PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DARI GLUKOSA DAN PATI SAGU ADISALAMUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DARI GLUKOSA DAN PATI SAGU ADISALAMUN"

Transkripsi

1 PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DARI GLUKOSA DAN PATI SAGU ADISALAMUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Proses Produksi Alkil Poliglikosida (APG) dari Glukosa dan Pati Sagu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Adisalamun NIM F

3 ABSTRACT ADISALAMUN. Process Development of Alkyl Polyglycoside (APG) from Glucose and Sago Starch. Supervised by DJUMALI MANGUNWIDJAJA, ANI SURYANI, YANDRA ARKEMAN, and TITI CANDRA SUNARTI. Alkyl polyglycoside (APG) is one of the products made from renewable natural materials, namely from carbohydrates and fatty alcohols. The aims of this study were (1) to obtain the optimum conditions of synthesis process of APG as well as its characteristics, (2) to develop the production process of APG from sago starch; and (3) to obtain information of financial feasibility of the establishment of APG industry of sago starch (capacity 1000 ton/year). The process of making APG with Fischer synthesis can be carried out with two process variants, namely direct synthesis and transacetalization process. Factors studied were glucose-dodecanol mole ratio and acetalization temperature. The process of synthesis of APG with sago starch raw material must go through two-step process, namely butanolysis and transacetalization. The optimum process conditions for synthesis of APG from glucose was obtained at mole ratio of glucose to dodecanol 1:3 and temperature 120 C with the yield of APG by 29.31%. While the optimum process conditions for the synthesis of APG from sago starch was obtained at mole ratio of sago starch with dodecanol 1:4.57 and temperature C with the yield of 39.04%. Characterization of the resulting APG, namely: surface tension of APG produced from sago starch (APG-PS) ranged from to 65.14%, while the APG produced from glucose (APG-G) ranged from to 56.99%; interfacial tension of APG-PS ranged from to 81.89%; while the APG-G ranged from to 77.34% and commercial APG (APG-K) ranged from to 81.89%; Emulsion stability of water-xylene in the presence of 0.1% of APG from APG-G ranged between 37-75%, while the emulsion stability of the APG-PS ranged between % and APG-K by 85%. Hydropphile-lipophile balance (HLB) value obtained for the APG-K was 13.64, for the APG-G was and for the APG-PS was FTIR analysis results showed generally a similar absorption band between APG-K and APG-G as well as APG-PS. Correspondence between surface and interfacial tension data, (c), with a surface equation of state derived from the Langmuir isotherm is fitted. Of the development process was found that synthesis of APG from sago starch can proceed to the stage of commercial production. The results of financial analysis shows also that the industry of APG is feasible to be realized with the criteria NPV of Rp 22,722,464,827; IRR of 36.48%; PBP 2.77 years; and net B/C of Keywords: Alkyl polyglycoside, glucose, sago starch, dodecanol, surface tension.

4 RINGKASAN ADISALAMUN. Pengembangan Proses Produksi Alkil Poliglikosida (APG) Dari Glukosa dan Pati Sagu. Dibimbing oleh DJUMALI MANGUNWIDJAJA, ANI SURYANI, YANDRA ARKEMAN, dan TITI CANDRA SUNARTI. Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang cukup dalam beberapa dekade. Namun, untuk jangka panjang bahan-bahan baku dari fosil ini akan habis dan produk-produk yang berbasis dari bahan-bahan terbarukan akan menjadi semakin penting. Dengan meningkatnya kesadaran konsumen terhadap lingkungan dan meningkatnya biaya pengolahan air limbah telah memberikan daya dorong untuk menggantikan sebagian produk-produk berbasis petrokimia dan gas alam dengan produk-produk yang berbasis sumber daya alam terbarukan, seperti karbohidrat dan trigliserida. Alkil poliglikosida (APG) merupakan salah satu produk yang terbuat dari bahan-bahan alami terbarukan, yaitu dari karbohidrat dan alkohol lemak. APG ini merupakan salah satu jenis surfaktan nonionik yang biasa digunakan sebagai aditif pada formulasi beberapa produk seperti formulasi herbisida, produk-produk perawatan diri (personal care products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Mendapatkan kondisi optimum proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap serta karakteristiknya; (2) Mengembangkan proses produksi APG dari pati sagu; dan (3) Mendapatkan informasi kelayakan finansial pendirian industri APG dari pati sagu dan analisis sensitivitasnya. Proses pembuatan APG dengan sintesis Fischer dapat dilakukan dengan dua varian proses, tergantung pada jenis karbohidrat yang digunakan, yaitu sintesis langsung (proses satu tahap) dan sintesis tidak langsung (proses dua tahap). Pada proses satu tahap bahan bakunya adalah glukosa, sedangkan pada proses dua tahap bahan bakunya bisa glukosa ataupun pati. Proses produksi APG melalui proses asetalisasi (satu tahap) dilakukan dengan mereaksikan glukosa dan dodekanol dengan bantuan katalis asam p-toluena sulfonat (ptsa) untuk menghasilkan APG. Faktor yang dikaji adalah rasio mol glukosa-dodekanol dalam kisaran 1:3 1:6 dan suhu asetalisasi dalam kisaran o C. Proses sintesis APG dengan bahan baku pati sagu harus melalui dua tahapan proses, yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada tahap butanolisis pati sagu, air dan butanol direaksikan dengan adanya katalis ptsa pada tekanan tinggi untuk membentuk butil glikosida. Reaksi ini berlangsung selama 30 menit pada suhu o C, tekanan 3 5 bar dan kecepatan pengaduk 200 rpm. Pada tahap transasetalisasi, butil glikosida hasil dari butanolisis direaksikan dengan alkohol lemak C12 (dodekanol) dengan bantuan katalis ptsa pada kondisi vakum. Reaksi ini berlangsung pada suhu o C dan tekanan vakum selama 120 menit. Pada tahap ini dihasilkan APG yang masih bercampur dengan dodekanol, sedangkan butanol berlebih yang tidak bereaksi dan air dikeluarkan. Kemudian dilanjutkan dengan proses pemurnian yang meliputi netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. Pada netralisasi ditambahkan NaOH hingga ph mencapai 8 10 untuk menghentikan reaksi. Distilasi dilakukan pada suhu o C dan tekanan

5 vakum. Distilasi bertujuan untuk mengeluarkan alkohol lemak berlebih yang tidak bereaksi. Pelarutan dilakukan agar kandungan APG di dalam produk sesuai dengan yang diinginkan. Dalam penelitian ini diinginkan kandungan APG 70% bobot dan sisanya 30% bobot adalah air. Jadi air yang ditambahkan sebanyak 3/7 dari massa APG yang dihasilkan pada tahap distilasi. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan 2% larutan H2O2 serta NaOH hingga diperoleh produk dengan ph Surfaktan nonionik APG larut dalam air, karena itu adsorpsi surfaktan APG dipelajari pada permukaan air-udara untuk tegangan permukaan dan air-xilena untuk tegangan antarmuka. Persamaan keadaan permukaan yang digunakan untuk menduga tegangan permukaan dan tegangan antarmuka diturunkan dari persamaan adsorpsi Gibbs dan model isotherm Langmuir. Untuk kajian kinetika emulsifikasi, emulsi disiapkan dengan melarutkan 2% berat APG dalam 92% air pada suhu 60 o C, kemudian ditambahkan 6% mineral oil. Campuran ini diaduk dengan homogenizer pada kecepatan 1500 rpm, 2000 rpm dan 2500 rpm. Pengukuran distribusi ukuran globula fase terdispersi dilakukan setiap interval waktu 5 menit hingga 25 menit dengan mikroskop. Pada pengembangan proses APG, bahan baku yang digunakan dalam sintesis APG adalah pati sagu dan dodekanol. Pati sagu memiliki kelebihan dibandingkan glukosa karena pati sagu banyak tersedia dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa. Proses yang digunakan dalam sintesis APG adalah proses Fischer dua tahap. Kondisi proses yang digunakan adalah kondisi proses optimum dari tahapan sebelumnya. Hasil sintesis APG dari pati sagu pada tahap sebelumnya dijadikan dasar untuk mengembangkan proses pada skala yang lebih besar menurut metode linier. Kemudian dihitung neraca massa pada tiap-tiap tahapan proses dilanjutkan dengan penentuan ukuran peralatan utama dalam mensintesis APG dan prakiraan analisis ekonomi berdasarkan harga pembelian peralatan. Pada Tahap ini juga dilakukan uji produksi APG dalam reaktor 10 L berdasarkan kondisi proses optimum yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Kondisi proses optimum untuk sintesis APG satu tahap diperoleh pada rasio mol glukosa dengan dodekanol 1:3 dan suhu 120 o C dengan respon yield APG sebesar 29,31%. Sedangkan kondisi proses optimum untuk sintesis APG dua tahap diperoleh pada rasio mol pati sagu dengan dodekanol 1:4,57 dan suhu 143,89 o C dengan yield APG sebesar 39,04%. Karakterisasi APG yang dihasilkan baik APG dari glukosa (APG-G) maupun APG dari pati sagu (APG-PS) adalah (1) Kemampuan menurunkan tegangan permukan yang diperoleh pada APG-PS lebih besar dibandingkan dengan APG-G, yaitu sebesar 60,97 65,14% sedangkan APG-G mampu menurunkan tegangan permukaan berkisar antara 49,96 56,99%; (2) Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka air-xilena dari APG-PS lebih baik dibandingkan dengan APG-G. APG-PS mampu menurunkan tegangan antarmuka air-xilena sebesar 74,48 80,98%, sedangkan APG-G mampu menurunkan tegangan antarmuka sebesar 54,48 77,34%. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang tidak jauh berbeda dengan APG-PS juga didapatkan dari APG komersial (APG-K), yaitu sebesar 70,30 81,89%; (3) Stabilitas emulsi air-xilena dengan adanya APG 0,1% dari APG-G berkisar antara 37 75%, sedangkan stabilitas emulsi dari APG-PS berkisar antara 35,8 76,2% dan APG-K sebesar 85%; (4) Nilai hydropphile-lipophile balance (HLB) yang diperoleh untuk APG-K adalah 13,64; untuk APG-G adalah 12,31 dan untuk

6 APG-PS adalah 8,81. Berdasarkan konsep Grifin, APG-K dan APG-G tergolong dalam pengemulsi O/W dan solubilizer, sedangkan APG-PS juga tergolong dalam pengemulsi O/W dan bahan pembasah; (5) Hasil analisis FTIR secara umum memperlihatkan pita serapan yang hampir sama antara APG-K dan APG hasil sintesis tetapi pada APG hasil sintesis baik dari glukosa maupun dari pati sagu terbentuk banyak pita serapan yang tidak terbentuk pada kurva APG komersial, ini diperkirakan karena ketidakmurnian APG hasil sintesis yang bercampur dengan kerak-kerak sehingga muncul gugus-gugus tersebut. Kesesuaian antara data tegangan permukaan dan tegangan antarmuka, (c), dengan persamaan keadaan permukaan yang diturunkan dari isotherm Langmuir sangat fit. Dari pengembangan proses diperoleh bahwa sintesis APG dari pati sagu dapat dilanjutkan ke tahap produksi komersial. Hasil analisis finansial juga menunjukkan bahwa industri APG ini layak untuk direalisasikan dengan kriteria NPV sebesar Rp ; IRR sebesar 36,48%; PBP 2,77 tahun dan net B/C 1,34. Kata kunci: Alkil poliglikosida, glukosa, pati sagu, dodekanol, tegangan permukaan.

7 Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DARI GLUKOSA DAN PATI SAGU ADISALAMUN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA 2. Dr. Ono Suparno, S.TP., MT Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor 2. Dr. Ir. Nur Richana, MS

10

11 PRAKATA Alhamdulillahi rabbil alamin, dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul Pengembangan Proses Produksi Alkil Poliglikosida (APG) Dari Glukosa dan Pati Sagu. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa terwujudnya disertasi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing atas perhatian, waktu, arahan dan motivasi sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para Anggota Komisi Pembimbing Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA; Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng.; Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MS yang telah banyak mengarahkan, memberi bimbingan dan saran, memberi dorongan dan selalu memberi semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan studi ini. Penulis juga berterimakasih kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB atas segala bantuan dan pelayanannya. Kepada seluruh Staf Pengajar Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB penulis ucapkan terimakasih atas segala curahan waktu, ilmu pengetahuan dan pengalaman yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan kuliah TIP umumnya dan rekan-rekan TIP 2006 khususnya atas dukungan, kebersamaan selama belajar dan dorongan semangat dalam menyelesaikan pendidikan ini. Ungkapan terima kasih yang tulus dari lubuk hati paling dalam penulis haturkan kepada Ayahanda Adnan Gade (alm.) dan Ibunda Cut Nurhayati atas

12 segala do a dan pengorbanan yang tiada tara baik materi maupun moril yang beliau berikan selama ini. Juga rasa terima kasih penulis sampaikan kepada ayah mertua Teuku Cut Ahmad (alm.) dan Ibu mertua Cut Raimah atas do a dan motivasi yang diberikan selama ini. Rasa terima kasih penulis haturkan kepada istri tercinta Cut Yulian, ananda Sophia Nabila Putri, Kenna Rizka Aziza (almh.) dan Adilla Fatin Humayra yang selalu sabar dan selalu memberikan dukungan serta motivasi baik dalam suka maupun duka. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak, yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu, yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyelesaian studi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan disertasi ini masih terdapat banyak kekurangan, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran untuk perbaikannya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan agroindustri di Indonesia. Bogor, Januari 2012 Penulis

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Keramat Luar pada tanggal 27 Mei 1967 sebagai anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Adnan Gade (Alm) dan Ibu Cut Nurhayati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, lulus pada tahun Pada tahun 2000 penulis menamatkan program Magister Teknik, di Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala sejak tahun Karya ilmiah berjudul Adsorpsi Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida Pada Antarmuka Fluida-Fluida sedang menunggu penerbitan di Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. Artikel lain berjudul Optimasi Kondisi Proses Produksi Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Dengan Metode Permukaan Respon juga sedang menunggu penerbitan di Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Penulis menikah dengan drh Cut Yulian pada tahun 1999 dan dikarunia tiga orang anak, yaitu Sophia Nabila Putri, Kenna Rizka Aziza (Almh), dan Adilla Fatin Humayra.

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xix DAFTAR GAMBAR... xxi DAFTAR LAMPIRAN... xxiii I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang lingkup... 3 II TINJAUAN PUSTAKA Surfaktan Sifat-sifat Surfaktan Tegangan Permukaan Stabilitas Emulsi Hydrophile-Lipophile Balance (HLB) Alkil Poliglikosida Pengembangan Alkil Poliglikosida Bahan Baku Alkil Poliglikosida Produksi Alkil Poliglikosida Studi Pustaka Sintesis Alkil Poliglikosida Adsorpsi Pada Suatu Permukaan Thermodinamika Adsorpsi: Persamaan Gibbs Isotherm Adsorpsi Kesetimbangan Persamaan Keadaan Permukaan Mekanisme Adsorpsi Permukaaan Emulsi Skin Lotion Analisis Kelayakan Finansial Analisis Sensitivitas III METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Bahan dan Alat Tahapan Penelitian IV HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi Proses Produksi APG dari Glukosa dan Pati Sagu Pengembangan Model Empiris Karakteristik APG Adsorpsi Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida Pada Antarmuka Fluida-Fluida Kinetika Emulsifikasi Aplikasi Alkil Poliglikosida Pada Skin Lotion Viskositas xvii

15 4.4.2 Stabilitas Emulsi Skin Lotion Nilai ph Pengembangan Proses Produksi APG Peningkatan Skala Reaktor Neraca Massa dan Yield Karakteristik APG pada Skala 10 L Analisis Kelayakan Finansial Biaya Investasi Biaya Produksi Kriteria Investasi Analisis Sensitivitas V KESIMPULAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xviii

16 DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati Ringkasan hasil studi pustaka sintesis APG secara kimia Ringkasan hasil studi pustaka sintesis alkil glukosida rantai pendek (butil glukosida) secara kimia Syarat mutu sediaan tabir surya Rentang dan level peubah untuk sintesis APG dari glukosa dengan rancangan komposit terpusat Rentang dan level peubah untuk sintesis APG dari pati sagu dengan rancangan komposit terpusat Peubah bebas dan respon untuk sintesis APG dari glukosa dengan rancangan komposit terpusat Peubah bebas dan respon untuk sintesis APG dari pati sagu dengan rancangan komposit terpusat Matriks rancangan percobaan sintesis APG dari glukosa dan hasil (yield) Matriks rancangan percobaan sintesis APG dari pati sagu dan respon (yield) Pita serapan spektrofotometer FTIR dari APG komersial dan hasil penelitian Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG komersial Nilai KL dan untuk tegangan permukaan hasil optimasi dengan metode Nelder-Mead Nilai KL dan untuk tegangan antarmuka hasil optimasi dengan metode Nelder-Mead Ragam parameter model (ukuran globula rata-rata pada 1 menit dispersi dan laju breakage) Neraca massa per batch pada sintesis APG Biaya peralatan utama dalam sintesis APG Biaya bahan baku pembuatan APG Perkiraan total modal investasi Perkiraan Total biaya produksi APG per tahun xix

17 23 Neraca massa keseluruhan pada keadaan tunak Karakteristik puncak dari APG yang dihasilkan Hasil analisis sensitivitas Skenario I Hasil analisis sensitivitas Skenario II Hasil analisis sensitivitas Skenario III xx

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram skematik dari sebuah molekul surfaktan Rumus struktur dari alkil poliglikosida Diagram alir sintesis alkil poliglikosida berdasarkan sumber karbohidrat berbeda, sintesis langsung dan transasetalisasi Sintesis APG satu tahap Proses sintesis APG dua tahap Kolom dalam sistem riel Kolom dalam sistem ideal Gambaran skematik dari emulsi w/o dan o/w yang mengandung gugus Hidrofilik dan lipofilik dari surfaktan Skema emulsi ganda W/O/W dan O/W/O Skematik dari proses pemecahan emulsi Diagram alir sintesis alkil poliglikosida satu tahap Metode Sintesis APG dua tahap Skema peralatan proses produksi APG dalam reaktor batch Diagram alir pembuatan Sediaan A Diagram alir pembuatan Sediaan B Diagram alir proses pembuatan skin lotion Perbandingan antara yield percobaan dan yield prediksi dari model untuk APG dari glukosa Perbandingan yield percobaan dan model pada sintesis APG dari pati sagu Permukaan respon yield APG berbahan baku glukosa Plot kontur permukaan respon yield APG berbahan baku glukosa Permukaan respon tiga dimensi dari yield APG dari pati sagu Plot kontur permukaan respon yield APG dari pati sagu Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dari glukosa Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dari pati sagu Tegangan antarmuka air-xilena pada berbagai konsentrasi APG dari glukosa xxi

19 26 Tegangan antarmuka air-xilena pada berbagai konsentrasi APG dari pati sagu Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dalam larutan Tegangan antarmuka air-xilena pada berbagai konsentrasi APG dalam larutan Ragam ukuran globula fase terdispersi rata-rata pada 2% APG dalam air-mineral oil Diagram alir bahan pada proses sintesis APG dengan bahan baku pati sagu Reaktor utama untuk sintesis APG skala 10 L Kondensor, separator, dan tangki silika gel (a) Kondensor, (b) Separator dan tangki silika gel Setting alat untuk sintesis APG skala 10 L Diagram alir proses sintesis APG Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG Tegangan antarmuka air-xilen pada berbagai konsentrasi APG xxii

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Prosedur analisis surfaktan APG Prosedur analisis skin lotion Data produksi APG berbahan baku glukosa Data produksi APG berbahan baku pati sagu Data karakteristik surfaktan APG Sidik ragam (ANOVA) untuk yield Hasil analisis FTIR dari APG komersial (APG-K) sebagai acuan, APG dari glukosa (APG-G) dan APG dari pati sagu (APG-PS) Data pengukuran karakteristik skin lotion Hasil pengamatan ukuran globula emulsi air-mineral oil dengan adanya APG 2% Desain reaktor sintesis APG skala 10 L Data karakteristik APG pada skala 10 L Analisis kelayakan dan cashflow xxiii

21 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang cukup dalam beberapa dekade. Namun, untuk jangka panjang bahan-bahan baku dari fosil ini akan habis dan produk-produk yang berbasis dari bahan-bahan terbarukan akan menjadi semakin penting. Meningkatnya kesadaran konsumen terhadap lingkungan dan meningkatnya biaya pengolahan air limbah telah memberikan daya dorong untuk menggantikan sebagian produk-produk berbasis petrokimia dan gas alam dengan produk-produk yang berbasis sumber daya alam terbarukan, seperti karbohidrat dan trigliserida (Ware et al. 2007). Alkil poliglikosida (APG) merupakan salah satu produk yang terbuat dari bahan-bahan alami terbarukan, yaitu dari karbohidrat dan alkohol lemak (El- Sukkary et al. 2008). APG ini merupakan surfaktan nonionik yang mempunyai sifat-sifat ekologi dan toksikologi yang paling baik dan sifat-sifat antarmuka yang baik (Rodriguez et al. 2005). APG juga aman untuk mata dan kulit (Mehling et al. 2007). APG biasa digunakan sebagai aditif pada formulasi beberapa produk seperti formulasi herbisida, produk-produk perawatan diri (personal care products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). APG pertama sekali disintesis dan diidentifikasi oleh Emil Fischer. Proses sintesis APG dengan metode Fischer ini dapat dilakukan dengan dua varian proses, yaitu dengan proses satu tahap (sintesis langsung), yaitu melalui reaksi langsung glukosa dengan alkohol lemak, dan proses dua tahap (butanolisis dan transasetalisasi) (von Rybinski & Hill 1998). Glukosa ataupun pati dapat digunakan sebagai bahan baku dalam produksi surfaktan APG (Holmberg 2001). El-Sukkary et al. (2008) telah mensintesis sederetan APG melalui proses dua tahap menggunakan glukosa dan alkohol lemak dengan panjang rantai alkil berbeda, yaitu oktanol (C8), nonanol (C9), dekanol (C10), dodekanol (C12) dan tetradekanol (C14). Alkil poliglikosida (APG) juga telah diproduksi melalui proses dua tahap dengan menggunakan glukosa dan

22 2 alkohol lemak (Ware et al. 2007). Panjang rantai alkohol lemak yang mereka gunakan adalah C8, C10, C12, C16 (heksadekanol) dan C18 (oktadekanol). Böge dan Tietze (1998) juga telah menggunakan glukosa dan alkohol lemak (dodekanol, C12) untuk mensintesis APG. Mereka menggunakan proses satu tahap. Corma et al. (1998) telah membuat alkil glikosida rantai panjang dengan transasetalisasi butil glikosida dengan dua rantai alkohol lemak dan juga dengan glikosidasi langsung menggunakan zeolit H-beta sebagai katalis. Alkohol lemak yang mereka gunakan adalah C8 (1-oktanol) dan C12 (1-dodekanol). Tingkat kelarutan glukosa dalam alkohol rantai panjang yang hidrofobik (alkohol lemak) sangat rendah disebabkan perbedaan kepolarannya. Oleh karena itu, beberapa peneliti seperti El-Sukkary et al. (2008) dan Ware et al. (2007) mereaksikan terlebih dahulu glukosa dengan alkohol rantai pendek (butanol), yaitu melalui reaksi butanolisis, untuk membentuk alkil (butil) glikosida, dimana butil glikosida ini lebih mudah larut dalam alkohol lemak. Permasalahan kelarutan sakarida dalam alkohol lemak dapat diatasi dengan penggunaan solubilizer. Boettner (1963) dalam Lüders (2000) telah menggunakan pelarut N,Ndimethylformamide (DMF). McDaniel et al. (1989) dalam Lüders (2000) telah menggunakan N-methyl-2-pyrrolidone (NMP) sebagai pelarut. Pelarut DMF relatif mahal sedangkan NMP bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu solubilizer sejenis NMP yang tidak mencemari lingkungan adalah dimetil sulfoxida (DMSO) dengan rumus kimia (CH3)2SO yang merupakan asam lemah dan toleran terhadap basa kuat dengan titik didih 189 o C. Butil glikosida juga dapat bertindak sebagai solubilizer untuk memperbaiki tingkat kelarutan sakarida (Luders 1987 dalam Luders 2000). Dengan menggunakan pelarut maka reaksi diharapkan berada dalam fasa homogen, sehingga reaksi polimerisasi glukosa yang tidak diinginkan dapat dihindari. Dengan demikian pengotor-pengotor atau endapan-endapan dari produk reaksi yang berwarna gelap dapat dikurangi. Selain itu penggunaan glukosa lebih mudah menyebabkan produk berwarna gelap karena gula-gula sederhana sangat mudah mengalami degradasi akibat penggunaan suhu tinggi dan keadaan asam. Proses degradasi inilah yang menghasilkan by-product yang tidak diinginkan selama proses sintesis APG. Pati

23 3 adalah polisakarida yang tersusun dari unit D-glukosa, karena itu pati merupakan pilihan yang tepat sebagai bahan baku yang potensial dalam produksi alkil poliglikosida. Penggunaan bahan baku pati pada proses sintesis APG memiliki beberapa kelebihan, diantaranya ketersediaan pati yang banyak dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa serta pati tidak mudah menyebabkan produk berwarna gelap. Karena itu dalam penelitian ini digunakan pati sagu sebagai bahan baku dalam sintesis APG dan glukosa digunakan sebagai pembanding. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mendapatkan kondisi optimum proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap serta karakteristiknya. 2. Mengembangkan proses produksi APG dari pati sagu. 3. Mendapatkan informasi analisis kelayakan finansial produksi APG dari pati sagu dan dodekanol serta analisis sensitivitasnya. 1.3 Ruang Lingkup Penelitian ini terdiri dari tiga bagian utama: 1. Optimasi kondisi proses sintesis APG satu tahap dan sintesis APG dua tahap serta karakteristiknya. Kajian fenomena adsorpsi APG pada antarmuka fluidafluida dan kinetika emulsifikasi, penerapan APG pada pembuatan produk skin lotion. 2. Pengembangan proses produksi APG dari pati sagu. 3. Analisis kelayakan finansial produksi APG berbasis pati sagu dan dodekanol Optimasi kondisi proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap serta karakteristiknya. Bagian ini meliputi optimasi kondisi proses asetalisai (sintesis APG satu tahap) dan optimasi proses sintesis APG dua tahap. Optimasi dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon dengan rancangan komposit terpusat.

24 4 Faktor-faktor yang diteliti pada sintesis APG satu tahap adalah rasio mol glukosa dengan dodekanol dan suhu asetalisasi. Sedangkan pada produksi APG dari pati sagu, faktor-faktor yang dikaji adalah rasio mol pati sagu dengan dodekanol dan suhu butanolisis. Adapun peubah responnya adalah yield APG. Karakteristik produk yang diuji adalah konfirmasi struktur produk APG dan sifat-sifat aktif permukaan APG, yaitu tegangan permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi dan hydrophile-lipophile balance (HLB). Pada tahap ini juga dilakukan kajian fenomena adsorpsi APG pada antarmuka fluida-fluida. Karena APG larut dalam air, fluida yang digunakan adalah air-udara dan air-xilena. Persamaan keadaan permukaan yang digunakan diturunkan dari persamaan adsorpsi Gibbs dan model isotherm Langmuir. Kemudian dipelajari kinetika emulsifikasi dan uji stabilitas emulsi. Emulsi pada kajian kinetika emulsifikasi terdiri dari air + mineral oil + surfaktan APG. Sedangkan pada uji stabilitas emulsi, emulsi yang digunakan adalah skin lotion yang merupakan produk terapan APG sebagai surfaktan dalam sistem emulsinya Pengembangan proses produksi APG dari pati sagu Pada bagian ini dilakukan pengembangan proses produksi APG. Proses yang digunakan dalam sintesis APG adalah proses Fischer dua tahap. Bahan baku yang digunakan adalah pati sagu, karena pati sagu banyak tersedia di Indonesia dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa. Kondisi proses yang digunakan adalah kondisi proses optimum dari tahapan sebelumnya. Hasil sintesis APG dari pati sagu pada tahap sebelumnya dijadikan dasar untuk mengembangkan proses pada skala yang lebih besar menurut metode linier. Perhitungan neraca massa pada tiap-tiap tahapan proses dilakukan pada keadaan tunak. Kemudian dihitung ukuran peralatan utama dalam mensintesis APG. Pada Tahap ini juga dilakukan uji produksi APG dalam reaktor 10 L berdasarkan kondisi proses optimum yang diperoleh pada tahap sebelumnya.

25 Analisis kelayakan finansial produksi APG berbasis pati sagu dan dodekanol. Dalam bagian terakhir ini dilakukan analisis prakelayakan finasial untuk menduga kelayakan proses produksi APG dari pati sagu dan alkohol lemak C12 (dodekanol). Untuk ini disusun analisis biaya untuk keperluan produksi surfaktan APG. Analisis finansial untuk proses produksi surfaktan APG terdiri dari dua bagian, yaitu modal tetap dan modal kerja. Modal tetap dapat dikategorikan dalam biaya langsung dan biaya tidak langsung. Modal kerja terdiri dari biaya produksi (operasional) dan biaya umum. Sedangkan biaya produksi dapat dikelompokkan dalam biaya produksi langsung, biaya tetap, dan biaya overhead pabrik. Penilaian kelayakan dilakukan dengan menggunakan kriteria kelayakan investasi, yaitu: NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), dan Net B/C (Net Benefit-Cost), BEP (Break Even Point), PBP (Pay Back Period) dan analisis sensitivitas.

26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan, yang merupakan singkatan dari surface-active agent, didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorpsi pada permukaan atau antarmuka (interface) larutan untuk menurunkan tegangan permukaan atau antarmuka sistem. Besarnya penurunan tegangan permukaan atau antarmuka tergantung pada struktur surfaktan, konsentrasi, dan kondisi fisiko-kimia larutan (misalnya ph, konsentrasi garam, suhu, tekanan, dll.). Secara tipikal surfaktan merupakan spesies amphiphatic, artinya bahwa surfaktan tersusun dari komponen hidrofobik, yang disebut dengan ekor, dan komponen hidrofilik, yang disebut dengan gugus kepala (Gambar 1) sehingga memungkinkan surfaktan untuk berinteraksi baik dengan molekul nonpolar maupun dengan molekul polar (Mehling et al. 2007). ekor (hidrofobik) kepala (hidrofilik) Gambar 1 Diagram skematik dari sebuah molekul surfaktan (Mehling et al. 2007). Surfaktan sebagai senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan komponen bahan adesif telah diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang industri. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Pembentukan film pada antarmuka ini menurunkan energi antarmuka dan menghasilkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Rieger 1985). Secara umum surfaktan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik. Klasifikasi tersebut berdasarkan sifat ionik gugus hidrofilik yang bersifat menarik air. Gugus

27 8 hidrofilik yang bermuatan negatif disebut anionik, yang bermuatan positif disebut kationik, yang tidak bermuatan disebut nonionik, dan yang bermuatan positif dan negatif disebut amfoterik (Matheson 1996). Swern (1997) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut: 1) Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina. 2) Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofobiknya dengan ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na + dan ion surfaktan yang bermuatan negatif. 3) Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air, kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol. 4) Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai ph. Menurut Sadi (1994), surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak. Proses-proses yang diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetalisasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karektiristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan. Sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya gugus yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya gugus tersebut adalah gugus hidroksil (R-OH) dan gugus eter (R-O-R ). Daya kelarutan dalam air gugus hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan gugus sulfat atau sulfonat. Kelarutan gugus hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan penggunaan gugus multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk multihidroksil (hasil reaksi antara gugus hidrofob dengan produk multihidroksil)

28 9 antara lain: glikosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter 1991). Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu : 1. Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, dan poligliserol ester 2. Berbasis karbohidrat seperti alkil poliglikosida, dan n-metil glukamida 3. Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin 4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan sophorolipid. 2.2 Sifat-Sifat Surfaktan Tegangan Permukaan Molekul-molekul pada permukaan suatu cairan hanya memiliki molekulmolekul sekelilingnya dari sisi bagian dalam dan dengan demikian mengalami suatu daya tarik yang cenderung menarik mereka ke bagian dalam. Sebagai hasilnya, molekul-molekul melekat lebih kuat dengan yang berhubungan secara langsung dengan mereka di permukaan dan membentuk permukaan "film". Oleh karena itu perlu lebih banyak gaya untuk menggerakkan objek dari permukaan ke udara daripada untuk menggerakkannya dari fase bagian dalam. Tegangan permukaan adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan luas permukaan cairan dalam berbagai unit, biasanya diukur dalam dynes/cm atau mn/m. Gaya dalam dyne/mn diperlukan untuk memecahkan suatu film dengan panjang 1 cm/1 m. Air pada suhu 20 o C memiliki tegangan permukaan 72,8 dyne/cm dibandingkan dengan 22,3 untuk etil alkohol dan 465 untuk merkuri (Myers 2006). Energi molekul-molekul dalam antarmuka menentukan tegangan permukaan dari suatu cairan, jadi jika molekul-molekul permukaan diganti dengan solut yang teradsorpsi, maka nilai tegangan permukaan yang terukur akan berubah. Solutsolut tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan tegangan permukaan dari suatu antarmuka air-uap. Menariknya, suatu elektrolit hanya dapat meningkatkan sedikit tegangan permukaan; misalnya, larutan natrium hidroksida 10% akan mempunyai nilai tegangan permukaan sekitar 78 mn/m, sedangkan surfaktan

29 10 dapat menurunkan tegangan permukaan air sebesar 50% atau lebih. Tingkat ketidakseimbangan dari gaya-gaya pada permukaan menentukan nilai tegangan permukaan. Jika fase uap digantikan dengan pelarut nonpolar, seperti oktana, tegangan antarmuka akan tereduksi menjadi 52 mn/m; jika fase uap digantikan dengan pelarut polar seperti 1-oktanol, tegangan antarmuka akan tereduksi hingga serendah 8,5 mn/m (Myers 2006). Surfaktan dapat diserap pada permukaan atau antarmuka dengan bagian hidrofiliknya berorientasi pada fase encer dan bagian hidrofobiknya berorientasi pada uap atau fase yang kurang polar; perubahan sifat molekul-molekul yang menempati permukaan secara signifikan mengurangi tegangan permukaan. Berbagai jenis surfaktan memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengurangi tegangan permukaan atau antarmuka karena struktur kimia yang berbeda. Oleh karena itu tegangan permukaan larutan surfaktan merupakan salah satu sifat fisik yang paling umum dari larutan tersebut yang digunakan untuk mengkarakterisasi sifat-sifat surfaktan Stabilitas Emulsi Telah diketahui dengan baik bahwa peran pengemulsi adalah untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fase minyak dan air dengan membentuk lapisan antarmuka kohesif secara mekanik disekitar globula fase terdispersi sehingga membantu dalam fragmentasi globula selama emulsifikasi dan mencegah terbentuknya koalesensi (Rousseau 2000). Selama emulsifikasi, stabilitas globula sementara (transient) merupakan hal penting untuk mengurangi koalesensi kembali selama proses, yang pada gilirannya menentukan distribusi ukuran globula akhir. Secara alami, kebanyakan emulsi tidak stabil secara termodinamika; yaitu, emulsi cenderung terpisah menjadi dua fase yang berbeda atau lapisan seiring berjalannya waktu karena luas antarmuka tinggi. Oleh karena itu, karakteristik emulsi (distribusi ukuran globula, ukuran globula rata-rata dan properti-properti lainnya) juga akan berubah dengan waktu. Stabilitas emulsi dicirikan dengan perilaku parameter dasarnya yang tergantung waktu. Stabilitas emulsi ini penting

30 11 dalam memahami pembentukan emulsi, karena stabilitas adalah tujuan akhir atau ukuran dari seluruh proses (Fingas & Fieldhouse, 2004). Ada lima mekanisme utama yang dapat berkontribusi terhadap ketidakstabilan emulsi: (1) creaming dan sedimentasi; (2) flokulasi; (3) Oswald ripening; (4) koalesensi; dan (5) inversi fase (Rousseau 2000). Idealnya semua faktor ini perlu diminimalkan atau dicegah untuk menghasilkan suatu emulsi yang stabil. Creaming dan sedimentasi merupakan pemisahan fase karena perbedaan densiti antara dua fase pada pengaruh gravitasi. Flokulasi merupakan agregasi pertikel tanpa kerusakan individualitas emulsi karena gaya tarik menarik yang lemah antara koloid. Flokulasi tergantung pada energi interaksi antara dua partikel sebagai fungsi dari jarak antar partikel. Energy interaksi merupakan gabungan gaya tarik menarik dan gaya tolak menolak. Selama flokulasi, partikel mempertahankan integritas strukturalnya (McClements & Demetriades 1998). Ostwald ripening adalah pertumbuhan globula-globula yang lebih besar dengan mengorbankan globula-globula yang lebih kecil dan berhubungan dengan gradien kelarutan yang terdapat antara globula-globula kecil dan besar (Rousseau 2000). Selama koalesensi, dua globula yang berbenturan akan membentuk satu globula yang lebih besar. Koalesensi bisa sempurna ketika globula adalah cairan atau sebagian jika globula berisi material kristal. Koalesensi sebagian dapat menyebabkan inverse fase, dimana emulsi minyak dalam air (o/w) menjadi emulsi air dalam minyak (w/o) Hydrophile-Lipophile Balance (HLB) Parameter HLB merupakan suatu usaha untuk mengkorelasikan secara kuantitatif struktur surfaktan dengan aktivitas permukaannya. Sistem ini menggunakan formula-formula empiris tertentu untuk menghitung bilangan HLB, secara normal harga yang diberikan dalam kisaran skala Makin tinggi nilai HLB menunjukkan surfaktan makin hidrofilik, sehingga mereka lebih larut dalam air dan pada umumnya digunakan sebagai bahan pelarut (solubilizing agents) yang baik, deterjen, dan penstabil untuk emulsi O/W; surfaktan dengan nilai HLB rendah memiliki kelarutan dalam air yang rendah, sehingga mereka digunakan sebagai pelarut (solubilizers) air dalam minyak dan penstabil emulsi W/O yang

31 12 baik (Myers 2006). Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja dari surfaktan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja Rentang HLB Dispersivitas dalam air Aplikasi yang sesuai 1 4 Tidak mampu mendispersi dalam air 3 6 Kemampuan mendispersi kurang baik 6 8 Dispersi seperti susu setelah pengadukan yang sempurna 8 10 Dispersi seperti susu stabil (ujung atasnya hampir transparan) Pengemulsi W/O Wetting agent Wetting agent, pengemulsi O/W Transparan hingga dispersi jernih Pengemulsi O/W 13+ Larutan jernih Pengemulsi O/W, solubilizing agent Sumber: Davis (1994) 2.3 Alkil Poliglikosida Pengembangan Alkil Poliglikosida Alkil poliglikosida (APG) merupakan suatu generasi baru surfaktan yang sangat efektif yang didapatkan dari karbohidrat (Hill et al. 1997). Surfaktan ini tingkat toksiknya rendah, aman secara ekologi dan terbuat dari bahan-bahan yang dapat diperbarui (Böge & Tietze 1998; El-Sukkary et al. 2008; Rodriguez et al. 2005; von Rybinski & Hill 1998; Ware et al. 2007). Alkil glikosida pertama kali disintesis dan diidentifikasi di laboratorium oleh Emil Fischer lebih dari 100 tahun yang lalu. Penggunaan paten pertama yang menjelaskan pemakaian alkil glikosida dalam deterjen telah diajukan di Jerman sekitar 40 tahun kemudian. Setelah itu banyak peneliti tertarik meneliti tentang alkil glikosida dan telah mengembangkan proses-proses teknis untuk memproduksi alkil poliglikosida berdasarkan sintesis Fischer (Hill et al. 1997).

32 13 Selama pengembangan ini, selain dilakukan penelitian awal Fischer yaitu mereaksikan glukosa dengan alkohol yang bersifat hidrofilik seperti metanol, etanol, gliserol, dan lain-lain, juga diteliti reaksi dengan alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai alkil dari oktil (C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol lemak. Hasil sintesis yang diperoleh bukan alkil monoglikosida murni, namun campuran kompleks dari alkil mono-, di-, tri, dan oligoglikosida. Karena itu, produknya disebut alkil poliglikosida (von Rybinski & Hill 1998). Produk alkil poliglikosida dapat dicirikan dengan panjang rantai alkil dan derajat polimerisasi (Gambar 2). R = gugus alkil (fatty) DP = derajat polimerisasi (jumlah ratarata unit glukosa/rantai alkil (R)) Gambar 2 Rumus struktur dari alkil poliglikosida (von Rybinski & Hill 1998) Bahan Baku Alkil Poliglikosida Sumber karbohidrat Gugus hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat. Baik karbohidrat polimerik dan monomerik cocok sebagai bahan untuk produksi APG. Karbohidrat polimerik meliputi, misalnya, pati (dari jagung, gandum atau sagu) atau sirup glukosa dengan tingkat degradasi rendah, sedangkan karbohidrat monomerik dapat dari berbagai bentuk dimana glukosa tersedia, misalnya glukosa bebas-air, monohidrat glukosa (dekstrosa) atau highly degraded glucose syrup. Pemilihan bahan baku tidak hanya mempengaruhi biaya bahan baku, tetapi juga biaya produksi (Balzer & Lüders 2000; Hill et al. 1997). Pati adalah polisakarida yang tersusun dari unit D-glukosa dan merupakan suatu bahan baku yang potensial dalam sintesis APG, karena pati lebih mudah didperoleh dan harganya relatif murah dibandingkan dengan D-glukosa. Namun, alkoholisis pati menjadi alkil glikosida membutuhkan kondisi yang jauh lebih

33 14 drastik daripada glikosidasi D-glukosa atau transglikosidasi alkil glikosida sederhana. Pati Sagu Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku yang dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan sehari-hari (Limbongan 2007). Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, kertas, dan plastik yang mudah diurai. Sampai saat ini sebagian besar sagu dunia dihasilkan dari perkebunan rakyat yang dikerjakan secara tradisional atau dibudidayakan secara semi-liar. Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal juta ha atau 51,3% dari juta ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea (43,3%) (Timisela 2008). Namun dari segi pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal 1,5% dan 0,2% (Abner & Miftahorrahman 2002 dalam Timisela 2008). Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada di Papua dan Maluku (Lakuy & Limbongan 2003 dalam Limbongan 2007). Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar 0,1% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung sagu menjadi bentuk-bentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya. Tepung sagu merupakan hasil ekstraksi inti batang sagu (Metroxylon sp.) yang juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Kandungan pati sagu sekitar 84% sehingga sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha.

34 15 Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik dibanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per pohon. Produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini sekitar 7 10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik. Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terkena hama penyakit (Bujang & Ahmad 2000 dalam Noerdin 2008). Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g Komponen Sagu Jagung Tapioka Kalori (kal) 357,0 349,0 98,0 Protein (g) 1,4 9,1 0,7 Lemak (g) 0,2 4,2 0,1 Karbohidrat (g) 85,9 71,7 23,7 Air (g) 15,0 14,0 19,0 Fe (g) 1,4 2,8 0,6 Sumber : www. pustaka bogor.net 2007 Granula pati dapat menyerap air dan mengembang. Pengembangan granula pati bersifat bolak balik sebelum mencapai suhu tertentu. Proses dimana granula pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut gelatinisasi. Suhu dimana larutan pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati berbeda-beda tergantung jenis pati. Kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah o C. Kandungan amilosa dan amilopektin dari setiap jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3.

35 16 Tabel 3 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati Sumber Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) Sagu Jagung Beras Kentang Gandum Ubikayu Sumber : Swinkel dalam Herliana (2005). Alkohol lemak Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai Alkohol lemak alami sedangkan turunan dari petrokimia (parafin) dikenal sebagai Alkohol lemak sintetik (Hill et al. 1997). Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di eropa barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95% dimanfaatkan dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira sebesar 70-75% (Presents 2000). Lebih dari dua per tiga atau sekitar 80% dari jumlah alkohol lemak yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan. Sebagai bahan baku surfaktan alkohol lemak mampu bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum. Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (aldehid/keton), gugus OR akan melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan keton dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan hemiasetal/ hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O) diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart 2003).

36 17 Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril (dodekanol/dodecy alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6 mol/g, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 259 o C, tidak berwarna dan tidak larut dalam air Produksi Alkil Poliglikosida Setiap proses produksi yang cocok untuk digunakan pada skala industri harus memenuhi beberapa kriteria. Kemampuan untuk menghasilkan produk dengan sifat-sifat kinerja yang cocok dalam kondisi teknis yang ekonomis merupakan hal yang paling penting. Beberapa aspek lainnya adalah meminimalkan reaksi samping, limbah, dan emisi. Teknologi ini harus cukup fleksibel agar memberikan sifat-sifat dan kualitas yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang dinamis. Sejauh ini proses produksi industri dari APG adalah berdasarkan pada sintesis Fischer. Pabrik produksi modern yang dibangun atas dasar sintesis Fischer merupakan perwujudan dari teknologi yang bebas emisi dan rendah limbah. Keuntungan lain dari sintesis Fischer adalah bahwa rasio alkil monoglikosida dengan alkil oligoglikosida dapat dikontrol dengan tepat pada rentang yang luas dengan mengatur jumlah glukosa dan alkohol lemak dalam campuran reaksi (von Rybinski & Hill, 1998). Menurut Eskuchen dan Nitsche (1997), proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak (pati-alkohol lemak), sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (gula turunan pati) dan alkohol lemak (dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan APG dari masing-masing prosedur disajikan pada Gambar 3. Pada diagram proses tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara tahap prosedur pertama dengan kedua. Prosedur pertama, berbasis patialkohol lemak melalui proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis dekstrosa-alkohol lemak hanya melalui proses asetalisasi sebelum masing-masing prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan.

37 18 Pati atau Sirup dekstrosa Glukosa anhidrat atau Glukosa monohidrat Butanolisis Butanol Transasetalisasi Alkohol lemak Alkohol lemak Asetalisasi Butanol dan Air Netralisasi Air Distilasi Alkohol lemak Air Pelarutan Pemucatan Alkil Poliglikosida Gambar 3 Diagram alir sintesis alkil poliglikosida berdasarkan sumber karbohidrat berbeda, sintesis langsung dan transasetalisasi (von Rybinski dan Hill, 1998). Alkil poliglikosida mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari alkohol lemak (dodekanol/tetradodekanol). Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG disebabkan bagian tersebut tersusun dari molekul glukosa yang berasal dari pati. Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan mereaksikan glukosa dan alkohol lemak dengan perbandingan tertentu dan dengan katalis asam p-toluena sulfonat (ptsa) untuk menghasilkan alkil poliglikosida. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 4. Kondisi reaksi diatur pada suhu C selama 3 4 jam pada tekanan mmhg. Setelah itu, campuran

38 19 bahan dilakukan netralisasi sampai ph 8 10 dengan menggunakan NaOH 50% pada suhu 80 C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air + alkohol lemak) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan alkohol lemak dilakukan pada suhu C dan tekanan 15 mmhg. Tahap akhir adalah pemucatan untuk memperoleh APG murni pada suhu C kurang lebih selama 2 jam. glukosa dodekanol [katalis asam] dodesil poliglikosida Gambar 4 Sintesis APG satu tahap (von Rybinski dan Hill, 1998). Proses sintesis APG dua tahap adalah dengan menggunakan pati (misal pati sagu) atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa dan alkohol rantai pendek. Tahapan proses sintesa APG dengan dua tahap meliputi tahap dasar berikut ini: Reaksi Butanolisis Reaksi butanolisis merupakan reaksi antara sumber pati dengan menggunakan katalis asam dengan butanol untuk membentuk produk butil glikosida. Reaksi butanolisis ini berlangsung selama 30 menit pada suhu 148 o C

39 20 dan tekanan 5 bar. Wuest et al. (1992) telah melakukan proses butanolisis dengan rasio mol 8 mol air; 8,5 mol butanol; dan 0,036 mol ptsa per satu mol pati. Dengan suhu 140 o C selama 30 menit dengan tekanan 5 bar. Penggunaan suhu dan konsentrasi asam yang rendah mengakibatkan penurunan konversi produk butil glikosida yang dihasilkan. Reaksi Transasetalisasi Alkil poliglikosida merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati (glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8 C22), sehingga proses pengikatan glukosa siklis terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (Wuest et al. 1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesis APG sering juga disebut glikosidasi. Produk akhir proses butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol rantai panjang (C8-C22) dengan katalisator asam yang jumlahnya 25 50% dari berat katalis pertama membentuk alkil poliglikosida. Reaksi transasetalisasi ini berlangsung pada suhu 120 o C dan tekanan vakum (-76 cm Hg) selama 120 menit. Pada tahap ini butanol berlebih yang tidak bereaksi dan air dikeluarkan. Reaksi butanolisis dan transasetalisasi dapat dilihat pada Gambar 5. Netralisasi Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menghentikan proses asetalisasi/ transasetalisasi dengan menambahkan basa hingga tercapai suasana basa yaitu ph sekitar Basa yang dapat digunakan untuk proses netralisasi ini meliputi alkali metal, aluminium salt selain itu juga dapat dari anion dari basa organik maupun inorganik seperti sodium hidroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, alumunium hidroksida dan sebagainya (Wuest et al., 1992). Penggunaan larutan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Selain proses penambahan akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al, 1992). Proses netralisasi juga diperlukan

40 21 butanol [katalis asam] pati butil oligoglikosida (intermediate) dodekanol [katalis asam] dodesil poliglikosida Gambar 5 Proses sintesis APG dua tahap (von Rybinski dan Hill, 1998). karena sakarida akan lebih mudah rusak dalam keadaan asam selama proses destilasi yang menggunakan suhu yang tinggi. Untuk memastikan bahwa kadar glukosa tersisa tidak akan bereaksi menghasilkan produk yang tidak diinginkan pada saat distilasi menggunakan suhu tinggi, maka pada larutan dapat ditambahkan natrium borohidrat (NaBH4) yang dapat mengubah glukosa menjadi sorbitol. Diperlukan 1 g NaBH4 untuk setiap g glukosa yang berlebih. Sorbitol lebih tahan terhadap kondisi asam dan suhu tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan warna selama proses distilasi (McCurry 2000). Luders (2000), mereduksi sisa glukosa menjadi sorbitol dengan menambahkan 0,1% sodium borohidrat dan memisahkan sisa alkohol lemak pada suhu 180 O C, dan hasil yang diperoleh yaitu APG yang memiliki warna yang lebih terang dibandingkan tanpa penambahan sodium borohidrat. Lueders (1991), melakukan penambahan arang aktif 1 10% sebelum dan sesudah

41 22 proses destilasi dan diperoleh APG yang lebih cerah pada penambahan sebelum proses distilasi. Distilasi Tahapan distilasi ini bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak bereaksi dari produk APG. Proses distilasi dapat dilakukan pada interval suhu sekitar o C dengan tekanan vakum tergantung alkohol lemak yang digunakan yaitu semakin panjang rantai maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan. Dalam proses ini diperlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk dapat menguapkan alkohol lemak yang tidak bereaksi. Pada tahapan distilasi diharapkan dapat menguapkan alkohol lemak secara maksimal untuk memperoleh produk APG dengan kandungan alkohol lemak kurang dari 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak akan mengurangi efektivitas kerja dari surfaktan APG. Hasil akhir proses distilasi akan diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat kehitaman. Untuk itu perlu dilakukan pemucatan untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat. Pemucatan Bahan pemucat (bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi, atau adsorpsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat juga melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul berwarna untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan (Kirk & Othmer 1985). Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide, CaSO4, TiO2, dll. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya diperoleh dengan menggunakan pelarut hidrogen peroksida (H2O2) yang cukup kuat.

42 23 Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lainnya adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Dalam industri APG hidrogen peroksida dibutuhkan dengan konsentrasi 30% (Buchanan et al. 1998). Penggunaan hidrogen peroksida biasa dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi. Proses pemucatan dilakukan sebagai tahap akhir proses APG yang bertujuan untuk membuat penampakan dan bau yang lebih baik. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dan MgO ditambah air dan NaOH hingga diperoleh produk dengan ph 8 10 (Hill et al., 1996). Proses pemucatan dilakukan pada suhu o C. 2.4 Studi Pustaka Sintesis Alkil Poliglikosida El-Sukkary et al. (2008) telah mensistesis dan mengkarakterisasi APG menggunakan alkohol lemak dan glukosa. Mereka memvariasikan panjang rantai alkil untuk menghasilkan APG, yaitu C8, C9, C10, C12 dan C14. Mereka juga mengamati pengaruh suhu terhadap tegangan permukaan dan tegangan antarmuka. Tegangan permukaan larutan berkurang dengan bertambahnya konsentrasi APG hingga konsentrasi tertentu, diluar konsentrasi tersebut tidak terjadi lagi penurunan tegangan permukaan. Konsentrasi ini disebut critical micelle concentration (CMC). Peningkatan suhu larutan akan menyebabkan penurunan energi bebas pada batas udara-cairan, sehingga menurunkan harga tegangan permukaan. Hal ini berlaku untuk konsentrasi APG rendah, namun pada konsentrasi APG tinggi pengaruh suhu tidak signifikan. Didapatkan juga bahwa meningkatnya panjang rantai karbon hidrofilik akan menyebabkan peningkatan gaya repulsi karena perbedaan polaritasnya, ini akan menghasilkan penurunan harga tegangan permukaan. Hasil serupa juga terjadi pada tegangan antarmuka, yaitu meningkatnya panjang rantai alkil akan menurunkan harga tegangan antarmuka. Pada umumnya, daya emulsifikasi tergantung pada panjang dan sifat bagian hidrofobik dari surfaktan yang digunakan. Dari data yang diperoleh

43 24 menunjukkan bahwa bertambahnya panjang rantai alkil, stabilitas dari emulsi yang terbentuk meningkat. Ware et al. (2007) telah memproduksi APG dengan menggunakan glukosa dan alkohol lemak dengan lima pajang rantai berbeda, yaitu C8, C10, C12, C16 dan C18. Mereka juga mempelajari pengaruh panjang rantai alkil APG terhadap karakteristik dasar seperti tegangan permukaan, tegangan antarmuka, daya dispersi sabun, detergensi, pembusaan, dan pembasahan. Alkil poliglikosida yang disiapkan dari oktanol (C8), dekanol (C10), dan dodekanol (C12) larut dalam air dan memperlihatkan sifat-sifat aktif permukaan yang baik sedangkan APG yang disiapkan dari alkohol lemak rantai panjang tidak larut dalam air, sehingga mereka tidak menghitung sifat-sifat aktif permukaannya. Ada hubungan yang signifikan dari sifat-sifat surfaktan dengan panjang rantai alkil. Didapatkan bahwa detergensi, daya emulsifikasi, dan penurunan tegangan permukaan bertambah dengan meningkatnya panjang rantai alkil. Pengaruh penambahan APG pada sabun menunjukkan bahwa APG dapat menggantikan bagian dasar sabun natrium dengan memperbaiki sifat-sifat pembusaan. Böge dan Tietze (1998) menggunakan alkohol lemak (dodekanol, C12) dan glukosa pada skala laboratorium untuk mensintesis APG. Pengaruh konsentrasi dan jenis asam sulfonat, yaitu methanesulfonic acid (MsOH) dan trifluoromethane-sulfonic acid (TfOH), yang digunakan sebagai katalis terhadap laju reaksi dan komposisi produk ditentukan dan dikorelasikan dengan konstanta Taff *. Didapatkan bahwa laju reaksi yang diamati pada dua tipe katalis merupakan pengaruh yang utama dari keasamannya. Karena karakter heterogen reaksi plot laju-konsentrasi menghasilkan kurva saturasi. Pengaruh ukuran partikel kristalin glukosa terhadap laju reaksi dan komposisi produk juga diteliti. Corma et al. (1998) telah mendapatkan alkil glukosida rantai panjang dengan transasetalisasi butil glikosida dengan dua rantai alkohol lemak dan juga dengan glikosidasi langsung menggunakan zeolit H-beta sebagai katalis. Alkohol lemak yang digunakan adalah C8 (1-oktanol) dan C12 (1-dodekanol). Pengaruh variabel proses seperti suhu, rasio molar reaktan, dan panjang rantai alkohol lemak juga dikaji. Mereka mendapatkan bahwa laju pengurangan mula-mula butil glukosida sangat kuat dipengaruhi oleh komposisi umpan, dan makin tinggi

44 25 jumlah butil glukofuranosida meningkatkan laju reaksi dan memperbesar total konversi dengan reaksi lebih cepat. Corma et al. (1996) juga telah menyiapkan alkil glukosida yang ramah lingkungan dengan glikosidasi Fischer glukosa dan n-butanol menggunakan berbagai zeolit asam sebagai katalis. Baik butil glukofuranosida dan piranosida terbentuk selama reaksi. Mereka mendapatkan bahwa zeolit dengan pori tridireksional besar dengan rasio Si/Al tinggi seperti faujasite dan beta merupakan katalis yang paling sesuai. Pengaruh rasio molar alkohol dan glukosa terhadap selektivitas alkil monosakarida juga dipelajari. Ringkasan sintesis APG secara kimia dapat dilihat pada Tabel 4 dan ringkasan sintesis alkil glukosida rantai pendek (butil glikosida) secara kimia dapat dilihat pada Tabel 5.

45

46 Ringkasan hasil studi pustaka sintesis APG secara kimia Sumber lukosa Alkohol lemak (C8, C9, Dua tahap: El-Sukkary et o C10, C12, dan C14) - Butanolisis PTSA T = 105 C; t = 1 jam (2008) - Transasetalisasi PTSA lukosa Alkohol lemak (C8, C10, C12, C16, dan C18) Dua tahap: - Butanolisis - Transasetalisasi PTSA PTSA lukosa Dodekanol (C12) Satu tahap: - Asetalisasi - MsOH - TfOH lukosa Alkohol lemak (C8 dan C12) T = o C; P = vakum (300 mm Hg) T = 90 o C; t = 3 jam T = 115 o C; t = 3 jam o T = 110 C (MsOH) dan 90 o C (TfOH) P = 20 mbar; t = 4 jam dan 8 jam Satu tahap: - Asetalisasi Zeolit H-beta T = 120 o C; t = 4,5 jam - 32 dyne/cm (2,97 x 10-4 mol/l) 36,3 dyne/cm (0,3 g/l) Dua tahap: - Butanolisis Zeolit H-beta T =120 o C; t = 4 jam - - transasetalisasi Zeolit H-beta T = 120 o C; P = vakum (400 Torr) apioka Alkohol lemak C12 Dua tahap: - Butanolisis PTSA T = o C; 28,7 dyne/cm t = 30 menit (0,8%) - Transasetalisasi PTSA T = 120 o C; t = 2 jam; P= 15 mm Hg an: PTSA = p-toluene sulfonic acid; MsOH = methanesulfonic acid; TfOH = trifluoromethanesulfonic acid * (tegangan permukaan) yang diperoleh untuk alkohol lemak C12. - Ware et al. (200 Böge & Tietze (1998) Corma et al. (1998) Februadi (2011

47

48 Ringkasan hasil studi pustaka sintesis alkil glukosida rantai pendek (butil glukosida) secara kimia Sumber hidrofilik Alkohol Proses Katalis Kondisi proses Yield Referens Glukosa n-butanol Asetalisasi Zeolit HY (dengan 8 rasio Si/Al) Glukosa n-butanol Asetalisasi MCM 41 (dengan 5 rasio Si/Al) Glukosa n-butanol Asetalisasi Zeolit H-beta (dengan 4 rasio Si/Al) Glukosa n-butanol Asetalisasi - Zeolit HY Zeolit HY-2 - Zeolit H-ZSM-5 - Zeolit H-beta - Zeolit H-mordenite - MCM-22 T = 110 o C t=- N = 1000 rpm T = 120 o C t = 4 jam N = 600 rpm T = 120 o C t = 4 jam N = 600 rpm T = 110 o C t = 4 jam N = 600 rpm Pati jagung n-butanol - H2SO4 T = 165 o C t = 40 mnt 40 95% * ) Chapat et al. (1999) 39 61% Climent et al. (1999) 48 72% Camblor et al. (1997) Corma et al. (1996) Lueders (1989 ersi

49 Adsorpsi Pada Suatu Permukaan Ada dua kondisi penting yang harus dipenuhi agar adsorpsi terjadi secara spontan pada suatu antarmuka. Pertama, dua badan fase yang tidak dapat bercampur harus berkontak langsung dengan satu sama lainnya agar terjadi perpindahan. Kedua, satu atau kedua fase harus mengandung lebih dari satu komponen. Proses perpindahan komponen (adsorbat) dari badan larutan ke antarmuka akan berlangsung terus hingga keadaan kesetimbangan adsorpsi dicapai. Dalam sistem cair adsorpsi tergantung pada komposisi larutan dan baik komponen solut maupun solven dalam badan medium berkompetisi dengan satu sama lainnya agar akumulasi berlebih pada daerah antarmuka (Chattoraj dan Birdi 1984). Thermodinamika akumulasi ekses permukaan untuk berbagai tipe fenomena adsorpsi pada antarmuka fluida dijelaskan dengan konsep universal dari ekses permukaan Gibbs Termodinamika Adsorpsi: Persamaan Gibbs Dalam publikasi klasiknya Gibbs telah menurunkan persamaan umum untuk adsorpsi pada antarmuka yang kemudian dikenal dengan persamaan adsorpsi Gibbs. Dia telah meninjau suatu kolom cairan yang mengandung dua badan fase dan yang terpisah dari satu sama lainnya dengan suatu daerah permukaan (Gambar 6) (Chattoraj dan Birdi 1984). Karena daerah permukaan aktual tidak homogen dan oleh karena itu sulit untuk didefinisikan, Gibbs telah menyederhanakan sistem tersebut dengan menganggap suatu kolom cairan ideal dimana dua fase dan tidak dipisahkan oleh suatu fase antarmuka aktual tetapi dengan suatu bidang pemisah sembarang (Gambar 7). Bidang ini dipilih sedemikian rupa sehingga komposisi dari kedua fase tidak berubah hingga permukaan pemisah. Penyederhanaan ini memungkinkan Gibbs untuk mendefinisikan besaranbesaran ekses permukaan pada antarmuka. Dengan menggunakan perlakuan thermodinamik dia mampu menurunkan persamaan berikut untuk sistem biner pada temperatur konstan (Adamson dan Gast 1997): d (1) d d

50 29 Gambar 6 Kolom dalam sistem riil Gambar 7 Kolom dalam sistem ideal (Chattoraj dan Birdi 1984). (Chattoraj dan Birdi 1984). dimana adalah tegangan permukaan, 1 dan 2 berturut-turut adalah konsentrasi ekses permukaan dari solven dan solut, dan 1 dan 2 masing-masing adalah potensial kimia dari solven dan solut. Karena 1 dan 2 didefinisikan relatif terhadap permukaan pemisah yang dipilih sembarang, pada dasarnya kemungkinan ini terhadap posisi permukaan sedemikian rupa 0, sehingga 1 d 2 d 2 (2) Dengan menggunakan asumsi larutan encer ideal, kita dapat menset koefisien aktivitas mendekati satu dan menghubungkan fraksi mol dengan konsentrasi. Persamaan (2) menjadi: 2 1 d RT d ln c 2 (3) dimana c2 adalah konsentrasi solut di dalam fase cair, R adalah tetapan gas, dan T adalah temperatur absolut. Persamaan (3) merupakan bentuk paling sederhana dari persamaan adsorpsi Gibbs yang menghubungkan perubahan tegangan permukaan terhadap akumulasi ekses (konsentrasi) permukaan atau adsorpsi. Bila turunan dalam Pers. (3) adalah negatif maka 2 adalah positif dan ada suatu konsentrasi (ekses) permukaan dari solut. Jika turunannya adalah positif maka ada suatu

51 30 kekurangan permukaan dari solut. Jika solut diadsorp secara positif ini akan menghasilkan penurunan tegangan permukaan Isoterm Adsorpsi Kesetimbangan Tujuan suatu isotherm adsorpsi adalah untuk menghubungkan konsentrasi surfaktan dalam badan larutan dan jumlah yang diadsorb pada antarmuka (Eastoe dan Dalton 2000). Sejumlah isotherm adsorpsi yang paling umum digunakan akan dibahas di sini. Untuk sistem komponen tunggal, isotherm yang paling sederhana adalah isotherm Henry (atau isotherm hukum Henry) yang merupakan suatu hubungan linier antara ekses permukaan dan konsentrasi badan surfaktan: K H C (4) dimana adalah konsentrasi ekses permukaan dari surfaktan, KH adalah konstanta adsorpsi kesetimbangan Henry, dan C adalah konsentrasi surfaktan dalam badan fase cair. Konstanta adsorpsi kesetimbangan merupakan suatu ukuran empiris dari aktivitas permukaan surfaktan dan karena itu, merupakan parameter kritis dalam setiap isotherm (Eastoe dan Dalton 2000; Chang dan Franses 1995). Isotherm Henry berlaku untuk konsentrasi permukaan rendah dimana interaksi antara spesies pada antarmuka tidak signifikan. Kekurangan dari isotherm ini adalah bahwa tidak ada batasan harga maksimum. Isotherm non-linier yang paling umum digunakan adalah isotherm Langmuir: K L C 1 K L C (5) dimana adalah konsentrasi permukaan maksimum dan KL adalah konstanta adsorpsi kesetimbangn Langmuir. Parameter adalah batas teoritis dari konsentrasi permukaan yang tipikali tidak dapat dicapai karena batasan (constraint) C, seperti kelarutan atau konsentrasi misel kritis (cmc). Isotherm Langmuir didasarkan pada model tipe-lattis dimana setiap situs adsorpsi pada lattis ekuivalen. Juga, kemungkinan adsorpsi pada situs kosong adalah tidak tergantung dari pemilikan situs-situs yang berdekatan dan tidak ada interaksi atau

52 31 gaya-gaya intermolekular yang bekerja antara spesies dalam lattis (Eastoe dan Dalton 2000). Titik akhir ini juga merupakan batasan utama dari isotherm Langmuir. Banyak spesies memperlihatkan interaksi intermolekular pada interface, yang mana dapat memasukkan gaya-gaya van der Waals yang relatif lemah, atau interaksi yang lebih kuat karena pengaruh elektrostatik atau ikatan hidrogen. Jadi, laju adsorpsi dan desorpsi dapat dipengaruhi (secara positif atau negatif) dengan meningkatnya coverage permukaan. Isotherm Frumkin dibangun berdasarkan persamaan Langmuir dengan mencoba memperhitungkan interaksi solut-solven pada permukaan non-ideal (Chang dan Franses 1995). Hal ini paling sesuai untuk surfaktan nonionik dan biasanya disajikan dalam bentuk berikut: C K F exp A (6) dimana KF adalah konstanta adsorpsi kesetimbangan Frumkin, dan A merupakan suatu ukuran non-idealitas lapisan permukaan. Parameter A pada dasarnya berfungsi sebagai perkiraan pengaruh atraksi molekular atau tolakan antar molekul-molekul surfaktan pada antarmuka pada konsentrasi permukaan. Jika A=0, lapisan permukaan dianggap ideal, dan persamaan tereduksi menjadi isotherm Langmuir. Meskipun sebagian besar isoterm paling cocok untuk surfaktan non-ionik, Borwankar dan Wasan memperpanjang isoterm Frumkin untuk memperhitungkan efek dari lapisan ganda listrik untuk surfaktan ionik (Borwankar dan Wasan 1986). Konsentrasi di bawah permukaan (subsurface) dikoreksi untuk efek-efek lapisan ganda listrik menggunakan faktor Boltzmann dan formulasi ini dapat digunakan untuk kedua surfaktan kationik dan anionik. Baru-baru ini, Lin et al. telah menggunakan pendekatan hambatan energi aktivasi untuk memperhitungkan peningkatan interaksi antarmolekul pada cakupan permukaan meningkat (Lin et al. 1995; Lin et al. 1991; Lin et al. 1997). Energi aktivasi diasumsikan mengikuti ketergantungan hukum power (power law) pada cakupan permukaan (Γ). Kehadiran gaya-gaya kohesif antarmolekul, yang meningkat dengan cakupan permukaan, menurunkan tingkat desorpsi relatif terhadap laju adsorpsi.

53 Persamaan Keadaan Permukaan Setelah isoterm yang tepat dipilih, persamaan adsorpsi Gibbs dapat digunakan untuk menurunkan persamaan keadaan permukaan yang sesuai untuk sistem tertentu. Tujuan dari persamaan keadaan adalah untuk menghilangkan konsentrasi permukaan (Γ) dari isoterm adsorpsi dan menghubungkan tegangan permukaan secara langsung dengan konsentrasi surfaktan dalam badan larutan (C). Persamaan berikut hanya berlaku untuk larutan encer premisela (C<cmc) sehingga potensial kimia dapat tepat diwakili oleh konsentrasi dalam persamaan adsorpsi Gibbs. Persamaan keadaan permukaan linier sederhana, yang sesuai dengan isotherm Henry, diberikan berikut ini: 0 RT K H C (7) dimana dan 0 berturut-turut adalah tegangan permukaan dari larutan dan solven murni. Bentuk-bentuk analog dari persamaan keadaan permukaan untuk isotherm Langmuir masing-masing adalah persamaan Frumkin dan persamaan Szyszkowski (Eastoe dan Dalton 2000; Chang dan Franses 1995): 0 RT ln 1 (8) 0 RT ln(1 K L C) (9) Persamaan keadaan permukaan yang berhubungan dengan isotherm Frumkin adalah (Eastoe dan Dalton 2000; Chang dan Franses 1995): 0 1 RT ln 1 RT A (10) 2 2 Meneliti Pers. (6) dan (10) itu adalah jelas bahwa hubungan antara γ dan C ada, yang melibatkan tiga parameter, KF, dan A. Namun, karena nonlinearitas persamaan-persamaan ini, tidak ada penyelesaian analitis untuk γ(c) dapat diturunkan, dan penyelesaian hanya dapat ditentukan secara numerik.

54 Mekanisme Adsorpsi Surfaktan Ketika suatu permukaan segar (fresh) dari suatu larutan surfaktan terbentuk, tegangan permukaan kesetimbangan tidak tercapai langsung. Suatu waktu tertentu diperlukan untuk mencapai kesetimbangan antara konsentrasi permukaan dan konsentrasi badan surfaktan (Chang dan Franses 1995). Tegangan permukaan non-kesetimbangan disebut tegangan permukaan dinamik (DST), dan tergantung pada tipe surfaktan dan komposisinya dalam sistem. Mekanisme adsorpsi surfaktan yang larut dari larutan cair dapat terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama meliputi pertukaran komponen antara badan larutan dan lapisan bawah permukaan (subsurface) (terletak langsung dibawah lapisan permukaan, tebalnya beberapa diameter molekul). Tahap kedua memerlukan (entails) transfer komponen antara bawah permukaan dan lapisan permukaan. Pada tahap akhir, komponen menata kembali sendiri pada permukaan hingga keadaan kesetimbangan. Untuk molekulmolekul kecil, penataan ulang umumnya merupakan suatu proses yang cepat dan memiliki sedikit pengaruh terhadap perilaku adsorpsi keseluruhan. Tahap pertama adalah proses perpindahan massa badan larutan (biasanya difusi) dan tahap kedua adalah proses adsorpsi (Chang dan Franses 1995). 2.6 Emulsi Emulsi adalah campuran dua cairan immiscible, dimana salah satu cairan terdispersi sebagai droplet pada cairan yang lain oleh adanya zat ketiga sebagai penstabil. Pada dasarnya emulsi terdiri dari tiga fase yaitu internal, eksternal dan interface. Fase internal atau fase dispersi berada dalam bentuk droplet halus sementara fase eksternal atau fase kontinyu membentuk matriks dimana droplet tersuspensi. Agar sistem menjadi stabil dalam jangka waktu yang lama perlu ditambahkan zat ketiga yang aktif pada interface yang disebut emulsifier. Definisi-definisi lain tentang emulsi telah dijelaskan oleh Clayton atau Becher (Shinoda and Friberg, 1986). Secara umum, jenis emulsi dapat digolongkan dalam dua kelompok air dan minyak. Semua air atau fase fase yang larut dalam air diklasifikasikan sebagai air sedangkan yang lain diklasifikasikan sebagai minyak. Jika air terdispersi dalam minyak maka disebut jenis emulsi air-dalam-minyak (W/O),

55 34 dengan demikian air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase kontinyu. Sebaliknya jika minyak terdispersi ke air maka emulsi tersebut merupakan jenis emulsi minyak-dalam-air (O/W). Dibandingkan dengan emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam minyak kurang sensitif terhadap ph, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas lebih rendah, terwarnai oleh pewarna yang larut dalam minyak, dan dapat diencerkan dengan penambahan minyak murni. Demikian pula kebalikannya berlaku untuk sistem O/W (Holmberg et al., 2003). Secara sistematis, gambar dibawah mengilustrasikan jenis emulsi O/W dan W/O. Surfaktan Air Gugus lipofilik Gugus hidrofilik Minyak Minyak Air emulsi w/o emulsi o/w Gambar 8 Gambaran skematik dari emulsi w/o dan o/w yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dari surfaktan (Rosen 2004). Emulsi ganda atau multiple emulsion dibentuk paling sedikit oleh dua fase immiscible yang dipisahkan oleh paling sedikit dua film surfactant (emulsifier) seperti terlihat pada Gambar 8. Emulsi ganda dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu emulsi O/W/O (minyak-dalam air-dalam minyak) dan W/O/W (air-dalam minyak-dalam air) (Hou and Papadopulos, 1997).

56 35 Minyak Air Minyak Air Gambar 9 Skema emulsi ganda W/O/W dan O/W/O (Rosen 2004). Proses emulsifikasi Proses emulsifikasi yaitu proses terdispersinya cairan dalam cairan yang dipicu oleh adanya tegangan permukaan. Energi bebas dari pembentukan droplet dari badan cairan (ΔGform) diberikan oleh Schramm (1992). ΔGform = ΔA γ T ΔSconf (11) dimana ΔA adalah kenaikan luas interfacial, γ adalah tegangan antarmuka antara dua cairan (air dan minyak); ΔA γ adalah energi yang dibutuhkan untuk menaikkan interfacial area ΔA, dan TΔSconf adalah entropy sebagai akibat kenaikan konfigurasi entropy ketika sejumlah besar droplet terbentuk. Biasanya ΔA γ>>tδsconf, oleh karena itu emulsifikasi merupakan proses yang tidak spontan. Walaupun demikian, energi yang dibutuhkan untuk emulsifikasi (untuk membentuk droplet) lebih besar dari ΔA γ. Tambahan energi yang dibutuhkan dinyatakan dengan rumus Young-Laplace yang dinyatakan sebagai persamaan (12) dibawah ini (Schubert and Armbruster, 1992). (12) 1 1 Untuk tetesan berbentuk bola (spherical droplet) dengan diameter x, persamaan (12) dapat disederhanakan menjadi : (13)

57 36 dimana Δp adalah perbedaan tekanan Laplace; r1 dan r2 adalah dua jari-jari dari kurva deformasi antarmuka lokal. Adanya surfaktan akan menurunkan energi yang dibutuhkan untuk emulsifikasi, dengan menurunkan atau mengurangi tegangan antarmuka (γ). Pecahnya emulsi merupakan proses destabilisasi emulsi, dimana fase air dan minyak terpisah. Ostwald ripening, flocculation, coalescence, dan sedimentasi adalah beberapa mekanisme pecahnya emulsi, yang dapat terjadi secara berturutturut atau simultan selama proses pengendapan seperti diilustrasikan pada Gambar 10. Gambar 10 Skematik dari proses pemecahan emulsi (Tadros 2005).

58 Skin lotion Produk perawatan kulit, kosmetika dan toiletries terus berkembang. Setelah beberapa tahun, dengan pengenalan material baru ditambah dengan kemajuan pada teknologi surfaktan atau emulsi, pengembangan produk dengan fungsi dan daya tarik yang baik terus berkembang (Butler 2000). Skin lotion termasuk golongan kosmetika pelembab kulit yang terdiri dari berbagai minyak nabati, hewani, maupun sintesis yang dapat berfungsi sebagai lemak buatan pada permukaan kulit. Lemak ini melenturkan lapisan kulit yang kering dan kasar, serta mengurangi penguapan air dari sel kulit, namun tidak dapat mengganti seluruh fungsi dan kegunaan dari kulit. Kosmetika pelembab kulit umumnya berbentuk sediaan cairan minyak atau campuran minyak dalam air yang dapat ditambahi atau dikurangi zat tertentu untuk tujuan khusus (Wasitaatmadja 1997). Lotion didefinisikan sebagai campuran dua fase yang tidak bercampur, distabilkan dengan sistem emulsi, dan berbentuk cairan yang dapat dituang jika ditempatkan pada suhu ruang (Schmitt 1992). Hand and body lotion umumnya berbentuk emulsi minyak dalam air (O/W), dimana minyak merupakan fase terdispersi (internal) dan air merupakan fase pendispersi (eksternal). Tipe skin lotion umumnya terdiri dari 10 15% fase minyak, 5 10% humektan, dan 75 85% fase air. Karekteristik dasarnya mempunyai kemampuan melembabkan kulit dengan segera dan mengurangi kekeringan kulit atau gejala kulit kering (Balsam et al. 1972). Pelembab kulit yang baik harus memenuhi persyaratan mutu yang terdapat di SNI pada Tabel 6. Tabel 6 Syarat mutu sediaan tabir surya No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Penampakan - Homogen 2. ph - 4,5 8,0 3. Bobot jenis, 25 C g/ml 0,95 1,05 o o 4. Viskositas, 25 C cp Cemaran Mikroba Koloni/gram Maks 10 2 Sumber: SNI

59 38 Bahan-Bahan Penyusun Skin Lotion Bahan penyusun skin lotion terdiri dari asam stearat, mineral oil, setil alkohol, triethanolamin, gliserin, air murni, pengawet, dan pewangi yang disusun berdasarkan persentase berat dalam formulasi (Nussinovitch 1997). Asam stearat (C16H32O2) merupakan asam lemak yang terdiri dari rantai hidrokarbon, diperoleh dari lemak dan minyak yang dapat dimakan, dan berbentuk serbuk berwarna putih. Asam stearat mudah larut dalam kloroform, eter, etanol, dan tidak larut dalam air Semakin besar pemakaian asam stearat, maka warna putih akan semakin berkilau (Barnett 1972). Emulsi yang baik memiliki sifat tidak berubah menjadi lapisan-lapisan, tidak berubah warna, dan tidak berubah konsistensinya selama penyimpanan. Emulsi yang tidak stabil terjadi karena masing-masing fase cenderung bergabung dengan fase sesamanya membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi pecah (Suryani et al. 2000). Minyak mineral (parafin cair) adalah campuran hidrokarbon cair yang berasal dari minyak tanah. Minyak ini merupakan cairan bening, tidak berwarna, tidak larut dalam alkohol atau air, juga dingin tidak berbau dan tidak berasa namun jika dipanaskan sedikit berbau minyak tanah. Minyak mineral berfungsi sebagai pelarut dan penambah viskositas dalam fase minyak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). Pada kosmetika, minyak mineral digunakan pada eye shadow, lipstick, lip gloss, makeup wajah, produk pembersih, krim, dan lotion (Nikitakis 1988 dan Smolinske 1992). Aplikasi selaput tipis dari bahan oklusif seperti minyak atau lilin, membuat kulit terasa lembut dan halus. Bahan-bahan ini, umumnya dikenal dengan emollients, yang seringkali mengurangi TEWL (Transepidermal Water Loss) yang cenderung meningkatkan kandungan air pada stratum corneum). Perubahan yang cepat pada gejala kulit yang kering dapat dihubungkan dengan kemampuannya untuk mengisi celah pada lapisan tanduk dan glue down cornecytes yang menonjol (Butler 2000). Setil alkohol (C16H33OH) merupakan butiran yang berwarna putih, berbau khas lemak, rasa tawar, dan melebur pada suhu C. Setil alkohol larut dalam etanol dan eter, namun tidak larut dalam air. Bahan ini berfungsi sebagai

60 39 pengemulsi, penstabil, dan pengental (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). Setil alkohol adalah alkohol dengan bobot molekul tinggi yang berasal dari minyak dan lemak alami atau diproduksi secara petrokimia. Bahan ini termasuk ke dalam fase minyak pada sediaan kosmetika. Pada formulasi produk, setil alkohol yang digunakan kurang dari 2%. Setil alkohol merupakan lemak putih agak keras yang mengandung gugusan kelompok hidroksil dan digunakan sebagai penstabil emulsi pada produk emulsi seperti cream lotion. Setil alkohol digunakan sebagai emulsifier, agen opasitas, emollient, agen peningkat viskositas, dan penyokong busa pada kosmetika dan farmasi. Tipe alkohol yang menggunakan setil alkohol termasuk produk untuk mata, bedak wangi, kondisioner rambut, lipstick, makeup, krim dan lotion, serta produk pembersih (Nikitakis 1988 dalam Smolinske 1992). Setil alkohol diketahui dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas (alergi) pada pasien dengan kulit statis atau kaki ulcers yaitu 5,4 % dari 116 kasus (Van Ketel dan Wemer 1983 dalam Smolinske 1992). Reaksi hipersensitivitas pada setil alkohol disinyalir berhubungan dengan ketidakmurnian produk (Hannuksela dan Salo 1986 dalam Smolinske 1992). Triethanolamin ((CH2OHCH2)3N) atau TEA merupakan cairan tidak berwarna atau berwarna kuning pucat, jernih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, dan higroskopis. Cairan ini dapat larut dalam air dan etanol tetapi sukar larut dalam eter. TEA berfungsi sebagai pengatur ph dan pengemulsi pada fase air dalam sediaan skin lotion (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). TEA merupakan bahan kimia organik yang terdiri dari amina dan alkohol dan berfungsi sebagai penyeimbang ph pada formulasi skin lotion. TEA tergolong dalam basa lemah (Frauenkron et al. 2002). Gliserin atau gliserol mengandung % C4H8O2. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1993), gliserin merupakan cairan kental, tidak berwarna, berasa manis, dan higroskopis. Terbuat dari bahan-bahan lemak alami tanaman dan hewan. Gliserin dapat digunakan sebagai pelarut maupun zat pelarut. Gliserin diklasifikasikan sebagai humektan, pemlastis, pelarut, dan agen tonik pada produk farmasi. Pada kosmetika, gliserin digunakan sebagai pendenaturasi dan humektan pada berbagai macam produk, seperti

61 40 kondisioner dan pewarna rambut, produk makeup, pencuci mulut, penyegar napas, lotion setelah bercukur, krim cukur, krim, lotion dan lulur (Smolinske 1992). Bahan higroskopis tertentu yang dikenal sebagai humektan, dapat menyeimbangkan air pada lapisan tanduk dan menjaganya matriks lemak interseluler. Air ini dapat dating dari air pada formulasi akhir dan lapisan epidermis bagian bawah bukannya dari lingkungan luar (Butler 2000). Air murni merupakan komponen yang paling besar persentasenya dalam pembuatan skin lotion. Air murni hanya mengandung molekul air saja dan dideskripsikan sebagai cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, memiliki ph 5.0 dan 7.0, dan berfungsi sebagai pelarut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). Air yang digunakan harus didestilasi atau dihilangkan garamgaramnya dengan ion exchanger. Sisa-sisa besi dan tembaga sangat berbahaya karena mempercepat ketengikan. Karena kandungan minyak tumbuhan yang tinggi, preparat pelembab ini mudah menjadi tengik. Kosmetika pelembab harus dilindungi dari mikroorganisme dan jamur dengan penambahan bahan pengawet (Tranggono dan Latifah 2007). Manfaat air dalam produk kosmetika adalah membantu penyebaran produk dan pencampuran bahan-bahan lainnya dalam larutan kosmetika. Air dapat pula mengembalikan kelembaban kulit, ini merupakan hal yang penting, mengingat air adalah bagian mayoritas dalam sel kulit manusia (Edgar 2008). Metil paraben atau nipagin digunakan sebagai pengawet dalam kosmetika, produk makanan, dan formula farmasi. Metil paraben dapat digunakan sendiri ataupun dengan kombinasi paraben lainnya, atau zat antimikroba lain. Bentuk metil paraben adalah kristal tak berwarna, serbuk kristal putih, dan tidak berbau. Metil paraben merupakan metil ester dari asam p-hidroksibenzoat. Metil paraben mempunyai aktivitas antimikroba pada ph 4-8. Efek pengawetan akan menurun sebanding dengan meningkatnya ph. Metil paraben memiliki keaktifan paling lemah dari seluruh paraben. Aktivitasnya akan meningkat dengan bertambahnya panjang rantai dari alkil. Aktivitas dapat diperbaki dengan mengombinasikan dengan paraben lain. Metil paraben larut dalam etanol, eter, propilen glikol dan metanol, tidak larut dalam paraffin cair dan air, larut dalam air hangat, aktivitas

62 41 antimikroba dari metil paraben menurun dengan keberadaan surfaktan nonionik seperti polisorbat 80 (Wade dan Weller 1994). Sangat penting untuk menggunakan parfum yang stabil untuk tidak mengiritasi pada kondisi alkali dan tidak mudah teroksidasi atau menguap. Konsentrasi parfum yang digunakan pada produk beragam, tapi apabila konsentrasinya terlalu rendah, akan menyebabkan aromanya tidak nampak. Di sisi lainnya, bila konsentrasi terlalu tinggi, akan menghasilkan bau yang terlalu menyengat dan dapat menyebabkan gumpalan-gumpalan, terutama pada sediaan bedak. Dapat pula menyebabkan iritasi pada kulit. Biasanya konsentrasi parfum kisaran 0,2 dan 1% masih dapat diterima (Singh 2010). 2.8 Analisis Kelayakan Finansial Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan finansial suatu proyek yaitu dengan menghitung biaya investasi dan biaya produksi (biaya tetap dan biaya variabel), yang kemudian dinilai kelayakan investasinya berdasarkan kriteria kelayakan investasi, yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefi-Cost Ratio (net B/C), Break Even Point (BEP), dan Pay Back Period (PBP). Net Present Value adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh kegiatan investasi. Jika NPV sama dengan nol atau lebih besar dari nol, maka suatu industri dinyatakan layak karena biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari pada nilai keuntungan atau hasil yang diperoleh. Sedangkan bila NPV lebih kecil dari nol, suatu industri dinyatakan tidak layak karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada nilai keuntungan atau hasil yang diperoleh. Formulasi yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut: n t C NPV tb (14) t 1 (1 i) t dimana: Bt = benefit bruto pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya bruto pada tahun ke-t (Rp) n = umur ekonomis proyek (tahun) i = tingkat suku bunga (%)

63 42 t = tingkat investasi (t = 1, 2, 3,..., n) Internal Rate of Return menggambarkan persentase keuntungan yang diperoleh tiap tahun atau merupakan kemampuan proyek dalam mengembalikan bunga bank. Hal ini berarti IRR sama dengan tingkat suku bunga pada waktu NPV 0. Perhitungan besarnya IRR dapat dilakukan dengan cara interpolasi antara tingkat suku bunga pada saat NPV positif dan tingkat suku bunga pada saat NPV negatif. Pada dasarnya IRR suatu proyek yang layak adalah jika discount rate proyek lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, dan secara matematis IRR dapat dirumuskan sebagai berikut: NPV 1 IRR (%) 1 i (i2 1 i ) NPV 1 NPV 2 (15) dimana: NPV1 = nilai NPV yang positif (Rp) NPV2 = nilai NPV yang negatif (Rp) i1 = tingkat suku bunga pada NPV positif (%) i2 = tingkat suku bunga pada NPV negatif (%) Net Benefit-Cost Ratio adalah perbandingan antara manfaat yang diperoleh dari suatu proyek dengan biaya yang harus dikeluarkan (Gittinger, 1986). Proyek dikatakan layak jika net B/C lebih besar dari satu. Jika net B/C sama dengan satu maka proyek tersebut akan mencapai titik impas saja dan jika net B/C kurang dari satu maka proyek tersebut tidak layak. Net B/C n t 1 n t 1 B t C t (1 i) t B t C t (1 i) t ; untuk B t ; untuk B t C t C t 0 0 (16) Break Even Point adalah suatu kondisi dimana perusahaan berproduksi pada tingkat produksi tertentu yang menyebabkan pengeluaran (biaya) sama dengan pemasukan (penerimaan) atau laba = 0 atau nilai NPV 0.

64 43 BEP 1 Total Biaya Tetap Total Biaya Variabel Total Penerimaan Pay Back Period adalah waktu yang diperlukan oleh suatu proyek untuk dapat menutup kembali pengeluaran investasi awal yang direpresentasikan dalam horizon waktu. PBP menggambarkan lamanya waktu agar dana yang telah diinvestasikan dapat dikembalikan seluruhnya. Pengembalian modal ini dipandang sebagai kas masuk (Cash in flow). PBB dapat dirumuskan sebagai berikut: PBP (B n M 1 C n 1) 1 dimana: Bn = benefit bruto pada tahun ke-n (Rp) Cn = biaya bruto pada tahun ke-n (Rp) M = nilai kumulatif B t C t negatif yang terakhir (Rp) n = periode investasi pada saat nilai kumulatif B t C t negatif yang terakhir (tahun). 2.9 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji sejauh mana perubahan-perubahan unsur dalam aspek ekonomi dan finansial berpengaruh terhadap keputusan yang diambil. Gray et al. (1992) menyatakan bahwa perhitungan kembali perlu dilakukan mengingat asumsi-asumsi yang ada banyak mengandung unsur ketidakpastian tentang apa yang terjadi dimasa yang akan datang. Pada umumnya analisis sensitivitas dilakukan pada kisaran 10 50% dari nilai yang berlaku saat ini. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi berkenaan dengan analisis sensitivitas adalah (1) kenaikan dalam biaya konstruksi akibat perhitungan yang terlalu rendah, yang kemudian ternyata pada saat pelaksanaan proyek biaya meningkat karena harga peralatan, mesin, dan bahan-bahan bangunan meningkat, (2) perubahan harga bahan baku dan produk, dan (3) terjadi pelaksanaan pekerjaan tambahan.

65 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian proses sintesis alkil poliglikosida (APG) dari pati sagu diawali dengan adanya gagasan bahwa tanaman sagu banyak terdapat di Indonesia dan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Pati sagu dapat menjadi sumber bahan baku dalam pembuatan surfaktan nonionik APG. Saat ini kebutuhan surfaktan nonionik di Indonesia masih dipenuhi dari impor. Proses pembuatan APG dengan sintesis Fischer dapat dilakukan dengan dua varian proses, tergantung pada jenis karbohidrat yang digunakan, yaitu sintesis langsung (proses satu tahap) dan sintesis tidak langsung (proses dua tahap). Pada proses satu tahap bahan bakunya adalah glukosa, sedangkan pada proses dua tahap bahan bakunya bisa glukosa ataupun pati. Proses produksi APG melalui proses asetalisasi (satu tahap) dilakukan dengan mereaksikan glukosa dan alkohol lemak dengan perbandingan tertentu dan dengan bantuan katalis asam p-toluena sulfonat (ptsa) untuk menghasilkan alkil poliglikosida. Penggunaan glukosa sebagai bahan baku lebih mudah menyebabkan produk berwarna gelap karena gula-gula sederhana sangat mudah mengalami degradasi akibat penggunaan suhu tinggi dan keadaan asam. Proses degradasi inilah yang menghasilkan by-product yang tidak diinginkan selama proses sintesis APG. Proses sintesis langsung dengan menggunakan bahan baku glukosa dilakukan sebagai pembanding dalam sintesis APG. Dikarenakan kelarutan glukosa dalam alkohol lemak sangat rendah, beberapa peneliti mereaksikan terlebih dahulu glukosa dengan butanol, yaitu melalui reaksi butanolisis. Proses sintesis APG dengan bahan baku pati harus melalui dua tahapan proses, yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Bila bahan baku glukosa juga harus melalui proses butanolisis, maka pemilihan pati sagu sebagai bahan baku dalam sintesis APG sangat tepat. Kelebihan penggunaan pati sagu pada proses sintesis APG diantaranya adalah ketersediaan pati sagu yang banyak di Indonesia dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa serta pati tidak mudah menyebabkan produk berwarna gelap.

66 46 Pada tahap butanolisis terjadi reaksi antara pati sagu dan butanol untuk membentuk butil glikosida. Karena bahan baku yang digunakan adalah pati sagu, maka pada butanolisis terlebih dahulu terjadi reaksi hidrolisis menjadi gula sederhana kemudian dilanjutkan dengan proses alkoholisis membentuk butil glikosida. Proses butanolisis berlangsung dengan bantuan katalis ptsa dan menggunakan suhu serta tekanan yang tinggi. Kondisi asam dan suhu tinggi diperlukan untuk menghidrolisis pati dan membentuk butil glikosida. Pada proses transasetalisasi, butil glikosida direaksikan dengan alkohol lemak C12 untuk membentuk APG. 3.2 Bahan dan Alat Pembuatan Alkil Poliglikosida (APG) Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol lemak C12 (dodekanol) yang diperoleh dari PT. Ecogreen, pati sagu, glukosa, butanol, p-toluene sulfonic acid, NaOH, dimetil sulfoksid (DMSO) dan aquadest. Bahan yang digunakan untuk menganalisis produk penelitian yang dihasilkan adalah H2O2, MgO, xilena, benzena, piridina, Span 20, tween 20, dan asam oleat. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor yang dilengkapi dengan jaket pemanas, motor pengaduk, kondensor, tangki pemisah, tangki silika gel, pompa vakum 1 PK dan pompa sirkulasi air pendingin Pembuatan Skin Lotion Bahan baku yang digunakan pada proses pembuatan skin lotion ini antara lain: mineral oil, setil alkohol, asam stearat, metil paraben, propil paraben, TEA, alkohol, alkil poliglikosida, air dan parfum. Alat-alat yang digunakan meliputi homogenizer, gelas piala, gelas ukur, erlenmeyer, thermometer, neraca analitik, pipet, pengaduk magnetik, hotplate, viskosimeter Brookfield, sentrifuse, indikator ph dan sudip.

67 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia, Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN), FATETA, IPB. Adapun tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: Tahap 1. Optimasi kondisi optimum proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap Optimasi produksi alkil poliglikosida dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon dengan mengkaji pengaruh faktor-faktor; yaitu rasio mol glukosa dengan dodekanol dan suhu asetalisasi untuk sintesis APG satu tahap, dan rasio mol pati sagu dengan dodekanol dan suhu butanolisis pada sintesis APG dua tahap. Parameter respon untuk optimasi ini adalah yield APG yang dihasilkan. Percobaan ini dilakukan dalam reaktor dengan volume kerja 1 L. Rancangan percobaan optimasi produksi alkil poliglikosida Rancangan percobaan optimasi produksi alkil poliglikosida menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Mehtod) dengan menggunakan rancangan komposit terpusat. Faktor yang dianalisis untuk sintesis satu tahap adalah: 1. Rasio mol glukosa dan dodekanol (x1) dalam rentang antara 1:3 1:6. 2. Suhu asetalisasi (x2) dalam rentang o C. dan faktor yang dikaji untuk sintesis dua tahap adalah: 1. Rasio mol pati sagu dan dodekanol (x1) dalam rentang antara 1:2,5 1:6. 2. Suhu asetalisasi (x2) dalam rentang o C. Central composite rotatable design (CCRD) untuk dua peubah bebas digunakan untuk merancang percobaan dimana varian respon yang diprediksi, Y, pada beberapa titik peubah bebas, x, hanya merupakan fungsi jarak dari titik ke pusat desain. Rancangan percobaan bermaksud untuk mengurangi jumlah percobaan dan untuk menyusun percobaan dengan berbagai kombinasi peubah bebas (Kalavathy et al. 2009).

68 48 Rentang dan level yang digunakan dalam penelitian ini diberikan dalam Tabel 7 (untuk sintesis APG satu tahap) dan Tabel 8 (untuk sintesis APG dua tahap). Basis percobaan untuk sintesis satu tahap adalah 45 g glukosa dan untuk dua tahap adalah 25 g. Karena peubah-peubah bebas mempunyai satuan yang berbeda-beda dan/atau memiliki batas ragam yang berbeda, maka signifikansi dari pengaruh peubah-peubah bebas terhadap respon hanya dapat dibandingkan setelah peubah-peubah bebas disandikan. Tabel 7 Rentang dan level peubah untuk sintesis APG dari glukosa dengan rancangan komposit terpusat Peubah Rasio mol glukosa dengan dodekanol Suhu asetalisasi Peubah dengan sandi X 1 X 2 Level peubah :2,38 1:3 1:4,5 1:6 1:6,62 95, ,14 Tabel 8 Rentang dan level peubah untuk sintesis APG dari pati sagu dengan rancangan komposit terpusat Peubah Rasio mol pati sagu dengan dodekanol Suhu butanolisis Peubah dengan sandi X 1 X 2 Level peubah :1,78 1:2,5 1:4,25 1:6 1:6,72 125, ,14 Dalam rancangan percobaan ini semua peubah bebas disandikan menurut Pers. (17) 2 x i ( x maks x min ) X i (17) x maks x min dimana xi adalah peubah i sebenarnya, Xi adalah peubah i yang telah disandikan tanpa dimensi, xmaks dan xmin adalah harga maksimum dan minimum dari peubah bebas i. Harga peubah-peubah bebas yang disandikan terletak pada 1 untuk titiktitik faktorial, 0 untuk titik pusat, dan untuk titik-titik aksial. Harga

69 49 tergantung pada jumlah titik dalam bagian faktorial dari rancangan, yang diberikan dalam Pers. (18) 2 k (18) dimana k adalah jumlah faktor. Karena ada 2 faktor maka Matriks rancangan percobaan yang dihasilkan dengan rancangan 1,414. komposit terpusat ditunjukkan dalam Tabel 9 dan Tabel 10 masing-masing untuk sintesis APG satu tahap dan dua tahap. Tabel ini terdiri dari 10 himpunan kondisi yang dinyatakan dalam harga sebenarnya dan dalam bentuk sandi. Rancangan terdiri dari full faktorial dua level yaitu 4 titik faktorial (2 2 = 4), 2 titik pusat, dan 4 titik aksial. Berdasarkan tabel ini, percobaan dilakukan untuk mendapatkan respon, yaitu yield APG yang dihasilkan, dimana dilakukan terhadap peubah-peubah bebas yang sesuai dengan yang dinyatakan dalam matriks rancangan percobaan. Data percobaan ini digunakan untuk memvalidasikan model respon tunggal dari sintesis APG. 4 Tabel 9 Run Peubah bebas dan respon untuk sintesis APG dari glukosa dengan rancangan komposit terpusat Peubah sebenarnya Peubah yang disandikan x1 x2 X1 X2 1. 1: : : : :2, , :6, , :4,5 95,86 0-1, :4,5 124,14 0 1, :4, :4, Yield (%)

70 50 Tabel 10 Peubah bebas dan respon untuk sintesis APG dari pati sagu dengan rancangan komposit terpusat Run Peubah sebenarnya Peubah yang disandikan x1 x2 X1 X2 1. 1:2, : :2, : :1, , :6, , :4,25 125,86 0-1, :4,25 154,14 0 1, :4, :4, Yield (%) Pemodelan Matematika Respon tunggal yang dimodelkan dengan menggunakan response surface methodology (RSM) berhubungan dengan peubah-peubah bebas. Dengan RSM, persamaan polinomial kuadratik dikembangkan untuk memprediksi respon sebagai fungsi peubah-peubah bebas yang meliputi interaksi-interaksinya (Montgomery 2001). Pada umumnya, respon untuk polinomial kuadratik dapat dinyatakan seperti dalam Pers. (19) Y i b0 bii i2bi ix X bi j i jx X (19) i ii i j dimana Y adalah respon yang diprediksi, b0 adalah koefisien intersep, bi adalah koefisien dari suku linier, bii adalah koefisien dari suku kudratik, bij adalah koefisien dari suku interaksi, dan Xi dan Xj adalah peubah bebas yang disandikan. Dalam kajian ini, persamaan polinomial order dua didapatkan dengan menggunakan peubah bebas yang disandikan sebagai berikut Y b11 12 b22 22b0 b1 1X b2 2X X X (20) b12 1 2X X Harga koefisien-koefisien dari Pers. (20) ditentukan dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda yang termasuk dalam RSM. Pengujian koefisien-

71 51 koefisien tersebut dilakukan dengan sidik ragam (ANOVA), sedangkan kualitas pencocokan dari model dinilai dari koefisien korelasi dan koefisien determinasinya. Rancangan percobaan dalam penelitian ini diselesaikan dengan menggunakan paket program Design Expert versi Kondisi proses optimum yang diperoleh kemudian divalidasi lagi. Proses produksi alkil poliglikosida (APG) dengan metode satu tahap Proses produksi APG dari glukosa dan dodekanol dilakukan dengan metode satu tahap. Diagram alirnya dapat dilihat pada Gambar 11. Variabel proses pada sintesis satu tahap ini adalah rasio mol glukosa-dodekanol dan suhu asetalisasi, sedangkan pada tahap netralisasi, distilasi, dan pemucatan tidak diubah-ubah. Proses asetalisasi dilakukan dengan mencampurkan dodekanol dan glukosa dengan perbandingan 3:1 sampai dengan perbandingan 6:1 dengan bantuan katalis asam p-toluene sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada suhu C selama 3 4 jam pada tekanan mmhg. Setelah itu, campuran bahan dilakukan netralisasi sampai ph 8 10 dengan menggunakan NaOH 50% pada suhu 80 C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air+dodekanol) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan dodekanol dilakukan pada suhu C dan tekanan 15 mmhg. Tahap akhir adalah pemucatan untuk memperoleh APG murni pada suhu C kurang lebih selama 2 jam.

72 52 Dodekanol Glukosa T = C t = 230 menit P = mmhg o Asetalisasi + p-toluene sulfonic acid + NaOH 50% hingga ph 8-10 Netralisasi Didinginkan hingga T = 80 o C Distilasi T oC P = vakum Residu (air+dodekanol) APG Kasar + Air + H2O2 + NaOH Bleaching 50% Alkil Poliglikosida (APG) Gambar 11 Diagram alir sintesis alkil poliglikosida satu tahap.

73 53 Proses produksi APG dari pati sagu dan dodekanol Proses produksi APG dari pati sagu dan dodekanol dilakukan dengan metode dua tahap, yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Diagram alirnya dapat dilihat pada Gambar 12, sedangkan skema peralatan proses pembuatan APG dalam reaktor batch dapat dilihat pada Gambar 13. Pada sintesis dua tahap ini variabel prosesnya adalah rasio mol pati sagudodekanol dan suhu butanolisis, sedangkan pada tahap transasetalisasi, netralisasi, distilasi, dan pemucatan tidak diubah-ubah. Pada tahap butanolisis pati sagu, air dan butanol direaksikan dengan adanya katalis p-toluene sulfonic acid (PTSA) pada tekanan tinggi untuk membentuk butil glikosida. Reaksi ini berlangsung selama 30 menit pada suhu o C, tekanan 3 5 bar dan kecepatan pengaduk 200 rpm. Pada tahap transasetalisasi, butil glikosida hasil dari butanolisis direaksikan dengan alkohol lemak C12 (dodekanol) dengan bantuan katalis PTSA pada kondisi vakum. Reaksi ini berlangsung pada suhu o C dan tekanan vakum selama 120 menit. Pada tahap ini dihasilkan alkil poliglikosida yang masih bercampur dengan dodekanol, sedangkan butanol berlebih yang tidak bereaksi dan air dikeluarkan. Setelah proses transasetalisasi dilakukan netralisasi untuk menghentikan reaksi pada suhu 80 o C dengan menggunakan NaOH hingga mencapai ph 8 10 (Wuest et al. 1992). Kemudian campuran produk tersebut didistilasi untuk memisahkan alkohol lemak berlebih yang tidak bereaksi pada suhu o C dan tekanan vakum. Produk APG yang diperoleh dilarutkan dalam air hingga konsentrasi yang diinginkan. Setelah itu dilakukan proses pemucatan pada suhu o C. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dan MgO serta NaOH hingga diperoleh produk dengan ph 8 10.

74 54 Pati Sagu Butanol Air + p-toluene sulfonic acid T = o C Butanolisis t = 30 menit P = 3 5 bar Butil glikosida Alkohol lemak o + p-toluene sulfonic acid T = C t = 120 menit Transasetalisasi Air + butanol P = vakum + NaOH s/d ph 8 10 Netralisasi Distilasi T = o C P = vakum APG Kasar Alkohol lemak Pelarutan Air Pemucatan/Bleaching H2O2 Alkil Poliglikosida (APG) Gambar 12 Metode sintesis APG dua tahap.

75 Keterangan: 1 = reaktor berjaket 2 = motor pengaduk 3 = kondensor 4 = jaket pemanas 5 = separator 6 = tangki silika gel 7 = pompa vakum 6 5 Gambar 13 Skema peralatan proses produksi APG dalam reaktor batch. Konfirmasi struktur dan evaluasi sifat-sifat aktif permukaan APG Alkil poliglikosida (APG) yang dihasilkan dikonfirmasi struktur kimianya dengan menggunakan tool analisis Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR) dan dievaluasi sifat-sifat aktif permukaannya. Evaluasi sifat-sifat aktif permukaan ini meliputi tegangan permukaan, tegangan antarmuka, HLB, dan kestabilan emulsi. Karakteristik APG yang dihasilkan dibandingkan dengan APG komersial (Cognis) sebagai acuan. Adapun metode analisisnya disajikan pada Lampiran 1. Kajian fenomena adsorpsi APG pada antarmuka fluida-fluida Surfaktan nonionik APG ini larut dalam air, karena itu adsorpsi dipelajari pada permukaan air-udara untuk tegangan permukaan dan air-xilena untuk tegangan antarmuka. Persamaan keadaan permukaan yang digunakan untuk menduga tegangan permukaan diturunkan dari persamaan adsorpsi Gibbs dan model isotherm Langmuir. Untuk konsentrasi surfaktan rendah, konsentrasi permukaan pada antarmuka dapat diperkirakan dari slope pengeplotan vs ln c pada suhu konstan,

76 56 berdasarkan persamaan adsorpsi Gibbs dengan anggapan larutan encer ideal (Chang dan Franses, 1995): 1 d RT d ln c (21) dimana c adalah konsentrasi solut di dalam fase cair, tegangan permukaan atau tegangan antarmuka, R adalah tetapan gas, dan T adalah temperatur absolut. Isotherm non-linier yang paling umum digunakan adalah isotherm Langmuir: K L C 1 K L C (22) dimana adalah konsentrasi permukaan maksimum dan KL adalah konstanta adsorpsi kesetimbangan Langmuir. Dengan menyisipkan Pers. (22) ke dalam Pers. (17) didapatkan 0 RT ln(1 K L C) (23) Persamaan (23) adalah persamaan keadaan permukaan. Persamaan ini mempunyai dua parameter yang tidak diketahui, yaitu dan KL. Perhitungan harga parameter KL dan dilakukan dengan cara optimasi non linear multi peubah, yaitu dengan meminimumkan jumlah kuadrat kesalahan antara data tegangan permukaan yang diukur atau percobaan dan harga prediksi atau model. Metode optimasi non linier multi peubah yang digunakan adalah metode Nelder- Mead dengan bantuan paket perangkat lunak Matlab. Kinetika emulsifikasi dan uji stabilitas emulsi Skin lotion termasuk golongan kosmetik pelembab kulit yang terdiri dari berbagai minyak nabati, hewani, maupun sintesis yang dapat berfungsi sebagai lemak buatan pada permukaan kulit. Kosmetik pelembab kulit umumnya berbentuk sediaan cairan minyak atau campuran minyak dalam air yang dapat ditambahi atau dikurangi zat tertentu untuk tujuan khusus (Wasitaatmadja 1997).

77 57 Untuk kajian kinetika emulsifikasi, emulsi disiapkan dengan melarutkan 2% berat APG dalam 92% air pada suhu 60 o C, kemudian ditambahkan 6% mineral oil. Campuran ini diaduk dengan homogenizer pada kecepatan 1500 rpm, 2000 rpm dan 2500 rpm. Pengukuran distribusi ukuran globula dilakukan setiap interval waktu 5 menit hingga 25 menit dengan mikroskop. Proses pembuatan skin lotion dilakukan dengan memanaskan 1,85% berat asam stearat, 1,85% setil alkohol, 5,5% mineral oil, 0,1% metil paraben, dan 0,1% propil paraben pada suhu 60 o C disertai pengadukan hingga terbentuk Sediaan A. Diagram alir pembuatan Sediaan A dapat dilihat pada Gambar 14. Kemudian 85,6% berat air, 3% APG dan 1,8% alkohol dilarutkan disertai pemanasan dan pengadukan pada suhu 60 o C sehingga terbentuk Sediaan B. Diagram alir pembuatan Sediaan B dapat dilihat pada Gambar 15. Sediaan A yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam Sediaan B sambil terus diaduk sehingga terbentuk skin lotion dan ditambahkan TEA dan parfum (Gambar 16). Sediaan A Mineral oil Metil paraben Setil alkohol Popil paraben Asam stearat Pemanasan 60 o C disertai pengadukan Sediaan A Gambar 14 Diagram alir pembuatan sediaan A.

78 58 Sediaan B Alkohol Air APG Pengadukan dan pemanasasan 60 o C Sediaan B Gambar 15 Diagram alir pembuatan sediaan B. Sediaan C Sediaan A Parfum Sediaan B TEA Pengadukan Skin lotion Gambar 16 Diagram alir proses pembuatan skin lotion. Skin lotion yang dihasilkan diuji sifat-sifat fisiknya meliputi: pengujian ph, viskositas dan penampakan. Penetapan stabilitas emulsi dari skin lotion dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan cara pengukuran berdasarkan pemisahan dengan asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100%. Emulsi

79 59 dimasukkan ke dalam tabung reaksi setinggi 10 cm. Persentase air atau minyak yang terpisah pada periode waktu yang ditetapkan dicatat. Selain itu pengujian stabilitas emulsi juga dilakukan dengan cara dipercepat, yaitu dengan cara sentrifugasi. Sentrifugasi pada putaran 3750 rpm dalam tabung sentrifugasi setinggi 10 cm selama 5 jam dapat dikatakan ekivalen dengan pengaruh gravitasi selama 1 tahun (Lachman et al. 1994). Tahap 2. Pengembangan proses produksi APG dari pati sagu Pada pengembangan proses ini, bahan baku yang digunakan dalam sintesis APG adalah pati sagu dan dodekanol. Pati sagu memiliki kelebihan dibandingkan glukosa karena pati sagu banyak tersedia dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa. Selain itu pati sagu tidak mudah terjadi pembentukan warna gelap dari APG. Proses yang digunakan dalam sintesis APG adalah proses Fischer dua tahap. Kondisi proses yang digunakan adalah kondisi proses optimum dari tahapan sebelumnya. Hasil sintesis APG dari pati sagu pada tahap sebelumnya dijadikan dasar untuk mengembangkan proses pada skala yang lebih besar menurut metode linier. Perhitungan neraca massa pada tiap-tiap tahapan proses dilakukan pada keadaan tunak. Kemudian dihitung ukuran peralatan utama dalam mensintesis APG dan prakiraan biaya produksi APG berdasarkan harga peralatan. Pada Tahap ini juga dilakukan uji produksi APG dalam reaktor 10 L berdasarkan kondisi proses optimum yang diperoleh pada tahap sebelumnya (sintesis APG dari pati sagu). Dalam reaktor ini diusahakan pengadukannya dapat dikendalikan dengan menggunakan impeller anchor dan motor pengaduk. Bahan baku yang digunakan dalam uji coba ini adalah pati sagu. Parameter-parameter yang diamati sama seperti pada tahap sebelumnya, yaitu konfirmasi struktur kimia APG dan sifat-sifat aktif permukaan dari APG. Tahap 3. Kajian kelayakan finansial industri alkil poliglikosida (APG) Kajian kelayakan finansial ini dilakukan untuk menduga kelayakan dari rancangan proses produksi APG dari pati sagu dan alkohol lemak C12 pada skala industri. Untuk itu disusun analisis biaya untuk keperluan produksi surfaktan alkil poliglikosida. Analisis finansial untuk proses produksi surfaktan APG terdiri dari

80 60 dua bagian, modal investasi dan modal kerja. Modal investasi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung meliputi biaya peralatan, biaya instalasi peralatan, instrumentasi dan kontrol, pemipaan (piping), instalasi listrik, bangunan, fasilitas layanan, dan lahan. Biaya tidak langsung meliputi engineering dan pengawasan, biaya konstruksi, dan kontijensi. Modal kerja dapat dibagi dalam dua kategori yaitu biaya produksi (operasional) dan biaya umum. Biaya produksi berkaitan dengan semua biaya yang berhubungan langsung dengan operasi produksi atau kegiatan pengolahan bahan baku di pabrik. Biaya-biaya ini dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu biaya produksi langsung, biaya tetap, dan biaya overhead pabrik. Penilaian kelayakan dilakukan dengan menggunakan kriteria kelayakan investasi, yaitu: 1) NPV (Net Present Value). Jika NPV sama dengan nol atau lebih besar dari nol, maka suatu industri dinyatakan layak karena biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari pada nilai keuntungan atau hasil yang diperoleh. Sedangkan bila NPV lebih kecil dari nol, suatu industri dinyatakan tidak layak karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada nilai keuntungan atau hasil yang diperoleh. 2) IRR (Internal Rate of Return). IRR dari suatu proyek yang layak adalah jika discount rate proyek lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku. 3) Net B/C (Net Benefit-Cost). Proyek dikatakan layak jika net B/C lebih besar dari satu. 4) BEP (Break Even Point). Kondisi dimana perusahaan berproduksi pada tingkat produksi tertentu yang menyebabkan pengeluaran (biaya) sama dengan pemasukan (penerimaan) atau laba = 0 atau nilai NPV 0. 5) PBP (Pay Back Period). Lamanya waktu agar dana yang telah diinvestasikan dapat dikembalikan seluruhnya. Tahap akhir dilakukan analisis sensitivitas. Sensitivitas kelayakan usaha ini dilakukan pada dua komponen, yaitu komponen pendapatan dan komponen harga bahan baku.

81 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Optimasi Proses Produksi APG Dari Glukosa dan Pati Sagu APG merupakan salah satu jenis surfaktan nonionik. Secara tipikal surfaktan terdiri dari komponen hidrofilik dan hidrofobik. Gugus hidrofilik ini dapat diperoleh dari glukosa atau pati, sedangkan gugus hidrofobik dapat diperoleh dari alkohol lemak (dodekanol). Jadi dapat dikatakan bahwa komponen utama dalam sintesis APG adalah glukosa atau pati dan dodekanol. Karena itu rasio mol glukosa/pati dengan mol dodekanol dipilih sebagai salah satu peubah dalam penelitian ini. Suatu reaksi baru bisa terjadi bila fasenya homogen, yaitu satu fase. Jadi glukosa baru bereaksi dengan dodekanol pada suhu reaksi di atas titik lelehnya. Titik leleh glukosa antara o C. Namun bila kondisi reaksi vakum titik leleh glukosa akan berkurang. Karena itu dalam penelitian ini dipilih suhu astetalisasi dalam rentang o C sebagai peubah Pengembangan Model Empiris Rancangan komposit terpusat telah digunakan untuk mengembangkan korelasi antara peubah-peubah rasio mol glukosa dodekanol (x1) dan suhu asetalisasi (x2) terhadap yield pada sintesis APG dari glukosa, sedangkan pada sintesis APG dari pati sagu, korelasi yang dikembangkan antara peubah-peubah rasio mol pati sagu dodekanol (x1) dan suhu butanolisis (x2). Matriks rancangan percobaan untuk sintesis APG dari glukosa dan pati sagu bersama nilai yield yang didapatkan dari penelitian masing-masing ditunjukkan pada Tabel 11 dan Tabel 12. Menurut model sekuensial jumlah kuadrat, model dipilih berdasarkan polinomial order tertinggi dimana term-term model signifikan dan model tidak aliased. Untuk yield APG dari glukosa model linier disarankan karena nilai Prob>F adalah 0,0001; sedangkan untuk yield APG dari pati sagu model kuadrat

82 62 disarankan, yang dalam hal ini dipilih karena polinomial orde yang lebih tinggi dengan nilai Prob>F adalah 0,0212. Tabel 11 Matriks rancangan percobaan sintesis APG dari glukosa dan hasil (yield) No Peubah dengan sandi Peubah sebenarnya x1 x2 X1 X2 Yield percobaan (%) 1. 1: , : , : , : , :2, , , :6, , , :4,5 95,86 0-1,414 24, :4,5 124,14 0 1,414 27, :4, , :4, ,26 Tabel 12 Matriks rancangan percobaan sintesis APG dari pati sagu dan respon (yield). No Peubah dengan sandi Peubah sebenarnya x1 x2 X1 X2 Yield percobaan (%) 1. 1:2, , : , :2, , : , :1, , , :6, , , :4,25 125,86 0-1,414 29, :4,25 154,14 0 1,414 34, :4, , :4, ,69 Koefisien model untuk respon ditentukan dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda yang termasuk dalam RSM. Model linier yang diperoleh

83 63 dalam peubah-peubah bebas yang disandikan untuk sintesis APG dari glukosa adalah: 25, ,31 dan model kuadratik untuk sintesis APG dari pati sagu adalah (24) (25) 38,42 1,08 2,7 3,48 3,64 0,56 Kecocokan model empiris yang dikembangkan dievaluasi berdasarkan harga koefisien korelasi. Harga R untuk Pers. (24) adalah 0,92. Harga R yang didapat relatif tinggi, yang menunjukkan bahwa kesesuaian yang baik antara harga percobaan dan harga prediksi dari model. Harga koefisien determinasi R 2 adalah 0,846. Ini menunjukkan bahwa 84,6% dari total ragam yield dapat dihubungkan dengan peubah bebas yang dikaji dan hanya 15,4% dari total ragam tidak dapat dijelaskan oleh model. Standar deviasi adalah 0,78. Semakin dekat harga R 2 dengan satu dan semakin kecil standar deviasi akan didapat model yang lebih baik, dimana model tersebut akan memberikan harga prediksi yang lebih dekat dengan harga sebenarnya. Harga koefisien determinasi (R 2 ) untuk Pers. (25) adalah 0,861. Ini menandakan bahwa 86,1% dari total ragam yield dapat dihubungkan dengan peubah-peubah bebas dan hanya 13,9% dari total ragam tidak dapat dijelaskan oleh model. Harga koefisien korelasi yang lebih tinggi, R = 0,9278, menjustifikasi bahwa korelasi baik antara peubah-peubah bebas. Kesesuaian model selanjutnya dijustifikasi melalui sidik ragam (ANOVA). ANOVA untuk model yield linier dan kuadratik dapat dilihat pada Lampiran 6 (untuk sintesis APG dari glukosa dan untuk sintesis APG dari pati sagu). Bila harga Prob>F kurang dari 0,05 menunjukkan bahwa suku-suku model signifikan dan bila harga Prob>F lebih besar dari 0,1 menunjukkan bahwa suku-suku model tidak signifikan. Dari Lampiran 6 terlihat bahwa Prob>F untuk yield APG dari glukosa adalah 0,0001 berarti kurang dari 0,05, ini menyiratkan bahwa model itu signifikan. Berdasarkan F-value terlihat baik rasio mol glukosa-dodekanol dan suhu asetalisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap yield APG yang dihasilkan.

84 64 Untuk sintesis APG dari pati sagu terlihat bahwa suku-suku model signifikan (Lampiran 6). Suhu butanolisis, dan suku-suku kuadratik dari rasio mol pati sagu-dodekanol ( ) dan suhu butanolisis ( ) mempunyai pengaruh yang signifikan sedangkan rasio mol pati sagu-dodekanol (x1) dan suku interaksi x1x2 tidak signifikan terhadap respon stabilitas emulsi. Dari hasil statistik yang diperoleh menunjukkan bahwa model di atas baik Pers. (24) maupun Pers. (25) cukup memadai untuk memprediksi yield APG dalam kisaran peubah yang diteliti. Gambar 17 dan Gambar 18 masing-masing menunjukkan harga-harga prediksi versus harga-harga percobaan untuk yield pada sintesis APG dari glukosa dan dari pati sagu. Seperti terlihat, harga-harga prediksi yang diperoleh cukup dekat dengan harga-harga percobaan, hal ini menunjukkan bahwa model yang dikembangkan berhasil mengkorelasikan antara peubahpeubah bebas dengan yield Yieldmodel(%) Yield percobaan (%) Gambar 17 Perbandingan antara yield percobaan dan yield prediksi dari model untuk APG dari glukosa. Yield APG berbahan baku glukosa divisualisasikan melalui permukaan respon tiga dimensi (Gambar 19) dan plot kontur permukaan respon (Gambar 20). Dari Gambar 19 terlihat bahwa yield meningkat dengan meningkatnya suhu asetalisasi dan berkurang dengan naiknya rasio mol glukosa-dodekanol. Harga

85 65 yield optimum didapatkan ketika kedua peubah bebas berada pada titik optimum dalam rentang yang dipelajari. Kondisi proses optimum didapatkan pada rasio mol glukosa-dodekanol 1:3 dan suhu asetalisasi 120 o C dengan yield APG sebesar 29,31%. Yieldmodel(%) Yield percobaan (%) Gambar 18 Perbandingan yield percobaan dan model pada sintesis APG dari pati sagu Yield(%) Suhu asetalisasi (oc) Rasio mol glukosa-dodekanol Gambar 19 Permukaan respon yield APG berbahan baku glukosa.

86 Yield (%) Suhuasetalisasi(oC) Rasio mol glukosa-dodekanol Gambar 20 Plot kontur permukaan respon yield APG berbahan baku glukosa. Permukaan respon tiga dimensi untuk sintesis APG dari pati sagu dapat dilihat pada Gambar 21 dan plot kontur permukaan respon pada Gambar 22. Dari Gambar 22 terlihat bahwa yield APG meningkat dengan meningkatnya suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu-dodekanol. Harga yield optimum didapatkan ketika kedua peubah bebas berada pada titik optimum dalam rentang yang dipelajari. Kondisi proses optimum didapatkan pada rasio mol pati sagudodekanol 1:4,57 dan suhu butanolisis 143,89 o C dengan yield APG sebesar 39,04%. Yield APG yang diperoleh dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yield APG yang dihasilkan oleh peneliti sebelumnya. McCurry et al. (1996) telah mensintesis APG dari glukosa dan alkohol lemak, dimana yield yang diperoleh sebesar 35,7%. El-Sukkary et al. (2008) juga telah melakukan sintesis APG dari glukosa dan alkohol lemak dengan panjang rantai alkil berbeda, dimana yield yang diperoleh berkisar antara 35 45%. Meskipun yield APG yang dihasilkan rendah, namun beberapa bahan baku masih dapat direcovery dan digunakan kembali, seperti butanol dan alkohol

87 67 lemak. Butanol diperoleh kembali dari proses transasetalisasi dan alkohol lemak diperoleh kembali dari proses distilasi Yield(%) Suhu butanolisis (oc) Rasio mol pati sagu-dodekanol Gambar 21 Permukaan respon tiga dimensi dari yield APG dari pati sagu Yield (%) 145 Suhubutanolisis(oC) Rasio mol pati sagu-dodekanol Gambar 22 Plot kontur permukaan respon yield APG dari pati sagu.

88 Karakteristik APG Validasi kondisi optimum dilakukan untuk meyakinkan persamaan optimum yang diperoleh dengan metode permukaan respon. Kemudian APG hasil sintesis pada kondisi optimum dibandingkan sifat-sifat permukaan dan kinerjanya dengan APG komersial sebagai acuan. Respon yang diamati dalam uji perbandingan ini meliputi kestabilan emulsi air-xilena dengan adanya APG, tegangan permukaan, tegangan antarmuka, dan nilai HLB. Tegangan permukaan Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut. Kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan, dimana surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan meningkatkan gaya adhesi sehingga mampu menurunkan tegangan permukaan (Matheson 1996). Pengukuran tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG telah dilakukan dengan metode du Nouy. Pada metode ini tegangan permukaan sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk menarik cincin hingga lapisan tipis tepat putus. Pada kajian karakteristik ini APG hasil sintesis dari glukosa disingkat dengan APG-G, untuk APG komersial dinotasikan dengan APG-K, dan untuk APG hasil sintesis dari pati sagu dilambangkan dengan APG-PS. Gambar 23 menunjukkan ragam tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi surfaktan APG dari glukosa. Dari Gambar 23 terlihat bahwa tegangan permukaan berkurang dengan meningkatnya konsentrasi APG di dalam larutan. Hal ini dikarenakan APG larut dalam air, maka APG bermigrasi ke permukaan air sehingga mengurangi tegangan permukaannya. Sebaliknya, bagian yang hidrofobik dari molekul menarik (repeals) molekul air, yang bergerak ke atas ke udara sedangkan kepala dari molekul tetap dalam air, ini mengakibatkan reduksi tegangan permukaan pada batas air-udara. Kenaikan konsentrasi APG akan meningkatkan migrasi molekulmolekul ke permukaan hingga konsentrasi tertentu dimana permukaan menjadi jenuh. Pada titik ini molekul-molekul APG masih di dalam badan larutan kemudian membentuk misela, dimana ekor-ekor APG mengumpul (aggregate)

89 69 40 Teganganpermukaan(mN/m) APG-K APG-G Konsentrasi APG (%b/v) Gambar 23 Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dari glukosa. dalam misela, dengan kepala molekul-molekul APG terbentuk pada permukaan bagian luar misela. Bila konsentrasi CMC (critical micella concentration) ini tercapai tidak ada lagi perubahan harga tegangan permukaan dari larutan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian El-Sukkary et al. (2008) dan Ware et al. (2007). Mereka juga mendapatkan tegangan permukaan air berkurang dengan meningkatnya konsentrasi APG di dalam larutan hingga konsentrasi tertentu. Di luar konsentrasi ini tidak ada penurunan tegangan permukaan lagi. Dari Gambar 23 juga terlihat bahwa penurunan tegangan permukaan pada APG-K sedikit lebih besar daripada APG-G. Gambar 24 menunjukkan ragam tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi surfaktan APG dari pati sagu. Dari gambar tersebut juga terlihat kecendrungan yang sama dengan Gambar 23, yaitu tegangan permukaan larutan sampel berkurang dengan meningkatnya konsentrasi APG dalam larutan hingga konsentrasi tertentu. Diluar konsentrasi ini tidak ada penurunan tegangan permukaan lagi. Pada umumnya, ada dua gaya yang mempengaruhi molekul-molekul surfaktan dalam medium encer: (1) gaya tolak-menolak (repulsion) antara bagian hidrofobik dari surfaktan dan molekul-molekul air; (2) gaya tarik menarik (attraction) antara air dan komponen hidrofilik dari molekul-molekul surfaktan.

90 70 40 Teganganpermukaan(mN/m) 35 APG-K 30 APG-PS Konsentrasi APG (%b/v) Gambar 24 Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dari pati sagu. Untuk konsentrasi APG 0,1 0,5%, kemampuan menurunkan tegangan permukaan yang diperoleh pada APG-PS lebih besar dibandingkan dengan APG- G dan hasil yang diperoleh El-Sukkary et al. (2008) serta Ware et al. (2007), yaitu sebesar 60,97 65,14%. El-Sukkary et al. (2008) mampu menurunkan tegangan permukaan air berkisar antara 59,79 61,08%; Ware et al. (2007) berhasil menurunkan tegangan permukaan air berkisar antara 50,82 51,5% dan APG-G mampu menurunkan tegangan permukaan berkisar antara 49,96 56,99%. Tegangan antarmuka Pengukuran tegangan antarmuka air-xilena dengan adanya surfaktan APG pada berbagai konsentrasi telah dilakukan dengan menggunakan tensiometer metode du Nouy. Gambar 25 menunjukkan ragam tegangan antarmuka air-xilena pada berbagai konsentrasi APG yang dihasilkan dari glukosa. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa tegangan antarmuka berkurang dengan tajam dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan. Hasil ini didukung oleh Moecthar (1989) yang menyatakan bahwa tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama.

91 71 25 Teganganantarmuka(mN/m) APG-K APG-G Konsentrasi APG (%b/v) Gambar 25 Tegangan antarmuka air-xilena pada berbagai konsentrasi APG dari glukosa. Gambar 26 menunjukkan ragam tegangan antarmuka air-xilena pada berbagai konsentrasi surfaktan APG dari pati sagu. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa tegangan antarmuka berkurang dengan tajam dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan. 25 Teganganantarmuka(mN/m) 20 APG-K APG-PS Konsentrasi APG (%b/v) Gambar 26 Tegangan antarmuka air:xilena pada berbagai konsentrasi APG dari pati sagu. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka air-xilena dari APG-PS lebih baik dibandingkan dengan APG-G. APG-PS mampu menurunkan tegangan antarmuka air-xilena sebesar 74,48 80,98%, sedangkan APG-G mampu

92 72 menurunkan tegangan antarmuka sebesar 54,48 77,34%. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang tidak jauh berbeda dengan APG-PS juga didapatkan dari APG-K, yaitu sebesar 70,30 81,89%. Hasil yang sama juga diperoleh Ware et al. (2007) yaitu sebesar 77,28 81,98%. Dalam aplikasinya kemampuan menurunkan tegangan antarmuka ini erat hubungannya dengan pembentukan emulsi, kemampuan daya bersih atau dalam penggunaan sebagai enhanced oil recovery (Paul & Moulik 2001). Stabilitas emulsi Emulsi adalah campuran dua cairan yang tidak saling campur (immiscible), dimana salah satu cairan (fase dispersi atau internal) berada dalam bentuk globula tersuspensi dalam cairan yang lain (fase kontinyu atau eksternal). Kemampuan meningkatkan stabilitas emulsi merupakan salah satu karakteristik yang penting dari suatu surfaktan. Stabilitas emulsi terutama ditentukan oleh sifat-sifat antarmuka. Emulsi yang stabil adalah emulsi yang tidak terpisah (berubah) terhadap waktu (Rosen 2004). Stabilitas emulsi air-xilena dengan adanya APG 0,1% dari hasil sintesis APG berbahan baku glukosa berkisar antara 37 75%, sedangkan stabilitas emulsi dari APG berbahan baku pati sagu berkisar antara 35,8 76,2% (Tabel L6 dan Tabel L7 Lampiran 5). Pada APG hasil sintesis dari glukosa didapatkan stabilitas emulsi air-xilena meningkat dengan meningkatnya suhu asetalisasi dan rasio mol glukosa-dodekanol, demikian juga pada APG hasil sintesis dari pati sagu, stabilitas emulsi air-xilena meningkat dengan meningkatnya suhu butanolisis dan rasio mol pati sagu-dodekanol. Namun kenaikan stabilitas emulsi karena kenaikan suhu lebih nyata dibandingkan rasio mol pati sagu dan dodekanol. Penentuan nilai HLB Salah satu sifat paling penting dari suatu surfaktan adalah nilai HLB. Nilai HLB, suatu parameter empiris yang menggambarkan kandungan gugus-gugus hidrofilik dan hidrofobik dari suatu surfaktan, telah sering digunakan dalam formulasi produk-produk emulsi. Emulsifier untuk emulsi tipe w/o biasanya

93 73 hidrofobik dengan nilai HLB rendah, sedangkan emulsifier dengan nilai HLB yang lebih tinggi sering digunakan dalam persiapan emulsi o/w. Pengelompokan surfaktan juga berdasarkan nilai HLBnya. Metode penentuan HLB dari larutan APG adalah dengan metode titrimetri, dimana titrannya adalah akuades dan larutan yang mengandung APG 1 g dalam 25 ml campuran (95:5 v/v) piridina (23,75 ml) dan benzena (1,25) sebagai titrat. Kepala polar yang diperoleh dari karbohidrat yang bersifat hidrofilik akan tarik menarik dengan molekul air yang bersifat polar dan ion nitrogen dari piridina yang bersifat semi polar. Ekor dari APG yang diperoleh dari fatty alkohol bersifat hidrofobik akan menarik molekul benzena yang non polar dan cincin heterosiklik aromatik molekul piridina. Titik akhir titrasi dicapai pada saat kekeruhan permanen. Karena pada saat kekeruhan permanen larutan telah jenuh dan molekul APG sudah tidak dapat berikatan dengan molekul air maupun piridina dan benzena. Perhitungan nilai HLB dilakukan dengan mencari persamaan linier dari jenis surfaktan yang telah diketahui nilai HLBnya. Menurut Martin et al. (1970) dalam Moechtar (1989) bahwa nilai HLB dari Tween 80 adalah 15,0; Span 20 adalah 8,6 dan asam oleat adalah 1. Hasil pengukuran banyaknya akuades yang diperlukan dalam titrasi dapat dilihat pada Tabel L8 (Lampiran 5). Dari kurva standar Gambar L1 (Lampiran 5) diperoleh persamaan linier, yaitu 0,2593 menentukan 2,3808 nilai HLB dengan dari surfaktan 0,9805. APG Persamaan hasil sintesis linier dan ini APG digunakan komersial. untuk Hasil pengukuran nilai HLB dari APG komersial dan APG hasil penelitian dari glukosa pada kondisi optimum diperoleh dengan cara interpolasi dengan kurva standar. Nilai HLB yang diperoleh untuk APG komersial adalah 13,64; untuk APG hasil sintesis dari glukosa adalah 12,31 dan untuk APG hasil sintesis dari pati sagu adalah 8,81. Berdasarkan konsep Grifin dalam Holmberg et al. (2003), APG komersial dan APG hasil sintesis dari glukosa tergolong dalam pengemulsi O/W dan solubilizer, sedangkan APG hasil sintesis dari pati sagu juga tergolong dalam pengemulsi O/W dan bahan pembasah.

94 74 Analisa Gugus Fungsi APG Dengan FTIR Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR) merupakan alat untuk mendeteksi gugus fungsi dari suatu senyawa dengan spektrum inframerah dari senyawa organik yang mempunyai sifat fisik yang khas sehingga kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum sama adalah kecil sekali. Energi radiasi inframerah akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C C, C H, C=O, O H dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda. Pencirian gugus fungsi ini juga digunakan untuk melakukan perbandingan antara APG komersial dan APG yang dihasilkan. Gambar spektrum FTIR dari APG komersial dan APG hasil sintesis dari glukosa dan dari pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 7. Dari hasil analisis FTIR secara umum diperoleh pita serapan yang hampir sama antara APG komersial dan APG yang dihasilkan tetapi pada APG yang dihasilkan baik dari glukosa maupun dari pati sagu terbentuk banyak pita serapan yang tidak terbentuk pada kurva APG standar, ini diperkirakan karena ketidakmurnian APG hasil sintesis yang bercampur dengan kerak-kerak sehingga muncul gugus-gugus tersebut. Terbentuknya gugus eter (C O C) menandakan bahwa sintesis antara gugus hidroksil dari glukosa dan pati dengan alkohol lemak telah terjadi, sedangkan gugus O H menunjukkan bahwa gugus hidrofilik dari APG telah terbentuk (El-Sukkary et al. 2008). Hasil yang sama juga didapatkan oleh El-Sukkary et al. (2008) sebagaimana tercantum dalam Tabel 13. Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG komersial Hasil sintesis APG pada kondisi optimum baik untuk sintesis APG dari glukosa maupun APG dari pati sagu dibandingkan dengan APG komersial. Hasil perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG komersial dapat dilihat pada Tabel 14.

95 75 Tabel 13 Pita serapan spektrofotometer FTIR dari APG komersial dan APG hasil penelitian Gugus fungsi Jumlah gelombang (cm 1 ) APG-K APG-G APG-PS El-Sukkary et al. (2008) CH2 (CH2)n ganda 721,26 714,94 720, Tekuk asimetrik 1.465, , , Ulur simetrik 2.853, , , Ulur asimetrik 2.923, , , O H 3.400, , , C O 1.050, , , C O C 1.151, , , Tabel 14 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG Komersial Karakteristik APG dari Glukosa APG dari Pati Sagu APG Komersial Kemampuan menurunkan tegangan permukaan (%)* 49,96 68,19 60,97 66,39 55,28 70,32 Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka (%)** 54,48 77,34 74,48 80,98 70,30 81,89 Stabilitas emulsi (%) ,8 76,2 85 Nilai HLB 12,31 8,81 13,64 Ket: * konsentrasi APG dalam larutan berkisar dari 0,1 1%. ** konsentrasi APG dalam larutan berkisar dari 0,1 0,4%. Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa pada konsentrasi APG dalam larutan rendah, kemampuan APG dari pati sagu untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka lebih baik dari APG dari glukosa dan APG komersial. Tetapi Nilai HLB APG dari pati sagu lebih rendah dari APG glukosa dan APG komersial. Namun, menurut Davis (1994) nilai HLB dalam kisaran 8 15 cocok sebagai pengemulsi O/W. Secara umum dapat dikatakan bahwa APG hasil sintesis memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan APG komersial. Perbedaan karakteristik ini disebabkan oleh perbedaan penggunaan alkohol lemak. APG komersial menggunakan alkohol lemak campuran dari C10 C16, sedangkan APG sintesis menggunakan alkohol lemak C12.

96 Adsorpsi Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida Pada Antarmuka Fluida-Fluida Surfaktan nonionik yang digunakan dalam studi ini adalah APG yang dihasilkan dari glukosa, pati sagu, dan APG komersial. Untuk studi adsorpsi ini APG yang dihasilkan dari glukosa dilambangkan dengan APG-G, APG yang dihasilkan dari pati sagu dinotasikan dengan APG-PS, dan untuk APG komersial disingkat dengan APG-K. Surfaktan-surfaktan ini sangat larut dalam air. Adsorpsi dari ketiga surfaktan ini dilakukan pada antarmuka air-udara dan air-xilen. Persamaan keadaan permukaan yang digunakan dalam menentukan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka model adalah Pers. (26) (26) Γ 1 Tujuan dari persamaan keadaan ini adalah untuk menghilangkan konsentrasi permukaan ( ) dari isotherm adsorpsi dan menghubungkan tegangan permukaan secara langsung dengan konsentrasi surfaktan dalam badan larutan (c). Persamaan ini mempunyai dua parameter yang tidak diketahui, yaitu dan KL, yang dapat diperoleh dengan mencocokkan harga percobaan terhadap c. Dari harga, luas permukaan minimum per molekul yang diadsorp (Amin) dapat diperoleh dengan persamaan (Prosser dan Franses 2001). A 1, (27) N A dimana Amin dinyatakan dalam m 2 dan NA adalah bilangan Avogadro. Luas Amin tergantung pada sifat surfaktan dan antarmuka. Perhitungan harga parameter KL dan dapat dilakukan dengan cara optimasi non linear multi peubah, yaitu dengan meminimumkan jumlah kuadrat kesalahan antara data tegangan permukaan yang diukur atau percobaan dan harga prediksi atau model. Persamaannya didefinisikan dengan ( 1 2 perc mod )2 (28) n

97 77 dimana n adalah jumlah titik-titik data. Model akan dianggap berhasil jika sama dengan atau lebih rendah dari kesalahan yang ditentukan dalam pengukuran tegangan permukaan dan tegangan antarmuka, dimana kesalahan yang ditetapkan adalah 1 mn/m. Kualitas pencocokan kemudian dikategorikan dengan baik bila di bawah 1 mn/m, jelek bila dari 1 hingga 3 mn/m, dan sangat jelek bila melebihi 3 mn/m (Prosser dan Franses 2001). Metode optimasi non linier multi peubah yang digunakan adalah metode Nelder-Mead dengan bantuan paket perangkat lunak Matlab. Hasil optimasi KL dan untuk tegangan permukaan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai KL dan untuk tegangan permukaan hasil optimasi dengan metode Nelder-Mead Surfaktan KL (mol/m 2 ) (mn/m) Amin (m 2 ) APG-G 3.190,46 2,36 x ,572 7,04 x 10 APG-PS ,49 1,11 x ,961 1,50 x 10 APG-K ,59 1,83 x ,283 9,07 x Dengan menggunakan data KL dan hasil optimasi dan Pers. (26) dapat dicari nilai tegangan permukaan model. Gambar 27 menunjukkan ragam tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dalam larutan. Dari harga pada Tabel 15 menunjukkan bahwa pencocokan Pers. (26) dengan data percobaan sangat baik, kecuali untuk APG-G yang menunjukkan fit yang jelek. Dari harga menunjukkan bahwa lebih banyak molekul-molekul surfaktan APG-G yang terakomodasi pada antarmuka air-udara daripada surfaktan APG-PS dan APG-K. Luas permukaan yang ditempati oleh sebuah molekul pada antarmuka disajikan dalam kolom terakhir dari Tabel 15. Terlihat bahwa molekul APG-PS menempati luas yang lebih besar pada antarmuka air-udara dibandingkan APG-G dan APG-K sehingga proses adsorpsinya juga lebih besar. Konstanta kesetimbangan (KL) untuk adsorpsi dan desorpsi pada antarmuka air-udara cukup tinggi. Harga KL untuk APG-PS jauh lebih tinggi dibandingkan harga KL untuk APG-K dan APG-G. Ini menandakan laju adsorpsi pada APG-PS lebih cepat. Sedangkan laju adsorpsi pada APG-G lebih lambat.

98 78 Teganganpermukaan(mN/m) APG-K (Model) APG-G (model) APG-PS (model) APG-K APG-G APG-PS Konsentrasi APG (%b/v) Gambar 27 Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dalam larutan. Untuk tegangan antarmuka, harga KL dan hasil optimasi dapat dilihat pada Tabel 16. Gambar 28 menunjukkan ragam tegangan antarmuka air-xilen pada berbagai konsentrasi APG dalam larutan. Dari harga pada Tabel 16 menunjukkan bahwa pencocokan Pers. (26) dengan data percobaan sangat baik untuk ketiga surfaktan yang digunakan, dimana di bawah 1 mn/m. Tabel 16 Nilai KL dan untuk tegangan antarmuka hasil optimasi dengan metode Nelder-Mead Surfaktan KL (mol/m 2 ) (mn/m) Amin (m 2 ) APG-G ,27 2,72 x ,785 6,10 x 10 APG-PS ,79 1,57 x ,940 1,06 x 10 APG-K ,72 1,65 x ,575 1,01 x Dari harga konsentrasi permukaan maksimum ( ) pada Tabel 16 dan Tabel 15 terlihat bahwa lebih banyak molekul-molekul APG-G dan APG-PS yang terakomodasi pada antarmuka air-xilena dibandingkan air-udara, sedangkan pada APG-K molekul-molekulnya lebih banyak tertampung pada antarmuka air-udara dibandingkan air-xilen. Luas permukaan dari molekul APG-G dan APG-PS lebih banyak menempati pada antarmuka air-udara dibandingkan air-xilen. Harga konstanta kesetimbangan (KL) pada antarmuka air-xilena lebih tinggi daripada antarmuka air-udara.

99 79 Teganganantarmuka(mN/m) 50 APG-K (Model) 45 APG-G (model) 40 APG-PS (model) APG-K APG-G APG-PS Konsentrasi APG (%b/v) Gambar 28 Tegangan antarmuka air-xilen pada berbagai konsentrasi APG dalam larutan. 4.3 Kinetika Emulsifikasi Emulsifikasi biasanya berkenaan dengan dispersi satu cairan, seperti minyak di dalam cairan lain (air) yang tidak saling larut. Kinetika emulsifikasi adalah perubahan bentuk emulsi terhadap waktu. Kajian emulsifikasi ini merupakan suatu pengembangan produk APG yang dihasilkan. Emulsifikasi merupakan faktor penting dalam flotasi, ekstraksi solven, pengolahan air limbah, aplikasi pada farmasi, kosmetik, agrokimia, makanan, membran cair dan aplikasi lainnya (Paul & Moulik 2001). Hinze (1955) dalam Sis & Chander (2004) telah melaporkan breakage globula yang terisolasi terutama ditentukan oleh rasio gaya-gaya eksternal dan internal yang bekerja pada suatu globula. Ada dua gaya eksternal utama: (1) fluktuasi tekanan turbulen dan (2) gaya viskos karena gradien kecepatan di sekeliling fase kontinyu. Gaya-gaya ini terutama karena tegangan antarmuka dan/atau gaya viskos internal. menurut Hinze (1955) suatu tetesan akan pecah bila rasio deformasi gaya internal melewati diameternya dan gaya karena tegangan antarmuka yang melebihi harga kritis. Berdasarkan model ini Pers. (29) disarankan. 0,6 d maks DaCWe (29)

100 80 dimana dmaks adalah diameter tetesan stabil maksimum dalam sel, Da adalah diameter impeller, C adalah konstanta antara 0,126 dan 0,15, dan We adalah bilangan Weber yang didefinisikan dengan Pers. (30): 2 N Da3 We (30) dimana ρ adalah densiti fase kontinyu, N kecepatan pengadukan dan adalah tegangan antarmuka air-minyak. Polat et al. (1999) telah mengembangkan model emulsifikasi fenomenologi berdasarkan kajian Hinze (1955). Model yang didefinisikan dengan Pers. (31) memasukkan dua parameter empiris, ukuran globula rata-rata pada 1 menit dispersi dan laju breakage tanpa dimensi, dx (t ) dt k (t)x (t ) 1 t (31) dimana X(t), (t), dan k masing-masing adalah ukuran globula rata-rata, gaya eksternal per satuan luas pada waktu t, dan konstanta kesebandingan. Dengan menganggap,, dan k konstan, konstanta tanpa dimensi baru k didefinisikan oleh Pers. (32): (t) k k (32) Integrasi Pers. (31) menghasilkan ln[x (t)] lnc k ln(t) (33) dimana C adalah konstanta integrasi. Dengan mendefinisikan X(t=1) sebagai ukuran globula rata-rata pada dispersi 1 menit, konstanta C dapat ditentukan. Bila C ini dimasukkan ke dalam Pers. (33), didapatkan Pers. (34) ln[ X (t)] ln[ X (t 1)] k ln(t) (34) Menurut Pers. (34) plot ln[ X (t)] vs ln(t) akan menghasilkan garis lurus dengan intersep ln[ X (t 1)] dan slope k.

101 81 Emulsifikasi 2% APG dalam air-mineral oil dilakukan pada kecepatan pengadukan berbeda-beda dari 1500 rpm hingga 2500 rpm dan didapatkan data seperti pada Gambar 29. Absis dan ordinat merupakan harga-harga yang sudah dilogaritma naturalkan. Terlihat dari gambar tersebut ukuran globula berkurang dengan naiknya kecepatan pengadukan dan lamanya pencampuran, karena gaya eksternal pada globula bertambah dengan bertambahnya konsumsi energi di dalam tangki pencampuran. Hasil ini didukung oleh Sis & Chander (2004). Parameter model ln[ X (t 1)] (ukuran globula rata-rata pada 1 menit dispersi) dan k (konstanta laju breakage) didapat dari Gambar 29 dan ditabelkan pada Tabel 17. Terlihat dari Tabel 17 ada penurunan ukuran globula rata-rata pada 1 menit dispersi sedangkan laju breakage berfluktuasi (Lampiran 8). Tabel 17 Ragam parameter model (ukuran globula rata-rata pada 1 menit dispersi dan laju breakage) Kecepatan menit dispersi ln[ X (t 1)] ( m) 1500 b1,069 k k 6, ,273 2, ,329 2,795 Diameterrata-rataglobula,ln[X(t)] [m] Lama pencampuran, ln(t) [menit] Gambar 29 Ragam ukuran globula rata-rata pada 2% APG dalam air-mineral oil.

102 Aplikasi Alkil Poligikosida pada Skin Lotion Viskositas Viskositas merupakan salah satu parameter penting dalam produk-produk emulsi khususnya skin lotion. Viskositas menunjukkan kekentalan suatu bahan yang diukur menggunakan viscometer. Faktor yang erat hubungannya dengan stabilitas emulsi adalah viskositas (Suryani et al. 2000). Bahan-bahan yang dipengaruhi nilai viskositas awal adalah bahan-bahan pengemulsi (emulsifier). Alkil poliglikosida (APG) merupakan salah satu emulsifier. Penggunaan asam stearat, setil alkohol, mineral oil, metil paraben, dan propil paraben menghasilkan formula skin lotion yang baik. Kekentalan produk cukup baik, skin lotion tidak terlalu encer dan tidak terlalu kental. Nilai viskositas produk skin lotion yang disintesis dengan campuran surfaktan alkil poliglikosida (APG) adalah 2186,667 cp dimana nilainya sesuai dengan kisaran SNI untuk produk yaitu cp Stabilitas Emulsi Skin Lotion Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dimana emulsi yang terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah (Suryani et al. 2000). Stabilitas emulsi dapat dilihat setelah penyimpanan produk selama waktu simpannya (shelf-life), namun cara ini membutuhkan waktu yang lama, sedangkan siklus pengembangan produk kosmetik relatif singkat. Sehingga digunakan pengujian stabilitas dipercepat untuk memperkirakan stabilitas jangka panjang. Uji stabilitas dipercepat gunanya adalah untuk memprediksi seberapa jauh produk akan tahan terhadap tekanan dan suhu ekstrem (CTFA 2004). Pengujian stabilitas dipercepat dilakukan dengan cara memberikan tekanan tertentu pada produk misalnya dengan agitasi, sentrifugasi, atau teknik manipulasi suhu. Sentrifugasi pada putaran 3750 rpm dalam tabung sentrifugasi setinggi 10 cm selama 5 jam dapat dikatakan ekivalen dengan pengaruh gravitasi selama ±1 tahun (Lachman et al. 1994). Hasil uji stabilitas emulsi dengan menggunakan

103 83 metode sentrifugasi selama 5 jam pada putaran 3750 rpm menunjukkan kestabilan emulsi skin lotion yang baik. Nilai viskositas berkaitan dengan kestabilan emulsi suatu bahan yang artinya berkaitan dengan nilai stabilitas emulsi. Semakin tinggi viskositas suatu bahan, maka bahan tersebut akan semakin stabil karena pergerakan partikel cenderung sulit dengan semakin kentalnya suatu bahan (Schmitt 1992). Produk emulsi yang tidak stabil dapat dilihat secara kasat mata, dimana produk mengalami pemisahan menjadi lapisan-lapisan, terjadi penurunan berat, terjadi perubahan warna, dan bau pada produk. Menuru Suryani et al. (2000), ketidakstabilan emulsi dapat ditunjukkan dalam 3 bentuk yaitu creaming, inverse, dan demulsifikasi. Beberapa usaha untuk mempertahankan stabilititas emulsi suatu produk sebelum emulsi yaitu antara lain pemilihan jenis dan jumlah emulsifier (Suryani et al. 2000). Dalam pembuatan skin lotion dalam penelitian ini digunakan alkil poliglikosida (APG) sebagai stabilizer untuk membentuk dan mempertahankan produk emulsi Nilai ph Nilai ph merupakan nilai yang menunjukkan derajat keasaman suatu bahan, dapat diketahui dengan alat ph meter atau indikato ph. Menurut Wasitaatmadja (1997), produk kosmetika yang memiliki ph sangan tinggi atau sangat rendah dapat menambah daya absorpsi kulit sehingga menyebabkan kulit teriritasi. Oleh sebab itu ph produk kosmetika sebaiknya dibuat sesuai dengan ph kulit yaitu antara 4,5 7,5. Pada hasil pengukuran produk skin lotion dengan surfaktan alkil poliglikosida (APG) didapat bahwa ph-nya bekisar antara 6,0 7,0. Nilai ini merupakan nilai yang terbaca menggunak indikator ph universal dan masih berada dalam kisaran nilai ph 4,5 8,0 yang disyaratkan SNI sehingga produk skin lotion yang dihasilakn relatif aman digunakan pada kulit.

104 Pengembangan Proses Produksi APG Setiap proses produksi yang cocok untuk digunakan pada skala industri harus memenuhi beberapa kriteria. Kemampuan untuk menghasilkan produk dengan sifat-sifat kinerja yang cocok dalam kondisi teknis yang ekonomis merupakan hal yang paling penting. Beberapa aspek lainnya adalah meminimalkan reaksi samping, limbah, dan emisi. Teknologi ini harus cukup fleksibel agar memberikan sifat-sifat dan kualitas yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang dinamis. Sejauh ini proses produksi industri dari APG adalah berdasarkan pada sintesis Fischer. Pabrik produksi modern yang dibangun atas dasar sintesis Fischer merupakan perwujudan dari teknologi yang bebas emisi dan rendah limbah. Keuntungan lain dari sintesis Fischer adalah bahwa rasio alkil monoglikosida dengan alkil oligoglikosida dapat dikontrol dengan tepat pada rentang yang luas dengan mengatur jumlah glukosa dan alkohol lemak dalam campuran reaksi (von Rybinski & Hill, 1998). Proses pembuatan APG dengan sintesis Fischer dapat dilakukan dengan dua varian proses, tergantung pada jenis karbohidrat yang digunakan, yaitu sintesis langsung (proses satu tahap) dan sintesis tidak langsung (proses dua tahap). Pada proses satu tahap bahan bakunya adalah glukosa, sedangkan pada proses dua tahap bahan bakunya bisa glukosa ataupun pati (Eskuchen & Nitsche 1997). Pada pengembangan proses ini, bahan baku yang digunakan dalam sintesis APG adalah pati sagu dan dodekanol. Pati sagu memiliki kelebihan dibandingkan glukosa karena pati sagu banyak tersedia dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa. Selain itu pati sagu tidak mudah terjadi pembentukan warna gelap dari APG. Proses produksi APG melalui proses transasetalisasi dilakukan dengan mereaksikan pati sagu dan butanol dengan perbandingan mol 1:8,5 dan dengan bantuan katalis asam p-toluena sulfonat (ptsa) untuk menghasilkan butil glikosida. Kemudian butil glikosida direaksikan lagi dengan dodekanol dengan adanya katalis PTSA menghasilkan alkil poliglikosida. Pada proses sintesis APG dari pati sagu ini digunakan kondisi optimum yang diperoleh dari hasil optimasi. Diagram alir bahan dapat dilihat pada Gambar 30.

105 Butanol + Air = 2.916,2 kg Residu (AL sisa) = 3.352,0 kg A4 A8 A1 u = 861,14 kg l = 3.333,5 kg = 774,0 kg = 18,3 kg Butanolisis A2 Transasetalisasi A3 Alkohol lemak = 4.203,5 kg PTSA = 9,2 kg DMSO = 45,8 kg A5 Netralisasi A7 A6 NaOH 50% = 24,1 kg Distilasi A9 B B A9 Pelarutan A11 Pemucatan/Bleaching A13 APG 70% = 3.333,3 kg A10 A12 Air = 986,2 kg H2O2 = 46,0 kg Gambar 30 Diagram alir bahan pada proses sintesis APG dengan bahan baku pati sagu.

106 8 Neraca massa per batch pada sintesis APG gu ol Komponen A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A1 (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg likosida+butanol+air ol lemak (AL) 9,2 ol+air AL berlebih 6.065,0 24,1 24,1 Komponen A12 A13 A11 (kg) (kg) (kg) 986,2 70% 2.301, ,3 46,0 h 3.287,3 46, ,3

107 87 Perkiraan biaya Evaluasi ekonomi didasarkan pada asumsi berikut ini: 1. Kapasitas pabrik adalah 1000 ton/tahun alkil poliglikosida. 2. Pabrik beroperasi 300 hari dalam setahun dan setiap hari digunakan dua batch. 3. Bahan baku yang digunakan adalah pati sagu dan dodekanol. 4. Harga alat diperbarui dari tahun 1990 hingga 2010 dengan menggunakan Chemical Engineering Plant Index, dimana I1990 = 356 (Peters & Timmerhaus 1991) dan I2010 = 550,8 (Chemical Engineering 2011). 5. Harga jual alkil poliglikosida Rp /kg Neraca massa pada tiap-tiap alat dihitung berdasarkan neraca massa skala laboratorium pada kondisi optimum. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 18. Kemudian dihitung ukuran peralatan berdasarkan hasil perhitungan neraca massa. Perhitungan ukuran peralatan Reaktor butanolisis Volume bahan baku yang direaksikan pada reaktor ini per batch adalah 2.444,74 L. Bila volume kerja dari reaktor adalah 70%, maka volume reaktor sebenarnya adalah = 3.492,48 L = 3,49 m 3. Dengan menggunakan geometri yang sama dengan skala laboratorium dan faktor perbandingan yang sama (H/D = 1,857) akan diperoleh ukuran reaktor, yaitu: D = 1,34 m dan H = 2,48 m. Hasil perhitungan ukuran untuk peralatan yang lain ditabelkan pada Tabel 19. Penentuan harga alat Harga perkiraan berbagai peralatan untuk tahun tertentu diberikan oleh Peters dan Timmerhaus (1991). Kadang-kadang dalam memperkirakan biaya peralatan sering ditemui bahwa tidak ada data biaya peralatan yang tersedia untuk ukuran alat yang diinginkan. Keadaan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan hubungan logaritmik yang dikenal sebagai aturan faktor enam per sepuluh (sixtenths). Menurut aturan ini, jika biaya dari unit tertentu dengan kapasitasnya

108 88 diketahui, maka biaya unit yang sama dengan kapasitas x dapat dihitung dengan persamaan (Peters & Timmerhaus 1991), dimana alat A dan alat B tipenya sama., Reaktor butanolisis Volume reaktor adalah 3492 L atau 923 gal. Biaya reaktor adalah $US (Peters & Timmerhaus 1991; Gambar 16-35). Jadi biaya reaktor pada tahun 2011 adalah , $ Hasil perhitungan biaya peralatan utama lainnya seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 30 dirangkum dalam Tabel 19. Biaya bahan baku untuk produksi APG ditabelkan pada Tabel 20. Tabel 19 Biaya peralatan utama dalam sintesis APG Peralatan ukuran Volume Jumlah Harga /unit (m 3 ) unit (Rp) Harga (Rp) Reaktor D H, m butanolisis 1,34 2,48 3, Reaktor D H, m transesterifikasi 1,36 2,52 3, Tangki D H, m netralisasi 1,4 1,4 4, Kolom distilasi D H, m 0,8 8,1 4, Tangki pelarutan D H, m 1,5 1,5 2, Tangki pemucat D H, m ,55 1,55 2,94

109 89 Tabel 20 Biaya bahan baku pembuatan APG Komponen Berat Harga (Rp/kg) Total harga (Rp) Pati sagu Butanol 3, dodekanol 4, PTSA DMSO NaOH H2O Modal investasi Komponen biaya langsung diperkirakan sebagai persentase dari biaya pembelian peralatan dan biaya tidak langsung dihitung sebagai persentase dari biaya langsung (Peters & Timmerhaus 1991). Table 21 meringkaskan berbagai komponen modal investasi dan persentase yang digunakan dalam estimasinya. Total modal investasi diperkirakan $US seperti yang ditunjukkan pada Tabel 21. Berbagai komponen total biaya produk tahunan diperkirakan sebagai persentase berbagai komponen biaya seperti yang dituangkan dalam Tabel 22 (Peters & Timmerhaus 1991).

110 90 Tabel 21 Perkiraan total modal investasi I. Biaya Langsung (BL) Asumsi (%) Biaya (Rp) A. Peralatan+instalasi+instrumentasi+pemipaan+ Listrik+isolasi+pengecatan 1. Biaya pembelian peralatan (BPP) Instalasi, termasuk isolasi dan pengecatan (25-55% dari BPP) Instrumentasi dan pengendalian, terpasang (6-30% dari BPP) Pemipaan, terpasang (10-80% dari BPP) Listrik, terpasang (10-40% dari BPP) B. Bangunan, proses dan unit bantu (10-70% BPP) C. Fasilitas layanan dan pengembangan lahan (40-100% dari BPP) D. Tanah (4-8% dari BPP) Total biaya langsung (TBL) II. Biaya tidak langsung (BTL) A. Engineering dan supervisi (5-30 dari TBL) B. Jasa kontraktor dan pengeluaran untuk konstruksi (6-30% dari TBL) C. Contingency (5-15% dari MIT) Total biaya tidak langsung (TBTL) III. Modal investasi tetap (MIT) = TBL + TBTL IV. Modal kerja (MK) : 10-20% TMI V. Total modal investasi (TMI) = MIT + MK

111 91 Tabel 22 Perkiraan Total biaya produksi APG per tahun I. Biaya Produksi (BP) Asumsi (%) Biaya (Rp) A. Biaya Produksi Langsung (BPL) 1. Bahan baku pekerja (10-20% dari TBP) Supervisi langsung dan pekerja lepas ( % dari pekerja) 4. Utilitas (10-20% dari TBP) Perawatan dan perbaikan (2-10% dari MIT) Alat bantu untuk operasi (operating supplies) (0,5-1% dari MIT) 7. Laboratorium (10-20% dari pekerja) Paten dan royalti (0-6% dari TBP) 0 0 B. Pengeluaran Tetap (PT) 1. Depresiasi (10% dari MIT untuk mesin dan peralatan, dan 2-3% nilai bangunan untuk bangunan 2. Pajak lokal (1-4% dari MIT) Asuransi (0,4-1% dari MIT) Bunga pinjaman (8-12% nilai tanah dan bangunan) 0 C. Biaya overhead pabrik Plan-overhead cost (50-70% dari biaya pekerja, supervisi dan perawatan) Biaya Produksi Total (BPT) = A + B + C II. Pengeluaran Umum (PU) A. Biaya administrasi (15% dari biaya pekerja, supervisi dan perawatan) B. Biaya penjualan dan distribusi (2-20% dari TBP) C. Biaya penelitian dan pengembangan (5% dari 0 0 TBP) D. Bunga niaga (0-10% TMI) Total Pengeluaran Umum (TPU) III. Total biaya produksi (TBP) = BP + PU IV. Keuntungan kotor = total pendapatan - TBP

112 92 Produksi APG per tahun adalah 1000 ton. Harga jual APG Rp 44500/kg. Jadi total pendapatannya adalah: Pendapatan kotor adalah Misal pajak 20% dari pendapatan kotor, pajak = Rp Laba bersih adalah: Laju pengembalian modal (ROI) adalah 100% % 44,16% 4.6 Peningkatan Skala Reaktor Dalam peningkatan skala reaktor selain digunakan pendekatan kesamaan geometri antara skala laboratorium dan skala pilot juga digunakan kesamaan bilangan Reynolds dan daya per satuan volume. Dengan demikian diharapkan produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang sama dengan produk pada skala laboratorium. Ukuran reaktor yang digunakan pada skala laboratorium adalah diameter dalam 7 cm dan tinggi 13 cm. Aspek rasionya (yang didefinisikan dengan tinggi reaktor dibagi dengan diameter reaktor) adalah 1,857. Diinginkan dalam

113 93 peningkatan skala volume reaktornya adalah 20 kali dari volume skala laboratorium. Parameter-parameter penting dalam reaktor berpengaduk adalah kecepatan impeller (N), diameter impeller (Di), diameter tangki (DT), daya (P), sifat-sifat fluida yaitu density ( ) dan viskositas ( ). Dengan menggunakan analisa dimensi dan pendekatan Rayleigh: a e f N Dib DTc P d konstanta (35) M L2 d e 1 a b c M M ( tanpa dimensi (36) 3 L3 L f Dengan menyamakan ruas kiri dan kanan diperoleh: L : M : b c 2d 3e f 0 (37) d e f 0 (38) : a 3d f 0 (39) Ada enam bilangan tak diketahui dan tiga persamaan. Jadi, jumlah bilangan tak berdimensi adalah 3 (yaitu, 6 3=3). Dari Pers. (39), diperoleh: a 3d f (40) Dari Pers. (38): e d f (41) Dengan mensubstitusikan Pers. (40) dan (41) ke dalam Pers. (37), menghasilkan: b c 2d 3 ( d f ) f c 5d 2 f (42) Dengan menggunakan semua hasil-hasil ini ke dalam Pers. (35) diperoleh N 3d f D i c 5d 2 f D T c P d d f f konstanta (43) Dengan menyusun kembali Pers. (9): D T D i c P 3 5 N Di d N D i 2 f konstanta (44)

114 94 Suku pertama Pers. (44) adalah rasio geometri, yaitu berbanding terbalik dengan D i D T. Suku kedua adalah bilangan power, dan ketiga adalah berbanding terbalik dengan bilangan Reynolds. Persamaan (44) dapat ditulis dengan N Po k (D DT ) c (N Re ) f (45) i Kesamaan geometri dalam peningkatan skala dapat didefinisikan dengan satu faktor skala R, yaitu rasio antara dimensi-dimensi agitator skala kecil dan skala besar: R (D i ) 2 (D i ) 1 (D T ) 2 (D T ) 1 H 2 H 1 (46) dimana subskrip 2 untuk agitator skala besar dan 1 untuk skala kecil. Karena H D T konstan untuk scale-up dan (H D T ) skala kecil adalah 1,857. Jadi, H 1,857 D T (47) Volume reaktor, 1,857 V DT2 (1,857 DT ) DT3 (48) 4 4 Jadi faktor skala dalam term volume adalah: R (D T ) 2 (D T ) 1 V 2 V (49) Persamaan-persamaan yang digunakan dalam scale-up adalah: P V 2 P V 1 D T, 2 D T,1 m (50) T q V 2 T q V 1 D T, 2 D T,1 x (51) N 2 N 1 D i,1 D i,2 n (52)

115 95 Persamaan (50) adalah daya per satuan volume, Pers. (51) adalah torsi per satuan volume. Bila daya per satuan volume ditetapkan sama: (P V ) 2 (P V ) 2 1 (53) Daya per satuan volume berbanding lurus dengan kecepatan pengaduk pangkat tiga dan diameter impeller pangkat dua: P V 3 N Di2 (54) Substitusikan Pers. (20) ke dalam (19), diperoleh N 1 3 D i 2,1 N 2 3 D i 2,2 N 2 N 1 D i,1 D i,2 2 3 (55) Dari hasil peningkatan skala diperoleh reaktor dengan ukuran diameter dalamnya 19 cm dan tingginya 35,3 cm. Volume reaktor adalah 10 liter. Desain teknis dari reaktor dapat dilihat pada Gambar L2 (Lampiran 10). Reaktor untuk sintesis APG pada tahap ini merupakan reaktor berpengaduk double jacket dengan media pemanasnya silicone oil yang dipanaskan dengan elemen pemanas ( 1500 watt). Reaktor ini dilengkapi dengan pressure gauge, vacuum pressure, safety valve, port thermometer, port kondensor, port umpan, dan motor pengaduk ½ PK. Tipe pengaduk yang digunakan adalah tipe anchor, karena tipe ini lebih baik untuk fluida yang viskos dan aliran laminer. Material yang digunakan dalam pembuatan reaktor adalah stainless steel SUS 316 dengan ketebalan 8 mm. Gambar 31 menunjukkan desain reaktor utama skala 10 L.

116 96 Gambar 31 Reaktor utama untuk sintesis APG skala 10 L. Pada alat pressure gauge dan vacuum pressure dipasang kran (valve) untuk mengatur tekanan. Pada proses butanolisis yang memerlukan tekanan tinggi kran pressure gauge dibuka sedangkan kran vacuum pressure dan kran pada kondensor ditutup. Pada proses transasetalisasi dan distilasi yang memerlukan tekanan vakum kran vacuum pressure dan kran pada kondensor dibuka sedangkan kran pressure gauge ditutup. Kondensor yang digunakan tipe shell and tube dengan diameter 10 cm dan panjang 100 cm. Separator dan tangki silika gel berupa tabung dengan diameter 21,7 cm dan tinggi 40,7 cm. Material yang digunakan untuk kondensor, separator, dan tangki silika gel dari stainless steel. Gambar kondensor, separator, dan tangki silika gel dapat dilihat pada Gambar 32. Setting alat untuk sintesis APG secara lengkap dapat dilihat Gambar 33. Pada rancang bangun reaktor ini dibutuhkan katrol untuk membantu mengangkat tutup reaktor ke atas pada saat tutup tersebut dibuka, karena beratnya tutup reaktor yang bersatu dengan motor pengaduk.

117 97 (a) Kondensor (b) Separator dan tangki silika gel Gambar 32 Kondensor, separator, dan tangki silika gel. Gambar 33 Setting alat untuk sintesis APG skala 10 L.

118 Neraca Massa dan Yield Diagram alir proses sintesis APG ditunjukkan pada Gambar 34. Neraca massa digunakan untuk mengetahui jumlah aliran bahan masuk dan bahan keluar dalam suatu proses berdasarkan hukum kekekalan massa. Neraca massa total suatu sistem pada keadaan tunak adalah: Massa bahan masuk Massa bahan keluar = 0 Neraca massa keseluruhan pada keadaan tunak adalah (Tabel 23): massayang masuk massayang keluar (1 2 4) (3 5 6) 3 Butanol Air 5 Fatty alkohol berlebih 1 Pati sagu Butanol Air p-tsa Butanolisis Transasetalisasi Netralisasi 2 Fatty alkohol p-tsa DMSO 4 NaOH Distilasi 6 APG Gambar 34 Diagram alir proses sintesis APG.

119 99 Tabel 23 Neraca massa keseluruhan pada keadaan tunak Masuk Keluar Komponen Jumlah (g) Komponen Jumlah (g) Butanolisis Pati sagu 700,00 Butanol 2.712,57 Air 631,14 p-tsa (katalis) 12,22 Transasetalisasi Alkohol lemak C12 p-tsa 2.305,46 6,11 Butanol + air 2.265,96 DMSO 31,68 Netralisasi NaOH 50% 3,80 Distilasi Alkohol lemak C ,70 Alkil Poliglikosida (APG) 1.837,00 Hilang (menguap + yang tidak terambil) 347,31 Total 6.402,97 Total 6.402,97 Adapun yield yang diperoleh adalah: Yield APG yang terbentuk bahan baku 100% Yield 1.837,00 700, , ,46 100% 32,13%

120 Karakteristik APG pada Skala 10L Analisa Gugus Fungsi APG Dengan FTIR Analisa gugus fungsi APG dari pati sagu yang dihasilkan pada skala 10 L dilakukan dengan FTIR. Gambar spektrum FTIR dari APG yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 11. Gugus eter (C-O-C) pada APG hasil sintesis terdapat pada serapan jumlah gelombang cm 1 sedangkan APG komersial terdapat pada serapan jumlah gelombang 1.151,73 cm 1. Gugus OH pada APG hasil sintesis terdapat pada serapan jumlah gelombang cm 1 sedangkan APG komersial terdapat pada serapan jumlah gelombang 3.400,34 cm 1. Hal ini sesuai pendapat Sukkary et al. (2008), bahwa gugus O H terbentuk pada serapan jumlah gelombang cm 1. Komponen gugus-gugus utama dari APG telah telah terbentuk seperti terlihat pada Lampiran 11 atau pada Tabel 24. Dari Tabel 24 terlihat nilai pita serapan yang sama antara APG yang dihasilkan pada skala besar dan pada skala kecil. Hal ini menandakan bahwa komponen-komponen utama dari APG yang dihasilkan pada skala besar sama dengan komponen-komponen pada APG skala kecil Tegangan Permukaan Nilai tegangan permukaan dari larutan encer APG yang dihasilkan pada beberapa konsentrasi (mulai dari 0,1 1,0% b/v) dapat dilihat pada Gambar 35. Dari Gambar 35 terlihat bahwa penurunan tegangan permukaan APG yang dihasilkan pada skala kecil hampir sama dengan tegangan permukaan APG yang dihasilkan pada skala besar.

121 101 Tabel 24 Karakteristik puncak dari APG yang dihasilkan Gugus fungsi Jumlah gelombang (cm 1 ) APG-K APG-PS APG-PS 10 L CH2 (CH2)n ganda 721,26 720, Tekuk asimetrik 1.465, , Ulur simetrik 2.853, , Ulur asimetrik 2.923, , O H 3.400, , C O 1.050, , C O C 1.151, , Teganganpermukaan(mN/m) APG Skala 10L APG Skala 0,5L Konsentrasi APG (%b/v) Gambar 35 Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG Tegangan Antarmuka Gambar 36 menunjukkan variasi tegangan antarmuka dari larutan APG yang dihasilkan pada berbagai konsentrasi. Dari hasil pengukuran menunjukkan tegangan antarmuka dari larutan APG yang dihasilkan berbanding lurus dengan tegangan permukaan, hanya nilai tegangan antarmuka lebih kecil. Hasil ini didukung oleh Moecthar (1989) yang menyatakan bahwa tegangan antarmuka

122 102 sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama. Dari Gambar 36 terlihat bahwa penurunan tegangan antarmuka dari larutan APG yang dihasilkan pada skala kecil sedikit lebih baik daripada larutan APG yang dihasilkan pada skala besar. 25 Teganganantarmuka(mN/m) APG Skala 10L 20 APG Skala 0,5L Konsentrasi APG (%b/v) Gambar 36 Tegangan antarmuka air-xilen pada berbagai konsentrasi APG Stabilitas emulsi Stabilitas emulsi dicirikan dengan perilaku parameter dasarnya yang tergantung waktu. Stabilitas emulsi ini penting dalam memahami pembentukan emulsi, karena stabilitas adalah tujuan akhir atau ukuran dari seluruh proses (Fingas & Fieldhouse, 2004). Stabilitas emulsi air-xilena dengan adanya APG 0,1% pada hasil sintesis APG dari pati sagu pada skala 10 L adalah 75%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan stabilitas emulsi yang diperoleh pada skala 1 L, yaitu berkisar antara 35,8 76,2% Hydrophile-Lipophile Balance (HLB) Harga HLB ditentukan dengan mencari persamaan linier dari jenis surfaktan yang telah diketahui nilai HLBnya. HLB dari larutan APG yang dihasilkan ditentukan dengan menggunakan persamaan linier yang diperoleh dari kurva standard, harganya adalah 8,63. Sedangkan harga HLB yang diperoleh pada skala

123 103 kecil adalah 8,81. Berdasar konsep Grifin dalam Holmberg et al (2003), APG hasil yang dihasilkan pada skala besar (10 L) dan skala kecil tergolong dalam pengemulsi O/W dan bahan pembasah. 4.7 Analisis Kelayakan Finansial Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat profitabilitas pada produksi surfaktan alkil poliglikosida dari pati sagu dan fatty alcohol minyak kelapa. Untuk itu disusun komponen biaya untuk keperluan analisis produksi surfaktan alkil poliglikosida pada kapasitas produksi ton/tahun. Penilaian kelayakan dilakukan dengan menggunakan kriteria kelayakan investasi, yaitu: (1) NPV (Net Present Value), (2) IRR (Internal Rate of Return), (3) Net B/C (Net Benefit-Cost), (4) PBP (Pay Back Period). Analisis finansial produksi surfaktan alkil poliglikosida dari pati sagu dan alkohol lemak (fatty alcohol) didasarkan pada beberapa asumsi dasar sesuai dengan kondisi actual pada saat analisis. Asumsi dasar yang digunakan pada perhitungan analisis finansial ini adalah: 1. Umur ekonomis pabrik ditetapkan selama 10 tahun. 2. Harga-harga yang digunakan adalah harga pada tahun 2010 dan diasumsikan konstan selama periode pengkajian. 3. Pabrik beroperasi 300 hari dalam setahun dan setiap hari digunakan satu batch. 4. Tahun proyek dimulai pada tahun ke-0, yaitu tahun pembangunan proyek. Produksi dimulai pada tahun ke-1 dengan kapasitas produksi direncanakan sebesar 80%, pada tahun ke-2 berproduksi 90%, dan pada tahun ke-3 dan seterusnya akan berproduksi 100%. 5. Struktur biaya terdiri dari 40% modal sendiri dan 60% berasal dari pinjaman bank. Tingkat suku bunga sebesar 18% per tahun dengan jangka waktu pinjaman selama 10 tahun dengan sistem perhitungan bunga secara efektif menurun. 6. Penyusutan dihitung berdasarkan metode garis lurus dengan salvage value diasumsikan sama dengan nol. 7. Biaya perawatan (maintenance) diasumsikan bernilai 5% dari nilai investasi.

124 Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan suatu investasi. Dalam analisis pendirian industri surfaktan alkil poliglikosida ini, biayabiaya yang dikeluarkan meliputi: Modal Tetap. Modal tetap merupakan modal awal yang dikeluarkan untuk pembelian barang-barang, yaitu berupa tanah, bangunan dan infrastrukturnya, peralatan, pemasangan alat, alat instrumentasi dan control, sistem pemipaan, peralatan listrik, dan fasilitas lainnya. Total investasi merupakan jumlah dari Investasi Langsung dan Investasi Tidak Langsung. Investasi Langsung meliputi biaya pembelian peralatan, pemasangan alat, alat instrumentasi dan control, system pemipaan, peralatan listrik, pembelian tanah, bangunan dan fasilitas lainnya. Sedangkan Investasi Tidak Langsung meliputi engineering dan supervisi, biaya konstruksi dan kontingensi. Besarnya Modal Tetap adalah sebesar Rp ,- Modal Kerja. Modal Kerja menunjukkan modal awal yang dibutuhkan untuk menjalankan pabrik sesuai dengan rencana produksi, antara lain uang muka, biaya tenaga kerja, biaya bahan baku, biaya overhead. Besarnya Modal Kerja adalah sebesar Rp ,- Dana investasi dari proyek ini tidak sepenuhnya berasal dari modal sendiri, tetapi memanfaatkan pinjaman bank. Angsuran pinjaman diasumsikan sama untuk setiap tahunnya dan dibayar selama 10 tahun. Besarnya pinjaman bank adalah Rp. 15,867,412,756,- dan besarnya modal sendiri adalah Rp , Biaya Produksi Biaya produksi setiap tahun meliputi biaya produksi langsung, biaya produksi tidak langsung, biaya produksi tetap dan general expense. Biaya produksi langsung meliputi biaya bahan baku, tenaga kerja, supervise, pemeliharaan, plant supplies, utilitas. Biaya produksi tidak langsung meliputi biaya laboratorium, payroll overhead, pengemasan. Biaya produksi tetap meliputi pajak bumi dan bangunan, asuransi, dan penyusutan. General expense meliputi

125 105 biaya administrasi, biaya penjualan, riset dan pengembangan, bunga dan cicilan bank. Penyusutan adalah penurunan nilai dari suatu benda akibat dari pertambahan umur pemakaian. Hal yang mengakibatkan penyusutan antara lain adalah adanya bagian yang rusak atau aus karena lamanya pemakaian sehingga benda tersebut tidak berfungsi semaksimal tahun-tahun awal pemakaian. Penyusutan dihitung dengan metode garis lurus. Biaya overhead tetap meliputi biaya tenaga kerja tidak langsung, asuransi dan biaya pemeliharaan. Biaya produksi tidak tetap adalah biaya yang jumlahnya berubah, tergantung pada volume penjualan. Biaya ini meliputi biaya pemakaian bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya angkut, dan biaya overhead. Biaya tidak tetap meliputi elemen-elemen biaya bahan baku dan tenaga kerja. Harga Penjualan Produk Harga jual alkyl poliglikosida ditetapkan Rp ,-/kg. Proyeksi Laba-Rugi Proyeksi laba-rugi berguna untuk menggambarkan jumlah keuangan pada periode tertentu selama umur industri. Perhitungan laba-rugi untuk industri surfaktan alkil poliglikosida dari pati sagu dan alkohol lemak dapat dilihat pada Lampiran 12. Arus Kas Penerimaan dan Pengeluaran (Cash Flow) Arus kas adalah penerimaan dan penjualan kas tahunan yang menunjukkan transaksi uang tunai yang berlangsung selama periode kajian. Arus kas meliputi laba bersih, nilai penyusutan, dan nilai sisa modal. Proyeksi arus kas dapat dilihat pada Lampiran Kriteria investasi Berdasarkan arus kas proyek yang telah dibuat, maka kriteria penilaian investasi dapat ditentukan, yang meliputi penilaian Net Present Value (NPV),

126 106 Internal rate of Return (IRR), Net Benefit Cost (Net B/C), dan Payback Period (PBP). Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present value arus keuntungan dengan present value arus biaya, merupakan nilai sejumlah uang saat ini, keuntungan atau net cash flow yang akan diterima pada masa yang akan dating. Apabila NPV 0, maka proyek dapat dijalankan, jika NPV 0 maka proyek ditolak, berarti proyek tersebut mengembalikan persis seperti modal. Besarnya NPV adalah Rp ,- Internal rate of Return (IRR) merupakan tingkat keuntungan yang akan diperoleh investor proyek. Merupakan discount rate (i) yang membuat NPV proyek sama dengan nol. Jika IRR 1, maka proyek layak untuk dijalankan. Besarnya IRR adalah 36,48%. Net Benefit Ratio (Net B/C) merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang positif (sebagai pembilang) dengan jumlah present value yang negatif (sebagai penyebut). Besarnya Net B/C adalah 1,34. Payback Period (PBP) Metode Payback Period memberikan gambaran pada investor seberapa cepat proyek ini mengembalikan investasi yang tertanam. Satuan yang digunakan adalah waktu. Semakin pendek PBP, proyek menjadi semakin menarik. Besarnya PBP adalah 2,77 tahun Analisis Sensitivitas Analisis sensitifitas kelayakan usaha digunakan untuk mengantisipasi resiko usaha di kemudian hari. Untuk mengetahui dampak perubahan harga jual APG dan biaya operasional terhadap besarnya pendapatan dan biaya tetap serta biaya variabel, maka akan dilakukan beberapa simulasi yang dinamakan dengan analisis sensitivitas usaha. Sensitivitas kelayakan usaha ini dilakukan pada 2 komponen, yaitu komponen pendapatan dan komponen bahan baku yang dilakukan melalui 3 skenario, yaitu:

127 107 Skenario I: Harga bahan baku mengalami kenaikan sebesar 10%, 20%, dan 30%, sedangkan pendapatan tetap. Hasil analisis sensitivitas untuk Skenario I disajikan pada Tabel 25. Dari tabel tersebut terlihat bahwa bahwa peningkatan harga bahan baku sebesar 10% dan 30 % masih dapat ditoleransi. Namun kenaikan biaya bahan baku di atas 30% akan menyebabkan usaha pengolahan APG ini tidak layak untuk dilaksanakan karena IRR kurang dari tingkat bunga kredit dan NPV negatif. Tabel 25 Hasil analisis sensitivitas Skenario I No. Kriteria Kelayakan Usaha Harga bahan baku naik 10% 20% 30% 1 Net Present Value (Rp) 15,532,952,383 8,343,439, Internal Rate of 29,98 24,16 18,82% Return (%) 3 Net B/C 1,23 1,14 1,06 4 Break Even Point ,106 (kg/thn) 5 Payback Period ,53 6,03 (tahun) Skenario II: Pendapatan mengalami penurunan sebesar 10%, 20%, dan 22%, sedangkan biaya investasi dan biaya operasional dianggap tetap. Penurunan pendapatan bisa diakibatkan oleh penurunan harga APG di pasaran karena jumlah permintaan yang menurun ataupun terjadinya fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang cukup tajam. Hasil analisis sensitivitas untuk Skenario II disajikan pada Tabel 26. Dari tabel tersebut terlihat bahwa penurunan pendapatan sebesar 10% hingga 22% tidak akan menyebabkan usaha pengolahan APG ini mengalami kerugian. Namun jika penurunan pendapatan ini melebihi 22%, maka dapat disimpulkan bahwa usaha ini akan mengalami kerugian.

128 108 Tabel 26 Hasil analisis sensitivitas Skenario II No. Kriteria Kelayakan Usaha Pendapatan Berkurang 10% 20% 22% 1 Net Present Value (Rp) 12,430,983,266 2,139,501,705 81,205,393 2 Internal Rate of Return (%) 28,55 19,93 18,07 3 Net B/C 1,21 1,07 1,04 4 Break Even Point (kg/thn) Payback Period (tahun) 3,73 5,70 6,37 Skenario III: Skenario ini merupakan gabungan dari Skenario I dan Skenario II, yaitu diasumsikan penerimaan mengalami penurunan dan pada saat bersamaan bahan baku mengalami peningkatan. Hasil analisis sensitivitas untuk Skenario III disajikan pada Tabel 27. Pada skenario III ini menunjukkan simulasi adanya perubahan pada pendapatan pengusaha maupun harga bahan baku secara bersamaan. Jika pendapatan mengalami penurunan sebesar 13% dan harga bahan baku naik sebesar 13%, dapat disimpulkan bahwa usaha ini sudah akan mengalami kerugian. Tabel 27 Hasil analisis sensitivitas Skenario III No. Kriteria Kelayakan Usaha Penurunan harga bahan baku dan Peningkatan pendapatan 13% 1 Net Present Value (Rp) Internal Rate of Return (%) 18,00 3 Net B/C 1,04 4 Break Even Point (kg/thn) Payback Period (tahun) 6,37

129 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan: 1. Kondisi proses optimum untuk sintesis APG satu tahap diperoleh pada rasio mol glukosa dengan dodekanol 1:3 dan suhu 120 o C dengan yield APG yang dihasilkan adalah 29,31% dan persamaan model adalah 25,89 2,11 1, Kondisi proses optimum untuk sintesis APG dua tahap diperoleh pada rasio mol pati sagu dengan dodekanol 1:4,57 dan suhu 143,89 o C dengan respon yield APG sebesar 39,04% dan persamaan model adalah. 38,42 1,08 2,72 3,48 3,64 0,56 3. Karakteristik APG yang dihasilkan dari glukosa dan dari pati sagu tidak jauh berbeda dengan karakteristik APG komersial. Parameter yang dilihat adalah tegangan permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi, HLB, dan konfirmasi struktur dengan FTIR. 4. Kesesuaian persamaan keadaan permukaan yang diturunkan dari isotherm Langmuir dengan data tegangan permukaan dan antarmuka baik. 5. Stabilitas skin lotion pada suhu ruang cukup stabil, dan stabilitas yang dipercepat dengan sentrifus 3750 rpm selama 5 jam juga stabil. 6. Dari pengembangan proses didapatkan bahwa sintesis APG dari pati sagu dapat dilanjutkan ke tahap produksi komersial. 7. Dari hasil analisis finansial bahwa industri APG ini layak untuk direalisasikan dengan kriteria NPV sebesar Rp ; IRR sebesar 36,48%; PBP selama 2,77 tahun; net B/C sebesar 1,34.

130 Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disarankan: 1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai proses pemurnian agar produk APG lebih jernih lagi. 2. Perlu kajian lanjutan mengenai aplikasi APG dalam suatu produk sehingga dapat dievaluasi pengaruh proses pemurnian terhadap berbagai konsentrasi APG.

131 DAFTAR PUSTAKA Adamson AW, Gast AP Physical Chemistry of Surfaces. 6 th ed. New York: John Wiley & Sons, Inc. Al-Sabagh AM The relevance HLB of surfactants on the stability of asphalt Emulsion. Coll Surf A: Physicochem Eng Aspects. 204: Balsam MS, Gerson SD, Reiger MM, Sagarin E, Striange SJ Cosmetics Science and Technology. United States of America. Balzer D, Lüders H, editor Nonionic surfactants: Alkyl polyglycosides. New York: Marcel Dekker, Inc. Barnett G Emollient Cream and Lotions. Di dalam Cosmetic Science Technology. Volume I. New York: Willey-Interscience. Böge K, Tietze LF Synthesis of alkyl polyglycosides: Effect of catalysttype on reaction rate and product composition. Fett/Lipid 100(2): S Borwankar RP, Wasan DT Kinetics of adsorption of ionic surfactants at gas-liquid surfaces. Chem Eng Sci 41(1): Butler H Poucher s Perfumes, Cosmetics, and Soaps. 10 th Edition. The Netherland : Kluwer Academic Publishers. Camblor MA, Corma A, Iborra S, Miquel S, Primo J, Valencia S Beta zeolite as a catalyst for the preparation of alkyl glucoside surfactants: The role of crystal size and hydrophobicity. J Catal 172: Chang CH, Franses, EI Adsorption dynamics of surfactants at the air/water interface: a critical review of mathematical models, data, and mechanisms. Coll Surf A: Physicochem Eng Aspects. 100:1 45. Chapat J-F, Finiels A, Joffre J, Moreau C Synthesis of butyl- and -Dglucopyranosides in the presence of dealuminated H Y faujasites: Kinetic study, mechanism, stereoelectronic effects, and microreversibility principle. J Catal 185: Chattoraj DK, Birdi KS Adsorption and the Gibbs Surface Excess. New York: Plenum Press. Chemical Engineering Economic indicators. 111(8):56. Climent MJ, Corma A, Iborra S, Miquel S, Primo J, Rey F Mesoporous materials as catalysts for the production of chemicals: synthesis of alkyl glucosides on MCM-41. J Catal 183:76 82.

132 112 Corma A, Iborra S, Miquel S, Primo J Preparation of environmentally friendly alkylglucoside surfactants using zeolites as catalysts. J Catal 161: Corma A, Iborra S, Miquel S, Primo J Preparation of long-chain alkyl glucoside surfactants by one-step direct Fischer glucosidation, and by transacetalation of butyl glucosides, on beta zeolite catalysts. J Catal 180: CTFA Guidelines on stability testing of cosmetic product, cosmetic toiletry an fragrance association. Washington DC. Davis HT Factors determining emulsion type: hydrophile-lipophile balance and beyond. Coll Surf A: Physicochem Eng Aspects 91:9 24. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Kodeks Kosmetik Indonesia Vol. I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Eastoe J, Dalton JS Dynamic surface tension and adsorption mechanisms of surfactants at the air-water interface. Adv Colloid Interface Sci. 85(2): Edgar J The function and use of cosmetic ingredients. the-function-and-use-of-cosmetic-ingredients/ [11 Oktober 2010]. El-Sukkary MMA, Syed NA, Aiad I, El-Azab WIM Synthesis and characterization of some alkyl polyglycosides surfactants. J Surfact Deterg 11(2): Eskuchen R, Nitsche M Technology and production of alkyl poliglycosides. Di dalam: Hill K, von Rybinski W, Stoll G, Editor. Alkyl Polyglicosides: Technology, Properties and Applications. Weinheim. Germany: VCH Verlagsgesellschaft mbh. hlm Fingas M, Fieldhouse B Formation of water-in-oil emulsions and application to oil spill modelling. J Hazard Mat 107(1-2): Flider FJ Commercial consideration and markets for naturally derived biodegradable surfactant. Inform 12(12): Frauenkron M, Melder JP, Ruider G, Rossbacher R, Hoke H Ethanolamides and Propanolamines. Ullmann s Encyclopedia of Industrial Chemistry. Weinheim: Wiley-VCH. Giribabu K, Ghosh P Adsorption of nonionic surfactants at fluid fluid interfaces: Importance in the coalescence of bubbles and drops. Chem Eng Sci. 62: Hannuksela M, Salao H The repeated open application test (ROAT). Contact Dermatitis, 14, 221. Di dalam Smolinske SC Handbook of Foood, Drug, and Cosmetic Excipients. USA: CRC Press.

133 113 Hart Kimia Organik. Suatu Kuliah Singkat Edisi ke-11. Jakarta: Erlangga. Herliana E Fraksinasi pati sagu (Metroxylon sp.) dengan metode pelarutan air panas. Fateta IPB. Bogor. Hill K, von Rybinski W, Stoll G, editor Alkyl Polyglycosides: Technology, Properties and Applications. Weinheim. Germany: VCH Verlagsgesellschaft mbh. Hill K, Rhode O Sugar-based surfactants for consumer products and technical applications. Fett/Lipid 101(1):S Holmberg K Natural surfactants. Curr Opin Coll Interface Sci 6: Kalavathy MH, Regupathi I, Pillai MG, Miranda LR Modelling, analysis and optimization of adsorption parameters for H3PO4 activated rubber wood sawdust using response surface methodology (RSM). Coll Surf B: Biointerfaces 70: Kamel BS Emulsifier. New York: van Nostrand Reinhoid. Kirk RE, Othmer DF Encyclopedia of Chemical Technology. Vol. 1. The Interscience Encyclopedia Inc., New York. Kuang D, Obaje OJ, Ali AM Synthesis and characterization of acetylated glucose fatty esters from palm and palm kernel oil fatty methyl esters. J Oil Palm 12(2): Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL, diterjemahkan oleh Siti Suyatmi, 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri II. edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Limbongan J Morfologi beberapa jenis sagu potensial di Papua. J Litbang Pertanian, 26(1): Lin SY, Lu TL, Hwang WB Adsorption kinetics of decanol at the air-water interface. Langmuir. 11(2): Lin SY, McKeigue K, Maldarelli C Diffusion-limited interpretation of the induction period in the relaxation in surface tension due to the adsorption of straight chain, small polar group surfactants: theory and experiment. Langmuir. 7(6): Lin SY, Wang WJ, Hsu CT Adsorption kinetics of 1-octanol at the airwater interface. Langmuir. 13(23): Lüders H Synthesis of alkyl glucosides and alkyl polyglucosides. Di dalam: Balzer D, Lüders H, editor. Nonionic Surfactants: Alkyl Polyglycosides. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm Lueders H, penemu; Hüls Aktiengesellschaft. 5 Feb Method of manufacturing alkyloligoglycosides. US patent 4,990,605.

134 114 Lueders H, penemu; Hüls Aktiengesellschaft. 11 Apr Process for producing colorless butyloligoglycosides. US patent 4,820,814. Matheson Surfactant raw materials. Clasification, synthesis, and uses. In: Soap and Detergen: A Theoretical and Practical Review. Spitz, L.. (Ed.). AOCS Press, Champaign, Illinois. McClements DJ, Demetriades K An integrated approach to the development of reduced-fat food emulsions. Crit Rev Food Sci Technol 38: McCurry Jr PM, Klein Jr RL, Gibson MW, Beaulieu JD, Varvil JR, penemu; Henkel Corporation. 8 Nov Continuous bleaching of alkyl polyglycosides. US patent 5,362,861. McCurry Jr PM, Pickens CE, penemu; Henkel Kommanditgesellschaft auf Aktien. 21 Aug Process for preparation of alkylglycosides. US patent 4,950,743. McDaniel Jr RS, McCurry PM, Short RWP, Glor PR, penemu; Staley Continental, Inc. 9 Agst Decolorization of glycosides. US patent 4,762,918. Mehling A, Kleber M, Hensen H Comparative studies on the ocular and dermal irritation potential of surfactants. J Food and Chem Toxicol 14: Montgomery DC Design and Analysis of Experiments. 5 th ed. New York: John Wiley & Sons. Myers D Surfactant Science and Technology. 3 rd ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Nikitakis JM CTFA Cosmetic Ingredients Handbook 1 st ed. CTFA, 2004, Guidelines on Stability Testing of Cosmetic Product, Cosmetic Toiletry an Fragrance Association, Washington DC. Di dalam Smolinske, S. C Handbook of Food, Drug, and Cosmetic Excipients. Boca Raton: CRC Press. Noerdin M Perancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Dodekanol serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nussinovitch A Hydrocolloid Applications. London: Blavkie Academic & Professional. Paul BK, Moulik SP Uses and applications of microemulsions. Current Sci 80(8): Peters MS, Timmerhaus, KD Plant Design and Economics for Chemical Engineers. 4 th ed. Singapore: McGraw-Hill Book Co.

135 115 Porter M.R Handbook of Surfactant. New York: Chapman & Hall. Presents Z All about fatty alcohol. [13 Maret 2010]. Prosser AJ, Franses EI Adsorption and surface tension of ionic surfactants at the air-water interface: review and evaluation of equilibrium models. Coll Surf A: Physicochem Eng Aspects 178:1 40. Rieger MM Surfactant in Cosmetic. Surfactant Science Series. Marcel Dekker Inc., New York. Rodriguez VB, Alameda EJ, Requena AR, López AIG, Bailón-Moreno R, Aranda MC Determination of Average Molecular Weight of Commercial Surfactants: Alkylpolyglucosides and Fatty Alcohol Ethoxylates. J Surfact Deterg 8(4): Rosen MJ Surfactants and Interfacial Phenomena. 3 rd ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Rousseau D Fat crystals and emulsion stability a review. Food Res Int 33:3 14. Sadi S Gliserolisis Minyak Sawit dan Inti Sawit dengan Piridin. Buletin PPKS 2(3): Samad MY Meningkatkan produksi industri kecil sagu melalui penerapan teknologi ekstraksi semi mekanis. J Sains Teknol BPPT 4(5): Schmitt WH Skin care products. Di dalam Williams DF dan Schmitt WH (Ed) Chemistry Technology: Cosmetics and Toiletries Industry. London: Blackie Academe and Professional. Singh SK Handbook on Cosmetics (Processes, Formulae with Testing Methods). Asia Pasific Business Press Inc. Sis H, Chander S Kinetics of emulsification of dodecane in the absence and presence of nonionic surfactants. Coll Surf A: Physicochem Eng Aspects 235: Smolinske SC Handbook of Food, Drug, and Cosmetic Excipients. Boca Raton: CRC Press. Standar Nasional Indonesia Sediaan Tabir Surya. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. SNI Suryani A, Sailah I, Hambali E Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Swern D Bailey s Industrial Oil and fat Products. 14 th ed. New York: John Willey and Son Inc.

136 116 Tadros TF Applied Surfactants: Principles and Applications. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. Timisela NR Studi kelayakan industri rumah tangga pangan (IRTP) sagu. Agrin 12(1): Tranggono RI, Latifah F Buku Pegangan Ilmu Pengetahuaan Kosmetik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Van Ketel WG, Wenner Allergy to lanolin and Lanolin-Free creams. Contact Dermatitis, 9, 420. Di dalam Smolinske, S. C Handbook of Food, Drug, and Cosmetic Excipients. Boca Raton: CRC Press. von Rybinski W, Hill K Alkyl polyglycosides Properties and applications of a new class of surfactants. Angew Chem Int Ed 37: Wade A, Weller PJ Handbook of Pharmaceutical Excipients. 2 nd ed. London: The Pharmaceutical Press. Ware AM, Waghmare JT, Momin SA Alkylpolyglycoside: Carbohydrate based surfactant. J Dispers Sci Technol 28: Wasitaatmadja SM Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Wuest W, Eskuchen R, Wollmann J, Hill K, Biermann M, penemu; Henkel Kommanditgesellschaft auf Aktien. 11 Aug Process for preparing alkylglucoside compounds from oligo- and/or polysaccharides. US patent 5,138,046.

137 Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis stabilitas emulsi (ASTM D ) Stabilitas emulsi diukur antara air dan xilena. Xilena dan air dicampur dengan perbandingan 6:4. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antara xilena dan air diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fase sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan dan dibandingkan nilainya. Penetapan stabilitas emulsi dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan cara pengukuran berdasarkan pemisahan dengan asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100. % 100% 3) Pengukuran tegangan permukaan (ASTM D ) Pengukuran tegangan permukaan dilakukan dengan menggunakan metode du Nouy. Peralatan dan wadah sampel yang digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan asam sulfat-kromat dan dibilas dengan aquades, lalu dikeringkan. Cincin platinum yang digunakan pada alat tensiometer mempunyai mean circumferense = 5,945. Posisi alat diatur agar horizontal dengan water pass dan diletakkan pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan panas. Larutan surfaktan APG yang dihasilkan dengan beragam konsentrasi dimasukkan ke dalam gelas kimia dan diletakkan di atas dudukan tensiometer. Suhu cairan diukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke

138 118 dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah permukaan cincin). Skala vernier tensiometer diatur pada posisi nol dan jarum penunjuk harus berada pada posisi terhimpit dengan garis pada kaca. Selanjutnya kawat torsi diputar perlahan-lahan sampai film cairan tepat putus, saat film cairan tepat putus, skala dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan. 4) Pengukuran tegangan antarmuka (ASTM D ) Pengukuran tegangan antarmuka dilakukan dengan menggunakan metode du Nouy. Prosedur pengukuran tegangan antarmuka hampir sama dengan pengukuran tegangan permukaan. Tegangan antarmuka menggunakan dua cairan yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu larutan surfaktan dengan beragam konsentrasi dan xilena (1:1). Larutan surfaktan APG dengan berbagai konsentrasi terlebih dahulu dimasukkan ke dalam wadah sampel, kemudian dicelupkan cincin platinum ke dalamnya (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah permukaan cincin). Setelah itu, secara hati-hati larutan xilena ditambahkan di atas larutan surfaktan sehingga sistem terdiri atas dua lapisan. Kontak antara cincin dan larutan xilena sebelum pengukuran harus dihindari. Setelah tegangan antarmuka mencapai kesetimbangan, yaitu benar-benar terbentuk dua lapisan terpisah yang sangat jelas, pengukuran selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama pada pengukuran tegangan permukaan. 5) Penentuan nilai HLB Nilai HLB digunakan untuk menentukan sifat kelarutan surfaktan APG di dalam air dan menentukan aplikasi surfaktan berdasarkan nilai HLB yang dimiliki surfaktan APG. Penentuan nilai HLB dari surfaktan APG ditentukan menggunakan metode titrimetri, dimana akuades sebagai titran dan larutan yang mengandung 1 g surfaktan APG dalam 25 ml campuran piridina dan benzena 95:5 (v/v) sebagai titrat. Titik akhir titrasi dicapai pada saat kekeruhan permanen, karena pada saat kekeruhan permanen larutan telah jenuh dan molekul APG sudah tidak dapat berikatan dengan molekul air maupun piridina dan benzena.

139 119 Nilai HLB dari sampel surfaktan APG diperoleh dengan interpolasi pada kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi dibuat berdasarkan hasil titrasi dari jenis surfaktan yang telah diketahui nilai HLB. Nilai HLB dari tween 80 adalah 15, span 20 adalah 8,6 dan asam oleat adalah 1 (Al-Sabagh 2002). 6) Spektroskopi FTIR Analisis spektroskopi FTIR memberikan informasi mengenai adanya gugus fungsi yang terdapat dalam molekul. Vibrasi dari setiap gugus fungsi akan muncul pada bilangan gelombang yang berbeda. Tabel L1 Pita serapan FTIR Bilangan Gelombang (cm 1 ) Pita serapan gugus Vibrasi ulur O H Vibrasi ulur C H Vibrasi ulur C=O Vibrasi ulur C=C Vibrasi cincin aromatik Vibrasi tekuk C H Vibrasi cincin aromatik Vibrasi tekuk C H Vibrasi tekuk C=O Vibrasi tekuk CH dan C O Lampiran 2 Prosedur analisis skin lotion 1) Pengukuran viskositas Alat yang digunakan adalah viskosimeter Brookfield. Sampel sebanyak 600 ml dimasukkan ke dalam wadah kemudian diukur viskositasnya dengan menggunakan viscometer (spindle 3) dengan kecepatan 30 rpm dengan faktor konversi yaitu 40. Viskositasnya (cp) merupakan hasil kali antara angka pengukuran faktor konversi.

140 Pengukuran kestabilan emulsi dipercepat (Lachman et al. 1994) Stabilitas emulsi dipercepat dilakukan dengan mensentrifugasi sampel pada putaran 3750 rpm dalam tabung sentrifugasi setinggi 10 cm selama 5 jam. Sentrifugasi dengan kecepatan tersebut selama 5 jam dapat dikatakan ekivalen dengan pengaruh gravitasi selama ±1 tahun. Lampiran 3 Data produksi APG berbahan baku glukosa 1) Hasil pengamatan proses asetalisasi selama 230 menit Sampel Glukosa (g) Alkohol lemak (g) Suhu ( o C) Tekanan vakum (mm Hg) Katalis (g) Massa (g) Produk Warna A1B ,51 177,70 Keruh kekuningan A2B ,51 310,35 Keruh kekuningan A1B ,51 178,14 Keruh agak kekuningan A2B ,51 315,60 Keruh agak kekuningan A1-1B , ,51 146,54 Keruh agak kekuningan A2-1B ,51 329,78 Keruh agak kekuningan A12B , ,51 245,50 Keruh kekuningan A12B , ,51 246,60 Keruh agak kekuningan A12B ,51 245,00 Keruh agak kekuningan A12B ,51 247,30 Keruh agak kekuningan Keterangan: A1-1 = rasio mol glukosa-dodekanol 1:2,38 B1-1 = suhu asetalisasi 95,86 o C A1 = rasio mol glukosa-dodekanol 1:3 B1 = suhu asetalisasi 100 o C A12 = rasio mol glukosa-dodekanol 1:4,5 B12 = suhu asetalisasi 110 o C A2 = rasio mol glukosa-dodekanol 1:6 B2 = suhu asetalisasi 120 o C A2-1 = rasio mol glukosa-dodekanol 1:6,62 B2-1 = suhu asetalisasi 124,14 o C

141 121 2) Hasil pengamatan tahap netralisasi pada suhu o C selama 30 menit Sampel ph awal Warna awal NaOH 50% (ml) ph akhir Warna akhir A1B1 6 Keruh kekuningan 1 10 Keruh agak kecoklatan A2B1 5 Keruh kekuningan 1 10 Keruh agak kecoklatan A1B2 6 Keruh agak kekuningan 1 10 Keruh agak kecoklatan A2B2 5 Keruh agak kekuningan 0,8 8 Keruh agak kecoklatan A1-1B12 6 Keruh agak kekuningan 1 8 Keruh agak kecoklatan A2-1B12 5 Keruh agak kekuningan 0,8 9 Keruh agak kecoklatan A12B1-1 5 Keruh kekuningan 0,7 8 Keruh agak kecoklatan A12B2-1 5 Keruh agak kekuningan 0,8 9 Keruh agak kecoklatan A12B12 5 Keruh agak kekuningan 0,8 9 Keruh agak kecoklatan A12B12 5 Keruh agak kekuningan 0,8 9 Keruh agak kecoklatan 3) Hasil pengamatan tahap distilasi pada suhu o C selama 120 menit Sampel Tekanan Produk Residu vakum (mm Hg) APG kasar (g) Karakteristik fisik AL sisa (g) ph A1B ,6 Pasta, coklat gelap 130,4 6 A2B ,6 Pasta, coklat gelap 243,8 5 A1B ,7 Pasta, coklat gelap 127,3 5 A2B ,6 Pasta, coklat gelap 247,3 5 A1-1B ,1 Pasta, coklat gelap 84,2 6 A2-1B ,8 Pasta, coklat gelap A12B ,3 Pasta, coklat gelap 165,4 5 A12B ,7 Pasta, coklat gelap 181,3 6 A12B ,2 Pasta, coklat gelap 183,6 6 A12B ,5 Pasta, coklat gelap 176,5 6

142 122 4) Hasil pengamatan tahapan pelarutan dan pemucatan Sampel Suhu ( o C) Pelarutan* Pemucatan Air (g) H2O2** Warna APG 70% A1B ,40 0,672 Pasta, coklat tua A2B ,69 1,012 Pasta, coklat muda A1B ,59 0,774 Pasta, coklat muda A2B ,97 1,072 Pasta, coklat muda A1-1B ,90 0,602 Pasta, coklat tua A2-1B ,34 1,136 Pasta, coklat muda A12B ,13 0,846 Pasta, coklat muda A12B ,87 0,974 Pasta, coklat muda A12B ,80 0,924 Pasta, coklat muda A12B ,07 0,89 Pasta, coklat muda Ket: *Diinginkan produk mengandung bahan aktif APG 70%, sisanya adalah air. Jadi air yang ditambahkan sebanyak (3/7) massa APG dari produk distilasi. **H2O2 yang ditambahkan sebesar 2% dari massa APG dari produk distilasi 5) Yield APG pada sintesis satu tahap dengan bahan baku glukosa Sampel Yield APG 70% (%) A1B1 26,35 A2B1 22,55 A1B2 30,30 A2B2 23,88 A1-1B12 28,66 A2-1B12 23,97 A12B1-1 24,01 A12B2-1 27,69 A12B12 26,26 A12B12 25,26

143 123 Lampiran 4 Data produksi APG berbahan baku pati sagu 1) Hasil pengamatan proses butanolisis selama 30 menit Sampel Pati sagu (g) Butanol (g) Air (g) Katalis (g) Suhu ( o C) Tekanan (kg/cm 2 ) Massa (g) Produk Warna A3B3 25,08 97,2 22,0 0, , ,80 Coklat muda A4B3 24,92 97,2 22,5 0, , ,80 Coklat muda A3B4 25,04 97,2 22,0 0, , ,50 Coklat muda A4B4 25,00 97,2 22,0 0, , ,43 Coklat muda A3-1B34 25,06 96,9 22,5 0, ,5 4,5 134,60 Coklat muda A4-1B34 24,97 96,9 22,5 0, ,5 4,5 136,80 Coklat muda A34B3-1 25,00 97,2 22,0 0,53 125,86 2,3 2,5 134,20 Coklat muda A34B4-1 24,98 97,2 23,0 0, ,14 4, ,65 Coklat muda A34B34 25,06 97,2 23,0 0, ,5 4,5 137,90 Coklat muda A34B34 25,04 96,9 22,5 0, ,5 4,5 138,50 Coklat muda Keterangan: A3-1 = rasio mol pati sagu-dodekanol 1:1,78 B3-1 = suhu butanolisis 125,86 o C A3 = rasio mol pati sagu-dodekanol 1:2,5 B3 = suhu butanolisis 130 o C A34 = rasio mol pati sagu-dodekanol 1:4,25 B34 = suhu butanolisis 140 o C A4 = rasio mol pati sagu-dodekanol 1:6 B4 = suhu butanolisis 150 o C A4-1 = rasio mol pati sagu-dodekanol 1:6,72 B4-1 = suhu butanolisis 154,14 o C

144 124 2) Hasil pengamatan proses transasetalisasi selama 120 menit pada tekanan vakum Sampel Alkohol lemak (g) Katalis (g) DMSO (g) Suhu ( o C) APG+AL berlebih (g) Produk Butanol+ Air (g) Warna A3B3 71,88 0,265 2, ,18 100,13 Coklat muda A4B3 172,50 0,266 2, ,82 95,16 Coklat muda A3B4 71,90 0,266 2, ,69 95,36 Coklat muda A4B4 172,52 0,265 2, ,40 83,44 Coklat muda A3-1B34 51,18 0,265 2, ,62 95,52 Coklat muda A4-1B34 193,20 0,265 2, ,05 85,97 Coklat muda A34B ,19 0,265 2, ,46 94,17 Coklat muda A34B ,20 0,264 2, ,61 88,95 Coklat muda A34B34 122,18 0,265 2, ,72 87,75 Coklat muda A34B34 122,19 0,266 2, ,30 84,77 Coklat muda 3) Hasil pengamatan tahap netralisasi pada suhu o C Sampel ph awal Warna awal NaOH (ml) 50% ph akhir Warna akhir A3B3 4 Coklat muda 0, Coklat tua A4B3 4 Coklat muda 0, Coklat tua A3B4 4 Coklat muda 0, Coklat tua A4B4 4 Coklat muda 0, Coklat tua A3-1B34 4 Coklat muda 0, Coklat tua A4-1B34 4 Coklat muda 0, Coklat tua A34B3-1 4 Coklat muda 0, Coklat tua A34B4-1 4 Coklat muda 0, Coklat tua A34B34 4 Coklat muda 0, Coklat tua A34B34 4 Coklat muda 0, Coklat tua

145 125 4) Hasil pengamatan tahap distilasi pada suhu o C Tekanan Produk Residu Sampel Suhu ( o C) vakum (mm Hg) APG kasar (g) Karakteristik fisik AL sisa (g) A3B ,54 Pasta, coklat kehitaman 61,82 A4B ,62 Pasta, coklat kehitaman 143,18 A3B ,99 Pasta, coklat kehitaman 60,40 A4B ,54 Pasta, coklat kehitaman 144,92 A3-1B ,98 Pasta, coklat kehitaman 42,99 A4-1B ,02 Pasta, coklat kehitaman 158,42 A34B ,98 Pasta, coklat kehitaman 102,64 A34B ,77 Pasta, coklat kehitaman 102,65 A34B ,69 Pasta, coklat kehitaman 102,63 A34B ,89 Pasta, coklat kehitaman 103,25 5) Hasil pengamatan tahapan pelarutan dan pemucatan Sampel Suhu ( o C) Pelarutan Air (g) H2O2 Pemucatan (g) A3B ,23 0,71 Pasta, coklat tua 51,48 A4B ,27 1,13 Pasta, coklat tua 82,02 A3B ,42 0,86 Pasta, coklat muda 62,27 A4B ,09 1,45 Pasta, coklat muda 105,08 A3-1B ,85 0,74 Pasta, coklat muda 53,57 A4-1B ,29 1,46 Pasta, coklat muda 105,77 A34B ,99 0,98 Pasta, coklat muda 70,95 A34B ,19 1,18 Pasta, coklat muda 85,13 A34B ,87 1,25 Pasta, coklat muda 90,81 A34B ,67 1,34 Pasta, coklat muda 96,89

146 126 6) Yield APG pada sintesis dua tahap dengan bahan baku pati sagu Sampel Yield APG 70% (%) A3B3 26,52 A4B3 27,84 A3B4 32,08 A4B4 35,65 A3-1B34 30,94 A4-1B34 33,57 A34B3-1 29,03 A34B4-1 34,84 A34B34 37,15 A34B34 39,69 Lampiran 5 Data karakteristik surfaktan APG 1) Tegangan permukaan Tabel L2 Tegangan permukaan air dengan adanya APG komersial dan APG dari glukosa Konsentrasi APG (%b/v) Tegangan Permukaan (mn/m) APG Komersial Rata- APG hasil penelitian Rata- U1 U2 U3 rata U1 U2 U3 0,1 32,3 31,9 32,4 32,20 36,2 35, ,03 0, ,2 28,9 29,03 34,1 34, ,07 0,3 27, ,2 27, , ,97 0,4 25,7 25,4 25,5 25,53 32,4 32,6 32,5 32,50 0, ,1 24,8 24, ,1 30,8 30,97 0,6 24,1 23,9 23,9 23,97 29, ,9 29,00 0, ,2 23,8 24,00 25,9 26, ,00 0, , ,97 25,4 25,5 25,4 25,43 0,9 22,1 21,9 21,9 21, , , ,4 21,3 21,4 21,37 22, ,8 22,90 rata Keterangan: U = ulangan

147 127 Tabel L3 Tegangan permukaan air dengan adanya APG dari pati sagu Konsentrasi APG (%b/v) Tegangan Permukaan (mn/m) U1 U2 U3 Rata-rata 0,1 28,3 27,8 28,2 28,10 0, ,8 25,8 25,87 0, ,5 25,3 25,27 0, ,8 25,2 25,00 0,5 25,1 25, ,10 0,6 24, ,9 24,87 0,7 24,8 24,9 24,5 24,73 0,8 24,5 24,2 24,4 24,37 0,9 24,4 24,2 24,1 24, , ,4 24,20 2) Tegangan antarmuka Tabel L4 Tegangan antarmuka air-xilena dengan adanya APG komersial dan APG dari glukosa Konsentrasi APG (%b/v) Tegangan Antarmuka (mn/m) APG Komersial Rata- APG hasil penelitian Rata- U1 U2 U3 rata U1 U2 U3 0,1 13, ,07 20, ,03 0,2 11,6 11,4 11,5 11,50 15,1 15,5 15,5 15,37 0,3 10 9,9 10,1 10,00 14,1 14,2 13,9 14,07 0,4 7, , ,9 9,97 rata Tabel L5 Tegangan antarmuka air-xilena dengan adanya APG dari pati sagu Konsentrasi APG (%b/v) Tegangan Antarmuka (mn/m) U1 U2 U3 Rata-rata 0,1 11,3 11, ,23 0,2 9,4 9,3 9,6 9,43 0,3 8,5 9 8,6 8,70 0,4 8,4 8,2 8,5 8,37

148 128 3) Stabilitas emulsi Tabel L6 Stabilitas emulsi air-xilena dengan adanya APG dari glukosa Run Rasio mol glukosa-dodekanol Suhu asetalisasi ( o C) Stabilitas emulsi (%) 1 1: : : : :2, :6, :4,5 95, :4,5 124, :4, :4, Tabel L7 Stabilitas emulsi air-xilena dengan adanya APG dari pati sagu Run Rasio mol pati sagudodekanol Suhu butanolisis ( o C) Stabilitas emulsi (%) 1 1:2, ,8 2 1: ,3 3 1:2, ,7 4 1: ,5 5 1:1, ,7 6 1:6, ,8 7 1:4,25 125,86 46,5 8 1:4,25 154,14 60,6 9 1:4, ,5 10 1:4, ,2

149 129 4) Penentuan nilai HLB Tabel L8 Hasil titrasi akuades untuk surfaktan standar Surfaktan Akuades yang dipakai (ml) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata HLB Asam oleat 14,3 16,8 15,55 1 Span 20 38,3 37,7 38,00 8,6 Twen80 67, ,85 15 HLB y = x R² = Volume akuades (ml) Gambar L1 Kurva standar HLB. Nilai HLB dari APG komersial (APG-K) dan APG hasil penelitian dari glukosa (APG-G) serta APG dari pati sagu (APG-PS) diperoleh dengan memasukkan harga rata-rata akuades (ml) yang terpakai saat titrasi pada persamaan 0,2593 2,3808. Hasilnya ditabelkan pada Tabel L9 di bawah ini: Tabel L9 Nilai HLB dari surfaktan APG Jenis surfaktan Aquades yang dipakai (ml) Rata-rata (ml) HLB APG-K 61,10 62,50 61,80 13,64 APG-G 57,40 55,90 56,65 12,31 APG-PS 43,10 43,20 43,15 8,81

150 130 Lampiran 6 Sidik ragam (ANOVA) untuk yield 1) Sidik ragam (ANOVA) untuk yield APG dari glukosa Sumber Jumlah kuadrat DK* Kuadrat rata-rata F-value Prob>F Model 49, ,62 40,26 0,0001 X1 35, ,50 58,05 0,0001 X2 13, ,74 22,47 0,0021 Residual 4,28 7 0,61 *DK = derajat kebebasan 2) Sidik ragam (ANOVA) untuk yield APG dari pati sagu Sumber Jumlah kuadrat DK* Kuadrat rata-rata F-value Prob>F Model 149, ,96 10,28 0,0212 X1 9,27 1 9,27 3,18 0,1492 X2 58, ,25 19,98 0,0111 X12 58, ,22 18,94 0,0121 X22 60, ,42 20,72 0,0104 X1 X2 1,27 1 1,27 0,43 0,546 Residual 11,66 4 2,92 *DK = derajat kebebasan.

151 131 Lampiran 7 Hasil analisis FTIR dari APG komersial (APG-K) sebagai standar, APG dari glukosa (APG-G) dan APG dari pati sagu (APG-PS) 1) Hasil analisis FTIR dari APG-K dan APG-G APG-K O H C O C APG-G

152 132 2) Hasil analisis FTIR dari APG-K dan APG-PS APG-K O H C O C APG-PS

153 133 Lampiran 8 Data pengukuran karakteristik skin lotion 1) Pengukuran nilai viskositas skin lotion No. Nilai viskositas (cp) Rata-rata (cp) ,67 2) Tabel uji stabilitas emulsi Tabung Tinggi (cm) Awal Akhir Keterangan Stabil Stabil Stabil Stabil 3) Derajat pemisahan emulsi pada sentrifugasi 3750 rpm selama 5 jam Lama sentrifugasi 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam Keterangan Sampel Stabil

154

155 iran 9 Hasil pengamatan ukuran globula emulsi air-mineral oil dengan adanya APG 2% uran globula emulsi pada kecepatan putaran pengaduk 1500 rpm (a) (b) (c) Keterangan: (a) t = 5 menit (b) t = 10 menit (c) t = 15 menit (d) t = 20 menit (e) t = 25 menit t = lama pencampuran (d) (e)

156

157 uran globula emulsi pada kecepatan putaran pengaduk 2000 rpm (a) (b) (c) Keterangan: (a) t = 5 menit (b) t = 10 menit (c) t = 15 menit (d) t = 20 menit (e) t = 25 menit t = lama pencampuran (d) (e)

158

159 uran globula emulsi pada kecepatan putaran pengaduk 2500 rpm (a) (b) (c) Keterangan: (a) t = 5 menit (b) t = 10 menit (c) t = 15 menit (d) t = 20 menit (e) t = 25 menit t = lama pencampuran (d) (e)

160

161 iran 10 Desain reaktor sintesis APG skala 10 L Gambar L2 Gambar teknis dari reaktor sintesis APG.

162 138 Lampiran 11 Data karakteristik APG pada skala 10 L 1) Hasil analisis FTIR dari APG-K dan APG-G APG-K C O C O H APG dari pati sagu pada skala 10 L

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang cukup dalam beberapa

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan bahan baku sakarida yang memiliki dextrose

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN Surfaktan yang merupakan singkatan dari surface active agent, didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorbsi pada permukaan atau antarmuka (interface) larutan

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi ataupun biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrofobik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan, yang merupakan singkatan dari surface-active agent, didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorpsi pada permukaan atau antarmuka (interface) larutan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui hasil produk APG bila diganti bahan baku penyusunnya. Untuk mengetahui telah tersintesisnya produk

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 S u r f a k t a n Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat hidrofilik yang

Lebih terperinci

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946)

Gambar 1. Contoh Gugus Fungsi Surfaktan (Myers, 1946) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan adalah molekul ampifilik atau ampifatik yang terdiri dari dua gugus yaitu gugus hidrofobik yang bersifat non polar dan gugus hidrofilik yang bersifat polar

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penggunaan pati sebagai bahan baku dalam proses sintesis APG harus melalui dua tahapan yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada butanolisis terjadi hidrolisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN DODEKANOL FEBRUADI BASTIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN Terdapat pada sistem pangan yang merupakan sistem 2 fase (campuran dari cairan yang tidak saling melarutkan immiscible) Antara 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA

SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SINTESIS ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% FINA UZWATANIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DENGAN METODE PERMUKAAN RESPONS

OPTIMASI PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DENGAN METODE PERMUKAAN RESPONS Jurnal Teknologi Industri Pertanian (1):51-57 (01) Adisalamun, Djumali Mangunwidjaja, Ani Suryani, OPTIMASI PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NONIONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DENGAN METODE PERMUKAAN RESPONS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS Disusun Oleh : 1. FETRISIA DINA PUSPITASARI 1131310045 2. GRADDIA THEO CHRISTYA PUTRA 1131210062

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI GLUKOSA DAN DODEKANOL DENGAN KATALIS ASAM Anastasia Wulan Pratidina Swasono, Putri Dei Elvarosa Sianturi, Zuhrina Masyithah Departemen Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75%

SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS DODEKANOL DAN HEKSADEKANOL DENGAN REAKTAN GLUKOSA CAIR 75% Jurnal Teknologi Industri Pertanian 27 (1):9-16 (2017) Fina Uzwatania, ISSN Erliza 0216-3160 Hambali, EISSN dan Ani 2252-3901 Suryani Terakreditasi DIKTI No 56/DIKTI/Kep/2012 SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Bahan baku surfaktan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan salah satu oleokimia turunan yang satu molekulnya memiliki gugus hidrofilik (bagian polar/yang suka air) dan gugus hidrofobik

Lebih terperinci

PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR

PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR PRODUKSI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) DAN APLIKASINYA PADA SABUN CUCI TANGAN CAIR SITI AISYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 1 1 RINGKASAN SITI AISYAH. Produksi Surfaktan

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

TRANSESTERIFIKASI PARSIAL MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN ETANOL PADA PEMBUATAN DIGLISERIDA SEBAGAI AGEN PENGEMULSI

TRANSESTERIFIKASI PARSIAL MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN ETANOL PADA PEMBUATAN DIGLISERIDA SEBAGAI AGEN PENGEMULSI Jurnal Teknik Kimia Indonesia, Vol. 8 No. 1 April 2009, 33-37 TRANSESTERIFIKASI PARSIAL MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN ETANOL PADA PEMBUATAN DIGLISERIDA SEBAGAI AGEN PENGEMULSI Rita Arbianti*, Tania Surya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang dapat mengubah sifat permukaan bahan yang dikenainya. Sifat aktif dari surfaktan disebabkan adanya struktur

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia ha 1. Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia ha 1. Indonesia 4 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal pertanaman kelapa 3,818 juta Ha (32,37 %) disusul berturut-turut

Lebih terperinci

HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM OLEH UMMI SALAMAH F

HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM OLEH UMMI SALAMAH F HUBUNGAN KUALITAS MINYAK GORENG YANG DIGUNAKAN SECARA BERULANG TERHADAP UMUR SIMPAN KERIPIK SOSIS AYAM OLEH UMMI SALAMAH F 351040121 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 1 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Peningkatan nilai tambah produk turunan minyak jarak pagar mutlak diperlukan agar industri biodiesel jarak pagar dapat berkembang dengan baik. Saat ini, perkembangan

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 ASIL PECBAAN DAN PEMBAASAN Transesterifikasi, suatu reaksi kesetimbangan, sehingga hasil reaksi dapat ditingkatkan dengan menghilangkan salah satu produk yang terbentuk. Penggunaan metil laurat dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO merupakan produk sampingan dari proses penggilingan kelapa sawit dan dianggap sebagai minyak kelas rendah dengan asam lemak bebas (FFA) yang tinggi

Lebih terperinci

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG

Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG 58 Lampiran 2 Prosedur sintesis surfaktan APG ) Tahap Butanolisis Tahap ini mereaksikan pati, butanol, air serta katalis asam p-toluena sulfonat (PTSA) dengan perbandingan ratio mol pati:butanol:air:katalis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Permintaan energi global sedang meningkat sebagai hasil dari prtumbuhan dari populasi, industri serta peningkatan penggunaan alat transportasi [1], Bahan bakar minyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembuatan surfaktan tidak hanya dalam pencarian jenis surfaktan yang baru untuk suatu aplikasi tertentu di suatu industri, tetapi juga melakukan pencarian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

MOCHAMAD NOERDIN N.K.

MOCHAMAD NOERDIN N.K. PERANCANGAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN NON IONIK ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS PATI SAGU DAN DODEKANOL SERTA KARAKTERISASINYA PADA FORMULASI HERBISIDA MOCHAMAD NOERDIN N.K. DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistiren Polistiren disintesis dari monomer stiren melalui reaksi polimerisasi adisi dengan inisiator benzoil peroksida. Pada sintesis polistiren ini, terjadi tahap

Lebih terperinci

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tahun ini produksi minyak bumi selalu mengalami penurunan, sedangkan konsumsi minyak selalu mengalami penaikan. Menurut Pusat Data Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mencapai16,436 juta ton pada tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini pemakaian bahan bakar yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang semakin menipis. Cepat atau lambat cadangan minyak bumi

Lebih terperinci

4 Hasil dan pembahasan

4 Hasil dan pembahasan 4 Hasil dan pembahasan 4.1 Sintesis dan Pemurnian Polistiren Pada percobaan ini, polistiren dihasilkan dari polimerisasi adisi melalui reaksi radikal dengan inisiator benzoil peroksida (BPO). Sintesis

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI

KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI KAJIAN PENAMBAHAN NaCl DAN TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN KAMABOKO IKAN MUJAIR SKRIPSI Oleh : Indah Asriningrum 0333010052 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA TEGANGAN PERMUKAAN KELOMPOK 1 SHIFT A 1. Dini Mayang Sari (10060310116) 2. Putri Andini (100603) 3. (100603) 4. (100603) 5. (100603) 6. (100603) Hari/Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Tahap Sintesis Biodiesel Pada tahap sintesis biodiesel, telah dibuat biodiesel dari minyak sawit, melalui reaksi transesterifikasi. Jenis alkohol yang digunakan adalah metanol,

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Sintesis Polistiren Sintesis polistiren yang diinginkan pada penelitian ini adalah polistiren yang memiliki derajat polimerisasi (DPn) sebesar 500. Derajat polimerisasi ini

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di sisi lain ketersediaan bahan bakar minyak bumi dalam negeri semakin hari semakin

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM Mhd F Cholis Kurniawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN TESIS DAN MENGENAI SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Industri Kimia Banyak proses kimia yang melibatkan larutan homogen untuk meningkatkan laju reaksi. Namun, sebagian besar pelarut yang digunakan untuk reaksi adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL PENGEMBANGAN REAKSI ESTERIFIKASI ASAM OLEAT DAN METANOL DENGAN METODE REAKTIF DISTILASI

LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL PENGEMBANGAN REAKSI ESTERIFIKASI ASAM OLEAT DAN METANOL DENGAN METODE REAKTIF DISTILASI LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL PENGEMBANGAN REAKSI ESTERIFIKASI ASAM OLEAT DAN METANOL DENGAN METODE REAKTIF DISTILASI Oleh: Kusmiyati, ST, MT, PhD DIBIAYAI OLEH DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI,

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada beberapa dekade terakhir ini, konsumsi bahan bakar fosil seperti minyak bumi terus mengalami kenaikan. Hal itu dikarenakan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber: Anonim, 2017) Gambar 1. Bagian-bagian Buah Kelapa Sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber: Anonim, 2017) Gambar 1. Bagian-bagian Buah Kelapa Sawit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel).

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dihindari ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu bangsa di masa sekarang

Lebih terperinci

PRARANCANGAN PABRIK SODIUM DODEKILBENZEN SULFONAT DENGAN PROSES SULFONASI OLEUM KAPASITAS TON PER TAHUN

PRARANCANGAN PABRIK SODIUM DODEKILBENZEN SULFONAT DENGAN PROSES SULFONASI OLEUM KAPASITAS TON PER TAHUN PRARANCANGAN PABRIK SODIUM DODEKILBENZEN SULFONAT DENGAN PROSES SULFONASI OLEUM KAPASITAS 120.000 TON PER TAHUN Disusun sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata I Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

PEMBUATAN ROTI TAWAR DENGAN PROPORSI TEPUNG BERAS HITAM : TEPUNG TERIGU DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT SKRIPSI

PEMBUATAN ROTI TAWAR DENGAN PROPORSI TEPUNG BERAS HITAM : TEPUNG TERIGU DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT SKRIPSI PEMBUATAN ROTI TAWAR DENGAN PROPORSI TEPUNG BERAS HITAM : TEPUNG TERIGU DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT SKRIPSI oleh : Fitria Andhika Putri NPM : 0833010017 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Lateks karet alam didapat dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari famili Euphorbia ceae ditemukan dikawasan tropikal Amazon, Amerika Selatan. Lateks karet

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Salisilat dari Asam Salisilat dan Metanol dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Salisilat dari Asam Salisilat dan Metanol dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Prarancangan Pabrik Metil Salisilat dari Asam Salisilat dan Metanol dengan BAB I PENGANTAR Metil salisilat merupakan turunan dari asam salisat yang paling penting secara komersial, disamping

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci