BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan, yang merupakan singkatan dari surface-active agent, didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorpsi pada permukaan atau antarmuka (interface) larutan untuk menurunkan tegangan permukaan atau antarmuka sistem. Besarnya penurunan tegangan permukaan atau antarmuka tergantung pada struktur surfaktan, konsentrasi, dan kondisi fisiko-kimia larutan (misalnya ph, konsentrasi garam, suhu, tekanan, dll.). Secara tipikal surfaktan merupakan spesies amphiphatic, artinya bahwa surfaktan tersusun dari komponen hidrofobik, yang disebut dengan ekor, dan komponen hidrofilik, yang disebut dengan gugus kepala (Gambar 1) sehingga memungkinkan surfaktan untuk berinteraksi baik dengan molekul nonpolar maupun dengan molekul polar (Mehling et al. 2007). ekor (hidrofobik) kepala (hidrofilik) Gambar 1 Diagram skematik dari sebuah molekul surfaktan (Mehling et al. 2007). Surfaktan sebagai senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan komponen bahan adesif telah diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang industri. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Pembentukan film pada antarmuka ini menurunkan energi antarmuka dan menghasilkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Rieger 1985). Secara umum surfaktan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik. Klasifikasi tersebut berdasarkan sifat ionik gugus hidrofilik yang bersifat menarik air. Gugus

2 8 hidrofilik yang bermuatan negatif disebut anionik, yang bermuatan positif disebut kationik, yang tidak bermuatan disebut nonionik, dan yang bermuatan positif dan negatif disebut amfoterik (Matheson 1996). Swern (1997) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut: 1) Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina. 2) Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofobiknya dengan ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na + dan ion surfaktan yang bermuatan negatif. 3) Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air, kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol. 4) Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai ph. Menurut Sadi (1994), surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak. Proses-proses yang diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetalisasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karektiristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan. Sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya gugus yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya gugus tersebut adalah gugus hidroksil (R-OH) dan gugus eter (R-O-R ). Daya kelarutan dalam air gugus hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan gugus sulfat atau sulfonat. Kelarutan gugus hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan penggunaan gugus multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk multihidroksil (hasil reaksi antara gugus hidrofob dengan produk multihidroksil)

3 9 antara lain: glikosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter 1991). Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu : 1. Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, dan poligliserol ester 2. Berbasis karbohidrat seperti alkil poliglikosida, dan n-metil glukamida 3. Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin 4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan sophorolipid. 2.2 Sifat-Sifat Surfaktan Tegangan Permukaan Molekul-molekul pada permukaan suatu cairan hanya memiliki molekulmolekul sekelilingnya dari sisi bagian dalam dan dengan demikian mengalami suatu daya tarik yang cenderung menarik mereka ke bagian dalam. Sebagai hasilnya, molekul-molekul melekat lebih kuat dengan yang berhubungan secara langsung dengan mereka di permukaan dan membentuk permukaan "film". Oleh karena itu perlu lebih banyak gaya untuk menggerakkan objek dari permukaan ke udara daripada untuk menggerakkannya dari fase bagian dalam. Tegangan permukaan adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan luas permukaan cairan dalam berbagai unit, biasanya diukur dalam dynes/cm atau mn/m. Gaya dalam dyne/mn diperlukan untuk memecahkan suatu film dengan panjang 1 cm/1 m. Air pada suhu 20 o C memiliki tegangan permukaan 72,8 dyne/cm dibandingkan dengan 22,3 untuk etil alkohol dan 465 untuk merkuri (Myers 2006). Energi molekul-molekul dalam antarmuka menentukan tegangan permukaan dari suatu cairan, jadi jika molekul-molekul permukaan diganti dengan solut yang teradsorpsi, maka nilai tegangan permukaan yang terukur akan berubah. Solutsolut tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan tegangan permukaan dari suatu antarmuka air-uap. Menariknya, suatu elektrolit hanya dapat meningkatkan sedikit tegangan permukaan; misalnya, larutan natrium hidroksida 10% akan mempunyai nilai tegangan permukaan sekitar 78 mn/m, sedangkan surfaktan

4 10 dapat menurunkan tegangan permukaan air sebesar 50% atau lebih. Tingkat ketidakseimbangan dari gaya-gaya pada permukaan menentukan nilai tegangan permukaan. Jika fase uap digantikan dengan pelarut nonpolar, seperti oktana, tegangan antarmuka akan tereduksi menjadi 52 mn/m; jika fase uap digantikan dengan pelarut polar seperti 1-oktanol, tegangan antarmuka akan tereduksi hingga serendah 8,5 mn/m (Myers 2006). Surfaktan dapat diserap pada permukaan atau antarmuka dengan bagian hidrofiliknya berorientasi pada fase encer dan bagian hidrofobiknya berorientasi pada uap atau fase yang kurang polar; perubahan sifat molekul-molekul yang menempati permukaan secara signifikan mengurangi tegangan permukaan. Berbagai jenis surfaktan memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengurangi tegangan permukaan atau antarmuka karena struktur kimia yang berbeda. Oleh karena itu tegangan permukaan larutan surfaktan merupakan salah satu sifat fisik yang paling umum dari larutan tersebut yang digunakan untuk mengkarakterisasi sifat-sifat surfaktan Stabilitas Emulsi Telah diketahui dengan baik bahwa peran pengemulsi adalah untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fase minyak dan air dengan membentuk lapisan antarmuka kohesif secara mekanik disekitar globula fase terdispersi sehingga membantu dalam fragmentasi globula selama emulsifikasi dan mencegah terbentuknya koalesensi (Rousseau 2000). Selama emulsifikasi, stabilitas globula sementara (transient) merupakan hal penting untuk mengurangi koalesensi kembali selama proses, yang pada gilirannya menentukan distribusi ukuran globula akhir. Secara alami, kebanyakan emulsi tidak stabil secara termodinamika; yaitu, emulsi cenderung terpisah menjadi dua fase yang berbeda atau lapisan seiring berjalannya waktu karena luas antarmuka tinggi. Oleh karena itu, karakteristik emulsi (distribusi ukuran globula, ukuran globula rata-rata dan properti-properti lainnya) juga akan berubah dengan waktu. Stabilitas emulsi dicirikan dengan perilaku parameter dasarnya yang tergantung waktu. Stabilitas emulsi ini penting

5 11 dalam memahami pembentukan emulsi, karena stabilitas adalah tujuan akhir atau ukuran dari seluruh proses (Fingas & Fieldhouse, 2004). Ada lima mekanisme utama yang dapat berkontribusi terhadap ketidakstabilan emulsi: (1) creaming dan sedimentasi; (2) flokulasi; (3) Oswald ripening; (4) koalesensi; dan (5) inversi fase (Rousseau 2000). Idealnya semua faktor ini perlu diminimalkan atau dicegah untuk menghasilkan suatu emulsi yang stabil. Creaming dan sedimentasi merupakan pemisahan fase karena perbedaan densiti antara dua fase pada pengaruh gravitasi. Flokulasi merupakan agregasi pertikel tanpa kerusakan individualitas emulsi karena gaya tarik menarik yang lemah antara koloid. Flokulasi tergantung pada energi interaksi antara dua partikel sebagai fungsi dari jarak antar partikel. Energy interaksi merupakan gabungan gaya tarik menarik dan gaya tolak menolak. Selama flokulasi, partikel mempertahankan integritas strukturalnya (McClements & Demetriades 1998). Ostwald ripening adalah pertumbuhan globula-globula yang lebih besar dengan mengorbankan globula-globula yang lebih kecil dan berhubungan dengan gradien kelarutan yang terdapat antara globula-globula kecil dan besar (Rousseau 2000). Selama koalesensi, dua globula yang berbenturan akan membentuk satu globula yang lebih besar. Koalesensi bisa sempurna ketika globula adalah cairan atau sebagian jika globula berisi material kristal. Koalesensi sebagian dapat menyebabkan inverse fase, dimana emulsi minyak dalam air (o/w) menjadi emulsi air dalam minyak (w/o) Hydrophile-Lipophile Balance (HLB) Parameter HLB merupakan suatu usaha untuk mengkorelasikan secara kuantitatif struktur surfaktan dengan aktivitas permukaannya. Sistem ini menggunakan formula-formula empiris tertentu untuk menghitung bilangan HLB, secara normal harga yang diberikan dalam kisaran skala Makin tinggi nilai HLB menunjukkan surfaktan makin hidrofilik, sehingga mereka lebih larut dalam air dan pada umumnya digunakan sebagai bahan pelarut (solubilizing agents) yang baik, deterjen, dan penstabil untuk emulsi O/W; surfaktan dengan nilai HLB rendah memiliki kelarutan dalam air yang rendah, sehingga mereka digunakan sebagai pelarut (solubilizers) air dalam minyak dan penstabil emulsi W/O yang

