BAB IV PENGEMBANGAN MODEL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV PENGEMBANGAN MODEL"

Transkripsi

1 BAB IV PENGEMBANGAN MODEL Pada bab ini akan dilakukan pengembangan model sistem dinamis untuk industri tepung tapioka. Hal-hal yang akan dijelaskan pada tahap ini adalah dasar pengembangan model, pembentukan struktur model dan validasi model. 4.1 Dasar Pengembangan Model Model yang dikembangkan didasarkan pada dua hal, yaitu penelitian-penelitian sebelumnya yang ditinjau dari empat aspek, yaitu aspek produksi, kebijakan, pengolahan limbah cair dan pemodelan (Gambar 4.1), dan tinjauan terhadap sistem nyata. 37

2 Gambar 4.1 Penelitian Yang Digunakan Sebagai Dasar Pengembangan Model. Dalam proses produksi tepung tapioka menggunakan masukan utama berupa ubikayu dan tenaga kerja. Tepung tapioka yang dihasilkan dipasarkan di pasar dalam negeri. Dan dari proses produksi dihasilkan limbah cair yang mengandung bahan-bahan organik berkonsentrasi tinggi. Untuk menurunkan konsentrasi bahan-bahan organik dalam limbah cair dilakukan proses pengolahan limbah dengan menggunakan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) berbentuk kolamkolam terbuka. Untuk keberlangsungan usahanya, industri tepung tapioka sangat bergantung pada kesinambungan pasokan dan kualitas ubikayu. Industri tepung tapioka juga menggunakan energi dalam proses produksinya. Energi yang digunakan bersumber pada bahan bakar fosil terutama solar. Perubahan harga solar pada tahun 2005 cukup mempengaruhi industri tepung tapioka. kenaikan harga solar berimbas pada peningkatan biaya produksi. Perubahan nilai tukar juga ikut berpengaruh pada industri tepung tapioka. Menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar pada tahun 2003 disertai dengan penurunan harga tapioka impor menyebabkan harga produk impor menjadi murah di dalam negeri. Hal ini mempengaruhi permintaan tepung tapioka ke industri tepung tapioka Lampung. Adanya kesepakatan internasional mengenai kelestarian lingkungan yang diimplementasikan melalui program CDM merupakan peluang bagi industri tepung tapioka untuk mendapatkan IPAL alternatif untuk menggantikan IPAL konvensional yang dipakai. Penggunaan IPAL alternatif akan meningkatkan efisiensi pengolahan limbah cair dan menghasilkan gas metana sebagai sumber energi alternatif. 38

3 4.2 Proses Pembentukan Struktur Model a. Penentuan Batasan Model Batasan dari model adalah pemisah antara apa saja yang menjadi bagian dari sistem dan apa saja yang menjadi bagian di luar sistem. Untuk memudahkan proses pembatasan model, Sterman (2000) menyarankan pendaftaran variabelvariabel yang akan diformulasikan secara endogen, eksogen dan variabel yang tidak tercakup pada model. Tabel 4.1 Variabel Model Variabel Eksogen Variabel Endogen Variabel tidak tercakup Konsumsi Permintaan Bunga kredit investasi Harga produk impor Produksi Kualitas produk Angkatan kerja Kapasitas produksi Proses pengiriman produk Harga bahan bakar Kapital industri Nilai tukar Utilisasi kapasitas Upah tenaga kerja Harga bahan baku Penyerapan tenaga kerja Pengaruh tenaga kerja Penyerapan bahan baku Pengaruh bahan baku Biaya produksi Pembentukan harga Produksi limbah cair Pengolahan limbah cair b. Pembentukan Diagram Subsistem Setelah menentukan batasan model maka proses selanjutnya adalah pembuatan diagram subsistem. Diagram sub sistem yang dibangun pada model ini adalah modifikasi dari diagram sub sistem pada model sistem dinamis untuk kebijakan pembangunan perikanan oleh Nasution (2001). Adapun model dasar yang digunakan dapat dilihat pada gambar

4 Keterangan : U : Aliran uang M : Aliran material K : Aliran kapital I : Aliran informasi T : Aliran tenaga kerja Gambar 4.2 Model Sistem Dinamis Pembangunan Perikana (Nasution, 2001) Model tersebut dibentuk dari enam subsistem, yaitu subsistem permintaan dan produksi, subsistem barang kapital, subsistem tenaga kerja, subsistem sumberdaya ikan, subsistem finansial dan subsistem penduduk. Subsistem permintaan dan produksi berperan membentuk permintaan akan produk (ikan) yang berasal dari subsistem penduduk. Permintaan akan menggerakkan produksi yang dilakukan melalui proses penangkapan ikan di laut. Subsistem barang kapital berperan menyediakan kapital berupa kapal-kapal yang digunakan untuk menangkap ikan. Subsistem penduduk berperan menyediakan angkatan kerja yang akan menjadi input bagi subsistem tenaga kerja. Subsistem penduduk juga berfungsi membentuk konsumsi akan produk. Subsistem tenaga kerja berperan menyediakan tenaga kerja untuk mengoperasikan barang kapital. Subsistem sumberdaya ikan berperan menyediakan bahan baku (ikan) yang dibutuhkan oleh subsistem permintaan dan produksi. Subsistem finansial berperan menggambarkan aliran uang (pendapatan) pada usaha penangkapan ikan. Pada model yang akan dikembangkan, proses produksi menghasilkan produk berupa tepung tapioka. Permintaan berasal dari konsumsi yang dikondisikan 40

5 sebagai variabel eksogen dengan memperhatikan pengaruh harga produk. Barang kapital yang digunakan dalam proses produksi adalah unit pemproses ubikayu menjadi tepung tapioka. Tenaga kerja yang digunakan pada industri berasal dari angkatan kerja yang dikondisikan sebagai variabel eksogen. Bahan baku yang digunakan adalah ubikayu. Aliran uang yang terjadi merupakan gambaran pembentukan harga produk. Pada sistem industri tepung tapioka terdapat sistem pengolahan limbah. Oleh karena hal-hal di atas belum tercakup dalam model dasar, akan dilakukan modifikasi pada model dasar untuk lebih dapat menggambarkan sistem nyata dari industri tepung tapioka. Adapun modifikasi-modifikasi yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Mengganti subsistem sumber daya ikan dengan subsistem ketersediaan ubikayu bagi industri tepung tapioka. 2. Mengganti subsistem finansial dengan subsistem harga. 3. Menambahkan subsistem pengolahan limbah untuk menggambarkan proses pengolahan limbah cair industri tepung tapioka. 4. Meniadakan subsistem penduduk karena angkatan kerja dikondisikan sebagai variabel eksogen. 5. Memecah subsistem produksi dan permintaan menjadi subsistem produksi dan subsistem permintaan untuk menggambarkan proses pembentukan permintaan secara lebih detil. Selanjutnya diagram subsistem hasil modifikasi dapat dilihat pada gambar

6 Gambar 4.3 Diagram Subsistem pada Model Modifikasi Diskripsi dan hubungan keterkaitan dari masing-masing subsistem adalah sebagai berikut : 1. Subsistem Permintaan Subsistem permintaan dalam model berperan membentuk permintaan tepung tapioka ke industri tepung tapioka Lampung. Permintaan tepung tapioka ke industri dipengaruhi oleh harga dari tepung tapioka Lampung terhadap harga tepung tapioka impor. 2. Subsistem Produksi Subsistem produksi berperan sebagai penghasil komoditi tepung tapioka sebagai respon dari sub sistem permintaan. Untuk dapat menghasilkan tepung tapioka, subsistem ini membutuhkan beberapa input faktor-faktor produksi, yaitu barang kapital, tenaga kerja dan bahan baku. Selain menghasilkan tepung tapioka, subsistem produksi juga akan menghasilkan limbah cair yang merupakan input bagi subsistem pengolahan limbah. 3. Subsistem Barang Kapital Subsistem barang kapital dalam model berperan menyediakan barang kapital yang dibutuhkan dalam proses pengolahan ubikayu menjadi tepung tapioka pada 42

7 subsistem produksi. Barang kapital yang dibutuhkan adalah unit mesin pemproses tepung tapioka dari bahan baku ubikayu. 4. Subsistem Tenaga Kerja Subsistem tenaga kerja berperan menyediakan tenaga kerja untuk subsistem produksi. Perekrutan tenaga kerja dilakukan bila terjadi peningkatan produksi. Subsistem tenaga kerja juga menyediakan informasi untuk subsistem pembentukan harga, terkait biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh industri. 5. Subsistem Ketersediaan Ubikayu Subsistem ini berperan menyediakan ubikayu sebagai bahan baku utama pembuatan tepung tapioka. Ketersediaan ubikayu berasal dari panen tanaman ubikayu yang dipengaruhi oleh luas panen ubikayu dan produktivitas lahan penanaman ubikayu. Subsistem ini juga menyediakan informasi untuk subsistem pembentukan harga, terkait biaya bahan baku yang harus dikeluarkan oleh industri. 6. Subsistem Pengolahan Limbah Cair Subsistem ini berperan menggambarkan proses pengolahan limbah cair yang berasal dari sistem produksi. Pengolahan limbah cair tapioka menggunakan IPAL konvensional. Pada subsistem ini juga digambarkan pengolahan limbah cair menggunakan IPAL alternatif yang dapat menghasilkan gas metana sebagai sumber energi alternatif dalam usaha mengurangi pengunaan energi konvensional. 7. Subsistem Harga Pada subsistem harga menggambarkan pembentukan harga dari tepung tapioka. Harga tepung tapioka yang terbentuk akan mempengaruhi tingkat permintaan ke industri tepung tapioka Lampung. C. Pembentukan Diagram Sebab Akibat Dari Diagram subsistem yang terbentuk diurai lagi menjadi diagram sebab akibat Dengan diagram sebab akibat diharapkan dapat membantu untuk menjelaskan hubungan - hubungan yang terjadi antar variabel yang terlibat dalam sistem industri tepung tapioka. Adapun diagram sebab akibat untuk setiap subsistem adalah sebagai berikut: 43

8 1. Diagram Sebab Akibat Subsistem Permintaan Gambar 4.4 Diagram Sebab Akibat Subsistem Permintaan Subsistem permintaan dibentuk untuk menggambarkan interaksi antar variabel dalam subsistem permintaan serta interaksi antar variabel dalam subsistem permintaan dengan variabel dalam subsistem produksi dan pembentukan harga. Permintaan tepung tapioka ke industri Lampung berasal dari indikasi permintaan tepung tapioka ke industri yang dipengaruhi oleh waktu penyesuaian permintaan. Waktu penyesuaian permintaan menggambarkan waktu yang dibutuhkan konsumen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan harga yang terjadi. Indikasi permintaan tepung tapioka ke industri adalah gambaran jumlah tapioka yang diminta konsumen sebagai respon terhadap harga tapioka Lampung terhadap harga impor. Indikasi permintaan tepung tapioka ke industri berasal dari referensi permintaan tapioka ke industri yang dipengaruhi oleh permintaan potensial ke 44

9 industri Lampung. Permintaan potensial tapioka adalah jumlah tapioka yang diminta pasar sebagai respon atas perubahan konsumsi tapioka domestik. Selanjutnya permintaan tepung tapioka ke industri akan diterjemahkan sebagai produksi harapan yang bisa dilakukan oleh industri tepung tapioka Lampung. 2. Diagram Sebab Akibat Subsistem Produksi Gambar 4.5 Diagram Sebab Akibat Subsistem Produksi Dalam subsistem produksi, industri menterjemahkan permintaan tepung tapioka ke industri sebagai produksi harapan yang bisa dilakukan oleh industri. Produksi harapan akan meningkatkan kebutuhan kapasitas produksi. Kebutuhan kapasitas produksi dibandingkan dengan kapasitas produksi yang ada akan membentuk gap kapasitas. Gap kapasitas akan mempengaruhi kebutuhan penambahan kapasitas yang selanjutnya akan mempengaruhi kebutuhan penambahan kapital pada subsistem kapital. Penambahan kapital akan meningkatkan kapital dari industri 45

10 tepung tapioka yang berarti akan meningkatkan kapasitas produksi yang ada. Penambahan kapasitas produksi selanjutnya mengurangi gap kapasitas. Interaksi antara gap kapasitas - kebutuhan penambahan kapasitas - kebutuhan penambahan kapital - kapital industri kapasitas produksi membentuk balancing loop (Loop B-1). Kapasitas produksi akan mempengaruhi produksi potensial yang bisa dilakukan industri. Produksi potensial dengan mempertimbangkan pengaruh tenaga kerja selanjutnya akan menjadi produksi yang mungkin dilakukan oleh industri. Produksi yang mungkin dilakukan dengan memperhatikan pengaruh bahan baku akan menjadi produksi aktual yang bisa dilakukan oleh industri. Dari proses produksi yang dilakukan akan menghasilkan limbah cair yang akan masuk ke dalam subsistem pengolahan limbah cair. 3. Diagram Sebab Akibat Subsistem Kapital Gambar 4.6 Diagram Sebab Akibat Subsistem Kapital Subsistem kapital menggambarkan mekanisme penambahan kapital sebagai respon dari kebutuhan penambahan kapital. Kebutuhan penambahan kapital adalah respon dari kebutuhan penambahan kapasitas pada subsistem produksi. Kebutuhan penambahan kapital dibandingkan dengan kapital yang ada akan membentuk gap kapital yang akan meningkatkan realisasi kapital. Dalam 46

11 merealisasikan kapital tidak bisa dilakukan secara langsung, diperlukan waktu untuk merealisasikan kapital. Realisasi kapital akan meningkatkan kapital industri yang selanjutnya akan meningkatkan kapasitas produksi. Peningkatan kapital industri akan mengurangi gap kapital yang terbentuk. Interaksi antara gap kapital realisasi kapital kapital industri akan membentuk balancing loop (Loop B-2). Kapital yang tersedia akan mempengaruhi kapasitas produksi yang selanjutnya akan mempengaruhi produksi potensial pada subsistem produksi. Kapital industri akan meningkatkan depresiasi kapital yang selanjutnya mempengaruhi kapasitas produksi. 4. Diagram Sebab Akibat Subsistem Tenaga Kerja Gambar 4.7 Diagram Sebab Akibat Subsistem Tenaga Kerja Pada subsistem ini digambarkan mekanisme penyerapan tenaga kerja dari industri tepung tapioka. Penyerapan tenaga kerja dimulai dari kebutuhan tenaga kerja yang dipengaruhi kapasitas produksi dari subsistem kapital. Kebutuhan tenaga kerja akan dibandingkan dengan tenaga kerja yang ada pada industri yang memunculkan gap tenaga kerja. Gap tenaga kerja akan meningkatkan penyerapan 47

12 tenaga kerja dari angkatan kerja Propinsi Lampung. Penyerapan tenaga kerja akan meningkatkan tenaga kerja industri tepung tapioka yang selanjutnya mengurangi gap tenaga kerja. Interaksi antara gap tenaga kerja penyerapan tenaga kerja tenaga kerja industri akan membentuk balancing loop (Loop B-3). Keberadaan tenaga kerja dengan mempertimbangkan produktivitas dari tenaga kerja akan mempengaruhi output potensial yang bisa dihasilkan oleh tenaga kerja. Output potensial tenaga kerja selanjutnya akan dibandingkan dengan kapasitas produksi dari industri untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan oleh keberadaan tenaga kerja. Pengaruh tenaga kerja akan mempengaruhi produksi yang mungkin dapat dilakukan oleh industri. 5. Diagram Sebab Akibat Subsistem Ketersediaan Ubikayu Gambar 4.8 Diagram Sebab Akibat Subsistem Ketersediaan Ubikayu Pada subsistem ini digambarkan mekanisme pengadaan bahan baku dari industri tepung tapioka. Pengadaan bahan baku dimulai dari kebutuhan bahan baku yang 48

13 dipengaruhi produksi yang mungkin dilakukan dari industri tepung tapioka. Kebutuhan bahan baku akan dibandingkan dengan bahan baku yang tersedia pada industri yang kemudian memunculkan gap bahan baku. Gap bahan baku akan meningkatkan penyerapan ubikayu dari produksi ubikayu di Propinsi Lampung. Produksi ubikayu sendiri dipengaruhi oleh luas lahan penanaman ubikayu dan produktivitas lahan penanaman ubikayu. Penyerapan bahan baku akan meningkatkan bahan baku tersedia industri tepung tapioka yang selanjutnya mengurangi gap bahan baku. Interaksi antara gap bahan baku penyerapan ubikayu bahan baku tersedia akan membentuk balancing loop (Loop B-4). Keberadaan bahan baku akan mempengaruhi output potensial yang bisa dihasilkan oleh ketersediaan bahan baku. Output ini selanjutnya akan dibandingkan dengan produksi yang mungkin dilakukan dari industri untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan oleh keberadaan bahan baku. Pengaruh bahan baku akan mempengaruhi produksi aktual yang dapat dilakukan oleh industri 6. Diagram Sebab Akibat Subsistem Pengolahan Limbah Cair Gambar 4.9 Diagram Sebab Akibat Subsistem Pengolahan Limbah Cair 49

14 Pada sub sistem ini digambarkan mekanisme pengolahan limbah cair sebagai produk lain dari produksi tepung tapioka. Pengolahan limbah cair secara konvensial terdiri dari dua tahap. Limbah cair industri tapioka yang dihasilkan dari proses produksi akan menjadi input bagi proses pengolahan limbah cair tahap 1 pada kolam oksidasi I. Proses pengolahan pada kolam I adalah proses anaerobik atau proses pengolahan tanpa menggunakan oksigen. Pada proses ini akan dihasilkan gas metana yang akan terlepas ke udara bebas. Setelah menjalani proses pengolahan tahap 1 limbah cair akan menjalani proses pengolahan tahap 2 pada kolam oksidasi II. Proses pengolahan pada kolam II adalah proses aerobik atau proses pengolahan dengan menggunakan bantuan oksigen. Setelah menjalani proses pengolahan pada kolam oksidasi tahap II, limbah cair siap dibuang ke sungai atau yang disebut limbah cair outlet. Selain pengolahan di atas, terdapat pengolahan alternatif berbentuk reaktor tertutup. Pada proses pengolahan dengan reaktor tetutup limbah cair dialirkan pada suatu reaktor tertutup yang dilengkapi penangkap gas. Proses pengolahan pada reaktor adalah proses anaerobik. Penangkap gas yang ada dimaksudkan untuk menangkap gas metana dari proses anaerobik. Gas metana dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk mengurangi rasio guna energi konvensional. Pengolah limbah cair berbentuk reaktor tertutup diasumsikan merupakan hasil dari implementasi CDM sehingga tidak memerlukan investasi dari industri tepung tapioka. Selain itu biaya operasional pengolah limbah cair berbentuk reaktor tertutup diasumsikan sama dengan biaya operasional pengolahan limbah kolam terbuka yang telah tercakup dalam variabel biaya lain pada subsistem harga. 50

15 7. Diagram Sebab Akibat Subsistem Harga Gambar 4.10 Diagram Sebab Akibat Subsistem Harga Subsistem harga menguraikan bagaimana biaya produksi dari tepung tapioka terbentuk. Dalam model yang dibuat, biaya produksi dipengaruhi oleh biaya variabel, biaya lain-lain dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikenakan pada 51

16 tepung tapioka. Untuk biaya variabel disusun dari tiga jenis biaya, yaitu biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya energi. Biaya energi dipengaruhi oleh rasio guna energi yang digunakan dan harga bahan bakar. Biaya bahan baku dan tenaga kerja dipengaruhi oleh harga ubikayu dan tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi tepung tapioka. Biaya produksi yang terbentuk akan mempengaruhi harga minimum produk tapioka. Harga jual minimum tepung tapioka akan dibandingkan dengan harga tepung tapioka dipasar untuk menentukan indikasi harga tepung tapioka. Indikasi harga adalah harga maksimum dari harga produk di pasar terhadap harga jual minimum produk. Indikasi harga yang terbentuk akan mempengaruhi ekspektasi harga produsen yang akan mempengaruhi harga tepung tapioka di pasar. Dari interaksi antara indikasi harga produk, ekspektasi harga produsen dan harga produk di pasar akan membentuk reinforcing loop (R-1). Biaya produksi yang terbentuk juga akan mempengaruhi ekspektasi produsen terhadap biaya produksi tepung tapioka di masa depan. Ekspektasi biaya produksi dibandingkan dengan ekspektasi harga produsen dengan mempertimbangkan sensitifitas harga terhadap biaya produksi akan membentuk pengaruh biaya produksi yang akan mempengaruhi harga tepung tapioka di pasaran. Harga tapioka dipasar selanjutnya akan mempengaruhi permintaan tepung tapioka ke industri Lampung. Interaksi antara variabel indikasi harga ekspektasi harga pengaruh biaya produksi - harga produk membentuk balancing loop (B-5). D. Pembentukan Diagram Stock & Flow Dari Diagram sebab akibat yang terbentuk diurai lagi menjadi diagram stock & flow sekaligus dilengkapi dengan persamaan matematis, parameter dan kondisi inisial sistem. Selanjutnya akan dilakukan pengujian dengan melakukan simulasi komputer menggunakan bantuan Softwere Powersim. Adapun diagram stock & flow untuk setiap subsistem adalah sebagai berikut : 52

17 1. Diagram Stock & Flow Permintaan Permintaan tepung tapioka potensial Lampung berasal dari konsumsi domestik. Konsumsi diasumsikan tumbuh secara linear. Dari nilai konsumsi akan dicari tingkat pertumbuhan pasarnya. Diasumsikan jika tingkat pertumbuhan konsumsi tepung tapioka meningkat maka permintaan potensial tepung tapioka Lampung akan meningkat sesuai dengan pertumbuhan konsumsi tepung tapioka domestik. Waktu peramalan adalah 1 tahun. Nilai inisial permintaan potensial adalah nilai produksi aktual industri tepung tapioka Lampung tahun Adapun persamaan, parameter dan kondisi inisial yang terlibat untuk variabel permintaan domestik adalah sebagai berikut : Permintaan potensial tepung tapioka Lampung Level PrmtPotTL = +dt*prbhprmt init PrmtPotTL = InitPrmtPot const InitPrmtPot = PrmtPotTL = Permintaan potensial tapioka Lampung (Ton) PrbhPrmt = Perubahan permintaan potensial tapioka Lampung (Ton/tahun) InitPrmtPot = Permintaan potensial inisial (Ton) Perubahan permintaan potensial tepung tapioka Lampung PrbhPrmt = PrmtPotTL*PrtmbhPrmt PrbhPrmt = Perubahan permintaan potensial (Ton/tahun) PrmtPotTL = Permintaan potensial tapioka Lampung (Ton) PrtmbhPrmt = Pertumbuhan permintaan (tanpa satuan) Pertumbuhan permintaan PrtmbhPrmt = TREND(Konsumsi,WRml) PrtmbhPrmt = Pertumbuhan permintaan WRml = Waktu peramalan (Tahun) Konsumsi = Konsumsi tepung tapioka domestik (Ton/tahun) Konsumsi GRAPH(TIME, 2001, 1, TKonsmsi) TKonsmsi = [858277,975160, , , , , , , , , , , , , ] 53

18 Permintaan potensial tapioka Lampung selanjutnya akan menjadi referensi dalam memperkirakan indikasi permintaan tapioka Lampung. Persamaan persamaan untuk variabel indikasi permintaan adalah sebagai berikut : Indikasi permintaan tapioka ke industri tapioka Lampung IndPTL RefPTL HrgJTL HrgImpor KKmrg IndPTL = (RefPTL*MAX(0,1+KKmrg*((HrgJTL- HrgImpor)/RefPTL))) = Indikasi permintaan tapioka ke industri Lampung (Ton/tahun) = Referensi permintaan tapioka ke industri (Ton/tahun) = Harga tepung tapioka Lampung (Rupiah/kg) = Harga tapioka impor (Rupiah/kg) = Kemiringan kurva permintaan (tanpa satuan) Kemiringan kurva permintaan KKmrg = (-RefPTL*ElstsPrmtan)/HrgImpor const ElstsPrmtan = KKmrg = Kemiringan kurva permintaan (tanpa satuan) ElstsPrmtan = Elastisitas permintaan (tanpa satuan) RefPTL = Referensi permintaan tapioka ke industri (Ton/tahun) Nilai elastisitas yang merupakan proporsi perubahan permintaan terhadap perubahan harga diestimasi dari data historis perubahan permintaan tapioka ke Industri Lampung terhadap perubahan harga tapioka Lampung. Untuk nilai referensi harga impor diolah dari data historis harga tepung tapioka impor Thailand dalam dollar untuk setiap ton tapioka (TTTA, 2007) dengan memperhatikan perubahan nilai tukar rupiah dan tarif impor produk tepung tapioka. Persamaan untuk penentuan harga tapioka impor adalah sebagai berikut : Harga tepung tapioka impor HrgImpor = ((RefhrgImp*NT)/1000)*(1+TarIm) HrgImpor = Harga tepung tapioka impor (Rp/kg) NT = Nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika (Rp/U$) RefhrgImp = Referensi harga impor (U$/ton) TarIm = Tarif impor (tanpa satuan) 54

19 RefhrgImp GRAPH(TIME, 2001, 1, [158,185,172,188,221,230,241,255,276,290,302,318,335,350,364]) Nilai Tukar Rupiah terhadap dollar GRAPH(TIME, 2002, 1, [10265,9261,8571,8985,9750,9118, , , , , , , , ]) Tarif impor TarIm = GRAPH(TIME, 2001, 1, [0.05,0.05,0.05,0.05,0.1,0.1]) Selanjutnya indikasi permintaan yang terbentuk akan menjadi permintaan pasar domestik terhadap industri Lampung dengan memperhatikan waktu penyesuaian permintaan. Permintaan tapioka ke industri dirumuskan sebagai delay dengan waktu penyesuaian diasumsikan konstan selama 0.5 tahun. Permintaan tapioka ke industri Lampung selanjutnya akan menjadi produksi harapan bagi industri tepung tapioka. Persamaan-persamaan terkait dengan variabel permintaan ke industri adalah sebagai berikut : Pemintaan tapioka ke industri Lampung unit PrmtTI IndPTL WPPrmt PrmtTI = DELAYINF(IndPTL,WPPrmt,1) PrmtTI = Ton/tahun = Permintaan tapioka ke industri Lampung (Ton/tahun) = Indikasi permintaan tapioka ke industri Lampung (Ton/tahun) = Waktu penyesuaian permintaan (tahun) Tingkat produksi harapan ProdHrp PrmtTI ProdHrp = PrmtTL = Produksi harapan tapioka Lampung (Ton/tahun) = Permintaan tapioka ke industri Lampung (Ton/tahun) 2. Diagram Stock & Flow Produksi Dari produksi harapan selanjutnya akan menentukan indikasi utiliti dengan memperhatikan kapasitas terpasang. Indikasi utiliti akan mempengaruhi kapasitas produksi yang menjadi produksi potensial dari industri. Dari produksi potensial dengan memperhatikan pengaruh tenaga kerja akan menjadi produksi yang 55

20 mungkin dilakukan oleh industri. Selanjutnya produksi yang mungkin dengan memperhatikan pengaruh ketersediaan bahan baku akan menjadi produksi aktual dari industri. Persamaan-persamaan yang terlibat pada subsistem produksi adalah sebagai berikut : Tingkat produksi aktual ProdAktual = PngrhBB*ProdMngk ProdAktual = Produksi aktual industri (Ton/tahun) ProdMngk = Produksi yang mungkin (Ton/tahun) PngrhBB = Pengaruh bahan baku (tanpa satuan) Tingkat produksi yang mungkin ProdMngk ProdPot PngrhTK ProdMngk = ProdPot*PngrhTK = Produksi yang mungkin dilakukan oleh industri (Ton/tahun) = Produksi potensial industri (Ton/tahun) = Pengaruh dari tenaga kerja (tanpa satuan) Tingkat produksi potensial ProdPot KpstProd ProdPot = KpstProd = Produksi potensial industri (Ton/tahun) = Kapasitas produksi (Ton/tahun) Indikasi utilitasasi kapasitas IndkUtil = MIN(KorProdHrp/KpstTpsng,UtilMax) const UtilMax = 0.9 const KorProdHrp =MAX(ProdHrp,0) IndkUtil UtilMax KorProdhrp = Indikasi utilisasi (tanpa satuan) = Utilitas maksimum dari kapasitas = Koreksi produksi harapan (Ton/tahun) Tingkat produksi harapan PTDI Prodhrp = PTDI (Ton/tahun) = Permintaan tapioka domestik terhadap industri tapioka Lampung (Ton/tahun) 56

21 Pada produksi potensial yang muncul, akan dibandingkan dengan kapasitas terpasang dari industri. Jika terdapat perbedaan antara kapasitas terpasang dengan kapasitas produksi, maka akan terbentuk gap kapasitas. Gap kapasitas bersama ekspetasi keusangan kapasitas akan memunculkan kebutuhan akan kapasitas. persamaan-persamaan matematis yang terlibat adalah sebagai berikut : Kebutuhan akan kapasitas KbthKpst = TkUsngKpst+KorGKpst KorGKpst = MAX(GapKpst,0) KbthKpst = Kebutuhan kapasitas (Ton/tahun) KorGKpst = Koreksi gap kapasitas (Ton/tahun) TkUsngKpst = Tingkat keusangan kapasitas (Ton/tahun) Gap kapasitas GapKpst KpstProd KpstTpsng GapKpst = KpstProd-KpstTpsng = Gap kapasitas (ton/tahun) = Kapasitas produksi (Ton/tahun) = Kapasitas terpasang (Ton) 3. Diagram Stock & Flow Kapital Salah satu karakteristik yang penting dalam sub sistem kapital adalah utilisasi dari kapasitas terpasang. Utilisasi dari kapasitas terpasang adalah rasio antara produksi aktual dengan kapasitas terpasangnya. Kapasitas terpasang adalah level dari tingkat penambahan kapasitas dan tingkat keusangan kapasitas. Tingkat penambahan kapasitas berasal dari penambahan kapital hasil dari realisasi kapital. Sedangkan tingkat keusangan kapasitas adalah pengaruh dari depresiasi kapital perkapasitas terhadap kapasitas terpasang. Depresiasi kapasitas sendiri adalah laju depresiasi kapital terhadap umur kapital. Adapun persamaanpersamaan, parameter dan kondisi inisial yang terlibat dalam subsistem kapital adalah sebagai berikut : Kapasitas produksi KpstsProd KpstsProd = KpstTpsng*IndkUtil = Kapasitas produksi (Ton/tahun) 57

22 KpstTpsng IndkUtil = Kapasitas terpasang (Ton) = Indikasi utilisasi (tanpa satuan) Kapasitas terpasang Level KpstTpsng PngktKpst PngktKpst KapPerKpst const KpstTpsng = +dt*pngktkpst -dt*tkusngkpst = Kapasitas terpasang (Ton) = Peningkatan kapasitas (Ton/tahun) = Peningkatan kapital (Rp/tahun) = Rasio kapital per kapasitas (Rp/ton) = KapPerKpst = (Rp/ton) Utilisasi kapasitas Utilisasi ProdAktual KpstTpsng Utilisasi = ProdAktual/KpstTpsng = Utilisasi kapasitas (tanpa satuan) = Produksi aktual (Ton/tahun) = Kapasitas terpasang (Ton) Tingkat Keusangan kapasitas rate TkUsngKpst = KpstTpsng*DepKpst KpstTpsng = Kapasitas terpasang (Ton) TkUsngKpst = Tingkat keusangan kapasitas (Ton/tahun) DepKpst = Depresiasi kapasitas (ton/tahun) Tingkat penambahan kapasitas rate PngktKpst PngktKap KapPerKpst PngktKpst = PngktKap/KapPerKpst = Peningkatan kapasitas (Ton/tahun) = Peningkatan kapital (Rp/tahun) = Rasio kapital per kapasitas (Rp/ton) Depresiasi kapasitas DepKpst PDKK KpstTpsng DepKpst = PngrhDepKapKpst/KpstTpsng = Depresiasi kapasitas (Ton/tahun) = Pengaruh depresiasi kapital tehadap kapasitas (ton/tahun) = Kapasitas terpasang (Ton) Kapital industri tepung tapioka Level Kapital = -dt*depresiasi+dt*pngktkap 58

23 init Kapital = Kapital Depresiasi PngktKap = Investasi pada industri tepung tapioka (Rupiah) = Kapital/UmurKap (Rp/tahun) = Peningkatan investasi (Rp/tahun) Peningkatan kapital PngktKap RealKap PngktKap = RealKap = Peningkatan kapital (Rp/tahun) = Realisasi kapital (Rp/tahun) Depresiasi kapital Depresiasi = Kapital/UmurKap const UmurKap = 20 Kapital = Investasi pada industri tepung tapioka (Rupiah) UmurKap = Umur kapital (tahun) Pengaruh depresiasi kapital kapasitas Depresiasi KapPerKpst PngrhDepKapKpst = Depresiasi/KapPerKpst = Depresiasi kapital (Rp/tahun) = Rasio kapital per kapasitas (Rp/ton) Untuk realisasi kapital adalah fungsi delay dari kebutuhan kapital. Hal ini didasari bahwa untuk merealisasikan kapital memerlukan waktu antara lain untuk pemesanan kapital dan konstruksi kapital. Kebutuhan kapital sendiri merupakan respon dari gap kapasitas dan tingkat keusangan kapital. Persamaan yang terlibat adalah sebagai berikut : Realisasi kapital RealKap = DELAYMTR(KbthKap,WktReal,1) const WktReal = 1 KbthKpst RealKap WktReal = Kebutuhan kapasitas (Ton/tahun) = Realisasi kapital (Rp/tahun) = Waktu realisasi kapital (tahun) 59

24 4. Diagram Stock & Flow Tenaga Kerja Kebutuhan akan tenaga kerja akan timbul dari kapasitas produksi industri. Tenaga kerja tersedia selanjutnya berpengaruh terhadap produksi potensial industri. Pengaruh tenaga kerja ditunjukkan oleh rasio output potensial dari tenaga kerja yang terbentuk dibandingkan dengan produksi potensial industri. Persamaanpersamaan yang terlibat pada subsistem tenaga kerja adalah sebagai berikut : Pengaruh tenaga kerja PngrhTK OutpotTK PngrhTK = MIN(OutptPotTK/ProdPot,1) = Pengaruh tenaga kerja (tanpa satuan) = Output potensial yang bisa diberikan oleh tenaga kerja (Ton/tahun) Ouput potensial tenaga kerja Kapabilitas TKPerOutT OutptPotTK = (Kapabilitas/TKPerOutT) = Kapabilitas tenaga kerja (orang) = Rasio tenaga kerja per satu unit output kapasitas (Orang/ton) Rasio tenaga kerja persatu unit output adalah rata-rata kebutuhan tenaga kerja persatu unit output tepung tapioka. Kebutuhan tenaga kerja per satu unit output diperoleh dengan membagi jumlah tenaga kerja dengan output tepung tapioka yang dihasilkan oleh industri setiap tahunnya. Rata-rata rasio tenaga kerja per unit output const TKPerOutT = Kapabilitas tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja aktual yang ada diindustri dengan membedakan produktivitas antara tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Penentuan kapabilitas tenaga kerja adalah sebagai berikut : Kapabilitas tenaga kerja industri Kapabilitas = (TKNtr*ProdTKNtr)+(TKtr*ProdTKtr) const ProdTKtr = 1 const ProdTKNtr =

25 ProdTKtr ProdTKtr TKNtr TKtr = Produktivitas tenaga kerja terampil (tanpa satuan) = Produktivitas tenaga kerja belum terampil (tanpa satuan) = Tenaga kerja belum terampil (orang) = Tenaga kerja terampil (orang) Pada model ini tenaga kerja terampil diperoleh dari proses asimilasi yang menggambarkan proses pelatihan tenaga kerja belum terampil dikurangi dengan tenaga kerja terampil yang diberhentikan dan tenaga terampil yang pensiun. Asumsi yang diterapkan pada subsistem tenaga kerja adalah, bahwa industri tidak melakukan rekrutimen pada tenaga kerja terampil, sehingga tenaga kerja yang baru masuk harus melalui proses asimilasi untuk mencapai produktivitas maksimum. Asumsi yang lain adalah tidak adanya tenaga kerja yang keluar pada saat asimilasi. Sedangkan inisialisasi jumlah tenaga kerja terampil adalah sama dengan kebutuhan tenaga kerja yang diperoleh dengan mengalikan kapasitas produksi dengan rasio tenaga kerja per satu unit output. Tenaga kerja terampil Level init TKtr = -dt*tkpens - dt*tkpbttktr + dt*tkasm TKtr = KebTK TKtr = Tenaga kerja terampil (Orang/tahun) TkAsm = Tenaga kerja dalam proses asimilasi (Orang/tahun) TkPbtTKtr = Tingkat pemberhentian tenaga kerja terampil (Orang/tahun) TkPens = Tingkat pensiun (Orang/tahun) Init = Inisialisasi tenaga kerja terampil (orang) KebTK = Kebutuhan tenaga kerja (orang) Tenaga Kerja dalam Proses Pelatihan rate TkAsm = TKNtr/WktAsm const WktAsm = 0.16 TkAsm WktAsm = Tenaga kerja dalam proses asimilasi (Orang/tahun) = Waktu Asimilasi (tahun) Tenaga Kerja Pensiun rate TkPens = TKtr/Rata2Wkrj const R2Wkrj = 15 TkPens TKtr R2Wkrj = Tingkat pensiun (Orang/tahun) = Tenaga kerja terampil (Orang) = Rata-rata waktu bekerja (tahun) 61

26 Kebutuhan Tenaga Kerja KebTK = ProdPot*TKPerOtpt KebTK = Kebutuhan tenaga kerja (Orang/tahun) ProdPot = Produksi potensial industri (Ton/tahun) TKPerOutT = Rasio tenaga kerja per satu unit output kapasitas (Orang/ton) Pemberhentian tenaga kerja diambil saat industri mengalami kelebihan tenaga kerja yang dilihat jika variabel kebutuhan perekrutan tenaga kerja menunjukkan tanda negatif. Dalam memberhentikan tenaga kerja, industri akan mendahulukan memberhentikan tenaga kerja belum terampil. Pada model ini diasumsikan jika kehendak industri memberhentikan tenaga kerja adalah 1. Arti dari angka satu adalah jika terjadi kelebihan tenaga kerja, industri akan langsung memberhentikan tenaga kerja tanpa memperhitungkan faktor-faktor lain. Tingkat pemberhentian tenaga kerja terampil TkPTKtr = MIN(TkMTKtr,(TkPbtTot-TkPTKNtr)) TkPTKtr TkMTKtr TkPTKNtr TkPbtTot = Tingkat pemberhentiann tenaga kerja terampil(orang/tahun) = Tingkat pemberhentian maksimum tenaga kerja terampil (Orang/tahun) = Tingkat pemberhentian tenaga kerja belum terampil (Org/thn) = Tingkat pemberhentian tenaga kerja total (Orang/tahun) Tingkat pemberhentian maksimum tenaga kerja terampil TkMTKtr = TKNtr/WPmbrht const WPmbrht = 1 TkMTKNtr WPmbrht TKNtr = Tingkat pemberhentian tenaga kerja tidak terampil (Orang/tahun) = Waktu pemberhentian (Tahun) = Tenaga kerja belum terampil (orang) Tingkat pemberhentian tenaga kerja belum terampil TkPTKNtr TkMTKNtr TkPbtTot TkPTKNtr = MIN(TkPMTKNtr,TkPbtTot) =Tingkat pemberhentian tenaga kerja belum terampil (Orang/tahun) = Tingkat pemberhentian maksimum tenaga kerja belum terampil (Orang/tahun) = Tingkat pemberhentian tenaga kerja total (Orang/tahun) 62

27 Tingkat pemberhentian maksimum tenaga kerja belum terampil TkPMTKNtr = TKNtr/WktPmbrht TkPMTKNtr = Tingkat pemberhentian tenaga kerja tidak terampil maksimum (Orang/tahun) TKNtr = Tenaga kerja belum terampil (orang) WPmbrht = Waktu pemberhentian (Tahun) Tingkat pemberhentian tenaga kerja total TkPbtTot = MAX(0,-KebRekTK)*KbjkPmbrht TkPbtTot = Tingkat pemberhentian total (Orang/tahun) KebRekTK = Kebutuhan perekrutan tenaga kerja (Orang/tahun) KbjkPmbrht = Kebijakan pemberhentian (tanpa satuan) Adanya perekrutan tenaga kerja dilakukan karena terjadi gap tenaga kerja dan tingkat pensiun tenaga kerja. Penyesuaian gap tenaga kerja dilakukan saat terdapat perbedaan antara jumlah tenaga kerja total dengan kebutuhan tenaga kerja. Persamaan-persamaan matematis yang terlibat adalah sebagai berikut : Kebutuhan perekrutan tenaga kerja KebRekTK PngrhTK PnyTK KebRekTK = PngrTK+PnyTK = Kebutuhan perekrutmen tenaga kerja (Orang/tahun) = Pengurangan tenaga kerja (Orang/tahun) = Penyesuaian gap tenaga kerja (Orang/tahun) Penyesuaian gap tenaga kerja PnyTK = (KebTK-TotalTK)/WPny const WPny = 1 PnyTK KebTK TotalTK WPny = Penyesuaian gap tenaga kerja (Orang/tahun) = Kebutuhan tenaga kerja (Orang/tahun) = Jumlah total tenaga kerja (Orang/tahun) = Waktu penyesuaian gap tenaga kerja (tahun) Pengurangan tenaga kerja PngrhTK TkPens PngrTK = TkPens = Pengurangan tenaga kerja (Orang/tahun) = Tingkat pensiun (Orang/tahun) 63

28 Jumlah Tenaga Kerja Total Total TK TKtr TKNtr TotalTK = TKNtr+TKtr = JumlahTenaga kerja total di Industri (Orang/tahun) = Tenaga kerja terampil (Orang) = Jumlah tenaga kerja belum terampil (Orang) Keberadaan tenaga kerja belum terampil ditentukan oleh tingkat perekrutan tenaga kerja dikurangi dengan tingkat asimilasi dan pemberhentian tenaga kerja belum terampil. Pada model diasumsikan untuk tahun 2001 semua tenaga kerja pada industri tepung tapioka adalah tenaga kerja terampil, sehingga inisialisasi level tenaga kerja belum terampil adalah nol. Jumlah tenaga kerja belum terampil Level TKNtr = -dt*tkpbttkntr + dt*tkrekr - dt*tkasm TKNtr = Jumlah tenaga kerja belum terampil (Orang) TkRekr = Tingkat rekrutmen tenaga kerja (Orang/tahun) TkAsm = Tenaga kerja dalam proses asimilasi (Orang/tahun) TkPbtTKNtr = Tingkat pemberhentian tenaga kerja belum terampil (Orang/tahun) Proses perekrutan tenaga kerja pada industri terjadi jika ada kesempatan kerja di industri. Industri melakukan perekrutan tenaga kerja belum terampil dari angkatan kerja Propinsi Lampung. Kesempatan kerja timbul karena adanya kebutuhan untuk menambah tenaga kerja dan penyesuaian gap tenaga kerja. Kesempatan kerja akan berkurang oleh proses perekrutan tenaga kerja. Kesempatan kerja yang ada juga dapat dibatalkan jika kebutuhan tenaga kerja menunjukkan nilai negatif yang berarti telah terjadi kelebihan tenaga kerja di industri. Perekrutan tenaga kerja TkRekr = MIN(KsptKrj,TKPRopLmpg)/WrekTK const WrekTK = 1 TkRekr = Tingkat rekrutmen tenaga kerja (Orang/tahun) KsptKrj = Kesempatan bekerja (Orang) TkPropLmpg = Tenaga kerja Propinsi Lampung (Orang/tahun) WrekTK = Waktu perekrutan (tahun) 64

29 Kesempatan Kerja Level init KsptKrj = -dt*tkttpksptkrj+dt*tkbkksptkrj-dt*tkpbtlksptkrj KsptKrj = KsptKrjHrp KsptKrj = Kesempatan bekerja (Orang) TkBkKKrj = Tingkat pembukaan kesempatan bekerja (Orang/tahun) TkTtpKsptKrj = Tingkat penutupan kesempatan bekerja (Orang/tahun) TkPbtlKsptKrj = Tingkat pembatalan kesempatan bekerja (Orang/tahun) KsptKrjHrp = Kesempatan bekerja harapan (Orang/tahun) Kesempatan kerja harapan KsptKrjHrp = KebRekTK*WrekTK KsptKrjHrp TkRekr WrekTK = Kesempatan bekerja harapan (Orang/tahun) = Tingkat perekrutan tenaga kerja (Orang/tahun) = Waktu rekrutmen tenaga kerja (tahun) Tingkat pembukaan kesempatan bekerja TkBkKsptKrj = KorPmbKKrj TkBkKsptKrj = Tingkat peningkatan pembukaan kesempatan kerja (Orang/tahun) KorPmbKKrj = Koreksi pembukaan kesempatan bekerja (Orang/tahun) KorPmbKKrj = MAX(0,PmbkKsptKrj) KorPmbKKrj = Koreksi pembukaan kesempatan bekerja (Orang/tahun) PmbkKsptKrj = Kebutuhan pembukaan kesempatan bekerja (Orang/tahun) Kebutuhan pembukaan kesempatan kerja PmbkKsptKrj = (PnyGapKKrj+KebRekTK) PmbkKsptKrj = Kebutuhan pembukaan kesempatan kerja (Orang/tahun) PnyGapKKrj = Penyesuaian gap kesempatan bekerja (Orang/tahun) KebRekTK = Kebutuhan perekrutmen tenaga kerja (Orang/tahun) Penyesuaian gap kesempatan bekerja PnyGapKKrj = (KsptKrjHrp-KsptKrj)/WpnyKKrj const WpnyKKrj = 1 PnyGapKKrj = Penyesuaian gap kesempatan bekerja (Orang/tahun) KsptKrjHrp = Kesempatan kerja harapan (Orang/tahun) KsptKrj = Kesempatan kerja (Orang) 65

30 Tingkat penutupan kesempatan Kerja TkTtpKsptKrj = TkRekr TkTtpKsptKrj = Tingkat penutupan kesempatan bekerja (Orang/tahun) TkRekr = Tingkat rekrutmen tenaga kerja (Orang/tahun) Tingkat pembatalan kesempatan kerja TkPbtlKsptKrj = MIN(PbtlKKrj,PbtlM) TkPbtlKsptKrj = Tingkat pembatalan kesempatan kerja (Orang/tahun) PbtlM = Kebutuhan pembatalan maksimum kesempatan kerja (Orang/tahun) Kebutuhan pembatalan maksimum kesempatan kerja PmbtMak = KsptKrj/WktPmbtl const WktPmbtl = 1 PbtlM KsptKrj WktPmbtl = Kebutuhan Pembatalan maksimum kesempatan kerja (Orang/tahun) = Kesempatan kerja (Orang) = Waktu pembatalan (Tahun) Kebutuhan pembatalan kesempatan kerja PbtlKKrj = MAX(0,-PmbkKsptKrj) PbtlKKrj = Kebutuhan pembatalan kesempatan kerja (Orang/tahun) PmbkKsptKrj = Kebutuhan pembukaan kesempatan kerja (Orang/tahun) Angkatan Kerja Propinsi Lampung Level AngkKrj = +dt*pngktak init AngkKrj = Angkatan kerja = Angkatan kerja Propinsi Lampung (Orang) Init AngkKrj = Angkatan kerja inisiasi (Orang) PngktAK = Peningkatan jumlah angkatan kerja (Orang/tahun) Peningkatan jumlah angkatan kerja PngktAK AnkPrbAK PngktAK = AngkKrj*AnkPrbhAK = Peningkatan jumlah angkatan kerja (Orang/tahun) = Angka pertumbuhan angkatan kerja (tanpa satuan) 66

31 AnkPrbhAK GRAPH(TIME, 2002, 1, [0.2258,0.1143,0.0728,0.0679,0.1980,0.0442,0.0748,0.0818,0.0798, ,0.0504,0.0653,0.0571,0.0518]) Tenaga kerja Propinsi Lampung TKPRopLmpg = AngkKrj*TPK Angkatan kerja = Angkatan kerja Propinsi Lampung TKPropLmpg = Tenaga kerja Propinsi Lampung (Orang/tahun) TPK = Tingkat partisipasi kerja (tanpa satuan) 5. Diagram Stock & Flow Ketersediaan Ubikayu Ketersediaan bahan bahan berupa ubikayu akan menentukan produksi yang mungkin dilakukan oleh industri tepung tapioka. Pada model ini pengaruh bahan baku berasal dari rasio output potensial yang bisa dihasilkan oleh ketersediaan bahan baku dengan produksi yang mungkin dilakukan. Dalam model ini ketersediaan bahan baku industri tepung tapioka dipengaruhi oleh produksi ubikayu Lampung dan proporsi ubikayu untuk industri tapioka. Produksi ubikayu dimodelkan hanya dipengaruhi oleh luas lahan dan produktivitas tanaman ubikayu. Persamaan persamaan yang terlibat dalam subsistem ketersediaan ubikayu adalah sebagai berikut : Pengaruh bahan baku PngrhBB = MIN(OutptPotBB/ProdMngk,1) PngrhBB = Pengaruh bahan baku (tanpa satuan) OutputPotBB = Output potensial dari ketersediaan bahan baku (Ton/tahun) ProdMngk = Produksi yang mungkin dilakukan (Ton/tahun) Output potensial yang dapat dihasilkan dari ketersediaan bahan baku OutptPotBB PenggBB RBBOutp OutptPotBB = PenggBB/RBBOutp = Output potensial yang dapat dihasilkan dari ketersediaan bahan baku (Ton/tahun) = Penggunaan bahan baku (Ton/tahun) = Rasio guna bahan baku (tanpa satuan) 67

32 Penggunaan Bahan Baku PenggBB KebBB UkuT PenggBB = MIN(KebBB,UKuT) = Penggunaan bahan baku (Ton/tahun) = Kebutuhan bahan baku (Ton/tahun) = Ubikayu untuk industri tepung tapioka (Ton/tahun) Ubikayu untuk industri tepung tapioka UKuT = ProdUk*PropUKuT const PropUKuT = 0.7 UkuT = Ubikayu untuk industri tepung tapioka (Ton/tahun) PropUKuT = Proporsi ubikayu yang digunakan untuk tapioka (tanpa satuan) Kebutuhan Bahan Baku KebBB = (ProdMngk/RBBOutp) const RBBOutp = 0.2 ProdMngk RBBOutp = Produksi yang mungkin dilakukan (Ton/tahun) = Rasio guna bahan baku (tanpa satuan) Produksi ubikayu Level ProdUk = +dt*tkproduk init ProdUk = ProdUk = Produksi ubikayu (Ton) TkProdUk = Tingkat produksi ubikayu Propinsi Lampung (Ton/tahun) InitProdUk = Produksi ubikayu inisial (Ton) Tingkat produksi ubikayu TkProdUk Llahan Prodktv TkProdUk = LLahan*Prodktv = Peningkatan Produksi ubi kayu (Ton/tahun) = Luas lahan tanam ubikayu (Ha/tahun) = Produktivitas lahan tanam ubikayu (Ton/tahun) LLahan = GRAPH(TIME, 2002, 1, [295156,298989,266586,252984,283430,253021,247932,240604,239879,233065, ,217905,211260,204495]) 68

33 Prodktv = GRAPH(TIME, 2002, 1, [11.726,16.672,17.529,18.900,19.403,22.209,23.938,24.862,26.598,28.311, ,31.424,33.017,34.752]) 6. Diagram Stock & Flow Pengolahan Limbah Cair Pada model industri tepung tapioka, kemampuan IPAL industri dalam menurunkan beban pencemar dimodelkan dalam bentuk efektivitas penguraian bahan organik dari limbah cair. Sistem pengolahan limbah cair tapioka diasumsikan stabil tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca sepanjang tahun. Adapun persamaan-persamaan yang terlibat dalam subsistem pengolahan limbah cair adalah sebagai berikut : Volume limbah cair industri VLC = ProdAktual*RAirUk const RTAir = 25 VLC ProdAktual RTAir = Volume limbah cair industri ( M3/tahun) = Produksi aktual (Ton/tahun) = Rasio penggunaan air per ton tapioka (M3/ton) Beban pencemar BBnCODI = VLC*KCODI const KCOD = 2.2 BBnCODI VLC KCODI = Beban COD sebelum diolah (Kg/tahun) = Volume limbah cair industri ( M3/tahun) = Konsentrasi bahan-bahan organik dalam setiap Meter Kubik limbah cair sebelum diolah (Kg/M3) Pengolahan tahap 1 PnglLCTI = BbnCODI*FPUAn const FPUAn = 0.28 PngLCTI BBnCODI FPUAn = Proses penurunan kandungan organik tahap 1(Kg/tahun) = Beban COD sebelum diolah (Kg/tahun) = Efisiensi penguraian kolam oksidasi 1(tanpa satuan) 69

34 Pengolahan tahap 2 PUA = PnglLCTI*FPUA const FPUA = 0.23 PUA PngLCTI FPUA = Proses penurunan kandungan organik tahap 2 (Kg/tahun) = Proses penurunan kandungan organik tahap 1(Kg/tahun) = Efisiensi penguraian kolam oksidasi 2 (tanpa satuan) Beban pencemar setelah diolah Bpencemar PUA Bpencemar = PUA = Beban pencemar setelah diolah dan siap dibuang ke sungai (Kg/tahun) = Proses penurunan kandungan organik tahap 2 (Kg/tahun) Potensi gas metana terlepas ke udara CH4Lps CODRe1 FCH4 CH4Lps = CODRe1*FCH4 = gas metana terlepas keudara (M3/tahun) = COD terurai pada kolam oksidasi 1 (Kg/tahun) = Fraksi gas metana dari COD terurai (M3/Kg) Selain IPAL berbentuk kolam terbuka, terdapat IPAL berbentuk reaktor tertutup. Penggunaan IPAL berbentuk reaktor tutup akan menghasilkan biogas yang didalamnya terdapat gas metana. Gas metan dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk mengurangi rasioguna energi konvensional. Dengan hal tersebut akan terjadi pengurangan biaya energi untuk industri. Adapun persamaanpersamaan matematis yang terlibat untuk IPAL alternatif adalah sebagai berikut : Pengolahan dengan reaktor tertutup PnglLCA = BbnCODI*FPUAnAl const FPUAn = 0.05 PnglLCA BBnCODI FPUAnAl = Proses penguraian dalam reaktor tertutup (Kg/tahun) = Beban COD sebelum diolah (Kg/tahun) = Efisiensi penguraian (tanpa satuan) Pembentukan Biogas Biogas = CODRemove*FBG const FBG =

35 Biogas = Biogas terbentuk dari proses penguraian bahan-bahan organik dalam limbah cair (M3/Tahun) CODRemove = COD yang terurai dari proses produksi limbah cair cair (Kg/tahun) FBG = Rasio biogas per kg COD yang terurai (M3/kg) COD terurai CODRemove2 = IF(TIME>2008,((BbnCODI-PnglLCA)*0),0) CODRemove2 = jumlah COD terurai (Kg/tahun) PnglLCA = Proses penguraian dalam reaktor tertutup (Kg/tahun) BBnCODI = Beban COD sebelum diolah (Kg/tahun) Pembentukan gas metana a Metan = Biogas*FMBg const FMBg = 0.83 Metan Biogas FMBg = Gas metana terbentuk (M3/tahun) = Biogas terbentuk dari proses penguraian bahan-bahan organik dalam limbah cair (M3/Tahun) = Fraksi gas metana dalam biogas Konversi metan terhadap energi konvensional Pada konversi ini biogas dikonversikan dengan nilai solar KonMS = Metan/FKonMS const FKonMS = 2.7 KonMS Metan FkonMS = Konversi gas metana ke bahan bakar solar (Liter/tahun) = Gas metana terbentuk (M3/tahun) = fraksi konversi gas metan terhadap solar (M3/liter) Persentase subsitusi bahan bakar KonMS PSEAl KebSolar PSEAl = KonMS/KebSolar = Konversi gas metana ke bahan bakar solar (Liter/tahun) = Persentase subsitusi (tanpa satuan) = Kebutuhan solar produksi (Liter/tahun) Kebutuhan solar industri KebSolar = ProdAkt*(RBBkOutp*1000) const RBBkrOutT =

36 ProdAkt KebSolar RBBkrOutT = Produksi aktual (Ton/tahun) = Kebutuhan solar untuk industri (Liter/tahun) = Rasio bahan bakar per output (Liter/kg) Rasio bahan bakar alternatif terhadap bahan bakar konvensional Level RasBBAlt = +dt*ljrbba init RasBBAlt = 0 RasBBAlt LjRBB = Rasioguna gas metana terhadap solar (tanpa satuan) = Perubahan rasio guna Perubahan rasio guna bahan bakar alternatif PSEAl RasBBAlt LjRBBA = MAX(RGEAl-RasBBAlt,0) = Persentase subsitusi (tanpa satuan) = Rasio bahan bakar alternatif terhadap bahan bakar konvensional (tanpa satuan) 7. Diagram Stock & Flow Harga Diagram stock & flow untuk subsistem harga beserta persamaan-persamaan yang membentuk harga diuraikan sebagai berikut : Biaya produksi BP BV BL PPN BP = BV*(1+BL+PPN) = Biaya produksi (Rp/Kg) = Biaya variabel (Rp/Kg) = Proporsi biaya lain-lain (tanpa satuan) = Pajak Pertambahan Nilai (tanpa satuan) Biaya variabel BV BiaBbkr BiaBB BiaTK BV = BiaBBkr+BiaBB+BiaTK = Biaya variabel (Rp/Kg) = Biaya bahan bakar (Rp/Liter) = Biaya bahan baku (Rp/Kg) = Biaya tenaga kerja (Rp/Kg) Biaya Bahan Bakar Bbkr = HRgBBk*(RBBkOutp(1-RasBBAlt)) 72

37 Bbkr = Biaya bahan bakar (Rp/kg) HRgBbkr = Harga bahan bakar konvensional (Rp) RBbkrOutT = Rasioguna bahan bakar terhadap output (Liter/kg) RasBBAlt = Rasioguna bahan bakar alternatif terhadap output (Liter/kg) Harga bahan bakar konvensional Level HRgBbkr = +dt*prbhhrgbbkr init HRgBbkr = 984 HRgBbkr = Harga bahan bakar konvensional (Rp) InitHRgBBk = Harga bahan bakar inisial (Rp) PrbhHrgBbkr = Perubahan harga bahan bakar (Rp/Liter) Perubahan harga bahan bakar HRgBBk APBbkr PrbhHrgBBk = HRgBBk*AgkPrbhHrgBBk = Harga bahan bakar konvensional (Rp) = Angka perubahan harga bahan bakar solar (tahun) APBbkr GRAPH(TIME, 2002, 1,T_PrbhHrgBBk) T_PrbhHrgBBk [ , , , , , , , , , , , , , ] Biaya Bahan baku BiaBB = HrgBB/RBBOutT const RBBOutp = 0.2 BiaBB HrgBB RBBOutT = Biaya bahan baku ( Rp/kg) = Biaya pembelian ubikayu (Rp/kg) = Rasioguna bahan baku terhadap output (tanpa satuan) Harga Ubi Kayu HrgBB = RefHrgUkP*(1+BBrok) HrgBB = Biaya pembelian ubikayu (Rp/kg) RefHrgUkP = Referensi harga ubikayu petani (Rp/kg) BPngmp = Persentase biaya untuk pengumpul (tanpa satuan) RefHrgUkP RefHrgUkP = GRAPH(TIME, 2001, 1, [153,164,173,97,230,236,400,342,396,457,525,559,607,639,705]) 73

38 Biaya Tenaga Kerja BiaTK = HRgTK*(TKPerOtpt/1000) BiaTK = Biaya untuk tenaga kerja (Rp/tahun) HRgTK = Harga tenaga kerja (Rp) TKPerOutT = Rasio tenaga kerja per satu unit output kapasitas (Orang/ton) Harga tenaga kerja Level HRgTK = +dt*prbhhrgtk init HRgTK = HRgTK = Harga tenaga kerja (Rp) Init HRgTK = Harga Tenaga kerja inisial (Rp) PrbhHRgTK = Perubahan harga tenaga kerja (Rp/tahun) Perubahan harga tenaga kerja PrbhHrgTK = HRgTK*AgkPrbhHrgTK PrbhHrgTK = Perubahan harga tenaga kerja (Rp/tahun) APHrgTK = angka perubahan harga tenaga kerja (tahun) APHrgTK GRAPH(TIME, 2002, 1, [0.2258,0.1143,0.0728,0.0679,0.1980,0.0442,0.0748,0.0818,0.0798,0.0690, ,0.0653,0.0571,0.0518]) Harga jual minimum produk HgJMin BP HgJMin = BP = Harga jual minimum (Rp/Kg) = Biaya produksi (Rp/Kg) Indikasi harga jual tepung tapioka IndkHrgD = MAX(HgJMin,HrgJTL) IndkHrgD HrgJTL HgJMin = Indikasi harga jual tepung tapioka (Rp/kg) = Harga jual tepung tapioka di pasar (Rp/kg) = Harga jual minimum (Rp/Kg) Harga jual tepung tapioka di pasar HrgJTL = EkspHrgJ*PngrhBP 74

, (2007), Limbah Cair Agroindustri Propinsi Lampung, Bapedalda Propinsi Lampung, Bandar Lampung.

, (2007), Limbah Cair Agroindustri Propinsi Lampung, Bapedalda Propinsi Lampung, Bandar Lampung. DAFTAR PUSTAKA 1. -------, (2003), Bea Masuk dan PPN Tapioka, Http:// www.depkeu.go.id 2. -------, (2004), Laporan Status Lingkungan Hidup Propins Lampung Tahun 2003, Bapedalda Propinsi Lampung, Bandar

Lebih terperinci

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN 6.1 Proses Perancangan Kebijakan Proses perancangan kebijakan industri tepung tapioka di Propinsi Lampung pada dasarnya mengacu pada kebijakan pembangunan daerah Propinsi Lampung

Lebih terperinci

BAB V ANALISA PERILAKU MODEL DASAR

BAB V ANALISA PERILAKU MODEL DASAR BAB V ANALISA PERILAKU MODEL DASAR 5.1 Analisa Perilaku Model Dasar Pada bagian ini akan dianalisa perilaku dari variabel-variabel yang menjadi indikator kinerja sistem industri tepung tapioka. Variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL Pada bagian analisis kebijakan, terlebih dahulu akan dilakukan analisis pada model dasar, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan skenario kebijakan yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ubikayu merupakan komoditi pertanian terbesar di Propinsi Lampung dibanding padi dan jagung dilihat dari nilai produksinya. Nilai produksi ubikayu pada tahun 2005 sebesar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Langkah-Langkah Penelitian Dalam usaha mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan, disusun suatu metodologi penelitian. Adapun langkah- langkah yang disusun adalah

Lebih terperinci

cair (Djarwati et al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan

cair (Djarwati et al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu merupakan komoditi pertanian yang utama di Provinsi Lampung. Luas areal penanaman ubi kayu di Provinsi Lampung pada tahun 2009 adalah sekitar 320.344

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri yang sangat potensial dan berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia telah menyumbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Terkait dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010 dan Bahan Bakar Minyak (BBM) per Januari 2011, maka tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, kebutuhan jagung di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Perdagangan Internasional Teori tentang perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat maju, yaitu dimulai dengan teori klasik tentang keunggulan

Lebih terperinci

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL BAB IV PENGEMBANGAN MODEL Pengembangan model adalah usaha untuk membangun model yang dapat mempresentasikan sektor industri yang ditinjau. Pembentukan model dimulai dari pengenalan terhadap inti permasalahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan Industri Pertumbuhan industri bisa dilihat dari sumbangan sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Semakin besar sumbangan terhadap PDB maka

Lebih terperinci

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor Lilis Ernawati 5209100085 Dosen Pembimbing : Erma Suryani S.T., M.T., Ph.D. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pembangunan Agroindustri Tujuan pembangunan agroindustri tidak dapat dilepaskan dari peran agroindustri itu sendiri (Yusdja & Iqbal, 2002 dalam Supriyati et al., 2006). Peranan

Lebih terperinci

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M. Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : 35410453 Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.T TUGAS AKHIR USULAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB V MODEL DINAMIKA KOTA TANGERANG

BAB V MODEL DINAMIKA KOTA TANGERANG BAB V MODEL DINAMIKA KOTA TANGERANG V.1 Kerangka Kerja Pemodelan Untuk pemodelan yang dilakukan dalam tesis ini, kerangka kerja yang dilakukan adalah dengan mengacu kepada pendekatan pemodelan yang telah

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian 36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Salah satu tantangan pertanian Indonesia adalah meningkatkan produktivitas berbagai jenis tanaman pertanian. Namun disisi lain, limbah yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Timbulnya kelangkaan bahan bakar minyak yang disebabkan oleh ketidakstabilan harga minyak dunia, maka pemerintah mengajak masyarakat untuk mengatasi masalah energi

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi

Lebih terperinci

VI. ESTIMASI MARGINAL ABATEMENT COST (MAC) Besar kecilnya tingkat pencemaran yang disebabkan oleh pembuangan

VI. ESTIMASI MARGINAL ABATEMENT COST (MAC) Besar kecilnya tingkat pencemaran yang disebabkan oleh pembuangan VI. ESTIMASI MARGINAL ABATEMENT COST (MAC) 6.2 Estimasi Nilai MAC Besar kecilnya tingkat pencemaran yang disebabkan oleh pembuangan limbah cair ke badan penerima (sungai) dapat dilihat dari besar kecilnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai potensi biomassa yang sangat besar. Estimasi potensi biomassa Indonesia sekitar 46,7 juta ton per tahun (Kamaruddin,

Lebih terperinci

ll. TINJAUAN PUSTAKA cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi

ll. TINJAUAN PUSTAKA cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi ll. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Industri Tahu Industri tahu di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkembang cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi setiap hari

Lebih terperinci

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh Triwulan I - 2015 LAPORAN LIAISON Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas, tercermin dari penjualan domestik pada triwulan I-2015 yang menurun dibandingkan periode

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian model pengelolaan energi berbasis sumberdaya alam di pulau kecil difokuskan kepada energi listrik. Penelitian dilaksanakan di gugus pulau

Lebih terperinci

PRAKTEK PENCAPAIAN EKO-EFISIENSI DI KLASTER INDUSTRI TAPIOKA DESA SIDOMUKTI KABUPATEN PATI TUGAS AKHIR. Oleh: SAIFILLAILI NUR ROCHMAH L2D

PRAKTEK PENCAPAIAN EKO-EFISIENSI DI KLASTER INDUSTRI TAPIOKA DESA SIDOMUKTI KABUPATEN PATI TUGAS AKHIR. Oleh: SAIFILLAILI NUR ROCHMAH L2D PRAKTEK PENCAPAIAN EKO-EFISIENSI DI KLASTER INDUSTRI TAPIOKA DESA SIDOMUKTI KABUPATEN PATI TUGAS AKHIR Oleh: SAIFILLAILI NUR ROCHMAH L2D 004 349 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya 1 Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya Dewi Indiana dan Prof. Dr. Ir. Budisantoso Wirjodirdjo, M.Eng. Teknik Industri, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di Indonesia dengan komoditas utama yaitu minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO). Minyak sawit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar yang berasal dari fosil dari tahun ke tahun semakin meningkat, sedangkan ketersediaannya semakin berkurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, energi menjadi persoalan yang krusial di dunia, dimana peningkatan permintaan akan energi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dunia industri merupakan salah satu indikator yang memberikan penggambaran untuk menilai perkembangan ekonomi suatu Negara. Kemajuan industri di Indonesia

Lebih terperinci

Dari Pengusaha Tepung Tapioka Jadi Konsultan Biogas

Dari Pengusaha Tepung Tapioka Jadi Konsultan Biogas Desa Bangun Sari, Kecamatan Negeri Katon terletak di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Perjalanan menuju Desa Bangun Sari memakan waktu dua jam berkendara dari Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia dengan jumlah produksi pada tahun 2013 yaitu sebesar 27.746.125 ton dengan luas lahan

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi jasa di DKI Jakarta, kualitas lingkungan hidup juga menurun akibat pencemaran. Pemukiman yang padat,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. fungsi permintaan, persamaan simultan, elastisitas, dan surplus produsen. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Komponen utama pasar beras mencakup kegiatan produksi dan konsumsi. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan karena memiliki lebih dari satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang mendasari penelitian diantaranya yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri selain memiliki dampak positif juga memiliki dampak negatif yaitu keluaran bukan produk yang berupa bahan, energi dan air yang digunakan dalam

Lebih terperinci

Seminar Nasional IENACO 2016 ISSN: PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DENGAN METODE GREEN PRODUCTIVITY PADA INDUSTRI PENGOLAHAN TEMPE

Seminar Nasional IENACO 2016 ISSN: PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DENGAN METODE GREEN PRODUCTIVITY PADA INDUSTRI PENGOLAHAN TEMPE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DENGAN METODE GREEN PRODUCTIVITY PADA INDUSTRI PENGOLAHAN TEMPE Muhammad Yusuf Jurusan Teknik Industri Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta Jl. Kalisahak 28 Kompleks

Lebih terperinci

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI ENERGI ALTERNATIF TERBARUKAN BIOGAS DARI KOTORAN SAPI Bambang Susilo Retno Damayanti PENDAHULUAN PERMASALAHAN Energi Lingkungan Hidup Pembangunan Pertanian Berkelanjutan PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS Dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan 1. Model DICE ( Dinamic Integrated Model of Climate and the Economy) adalah model Three Boxes Model yaitu suatu model yang menjelaskan dampak emisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. KERANGKA PEMIKIRAN KONSEPTUAL Salah satu permasalahan besar pada industri kelapa sawit adalah penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS). Kondisi tersebutjuga terjadi

Lebih terperinci

vial, reaktor unit DBR200, HACH Spectrofotometri DR 4000, gelas ukur, box ice,

vial, reaktor unit DBR200, HACH Spectrofotometri DR 4000, gelas ukur, box ice, 34 III BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam 219 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan 8.1.1. Berdasarkan pengujian, diperoleh hasil bahwa guncangan ekspor nonagro berpengaruh positip pada kinerja makroekonomi Indonesia, dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara jumlah sampah yang dihasilkan dengan sampah yang diolah tidak seimbang. Sampah merupakan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan penduduk kota sekarang ini semakin pesat, hal ini berbanding

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan penduduk kota sekarang ini semakin pesat, hal ini berbanding 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk kota sekarang ini semakin pesat, hal ini berbanding lurus dengan sampah yang dihasilkan oleh penduduk kota. Pada data terakhir bulan November

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

Model System Dinamics

Model System Dinamics System Thinking / System Dinamics (Perbedaan SD dan MP, Causal Loop, Konsep Stok dan Flow) Perbedaan system dinamics (SD) dan mathematical programming (MP) Perbedaan MP dan SD berdasarkan : 1. Tujuan :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjemuran. Tujuan dari penjemuran adalah untuk mengurangi kadar air.

BAB I PENDAHULUAN. penjemuran. Tujuan dari penjemuran adalah untuk mengurangi kadar air. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada proses pengeringan pada umumnya dilakukan dengan cara penjemuran. Tujuan dari penjemuran adalah untuk mengurangi kadar air. Pengeringan dengan cara penjemuran

Lebih terperinci

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu.

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu. 52 6 PENGEMBANGAN MODEL 6.1 Analisis model sistem dinamis agroindustri gula tebu Sesuai dengan metodologi, maka rancang bangun sistem dinamis bagi pengambilan keputusan kompleks pada upaya pengembangan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan Sumber daya hutan menjadi pilihan Indonesia sebagai andalan sumber keuangan negara disamping minyak dan gas bumi. Hal ini didasari atas ketersediaan kayu hasil

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 66 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan bawang merah dalam penelitian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Tanaman Perkebunan Perkembangan luas areal perkebunan perkebunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pengembangan luas areal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK)

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) 6.1. Analisis Nilai Tambah Jenis kayu gergajian yang digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan kayu pada industri penggergajian kayu di Kecamatan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan industri mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dapat menciptakan lapangan kerja. Akan tetapi kegiatan industri sangat potensial untuk menimbulkan dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagai negara yang sedang berkembang, sektor perekonomian di Indonesia tumbuh dengan pesat. Pola perekonomian yang ada di Indonesia juga berubah, dari yang

Lebih terperinci

Studi Potensi Pemanfaatan Biogas Sebagai Pembangkit Energi Listrik di Dusun Kaliurang Timur, Kelurahan Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta

Studi Potensi Pemanfaatan Biogas Sebagai Pembangkit Energi Listrik di Dusun Kaliurang Timur, Kelurahan Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 2, Nomor 2, Juni 2010, Halaman 83 89 ISSN: 2085 1227 Studi Potensi Pemanfaatan Biogas Sebagai Pembangkit Energi Listrik di Dusun Kaliurang Timur, Kelurahan

Lebih terperinci

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya di Kota Surabaya

Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya di Kota Surabaya Tugas Akhir- TI 9 Skenario Kebijakan Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Padat Karya di Kota Surabaya Oleh : Dewi Indiana (576) Pembimbing : Prof. Dr. Ir.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tekstil merupakan industri penting sebagai penyedia kebutuhan sandang manusia. Kebutuhan sandang di dunia akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah

Lebih terperinci

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS 3.1 Kerangka Pemodelan Kajian Outlook Energi Indonesia meliputi proyeksi kebutuhan energi dan penyediaan energi. Proyeksi kebutuhan energi jangka panjang dalam kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat diperlukan terutama untuk negara-negara yang memiliki bentuk perekonomian terbuka.

Lebih terperinci

KONDISI EKSISTING INDUSTRI. POTENSI Tulungagung Penghasil marmer terbesar di Indonesia (wikipedia.org) (Disperindag,2009)

KONDISI EKSISTING INDUSTRI. POTENSI Tulungagung Penghasil marmer terbesar di Indonesia (wikipedia.org) (Disperindag,2009) 8// PRESENTASI SIDANG TUGAS AKHIR Departemen Perdagangan RI LATAR BELAKANG 4 subsektor industri kreatif KONTRIBUSI SDA DAERAH NurmaAnita 56..46 Dosen Pembimbing Prof.Dr.Ir.Budisantoso Wirjodirdjo, M.Eng.

Lebih terperinci

Krisis Pangan, Energi, dan Pemanasan Global

Krisis Pangan, Energi, dan Pemanasan Global Krisis Pangan, Energi, dan Pemanasan Global Benyamin Lakitan Kementerian Negara Riset dan Teknologi Rakorda MUI Lampung & Jawa Jakarta, 22 Juli 2008 Isu Global [dan Nasional] Krisis Pangan Krisis Energi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Industri semen merupakan salah satu penopang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model Pemodelan merupakan suatu aktivitas pembuatan model. Secara umum model memiliki pengertian sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.

Lebih terperinci

BAB V VALIDASI DAN ANALISIS HASIL SIMULASI MODEL SEL BAHAN BAKAR MEMBRAN PERTUKARAN PROTON

BAB V VALIDASI DAN ANALISIS HASIL SIMULASI MODEL SEL BAHAN BAKAR MEMBRAN PERTUKARAN PROTON BAB V VALIDASI DAN ANALISIS HASIL SIMULASI MODEL SEL BAHAN BAKAR MEMBRAN PERTUKARAN PROTON 5.1. Pendahuluan Pada Bab 5 ini akan dibahas mengenai validasi dan analisis dari hasil simulasi yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit telah mampu meningkatkan kuantitas produksi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit dan menempatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Natalitas (kelahiran) yang terjadi setiap hari tentu menambah jumlah populasi manusia di muka bumi ini. Tahun 2008 ini populasi penduduk Indonesia menduduki peringkat 4 setelah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

Seminar Nasional IENACO 2015 ISSN: EVALUASI PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN INDUSTRI TAHU MELALUI PENGUKURAN EPI

Seminar Nasional IENACO 2015 ISSN: EVALUASI PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN INDUSTRI TAHU MELALUI PENGUKURAN EPI EVALUASI PRODUKTIVITAS DAN KINERJA LINGKUNGAN INDUSTRI TAHU MELALUI PENGUKURAN EPI Cyrilla Indri Parwati 1*, Imam Sodikin 2, Virgilius Marrabang 3 1,2, 3 Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta,Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batubara dan lainnya menjadikan harga energi terus maningkat. Negara Indonesia mempunyai potensi yang luar biasa mengenai

BAB I PENDAHULUAN. batubara dan lainnya menjadikan harga energi terus maningkat. Negara Indonesia mempunyai potensi yang luar biasa mengenai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kebutuhan bahan bakar yang terus meningkat membuat berkurangnya sumber energi, seperti gas bumi, minyak bumi, batubara dan lainnya menjadikan harga energi terus

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN 7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output Perubahan-perubahan dalam faktor eksternal maupun kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Lampung.

I. PENDAHULUAN. Singkong merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Lampung. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Singkong merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Lampung. Provinsi Lampung pada tahun 2013 memiliki luas panen untuk komoditi singkong sekitar 318.107 hektar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia mengarah kepada industrialisasi. Sektor industri makin berperan sangat strategis sebagai motor penggerak pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyebarannya terbanyak di pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 50% dan

I. PENDAHULUAN. penyebarannya terbanyak di pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 50% dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Tanaman ubikayu tumbuh tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, namun penyebarannya terbanyak di pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 50% dan 32% dari total luas

Lebih terperinci

VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI

VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI Agribisnis kakao memiliki permasalahan di hulu sampai ke hilir yang memiliki

Lebih terperinci

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS 13.1. Pendahuluan Tepung beras merupakan bahan baku makanan yang sangat luas sekali penggunaannya. Tepung beras dipakai sebagai bahan pembuat roti, mie dan

Lebih terperinci

VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN. Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis

VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN. Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis simulasi beberapa alternatif kebijakan dengan tujuan untuk mengevaluasi perkembangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU Ubi kayu menjadi salah satu fokus kebijakan pembangunan pertanian 2015 2019, karena memiliki beragam produk turunan yang sangat prospektif dan berkelanjutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari kegiatan permukiman, perdagangan, perkantoran, perindustrian dan lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. dari kegiatan permukiman, perdagangan, perkantoran, perindustrian dan lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air limbah merupakan permasalahan yang selalu muncul di dalam kehidupan sehari-hari. Yang dimaksud air limbah adalah air sisa buangan baik dari kegiatan permukiman,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin banyak di Indonesia. Kini sangat mudah ditemukan sebuah industri

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin banyak di Indonesia. Kini sangat mudah ditemukan sebuah industri BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waktu demi waktu kini industri baik industri rumahan maupun pabrik semakin banyak di Indonesia. Kini sangat mudah ditemukan sebuah industri meskipun letaknya dekat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang, Kecamatan Purwadadi, Subang, Jawa Barat. Tempat penelitian merupakan

Lebih terperinci