HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Parasitoid

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Parasitoid"

Transkripsi

1 58 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Parasitoid Berdasarkan hasil identifikasi terhadap karakter antena, sayap depan dan alat genitalia imago jantan menunjukkan bahwa parasitoid Trichogrammatidae yang digunakan pada penelitian ini adalah spesies T. chilotraeae (Gambar 1). Pada karakter antena ditemukan bagian club tidak bersegmen dengan rambut yang panjang (Gambar 1A). Sayap depan mempunyai setae yang letaknya tersusun dalam suatu susunan barisan, mempunyai tiga sampai empat trichia pada Rs1 dengan stigma yang mengarah kebawah dan fringe setae yang berukuran lebih pendek jika dibandingkan dengan genus Trichogrammatoidea (Gambar 1B). Alat genitalia jantan mempunyai dorsal expansion gonobase (DEG) kurang lebih berbentuk segitiga dengan ujung yang runcing, chelat structure (CS) yang besar dan terletak jauh dari ujung gonoforceps (GF) serta mempunyai aedagus yang panjang dan runcing. Hal ini sesuai dengan deskripsi berdasarkan sumber Nagarkatti dan Nagaraja (1977), Alba (1988) dan Nurindah (2002) (Gambar 2a, 2b dan 2c). Parasitoid T. chilotraeae mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut; imago jantan berwarna kuning dengan pronotum, mesopleurum, mesoscutum, abdominal terga dan koksa tungkai belakang berwarna kehitaman. Imago betina berwarna kekuningan pada bagian depan dan sebagian besar bagian mesoscutum. Panjang imago 0,373 0,526 mm (tidak termasuk kepala). Pada umumnya imago betina berukuran lebih besar daripada imago jantan.

2 59 A B C Gambar 1 Karakter morfologi T. chilotraeae hasil identifikasi; Antena (A); sayap depan (B) dan genitalia imago jantan (C). Hasil pemotretan (kamera Olympus BX 50 pembesaran 400 x ), Laboratorium Bioekologi Parasitoid IPB (20 April 2006). a b c Gambar 2 Karakter morfologi T. chilotraeae berdasarkan kunci identifikasi; antena (a): 1-scapus, 2-pedicel, 3-anneli, 4-funicle, 5-club, 6-flagellum; Sayap (b): 1-submarginal vein, 2-pre marginal vein, 3-marginal vein, 4-stigma vein, 5-fringe setae, 6-Rs1; Alat genitalia (c): DEG (dorsal expansion gonobase); CR (chitized ridge); CS (chelate structure); MVP (median ventral projection) GF (gonoforceps); A (Aedagus). (a dan b sumber Nurindah 2002; c sumber Alba 1988).

3 60 Spesies T. chilotraeae yang memarasit telur P. xylostella yang ditemukan pada penelitian ini relatif baru diketahui dan berbeda dengan spesies Trichogrammatidae yang dilaporkan sebelumnya. Meilin (1999) melaporkan, dari hasil eksplorasi di beberapa tempat di pulau Jawa, ditemukan tiga spesies Trichogrammatidae yang menyerang telur P. xylostella yakni T. flandersi, T. cojuangcoi dan T. armigera, di Filipina di laporkan dari spesies T. evanescens yang diintroduksi dari Jerman (Alba 1988), sedangkan di India yakni spesies T. armigera (Manjunath 1972 dalam Alba 1988). Selama ini, T. chilotraeae dilaporkan memarasit telur H. armigera pada tanaman kapas dan jagung, O. furnacalis pada tanaman jagung,dan C. infuscatella pada tanaman tebu (Alba 1989 ; Nurindah & Bindra 1989), tetapi belum pernah dilaporkan menyerang telur P. xylostella. Di Malaysia, India, Kamboja, Filipina dan Thailand, parasitoid ini dilaporkan menyerang telur hama penggerek batang padi bergaris C. suppressalis pada tanaman padi dan O. furnacalis (Suasa 2002). Perilaku Penemuan dan Penerimaan Inang Hasil pengamatan perilaku penemuan dan penerimaan inang menunjukkan bahwa sebelum menemukan inang, parasitoid melakukan kegiatan berjalan mengelilingi sisi tabung secara acak selama 1 sampai 3 menit, kemudian hinggap pada pias. Sebagian parasitoid langsung memeriksa inang sesaat setelah terjadi kontak dengan inang dan selanjutnya melakukan oviposisi. Sebagian lainnya berjalan secara acak melewati beberapa telur inang dan kemudian menetapkan pilihan pada salah satu inang. Perilaku ini berhubungan dengan sifat bahwa setelah menemukan inang untuk perkembangan keturunannya, parasitoid betina harus dapat menentukan apakah individu inang tersebut dapat diterima. Beberapa individu inang kemungkinan tidak dapat diterima atau tidak tepat untuk fase perkembangan keturunan parasitoid, misalnya karena adanya penyakit pada inang, kematian inang atau inang sudah diparasit oleh betina parasitoid yang sama (Arthur 1981). Setelah terjadi kontak dengan inang, parasitoid selanjutnya memeriksa inangnya dengan cara mengetuk-ketukkan antenanya (drumming) pada permukaan inang. Selain itu, parasitoid juga menggunakan abdomennya untuk mengetuk inang (tapping) kemudian memasukkan ovipositornya ke dalam inang.

4 61 Pada saat pengamatan parasitoid betina terlihat melakukan gerakan memasukkan ovipositornya dalam inang, ternyata parasitoid tidak selalu meletakkan telur. Menurut Salt (1935) dalam Arthur (1981), untuk dapat diterima atau tidak suatu inang, maka selain melakukan drumming dan tapping, parasitoid akan kembali memeriksa dan mengukur inang pada saat memasukkan ovipositor. Bila inang dianggap cocok maka parasitoid akan segera meletakkan telur dan bila inang dianggap tidak cocok, maka ovipositor akan kembali dicabut tanpa melakukan kegiatan peletakan telur. Parasitoid T. chilotraeae mampu mengenali inang yang sudah terparasit. Hal ini ditunjukkan oleh parasitoid yang tidak mau melakukan oviposisi pada telur inang yang sudah terparasit sebelumnya. Sejalan dengan penjelasan Doutt et al. (1976) bahwa imago betina Trichogramma mempunyai kemampuan untuk membedakan antara inang yang sehat dan inang yang sudah terparasit melalui reseptor penginderaan pada antena, tarsi dan ovipositornya. Lebih jauh hasil penelitian Salt (1937) dalam Arthur (1981) menunjukkan bahwa parasitoid Trichogramma mempunyai kemampuan untuk membedakan antara telur yang bersih dan telur yang hanya dilewati oleh betina parasitoid lain dalam satu spesies. Jika inang hanya dilewati, maka parasitoid dapat dengan cepat membedakan dari sehatnya inang dan kemudian menyerangnya. Sebagai contoh, parasitoid betina T. evanescens menggunakan feromon untuk menandai telur yang telah dicoba atau telah diparasit dan ini memungkinkan betina lain untuk dapat membedakan antara telur inang yang siap diparasit dengan telur yang tidak bisa diparasit. Kemampuan untuk membedakan telur yang sudah terparasit ini menurut Jackson (1968) dalam Arthur (1981) karena adanya feromon yang juga dimasukkan ke dalam inang bersamaan dengan peletakan telur. Sekresi ini kemungkinan dihasilkan dalam acid dan alkalin gland dalam tubuh betina.

5 62 Pola Urutan Peletakan Telur Parasitoid T. chilotraeae Parasitoid betina T. chilotraeae memberikan respon yang berbeda terhadap jumlah inang dan kehadiran betina lainnya berupa pengaturan kelamin keturunan ketika proses peletakan telur. Pada pemaparan satu parasitoid betina, pada perlakuan jumlah inang yang terbatas (3 inang), parasitoid meresponnya dengan selalu menghasilkan satu keturunan jantan pada setiap rangkaian tiga peletakan telur pertama. Keturunan jantan cenderung dihasilkan pada peletakan telur kedua atau ketiga, sehingga pola peletakan telur pada perlakuan 3 inang umumnya adalah betina-betina-jantan, dengan nilai 80% pada peletakan telur pertama, 55% pada peletakan telur kedua dan 35% pada peletakan telur ketiga (Gambar 3A). Ketika jumlah inang bertambah, parasitoid betina tidak selalu menghasilkan keturunan jantan pertama pada tiga peletakan telur pertama. Meskipun ada kecenderungan bahwa persentase keturunan betina berkurang pada peletakan telur ketiga, tetapi persentasenya masih lebih tinggi bila dibandingkan pada perlakuan 3 inang. Pada perlakuan 6 dan 12 inang, persentase keturunan betina paling rendah terjadi pada peletakan telur keempat, sehingga pola kelamin keturunan pada tiga peletakan telur pertama masih cenderung betinabetina-betina. Pada perlakuan 24, meskipun persentase keturunan betina menurun pada peletakan telur ketiga, tetapi pada peletakan telur kedua dihasilkan keturunan betina dengan persentase yang tinggi. Pada perlakuan 48 inang, persentase keturunan betina paling rendah baru dihasilkan pada peletakan telur ketujuh. Menurunnya persentase keturunan betina pada akhir rangkaian peletakan telur, seperti pada perlakuan 3 inang, juga terjadi pada perlakuan 24 inang (Gambar 3D) dan perlakuan 48 inang (Gambar 3E). Menurunnya grafik pada akhir rangkaian peletakan telur pada dua perlakuan tersebut, disebabkan oleh sebagian parasitoid betina yang sudah tidak memarasit lagi atau memang hanya menghasilkan keturunan jantan. Menurut Colazza dan Wajnberg (1998), meningkatnya keturunan jantan pada akhir rangkaian peletakan telur pada kondisi jumlah inang yang banyak, kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sperma sehingga keturunan yang dihasilkan adalah keturunan haploid (jantan). Namun, alasan ini menjadi kurang tepat bila dibandingkan dengan data pada gambar 9 yang menunjukkan bahwa parasitoid betina masih melakukan peletakan telur

