BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN VI.1 Proses Perancangan Kebijakan Proses perancangan kebijakan industri sari buah didasarkan pada arah kebijakan pembangunan nasional yang kemudian dijabarkan dalam visi dan misi pembangunan industri minuman, dibawah wewenang Direktorat Industri Minuman dan Tembakau, Departemen Perindustrian. Setelah itu ditetapkan sasaran kebijakan industri sari buah. Sasaran yang sudah ditetapkan ini harus dicapai dengan strategi tertentu, dimana strategi tersebut harus realistis, terukur dan dapat dilaksanakan. Untuk menilai berhasil tidaknya strategi yang diterapkan, perlu ditetapkan ukuran dan indikator kinerja. Selanjutnya ditetapkan perangkat kebijakan yang akan digunakan, berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap perilaku model dasar pada bab v. Selanjutnya dilakukan pembangunan beberapa skenario kebijakan. Beberapa skenario yang ada disimulasikan dan dilihat hasilnya untuk dianalisa, kemudian dipilih mana yang paling menguntungkan pagi perkembangan industri sari buah di dalam negeri. Setelah skenario tertentu dipilih, selanjutnya dilakukan analisis implikasi skenario tersebut dalam sistem nyata. Skema proses perancangan kebijakan dapat dilihat pada Gambar VI.1. VI.2 Arah Kebijakan Perancangan kebijakan industri sari buah diturunkan dari visi dan misi pembangunan industri sari buah nasional yang tercantum dalam Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Minuman dan Tembakau, Departemen Perindustrian. 148

2 Gambar VI.1 Proses Perancangan Kebijakan 149

3 VI.3 Penyusunan Skenario Kebijakan Penyusunan skenario kebijakan disesuaikan dengan kebijakan dan program pengembangan yang dilakukan Direktorat Industri Minuman dan Tembakau, Departemen Perindustrian. VI.3.1 Kebijakan pengembangan Industri Minuman dan Tembakau Jangka Menengah Tahun Kebijakan Pokok 1. Penciptaan iklim usaha yang kondusif terhadap industri inti, pendukung dan terkait baik melalui tarif, safeguard, standard wajib, dan lain-lain. 2. Pengembangan keterkaitan industri dalam penyediaan bahan baku 3. Pengembangan kemampuan SDM dalam mendukung pengembangan klaster. Kebijakan Penunjang 1. Antisipasi dan penanganan permasalahan aktual sektor Industri Minuman dan Tembakau 2. Mengkoordinasikan pelaksanaan administrasi dan urusan pemerintahan tertentu di bidang industri minuman dan tembakau VI.3.2 Program Pengembangan Tahun Sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan maka program yang dilaksanakan meliputi : 1. Pengembangan iklim usaha industri minuman dan tembakau melalui penerapan tarif, standar wajib maupun hambatan non tarif lainnya. 2. Pemantapan struktur industri minuman dan tembakau melalui pembentukan forum-forum komunikasi klaster industri, promosi investasi industri pendukung dan terkait. 3. Peningkatan kerjasama industri minuman dan tembakau melalui keikutsertaan pada sidang-sidang regional maupun multilateral 150

4 4. Peningkatan keterampilan SDM industri minuman dan tembakau melalui pendidikan dan latihan maupun bimbingan teknis. 5. Pengembangan dan penerapan standar serta monitoring penerapannya di bidang industri minuman dan tembakau. 6. Penanganan permasalahan aktual yang timbul diluar perencanaan dan memerlukan kaji tindak yang segera. 7. Koordinasi internal dan eksternal dalam kaitan pengembangan kelembagaan klaster industri minuman dan tembakau 8. Pengawasan dan pengendalian terhadap produk-produk yang dapat memberikan dampak negatif bagi pengembangan industri minuman dan tembakau. Setelah mendapatkan pemahaman pada tahap pengembangan model serta analisis model dasar, tahap selanjutnya adalah mengidentifikasikan alat alat kebijakan yang dapat mendukung tumbuhnya industri sari buah di Indonesia. Penyusunan skenario kebijakan disesuaikan dengan kebijakan dan program pengembangan yang dilakukan Direktorat Industri Minuman dan Tembakau, Departemen Perindustrian. Penerapan kebijakan dibedakan berdasarkan teori kebijakan pada sistem ekonomi nasional, dimana suatu kebijakan dibedakan menjadi dua bagian yaitu kebijakan di sisi permintaan dan kebijakan di sisi penawaran. Kebijakan dari sisi permintaan dapat dipandang sebagai kebijakan yang mempengaruhi pengeluaran agregat, meliputi kebijakan fiskal dan moneter. Sedangkan, kebijakan dari sisi penawaran bertujuan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan produksi sehingga industri dapat menawarkan produknya dengan harga yang lebih murah. Kedua sisi kebijakan tersebut merupakan masukan bagi pengembangan skenario kebijakan yang akan diterapkan pada model yang telah dikembangkan. Berdasarkan struktur serta variabel variabel yang tercakup dalam model, dapat diidentifikasikan parameter parameter model yang dapat diubah serta diterapkan pada sistem aktual. Parameter parameter tersebut merupakan representasi kebijakan yang dapat digunakan dan diterapkan pada sistem aktual. Simulasi digunakan untuk 151

5 melakukan eksperimen dalam melihat perilaku ketika suatu atau beberapa kombinasi skenario diterapkan. Parameter parameter kebijakan dapat diidentifikasikan dengan mengamati secara intensif hubungan umpan balik antar variabel variabel yang ada di dalam sistem tinjauan serta melakukan hipotesis pengembangan kebijakan yang mungkin dapat dilakukan. Dengan melakukan langkah langkah tersebut, didapatkan skenario skenario kebijakan yang ditampilkan pada Gambar VI.2. Sedangkan berbagai skenario tersebut direpresentasikan pada variabel variabel model, yang diperlihatkan pada tabel VI.1. Gambar VI.2 Struktur Skenario Kebijakan yang Diterapkan Tabel VI.1 Variabel Skenario Kebijakan No. Skenario Kebijakan 1 Penggunaan bahan baku lokal 2 Tarif bea masuk produk impor 3 Penetrasi pasar ekspor 4 Promosi investasi Hipotesis hipotesis kebijakan yang akan diterapkan tersebut direpresentasikan dalam angka parameter model. Angka angka parameter model yang dijadikan kebijakan ini diujicoba untuk memenuhi target nilai kriteria performansi sistem yang ingin dicapai mulai tahun 2009, antara lain: Peningkatan tingkat produksi Penguasaan pangsa pasar produk sari buah di pasar domestik Peningkatan ekspor produk sari buah 152

6 Peningkatan jumlah tenaga kerja industri sari buah Peningkatan investasi industri sari buah Target output berbagai kriteria performansi ini ditetapkan berdasarkan target rencana strategis Direktorat Industri Minuman dan Tembakau, Departemen Perindustrian untuk komoditi sari buah. VI.3.3 Penentuan Angka Skenario Kebijakan Angka angka parameter diujicoba pada model dengan tujuan untuk mencapai target output yang diharapkan. Angka paremeter tersebut diusahakan untuk tetap valid, artinya feasible untuk dilakukan pada sistem aktual serta tidak ada distorsi antara parameter model dengan kondisi sistem aktual. Setting angka dari setiap variabel yang digunakan dalam skenario skenario kebijakan ditampilkan pada tabel VI.2. Unsur validitas skenario kebijakan ini dapat dijaga karena berlandaskan pada informasi tentang kondisi sistem tinjauan yang diperoleh dari literatur serta orang yang terkait (expert) dengan sistem yang ditinjau. Tabel VI.2 Angka Variabel Skenario Kebijakan No Variabel Model Angka Awal Angka Skenario Penggunaan Bahan Baku Impor 25% 12% 5% 5% 2 Tarif bea masuk produk impor 10% 20% 30% 30% 3 Penetrasi pasar ekspor 7,44% 8.5% 10% 10% 4 Promosi investasi 0,9% 2% 3% 3% Penggunaan Bahan Baku Impor Pemilihan variabel penurunan penggunaan bahan baku impor sebagai skenario kebijakan mengacu pada Kebijakan Pengembangan Industri Minuman dan Tembakau 153

7 Jangka Menengah tahun (Depperin, 2005), salah satunya berisi tentang pengembangan keterkaitan industri dalam penyediaan bahan baku. Ketersediaan bahan baku yang kontinyu sangat membantu industri dalam menaikkan tingkat produksi. Program kemitraan yang dibuat Departemen Perindustrian antara para petani, pengumpul, industri bahan baku, dan industri hilir diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk produksi, sehingga dapat mengurangi penggunaan bahan baku impor. Pada sektor industri sari buah, program yang sedang dijalankan Departemen Perindustrian adalah peningkatan ketersediaan puree buah (fruit pulp) yang dibuat oleh industri hulu, untuk digunakan oleh industri sari buah sebagai industri hilir produk olahan buah. Penggunaan bahan baku impor pada industri sari buah di Indonesia sekarang ini sekitar 25 persen. Penetapan angka skenario kebijakan yang akan diterapkan pada penelitian ini, berdasarkan angka rata rata pertumbuhan produktivitas komoditi jeruk di Indonesia untuk tahun yaitu sebesar 13 persen, sehingga penggunaan bahan baku impor industri sari buah dicoba diturunkan sebesar 13 persen. Buah jeruk cukup besar penggunaannya sebagai bahan baku industri sari buah di Indonesia. Meningkatnya produktivitas komoditi jeruk lokal, membuat ketersediaan bahan baku jeruk untuk industri sari buah juga meningkat. Tarif Bea Masuk Pemilihan variabel tarif bea masuk produk impor sebagai skenario kebijakan mengacu kesepakatan negara negara anggota WTO yang membuat lima prinsip dasar untuk masuk menjadi anggota WTO, yaitu : 1. Most Favoured Nations Yaitu prinsip perlakuan yang sama untuk semua anggota. Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang berisi bahwa setiap angota WTO harus menerima perlakukan yang sama tanpa syarat ( azas non diskriminasi). 154

8 2. Tariff Binding Yaitu prinsip pengikatan tarif. Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994 yaitu setiap negara anggota GATT/WTO harus memiliki daftar produk yang tarifnya terikat (legally bound), sehingga tidak ada negara yang sewenang wenang merubah atau menaikkan tarif bea masuk. 3. National Treatment Yaitu prinsip perlakuan nasional. Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994 yaitu untuk satu produk yang sama, suatu negara tidak diperkenankan melakukan diskriminasi antar produk impor dengan produk dalam negeri dengan tujuan untuk melakukan proteksi. 4. Tariff Protection Yaitu perlindungan hanya dapat dilakukan dengan penerapan tarif. Prinsip ini diatur dalam pasal XI yaitu perlindungan atas industri hanya diperkenankan melalui tarif. 5. Special and Differential Treatment for Developing Countries Yaitu prinsip perlakuan khusus bagi negara berkembang. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan partisipasi negara negara berkembang dengan cara memberikan kemudahan dalam melaksanakan persetujuan WTO. Berdasarkan peratuan mengenai tariff protection di WTO, maka pengenaan tarif digunakan sebagai alat kebijakan untuk melindungi industri sari buah di Indonesia. Tarif bea masuk yang dikenakan untuk produk sari buah impor di Indonesia adalah sebesar 10 persen. Sedangkan penetapan angka skenario kebijakan yang akan diterapkan pada penelitian ini, berlandaskan pada informasi tentang kondisi sistem tinjauan yang didapat dari orang yang terkait (expert) dengan sistem yang ditinjau. Penetrasi Pasar dan Promosi Investasi Penetrasi pasar sangat erat kaitannya dengan promosi investasi, karena Departemen Perindustrian merangkum keduanya dalam satu program kegiatan yaitu pameran industri dan misi dagang baik di dalam maupun di luar negeri. Kegiatan ini dilakukan 155

9 dengan tujuan untuk meningkatkan pangsa ekspor produk industri, serta untuk menarik minat para investor dalam negeri maupun asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, ternasuk di sektor industri sari buah. Penetrasi pasar ekspor pada industri sari buah diharapkan akan meningkatkan tingkat pertumbuhan ekspor produk sari buah tersebut. Demikian pula dengan promosi investasi, dilakukan dengan tujuan untuk menaikkan jumlah investasi industri sari buah di Indonesia yang masih sangat rendah. Tingkat pertumbuhan ekspor sari buah Indonesia sakarang sekitar 7,44 persen, sedangkat tingkat pertumbuhan investasi industri sari buah sebesar 0,9 persen. Penetapan angka skenario kebijakan yang akan diterapkan pada penelitian ini, berdasarkan pada informasi tentang kondisi sistem tinjauan yang didapat dari orang yang terkait (expert) dengan sistem yang ditinjau. Setelah melakukan setting pada variabel model dengan angka angka yang telah ditentukan, langkah selanjutnya adalah melakukan simulasi skenario skenario tersebut untuk melihar perilaku model apabila kebijakan tersebut diterapkan. Hanya skenario yang memberikan pengaruh signifikan pada sistem yang akan direkomendasikan untuk dijadikan kebijakan pada sistem aktual. Selain itu, akan dilakukan pula simulasi dengan gabungan beberapa skenario. Apabila perilaku sistem menunjukkan hasil yang lebih baik, maka disimpulkan bahwa kombinasi beberapa kebijakan tersebut saling mendukung dalam memperbaiki performansi sistem yang dimodelkan. Idealnya semua skenario yang memberikan pengaruh positif dan saling mendukung tersebut diterapkan intuk memperbaiki performansi sistem. Akan tetapi dalam sistem nyata, hal yang ideal tersebut tidak dapat dilakukan sekaligus dengan sempurna, karena terbentur akan sumber daya yang dimiliki pembuat dan pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan penentuan atas prioritas prioritas kebijakan yang perlu dilakukan. Skenario kebijakan yang memberikan perilaku yang lebih baik dibanding skenario kebijakan lainnya yang akan mendapat prioritas yang lebih besar. 156

10 VI.3.4 Skenario Kebijakan Bahan Baku Dalam bagian ini, pada model akan diterapkan skenario kebijakan bahan baku yaitu penggunaan bahan baku domestik, dengan cara menurunkan nilai parameter pengunaan bahan baku impor menjadi 12% pada tahun 2009, dan 5% pada tahun 2010 sampai tahun Pada skenario kebijakan bahan baku, peningkatan penggunaan bahan baku domestik memberikan perbaikan terhadap perilaku sistem. Kebijakan penggunaan bahan baku domestik terkait erat dengan penyediaan bahan baku dari sektor industri pendukung yaitu industri puree dan konsentrat buah, serta kerjasama antar sektor industri. Dengan menggunakan bahan baku domestik, maka biaya distribusi bahan baku manjadi lebih murah. Selain itu, tingkat produksi sektor industri pemasok dapat terdongkrak akibat peningkatan permintaan domestik dari sektor industri pengordernya. Gambar VI.3 Hasil Simulasi Penerapan Skenario Kebijakan Bahan Baku Terhadap Tingkat Produksi 1 Model Acuan 2 Skenario Kebijakan Penurunan Penggunaan Bahan Baku impor 157

11 VI.3.5 Skenario Kebijakan Pasar Domestik Pada bagian ini, pada model akan diterapkan skenario kebijakan pasar domestik yaitu berupa peningkatan bea masuk terhadap produk sari buah impor secara bertahap dengan cara mengubah nilai parameter tarif bea masuk produk impor menjadi 20% pada tahun 2009, dan 30% pada tahun 2010 sampai tahun Skenario peningkatan bea masuk pada produk impor ilegal ternyata memberikan perbaikan yang signifikan pada kriteria performansi permintaan domestik sari buah. Pada periode awal penerapan kebijakan, pangsa pasar produk domestik lokal beranjak naik secara bertahap. Namun kebijakan dari sisi permintaan harus tetap diimbangi dengan kebijakan dari sisi penawaran. Apabila tidak adanya perbaikan dari sisi penawaran menyebabkan daya saing produk lokal pada jangka panjang akan kembali menurun dibanding produk impor. Gambar VI.4 Hasil Simulasi Penerapan Skenario Kebijakan Pasar Domestik Terhadap Permintaan Sari Buah Domestik 1 Model acuan (permintaan sari buah domestik) 2 Penerapan skenario kebijakan peningkatan tarif bea masuk pada produk impor 158

12 Pada kriteria tingkat produksi, skenario kebijakan peningkatan bea masuk pada produk impor ilegal juga memberikan perbaikan. Perbaikan kebijakan pada sektor pasar domestik sari buah dapat memacu tingkat produksi pada sektor ini yang selanjutnya dapat meningkatkan permintaan dan tingkat produksi pada sektor di bagian hulu industri sari buah. Gambar VI.5 Hasil Simulasi Penerapan Skenario Kebijakan Pasar Domestik Terhadap Tingkat Produksi Sari Buah 1 Model acuan (tingkat produksi sari buah) 2 Penerapan skenario kebijakan peningkatan tarif bea masuk pada produk impor VI.3.6 Skenario Kebijakan Ekspor Pada bagian ini, pada model diterapkan skenario kebijakan ekspor yang berupa perubahan setting parameter model yaitu penetrasi pasar potensial ekspor yang baru yang direpresentasikan dengan menaikkan nilai parameter pertumbuhan permintaan potensial ekspor menjadi 8.5% pada tahun 2009 dan 10% pada tahun 2010 sampai tahun

13 Gambar VI.6 Hasil Simulasi Penerapan Skenario Kebijakan Ekspor Terhadap Permintaan Ekspor 1 Model acuan (permintaan ekspor sari buah) 2 Penerapan skenario kebijakan peningkatan penetrasi pasar ekspor Gambar VI.7 Hasil Simulasi Penerapan Skenario Kebijakan Ekspor Terhadap Tingkat Produksi 1 Model acuan (tingkat produksi sari buah) 2 Penerapan skenario kebijakan peningkatan penetrasi pasar ekspor 160

14 Pada kriteria permintaan ekspor dan tingkat produksi, skenario kebijakan penetrasi pasar potensial untuk ekspor memberikan perbaikan terhadap perilaku sistem. Meskipun demikian, kenyataannya di lapangan ijin kegiatan ekspor yang kompleks, salah satunya adalah penerapan health certificate untuk setiap kali melakukan ekspor produk, dapat menghambat peningkatan ekspor produk sari buah Indonesia. Selain itu, lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pengurusan prosedur ekspor yaitu selama 25 hari, dapat menghambat tingkat pertumbuhan ekspor produk sari buah Indonesia. VI.3.7 Skenario Kebijakan Investasi Pada bagian ini, pada model diterapkan skenario kebijakan investasi yang berupa peningkatan promosi investasi yang direpresentasikan dengan menaikkan nilai parameter pertumbuhan investasi menjadi 2% pada tahun 2009 dan 3% pada tahun 2010 sampai tahun Gambar VI.8 Hasil Simulasi Penerapan Skenario Kebijakan Investasi Terhadap Jumlah Investasi Industri Sari Buah 1 Model Acuan (jumlah investasi industri sari buah) 2 Penerapan skenario kebijakan promosi investasi 161

15 Pada Gambar VI.8 terlihat bahwa skenario kebijakan promosi investasi memberikan perbaikan yang cukup besar terhadap perilaku sistem. Promosi investasi dilakukan pemerintah dengan mengadakan pameran industri baik di dalam maupun di luar negeri dalam rangka menarik minat para investor untuk menanamkan modal, terutama di sektor industri pengolahan buah. Sejak terjadinya krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997, iklim investasi di Indonesia masih belum pulih. Pada tahun 1996 investasi di Indonesia dapat memberikan sumbangan terhadap PDB sebesar 29,6%, sedangkan pada tahun 2004 turun menjadi 21,%. Skenario kebijakan investasi harus didukung dengan peningkatan permintaan dan produksi, agar tingkat utilisasi kapasitas industri pengolahan buah di Indonesia tidak menurun. 6.4 Analisa Hasil Penerapan Kebijakan VI.4.1 Kriteria Pertumbuhan Produksi Gambar VI.9 Analisis Perangkat Kebijakan Berdasarkan Tingkat Produksi 1 Model dasar (tingkat produksi sari buah) 2 Penurunan penggunaan bahan baku impor 3 Peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor 4 Peningkatan penetrasi pasar ekspor 5 Promosi investasi 162

16 Tingkat produksi timbul sebagai akibat adanya permintaan pasar, oleh karena itu skenario kebijakan yang diukur dari kriteria tingkat produksi memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan tingkat permintaan. Dari hasil simulasi pada Gambar VI.9 menunjukkan bahwa skenario penurunan penggunaan bahan baku impor dan peningkatan penetrasi pasar ekspor memberikan hasil yang paling signifikan dalam meningkatkan produksi sari buah. Tumbuhnya permintaan terhadap industri akan berkesinambungan apabila tingkat produksi industri dapat dapat memenuhi permintaan pasar, karena apabila naiknya permintaan tidak diimbangi dengan tingkat produksi, maka konsumen akan beralih ke kompetitor lain yaitu produk sari buah impor. Ketersediaan dan kontinyuitas bahan baku juga merupakan faktor pendukung peningkatan produksi pada industri sari buah, sehingga kemitraan yang dibuat antara petani, pengumpul, dan industri pengolah harus lebih ditingkatkan lagi. VI.4.2 Kriteria Pertumbuhan Pasar Domestik Gambar VI.10 Analisis Perangkat Kebijakan Berdasarkan Pertumbuhan permintaan Domestik 1 Model dasar (permintaan domestik sari buah) 2 Penurunan penggunaan bahan baku impor 3 Peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor 4 Peningkatan penetrasi pasar ekspor 5 Promosi investasi 163

17 Dari hasil simulasi pada Gambar VI.10 menunjukkan bahwa skenario peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor memberikan hasil yang paling signifikan dalam meningkatkan permintaan sari buah dalam negeri. Peningkatan tarif bea masuk tidak dapat dijadikan kebijakan untuk jangka panjang, karena kedepannya tarif bea masuk produk impor akan diturunkan menjadi 0%. Oleh karena itu, peningkatan daya saing produk merupakan cara yang paling tepat agar permintaan sari buah di dalam negeri dapat terus meningkat. Gambar VI.11 Analisis Perangkat Kebijakan Berdasarkan Pertumbuhan Output Industri Domestik 1 Model dasar (jumlah output industri domestik) 2 Penurunan penggunaan bahan baku impor 3 Peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor 4 Peningkatan penetrasi pasar ekspor 5 Promosi investasi Dari hasil simulasi pada Gambar VI.11 menunjukkan bahwa skenario penurunan penggunaan bahan baku dan peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor memberikan hasil yang paling signifikan dalam meningkatkan output industri yang dialokasikan untuk pasar domestik. 164

18 VI.4.3 Kriteria Pertumbuhan Ekspor Gambar VI.12 Analisis Perangkat Kebijakan Berdasarkan Pertumbuhan permintaan Ekspor 1 Model dasar (permintaan ekspor sari buah) 2 Penurunan penggunaan bahan baku impor 3 Peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor 4 Peningkatan penetrasi pasar ekspor 5 Promosi investasi Dari hasil simulasi pada Gambar VI.12 menunjukkan bahwa skenario peningkatan penetrasi pasar ekspor memberikan hasil yang paling signifikan dalam meningkatkan permintaan ekspor sari buah. Tingkat permintaan merupakan ukuran kinerja industri yang sangat penting, mengingat industri akan berkembang apabila permintaan terhadap produk industri tersebut senantiasa tumbuh. Sedangkan dari hasil simulasi pada Gambar VI.13 menunjukkan bahwa skenario penurunan penggunaan bahan baku impor dan peningkatan penetrasi pasar ekspor memberikan hasil yang paling signifikan dalam meningkatkan output industri yang dialokasikan untuk ekspor sari buah. 165

19 Gambar VI.13 Analisis Perangkat Kebijakan Berdasarkan Pertumbuhan Output Ekspor 1 Model dasar (jumlah output industri sari buah untuk ekspor) 2 Penurunan penggunaan bahan baku impor 3 Peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor 4 Peningkatan penetrasi pasar ekspor 5 Promosi investasi VI.4.4 Kriteria Pertumbuhan Tenaga Kerja Dari hasil simulasi pada Gambar VI.14 menunjukkan bahwa skenario peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor dan peningkatan penetrasi pasar ekspor memberikan sedikit perbaikan dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri sari buah. Peningkatan penetrasi pasar ekspor akan meningkatkan permintaan ekspor, sehingga industri sari buah harus akan meningkatkan produksi. Hal ini menyebabkan dibutuhkannya tenaga tenaga kerja baru untuk merealisasikan peningkatan produksi. Meskipun industri sari buah termasuk katagori industri padat modal, tingkat penyerapan tenaga kerja tenaga kerja masih merupakan indikator yang ingin dicapai mengingat rendahnya penciptaan tenaga kerja di Indonesia 166

20 Gambar VI.14 Analisis Perangkat Kebijakan Berdasarkan Pertumbuhan Tenaga Kerja 1 Model dasar (jumlah tenaga kerja industri sari buah) 2 Penurunan penggunaan bahan baku impor 3 Peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor 4 Peningkatan penetrasi pasar ekspor 5 Promosi investasi VI.4.5 Kriteria Pertumbuhan Investasi Dari hasil simulasi pada Gambar VI.15 menunjukkan bahwa skenario promosi investasi memberikan hasil yang sangat signifikan dalam meningkatkan jumlah investasi industri sari buah. Promosi investasi dapat meningkatkan minta para investor untuk menanamkan modalnya di sektor industri pengolahan buah. Meskipun demikian, kebijakan promosi investasi ini juga harus didukung dengan kebijakan investasi yang lain. Seperti prosedur ijin investasi yang sangat kompleks sebaiknya lebih disederhanakan agar investor tidak mengalami kesulitan untuk menanamkan investasi di Indenesia. 167

21 Gambar VI.15 Analisis Perangkat Kebijakan Berdasarkan Pertumbuhan Investasi 1 Model dasar (jumlah investasi industri sari buah) 2 Penurunan penggunaan bahan baku impor 3 Peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor 4 Peningkatan penetrasi pasar ekspor 5 Promosi investasi VI.5 Skenario Kebijakan Gabungan Pada bagian ini pada model diterapkan skenario kebijakan hasil gabungan beberapa skenario kebijakan. Output simulasi penerapan skenario gabungan akan dibandingkan dengan output kriteria perormansi yang diharapkan untuk melihat sejauh mana gabungan kebijakan di berbagai bidang tersebut dapat mencapai target yang diharapkan. Hasil simulasi ini juga akan menggambarkan perilaku variabel variabel yang menjadi kriteria performansi sistem, sehingga dapat terlihat apakah skenario skenario kebijakan tersebut dapat saling mendukung atau justru sebaliknya. VI.5.1 Kriteria Pertumbuhan Produksi Tingkat produksi timbul sebagai akibat dari adanya permintaan pasar. Dari hasil simulasi pada Gambar VI.16 menujukkan bahwa skenario kebijakan gabungan memberikan perbaikan terhadap perilaku sistem. 168

22 Gambar VI.16 Penerapan Skenario Gabungan Terhadap Tingkat Produksi Sari buah 1 Tingkat produksi sari buah ( model dasar) 2 Tingkat produksi sari buah dengan penerapan skenario gabungan VI.5.2 Kriteria Pertumbuhan Permintaan Domestik Gambar VI.17 Penerapan Skenario Gabungan Terhadap Permintaan Sari Buah Domestik 1 Permintaan domestik ( model dasar) 2 Permintaan domestik dengan penerapan skenario gabungan 169

23 Target pertumbuhan tingkat permintaan domestik yang diharapkan yaitu penguasaan pangsa pasar domestik yang dimulai pada tahun Pada kriteria ini, perbandingan dilakukan pada variabel tingkat permintaan domestik yang merupakan fungsi dari pangsa pasar dan permintaan domestik. Dari hasil simulasi pada Gambar VI.17 menujukkan bahwa skenario kebijakan gabungan memberikan perbaikan terhadap perilaku sistem. VI.5.3 Kriteria Pertumbuhan Permintaan Ekspor Gambar VI.18 Penerapan Skenario Gabungan Terhadap Permintaan Sari Buah Ekspor 1 Permintaan ekspor (model dasar) 2 Permintaan ekspor dengan penerapan skenario gabungan Target pertumbuhan tingkat permintaan ekspor yang diharapkan yaitu penguasaan pangsa pasar ekspor yang dimulai pada tahun Pada kriteria ini, perbandingan dilakukan pada variabel tingkat permintaan ekspor yang merupakan fungsi dari pangsa pasar ekspor. Dari hasil simulasi pada Gambar VI.18 menujukkan bahwa skenario kebijakan gabungan memberikan perbaikan terhadap perilaku sistem. 170

24 VI.5.4 Kriteria Pertumbuhan Tenaga Kerja Tingkat pertumbuhan tenaga kerja industri sari buah diharapkan dapat meningkat untuk membantu pemerintah menekan tingkat pengangguran di Indonesia. Pada kriteria ini, perbandingan dilakukan pada variabel jumlah tenaga kerja. Dari hasil simulasi pada Gambar VI.19 menujukkan bahwa skenario kebijakan gabungan memberikan perbaikan terhadap perilaku sistem. Gambar VI.19 Penerapan Skenario Gabungan Terhadap Jumlah Tenaga Kerja Industri Sari Buah 1 Jumlah tenaga kerja industri sari buah (model dasar) 2 Jumlah tenaga kerja industri sari buah dengan penerapan skenario gabungan VI.5.4 Kriteria Pertumbuhan Investasi Tingkat pertumbuhan investasi industri sari buah di Indonesia masih sangat rendah yaitu belum mencapai satu persen sehingga pemerintah harus membuat kebijakan yang tepat, yang dapat menarik minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia, termasuk pada sektor industri pengolahan buah. Pada kriteria ini, perbandingan dilakukan pada variabel jumlah investasi. Dari hasil simulasi pada Gambar VI.20 menujukkan bahwa skenario kebijakan gabungan memberikan perbaikan terhadap perilaku sistem. 171

25 Gambar VI.20 Penerapan Skenario Gabungan Terhadap Jumlah Investasi Industri Sari Buah 1 Jumlah investasi industri sari buah (model dasar) 2 Jumlah investasi industri sari buah dengan penerapan skenario gabungan VI.6 Rangkuman Hasil Kebijakan Untuk mengetahui seberapa jauh efektifitas kebijakan yang diterapkan terhadap ukuran performansi yang ingin dicapai pada industri sari buah maka seluruh skenario kebijakan yang diterapkan dirangkum menjadi satu, yang dapat di lihat padat tabel VI.3. Skenario kebijakan yang diterapkan pada tahun 2009 baru memberikan hasil yang nyata pada tahun Hal ini disebabkan karena adanya delay yang terjadi sejak skenario diterapkan sampai tercapai ukuran performansi yang diinginkan. Tingkat produksi sari buah memberikan hasil yang paling baik setelah diterapkan skenario kebijakan bahan baku berupa penurunan penggunaan bahan baku impor. Penerapan skenario kebijakan bahan baku meningkatkan pertumbuhan produksi mencapai 11,05 persen. 172

26 Tabel VI.3 Rangkuman Hasil Skenario Kebijakan Skenario Tahun Kebijakan Bahan Baku Growth (%) Tingkat Produksi (kg/tahun) Tingkat Permintaan Domestik (kg/tahun) Tingkat Permintaan Ekspor (kg/tahun) Tingkat penyerapan Tenaga Kerja (orang/tahun) Tingkat Investasi (rupiah/tahun) Kebijakan Pasar Domestik Growth (%) Tingkat Produksi (kg/tahun) Tingkat Permintaan Domestik (kg/tahun) Tingkat Permintaan Ekspor (kg/tahun) Tingkat penyerapan Tenaga Kerja (orang/tahun) Tingkat Investasi (rupiah/tahun)

27 Skenario Kebijakan Ekspor Growth (%) Tingkat Produksi (kg/tahun) Tingkat Permintaan Domestik (kg/tahun) Tingkat Permintaan Ekspor (kg/tahun) Tingkat penyerapan Tenaga Kerja (orang/tahun) Tingkat Investasi (rupiah/tahun) Tahun Kebijakan Investasi Growth (%) Tingkat Produksi (kg/tahun) Tingkat Permintaan Domestik (kg/tahun) Tingkat Permintaan Ekspor (kg/tahun) Tingkat penyerapan Tenaga Kerja (orang/tahun) Tingkat Investasi (rupiah/tahun)

28 Tingkat permintaan domestik sari buah memberikan hasil yang paling baik setelah diterapkan skenario kebijakan pasar domestik berupa peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor. Penerapan skenario kebijakan pasar domestik meningkatkan pertumbuhan permintaan domestik mencapai 5,10 persen. Sedangkan tingkat permintaan ekspor sari buah memberikan hasil yang paling baik setelah diterapkan skenario kebijakan pasar ekspor berupa peningkatan penetrasi pasar ekspor sari buah. Penerapan skenario kebijakan ekspor meningkatkan pertumbuhan permintaan ekspor mencapai 17,67 persen. Tingkat penyerapan tenaga kerja pada industri sari buah memberikan hasil yang paling baik setelah diterapkan skenario kebijakan pasar domestik berupa peningkatan tarif bea masuk produk sari buah impor. Penerapan skenario kebijakan pasar domestik meningkatkan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja mencapai 7,98 persen. Sedangkan tingkat pertumbuhan investasi industri sari buah memberikan hasil yang paling baik setelah diterapkan skenario promosi investasi. Penerapan skenario promosi investasi meningkatkan pertumbuhan investasi mencapai 3,07 persen. VI.7 Analisis Implementasi Kebijakan Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap implementasi setiap skenario kebijakan yang telah disusun dan apabila diterapkan pada sistem aktual (dunia nyata). VI.7.1 Implementasi Kebijakan Bahan Baku Pada kriteria bahan baku, kebijakan penggunaan bahan baku domestik melalui simulasi dapat memberikan pengaruh yang lebih baik pada performansi sistem. Selama ini industri sari buah masih menggunakan bahan baku impor karena pasokan bahan baku dalam negeri yang kurang lancar. Supaya kebijakan ini dapat dilaksanakan, perlu upaya dari pemerintah untuk mendukung berdirinya industri hulu yang memproduksi puree buah, agar pasokan bahan baku selalu lancar. 175

29 VI.7.2 Implementasi Kebijakan Bidang Pasar Domestik Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan penerapan bea impor terhadap produk impor ilegal memberikan perbaikan yang signifikan terhadap perilaku variabel kriteria performansi sistem, terutama permintaan domestik sari buah. Setelah kebijakan ini diterapkan, permintaan domestik naik secara signifikan.. Penyelundupan produk impor ilegal dengan harga murah selalu meningkat dari tahun ke tahun karena selama ini produk lokal sendiri kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, dari 35 merek minuman sari buah impor yang dijumpai di supermarket, hanya 10 merek yang mencantumkan nomor registrasi ML dari Departemen Kesehatan/BPOM. Persaingan tidak sehat ini,dipicu karena pengawasan di lapangan yang semakin lemah, Industri juga harus melakukan efisiensi dan produktifitas industri guna menekan biaya produksi, karena pasar tidak bisa menyerap kenaikkan harga produk. Padahal biaya produksi meningkat tajam, terutama dari segi energi, transportasi, dan kemasan (karena kebanyakan menggunakan kemasan plastik yang membumbung tinggi biayanya akibat kenaikkan harga minyak bumi). Berdasarkan data dari asosiasi minuman ringan Indosesia (ASRIM), apabila kenaikan BBM mencapai 80% maka industri minuman akan menaikkan harga jualnya hingga 20%. Dengan penerapan kebijakan bea masuk sebesar 10% yang berlaku sekarang, masih banyak terjadi penyelundupan sari buah impor. Oleh karena itu dengan menaikkan bea masuk impor sari buah menjadi 20% pada tahun 2009 dan 30% tahun 2010, harus diimbangi dengan peningkatan usaha pemerintah untuk mencegah penyelundupan sari buah impor ke dalam negeri. Implementasi kebijakan pengurangan penyelundupan produk impor adalah pengawasan terhadap penegakan undang undang verifikasi impor. Namun kenyataannya masalah utama mengapa penyelundupan bisa dengan mudah dilakukan adalah bukan pada peraturannya, tetapi tidak disiplinnya aparat yang bertanggung jawab untuk menegakkan peraturan 176

30 tersebut. Sehingga perlu adanya kerjasama dalam pengawasan dari pihak bea cukai, Depperin, serta asosiasi asosiasi yang terkait dengan industri sari buah untuk bersama sama menangani kasus impor sari buah selundupan tersebut. VI.7.3 Implementasi Kebijakan Bidang Ekspor Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan penetrasi pasar potensial ekspor memberikan perbaikan terhadap perilaku variabel kriteria performansi sistem, sedangkan kebijakan penurunan tarif ekspor kurang memberikan perbaikan yang signifikan terhadap perilaku sistem. Untuk melakukan implementasi kebijakan penetrasi pasar potensial, langkah pertama adalah memetakan wilayah yang merupakan negara potensial untuk ekspor, yaitu negara negara yang memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi. Persaingan global diantara negara negara di pasar ekspor yang semakin ketat, serta penetrasi produk sari buah dari negara China, Thailand, Afrika Selatan dengan sistem dumping mengakibatkan terganggunya industri sari buah dalam negeri. Selain itu kemampuan yang belum merata di antara industri sari buah, sehingga menghambat kegiatan pemasaran global menghadapi restriksi peraturan negara Eropa dan Amerika Serikat, sehingga produk Indonesia sering ditolak karena tidak memenuhi standar keamanan pangan. Kondisi terakhir yaitu, produk Indonesia yang ditolak pasar Amaerika meningkat dari 15 kategori menjadi 24 kategori. Pemilihan negara tujuan ekspor harus dilakukan dengan cermat dan hati hati karena kesalahan pemilihan pasar dapat menyebabkan produk ekspor tersebut kalah bersaing dengan produk sari buah pesaing. Untuk membangun industri, semua potensi sumber daya alam harus dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi produk industri secara optimal. Jadi, yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan review kembali peraturan perundangan yang ada, tidak hanya di lingkungan departemen perindustrian, melainkan juga di bidang lain yang bersentuhan dengan industri. 177

31 VI.7.4 Implementasi Kebijakan Bidang Investasi Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan dibidang investasi memberikan perbaikan terhadap perilaku variabel kriteria performansi sistem. Promosi investasi ternyata cukup untuk menarik para investor untuk melakukan investasi di Indonesia. Namun prosedur perijinan yang kompleks untuk mendirikan pabrik di Indonesia, serta untuk melakukan investasi penambahan kapasitas membuat investor mengalami hambatan dalam melakukan investasi. Sehingga pemerintah harus meninjau kembali prosedur prosedur perijinan yang ada. Pengembangan investasi juga memerlukan adanya iklim perekonomian makro yang stabil. 178

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL Pada bagian analisis kebijakan, terlebih dahulu akan dilakukan analisis pada model dasar, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan skenario kebijakan yang telah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

PRINSIP WTO IKANINGTYAS

PRINSIP WTO IKANINGTYAS PRINSIP WTO IKANINGTYAS PERLAKUAN YANG SAMA UNTUK SEMUA ANGGOTA (MOST FAVOURED NATIONS TREATMENT-MFN). Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang dibuat atau ditandatangani

Lebih terperinci

BAB V PERANCANGAN KEBIJAKAN DAN ANALISIS PERILAKU MODEL. V.1 Arah Kebijakan Direktorat Industri Alat Transportasi Darat dan Kedirgantaraan (IATDK)

BAB V PERANCANGAN KEBIJAKAN DAN ANALISIS PERILAKU MODEL. V.1 Arah Kebijakan Direktorat Industri Alat Transportasi Darat dan Kedirgantaraan (IATDK) BAB V PERANCANGAN KEBIJAKAN DAN ANALISIS PERILAKU MODEL V.1 Arah Kebijakan Direktorat Industri Alat Transportasi Darat dan Kedirgantaraan (IATDK) Perancangan kebijakan otomotif nasional diturunkan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN. 6.1 Arah Kebijakan dan Proses Perancangan Kebijakan

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN. 6.1 Arah Kebijakan dan Proses Perancangan Kebijakan BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN 6.1 Arah Kebijakan dan Proses Perancangan Kebijakan Dalam rangka untuk mencapai tujuan negara, yaitu menjadikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka diperlukan berbagai kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Industri agro memiliki arti penting bagi perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh beberapa fakta yang mendukung. Selama kurun waktu 1981 1995, industri agro telah

Lebih terperinci

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN 6.1 Proses Perancangan Kebijakan Proses perancangan kebijakan industri tepung tapioka di Propinsi Lampung pada dasarnya mengacu pada kebijakan pembangunan daerah Propinsi Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan komponen otomotif baik untuk kendaraan baru (original equipment manufacture) dan spare parts (after market) cukup besar. Menurut data statistik jumlah populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak kepada ketatnya persaingan, dan cepatnya perubahan lingkungan usaha. Perkembangan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tekstil merupakan industri penting sebagai penyedia kebutuhan sandang manusia. Kebutuhan sandang di dunia akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Indonesia memiliki potensi bahan baku industri agro, berupa buah buahan tropis yang cukup melimpah. Namun selama ini ekspor yang dilakukan masih banyak dalam bentuk buah segar

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan hal-hal berikut ini. 1. Faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 Bismillahirrohmanirrahim Yth. Ketua Umum INAplas Yth. Para pembicara

Lebih terperinci

Strategi dan Kebijakan Investasi di Indonesia Selasa, 25 Maret 2008

Strategi dan Kebijakan Investasi di Indonesia Selasa, 25 Maret 2008 Strategi dan Kebijakan Investasi di Indonesia Selasa, 25 Maret 2008 Muhammad Lutfi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada situasi krisis moneter yang melanda lndonesia saat ini harus memikul

I. PENDAHULUAN. pada situasi krisis moneter yang melanda lndonesia saat ini harus memikul I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian yang merupakan tempat para petani mencari nafkah, pada situasi krisis moneter yang melanda lndonesia saat ini harus memikul tanggung jawab paling besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI I. KINERJA AGRO TAHUN 2012 II. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRO III. ISU-ISU STRATEGIS

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Berlian Porter Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan.

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya industri pengolahan nonmigas (manufaktur) menempati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa

Lebih terperinci

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015 KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015 Yang Mulia Duta Besar Turki; Yth. Menteri Perdagangan atau yang mewakili;

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Model Input-Output Ekonometrika Indonesia dan Aplikasinya Untuk Analisis Dampak Ekonomi dapat diperoleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali usaha di bidang tekstil. Suatu perusahaan dituntut untuk mampu

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali usaha di bidang tekstil. Suatu perusahaan dituntut untuk mampu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dalam era globalisasi saat ini, persaingan dalam segala bidang usaha semakin ketat, seperti dalam bidang ekspor impor, pariwisata, pertanian, tidak terkecuali

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebangkitan kembali sektor manufaktur, seperti terlihat dari kinerja ekspor maupun

BAB I PENDAHULUAN. kebangkitan kembali sektor manufaktur, seperti terlihat dari kinerja ekspor maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Prospek industri manufaktur tahun 2012, pada tahun 2011 yang lalu ditandai oleh kebangkitan kembali sektor manufaktur, seperti terlihat dari kinerja ekspor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama dari pembangunan ekonomi Indonesia adalah terciptanya masyarakat adil dan sejahtera. Pembangunan yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Pengembangan Kelembagaan Ekonomi dan Iklim Usaha Kondusif 1. Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi Mendukung terciptanya kesempatan

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Perdagangan internasional diatur dalam sebuah rejim yang bernama WTO. Di dalam institusi ini terdapat berbagai unsur dari suatu rejim, yaitu prinsip, norma, peraturan, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perekonomian Indonesia selalu mengalami perjalanan yang berfluktuasi, minyak dan gas alam yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan, harganya dipasar internasional

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDUHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDUHULUAN Latar Belakang BAB I PENDUHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah saat sekarang, daerah diberi kewenangan dan peluang yang luas untuk mengembangkan potensi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sebagian besar

Lebih terperinci

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Urusan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi yaitu sebagai pemicu kegiatan ekonomi lain yang berdampak ekspansif atau meluas ke berbagai sektor

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, sektor

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Dayasaing Dayasaing merupakan kemampuan usaha suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan kompetitif. Dayasaing dapat diartikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis 5Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan kondisi yang makin seimbang. Persentase sumbangan sektor pertanian yang pada awal Pelita I sangat

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL BAB IV PENGEMBANGAN MODEL Pengembangan model adalah usaha untuk membangun model yang dapat mempresentasikan sektor industri yang ditinjau. Pembentukan model dimulai dari pengenalan terhadap inti permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PEMILIHAN JUDUL Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, merupakan pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN Melalui Buku Pegangan yang diterbitkan setiap tahun ini, semua pihak yang berkepentingan diharapkan dapat memperoleh gambaran umum tentang proses penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses 115 V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA 5.1. Pertumbuhan Ekonomi Petumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan proses perubahan PDB dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi) BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi) Sebagai suatu negara yang aktif dalam pergaulan dunia, Indonesia senantiasa dituntut untuk cepat tanggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) BAHAN KULIAH PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 PRINSIP-PRINSIP

Lebih terperinci

Lampiran I. Kuesioner Penelitian Analisis Strategi Bisnis Pada PT Rekadaya Elektrika

Lampiran I. Kuesioner Penelitian Analisis Strategi Bisnis Pada PT Rekadaya Elektrika 128 Lampiran I Kuesioner Penelitian Analisis Strategi Bisnis Pada PT Rekadaya Elektrika Jakarta, 17 April 2009 Kepada Yth : PT Rekadaya Elektrika Jakarta Dengan Hormat, Sehubungan dengan adanya analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

B. VISI : Indonesia Menjadi Negara Industri yang Berdaya Saing dengan Struktur Industri yang Kuat Berbasiskan Sumber Daya Alam dan Berkeadilan

B. VISI : Indonesia Menjadi Negara Industri yang Berdaya Saing dengan Struktur Industri yang Kuat Berbasiskan Sumber Daya Alam dan Berkeadilan RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 1 : RENCANA PENCAPAIAN SASARAN STRATEGIS PADA KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA TAHUN ANGGARAN : 216 A. KEMENTRIAN : (19) KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Temuan Studi

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Temuan Studi BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan penutup dari studi yang dilakukan dimana akan dipaparkan mengenai temuan studi yang dihasilkan dari proses analisis terutama untuk mencapai tujuan penelitian yang telah

Lebih terperinci

Membangun Pertanian dalam Perspektif Agribisnis

Membangun Pertanian dalam Perspektif Agribisnis Membangun Pertanian dalam Perspektif Agribisnis Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional Indonesia. Sektor agribisnis menyerap lebih dari 75% angkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO Pada bab sebelumnya, telah dilakukan analisis dampak kebijakan Gernas dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam 219 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan 8.1.1. Berdasarkan pengujian, diperoleh hasil bahwa guncangan ekspor nonagro berpengaruh positip pada kinerja makroekonomi Indonesia, dalam

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap pembentukan klaster industri kecil tekstil dan produk tekstil pada Bab IV. Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

a. PROGRAM DAN KEGIATAN

a. PROGRAM DAN KEGIATAN 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Pengembangan perindustrian tidak terlepas dari pengaruh perkembangan lingkungan strategis yaitu pengaruh perkembangan global, regional dan nasional. Untuk itu pembangunan industri

Lebih terperinci

Menjadikan Bogor sebagai Kota yang nyaman beriman dan transparan

Menjadikan Bogor sebagai Kota yang nyaman beriman dan transparan BAB 3 ISU ISU STRATEGIS 1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN a. Urusan Perdagangan, menghadapi permasalahan : 1. Kurangnya pangsa pasar

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA

ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA Oleh: ERNI DWI LESTARI H14103056 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 DAFTAR ISI Halaman

Lebih terperinci

Kebijakan Umum APBD Tahun Anggaran 2010 III- 1

Kebijakan Umum APBD Tahun Anggaran 2010 III- 1 BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO 1. Risiko Keuangan Dalam menjalankan usahanya Perseroan menghadapi risiko yang dapat mempengaruhi hasil usaha Perseroan apabila tidak di antisipasi dan dipersiapkan penanganannya dengan baik. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk yang bekerja di sektor

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4.1. Konsep Kebijakan Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang isi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang tercantum dalam Perda Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Jawa Barat, yaitu Dengan Iman dan Taqwa Jawa

Lebih terperinci

DAMPAK PRODUKTIVITAS TERHADAP LABA (Studi Kasus pada Perusahaan Tekstil PT. Pismatex di Pekalongan)

DAMPAK PRODUKTIVITAS TERHADAP LABA (Studi Kasus pada Perusahaan Tekstil PT. Pismatex di Pekalongan) DAMPAK PRODUKTIVITAS TERHADAP LABA (Studi Kasus pada Perusahaan Tekstil PT. Pismatex di Pekalongan) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian dunia saat ini dihadapkan pada suatu perubahan drastis yang tak terbayangkan sebelumnya. Krisis kredit macet perumahan beresiko tinggi (suprime mortgage)

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA BREAKFAST MEETING PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI NASIONAL JUMAT, 10 JUNI 2011

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA BREAKFAST MEETING PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI NASIONAL JUMAT, 10 JUNI 2011 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA BREAKFAST MEETING PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI NASIONAL JUMAT, 10 JUNI 2011 Yth. Para Narasumber (Sdr. Dr. Chatib Basri, Dr. Cyrillus Harinowo,

Lebih terperinci

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis, antara lain

Lebih terperinci

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian penting dari pembangunan suatu negara bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu indikator dalam menentukan keberhasilan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

6. URUSAN PERINDUSTRIAN

6. URUSAN PERINDUSTRIAN 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Pembangunan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan dan merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi. Sektor industri memegang peranan penting dalam peningkatan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. IV.1 Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. IV.1 Kesimpulan 95 BAB IV PENUTUP IV.1 Kesimpulan Dengan masuknya China ke dalam ASEAN Free Trade Area akan meningkatkan pemasukan dari masing-masing negara anggota, karena pangsa pasar China yang begitu besar, dan begitu

Lebih terperinci

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas Sektor industri merupakan salah satu sektor yang mampu mendorong percepatan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.

Lebih terperinci