BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP"

Transkripsi

1 BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijabarkan pada dua bab sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa komunitas karakter sosial dan juga karakter ekonomi memiliki hubungan yang erat. Keterhubungan antara karakter sosial dan ekonomi sangat ditandai oleh aktivitas ekonomis yang dilakukan dibo-dibo setiap hari. Dan aktivitas ini yang menjadi ciri khas mereka. Dengan ciri khas di atas, jika dikaitkan dengan motivasi mereka, baik motivasi sosial maupun motivasi ekonomis, dapat dijelaskan bahwa motivasi tersebut keluar sebagai akibat dari persamaan tujuan yang hendak dicapai oleh sesama anggota, baik dalam lingkup jaringan maupun antar sesama jaringan dalam komunitas yang lebih luas. Persamaan tujuan seperti itu dapat dikategorikan sebagai persamaan kepentingan, yang kemudian tipe mereka ini adalah community of interest. Mereka ini disebut sebagai community of interest karena tidak hidup dalam tempat yang sama, tetapi memiliki kepentingan yang sama. Dengan dasar kepentingan yang sama inilah yang mendasari seluruh aktivitas mereka seharihari. Dalam konteks kepentingan ini, Tonnies (1957) mendefinisikan sebagai zweckwille, yang mana zweckwille merupakan kemauan rasional yang bermuara pada pilihan rasional. Motivasi para dibo-dibo dalam komunitas ini, yang digerakkan oleh persamaan tujuan semua anggota, akan menggiring setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang rasional untuk mencapai tujuan bersama itu. Kemauan yang melandasi tindakan individu adalah dasar utama dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Demikian juga 61

2 Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) dengan komunitas dibo-dibo, persamaan tujuan merupakan kemauan bersama yang melandasi keberadaan komunitas dibo-dibo. Ciri khas mereka yang berlandaskan pada kepentingan, telah membuat mereka bisa melampaui identitas dan kebiasaan kultural yang membungkus masyarakat. Pola hidup sebagai orang Sahu dan orang Ternate, akan menjadi kabur sebagai akibat dari pertemuan- pertemuan dan komunikasi yang intensif di antara mereka. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan terjadi kesulitan dalam mengidentifikasi dibo-dibo yang berasal dari Sahu, atau dibo-dibo yang berasal dari Jailolo (mengingat kedua suku ini memiliki pola yang berbeda. Selain itu, persamaan kepentingan tersebut juga mengkondisikan solidaritas yang kuat di antara sesama jaringan. Sebagaimana dalam bahasa Durkheim (1964) bahwa solidaritas, khususnya solidaritas sosial yang dimaknai sebagai kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Yang mana kesetiakawanan tersebut muncul sebagai bagian dari kesadaran kolektif. Bentuk dari kesetiakawanan tersebut merupakan kesetiakawanan yang didasarkan pada pembagian porsi peran dalam menopang sebuah sistem. Dari titik ini, kesetiakawanan organik yang melandasi aktivitas dibo-dibo dalam jaringan mereka merupakan bentuk ideal, dalam pandangan Durkheim (1964), sebagai solidaritas organik. Fungsi masing-masing dibo-dibo dalam jaringan mereka menggambarkan fungsi masing-masing unsur dalam menopang sebuah sistem, yakni alur distribusi hasil kebun dari Sahu ke Ternate. Masyarakat suku Sahu sebagai penghasil yang berfungsi sebagai penyuplai, tidak akan bermakna jika fungsi tersebut tidak didukung oleh dibo-dibo kampong dan juga dibo-dibo yang memiliki jaringan di Ternate. kemudian dua kelompok dibo-dibo tersebut pun tidak bermakna fungsinya jika tidak ditopang oleh dibo-dibo yang berada di Ternate, yang kemudian berhadapan langsung dengan konsumen 62