6 12 baik (Myers 2006). Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja dari surfaktan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja Rentang HLB Dispersivitas dalam air Aplikasi yang sesuai 1 4 Tidak mampu mendispersi dalam air 3 6 Kemampuan mendispersi kurang baik 6 8 Dispersi seperti susu setelah pengadukan yang sempurna 8 10 Dispersi seperti susu stabil (ujung atasnya hampir transparan) Pengemulsi W/O Wetting agent Wetting agent, pengemulsi O/W Transparan hingga dispersi jernih Pengemulsi O/W 13+ Larutan jernih Pengemulsi O/W, solubilizing agent Sumber: Davis (1994) 2.3 Alkil Poliglikosida Pengembangan Alkil Poliglikosida Alkil poliglikosida (APG) merupakan suatu generasi baru surfaktan yang sangat efektif yang didapatkan dari karbohidrat (Hill et al. 1997). Surfaktan ini tingkat toksiknya rendah, aman secara ekologi dan terbuat dari bahan-bahan yang dapat diperbarui (Böge & Tietze 1998; El-Sukkary et al. 2008; Rodriguez et al. 2005; von Rybinski & Hill 1998; Ware et al. 2007). Alkil glikosida pertama kali disintesis dan diidentifikasi di laboratorium oleh Emil Fischer lebih dari 100 tahun yang lalu. Penggunaan paten pertama yang menjelaskan pemakaian alkil glikosida dalam deterjen telah diajukan di Jerman sekitar 40 tahun kemudian. Setelah itu banyak peneliti tertarik meneliti tentang alkil glikosida dan telah mengembangkan proses-proses teknis untuk memproduksi alkil poliglikosida berdasarkan sintesis Fischer (Hill et al. 1997).

7 13 Selama pengembangan ini, selain dilakukan penelitian awal Fischer yaitu mereaksikan glukosa dengan alkohol yang bersifat hidrofilik seperti metanol, etanol, gliserol, dan lain-lain, juga diteliti reaksi dengan alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai alkil dari oktil (C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol lemak. Hasil sintesis yang diperoleh bukan alkil monoglikosida murni, namun campuran kompleks dari alkil mono-, di-, tri, dan oligoglikosida. Karena itu, produknya disebut alkil poliglikosida (von Rybinski & Hill 1998). Produk alkil poliglikosida dapat dicirikan dengan panjang rantai alkil dan derajat polimerisasi (Gambar 2). R = gugus alkil (fatty) DP = derajat polimerisasi (jumlah ratarata unit glukosa/rantai alkil (R)) Gambar 2 Rumus struktur dari alkil poliglikosida (von Rybinski & Hill 1998) Bahan Baku Alkil Poliglikosida Sumber karbohidrat Gugus hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat. Baik karbohidrat polimerik dan monomerik cocok sebagai bahan untuk produksi APG. Karbohidrat polimerik meliputi, misalnya, pati (dari jagung, gandum atau sagu) atau sirup glukosa dengan tingkat degradasi rendah, sedangkan karbohidrat monomerik dapat dari berbagai bentuk dimana glukosa tersedia, misalnya glukosa bebas-air, monohidrat glukosa (dekstrosa) atau highly degraded glucose syrup. Pemilihan bahan baku tidak hanya mempengaruhi biaya bahan baku, tetapi juga biaya produksi (Balzer & Lüders 2000; Hill et al. 1997). Pati adalah polisakarida yang tersusun dari unit D-glukosa dan merupakan suatu bahan baku yang potensial dalam sintesis APG, karena pati lebih mudah didperoleh dan harganya relatif murah dibandingkan dengan D-glukosa. Namun, alkoholisis pati menjadi alkil glikosida membutuhkan kondisi yang jauh lebih

8 14 drastik daripada glikosidasi D-glukosa atau transglikosidasi alkil glikosida sederhana. Pati Sagu Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku yang dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan sehari-hari (Limbongan 2007). Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, kertas, dan plastik yang mudah diurai. Sampai saat ini sebagian besar sagu dunia dihasilkan dari perkebunan rakyat yang dikerjakan secara tradisional atau dibudidayakan secara semi-liar. Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal juta ha atau 51,3% dari juta ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea (43,3%) (Timisela 2008). Namun dari segi pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal 1,5% dan 0,2% (Abner & Miftahorrahman 2002 dalam Timisela 2008). Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada di Papua dan Maluku (Lakuy & Limbongan 2003 dalam Limbongan 2007). Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar 0,1% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung sagu menjadi bentuk-bentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya. Tepung sagu merupakan hasil ekstraksi inti batang sagu (Metroxylon sp.) yang juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Kandungan pati sagu sekitar 84% sehingga sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha.

9 15 Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik dibanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per pohon. Produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini sekitar 7 10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik. Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terkena hama penyakit (Bujang & Ahmad 2000 dalam Noerdin 2008). Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g Komponen Sagu Jagung Tapioka Kalori (kal) 357,0 349,0 98,0 Protein (g) 1,4 9,1 0,7 Lemak (g) 0,2 4,2 0,1 Karbohidrat (g) 85,9 71,7 23,7 Air (g) 15,0 14,0 19,0 Fe (g) 1,4 2,8 0,6 Sumber : www. pustaka bogor.net 2007 Granula pati dapat menyerap air dan mengembang. Pengembangan granula pati bersifat bolak balik sebelum mencapai suhu tertentu. Proses dimana granula pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut gelatinisasi. Suhu dimana larutan pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati berbeda-beda tergantung jenis pati. Kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah o C. Kandungan amilosa dan amilopektin dari setiap jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3.

10 16 Tabel 3 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati Sumber Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) Sagu Jagung Beras Kentang Gandum Ubikayu Sumber : Swinkel dalam Herliana (2005). Alkohol lemak Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai Alkohol lemak alami sedangkan turunan dari petrokimia (parafin) dikenal sebagai Alkohol lemak sintetik (Hill et al. 1997). Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di eropa barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95% dimanfaatkan dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira sebesar 70-75% (Presents 2000). Lebih dari dua per tiga atau sekitar 80% dari jumlah alkohol lemak yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan. Sebagai bahan baku surfaktan alkohol lemak mampu bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum. Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (aldehid/keton), gugus OR akan melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan keton dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan hemiasetal/ hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O) diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart 2003).

11 17 Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril (dodekanol/dodecy alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6 mol/g, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 259 o C, tidak berwarna dan tidak larut dalam air Produksi Alkil Poliglikosida Setiap proses produksi yang cocok untuk digunakan pada skala industri harus memenuhi beberapa kriteria. Kemampuan untuk menghasilkan produk dengan sifat-sifat kinerja yang cocok dalam kondisi teknis yang ekonomis merupakan hal yang paling penting. Beberapa aspek lainnya adalah meminimalkan reaksi samping, limbah, dan emisi. Teknologi ini harus cukup fleksibel agar memberikan sifat-sifat dan kualitas yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang dinamis. Sejauh ini proses produksi industri dari APG adalah berdasarkan pada sintesis Fischer. Pabrik produksi modern yang dibangun atas dasar sintesis Fischer merupakan perwujudan dari teknologi yang bebas emisi dan rendah limbah. Keuntungan lain dari sintesis Fischer adalah bahwa rasio alkil monoglikosida dengan alkil oligoglikosida dapat dikontrol dengan tepat pada rentang yang luas dengan mengatur jumlah glukosa dan alkohol lemak dalam campuran reaksi (von Rybinski & Hill, 1998). Menurut Eskuchen dan Nitsche (1997), proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak (pati-alkohol lemak), sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (gula turunan pati) dan alkohol lemak (dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan APG dari masing-masing prosedur disajikan pada Gambar 3. Pada diagram proses tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara tahap prosedur pertama dengan kedua. Prosedur pertama, berbasis patialkohol lemak melalui proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis dekstrosa-alkohol lemak hanya melalui proses asetalisasi sebelum masing-masing prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan.

12 18 Pati atau Sirup dekstrosa Glukosa anhidrat atau Glukosa monohidrat Butanolisis Butanol Transasetalisasi Alkohol lemak Alkohol lemak Asetalisasi Butanol dan Air Netralisasi Air Distilasi Alkohol lemak Air Pelarutan Pemucatan Alkil Poliglikosida Gambar 3 Diagram alir sintesis alkil poliglikosida berdasarkan sumber karbohidrat berbeda, sintesis langsung dan transasetalisasi (von Rybinski dan Hill, 1998). Alkil poliglikosida mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari alkohol lemak (dodekanol/tetradodekanol). Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG disebabkan bagian tersebut tersusun dari molekul glukosa yang berasal dari pati. Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan mereaksikan glukosa dan alkohol lemak dengan perbandingan tertentu dan dengan katalis asam p-toluena sulfonat (ptsa) untuk menghasilkan alkil poliglikosida. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 4. Kondisi reaksi diatur pada suhu C selama 3 4 jam pada tekanan mmhg. Setelah itu, campuran

13 19 bahan dilakukan netralisasi sampai ph 8 10 dengan menggunakan NaOH 50% pada suhu 80 C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air + alkohol lemak) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan alkohol lemak dilakukan pada suhu C dan tekanan 15 mmhg. Tahap akhir adalah pemucatan untuk memperoleh APG murni pada suhu C kurang lebih selama 2 jam. glukosa dodekanol [katalis asam] dodesil poliglikosida Gambar 4 Sintesis APG satu tahap (von Rybinski dan Hill, 1998). Proses sintesis APG dua tahap adalah dengan menggunakan pati (misal pati sagu) atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa dan alkohol rantai pendek. Tahapan proses sintesa APG dengan dua tahap meliputi tahap dasar berikut ini: Reaksi Butanolisis Reaksi butanolisis merupakan reaksi antara sumber pati dengan menggunakan katalis asam dengan butanol untuk membentuk produk butil glikosida. Reaksi butanolisis ini berlangsung selama 30 menit pada suhu 148 o C

14 20 dan tekanan 5 bar. Wuest et al. (1992) telah melakukan proses butanolisis dengan rasio mol 8 mol air; 8,5 mol butanol; dan 0,036 mol ptsa per satu mol pati. Dengan suhu 140 o C selama 30 menit dengan tekanan 5 bar. Penggunaan suhu dan konsentrasi asam yang rendah mengakibatkan penurunan konversi produk butil glikosida yang dihasilkan. Reaksi Transasetalisasi Alkil poliglikosida merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati (glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8 C22), sehingga proses pengikatan glukosa siklis terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (Wuest et al. 1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesis APG sering juga disebut glikosidasi. Produk akhir proses butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol rantai panjang (C8-C22) dengan katalisator asam yang jumlahnya 25 50% dari berat katalis pertama membentuk alkil poliglikosida. Reaksi transasetalisasi ini berlangsung pada suhu 120 o C dan tekanan vakum (-76 cm Hg) selama 120 menit. Pada tahap ini butanol berlebih yang tidak bereaksi dan air dikeluarkan. Reaksi butanolisis dan transasetalisasi dapat dilihat pada Gambar 5. Netralisasi Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menghentikan proses asetalisasi/ transasetalisasi dengan menambahkan basa hingga tercapai suasana basa yaitu ph sekitar Basa yang dapat digunakan untuk proses netralisasi ini meliputi alkali metal, aluminium salt selain itu juga dapat dari anion dari basa organik maupun inorganik seperti sodium hidroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, alumunium hidroksida dan sebagainya (Wuest et al., 1992). Penggunaan larutan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Selain proses penambahan akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al, 1992). Proses netralisasi juga diperlukan

15 21 butanol [katalis asam] pati butil oligoglikosida (intermediate) dodekanol [katalis asam] dodesil poliglikosida Gambar 5 Proses sintesis APG dua tahap (von Rybinski dan Hill, 1998). karena sakarida akan lebih mudah rusak dalam keadaan asam selama proses destilasi yang menggunakan suhu yang tinggi. Untuk memastikan bahwa kadar glukosa tersisa tidak akan bereaksi menghasilkan produk yang tidak diinginkan pada saat distilasi menggunakan suhu tinggi, maka pada larutan dapat ditambahkan natrium borohidrat (NaBH4) yang dapat mengubah glukosa menjadi sorbitol. Diperlukan 1 g NaBH4 untuk setiap g glukosa yang berlebih. Sorbitol lebih tahan terhadap kondisi asam dan suhu tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan warna selama proses distilasi (McCurry 2000). Luders (2000), mereduksi sisa glukosa menjadi sorbitol dengan menambahkan 0,1% sodium borohidrat dan memisahkan sisa alkohol lemak pada suhu 180 O C, dan hasil yang diperoleh yaitu APG yang memiliki warna yang lebih terang dibandingkan tanpa penambahan sodium borohidrat. Lueders (1991), melakukan penambahan arang aktif 1 10% sebelum dan sesudah

16 22 proses destilasi dan diperoleh APG yang lebih cerah pada penambahan sebelum proses distilasi. Distilasi Tahapan distilasi ini bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak bereaksi dari produk APG. Proses distilasi dapat dilakukan pada interval suhu sekitar o C dengan tekanan vakum tergantung alkohol lemak yang digunakan yaitu semakin panjang rantai maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan. Dalam proses ini diperlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk dapat menguapkan alkohol lemak yang tidak bereaksi. Pada tahapan distilasi diharapkan dapat menguapkan alkohol lemak secara maksimal untuk memperoleh produk APG dengan kandungan alkohol lemak kurang dari 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak akan mengurangi efektivitas kerja dari surfaktan APG. Hasil akhir proses distilasi akan diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat kehitaman. Untuk itu perlu dilakukan pemucatan untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat. Pemucatan Bahan pemucat (bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi, atau adsorpsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat juga melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul berwarna untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan (Kirk & Othmer 1985). Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide, CaSO4, TiO2, dll. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya diperoleh dengan menggunakan pelarut hidrogen peroksida (H2O2) yang cukup kuat.

17 23 Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lainnya adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Dalam industri APG hidrogen peroksida dibutuhkan dengan konsentrasi 30% (Buchanan et al. 1998). Penggunaan hidrogen peroksida biasa dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi. Proses pemucatan dilakukan sebagai tahap akhir proses APG yang bertujuan untuk membuat penampakan dan bau yang lebih baik. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dan MgO ditambah air dan NaOH hingga diperoleh produk dengan ph 8 10 (Hill et al., 1996). Proses pemucatan dilakukan pada suhu o C. 2.4 Studi Pustaka Sintesis Alkil Poliglikosida El-Sukkary et al. (2008) telah mensistesis dan mengkarakterisasi APG menggunakan alkohol lemak dan glukosa. Mereka memvariasikan panjang rantai alkil untuk menghasilkan APG, yaitu C8, C9, C10, C12 dan C14. Mereka juga mengamati pengaruh suhu terhadap tegangan permukaan dan tegangan antarmuka. Tegangan permukaan larutan berkurang dengan bertambahnya konsentrasi APG hingga konsentrasi tertentu, diluar konsentrasi tersebut tidak terjadi lagi penurunan tegangan permukaan. Konsentrasi ini disebut critical micelle concentration (CMC). Peningkatan suhu larutan akan menyebabkan penurunan energi bebas pada batas udara-cairan, sehingga menurunkan harga tegangan permukaan. Hal ini berlaku untuk konsentrasi APG rendah, namun pada konsentrasi APG tinggi pengaruh suhu tidak signifikan. Didapatkan juga bahwa meningkatnya panjang rantai karbon hidrofilik akan menyebabkan peningkatan gaya repulsi karena perbedaan polaritasnya, ini akan menghasilkan penurunan harga tegangan permukaan. Hasil serupa juga terjadi pada tegangan antarmuka, yaitu meningkatnya panjang rantai alkil akan menurunkan harga tegangan antarmuka. Pada umumnya, daya emulsifikasi tergantung pada panjang dan sifat bagian hidrofobik dari surfaktan yang digunakan. Dari data yang diperoleh

18 24 menunjukkan bahwa bertambahnya panjang rantai alkil, stabilitas dari emulsi yang terbentuk meningkat. Ware et al. (2007) telah memproduksi APG dengan menggunakan glukosa dan alkohol lemak dengan lima pajang rantai berbeda, yaitu C8, C10, C12, C16 dan C18. Mereka juga mempelajari pengaruh panjang rantai alkil APG terhadap karakteristik dasar seperti tegangan permukaan, tegangan antarmuka, daya dispersi sabun, detergensi, pembusaan, dan pembasahan. Alkil poliglikosida yang disiapkan dari oktanol (C8), dekanol (C10), dan dodekanol (C12) larut dalam air dan memperlihatkan sifat-sifat aktif permukaan yang baik sedangkan APG yang disiapkan dari alkohol lemak rantai panjang tidak larut dalam air, sehingga mereka tidak menghitung sifat-sifat aktif permukaannya. Ada hubungan yang signifikan dari sifat-sifat surfaktan dengan panjang rantai alkil. Didapatkan bahwa detergensi, daya emulsifikasi, dan penurunan tegangan permukaan bertambah dengan meningkatnya panjang rantai alkil. Pengaruh penambahan APG pada sabun menunjukkan bahwa APG dapat menggantikan bagian dasar sabun natrium dengan memperbaiki sifat-sifat pembusaan. Böge dan Tietze (1998) menggunakan alkohol lemak (dodekanol, C12) dan glukosa pada skala laboratorium untuk mensintesis APG. Pengaruh konsentrasi dan jenis asam sulfonat, yaitu methanesulfonic acid (MsOH) dan trifluoromethane-sulfonic acid (TfOH), yang digunakan sebagai katalis terhadap laju reaksi dan komposisi produk ditentukan dan dikorelasikan dengan konstanta Taff *. Didapatkan bahwa laju reaksi yang diamati pada dua tipe katalis merupakan pengaruh yang utama dari keasamannya. Karena karakter heterogen reaksi plot laju-konsentrasi menghasilkan kurva saturasi. Pengaruh ukuran partikel kristalin glukosa terhadap laju reaksi dan komposisi produk juga diteliti. Corma et al. (1998) telah mendapatkan alkil glukosida rantai panjang dengan transasetalisasi butil glikosida dengan dua rantai alkohol lemak dan juga dengan glikosidasi langsung menggunakan zeolit H-beta sebagai katalis. Alkohol lemak yang digunakan adalah C8 (1-oktanol) dan C12 (1-dodekanol). Pengaruh variabel proses seperti suhu, rasio molar reaktan, dan panjang rantai alkohol lemak juga dikaji. Mereka mendapatkan bahwa laju pengurangan mula-mula butil glukosida sangat kuat dipengaruhi oleh komposisi umpan, dan makin tinggi

19 25 jumlah butil glukofuranosida meningkatkan laju reaksi dan memperbesar total konversi dengan reaksi lebih cepat. Corma et al. (1996) juga telah menyiapkan alkil glukosida yang ramah lingkungan dengan glikosidasi Fischer glukosa dan n-butanol menggunakan berbagai zeolit asam sebagai katalis. Baik butil glukofuranosida dan piranosida terbentuk selama reaksi. Mereka mendapatkan bahwa zeolit dengan pori tridireksional besar dengan rasio Si/Al tinggi seperti faujasite dan beta merupakan katalis yang paling sesuai. Pengaruh rasio molar alkohol dan glukosa terhadap selektivitas alkil monosakarida juga dipelajari. Ringkasan sintesis APG secara kimia dapat dilihat pada Tabel 4 dan ringkasan sintesis alkil glukosida rantai pendek (butil glikosida) secara kimia dapat dilihat pada Tabel 5.

20

21 Ringkasan hasil studi pustaka sintesis APG secara kimia Sumber lukosa Alkohol lemak (C8, C9, Dua tahap: El-Sukkary et o C10, C12, dan C14) - Butanolisis PTSA T = 105 C; t = 1 jam (2008) - Transasetalisasi PTSA lukosa Alkohol lemak (C8, C10, C12, C16, dan C18) Dua tahap: - Butanolisis - Transasetalisasi PTSA PTSA lukosa Dodekanol (C12) Satu tahap: - Asetalisasi - MsOH - TfOH lukosa Alkohol lemak (C8 dan C12) T = o C; P = vakum (300 mm Hg) T = 90 o C; t = 3 jam T = 115 o C; t = 3 jam o T = 110 C (MsOH) dan 90 o C (TfOH) P = 20 mbar; t = 4 jam dan 8 jam Satu tahap: - Asetalisasi Zeolit H-beta T = 120 o C; t = 4,5 jam - 32 dyne/cm (2,97 x 10-4 mol/l) 36,3 dyne/cm (0,3 g/l) Dua tahap: - Butanolisis Zeolit H-beta T =120 o C; t = 4 jam - - transasetalisasi Zeolit H-beta T = 120 o C; P = vakum (400 Torr) apioka Alkohol lemak C12 Dua tahap: - Butanolisis PTSA T = o C; 28,7 dyne/cm t = 30 menit (0,8%) - Transasetalisasi PTSA T = 120 o C; t = 2 jam; P= 15 mm Hg an: PTSA = p-toluene sulfonic acid; MsOH = methanesulfonic acid; TfOH = trifluoromethanesulfonic acid * (tegangan permukaan) yang diperoleh untuk alkohol lemak C12. - Ware et al. (200 Böge & Tietze (1998) Corma et al. (1998) Februadi (2011

22

23 Ringkasan hasil studi pustaka sintesis alkil glukosida rantai pendek (butil glukosida) secara kimia Sumber hidrofilik Alkohol Proses Katalis Kondisi proses Yield Referens Glukosa n-butanol Asetalisasi Zeolit HY (dengan 8 rasio Si/Al) Glukosa n-butanol Asetalisasi MCM 41 (dengan 5 rasio Si/Al) Glukosa n-butanol Asetalisasi Zeolit H-beta (dengan 4 rasio Si/Al) Glukosa n-butanol Asetalisasi - Zeolit HY Zeolit HY-2 - Zeolit H-ZSM-5 - Zeolit H-beta - Zeolit H-mordenite - MCM-22 T = 110 o C t=- N = 1000 rpm T = 120 o C t = 4 jam N = 600 rpm T = 120 o C t = 4 jam N = 600 rpm T = 110 o C t = 4 jam N = 600 rpm Pati jagung n-butanol - H2SO4 T = 165 o C t = 40 mnt 40 95% * ) Chapat et al. (1999) 39 61% Climent et al. (1999) 48 72% Camblor et al. (1997) Corma et al. (1996) Lueders (1989 ersi

24 Adsorpsi Pada Suatu Permukaan Ada dua kondisi penting yang harus dipenuhi agar adsorpsi terjadi secara spontan pada suatu antarmuka. Pertama, dua badan fase yang tidak dapat bercampur harus berkontak langsung dengan satu sama lainnya agar terjadi perpindahan. Kedua, satu atau kedua fase harus mengandung lebih dari satu komponen. Proses perpindahan komponen (adsorbat) dari badan larutan ke antarmuka akan berlangsung terus hingga keadaan kesetimbangan adsorpsi dicapai. Dalam sistem cair adsorpsi tergantung pada komposisi larutan dan baik komponen solut maupun solven dalam badan medium berkompetisi dengan satu sama lainnya agar akumulasi berlebih pada daerah antarmuka (Chattoraj dan Birdi 1984). Thermodinamika akumulasi ekses permukaan untuk berbagai tipe fenomena adsorpsi pada antarmuka fluida dijelaskan dengan konsep universal dari ekses permukaan Gibbs Termodinamika Adsorpsi: Persamaan Gibbs Dalam publikasi klasiknya Gibbs telah menurunkan persamaan umum untuk adsorpsi pada antarmuka yang kemudian dikenal dengan persamaan adsorpsi Gibbs. Dia telah meninjau suatu kolom cairan yang mengandung dua badan fase dan yang terpisah dari satu sama lainnya dengan suatu daerah permukaan (Gambar 6) (Chattoraj dan Birdi 1984). Karena daerah permukaan aktual tidak homogen dan oleh karena itu sulit untuk didefinisikan, Gibbs telah menyederhanakan sistem tersebut dengan menganggap suatu kolom cairan ideal dimana dua fase dan tidak dipisahkan oleh suatu fase antarmuka aktual tetapi dengan suatu bidang pemisah sembarang (Gambar 7). Bidang ini dipilih sedemikian rupa sehingga komposisi dari kedua fase tidak berubah hingga permukaan pemisah. Penyederhanaan ini memungkinkan Gibbs untuk mendefinisikan besaranbesaran ekses permukaan pada antarmuka. Dengan menggunakan perlakuan thermodinamik dia mampu menurunkan persamaan berikut untuk sistem biner pada temperatur konstan (Adamson dan Gast 1997): d (1) d d

25 29 Gambar 6 Kolom dalam sistem riil Gambar 7 Kolom dalam sistem ideal (Chattoraj dan Birdi 1984). (Chattoraj dan Birdi 1984). dimana adalah tegangan permukaan, 1 dan 2 berturut-turut adalah konsentrasi ekses permukaan dari solven dan solut, dan 1 dan 2 masing-masing adalah potensial kimia dari solven dan solut. Karena 1 dan 2 didefinisikan relatif terhadap permukaan pemisah yang dipilih sembarang, pada dasarnya kemungkinan ini terhadap posisi permukaan sedemikian rupa 0, sehingga 1 d 2 d 2 (2) Dengan menggunakan asumsi larutan encer ideal, kita dapat menset koefisien aktivitas mendekati satu dan menghubungkan fraksi mol dengan konsentrasi. Persamaan (2) menjadi: 2 1 d RT d ln c 2 (3) dimana c2 adalah konsentrasi solut di dalam fase cair, R adalah tetapan gas, dan T adalah temperatur absolut. Persamaan (3) merupakan bentuk paling sederhana dari persamaan adsorpsi Gibbs yang menghubungkan perubahan tegangan permukaan terhadap akumulasi ekses (konsentrasi) permukaan atau adsorpsi. Bila turunan dalam Pers. (3) adalah negatif maka 2 adalah positif dan ada suatu konsentrasi (ekses) permukaan dari solut. Jika turunannya adalah positif maka ada suatu

26 30 kekurangan permukaan dari solut. Jika solut diadsorp secara positif ini akan menghasilkan penurunan tegangan permukaan Isoterm Adsorpsi Kesetimbangan Tujuan suatu isotherm adsorpsi adalah untuk menghubungkan konsentrasi surfaktan dalam badan larutan dan jumlah yang diadsorb pada antarmuka (Eastoe dan Dalton 2000). Sejumlah isotherm adsorpsi yang paling umum digunakan akan dibahas di sini. Untuk sistem komponen tunggal, isotherm yang paling sederhana adalah isotherm Henry (atau isotherm hukum Henry) yang merupakan suatu hubungan linier antara ekses permukaan dan konsentrasi badan surfaktan: K H C (4) dimana adalah konsentrasi ekses permukaan dari surfaktan, KH adalah konstanta adsorpsi kesetimbangan Henry, dan C adalah konsentrasi surfaktan dalam badan fase cair. Konstanta adsorpsi kesetimbangan merupakan suatu ukuran empiris dari aktivitas permukaan surfaktan dan karena itu, merupakan parameter kritis dalam setiap isotherm (Eastoe dan Dalton 2000; Chang dan Franses 1995). Isotherm Henry berlaku untuk konsentrasi permukaan rendah dimana interaksi antara spesies pada antarmuka tidak signifikan. Kekurangan dari isotherm ini adalah bahwa tidak ada batasan harga maksimum. Isotherm non-linier yang paling umum digunakan adalah isotherm Langmuir: K L C 1 K L C (5) dimana adalah konsentrasi permukaan maksimum dan KL adalah konstanta adsorpsi kesetimbangn Langmuir. Parameter adalah batas teoritis dari konsentrasi permukaan yang tipikali tidak dapat dicapai karena batasan (constraint) C, seperti kelarutan atau konsentrasi misel kritis (cmc). Isotherm Langmuir didasarkan pada model tipe-lattis dimana setiap situs adsorpsi pada lattis ekuivalen. Juga, kemungkinan adsorpsi pada situs kosong adalah tidak tergantung dari pemilikan situs-situs yang berdekatan dan tidak ada interaksi atau

27 31 gaya-gaya intermolekular yang bekerja antara spesies dalam lattis (Eastoe dan Dalton 2000). Titik akhir ini juga merupakan batasan utama dari isotherm Langmuir. Banyak spesies memperlihatkan interaksi intermolekular pada interface, yang mana dapat memasukkan gaya-gaya van der Waals yang relatif lemah, atau interaksi yang lebih kuat karena pengaruh elektrostatik atau ikatan hidrogen. Jadi, laju adsorpsi dan desorpsi dapat dipengaruhi (secara positif atau negatif) dengan meningkatnya coverage permukaan. Isotherm Frumkin dibangun berdasarkan persamaan Langmuir dengan mencoba memperhitungkan interaksi solut-solven pada permukaan non-ideal (Chang dan Franses 1995). Hal ini paling sesuai untuk surfaktan nonionik dan biasanya disajikan dalam bentuk berikut: C K F exp A (6) dimana KF adalah konstanta adsorpsi kesetimbangan Frumkin, dan A merupakan suatu ukuran non-idealitas lapisan permukaan. Parameter A pada dasarnya berfungsi sebagai perkiraan pengaruh atraksi molekular atau tolakan antar molekul-molekul surfaktan pada antarmuka pada konsentrasi permukaan. Jika A=0, lapisan permukaan dianggap ideal, dan persamaan tereduksi menjadi isotherm Langmuir. Meskipun sebagian besar isoterm paling cocok untuk surfaktan non-ionik, Borwankar dan Wasan memperpanjang isoterm Frumkin untuk memperhitungkan efek dari lapisan ganda listrik untuk surfaktan ionik (Borwankar dan Wasan 1986). Konsentrasi di bawah permukaan (subsurface) dikoreksi untuk efek-efek lapisan ganda listrik menggunakan faktor Boltzmann dan formulasi ini dapat digunakan untuk kedua surfaktan kationik dan anionik. Baru-baru ini, Lin et al. telah menggunakan pendekatan hambatan energi aktivasi untuk memperhitungkan peningkatan interaksi antarmolekul pada cakupan permukaan meningkat (Lin et al. 1995; Lin et al. 1991; Lin et al. 1997). Energi aktivasi diasumsikan mengikuti ketergantungan hukum power (power law) pada cakupan permukaan (Γ). Kehadiran gaya-gaya kohesif antarmolekul, yang meningkat dengan cakupan permukaan, menurunkan tingkat desorpsi relatif terhadap laju adsorpsi.

28 Persamaan Keadaan Permukaan Setelah isoterm yang tepat dipilih, persamaan adsorpsi Gibbs dapat digunakan untuk menurunkan persamaan keadaan permukaan yang sesuai untuk sistem tertentu. Tujuan dari persamaan keadaan adalah untuk menghilangkan konsentrasi permukaan (Γ) dari isoterm adsorpsi dan menghubungkan tegangan permukaan secara langsung dengan konsentrasi surfaktan dalam badan larutan (C). Persamaan berikut hanya berlaku untuk larutan encer premisela (C<cmc) sehingga potensial kimia dapat tepat diwakili oleh konsentrasi dalam persamaan adsorpsi Gibbs. Persamaan keadaan permukaan linier sederhana, yang sesuai dengan isotherm Henry, diberikan berikut ini: 0 RT K H C (7) dimana dan 0 berturut-turut adalah tegangan permukaan dari larutan dan solven murni. Bentuk-bentuk analog dari persamaan keadaan permukaan untuk isotherm Langmuir masing-masing adalah persamaan Frumkin dan persamaan Szyszkowski (Eastoe dan Dalton 2000; Chang dan Franses 1995): 0 RT ln 1 (8) 0 RT ln(1 K L C) (9) Persamaan keadaan permukaan yang berhubungan dengan isotherm Frumkin adalah (Eastoe dan Dalton 2000; Chang dan Franses 1995): 0 1 RT ln 1 RT A (10) 2 2 Meneliti Pers. (6) dan (10) itu adalah jelas bahwa hubungan antara γ dan C ada, yang melibatkan tiga parameter, KF, dan A. Namun, karena nonlinearitas persamaan-persamaan ini, tidak ada penyelesaian analitis untuk γ(c) dapat diturunkan, dan penyelesaian hanya dapat ditentukan secara numerik.

29 Mekanisme Adsorpsi Surfaktan Ketika suatu permukaan segar (fresh) dari suatu larutan surfaktan terbentuk, tegangan permukaan kesetimbangan tidak tercapai langsung. Suatu waktu tertentu diperlukan untuk mencapai kesetimbangan antara konsentrasi permukaan dan konsentrasi badan surfaktan (Chang dan Franses 1995). Tegangan permukaan non-kesetimbangan disebut tegangan permukaan dinamik (DST), dan tergantung pada tipe surfaktan dan komposisinya dalam sistem. Mekanisme adsorpsi surfaktan yang larut dari larutan cair dapat terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama meliputi pertukaran komponen antara badan larutan dan lapisan bawah permukaan (subsurface) (terletak langsung dibawah lapisan permukaan, tebalnya beberapa diameter molekul). Tahap kedua memerlukan (entails) transfer komponen antara bawah permukaan dan lapisan permukaan. Pada tahap akhir, komponen menata kembali sendiri pada permukaan hingga keadaan kesetimbangan. Untuk molekulmolekul kecil, penataan ulang umumnya merupakan suatu proses yang cepat dan memiliki sedikit pengaruh terhadap perilaku adsorpsi keseluruhan. Tahap pertama adalah proses perpindahan massa badan larutan (biasanya difusi) dan tahap kedua adalah proses adsorpsi (Chang dan Franses 1995). 2.6 Emulsi Emulsi adalah campuran dua cairan immiscible, dimana salah satu cairan terdispersi sebagai droplet pada cairan yang lain oleh adanya zat ketiga sebagai penstabil. Pada dasarnya emulsi terdiri dari tiga fase yaitu internal, eksternal dan interface. Fase internal atau fase dispersi berada dalam bentuk droplet halus sementara fase eksternal atau fase kontinyu membentuk matriks dimana droplet tersuspensi. Agar sistem menjadi stabil dalam jangka waktu yang lama perlu ditambahkan zat ketiga yang aktif pada interface yang disebut emulsifier. Definisi-definisi lain tentang emulsi telah dijelaskan oleh Clayton atau Becher (Shinoda and Friberg, 1986). Secara umum, jenis emulsi dapat digolongkan dalam dua kelompok air dan minyak. Semua air atau fase fase yang larut dalam air diklasifikasikan sebagai air sedangkan yang lain diklasifikasikan sebagai minyak. Jika air terdispersi dalam minyak maka disebut jenis emulsi air-dalam-minyak (W/O),

30 34 dengan demikian air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase kontinyu. Sebaliknya jika minyak terdispersi ke air maka emulsi tersebut merupakan jenis emulsi minyak-dalam-air (O/W). Dibandingkan dengan emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam minyak kurang sensitif terhadap ph, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas lebih rendah, terwarnai oleh pewarna yang larut dalam minyak, dan dapat diencerkan dengan penambahan minyak murni. Demikian pula kebalikannya berlaku untuk sistem O/W (Holmberg et al., 2003). Secara sistematis, gambar dibawah mengilustrasikan jenis emulsi O/W dan W/O. Surfaktan Air Gugus lipofilik Gugus hidrofilik Minyak Minyak Air emulsi w/o emulsi o/w Gambar 8 Gambaran skematik dari emulsi w/o dan o/w yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dari surfaktan (Rosen 2004). Emulsi ganda atau multiple emulsion dibentuk paling sedikit oleh dua fase immiscible yang dipisahkan oleh paling sedikit dua film surfactant (emulsifier) seperti terlihat pada Gambar 8. Emulsi ganda dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu emulsi O/W/O (minyak-dalam air-dalam minyak) dan W/O/W (air-dalam minyak-dalam air) (Hou and Papadopulos, 1997).

31 35 Minyak Air Minyak Air Gambar 9 Skema emulsi ganda W/O/W dan O/W/O (Rosen 2004). Proses emulsifikasi Proses emulsifikasi yaitu proses terdispersinya cairan dalam cairan yang dipicu oleh adanya tegangan permukaan. Energi bebas dari pembentukan droplet dari badan cairan (ΔGform) diberikan oleh Schramm (1992). ΔGform = ΔA γ T ΔSconf (11) dimana ΔA adalah kenaikan luas interfacial, γ adalah tegangan antarmuka antara dua cairan (air dan minyak); ΔA γ adalah energi yang dibutuhkan untuk menaikkan interfacial area ΔA, dan TΔSconf adalah entropy sebagai akibat kenaikan konfigurasi entropy ketika sejumlah besar droplet terbentuk. Biasanya ΔA γ>>tδsconf, oleh karena itu emulsifikasi merupakan proses yang tidak spontan. Walaupun demikian, energi yang dibutuhkan untuk emulsifikasi (untuk membentuk droplet) lebih besar dari ΔA γ. Tambahan energi yang dibutuhkan dinyatakan dengan rumus Young-Laplace yang dinyatakan sebagai persamaan (12) dibawah ini (Schubert and Armbruster, 1992). (12) 1 1 Untuk tetesan berbentuk bola (spherical droplet) dengan diameter x, persamaan (12) dapat disederhanakan menjadi : (13)

32 36 dimana Δp adalah perbedaan tekanan Laplace; r1 dan r2 adalah dua jari-jari dari kurva deformasi antarmuka lokal. Adanya surfaktan akan menurunkan energi yang dibutuhkan untuk emulsifikasi, dengan menurunkan atau mengurangi tegangan antarmuka (γ). Pecahnya emulsi merupakan proses destabilisasi emulsi, dimana fase air dan minyak terpisah. Ostwald ripening, flocculation, coalescence, dan sedimentasi adalah beberapa mekanisme pecahnya emulsi, yang dapat terjadi secara berturutturut atau simultan selama proses pengendapan seperti diilustrasikan pada Gambar 10. Gambar 10 Skematik dari proses pemecahan emulsi (Tadros 2005).

33 Skin lotion Produk perawatan kulit, kosmetika dan toiletries terus berkembang. Setelah beberapa tahun, dengan pengenalan material baru ditambah dengan kemajuan pada teknologi surfaktan atau emulsi, pengembangan produk dengan fungsi dan daya tarik yang baik terus berkembang (Butler 2000). Skin lotion termasuk golongan kosmetika pelembab kulit yang terdiri dari berbagai minyak nabati, hewani, maupun sintesis yang dapat berfungsi sebagai lemak buatan pada permukaan kulit. Lemak ini melenturkan lapisan kulit yang kering dan kasar, serta mengurangi penguapan air dari sel kulit, namun tidak dapat mengganti seluruh fungsi dan kegunaan dari kulit. Kosmetika pelembab kulit umumnya berbentuk sediaan cairan minyak atau campuran minyak dalam air yang dapat ditambahi atau dikurangi zat tertentu untuk tujuan khusus (Wasitaatmadja 1997). Lotion didefinisikan sebagai campuran dua fase yang tidak bercampur, distabilkan dengan sistem emulsi, dan berbentuk cairan yang dapat dituang jika ditempatkan pada suhu ruang (Schmitt 1992). Hand and body lotion umumnya berbentuk emulsi minyak dalam air (O/W), dimana minyak merupakan fase terdispersi (internal) dan air merupakan fase pendispersi (eksternal). Tipe skin lotion umumnya terdiri dari 10 15% fase minyak, 5 10% humektan, dan 75 85% fase air. Karekteristik dasarnya mempunyai kemampuan melembabkan kulit dengan segera dan mengurangi kekeringan kulit atau gejala kulit kering (Balsam et al. 1972). Pelembab kulit yang baik harus memenuhi persyaratan mutu yang terdapat di SNI pada Tabel 6. Tabel 6 Syarat mutu sediaan tabir surya No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Penampakan - Homogen 2. ph - 4,5 8,0 3. Bobot jenis, 25 C g/ml 0,95 1,05 o o 4. Viskositas, 25 C cp Cemaran Mikroba Koloni/gram Maks 10 2 Sumber: SNI

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang cukup dalam beberapa

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan bahan baku sakarida yang memiliki dextrose

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat hidrofilik yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN Surfaktan yang merupakan singkatan dari surface active agent, didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorbsi pada permukaan atau antarmuka (interface) larutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi ataupun biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrofobik

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DARI GLUKOSA DAN PATI SAGU ADISALAMUN

PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DARI GLUKOSA DAN PATI SAGU ADISALAMUN PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DARI GLUKOSA DAN PATI SAGU ADISALAMUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penggunaan pati sebagai bahan baku dalam proses sintesis APG harus melalui dua tahapan yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada butanolisis terjadi hidrolisis

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui hasil produk APG bila diganti bahan baku penyusunnya. Untuk mengetahui telah tersintesisnya produk

Lebih terperinci

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946)

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul ampifilik atau ampifatik yang terdiri dari dua gugus yaitu gugus hidrofobik yang bersifat non polar dan gugus hidrofilik yang bersifat polar

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN Terdapat pada sistem pangan yang merupakan sistem 2 fase (campuran dari cairan yang tidak saling melarutkan immiscible) Antara 2

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA TEGANGAN PERMUKAAN KELOMPOK 1 SHIFT A 1. Dini Mayang Sari (10060310116) 2. Putri Andini (100603) 3. (100603) 4. (100603) 5. (100603) 6. (100603) Hari/Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2. Mengetahui dan memahami cara menentukan konsentrasi

Lebih terperinci

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR

PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR SITI AISYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 1 1 RINGKASAN SITI AISYAH. Produksi Surfaktan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Preparasi Adsorben

HASIL DAN PEMBAHASAN. Preparasi Adsorben 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Adsorben Perlakuan awal kaolin dan limbah padat tapioka yang dicuci dengan akuades, bertujuan untuk membersihkan pengotorpengotor yang bersifat larut dalam air. Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada beberapa dekade terakhir ini, konsumsi bahan bakar fosil seperti minyak bumi terus mengalami kenaikan. Hal itu dikarenakan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat

Lebih terperinci

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pendahuluan Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pelarut lain yang digunakan adalah etanol dan minyak. Selain digunakan secara oral, larutan juga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perancangan Pabrik Mononitrotoluena dari Toluena dan Asam Campuran dengan Proses Kontinyu Kapasitas 25.

BAB I PENDAHULUAN. Perancangan Pabrik Mononitrotoluena dari Toluena dan Asam Campuran dengan Proses Kontinyu Kapasitas 25. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan saat ini bidang industri di negara Indonesia mengalami peningkatan salah satunya yaitu industri kimia. Tetapi Indonesia masih banyak mengimpor bahan-bahan

Lebih terperinci

Film adalah lapisan suatu zat yang menyebar melalui permukaan dengan ketebalan sangat kecil, dan pengaruh gravitasi dapat diabaikan.

Film adalah lapisan suatu zat yang menyebar melalui permukaan dengan ketebalan sangat kecil, dan pengaruh gravitasi dapat diabaikan. Jika suatu zat yang memiliki kelarutan dalam zat cair sangat rendah ditempatkan pada antarmuka cairan-udara, maka bolehjadi akan menyebar (spread out) membentuk suatu selaput (film) sangat tipis atau umumnya

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM Anastasia Wulan Pratidina Swasono, Putri Dei Elvarosa Sianturi, Zuhrina Masyithah Departemen Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Minyak goreng adalah salah satu unsur penting dalam industri pengolahan makanan. Dari tahun ke tahun industri pengolahan makanan semakin meningkat sehingga mengakibatkan

Lebih terperinci

Kelarutan & Gejala Distribusi

Kelarutan & Gejala Distribusi PRINSIP UMUM Kelarutan & Gejala Distribusi Oleh : Lusia Oktora RKS, S.F.,M.Sc., Apt Larutan jenuh : suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut). Kelarutan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004). 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Adsorben Penelitian ini menggunakan campuran kaolin dan limbah padat tapioka yang kemudian dimodifikasi menggunakan surfaktan kationik dan nonionik. Mula-mula kaolin dan

Lebih terperinci

Air adalah wahana kehidupan

Air adalah wahana kehidupan Air Air adalah wahana kehidupan Air merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem hidup dan mencakup 70% atau lebih dari bobot semua bentuk kehidupan Reaksi biokimia menggunakan media air karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang dapat mengubah sifat permukaan bahan yang dikenainya. Sifat aktif dari surfaktan disebabkan adanya struktur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIDIESEL Biodiesel merupakan sumber bahan bakar alternatif pengganti solar yang terbuat dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Biodiesel bersifat ramah terhadap lingkungan karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO merupakan produk sampingan dari proses penggilingan kelapa sawit dan dianggap sebagai minyak kelas rendah dengan asam lemak bebas (FFA) yang tinggi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN Bahan baku pada penelitian ini adalah buah kelapa segar yang masih utuh, buah kelapa terdiri dari serabut, tempurung, daging buah kelapa dan air kelapa. Sabut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Prarancangan Pabrik Dietil Eter dari Etanol dengan Proses Dehidrasi Kapasitas Ton/Tahun Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Prarancangan Pabrik Dietil Eter dari Etanol dengan Proses Dehidrasi Kapasitas Ton/Tahun Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dietil eter merupakan salah satu bahan kimia yang sangat dibutuhkan dalam industri dan salah satu anggota senyawa eter yang mempunyai kegunaan yang sangat penting.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Ekstrak Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.) Ekstark buah tomat memiliki organoleptis dengan warna kuning kecoklatan, bau khas tomat, rasa manis agak asam, dan bentuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

Tugas Perancangan Pabrik Kimia Prarancangan Pabrik Amil Asetat dari Amil Alkohol dan Asam Asetat Kapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Tugas Perancangan Pabrik Kimia Prarancangan Pabrik Amil Asetat dari Amil Alkohol dan Asam Asetat Kapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari industri makanan, tekstil, kimia hingga farmasi. Dalam proses produksinya, beberapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Proses produksi glukosa ester dari beras dan berbagai asam lemak jenuh dilakukan secara bertahap. Tahap pertama fermentasi tepung beras menjadi glukosa menggunakan enzim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Industri Kimia Banyak proses kimia yang melibatkan larutan homogen untuk meningkatkan laju reaksi. Namun, sebagian besar pelarut yang digunakan untuk reaksi adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya. 5 E. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (25 : 75), F. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (50 : 50), G. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (75 :

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi Enzim α-amilase Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan menanam isolat bakteri dalam media inokulum selama 24 jam. Media inokulum tersebut

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Sodium Dodekilbenzena Sulfonat dari Dodekilbenzena dan Oleum 20% Kapasitas Produksi ton/tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Sodium Dodekilbenzena Sulfonat dari Dodekilbenzena dan Oleum 20% Kapasitas Produksi ton/tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendirian Pabrik Dodekilbenzena sulfonat adalah salah satu produk intermediet untuk bahan baku pembuatan deterjen sintetik, shampo, pasta gigi, dan sabun cuci. Selain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat, (C 17 H 35 COO Na+).Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan melalui kekuatan pengemulsian

Lebih terperinci

SAP-GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN

SAP-GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN SAP-GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN Mata kuliah : Kimia Kode : Kim 101/3(2-3) Deskripsi : Mata kuliah ini membahas konsep-konsep dasar kimia yang disampaikan secara sederhana, meliputi pengertian

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia ha 1. Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia ha 1. Indonesia 4 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal pertanaman kelapa 3,818 juta Ha (32,37 %) disusul berturut-turut

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

C w : konsentrasi uap air dalam kesetimbangan, v f dan f w menyatakan laju penguapan dengan dan tanpa film di permukaan

C w : konsentrasi uap air dalam kesetimbangan, v f dan f w menyatakan laju penguapan dengan dan tanpa film di permukaan Adanya film monomolekuler menyebabkan laju penguapan substrat berkurang, sedangkan kesetimbangan tekanan uap tidak dipengaruhi Laju penguapan dinyatakan sebagai v = m/t A (g.det -1.cm -2 ) Tahanan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini Indonesia masih mengimpor monogliserida dan digliserida yang dibutuhkan oleh industri (Anggoro dan Budi, 2008). Monogliserida dan digliserida dapat dibuat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas komponen hidrofilik dan hidrofobik serta memiliki kemampuan menurunkan

BAB I PENDAHULUAN. atas komponen hidrofilik dan hidrofobik serta memiliki kemampuan menurunkan 7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Surfaktan atau surface active agent adalah senyawa amfifatik yang terdiri atas komponen hidrofilik dan hidrofobik serta memiliki kemampuan menurunkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlakuan Awal dan Karakteristik Abu Batubara Abu batubara yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu abu batubara hasil pembakaran di boiler tungku

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. LEMBAR INSTRUMEN WAWANCARA UNTUK GURU KIMIA, DAN GURU KEPERAWATAN TENTANG RELEVANSI MATERI KIMIA TERHADAP MATERI KEPERAWATAN

LAMPIRAN 1. LEMBAR INSTRUMEN WAWANCARA UNTUK GURU KIMIA, DAN GURU KEPERAWATAN TENTANG RELEVANSI MATERI KIMIA TERHADAP MATERI KEPERAWATAN LAMPIRAN 1. LEMBAR INSTRUMEN WAWANCARA UNTUK GURU KIMIA, DAN GURU KEPERAWATAN TENTANG RELEVANSI MATERI KIMIA TERHADAP MATERI KEPERAWATAN Pertanyaan 1. Bagaimana pendapat Anda tentang relevansi (kesesuaian)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG 58 Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG ) Tahap Butanolisis Tahap ini mereaksikan pati, butanol, air serta katalis asam p-toluena sulfonat (PTSA) dengan perbandingan ratio mol pati:butanol:air:katalis

Lebih terperinci

Struktur atom, dan Tabel periodik unsur,

Struktur atom, dan Tabel periodik unsur, KISI-KISI PENULISAN USBN Jenis Sekolah : SMA/MA Mata Pelajaran : KIMIA Kurikulum : 2006 Alokasi Waktu : 120 menit Jumlah : Pilihan Ganda : 35 Essay : 5 1 2 3 1.1. Memahami struktur atom berdasarkan teori

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Sorbitol dari Tepung Tapioka dan Gas Hidrogen dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Sorbitol dari Tepung Tapioka dan Gas Hidrogen dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi, penting bagi Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang untuk meningkatkan pembangunan di segala bidang termasuk dari sektor industri. Salah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI 39 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 PENDAHULUAN Hasil eksperimen akan ditampilkan pada bab ini. Hasil eksperimen akan didiskusikan untuk mengetahui keoptimalan arang aktif tempurung kelapa lokal pada

Lebih terperinci

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface).

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface). 2 3 4 Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface). Antar muka dapat berada dalam beberapa jenis, yang dapat berwujud padat, cair atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci