BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pembangunan Agroindustri Tujuan pembangunan agroindustri tidak dapat dilepaskan dari peran agroindustri itu sendiri (Yusdja & Iqbal, 2002 dalam Supriyati et al., 2006). Peranan agroindustri bagi Indonesia antara lain : 1. Menciptakan nilai tambah hasil pertanian di dalam negeri. 2. Menciptakan lapangan pekerjaan, khususnya dapat menarik tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor agroindustri 3. Meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor. 4. Menarik pembangunan sektor pertanian (Simatupang &Purwanto, 1990 dalam Supriyati et al., 2006) Peran agroindustri periode dalam penciptaan PDB cenderung meningkat dengan penyerapan tenaga kerja lebih besar dibanding sektor lain. Namun produktivitas pekerja lebih rendah dibanding dengan sektor lain kecuali dibanding sektor pertanian. Agroindustri juga adalah industri dengan tingkat ketergantungan impor rendah dan keterkaitan ke depan tinggi (Supriyati et al., 2006). 2.2 Industri Tepung Industri tepung adalah salah satu industri utama di Asia. Sampai tahun 2002, Asia memasok lebih dari sepertiga produksi tepung di dunia dengan nilai tidak kurang dari enam juta dollar. Secara umum komoditi tepung-tepungan dapat dibedakan berdasarkan bahan bakunya, yaitu tepung jagung, tepung ubi kayu, tepung ubi jalar dan gandum. Untuk daerah Asia selatan dan Asia Tenggara komoditi tepung utama yang dihasilkan adalah tepung dari akar tanaman seperti tepung ubikayu dan tepung ubijalar (Fuglie et al., 2006). 10

2 Adapun beberapa karakteristik yang dimiliki industri ini adalah : 1. Struktur biaya produksi didominasi oleh biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja. 2. Produksi tepung didominasi oleh perusahaan skala menengah dan besar. 3. Keberadaan industri tepung-tepungan terutama yang berbahan baku akar tanaman pada umumnya berada di daerah-daerah pedesaan yang dengan produktivitas lahan rendah. Hal ini dikarenakan keberadaan tanaman sebagai bahan baku industri ini banyak ditumbuhakan pada lahan-lahan marginal di daerah pedesaan. Oleh karena itu keberadaan industri ini memperikan peluang untuk peningkatan perekonomian pedesaan miskin. (Fuglie et al., 2006) 2.3 Industri Pengolahan Tepung Tapioka A. Permintaan Tepung Tapioka Domestik Permintaan tepung tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena peningkatan jumlah industri yang menggunakan bahan baku tepung tapioka. Diperkirakan pertumbuhan permintaan dalam negeri akan mengalami peningkatan sebesar 10% per tahun. Dan untuk pasar ekspor, tepung tapioka mempunyai peluang untuk diekspor ke beberapa negara seperti Eropa dan Asia. Namun karena permintaan dalam negeri tumbuh dengan cepat, maka untuk sementara hasil produksi tepung tapioka masih ditujukan untuk pasar domestik (SIPUK BI, 2003). Beberapa jenis industri yang menggunakan tepung tapioka dalam proses produksinya adalah industri fermentasi seperti industri pembuatan sorbitol, glukose dan alkohol, industri pembuatan penyedap rasa, industri mie instan, roti, serta biskuit, industri tekstil, industri kertas. Selama ini permintaan akan produkproduk di atas terus meningkat. Untuk mie instan mengalami pertumbuhan permintaan sebesar 12.3% pertahun. Industri roti dan biskuti tumbuh sebesar 14% pertahun. Sedangkan untuk sorbitol, glukose dan alkohol mengalami pertumbuhan permintaan sebesar 9% pertahun (Richana et al., 2002) 11

3 B. Proses Produksi Secara garis besar proses produksi tepung tapioka dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Gambar 2.1 Proses Pembuatan Tepung Tapioka 12

4 C. Pengolahan Limbah Cair Tepung Tapioka Industri tepung tapioka dalam proses produksinya menghasilkan limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan (Rukmana, 1997 dalam Prayati, 2006). Limbah cair tersebut mengandung bahan organik dengan nilai nilai kebutuhan oksigen kimia (COD) yang cukup tinggi. Kandungan COD untuk limbah cair tapioka berkisar antara (Hasanudin, 1997 dalam Prayati, 2006). Penanganan limbah cair tapioka pada umumnya menggunakan IPAL berupa sistem kolam biologis, yaitu penanganan limbah dengan membuat kolam-kolam terbuka. Kolam kolam biologis tersebut berupa kolam aerobik dan kolam anaerob yang dirangkaikan secara seri. Proses pengolahn limbah cair dilakukan dengan memanfaatkan mikroba yang tumbuh dengan sendirinya dalam kolam. Mikroba yang ada didalam kolam akan menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam limbah cair menjadi senyawa yang lebih sederhana (Rukmana, 1997 dalam Prayati, 2006). Secara sederhana pengolahan limbah cair dengan kolam biologis terbuka dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Limbah cair Kolam anerobik Kolam aerobik Gambar 2.2 Pengolahan dengan Kolam-Kolam Biologis (Laboratory of King Mongkut University of Technology Thonbury, 2003) Pemilihan penanganan limbah dengan sistem kolam-kolam biologis dikarenakan hal-hal sebagai berikut : 1. Tersedianya areal yang dijadikan kolam instalasi pengolahan limbah yang sangat luas 2. Proses penguraian limbah yang sederhana dan tidak membutuhkan teknologi tinggi 3. Biaya operasional yang cukup rendah. (Sugiharto, 1987 dalam Prayati, 2006) 13

5 Namun kelemahan dari pengolahan limbah dengan sistem kolam terbuka adalah waktu yang digunakan untuk proses penguraian relatif lama sekitar 30 hari. Hal ini berdampak pada peningkatan bilangan kolam yang harus disediakan. Selain itu dari proses ini gas hasil penguraian seperti sulfur, karbondioksida dan gas metana akan terlepas ke udara bebas. Gas karbondioksida dan gas metana sendiri termasuk gas rumah kaca yang berpotensi meningkatkan pemanasan global (Prayati, 2006). Selain pengolahan dengan sistem kolam terbuka terdapat sistem pengolahan limbah lain yang dapat digunakan untuk mengolah limbah cair tapioka. Sistem pengolah limbah lain yang dapat digunakan adalah sistem pengolahan limbah dengan reaktor tertutup yang dilengkapi dengan penangkap gas ( Gambar 2.5). Prinsip pengolahan limbah pada sistem ini adalah penguraian bahan organik secara anaerobik dalam suatu reaktor tertutup. Pada reaktor tertutup limbah cair dialirkan ke dalam reaktor yang mengandung lapisan lumpur berisi mikroorganisme pengurai. Produk akhir berupa gas metana dan karbon dioksida akan dikumpulkan dalam suatu penampung (Prasanna, 1996). Gambar 2.3 Pengolahan limbah dengan sistem reaktor tertutup (Laboratory of King Mongkut University of Technology Thonbury, 2003) 14

6 2.4 Pembangunan Industri Ramah Lingkungan Dalam mendukung pembangunan industri ramah lingkungan serta berkontribusi terhadap penanganan masalah pemanasan global, telah disepakati suatu kesepakatan mengenai mekanisme yang disebut dengan Mekanisme Pembangunan Bersih atau CDM (Clean Development Mechanism). Kesepakatan ini berisi kewajiban dari negara industri untuk mengurangi emisi sampai pada angka tertentu ((IGES, 2005). CDM muncul dari masalah perubahan iklim yang mulai muncul sejak akhir dasawarsa 1980-an dan mendapat perhatian dari berbagai negara. Sebanyak 154 negara membentuk UNFCCC (United Nations Frame Work Convention on Climate Change) yang kemudian mendeklarasikan prinsip-prinsip pengurangan pemanasan global. Dan hasil dari Konvensi UNFCCC menetapkan target pengurangan emisi oleh negara-negara industri yang selanjutnya di sebut dengan Kyoto Protocol. Dalam konvensi tersebut negara-negara partisipan dibagi menjadi tiga kelompok yang mempunyai kewajiban-kewajiban berbeda (lihat tabel 2.1). Tabel 2.1 Kewajiban setiap Kelompok Partisipan Kyoto Protocol Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Adalah Negara Annex Adalah negaranegara industri yang ekonominya dalam masa Adalah negara yang I yang merupakan negara-negara industri. menjadi anggota transisi. Tidak berkewajiban Kewajibannya adalah OECD tahun untuk mencapai target emisi mematuhi target emisi Kewajibannya GRK dan merupakan negara gas rumah kaca (GRK) adalah memberikan yang dalam usaha dan menyampaikan bantuan finansial pengurangan emisinya harus laporan inventori kepada negaranegara yang sedang seperti dalam penyediaan dibantu dan diperhatikan nasional setiap tahun berkembang investasi, asuransi dan alih teknologi. Sumber :Panduan CDM di Indonesia (KLH, 2005) 15

7 Dari Protokol Kyoto kemudian diperkenalkan suatu mekanisme untuk mencapai target pengurangan emisi dari Negara Annex I dengan tujuan untuk pengurangan biaya total atas usaha pengurangan emisi GRK. Mekanisme tersebut selanjutnya disebut CDM. CDM memungkinkan bagi para pihak untuk mengakses peluangpeluang agar memperoleh biaya murah dalam aktivitas pengurangan emisi. Hal ini muncul dari kenyataan bahwa biaya untuk membatasi emisi sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, sementara itu pembatasan emisi terhadap atmosfer ialah sama, tanpa menghiraukan dimana aktivitas tersebut dilaksanakan. Dengan CDM mengizinkan Negara Annex I untuk melaksanakan sebuah proyek yang dapat mereduksi emisi gas GRK di Negara Non-Annex, dimana dari kegiatan tersebut Negara Annex I akan mendapat imbalan Certified Emission Reduction (CER). Mekanisme CDM secara sederhana dapat dilihat pada gambar 2.4. Gambar 2.4 Mekanisme CDM Sumber : Panduan CDM di Indonesia (KLH, 2005) Salah satu proyek CDM potensial yang diidentifikasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) untuk sektor industri adalah proyek pemanfaatan energi alternatif biogas dari limbah cair pada industri tepung tapioka. Pada kondisi saat ini industri bergantung pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Dari proses 16

8 produksinya dihasilkan limbah cair yang diolah dengan sistem pengolahan limbah berbentuk kolam terbuka yang menghasilkan gas metana (CH 4 ) yang terlepas ke udara. Gas metan sendiri termasuk gas rumah kaca (GRK). Potensi pemanasan global I ton metana setara dengan 21 ton CO 2. Dengan memanfaatkan CDM industri tepung tapioka dapat mendapatkan bantuan berupa bantuan finansial dan teknologi tepat guna untuk pengolahan limbah cair menjadi biogas. Biogas selanjutnya dapat digunakan sebagai energi alternatif bagi proses produksi industri tepung tapioka dan pembangkit tenaga listik. Adapun skema mekanisme CDM pada proyek penggunaan energi alternatif untuk industri pengolahan tepung tapioka dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 2.5 Skema pemanfaatan CDM pada Industri Tepung Tapioka (IGES, 2005) 17

9 2.5 Teori Ekonomi Teori Permintaan dan Penawaran Konsep tentang permintaan dan penawaran adalah bagian-bagian terpenting dalam kerangka ilmu ekonomi. Fungsi penawaran dan permintaan adalah fungsi yang menghubungkan jumlah barang/jasa (Q) dengan harganya (P) (lihat gambar 2.6). Permintaan (D) dapat dirumuskan sebagai fungsi yang menghubungkan harga dengan jumlah barang/jasa yang diminta oleh pembeli. Sedangkan penawaran (S) adalah fungsi yang menghubungkan harga dengan jumlah barang/jasa yang dijual (Johanes & Budiono, 1991). Gambar 2.6 Hukum Permintaan- Penawaran (Johanes & Budiono, 1991) Liku penawaran (S) dan permintaan (P) dari suatu barang menunjukkan keinginan konsumen (pembeli) dan penjual dalam bertransaksi. Pertemuan antara kedua liku akan menentukan tingkat harga keseimbangan (P1) dan jumlah barang yang ditransaksikan (Q1) Elastisitas Permintaan Terhadap Harga Elatisitas permintaan (E) terhadap harga didefinisikan sebagai tingkat perubahan permintaan apabila harga berubah sebesar satu satuan. Elastisitas pada dasarnya ditentukan dengan menggunakan formula : dy / y dy E = = * dx / x dx x y E = elastisitas x = kuantitas dari harga y = kuantitas dari permintaan 18

10 Untuk fungsi permintaan yang berbentuk linear sebagai berikut : y = bo + b1x Maka koefisien b1 merupakan hasil diferensiasi order pertama dari y terhadap x, atau dapat ditulis sebagai berikut : dy b 1 = dx Mengingat bahwa pada umumnya elastisitas tidak bersifat konstan tetapi berubah bila diukur pada titik yang berbeda sepanjang garis regresi, maka elastisitas biasanya diduga pada titik nilai rata-rata dari variabel bebas sebagai berikut : Elastisitas rata-rata : (Gaspersz, 1991). E = b1* x y Pembentukan Harga Dalam beberapa model ekonomi, harga yang terbentuk di formulasikan sebagai harga pada kondisi kesetimbangan dari fungsi penawaran dan permintaan. Dalam sistem nyata, harga pada kondisi kesetimbangan dari penawaran dan permintaan adalah sesuatu yang tidak jelas. Oleh karena itu, dalam proses pembentukan harga aktual akan dipengaruhi oleh ekspektasi produsen terhadap harga produk. Ekspektasi harga produsen adalah harga yang dibentuk oleh produsen dengan memperhatikan biaya produksi dan waktu cakupan persediaan produk jadi di pasaran. Ekspektasi harga produsen sendiri akan mengalami perubahan karena adanya perbedaan antara indikasi harga produk di pasara dengan ekspektasi harga sebelumnya. Indikasi harga di pasaran adalah nilai maksimum dari harga minimum dengan harga produk di pasaran. Harga minimum sendiri adalah harga berdasarkan nilai dari biaya produksi (Sterman, 2000). Biaya produksi yang terbentuk selanjutnya akan mempengaruhi ekspektasi biaya produksi dari produsen. Perbandingan antara ekspektasi biaya produksi dengan ekspektasi harga produsen dengan memperhatikan sensitifitas harga terhadap biaya produksi merupakan pengaruh biaya produksi terhadap harga jual produk. 19

11 Makin besar nilai perbandingan dan sensitifitas harga maka makin besar pengaruh biaya produksi terhadap harga produk yang terbentuk (Sterman, 2000). 2.6 Tarif Bea Masuk Tarif Bea Masuk Indonesia (TBMI) adalah suatu pembebanan terhadap barang impor berdasarkan klasifikasi barang yang disusun oleh Internasional Conventional on The Harmonized Comodity Description and Coding Sytem atau yang disebut Harmonized System (HS) (Ditjen Pajak, 2008). Harmonized System adalah standar internasional berkaitan dengan penamaan dan pengkodean suatu komoditi. Penggunaan HS berkaitan dengan penentuan tarif bea masuk, penghitungan statistik perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) pada suatu negara, negosiasi perdagangan antarnegara, dan penentuan kebijakan perdagangan luar negeri seperti pembatasan impor (anonim, 2006). Pengenaan tarif pada suatu komoditi akan berpengaruh pada pembentukan harga komoditi. Secara umum pengenaan tarif bertujuan untuk : Memberikan perlindungan terhadap produsen dalam negeri Mengendalikan konsumsi terhadap komoditi tertentu Instrumen perdagangan internasional Penerimaan negara. (Ditjen Bea Cukai, 2008) Dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization, Indonesia secara resmi menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Salah satu ketentuan WTO yang harus ditaati oleh setiap negara adalah tidak diperkenankannya negara anggota memiliki peraturan yang menghambat akses pasar dalam perdagangan internasional. Hal tersebut dituangkan dalam Prinsip Pengikatan Tarif. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap anggota WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuknya atau tarifnya harus diikat. Pengikatan tarif dimaksudkan untuk menciptakan prediktabilitas dalam urusan perdagangan internasional. Arti dari pengikatan tarif adalah tidak diperkenannnya 20

12 suatu negara berlaku sewenang-wenang dalam merubah atau menaikkkan tarif bea masuk. Namun dalam WTO juga termuat prinsip perlakukan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. WTO memperbolehkan anggotanya untuk membentuk kerjasama perdagangan regional, bilateral dan custom union, asalkan komitmen setiap anggota yang bergabung dalam kerjasama tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara anggota WTO yang lain yang tidak termasuk dalam kerjasama tersebut. Namun khusus untuk produk pertanian dan turunannya pengenaan tarif masih merupakan hal yang sensitif. Hal ini ditandai dengan terjadinya deadlock pada saat pembahasan tarif untuk produk pertanian pada konferensi tingkat menteri antar anggota WTO di Hongkong. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea dan Eropa tetap berusaha melindungi sistem pertanian di negara masing-masing dengan berbagai alasan, seperti alasan ketahanan pangan, keamanan dan kualitas pangan, dan rurality problem (Pasadilla, 2006). 2.7 Sistem Definisi Sistem Terdapat beberapa definisi dan konsep mengenai sistem, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut : - Sistem adalah sekumpulan entiti (orang atau barang) yang berhubungan satu sama lain menurut suatu cara tertentu dan diorganisasikan untuk suatu tujuan tertentu (Daellenbach,1995) - Sistem merupakan sekumpulan entiti yang bertindak dan berinteraksi bersama-sama untuk memenuhi tujuan akhir yang logis (Law & Kelton, 2000). 21

13 Dari definisi-definisi di atas dapat dinyatakan karakteristik sistem adalah sebagai berikut : 1. Adanya komponen-komponen yang saling berinteraksi satu sama lain 2. Mempunyai tujuan tertentu yang mendasari keberadaan sistem tersebut 3. Terdapat proses transformasi input menjadi output 4. Adanya mekanisme yang mengendalikan pengoperasian terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem. 5. Mempunyai lingkungan dan batas lingkungan (boundary system) Berpikir Secara Sistem Berpikir secara sistem adalah cara berpikir dimana sesuatu dipandang sebagai sebuah sistem, yaitu keseluruhan interaksi antarunsur dari sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Sistem bekerja karena adanya struktur hubungan antar unsur di dalamnya. Kinerja sebuah sistem bukanlah merupakan penjumlahan unsur-unsurnya. tetapi merupakan properti tersendiri yang terbentuk dari interaksi antar unsur-unsurnya. Dalam Checkland (1981) disebutkan bahwa terdapat dua fondasi dalam berpikir secara sistem, yaitu Emergence & Hierarchy serta Comunication & Control. Hierarchy adalah tingkatan dalam sistem. Suatu tingkatan akan lebih komplek di banding tingkatan di bawahnya. Setiap tingkatan akan memiliki emergence properties yang tidak dimiliki pada tingkat di bawahnya. Sedangkan konsep dari comunication & control adalah penggunaan informasi dalam sistem berkaitan dengan pencapaian tujuan dari sistem dan pengaturan keseimbangan antara sistem dengan lingkungannya Cara Mempelajari Sistem Suatu sistem dipelajari karena adaanya kebutuhan untuk mengkaji hubungan antar berbagai komponen atau memprediksi kinerja dari sistem tersebut pada berbagai kondisi berbeda. Adapun cara mempelajari sistem dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 22