3 Komunitas Dibo-dibo sebagai Jaringan yang Hidup di Ternate. kesatuan dari fungsi tersebut berdasarkan kedudukan, merupakan kesatuan fungsi dalam sistem yang utuh. Dalam konteks semacam ini, dapat diasumsikan bahwa yang utuh berarti harus fungsional. Kaitannya dengan aras fungsional semacam di atas, terlihat bahwa ada linking di antar sesama anggota. Dalam lingking tersebut ada norma timbal balik dalam setiap anggota. Norma timbal balik ini kemudian menjadi dasar dalam konstruksi pola jaringan yang tercipta pada komunitas dibo-dibo. yang bisa dilihat sebagai trust dalam komunitas dibo-dibo. Trust sebagai penyokong modal sosial, menjadi signifikan dalam kaitannya dengan negosiasi harapan dengan tindakan setiap individu (Möllering, 2001). Kata negosiasi yang dipakai pada pengertian di atas memberikan penekanan bahwa ada posis tawarmenawar pada setiap individu antara tindakan dengan harapan diri sendiri maupun orang lain terhadap hasil dari tindakan tersebut. Terjadi tawar-menawar tersebut sebagai akibat dari pengaruh variabel-variabel lain yang bisa saja mengganggu tindakan seseorang. Berangkat dari pemahaman di atas, jika dikaitkan dengan pola trust pada komunitas dibo-dibo, dapat dilihat kesesuaian. Kesesuaian tersebut tergambar pada proses negosiasi tindakan yang sering terjadi pada anggota dalam sebuah jaringan pada komunitas dibo-dibo. negosiasi tindakan akan muncul dengan sendirinya ketika seorang anggota tidak bisa memenuhi kebutuhan stok hasil kebun. Negosiasi dilakukan dalam upaya untuk menjaga kesepakatan relasi dalam jaringan. Di samping itu juga, hal ini dilakukan dalam kerangka menjaga keharmonisan dan kestabilan hubungan sosial yang terjalin selama ini. Atau dengan kata lain, keharmonisan tersebut diupayakan dalam menjaga keutuhan jaringan sosial dalam komunitas. Pola bangunan trust dalam komunitas dibo-dibo, sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. menegaskan bahwa kesesuaian tindakan dengan harapan serta kejujuran adalah nilai dasar dalam hubungan timbal balik di antar sesama anggota jaringan dalam 63

4 Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) komunitas. Kesesuaian tindakan dan kejujuran merupakan dua indikator utama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Seok-Eon Kim (2005). Walaupun dirinya lebih mengaplikasikan unsur-unsur tersebut dalam manajemen organisasi publik, akan tetapi bahwa unsur-unsur yang diidentifikasi oleh Seok-Eon Kim (2005), dengan jelas juga berlaku bagi komunitas dibo-dibo. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa unsur-unsur trust merupakan nilai-nilai yang berlaku secara universal. Pola trust semacam di atas dijalin dalam komunikasi tatap muka yang sering dilakukan oleh dibo-dibo merupakan salah satu kondisi yang sering dilakukan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Dewey (1927) bahwa peran interaksi tatap muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa digantikan. Terlihat bahwa Dewey (1927) menganggap bahwa kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada hubungan interpersonal. Dari titik berangkat komunikasi antar pribadi yang intens, yang sering dilakukan dalam bentuk tatap muka merupakan jaminan atas terjadinya trust pada sesama dibo-dibo. Jalinan trust yang didorong oleh komunikasi tatap muka yang sering dilakukan oleh dibo-dibo memiliki nilai lebih. Nilai lebih dilihat pada signifikansi komunikasi dalam membentuk rasa kepemilikan bersama dalam sebuah komunitas. Kondisi semacam inilah yang menjadi eksistensi komunitas. Karena tatap muka yang sering dilakukan oleh dibo-dibo, baik antara dibo-dibo dengan masyarakat suku Sahu dan antara sesama dibo-dibo dalam jaringan distribusi mereka, mengkondisikan keterhubungan yang mutualis sifatnya. Dan hakikat inilah yang menjadi daya penggerak sebuah komunitas. Disebut sebagai daya penggerak karena dengan komunikasi antar pribadi dalam bentuk tatap muka akan mendorong terjadinya sharing sumber daya dan pengetahuan. Menurut Dewey (1927) bahwa tatap muka akan menjamin kepercayaan antara orang yang sering berkomunikasi. Dengan jaminan tersebut, akan menjadi prasyarat dalam share pengetahuan, terutama sumber daya di antara sesama anggota dalam jaringan mereka. 64

5 Komunitas Dibo-dibo sebagai Jaringan yang Hidup Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa modal sosial akan berkaitan dengan aliran norma timbal balik. Keberadaan norma timbal balik tersebut kemudian dikonstruksikan menjadi sanksi-sanksi sosial yang berlaku antar setiap pribadi dalam sebuah komunitas. Dalam kaitannya dengan sanksi-sanksi yang berada dalam komunitas dibo-dibo, diketahui bahwa bentuk sanksi yang berlaku di antara sesama anggota jaringan dalam komunitas dibodibo merupakan abstraksi dari norma timbal balik antar sesama anggota jaringan dalam komunitas. Untuk melihat sanksi-sanksi sosial tersebut di atas, harus diketengahkan dalam kedudukan dan fungsinya dalam jaringan sosial. Dalam komunitas dibo-dibo, jaringan merupakan salah satu modal utama dalam mendistribusikan hasil kebun masyarakat atau hasil kebun sendiri ke Ternate. khusus untuk hubungan dibo-dibo dengan masyarakat suku Sahu, dalam hal ini penyuplai mereka, terlihat bahwa kebanyakan dibo-dibo menjadikan keluarga mereka sebagai penyuplai. Pertimbangan utama dari pilihan tersebut adalah ketergantungan yang aktif antara sesama mereka. Artinya bahwa hubungan kekerabatan menjamin dibo-dibo untuk memperoleh hubungan dan komunikasi yang lebih intens serta trust. Selain itu pula, konsistensi tanggung jawab pun akan lebih bisa dijamin. Dengan memerhatikan pola tanggung jawab pada Gambar 4.2. diketahui bahwa alur tanggung jawab dalam anggota jaringan dibodibo memiliki konsekuensi sanksi. Dari sinilah dibangun pola jaringan, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam 4 (empat) pola. Yang mana pola jaringan tersebut memiliki dimensi tanggung jawab, yang kemudian bermuara pada kesepakatan sanksi yang mengikat mereka. Dengan demikian, sanksi yang diberlakukan secara lisan tersebut akan dimaknai dalam dimensi tanggung jawab berdasarkan kedudukan dan fungsinya dalam jaringan. Berangkat dari pola tanggung jawab dalam jaringan tersebut di atas, menurut Maturana dan Varella (1996) bahwa dalam komunitas, selalu ada dimensi kesadaran dalam diri setiap anggotanya. Kesadaran individu ini akan terus memberikan jaminan alur tanggung jawab 65

6 Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh sesama anggota komunitas. Kesadaran tersebut menurut Maturana dan Varella (1996) muncul karena setiap individu terlibat dalam jaringan makna (mereka meminjam istilah Geertz), yang mana masing-masing merasa bermakna ketika dirinya ditemukan berelasi dengan orang lain. Dan relasi tersebut juga dibangun sebagai bagian dari tanggung jawab individu dalam jaringan sosial. Agak berbeda dengan pandangan di atas, bagi Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) bahwa individu tidak menjadi bagian yang satu dengan sistem seperti masyarakat atau komunitas. Individu dalam dirinya merupakan bagian dari lingkungan itu sendiri, akan tetapi tidak menjadi bagian yang utuh dengan sistem. Berangkat dari penekanan Parson tentang sistem yang fungsional, Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) menegaskan bahwa Parson dengan teorinya tidak dapat menjawab persoalan kemampuan sistem untuk merujuk pada dirinya sendiri. Pada titik berangkat ini, Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) walaupun menggunakan autopoetic, tetapi kemampuan merujuk pada dirinya sendiri telah mengkondisikan sistem atau jaringan tersebut akan tertutup. Dalam arti bahwa sistem tersebut tidak bersangkut paut dengan liangkungan. Katerhubungan antara lingkungan dengan sistem hanyalah relasi pengganggu untuk membentuk sistem yang lebih mapan. Jika mengacu pada pemikiran Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) di atas, nampaknya tidak terjadi pada komunitas dibo-dibo dengan jaringan mereka. Keterbukaan mereka merupakan salah satu posisi yang menguntungkan mereka. Terutama dibo-dibo yang hidup dan berhadapan langsung dengan masyarakat suku Sahu. Pada titik berangkat relasi sub sistem, penulis bersetuju dengan pandangan Luhman bahwa subsistem tersebut akan dengan sendirinya merupakan bagian dari subsistem yang lain. Karena dari hasil penelitian bahwa dibo-dibo dengan jaringan mereka adalah salah satu subsistem yang berada pada masyarakat suku Sahu. Di samping itu pula, keberadaan jaringan dalam komunitas dibo-dibo merupakan manifestasi dari upaya untuk mempertahankan sistem dari komunitas 66

7 Komunitas Dibo-dibo sebagai Jaringan yang Hidup dibo-dibo. Dalam pengertian bahwa jaringan-jaringan yang terbentuk dalam komunitas ini adalah bagian dari ekspresi sistem komunitas ini dalam mempertahankan eksistensi mereka. Namun begitu, hasil penelitian ini lebih memilih untuk menolak ketertutupan sistem sebagai autopoetic versi Luhman dan menerima penegasan: Capra (1996) yang mengatakan bahwa jaringan sosial akan lebih terbuka terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya. Keterbukaan komunitas dibo-dibo juga sangat dikondisikan oleh kerterbukaan masyarakat suku Sahu. Adapun simbol keterbukaan tersebut adalah bahwa rumah adat (sasadu) dibangun dengan tidak dikelilingi oleh pagar. Di samping itu pula, rumah penduduk pun tidak dibatasi oleh pagar-pagar masing-masing keluarga. 17 Simbolisasi tersebut sangat mendukung karakter dibodibo yang terbuka. Karena bagaimana pun juga, walaupun dibo-dibo (bisa saja berasal dari daerah lain), akan tetapi mereka terus berkomunikasi dan berinteraksi secara intens dengan masyarakat suku Sahu. Tatap muka semacam inilah yang kemudian berpengaruh secara signifikan terhadap keterbukaan jaringan dibo-dibo. 18 Adapun gambaran mengenai pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 6.1 di bawah ini: 17 Karakter yang terbuka sebagaimana diapresiasikan dengan tidak adanya pembatas pagar pada rumah kampung merupakan fenomena umum yang dapat juga dijumpai di daerah lain. Symbol tersebut masih melekat pada masyarakat yang hidup di pedesaan. Kenyataan semacam ini akan terbalik jika dibandingkan dengan konteks kehidupan masyarakat kota. 18 Diakui bahwa jaringan dibo-dibo tidak selamanya berasal dari suku Sahu. Kebanyakan dari mereka adalah pendatang yang kawin-mawin dengan masyarakat setempat. Namun begitu, ada juga yang asli dari suku Sahu. 67

8 Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) Gambar 6.1. Autopoetic Komunitas Dibo-dibo Dengan Gambar 6.1., dapat dilihat bahwa komunitas dibodibo dengan sistemnya (tergambarkan dalam pola tanggung jawab antar individu dalam jaringan), tidak hanya melibatkan individu sebagai dibo-dibo, melainkan juga kesadaran, pengalaman, strategi, bahasa pengetahuan dan budaya. Keterlibatan unsur-unsur tersebut di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kognitif individu. Dalam kaitannya dengan kognitif individu semacam itu, tidak akan dapat dimaknai pada diri individu sendiri, melainkan harus dibentuk dan dibangun ketika bergayut dengan individu lain dan juga lingkungannya. Dalam pemahaman ini, autopoetic komunitas dibo-dibo adalah jaringan yang hidup. Sebab dengan istilah jaringan yang hidup, dapat menjelaskan bahwa komunitas dibo-dibo merupakan jaringan entrepreneur lokal di Halmahera Barat. 68

BAB IV KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI PEMBENTUK MODAL SOSIAL. diidentifikasi bahwa karakter sosio-teologis mewarnai dasar dan proses Pembentukan

BAB IV KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI PEMBENTUK MODAL SOSIAL. diidentifikasi bahwa karakter sosio-teologis mewarnai dasar dan proses Pembentukan BAB IV KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI PEMBENTUK MODAL SOSIAL Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa karakter sosio-teologis mewarnai dasar dan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Pedoman Wawancara Penelitian

LAMPIRAN. Pedoman Wawancara Penelitian LAMPIRAN Pedoman Wawancara Penelitian A. Aktivitas sosio-ekonomi komunitas dibo-dibo I. Aktivitas Sosial Motivasi Sosial : 1. Apa yang anda harapkan (khususnya relasi) dengan komunitas dibo-dibo? 2. Bagaimana

Lebih terperinci

BAB IV KOMUNITAS DIBO-DIBO: Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

BAB IV KOMUNITAS DIBO-DIBO: Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi BAB IV KOMUNITAS DIBO-DIBO: Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi Pengantar Ada satu kesepakatan bersama masyarakat suku di jazirah Halmahera bahwa Dibo-dibo mengacu pada sekumpulan orang yang berprofesi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode Penelitian Penelitian adalah proses mencari sesuatu secara sistematis dalam waktu tertentu dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan-aturan yang berlaku. Metode ilmiah

Lebih terperinci

BAB II PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS

BAB II PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS BAB II PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS Hakikat Komunitas Dari sudut sosiologis, kata community berasal dari bahasa Latin Munus, yang bermakna the gift (memberi), cum, dan together (kebersamaan) antara satu

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Studi Tentang Komunitas Studi tentang komunitas merupakan upaya yang tidak dapat dipisahkan dari usaha untuk memaparkan karakteristik dasar dari sebuah komunitas dalam

Lebih terperinci

BAB V EKSISTENSI KOMUNITAS DIBO-DIBO DALAM MASYARAKAT SUKU SAHU

BAB V EKSISTENSI KOMUNITAS DIBO-DIBO DALAM MASYARAKAT SUKU SAHU BAB V EKSISTENSI KOMUNITAS DIBO-DIBO DALAM MASYARAKAT SUKU SAHU Pengantar Sebagaimana dalam pembahasan pada bab sebelumnya bahwa dalam menjalankan usahanya, mereka (dibo-dibo) tidak hidup dalam konteks

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM Melihat kondisi solidaritas dan berdasarkan observasi, serta wawancara dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku individu berkaitan erat dengan yang namanya peran dalam kehidupan bermasyarakat. Peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani oleh seorang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Modal Sosial Konsep modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial (social capital) yang mampu membuat individu individu yang ada didalam komunitas tersebut berbagi

Lebih terperinci

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di BAB II : KAJIAN TEORITIK a. Solidaritas Sosial Durkheim dilahirkan di Perancis dan merupakan anak seorang laki-laki dari keluarga Yahudi. Dia mahir dalam ilmu hukum filsafat positif. Dia terakhir mengajar

Lebih terperinci

BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM

BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM A. Perselingkuhan Perselingkuhan adalah hubungan pribadi di luar nikah, yang melibatkan sekurangnya satu orang yang berstatus nikah, dan didasari oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk biologis merupakan individu yang mempunyai potensi-potensi diri yang

BAB I PENDAHULUAN. mahluk biologis merupakan individu yang mempunyai potensi-potensi diri yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk yang memiliki akal pikiran yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Namun demikian sebagai mahluk biologis merupakan individu yang

Lebih terperinci

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang Bab Dua Kajian Pustaka Pengantar Pada bab ini akan dibicarakan beberapa konsep teoritis yang berhubungan dengan persoalan penelitian tentang fenomena kegiatan ekonomi pedagang mama-mama asli Papua pada

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI

STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI Disajikan pada kegiatan PPM Di UPTD BALEENDAH KAB BANDUNG Oleh BABANG ROBANDI JURUSAN PEDAGOGIK FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Makna Kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat

Lebih terperinci

Komunitas Dibo-dibo. (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) Oleh : Anthon Alberth Ngarbingan

Komunitas Dibo-dibo. (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) Oleh : Anthon Alberth Ngarbingan Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) Oleh : Anthon Alberth Ngarbingan Satya Wacana University Press 2016 Anthon Alberth Ngarbingan

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS

PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS PRINSIP UMUM ETIKA BISNIS 1. Prinsip Otonomi 2. Prinsip Kejujuran 3. Prinsip Keadilan 4. Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual benefit principle) 5. Prinsip Integral

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN Manusia pertama-tama ada, berjumpa dengan dirinya, muncul di dunia dan setelah itu menentukan dirinya. (Jean-Paul Sartre) A. MANUSIA DAN KESADARAN DIRI Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tradisi yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran, kematian dan perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi masyarakat Jawa berbagai

Lebih terperinci

BAB IV STANDAR KOMPETENSI GURU. Setelah membaca materi ini mahasiswa diharapkan memahami standar

BAB IV STANDAR KOMPETENSI GURU. Setelah membaca materi ini mahasiswa diharapkan memahami standar Profesi Keguruan Rulam Ahmadi BAB IV STANDAR KOMPETENSI GURU A. Kompetensi Dasar Setelah membaca materi ini mahasiswa diharapkan memahami standar kompetensi guru yang meliputi guru PAUD/TK/RA, guru SD/MI,

Lebih terperinci

STUDI MASYARAKAT INDONESIA

STUDI MASYARAKAT INDONESIA STUDI MASYARAKAT INDONESIA 1. Prinsip Dasar Masyarakat Sistem Sistem kemasyarakatan terbentuk karena adanya saling hubungan di antara komponenkomponen yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang menanamkan. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah dapat

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang menanamkan. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan

Lebih terperinci

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU. Dr. Ali Mustadi, M. Pd NIP

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU. Dr. Ali Mustadi, M. Pd NIP MATA KULIAH PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU Dr. Ali Mustadi, M. Pd NIP 19780710 200801 1 012 CAKUPAN KAJIAN Pengertian dan cakupan kompetensi guru Kebijakan pemerintah tentang kompetensi guru Analisis berbagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya dilakukan oleh (Adikampana dkk, 2014) yang berjudul Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan

Lebih terperinci

CIRI-CIRI LEMBAGA SOSIAL A. Ciri utama lembaga sosial (J.B. Chitambar) Merupakan seperangkat pola perilaku yg diterima termasuk peranan-peranan dan

CIRI-CIRI LEMBAGA SOSIAL A. Ciri utama lembaga sosial (J.B. Chitambar) Merupakan seperangkat pola perilaku yg diterima termasuk peranan-peranan dan PENGERTIAN Sajogyo : Suatu kesatuan yg terdiri dari dua atau lebih dimana diantara mereka terjadi komunikasi dua arah dan di dalam interaksi (timbal-balik) satu sama lain. Soerjono : Himpunan atau kesatuan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi BAB VI KESIMPULAN Kajian media dan gaya hidup tampak bahwa pengaruh media sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi masyarakat tidak lain merupakan hasil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis,

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah kebutuhan untuk makan. Dalam upayanya untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan makan. Makanan adalah sesuatu

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan dalam penelitan ini maka dibuat kesimpulan dari fokus kajian mengenai, perubahan ruang hunian, gaya hidup dan gender,

Lebih terperinci

WALIKOTA PALANGKA RAYA

WALIKOTA PALANGKA RAYA 1 WALIKOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN BANGUNAN BERCIRIKAN ORNAMEN DAERAH KALIMANTAN TENGAH DI KOTA PALANGKA RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal sosial Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman kita tentang masyarakat dan komunitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Modal sosial adalah kombinasi norma-norma yang berada dalam sistem sosial yang mengarah kepada peningkatan kerja sama antar anggota masyarakat dan membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG Manusia memiliki dua sisi dalam kehidupannya, yaitu sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Budaya Lanskap adalah suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu secara harmoni

Lebih terperinci

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA CONTOH BAHAN AJAR A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA 1. Pengantar Pemahaman Sosiologi tentang masyarakat bagaimanapun juga dalamnya dan detailnya tidak akan lengkat tanpa mengikut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap sistem hukum menunjukan empat unsur dasar, yaitu : pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga

Lebih terperinci

Negosiasi Bisnis. Minggu-11: Hubungan Dalam Negosiasi. By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: ,

Negosiasi Bisnis. Minggu-11: Hubungan Dalam Negosiasi. By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: , Negosiasi Bisnis Minggu-11: Hubungan Dalam Negosiasi By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: 08122035131, Email: ailili1955@gmail.co.id Hubungan Dalam Negosiasi Proses negosiasi terjadi diantara dua pihak

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demikian merupakan salah satu bentuk dari solidaritas sosial. 1

BAB I PENDAHULUAN. demikian merupakan salah satu bentuk dari solidaritas sosial. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gotong royong merupakan salah satu aktivitas sosial yang menjadi karakteristik masyarakat Indonesia. Kegiatan gotong royong secara sederhana mempunyai arti

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. tinggi tingkatan usaha pedagang barang bekas maka memiliki relasi kerja yang semakin

BAB V PENUTUP. tinggi tingkatan usaha pedagang barang bekas maka memiliki relasi kerja yang semakin BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Relasi kerja antar pedagang barang bekas dibedakan berdasar pada tingkatan usahanya, yaitu pedagang keliling, pemilik lapak kecil, dan pemilik lapak besar. Semakin tinggi

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN Kapita Selekta Ilmu Sosial Sistem Sosial

MODUL PERKULIAHAN Kapita Selekta Ilmu Sosial Sistem Sosial MODUL PERKULIAHAN Sistem Sosial FAKULTAS Bidang Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh ILMU KOMUNIKASI Public relations/ Yuni Tresnawati,S.Sos., M.Ikom. Humas 2 Abstract Dalam pokok bahasan ini adalah memperkenalkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tahap Pengembangan Masyarakat Masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan dikarenakan masyarakat adalah mahluk yang tidak statis melainkan selalu berubah secara dinamis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, tarian dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku bangsa juga sangat beragam. Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi 128 BAB V KESIMPULAN Seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis seorang napi. Berada dalam situasi dan kondisi penjara yang serba terbatas, dengan konsep pemisahan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Struktural Fungsional Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan menggunakan defenisi ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia adalah Negara majemuk dimana kemajemukan tersebut mengantarkan Negara ini kedalam berbagai macam suku bangsa yang terdapat didalamnya. Keaneka ragaman suku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keterlekatan Keterlekatan menurut Granovetter, merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bourdieu tentang Habitus Menurut Bourdieu (dalam Ritzer 2008:525) Habitus ialah media atau ranah yang memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI Bab ini memaparkan simpulan dan implikasi penelitian terkait elaborasi faktor empati dan daya tanggap untuk peningkatan kualitas layanan konsultasi psikologi di Lembaga Pengembangan

Lebih terperinci

BAB XI P E N U T U P. Hasil penelitian memperlihatkan kelembagaan-kelembagaan lokal yang terlibat

BAB XI P E N U T U P. Hasil penelitian memperlihatkan kelembagaan-kelembagaan lokal yang terlibat BAB XI P E N U T U P 11.1 Kesimpulan Hasil penelitian memperlihatkan kelembagaan-kelembagaan lokal yang terlibat pada pasar gambir memiliki tindakan kolektif di pasar gambir. Tindakan-tindakan kolektif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelembagaan 2.1.1 Pengertian Kelembagaan Suatu kelembagaan merupakan suatu sistem kompleks yang sengaja dibuat manusia untuk mengatur cara, aturan, proses, dan peran masing-masing

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam melihat ketahanan pasar nagari di Minangkabau dalam menghadapi ekonomi dunia/supra

Lebih terperinci

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN Dalam bab ini diuraikan proses pengembangan model penilaian otentik dalam pembelajaran membaca pemahaman yang telah

Lebih terperinci

BAB VIII ANALISIS KOMUNITAS PEMULUNG

BAB VIII ANALISIS KOMUNITAS PEMULUNG 103 BAB VIII ANALISIS KOMUNITAS PEMULUNG 8.1 Keberadaan Pemulung Keberadaan pemulung yang menempati daerah pinggiran perkotaan maupun pusat perkotaan menjadi suatu fenomena sosial yang tidak dapat dihindari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor industri sebagai bagian dari proses pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor industri sebagai bagian dari proses pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor industri sebagai bagian dari proses pembangunan nasional dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang telah membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi 1. Definisi Komunikasi Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin, yaitu communication, yang akar katanya adalah communis, tetapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan sejarah diketahui bahwa masyarakat Indonesia sudah menegenal ekonomi yang disebut pasar. Pasar merupakan kegiatan jual-beli itu, biasanya (1) berlokasi yang mudah didatangi

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNIK TPS (THINK, PAIR, AND SHARE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENENTUKAN KALIMAT UTAMA PARAGRAF DESKRIPSI

PENERAPAN TEKNIK TPS (THINK, PAIR, AND SHARE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENENTUKAN KALIMAT UTAMA PARAGRAF DESKRIPSI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia, sebagai salah satu identitas atau pembeda dari bangsa lain, selain sebagai bahasa persatuan juga berkedudukan sebagai bahasa negara dan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah mengungkapkan Pancasila sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, memberi kekuatan hidup serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unsur penentu pertama dan utama keberhasilan pembinaan anak sebagai generasi penerus. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Solidaritas sosial menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat

Lebih terperinci

BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan

BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan 74 BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH 7.1. Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan 7.1.1. Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan Pemekaran kecamatan di Kabupaten Maluku Utara, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matematika berasal dari bahasa Yunani adalah studi besaran, struktur,

BAB I PENDAHULUAN. Matematika berasal dari bahasa Yunani adalah studi besaran, struktur, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Matematika berasal dari bahasa Yunani adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Matematika dalam bahasa Belanda disebut Wiskunde atau ilmu pasti. Matematika

Lebih terperinci

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN Oleh : Budi wardono Istiana Achmad nurul hadi Arfah elly BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. pengalaman serta lingkungan sekitar dari manusia tersebut tinggal.

BAB II KERANGKA TEORI. pengalaman serta lingkungan sekitar dari manusia tersebut tinggal. BAB II KERANGKA TEORI 2.4. Persepsi Dalam memandang suatu permasalahan dari setiap manusia mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Persepsi menurut manusia yang satu belum tentu sama dengan persepsi manusia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dihasilkan dari analisis data dapat digeneralisasikan pada populasi penelitian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dihasilkan dari analisis data dapat digeneralisasikan pada populasi penelitian. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab V ini akan dibahas mengenai kesimpulan, implikasi dan saran dari penelitian. 5.1 Kesimpulan Persyaratan analisis data telah terpenuhi, dengan demikian kesimpulan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUHAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUHAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUHAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian tidak bisa dilepaskan dari adanya para pemilik modal. Mereka ikut serta dalam persaingan pasar pertanian untuk mencari hasil-hasil pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga

BAB I PENDAHULUAN. dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal keberadaan seorang individu memiliki relasi yang mutlak dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga merupakan kesatuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Komunikasi Antarbudaya Dalam ilmu sosial, individu merupakan bagian terkecil dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya terkandung identitas masing-masing. Identitas tersebut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin besarnya kebutuhan akan tenaga kerja profesional di bidangnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. disekelilingnya. Ini merupakan salah satu pertanda bahwa manusia itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. disekelilingnya. Ini merupakan salah satu pertanda bahwa manusia itu 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Kelompok Sosial Manusia pada dasarnya dilahirkan seorang diri namun di dalam proses kehidupan selanjutnya, manusia membutuhkan manusia

Lebih terperinci

KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN

KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN Keterampilan berkomunikasi merupakan suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu. Melalui komunikasi individu akan merasakan kepuasan, kesenangan atau

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang

BAB V PENUTUP. masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan lain: Berdasarkan analisis pada Bab IV maka yang dapat disimpulkan oleh Penulis, antara 1. Harta buang merupakan salah satu dari sekian banyak adat istiadat di Selaru yang

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR. tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR. tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Bank Plecit Bank plecit merupakan koperasi simpan pinjam yang memberikan tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istiadat. Wujud kedua, adalah sistem sosial atau social sistem yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. istiadat. Wujud kedua, adalah sistem sosial atau social sistem yang berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia pada dasarnya merupakan mahkluk yang berbudaya karena padanya budaya tercipta dan dikembangkan. Dalam hal ini, budaya atau kebudayaan merupakan suatu yang dilahirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan gotong royong sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan gotong royong sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan gotong royong sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari keadaan lingkungan yang mulai tidak terjaga kebersihannya.

Lebih terperinci

PANDANGAN HIDUP SISTEM

PANDANGAN HIDUP SISTEM PANDANGAN HIDUP SISTEM SEPERTI APA REALITAS YANG EKOLOGIS? Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi FE UPN Veteran Jatim) Pemahaman Hidup Sistem Visi atau pandangan hidup akan realitas

Lebih terperinci

BAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tidak ada masyarakat yang tidak berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Tidak jarang dalam perubahan tersebut terdapat nilai yang ditransformasikan. Bahkan, seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang membuat hubungan antar manusia lebih terbuka, serta arus globalisasi membuat Indonesia,

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Utopia.com..., Raditya Margi Saputro, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Utopia.com..., Raditya Margi Saputro, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bila ditarik garis besarnya maka di dalam skripsi ini saya telah mencoba memaparkan sebuah teori tentang kemungkinan baru di dalam memunculkan sebuah ranah publik melalui hubungan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan Perkawinan Masyarakat Aimoli Masyarakat di kampung Aimoli meyakini bahwa mereka adalah satu keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam

Lebih terperinci

Standard Guru Penjas Nasional (Rumusan BSNP)

Standard Guru Penjas Nasional (Rumusan BSNP) Standar Guru Penjas Standard Guru Penjas Nasional (Rumusan BSNP) 1. Kompetensi Pedagogik 2. Kompetensi Kepribadian 3. Kompetensi Sosial 4. Kompetensi Profesional Kompetensi Pedagogik Menguasai karakteristik

Lebih terperinci

sosial kaitannya dengan individu lain dalam masyarakat. Manusia sebagai masyarakat tersebut. Layaknya peribahasa di mana bumi dipijak, di situ

sosial kaitannya dengan individu lain dalam masyarakat. Manusia sebagai masyarakat tersebut. Layaknya peribahasa di mana bumi dipijak, di situ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk monodualis, di satu sisi ia berperan sebagai individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri (internal individu), namun di sisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1 Identifikasi Masalah Manusia entah sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam lingkup kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi sekarang ini sudah mengarah pada krisis multidimensi. Permasalahan yang terjadi tidak saja

Lebih terperinci

KELOMPOK SOSIAL. Oleh Firdaus

KELOMPOK SOSIAL. Oleh Firdaus KELOMPOK SOSIAL Oleh Firdaus Pertemuan ini akan Membahas : 1. Konsep Kelompok Sosial 2. Faktor pendorong terbentuknya kelompok Sosial 3. Bentuk-bentuk pengelompokan sosial Pertanyaan untuk Diskusi Awal:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks

BAB I PENDAHULUAN. Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks wawasan kebangsaan yang merupakan pandangan seorang warga negera tentang negaranya, dan pembentukan

Lebih terperinci

PEDOMAN KEBIJAKAN CODE OF CONDUCT PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO)

PEDOMAN KEBIJAKAN CODE OF CONDUCT PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) 1 PEDOMAN KEBIJAKAN CODE OF CONDUCT PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) Tbk. Pedoman Kebijakan Code of Conduct sebagaimana dimaksud pada lampiran Peraturan Direksi ini terdiri dari 5 (lima) bagian, yaitu:

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebudayaan Tradisional Masyarakat Desa Konsep kebudayaan tradisional mengacu pada gambaran tentang cara hidup (way of life) masyarakat desa yang belum dirasuki oleh penggunaan

Lebih terperinci