6 63 sampai beberapa hari kemudian, meskipun dengan jumlah yang semakin berkurang dibanding dengan hari pertama. Keturunan betina proporsinya juga terlihat semakin berkurang setiap hari pengamatan (Gambar 12). Alasan lain yang kemungkinan lebih tepat untuk menjelaskan hal ini adalah penjelasan Bayram et al. (2004), yang menyatakan bahwa perilaku tersebut merupakan strategi induk betina untuk mengantisipasi adanya kematian keturunan jantan yang diletakkan pada awal rangkaian peletakan telur. Persentase keturunan betina inang inang inang inang inang 2 A C Urutan peletakan telur E B D Gambar 3 Persentase keturunan betina yang dihasilkan pada setiap urutan peletakan telur pada berbagai kepadatan inang, pemaparan satu parasitoid betina. ( = 50% keturunan betina) Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa parasitoid T. chilotraeae ini mempunyai kemampuan untuk mengukur jumlah inang yang ada dan meresponnya dengan mengubah alokasi keturunan betina atau jantan sepanjang peletakan telur. Kemampuan parasitoid untuk menaksir jumlah inang sesaat

7 64 sebelum melakukan peletakan telur dan mengatur alokasi kelamin keturunan pada suatu pola tertentu, kemungkinan disebabkan oleh beberapa petunjuk fisik yang telah diterima oleh parasitoid. Parasitoid yang mengeksploitasi suatu kelompok inang mempunyai kemampuan untuk mendapatkan informasi dengan cara berjalan dan mengetukkan antenanya pada atau dekat pinggiran suatu kelompok inang sebelum melakukan peletakan telur pertama (Colazza & Wajnberg 1998). Selain itu, adanya petunjuk kimia yang dihasilkan oleh inang juga dapat dijadikan petunjuk oleh parasitoid untuk mengukur jumlah inang (Bayram et al. 2004). Mekanisme pertama kemungkinan yang digunakan oleh parasitoid T. chilotraeae ini. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa parasitoid mempunyai perilaku berjalan cepat secara acak melewati beberapa inang sambil mengetuk-ketukkan antenanya sebelum menetapkan pilihan pada salah satu inang. Perilaku ini kemungkinan merupakan cara parasitoid untuk mendapatkan informasi tersebut. Bila alokasi kelamin keturunan yang dihasilkan induk betina pada setiap urutan peletakan telur dilihat secara keseluruhan mulai dari peletakan telur ke-1 sampai peletakan telur ke-n (Tabel 1), menunjukkan bahwa jumlah keturunan betina yang dihasilkan induk parasitoid cenderung akan semakin berkurang dari peletakan telur pertama sampai peletakan telur keempat, kemudian kembali meningkat pada peletakan telur kelima. Pada akhir rangkaian peletakan telur keturunan betina yang dihasilkan cenderung menurun.

8 Tabel 1 Alokasi jenis kelamin keturunan yang dihasilkan induk parasitoid T. chilotraeae pada peletakan telur ke-1 sampai peletakan telur ke-n Peletakan telur ke Nilai Perlakuan n tengah selisih???????????? betinajantan 3 inang (n: 3) 4 6 inang (n: 6) inang (n: 12) inang (n: 24) inang (n: 36) Total N Ket: n = peletakan telur terakhir 65 Berdasarkan hasil pengujian Kruskal-Wallis Test ternyata bahwa perlakuan jumlah inang 3, 6, 12, 24 dan 48 tidak berpengaruh nyata terhadap rasio kelamin keturunan betina-jantan pada setiap urutan peletakan telur (P = 0,403). Uji lanjut dengan Sign test dan Wilcoxon signed rank test, diperoleh nilai P= 0,000, yang berarti perbandingan kelamin keturunan (betina : jantan) bukan 50 : 50, dengan nilai tengah dari selisih keturunan betina dikurangi keturunan jantan adalah 8 dengan metode Sign test, dan nilai 7,5 dengan metode Wilcoxon signed rank test. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya alokasi kelamin keturunan pada parasitoid T. chilotraeae ini tidak sejalan dengan prediksi menurut teori Fisher yang menyatakan bahwa setiap betina pada suatu populasi akan menghasilkan keturunan betina dan jantan dengan proporsi yang sama. Pada perlakuan 3 inang, menurunya proporsi betina dapat terjadi karena beberapa hal. Pertama adalah ketiadaan sperma atau kedua karena memang hal ini merupakan pilihan parasitoid, yang berarti seekor induk betina dengan sengaja meletakkan keturunan jantan pada peletakan tersebut. Mekanisme kedua tampaknya lebih berperan dibanding mekanisme pertama. Hal ini disebabkan pada peletakan telur pertama dan peletakan telur kedua, induk betina lebih memilih meletakkan keturunan betina dibandingkan keturunan jantan. Akibatnya pada peletakan telur pada inang terakhir, keturunan jantan lebih banyak. Sebaliknya pada keadaan jumlah inang yang banyak, akan memberikan peluang yang lebih banyak pada induk betina untuk meletakkan telur, sehingga peletakan keturunan jantan tidak dilakukan pada peletakan telur tertentu. Hasil ini memberikan

9 66 implikasi penting pada kegiatan pelepasan parasitoid di lapangan. Jika kondisi inang di lapangan rendah dan bila peletakan telur terakhir bias jantan, maka hal ini akan memberikan implikasi tertentu pada perkembangan populasi parasitoid. Menurunnya proporsi betina pada akhir rangkaian peletakan telur pada perlakuan 24 dan 48 inang (juga digambarkan pada Gambar 1 D dan 1 E), ternyata disebabkan karena rendahnya jumlah inang terparasit pada akhir rangkaian peletakan telur, yakni hanya terdapat 11 inang terparasit pada perlakuan 24 inang dan 2 inang terparasit pada perlakuan 48 inang. Rendahnya inang terparasit pada akhir rangkaian peletakan telur disebabkan karena beberapa parasitoid sudah tidak memarasit lagi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu kisaran optimum jumlah inang yang dapat diparasit oleh parasitoid T. chilotraeae ini dalam jangka waktu 3 jam. Pada pemaparan dua parasitoid betina (Gambar 4), terjadi pola yang hampir sama dengan pemaparan satu parasitoid betina, yakni terjadi peletakan keturunan betina pada peletakan telur awal. Meski demikian terdapat beberapa perbedaan; (1) pada umumnya persentase peletakan keturunan betina pada awal peletakan telur lebih rendah bila dibandingkan dengan pemaparan satu parasitoid betina; (2) persentase peletakan keturunan betina masih terjadi pada akhir rangkaian peletakan telur pada perlakuan 24 inang (Gambar 4C); (3) pada perlakuan 48 inang terjadi peningkatan peletakan keturunan jantan pada peletakan telur kedua (Gambar 4D). Berdasarkan hasil tersebut, mengindikasikan bahwa peningkatan kepadatan betina pada suatu kelompok inang, akan memberikan pengaruh kepada perilaku induk betina lainnya untuk mengatur alokasi peletakan keturunan jantan atau betina sepanjang peletakan telur pada suatu kelompok inang.

10 inang 10 6 inang A B Persentase keturunan betina inang C inang D inang E Urutan peletakan telur Gambar 4 Persentase keturunan betina yang dihasilkan pada setiap urutan peletakan telur pada berbagai kepadatan inang, pemaparan dua parasitoid betina. ( = 50% keturunan betina) Meskipun dengan persentase yang berbeda, tetapi dapat dikatakan bahwa, induk betina parasitoid T. chilotraeae cenderung akan meletakkan keturunan betina pada peletakan telur awal. Hal ini terjadi baik pada pemaparan satu parasitoid maupun pada pemaparan dua parasitoid betina. Hasil ini berbeda bila dibandingkan dengan beberapa parasitoid Hymenoptera lainnya yang mempunyai pola reproduksi haplodiploid, dimana dilaporkan memulai rangkaian peletakan telur dengan menghasilkan keturunan jantan pada peletakan telur awal. Hasil penelitian Wanjberg (1993) menunjukkan, parasitoid T. brassicae, akan memulai rangkaian peletakan telur dengan menghasilkan keturunan jantan pada peletakan telur awal. Demikian pula pada hasil penelitian Colazza dan Wajnberg (1998)

11 68 pada parasitoid T. basalis dan penelitian Bayram et al. (2004) pada parasitoid T. busseolae, yang melaporkan bahwa urutan peletakan telur pada berbagai jumlah inang dalam suatu paket tidak diletakkan secara acak, peletakan telur pertama pada semua perlakuan berbagai jumlah inang selalu jantan (strategi jantan pertama ). Dijelaskan lebih lanjut bahwa, parasitoid betina sebenarnya tidak mempunyai kemampuan untuk dapat menaksir jumlah inang sesaat sebelum melakukan rangkaian peletakan telur pada suatu kelompok inang. Pola peletakan telur pada berbagai jumlah inang hanya merupakan pengaruh tidak langsung dari strategi jantan pertama. Bila inang bertambah, maka setelah meletakkan keturunan jantan pertama pada awal peletakan telur, parasitoid selanjutnya akan meletakkan keturunan jantan kedua setelah meletakkan keturunan betina dalam jumlah yang banyak. Wajnberg (1993), menjelaskan bahwa perilaku ini sebenarnya ditentukan oleh kontrol genetik. Bila dibandingkan dengan parasitoid T. chilotraeae pada penelitian ini, yang didasarkan pada pola alokasi kelamin keturunan pada tiga peletakan telur pertama (Tabel 2), dapat dikatakan bahwa parasitoid T. chilotraea juga mempunyai kecenderungan mengalokasikan keturunan jantan pertama pada peletakan telur ketiga dengan pola betina-betina-jantan, atau pada peletakan kedua dengan pola betina-jantan-betina. Akan tetapi, pola betina-betina-jantan atau betina-jantan-betina ini umumnya terjadi pada perlakuan 3 inang. Sedangkan pada pada perlakuan 6, 12, 24 inang umumnya pola betina-betina-betina. Jadi berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa, pengaturan alokasi kelamin keturunan sepanjang peletakan telur, dan dengan strategi peletakan keturunan betina pada awal rangkaian peletakan telur pada parasitoid T. chilotraea ini, kemungkinan bukan karena mekanisme kontrol genetik, akan tetapi memang disebabkan karena mekanisme kemampuan parasitoid untuk mengukur jumlah inang dan kepadatan parasitoid sebelum memulai rangkaian peletakan telur. Meskipun demikian, hasil ini masih harus dikaji lebih lanjut, karena beberapa faktor lain yang diabaikan pada penelitian ini sebenarnya dapat mempengaruhi alokasi kelamin keturunan oleh induk betina, yakni: ukuran inang (Mayhew & Godfray 1997; Bernal et al. 1999; Ode & Heinz 2002); dan umur inang (Ruberson & Kring 1993; Goidin & Boivin 2000). Selain itu, alokasi

12 keturunan kemungkinan juga dapat dipengaruhi oleh spesies inang yang digunakan. Nurafiatin (2000) melaporkan bahwa proporsi keturunan betina pada parasitoid T. cojuangcoi akan berbeda bila dibiakkan pada inang berbeda. Proporsi keturunan betina parasitoid T. cojuangcoi lebih tinggi pada telur inang P. xylostella, dibandingkan pada telur inang C. cephalonica atau H. armigera. Tabel 2 Frekuensi berbagai variasi pola urutan peletakan tiga telur pertama, parasitoid T. chilotraeae Pola Frekuensi (kali) peletakan Total 3 inang 6 inang 12 inang 24 inang 48 inang telur??? ??? ??? ??? ??? ??? 1 1??? Nisbah Kelamin Nisbah kelamin (proporsi betina) keturunan dipengaruhi oleh jumlah inang ( P = 0,000). Nisbah kelamin akan meningkat seiring bertambahnya inang, hal ini terjadi pada kepadatan satu parasitoid betina (Gambar 5), maupun pada kepadatan dua parasitoid betina (Gambar 6). Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kepadatan satu parasitoid betina, nisbah kelamin pada perlakuan 3 inang berbeda dengan semua perlakuan jumlah inang lainnya. Pada jumlah inang 6, 12, 24 dan 48 tidak berbeda nyata. Pada kepadatan dua parasitoid betina, nisbah kelamin pada perlakuan 3 dan 6 inang berbeda dengan semua perlakuan jumlah

13 70 inang lainnya. Pada kepadatan inang 12, 24 dan 48 tidak berbeda nyata. Nisbah kelamin yang rendah pada perlakuan jumlah inang rendah, disebabkan karena selalu diletakkannya satu keturunan jantan pada tiga peletakan telur pertama. Sejalan dengan yang dikemukakan Wajnberg (1994), bahwa umumnya pada parasitoid Trichogramma, nisbah kelamin akan bias betina bila jumlah inang meningkat cd bc c c c b d d Nisbah kelamin (proporsi betina) a Nisbah kelamin (proporsi betina) a I 6 I 12 I 24 I 48 I Jumlah inang Mean ±SE ±SD I 6 I 12 I 24 I 48 I Jumlah inang Mean ±SE ±SD Gambar 5 Nisbah kelamin keturunan dari satu induk betina yang meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang Gambar 6 Nisbah kelamin keturunan dari dua induk betina yang meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang Bila melihat pengaruh kepadatan parasitoid terhadap nisbah kelamin, berdasarkan uji t, ternyata tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan kepadatan betina pada masing-masing perlakuan (Tabel 3). Hasil ini sebenarnya bertolak belakang dengan hasil pengamatan pada bagian lain penelitian ini (perlakuan pengaruh kepadatan betina terhadap nisbah kelamin, (Gambar 14), dan tidak sejalan dengan prediksi local mate competition, yang menyatakan, nisbah kelamin akan menurun seiring bertambahnya kepadatan parasitoid. Akan tetapi hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Flanagan et al.(1998) yang menjelaskan bahwa, pada kelompok/kepadatan parasitoid yang kecil (dua parasitoid) maka ternyata nisbah kelamin parasitoid Nasonia vitripennis Walker (Hymenoptera: Pteromalidae) akan ikut meningkat. Tetapi dijelaskan lebih lanjut, hasil ini disebabkan karena faktor ukuran tubuh betina. Betina yang berukuran relatif lebih besar pada suatu kelompok inang, akan meletakkan telur dalam jumlah yang banyak, dan biasanya dengan proporsi betina yang lebih tinggi. Karena faktor tersebut akan meningkatkan nisbah kelamin keturunan.

14 Pada penelitian ini, kemungkinan disebabkan karena tidak terjadi superparasitisme oleh betina lain, karena selama percobaan berlangsung, selalu dicegah terjadinya superparasitisme dengan cara menyentuh betina yang akan melakukan superparasitisme dengan menggunakan kuas halus. Superparasitisme diketahui sebagai penyebab menurunnya nisbah kelamin, karena jika terjadi superparasitisme pada suatu inang, umumnya keturunan yang berhasil menjadi imago adalah jantan. Tabel 3 Rata-rata nisbah kelamin (proporsi betina) pada berbagai kepadatan inang dan kepadatan parasitoid Kepadatan inang Nisbah kelamin pada berbagai kepadatan parasitoid betina (x ± SD) 1 parasitoid betina 2 parasitoid betina 3 inang 0,61 ± 0,10a 0,60 ± 0,09a 0,719 6 inang 0,72 ± 0,12a 0,69 ± 0,11a 0, inang 0,72 ± 0,11a 0,76 ± 0,11a 0, inang 0,76 ± 0,06a 0,76 ± 0,04a 0, inang 0,76 ± 0,06a 0,77 ± 0,40a 0,871 Ket : Nilai rataan dan simpangan baku selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada a = 0.05 P 71 Pengaruh Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid Terhadap Parasitisasi Analisis sidik ragam menunjukan bahwa pada pemaparan satu parasitoid betina, jumlah inang berpengaruh nyata terhadap persentase inang terparasit (P = 0,000), persentase keturunan betina (P = 0,000) dan persentase keturunan jantan (P = 0,000). Pada pemaparan dua parasitoid betina, jumlah inang berpengaruh nyata terhadap persentase inang terparasit (P = 0,000) dan persentase keturunan betina (P = 0,000), tetapi tidak berbeda nyata pada persentase keturunan jantan (P = 0,210) (Tabel 4). Total inang terparasit semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah inang, baik pada pemaparan satu parasitoid betina maupun pada pemaparan dua parasitoid betina. Akan tetapi, bila dilihat dari persentase inang yang terparasit, menunjukkan bahwa pada perlakuan inang 48, persentase inang terparasit sangat rendah yakni 46,25% pada pemaparan satu parasitoid betina dan 65,52% pada

15 pemaparan dua parasitoid betina. Hasil ini menunjukkan bahwa parasitoid betina mempunyai kemampuan yang terbatas untuk memarasit inang dalam jumlah yang banyak pada jangka waktu 3 jam. Tabel 4. Total inang terparasit, persentase inang terparasit, persentase keturunan betina dan persentase keturunan jantan pada berbagai jumlah inang. Kepadatan parasitoid/ inang 1 parasitoid n Total inang terparasit Persentase Inang terparasit (%) Parameter Persentase Keturunan betina (%) Persentase keturunan jantan (%) Inang ,67 ± 14,81a 60,84 ± 9,79a 39,16 ± 9,79a Inang ,67 ± 11,60ab 65,33 ± 17,24ab 23,92 ± 11,49b Inang ,75 ± 8,75ab 67,63 ± 13,79ab 24,86 ± 11,28b Inang ,04 ± 9,41b 75,29 ± 7,69b 21,11 ± 8,04b Inang ,25 ± 5,64c 76,87 ± 5,73b 21,09 ± 6,19b 2 parasitoid Inang ,33 ± 7,45a 49,17 ± 16,65a 25,83 ± 15,74a Inang ,67 ± 10,12ab 65,92 ± 18,10b 20,50 ± 14,32a Inang ,42 ± 6,77b 65,48 ± 18,38b 17,32 ± 12,34a Inang ,75 ± 7,144c 74,09 ± 5,86b 20,11 ± 4,94a Inang ,52 ± 11,50d 75,35 ± 5,67b 22,16 ± 4,94a Ket : Pada masing-masing perlakuan kepadatan parasitoid, nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada a = 0,05 72 Pada pemaparan dua parasitoid betina, menunjukkan bahwa persentase inang terparasit pada setiap perlakuan memang lebih tinggi dibanding pada pemaparan satu parasitoid betina. Akan tetapi, berdasarkan uji t, menunjukkan bahwa kepadatan parasitoid berpengaruh nyata terhadap persentase inang terparasit pada perlakuan 12 inang (P = 0,011) dan 48 inang (P = 0,000) (Tabel 5). Meskipun berbeda nyata, tetapi parasitoid betina tidak mampu mengoptimalkan kemampuan memarasit secara optimum (dalam waktu 3 jam, total inang terparasit tidak menunjukkan angka dua kali lipat angka pada pemarasitan satu parasitoid betina). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran betina lain akan mempengaruhi kegiatan parasitisme. Bertambahnya jumlah inang cenderung memberikan pengaruh pada perilaku induk betina untuk lebih banyak menghasilkan keturunan betina. Sebaliknya bertambahnya inang menyebabkan kecenderungan persentase

16 73 keturunan jantan menjadi semakin berkurang. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan, secara umum parasitoid betina mempunyai perilaku untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada untuk memaksimalkan kemampuan reproduksinya. Bila dibandingkan antar perlakuan kepadatan betina. Berdasarkan uji t, menunjukkan bahwa kepadatan parasitoid berpengaruh nyata terhadap persentase keturunan betina pada perlakuan 3 inang (P = 0,011), dan berpengaruh nyata pada persentase keturunan jantan pada perlakuan 3 inang (P = 0,003) dan 12 inang (P = 0,050). Tabel 5 Persentase inang terparasit, persentase keturunan betina dan persentase keturunan jantan pada berbagai kepadatan parasitoid. Parameter Persentase Inang terparasit (%) Jumlah inang P 91,67 ± 14,81a 86,67± 11,60a 83,75 ± 8,75a 81,04 ± 9,41a 46,25 ± 5,64a 2 P 98,33 ± 74,5a 91,67 ±10,12a 90,42 ± 6,77b 78,75 ± 7,14a 65,52 ± 11,50b Persentase Keturunan betina (%) 1 P 60,84 ± 9,79a 65,33 ± 7,24a 67,63 ± 3,79a 75,29 ± 7,69a 76,87 ± 5,73a 2 P 49,17 ± 16,65b 65,92 ± 18,10a 65,48 ± 18,38a 74,09 ± 5,86a 75,35 ± 5,67a Persentase keturunan jantan (%) 1 P 39,16 ± 9,79a 23,92 ± 11,49a 24,86 ± 11,28a 21,11 ± 8,04a 21,09 ± 6,19a 2 P 25,83 ± 15,74b 20,50 ± 14,32a 17,32 ± 12,34b 20,11 ± 4,94a 22,16 ± 4,94a Ket : Pada masing-masing parameter, nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada a = 0,05 1 P = Kepadatan satu parasitoid betina 2 P = Kepadatan dua parasitoid betina

17 74 Persentase selfsuperparasitism Analisis sidik ragam menunjukan bahwa jumlah inang berpengaruh nyata terhadap persentase selfsuperparasitim, baik pada pemaparan satu parasitoid betina (P = 0,009), maupun pada pemaparan dua parasitoid betina (P = 0,000) (Tabel 6). Pada pemaparan satu parasitoid betina, meskipun ada pengecualian pada inang 3, tetapi terjadi kecenderungan persentase selfsuperparasitism semakin berkurang seiring bertambahnya jumlah inang (10,75% pada perlakuan 6 inang dan menurun menjadi 2,03% pada perlakuan 48 inang). Pada pemaparan dua parasitoid betina juga terjadi kecenderungan yang sama bahwa persentase selfsuperparasitism semakin berkurang seiring bertambahnya jumlah inang (25,00% pada perlakuan 3 inang, menjadi 2,63% pada perlakuan 48 inang). Tabel 6 Persentase selfsupeparasitsm pada berbagai jumlah inang Kepadatan parasitoid/ inang n Total Inang terparasit Persentase selfsuperparasitism (%) 1 parasitoid Inang ,00 ± 0,00b Inang ,75 ± 18,84a Inang ,51 ± 11,32ab Inang ,60 ± 4,39ab Inang ,03 ± 4,35b 2 parasitoid Inang ,00 ± 23,88a Inang ,58 ± 16,04ab Inang ,20 ± 16,04ab Inang ,81 ± 6,83bc Inang ,63 ± 4,015c Ket: Pada masing-masing perlakuan kepadatan parasitoid, nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada a = 0,05 Bila data selfsuperparasitism dilihat secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa persentase selfsuperparasitism berkorelasi positif dengan rasio jumlah

18 75 inang dan kepadatan parasitoid betina. Hal ini ditunjukkan dari data persentase selfsuperparasitism tertinggi (25,00%) terdapat pada perlakuan jumlah inang rendah yakni inang 3 dengan kepadatan dua parasitoid betina. Bila dibandingkan antara perlakuan kepadatan betina, berdasarkan uji t, pengaruh kepadatan betina ternyata hanya terjadi pada perlakuan 3 dan 12 inang (Tabel 7). Menurut Suzuki et al.(1984) dalam Schmidt (1994), perilaku superparasitisme termasuk selfsuperparasitism dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain terbatasnya jumlah inang atau kepadatan betina yang tinggi atau karena kualitas inang. Tabel 7 Persentase selfsuperparasitism pada berbagai kepadatan parasitoid Kepadatan inang Persentase selfsuperparasitism (x ± SD) 1 parasitoid betina 2 parasitoid betina P 3 inang 0,00 ± 0,00a 25,00 ± 23,88b 0,003 6 inang 10,75 ± 18,84a 13,58 ± 16,04a 0, inang 7,51 ± 11,32a 17,20 ± 16,04b 0, inang 3,60 ± 4,39a 5,81 ± 6,83b 0, inang 2,03 ± 4,35a 2,63 ± 4,015a 0,652 Ket: Nilai rataan dan simpangan baku selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada a = 0,05 Perilaku selfsuperparasitism dapat dilakukan induk parasitoid sepanjang peletakan telur (Gambar 7 dan 8). Akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa persentase selfsuperparasitism lebih tinggi pada peletakan telur awal. Hal ini diduga karena telur inang yang dipilih oleh parasitoid untuk pertama kalinya, adalah telur inang dengan kualitas yang baik (kemungkinan ukurannya lebih besar dari yang lainnya), sehingga parasitoid betina dapat mengukur bahwa nutrisi yang terdapat dalam inang mampu untuk memenuhi kebutuhan perkembangan beberapa individu keturunan. Mekanisme yang sama juga dapat digunakan untuk menjelaskan kenapa pada perlakuan 3 inang, dari 20 ulangan tidak satupun terjadi selfsuperparasitism. Hal ini kemungkinan juga disebabkan karena faktor ukuran inang. Inang yang ada pada unit perlakuan ini kemungkinan ukurannya relatif normal dan nutrisinya hanya cukup untuk satu keturunan, sehingga induk betina meresponnya dengan hanya meletakkan satu telur. Meskipun ini masih merupakan kesimpulan sementara, karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran

19 76 inang, sementara diketahui bahwa ukuran inang merupakan kriteria penting yang digunakan parasitoid betina Trichogramma selama proses penerimaan inang, termasuk berapa jumlah telur yang akan diletakkan (Schmidt 1994). Pengaruh ukuran inang terhadap perilaku selfsuperparasitism juga dilaporkan terjadi pada parasitoid T. evanessens. T. evanessens hanya akan meletakkan 1 telur pada inang S. cerealella, tetapi bila memarasit pada inang Estigmene acraea Drury yang relatif lebih besar, maka parasitoid betina akan meletakkan 1 sampai 10 telur (Clausen 1940). Menurut Salt (1937) dalam Arthur (1981), terdapat suatu kisaran ukuran inang yang dapat diterima parasitoid Trichogramma, parasitoid betina menggunakan objek yang berbentuk bulat dengan diameter antara 0,22 sampai 4,04 mm. Persentase superparasitisme inang 6 inang 12 inang 24 inang 48 inang Urutan peletakan telur Persentase superparasitisme inang 6 inang 12 inang 24 inang 48 inang Urutan peletakan telur Gambar 7 Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur, pemaparan satu parasitoid betina Gambar 8 Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur, pemaparan dua parasitoid betina Pada perilaku selfsuperparasitism ini, jumlah telur yang diletakkan oleh parasitoid betina T. chilotraeae pada inang C. cephalonica yaitu maksimal dua telur dan cenderung meletakkan individu betina-jantan dibandingkan jantan-jantan atau betina-betina. Hasil ini sejalan dengan laporan Wu dan Nordlund (2000) bahwa pada parasitoid Anaphes iole Girault (Hymenoptera: Mymaridae), umumnya meletakkan 2 telur pada setiap kejadian superparasitisme. Perilaku selfsuperparasitism ini dapat dilakukan secara berurutan selama peletakan telur, sampai maksimal dalam tiga kali peletakan (Tabel 8). Perilaku selfsuperparasitism ini sebenarnya merugikan karena keturunan yang dihasilkan adalah individu dengan ukuran yang relatif lebih kecil dari ukuran normalnya. Bila keturunan yang diletakkan adalah betina, maka akan dihasilkan imago betina

20 yang tidak bugar. Selain itu perilaku selfsuperparasitism dianggap sebagai pemborosan telur. Namun Godfray (1994) mengatakan, bahwa ada beberapa keuntungan bagi parasitoid yang melakukan selfsuperparasitism. Dua telur dalam satu inang memungkinkan parasitoid mampu mengimbangi sistem pertahanan inang. Selain itu selfsuperparasitism juga merupakan suatu strategi parasitoid untuk menggagalkan terjadinya superparasitisme dari betina lainnya. Alasan kedua kemungkinan tepat untuk menjelaskan mekanisme terjadinya selfsuperparasitism pada penelitian ini. Hal ini di dasarkan karena perilaku selfsuperparasitism pada parasitoid T. chilotraeae, pada umumnya terjadi pada peletakan telur awal. Bila alasan ini benar, berarti parasitoid T. chilotraeae memang mempunyai kemampuan untuk mengukur jumlah betina lainnya. Menurut Schmidt (1994) betina mampu mengenali adanya betina lain dengan adanya petunjuk-petunjuk kimia ataupun dengan terjadinya kontak dengan betina lainnya. Tabel 8 Frekuensi berbagai variasi selfsuperparasitism pada peletakan tiga telur pertama parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang, n=20 Pola peletakan telur Frekuensi (kali) 3 inang 6 inang 12 inang 24 inang 48 inang (??)?? (??)?? 1 (??)?? 1 (??)(??)? 1 1?(??)? 1 1 (??)(??)(??) 1??(??) 2 1 (??)?? 1?(??)? 1?(??)? 1??(??) 1 Ket: ( ) selfsuperparasitism Secara umum bahwa pengamatan perilaku reproduksi bertujuan untuk lebih memahami perilaku apa yang dilakukan parasitoid untuk tujuan memaksimalkan keberhasilan reproduksi dan keberlangsungan keturunannya nanti, yang secara langsung memberikan arti penting untuk memperbaiki keefektifan pengendalian hama sasaran di lapangan dalam suatu program pengendalian hayati. 77

