KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH BAMBU GOMBONG DAN MAYAN SATRIA PRAWIRA DIRGA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH BAMBU GOMBONG DAN MAYAN SATRIA PRAWIRA DIRGA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012"

Transkripsi

1 i KRKTERISTIK BILH DN BULUH BMBU GOMBONG DN MYN STRI PRWIR DIRG DEPRTEMEN HSIL HUTN FKULTS KEHUTNN INSTITUT PERTNIN BOGOR 2012 i

2 iii E / THH BSTRCT Characteristics of Bamboo Strip and Bamboo Culm on Gombong and Mayan Bamboo 1) Satria Prawira Dirga, 2) Naresworo Nugroho, 2) Effendi Tri Bahtiar INTRODUCTIONS. The availability of wood raw material for construction materials is currently experiencing shortages that resulting in a lack of supply to meet the development needs in the future. One of natural resources that is promising as a wood substitute material is bamboo. This is because bamboo has the advantages of a fast growing plant and a relatively short cycle (3-4 years). In its use in society, bamboo as a construction material is widely used in the form of whole round (reed). The purpose of this study are: 1) Identify the anatomical properties providing the types of vascular bonding and vascular vast proportions, 2) To compare the physical and mechanical properties on the nodes and segments (internodes), 3) To compare the result of mechanical properties of bamboo strips of Gombong bamboo (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) and Mayan bamboo (Gigantochloa robusta Kurz.) with bamboo culms, and 4) To know the relationship between the anatomical properties as an estimation of the mechanical strength of bamboo. MTERILS ND METHOD. Bamboo species that used in the experimen were gombong bamboo and mayan bamboo those bamboo has been aged 3-4 years, and were cut from bamboo plantations at Dramaga IPB. Preparation the mechanical properties of bamboo strips test specimen refered to the standard STM D While the mechanical properties of bamoo culm test specimen was based on ISO : 2004 that has been modified. RESULTS ND DISCUSSION. The types of vessels in the Gombong bamboo had III and IV bond types. Vascular distribution of the bond density of the Gombong bamboo and Mayan bamboo in the horizontal direction tended to decrease from the edge to the inside, whereas in the vertical direction had a tendency to increase from the base to the top. Physical and mechanical properties of Gombong bamboo and Mayan bamboo on the segment (internode) were better than the physical and mechanical properties of Gombong bamboo and Mayan bamboo in the node. natomical properties contributing to the stability and strength was a good indicator in estimating the strength of bamboo. Recommendation for further research is necessary to the appearance of microscopic observation and chemical properties of Gombong bamboo and Mayan bamboo on the nodes and segments bamboo in order to complement the results of this study. Similar research on different species of bamboo is needed in order to know the potential diversification of wood to bamboo viewed from physical and mechanical properties. Keywords: Bamboo, Gigantochloa verticillata,gigantochloa robusta, Mechanical Property. 1). Student of Forest Product Departement, Faculty of Forestry IPB; 2). Lecturer of Forest Product Departement, Faculty of Forestry IPB

3 iv RINGKSN Satria Prawira Dirga. E Karakteristik Bilah dan Buluh Bambu Gombong dan Mayan. Dibimbing Oleh Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si. Ketersediaan bahan baku kayu untuk bahan konstruksi saat ini mengalami kelangkaan yang mengakibatkan kurangnya pasokan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa yang akan datang. Salah satu sumberdaya alam yang cukup menjanjikan sebagai bahan substitusi kayu adalah bambu. Karena bambu memiliki keunggulan sebagai tanaman cepat tumbuh dan mempunyai daur yang relatif pendek (3-4 tahun). Dalam pemakaiannya di masyarakat, bambu sebagai bahan konstruksi banyak dipakai dalam bentuk bulat utuh (buluh). Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan suatu informasi mengenai sifat fisis dan mekanis bambu agar dapat digunakan di lapangan. Dengan demikian diperlukan suatu terobosan yang dapat membantu menetapkan suatu penggunaan bambu secara tepat melalui identifikasi sifat-sifat dasar buluh bambu dalam penggunaan tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.Indentifikasi sifat anatomi berupa tipe ikatan veskuler dan proporsi luas vaskuler bagian tepi, inti, dan dalam dan pangkal, tengah dan ujung pada buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan, 2.Membandingkan sifat fisis dan mekanis buku dan ruas bambu gombong dan bambu mayan, 3.Membandingkan sifat mekanis bilah bambu gombong dan mayan dengan buluh utuhnya, 4.Mengetahui hubungan antara sifat anatomi sebagai pendugaan kekuatan mekanis suatu bambu. Bambu diujikan sifat anatominya berupa tipe ikatan vaskuler dan proporsi luas vaskuler, membandingkan sifat fisis dan mekanis pada bagian buku (node) dan ruas (internode), dan membandingkan nilai hasil pengujian sifat mekanis dengan buluh utuhnya dari bambu gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.). Informasi sifat fisis dan mekanis bambu apabila digunakan di lapangan dapat dilakukan melalui pengujian yang mengacu pada standar yang ada yaitu STM D untuk bilah bambu dan ISO :2004 untuk pengujian buluh utuh (full scale) sehingga bisa

4 v memberikan informasi pada masyarakat dalam pembangunan konstruksi dari bambu. Tipe ikatan pembuluh pada bambu gombong memiliki tipe ikatan III dan IV. Distribusi kerapatan ikatan vaskuler bambu gombong dan bambu mayan pada arah horizontal cenderung mengalami penurunan dari tepi ke bagian dalam, sedangkan pada arah vertikal batang cenderung mngalami peningkatan dari pangkal ke bagian ujung. Sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian ruas (internode) cenderung lebih baik dibandingkan sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku (node). Sifat anatomi memberikan kontribusi dalam stabilitas kekuatan dan merupakan indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan bambu. Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengamatan penampakan mikroskopis dan sifat kimia bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku dan ruas bambu agar melengkapi hasil penelitian ini. Perlu dilakukan penelitian serupa terhadap jenis bambu yang berbeda agar diketahui potensi diversivikasi kayu ke bambu dilihat dari sifat fisis dan mekanisnya. Kata Kunci : Bambu, bambu gombong, bambu mayan, sifat fisis bambu, sifat mekanis bambu.

5 vi PERNYTN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi KRKTERISTIK BILH DN BULUH BMBU GOMBONG DN MYN adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2012 Satria Prawira Dirga NIM E

6 ii KRKTERISTIK BILH DN BULUH BMBU GOMBONG DN MYN STRI PRWIR DIRG Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPRTEMEN HSIL HUTN FKULTS KEHUTNN INSTITUT PERTNIN BOGOR 2012

7 vii LEMBR PENGESHN Judul Skripsi : Karakteristik Bilah dan Buluh Bambu Gombong dan Mayan Nama Mahasiswa : Satria Prawira Dirga NIM : E Program Studi : Teknologi Hasil Hutan Menyetujui, Komisi Pembimbing, Ketua, nggota, Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP: Tanggal Lulus :

8 viii KT PENGNTR Syukur lhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat llah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dengan judul KRKTERISTIK BILH DN BULUH BMBU GOMBONG DN MYN bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai. Melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan efektifitas pemakaian bahan baku bambu sebagai substitusi bahan kayu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kayu. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berguna bagi pemanfaatan bambu. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu dikembangkan lagi bagi kesempurnaan penelitian selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya. Bogor, Mei 2012 Penulis

9 ix RIWYT HIDUP Penulis dilahirkan di Lubuk Linggau pada tanggal 30 November 1989 dari pasangan yahanda Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Sc dan Ibunda Ir. nneke nggraeni, M.Si, Ph.D. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal di SDN Polisi I pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001, kemudian melanjutkan di SMP-IT Nurul Fikri nyer dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke SM Bina Bangsa Sejahtera Bogor. Penulis kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama perkuliahan, selain mengikuti kegiatan akademis, penulis juga berpartisipasi dalam organisasi kemahasiswaan yaitu menjadi anggota organisasi himpunan profesi mahasiswa (Himpro) DHH yang bernama Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMSILTN) tahun sebagai anggota. Pada tahun 2008 penulis mengikuti kepanitiaan Bina Corps Rimbawan (BCR) dan menjadi ketua Divisi PDD salah satu acara HIMSILTN (KOMPK). Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) jalur Gunung Burangrang-Cikeong Jawa Barat dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di hutan pendidikan Gunung Walat Jawa Barat. Selanjutnya, penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Barito Pacific, Kalimantan Selatan selama dua bulan dari bulan Juli hingga bulan gustus Penulis melakukan penelitian dengan judul KRKTERISTIK BILH DN BULUH BMBU GOMBONG DN BMBU MYN dengan bimbingan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S dan Efendi Tri Bachtiar, S.Hut, M.Si.

10 x UCPN TERIM KSIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat llah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S dan Effendi Tri Bachtiar, S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan banyak ilmu serta wawasan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Ir. hmad Hadjib, M.S selaku dosen penguji. 3. Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, M.S selaku dosen moderator. 4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB. 5. Orang tua tercinta, Bapak Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Sc dan Ibu Ir. nneke nggraeni, M.Si, Ph.D atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 6. Kakak penulis, nggi Mayang Sari, S.Si atas semangat dan dukungan serta doa yang telah diberikan kepada penulis. 7. Hayya Maharatih Tegarini atas doa, bantuan, kasih sayang, semangat dan dukungan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini. 8. Teman-teman THH angkatan 44 terutama kepada Syamsi, Djayus, Harisfan, Ridho, Renato, Punto, Mardiyanto, Fetri, Dina dan Esi serta seluruh mahasiswa FHUTN angkatan 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan, semangat dan kerjasamanya selama menempuh kuliah di Fakultas Kehutanan IPB. 9. Teman-teman satu bimbingan: zhar nas dan Ria Leliana. Terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian. 10. Semua pihak yang telah membantu kelancaran studi penulis baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini. Bogor, Mei 2012 Penulis

11 xi DFTR ISI DFTR ISI... xi DFTR TBEL... xiii DFTR GMBR... xv DFTR LMPIRN... xvii BB I PENDHULUN1 1.1 Latar Belakang Tujuan Manfaat Penelitian... 3 BB II TINJUN PUSTK Bambu Potensi Bambu Sifat-sifat Bambu Sifat natomis Bambu Sifat Fisis Sifat Mekanis Bambu Gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) Bambu Mayan ( Gigantochloa robusta Kurz.) BB III METODOLOGI Waktu dan Tempat lat dan Bahan Metode Penelitian Persiapan Bambu Pembuatan Contoh Uji Pengujian Contoh Uji nalisis Data BB IV PEMBHSN Sifat natomi... 28

12 xii Bentuk Batang Bambu Tipe Ikatan Vaskuler Distribusi Ikatan Vaskuler Sifat Fisis Kadar ir Berat Jenis dan Kerapatan Sifat Mekanis Modulus of Elasticity (MOE) Modulus of Rupture (MOR) Kekuatan Tarik Kekuatan Tekan Sejajar Serat Kekuatan Geser Sejajar Serat BB V KESIMPULN DN SRN Kesimpulan Saran DFTR PUSTK LMPIRN... 63

13 xiii DFTR TBEL No Hal 1. Sifat fisis dan mekanis pada lima jenis bambu Skema pembagian batang bambu Pengukuran dimensi buluh dan taper Tipe ikatan vaskuler pada Bambu Gombong dan Bambu Mayan Pengujian kadar air kering udara pada jenis Bambu Gombong dan Mayan Tabel pengujian berat jenis (BJ) Nilai pengujian kerapatan Pengujian statistik K, BJ dan kerapatan Hubungan korelasi antara faktor K, BJ dan kerapatan Hasil analisa statistik pengujian penyusutan dimensi bambu pada bilah Uji korelasi K, BJ dan penyusutan dimensi Nilai MOE (kgf/cm 2 ) rata-rata pada jenis Bambu Gombong dan Mayan Nilai MOR (kgf/cm 2 ) pada Bambu Gombong dan Mayan Uji statistik terhadap pengujian MOE dan MOR pada bilah Korelasi antara nilai K, BJ, MOE dan MOR pada bilah Hasil pengujian statistik nilai MOE dan MOR pada buluh Korelasi antara nilai MOE, MOR, K, dan BJ pada buluh Nilai keteguhan tarik sejajar serat (kgf/cm 2 ) pada Bambu Gombong dan Mayan Hasil analisa statistik pada pengujian tarik sejajar serat Hubungan korelasi antara K, BJ, dan tarik sejajar serat Nilai keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm 2 ) pada jenis Bambu Gombong dan Mayan Hasil analisa statistik pada pengujian tekan sejajar serat bilah... 54

14 xiv 23. Hasil analisa korelasi antara K, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat pada bilah Hasil analisa statistik keteguhan tekan sejajar serat buluh Hasil uji korelasi antara K, BJ, dan tekan sejajar serat buluh Nilai keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm 2 ) Hasil analisa statistik pengujian keteguhan geser sejajar serat Hasil analisa korelasi antara K, BJ dan keteguhan geser sejajar serat... 58

15 xv DFTR GMBR No Hal 1. Potensi tanaman bambu di Indonesia Tipe ikatan vaskuler pada bambu Bagan pembagian batang bambu Contoh pengukuran diameter bambu pada setiap (a) ruas dan (b) buku Spesimen sifat anatomi Spesimen K, BJ, kerapatan dan penyusutan dimensi Spesimen pengujian pengembangan dimensi Pengambilan bilah contoh uji MOE dan MOR Contoh uji MOE dan MOR bilah Pengujian MOE dan MOR full scale Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah Contoh pengujian tekan sejajar pada buluh (a) ruas dan (b) buku Contoh uji tarik sejajar serat (a) tampak atas (b) tampak samping Contoh uji geser Bentuk batang bambu Gombong bagian (a) pangkal (b) tengah dan (c) ujung Bentuk batang Bambu Mayan (a) pangkal (b) tengah dan (c) ujung a) Ikatan Pembuluh Tipe IV pada bagian pangkal ruas tengah b) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian tengah ruas tengah c) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian ujung buku tengah a) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian pangkal ruas dalam b) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian tengah buku tengah c) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian ujung ruas tengah (a) Jumlah vaskuler/mm 2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah horizontal... 32

16 xvi 20. Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b) buku pangkal Bambu Gombong Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b) buku pangkal Bambu Mayan (a) Jumlah vaskuler/mm 2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah vertikal Diagram kadar air (%) pada bilah bambu Diagram pengujian berat jenis pada ketiga bagian posisi vertikal Diagram hasil pengukuran pengujian kerapatan (g/cm 3 ) Nilai (a) penyusutan dan (b) pengembangan dimensi pada Bambu Gombong dan Mayan Posisi nilai MOE pada bagian pangkal, tengah dan ujung Diagram elastisitas bilah dan buluh utuh bambu Diagram nilai MOR pada bagian pangkal, tengah dan ujung Diagram keteguhan tarik sejajar serat Contoh uji tarik sejajar serat Contoh kerusakan pada pengujian tarik sejajar serat Keteguhan tekan sejajar serat Diagram kekuatan geser sejajar serat... 56

17 xvii DFTR LMPIRN No Hal 1. Data bentuk buluh bambu Tipe ikatan vaskuler pada masing-masing bagian Pengujian sifat anatomi bambu Data pengujian kadar air (K) kering udara Data pengujian berat jenis (BJ) Data pengujian kerapatan (g/cm 3 ) Output analisa statistik pengujian kadar air (K) dan berat jenis (BJ) Output analisa statistik pengujian susut dimensi nalisa korelasi pengujian penyusutan volume dengan faktor K dan BJ Data pengujian MOE (kgf/cm 2 ) pada bilah Data pengujian MOR (kgf/cm 2 ) pada bilah Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah nalisa korelasi pengujian MOE dan MOE dengan faktor K dan BJ Data pengujian MOE (kgf/cm 2 ) pada buluh Data pengujian MOR (kgf/cm 2 ) pada buluh Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh nalisa korelasi pengujian MOE dan MOR buluh dengan faktor K dan BJ Data pengujian tarik sejajar serat (kgf/cm 2 ) pada bilah Gambar contoh uji tarik terserang oleh kumbang bubuk nobium sp Output analisa statistik pengujian tarik sejajar serat nalisa korelasi pengujian tarik sejajar serat dengan faktor K dan BJ Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm 2 ) pada bilah Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar serat... 91

18 xviii 24. nalisa korelasi pengujian tekan pada bilah dengan faktor K dan BJ Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm 2 ) pada buluh nalisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar pada buluh nalisa korelasi pengujian keteguhan tekan buluh dengan faktor K dan BJ Data pengujian geser sejajar serat (kgf/cm 2 ) pada buluh nalisa statistik pengujian keteguhan geser sejajar serat nalisa korelasi pengujian keteguhan geser sejajar serat dengan faktor K dan BJ... 98

19 1 BB I PENDHULUN 1.1 Latar Belakang Saat ini kayu merupakan salah satu bahan baku utama konstruksi. Kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan serta bahan baku industri pada saat ini cenderung semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, sedangkan pasokan kayu dari hutan alam tidak dapat mencukupi kebutuhan tersebut karena eksploitasi hutan yang berlebihan, konversi lahan dan kebakaran hutan. Pemakaian bahan baku kayu yang berlebihan berdampak terhadap persediaan jumlah bahan baku berupa kayu untuk industri yang dipasok oleh hutan alam selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun dan menyebabkan jumlah kayu mencapai tingkat kelangkaan. Kelangkaan dan ketergantungan terhadap kayu yang dipasok oleh hutan alam juga berdampak terhadap ketersediaan kayu untuk bahan konstruksi, yang mengakibatkan kurangnya pasokan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah material khusus sebagai bahan subtitusi kayu. Salah satu sumberdaya alam yang cukup menjanjikan sebagai bahan substitusi kayu adalah bambu, yang memiliki keunggulan sebagai tanaman cepat tumbuh dan mempunyai daur yang relatif pendek (3-4 tahun). Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) bambu merupakan salah satu jenis rumput-rumputan yang termasuk famili Graminae yang berpotensi sebagai bahan baku pengganti kayu untuk bahan bangunan dan mebel. Bambu terbagi atas dua bagian yaitu bagian buku (node) dan ruas (internode). Pada bagian buku diisi oleh diafragma yang membatasi rongga bambu, diafragma ini menyusun bagian buku. Pada penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa kekuatan tertinggi terdapat pada bagian ruas (internode) (Yap 1967). Dalam pemanfaatanya bambu dikenal sebagai bahan yang hanya digunakan untuk peralatan sederhana, kerajinan, peralatan rumah-tangga, dan adapun penggunaan konstruksi outdoor seperti jembatan. Bambu sebagai bahan konstruksi banyak dipakai dalam bentuk bulat utuh (buluh). Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan suatu informasi mengenai sifat fisis dan mekanis 1

20 2 bambu agar dapat digunakan di lapangan, dengan demikian diperlukan suatu terobosan yang dapat membantu menetapkan suatu penggunaan bambu secara tepat melalui identifikasi sifat-sifat dasar buluh bambu dalam penggunaan tertentu. Informasi sifat fisis dan mekanis bambu apabila digunakan di lapangan dapat dilakukan melalui pengujian yang mengacu pada standar yang ada yaitu STM D untuk bilah bambu dan ISO :2004 untuk pengujian buluh utuh (full scale) sehingga bisa memberikan informasi pada masyarakat dalam pembangunan konstruksi dari bambu. Penelitian mengenai sifat-sifat dasar bambu telah banyak dilakukan. Namun sebagian besar menggunakan contoh uji berupa bilah. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan konversi sifat-sifat bilah menjadi sifat bambu utuh, terkait dengan bentuk yang khas yaitu seperti pipa yang disusun secara periodik. Dalam penelitian yang dilakukan digunakan dua jenis bambu yaitu bambu gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz) yang biasa digunakan sebagai bahan konstruksi oleh masyarakat Indonesia. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah a. Indentifikasi sifat anatomi berupa tipe ikatan vaskuler dan proporsi luas vaskuler bagian tepi, inti, dan dalam serta pangkal, tengah dan ujung pada buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan. b. Membandingkan sifat fisis dan mekanis buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan. c. Membandingkan sifat mekanis bilah bambu gombong dan mayan dengan buluh utuhnya. d. Mengetahui hubungan antara sifat anatomi sebagai pendugaan kekuatan mekanis bambu.

21 3 1.3 Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai perbedaan sifat-sifat dasar (anatomi, fisis dan mekanis) pada bagian buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan. Penelitian ini juga sangat penting untuk aplikasi engeneering karena dapat digunakan untuk menentukan faktor koreksi dari sifat mekanis bilah ke buluh utuhnya.

22 4 BB II TINJUN PUSTK Bambu Bambu merupakan tumbuhan yang termasuk ke dalam famili Graminaeae sub-famili Bambusoideae, dari suku Bambuceae. Bambu merupakan rumputrumputan berkayu yang tumbuh sangat cepat dibandingkan pohon. Bambu adalah tumbuhan yang batang-batangnya berbentuk buluh, beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang, berimpang dan mempunyai daur buluh yang menonjol (Dransfield dan Widjaja 1995). Selanjutnya, diameter batang bambu tergantung dari spesiesnya dan lingkungan tempat tumbuh, dengan nilai bervariasi antara 0,5 20 cm. Besar diameter batang dewasa dapat diketahui dari besar diameter rebung bambu yang masih muda. Bambu dibagi menjadi bagian-bagian kecil oleh jaringan lateral, yaitu bagian buku (node) dan ruas (internode). Batang bambu terdiri atas sel parenkim, serabut dan pembuluh (Liese 1980). Tanaman bambu di Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 3000 m dpl terutama di Jawa, Bali, Sulawesi Selatan dan Sumatra (Reilingh 1921, Heyne 1950 dalam Sulthoni 1994). Menurut Widjaja (2001), jumlah bambu di Indonesia terdiri atas 143 jenis, dengan 60 jenis diperkirakan tumbuh di Jawa. Pertumbuhan bambu di hutan alam mencapai 400 kg/ha/tahun, bahkan di hutan hujan dapat mencapai 4-5 kalinya apabila dilakukan manajemen pengelolaan yang baik (pengelolaan tanah, pemupukan, dan penjarangan) serta terlindung dari penggembalaan (dkoli 1994). Namun, data resmi adanya hutan bambu di Indonesia hampir tidak ada, kecuali di dua lokasi di Jawa Timur seluas ± ha dan di Sulawesi Selatan seluas ± ha (Widjaja 1980). Selama ini, manfaat terhadap penggunaan bambu telah lama digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti kontainer, sumpit, tikar tenunan, pancing, kerajinan tangan, dan mebel. Selain itu bambu juga telah banyak digunakan dalam aplikasi bangunan, seperti lantai, langit-langit, dinding, jendela, pintu, pagar, atap perumahan, gulungan, kasau dan purlin, bahkan digunakan dalam konstruksi sebagai bahan struktural untuk jembatan, fasilitas transportasi air dan langit-langit

23 5 (Li 2004). Pada umur 1-2 tahun batang bambu cocok dipanen untuk tujuan produksi pulp dan barang kerajinan tangan. Umur 3 tahun, batang bambu umumnya cocok dipanen sebagai bahan bangunan, furniture dan industri lainnya. Menurut Martawijaya (1977) dalam Nandika et al. (1994) 80% bambu di Indonesia digunakan untuk konstruksi (termasuk mebel), 10% untuk bahan pembungkus, 5% untuk bahan baku kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Janssen (1981) menyatakan bambu mempunyai sifat ramah lingkungan (tidak terlalu banyak menghabiskan energi) sama seperti kayu, energi regangannya seefisien baja dan ketahanannya terhadap lendutan serta lengkungan sebagus kayu terutama saat gempa, mempunyai sifat mekanis lebih baik dibanding dengan bata, beton, kayu, bahkan baja. Bambu diperoleh dari tegakan alam dari hasil kegiatan budidaya yang dilakukan oleh manusia melalui perbanyakan dengan berbagai metode, baik secara generatif melalui biji dan perbanyakan bambu, maupun secara vegetatif melalui pemotongan rimpang akar, stek batang, stek cabang, stump batang dalam rumpun bambu, dan kultur jaringan. Pemanenan bambu bergantung pada umur, musim, dan bagian yang digunakan (batang atau rebung). Sulthoni (1987) dalam Dransfield dan Widjaja (1995) mengatakan pemanenan bambu untuk produksi batang dilakukan selama musim kemarau atau pada awal musim kemarau untuk mencegah bambu terserang penggerek. Selama musim kemarau, kandungan pati juga sangat rendah. Menurut Mc Clure (1953), sifat-sifat yang menentukan kegunaan bambu adalah rata-rata dimensi batang, keruncingan batang, kelurusan batang, ukuran dan distribusi cabang, panjang ruas batang, bentuk dan proporsi ruas, proporsi relatif jaringan yang ada, kerapatan dan kekuatan kayu, serta kemudahan diserang jamur dan serangga Potensi Bambu Hasil penelitian Darmono (1963) dalam Sulthoni (1994) melaporkan bahwa rata-rata produksi bambu apus di Jawa Timur adalah 7,5 ton/ha/tahun. Hasil studi tim Fakultas Kehutanan UGM yang dilaporkan Sulthoni (1994) menunjukkan taksiran potensi bambu di D.I. Yogyakarta batang/tahun,

24 6 Jawa Barat batang/tahun, Jawa Tengah batang/tahun, dan Jawa Timur batang/tahun. Hasil Sensus Pertanian 2003 dalam BPS (2004) menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar 4,73 juta rumah tangga yang mengusai tanaman bambu dengan populasi yang dikuasai mencapai 37,93 juta rumpun atau rata-rata penguasaan per rumah tangganya sebesar 8,03 rumpun. Dari total sebanyak 37,93 juta rumpun tanaman bambu, sekitar 27,88 juta rumpun atau 73,52 persen diantaranya adalah merupakan tanaman bambu yang siap tebang. pabila diamati lebih lanjut pada Gambar 1, seperti halnya tanaman akasia, tanaman bambu lebih banyak ditanam di Jawa yaitu mencapai 29,14 juta rumpun atau sekitar 76,83% dari total populasi bambu Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 8,79 juta rumpun (23,17%) berada di luar Jawa. Tanaman bambu di Jawa terkonsentrasi di tiga propinsi berturut-turut adalah di Jawa Barat (28,09%), Jawa Tengah (21,59%), dan Jawa Timur (19,38%), sementara di luar Jawa di Propinsi Sulawesi Selatan (3,69%) (BPS 2004). 4% 27% 19% 28% 22% Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan Lainnya Sumber: BPS 2004 Gambar 1 Potensi tanaman bambu di Indonesia. 2.2 Sifat-sifat Bambu Sifat natomis Bambu Batang bambu tersusun atas sel-sel parenkim yang membentuk jaringan dasar dan ikatan vaskular (vascular bundle) yang mengandung pembuluh (vessel), pembuluh tapis (sieve tubes) dan serat/sklerenkim (fibre). Batang bambu terdiri dari 50% parenkim, 40% serat/sklerenkim dan 10% sel-sel penghubung

25 7 (pembuluh dan pembuluh tapis). Parenkim dan sel-sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam batang bambu, sedangkan pada bagian luar batang persentase serat/sklerenkim lebih tinggi (Liese 1980). Lebih lanjut, Liese (1980) menyatakan bahwa secara anatomis, bambu sulit dilalui cairan karena struktur dinding selnya berlapis-lapis serta hanya terdiri dari serat aksial pada bagian ruas. Bagian terluar batang bambu terbentuk dari lapisan tunggal sel epidermis, dan sedikit ke bagian dalamnya ditutupi oleh lapisan sel sklerenkim. Jaringan dasar pada bambu tersusun atas : a. Parenkim Jaringan dasar terdiri dari sel-sel parenkim yang pendek, umumnya memanjang secara vertikal (100 x 20 μm) berbentuk seperti kubus yang saling menyisip satu dengan lainnya. Sel-sel tipe ini memiliki dinding yang tebal serta mengalami lignifikasi pada tahap awal pertumbuhan rebungnya. Sel-sel yang berukuran lebih pendek dicirikan oleh sitoplasma tebal dan berdinding tipis, serta tidak menunjukkan terjadinya lignifikasi walau batang menjadi dewasa dan aktifitas sitoplasma tetap berlangsung sepanjang waktu. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan lainnya melalui noktah sederhana berukuran kecil yang terdapat pada dinding longitudinal (Liese 1980). b. Ikatan Vaskular Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), ikatan vaskular pada batang bambu terdiri dari xylem dengan 1 2 elemen protoxylem berukuran kecil dan 2 pembuluh metaxylem berukuran besar (diameter μm) dan floem yang berdinding tipis, pembuluh tapis tidak berlignin yang saling berhubungan untuk menggabungkan sel-sel. Jaringan floem dan pembuluh metaxylem dikelilingi oleh selubung sklerenkim. Pada bagian luar batang, ikatan vaskular berukuran kecil dalam jumlah banyak, sedangkan pada bagian dalam batang berukuran besar dalam jumlah sedikit. Jumlah ikatan vaskular berkurang dari bagian luar ke bagian dalam batang bambu, dan dari bawah ke ujung batang. Lebih lanjut Tamolang et al. (1980) menjelaskan dengan rinci bahwa ikatan vaskular beragam dalam formulasi (susunan), ukuran, jumlah, dan bentuk. Bentuk formulasi ikatan vaskular antara lain peripheral, transisional, central, dan inner. Peripheral memiliki ikatan vaskular berukuran kecil dalam jumlah banyak

26 8 yang tersusun secara tangensial, transisional membentuk ikatan yang tidak sempurna, central membentuk ikatan yang sempurna, sedangkan inner umumnya berukuran kecil, sederhana, dan sering tidak beraturan. Menurut Liese dan Groser (1973) dalam Setiadi (2009), pada umumnya jenis bambu mempunyai ikatan serabut (fibre bundle) yang terpisah pada sisi dalam atau sisi luar ikatan vaskular pusat. da empat tipe ikatan pembuluh (Gambar 2), yaitu: (a) (b) (c) (d) Sumber: Liese dan Groser (1973) dalam Setiadi (2009) Gambar 2 Tipe ikatan vaskuler pada bambu, (a) tipe I, (b) tipe II, (c) tipe III dan (d) tipe IV. 1) Tipe I, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat (central vascular strand) yang hanya didukung oleh jaringan selubung sklerenkim dan ruang interseluler.

27 9 2) Tipe II, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat yang hanya didukung oleh jaringan seperti selubung sklerenkim dan selubung ruang interseluler yang lebih besar dari ketiga tipe lainnya. 3) Tipe III, ikatan pembuluh terdiri atas dua bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan satu ikatan serabut. Ikatan serabut terletak di sebelah dalam ikatan vaskular pusat. Selubung ruang interseluler umumnya lebih kecil dari yang lain. 4) Tipe IV, ikatan pembuluh terdiri atas tiga bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan dua ikatan serabut yang terletak di sebelah dalam dan luar dari ikatan vaskular pusat. c. Serat Serat bambu dicirikan oleh sel-sel sklerenkim yang mengelilingi ikatan vaskular dan dipisahkan oleh parenkim. Panjang serat sangat beragam tergantung jenis bambu. Panjang serat bertambah dari bagian luar batang bambu dan mencapai maksimum pada bagian tengah batang, kemudian makin berkurang hingga ke bagian dalam batang. Serat terpendek ditemukan disekitar buku sedangkan serat terpanjang berada di bagian tengah ruas bambu (Dransfield dan Widjaja, 1995). Di lain pihak, Liese (1980) menyatakan bahwa serat lebih banyak ditemukan di sepertiga bagian luar, sedangkan parenkim dan sel-sel penghubung (conducting cells) lebih banyak ditemukan di sepertiga bagian dalam. Pada arah vertikal, jumlah serat meningkat dari bagian bawah ke atas, sebaliknya jumlah parenkim menurun Sifat Fisis Menurut Frick (2004), sifat fisis dan mekanis bambu tergantung pada jenis bambu, tempat tumbuh, umur bambu, waktu penebangan, kelembaban udara (kadar air kesetimbangan), dan bagian bambu yang diteliti (pangkal, tengah, atau ujung serta bagian dalam, atau bagian tepi/luar) Kadar ir Menurut Haygreen dan Bowyer (1996) kadar air adalah berat air yang dinyatakan sebagai persen berat kayu bebas air atau kering tanur (BKT). Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis bambu.

28 10 Kadar air dari bambu dewasa segar berkisar antara 50 99% dan pada bambu muda berkisar dari %, sedangkan kadar air bambu pada kondisi kering udara berkisar antara 12 8%. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan dengan musim kemarau (Dransfield dan Widjaja 1995). Perbedaan kadar air pada musim penghujan dan musim kemarau dapat mencapai 100%. Selama musim kemarau, bagian atas bambu mengandung hanya kira-kira 50% air (Yap 1967). Tamolang et al. (1980) menyatakan bambu muda mengalami penurunan kadar air lebih cepat daripada bambu dewasa selama proses pengeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya pecah atau belah pada batang Berat Jenis (BJ) Haygreen dan Bowyer (1996) mendefinisikan berat jenis sebagai perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat pada kadar air tertentu dan volume) dengan kerapatan air pada suhu 40ºC. Menurut Tamolang et al. (1980), BJ bambu cenderung naik ke arah ujung. Selanjutnya Liese (1980) menyatakan BJ bambu bervariasi dari 0,5 0,8, dengan bagian luar (bagian tepi dinding batang) dari batang mempunyai BJ lebih besar dari bagian dalamnya (bagian dalam dinding batang). Hasil pengukuran BJ bambu menunjukkan BJ bambu pada tiap ruas bertambah besar dengan bertambahnya ketinggian ruas batang, kemudian nilainya konstan (Subiyanto et al. 1994). Menurut Brown (1952) dalam Ganie (2008) pada dasarnya sifat-sifat fisik kayu ditentukan oleh faktor-faktor yang inheren pada struktur kayu. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi tiga, yaitu : a. Banyaknya zat dinding sel yang ada pada sepotong kayu. b. Susunan dan arah mikrofibril dalam sel-sel dan jaringan-jaringan. c. Susunan kimia zat dinding sel. Kerapatan adalah perbandingan massa atau berat benda terhadap volumenya. Berat kayu meliputi berat kayu sendiri, berat zat ekstraktif, berat air yang konstan, sedangkan jumlah airnya berubah-ubah.

29 Penyusutan Dimensi Penyusutan adalah penurunan dimensi akibat hilangnya sejumlah air pada tangan-tangan OH di bawah titik jenuh serat. Tidak seperti kayu, bambu langsung menyusut setelah dipanen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu (Liese 1985). Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20% menyebabkan penyusutan sebesar 4 14% pada tebal dinding dan 3 12% pada diameternya. Sebaliknya, pengembangan merupakan proses saat air memasuki struktur dinding sel (Haygreen dan Bowyer 1996). Menurut Prawiroatmodjo (1976) dalam Ganie (2008), perubahan dimensi bambu tidak sama dari ketiga arah stuktur radial, tangensial dan longitudinal sehingga bambu bersifat anisotropis. ngka pengerutan total untuk kayu atau bambu normal berkisar antara 4,5% - 14% dalam arah radial (tebal), 2,1% - 8,5% dalam arah tangensial (lebar) dan 0,1% - 0,2% dalam arah longitudinal (panjang). Perbedaan penyusutan antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah longitudinal kurang dari 0,5% (Dransfield dan Widjaja 1995) Sifat Mekanis Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan disebut sebagai sifat-sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban/gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang mengenainya. Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan berhubungan erat dengan berat jenis (Dransfield dan Widjaja 1995). Kekuatan maupun kekakuan kayu akan naik dengan semakin besarnya berat jenis (Haygreen dan Bowyer 1993). Umur bambu, kondisi bambu, kadar air, bentuk dan ukuran contoh uji, berbuku atau tidaknya, posisi dalam batang, dan lama pembebanan sangat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu (Janssen 1980 dalam Kurniawan 2002).

30 12 Lebih dalam, Janssen (1981) menyatakan kekuatan mekanis sangat bergantung pada lapisan sklerenkim yang merupakan jaringan berdinding tebal dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati. Hal ini sejalan dengan Liese (1980) yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya (dimana sklerenkim terdapat didalamnya) dan bukan pada parenkim. Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, kehadiran silika meningkatkan kekuatan. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu sebesar sekitar 0,5-4,0 %. Di samping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang meliputi keteguhan lentur, keteguhan tarik dan keteguhan tekan yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Syafi i (1984) seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat fisis dan mekanis pada lima jenis bambu Sifat yang diuji Jenis Bambu Betung Gombong Kuning Tali Sembilang 1. BJ 0,61 0,55 0,52 0,65 0,71 2. Susut volume (%) Basah Kering Udara 10,62 12,36 11,29 12,45 11,05 Kering Udara Kering Tanur 4,99 4,96 4,74 4,60 4,49 Susut tebal (%) Basah Kering Udara 6,02 7,94 4,31 5,83 3,04 Kering Udara Kering Tanur 4,30 5,75 5,47 5,32 7,03 Susut lebar (%) Basah Kering 4,81 6,58 3,19 6,30 2,48 Kering Udara Kering Tanur 4,83 5,96 4,19 3,60 7,57 3. MOR (kg/cm 2 ) *) MOE(kg/cm 2 ) *) Tekan sejajar serat(kg/cm 2 ) *) Tekan tegak lurus serat(kg/cm 2 ) Sumber: Syafi i (1984) 2.3 Bambu Gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), bambu andong atau bambu gombong memiliki sinonim antara lain Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja, Bambusa pseudoarundinaceae Steudel dan Gigantochloa

31 13 maxima Kurtz, dan memiliki nama daerah berupa Pring Sunda, wi ndong (Sunda), Buluh Batuang Danto (Padang, Sumatera). Sastrapradja et al. (1980) mengemukakan bambu andong mempunyai buluh yang berwarna hijau kekuningkuningan dengan garis-garis kuning yang sejajar dengan buluhnya dengan rumpun yang tidak terlalu rapat. Daerah asalnya diduga Malaya Utara dan Burma. Perbanyakannya dilakukan dengan akar rimpang atau potongan buluhnya. Bambu andong perkembangbiakannya cukup cepat. Bambu andong terutama terdapat pada daerah-daerah yang beriklim kering dengan ketinggian 0 sampai 700 m dpl. Lebih lanjut Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan bambu andong dapat tumbuh pada tanah lempung berpasir atau tanah berlumpur (alluvial) pada ketinggian hingga m dpl dengan curah hujan tahunan berkisar antara mm dan suhu rata-rata o C. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan di Indonesia bambu andong yang tumbuh pada lereng bukit (pada ketinggian 500 m dengan curah hujan tahunan sebesar mm) lebih kuat (memiliki berat jenis yang lebih tinggi, kekuatan tarik dan lentur yang lebih tinggi) dibandingkan batang bambu yang tumbuh pada daerah lembah. Bambu andong berbentuk simpodial, tinggi batang 7-30 m, dengan diameter sekitar 5-13 cm, dengan tebal dinding mencapai 2 cm, panjang ruas lebih dari atau kurang dari 60 cm. Dimensi serat bambu andong meliputi : panjang 2,75-3,27 mm, diameter 24,55-37,97 μm, jumlah serat meningkat sekitar 10% dari bawah (pangkal) ke atas (ujung) batang bambu. Berat jenis berkisar dari 0,5-0,7 (bagian ruas) dan 0,6-0,8 (bagian buku). Modulus elastisitas sebesar kgf/cm 2, modulus patah sebesar kgf/cm 2, keteguhan tarik kgf/cm Bambu Mayan ( Gigantochloa robusta Kurz.) Bambu Mayan disebut juga awi mayan (Sunda) atau pring serit (Jawa) merupakan jenis bambu yang banyak ditanam di daerah tropis yang lembab dan kering. Bambu mayan mempunyai rumpun yang simpodial, padat dan tegak. Bambu mayan mempunyai rebung hijau muda tertutup bulu coklat hingga hitam. Buluh bambu lurus dan tingginya mencapai 20 meter. Percabangannya terletak jauh di atas permukaan tanah, satu cabang lateral lebih besar daripada cabang lainnya, ujungnya melengkung. Bulu coklat ini melekat hingga buluh menjadi tua,

32 14 ruas panjangnya mencapai 40 cm, diameternya mencapai 7-9 cm, sedangkan untuk ketebalan dindingnya mencapai 1,8 cm. Pelepah buluh tertutup bulu hitam, mudah luruh pada buluh tua, sedangkan pada buluh muda pelepah masih melekat terutama di bagian pangkal buluh, kuping pelepah buluh membulat dengan bulu kejur yang mencapai 5 mm; ligulannya menggerigi dengan tinggi 1 mm dengan bulu kejur yang panjangnya 3 mm. Buluh bambu mayan banyak digunakan sebagai tempat air dan juga dapat dimanfaatkan sebagai alat musik tradisional. Selain itu industri bambu juga memanfaatkan buluh bambu mayan untuk industri sumpit.

33 15 BB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksankan mulai dari bulan November pril 2012 yang bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 lat dan Bahan lat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan elektronik, desikator, oven, kaliper, mikroskop, UTM (Universal Testing Machine) merk Instron, gergaji, mesin gergaji circular saw. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis bambu gombong (Giganthocloa verticillata (Willd.) Munro) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) yang berusia sekitar 3-4 tahun berasal dari rboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. 3.3 Metode Penelitian Persiapan Bambu Bambu yang digunakan adalah bambu gombong dan bambu mayan dengan panjang sekitar >10 m. Dari masing-masing jenis bambu dilakukan pengulangan sebanyak 3 batang. Dari keseluruhan batang bambu disamakan panjangnya sepanjang 9 meter. Kemudian bambu dibagi menjadi 3 bagian dengan panjang 3 meter yang dikelompokan sebagai bagian pangkal, tengah dan ujung seperti yang terlihat pada Gambar 3. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu. Pengelompokan batang bambu menjadi pangkal, tengah dan ujung dilakukan kearah vertikal batang yang dinotasikan dengan perbedaan posisi vertikal. Selanjutnya masing-masing bagian dibagi lagi menjadi tiga bagian dengan

34 16 panjang 1 m. Setelah itu dilakukan dengan pembuatan contoh uji dari masingmasing bagian (Tabel 2). Tabel 2 Skema pembagian batang bambu Bilah Bambu Buluh Utuh natomi, K, BJ, Kerapatan, MOE No Kode Kembang, Penyusutan, MOE, Geser Tekan dan MOR, Tekan, dan Tarik MOR Buku Ruas Buku Ruas Buku Ruas 1 P1 X 2 P2 X X 3 P3 X X X X 4 T1 X X X X 5 T2 X X 6 T3 X 7 U1 X 8 U2 X X 9 U3 X X X X 10 P1 B X X X X 11 P2 B X X 12 P3 B X 13 T1 B X 14 T2 B X X 15 T3 B X X X X 16 U1 B X X X X 17 U2 B X X 18 U3 B X 19 P1 C X 20 P2 C X X 21 P3 C X X X X 22 T1 C X X X X 23 T2 C X X 24 T3 C X 25 U1 C X 26 U2 C X X 27 U3 C X X X X Keterangan: P1 : Bambu pangkal bagian pangkal T1 : Bambu tengah bagian pangkal U1 : Bambu ujung bagian pangkal P2 : Bambu pangkal bagian tengah T2: Bambu tengah bagian tengah U2 : Bambu ujung bagian tengah P3 : Bambu pangkal bagian ujung T3 : Bambu tengah bagian ujung U3 : Bambu ujung bagian ujung Dengan angka di belakang kode sebagai jumlah ulangan ke-i Bagian pangkal tengah (P2), tengah tengah (T2), dan ujung tengah (U2) dilakukan pembuatan contoh uji bilah dengan pengelompokan buku (node) dan ruas (internode) yang dinotasikan dengan perbedaan lokasi. Pembuatan contoh uji bilah dilakukan dalam beberapa pengamatan yaitu : struktur anatomi, pengukuran K, BJ, kerapatan, penyusutan dimensi, pengembangan dimensi, Modulus of

35 17 Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR), kekuatan tekan dan kekuatan tarik sejajar serat. Bambu yang tesisa dipisahkan kembali untuk dilakukan pembuatan contoh uji buluh yang meliputi: kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan geser sejajar serat pada bagian buku (node) dan bagian ruas (internode) dan pengujian MOE dan MOR Pembuatan Contoh Uji Pembuatan contoh uji sifat anatomi mengacu pada Pedoman Penuntun Praktikum natomi dan Identifikasi Kayu yang disusun oleh Pandit (1991) dalam Nuryatin (2000), sedangkan sifat fisis berdasarkan penelitian terdahulu (Sharma dan Mehra dalam Syafi i 1984). Contoh uji sifat mekanis pada bilah bambu mengacu pada standar STM D Sedangkan contoh uji sifat mekanis pada buluh utuh penelitian ini berdasarkan pada ISO : 2004 yang dimodifikasi Contoh Uji Sifat natomi Pengamatan Penampakan Makroskopis Penelitian sifat dasar ini dilakukan untuk bambu layak tebang. Pengamatan dilakukan terhadap penampakan makroskopis bambu dari pangkal sampai ujung. Variabel yang diukur antara lain: a. Diameter bambu diukur pada setiap buku dan ruas Keterangan: Du : Diameter tepi luar bambu pada ujung spesimen (mm) du : Diameter tepi dalam bambu pada ujung spesimen (mm) Dp : Diameter tepi luar bambu pada pangkal spesimen (mm) dp : Diameter tepi dalam bambu pada pangkal spesimen (mm) Gambar 4 Contoh pengukuran diameter bambu pada setiap (a) ruas dan (b)buku.

36 18 Pengukuran diameter bambu dilakukan langsung terhadap batang bambu utuh. Pengukuran menggunakan alat kaliper, besar diameter yang dicatat meliputi diameter luar bambu dan diameter dalam bambu. Diameter bambu yang diukur meliputi diameter bambu dengan buku dan tanpa buku (ruas) Sayatan penampang distribusi ikatan vaskular Contoh uji sifat anatomi berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) seperti terlihat pada Gambar 5. Gambar 5 Spesimen sifat anatomi Contoh Uji Sifat Fisis Pengujian K, BJ, Kerapatan dan Susut Dimensi Bambu Pembuatan contoh uji K, BJ, kerapatan dan susut bambu menggunakan contoh uji dengan ukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) ( Gambar 6). 2 cm Tebal bambu (cm) 3 cm Gambar 6 Spesimen K, BJ, kerapatan dan penyusutan dimensi. Pengujian dilakukan terhadap K, BJ, kerapatan dan susut dimensi dengan perbedaan lokasi (buku dan ruas) Pengujian Pengembangan Dimensi Pengujian pengembangan dimensi menggunakan contoh uji dengan ukuran 4 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) dengan ilustrasi pada Gambar 7.

37 19 2 cm Tebal bambu 4 cm Gambar 7 Spesimen pengujian pengembangan dimensi. Sama seperti pengujian K, BJ, Kerapatan dan susut dimensi, pengujian terhadap kembang dimensi juga dilakukan dengan perbedaan lokasi (buku dan ruas) Contoh Uji Sifat Mekanis Pembuatan Contoh Uji MOE dan MOR Bilah bambu untuk setiap spesimen diambil dari bagian ruas dan bukunya. Spesimen untuk pengujian contoh uji bilah bambu utuh (full scale) diambil dari bilah bambu utuh dengan panjang 100 cm, sehingga dalam setiap spesimen terdapat bagian buku bambu. Contoh uji MOE dan MOR pada bilah bambu berukuran 30 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) seperti diilustrasikan pada Gambar 8 dan 9, sedangkan contoh uji MOE dan MOR pada buluh utuh yang seharusnya berukuran tebal (diameter) dan panjang 15 kali diameter (± 150 cm), namun dikarenakan panjang contoh uji tidak mencukupi, maka panjang contoh uji MOE dan MOR pada buluh utuh dibuat menjadi 100 cm seperti pada Gambar 10. bagian ruas bambu bagian buku bambu Gambar 8 Pengambilan bilah contoh uji MOE dan MOR.

38 20 Gambar 9 Contoh uji MOE dan MOR bilah. Gambar 10 Pengujian MOE dan MOR full scale Contoh Uji Tekan Sejajar Serat Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm), sedangkan contoh uji pada buluh utuh berbentuk tabung dengan tinggi = diameter bambu. Gambar 11 Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah. Pada pengujian ini contoh uji buluh utuh terjadi modifikasi pada contoh uji. Hal ini disebabkan alat UTM merk Instron hanya mampu memberi beban maksimal kurang dari kgf, sedangkan beban maksimal yang bisa ditahan buluh utuh lebih dari kgf.

39 21 Gambar 12 Contoh uji pengujian tekan sejajar pada buluh (a) ruas dan (b) buku Pembuatan Contoh Tarik Sejajar Serat Contoh uji tarik sejajar serat didasarkan pada STM D Contoh uji tarik sejajar serat dapat dilihat pada Gambar 13. (a) 25,33 cm 0,949 cm 10,133 cm 9,49 cm 6,33 cm 9,49 cm 10,133 cm (b) 0,474 cm 0,633 cm tebal bambu 10,133 cm 9,49 cm 6,33 cm 9,49 cm 10,133 cm Gambar 13 Contoh uji tarik sejajar serat (a) tampak atas (b) tampak samping Contoh Uji Geser Sejajar Serat Pada pengujian ini, contoh uji geser sejajar serat dimodifikasi. Hal ini dikarenakan ketidaktersediaan alat. Sehingga contoh uji geser sejajar serat dibagi menjadi 2. Contoh uji geser sejajar serat dapat dilihat pada Gambar 14.

40 22 1,27 cm 6,33 cm 5,06 cm Gambar 14 Contoh uji geser sejajar serat Pengujian Contoh Uji Sifat natomi Bambu Contoh uji berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm), baik bagian buku ataupun ruas, disayat bagian cross sectionnya, kemudian diletakkan di atas mikroskop. Sampel diamati dengan mikroskop perbesaran 10 kali, kemudian difoto dengan software Motic Images Plus 2.0 ML yang sudah terinstal di komputer. Pengukuran yang dilakukan pada uji anatomi antara lain penentuan tipe ikatan vaskuler bundel, jumlah vaskuler bundel/mm 2, dan proporsi luas vaskuler bundel pada arah horizontal (tepi, inti dan dalam) dan arah vertikal (pangkal, tengah, dan ujung). Vaskular bundel yang terdapat pada sampel dihitung jumlahnya dan diukur diameternya. Perhitungan dilakukan pada arah horizontal, yaitu bagian tepi (dekat kulit), inti dan dalam, sedangkan pengukuran diameter hanya diambil sebagian. Pengukuran diameter dilakukan untuk menghitung luasnya dengan menggunakan rumus luas lingkaran. Hal ini dilakukan pada arah vertikal (bagian pangkal, tengah dan ujung) Sifat Fisis Bambu a. Kadar ir Contoh uji K berukuran 3 x 2 x tebal bambu, ditimbang beratnya (BB) dengan timbangan digital, selanjutnya dioven pada suhu 103 ± 2 o C hingga mencapai berat konstan. Setelah pengovenan contoh uji diletakan dalam desikator

41 23 hingga suhunya mencapai suhu ruangan, selanjutnya diukur berat kering tanurnya (BKT). Nilai kadar air (K) ini dihitung menggunakan rumus: Kadar air % = Keterangan : BB = Berat basah (g) BKT = Berat kering tanur (g) BB BKT BKT 100 b. Berat Jenis Penentuan berat jenis bambu tali dan ampel dilakukan dengan contoh uji berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm). Contoh uji diukur dimensi panjang, lebar dan tebal, kemudian dioven pada suhu 103 ± 2 o C hingga beratnya konstan, lalu ditimbang berat kering tanur (BKT). Berat Jenis dihitung berdasarkan rumus : BJ = Keterangan : BJ = Berat jenis BKT = Berat kering tanur (g) p = Panjang contoh uji (cm) l = Lebar contoh uji (cm) t = Tebal contoh uji (cm) ρ air = 1 g/cm 3 c. Kerapatan BKT p l t x ρ air Penentuan Kerapatan bambu tali dan ampel dilakukan dengan contoh uji berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm). Contoh uji tersebut ditimbang pada keadaan kering udara (BKU), kemudian diukur dimensi panjang, lebar dan tebal. Kerapatan dihitung berdasarkan rumus : Kerapatan (g/cm 3 ) = Keterangan : Kr = Kerapatan (g/cm 3 ) BKU = Berat kering udara (g) p = Panjang contoh uji (cm) l = Lebar contoh uji (cm) t = Tebal contoh uji (cm) BKU p l t

42 24 d. Penyusutan Dimensi Contoh uji diukur dimensi lebar (L1) dan tebal (T1) dalam keadaan kering udara dengan kaliper. Kemudian dioven pada suhu 103 ± 2 o C hingga beratnya konstan, lalu diukur kembali dimensi lebar (L2) dan tebal (T2). ST = T1 T2 x 100% T2 Keterangan : ST = Susut dimensi tebal (%) T1 = Tebal saat BKU (cm) T2 = Tebal saat BKT (cm) SL = Susut dimensi lebar (%) T1 = Lebar saat BKU (cm) T2 = Lebar saat BKT (cm) SL = L1 L2 x 100% L2 e. Pengembangan Dimensi Contoh uji diukur dimensi tebal (T1) dan lebar (L1) dalam keadaan kering udara dengan kaliper. Selanjutnya dilakukan perendaman selama 7 x 24 jam (satu minggu). Setelah direndam, dimensi tebal (T2) dan lebar (L2) diukur kembali. Nilai pengembangan dihitung menggunakan rumus : PT = T2 T1 x100% T1 PL = Keterangan : PT = Pengembangan dimensi tebal (%) T1 = Tebal saat kering udara (cm) T2 = Tebal setelah perendaman (cm) PL = Pengembangan dimensi lebar (%) L1 = Lebar saat kering udara (cm) L2 = Lebar setelah perendaman (cm) Sifat Mekanis Bambu L2 L1 x100% L1 a. Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) Pengujian ini dilakukan menggunakan UTM merk Instron. Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan pengukuran dimensi panjang, lebar dan tebal. Laju pembebanan tidak melebihi 6 mm per menit. Nilai MOE MOR pada contoh kecil dapat dihitung menggunakan rumus: MOE = ΔPL 3 4ΔYb 3 MOR = 3 Pmaks L 2b 2

43 25 Nilai MOE MOR pada contoh bambu utuh dapat dihitung menggunakan rumus: MOE = ΔPL 3 12Δyπ(R 4 r 4 ) MOR = Pmaks L R π(r 4 r 4 ) Keterangan : MOE = Keteguhan lentur (kgf/cm 2 ) MOR = Keteguhan patah (kgf/cm 2 ) P = Selisih beban (kgf) y = Perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm) Pmaks = Beban maksimum (kgf) L = Panjang bentang (cm) b = Lebar contoh uji (cm) h = Tebal contoh uji (cm) π = 3,14 R = Jari-jari luar (cm) r = jari-jari dalam (cm) b. Keteguhan Tekan Sejajar Serat (τtk) Contoh uji kecil berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm). Lalu dicari luas penampang cross sectionnya dengan mengalikan lebar dan tebal bambu. Sedangkan pada pengujian tekan buluh, contoh uji seperti terlihat pada Gambar 6 (c) dan 6 (d). Contoh uji diambil dari bambu bulat yang dibelah empat. Untuk menghitung besar keteguhan tekan sejajar serat menggunakan rumus: τtk//serat kgf cm 2 = P Keterangan: τtk// = Keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm 2 ) P = Beban tekan maksimum (kgf) = Luas penampang (cm 2 ) c. Keteguhan Tarik Sejajar Serat (τtr//) Bambu dibentuk seperti Gambar 13. Lalu dicari luas penampang terkecilnya dengan mengalikan tebal terkecil dan lebar terkecil. Untuk menghitung besar keteguhan tarik sejajar serat menggunakan rumus: τtr//serat kgf cm 2 = P Keterangan: τtr// = Keteguhan tarik sejajar serat (kgf/cm 2 ) P = Beban tarik maksimum (kgf) = Luas penampang terkecil (cm 2 )

44 26 d. Keteguhan Geser Sejajar Serat (σ//) Bambu dibentuk seperti Gambar 14. Lalu dicari luas penampangnya dengan mengalikan tebal bambu dan a (a = 2 3 x tinggi). Untuk menghitung besar keteguhan geser sejajar serat menggunakan rumus: σ// = P Keterangan: σ// = Keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm 2 ) P = Beban tarik maksimum (kgf) = Luas penampang terkecil (cm 2 ) 3.4 nalisis Data Peubah yang diamati dalam penelitian terdiri atas sifat anatomi, sifat fisis dan sifat mekanis. Sifat anatomi yang terdiri atas kerapatan ikatan pembuluh, luas ikatan pembuluh, persentase ikatan pembuluh dideskripsikan mengunakan software Microsoft Excel 2007 berdasarkan jenis bambu (gombong dan mayan), posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung) dan perbedaan lokasi (ruas dan buku). Pengujian statistik terhadap sifat fisis terdiri dari Kadar ir (K), Berat Jenis (BJ), Kerapatan dan sifat mekanis yang terdiri dari MOE, MOR, tarik sejajar serat, tekan sejajar serat, dan geser sejajar serat dilakukan menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) menggunakan SS software versi 9.1 dengan tiga faktor, yaitu jenis bambu (gombong dan mayan), posisi vertikal (pangkal, tengah, dan ujung) dan lokasi (ruas dan buku). Pengujian statistik terhadap MOE dan MOR pada buluh dilakukan menggunakan prosedur GLM menggunakan SS software versi 9.1 dengan dua faktor, yaitu jenis bambu (gombong dan mayan), posisi vertikal (pangkal, tengah, dan ujung). Model rancangan acak lengkap menggunakan tiga faktor disajikan sebagai berikut : Yijkl = μ + αi + βj + γk + αβij + αγik + βγjk + αβγijk + εijkl Dimana : Yijkl = Nilai pengamatan pada jenis ke-i,posisi vertikal ke-j, dan lokasi ke-k μ = Rataan umum α = Pengaruh aditif dari jenis bambu ke-i β = Pengaruh aditif dari posisi vertikal ke-j γ = Pengaruh aditif dari lokasi ke-k ε = Galat eror

45 27 Pengujian korelasi peubah yang diamati dilakukan menggunatan Minitab software versi 14 dengan persamaan sebagai berikut : r = ΣXY ΣX 2 ΣX 2 n Dimana : r = Nilai koefisien korelasi X = Nilai pengamatan peubah X Y = Nilai pengamatan peubah Y ΣX (ΣY) n ΣY 2 ΣY 2 n

46 28 BB IV PEMBHSN 4. 1 Sifat natomi Bentuk Batang Bambu Bambu gombong (G. verticillata) dan bambu mayan (G. robusta) termasuk kedalam genus yang sama yaitu Genus Gigantochloa. Pada umumnya bambu dengan Genus Gigantochloa memiliki batang yang dapat tumbuh besar sehingga disebut sebagai bambu raksasa. Gambaran tentang bentuk batang bambu disajikan pada Gambar 15. (a) (b) (c) Gambar 15 Bentuk batang Bambu Gombong bagian (a) pangkal (b) tengah dan (c) ujung. (a) (b) (c) Gambar 16 Bentuk batang Bambu Mayan bagian (a) pangkal (b) tengah dan (c) ujung.

47 29 Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Seperti halnya pada kayu bentuk batang bambu terdapat perbedaan diameter pada bagian pangkal dan ujungnya yang disebut taper. Batang bambu memiliki buku (node) yang memisahkan anatara ruas (internode) yang satu dengan ruas lainnya. Pengukuran dimensi buluh dan taper disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Pengukuran dimensi buluh dan taper Jenis Gombong Mayan Dimensi Taper Posisi Diameter Jarak ntar (cm) Buku (cm) Dalam Luar Pangkal 9,97 36,74 0,0055 0,0018 Tengah 9,05 43,21 0,0066 0,0017 Ujung 7,93 40,35 0,0053 0,0066 Pangkal 9,25 39,17 0,0037 0,0014 Tengah 9,31 53,86 0,0051 0,0010 Ujung 7,90 45,02 0,0041 0,0060 Dilihat berdasarkan hasil pengamatan kedua jenis bambu memiliki diameter yang hampir sama besar. Kecendrungan kesamaan dimensi tidak hanya ditemukan dari diameternya saja, begitu juga dengan tebal dinding yang terdapat pada masing-masing jenis bambu memiliki nilai tebal dinding yang hampir sama besar. Bambu mayan memiliki nilai jarak antar buku yang lebih panjang daripada bambu gombong. Dari Tabel 3 diperoleh hasil pada bagian pangkal dan tengah bambu gombong memiliki nilai taper yang lebih besar dibandingkan bambu mayan. Sedangkan pada bagian ujung bambu mayan memiliki nilai taper yang lebih besar daripada bambu gombong. Besar nilai taper erat kaitanya terhadap bentuk suatu batang menyerupai bentuk kerucut. Semakin besar nilai taper maka semakin tidak silindris suatu batang bambu mendekati bentuk kerucut. Nilai taper juga berguna dalam pendugaan suatu volume batang Tipe Ikatan Vaskuler Pengamatan berupa tipe ikatan vaskuler dilakukan pada arah horizontal dan vertikal. Hasil pengamatan anatomi berupa tipe ikatan vaskuler dengan mikroskop terhadap penampang melintang bambu gombong dan bambu mayan pada bagian pangkal, tengah dan ujung dapat disajikan pada Tabel 4.

48 30 Tabel 4 Tipe ikatan vaskuler pada Bambu Gombong dan Mayan Jenis Bambu Gombong Mayan Bagian Vertikal Bagian Pangkal Tengah Ujung Horizontal Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku Tepi III III III III III III Inti III dan IV III III III III IV Dalam IV III III III III IV Tepi III III III III III III Inti III III III IV III III dan IV Dalam III III III IV III III dan IV Pola ikatan vaskuler bambu gombong pada bagian pangkal ruas memiliki dua tipe ikatan vaskuler berbeda, bagian tepi memiliki pola ikatan tipe III, bagian inti memiliki pola ikatan peralihan dari tipe III ke tipe IV, dan bagian dalam memiliki pola ikatan tipe IV. Sedangkan pola ikatan vaskuler ke arah vertikal batang bagian tengah dan ujung, hampir semua memiliki pola ikatan vaskuler tipe III terkecuali pada ujung buku, bagian inti dan dalam memiliki pola ikatan tipe IV. Untuk membedakan ikatan vaskuler tipe III dan IV pada bambu gombong dapat dilihat pada Gambar 17 (a), (b) dan (c). Gambar 17 a) Ikatan vaskuler peralihan tipe III dan IV pada bagian pangkal ruas inti b) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian tengah ruas inti c) Ikatan vaskuler tipe IV pada bagian ujung buku inti. Untuk membedakan tipe ikatan vaskuler pada bambu mayan dapat dilihat pada Gambar 18 (a), (b) dan (c).

49 31 Gambar 18 a) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian pangkal ruas dalam b) Ikatan vaskuler tipe IV pada bagian tengah buku inti c) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian ujung ruas inti Sama seperti bambu gombong, bambu mayan memiliki dua tipe ikatan vaskuler berbeda, yaitu tipe III dan tipe IV. Hampir semua pola ikatan vaskuler pada bambu mayan memiliki tipe III, terkecuali pada bagian tengah buku dan ujung buku yang memiliki pola ikatan tipe IV. Menurut Nuryatin (2012), BJ bambu dipengaruhi oleh kandungan sklerenkim pada bambu. Vaskuler dengan ikatan bertipe III dan IV relatif memiliki sklerenkim yang hampir sama, walaupun memiliki jumlah rantai serabut yang berbeda. Sehingga vaskuler dengan tipe ikatan III dan IV tidak memiliki perbedaan BJ yang signifikan. Pola ikatan tipe IV memiliki diameter batang yang besar serta dinding batang yang tebal sehingga sesuai jika digunakan sebagai bahan baku struktural. Pola ikatan vaskuler bambu adalah variabel sifat anatomi selain dapat digunakan sebagai kunci identifikasi juga menunjukan karakter yang mewakili sifat-sifat suatu jenis bambu. Pola tersebut memiliki fungsi dan keterikaitan dengan sifat-sifat dasar yang berguna dalam arah pemanfaatan bambu Distribusi Ikatan Vaskuler Pengujian ikatan vaskuler mencakup pengamatan terhadap distribusi kerapatan ikatan vaskuler, luas dimensi arah lebar ikatan vaskuler, proporsi luas vakuler dan tipe ikatan pembuluh pada arah horizontal (tepi, inti dan dalam) dan vertikal (pangkal, tengah dan ujung). Jumlah vaskuler diperoleh dari perhitungan jumlah ikatan vaskuler yang terdapat dalam suatu luasan foto, dengan kata lain distribusi ikattan vaskuler adalah kerapatan ikatan vaskuler dalam satu luasan yang sama. Proporsi luas

50 32 ikatan vaskuler diperoleh dari perhitungan luas satu ikatan vaskuler di kali dengan banyaknya jumlah ikatan vaskuler di bagi dengan luas foto. Luas dimensi arah lebar ikatan vaskuler diperoleh berdasarkan pengukuran rata-rata diameter ikatan vaskuler. Distribusi ikatan vaskuler pada arah horizontal Perbedaan jumlah vaskuler /mm 2 bambu dan proporsi luas vaskuler bambu arah horizontal Gambar 19. Jumlah Vaskuler /mm 2 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 Ruas Buku Ruas Buku Tepi Inti Dalam Gombong Mayan Jenis dan Bagian Bambu (a) Proporsi Luas IkatanVaskuler (%) 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 Gambar 19 (a)jumlah vaskuler/mm 2 horizontal. Ruas Buku Ruas Buku Gombong (b) Mayan Jenis dan Bagian Bambu Tepi dan (b) proporsi luas vaskuler arah Pada Gambar 19 (a) terlihat bahwa ikatan vaskuler pada bagian tepi memiliki kerapatan yang sangat tinggi bila dibandingkan bagian inti dan dalam. Semakin kearah dalam semakin sedikit/jarang jumlah ikatan vaskuler per satuan Inti Dalam

51 33 luas. Gambar 19 (b) menunjukkan bahwa proporsi luas vaskuler bambu gombong dan bambu mayan semakin kecil dari tepi ke dalam. Selain itu bagian ruas memiliki jumlah vaskuler/mm 2 dan proporsi luas vaskuler yang lebih tinggi bila dibandingkan bagian buku. Sayatan distribusi ikatan vaskuler pada penampang lintang bambu gombong (Gambar 20). Gambar 20 Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b) buku pangkal Bambu Gombong. Dari data hasil pengamatan (Lampiran 1), bagian ruas bambu gombong memiliki nilai rata-rata kerapatan distribusi ikatan vaskuler yang lebih besar yaitu 1,156 buah/mm 2 dari kerapatan distribusi ikatan vaskuler bagian buku dengan nilai 0,887 buah/mm 2. Besar nilai proporsi ikatan vaskuler rata-rata bagian ruas (64,86%) memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan bagian buku (55,41%). tepi tengah dalam tepi tengah dalam (a) Sayatan penampang lintang bambu dan distribusi kerapatan ikatan pembuluh pada bambu mayan terlihat pada Gambar 21. (b) tepi tengah dalam tepi tengah dalam (a) Gambar 21 Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b) buku pangkal Bambu Mayan. (b)

52 34 Dari hasil pengamatan (Lampiran 2), menunjukan nilai distribusi kerapatan ikatan vaskuler pada bagian ruas pangkal tepi (1,84 buah/mm 2 ) lebih tinggi bila dibandingkan bagian inti (0,68 buah/mm 2 ) dan dalam (0,48 buah/mm 2 ). Bagian ruas memiliki nilai distribusi ikatan yang lebih tinggi bila dibandingkan bagian buku. Distribusi ikatan vaskuler pada arah vertikal Bila dibandingkan selisih nilai antara jumlah vaskuler/mm 2 dengan proporsi vaskuler pada bagian tepi ke dalam, jumlah vaskuler/mm 2 memiliki nilai selisih yang lebih besar. Hal ini dikarenakan bagian tepi memiliki ukuran vaskuler yang lebih kecil dan berjumlah banyak, sedangkan bagian tengah dan dalam memiliki ukuran vaskuler yang besar dengan jumlah sedikit. Perbedaan jumlah vaskuler/mm 2 bambu dan proporsi luas vaskuler bambu arah horizontal disajikan pada Gambar 22. Jumlah Vaskuler /mm 2 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 Ruas Buku Ruas Buku Gombong Mayan Pangkal Tengah Ujung Jenis dan Bagian Bambu Proporsi Luas Vaskuler (%) (a) Ruas Buku Ruas Buku Gombong Mayan Jenis dan Bagian Bambu (b) Pangkal Tengah Ujung Gambar 22 (a) Jumlah vaskuler/mm 2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah vertikal.

53 35 Dari data hasil pengamatan pada kedua jenis bambu dapat dilihat adanya kecenderungan meningkatnya jumlah vaskuler/mm 2 dari pangkal ke ujung. Semakin tinggi posisi bagian batang berbanding lurus tehadap kerapatan ikatan vaskuler. Gambar 22 (b) menunjukan bahwa proporsi luas vaskuler pada kedua jenis bambu cenderung menurun dari pangkal ke ujung. Hal ini diduga karena bagian tengah memiliki ukuran vaskuler yang lebih besar daripada bagian pangkalnya dan mengecil ke bagian ujung Sifat Fisis Kadar ir Pengujian penentuan kadar air terhadap banyaknya jumlah air yang tersimpan dalam bambu per satuan volume dilakukan pada keadaan kering udara. Jumlah kandungan kadar air pada kedua jenis bambu ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Pengujian kadar air (%) kering udara pada jenis Bambu Gombong dan Mayan Posisi Gombong Mayan Ruas Buku Ruas Buku Pangkal 13,53 14,69 13,48 12,89 Tengah 14,80 12,85 14,49 13,43 Ujung 14,37 12,70 13,38 13,32 Rata-Rata 14,23 13,41 13,78 13,21 Kadar ir (%) Ruas Buku Ruas Buku Pangkal Tengah Ujung Gombong Jenis Bambu Mayan Gambar 23 Diagram kadar air (%) pada bilah bambu. Bambu gombong memiliki K 12,7 14,8 % dengan rata rata 13,82 %. Sedangkan bambu mayan memiliki nilai K 12,89 14,49 % dengan rata-rata

54 36 13,5 %. Berdasarkan hasil pengujian (Gambar 23), terlihat bahwa kadar air kering udara pada bambu bagian tengah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan bagian pangkal dan ujungnya, terkecuali pada jenis bambu gombong dengan lokasi bagian buku. Jika dilihat berdasarkan persen kadar air rata-rata hasil ini sedikit lebih besar dari dugaan Janssen (1981) yang memperkirakan bahwa pada kelembaban relatif (RH) 90% kadar air kering udara bambu sekitar 12,7%. Nilai perbedaan kadar air ini dipengaruhi oleh presentase sklerenkim yang terdapat pada suatu bambu, yang dapat diduga dari nilai berat jenis (BJ). Semakin tinggi nilai BJ maka semakin tinggi tingkat kestabilan dimensi bambu. Kandungan air pada bagian pangkal lebih besar dibandingkan bagian ujung atau ditunjukkan pula oleh perbedaan nilai BJ antara pangkal dan ujung. Kandungan air yang besar dapat menyebabkan tingkat kesetabilan dimensi lebih rendah pada bagian pangkal dibanding bagian ujung (Mohmod et al. 1991). Demikian pula dengan zat-zat ekstraktif yang mengisi sebagian rongga-rongga sel akan mengurangi nilai penyusutan. dapun faktor lain yang diduga ikut berpengaruh adalah meningkatnya kandungan lignin dari bagian pangkal ke bagian ujung sehingga akan berpengaruh pula terhadap besarnya penyusutan Berat Jenis dan Kerapatan BJ bambu gombong berkisar 0,57 0,68 dengan rataan 0,62 dan BJ bambu mayan berkisar 0,65-0,7 dengan rataan 0,67. Berdasarkan hasil pengamatan, BJ bambu gombong cenderung meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung. Sedangkan kecenderungan ini tidak tampak pada bambu mayan dengan lokasi buku. Hasil pengujian BJ bilah pada bagian pangkal, tengah dan ujung tersaji pada Tabel 6 dan Gambar 24. Tabel 6 Tabel pengujian berat jenis (BJ) Gombong Mayan Posisi Ruas Buku Ruas Buku Pangkal 0,61 0,66 0,66 0,70 Tengah 0,57 0,60 0,67 0,67 Ujung 0,64 0,68 0,65 0,67 Rata-rata 0,61 0,65 0,66 0,68

55 37 0,8 Berat Jenis 0,6 0,4 0,2 0 Ruas Buku Ruas Buku Pangkal Tengah Ujung Gombong Mayan Jenis Bambu Gambar 24 Diagram pengujian berat jenis pada ketiga bagian posisi vertikal. Perbedaan besarnya kerapatan pada masing-masing bagian disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 25. Tabel 7 Nilai pengujian kerapatan (g/cm 3 ) Posisi Gombong Mayan Ruas Buku Ruas Buku Pangkal 0,69 0,76 0,74 0,79 Tengah 0,66 0,68 0,77 0,76 Ujung 0,74 0,77 0,74 0,76 Kerapatan (g/cm 3 ) 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Ruas Buku Ruas Buku Pangkal Tengah Ujung Gombong Mayan Jenis Bambu Gambar 25 Diagram hasil pengukuran pengujian kerapatan (g/cm 3 ). Pengujian kerapatan bambu gombong dan bambu mayan yang berumur 4 tahun yang berasal dari daerah Hutan Tanaman Bambu IPB Dramaga dilakukan terhadap volume kering udara dan berat kering tanur. Besar nilai kerapatan bambu gombong berkisar antara 0,66 0,77 g/cm 3 dengan rata-rata 0,72 g/cm 3 dan nilai kerapatan pada bambu mayan berkisar antara 0,74-0,79 g/cm 3 dengan rata rata 0,76 g/cm 3.

56 38 BJ dan kerapatan bambu gombong menunjukkan kecenderungan meningkat dari pangkal ke ujung. Bila dikaitkan dengan struktur anatomi kecenderungan ini berbanding lurus dengan nilai jumlah vaskuler/mm 2 yang meningkat dari pangkal ke bagian ujung. Sedangkan pada bambu mayan tidak tampak adanya kecenderungan yang sama, nilai BJ dan kerapatan bambu mayan cenderung menurun dari pangkal ke bagian ujung. Hal ini diduga nilai BJ dan kerapatan tidak hanya dipengaruhi oleh nilai jumlah vaskuler/mm 2, faktor proporsi luas ikatan vaskuler merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai BJ dan kerapatan. Nilai proporsi luas ikatan vaskuler bambu mayan cenderung menurun dari pangkal ke ujung. Sedangkan pada lokasi buku dan ruas, bagian buku memiliki nilai BJ yang lebih besar dari bagian ruasnya. Hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan cak Lengkap (RL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pengujian statistik K, BJ dan kerapatan Posisi Lokasi K (%) BJ ρ (g/cm 3 ) Gombong Mayan Gombong Mayan Gombong Mayan Pangkal Buku 14,7 ± 0,45 12,9 ± 1,19 0,7 ± 0,02 0,7 ± 0,04 0,8 ± 0,02 0,8 ± 0,05 (3,03) (9,23) (2,99) (6,23) (2,72) (6,01) Ruas 13,5 ± 1,18 13,5 ± 1,33 0,6 ± 0,04 0,7 ± 0,05 0,7 ± 0,05 0,7 ± 0,06 (8,69) (9,83) (6,79) (8,02) (7,11) (7,73) Tengah Buku 12,9 ± 1,10 X 13,4 ± 1,91 0,6 ± 0,03 0,7 ± 0,08 0,7 ± 0,03 0,8 ± 0,08 (8,56) (14,18) (4,34) (12,04) (4,20) (10,86) Ruas 14,8 ± 0,20 Y 14,5 ± 0,67 0,6 ± 0,08 0,7 ± 0,07 0,7 ± 0,09 0,8 ± 0,08 (1,35) (4,61) (14,10) (10,06) (13,51) (9,75) Ujung Buku 8,5 ± 7,38 13,3 ± 0,35 0,5 ± 0,40 0,7 ± 0,04 0,5 ± 0,45 0,8 ± 0,04 (87,16) (2,61) (86,78) (5,38) (86,87) (4,74) Ruas 14,4 ± 0,94 13,4 ± 1,43 0,6 ± 0,07 0,7 ± 0,06 0,7 ± 0,07 0,7 ± 0,07 (6,51) (10,68) (10,53) (8,66) (9,46) (9,54) Ketrangan : superscript (,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)

57 39 Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan nyata K oleh faktor perbedaan lokasi (ruas dan buku) pada bagian tengah bambu gombong. Tidak ada perbedaan nyata BJ dan kerapatan oleh faktor jenis, posisi vertikal batang, dan lokasi (ruas dan buku). Hasil pengujian korelasi peubah K, BJ, dan kerapatan yang diamati disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Hubungan korelasi antara faktor K, BJ dan kerapatan Korelasi K (%) BJ BJ Kerapatan (g/cm 3 ) 0,710-0,000-0,740 0,998 0,000 0,000 Berdasarkan hasil uji korelasi ditemukan hubungan yang erat antara ketiga variabel. Semakin tinggi kadar air yang tekandung di dalam bambu maka semakin tinggi nilai berat jenis dan kerapatan Kembang Susut Dimensi Bambu sebagai hasil alam merupakan bahan anisotropis, oleh karena itu penelitian terhadap stabilitas pengembangan dan penyusutan dimensi bambu dilihat dari tiga arah, yaitu arah tebal, arah diameter dan arah arah longitudinal. Seperti halnya kayu, penyusutan dan pengembangan bambu arah longitudinal sangat kecil (tidak mencapai 1%), baik untuk bagian pangkal, maupun bagian tengah. Melalui hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 26 a dan b, terlihat bahwa penyususutan dan pengembangan arah tebal paling besar dibandingkan penyusutan arah lebar, sedangkan penyusutan dan pengembangan arah longitudinal sangat kecil. Besarnya nilai penyusutan arah tebal pada 2 jenis bambu cenderung lebih besar dibanding susut arah lebar, diduga karena antara lain karena tidak terdapatnya sel jari-jari sebagai penahan proses penyusutan ke arah tebal sehingga penyusutan arah tebal lebih besar. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) pengembangan secara sederhana adalah kebalikan dari proses penyusutan.

58 40 Penyusutan (%) 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Ruas Buku Ruas Buku Gombong Mayan Tebal 3,98 4,14 4,22 4,38 Lebar 1,64 1,70 1,78 1,56 Panjang 0,16 0,33 0,11 0,18 Jenis Bambu Tebal Lebar Panjang (a) Pengembangan (%) 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Ruas Buku Ruas Buku Gombong Mayan Tebal 2,87 3,47 3,26 3,01 Lebar 1,65 1,40 1,10 1,08 Panjang 0,30 0,17 0,13 0,15 Jenis Bambu Tebal Lebar Panjang (b) Gambar 26 Nilai (a) penyusutan dan (b) pengembangan dimensi pada Bambu Gombong dan Mayan. Faktor lain yang diduga ikut berperan dalam penyusutan adalah adanya distribusi ikatan vaskular yang tidak merata antara bagian luar, tengah dan dalam dinding batang bambu. Sehingga nilai penyusutan tebal adalah total dari nilai penyusutan bagian luar, tengah dan dalam sedangkan pada arah lebar nilai penyusutan ditentukan oleh dua bagian baik terluar maupun bagian paling dalam dinding batang yang relatif nilai susutnya lebih kecil karena umumnya mempunyai kerapatan yang lebih tinggi sehingga nilai penyusutan ke arah lebar akan mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan arah tebal. Selain struktur anatomi perbedaan kadar air dan lignin serta zat ekstraktif dapat mempengaruhi besar kembang susut pada bambu. Kandungan air pada bagian pangkal lebih besar dibandingkan bagian ujung atau ditunjukkan pula oleh

59 41 perbedaan nilai BJ antara pangkal dan ujung, yang dapat menyebabkan tingkat kestabilan dimensi lebih rendah pada bagian pangkal dibandingkan bagian ujung (Mohmod et al. 1991). Demikian pula dengan zat-zat ekstraktif yang mengisi sebagian rongga-rongga sel akan mengurangi nilai penyusutan. dapun faktor lain yang diduga ikut berpengaruh adalah meningkatnya kandungan lignin dari bagian pangkal ke bagian ujung sehingga akan berpengaruh pula terhadap besarnya penyusutan. Proses penyusutan pada bambu berbeda jika dibandingkan dengan kayu karena pada bambu, penyusutan dimulai pada saat pengeringan atau di atas titik jenuh serat (Liese 1985). Hal ini diduga karena adanya perbedaan dalam struktur anatomi antara kayu dan bambu, dimana pada bambu strukturnya didominasi oleh parenkim sebagai jaringan dasar yang dindingnya cukup tipis, sehingga pada saat pengeringan (masih diatas titik jenuh serat) air bebas yang keluar dari rongga sel parenkim mengakibatkan tahanan dalam lumen akan menjadi berkurang sehingga dinding sel parenkim yang tipis akan melisut (collaps) dan proses penyusutan pun akan dimulai sebelum dinding sel menyusut. Dengan demikian pada tanaman bambu, besarnya penyusutan akan lebih besar bila dibandingkan dengan kayu. Tabel 10 Hasil analisa statistik pengujian penyusutan dimensi bambu pada bilah K (%) BJ Susut (%) Posisi Lokasi Gombong Mayan Gombong Mayan Gombong Mayan Pangkal Buku 14,7 ± 0,45 12,9 ± 1,19 0,7 ± 0,02 0,7 ± 0,04 7,4 ± 0,25 H 7,1 ± 0,28 H (3,03) (9,23) (2,99) (6,23) (3,37) (3,88) Ruas 13,5 ± 1,18 13,5 ± 1,33 0,6 ± 0,04 0,7 ± 0,05 7,0 ± 0,78 H 7,1 ± 0,35 H (8,69) (9,83) (6,79) (8,02) (11,10) (4,95) Tengah Buku 12,9 ± 1,10 X 13,4 ± 1,91 0,6 ± 0,03 0,7 ± 0,08 6,0 ± 0,40 HI 6,1 ± 0,33 I (8,56) (14,18) (4,34) (12,04) (6,57) (5,50) Ruas 14,8 ± 0,20 Y 14,5 ± 0,67 0,6 ± 0,08 0,7 ± 0,07 5,8 ± 0,49 H 6,1 ± 0,61 H (1,35) (4,61) (14,10) (10,06) (8,43) (9,90) Ujung Buku 8,5 ± 7,38 13,3 ± 0,35 0,5 ± 0,40 0,7 ± 0,04 3,2 ± 2,80 I 4,9 ± 0,33 J (87,16) (2,61) (86,78) (5,38) (86,73) (6,58) Ruas 14,4 ± 0,94 13,4 ± 1,43 0,6 ± 0,07 0,7 ± 0,06 4,4 ± 0,23 I 4,9 ± 0,41 I (6,51) (10,68) (10,53) (8,66) (5,20) (8,44) Keterangan : superscript (,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)

60 42 Hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan cak Lengkap (RL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 10. Dari hasil uji statistik didapatkan adanya perbedaan nyata susut dimensi oleh faktor posisi vertikal. Tidak ada perbedaan nyata susut dimensi oleh faktor jenis dan lokasi (ruas dan buku). Dari pengujian korelasi peubah K, BJ, dan susut volume yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Uji korelasi K, BJ dan susut dimensi Korelasi K (%) BJ BJ Susut Volume (%) 0,710 0,000 0,621 0,603 0,000 0,000 Dari hasil uji korelasi antara K, BJ, dan susut dimensi ditemukan adanya hubungan yang erat pada ketiga faktor. Semakin tinggi kadar air yang terdapat pada bambu maka berpengaruh nyata terhadap besar nilai berat jenis suatu bambu. Semakin tinggi nilai kadar air pada suatu bambu maka berhubungan erat terhadap besar susut volume pada bambu. Semakin tinggi nilai BJ suatu bambu maka berhubungan erat terhadap besar nilai penyusutan bambu Sifat Mekanis Modulus of Elasticity (MOE) Nilai MOE bilah bambu gombong berkisar antara kgf/cm 2 dengan rata- rata kgf/cm 2, sedangkan MOE buluh utuh berkisar antara kgf/cm 2 dengan rata rata kgf/cm 2. Nilai MOE bilah bambu mayan berkisar antara kgf/cm 2 dengan rata rata , sedangkan untuk buluh utuh berkisar antara kgf/cm 2 dengan rata rata kgf/cm 2 (Tabel 12 dan Gambar 27).

61 43 Tabel 12 Nilai MOE rata-rata (kgf/cm 2 ) pada jenis Bambu Gombong dan Mayan Posisi Gombong Mayan Ruas Buku Ruas Buku Pangkal bilah buluh Tengah bilah buluh Ujung bilah buluh MOE x 10 4 (kg/cm 2 ) 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 ruas buku ruas buku pangkal tengah ujung bilah buluh bilah buluh Gombong Jenis Bambu mayan Gambar 27 Posisi nilai MOE pada bagian pangkal, tengah dan ujung. Berdasarkan Gambar 27, terlihat bahwa nilai MOE bilah bambu gombong dan bambu mayan meningkat dari bagian pangkal ke bagian tengah lalu menurun ke bagian ujung. Kecenderungan ini juga terlihat pada lokasi (ruas dan buku) yang berbeda. Janssen (1981) mengemukakan perbedaan nilai MOE terjadi karena perbedaan persentase skelerenkim. Jika dilihat sifat anatominya, bagian pangkal ruas bambu gombong terjadi peningkatan nilai proporsi luas vaskular bundel ke bagian tengah lalu mengalami penurunan ke bagian ujung (Lampiran 3). Selain itu hal ini diduga karena adanya perbedaan fase tumbuh pada kedua jenis bambu. Pada bagian ujung kedua jenis bambu diduga telah melewati fase tumbuh maksimal, sehingga mengalami penurunan nilai dalam menahan suatu beban. Perbedaan nilai MOE juga diduga karena pengaruh jumlah lignin dan dimensi panjang sel serabut. Kandungan lignin pada bagian pangkal mengalami peningkatan ke bagian ujung. Liese (1980) menyatakan bahwa, secara keseluruhan ukuran panjang serat semakin bertambah panjang dari posisi pangkal

62 44 batang menuju ke ujung batang bambu tersebut (Liese 1980). Panjang serabut berkorelasi sangat kuat terhadap nilai MOE (Liese et al. 2003). Serabut tersusun atas sejumlah lapisan/lamella dengan berbagai orientasi mikofibril. Susunan sel serabut akan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap fleksibilitas bambu. Dari hasil pengamatan nilai MOE pada kedua jenis bambu, terlihat bahwa bambu gombong memiliki nilai MOE yang lebih tinggi daripada bambu mayan baik pada lokasi ruas maupun buku. Selain itu, terdapat perbedaan nilai MOE yang berbeda pada lokasi (ruas dan buku), dengan nilai MOE pada bagian buku lebih kecil dari bagian ruas. Hal ini disebabkan serabut tersusun atas sejumlah lapisan/lamella dengan berbagai orientasi mikofibril. Susunan sel serabut akan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap fleksibilitas bambu. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan serat terpendek ditemukan di sekitar buku sedangkan serat terpanjang berada di bagian tengah ruas bambu. Hal ini diperkuat oleh Bachtiar (2008) yang mengemukakan arah serat pada daerah buku tidak semua lurus, karena bagian serat berbelok ke dalam, dan sebagian kecil berbelok ke keluar. Hal ini diduga yang mempengaruhi perbedaan nilai MOE pada kedua lokasi yang berbeda dengan nilai MOE pada lokasi buku lebih rendah dari ruas. Berdasarkan hasil uji MOE, pada Gambar 27 terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai MOE pada buluh utuh lebih kecil dibandingkan dengan bilah bambu. Hal ini diduga disebabkan oleh tahanan geser bambu pada buluh yang sangat lemah, sehingga menyebabkan defleksi akibat geser menjadi besar dibandingkan akibat momen. Beban (kgf) Defleksi (mm) Buluh Utuh 1 Buluh Utuh 2 Bilah 1 bilah 2 Gambar 2817 Diagram elastisitas bilah dan buluh utuh bambu.

63 45 Sehingga kerusakan beban maksimal pada buluh terjadi bukan karena patah tapi disebabkan karena contoh uji mengalami kerusakan belah terlebih dahulu yang menyebabkan terjadinya penurunan grafik Modulus of Rupture (MOR) Tegangan pada batas patah (MOR) merupakan ukuran kekuatan suatu bahan pada saat menerima beban maksimum yang menyebabkan terjadinya kerusakan. Hasil pengujian nilai MOR selengkapnya tercantum dalam lampiran sedangkan nilai rata-rata disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 29. Tabel 13 Nilai MOR (kg/cm 2 ) pada Bambu Gombong dan Mayan Posisi Gombong Mayan Ruas Buku Ruas Buku Pangkal bilah buluh Tengah bilah buluh Ujung bilah buluh Nilai MOR bilah bambu gombong berkisar kgf/cm 2 dengan rata- rata kgf/cm 2, sedangkan MOR buluh utuh berkisar antara kgf/cm 2 dengan rata rata 448 kgf/cm 2. Nilai MOR bilah bambu mayan berkisar antara kgf/cm 2 dengan rataan kgf/cm 2, sedangkan untuk buluh utuh berkisar antara kgf/cm 2 dengan rata rata 269 kgf/cm MOR (kgf/cm 2 ) ruas buku ruas buku pangkal tengah ujung bilah buluh bilah buluh Gombong mayan Jenis Bambu Gambar 2918 Diagram nilai MOR pada bagian pangkal, tengah dan ujung.

64 46 Pada Gambar 29 terlihat bahwa MOR bambu gombong dan bambu mayan cenderung meningkat pada bagian pangkal ke bagian tengah namun terjadi penurunan pada bagian tengah ke bagian ujung. Hasil penelitian Subyakto (1995) menunjukkan bahwa nilai MOR dari bagian pangkal ke bagian ujung mengalami peningkatan. danya penurunan nilai MOR dari bagian tengah ke bagian ujung diduga pada bagian ujung kedua jenis bambu diduga telah melewati fase tumbuh maksimal, sehingga mengalami penurunan nilai dalam menahan suatu beban. Selain itu berdasarkan hasil uji korelasi yang dilakukan terdapat hubungan yang erat antara nilai MOE dan MOR, sehingga pendugaan MOR dengan MOE dapat dilakukan. Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur dengan model Rancangan cak Lengkap (RL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) (Tabel 14). Tabel 14 Uji statistik terhadap pengujian MOE dan MOR pada bilah Posisi Lokasi MOE (kgf/cm 2 ) MOR (kgf/cm 2 ) Gombong Mayan Gombong Mayan Pangkal Buku ,0 ± 10760, ,0 ± 12252, ,9 ± 57,40 X 1233,1 ± 114,60 (8,92) (9,66) (4,46) (9,29) Ruas ,0 ± 6952,00 B ,0 ± 18368,00 899,2 ± 46,10 Y 1190,0 ± 200,00 (6,41) (12,42) (5,13) (16,84) Tengah Buku ,0 ± 64654, ,0 ± 20843, ,0 ± 540, ,0 ± 110,10 (40,24) (15,34) (32,97) (8,44) Ruas ,0 ± , ,0 ± 12776, ,0 ± 467, ,0 ± 179,00 (54,76) (8,51) (33,22) (13,31) Ujung Buku ,0 ± 26811, ,0 ± 19268, ,0 ± 253, ,2 ± 164,70 (23,82) (15,80) (21,57) (12,67) Ruas ,0 ± 57767, ,0 ± 16611, ,0 ± 275, ,0 ± 174,00 (36,44) (13,43) (21,95) (13,78) Ketrangan : superscript (,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) Hasil analisa statistik menunjukan terdapat perbedaan nyata nilai MOE akibat faktor jenis bambu, dengan nilai MOE pada bambu mayan lebih besar daripada

65 47 bambu gombong. Nilai MOR tidak dipengaruhi oleh jenis bambu dan posisi vertikal. Terdapat perbedaan nyata MOR akibat perbedaan lokasi. Dari pengujian korelasi peubah K, BJ, MOE dan MOR pada bilah bambu yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Korelasi antara nilai K, BJ, MOE dan MOR pada bilah Korelasi MOR (kgf/cm 2 ) K (%) BJ MOE MOR (kgf/cm 2 ) (kgf/cm 2 ) K (%) 0, , ,270 0,222-0,111 0, ,017 0,128 0,710 0,924 0,456 0,000 Terdapat hubungan yang kuat antara MOE dan MOR. Semakin tinggi nilai MOE yang didapatkan maka nilai MOR yang didapatkan semakin tinggi juga. Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan cak Lengkap (RL) dengan 2 faktor yaitu jenis bambu dan posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil pengujian statistik nilai MOE dan MOR pada buluh Posisi MOE (kgf/cm 2 ) MOR (kgf/cm 2 ) Gombong Mayan Gombong Mayan Pangkal 47418,0 ± 561, ,0 ± 19028,00 464,3 ± 65,40 313,2 ± 11,55 B (1,18) (35,00) (14,08) (3,69) Tengah 50116,0 ± 14300, ,0 ± 23508,00 361,6 ± 21,80 238,3 ± 68,00 B (28,53) (41,88) (6,02) (28,52) Ujung 83328,0 ± 25781, ,0 ± 11507,00 520,0 ± 261,00 258,2 ± 47,30 (30,94) (18,64) (50,09) (18,31) Ketrangan : superscript (,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) Dari hasil uji statistik didapatkan ada perbedaan nyata nilai MOR akibat faktor jenis. Perbedaan MOR terlihat pada bagian pangkal dan tengah kedua jenis

66 48 bambu, dengan nilai yang lebih besar pada jenis bambu gombong. Tidak ada perbedaan nyata nilai MOE oleh faktor jenis, posisi vertikal. Tidak ada perbedaan nilai MOR akibat faktor posisi vertikal. Dari pengujian korelasi peubah K, BJ, MOE da MOR pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Korelasi antara nilai MOE, MOR, K, dan BJ pada buluh Korelasi MOR (kgf/cm 2 ) K (%) BJ MOE MOR (kgf/cm 2 ) (kgf/cm 2 ) K (%) 0, , ,223 0,571-0,374 0,013-0,023-0,513-0,549 0,928 0,029 0,018 Terdapat hubungan erat MOR dengan BJ. Semakin tinggi BJ nilai MOR semakin tinggi pula Kekuatan Tarik Kekuatan tarik sejajar serat bambu gombong adalah kgf/cm 2 dengan rata rata kgf/cm 2. Sedangkan pada bambu mayan berkisar kgf/cm 2 dengan rata rata kgf/cm 2. Hasil pengujian keteguhan tarik sejajar serat selengkapnya dalam Lampiran 18 dan nilai rata-ratannya tercantum dalam Tabel 18 dan ilustrasinya dalam Gambar 30. Tabel 18 Nilai keteguhan tarik (kgf/cm 2 ) pada Bambu Gombong dan Mayan Gombong Mayan Posisi Ruas Buku Ruas Buku Pangkal Tengah Ujung

67 49 Keteguhan Tarik (kg/cm 2 ) Ruas Buku Ruas Buku Gombong Mayan Pangkal Tengah Ujung Jenis Bambu Gambar 3019 Diagram keteguhan tarik sejajar serat. Pada Gambar 30 terlihat kecenderungan nilai tarik sejajar serat meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung. Hal yang berbeda terjadi pada bambu mayan, kekuatan tarik menurun dari bagian tengah ruas ke bagian ujung ruas. Wangaard (1950) menyatakan bahwa keteguhan tarik sejajar serat sangat tergantung kepada kekuatan serabut (sifat kohesi) dan dipengaruhi oleh dimensi kayu, elemen penyusun dan susunannya dalam kayu. Kekuatan tarik terbesar akan diperoleh spesimen dengan serabut yang tersusun secara lurus serta berdinding tebal. Serat melintang akan mengurangi kekuatan tarik. Sedangkan Janssen (1981) mengemukakan bahwa kekuatan tarik tergantung kepada persentase sklerenkeim (serabut) yang dimiliki bambu. Hal ini diperkuat oleh Wang (1970) yang mengemukakan bahwa skelerenkim memberikan kontribusi dalam stabilitas kekuatan, sementara Li (2004) menyatakan bahwa kerapatan serabut dalam jaringan skelerenkim adalah indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan bambu. Jika ditinjau berdasarkan struktur anatominya bagian ujung ruas memiliki distribusi penyebaran ikatan vaskuler yang lebih rapat dari bagian tengah dan pangkalnya. Kecendrungan ini dicerminkan dengan nilai kekuatan tarik pada bambu gombong. Sedangkan kecenderungan yang berbeda pada bambu mayan terjadi penurunan nilai kekuatan tarik dari bagian tengah ruas ke bagian ujung ruas. Hal ini diduga karena proporsi luas vaskuler pada bagian tengah lebih besar daripada bagian ujungnya. Pada kedua kelompok sampel nampak bahwa nilai tegangan tarik bambu akan berkurang lebih dari 50% pada bagian buku (Gambar 30). Menurut sumbu

68 50 longitudinal, serat pada internodia yang berada di dekat nodia selalu mempunyai ukuran yang paling pendek. Ukuran panjang serat tersebut semakin bertambah panjang dari posisi di dekat nodia menuju kepertengahan nodia dan mencapai ukuran terpanjang pada bagian tengah internodia. Disamping itu arah serat pada daerah buku tidak semua lurus, karena bagian serat berbelok ke dalam, dan sebagian kecil berbelok ke keluar (Bachtiar 2008). Dalam pembuatan sampel uji tarik dibuat daerah kritis yang luas penampangnya kecil (Gambar 31). Diharapkan, kerusakan akibat beban tarik terjadi pada daerah kritis, yaitu sampel putus pada daerah tersebut. Pada pengujian yang dilakukan, putusnya sampel pada daerah kritis seperti pada Gambar 32 (a) tidak terjadi semua pada sampel. Gambar 31 Contoh uji tarik sejajar serat. (a) keterangan : (a) contoh uji tarik rusak pada daerah kritis (b) contoh uji tarik rusak bukan pada daerah kritis (b) Gambar 32 Contoh kerusakan pada pengujian tarik sejajar serat.

69 51 Kuat tarik bambu bagian dalam yang lebih kecil akan mengakibatkan rusaknya sampel tidak seragam, seperti terlihat pada Gambar 32 (b), dimana pada daerah kritis sebelah dalam sudah putus, sementara bagian luar belum. Besarnya variasi mengakibatkan permasalahan dalam pengujian tarik. Kerusakan yang terjadi tidak selalu pada daerah kritis, seperti yang diharapkan. Kerusakan dapat terjadi pada daerah buku mengarah pada buku, seperti pada Gambar 32 (b). Pada keadaan ini, kerusakan pada daerah kritis terjadi, bukan karena tarik, tetapi karena geser. Dari diagram kekuatan tarik (Gambar 30) terlihat pada bagian pangkal ruas dan tengah ruas bambu mayan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan bambu gombong. Hal ini diduga karena adannya perbedaan struktur anatomi terhadap persentase serabut. Kekuatan suatu bahan dapat pula diduga melalui sifat fisik terutama BJ karena BJ dapat digunakan sebagai penduga kekuatan suatu bahan. Dengan demikian semakin besar nilai BJ maka semakin tinggi pula nilai kekuatan suatu bahan. Tabel 19 Hasil analisa statistik pada pengujian tarik sejajar serat Posisi Lokasi Tarik (kgf/cm 2 ) Gombong Mayan Pangkal Buku 1484,0 ± 458,00 853,4 ± 86,20 X (30,85) (10,10) Ruas 1696,0 ± 327,00 BH 2224,0 ± 284,00 YHI (19,29) (12,77) Tengah Buku 1484,0 ± 458,00 X 980,4 ± 132,20 X (30,85) (13,48) Ruas 1696,0 ± 327,00 YIJ 2734,2 ± 19,90 YH (19,29) (0,73) Ujung Buku 1190,0 ± 193,00 X 941,6 ± 80,80 X (16,20) (8,58) Ruas 2768,0 ± 397,00 YJ 1772,0 ± 457,00 BYI (14,33) (25,76) Ketrangan : superscript (,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)

70 52 Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan cak Lengkap (RL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) diperoleh hasil analisa statistik pengujian tarik yang disajikan pada Tabel 19. Uji statistik mengindikasikan terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat perbedaan jenis bambu, yaitu pada sampel pangkal ruas bambu gombong dan mayan, dengan nilai kekuatan tarik pada bambu gombong lebih besar dari mayan. Nilai kekuatan tarik di pengaruhi oleh perbedaan jenis pada sampel ujung ruas dengan nilai bambu mayan lebih besar dari bambu gombong. Terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat perbedaan posisi arah vertikal, pada pangkal ruas bambu, tengah ruas bambu dan ujung ruas bambu pada kedua jenis bambu. Terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat faktor lokasi (ruas dan buku) pada sampel bambu gombong bagian tengah ruas dan tengah buku, ujung ruas dan ujung buku. Pada bambu mayan terdapat perbedaan nyata/pengaruh terhadap nilai kekuatan tarik oleh faktor lokasi pada sampel bagian pangkal ruas dan buku, tengah ruas dan buku, ujung ruas dan buku. Dari pengujian korelasi peubah K, BJ, dan keteguhan tarik sejajar serat yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan hasil uji korelasi tidak terdapat hubungan yang erat nilai kteguhan tarik sejajar serat dengan nilai K dan BJ. Tabel 20 Hubungan korelasi antara K, BJ, dan tarik Korelasi K (%) BJ BJ 0,710-0,000 - Tarik 0,307 0,050 (kgf/cm 2 ) 0,068 0, Kekuatan Tekan Sejajar Serat Kekuatan tekan sejajar serat bilah bambu gombong berkisar kgf/cm 2 dengan rata rata 434 kgf/cm 2, pada bambu mayan berkisar kgf/cm 2 dengan rata rata 469 kgf/cm 2. Kekuatan tekan sejajar serat buluh bambu gombong berkisar kgf/cm 2 dengan rata rata 525 kgf/cm 2, pada bambu

71 53 mayan berkisar kgf/cm 2 dengan rata rata 466 kgf/cm 2 (Tabel 21 dan Gambar 33). Tabel 21 Nilai keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm 2 ) pada jenis Bambu Gombong dan Mayan Posisi Gombong Mayan Ruas Buku Ruas Buku Pangkal bilah buluh Tengah bilah buluh Ujung bilah buluh Keteguhan Tekan // Serat (kg/cm 2 ) Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku pangkal tengah ujung bilah buluh bilah buluh gombong Jenis Bambu mayan Gambar 33 Keteguhan tekan sejajar serat. Pada Gambar 33 terlihat bahwa nilai tekan sejajar serat pada kedua jenis bambu cenderung menaik dari pangkal ke ujung. Hasil pengamatan struktur sel penampang lintang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan distribusi jumlah ikatan vaskular/mm 2 dari bagian pangkal ke bagian ujung, sehingga akan meningkatkan nilai keteguhan tekan dari pangkal ke ujung batang. Hal yang berbeda terjadi pada bambu mayan bagian bilah buku dan buluh ruas dan buku. Hal ini disebabkan pada sampel posisi ujung bambu mayan terserang oleh kumbang bubuk, yang diindikasikan dengan berkurangnya volume sampel dan berubah menjadi butiran serbuk yang banyak. Selain itu disebabkan adanya penurunan proporsi luas ikatan vaskuler dari bagian tengah ke ujung.

72 54 Berdasarkan hasil pehitungan rata-rata keteguhan tekan sejajar serat pada bilah, meunjukan bahwa nilai keteguhan tekan bambu mayan lebih tinggi daripada bambu gombong. Sedangkan pada bagian buluh, bambu gombong memiliki keteguhan tekan sejajar serat yang lebih tinggi daripada bambu mayan. Dari Gambar 33 terlihat bahwa kekuatan tekan bilah pada kedua jenis bambu lebih kecil dibandingkan kekuatan tekan buluh utuhnya. Hal ini dikarenakan pada buluh utuh bambu memiliki angka kelangsingan yang lebih besar sehingga menyebabkan kekuatan lebih besar. Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) menggunakan Rancangan cak Lengkap (RL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) (Tabel 22). Tabel 22 Hasil analisa statistik pada pengujian tekan sejajar serat bilah Posisi Lokasi Tekan Bilah (kgf/cm 2 ) Gombong Mayan Pangkal Buku 426,8 ± 13,93 477,1 ± 67,00 (3,26) (14,05) Ruas 391,1 ± 100,70 489,1 ± 46,90 (25,74) (9,58) Tengah Buku 428,6 ± 71,70 587,0 ± 246,00 (16,73) (41,88) Ruas 452,1 ± 135,30 444,7 ± 75,50 (29,93) (16,98) Ujung Buku 415,7 ± 65,90 430,5 ± 64,10 (15,86) (14,89) Ruas 491,5 ± 61,20 533,1 ± 140,40 (12,45) (26,34) Keterangan : superscript (,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama pada lokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) Tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bilah akibat faktor jenis bambu, posisi vertikal dan lokasi (ruas dan buku). Dari pengujian korelasi peubah K, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat pada bilah yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 23.

73 55 Tabel 23 Hasil analisa korelasi antara K, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat pada bilah Korelasi K (%) BJ BJ 0,710-0,000 - Tekan 0,086 0,397 (kgf/cm 2 ) 0,616 0,017 Terdapat hubungan yang erat antara nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bilah dengan BJ. Semakin tinggi BJ nilai keteguhan tekan sejajar serat semakin tinggi pula. Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan cak Lengkap (RL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan likasi (ruas dan buku) (Tabel 24). Tabel 24 Hasil analisa statistik keteguhan tekan sejajar serat buluh Posisi Lokasi Tekan Buluh (kgf/cm 2 ) Gombong Mayan Pangkal Buku 443,9 ± 27,60 465,8 ± 16,88 (6,21) (3,62) Ruas 491,7 ± 57,00 492,4 ± 40,00 (11,59) (8,13) Tengah Buku 494,7 ± 66,60 525,0 ± 147,50 (13,46) (28,09) Ruas 458,0 ± 54,60 509,8 ± 67,60 (11,92) (13,26) Ujung Buku 580,9 ± 99,10 366,6 ± 163,50 (17,06) (44,59) Ruas 665,7 ± 132,10 437,0 ± 232,00 (19,84) (53,16) Keterangan : superscript (,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) Tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan tekan akibat faktor jenis, posisi vertikal dan lokasi (ruas dan buku). Dari pengujian korelasi peubah K, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 25.

74 56 Tabel 25 Hasil uji korelasi antara K, BJ, dan tekan sejajar serat buluh Korelasi K (%) BJ BJ 0,710-0,000 - Tekan -0,058 0,135 (kgf/cm 2 ) 0,739 0,433 Tidak ada hubungan yang erat antara nilai keteguhan tekan sejajar pada buluh dengan K dan BJ Kekuatan Geser Sejajar Serat Kekuatan geser sejajar serat rata rata bambu gombong dan bambu mayan adalah 86,03 kgf/cm 2 dan 91,16 kgf/cm 2 (Tabel 26 dan Gambar 34). Tabel 26 Nilai keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm 2 ) Posisi Gombong Mayan Ruas Buku Ruas Buku Pangkal 81,79 76,87 74,09 84,55 Tengah 89,57 88,84 84,31 98,93 Ujung 90,76 88,32 93,91 111,16 Kuat Geser (kg/cm2) Ruas Buku Ruas Buku Pangkal Tengah Ujung Gombong Mayan Jenis Bambu Gambar 34 Diagram kekuatan geser sejajar serat. Dari hasil pengujian kekuatan geser sejajar serat pada Gambar 34 menunjukan kekuatan geser cenderung meningkat dari arah pangkal ke arah ujung pada kedua jenis bambu. Hal ini diduga disebabkan oleh distribusi jumlah ikatan pembuluh per satuan luas yang semakin besar dari bagian pangkal ke bagian ujung.

75 57 Perbedaan lokasi pada bambu mayan menyebabkan hasil kekuatan geser pada lokasi buku lebih besar nilainnya dari lokasi ruas. Hal ini diduga bahwa pada buku-buku (node), serat-serat ini saling bertautan dan sebagian memasuki diafragma dan cabang-cabang dapat meningkatkan nilai ketahan terhadap pembebanan geser sejajar serat. Sedangkan pada bambu gombong tidak terlihat perbedaan yang jelas terhadap nilai kekuatan geser sejajar serat pada kedua lokasi (ruas dan buku). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan cak Lengkap (RL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan likasi (ruas dan buku) (Tabel 27). Tabel 27. Hasil nalisa Statistik Pengujian Keteguhan Geser Sejajar Serat Posisi Lokasi Geser (kgf/cm 2 ) Gombong Mayan Pangkal Buku 76,9 ± 7,68 84,6 ± 12,89 (9,99) (15,24) Ruas 81,8 ± 6,98 74,1 ± 12,19 (8,53) (16,45) Tengah Buku 88,9 ± 13,95 98,9 ± 11,15 (15,70) (11,27) Ruas 89,6 ± 11,49 84,3 ± 15,66 (12,82) (18,57) Ujung Buku 88,3 ± 18,56 111,2 ± 26,70 (21,02) (23,99) Ruas 90,8 ± 10,43 93,9 ± 16,24 (11,49) (17,29) Ketrangan : superscript (,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) Dari hasil uji analisis statistik tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan geser akibat faktor jenis, posisi vertikal batang dan lokasi (ruas dan buku). Dari pengujian korelasi peubah K, BJ, dan keteguhan geser sejajar serat pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 28.

76 58 Tabel 28 Hasil analisa korelasi antara K, BJ dan keteguhan geser sejajar serat K dan BJ. Korelasi K BJ BJ 0,710 0,000 Geser 0,039 0,292 0,822 0,084 Tidak ada hubungan yang erat antara keteguhan geser sejajar serat dengan

77 59 BB V KESIMPULN DN SRN 5. 1 Kesimpulan 1. Tipe ikatan pembuluh pada bambu gombong memiliki tipe ikatan III dan IV. Distribusi kerapatan ikatan vaskuler bambu gombong dan bambu mayan pada arah horizontal cenderung mengalami penurunan dari tepi ke bagian dalam, sedangkan pada arah vertikal batang cenderung mngalami peningkatan dari pangkal ke bagian ujung. 2. Sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian ruas (internode) cenderung lebih baik dibandingkan sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku (node). 3. Sifat mekanis bilah pada bambu gombong dan bambu mayan cenderung lebih baik dibandingkan sifat mekanis buluh utuhnya. 4. Sifat anatomi memberikan kontribusi dalam stabilitas kekuatan dan merupakan indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan bambu Saran 1. Perlu dilakukan pengamatan penampakan mikroskopis dan sifat kimia bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku (node) dan ruas (internode) bambu agar melengkapi hasil penelitian ini. 2. Perlu dilakukan penelitian serupa terhadap jenis bambu yang berbeda agar diketahui potensi diversivikasi kayu ke bambu dilihat dari sifat fisis dan mekanisnya.

78 60 DFTR PUSTK dkoli NS Bamboo in the Indian Pulp Industry. In: Bamboo in sia and the Pacific. Proceedings of the fourth International Bamboo Workshop, Chiangmai, Thailand, Nov International Development Research Centre and Food & griculture Organizations of the United Nations. [STM] merican Society for Testing and Materials D Standard Methods of Testing Small Clear Speciments of Timber (Secondary Methods). US. Badan Pusat Statistik Potensi Hutan Rakyat Jakarta: Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan & Direktorat Statistik Pertanian, BPS. Bachtiar G Pemanfaatan Buluh Bambu Tali Sebagai Komponen Pada Konstruksi Rangka Batang Ruang. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dransfield S, Widjaja E PROSE, Plant Resource of South East sia 7: Bamboos. Leiden: Backhuys Publisher. Frick H Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu, Seri Konstruksi rsitektur 7. Yogyakarta : Kanesius. Ganie CN Pengaruh Isian Mortar Terhadap Kuat Tekan Bambu Wulung [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Habib Bambu. [internet]. [diunduh 16 Maret 2012]. Dapat diunduh dari: Haygreen JG, Bowyer JL Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu pengantar (terjemahan). Yogyakarta: Gajahmada University Press. Janssen JJ. 1981a. The Relationship Between the Mechanical Properties and The Biological and Chemical Composition of Bamboo. Dalam Higuchi, T. (Ed.), Proceedings of the Congress Group 5.3, Productions and Utilization of Bamboo and Related Species, XVII International Union Forest Research Organization Word Congress Kyoto, Japan. (hlm : 27-32). Janssen JJ. 1981b. Bamboo in Building Structures, Doktor of Technical Science Thesis, Eindhoven University of Technology, Eindhoven, Netherlands. ISO : 2004 (E). laboratory Manual on Testing Methods for Determination of Physical and Mechanical Properties of Bamboo. Published Switzerland.

79 61 Kurniawan H Sifat Mekanis Laminasi Lengkung Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes.f) Backer ex Heyne) Menggunakan Perekat PVc [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Li XB Physical, Chemical and Mechanical Properties of Bamboo and Its Utilization Potential for Fibreboard Manufacturing [tesis]. Chinese cademy of Forestry. Liese W natomy of Bamboo. Bamboo Reasearch in sia, Proceedings of a Workshop. Singapore: May Singapore: International Development Research Center and the International Union of Forestry Research Organizations. hlm Liese W natomy of Bamboo Proceedings Workshop Bamboo Research in sia, Singapore May International Development Research Center. Ottawa. Liese W, Kumar S Bamboo Preservation Compendium. India: Centre for Indian Bamboo Resource and Technology. Maulana C plikasi Kurva Respon Cahaya Sinusoidal Untuk Pengukuran Daya Serap Karbondioksida Pada Bambu Betung [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. McClure F Bambu as a Bulding Material. In Bamboo in Buliding Contructions. Mohmod L, Hamid NH, Sulaiman O Variation in Physical Properties of Two Malaysian Bamboos. Dalam Bamboo in the sia Pacific, pp Nandika D, Dharma IGKT, Matangaran JR Keawetan dan Pengawetan Bambu, Prosiding Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Puspitek Serpong. Bogor : Yayasan Bambu Lestari. Noermalicha Rekayasa Rancangan Bangunan Laminasi Lengkungan Bambu [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Nuryatin N Studi nalisa Sifat-sifat Dasar Bambu Pada Beberapa Tujuan Penggunaan. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga Pemanfaatan Bambu. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Sastrapradja S, Widjaja, Prawiroatmojo S, Soenarko S Beberapa Jenis Bambu. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor. Setiadi Sifat Kimia Beberapa Jenis Bambu pada Empat Tipe Ikatan Pembuluh. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

80 62 Subiyanto B, Sudijono, Gopar M Pengembangan Papan Bambu Komposit. Dalam Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Bogor: Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Subyakto Variation on Specific Gravity and Bending Properties of Dendrocalamus asper Culm Grown in Bogor. Dalam Engineering and Utilization, pp Sulthoni Permasalahan Sumberdaya Bambu di Indonesia. Dalam Strategi Penelitian Bambu Indonesia, hal : Syafi i LI Pengujian Sifat-sifat Fisis dan Mekanis Contoh Kecil Bebas Cacat Beberapa Jenis Bambu. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Tamolang EN. Lopez FR. Seamana J. Casin RF. Espiloy ZB Properties and Utilization Phillipine Bamboo. Proceeding: Workshop Bamboos Research Center, Ottawa. Canada. Wang CK Matriks Methods of Structural nalysis, merican Publishing, Wisconsin. Wangaard FF The Mechanical Properties of Wood. John Willey & Sons, Inc. New york, Chapman & Hill Limited, London. Widjaja E Indonesia. Dalam Bamboo Research in sia, hal : Widjaja, E Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulaan Sunda Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan LIPI. Balai Penelitian Botani Herbarium Bogoriense. Bogor. Yap F Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Bandung: Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.

81 LMPIRN 63

82 64 Lampiran 1. Data bentuk buluh bambu No Gombong Pangkal Kode Diameter Luar Pangkal Ujung øpangkal-øujung Taper Diameter Tebal Diameter Diameter Tebal Panjang Luar Dalam Luar Dalam dalam Kulit Luar Dalam Kulit Jarak ntar Buku 1 GBP1 11,69 7,89 1,90 11,27 7,77 1,75 0,41 0,11 302,0 0,0014 0, ,80 2 GBP2 9,08 5,28 1,90 8,28 5,98 1,15 0,80 2,30 301,0 0,0026 0, ,66 3 GBP3 10,03 6,48 1,78 9,62 7,07 1,28 0,41 2,55 303,5 0,0014 0, ,77 Rata-rata 0,0018 0, ,74 Tengah 4 GBT1 11,15 8,30 1,43 10,51 7,91 1,30 0,64 2,60 300,5 0,0021 0, ,13 5 GBT2 6,91 5,46 0,73 6,37 4,97 0,70 0,54 1,40 301,0 0,0018 0, ,88 6 GBT3 9,39 6,74 1,33 9,01 7,06 0,98 0,38 1,95 301,0 0,0013 0, ,63 Rata-rata 0,0017 0, ,21 Ujung 7 GBU1 9,87 7,67 1,10 8,50 6,50 1,00 1,37 2,00 300,8 0,0046 0, ,00 8 GBU2 8,12 6,17 0,98 4,30 3,05 0,63 3,82 1,25 300,0 0,0127 0, ,25 9 GBU3 8,89 7,39 0,75 8,15 6,60 0,78 0,73 1,55 305,5 0,0024 0, ,80 Rata-rata 0,0066 0, ,35 Mayan Pangkal 1 MYP1 10,03 5,78 2,13 9,71 7,21 1,25 0,32-1,43 305,0 0,0010-0, ,10 2 MYP2 8,66 5,46 1,60 8,34 6,29 1,03 0,32 2,05 300,0 0,0011 0, ,50 3 MYP3 9,87 5,62 2,13 9,24 6,59 1,33 0,64 2,65 300,3 0,0021 0, ,90 Rata-rata 0,0014 0, ,

83 65 Lampiran 1 (Lanjutan). Data bentuk buluh bambu Tengah 4 MYT1 10,19 7,99 1,10 9,94 8,34 0,80 0,25 1,60 301,8 0,0008 0, ,83 5 MYT2 8,60 6,70 0,95 8,15 6,75 0,70 0,45 1,40 287,0 0,0016 0, ,50 6 MYT3 9,55 7,35 1,10 9,36 7,86 0,75 0,19 1,50 300,1 0,0006 0, ,25 Rata-rata 0,0010 0, ,86 Ujung 7 MYU1 9,65 8,00 0,83 7,26 5,81 0,73 2,39 1,45 302,0 0,0079 0, ,40 8 MYU2 7,10 5,75 0,68 5,48 4,33 0,58 1,62 1,15 301,8 0,0054 0, ,50 9 MYU3 9,14 7,59 0,78 7,71 6,56 0,58 1,43 1,15 301,5 0,0048 0, ,17 Rata-rata 0,0060 0, ,02 65

84 66 Lampiran 2. Tipe ikatan vaskuler pada masing masing bagian Gombong (Gigantochloa verticillata (Wild.) Munro) Bagian : Pangkal No Tepi Inti Dalam lokasi : Ruas I Tipe Ikatan III III dan IV IV Lokasi : Buku II Tipe Ikatan III III III Bagian : Tengah Lokasi : Ruas III Tipe Ikatan III III III Lokasi : Buku IV Tipe Ikatan III III III 66

85 67 Lampiran 2 (Lanjutan). Tipe ikatan vaskuler pada masing masing bagian Bagian : Ujung Lokasi : Ruas V Tipe Ikatan III III III Lokasi : Buku VI Tipe Ikatan III IV IV Mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) Bagian : Pangkal No Tepi Inti Dalam lokasi : Ruas I Tipe Ikatan III III III Lokasi : Buku II Tipe Ikatan III III III

86 68 Lampiran 2 (Lanjutan). Tipe ikatan vaskuler pada masing masing bagian III Bagian : Tengah Lokasi : Ruas Tipe Ikatan III III III Lokasi : Buku IV Tipe Ikatan III IV IV Bagian : Ujung Lokasi : Ruas V Tipe Ikatan III III III Lokasi : Buku VI Tipe Ikatan III III dan IV III dan IV

87 69 Lampiran 3. Pengujian sifat anatomi bambu Posisi Vertikal Lokasi Posisi Horizontal Buah/mm 2 Luas Ikatan Vaskuler (mm 2 ) Proporsi Luas Ikatan Vaskuler GB MY GB MY GB MY Pangkal Ruas Tepi 2,10 1,84 31,58 35,24 87,68% 85,34% Tengah 0,80 0,67 20,88 28,60 57,97% 69,26% Dalam 0,55 0,48 17,62 27,15 48,92% 65,76% Rata-rata 1,15 1,00 0,67 0,94 64,86% 73,45% Buku Tepi 1,75 1,55 43,44 33,60 80,25% 76,91% Tengah 0,61 0,48 28,39 17,54 52,45% 40,16% Dalam 0,29 0,36 18,15 11,78 33,53% 26,97% Rata-rata 0,88 0,80 0,81 0,68 55,41% 48,01% Tengah Ruas Tepi 2,15 1,77 21,36 23,32 80,84% 84,36% Tengah 0,79 0,61 16,85 18,68 63,77% 67,60% Dalam 0,56 0,39 14,80 15,93 56,03% 57,63% Rata-rata 1,17 0,92 0,72 1,00 66,88% 69,86% Buku Tepi 2,04 1,78 24,59 21,48 62,91% 57,98% Tengah 0,53 0,56 17,25 13,03 44,12% 35,17% Dalam 0,28 0,16 9,82 4,13 25,12% 11,16% Rata-rata 0,95 0,83 0,67 0,54 44,05% 34,77% Ujung Ruas Tepi 2,27 2,53 15,20 10,30 84,45% 70,46% Tengah 0,88 0,88 10,03 9,10 55,77% 62,28% Dalam 0,50 0,41 6,29 4,77 34,99% 32,64% Rata-rata 1,22 1,27 0,56 0,59 58,40% 55,13% Buku Tepi 1,97 2,05 14,99 12,89 61,53% 63,11% Tengah 0,65 0,48 10,29 6,00 42,27% 29,35% Dalam 0,32 0,14 6,74 1,51 27,66% 7,40% Rata-rata 0,98 0,89 0,59 0,47 43,82% 33,29%

88 70 Lampiran 4. Data pengujian kadar air (K) dari keadaan kering udara No Kode Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 1 GBP1 12,96 15,17 GBT1 14,64 14,06 GBU1 13,76 13,54 2 GBP2 14,89 14,62 GBT2 14,76 12,61 GBU2 15,45-3 GBP3 12,76 14,29 GBT3 15,03 11,90 GBU3 13,91 11,87 Rata-Rata 13,54 14,70 14,81 12,86 14,38 12,70 Stdev 1,17 0,44 0,20 1,10 0,94 1,18 1 MYP1 14,12 12,04 MYT1 14,70 14,96 MYU1 12,08 13,40 2 MYP2 14,37 12,38 MYT2 13,75 11,30 MYU2 13,15 12,94 3 MYP3 11,96 14,25 MYT3 15,04 14,05 MYU3 14,91 13,62 Rata-Rata 13,48 12,89 14,50 13,44 13,38 13,32 Stdev 1,33 1,19 0,67 1,90 1,43 0,35 Lampiran 5. Data pengujian berat jenis (BJ) No Kode Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 1 GBP1 0,60 0,65 GBT1 0,62 0,59 GBU1 0,70 0,71 2 GBP2 0,58 0,67 GBT2 0,48 0,60 GBU2 0,57-3 GBP3 0,66 0,69 GBT3 0,62 0,64 GBU3 0,67 0,66 Rata-Rata 0,61 0,67 0,58 0,61 0,65 0,69 Stdev 0,05 0,02 0,08 0,03 0,07 0,04 1 MYP1 0,60 0,67 MYT1 0,60 0,64 MYU1 0,61 0,63 2 MYP2 0,68 0,75 MYT2 0,73 0,77 MYU2 0,72 0,70 3 MYP3 0,70 0,68 MYT3 0,70 0,62 MYU3 0,64 0,68 Rata-Rata 0,66 0,70 0,68 0,68 0,66 0,67 Stdev 0,05 0,04 0,07 0,08 0,06 0,04 Lampiran 6 Data pengujian kerapatan (g/cm 3 ) No Kode Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 1 GBP1 0,67 0,75 GBT1 0,72 0,67 GBU1 0,79 0,81 2 GBP2 0,66 0,76 GBT2 0,56 0,67 GBU2 0,66 3 GBP3 0,75 0,79 GBT3 0,71 0,72 GBU3 0,77 0,74 Rata-Rata 0,70 0,77 0,66 0,69 0,74 0,78 Stdev 0,05 0,02 0,09 0,03 0,07 0,05 1 MYP1 0,68 0,75 MYT1 0,69 0,74 MYU1 0,68 0,72 2 MYP2 0,78 0,84 MYT2 0,83 0,86 MYU2 0,82 0,79 3 MYP3 0,78 0,77 MYT3 0,81 0,70 MYU3 0,73 0,77 Rata-Rata 0,75 0,79 0,77 0,77 0,74 0,76 Stdev 0,06 0,05 0,08 0,08 0,07 0,04

89 71 Lampiran 7. Output analisa statistik pengujian kadar air (K) dan berat jenis (BJ) The SS System The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values Jenis 2 GB MY Posisi Vertikal 3 Pangkal Tengah Ujung Lokasi 2 Buku Ruas Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: K Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE K Mean Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Jenis Posisi Vertikal Lokasi Dependent Variable: BJ Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE BJ Mean Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Jenis Posisi Vertikal Lokasi Duncan's Multiple Range Test for K NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range 1.693

90 72 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis MY GB Duncan's Multiple Range Test for BJ NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis MY GB Duncan's Multiple Range Test for K NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 3 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal Tengah Pangkal Ujung Duncan's Multiple Range Test for BJ NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 ErrorDegreesofFreedom 31 ErrorMeanSquare

91 73 NumberofMeans 2 3 CriticalRange Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Vertikal Pangkal Tengah Ujung Duncan's Multiple Range Test for K NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square NumberofMeans 2 CriticalRange Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi Ruas Buku Duncan's Multiple Range Test for BJ NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi Ruas Buku

92 74 Lampiran 8. Output analisa statistik pengujian penyusutan dimensi The SS System The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values Jenis 2 GB MY Posisi Vertikal 3 Pangkal Tengah Ujung Lokasi 2 Buku Ruas Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: Susut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE Susut Mean Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Jenis Posisi Vertikal <.0001 Lokasi Duncan's Multiple Range Test for Susut NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range.6012 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis MY GB Duncan's Multiple Range Test for Susut NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square

93 75 Number of Means 2 3 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal Pangkal B Tengah C Ujung Duncan's Multiple Range Test for Susut NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range.6012 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi Ruas Buku Lampiran 9. nalisa korelasi pengujian susut volume dengan faktor K dan BJ Correlations: Susut Volume, K, BJ Volume K K BJ Cell Contents: Pearson correlation P-Value

94 76 Lampiran 10 Data pengujian MOE (kgf/cm 2 ) pada bilah No Kode Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 1 GBP GBT GBU GBP GBT GBU GBP GBT GBU Rata-Rata Stdev MYP MYT MYU MYP MYT MYU MYP MYT MYU Rata-Rata Stdev Lampiran 11 Data pengujian MOR (kgf/cm 2 ) pada bilah No Kode Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 1 GBP GBT GBU GBP GBT GBU GBP GBT GBU Rata-Rata Stdev MYP MYT MYU MYP MYT MYU MYP MYT MYU Rata-Rata Stdev

95 77 Lampiran 12. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah The SS System The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values Jenis 2 GB MY PosisiVertikal 3 Pangkal Tengah Ujung Lokasi 2 Buku Ruas Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: MOE Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE MOE Mean Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Jenis Posisi Vertikal Lokasi Dependent Variable: MOR Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE MOR Mean Source DF Type III SS Mean F Value Pr > F Square Jenis Posisi Vertikal Lokasi Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square E9

96 78 Lampiran 12 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah Number of Means 2 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis GB MY Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis GB MY Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square E9 NumberofMeans 2 3 CriticalRange Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal Tengah B Ujung B B Pangkal Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

97 79 Lampiran 12 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square NumberofMeans 2 3 CriticalRange Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal Tengah B Ujung B B Pangkal Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square E9 Number of Means 2 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. DuncanGrouping Mean N Lokasi Ruas Buku Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi Buku Ruas

98 80 Lampiran 13. nalisa korelasi pengujian MOE dan MOE dengan faktor K dan BJ Correlations: MOE, MOR, K, BJ MOE MOR K MOR K BJ Cell Contents: Pearson correlation P-Value

99 81 Lampiran 14. Data pengujian MOE (kgf/cm 2 ) pada buluh NO Kode Nilai Kode Nilai Kode Nilai 1 GBP GBT GBU GBP GBT GBU GBP GBT GBU Rata-Rata St.Dev MYP MYT MYU MYP MYT MYU MYP MYT MYU Rata-Rata St.Dev Lampiran 15 Data pengujian MOR (kgf/cm 2 ) pada buluh NO KODE Nilai Nilai Nilai 1 GBP1 525 GBT1 343 GBU GBP2 395 GBT2 357 GBU GBP3 473 GBT3 385 GBU3 408 Rata-Rata St.Dev MYP1 314 MYT1 293 MYU MYP2 301 MYT2 162 MYU MYP3 325 MYT3 259 MYU3 310 Rata-Rata St.Dev

100 82 Lampiran 16. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values Jenis 2 GB MY PosisiVertikal 3 Pangkal Tengah Ujung Lokasi 2 Buku Ruas Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: MOE Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE MOE Mean Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Jenis Posisi Vertikal Lokasi Dependent Variable: MOR Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE MOR Mean Source DF Type III SS Mean F Value Pr > F Square Jenis Posisi Vertikal Lokasi Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square E9 Number of Means 2

101 83 Lampiran 16 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh pada bilah Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis GB MY Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis GB MY Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square E9 NumberofMeans 2 3 CriticalRange Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal Tengah B Ujung B B Pangkal Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

102 84 Lampiran 16 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh pada bilah lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square NumberofMeans 2 3 CriticalRange Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal Tengah B Ujung B B Pangkal Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square E9 Number of Means 2 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. DuncanGrouping Mean N Lokasi Ruas Buku Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. lpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi Buku Ruas

103 85 Lampiran 17. nalisa korelasi pengujian MOE dan MOR buluh dengan faktor K dan BJ Correlations: MOE, MOR, K, BJ MOE MOR K MOR K BJ Cell Contents: Pearson correlation P-Value

104 86 Lampiran 18. Data pengujian tarik sejajar serat (kgf/cm 2 ) pada bilah No Kode Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 1 GBP GBT GBU GBP GBT GBU GBP GBT GBU Rata-Rata Stdev MYP MYT MYU MYP MYT MYU MYP MYT MYU Rata-Rata Stdev

105 Lampiran 19. Gambar contoh uji tarik terserang oleh kumbang bubuk nobium sp 87

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Bambu Bambu merupakan tumbuhan yang termasuk ke dalam famili Graminaeae sub-famili Bambusoideae, dari suku Bambuceae. Bambu merupakan rumputrumputan berkayu yang tumbuh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu. 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksankan mulai dari bulan November 2011 - April 2012 yang bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung. 22 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sifat Anatomi Bambu 4.1.1 Bentuk Batang Bambu Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Selain itu, bambu juga memiliki buku (node) yang memisahkan antara 2 ruas (internode).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu Bambu termasuk ke dalam famili Graminae, sub famili Bambusoidae dan suku Bambuseae. Bambu biasanya mempunyai batang yang berongga, akar yang kompleks, serta daun berbentuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 - April 2012 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Teknologi dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas-ruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol (Heyne 1987).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Juni hingga Agustus 2011 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu Foto makroskopis ruas bambu tali disajikan pada Gambar 7 dan bukunya disajikan pada Gambar 8. Foto makroskopis ruas bambu betung disajikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Pengaruh Variasi Penyusunan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan November 2010 di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu dan Laboratorium

Lebih terperinci

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.)

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) HASIL PENELITIAN Oleh : TRISNAWATI 051203021 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan 3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI 3.1. Pendahuluan Analisa teoritis dan hasil eksperimen mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam mekanika bahan (Gere dan Timoshenko, 1997). Teori digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sifat-sifat Dasar dan Laboratorium Terpadu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil

Lebih terperinci

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN 1 PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel CLT, dan pengujian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu akan mempengaruhi kekuatan kayu dalam menerima dan menahan beban yang terjadi pada kayu itu sendiri. Pada umumnya kayu yang memiliki kadar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI Pembahasan Umum

8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI Pembahasan Umum 8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI 8.1. Pembahasan Umum Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan bukan merupakan hal yang baru, tetapi pemanfaatannya pada umumnya hanya dilakukan berdasarkan pengalaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan, [ TINJAUAN PUSTAKA Batang Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Nigeria (Afrika Barat). Tinggi kelapa sawit dapat mencapai 24 m sedangkan diameternya

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM Wang X, Ren H, Zhang B, Fei B, Burgert I. 2011. Cell wall structure and formation of maturing fibres of moso bamboo (Phyllostachys pubescens) increase buckling resistance. J R Soc Interface. V. PEMBAHASAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel, dan pengujian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Potensi Tanaman Kelapa Sawit. Menurut Hadi (2004) pengklasifikasian kelapa sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Potensi Tanaman Kelapa Sawit. Menurut Hadi (2004) pengklasifikasian kelapa sawit TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Potensi Tanaman Kelapa Sawit Menurut Hadi (2004) pengklasifikasian kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang tergolong : Kingdom Divisi Kelas Ordo Familia

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG

KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG KAJIAN SIFAT FISIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA BERBAGAI BAGIAN DAN POSISI BATANG Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Iwan Risnasari : Kajian

Lebih terperinci

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN SKRIPSI Oleh: MARIAH ULFA 101201035 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BILAH BAMBU DAN BULUH UTUH PADA BAMBU TALI DAN BAMBU AMPEL AZHAR ANAS

KARAKTERISTIK BILAH BAMBU DAN BULUH UTUH PADA BAMBU TALI DAN BAMBU AMPEL AZHAR ANAS KARAKTERISTIK BILAH BAMBU DAN BULUH UTUH PADA BAMBU TALI DAN BAMBU AMPEL AZHAR ANAS DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 RINGKASAN Azhar Anas. E24070049. Karakteristik

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN PENDAHULUAN Pasokan kayu sebagai bahan mebel dan bangunan belum mencukupi kebutuhan yang ada Bambu (multiguna, cepat tumbuh, tersebar

Lebih terperinci

Analisis Teknis dan Ekonomis Pemilihan Bilah Laminasi Bambu Berdasarkan Lokasi Potong Sebagai Alternatif Pengganti Kayu Dalam Pembuatan Lambung Kapal

Analisis Teknis dan Ekonomis Pemilihan Bilah Laminasi Bambu Berdasarkan Lokasi Potong Sebagai Alternatif Pengganti Kayu Dalam Pembuatan Lambung Kapal JURNL TEKNIK POMITS Vol. 2, No., (203) ISSN: 2337-3539 (230-927 Print) nalisis Teknis dan Ekonomis Pemilihan Bilah Berdasarkan Lokasi Potong Sebagai lternatif Pengganti Kayu Dalam Pembuatan Kapal M. Bagus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari bulan Mei sampai Juli 2011 bertempat di Laboratorium Biokomposit, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,

Lebih terperinci

SIFAT FISIS, MEKANIS DAN PEMESINAN KAYU RARU (Cotylelobium melanoxylon) SKRIPSI

SIFAT FISIS, MEKANIS DAN PEMESINAN KAYU RARU (Cotylelobium melanoxylon) SKRIPSI ii SIFAT FISIS, MEKANIS DAN PEMESINAN KAYU RARU (Cotylelobium melanoxylon) SKRIPSI Oleh: Agnesia Claudia Agita Putri Siregar 071203012 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS BAMBU DENGAN STABILISASI DIMENSI. The Increasing of Bamboo Quality Using Dimensional Stabilization

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS BAMBU DENGAN STABILISASI DIMENSI. The Increasing of Bamboo Quality Using Dimensional Stabilization UPAYA PENINGKATAN KUALITAS BAMBU DENGAN STABILISASI DIMENSI The Increasing of Bamboo Quality Using Dimensional Stabilization Karti Rahayu Kusumaningsih Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Stiper Yogyakarta

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIS DAN MEKANIS PAPAN PARTIKEL BAMBU BETUNG

KARAKTERISTIK FISIS DAN MEKANIS PAPAN PARTIKEL BAMBU BETUNG KARAKTERISTIK FISIS DAN MEKANIS PAPAN PARTIKEL BAMBU BETUNG HASIL PENELITIAN Oleh: Satria Muharis 071203013/Teknologi Hasil Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

Lebih terperinci

DISTRIBUSI IKATAN PEMBULUH, SIFAT FISISS MEKANIS BILAH BAMBU DAN BAMBU LAMINASI DUA DEA DARA AUGISTYRA

DISTRIBUSI IKATAN PEMBULUH, SIFAT FISISS MEKANIS BILAH BAMBU DAN BAMBU LAMINASI DUA DEA DARA AUGISTYRA DISTRIBUSI IKATAN PEMBULUH, SIFAT FISISS MEKANIS BILAH BAMBU DAN BAMBU LAMINASI DUA LAPIS DEA DARA AUGISTYRA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 DISTRIBUSI IKATAN PEMBULUH,

Lebih terperinci

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR KAYU EKALIPTUS (Eucalyptus grandis) UMUR 5 TAHUN

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR KAYU EKALIPTUS (Eucalyptus grandis) UMUR 5 TAHUN KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR KAYU EKALIPTUS (Eucalyptus grandis) UMUR 5 TAHUN SKRIPSI FRANS JANUARI HUTAGALUNG 051203045 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVESITAS SUMATERA UTARA 2010 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bambu merupakan tanaman dari famili rerumputan (Graminae) yang banyak dijumpai dalam kehidupan manusia, termasuk di Indonesia. Secara tradisional bambu dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis dari panel CLT yang diuji yaitu, kerapatan (ρ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV) dan penyusutan volume (SV). Hasil pengujian sifat fisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Lapis Tsoumis (1991) mengemukakan bahwa, kayu lapis (plywood) adalah sebuah produk panel yang terbuat dengan merekatkan sejumlah lembaran vinir atau merekatkan lembaran

Lebih terperinci

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU IPIL (Endertia spectabilis Steenis & de Wit Sidiyasa) BERDASARKAN LETAK KETINGGIAN DALAM BATANG

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU IPIL (Endertia spectabilis Steenis & de Wit Sidiyasa) BERDASARKAN LETAK KETINGGIAN DALAM BATANG Jurnal AGRIFOR Volume XV Nomor 1, Maret 2016 ISSN : 1412 6885 SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU IPIL (Endertia spectabilis Steenis & de Wit Sidiyasa) BERDASARKAN LETAK KETINGGIAN DALAM BATANG Kusno Yuli Widiati

Lebih terperinci

PENGARUH UKURAN PELUPUH (ZEPHYR) DAN BUKU BAMBU (NODE) TERHADAP KUALITAS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper)

PENGARUH UKURAN PELUPUH (ZEPHYR) DAN BUKU BAMBU (NODE) TERHADAP KUALITAS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) PENGARUH UKURAN PELUPUH (ZEPHYR) DAN BUKU BAMBU (NODE) TERHADAP KUALITAS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) SKRIPSI Oleh: ANNISA NADIA 101201040 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dan UPT Biomaterial LIPI - Cibinong Science Centre. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian Jenis kayu yang dipakai dalam penelitian ini adalah kayu rambung dengan ukuran sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMANFAATAN SALAH SATU JENIS LESSER KNOWN SPECIES DARI SEGI SIFAT FISIS DAN SIFAT MEKANISNYA SKRIPSI OLEH: KRISDIANTO DAMANIK

OPTIMASI PEMANFAATAN SALAH SATU JENIS LESSER KNOWN SPECIES DARI SEGI SIFAT FISIS DAN SIFAT MEKANISNYA SKRIPSI OLEH: KRISDIANTO DAMANIK OPTIMASI PEMANFAATAN SALAH SATU JENIS LESSER KNOWN SPECIES DARI SEGI SIFAT FISIS DAN SIFAT MEKANISNYA SKRIPSI OLEH: KRISDIANTO DAMANIK 121201056 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis 4.1.1 Kadar air BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata nilai kadar air (KA) kayu surian kondisi kering udara pada masing-masing bagian (pangkal, tengah dan ujung) disajikan pada Tabel 1.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bambu tergolong keluarga Graminiae (rumput-rumputan) disebut juga Giant Grass

I. PENDAHULUAN. Bambu tergolong keluarga Graminiae (rumput-rumputan) disebut juga Giant Grass 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bambu tergolong keluarga Graminiae (rumput-rumputan) disebut juga Giant Grass (rumput raksasa), berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara bertahap,

Lebih terperinci

KAYU JUVENIL (JUVENILE WOOD)

KAYU JUVENIL (JUVENILE WOOD) KARYA TULIS KAYU JUVENIL (JUVENILE WOOD) Disusun oleh : RUDI HARTONO, S.HUT, MSi NIP 132 303 838 JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2006 DAFTAR ISI Kata Pengantar... Daftar

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA i PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 i PENGARUH PERENDAMAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2011 Januari 2012 dan dilaksanakan di Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Bagian Kimia Hasil Hutan, Bagian Biokomposit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame) struktural yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kolom lentur. Kolom merupakan elemen struktur yang menahan gaya aksial dan momen 2.1.1. Pengertian dan prinsip dasar kolom Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka (frame)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bambu merupakan keluarga rumput, dan memiliki sebutan pula sebagai

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bambu merupakan keluarga rumput, dan memiliki sebutan pula sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bambu merupakan keluarga rumput, dan memiliki sebutan pula sebagai rumput raksasa The Giant Grass. Sebagai sebuah tanaman tumbuh tercepat di dunia, bambu pun memiliki

Lebih terperinci

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH

SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU BONGIN (Irvingia malayana Oliv) DARI DESA KARALI III KABUPATEN MURUNG RAYA KALIMANTAN TENGAH Oleh/By Muhammad Faisal Mahdie Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PAPAN SEMEN DARI LIMBAH KERTAS KARDUS DENGAN PENAMBAHAN KATALIS KALSIUM KLORIDA

KARAKTERISTIK PAPAN SEMEN DARI LIMBAH KERTAS KARDUS DENGAN PENAMBAHAN KATALIS KALSIUM KLORIDA KARAKTERISTIK PAPAN SEMEN DARI LIMBAH KERTAS KARDUS DENGAN PENAMBAHAN KATALIS KALSIUM KLORIDA HASIL PENELITIAN Oleh: Zul Rahman Arief 061203037 / Teknologi Hasil Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno,

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sengon merupakan salah satu tanaman cepat tumbuh yang dipilih dalam program pembangunan hutan tanaman industri (HTI) karena memiliki produktivitas yang tinggi dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit dan pengujian sifat fisis dan mekanis dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa dan Desain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Hutan Tanaman Industri setelah pinus. Ekaliptus merupakan tanaman eksotik

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Hutan Tanaman Industri setelah pinus. Ekaliptus merupakan tanaman eksotik TINJAUAN PUSTAKA Ekaliptus Tanaman ekaliptus mempunyai sistematika sebagai berikut: Division Sub Divisio Class Ordo Famili Genus : Spermatophyta : Angiospoermae : Dicotyledone : Myrtiflorae : Myrtaceae

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 9 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pembuatan CLT dengan sambungan perekat yang dilakukan di laboratorium dan bengkel kerja terdiri dari persiapan bahan baku,

Lebih terperinci

SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DARI BAMBU ANDONG (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) TENGKU MUHAMMAD FADLI

SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DARI BAMBU ANDONG (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) TENGKU MUHAMMAD FADLI SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DARI BAMBU ANDONG (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) TENGKU MUHAMMAD FADLI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SIFAT FISIS

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Mei 2010, bertempat di Laboratorium Pengeringan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Hasil Hutan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bambu Tali. kayu dengan masa panen 3-6 tahun. Bahan berlignoselulosa pada umumnya dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Bambu Tali. kayu dengan masa panen 3-6 tahun. Bahan berlignoselulosa pada umumnya dapat TINJAUAN PUSTAKA Bambu Tali Bambu sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang memiliki kandungan lignoselulosa melimpah di Indonesia dan berpotensi besar untuk dijadikan sebagai bahan pengganti kayu

Lebih terperinci

PENGGUNAAN RANTING BAMBU ORI (BAMBUSA ARUNDINACEA) SEBAGAI KONEKTOR PADA STRUKTUR TRUSS BAMBU (053S)

PENGGUNAAN RANTING BAMBU ORI (BAMBUSA ARUNDINACEA) SEBAGAI KONEKTOR PADA STRUKTUR TRUSS BAMBU (053S) PENGGUNAAN RANTING BAMBU ORI (BAMBUSA ARUNDINACEA) SEBAGAI KONEKTOR PADA STRUKTUR TRUSS BAMBU (053S) Astuti Masdar 1, Zufrimar 3, Noviarti 2 dan Desi Putri 3 1 Jurusan Teknik Sipil, STT-Payakumbuh, Jl.Khatib

Lebih terperinci

PROTOTYPE PARQUET DARI LIMBAH BATANG AREN Arenga pinnata (Wurmb) Merrill SKRIPSI. Oleh: ANDRO TARIGAN

PROTOTYPE PARQUET DARI LIMBAH BATANG AREN Arenga pinnata (Wurmb) Merrill SKRIPSI. Oleh: ANDRO TARIGAN PROTOTYPE PARQUET DARI LIMBAH BATANG AREN Arenga pinnata (Wurmb) Merrill SKRIPSI Oleh: ANDRO TARIGAN 041203010 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PROTOTYPE PARQUET

Lebih terperinci

KUALITAS PAPAN SEMEN DARI LIMBAH INDUSTRI PENSIL DENGAN BERBAGAI KOMPOSISI BAHAN BAKU DAN KONSENTRASI CaCl 2

KUALITAS PAPAN SEMEN DARI LIMBAH INDUSTRI PENSIL DENGAN BERBAGAI KOMPOSISI BAHAN BAKU DAN KONSENTRASI CaCl 2 KUALITAS PAPAN SEMEN DARI LIMBAH INDUSTRI PENSIL DENGAN BERBAGAI KOMPOSISI BAHAN BAKU DAN KONSENTRASI CaCl 2 SKRIPSI Fatmala Salmah 111201001 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kekuatan sambungan tarik double shear balok kayu pelat baja menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran tertentu ini dilakukan selama kurang lebih

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 1-7 (2010)

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 3(1): 1-7 (2010) 1 SIFAT FISIS DAN MEKANIS BATANG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL KEBUN AEK PANCUR- SUMATERA UTARA Physical and Mechanical Properties of Palm Oil Trunk from Aek Pancur Farming-North Sumatera

Lebih terperinci

PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS BULUH BAMBU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI MENGGUNAKAN ISO : 2004 ABDUL HARIS

PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS BULUH BAMBU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI MENGGUNAKAN ISO : 2004 ABDUL HARIS PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS BULUH BAMBU SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI MENGGUNAKAN ISO 22157-1: 2004 ABDUL HARIS DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGUJIAN SIFAT

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dari bulan Pebruari hingga Juni 2009. Identifikasi herbarium dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, sementara pengamatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kekuatan sambungan menurut kekuatan lentur paku serta pembenaman paku ke dalam balok terhadap empat jenis kayu dilakukan selama kurang lebih tiga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jati Tectona grandis Linn. f. atau jati merupakan salah satu tumbuhan yang masuk dalam anggota famili Verbenaceae. Di Indonesia dikenal juga dengan nama deleg, dodolan, jate,

Lebih terperinci

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PAPAN SEMEN DARI LIMBAH KERTAS KARDUS DENGAN PENAMBAHAN KATALIS NATRIUM SILIKAT

KARAKTERISTIK PAPAN SEMEN DARI LIMBAH KERTAS KARDUS DENGAN PENAMBAHAN KATALIS NATRIUM SILIKAT KARAKTERISTIK PAPAN SEMEN DARI LIMBAH KERTAS KARDUS DENGAN PENAMBAHAN KATALIS NATRIUM SILIKAT SKRIPSI Oleh Ance Trisnawati Gultom 061203040/Teknologi Hasil Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan bahan baku dan pembuatan papan partikel dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Bio-Komposit sedangkan untuk pengujian

Lebih terperinci

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber 2.1.1 Definisi Cross Laminated Timber (CLT) pertama dikembangkan di Swiss pada tahun 1970-an. Produk ini merupakan perpanjangan dari teknologi rekayasa

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pengumpulan data di laboratorium berlangsung selama tujuh bulan dimulai pada bulan Juli 2006 hingga Januari 2007. Contoh bambu betung (Dendrocalamus asper) yang digunakan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg. PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.) SUKMA SURYA KUSUMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Struktur kayu merupakan suatu struktur yang susunan elemennya adalah kayu. Dalam merancang struktur kolom kayu, hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan besarnya

Lebih terperinci

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005 .;.. DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPIIIEIEN HISIL HUliN Kampus IPB Darmaga PO BOX 168 Bogor 161 Alamat Kawat FAHUTAN Bogor Phone: (251) 621285, Fax: (251)

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR PEREKAT DAN JENIS BAMBU TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN PARTIKEL

PENGARUH KADAR PEREKAT DAN JENIS BAMBU TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN PARTIKEL PENGARUH KADAR PEREKAT DAN JENIS BAMBU TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN PARTIKEL THE EFFECT OF GLUE CONCENTRATION AND VARIETY OF BAMBOOS ON THE PHYSICAL AND MECHANICAL OF PARTICLE BOARD Arhamsyah*

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Geometri Strand Hasil pengukuran geometri strand disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan data, nilai rata-rata dimensi strand yang ditentukan dengan menggunakan 1 strand

Lebih terperinci

SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN SEMEN DARI LIMBAH INDUSTRI PENSIL DENGAN BERBAGAI RASIO BAHAN BAKU DAN TARGET KERAPATAN

SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN SEMEN DARI LIMBAH INDUSTRI PENSIL DENGAN BERBAGAI RASIO BAHAN BAKU DAN TARGET KERAPATAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAPAN SEMEN DARI LIMBAH INDUSTRI PENSIL DENGAN BERBAGAI RASIO BAHAN BAKU DAN TARGET KERAPATAN Oleh: Yunida Syafriani Lubis 111201033 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla TINJAUAN PUSTAKA Kayu Eucalyptus urophylla Menurut Djapilus dan Suhaendi (1978) dalam Utomo (2008) E. urophylla termasuk dalam famili Myrtaceae, terdiri atas 500 jenis dan 138 varietas. Pohon ekaliptus

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Berat Jenis dan Kerapatan Kayu Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara 0.2-1.28 kg/cm 3. Berat jenis kayu merupakan suatu petunjuk dalam menentukan kekuatan

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH KONDISI KADAR AIR KAYU KELAPA TERHADAP SIFAT MEKANIS ABSTRAK

STUDI PENGARUH KONDISI KADAR AIR KAYU KELAPA TERHADAP SIFAT MEKANIS ABSTRAK VOLUME 5 NO. 2, OKTOBER 2009 STUDI PENGARUH KONDISI KADAR AIR KAYU KELAPA TERHADAP SIFAT MEKANIS Fauzan 1, Ruddy Kurniawan 2, Siska Martha Sari 3 ABSTRAK Kayu kelapa sebagai alternatif bahan konstruksi

Lebih terperinci

PENGARUH PANJANG PARTIKEL TERHADAP KUALITAS ORIENTED PARTICLE BOARD DARI BAMBU TALI (Gigantochloa apus J.A & J.H. Schult.

PENGARUH PANJANG PARTIKEL TERHADAP KUALITAS ORIENTED PARTICLE BOARD DARI BAMBU TALI (Gigantochloa apus J.A & J.H. Schult. PENGARUH PANJANG PARTIKEL TERHADAP KUALITAS ORIENTED PARTICLE BOARD DARI BAMBU TALI (Gigantochloa apus J.A & J.H. Schult. Kurz) SKRIPSI Oleh: RICKY HALOMOAN GEA 111201132/TEKNOLOGI HASIL HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb.

KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb. KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb.) FARIKA DIAN NURALEXA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PAPAN SEMEN DARI TIGA JENIS BAMBU DENGAN PENAMBAHAN KATALIS MAGNESIUM KLORIDA (MgCl 2 )

KARAKTERISTIK PAPAN SEMEN DARI TIGA JENIS BAMBU DENGAN PENAMBAHAN KATALIS MAGNESIUM KLORIDA (MgCl 2 ) KARAKTERISTIK PAPAN SEMEN DARI TIGA JENIS BAMBU DENGAN PENAMBAHAN KATALIS MAGNESIUM KLORIDA (MgCl 2 ) SKRIPSI Oleh: Irvan Panogari Sibarani 071203007/ Teknologi Hasil Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

SIFAT ANATOMI BAMBU AMPEL (Bambusa vulgaris Schrad.) PADA ARAH AKSIALDAN RADIAL

SIFAT ANATOMI BAMBU AMPEL (Bambusa vulgaris Schrad.) PADA ARAH AKSIALDAN RADIAL SIFAT ANATOMI BAMBU AMPEL (Bambusa vulgaris Schrad.) PADA ARAH AKSIALDAN RADIAL Harry Praptoyo 1 dan Aditya Yogasara 2 1 Staf Pengajar Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta 2

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji

5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji 5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji Bambu betung (Dendrocalamus asper) merupakan satu dari empat macam bambu yang dianggap paling penting dan sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, serta umum dipasarkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai Juli 2008. Pembuatan OSB dilakukan di Laboratorium Biokomposit, pembuatan contoh uji di Laboratorium

Lebih terperinci

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 48 4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT 4.1 Pendahuluan Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, kekuatan papan yang dihasilkan masih rendah utamanya nilai MOR

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : intensitas serangan penggerek kayu di laut, perubahan sifat fisik dan sifat mekanik kayu

ABSTRAK. Kata kunci : intensitas serangan penggerek kayu di laut, perubahan sifat fisik dan sifat mekanik kayu ABSTRAK ADITYA NUGROHO. Perubahan Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Beberapa Jenis Kayu Akibat Serangan Penggerek Kayu Laut di Perairan Pulau Rambut. Dibimbing oleh SUCAHYO SADIYO dan MOHAMMAD MUSLICH. Penelitian

Lebih terperinci

PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU

PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU KARYA TULIS PENENTUAN AIR DALAM RONGGA SEL KAYU Disusun Oleh: Tito Sucipto, S.Hut., M.Si. NIP. 19790221 200312 1 001 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK VOLUME 12 NO. 2, OKTOBER 2016 PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU Fengky Satria Yoresta 1, Muhammad Irsyad Sidiq 2 ABSTRAK Tulangan besi

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN Pilihan suatu bahan bangunan tergantung dari sifat-sifat teknis, ekonomis, dan dari keindahan. Perlu suatu bahan diketahui sifat-sifat sepenuhnya. Sifat Utama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Geometri Strand Hasil pengukuran geometri strand secara lengkap disajikan pada Lampiran 1, sedangkan nilai rata-ratanya tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai pengukuran

Lebih terperinci

VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN PARTIKEL KELAPA SAWIT DAN SERUTAN MERANTI

VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN PARTIKEL KELAPA SAWIT DAN SERUTAN MERANTI 1 VARIASI KADAR PEREKAT PHENOL FORMALDEHIDA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN PARTIKEL KELAPA SAWIT DAN SERUTAN MERANTI SKRIPSI ANDRIAN TELAUMBANUA 111201059/TEKNOLOGI HASIL HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Microfibril Angle (MFA) Contoh uji persegi panjang diambil dari disk dan dipotong menjadi segmen dengan ukuran 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dari empulur hingga kulit dan diberi nomor mulai dari empulur

Lebih terperinci