HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Surya Sanjaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitoid yang ditemukan di Lapang Selama survei pendahuluan, telah ditemukan tiga jenis parasitoid yang tergolong dalam famili Eupelmidae, Pteromalidae dan Scelionidae. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa parasitoid famili Scelionidae selalu ditemukan pada kelompok telur C. javanus yang terparasit. Hasil ini menunjukkan bahwa parasitoid ini cukup dominan di lapang. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Qodir (2010) yaitu bahwa parasitoid ini selalu ditemukan di setiap pengamatan dan selalu berperan dalam memarasit telur C. javanus. Oleh karena itu pemahaman biologi, siklus hidup dan potensi parasitoid Trissolcus sp. dari famili Scelionidae ini penting untuk membangun strategi pengelolaan hama C. javanus yang efektif. Tabel 1 Parasitoid yang ditemukan di lapang Kelompok Telur Eupelmidae Pteromalidae Scelionidae Jumlah Biologi dan Siklus Hidup Trissolcus sp. pada Inang C. javanus Trissolcus sp. merupakan parasitoid pada telur serangga ordo Hemiptera. Parasitoid ini merupakan endoparasitoid soliter primer yang bersifat idiobiont (Masner 1993; Austin et al. 2005). Parasitoid yang bersifat idiobiont setelah memarasit akan membuat inang berhenti mengalami perkembangan lebih lanjut (Gordh dan Headrick 2001; Driesche et al. 2008). Perkembangan Trissolcus sp. termasuk dalam hipermetamorfosis. Larva berubah bentuk pada setiap instarnya dan berkembang hingga menjadi imago di dalam inang. Imago yang telah berkembang sempurna kemudian keluar dari dalam inang dengan cara menggigit kulit telur inang menggunakan mandibel sehingga terbentuk lubang bergerigi.
2 16 Telur Telur Trissolcus sp. dalam ovari berbentuk lonjong, berwarna putih susu berukuran panjang 0,25 0,34 mm dan lebar 0,05 0,12 mm sedangkan telur Trissolcus sp. yang ditemukan pada telur C. javanus yang dibedah berbentuk bulat telur, warna telur putih susu dengan ukuran panjang 0,35-0,43 mm dan lebar 0,15-0,2 mm. Pada kedua telur, terdapat tangkai (stalk) berbentuk lonjong meruncing dengan panjang 0,14 ± 0,01 mm pada salah satu ujungnya (Gambar 5). Menurut Clausen (1940) telur tersebut bertipe stalked. Gambar 5 Telur Trissolcus sp.; (a) dalam ovari, (b) 12 jam setelah peletakkan telur (SPT). Larva Larva Trissolcus sp. dijumpai pada hari pertama setelah telur diletakkan. Perkembangan larva dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan ukuran. Larva instar pertama memiliki abdomen berbentuk bulat seperti bola hingga agak lonjong menyerupai buah pir, berwarna putih keruh agak transparan, aktif bergerak, dan memilki mandibel besar berbentuk seperti kait yang mengarah ke bagian ventral (Gambar 6a, 6b, dan 6c). Segmen tubuh tidak terlihat jelas namun pembagian tubuh larva menjadi dua bagian terlihat jelas. Mandibel terdapat pada bagian anterior yang disebut kepala (Henriksen, Bakkendorf dan Pagden 1934 dalam Clausen 1940) atau cephalothorax (Noble dan Kamal dalam Clausen 1940). Larva instar pertama berukuran panjang 0,37-0,85 mm dan lebar 0,14-0,57 mm. Umur larva instar pertama adalah 36 jam. Clausen (1940) menggolongkan larva ini ke dalam tipe teleaform. Perkembangan larva instar kedua Trissolcus sp. ditandai oleh mulai menghilangnya mandibel dan bertambahnya ukuran tubuh larva (Gambar 6d dan
3 17 6e). Bentuk tubuh larva instar kedua bulat, berwarna putih keruh agak kekuningan. Perubahan bentuk, warna dan ukuran terjadi pada 72 jam setelah peletakkan telur (SPT). Larva berukuran panjang 0,85-1,23 mm dan lebar 0,57-1,08 mm. Umur larva instar kedua adalah 24 jam. Larva instar kedua parasitoid dari ordo Hymenoptera biasanya menyerupai bentuk larva instar akhirnya yaitu bagian kepala dan mandibel menghilang (Hagen 1973). Pada famili Scelionidae bentuk larva instar kedua yang sebenarnya masih dalam perdebatan (Clausen 1940). Gambar 6 Larva Trissolcus sp.; (a) 24 jam SPT, mandibel terlihat jelas, (b) 36 jam SPT, (c) 48 jam SPT (d) 60 jam SPT mandibel mulai menghilang, (e) 72 jam SPT mandibel menghilang (f) 84 jam SPT, (g) 96 jam SPT, dan (h) 108 jam SPT. Larva instar ketiga ditemukan pada pengamatan 84 jam setelah telur diletakkan, bentuk larva bulat dengan warna putih kekuningan, mandibel tidak terlihat lagi dan ukuran yang semakin besar (Gambar 6f). Perubahan warna dan struktur terlihat memasuki umur 96 jam setelah telur diletakkan (Gambar 6g). Permukaan tubuh larva terlihat mengerut dan warnanya lebih kuning dibandingkan 12 jam sebelumnya. Pada pengamatan 108 jam setelah peletakkan telur, warna larva semakin menguning dan strukturnya mulai mengeras (Gambar 6h). Pada saat pembedahan, larva sudah memenuhi seluruh inang dan masih ada pergerakan larva yang teramati ketika inang akan dibedah. Larva instar ketiga memilki panjang 1,25-1,46 mm dan lebar 1-1,31 mm. Umur larva instar ketiga adalah 36 jam. Larva instar akhir pada parasitoid dari ordo Hymenoptera adalah hymenopteriform (Hagen 1973). Pada beberapa spesies, hanya terdapat dua instar larva, ini berdasarkan adanya persamaan antara instar kedua dan ketiga (Clausen
