidak-tidaknya di daerah Jawa Tengah di mana buruh tani tidak bertanah sangat padat, hak ulayat masyarakat desa

5 dan pengawasan bersama masih kuat sekali. Sejalan dengan itu mungkin dapat diperdebatkan bahwa kepadatan penduduk yang sangat tinggi, jauh mendorong ke arah meluasnya penguasaan tanah secara perorangan, dan dalam beberapa hal justru mempunyai pengaruh sebaliknya dan memperkuat hak-hak penguasaan komunal. Oleh karena itu penguasaan tanah secara komunal, dianggap tetap penting meskipun tekanan penduduk atas tanah tersebut meningkat. Salah satu alasan adalah desa-desa Jawa menurut tradisi telah terbiasa dengan kepadatan yang tinggi dan mampu menyesuaikan diri pada kelebihan penduduk secara terus-menerus, sehingga tekanan yang sekarang mudah diserap dengan cara-cara komunal tradisional. Di desa-desa pada Pulau Jawa sawah-sawahnya terbentang seperti karangan bunga mengelilingi daerah pemukiman dan jumlah penduduk sangat erat hubungannya dengan luas tanah pertanian. Menurut tradisi, tiap keluarga di desa hanya mendapat tanah seluas-luasnya yang dapat dikerjakan dengan cara-cara sederhana yaitu seluas kurang lebih 0,9 ha sampai 2 ha. Selama dua dasawarsa terakhir masyarakat pedesaan di Jawa telah mengalami perubahan-perubahan struktural yang menentukan. Hal ini tercermin dalam berbagai pola penguasaan tanah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut melemahkan sistem kelas horisontal tradisional di desa, berdasarkan pemilikan tanah dan solidaritas komunal. Kini terdapat pertumbuhan yang sejalan dan struktur vertikal baru tentang afiliasi perorangan dan pengawasan sosial, berdasarkan keyakinan politik parta dan kepentingan sosial-ekonomi fungsional. Desa Jawa secara tradisional terbagi dalam beberapa golongan sebagai berikut : 1. Kelompok penduduk desa inti (disebut baku, gogol, atau pribumi) yang nenek moyangnya pada zaman dahulu mulai bermukim di situ. Memiliki tanah, rumah dan halaman (juga pekarangan sempit atau tanaman kebutuhan dapur atau kebun buah-buahan), mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga desa terutama dalam pelaksanaan pekerjaapekerjaan perbaikan dan pemeliharaan komunal.

6 2. Mereka yang disebut indung, memiliki sebidang tanah pertanian atau rumah dan halaman, tetapi tidak keduanya, dan mempunyai hak dan kewajiban komunal yang terbatas. 3. Mereka yang disebut musup, tlosor atau bujang tidak memiliki baik tanah pertanian maupun rumah dan halaman, tetapi bertempat tinggal di halaman orang lain, bekerja sebagai penyewa atau petani bagi hasil, atau hidup menumpang dan bekerja bagi pemilik rumah di mana dia tinggal. Di daerah-daerah dengan hak-hak komunal lemah, penguasaan tanah perorangan dapat diperoleh terutama melalui jual-beli atau warisan dan masyarakat mengawasi proses tersebut. Struktur golongan biasanya mencerminkan suatu proses lambatnya absorpsi masyarakat desa terhadap orang-orang yang tidak memiliki tanah yang datang dari luar desa, yang harus membuktikan bahwa mereka berguna. Dalam studi kasus yang baru dilakukan oleh Chandra Bhal Tripathi, di desa terdapat golongan-golongan sebagai berikut : 1. Kuli kenceng, merupakan kelompok inti meliputi hampir 58% dari jumlah pemilik tanah dan para pekerja di desa. 2. Kuli kendo (kira-kira20%), merupakan calon untuk menjadi kenceng, nampaknya memiliki hak-hak yang secara komparatif kurang pasti atas tanah pertanian, halaman dan perkarangan. 3. Gundul (kira-kira 4%), memiliki tanah pertanian, tetapi tidak memiliki halaman dan tanah perkarangan. 4. Magersari (12,8%), buruh tani yang tidak memiliki tanah, yang tinggal di rumahnya sendiri di halaman orang lain dan bekerja sebagai petani bagi hasil. 5. Mondok empok (3,9%) buruh tani yang tidak memiliki tanah, tanpa rumah milik sendiri, dan hidup bersama majikannya. Seperti pada masa lalu aparat pemerintah desa mendapat tanah sebagai penghargaan atau pekerjaan. Dengan demikian maka lurah, menurut penelitian Bhal, menerima 4 ha, juru tulis desa (carik) 3 ha dan pesuruh (kebayan) serta mantri air (ulu-ulu) masing-masing 1 ha tanah. Pamong desa