21 78 Efisiensi Pemarasitan pada Berbagai Jumlah Inang Jumlah inang yang dipaparkan berpengaruh nyata terhadap total telur inang terparasit (P = 0,000), rata-rata inang terparasit perhari (P = 0,000) persentase kemunculan imago (P = 0,030) dan lama hidup (P = 0,045). Total jumlah inang terparasit dan rata-rata inang terparasit perhari meningkat seiring bertambahnya jumlah inang. Tidak terdapat korelasi antara jumlah inang terhadap persentase kemunculan imago. Lama hidup menunjukkan kecenderungan semakin singkat seiring bertambahnya jumlah inang (Tabel 9). Tabel 9 Total inang terparasit, rata-rata inang terparasit perhari, persentase kemunculan imago dan lama hidup parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang Jumlah inang/hari Total Inang terparasit Rata-rata inang terparasit/hari Persentase kemunculan imago Lama hidup (hari) 3 inang 13,90 ± 5,94a 2,00 ± 0,38a 0,97 ± 0,56a 6,75 ± 2,31a 6 inang 21,20 ± 6,74a 3,57 ± 0,97b 0,98 ± 0,43a 6,15 ± 2,03ab 12 inang 35,10 ± 14,78b 6,78 ± 0,93c 0,92 ± 0,21ab 5,15 ± 1,90b 24 inang 53,70 ± 18,88c 8,98 ± 2,42d 0,80 ± 0,23b 6,10 ± 1,94ab 48 inang 54,25 ± 10,07c 9,99 ± 2,75d 0,89 ± 0,26ab 4,95 ± 2,31b Ket: Nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada a = 0,05 Kecenderungan hubungan linier antara peningkatan jumlah inang dengan total inang terparasit, disebabkan karena jumlah inang yang dipaparkan berbeda. Meski demikian dari hasil analisis juga menunjukkan bahwa perlakuan jumlah inang 24 tidak berbeda nyata dengan jumlah inang 48. Lama hidup parasitoid akan semakin singkat dengan bertambahnya jumlah inang. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan teori bahwa jika jumlah inang bertambah, maka parasitoid akan memaksimalkan penggunaan semua sumberdaya untuk meletakkan telur dan kemudian mati (Vinson 1994 dalam Khan et al ). Pada parasitoid synovigenic mempunyai adaptasi untuk menunda produksi telur pada suatu kondisi inang yang rendah. Pada keadaan ini telur yang sudah siap diletakkan akan diserap kembali, dan selanjutnya akan diproduksi bila keadaan sudah

22 79 memungkinkan, hal inilah yang kemungkinan menyebabkan parasitoid dapat memperpanjang lama hidup pada kondisi inang rendah (Doutt et al.1976). Mekanisme yang terjadi pada parasitoid T. chilotraeae ini cenderung mengikuti asumsi pertama, berdasarkan data jumlah inang terparasit pada setiap hari pemaparan (Gambar 9). Pada perlakuan jumlah inang banyak (48 inang), menunjukkan bahwa pada hari pertama pemaparan, parasitoid akan langsung memaksimalkan kemampuan untuk memarasit dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, sedangkan pada hari kedua pemaparan, jumlah inang terparasit menurun tajam. Secara umum peletakkan telur semakin berkurang seiring bertambahnya umur parasitoid. 25 Jumlah inang terparasit Inang 6 Inang 12 Inang 24 Inang 48 Inang Hari pengamatan Gambar 9 Grafik jumlah inang terparasit perhari Hasil yang diperoleh tersebut memberikan informasi penting yang dapat digunakan untuk tujuan pelepasan parasitoid di lapangan dalam suatu program pengendalian hayati dengan metode inundatif. Grafik pada Gambar 9, menunjukkan bahwa parasitoid T. chilotraeae mempunyai kemampuan memarasit yang terbatas, baik dalam jumlah inang yang dapat diparasit, maupun dalam hal waktu pemarasitan efektif. Parasitoid T. chilotraeae ini hanya mampu memarasit rata-rata 24 inang pada hari pertama. Setelah hari kedua, jumlah inang yang mampu diparasit sudah menurun, yakni rata-rata 11 inang. Kemampuan memarasit ini akan terus menurun seiring bertambahnya umur parasitoid. Oleh karena itu, pelepasan massal parasitoid sebaiknya tidak dilakukan dalam sekali

23 80 saja, akan tetapi dilakukan secara berjadwal, minimal dalam jangka waktu setiap 3 hari sekali, tergantung keadaan hama di lapangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah inang berpengaruh terhadap nisbah kelamin total (proporsi betina) yang dihasilkan (P = 0,000). Nisbah kelamin akan semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah inang (Gambar 10). Rata-rata nisbah kelamin pada perlakuan 3 inang adalah 0,35, berbeda dengan semua perlakuan lainnya, 6 inang (0,61); 12 inang (0,76), 24 inang (0,76) dan 48 inang (0,80). Perlakuan inang 12 tidak berbeda dengan perlakuan inang 24 dan b b bc c Nisbah kelamin (proporsi betina) a i 6 i 12 i 24 i 48 i Jumlah inang Mean ±SE ±SD Gambar 10 Nisbah kelamin total parasitoid betina pada berbagai jumlah inang Bila data nisbah kelamin yang dihasilkan induk betina dilihat secara keseluruhan (n = 40: data diperoleh dari data nisbah kelamin pada perlakuan pola peletakan telur dan perlakuan efisiensi pemarasitan), dapat dikatakan bahwa secara umum nisbah kelamin pada perlakuan jumlah inang sedikit (3, 6 dan 12 inang) lebih beragam/tersebar dibandingkan pada perlakuan jumlah inang banyak (24 dan 48 inang). Pada perlakuan 3 inang, nisbah kelamin berkisar 0,19 sampai 0,80, dengan kecenderungan lebih banyak pada kisaran 0,50 sampai 0,60, sementara pada perlakuan 6 inang, dengan rentang 0,30 sampai 0,88, dan kecenderungan lebih besar pada kisaran lebih dari 0,56. Pada pelakuan 12 inang, dengan rentang 0,34 sampai 0,88, dengan kecenderungan pada 0,71 sampai 0,80. Pada perlakuan 24 dan 48 inang mempunyai kisaran data yang sempit, dalam arti data nisbah kelamin pada kedua perlakuan ini tidak terlalu beragam, kisaran 0,52

24 sampai 0,83 pada perlakuan 24 inang, dan 0,59 sampai 0,92 pada perlakuan 48 inang (Gambar 11). 81 Nisbah kelamin (proporsi betina) inang 6 inang 12 inang 24 inang 48 inang Individu ke-n Gambar 11 Sebaran data nisbah kelamin parasitoid betina pada berbagai jumlah inang Berkurangnya jumlah inang terparasit setiap hari, juga diikuti oleh semakin berkurangnya proporsi betina, bahkan pada hari kesembilan keturunan betina sudah tidak dihasilkan lagi (Gambar 12). Hasil pengamatan inilah yang menunjukkan terjadinya kehabisan sperma pada hari-hari terakhir peletakan telur Proporsi jantan/betina Jantan Betina Hari pengamatan Gambar 12 Proporsi keturunan betina pada setiap hari pengamatan selama masa hidup induk betina.

25 82 Waktu Pemarasitan Paling Efektif Waktu pemarasitan paling efektif pada parasitoid T. chilotraeae yang berumur satu hari, hanya berlangsung pada tiga jam pertama pada hari pertama, dengan rata-rata jumlah inang yang dapat diparasit 21. Pada hari berikutnya, meski masih terjadi pemarasitan, akan tetapi jumlah inang yang dapat diparasit menurun drastis, dengan waktu pemarasitan efektif tidak berlangsung pada jam tertentu (Gambar 13). Berdasarkan hasil ini dan pemaparan diatas, dapat dikatakan untuk tujuan efisiensi pada perbanyakan massal di laboratorium, maka rasio jumlah inang 24 dengan satu betina, akan lebih efisien bila dibandingkan dengan rasio 48 inang dengan satu parasitoid, dan sebaiknya pemaparan dilakukan pada parasitoid yang telah berumur satu hari. Jumlah inang terparasit jam pertama 3 jam kedua 3 jam ketiga 15 jam selanjutnya Hari pengamatan Pengaruh Gambar Kepadatan 13 Grafik jumlah Betina inang Terhadap terparasit Nisbah pada Kelamin setiap 3 Keturunan jam Hasil analisis pemaparan menunjukkan bahwa kepadatan betina berpengaruh nyata terhadap nisbah kelamin (P = 0,000). Nisbah kelamin semakin berkurang seiring bertambahnya kepadatan induk betina pada suatu kelompok inang yang tetap. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan hanya kepadatan satu betina yang berbeda dengan perlakuan kepadatan betina lainnya. Nisbah kelamin tidak berbeda nyata pada perlakuan kepadatan dua sampai empat betina (Gambar 14).

26 a 0.85 Nisbah kelamin (proporsi betina) b b b B 2B 3B 4B Kepadatan betina Mean ±SE ±SD Gambar 14 Nisbah kelamin keturunan T.chilotraeae pada berbagai kepadatan parasitoid Parasitoid T. chilotraeae mempunyai pola reproduksi haplodiploidi, dimana penentuan kelamin keturunan diatur oleh induk betina berdasarkan keadaan lingkungan. Faktor jumlah betina dalam suatu patch merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan induk betina untuk mengalokasikan keturunan haploid (jantan) atau diploid (betina), sehingga berpengaruh terhadap nisbah kelamin keturunan. Hasil penelitian menunjukkan induk betina parasitoid T. chilotraeae ini mampu merespon kehadiran betina lainnya pada suatu kelompok inang. Hal ini ditunjukkan dari data nisbah kelamin betina yang dihasilkan, yakni rata-rata 0,80 pada perlakuan kepadatan satu betina, menjadi 0,67 pada kepadatan dua betina, dan 0,64 pada kepadatan empat betina. Hasil ini, secara kualitatif cenderung sejalan dengan model Local Mate Competition (LMC) Hamilton (1976), tapi secara kuantitatif terlihat lebih rendah. Meskipun demikian, pada penelitian ini terdapat keterbatasan untuk lebih menekankan bahwa model reproduksi parasitoid T. chilotraeae ini mengikuti teori LMC. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya unit perlakuan kepadatan betina, sehingga prediksi nisbah kelamin akan mencapai nilai maksimal yakni 0,5 (jantan : betina = 1 : 1) pada kepadatan 25 betina sesuai dengan model LMC tidak dapat diamati. Sebagai pembanding, beberapa penelitian lain juga melaporkan secara kualitatif model LMC ini berlaku pada ektoparasitoid soliter D. basalis (Gauthier

27 84 et al. 1997) dan parasitoid L. heterotoma (Debout et al. 2002). Berdasarkan model LMC, dapat dijelaskan bahwa bila hanya terdapat satu induk betina pada suatu kelompok inang (patch), maka strategi terbaik yang biasa dilakukan betina adalah dengan meletakkan sejumlah keturunan jantan yang diperkirakan cukup untuk membuahi semua saudara betina yang lain. Pada parasitoid D. basalis, proporsi jantan 0,25 merupakan jumlah yang cukup untuk membuahi semua saudara betina yang lainnya (Gauthier et al. 1997). Sedangkan pada parasitoid T. chilotraeae pada penelitian ini, proporsi jantan 0,2 merupakan proporsi jantan yang cukup untuk membuahi semua saudara betina yang lain dari satu induk. Bila dilihat dari data rata-rata jumlah inang terparasit pada pemaparan 24 jam, yakni sebanyak 24, maka jumlah keturunan jantan yang harusnya dihasilkan adalah lima. Beberapa penjelasan yang menunjukkan bagaimana proporsi keturunan betina akan menurun bila pada suatu kelompok inang terdapat beberapa betina lainnya. Menurut Godfray (1994), mekanisme yang bisa terjadi adalah meningkatnya jumlah parasitoid betina sedangkan jumlah inang tetap, akan menyebabkan inang yang tersedia menjadi terbatas. Sebagai akibatnya, maka terjadi superparasitisme, pada keadaan ini biasanya imago yang berhasil keluar adalah imago jantan. Selain itu, umumnya parasitoid akan meletakkan keturunan jantan pada awal peletakan telur. Penjelasan Colazza dan Wajnberg (1998) menunjukkan bahwa parasitoid betina secara signifikan akan menggunakan strategi jantan pertama pada suatu rangkaian urutan peletakan telur. Akan tetapi mekanisme ini tidak tepat untuk parasitoid T. chilotraeae ini, karena berdasarkan pengamatan pola peletakan telur, parasitoid T. chilotraeae ini justru meletakkan keturunan betina pada awal rangkaian peletakan telur. Oleh karena itu, mekanisme pertama kemungkinan lebih tepat untuk menjelaskan strategi pada parasitoid T. chilotraeae karena parasitoid ini mempunyai kecenderungan untuk melakukan superparasitisme, selain itu terdapat korelasi positif antara jumlah inang yang rendah dengan peningkatan kepadatan parasitoid betina terhadap meningkatnya perilaku selfsuperparasitism. Mekanisme lain yang kemungkinkan menyebabkan perubahan alokasi kelamin keturunan sebagai respon terhadap meningkatnya kepadatan betina adalah, (1) mekanisme cepat atau lambatnya penemuan inang yang siap diparasit;

28 85 (2) terjadinya gangguan oleh betina lain pada saat parasitoid betina sedang melakukan peletakan telur; (3) tanggapan parasitoid betina terhadap petujuk kimia yang dikeluarkan oleh betina lainnya (Gauthier et al. 1997). Pada parasitoid T. chilotareae pada penelitian ini, kemungkinan mekanisme yang terjadi adalah karena adanya petunjuk kimia atau karena gangguan fisik oleh betina lain. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sering terjadi gangguan dari betina lain pada saat parasitoid betina sudah siap melakukan peletakan telur. Jakson (1966) dalam Gauthier et al (1997) menjelaskan bahwa parasitoid betina mempunyai perilaku untuk menunda pelepasan aliran spermatozoa dari spermateka selama fase pembuahan bila terjadi gangguan, sebagai akibatnya akan meningkatkan jumlah telur yang tidak dibuahi. Dari keseluruhan penelitian ini, secara umum dapat dikatakan bahwa parasitoid T. chilotraeae berpotensi sebagai salah satu pilihan yang dapat digunakan untuk pengendalian hayati hama P. Xylostella. Hal ini didasarkan dari data kemampuan parasitoid T. chilotraeae ini untuk dapat menaksir jumlah inang maupun kepadatan betina lainnya dengan mengatur alokasi kelamin keturunannya. Selain itu, kecenderungan peletakan keturunan betina pada awal rangkaian peletakan telur dapat menjadi indikator kebugaran parasitoid ini di lapangan. Keturunan betina pada awal peletakan telur memungkinkan keberlanjutan keturunan, sehingga dapat diasumsikan bahwa parasitoid ini dapat mapan di lapangan dan bisa dilakukan program pengendalian hayati dengan metode inokulatif. Bila melihat keperidiannya, maka program pengendalian hayati dapat dilakukan dengan metode inundatif, karena parasitoid ini berpotensi untuk dikembangbiakan secara massal di laboratorium sebagai bagian dari penerapan metode inundatif. Meskipun demikian, beberapa faktor yang diabaikan pada penelitian ini sebenarnya dapat mempengaruhi berbagai perilaku dan ciri-ciri kebugaran parasitoid yakni: ukuran inang, umur inang, inang yang sebelumnya sudah terparasit serta umur imago. Selain itu, penelitian ini hanya menggunakan inang pengganti C. cephalonica. Untuk kedepannya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan inang asli yaitu inang serangga sasaran di lapangan.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai dengan Maret 2006 bertempat di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kebugaran T. chilonis pada Dua Jenis Inang Pada kedua jenis inang, telur yang terparasit dapat diketahui pada 3-4 hari setelah parasitisasi. Telur yang terparasit ditandai dengan perubahan

Lebih terperinci

J. Agroland 15 (1) : 27-31, Maret 2008 ISSN : X

J. Agroland 15 (1) : 27-31, Maret 2008 ISSN : X J. Agroland 15 (1) : 27-31, Maret 2008 ISSN : 0854 641X JUMLAH INANG DAN KEPADATAN PARASITOID: PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU SELFSUPERPARASITISM PARASITOID Trichogramma chilotraeae NAGARAJA & NAGARKATTI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI PEMARASITAN PARASITOID

PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI PEMARASITAN PARASITOID PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI PEMARASITAN PARASITOID Trichogramma chilotraeae NAGARAJA & NAGARKATTI (HYMENOPTERA: TRICHOGRAMMATIDAE) PADA BERBAGAI JUMLAH INANG DAN KEPADATAN PARASITOID HASRIYANTY

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengaruh Ketiadaan Inang Terhadap Oviposisi di Hari Pertama Setelah Perlakuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama S. manilae tidak mendapatkan inang maka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata jumlah inang yang terparasit lebih dari 50%. Pada setiap perlakuan inang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitoid yang ditemukan di Lapang Selama survei pendahuluan, telah ditemukan tiga jenis parasitoid yang tergolong dalam famili Eupelmidae, Pteromalidae dan Scelionidae. Data pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Fase Pradewasa Telur Secara umum bentuk dan ukuran pradewasa Opius sp. yang diamati dalam penelitian ini hampir sama dengan yang diperikan oleh Bordat et al. (1995) pada

Lebih terperinci

ANALISIS MUTU PARASITOID TELUR Trichogrammatidae (Quality assessment of Trichogrammatid) DAMAYANTI BUCHORI BANDUNG SAHARI ADHA SARI

ANALISIS MUTU PARASITOID TELUR Trichogrammatidae (Quality assessment of Trichogrammatid) DAMAYANTI BUCHORI BANDUNG SAHARI ADHA SARI ANALISIS MUTU PARASITOID TELUR Trichogrammatidae (Quality assessment of Trichogrammatid) DAMAYANTI BUCHORI BANDUNG SAHARI ADHA SARI ANALISIS STANDAR MUTU PARASITOID UNGGUL PELEPASAN MASAL PEMBIAKAN MASAL

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Faktor II (lama penyinaran) : T 0 = 15 menit T 1 = 25 menit T 2 = 35 menit

BAHAN DAN METODE. Faktor II (lama penyinaran) : T 0 = 15 menit T 1 = 25 menit T 2 = 35 menit 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset dan Pengembangan Tanaman Tebu, Sei Semayang dengan ketinggian tempat(± 50 meter diatas permukaan laut).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS PARASITOID TRICHOGRAMMATIDAE MORFOLOGI PADA TANAMAN JAGUNG DI SULAWESI UTARA

KEANEKARAGAMAN JENIS PARASITOID TRICHOGRAMMATIDAE MORFOLOGI PADA TANAMAN JAGUNG DI SULAWESI UTARA 19 KEANEKARAGAMAN JENIS PARASITOID TRICHOGRAMMATIDAE HAMA Helicoverpha armigera BERDASARKAN KARAKTER MORFOLOGI PADA TANAMAN JAGUNG DI SULAWESI UTARA DIVERSITY OF PARASITOID TRICHOGRAMMATIDAE PESTS Helicoverpha

Lebih terperinci

Yati Setiati, Neneng Hayatul Mutmainah, M. Subandi. Jurusan Agroteknologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN SGD Bandung

Yati Setiati, Neneng Hayatul Mutmainah, M. Subandi. Jurusan Agroteknologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN SGD Bandung EFEKTIVITAS JUMLAH TELUR Corcyra cephalonica TERPARASITASI Trichogramma sp. TERHADAP PRESENTASI TELUR YANG TERPARASIT DAN JUMLAH LARVA PENGGEREK BATANG TEBU BERGARIS (Chilo EFFECTIVENESS OF EGGS NUMBER

Lebih terperinci

AUGMENTASI DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN PARASITOID : ANALISIS EKOLOGI AGROEKOSISTEM UNTUK. Damayanti Buchori, IPB Nurindah, BALITTAS

AUGMENTASI DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN PARASITOID : ANALISIS EKOLOGI AGROEKOSISTEM UNTUK. Damayanti Buchori, IPB Nurindah, BALITTAS AUGMENTASI DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN PARASITOID : ANALISIS EKOLOGI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG PERTANIAN BERKELANJUTAN Damayanti Buchori, IPB Nurindah, BALITTAS RISET UNGGULAN TERAPAN Memadukan pengetahuan

Lebih terperinci

KARAKTER MORFOLOGI, SIKLUS HIDUP DAN PERILAKU PARASITOID, Trichogramma spp. ASAL DOLAGO KABUPATEN PARIGI-MOUTONG

KARAKTER MORFOLOGI, SIKLUS HIDUP DAN PERILAKU PARASITOID, Trichogramma spp. ASAL DOLAGO KABUPATEN PARIGI-MOUTONG J. Agrisains 6 (3) : 128-134, Desember 2005 ISSN : 1412-3657 KARAKTER MORFOLOGI, SIKLUS HIDUP DAN PERILAKU PARASITOID, Trichogramma spp. ASAL DOLAGO KABUPATEN PARIGI-MOUTONG Oleh : Mohammad Yunus *) ABSTRACT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Morfologi Predator S. annulicornis Stadium nimfa yaitu masa sejak nimfa keluar dari telur hingga menjadi imago. Sebagian besar nimfa yang diberi tiga jenis mangsa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

INFORMASI DASAR PARASITOID TELUR

INFORMASI DASAR PARASITOID TELUR INFORMASI DASAR PARASITOID TELUR Trichogramma chilonis Ishii (HYMENOPTERA: TRICHOGRAMMATIDAE) DALAM KAITANNYA DENGAN PENGENDALIAN HAYATI MIFTAHUL JANNAH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

EVALUASI TINGKAT PARASITISASI PARASITOID TELUR DAN LARVA TERHADAP PLUTELLA XYLOSTELLA L. (LEPIDOPTERA: YPONOMEUTIDAE) PADA TANAMAN KUBIS-KUBISAN

EVALUASI TINGKAT PARASITISASI PARASITOID TELUR DAN LARVA TERHADAP PLUTELLA XYLOSTELLA L. (LEPIDOPTERA: YPONOMEUTIDAE) PADA TANAMAN KUBIS-KUBISAN Wardani & Nazar: Parasitoid telur dan larva Plutella xylostella pada tanaman kubis-kubisan EVALUASI TINGKAT PARASITISASI PARASITOID TELUR DAN LARVA TERHADAP PLUTELLA XYLOSTELLA L. (LEPIDOPTERA: YPONOMEUTIDAE)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan Nilai keperidian imago WBC N. lugens brakhiptera dan makroptera biotipe 3 generasi induk yang dipaparkan pada perlakuan

Lebih terperinci

Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae

Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae Oleh Feny Ernawati, SP dan Umiati, SP POPT Ahli Muda BBPPTP Surabaya Pendahuluan Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga atau binatang arthopoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Parasitoid

TINJAUAN PUSTAKA. Parasitoid TINJAUAN PUSTAKA Parasitoid Parasitoid adalah serangga yang stadia pradewasanya menjadi parasit pada atau di dalam tubuh serangga lain, sementara imago hidup bebas mencari nektar dan embun madu sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur TINJAUAN PUSTAKA 1. Penggerek Batang Tebu Raksasa Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi penggerek batang tebu raksasa adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN INANG PADA SUHU RENDAH TERHADAP PREFERENSI SERTA KESESUAIAN INANG BAGI

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN INANG PADA SUHU RENDAH TERHADAP PREFERENSI SERTA KESESUAIAN INANG BAGI PENGARUH LAMA PENYIMPANAN INANG PADA SUHU RENDAH TERHADAP PREFERENSI SERTA KESESUAIAN INANG BAGI Trichogrammatoidea armigera NAGARAJA Effect of Length Storage of Host under Low Temperature on Host Preference

Lebih terperinci

EKSPLORASI PARASITOID TELUR Plutella xylostella PADA PERTANAMAN KUBIS Brassica oleracea DI DAERAH MALANG DAN KOTA BATU ABSTRACT

EKSPLORASI PARASITOID TELUR Plutella xylostella PADA PERTANAMAN KUBIS Brassica oleracea DI DAERAH MALANG DAN KOTA BATU ABSTRACT Jurnal HPT Volume 2 Nomor 3 April 2014 ISSN: 2338-4336 EKSPLORASI PARASITOID TELUR Plutella xylostella PADA PERTANAMAN KUBIS Brassica oleracea DI DAERAH MALANG DAN KOTA BATU Lukmanul Hakim, Sri Karindah,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, dan berlangsung sejak Juli sampai Desember 2010. Metode

Lebih terperinci

Kupersembahkan karya kecilku untuk yang kusayangi: Bapa, Mamah, Aa, Ceu 'Ndah, Evan, Ayu, dan Opi

Kupersembahkan karya kecilku untuk yang kusayangi: Bapa, Mamah, Aa, Ceu 'Ndah, Evan, Ayu, dan Opi Xiuplhli engtau lhksana Lietiah liinggap di dalian y ay rapuli takpentali goyah makan makanan dari 6unga yang 6ersili mengelii$an kotoran 6erupa madu yang 6cnnanfaat se6agai o6at liidup rukun dalhm sarang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan viabilitas diperlukan untuk menduga keberhasilan proses fertilisasi atau viabilitas suatu polen yang ditunjukkan oleh diameter polen pepaya, daya berkecambah polen pepaya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggerek batang padi adalah salah satu hama utama pada tanaman padi. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Ketinggian wilayah di Atas Permukaan Laut menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar tahun 215 Kecamatan Jumantono memiliki ketinggian terendah 3 m dpl

Lebih terperinci

Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Inisiasi Terbang Parasitoid Telur Trichogrammatoidea cojuangcoi Nagaraja (Hymenoptera: Trichogrammatldae)

Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Inisiasi Terbang Parasitoid Telur Trichogrammatoidea cojuangcoi Nagaraja (Hymenoptera: Trichogrammatldae) Pest Tropical Journal, Vol. 1 No. 1, Juli 2003 ISSN 1693-2854 Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Inisiasi Terbang Parasitoid Telur Trichogrammatoidea cojuangcoi Nagaraja (Hymenoptera: Trichogrammatldae)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh L. lecanii Terhadap Telur Inang yang Terparasit Cendawan L. lecanii dengan kerapatan konidia 9 /ml mampu menginfeksi telur inang C. cephalonica yang telah terparasit T. bactrae

Lebih terperinci

FITNESS VARIATION AMONG TRICHOGRAMMA SPECIES/STRAINS ON EGGS OF PLUTELLA XYLOSTELLA (L.) (LEPIDOPTERA: PLUTELLIDAE) Siti Herlinda

FITNESS VARIATION AMONG TRICHOGRAMMA SPECIES/STRAINS ON EGGS OF PLUTELLA XYLOSTELLA (L.) (LEPIDOPTERA: PLUTELLIDAE) Siti Herlinda Jurnal Perlindungan Tanaman. 11(1):51-59. (2005) VARIASI KEBUGARAN JENIS/STRAIN TRICHOGRAMMA PADA TELUR PLUTELLA XYLOSTELLA (L.) (LEPIDOPTERA: PLUTELLIDAE) FITNESS VARIATION AMONG TRICHOGRAMMA SPECIES/STRAINS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Hasil identifikasi dengan menggunakan preparat mikroskop pada kantung pupa kutukebul berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987), ditemukan ciri morfologi B. tabaci

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1964) menyatakan bahwa pada tahun 1863 penggerek batang padi kuning dikenal

TINJAUAN PUSTAKA. (1964) menyatakan bahwa pada tahun 1863 penggerek batang padi kuning dikenal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggerek Batang Padi Kuning, Scirpophaga incertulas (Walker). Penggerek batang padi kuning disebut dengan berbagai nama. Kapur (1964) menyatakan bahwa pada tahun 1863 penggerek

Lebih terperinci

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI Oleh : Mia Nuratni Yanti Rachman A44101051 PROGRAM STUDI HAMA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hama dapat berupa penurunan jumlah produksi dan penurunan mutu produksi.

I. PENDAHULUAN. hama dapat berupa penurunan jumlah produksi dan penurunan mutu produksi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi merupakan komoditas strategis yang selalu mendapatkan prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Upaya meningkatkan produksi padi terutama ditujukan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bioekologi Kutu Putih Pepaya

TINJAUAN PUSTAKA. Bioekologi Kutu Putih Pepaya TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Kutu Putih Pepaya Kutu putih papaya (KPP), Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera:Pseudococcidae), merupakan hama yang berasal dari Meksiko.. Daerah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) 1.1 Biologi Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara parallel pada permukaan daun yang hijau. Telur

Lebih terperinci

Yati Setiati, Neneng Hayatul Mutmainah, M. Subandi, *)

Yati Setiati, Neneng Hayatul Mutmainah, M. Subandi, *) Efektivitas Jumlah Telur Corcyra cephalonica Terparasitasi Trichogramma sp. terhadap Presentasi Telur yang Terparasit dan Jumlah Larva Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo Efectiveness of the number eggs

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Oleh : Umiati, SP dan Irfan Chammami,SP Gambaran Umum Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman perkebunan industry berupa pohon batang lurus

Lebih terperinci

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Oleh Ida Roma Tio Uli Siahaan Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan

Lebih terperinci

Utara, Medan, 2 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan *Corresponding author:

Utara, Medan, 2 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan *Corresponding author: PERBANYAKAN Corcyra cephalonica Stainton (Lepidoptera : Pyralidae) PADA BERBAGAI KOMPOSISI MEDIA Aprilidia R Rajagukguk 1*, Maryani Cyccu Tobing 2, Yuswani Pangestiningsih 2, 1 Alumnus Prog Studi Hama

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA v

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN PRAKATA v DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i DAFTAR LAMPIRAN ii I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Keaslian Penelitian 5 C. Tujuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan

BAB I PENDAHULUAN. Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aturan karantina di negara-negara tujuan ekspor komoditi buah-buahan Indonesia telah disusun sedemikian ketat. Ketatnya aturan karantina tersebut melarang buah-buahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh Blanchard tahun 1926 dari tanaman Cineraria di Argentina (Parrella 1982)

TINJAUAN PUSTAKA. oleh Blanchard tahun 1926 dari tanaman Cineraria di Argentina (Parrella 1982) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Liriomyza huidobrensis L. huidobrensis termasuk Subfarnili Phytomyzinae, Famili Agromyzidae, Ordo Diptera (Spencer & Steyskal 1986). Liriomyza dideskripsikan pertama kali oleh

Lebih terperinci

Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5, Malang, Indonesia

Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5, Malang, Indonesia UJI KOMPETISI INTERSPESIFIK ANTARA Trichogramma chilonis Ishii DAN Trichogramma japonicum Girnult (HYMENOPTERA: TRICHOGRAMMATIDAE) DALAM TELUR Chilo auricilius Dudgeon (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) Dwi Anggun

Lebih terperinci

Key Words: Ultra Violet, Frozen egg, Trichogramma, Corcyra cephalonica (Stainton)

Key Words: Ultra Violet, Frozen egg, Trichogramma, Corcyra cephalonica (Stainton) Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Palembang, Palembang 18 Oktober 2008 Pengaruh Sinar Ultra Violet dan Pembekuan Telur Corcyra cephalonica Stainton (Lepidoptera: Pyralidae) terhadap

Lebih terperinci

PARASITASI Trichogramma evanescens Westwood PADA BERBAGAI TINGKAT POPULASI DAN GENERASI BIAKAN PARASITOID TERHADAP TELUR PENGGEREK BATANG JAGUNG

PARASITASI Trichogramma evanescens Westwood PADA BERBAGAI TINGKAT POPULASI DAN GENERASI BIAKAN PARASITOID TERHADAP TELUR PENGGEREK BATANG JAGUNG PARASITASI Trichogramma evanescens Westwood PADA BERBAGAI TINGKAT POPULASI DAN GENERASI BIAKAN PARASITOID TERHADAP TELUR PENGGEREK BATANG JAGUNG M.S. Pabbage dan J. Tandiabang Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Serangga Ordo Hymenoptera

TINJAUAN PUSTAKA Serangga Ordo Hymenoptera TINJAUAN PUSTAKA Serangga Ordo Hymenoptera Ordo Hymenoptera termasuk ke dalam kelas Insecta. Ordo ini merupakan salah satu dari 4 ordo terbesar dalam kelas Insecta, yang memiliki lebih dari 80 famili dan

Lebih terperinci

PARASITOID TELUR PADA HAMA KUBIS Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae)

PARASITOID TELUR PADA HAMA KUBIS Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12(1): 2 1-26 (2000) Bulletin of Plant Pests and Diseases, ISSN 0854-3836 O Jurusan HPT IPB, Bogor, Indonesia PARASITOID TELUR PADA HAMA KUBIS Plutella xylostella (L.)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) larva penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tanaman tebu diduga berasal dari daerah Pasifik Selatan, yaitu New Guinea dan selanjutnya menyebar ke tiga arah yang berbeda. Penyebaran pertama dimulai pada 8000 SM

Lebih terperinci

MURTIYARINI, DAMAYANTI BUCHORI, DAN UTOMO KARTOSUWONDO

MURTIYARINI, DAMAYANTI BUCHORI, DAN UTOMO KARTOSUWONDO Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., September 2006, Vol. 3, No. 2, 71-83 Penyimpanan Suhu Rendah Berbagai Fase Hidup Parasitoid: Pengaruhnya terhadap Parasitisasi dan Kebugaran Trichogrammatoidea

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM 6.1 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa Manawa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, di peroleh bahwa kontribusi terbesar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaman Sifat Pertumbuhan dan Taksiran Repeatability Penelitian tentang klon JUN hasil perkembangbiakan vegetatif ini dilakukan untuk mendapatkan performa pertumbuhan serta

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

THE GROWTH AND DEVELOPMENT OF Corcyra cephalonica (STAINTON) (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) REARED ON LOCAL FEED: QUALITY CONTROL OF FACTITIOUS HOST

THE GROWTH AND DEVELOPMENT OF Corcyra cephalonica (STAINTON) (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) REARED ON LOCAL FEED: QUALITY CONTROL OF FACTITIOUS HOST Jurnal Agrikultura 16(3):153-159. (2005) PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Corcyra cephalonica (STAINTON) (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA MEDIA LOKAL: PENGAWASAN MUTU INANG PENGGANTI THE GROWTH AND DEVELOPMENT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara)

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) A. Pendahuluan Konsepsi Integrated Pest Control atau Pengendalian Hama Terpadu (PHT) mulai diperkenalkan pada tahun 1959 yang bertujuan agar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

KAJIAN BEBERAPA KARAKTERISTIK BIOLOGI PENGGEREK BATANG TEBU BERKILAT CHILO AURICILIUS DAN PARASITOIDNYA (TRICHOGRAMMA CHILONIS)

KAJIAN BEBERAPA KARAKTERISTIK BIOLOGI PENGGEREK BATANG TEBU BERKILAT CHILO AURICILIUS DAN PARASITOIDNYA (TRICHOGRAMMA CHILONIS) KAJIAN BEBERAPA KARAKTERISTIK BIOLOGI PENGGEREK BATANG TEBU BERKILAT CHILO AURICILIUS DAN PARASITOIDNYA (TRICHOGRAMMA CHILONIS) Hamim Sudarsono Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis insektisida nabati dan waktu aplikasinya

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis insektisida nabati dan waktu aplikasinya BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mortalitas T. bactrae-bactrae satu hari setelah infestasi Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis insektisida nabati dan waktu aplikasinya tidak berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas buah-buahan Indonesia harus diperhatikan seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas buah-buahan Indonesia harus diperhatikan seiring dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas buah-buahan Indonesia harus diperhatikan seiring dengan globalisasi perdagangan buah dan sayur segar. Salah satu kendala yang dihadapi petani buah dan sayur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berbagai galur sorgum banyak dikembangkan saat ini mengingat sorgum memiliki banyak manfaat. Berbagai kriteria ditetapkan untuk mendapatkan varietas unggul yang diinginkan. Kriteria

Lebih terperinci

PENGARUH POLA KETIADAAN INANG TERHADAP EKOLOGI REPRODUKSI Snellenius manilae ASHMEAD (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) GAMATRIANI MARKHAMAH

PENGARUH POLA KETIADAAN INANG TERHADAP EKOLOGI REPRODUKSI Snellenius manilae ASHMEAD (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) GAMATRIANI MARKHAMAH PENGARUH POLA KETIADAAN INANG TERHADAP EKOLOGI REPRODUKSI Snellenius manilae ASHMEAD (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) GAMATRIANI MARKHAMAH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bawah, biasanya pada pelepah daun ke Satu tumpukan telur terdiri dari

TINJAUAN PUSTAKA. bawah, biasanya pada pelepah daun ke Satu tumpukan telur terdiri dari TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api 1. Biologi Setothosea asigna Klasifikasi S. asigna menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Phylum Class Ordo Family Genus Species : Arthropoda : Insekta : Lepidoptera

Lebih terperinci

KELIMPAHAN POPULASI PARASITOID Trichogramma sp DAN SERANGAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI SAWAH DI KABUPATEN MINAHASA

KELIMPAHAN POPULASI PARASITOID Trichogramma sp DAN SERANGAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI SAWAH DI KABUPATEN MINAHASA 28 KELIMPAHAN POPULASI PARASITOID Trichogramma sp DAN SERANGAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI SAWAH DI KABUPATEN MINAHASA ABUNDANCE AND POPULATION PARASITOID Trichogramma sp STEM BORER PEST ATTACK IN RICE

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian merupakan penelitian lapangan yang dilaksanakan pada bulan April 005 Februari 006. Penelitian biologi lapangan dilaksanakan di salah satu lahan di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago Telur P. marginatus berwarna kekuningan yang diletakkan berkelompok didalam kantung telur (ovisac) yang diselimuti serabut lilin berwarna putih. Kantung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kopi (Coffea spp.) Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% diekspor sedangkan

Lebih terperinci

KAPASITAS REPRODUKSI PARASITOID TELUR Trichogrammatoidea nana Zehntner (Hymenoptera:Trichogrammatidae)

KAPASITAS REPRODUKSI PARASITOID TELUR Trichogrammatoidea nana Zehntner (Hymenoptera:Trichogrammatidae) AGROVIGOR VOLUME 4 NO. 2 SEPTEMBER 211 ISSN 17 5777 3 KAPASITAS REPRODUKSI PARASITOID TELUR Trichogrammatoidea nana Zehntner (Hymenoptera:Trichogrammatidae) Sujak dan Dwi Adi Sunarto Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Agribisnis Agroindustri, Palembang 7 Oktober 2002

Prosiding Seminar Nasional Agribisnis Agroindustri, Palembang 7 Oktober 2002 TEKNOLOGI PRODUKSI MASSAL DAN PEMANFAATAN PARASITOID TELUR HAMA SAYURAN TECHNOLOGY OF MASS PRODUCING EGG PARASITOID AND ITS USE TO CONTROL VEGETABLE PESTS 1) Siti Herlinda Plant Pest and Disease Department,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kerugian pada tanaman hortikultura, baik yang dibudidayakan

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kerugian pada tanaman hortikultura, baik yang dibudidayakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lalat buah (Bactrocera spp.) merupakan salah satu hama yang banyak menimbulkan kerugian pada tanaman hortikultura, baik yang dibudidayakan secara luas maupun tanaman

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS PARASITOID TELUR PADA PERTANAMAN KEDELAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINGKAT SERANGAN DAN POPULASI HAMA. Oleh :

STRUKTUR KOMUNITAS PARASITOID TELUR PADA PERTANAMAN KEDELAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINGKAT SERANGAN DAN POPULASI HAMA. Oleh : STRUKTUR KOMUNITAS PARASITOID TELUR PADA PERTANAMAN KEDELAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TINGKAT SERANGAN DAN POPULASI HAMA Oleh : Okti Aryani Hapsari A44101059 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Hama penggerek batang dan penggerek tongkol pada jagung merupakan

Hama penggerek batang dan penggerek tongkol pada jagung merupakan Potensi Parasitoid Telur sebagai Pengendali Hama Penggerek Batang dan Penggerek Tongkol Jagung Surtikanti 1 Ringkasan Trichogramma evanescens merupakan agensia hayati untuk pengendalian hama utama jagung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 15 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT Kupu-Kupu Taman Lestari dengan alamat Jalan Batu Karu, Sandan Lebah, Sesandan Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran TINJAUAN PUSTAKA Ulat kantong Metisa plana Walker Biologi Hama Menurut Borror (1996), adapun klasifikasi ulat kantong adalah sebagai berikut: Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Species : Animalia

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

PARASITASI Trichogramma chilonis ISHII BERKOPULASI DAN TIDAK BERKOPULASI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP NISBAH KELAMIN Corcyra cephalonica (TESIS) Oleh

PARASITASI Trichogramma chilonis ISHII BERKOPULASI DAN TIDAK BERKOPULASI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP NISBAH KELAMIN Corcyra cephalonica (TESIS) Oleh PARASITASI Trichogramma chilonis ISHII BERKOPULASI DAN TIDAK BERKOPULASI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP NISBAH KELAMIN Corcyra cephalonica (TESIS) Oleh VIZA YELISANTI PUTRI PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AGRONOMI

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI

PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI Arifin Kartohardjono Balai Besar Penelitian Tanaman padi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci