HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata jumlah inang yang terparasit lebih dari 50%. Pada setiap perlakuan inang yang terparasit oleh S. manilae berkisar 58%-63%, sedangkan inang yang tidak terparasit berkisar 37%-42% (Tabel 1). Inang yang terparasit satu butir telur memiliki persentase paling tinggi, yaitu berkisar 46%-55%, sedangkan inang yang terparasit lebih dari satu butir telur memiliki persentase yang rendah yaitu berkisar 0.04%-12%. Ketiadaan inang selama dua hari di awal (P2A), di tengah (P2TB) dan seling (P2S) cenderung menyebabkan peningkatan persentase parasitisasi, sedangkan ketiadaan inang di tengah (P2AT dan P2TT) dan akhir (P2B) cenderung menyebabkan penurunan persentase parasitisasi (Tabel 1). Persentase parasitisasi pada perlakuan-perlakuan ketiadaan inang selama dua hari di tengah dan akhir jumlahnya lebih rendah dari kontrol. Ketiadaan inang selama empat hari di awal (P4A) dan di akhir (P4B) menyebabkan peningkatan persentase parasitisasi, sedangkan ketiadaan inang di tengah (P4AT dan P4TB) dan seling (P4S) justru menyebabkan penurunan persentase parasitisasi (Tabel 1). S. manilae melakukan superparasitisasi dalam persentase yang lebih rendah dibandingkan dengan parasitisasi soliter. Superparasitisasi terjadi ketika S. manilae meletakkan lebih dari satu telur pada inang yang sama. Dalam penelitian ini data superparasitisasi menunjukkan bahwa betina S. manilae bisa meletakkan dua hingga enam butir telur per larva inang. Kejadian superparasitisasi terbanyak ditemukan pada peletakkan dua butir telur per inang, sedangkan kejadian yang paling sedikit adalah enam butir telur per inang. Pada keadaan ideal seharusnya S. manilae tidak melakukan superparasitisasi bila inang yang tersedia mencukupi, namun berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa S. manilae tetap melakukan superparasitisasi meskipun jumlah inang yang dipaparkan mencukupi. Hal ini dapat dilihat pada kontrol, dari 30 inang yang dipaparkan setiap hari ternyata ada sekitar 39% inang yang tidak terparasit dan ditemukan kejadian superparasitisasi sekitar 14%.

2 17 Tabel 1 Sebaran jumlah telur S. manilae yang ditemukan pada setiap inang S. litura Perlakuan Kontrol P2A P2AT P2TT P2TB P2B P2S P4A P4AT P4TB P4B P4S Jumlah telur yang ditemukan pada setiap inang Total Inang Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%) Larva (individu) Persentase (%)

3 18 Pengaruh Pola Ketiadaan Inang pada S. manilae Terhadap Tingkat Parasitisasi dan Produksi Telur Berdasarkan hasil analisis sidik ragam ketiadaan inang di awal cenderung meningkatkan tingkat parasitisasi S. manilae pada hari ke-8, sedangkan ketiadaan inang dua hari di tengah cenderung menurunkan tingkat parasitisasi S. manilae pada hari ke-8 (Tabel 2). S. manilae yang mengalami ketiadaan inang cukup lama (4 hari) di awal atau di akhir hidupnya cenderung meletakkan telur lebih banyak pada hari ke-8 (Tabel 3). Pola ketiadaan inang tidak berpengaruh terhadap total telur hingga hari ke-8 (Gambar 4). Total telur sampai hari ke-8 menurun seiring bertambahnya lama ketiadaan inang. Tingkat parasitisasi S. manilae per hari, dari hari pertama hingga hari ke- 8 cenderung tidak berbeda nyata dengan kontrol pada semua pola ketiadaan inang, namun terlihat sedikit perbedaan pada tingkat parasitisasi S. manilae pada hari ke-8 (Tabel 2). Kisaran tingkat parasitisasi pada hari ke-8 lebih beragam dibandingkan dengan hari lainnya (Tabel 2). Ketiadaan inang selama dua hari di tengah (P2AT dan P2TT) cenderung menyebabkan penurunan tingkat parasitisasi, sedangkan tingkat parasitisasi pada hari ke-8 cenderung mengalami peningkatan pada ketiadaan inang di awal (P2A), di tengah menuju akhir (P2TB), di akhir (P2B), dan seling (P2S). Perbedaan persentase tingkat parasitisasi yang sangat mencolok terlihat pada P2S dengan P2TT (Tabel 2). Ketiadaan inang selama empat hari di awal (P4A) dan di akhir (P4B) cenderung menyebabkan peningkatan parasitisasi pada hari ke-8, sedangkan ketiadaan inang di tengah (P4AT dan P4TB) dan seling (P4S) cenderung menyebabkan penurunan tingkat parasitisasi pada hari ke-8 (Tabel 2). Persentase parasitisasi pada semua perlakuan ketiadaan inang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Kemampuan parasitisasi harian S. manilae yang diberi perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol (61.4%), kecuali P4S (56.3%). S. manilae pada P4S memiliki kemampuan parasitisasi harian terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 2). Lamanya ketiadaan inang ternyata berpengaruh terhadap rata-rata tingkat parasitisasi harian, karena walaupun keduanya merupakan pola berseling namun P2S berbeda nyata dengan P4S. Ketiadaan inang selama 2 hari menyebabkan peningkatan persentase parasitisasi harian pada perlakuan pola awal

4 19 (P2A) dan seling (P2S), sedangkan pada perlakuan dengan pola tengah (P2AT, P2TT, P2TB) dan belakang (P2B) persentase parasitisasi harian mengalami penurunan (Gambar 2). Perlakuan ketiadaan inang selama 4 hari cenderung menyebabkan penurunan tingkat parasitisasi harian untuk pola tengah (P4AT dan P4TB), dan seling (P4S). Peningkatan persentase parasitisasi harian hanya terjadi pada pola belakang (P4B). Rata-rata tingkat parasitisasi (%) abc* ab cd cd bcd cd a bcd cd cd abc d Perlakuan Gambar 2 Rata-rata tingkat parasitisasi S. manilae per hari. *Huruf yang sama di atas kelompok diagram tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada α = 5%. A: ketiadaan inang di awal; AT: ketiadaan inang di awal hingga tengah; TT: ketiadaan inang di tengah; TB: ketiadaan inang di tengah hingga akhir; B: ketiadaan inang di akhir; S: ketiadaan inang berseling; Angka: jumlah hari ketiadaan inang. Jumlah telur yang diletakkan oleh S. manilae per hari dari hari pertama hingga hari ke-8 tidak berbeda nyata dengan kontrol pada semua pola ketiadaan inang, namun terlihat sedikit perbedaan pada jumlah telur yang diletakkan S. manilae pada hari ke-8 (Tabel 3). Sama seperti peubah amatan tingkat parasitisasi pada hari ke-8, kisaran jumlah telur pada hari ke-8 terlihat lebih beragam dibandingkan dengan hari lainnya (Tabel 3). Ketiadaan inang selama dua hari di tengah (P2AT dan P2TT) cenderung menyebabkan penurunan jumlah telur di hari ke-8, sedangkan jumlah telur di hari ke-8 cenderung mengalami peningkatan pada ketiadaan inang di awal (P2A), di tengah menuju akhir (P2TB), di akhir (P2B), dan seling (P2S) (Tabel 3). Perbedaan yang nyata pada persentase

5 20 jumlah telur pada hari ke-8 terlihat pada P2S dengan P2TT. Ketiadaan inang selama empat hari di awal (P4A) dan di akhir (P4B) cenderung menyebabkan peningkatan jumlah telur pada hari ke-8, sedangkan ketiadaan inang di tengah (P4AT dan P4TB) dan seling (P4S) cenderung menyebabkan penurunan jumlah telur pada hari ke-8 (Tabel 3). Perbedaan nyata persentase jumlah telur hari ke-8 sangat terlihat pada P4S dan P4TB dengan P4B. Persentase jumlah telur pada P2S, P4A, P4AT, dan P4B berbeda nyata dengan kontrol. Gambar 3 menunjukkan korelasi antara tingkat parasitisasi hari ke-8 dengan jumlah telur yang diletakkan pada hari ke-8. Terlihat bahwa terdapat korelasi positif diantara keduanya. Hal ini dapat dilihat dari data berupa titik-titik bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif. Koefisien korelasi yang didapat ialah menunjukkan adanya hubungan keeratan yang tinggi antara tingkat parasitisasi dengan jumlah telur yang diletakkan pada hari ke-8. Gambar 3 Diagram pencar korelasi antara tingkat parasitisasi di hari ke-8 dengan jumlah telur yang diletakkan di hari ke-8 pada S. manilae yang telah diberikan perlakuan.

6 19 Tabel 2 Pengaruh pola ketiadaan inang pada S. manilae terhadap tingkat parasitisasi per hari hingga hari ke-8 Perlakuan Kontrol P2A P2AT P2TT P2TB P2B P2S P4A P4AT P4TB Tingkat parasitisasi hari ke- (%) 1,2) ±8.78 a 66.3±15.00 ab 63.7±12.76 a 59.3±9.29 b 68.0±11.21 a 61.1±8.63 a 62.2±8.96 a 56.0±5.73 abc ±10.44 a 71.1±6.06 a 73.7±6.03 a 68.7±5.63 a 66.7±11.79 a 56.4±8.97 abc 54.8±12.83 a ±11.08 b 63.1±12.23 ab 63.0±7.76 a 60.8±10.78 a 52.7±8.61 bc 58.3±15.04 a 65.0±10.34 ab ±11.99 a 59.1±12.62 a 60.1±7.47 a 49.4±10.81 c 55.3±14.75 a 64.1±6.78 ab 57.6±15.10 a ±5.65 a 63.7±10.47 a 59.5±4.50 ab 54.6±8.83 a 57.4±9.68 b 54.7±11.74 a 60.7±12.10 b 61.7±13.87 ab ±12.71 ab ±10.38 a 59.5±13.98 a ±12.47 b 63.4±7.86 a 66.6±6.31 a 62.3±4.39 a ±10.25 a 62.6±11.18 a 59.0±12.03 a 64.3±12.18 a 57.8±11.29 a ±16.55 a 64.2±13.56 a 59.2±7.95 ab 54.6±11.26 a 70.7±9.98 a ±10.86 a 55.4±10.76 abc P4B 63.4±11.6 a 65.2±7.02 ab 60.5±10.00 a ±6.71 ab P4S ±6.94 ab ±8.89 b ±9.90 a ±9.09 ab 1) Angka selajur yang diikuti dengan huruf yang samatidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada α=5% 2) Untuk keperluan sidik ragam, data ditransformasi dengan Arcsin ( ) 21

7 21 Tabel 3 Pengaruh pola ketiadaan inang pada S. manilae terhadap jumlah telur yang diletakkan per hari hingga hari ke-8 Perlakuan Jumlah telur hari ke- (%) 1,2) Kontrol 19.1±5.83 a 28.0±7.28 ab 27.9±12.02 a 23.8±3.56 ab 27.0±7.38 a 24.8±8.78 a 22.2±3.76 a 16.8±1.61 de P2A ±4.28 a 26.8±3.76 a 25.2±7.08 a 24.0±4.12 a 20.8±1.09 a 18.1±3.60 cde P2AT 19.7±6.21 a ±4.44 ab 23.4±9.91 a 23.4±7.02 a 20.0±4.69 a 17.4±2.01 cde P2TT 20.2±4.84 a 21.4±6.06 ab ±8.47 a 20.0±5.29 a 19.2±2.58 a 16.3±3.56 e P2TB 21.6±9.04 a 21.4±3.28 ab 26.4±5.85 a ±2.07 a 20.6±4.72 a 20.4± 3.71 cd P2B 19.9±4.33 a 19.6±3.91 b 22.4±6.34 a 25.8±5.35 ab 24.6±10.92 a ±4.62 cd P2S ±5.22 a 22.1±5.66 a ±7.16 a 25.8±1.30 a 21.8±2.16 a 21.2±2.34 abc P4A ±8.96 a 23.6±6.84 a 24.8±8.70 a 25.4±6.05 ab P4AT 19.3±4.37 a ±7.63 a 26.0±12.46 a 20.9±3.60 bc P4TB 18.3±4.27 a 27.0±5.04 a ±5.11 a 19.1±4.09 cde P4B 21.7±5.37 a 24.2±5.80 ab 24.0±5.57 a ± 5.03 a P4S ±3.16 ab ±2.19 b ±2.54 a ±2.79 cde 1) Angka selajur yang diikuti dengan huruf yang samatidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada α=5% 2) Untuk keperluan sidik ragam, data ditransformasi dengan Log (y) 22

8 23 Gambar 4 menunjukkan bahwa ketiadaan inang berseling, di awal, di tengah, dan di akhir hidup S. manilae ternyata tidak berpengaruh terhadap jumlah telur yang diletakkan hingga hari ke-8. Jumlah telur yang diletakkan hingga hari ke-8 ternyata lebih dipengaruhi oleh lama ketiadaan inang. Semakin lama imago S. manilae tidak mendapatkan inang maka jumlah telur yang diletakkan hingga hari ke-8 semakin menurun. Dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa jumlah telur hingga hari ke-8 tertinggi terdapat pada kontrol, diikuti oleh pola-pola ketiadaan inang dua hari, dan yang terendah ialah pola-pola ketiadaan inang empat hari. Total telur sampai hari ke-8 pada kontrol berbeda nyata dengan pola lainnya. Jumlah telur (butir) a* b b b b b b c c c c c Kontrol P2A P2AT P2TT P2TB P2B P2S P4A P4AT P4TB P4B P4S Perlakuan Gambar 4 Total telur yang diletakkan hingga hari ke-8 oleh S. manilae. *Huruf yang sama di atas kelompok diagram tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada α = 5%. A: ketiadaan inang di awal; AT: ketiadaan inang di awal hingga tengah; TT: ketiadaan inang di tengah; TB: ketiadaan inang di tengah hingga akhir; B: ketiadaan inang di akhir; S: ketiadaan inang berseling; Angka: jumlah hari ketiadaan inang. Perlakuan yang diberikan pada S. manilae dapat memengaruhi jumlah telur pada hari pertama setelah ketiadan inang. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang selama dua hari di awal (P2A), di tengah (P2TT), dan seling (P2S) cenderung meletakkan jumlah telur yang lebih banyak pada hari pertama setelah ketiadaan inang, sedangkan ketiadaan inang selama dua hari di tengah (P2AT dan P2TB) dan di akhir (P2B) menyebabkan S. manilae cenderung

9 24 meletakkan telur yang lebih sedikit pada hari pertama setelah ketiadaan inang (Gambar 5). Hanya S. manilae pada P2B yang memiliki jumlah telur pada hari pertama berbeda nyata dengan P2A. Hal yang berbeda terjadi pada S. manilae yang mengalami ketiadaan inang selama empat hari. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang empat hari di awal (P4A), di akhir (P4B), dan seling (P4S) cenderung meletakkan telur yang lebih sedikit dibandingkan dengan S. manilae yang mengalami ketiadaan inang selama empat hari di tengah (P4AT dan P4TB) (Gambar 5). Jumlah telur S. manilae pada hari pertama setelah ketiadaan inang berkisar 18 butir hingga 31 butir (Gambar 5). Jarak antara butir terlihat cukup jauh, namun dari Gambar 5 terlihat bahwa data banyak berkumpul pada kisaran 25 butir. Telur yang diletakkan pada hari pertama setelah ketiadaan inang oleh S. manilae pada P4TB merupakan jumlah telur paling banyak (31 butir) dibandingkan dengan pola yang lain, sedangkan S. manilae pada P4S8 memiliki jumlah telur yang diletakkan pada hari pertama setelah ketiadan inang paling sedikit (18.7 butir) dibandingkan dengan pola yang lain. Jumlah telur (butir) ab* bcd ab bcd cd ab ab bcd abc a abc bcd cd bcd d 5 0 P2A P2AT P2TT P2TB P2B P2S2 P2S5 P4A P4AT P4TB P4B P4S2 P4S4 P4S6 P4S8 Perlakuan Gambar 5 Jumlah telur yang diletakkan S. manilae pada hari pertama setelah ketiadaan inang. *Huruf yang sama di atas kelompok diagram tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada α = 5%. A: ketiadaan inang di awal; AT: ketiadaan inang di awal hingga tengah; TT: ketiadaan inang di tengah; TB: ketiadaan inang di tengah hingga akhir; B: ketiadaan inang di akhir; S: ketiadaan inang berseling; Angka dibelakang P: jumlah hari ketiadaan inang; Angka dibelakang S: hari ke-.

10 25 Gambar 6 menunjukkan bahwa tingkat superparasitisasi pada hari ke-8 cukup rendah, dari 30 ekor inang terdapat 1-5 inang yang mengalami superparasitisasi. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang di awal cenderung melakukan superparasitisasi yang rendah pada hari ke-8. Hal sebaliknya terjadi pada S. manilae yang mengalami ketiadaan inang selama empat hari. Pola ketiadaan inang di awal yang cukup lama (4 hari) dapat menyebabkan S. manilae melakukan superparasitisasi yang tinggi pada hari ke-8. Terlihat hanya P4A yang memiliki superparasitisasi paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, kemudian diikuti oleh P4AT (Gambar 6). S. manilae yang sebelumnya telah bertemu dengan inang, kemudian mengalami ketiadaan inang selama empat hari memiliki tingkat superparasitisasi yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Lamanya ketiadaan inang ternyata memengaruhi superparasitisasi pada hari ke-8. Ketika S. manilae mengalami ketiadaan inang yang lama (4 hari) di awal ternyata superparasitisasi yang terjadi pada hari ke-8 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketiadaan inang pada S. manilae yang mengalami ketiadaan inang dua hari di awal. Superparasitisasi (inang) bcde* e bcde cde bc bcde bcde a b bcde bcd de 0 Kontrol P2A P2AT P2TT P2TB P2B P2S P4A P4AT P4TB P4B P4S Perlakuan Gambar 6 Superparasitisasi pada hari ke-8 oleh S. manilae yang telah diberikan perlakuan. *Huruf yang sama di atas kelompok diagram tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada α = 5%. A: ketiadaan inang di awal; AT: ketiadaan inang di awal hingga tengah; TT: ketiadaan inang di tengah; TB: ketiadaan inang di tengah hingga akhir; B: ketiadaan inang di akhir; S: ketiadaan inang berseling; Angka: jumlah hari ketiadaan inang.

11 26 Pengaruh Pola Ketiadaan Inang pada S. manilae Terhadap Sisa Telur, Total Telur, dan Lama Hidup Pola ketiadaan inang tidak begitu berpengaruh terhadap total produksi telur dan lama hidup imago S. manilae. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang memiliki total telur yang lebih rendah dibandingkan dengan S. manilae yang selalu mendapatkan inang. Lama hidup imago S. manilae lebih dipengaruhi oleh lamanya ketiadaan inang, sedangkan sisa telur dalam ovari S. manilae dipengaruhi baik oleh pola ketiadaan inang maupun lama ketiadaan inang. Pola ketiadaan inang selama dua hari di tengah (P2AT dan P2TT) cenderung menyebabkan sisa telur dalam ovari S. manilae menjadi lebih banyak, sedangkan ketiadaan inang di awal (P2A), di akhir (P2TB dan P2B) dan seling (P2S) cenderung menurunkan sisa telur dalam ovari S. manilae (Tabel 4). Hal yang sama terjadi pada pola-pola ketiadaan inang selama empat hari, kecuali pada pola seling (P4S). Semakin lama S. manilae mengalami ketiadaan inang maka sisa telur dalam ovari S. manilae cenderung lebih banyak. Hal ini dapat dilihat dari ketiadaan inang dengan pola seling selama empat hari ternyata dapat menyebabkan peningkatan sisa telur dalam ovari, namun bila ketiadaan inang terjadi selama dua hari maka sisa telur dalam ovari akan menurun. Sisa telur dalam ovari S. manilae pada P2S memiliki jumlah yang paling sedikit dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu 26.1 butir telur. Hasil penelitian menunjukan bahwa total telur dari semua perlakuan tidak berbeda nyata satu dengan lainnya, kecuali P2TT dengan P4TB (Tabel 4). Akan tetapi ketiadaan inang ternyata menurunkan total produksi telur S. manilae pada semua perlakuan. Secara statistik, hanya P2TT yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Bila dibandingkan dengan jumlah telur yang diletakkan hingga hari ke-8 terlihat bahwa lama ketiadaan inang memengaruhi jumlah telur yang diletakkan hingga hari ke-8, tetapi jumlah total produksi telur baik pada ketiadaan inang selama dua hari dan empat hari cenderung sama. Hal tersebut membuktikan bahwa lama ketiadaan inang hingga empat hari untuk semua pola tidak berpengaruh pada total produksi telur.

12 27 Tabel 4 Perlakuan Pengaruh pola ketiadaan inang pada S. manilae terhadap sisa telur, total produksi telur, dan lama hidup Sisa telur dalam ovari (butir) 1,2)* Total produksi telur (butir) 1,2)** Lama hidup (hari) 1,2)*** Kontrol 36.0±6.49 defg 224.2±29.62 a 8.0±0.00 c P2A 32.7±8.57 efg 189.7±21.59 bc 8.9±0.73 abc P2AT 45.3±13.54 bcde 174.4±7.21 bc 8.5±0.70 bc P2TT 48.3±10.28 abcd 197.5±41.66 ab 9.1±1.37 abc P2TB 42.3±17.35 cdef 186.5±24.11 bc 8.5±0.52 bc P2B 29.7±7.21 fg 175.1±25.68 bc 8.8±1.03 abc P2S 26.1± 3.47 g 180.9±14.41 bc 8.4±0.51 bc P4A 31.1±9.68 fg 171.7±29.73 bc 10.0±0.94 a P4AT 63.9±16.98 a 178.0±40.86 bc 9.4±1.77 ab P4TB 47.7±17.38 abcd 162.6±21.23 c 9.1±1.19 abc P4B 54.9±18.21 abc 186.6±33.29 bc 9.7±2.05 ab P4S 60.3±15.54 ab 176.2±38.13 bc 10.0±2.53 a 1) Angka selajur yang diikuti dengan huruf yang samatidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada α=5% 2) Untuk keperluan sidik ragam, data ditransformasi dengan Log (y) *Koef. keragaman=8.84 **Koef. keragaman=2.95 ***Koef. keragaman=5.89 Pola ketiadaan inang tidak berpengaruh terhadap lama hidup imago S. manilae, sedangkan lama ketiadaan inang ternyata berpengaruh terhadap lama hidup imago S. manilae. Pemberian inang secara terus menerus menyebabkan imago S. manilae memiliki umur yang paling singkat, yaitu delapan hari, sedangkan rata-rata lama hidup imago S. manilae terpanjang dalam penelitian ini adalah 10 hari (Tabel 4). Semakin lama imago S. manilae tidak mendapatkan inang maka semakin panjang lama hidupnya. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pola ketiadaan inang selama dua hari cenderung memiliki lama hidup yang lebih singkat dibandingkan dengan pola ketiadaan inang empat hari. Korelasi positif terjadi antara peubah amatan total produksi telur dan lama hidup. Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa beberapa titik begerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif, namun cukup banyak titik yang memencar atau menjauhi titik-titik dari garis lurus. Koefisien korelasi yang didapat ialah menunjukkan adanya hubungan keeratan yang rendah antara total produksi telur dan lama hidup imago.

13 28 Gambar 7 Diagram pencar korelasi antara lama hidup dengan total produksi telur pada imago betina S. manilae yang telah diberikan perlakuan. Pembahasan Penelitian ini menunjukkan bahwa parasitisasi yang dilakukan oleh S. manilae yang diberi perlakuan tidak selalu efisien. Parasitisasi soliter (satu butir telur parasitoid per inang) memiliki persentase yang paling tinggi, namun persentase inang yang tidak terparasit juga cukup tinggi, selain itu superparasitisasi selalu terjadi pada semua perlakuan. Parasitisasi soliter pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Ratna (2008), yaitu parasitisasi satu butir telur per inang S. manilae pada pemaparan inang S. litura instar II sebanyak 30 ekor yaitu sebesar 44.7%. Terlihat bahwa S. manilae yang mengalami ketiadaan inang ataupun selalu mendapatkan inang sama-sama memiliki kisaran parasitisasi soliter yang tidak berbeda jauh. Fenlon (2009) menyatakan bahwa superparasitisasi akan menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan inang. Ketika kepadatan inang sudah cukup memenuhi kebutuhan S. maniale untuk melakukan parasitisasi seharusnya kejadian superparsitisasi menjadi rendah atau bahkan tidak terjadi. Kepadatan inang yang diberikan untuk parasitisasi S. manilae pada penelitian ini sudah sesuai. Hal ini dapat terlihat dari cukup tingginya persentase inang yang tidak terparasit. Walaupun persentase inang yang tidak terparasit cukup tinggi namun superparasitisasi tetap terjadi dalam persentase yang rendah.

14 29 Kekeliruan S. manilae dalam membedakan antara inang yang sudah terparasit atau belum merupakan salah satu penyebab superparasitisasi serta tingginya persentase inang yang tidak terparasit. Van Giessen (dalam Ratna 2008) menyatakan bahwa diskriminasi inang oleh imago parasitoid betina sangat bergantung pada pengalaman pemilihan inang dan lingkungan. Selain itu, tempat ketika pemaparan dilakukan berupa tabung reaksi pyrex berdiameter 3 cm, terdapat kemungkinan inang melekat pada lapisan bawah daun kedelai yang berhadapan langsung dengan dinding tabung. Walaupun ukuran S. manilae kecil, namun kondisi tersebut tetap dapat membatasi ruang gerak parasitoid ini dalam melakukan parasitisasi. Hal ini membuat S. manilae mengalami kesulitan dalam menemukan inang yang berada di bagian bawah daun kedelai. Peletakan dua butir telur per inang merupakan superparasitisasi yang paling banyak ditemukan. Kejadian superparasitisasi semakin menurun seiring bertambahnya jumlah telur yang ditemukan dalam tubuh inang. Hal ini kemungkinan merupakan strategi S. manilae untuk menghindari kompetisi antar larva yang terjadi di dalam tubuh inang. Adanya kompetisi antar larva S. manilae di dalam tubuh inang dapat menurunkan kebugaran S. manilae nantinya. Pengaruh Ketiadaan Inang pada S. manilae Terhadap Tingkat Parasitisasi dan Produksi Telur Secara umum tingkat parasitisasi S. manilae yang mengalami ketiadaan inang memiliki persentase yang tidak berbeda nyata dengan S. manilae yang selalu mendapatkan inang. Hal ini menunjukkan bahwa S. manilae yang mengalami ketiadaan inang sampai empat hari memiliki kemampuan memarasit yang sama dengan S. manilae yang selalu mendapatkan inang selama hidupnya. Jika dilihat dari pola ketiadaan inang, maka akan terlihat beberapa kecenderungan. Ketiadaan inang selama dua hari dan empat hari di awal menyebabkan S. manilae mengalami peningkatan parasitisasi pada hari ke-8. Ketika S. manilae mengalami ketiadaan inang di tengah menuju akhir hidupnya, tingkat parasitisasi pada hari ke-8 mengalami penurunan. Tingkat parasitisasi mengalami peningkatan kembali ketika S. manilae mengalami ketiadaan inang secara berseling dan ketiadaan inang di akhir hidupnya. Adanya keeratan/ korelasi positif yang tinggi diantara tingkat