7 dan kuli kenceng dengan jelas merupakan lapisan-lapisan paling atas di desa tersebut. Struktur kelas baru masyarakat desa, seperti digambarkan di beberapa publikasi Partai Komunis Indonesia, sangat menekankan fungsi ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan anggota masyarakat desa. 1. Golongan tuan tanah, terdiri dari pemilik tanah lima sampai ratusan ha, yang disewakan kepada penyakap kebanyakan dari mereka merupakan orang kaya baru dan mampu mengumpulkan tanah selama masa pendudukan Jepang dan zaman revolusi. 2. Petani kaya, terdiri dari mereka yang memiliki tanah (dari 5-10 ha) tetapi dikerjakan sendiri. Luas tanah yang dikelola lebih sempit dari pada golongan pertama. Meskipun seorang petani kaya dapat menyewakan tanahnya kepada petani lain, namun ia lebih senang memperkerjakan buruh tani dari pada penyakap untuk menggarap tanahnya. 3. Petani sedang, memiliki tanah sampai 5 ha sekedar cukup untuk kepentingan sendiri dan tidak memperkerjakan buruh tani ataupun penyakap. 4. Petani miskin, memiliki tanah yang sempit (kurang dari 1 ha) yang benarbenar tidak mencukupi untuk mwnghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Sebagian besar mereka terpaksa bekerja sebagai buruh tani atau petani bagi hasil. 5. Buruh tani tak bertanah, banyak yang tidak memiliki alat-alat pertanian sama sekali, dan bertempat tinggal di atas tanah orang lain atau menumpang.

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 39 BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan. Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara agraris yang berarti bahwa penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pendapatan nasional sebagian besar bersumber dari

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PATRON DAN KLIEN PETANI PADI DI RENGASDENGKLOK PADA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN PATRON DAN KLIEN PETANI PADI DI RENGASDENGKLOK PADA TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rengasdengklok merupakan satu kota kecil di Kabupaten Karawang yang memiliki peran penting baik dalam sejarah maupun bidang ekonomi. Kabupaten Karawang adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik

I. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman manusia Indonesia hidup bertani dan menetap, dimulai pola penguasaan tanah secara adat dan berlangsung turun temurun tanpa memiliki tanda bukti kepemilikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya bahwa pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 7 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 7 TAHUN 2001 T E N T A N G

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 7 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 7 TAHUN 2001 T E N T A N G LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 7 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 7 TAHUN 2001 T E N T A N G PENGHASILAN LURAH, PAMONG DESA, SEKRETARIS BADAN PERWAKILAN DESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi dikenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem demokrasi rakyat memberikan kesempatan yang sama dalam proses penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah 8 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Tanah Obyek Landreform 2.1.1 Pengertian Tanah Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;

Lebih terperinci

Keseluruhan lingkungan X merupakan wilayah pemukiman yang padat penduduk. Pada

Keseluruhan lingkungan X merupakan wilayah pemukiman yang padat penduduk. Pada BAB II GAMBARAN UMUM PENGRAJIN ROTAN DI LINGKUNGAN X KELURAHAN SEI SIKAMBING D MEDAN 2.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 2.1.1 Letak Geografis Kelurahan Sei Sikambing D merupakan salah satu kelurahan dari

Lebih terperinci

Ditulis oleh AdminMaI.Com Sabtu, 26 November :43 - Pemutakhiran Terakhir Selasa, 13 Desember :01

Ditulis oleh AdminMaI.Com Sabtu, 26 November :43 - Pemutakhiran Terakhir Selasa, 13 Desember :01 NASIB KAUM TANI Oleh: A. Ponta, Aktivis Tani, Tinggal di Bandung Bagi kaum sosialis ilmiah, perjuangan untuk mewujudkan sosialisme, mengandung pengertian bahwa terjadinya transformasi kepemilikan alat

Lebih terperinci

BAB V PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DESA PANGRADIN

BAB V PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DESA PANGRADIN 51 BAB V PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DESA PANGRADIN 5.1 Bentuk-bentuk Penguasaan Tanah di Desa Pangradin Tanah dikategorikan menjadi sumberdaya yang dapat diperbaharui. Namun karena jumlahnya yang tetap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang dapat memperlambat lajunya pembangunan, walaupun

I. PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang dapat memperlambat lajunya pembangunan, walaupun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara yang sedang melaksanakan pembangunan selalu dihadapkan pada masalah penduduk dan peningkatan pendapatan penduduk. Kedua permasalahan di atas merupakan suatu hal

Lebih terperinci

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT DAFTAR ISI LATAR BELAKANG KEDATANGAN BANGSA BARAT KE INDONESIA What: (latar belakang) Indonesia negara dengan SDA yang melimpah Why: (Alasan) Orang-orang

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORETIS

BAB II PENDEKATAN TEORETIS 6 BAB II PENDEKATAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Konsep Agraria Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria

Lebih terperinci

Bab II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah patron berasal dari bahasa Latin patronus atau pater, yang berarti

Bab II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah patron berasal dari bahasa Latin patronus atau pater, yang berarti Bab II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patron Klien pada Masyarakat Petani Istilah patron berasal dari bahasa Latin patronus atau pater, yang berarti ayah (father). Karenanya, Ia adalah seorang yang memberikan perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Bagi rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Petani merupakan pekerjaan yang telah berlangsung secara turun-temurun bagi kehidupan

I PENDAHULUAN. Petani merupakan pekerjaan yang telah berlangsung secara turun-temurun bagi kehidupan I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Petani merupakan pekerjaan yang telah berlangsung secara turun-temurun bagi kehidupan masyarakat tani di Indonesia, yang sebagian besar dilakukan oleh penduduk yang tinggal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perluasan areal tanam melalui peningkatan intensitas pertanaman (IP) pada lahan subur beririgasi dengan varietas unggul baru umur super ultra genjah. Potensi tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

LAND REFORM INDONESIA

LAND REFORM INDONESIA LAND REFORM INDONESIA Oleh: NADYA SUCIANTI Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tanah memiliki arti dan kedudukan yang sangat penting di

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara petanian, artinya petanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini dapat dibuktikan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penduduknya untuk mendapatkan pekerjaan atau mata pencaharian di daerah yang

I. PENDAHULUAN. penduduknya untuk mendapatkan pekerjaan atau mata pencaharian di daerah yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transmigrasi di Indonesia dikenal sebagai upaya untuk memindahkan penduduk dari daerah asal yang padat penduduknya ke daerah baru yang jarang penduduknya untuk

Lebih terperinci

3. Penutup Pertanyaan Diskusi

3. Penutup Pertanyaan Diskusi SOSIOLOGI PERTANIAN: Pemilikan Tanah dan Diferensiasi Masyarakat Desa Hiroyoshi Kano Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : dl@ub.ac.id Tujuan Pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 menetapkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa penggunaan tanah harus sesuai dengan

Lebih terperinci

Perda Kab. Belitung No. 8 Tahun

Perda Kab. Belitung No. 8 Tahun PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan kebijakan

Lebih terperinci

Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011

Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011 59 BAB VII HUBUNGAN PENGARUH TINGKAT PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI 7.1 Hubungan Pengaruh Luas Lahan Terhadap Tingkat Pendapatan Pertanian Penguasaan lahan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan gotong royong sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan gotong royong sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan gotong royong sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari keadaan lingkungan yang mulai tidak terjaga kebersihannya.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

BAB V IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA KELURAHAN DAN HAK ULAYAT ATAS TANAH EKS DESA

BAB V IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA KELURAHAN DAN HAK ULAYAT ATAS TANAH EKS DESA 78 BAB V IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA KELURAHAN DAN HAK ULAYAT ATAS TANAH EKS DESA A. Aspek Kelembagaan Sudah menjadi kelaziman bahwa perubahan struktur pemerintahan membawa pula perubahan-perubahan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Tanah diciptakan oleh Tuhan sebagai tempat makhluk-makhluk yang diciptakannya beraktifitas, termasuk manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, dimana sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Di Indonesia mayoritas penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad ke 20 bukan hanya menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia, akan tetapi dalam hal gerakan-gerakan anti penjajahan yang bermunculan di masa ini menarik perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang pemanfaatan tanah sangat penting. sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasal tersebut, seluruh

BAB I PENDAHULUAN. tentang pemanfaatan tanah sangat penting. sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasal tersebut, seluruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang berperan penting bagi kehidupan manusia baik sebagai tempat melakukan segala aktivitas dipermukaan bumi. Tanah adalah ciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono*

SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono* SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono* ABSTRAK Pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan. Kaum buruh merupakan klas baru dalam tatanan sosial dengan semangat

BAB V PENUTUP Kesimpulan. Kaum buruh merupakan klas baru dalam tatanan sosial dengan semangat BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kaum buruh merupakan klas baru dalam tatanan sosial dengan semangat kapitalisme di era globalisasi saat ini. Keterpurukan klas buruh di dunia dari awal membawa semangat pembebasan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan, yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan serta adat istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sejarah lahan tanah jaluran di Sumatera Timur bermula dari kedatangan onderneming swasta yang dimulai oleh J. Nienhuys yang mampu menghasilkan 50 bal tembakau dan

Lebih terperinci

BAB I PNDAHULUAN. Jepang dalam Perang Raya Asia Timur tahun Namun, ditengah tengah

BAB I PNDAHULUAN. Jepang dalam Perang Raya Asia Timur tahun Namun, ditengah tengah 1 BAB I PNDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kemerdekaan Indonesia diperoleh dengan perjuangan yang tidak mudah. Perjuangan tersebut lebih dikenal dengan sebutan revolusi nasional Indonesia. Revolusi nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa, Pemerintah Desa merupakan bagian dari pemerintahan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang - Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu juga Indonesia merupakan negara agraris

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang relevan sebelumnya Salah satu Penelitian yang relevan sebelumnya mengkaji tentang Upaya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam menyelesaikan masalah tanah, dapat

Lebih terperinci

BAB IV PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

BAB IV PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT 50 BAB IV PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT A. Dampak Bidang Sosial Adanya pabrik teh hitam Kaligua telah membawa dampak pada mata pencaharian masyarakat Pandansari dan sekitarnya, baik dampak langsung

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN. Di antara kemajemukan ekonomi serta suku (yang dimunculkan dalam

KESIMPULAN DAN SARAN. Di antara kemajemukan ekonomi serta suku (yang dimunculkan dalam KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Di antara kemajemukan ekonomi serta suku (yang dimunculkan dalam adat istiadat pergaulan dan pola pemukiman berkelompok), ternyata didapati adanya solidaritas yang muncul