14 System Eksperimen dengan sistem aktual Eksperimen dengan model dari sistem Model fisik Model Matematik Solusi Analitis Simulasi Gambar 2.7 Cara Mempelajari Sistem (Law & Kelton, 2000) Cara mempelajari suatu sistem dengan melakukan eksperimen pada sistem aktual. Jika dimungkinkan dari segi biaya maupun teknis lain, maka cara ini adalah cara terbaik. Namun dalam kenyataannya jarang sekali terjadi hingga digunakan model untuk menggantikan sistem tersebut. Model merupakan simplifikasi dari suatu sistem yang digunakan untuk pengganti suatu objek. Model dibuat sebagai alat bantu untuk mempelajari dan meningkatkan pemahaman terhadap suatu sistem. Model dibedakan menjadi 2 bagian yaitu model fisik dan model matematis. Terkadang model fisik cukup berguna dalam mempelajari suatu sistem rekayasa atau sistem manajemen, namun yang lebih banyak dipakai adalah model matematis. Model ini dibangun dalam bentuk relasi logis dan kuantitatif yang kemudian dimanipulasi atau diubah untuk mengetahui reaksi yang ditimbulkan oleh model tersebut. Dari model matematis yang dibangun harus diuji untuk mengetahui apakah model tersebut mampu digunakan untuk menjawab pertanyaan atas sistem yang direpresentasikan. Jika model yang dibangun sederhana dimungkinkan untuk menggunakan hubungan-hubungan atau besaran besaran yang ada dalam model tersebut untuk mendapatkan solusi analitis. Namun jika sistem memiliki kompleksitas yang tinggi maka solusi analitis sulit didapatkan. Pada kasus-kasus seperti ini model dipelajari dengan cara simulasi. 23

15 2.7.4 Simulasi Sistem Dinamis A. Dasar Simulasi Sistem Dinamis Metode simulasi sistem dinamis diperkenalkan oleh Jay W. Forrester dengan penerbitan buku pertama didunia berjudul Industrial Dynamics pada tahun Dalam buku ini beliau mendefinisikan Industrial Dynamics sebagai berikut : Industrial Dynamics adalah penelitian tentang karakter informasi umpan balik pada sistem industri dan menggunakan model untuk merancang bentuk organisasi yang lebih baik dan penentuan kebijakan. Metode simulasi sistem dinamis dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin, yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetics dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ilmu ini dipadukan untuk membentuk sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing-masing disiplin dan menggunakan kekuatan dari msing-masing disiplin untuk membentuk sinergi (Sushil, 1993). Dasar dari metodologi sistem dinamis dapat dilihat pada gambar di bawah ini : Gambar 2.8 Dasar Metodologi Sistem Dinamik (Sushil, 1993) Manajemen Tradisional Manajemen tradisional adalah manajemen yang umum dipakai dalam dunia nyata oleh para praktisi manajerial. Dasar utama dari manajemen tradisional adalah model mental yang terbentuk dari akumulasi pengetahuan dan pengalaman manajer. Cybernetics Cybernetic adalah ilmu mengenai komunikasi dan kontrol yang didasari oleh teori umpan balik. Kekayaan informasi yang terakumulasi dalam model mental tidak 24

16 dapat digunakan secara efektif tanpa adanya suatu prinsip dalam pemilihan informasi yang relevan dan strukturisasi informasi. Dengan cybernetics manajer dapat menyaring informasi yang ada sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, kemudian menghubungkan elemen-elemen informasi tersebut untuk menemukan hubungan sebab akibat yang ada serta membangun struktur umpan balik sistem. Simulasi Komputer Penggunaan komputer dalam simulasi mampu mengatasi kelemahan pemikiran manusia terutama berkaitan dengan keterbatasan dalam menganalisa hubungan sebab akibat untuk orde yang tinggi serta kemampuan komputasi dengan jumlah besar. C. Perilaku Sistem Dinamis 1. Exponential growth Perilaku yang timbul dari umpan balik positif (self-reinforcing feedback). Pada perilaku exponential growth, kuantitas yang lebih besar (kecil) akan mengakibatkan perubahan yang besar (kecil) pula. 2. Goal Seeking Perilaku yang timbul karena adanya umpan balik negatif (self-controlling feedback). Perilaku ini menggambarkan suatu sistem yang berusaha mencapai kondisi keseimbangan. 3. Oscillation Perilaku yang muncul dari feedback negatif dengan time delay yang signifikan. Selama time delay, dalam mengidentifikasi efek dari aksi yang diambil, tindakan koreksi terus dilakukan untuk mengembalikan sistem ke kondisi equilibrium atau goal yang diinginkan dari sistem, bahkan setelah dicapainya kondisi equilibriu. (Sterman, 2000). D. Pemodelan dalam sistem dinamis Proses pemodelan dari suatu sistem adalah proses kreatif. Tidak terdapat prosedur baku dalam proses pemodelan. Proses pemodelan adalah proses yang iteratif.. Adapun beberap tahap-tahap pemodelan yang dapat digunakan dalam pemodelan sistem dinamis dalam Sterman (2000) adalah sebagai berikut : 25

17 1. Pendefinisian Masalah Tahap awal dari pemodelan sistem dinamis adalah pendefinisian masalah. Pada tahap ditentukan dengan jelas tujuan pembuatan model. Model dibuat untuk masalah yang ada pada sistem bukan dibuat untuk keseluruhan sistem. Beberapa hal yang harus dapat diterangkan pada tahap ini adalah : Pemilihan tema : apa masalahnya dan mengapa hal tersebut menjadi masalah?. Variabel kunci: apa saja variabel dan konsep kunci yang dijadikan pertimbangan?. Horizon waktu : seberapa jauh waktu yang sebaiknya dipertimbangkan baik historis maupun masa depan?. Definisi masalah secara dinamis : bagaiman perilaku dari variabelvariabel kunci di masa lalu dan perkiraan perilakunya di masa depan?. 2. Memformulasikan Dynamic Hypothesis Setelah masalah diidentifikasi dan didefinisikan dalam horizon waktu tertentu, langkah selanjutnya adalah membangun teori yang disebut dynamic hypothesis. Dynamic hypothesis adalah teori yang digunakan untuk membantu menjelaskan perilaku masalah. Dynamic hypothesis harus mampu menjelaskan bahwa dinamika yang terjadi pada sistem muncul dari feed back serta struktur stock & flow dari sistem. Untuk membangun struktur dari sistem, pendekatan sistem dinamis menyertakan beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk proses tersebut. Perangkat-perangkat yang dimaksud adalah : Model Boundary Chart Model Boundary Chart berfungsi merangkum lingkup permasalah dengan menguraikan variabel mana yang akan disertakan sebagai variabel endogen atau endogen sert variabel yang tidak diikutsertakan dalam model. Dengan penguraian variabel akan membantu pemahaman kita mengenai batasan dan asumsi dari model yang dibangun. 26

18 Diagram Subsistem Sub sistem diagram menunjukkan arsitektur dari model secara keseluruhan. Sub sistem diagram menginformasikan batasan dan tingkatan agresai dari model dengan menunjukkan jenis dan jumlah organisasi berbeda yang digambarkan. Diagram Sebab Akibat Diagram sebab akibat adalah perangkat untuk menggambarkan struktur feedback dalam sistem. Pada dasarnya diagram sebab akibat adalah peta yang menunjukkan hubungan sebab akibat diantara variabel. Hubungan sebab dan akibat ditandai oleh notasi + (positif) atau - (negatif) pada ujung panah diagram sebab akibat. Aturan untuk menentukan notasi dalam diagram sebab akibat adalah sebagai berikut (Sushil, 1993) : - Tanpa memperhatikan variabel-variabel lainnya, jika perubahan pada suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya dengan arah perubahan yang sama, maka hubungan antar variabel ini dinyatakan dengan tanda + (positif). - Tanpa memperhatikan variabel-variabel lainnya, jika perubahan pada suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya dengan arah perubahan yang beda, maka hubungan antar variabel ini dinyatakan dengan tanda - (negatif). Jika beberapa hubungan kausal digabungkan dan didapatkan suatu alur yang berawal dan berakhir pada variabel yang sama, maka dapat diindentifikasi sebuah loop umpan balik sebab akibat. Loop ini akan memiliki polaritas yang ditentukan oleh hubungan-hubungan sebab akibat didalamnya. Polaritas akan mendiskripsikan struktur sistem dan bukan perilaku masing-masing variabel yang terlibat. Loop akan memiliki polaritas positif jika jumlah hubungan sebab akibat dengan tanda negatif dalam loop tersebut adalah nol atau genap atau disebut Reinforcing loop. Sebaliknya jika jumlah hubungan sebab akibat dengan tanda negatif adalah ganjil maka polaritas loop adalah negatif atau disebut Balancing loop. 27

19 Contoh diagram sebab akibat dengan loop yang terbentuk dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 2.9 Contoh Diagram Sebab Akibat (Sterman, 2000) Diagram Stock and Flow Diagram stock & flow digunakan untuk merepresentasikan struktur secara detil sehingga siap dikembangkan ke dalam formulasi matematis model untuk disimulasikan. Diagram ini memiliki tingkat ketelitian yang paling tinggi. Pada diagram ini sudah dapat dibedakan antara sub sistem fisik dan subsistem informasi dan mengklasifikasikan variabel dan fungsi kedalam jenisnya masing-masing. Secara lengkap kelebihan-kelebihan dari diagram ini adalah: mampu menbedakan antara sub sistem fisik dan sub sistem informasi mampu membedakan setiap jenis variabel yang digunakan yaitu level, rate atau auxiliary dengan symbol yang berbeda memiliki hubungan satu sama lain dalam bentuk persamaan matematis mampu mengindikasikan delay dalam sistem menunjukkan dengan jelas jenis fungsi-fungsi khusus yang dipakai dalam persamaan matematis (Sushil, 1993) 28

20 Adapun beberapa simbol-simbol yang digunakan dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 2.10 Contoh Simbol Variabel dalam Diagram Stock & Flow (Powesim 2.51) Adapun untuk variabel yang digunakan dalam model dinamika sistem dapat dibedakan menjadi tiga jenis, level, rate dan auxiliary. Level dan rate adalah variabel sentral dalam sistem dinamis, dan auxiliary adalah variabel pelengkap. Selain itu terdapat variabel yang disebut variabel eksogen yang merupakan variabel yang dibentuk di luar sistem tetapi berfungsi memberi input pada sistem. Terdapat pula parameter konstanta yang merupakan input informasi sistem terhadap rate dan auxiliary dengan nilai konstan sepanjang periode waktu simulasi. Penjelasan untuk setiap variabel adalah sebagai berikut : a. Variabel Level Variabel level merepresentasikan akumulasi aliran-aliran yang terdapat di dalam sistem dari waktu ke waktu. Aliran yang masuk ke variabel level dapat berupa aliran fisik atau aliran informasi. Variabel level menyatakan kondisi dari sistem yang menyediakan informasi bagi pengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan. Variabel ini hanya dapat berubah karena variabel rate dan merupakan akumulasi dari aliran masuk (inflow) dikurangi aliran keluar (outflow). b. Variabel Rate Variabel rate adalah variabel keputusan yang ditentukan oleh suatu struktur kebijakan tertentu. Keputusan yang dilakukan akan 29

21 mempengaruhi besarnya level karena variabel rate merupakan satu satunya variabel yang dapat mengubah level. Rate tidak dapat diukur secara langsung pada suatu titik waktu tertentu, melainkan diukur pada selang waktu tertentu. Variabel ini dapat dinyatakan secara endogen melalui variabel level yang ada, atau secara eksogen melalui masukan dari luar sistem berupa konstanta atau fungsi. c. Variabel Auxiliary Variabel yang digunakan untuk menjabarkan lebih lanjut elemen-elemen yang mempengaruhi suatu struktur kebijakan yang tercermin pada variabel rate. (Sushil, 1993) 3. Formulasi dari Model Simulasi Saat hipotesis dinamis, batasan model dan model konseptual telah terbentuk maka model tersebut harus diuji. Pengujian bisa dilakukan langsung melalui percobaan pada sistem nyatanya. Tapi seringkali model konseptual terlalu rumit sehingga perilakunya tidak jelas. Selain itu pengujian pada sistem nyata biasanya tidak mungkin dilakukan karena resikonya tinggi. Oleh karena itu biasanya pengujian dilakukan dengan melalui simulasi. Untuk melakukanya model konseptual harus diubah menjadi model formal lengkap dengan persamaan, parameter dan kondisi inisalnya. 4. Ujicoba Pada tahap ini akan dilakukan ujicoba untuk melihat validasi model merepresentasikan sistem nyata. Proses validasi pada model sistem dinamis pada dasarnya terbagai dua, yaitu validitas sturktur dan validitas perilaku. Validasi sturktur Validasi struktur dilakukan untuk mengukur obyektivitas dari model. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan pemodel untuk mempersepsikan dengan teliti gejala-gejala permasalahan dan mengkaitkannya dengan sebab musabab permasalahan. Validasi 30

22 stuktur dilakukan dengan melakukan uji verifikasi struktur dan uji konsistensi dimensi. Validasi perilaku Validasi perilaku dilakukan untuk menilai kecukupan struktur model melalui validasi perilaku yang dihasilkan oleh struktur model. Uji ini dilakukan dengan uji reproduksi perilaku dan uji prediksi perilaku 5. Skenario dan Evaluasi Kebijakan Saat model sudah terbentuk, maka hal yang selanjutnya adalah menyusun skenario dan mengevaluasi kebijakan untuk memecahkan masalah. Kebijakan yang diterapkan tidak terbatas pada pengubahan nilai parameter, tapi terkait kreativitas dalam mengubah struktur dari model atau aturanaturan keputusan baru dalam memecahkan masalah. 31

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ubikayu merupakan komoditi pertanian terbesar di Propinsi Lampung dibanding padi dan jagung dilihat dari nilai produksinya. Nilai produksi ubikayu pada tahun 2005 sebesar

Lebih terperinci

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN 6.1 Proses Perancangan Kebijakan Proses perancangan kebijakan industri tepung tapioka di Propinsi Lampung pada dasarnya mengacu pada kebijakan pembangunan daerah Propinsi Lampung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan Industri Pertumbuhan industri bisa dilihat dari sumbangan sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Semakin besar sumbangan terhadap PDB maka

Lebih terperinci

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL BAB IV PENGEMBANGAN MODEL Pada bab ini akan dilakukan pengembangan model sistem dinamis untuk industri tepung tapioka. Hal-hal yang akan dijelaskan pada tahap ini adalah dasar pengembangan model, pembentukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Langkah-Langkah Penelitian Dalam usaha mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan, disusun suatu metodologi penelitian. Adapun langkah- langkah yang disusun adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini. Penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca

I. PENDAHULUAN. ini. Penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi dunia pada saat ini. Penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca yang menurut sebagian

Lebih terperinci

tersebut terdapat di atmosfer. Unsur-unsur yang terkandung dalam udara dan

tersebut terdapat di atmosfer. Unsur-unsur yang terkandung dalam udara dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Udara di bumi memiliki beberapa unsur yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan. Udara untuk kehidupan sehari-hari tersebut terdapat di atmosfer.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di Indonesia dengan komoditas utama yaitu minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO). Minyak sawit

Lebih terperinci

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Lampung.

I. PENDAHULUAN. Singkong merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Lampung. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Singkong merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Lampung. Provinsi Lampung pada tahun 2013 memiliki luas panen untuk komoditi singkong sekitar 318.107 hektar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK C'ONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Indonesia memiliki potensi bahan baku industri agro, berupa buah buahan tropis yang cukup melimpah. Namun selama ini ekspor yang dilakukan masih banyak dalam bentuk buah segar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. II.1.1 Definisi Kebijakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. II.1.1 Definisi Kebijakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kebijakan II.1.1 Definisi Kebijakan Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1990), definisi kebijakan adalah 1) kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan; 2) rangkaian konsep dan asas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Model Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan (Departemen P dan K, 1984:

Lebih terperinci

cair (Djarwati et al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan

cair (Djarwati et al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu merupakan komoditi pertanian yang utama di Provinsi Lampung. Luas areal penanaman ubi kayu di Provinsi Lampung pada tahun 2009 adalah sekitar 320.344

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Lampiran 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja

Lebih terperinci

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M. Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : 35410453 Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.T TUGAS AKHIR USULAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia dengan jumlah produksi pada tahun 2013 yaitu sebesar 27.746.125 ton dengan luas lahan

Lebih terperinci

vial, reaktor unit DBR200, HACH Spectrofotometri DR 4000, gelas ukur, box ice,

vial, reaktor unit DBR200, HACH Spectrofotometri DR 4000, gelas ukur, box ice, 34 III BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

2015 PENGARUH ENVIRONMENTAL PERFORMANCE DAN PENERAPAN CARBON MANAGEMENT ACCOUNTING TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM

2015 PENGARUH ENVIRONMENTAL PERFORMANCE DAN PENERAPAN CARBON MANAGEMENT ACCOUNTING TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara alami perusahaan memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal untuk mempertahankan keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability). Keberlanjutan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 20 3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan agroindustri udang merupakan hal yang sangat penting dalam siklus rantai komoditas udang. Pentingnya keberadaan agroindustri udang

Lebih terperinci

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM Pokok Bahasan Tentang Konvensi Struktur Konvensi Peluang dukungan dan dana Tentang Protokol Kyoto Elemen & Komitmen Protokol Kyoto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai 2324,7 juta ton/tahun (Ditjenbun, 2007).

I. PENDAHULUAN. mencapai 2324,7 juta ton/tahun (Ditjenbun, 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia adalah negara yang memiliki luas perkebunan kelapa nomor satu di dunia. Luas kebun kelapa Indonesia 3,712 juta hektar (31,4% luas kebun kelapa dunia)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini dan perubahan tersebut terjadi akibat dari ulah manusia yang terus mengambil keuntungan dari

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri merupakan bagian integral dari sektor pertanian mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi terutama di wilayah pedesaan. Efek

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer,

Lebih terperinci

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN PROTOKOL KYOTO DALAM MENGURANGI TINGKAT EMISI DUNIA MELALUI CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN PROTOKOL KYOTO DALAM MENGURANGI TINGKAT EMISI DUNIA MELALUI CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN PROTOKOL KYOTO DALAM MENGURANGI TINGKAT EMISI DUNIA MELALUI CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM Disusun oleh: DANIEL AGA ARDIANTO NPM : 02 05 08058 PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan komponen otomotif baik untuk kendaraan baru (original equipment manufacture) dan spare parts (after market) cukup besar. Menurut data statistik jumlah populasi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang, Kecamatan Purwadadi, Subang, Jawa Barat. Tempat penelitian merupakan

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan 1. Model DICE ( Dinamic Integrated Model of Climate and the Economy) adalah model Three Boxes Model yaitu suatu model yang menjelaskan dampak emisi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. KERANGKA PEMIKIRAN KONSEPTUAL Salah satu permasalahan besar pada industri kelapa sawit adalah penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS). Kondisi tersebutjuga terjadi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi listrik merupakan kebutuhan utama pada semua sektor kehidupan. Seiring bertambahnya kebutuhan manusia, maka meningkat pula permintaan energi listrik. Suplai

Lebih terperinci

Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jambi Tahun I. PENDAHULUAN

Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jambi Tahun I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gas Rumah Kaca (GRK) adalah jenis gas yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan secara alami, yang jika terakumulasi di atmosfer akan mengakibatkan suhu bumi semakin

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perkiraan Perkiraan adalah prediksi dari suatu variabel yang didasarkan pada nilai-nilai lampau yang diketahui dari variabel tersebut atau dari variabel lain yang berhubungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak kepada ketatnya persaingan, dan cepatnya perubahan lingkungan usaha. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL Pada bagian analisis kebijakan, terlebih dahulu akan dilakukan analisis pada model dasar, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan skenario kebijakan yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Timbulnya kelangkaan bahan bakar minyak yang disebabkan oleh ketidakstabilan harga minyak dunia, maka pemerintah mengajak masyarakat untuk mengatasi masalah energi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi dan lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik pada masa kini maupun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Industri agro memiliki arti penting bagi perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh beberapa fakta yang mendukung. Selama kurun waktu 1981 1995, industri agro telah

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin banyak di Indonesia. Kini sangat mudah ditemukan sebuah industri

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin banyak di Indonesia. Kini sangat mudah ditemukan sebuah industri BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waktu demi waktu kini industri baik industri rumahan maupun pabrik semakin banyak di Indonesia. Kini sangat mudah ditemukan sebuah industri meskipun letaknya dekat

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kota Yogyakarta sekarang ini sudah menjadi penarik tersendiri bagi penduduk luar Kota Yogyakarta dengan adanya segala perkembangan di dalamnya. Keadaan tersebut memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dunia industri merupakan salah satu indikator yang memberikan penggambaran untuk menilai perkembangan ekonomi suatu Negara. Kemajuan industri di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pencemaran masalah lingkungan terutama perairan sekarang lebih diperhatikan,

I. PENDAHULUAN. Pencemaran masalah lingkungan terutama perairan sekarang lebih diperhatikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pencemaran masalah lingkungan terutama perairan sekarang lebih diperhatikan, terutama setelah berkembangnya kawasan industri baik dari sektor pertanian maupun

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses BAB V KESIMPULAN Dinamika hubungan diplomatik Indonesia dengan Jepang telah mengalami berbagai perkembangan, mulai dari masa penjajahan, kerjasama ekonomi hingga bidang politik dan keamanan. Politik luar

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit telah mampu meningkatkan kuantitas produksi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit dan menempatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanaman yang mengandung mono/disakarida (tetes tebu dan gula tebu), bahan

I. PENDAHULUAN. tanaman yang mengandung mono/disakarida (tetes tebu dan gula tebu), bahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Bioetanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang berasal dari tanaman yang mengandung mono/disakarida (tetes tebu dan gula tebu), bahan berpati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memicu terjadinya pemanasan global. Padahal konsep mengenai green accounting

BAB I PENDAHULUAN. memicu terjadinya pemanasan global. Padahal konsep mengenai green accounting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Beberapa tahunterakhir ini terjadi perubahan yang signifikan pada ilmu ekonomi, aktivitas konsumsi yang dilakukan manusia secara sadar atau tidak telah memicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan penduduk kota sekarang ini semakin pesat, hal ini berbanding

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan penduduk kota sekarang ini semakin pesat, hal ini berbanding 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk kota sekarang ini semakin pesat, hal ini berbanding lurus dengan sampah yang dihasilkan oleh penduduk kota. Pada data terakhir bulan November

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri yang sangat potensial dan berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia telah menyumbang

Lebih terperinci

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN VI.1 Proses Perancangan Kebijakan Proses perancangan kebijakan industri sari buah didasarkan pada arah kebijakan pembangunan nasional yang kemudian dijabarkan dalam visi dan

Lebih terperinci

Majalah INFO ISSN : Edisi XVI, Nomor 1, Pebruari 2014 BIOGAS WUJUD PENERAPAN IPTEKS BAGI MASYARAKAT DI TUNGGULSARI TAYU PATI

Majalah INFO ISSN : Edisi XVI, Nomor 1, Pebruari 2014 BIOGAS WUJUD PENERAPAN IPTEKS BAGI MASYARAKAT DI TUNGGULSARI TAYU PATI BIOGAS WUJUD PENERAPAN IPTEKS BAGI MASYARAKAT DI TUNGGULSARI TAYU PATI M. Christiyanto dan I. Mangisah ABSTRAK Tujuan dari kegiatan ini adalah peningkatan produktivitas ruminansia, penurunan pencemaran

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI KEDELAI MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK

PERAMALAN PRODUKSI KEDELAI MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK PERAMALAN PRODUKSI KEDELAI MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK Agung Brastama Putra 1) Budi Nugroho 2) E-mail : 1) agungbp.si@upnjatim.ac.id, 2) budinug@gmail.com 1 Jurusan Sistem Informasi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih sebagai isu lingkungan global. Salah satu dampak perubahan iklim adalah meningkatnya suhu di bumi

Lebih terperinci

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya 1 Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya Dewi Indiana dan Prof. Dr. Ir. Budisantoso Wirjodirdjo, M.Eng. Teknik Industri, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. simulasi komputer yang diawali dengan membuat model operasional sistem sesuai dengan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. simulasi komputer yang diawali dengan membuat model operasional sistem sesuai dengan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metoda System Dynamics yaitu sebuah simulasi komputer yang diawali dengan membuat model operasional sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

EMISI KARBON DAN POTENSI CDM DARI SEKTOR ENERGI DAN KEHUTANAN INDONESIA CARBON EMISSION AND CDM POTENTIAL FROM INDONESIAN ENERGY AND FORESTRY SECTOR

EMISI KARBON DAN POTENSI CDM DARI SEKTOR ENERGI DAN KEHUTANAN INDONESIA CARBON EMISSION AND CDM POTENTIAL FROM INDONESIAN ENERGY AND FORESTRY SECTOR EMISI KARBON DAN POTENSI CDM DARI SEKTOR ENERGI DAN KEHUTANAN INDONESIA CARBON EMISSION AND CDM POTENTIAL FROM INDONESIAN ENERGY AND FORESTRY SECTOR Dr. Armi Susandi, MT Program Studi Meteorologi Departemen

Lebih terperinci

PB 10 STRATEGI UMUM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP

PB 10 STRATEGI UMUM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP PB 10 STRATEGI UMUM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP A. Kebijakan Lingkungan Hidup dan Kependudukan 1. Perkembangan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia a. Menjelang konferensi Stockholm (5 Juni 1972)

Lebih terperinci

BAB IV KONSEPTUALISASI DAN METODE SYSTEM DYNAMICS

BAB IV KONSEPTUALISASI DAN METODE SYSTEM DYNAMICS BAB IV KONSEPTUALISASI DAN METODE SYSTEM DYNAMICS IV.1 Pendekatan System Dynamics Saswinadi Sasmojo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan suatu sistem adalah fenomena yang telah terdefinisi strukturnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian TPA Sumur Batu, Bantar Gebang, Kota Bekasi adalah TPA milik Kota Bekasi yang terletak di sebelah tenggara Kota Bekasi dan berdekatan dengan TPA Bantar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, energi menjadi persoalan yang krusial di dunia, dimana peningkatan permintaan akan energi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi sudah dimulai sejak Revolusi Industri yang terjadi pada abad ke 18 di Inggris yang pada akhirnya menyebar keseluruh dunia hingga saat sekarang ini.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi jasa di DKI Jakarta, kualitas lingkungan hidup juga menurun akibat pencemaran. Pemukiman yang padat,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. (Research and Development/R&D) melalui pendekatan sistem dinamis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. (Research and Development/R&D) melalui pendekatan sistem dinamis BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (Research and Development/R&D) melalui pendekatan sistem dinamis (dynamics system). Metode

Lebih terperinci

Model System Dinamics

Model System Dinamics System Thinking / System Dinamics (Perbedaan SD dan MP, Causal Loop, Konsep Stok dan Flow) Perbedaan system dinamics (SD) dan mathematical programming (MP) Perbedaan MP dan SD berdasarkan : 1. Tujuan :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan pemimpin politik untuk merespon berbagai tantangan dari ancaman

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan pemimpin politik untuk merespon berbagai tantangan dari ancaman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanasan global telah menjadi isu politik dan bisnis yang semakin penting bagi sebagian besar negara. Ada panggilan yang kuat dari lingkungan, bisnis dan pemimpin

Lebih terperinci

Krisis Pangan, Energi, dan Pemanasan Global

Krisis Pangan, Energi, dan Pemanasan Global Krisis Pangan, Energi, dan Pemanasan Global Benyamin Lakitan Kementerian Negara Riset dan Teknologi Rakorda MUI Lampung & Jawa Jakarta, 22 Juli 2008 Isu Global [dan Nasional] Krisis Pangan Krisis Energi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak menanggung beban akibat aktivitas tersebut. Salah satu dampak yang paling

BAB I PENDAHULUAN. pihak menanggung beban akibat aktivitas tersebut. Salah satu dampak yang paling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Beberapa tahun terakhir ini, aktivitas operasional perusahaan memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan dan sosial, Hal ini menyebabkan berbagai pihak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model Pemodelan merupakan suatu aktivitas pembuatan model. Secara umum model memiliki pengertian sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI SYSTEM DYNAMICS

BAB III METODOLOGI SYSTEM DYNAMICS BAB III METODOLOGI SYSTEM DYNAMICS Dalam penelitian ini, analisis keandalan ketersediaan air baku Sungai Cikapundung Hulu dilakukan dengan menggunakan metoda system dynamics. Penggunaan system dynamics

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK The New Climate Economy Report RINGKASAN EKSEKUTIF Komisi Global untuk Ekonomi dan Iklim didirikan untuk menguji kemungkinan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sumber daya alam atau biasa disingkat SDA adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang

Lebih terperinci

V. ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK EMISI GAS CO 2

V. ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK EMISI GAS CO 2 V. ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK EMISI GAS CO 2 5.1 Kalibrasi Model Seperti yang telah diuraikan pada Bab 3.5, maka sebelum dilakukan simulasi dari model, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membantu membiayai pembangunan nasional, sedangkan impor dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. membantu membiayai pembangunan nasional, sedangkan impor dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang ikut serta dalam kerjasama internasional, maka dari itu perekonomian Indonesia tidak lepas dari yang namanya ekspor dan impor.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

ll. TINJAUAN PUSTAKA cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi

ll. TINJAUAN PUSTAKA cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi ll. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Industri Tahu Industri tahu di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkembang cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi setiap hari

Lebih terperinci

SUMBER DAYA ENERGI MATERI 02/03/2015 JENIS ENERGI DAN PENGGUNAANNYA MINYAK BUMI

SUMBER DAYA ENERGI MATERI 02/03/2015 JENIS ENERGI DAN PENGGUNAANNYA MINYAK BUMI MATERI SUMBER DAYA ENERGI Energi fosil Dampak penggunaan energi fosil Energi alternatif Upayapenurunan penurunan emisi gas rumah kaca Kyoto Protocol JENIS ENERGI DAN PENGGUNAANNYA Apakah ada aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian diserap oleh bumi. Bagian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. Dibandingkan dengan kondisi permintaan energi beberapa

Lebih terperinci