15 30 parasitisasi pada hari ke-8 dan jumlah telur yang diletakkan pada hari ke-8 menyebabkan kecenderungan yang terjadi pada jumlah telur yang diletakkan pada hari ke-8 relatif sama dengan tingkat parasitisasi pada hari ke-8. Namun pada peubah amatan jumlah telur di hari ke-8 lebih terlihat jelas bahwa ketiadaan inang yang cukup lama (4 hari) di awal dan akhir menyebabkan jumlah telur yang diletakkan di hari ke-8 menjadi lebih banyak. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena S. manilae yang sudah pernah bertemu dengan inang sebelumnya baru bertemu kembali dengan inang ketika pada hari ke-8. Perjumpaan kembali S. manilae dengan inangnya merangsang S. manilae untuk segera meletakkan telur yang telah di produksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hegazi (2007), yaitu Microplitis rufiventris yang diberikan inang larva Spodoptera littoralis setelah ketiadaan inang selama 1, 3, 5, 6, 7, dan 8 mengalami puncak parasitisasi pada saat pertama atau kedua kalinya setelah ketersediaan inang. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang cukup lama di awal hidupnya membuat parasitoid ini kurang memiliki pengalaman dalam melakukan parasitisasi. Drost dan Carde (1992) menyebutkan bahwa ketiadaan inang parasitoid dapat menyebabkan rendahnya tingkat parasitisasi karena belum adanya pengalaman oviposisi. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang cukup lama di awal hidupnya memiliki kesempatan mendapatkan pengalaman oviposisi sebelum mencapai hari ke-8. Adanya kesempatan tersebut merangsang parasitoid ini untuk terus meletakkan telur, sehingga jumlah telur yang diletakkan pada hari ke-8 mengalami peningkatan. S. manilae yang selalu mendapatkan inang sepanjang hidupnya maupun yang mengalami ketiadaan inang memiliki rata-rata parasitisasi harian yang tidak terlalu berbeda. Namun adanya pola berseling yang cukup lama membuat rata-rata tingkat parasitisasi harian S. manilae menjadi rendah. Adanya pola seperti ini kemungkinan membentuk perilaku parasitisasi yang sama dari awal sampai akhir hidup imago S. manilae. Ketika S. manilae baru pertama kali menemukan inang tingkat parasitisasinya belum terlalu tinggi karena belum memiliki pengalaman oviposisi, kemudian keesokan harinya S. manilae kembali tidak bertemu inang,

16 31 hal ini terus terjadi hingga hari ke-8. Hal ini yang menyebabkan rata-rata tingkat parasitisasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pola ketiadaan inang tidak berpengaruh terhadap total telur sampai hari ke-8, namun lamanya ketiadaan inang dapat memengaruhi total telur yang diletakkan hingga hari ke-8. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang dua hari lebih banyak bertemu inang dibandingkan dengan S. manilae yang mengalami ketiadaan inang empat hari. Semakin lama ketiadaan inang, frekuensi S. manilae bertemu dengan inang semakin sedikit, sehingga total telur yang diletakkan hingga hari ke-8 juga lebih sedikit. Drost dan Carde (1992) menyatakan bahwa total produksi telur tergantung dari jumlah inang yang ditemui oleh parasitoid. Jika dibandingkan dengan penelitian Ratna (2008) diketahui bahwa jumlah telur per hari yang diletakkan S. manilae pada larva S. litura ialah 20.8 butir, maka terlihat bahwa S. manilae yang mengalami ketiadaan inang cenderung meletakkan telur yang lebih banyak pada hari pertama setelah ketiadaan inang. Hal tersebut sesuai dengan yang dijabarkan oleh Hougardy (2005) bahwa puncak peletakan telur M. ridibundus terjadi pada hari pertama ketersediaan inang. Selain itu, Hegazi (2007) menyatakan bahwa Microplitis rufiventris yang diberikan inang larva Spodoptera littoralis setelah ketiadaan inang selama 1, 3, 5, 6, 7, dan 8 mengalami puncak parasitisasi pada saat pertama atau kedua kalinya setelah ketersediaan inang. Adanya pola berseling yang cukup panjang cenderung menurunkan peletakkan jumlah telur pada hari pertama setelah ketiadaan inang, khususnya pada hari terakhir (hari ke-8). Selain akibat adanya perubahan perilaku akibat pola ketiadaan inang yang berseling-seling, rendahnya telur yang diletakkan kemungkinan berkaitan dengan umur parasitoid yang sudah tua. Ratna (2008) menyatakan bahwa secara umum ada kecenderungan bahwa induk parasitoid berumur muda lebih banyak menghasilkan keturunan dan perlahan-lahan menurun seiring bertambahnya umur. Superparasitisasi dapat dikatakan merugikan, karena dapat memengaruhi proporsi kesuksesan produksi keturunan (White & Andow 2008). Superparasitisasi yang terjadi pada hari ke-8 cenderung rendah. Ratna (2008)

17 32 melaporkan bahwa tingkat superparsitisasi parasitoid S. manilae hasil pemaparan dengan larva instar II S. litura sebanyak 30 ekor adalah 19.6% (5-6 inang). Rendahnya superparasitisasi pada hari ke-8 mungkin dikarenakan umur parasitoid yang sudah cukup tua sehingga tingkat parasitisasinya cenderung menurun dan sudah cukup banyak telur yang diletakkan pada inang sebelumnya. Selain itu pengalaman S. manilae dalam membedakan inang yang sudah terparasit sudah cukup baik. Superparasitisasi yang cukup tinggi terjadi pada beberapa perlakuan ketiadaan inang empat hari khususnya yang mengalami ketiadaan inang di awal. Hal ini mungkin terjadi karena parasitoid mengalami ketiadaan inang dalam waktu yang cukup lama (Vinson 1985 dalam Ratna 2008). Adanya ketiadaan inang yang cukup panjang di awal hidup S. manilae kemungkinan menyebabkan parasitoid ini menjadi kurang berpengalaman dalam membedakan inang. Selain itu adanya telur yang telah diproduksi dalam ovari, dapat merangsang parasitoid ini untuk terus meletakkan telur berkali-kali pada inang yang ditemuinya. Liu dan Morton (1986 dalam Godfray 1994) menduga bahwa parasitoid lebih memilih meletakkan telur lebih dari satu di dalam tubuh inang yang ditemuinya dibandingkan mati dengan menyisakan telur di dalam ovarinya. Pengaruh Pola Ketiadaan Inang pada S. manilae Terhadap Sisa Telur, Total Telur, dan Lama Hidup Pada saat dilakukan pembedahan setelah mati, M. rufiventris yang diberi inang setelah ketiadaan inang selama 1, 3, 5, 6, 7, dan 8 hari memiliki jumlah telur yang berbeda-beda di dalam ovarinya (Hegazi 2007). Hal yang sama juga ditemukan pada S. manilae yang telah diberikan perlakuan ketiadaan inang. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang di awal cenderung memiliki sisa telur dalam ovari yang rendah. Hal ini kemungkinan terjadi akibat S. manilae terus meletakkan telur yang telah diproduksinya akibat rangsangan bertemu dengan inang setelah mengalami ketiadaan inang. Lamanya ketiadaan inang terlihat cukup berpengaruh terhadap sisa telur dalam ovari S. manilae. Walaupun dengan pola yang sama (seling dan belakang) S. manilae yang mengalami ketiadaan inang selama empat hari memiliki sisa telur dalam ovari yang jauh lebih banyak

18 33 dibanding sisa telur dalam ovari S. manilae yang mengalami ketiadaan inang selama dua hari. Telur-telur dalam ovari tersebut tampaknya terus disimpan sampai S. manilae bertemu kembali dengan inang, namun terdapat kemungkinan S. manilae lebih dahulu mati sebelum bertemu kembali dengan inang. Hal tersebut mengakibatkan S. manilae tidak sempat meletakkan telur pada inang, sehingga menyisakan jumlah telur yang banyak di ovari. Hougardy (2005) menyatakan bahwa imago betina yang mengalami ketiadaan inang memiliki kandungan telur lebih banyak dibandingkan dengan imago betina yang memiliki kesempatan untuk menghabiskan telurnya pada inang yang ditemuinya. Selain itu, Heriyano (2000) menyatakan bahwa ketiadaan inang E. argenteopilosus memengaruhi sisa telur dan jumlah telur (hari ke-8 dan 9) dimana hal ini terkait dengan frekuensi pemberian inang yang diberikan berbeda-beda. Selain itu, Hougardy dan Mills (2007) menyatakan bahwa ketiadaan inang dapat memengaruhi keperidian dan menurunkan penyerangan harian terhadap inang. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang kemungkinan mengalami perubahan perilaku oviposisi, yaitu S. manilae memiliki kemampuan parasitisasi yang rendah sehingga telur yang telah diproduksi tidak segera diletakkan ketika bertemu dengan inang, melainkan tetap disimpan di dalam ovarinya. Pengaruh perbedaan pola dan lama ketiadaan inang pada total produksi telur tidak terlihat jelas. S. manilae yang mengalami ketiadaan inang empat hari ternyata dapat mengimbangi total produksi telur S. manilae yang mengalami ketiadaan inang dua hari. Hal tersebut kemungkinan karena S. manilae pada ketiadaan inang empat hari cenderung memiliki hidup yang lebih lama. S. manilae yang memiliki lama hidup lebih panjang akan terus memproduksi telur selama sisa hidupnya, sehingga total produksi telur S. manilae tersebut dapat terus bertambah. Walaupun begitu, total telur S. manilae yang mengalami ketiadaan inang selama empat hari tetap lebih rendah dari total produksi telur pada S. manilae yang selalu mendapatkan inang. Hal tersebut kemungkinan terjadi akibat keperidian S. manilae yang mengalami ketiadaan inang lebih rendah dibandingkan S. manilae yang selalu mendapatkan inang. Hougardy (2005); Hougardy dan Mills (2007) menyatakan bahwa puncak reproduksi M. ridibundus

19 34 yang mengalami ketiadaan inang terjadi ketika hari pertama bertemu dengan inang, namun setelah itu dapat memengaruhi keperidian dan menurunkan penyerangan harian terhadap inang. Selain itu pada parasitoid synovigenic, ketiadaan inang yang cukup panjang dapat menyebabkan resorpsi telur oleh imago betina. Rosenheim et al. (2000) menyatakan bahwa perilaku adaptasi pada kebanyakan spesies synovigenic adalah kemampuan imago betina dalam mengabsorpsi lemak telur dan protein. Contoh resorpsi ialah melalui pencernaan autolitik kuning telur (Asplen & Byrne 2006). Rata-rata lama hidup S. manilae menurut laporan Shepard et al. (1991 dalam Ratna 2008) ialah 6-8 hari, namun pada penelitian ini terdapat S. manilae yang hidup lebih lama dari rata-rata lama hidup yang telah dilaporkan tersebut. Imago betina S. manilae yang lebih sering mendapatkan inang cendrung memiliki lama hidup yang lebih singkat. Sebaliknya imago betina S. manilae yang jarang bertemu inang akan memiliki lama hidup yang lebih panjang. Hal yang sama juga terjadi pada parasitoid Venturia canescens yang diberi pakan madu serta dipelihara pada suhu 15 o C, 20 o C, 25 o C, dan 30 o C memiliki lama hidup yang lebih panjang jika tidak diberi inang (Eliopoulos 2005). S. manilae yang berada dalam keadaan ketersediaan inang terus menerus akan terus memproduksi telur dan melakukan parasitisasi. Kedua kegiatan tersebut tentunya dilakukan dengan menggunakan energi yang dimiliki oleh S. manilae. Beling (dalam Ratna 2008) menyatakan bahwa hal yang berkaitan dengan lama hidup imago parasitoid betina ialah energi yang digunakan untuk kebutuhan parasitisasi. Semakin jarang imago betina S. manilae bertemu dengan inang, maka semakin sedikit energi yang dikeluarkan untuk mencari inang dan oviposisi. Selain itu terdapat pula kemungkinan penyerapan telur yang sudah matang pada parasitoid synovigenic, sehingga suplai nutrisi di dalam tubuh menjadi bertambah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengaruh Ketiadaan Inang Terhadap Oviposisi di Hari Pertama Setelah Perlakuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama S. manilae tidak mendapatkan inang maka

Lebih terperinci

PENGARUH POLA KETIADAAN INANG TERHADAP EKOLOGI REPRODUKSI Snellenius manilae ASHMEAD (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) GAMATRIANI MARKHAMAH

PENGARUH POLA KETIADAAN INANG TERHADAP EKOLOGI REPRODUKSI Snellenius manilae ASHMEAD (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) GAMATRIANI MARKHAMAH PENGARUH POLA KETIADAAN INANG TERHADAP EKOLOGI REPRODUKSI Snellenius manilae ASHMEAD (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) GAMATRIANI MARKHAMAH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kebugaran T. chilonis pada Dua Jenis Inang Pada kedua jenis inang, telur yang terparasit dapat diketahui pada 3-4 hari setelah parasitisasi. Telur yang terparasit ditandai dengan perubahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

Pengaruh lama ketiadaan inang terhadap kapasitas reproduksi parasitoid Snellenius manilae Ashmead (Hymenoptera: Braconidae)

Pengaruh lama ketiadaan inang terhadap kapasitas reproduksi parasitoid Snellenius manilae Ashmead (Hymenoptera: Braconidae) Jurnal Entomologi Indonesia Indonesian Journal of Entomology ISSN: 1829-7722 April 2012, Vol. 9 No. 1, 14-22 Online version: http://jurnal.pei-pusat.org DOI: 10.5994/jei.9.1.14 Pengaruh lama ketiadaan

Lebih terperinci

ANALISIS MUTU PARASITOID TELUR Trichogrammatidae (Quality assessment of Trichogrammatid) DAMAYANTI BUCHORI BANDUNG SAHARI ADHA SARI

ANALISIS MUTU PARASITOID TELUR Trichogrammatidae (Quality assessment of Trichogrammatid) DAMAYANTI BUCHORI BANDUNG SAHARI ADHA SARI ANALISIS MUTU PARASITOID TELUR Trichogrammatidae (Quality assessment of Trichogrammatid) DAMAYANTI BUCHORI BANDUNG SAHARI ADHA SARI ANALISIS STANDAR MUTU PARASITOID UNGGUL PELEPASAN MASAL PEMBIAKAN MASAL

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan Nilai keperidian imago WBC N. lugens brakhiptera dan makroptera biotipe 3 generasi induk yang dipaparkan pada perlakuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan pemangsaan Menochilus sexmaculatus dan Micraspis lineata

HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan pemangsaan Menochilus sexmaculatus dan Micraspis lineata HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan pemangsaan Menochilus sexmaculatus dan Micraspis lineata Kemampuan pemangsaan diketahui dari jumlah mangsa yang dikonsumsi oleh predator. Jumlah mangsa yang dikonsumsi M.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA KETIADAAN INANG

PENGARUH LAMA KETIADAAN INANG PENGARUH LAMA KETIADAAN INANG Spodoptera litura F. (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE) TERHADAP POLA REPRODUKSI PARASITOID Snellenius manilae ASHMEAD (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) MOHAMAD ELDIARY AKBAR DEPARTEMEN PROTEKSI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perbanyakan tanaman cabai secara in vitro dapat dilakukan melalui organogenesis ataupun embriogenesis. Perbanyakan in vitro melalui organogenesis dilakukan dalam media MS dengan penambahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Upaya peningkatan produksi ubi kayu seringkali terhambat karena bibit bermutu kurang tersedia atau tingginya biaya pembelian bibit karena untuk suatu luasan lahan, bibit yang dibutuhkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Ngengat meletakkan telur di atas permukaan daun dan jarang meletakkan di bawah permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dilakukan dari April Juli 2007 bertepatan dengan akhir musim hujan, yang merupakan salah satu puncak masa pembungaan (Hasnam, 2006c), sehingga waktu penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN PARASITOID: Eriborus Argenteopilosus Cameron (Hymenoptera : Ichneumonidae) PADA Spodoptera. Litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae)

KAJIAN PARASITOID: Eriborus Argenteopilosus Cameron (Hymenoptera : Ichneumonidae) PADA Spodoptera. Litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae) 53 KAJIAN PARASITOID: Eriborus Argenteopilosus Cameron (Hymenoptera : Ichneumonidae) PADA Spodoptera. Litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae) (Novri Nelly, Yaherwandi, S. Gani dan Apriati) *) ABSTRAK

Lebih terperinci

Nila Wardani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Abstrak

Nila Wardani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung   Abstrak Aktivitas Parasitoid Larva (Snellenius manilae) Ashmead (Hymenoptera : Braconidae) dan Eriborus Sp (Cameron) (Hymenoptera : Ichneumonidae) dalam Mengendalikan Hama Tanaman Nila Wardani Balai Pengkajian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. Hasil analisis statistika menunjukkan adaptasi galur harapan padi gogo

BAB V HASIL PENELITIAN. Hasil analisis statistika menunjukkan adaptasi galur harapan padi gogo 26 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Hasil analisis statistika menunjukkan adaptasi galur harapan padi gogo berpengaruh nyata terhadap elevasi daun umur 60 hst, tinggi tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, dan berlangsung sejak Juli sampai Desember 2010. Metode

Lebih terperinci

Jumlah Hari Hujan Gerimis Gerimis-deras Total September. Rata-rata Suhu ( o C) Oktober '13 23,79 13,25 18, November

Jumlah Hari Hujan Gerimis Gerimis-deras Total September. Rata-rata Suhu ( o C) Oktober '13 23,79 13,25 18, November BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini adalah pengamatan selintas dan utama. 4.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasilnya tidak diuji

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Faktor II (lama penyinaran) : T 0 = 15 menit T 1 = 25 menit T 2 = 35 menit

BAHAN DAN METODE. Faktor II (lama penyinaran) : T 0 = 15 menit T 1 = 25 menit T 2 = 35 menit 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset dan Pengembangan Tanaman Tebu, Sei Semayang dengan ketinggian tempat(± 50 meter diatas permukaan laut).

Lebih terperinci

BAHAN METODE PENELITIAN

BAHAN METODE PENELITIAN BAHAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan penelitian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl, dilaksanakan pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Telur Nyamuk Aedes aegypti yang telah diberikan pakan darah akan menghasilkan sejumlah telur. Telur-telur tersebut dihitung dan disimpan menurut siklus gonotrofik. Jumlah

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC

Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC LAMPIRAN 38 38 Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC Perlakuan Laju pertambahan tinggi (cm) kedelai pada minggu ke- a 1 2 3 4 5 6 7 AUHPGC (cmhari)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan Mikroba dalam Seduhan Kompos Hasil pengamatan kepadatan mikroba pada seduhan kompos dengan metode pencawanan pengenceran 10-6 pada media PDA menunjukkan bahwa antara seduhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum TINJAUAN PUSTAKA Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur diletakkan pada permukaan daun, berbentuk oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah Dramaga, keadaan iklim secara umum selama penelitian (Maret Mei 2011) ditunjukkan dengan curah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Bobot Mutlak dan Laju Pertumbuhan Bobot Harian Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkecambahan Benih Penanaman benih pepaya dilakukan pada tray semai dengan campuran media tanam yang berbeda sesuai dengan perlakuan. Kondisi kecambah pertama muncul tidak seragam,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Padi (HPBP) Hasil penelitian tingkat kerusakan oleh serangan hama penggerek batang pada tanaman padi sawah varietas inpari 13

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Benih Indigofera yang digunakan dalam penelitian ini cenderung berjamur ketika dikecambahkan. Hal ini disebabkan karena tanaman indukan sudah diserang cendawan sehingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2009 sampai Oktober 2009. Suhu rata-rata harian pada siang hari di rumah kaca selama penelitian 41.67 C, dengan kelembaban

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA JAGUNG. S. Mas ud, A. Tenrirawe, dan M.S Pabbage Balai Penelitian Tanaman Serealia

DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA JAGUNG. S. Mas ud, A. Tenrirawe, dan M.S Pabbage Balai Penelitian Tanaman Serealia DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA JAGUNG S. Mas ud, A. Tenrirawe, dan M.S Pabbage Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Penanaman jagung secara monokultur yang dilakukan beruntun dari musim ke musim, memperkecil

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi yang terbanyak diperoleh dari biji S. mahagoni, diikuti daun T. vogelii, biji A.

Lebih terperinci

Ulangan ANALISIS SIDIK RAGAM Sumber variasi db jk kt F hitung

Ulangan ANALISIS SIDIK RAGAM Sumber variasi db jk kt F hitung Lampiran 1. Analisis Tinggi Tanaman Data Tinggi Tanaman Minggu ke-14 Ulangan 1 2 3 Jumlah Purata M1 114,40 107,30 109,40 331,10 110,37 M2 110,90 106,60 108,50 326,00 108,67 M3 113,40 108,60 109,20 331,20

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh L. lecanii Terhadap Telur Inang yang Terparasit Cendawan L. lecanii dengan kerapatan konidia 9 /ml mampu menginfeksi telur inang C. cephalonica yang telah terparasit T. bactrae

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitoid yang ditemukan di Lapang Selama survei pendahuluan, telah ditemukan tiga jenis parasitoid yang tergolong dalam famili Eupelmidae, Pteromalidae dan Scelionidae. Data pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Parasitoid

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Parasitoid 58 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Parasitoid Berdasarkan hasil identifikasi terhadap karakter antena, sayap depan dan alat genitalia imago jantan menunjukkan bahwa parasitoid Trichogrammatidae yang

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

Sari M. D. Panggabean, Maryani Cyccu Tobing*, Lahmuddin Lubis

Sari M. D. Panggabean, Maryani Cyccu Tobing*, Lahmuddin Lubis Pengaruh Umur Parasitoid Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) terhadap Jumlah Larva Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) di Laboratorium The Influence of Parasitoid Age of Xanthocampoplex

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Ketinggian wilayah di Atas Permukaan Laut menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar tahun 215 Kecamatan Jumantono memiliki ketinggian terendah 3 m dpl

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

EFISIENSI PARASITISASI INANG SPODOPTERA LITURA (F.) OLEH ENDOPARASITOID SNELLENIUS MANILAE ASHMEAD DI LABORATORIUM

EFISIENSI PARASITISASI INANG SPODOPTERA LITURA (F.) OLEH ENDOPARASITOID SNELLENIUS MANILAE ASHMEAD DI LABORATORIUM 8 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 8, No. 1: 8 16, Maret 2008 EFISIENSI PARASITISASI INANG SPODOPTERA LITURA (F.) OLEH ENDOPARASITOID SNELLENIUS MANILAE ASHMEAD DI LABORATORIUM Endang Sri Ratna 1 ABSTRACT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berbagai galur sorgum banyak dikembangkan saat ini mengingat sorgum memiliki banyak manfaat. Berbagai kriteria ditetapkan untuk mendapatkan varietas unggul yang diinginkan. Kriteria

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Fase Pradewasa Telur Secara umum bentuk dan ukuran pradewasa Opius sp. yang diamati dalam penelitian ini hampir sama dengan yang diperikan oleh Bordat et al. (1995) pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

Pengaruh Instar Larva Inang Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) terhadap Keberhasilan Hidup

Pengaruh Instar Larva Inang Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) terhadap Keberhasilan Hidup Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., April 2011, Vol. 8, No. 1, 36-44 Pengaruh Instar Larva Inang Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) terhadap Keberhasilan Hidup Parasitoid

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil dan pembahasan penelitian sampai dengan ditulisnya laporan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil dan pembahasan penelitian sampai dengan ditulisnya laporan 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan penelitian sampai dengan ditulisnya laporan kemajuan ini belum bias penulis selesaikan dengan sempurna. Adapun beberapa hasil dan pembahasan yang berhasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biji Buru Hotong Gambar biji buru hotong yang diperoleh dengan menggunakan Mikroskop Sterio tipe Carton pada perbesaran 2 x 10 diatas kertas millimeter blok menunjukkan

Lebih terperinci

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida, PEMBAHASAN PT National Sago Prima saat ini merupakan perusahaan satu-satunya yang bergerak dalam bidang pengusahaan perkebunan sagu di Indonesia. Pengusahaan sagu masih berada dibawah dinas kehutanan karena

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan pemberian pupuk akar NPK dan pupuk daun memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Pakan beberapa Aksesi Daun Bunga Matahari. terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Pakan beberapa Aksesi Daun Bunga Matahari. terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F. 48 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Pakan beberapa Aksesi Daun Bunga Matahari terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa mortalitas

Lebih terperinci

HASIL. Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro A B C

HASIL. Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro A B C HASIL Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro Pertumbuhan Koloni S. rolfsii dengan Inokulum Sklerotia Pada 5 HSI diameter koloni cendawan pada semua perlakuan seduhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Fisik Buah Kualitas fisik buah merupakan salah satu kriteria kelayakan ekspor buah manggis. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kualitas fisik buah meliputi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Benih kedelai dipanen pada dua tingkat kemasakan yang berbeda yaitu tingkat kemasakan 2 dipanen berdasarkan standar masak panen pada deskripsi masing-masing varietas yang berkisar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil Percobaan I. Pengaruh Suhu Air dan Intensitas Perendaman terhadap Perkecambahan Benih Kelapa Sawit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil Percobaan I. Pengaruh Suhu Air dan Intensitas Perendaman terhadap Perkecambahan Benih Kelapa Sawit 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Percobaan I. Pengaruh Suhu Air dan Intensitas Perendaman terhadap Perkecambahan Benih Kelapa Sawit Berdasarkan rekapitulasi hasil sidik ragam pada Tabel 1 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae

Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae Oleh Feny Ernawati, SP dan Umiati, SP POPT Ahli Muda BBPPTP Surabaya Pendahuluan Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga atau binatang arthopoda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

STRUKTUR POPULASI Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) PADA BEBERAPA TIPE LANSEKAP DI SUMATERA BARAT

STRUKTUR POPULASI Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) PADA BEBERAPA TIPE LANSEKAP DI SUMATERA BARAT STRUKTUR POPULASI Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) PADA BEBERAPA TIPE LANSEKAP DI SUMATERA BARAT Novri Nelly 1) dan Yaherwandi 2) 1) Staf pengajar Jurusan Hama dan Penyakit

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai dengan Maret 2006 bertempat di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Histogram kerapatan papan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Histogram kerapatan papan. 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Papan Komposit Anyaman Pandan 4.1.1 Kerapatan Sifat papan yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh kerapatan. Dari pengujian didapat nilai kerapatan papan berkisar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Percobaan ini dilakukan mulai bulan Oktober 2007 hingga Februari 2008. Selama berlangsungnya percobaan, curah hujan berkisar antara 236 mm sampai dengan 377 mm.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.)

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan 1. Uji Larvasida Penelitian dengan pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) terhadap larva Aedes aegypti instar III yang dilakukan selama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Jenis jenis Hama Pada Caisim Hasil pengamatan jenis hama pada semua perlakuan yang diamati diperoleh jenis - jenis hama yang sebagai berikut : 1. Belalang hijau Phylum :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN HIBAH BERSAING XIII TAHUN II/2006

ARTIKEL PENELITIAN HIBAH BERSAING XIII TAHUN II/2006 ARTIKEL PENELITIAN HIBAH BERSAING XIII TAHUN II/2006 Struktur Populasi Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Parasitoid Crocidolomia pavonana Fabricius (Lepidoptera: Pyralidae)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma Hasil analisis varians menunjukkan bahwa umur tanaman kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi peletakan telur,

Lebih terperinci

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO Sutardi, Kristamtini dan Setyorini Widyayanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta ABSTRAK Luas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Laju Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi, 1997). Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2012

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2012 11 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2012 bertempat di Laboratorium Hama Tumbuhan Jurusan Agroteknologi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura S. litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi TINJAUAN PUSTAKA Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadangkadang tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan

Lebih terperinci

3.KUALITAS TELUR IKAN

3.KUALITAS TELUR IKAN 3.KUALITAS TELUR IKAN Kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: umur induk, ukuran induk dan genetik. Faktor eksternal meliputi: pakan,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Lahan 4. 1. 1. Sifat Kimia Tanah yang digunakan Tanah pada lahan penelitian termasuk jenis tanah Latosol pada sistem PPT sedangkan pada sistem Taksonomi, Tanah tersebut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang ditampilkan pada bab ini terdiri dari hasil pengamatan selintas dan pengamatan utama. Pengamatan selintas terdiri dari curah hujan, suhu udara, serangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data penelitian yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari beberapa parameter pertumbuhan anakan meranti merah yang diukur selama 3 bulan. Parameter yang diukur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Viabilitas yang tinggi ditunjukkan dengan tolok ukur persentase daya berkecambah yang tinggi mengindikasikan bahwa benih yang digunakan masih berkualitas baik. Benih kedelai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Metode Pengusangan Cepat Benih Kedelai dengan MPC IPB 77-1 MM Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan metode pengusangan cepat benih kedelai menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Jumlah Kutu Kebul (Bemisia tabaci) pada Berbagai Stadia Hidup (telur,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Jumlah Kutu Kebul (Bemisia tabaci) pada Berbagai Stadia Hidup (telur, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Kutu Kebul (Bemisia tabaci) pada Berbagai Stadia Hidup (telur, nimfa, imago) 4.1.1 Jumlah Telur Hasil anava pada lampiran1.1 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang

Lebih terperinci