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN UMUM Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura memiliki pergaulan hidup yang unik jika dibandingkan dengan masyarakat Papua lainnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini persoalan buruh anak makin banyak diperhatikan berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena buruh

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, Pemerintahan Orde Baru menggalakkan program transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi, Kalimantan,

Lebih terperinci

FORMAT KASUS - KOMPREHENSIF

FORMAT KASUS - KOMPREHENSIF NO. REC. KASUS: 16 KASUS: SENGKETA TANAH PERHUTANI DESA NGEREANAK, KECAMATAN SINGOROJO, KABUPATEN KENDAL. DESKRIPSI: Sejarah Penguasaan Tanah Sebelum masuknya Belanda ke Indonesia Sejarah terbentuknya

Lebih terperinci

Bab V PENUTUP. persepsi Tabua Ma Tnek Mese, boleh dikatakan sebagai sebuah fenomena sosial yang

Bab V PENUTUP. persepsi Tabua Ma Tnek Mese, boleh dikatakan sebagai sebuah fenomena sosial yang Bab V PENUTUP 1. Kesimpulan. Berdasarkan data penelitian yang berorientasi pada kajian identitas sosial, maka persepsi Tabua Ma Tnek Mese, boleh dikatakan sebagai sebuah fenomena sosial yang muncul dan

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U AN

BAB I P E N D A H U L U AN BAB I P E N D A H U L U AN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian di daerah perkotaan semakin meningkat dan dirasakan kurang, mengingat jumlah perumahan yang tersedia tidak

Lebih terperinci

STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari

STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari Stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat. Pitirim Sorokin Sistem stratifikasi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung ditulis sebagai fenomena yang tidak penting dengan alasan

BAB I PENDAHULUAN. cenderung ditulis sebagai fenomena yang tidak penting dengan alasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penulisan sejarah Indonesia, gerakan-gerakan sosial cenderung ditulis sebagai fenomena yang tidak penting dengan alasan bahwa sejarawan konvensial lebih

Lebih terperinci

PERPU 56/1960, PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERPU 56/1960, PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERPU 56/1960, PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:56 TAHUN 1960 (56/1960) Tanggal:29 DESEMBER 1960 (JAKARTA) Tentang:PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN [ Dengan UU No 1 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinilai memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Tanah dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. dinilai memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Tanah dalam hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah memiliki kedudukan yang penting dalam masyarakat sebab tanah dinilai memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Tanah dalam hal ini tidak hanya

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Struktur Agraria Istilah agraria berdasarkan penelusuran etmologis Kamus Bahasa Latin- Indonesia dan World Book Dictionary dalam Sitorus (2002) berasal

Lebih terperinci

PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI JAWA BARAT*

PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI JAWA BARAT* PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI JAWA BARAT* Oleh : Riyadi A. Somantri DISTRIBUSI PEMILIKAN LAHAN Tanah merupakan faktor produksi terpenting bagi petani di pedesaan. Di samping merupakan faktor produksi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan dijadikan topik penelitian. Dimana dalam tinjauan pustaka akan dicari teori atau konsep-konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk

BAB I PENDAHULAN. digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Tanah memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanah dapat digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk sandang, pangan dan

Lebih terperinci

SENGKETA TANAH PERKEBUNAN

SENGKETA TANAH PERKEBUNAN SENGKETA TANAH PERKEBUNAN Masa: Hindia Belanda Jepang Indonesia merdeka Sumber dari buku karangan Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH.(2013).Politik Hukum Agraria, Bab IV. Jakarta: Konstitusi Press. Masa Hindia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur Agraria: Dinamika Struktur Agraria Dulu dan Sekarang Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang luas serta kekayaan alam yang melimpah merupakan bagian dari negara Indonesia. Baik tanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup. Upaya pemenuhan kebutuhan ini, pada dasarnya tak pernah berakhir, karena sifat kebutuhan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn SEJARAH HUKUM TANAH DI INDONESIA A. SEBELUM BERLAKUNYA HUKUM TANAH NASIONAL Pengaturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kepemilikan dan penguasaan lahan. Sumaryanto dan Rusastra (2000) menyatakan bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 10.1. Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemandirian Pangan dan Ironi Negara Agraris

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemandirian Pangan dan Ironi Negara Agraris BAB II KAJIAN TEORI A. Kemandirian Pangan dan Ironi Negara Agraris Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama sebagaimana telah tertuang

Lebih terperinci

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan WAWASAN SOSIAL BUDAYA Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan Disusun Oleh : Nur Fazheera Al Gadri (D0217023) Hendra Lesmana (D0217515) Asmirah (D0217024) Abdillah Resky Amiruddin (D0217514) FAKULTAS TEKNIK PRODI

Lebih terperinci

Unsur - unsur potensi Fisik desa. Keterkaitan Perkembangan Desa & Kota

Unsur - unsur potensi Fisik desa. Keterkaitan Perkembangan Desa & Kota Geografi Pengertian Desa Kota Potensi Desa Kota Unsur - unsur potensi Fisik desa Keterkaitan Perkembangan Desa & Kota Sekian... Pengertian Desa... Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah BAB II TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sistem Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah (Bab 2.1) Sistem Kepemilikan Tanah (Bab 2.2), Hukum Pertanahan Adat (Bab 2.3), dan Kedudukan Hukum Adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu berupa kekayaan alam maupun kekayaan budaya serta keunikan yang dimiliki penduduknya. Tak heran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem kekuasaan yang diterapkan di Indonesia sebelum adanya pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem kekuasaan yang diterapkan di Indonesia sebelum adanya pengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekuasaan yang diterapkan di Indonesia sebelum adanya pengaruh dari budaya luar masih terikat dengan adat istiadat yang berlaku yang dipimpin oleh ketua

Lebih terperinci

SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR

SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR (Kasus Satu Desa ) Oleh MARYUNAIII NRP: 82087 FAKULTAS PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis. BAB I PENDAHULUAN Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks 9 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau

Lebih terperinci

BAB III PRAKTEK PELAKSANAAN GADAI TANAH DAN PEMANFAATAN TANAH GADAI DALAM MASYARAKAT KRIKILAN KECAMATAN SUMBER KABUPATEN REMBANG

BAB III PRAKTEK PELAKSANAAN GADAI TANAH DAN PEMANFAATAN TANAH GADAI DALAM MASYARAKAT KRIKILAN KECAMATAN SUMBER KABUPATEN REMBANG BAB III PRAKTEK PELAKSANAAN GADAI TANAH DAN PEMANFAATAN TANAH GADAI DALAM MASYARAKAT KRIKILAN KECAMATAN SUMBER KABUPATEN REMBANG A. Profil Desa Krikilan 1. Kondisi Geografis Desa Krikilan di bawah pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera yang mengalami eksploitasi besar-besaran oleh pihak swasta terutama

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera yang mengalami eksploitasi besar-besaran oleh pihak swasta terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kolonial Sumatera Timur merupakan wilayah di Pulau Sumatera yang mengalami eksploitasi besar-besaran oleh pihak swasta terutama dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini akan menguraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Pada latar belakang dipaparkan secara singkat mengenai

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan amanat Undang-Undang

Lebih terperinci

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT.

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. KAJIAN (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. 2009/10 1 FOKUS Mempelajari hubungan antara manusia yang mengatur penguasaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Menurut Wiradi (2008) dalam tulisannya tentang Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, istilah land tenure dan land tenancy sebenarnya merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari Tuhan Yang Maha Esa. Ketersediaan tanah sebagai sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. dari Tuhan Yang Maha Esa. Ketersediaan tanah sebagai sebagai sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap orang maupun badan hukum membutuhkan tanah. Karena tidak ada satupun aktivitas orang badan hukum dalam kegiatan pembangunan yang tidak membutuhkan

Lebih terperinci