4 ). Stadia larva berlangsung selama empat hari (Tabel 2). Memasuki hari ke 5 setelah peletakkan telur, larva parasitoid berkembang menjadi prapupa. Prapupa Prapupa dijumpai pada pembedahan 120 jam setelah peletakkan telur (Gambar 7). Stadium ini dimulai ketika larva instar akhir telah berhenti makan dan hampir tidak menunjukkan pergerakan tubuh. Tubuh prapupa Trissolcus sp. berwana putih susu agak kekuningan, segmen tubuh terlihat dan struktur tubuh tidak selunak stadium larva. Tubuh prapupa Trissolcus sp. memilki ukuran panjang 1,15-1,38 mm dan lebar 0,85-1,08 mm. Pada saat pengamatan, larva memasuki fase eonymph dengan ciri-ciri bentuknya masih menyerupai larva instar terakhir namun lebih mengembang atau menggelembung, dan seringkali ditandai perubahan warna larva dari putih kekuningan menjadi putih buram (Morris 1937 dalam Hagen 1973). Stadium prapupa berlangsung selama satu hari (Tabel 2). Gambar 7 Prapupa Trissolcus sp.; (a) lateral, (b) ventral. Pupa Pupa Trissolcus sp. yang baru terbentuk berwarna putih keruh agak kecokelatan. Pupa ditemukan pada pengamatan 144 jam setelah peletakkan telur. (Gambar 8a, 8b dan 8c). Pada tahap ini sudah tidak ada pergerakan sama sekali (Morris 1937 dalam Hagen 1973). Bagian tubuh seperti mata, tungkai, antena, dan ruas abdomen sudah terbentuk dan terlihat jelas. Pupa Trissolcus sp. pada pengamatan 144 jam setelah peletakkan telur memiliki panjang 1,31-1,38 mm dan lebar 0,8-0,85 mm.
5 19 Gambar 8 Pupa Trissolcus sp. 144 jam SPT (a) lateral (b) ventral (c) dorsal; 168 jam SPT (d) lateral (e) ventral (f) dorsal; 192 jam SPT (g) lateral (h) ventral (i) dorsal; 216 jam SPT (j) lateral (k) ventral (l) dorsal; 240 jam SPT (m) lateral (n) ventral (o) dorsal. Pada pengamatan 168 jam setelah peletakkan telur, hanya sedikit perubahan yang terjadi pada pupa Trissolcus sp. yaitu warna mata pupa berubah menjadi merah agak kecoklatan (Gambar 8d, 8e, dan 8f). Bagian tubuh lainnya seperti tungkai, antena, sayap dan ruas abdomen semakin jelas terlihat. Panjang pupa
6 20 Trissolcus sp. pada pengamatan 168 jam setelah peletakkan telur 1,31-1,38 mm dan lebar 0,85-0,88 mm. Pupa Trissolcus sp. mulai berubah warna menjadi hitam 192 jam setelah peletakkan telur. Perubahan warna dimulai dari bagian kepala dan torak yang semula putih keruh menjadi hitam namun bagian abdomen belum berwarna hitam (Gambar 8g, 8h, dan 8i). Organ tubuh sudah lengkap dan bakal sayap mulai terlihat jelas. Pupa berukuran panjang 1,37-1,38 mm dan lebar 0,91-0,92 mm. Pada pengamatan 216 jam setelah peletakkan telur, tubuh pupa Trissolcus sp. mulai menghitam hingga bagian abdomen (Gambar 8j, 8k, dan 8l). Tungkai dan antena berwarna putih bening, sayap berwarna putih keruh dan warna mata menjadi merah kehitaman. Pupa berukuran panjang 1,37-1,40 mm dan lebar 0,91-0,92 mm. Warna tubuh pupa Trissolcus sp. menghitam sempurna 240 jam setelah peletakkan telur (Gambar 8m, 8n, dan 8o). Mata berwarna hitam. Femur, tibia dan tarsus berwarna coklat terang. Sayap belum terbentuk sempurna dan masih berwarna putih keruh. Pupa masih belum bergerak namun sudah memasuki fase akhir perkembangan. Pupa berukuran panjang 1,45-1,46 mm dan lebar 0,69-0,71 mm. Stadium pupa berlangsung selama lima hari (Tabel 2). Tabel 2 Lama perkembangan parasitoid Trissolcus sp. Stadia Perkembangan Lama Stadium (hari) Telur 1 Larva 4 Prapupa 1 Pupa 5 Imago Imago Trissolcus sp. keluar dengan cara menggigit kulit telur C. javanus sebagai inangnya. Imago jantan keluar mulai hari ke-10 sampai ke-15 sedangkan imago betina keluar mulai hari ke 11 sampai ke-18 setelah telur diletakkan. Imago betina dan jantan berwarna hitam sedangkan femur, tibia dan tarsus berwarna coklat terang. Perbedaan kedua imago tersebut terletak pada bentuk antena dan ukuran tubuhnya. Pada antena jantan, ruas flagelomernya membulat sedangkan pada antena betina tidak (Gambar 9). Imago jantan memiliki ukuran
7 21 panjang 1,33 ± 0,06 mm dan lebar 0,69 ± 0,03 mm, lebih kecil dibandingkan dengan imago betina yang berukuran panjang 1,51 ± 0,06 mm dan lebar 0,73 ± 0,03 mm (Tabel lampiran 1). Gambar 9 Imago Trissolcus sp. betina (a) lateral (b) ventral (c) dorsal; jantan (d) lateral (e) ventral (f) dorsal. Setelah keluar dari telur inang, imago Trissolcus sp. jantan akan berputarputar di sekitar telur inang yang berisi parasitoid betina yang belum keluar (Gambar Lampiran 2a). Imago jantan tersebut juga akan mengusir imago jantan lain yang mendekati telur inang yang berisi parasitoid betina yang belum keluar. Segera setelah imago betina keluar, imago jantan akan menghampiri dan melakukan kopulasi. Kopulasi berlangsung sangat singkat hanya sekitar 2 3 detik (Gambar Lampiran 2b). Perilaku imago betina setelah kopulasi meliputi pemilihan telur, oviposisi dan menandai telur. Pemilihan telur inang oleh imago betina dilakukan dengan cara menggerakan dan menyentuhkan antena pada telur inang sambil mengelilingi telur inang. Menurut Doutt et al. (1989) dan Weber et al. (1996), perilaku seperti ini dimaksudkan untuk membedakan telur inang yang sudah terparasit dan belum terparasit. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya kepunahan keturunan akibat superparasitisme atau multiparasitisme. Setelah menemukan inang yang sesuai, imago betina akan melakukan oviposisi (Gambar Lampiran 2c dan 2d). Oviposisi dilakukan pada bagian atas telur untuk telur yang berada di tengah kelompok dan
8 22 dibagian dinding samping telur untuk telur yang berada di pinggir kelompok. Trissolcus sp. juga teramati melakukan penandaan telur yang telah diparasit. Tanda dibuat dengan cara menyentuhkan ovipositor pada permukaan telur. Tanda yang dibuat berupa pola yang menyerupai angka delapan. Perilaku ini juga teramati pada spesies Trissolcus yang digunakan Weber et al. (1996) sebagai materi penelitian. Penempelan ovipositor pada telur inang yang terparasit bertujuan untuk menempelkan senyawa berupa feromon penanda inang (host marking pheromone). Senyawa ini disekresikan oleh kelenjar aksesoris yaitu kelenjar Dufour (Rosi et al. 2001). Potensi Trissolcus sp. Sebagai Parasitoid Telur pada Inang C. javanus Lama Perkembangan Lama perkembangan Trissolcus sp. ditentukan berdasarkan waktu yang diperlukan untuk perkembangan sejak telur diletakkan sampai imago parasitoid muncul. Hasil pembedahan terhadap inang terparasit digunakan untuk menentukan lama stadium telur, larva, prapupa dan pupa. Hasil penelitian menunjukkan lama perkembangan jantan 11,91 ± 0,73 hari sedangkan betina 12,66 ± 1,22 hari (Tabel 3). Hasil penelitian Awan et al. (1990) menyatakan perkembangan T. basalis dari tiga daerah geografis yang berbeda pada inang N. viridula berkisar 9 sampai 12 hari. Lama perkembangan dapat dipengaruhi oleh suhu udara. Hasil penelitian Torres et al. (2002) menunjukkan pada suhu yang berfluktuasi antara C dengan rerata suhu 25,83 0 C, waktu yang dibutuhkan T. brochymenae untuk berkembang menjadi imago dalam inang Podisus nigrispinus adalah 13,3 ± 0,2 hari untuk betina dan 12,3 ± 0,2 hari untuk jantan. Suhu tinggi dapat meningkatkan kecepatan perkembangan pradewasa Trissolcus grandis (Iranipour et al. 2010) dan Telenomus isis (Chabi-Olaye et al. 2001).
9 23 Tabel 3 Jumlah imago Trissolcus sp. jantan dan betina yang muncul Jumlah imago jantan Jumlah imago betina Hari ke- (individu) (individu) 10 3, ,00 74, ,00 272, ,00 201, ,00 62, ,00 29, , , ,00 Total (individu) 172,00 659,00 Lama perkembangan (hari) 11,91 ± 0,73 12,66 ± 1,22 Lama perkembangan Trissolcus sp. berkaitan dengan banyaknya generasi yang dapat dihasilkan. Parasitoid yang efektif memiliki lama perkembangan pradewasa yang singkat dan keperidian yang tinggi (Doutt dan DeBach 1973). Semakin singkat waktu perkembangan Trissolcus sp., semakin banyak generasi yang dihasilkan dalam suatu kurun waktu tertentu. Informasi tersebut penting untuk mengetahui perkembangan populasi parasitoid, perbanyakan di laboratorium dan pelepasan di lapangan. Lama perkembangan jantan dan betina juga dapat mempengaruhi keturunan selanjutnya karena perbedaan waktu perkembangan antara jantan dan betina akan membuat peluang terjadinya kopulasi semakin besar. Jantan yang telah muncul terlebih dahulu dapat mengawini betina yang baru muncul. Informasi lama perkembangan parasiotid juga dapat dijadikan dasar dalam penentuan waktu pelepasan di lapangan. Pelepasan parasitoid Trissolcus sp. ke lapang dapat dilakukan pada hari ke-9 setelah telur C. javanus terparasit atau pada saat parasitoid memasuki stadium pupa. Keberhasilan Hidup Data pada tabel 4 menunjukkan rata-rata persentase keberhasilan hidup Trissolcus sp. pada inang C. javanus adalah 86,71 ± 3,77 %. Tingginya persentase keberhasilan hidup Trissolcus sp. dapat menunjukkan bahwa C. javanus
10 24 merupakan inang yang sesuai bagi perkembangan Trissolcus sp. Oleh sebab itu, Trissolcus sp. mempunyai potensi yang besar untuk perbanyakan massal maupun pelepasan di lapangan. Tabel 4 Keberhasilan hidup imago Trissolcus sp. Telur terparasit Imago yang muncul Persentase keberhasilan Ulangan (butir) (individu) hidup (%) 1 102,00 91,00 89, ,00 90,00 85, ,00 93,00 87, ,00 91,00 87, ,00 82,00 86, ,00 107,00 86, ,00 49,00 85, ,00 79,00 80, ,00 88,00 94, ,00 61,00 82,43 Rerata ± SD 95,70 ± 8,34 83,10 ± 16,78 86,71 ± 3,77 Kematian pradewasa Trissolcus sp. tidak diketahui penyebabnya secara pasti namun berdasarkan pengamatan terlihat bahwa sejumlah imago yang telah berkembang tidak bisa menggigit kulit telur sehingga imago tersebut tidak bisa keluar dari inang. Jenis inang (Kivan dan Kilic 2002) dan suhu (Chabi-Olaye et al. 2001) juga mempengaruhi keberhasilan hidup parasitoid. Parameter Kehidupan Parasitoid Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama hidup parasitoid Trissolcus sp. betina 17,40 ± 7,38 hari. Sedangkan parasitoid jantan 23,70 ± 9,49 hari (Tabel 5). Menurut Arakawa et al. (2004) T. mitsukurii betina yang muncul dari inang N. viridula dapat hidup selama 11,0 ± 0,5 hari. Hasil penelitian Awan et al. (1990) menunjukkan T. basalis betina mampu hidup hingga 34,4 hari pada inang Nezara viridula sedangkan imago jantan hidup lebih lama. Lama hidup dapat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan berupa madu. Rahat et al. (2005) menemukan bahwa lama hidup imago T. basalis dipengaruhi oleh jenis tanaman penghasil nektar. Lama hidup juga dipengaruhi oleh suhu, baik saat penyimpanan imago dalam
11 25 suhu rendah (Foerster dan Doetzer 2006) maupun saat kondisi normal (Chabi- Olaye et al. 2001; Iranipour et al. 2010). Tabel 5 Parameter kehidupan imago betina Trissolcus sp. Ulangan Masa oviposisi (hari) Masa oviposisi (hari) Masa pascaoviposisi (hari) Lama Hidup (hari) Betina Jantan 1 0 6,00 8,00 14,00 26, ,00 9,00 15,00 28, ,00 9,00 16,00 33, ,00 31,00 37,00 36, ,00 11,00 17,00 27, ,00 13,00 21,00 27, ,00 5,00 11,00 3, ,00 11,00 16,00 19, ,00 8,00 14,00 15, ,00 8,00 13,00 23,00 Rerata ±SD 0 6,10 ± 0,88 11,30 ± 7,26 17,40 ± 7,38 23,70 ± 9,49 Rendahnya lama hidup betina dibandingkan jantan disebabkan oleh aktifitas oviposisi yang dilakukan oleh betina. Alasan yang dikemukakan oleh Godfray (1994) adalah dibutuhkannya energi dan usaha yang lebih besar dari induk untuk persiapan nutrisi pada jumlah keturunan yang banyak hingga lama hidupnya jadi lebih pendek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa imago betina Trissolcus sp. meletakkan telur pada hari pertama setelah kemunculannya dan rata-rata jumlah telur yang dihasilkan dapat mencapai 35,50 butir. Kondisi ini menguntungkan karena segera setelah parasitoid betina keluar dari telur inang dapat langsung memarasit inangnya, sehingga pengaruh faktor-faktor luar seperti suhu dan kelembaban terhadap potensi parasitisasi dapat diperkecil. Masa oviposisi Trissolcus sp. berlangsung hanya selama 6,10 ± 0,88 hari (Tabel 5). Hasil ini menunjukkan umur Trissolcus sp. yang dapat digunakan untuk perbanyakan maksimal 6 hari. Hasil penelitian Iranipour et al menunjukkan masa oviposisi Trissolcus grandis pada inang Eurygaster integriceps Puton
12 26 (Hemiptera: Scutelleridae) berkisar antara 4,7 22,4 hari tergantung suhu lingkungan dan asal populasi parasitoid. Masa pascaoviposisi Trissolcus sp. mencapai 11,30 ± 7,26 hari (Tabel 5). Menurut Awan et al. (1990) masa pascaoviposisi T. basalis dapat mencapai 21,1 hari pada inang N. viridula. Hasil penelitian Iranipour et al. (2010) menunjukkan bahwa masa pascaoviposisi T. grandis pada inang E. integriceps dapat mencapai 30 hari. Sedangkan T. semistriatus pada inang E. integriceps hanya 5,7 hari (Kivan dan Kilic 2006). Hasil ini mengindikasikan bahwa Trissolcus sp. merupakan serangga pro-ovigenic. Serangga seperti ini memiliki cadangan telur untuk seumur hidupnya dan dapat meletakkannya pada berbagai inang (Driesche et al. 2008). Informasi siklus hidup parastoid diperlukan untuk mengetahui potensi parasiotoid dalam mengendalikan hama sebagai inangnya. Siklus hidup Trissolcus sp. 11,91-12,66 hari lebih pendek dari C. javanus yaitu hari. Kemunculan Imago Trissolcus sp. Imago Trissolcus sp. keluar dengan cara menggigit kulit telur C. javanus. Kemunculan imago jantan dimulai pada hari ke-10 dan mencapai puncaknya pada hari ke-12 setelah imago Trissolcus sp. betina meletakkan telur. Hari ke-15 adalah hari terakhir kemunculan imago jantan. Imago betina muncul pada hari ke-11 dan mencapai puncaknya pada hari ke 12 setelah imago Trissolcus sp. betina meletakkan telur. Kemunculan imago betina terakhir pada hari ke-18 setelah imago Trissolcus sp. betina meletakkan telur (Gambar 17). Puncak kemunculan imago jantan dan betina terjadi pada hari yang sama namun imago jantan muncul terlebih dahulu. Hal ini memberikan peluang yang lebih besar bagi parasitoid Trissolcus sp. untuk berkopulasi. Selain itu imago jantan memiliki waktu perkembangan pradewasa yang lebih cepat dibandingkan dengan betina sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya kopulasi. Kopulasi sangat penting bagi parasitoid karena telur yang tidak dibuahi akan berkembang secara partenogenesis menjadi serangga jantan sedangkan yang dibuahi menjadi serangga jantan dan betina. Reproduksi parasitoid seperti ini termasuk ke dalam tipe arenotoki atau haplodiploid (Doutt 1973; Driesche et al. 2008).
13 27 280,00 Jumlah imago yang muncul (individu) 240,00 200,00 160,00 120,00 80,00 40,00 0, Hari kemunculan Jantan Betina Gambar 10 Kemunculan imago Trissolcus sp. Nisbah Kelamin Sebagian besar Hymenoptera parasitoid memilki tipe reproduksi arenotoki atau haplodiploid (Doutt et al. 1989; Driesche 2008). Telur yang tidak dibuahi akan berkembang secara partenogenesis menjadi serangga jantan sedangkan yang dibuahi menjadi serangga betina. Imago betina dan jantan berwarna hitam dan mudah dibedakan, terutama dari ukuran tubuh dan bentuk antenanya. Imago betina lebih besar dibandingkan dengan jantan. Pada antena jantan, ruas flagelomernya membulat sedangkan pada antena betina tidak. Hasil penelitian pada tabel 6 menunjukkan adanya keragaman dan fluktuasi nisbah kelamin yaitu 1 : 3,83 dimana jumlah imago betina cenderung lebih banyak. Hasil penelitian Awan et al. (1990) menunjukkan nisbah kelamin beragam menurut asal daerah geografis T. basalis pada inang N. viridula berkisar dari 1: 0,94 sampai 1: 1,79. Kivan dan Kilic (2002) menemukan bahwa nisbah kelamin Trissolcus semistriatus bervariasi menurut jenis inang. Doutt (1973) menyatakan bahwa keragaman dan fluktuasi nisbah kelamin adalah karakteristik utama reproduksi halplodiploid. Persentase imago Trissolcus sp. betina yang lebih banyak akan menguntungkan karena imago betina menentukan perkembangan suatu populasi dibandingkan jantan, semakin banyak imago Trissolcus sp. betina akan semakin banyak keturunan yang dihasilkan.
14 28 Tabel 6 Nisbah kelamin keturunan F1 dari imago betina Trissolcus sp. Ulangan Jumlah keturunan F1 (individu) Jantan (individu) Betina (individu) Nisbah Kelamin 1 91,00 17,00 74,00 1 : 4, ,00 11,00 79,00 1 : 7, ,00 27,00 66,00 1 : 2, ,00 4,00 87,00 1 : 21, ,00 8,00 74,00 1 : 9, ,00 17,00 90,00 1 : 5, ,00 6,00 43,00 1 : 7, ,00 15,00 64,00 1 : 4, ,00 28,00 60,00 1 : 2, ,00 39,00 22,00 1 : 0,56 Rerata ± SD 83,10 ± 16,78 17,20 ± 11,13 65,90 ± 20,60 1 : 3,83 Kemampuan Reproduksi Hasil penelitian pada tabel 7 menunjukkan bahwa parasitoid Trissolcus sp. betina mampu menghasilkan telur sebanyak 95,7 ± 18,34 butir, produksi telur harian sebanyak 15,76 ± 2,63 butir. Hasil pembedahan ovari betina yang telah mati ditemukan 33,60 ± 10,97 butir telur sehingga potensi produksi telur Trissolcus sp. mencapai 129,30 ± 25,96 butir per betina. Kemampuan reproduksi dapat mempengaruhi jumlah keturunan dan menentukan seberapa cepat perkembangan populasi parasitoid tersebut (Doutt 1973). Keperidian yang tinggi merupakan salah satu indikator penting dalam kesuksesan pembiakan massal di laboratorium. Namun, keperidian parasitoid di laboratorium tidak selalu menjadi indikator penting terhadap keefektifan parasitoid di lapang. Karakteristik lain yang diperlukan parasitoid untuk bisa menekan populasi hama di lapang adalah kemampuan mencari inang, menempati habitat inang, kekhususan inang (Doutt dan DeBach 1973), dan kemampuan memilih inang (Doutt 1973).
15 29 Tabel 7 Kemampuan reproduksi imago betina Trissolcus sp. Ulangan Keperidian (butir) Produksi telur per hari (butir) Sisa telur dalam ovari (butir) Potensi produksi telur (butir) 1 102,00 17,00 32,00 134, ,00 17,50 42,00 147, ,00 15,14 36,00 142, ,00 17,33 55,00 159, ,00 15,83 27,00 122, ,00 15,38 36,00 159, ,00 9,50 26,00 83, ,00 19,60 25,00 123, ,00 15,50 41,00 134, ,00 14,80 16,00 90,00 Rerata ± SD 95,70 ± 18,34 15,76 ± 2,63 33,60 ± 10,97 129,30 ± 25,96 Pada hari pertama kemunculannya, Trissolcus sp. betina mampu meletakkan 35,30 ± 7,13 butir telur. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi yang dapat dihasilkan oleh imago Trissolcus sp. betina selama masa hidupnya. Hasil ini menunjukkan bahwa Trissolcus sp. efektif mengendalikan C. javanus karena Trissolcus sp. dapat segera meletakkan telur artinya parasitisasi lebih cepat terjadi. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan jumlah telur yang mampu dihasilkan T. basalis pada inang N. viridula yang mencapai 65 butir pada hari pertama kemunculannya (Awan et al. 1990). Namun demikian kedua spesies ini menunjukkan pola reproduksi yang sama. Jumlah telur yang dihasilkan semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur parasitoid hingga tidak meletakkan telur pada hari ke-9 (Gambar 11).
16 30 Produksi telur harian (butir) 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, Umur Imago betina (hari) Gambar 11 Reproduksi harian imago betina Trissolcus sp. Persentase Parasitisasi Hasil penelitian pada tabel 8 menunjukkan rata-rata persentase parasitisasi Trissolcus sp. adalah 19,14 ± 3,67 % lebih rendah jika dibandingkan dengan ratarata tingkat parasitisasi T. basalis inang N. viridula mencapai 41,8-72 % (Awan et al. 1990). Hasil penelitian Kivan dan Kilic (2002) menunjukkan persentase parasitisasi Trissolcus semistriatus mencapai 24,0 % pada inang Eurydema ornatum (Hemiptera : Pentatomidae) dan 94,8 % pada inang Graphosoma lineatum (Hemiptera : Pentatomidae). Tabel 8 Persentase parasitisasi Trissolcus sp. Telur terparasit Telur tidak terparasit Persentase parasitisasi Ulangan (butir) (butir) (%) 1 102, , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,80 Rerata ± SD 95,70 ± 8,34 404,30 ± 18,34 19,14 ± 3,67
17 31 Persentase parasitisasi harian Trissolcus sp. tertinggi terjadi pada hari pertama kemunculan imago betina yang mencapai 70,60 % (Gambar 12). Hasil ini dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan imago betina yang harus dilepaskan di lapang. Presentase Parasitisasi (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0, Umur imago betina (hari) Gambar 12 Persentase parasitisasi berdasarkan umur imago Trissolcus sp.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam
Lebih terperinciBIOLOGI, SIKLUS HIDUP DAN POTENSI PARASITOID TELUR Trissolcus sp. PADA Chrysocoris javanus Westw., HAMA TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.
BIOLOGI, SIKLUS HIDUP DAN POTENSI PARASITOID TELUR Trissolcus sp. PADA Chrysocoris javanus Westw., HAMA TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YULIUS DIKA CIPTADI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus
12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Metode Penelitian
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Fase Pradewasa Telur Secara umum bentuk dan ukuran pradewasa Opius sp. yang diamati dalam penelitian ini hampir sama dengan yang diperikan oleh Bordat et al. (1995) pada
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang
5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum
TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebugaran T. chilonis pada Dua Jenis Inang Pada kedua jenis inang, telur yang terparasit dapat diketahui pada 3-4 hari setelah parasitisasi. Telur yang terparasit ditandai dengan perubahan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong
TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,
TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.)
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) termasuk dalam famili Euphorbiaceae merupakan salah satu tanaman yang baik sebagai sumber bahan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Parasitoid
TINJAUAN PUSTAKA Parasitoid Parasitoid adalah serangga yang stadia pradewasanya menjadi parasit pada atau di dalam tubuh serangga lain, sementara imago hidup bebas mencari nektar dan embun madu sebagai
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)
TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun
TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan
Lebih terperinciTAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)
TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :
Lebih terperinciParasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae
Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae Oleh Feny Ernawati, SP dan Umiati, SP POPT Ahli Muda BBPPTP Surabaya Pendahuluan Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga atau binatang arthopoda
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. oleh Blanchard tahun 1926 dari tanaman Cineraria di Argentina (Parrella 1982)
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Liriomyza huidobrensis L. huidobrensis termasuk Subfarnili Phytomyzinae, Famili Agromyzidae, Ordo Diptera (Spencer & Steyskal 1986). Liriomyza dideskripsikan pertama kali oleh
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan
3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda
Lebih terperinciBiologi Scelio pembertoni Timberlake (Hymenoptera: Scelionidae) pada telur Oxya japonica (Thunberg) (Orthoptera: Acrididae)
Jurnal Entomologi Indonesia Indonesian Journal of Entomology ISSN: 1829-7722 Juli 2017, Vol. 14 No. 2, 58 68 Online version: http://jurnal.pei-pusat.org DOI: 10.5994/jei.14.2.58 Biologi Scelio pembertoni
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengaruh Ketiadaan Inang Terhadap Oviposisi di Hari Pertama Setelah Perlakuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama S. manilae tidak mendapatkan inang maka
Lebih terperinciBAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan
12 BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu dan Laboratorium Entomologis Hama dan Penyakit Tanaman
Lebih terperinciUji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium
Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Oleh Ida Roma Tio Uli Siahaan Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata jumlah inang yang terparasit lebih dari 50%. Pada setiap perlakuan inang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara
TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) 1.1 Biologi Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara parallel pada permukaan daun yang hijau. Telur
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Morfologi Predator S. annulicornis Stadium nimfa yaitu masa sejak nimfa keluar dari telur hingga menjadi imago. Sebagian besar nimfa yang diberi tiga jenis mangsa
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Ketinggian wilayah di Atas Permukaan Laut menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar tahun 215 Kecamatan Jumantono memiliki ketinggian terendah 3 m dpl
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Penelitian dimulai dari bulan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur
TINJAUAN PUSTAKA 1. Penggerek Batang Tebu Raksasa Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi penggerek batang tebu raksasa adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta
Lebih terperinciuntuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang
untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai
TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. (1964) menyatakan bahwa pada tahun 1863 penggerek batang padi kuning dikenal
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggerek Batang Padi Kuning, Scirpophaga incertulas (Walker). Penggerek batang padi kuning disebut dengan berbagai nama. Kapur (1964) menyatakan bahwa pada tahun 1863 penggerek
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat
7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago Telur P. marginatus berwarna kekuningan yang diletakkan berkelompok didalam kantung telur (ovisac) yang diselimuti serabut lilin berwarna putih. Kantung
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Serangga Ordo Hymenoptera
TINJAUAN PUSTAKA Serangga Ordo Hymenoptera Ordo Hymenoptera termasuk ke dalam kelas Insecta. Ordo ini merupakan salah satu dari 4 ordo terbesar dalam kelas Insecta, yang memiliki lebih dari 80 famili dan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai
16 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Hasil identifikasi dengan menggunakan preparat mikroskop pada kantung pupa kutukebul berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987), ditemukan ciri morfologi B. tabaci
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4
TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 60 hari (lama stadium telur 2 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 26 hari, pupa 8
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, dan berlangsung sejak Juli sampai Desember 2010. Metode
Lebih terperinciBAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua
BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga
TINJAUAN PUSTAKA Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga hama utama pada tanaman kopi yang menyebabkan kerugian
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki
4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Bunga Kelapa Sawit Tandan bunga jantan dibungkus oleh seludang bunga yang pecah jika akan anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga memiliki 100-250 spikelet (tangkai
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Parasitoid
58 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Parasitoid Berdasarkan hasil identifikasi terhadap karakter antena, sayap depan dan alat genitalia imago jantan menunjukkan bahwa parasitoid Trichogrammatidae yang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.
4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Lalat Buah (Bactrocera sp.) Menurut Deptan (2007), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: kingdom: Animalia, filum : Arthropoda, kelas : Insect, ordo : Diptera,
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa
Lebih terperinciPEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI
PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI Arifin Kartohardjono Balai Besar Penelitian Tanaman padi ABSTRAK Penelitian
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus
TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal
Lebih terperinciBIOLOGI, PERllAKU PELETAKAN TELUR DAN SUPERPARASITISME PARASlTOlD Diadegma eucerophaga Horstmann ( HYMENOPTERA :
BIOLOGI, PERllAKU PELETAKAN TELUR DAN SUPERPARASITISME PARASlTOlD Diadegma eucerophaga Horstmann ( HYMENOPTERA : - - - ICHNEUMONIDAE ) PADA LARVA Plutella xylostella Linnaeus ( LEPIDOPTERA: YPONOMEUTIDAE
Lebih terperinciTetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima
Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Oleh : Umiati, SP dan Irfan Chammami,SP Gambaran Umum Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman perkebunan industry berupa pohon batang lurus
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Faktor II (lama penyinaran) : T 0 = 15 menit T 1 = 25 menit T 2 = 35 menit
11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset dan Pengembangan Tanaman Tebu, Sei Semayang dengan ketinggian tempat(± 50 meter diatas permukaan laut).
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Bioekologi Kutu Putih Pepaya
TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Kutu Putih Pepaya Kutu putih papaya (KPP), Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera:Pseudococcidae), merupakan hama yang berasal dari Meksiko.. Daerah
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura
S. litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi TINJAUAN PUSTAKA Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadangkadang tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk
Lebih terperinciSTUDI BIOLOGI ULAT BULU Lymantria marginata Wlk. (LEPIDOPTERA: LYMANTRIIDAE) PADA TANAMAN MANGGA. (Mangifera indica L.) SKRIPSI.
STUDI BIOLOGI ULAT BULU Lymantria marginata Wlk. (LEPIDOPTERA: LYMANTRIIDAE) PADA TANAMAN MANGGA (Mangifera indica L.) SKRIPSI Oleh : NI KADEK NITA KARLINA ASTRIYANI NIM : 0805105020 KONSENTRASI PERLINDUNGAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata
15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hymenoptera. Ordo Hymenoptera memiliki ciri-ciri empat sayap yang tipis
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Parasitoid Berdasarkan hasil rearing daun pisang yang dilakukan di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat di peroleh empat jenis parasitoid dari pupa Erionota
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Lalat buah dengan nama ilmiah Bractrocera spp. tergolong dalam ordo
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama (Bractrocera dorsalis) Menurut Deptan (2007), Lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Family Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : insecta
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman perkebunan yang sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun, untuk menghasilkan pertumbuhan yang sehat
Lebih terperinciNimfa instar IV berwarna hijau, berbintik hitam dan putih. Nimfa mulai menyebar atau berpindah ke tanaman sekitarnya. Lama stadium nimfa instar IV rata-rata 4,5 hari dengan panjang tubuh 6,9 mm. Nimfa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggerek batang padi adalah salah satu hama utama pada tanaman padi. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran
TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia
Lebih terperinciBIOLOGI, PERllAKU PELETAKAN TELUR DAN SUPERPARASITISME PARASlTOlD Diadegma eucerophaga Horstmann ( HYMENOPTERA :
BIOLOGI, PERllAKU PELETAKAN TELUR DAN SUPERPARASITISME PARASlTOlD Diadegma eucerophaga Horstmann ( HYMENOPTERA : - - - ICHNEUMONIDAE ) PADA LARVA Plutella xylostella Linnaeus ( LEPIDOPTERA: YPONOMEUTIDAE
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros). berikut: Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api (Setothosea asigna van Eecke) berikut: Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. bawah, biasanya pada pelepah daun ke Satu tumpukan telur terdiri dari
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api 1. Biologi Setothosea asigna Klasifikasi S. asigna menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Phylum Class Ordo Family Genus Species : Arthropoda : Insekta : Lepidoptera
Lebih terperinciWALKER (HYMENOPTERA: CHALCIDIDAE)
BIOLOGI PARASITOID Brachymeria lasus WALKER (HYMENOPTERA: CHALCIDIDAE) PADA ULAT PENGGULUNG DAUN PISANG Erionota thrax LINNAEUS (LEPIDOPTERA: HESPERIIDAE) JESSICA VALINDRIA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Buah-buahan
3 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah-buahan Taksonomi Tanaman Buah-buahan Tanaman buah-buahan termasuk ke dalam divisi Spermatophyta atau tumbuhan biji. Biji berasal dari bakal biji yang biasa disebut makrosporangium,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin
HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang
Lebih terperinciGambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila
I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati
Lebih terperinciPengorok Daun Manggis
Pengorok Daun Manggis Manggis (Garcinia mangostana Linn.) merupakan tanaman buah berpotensi ekspor yang termasuk famili Guttiferae. Tanaman manggis biasanya ditanam oleh masyarakat Indonesia di pertanaman
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ulat Kantong (Metisa plana) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Kantong (M. plana) merupakan salah satu hama pada perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Hama ini biasanya memakan bagian atas daun, sehingga
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA A. Parasitoid Brachymeria sp.
4 I. TINJAUAN PUSTAKA A. Parasitoid Brachymeria sp. Penggunaan parasitoid sebagai agens pengendali biologis untuk mengendalikan serangga hama merupakan salah satu tindakan yang bijaksana dan cukup beralasan
Lebih terperinciPENGAMATAN PARASITOID TELUR PADA
PENGAMATAN PARASITOID TELUR PADA Chrysocoris javanus Westw. (HEMIPTERA: SCUTELLERIDAE) DI BEBERAPA WILAYAH PERTANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn.) DI KABUPATEN BOGOR HAFSAH ADAWIYATUL QODIR DEPARTEMEN
Lebih terperinciEVALUASI TINGKAT PARASITISASI PARASITOID TELUR DAN LARVA TERHADAP PLUTELLA XYLOSTELLA L. (LEPIDOPTERA: YPONOMEUTIDAE) PADA TANAMAN KUBIS-KUBISAN
Wardani & Nazar: Parasitoid telur dan larva Plutella xylostella pada tanaman kubis-kubisan EVALUASI TINGKAT PARASITISASI PARASITOID TELUR DAN LARVA TERHADAP PLUTELLA XYLOSTELLA L. (LEPIDOPTERA: YPONOMEUTIDAE)
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai dengan Maret 2006 bertempat di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pengamatan para ahli, kedelai (Gycines max L. Merril) merupakan tanaman
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kedelai (Glycines max L. Merril) Menurut pengamatan para ahli, kedelai (Gycines max L. Merril) merupakan tanaman eksotik yang diperkirakan berasal dari Manshukuw (Cina) yang
Lebih terperinciDAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMAKASIH... ii ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN...
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMAKASIH... ii ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii BABI PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Penelitian...
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tanaman tebu diduga berasal dari daerah Pasifik Selatan, yaitu New Guinea dan selanjutnya menyebar ke tiga arah yang berbeda. Penyebaran pertama dimulai pada 8000 SM
Lebih terperinciGambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)
HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat
16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Capung
TINJAUAN PUSTAKA Capung Klasifikasi Capung termasuk dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, klas Insecta, dan ordo Odonata. Ordo Odonata dibagi ke dalam dua subordo yaitu Zygoptera dan Anisoptera. Kedua
Lebih terperinciHASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus
HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus Langkah awal yang harus dilakukan pada penangkaran kupu-kupu adalah penyiapan sarana pemeliharaan dari stadia telur sampai imago. Bahan, alat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tembakau adalah: Menurut Murdiyanti dan Sembiring (2004) klasifikasi tanaman tembakau Kingdom Divisi Sub divisi Class Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and
III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) larva penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda
Lebih terperinciPEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata
PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Tahapan hidup C. trifenestrata terdiri dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur yang fertil akan menetas setelah hari kedelapan, sedang larva terdiri dari lima
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)
TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.
Lebih terperinciRINGKASAN DAN SUMMARY
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN RINGKASAN DAN SUMMARY Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir ini, pertanaman sayuran di Indonesia diinfansi oleh tiga hama eksotik yang tergolong Genus Liriomyza (Diptera: Agromyzidae).
Lebih terperinciHama penghisap daun Aphis craccivora
Hama Kacang tanah Hama penghisap daun Aphis craccivora Bioekologi Kecil, lunak, hitam. Sebagian besar tdk bersayap, bila populasi meningkat, sebagian bersayap bening. Imago yg bersayap pindah ke tanaman
Lebih terperinci