B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

Transkripsi

1 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna yang terekpresikan dalam sistem simbol, dan senantiasa mendapatkan penyegaran serta penguatan melalui perilaku sosialreligius masyarakat Waiwunga sebagaimana yang terlembagakan dalam ritualritual yang dilaksanakan khususnya ritual mangejing. Integrasi sosial makna logis dan integrasi sosial fungsional kausal, terjadi sebagai hasil proses yang dialektis dalam pelaksanaan ritual mangejing yang dilakukan secara berulang-ulang dalam ritme waktu yang tetap. Masyarakat Kampung Waiwunga sesungguhnya adalah wujud integrasi itu sendiri. Pandangan-pandangan ini mempertegas pemikiranpemikiran fungsionalisme dinamis Clifford Geertz dan Victor Turner tentang interdepedensi agama dan masyarakat sebagai bagian dari sistem kebudayaan yang saling mempengaruhi, dalam hal mana ritus-ritus yang dilaksanakan dalam masyarakat tersebut menjadi pancaran faktualitas aspek makna, simbol dan perilaku. Beberapa catatan berikut ini merupakan penegasan ulang pemikiranpemikiran prinsip dan substansial yang merupakan inti penulisan dalam karya ini. Agama sebagai sebuah sistem budaya merupakan sistem simbol yang bertujuan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara, merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum, melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang factual, yang pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu 104

2 realitas yang unik. Oleh karena itu dalam upaya memahami Agama Marapu sebagai bagian dari sistem budaya Sumba, haruslah menganalisa serangkaian makna yang terdapat dalam simbol-simbol agama tersebut, yang ditemukan dalam konfigurasi perilaku sosial religius yang terjadi secara dialektis dan terus menerus diantara makna, simbol, dan struktur sosial masyarakat Sumba. Ritual mangejing dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan tindakan atau perilaku religius yang dilakukan berulang-ulang untuk mengungkapkan nilai-nilai yang dianut masyarakat tersebut secara kolektif. Ritus mangejing merupakan perwujudan suasana hati dan motivasi, konsepsi kehidupan yang umum, dan menjadi suatu realitas yang unik serta penting. Ritus mangejing mengekspresikan etos dan pandangan dunia (world view) masyarakat Waiwunga dan karena itu merupakan pertunjukan makna yang terdiri dari etos, pandangan dunia, suasana hati, motivasi, nilai estetika, serta simbol religi yang merupakan perwujudan pengetahuan, pengakuan dan kesadarannya tentang kehidupan. Secara praksis fungsional ritual mangejing memiliki peranan dan fungsi yaitu: fungsi ekspresif yang nampak dalam simbol-simbol ritual, doa, tari-tarian, kurban persembahan, maupun prosesi; fungsi reflektif yang nampak dalam upaya menata kembali relasi-relasi individu maupun kelompok dalam kabihu dan antar kabihu, menyelesaikan berbagai persoalan kelompok dengan mengacu pada tata cara hukum adat yang berlaku secara turun-temurun, serta melakukan kontrol terhadap perilaku moral sosial warganya dengan ketat; dan fungsi formatif yaitu menjadi perekat dan penyatu seluruh elemen kelompok masyarakat Waiwunga. Peran dan 105

3 fungsi ritus mangejing ini menjadi instrumen utama pembentukan integrasi sosial masyarakat Kampung Waiwunga. Integrasi sosial yang terwujud dalam masyarakat Kampung Waiwunga, adalah integrasi sosial makna logis dan integrasi sosial fungsional kausal. Integrasi sosial makna logis (logico-meaningful integration) adalah sesuatu yang khas kebudayaan, merupakan kesatuan gaya, implikasi logis serta kesatuan makna dan nilai, dan tidak mudah berubah-ubah. Aspek-aspek fundamental seperti etos dan pandangan hidup merupakan dimensi makna yang turut membentuk integrasi sosial bermakna logis. Etos adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan serta sikap mendasar terhadap diri sendiri dan dunia diluar dirinya, yang direfleksikan dalam kehidupan nyata. Sedangkan pandangan hidup (world view) merupakan aspek kognitif dan eksistensial dari kehidupan atau kebudayaan dan merupakan gambaran tentang kenyataan apa adanya baik konsep-konsep tentang alam, diri sendiri dan sesama manusia. Sedangkan integrasi sosial fungsionalkausal (causal-function integration) adalah integrasi yang khas bagi sistim sosial, yaitu jenis integrasi yang ditemukan dalam suatu organisme, dimana seluruh bagiannya terpadu dalam suatu jaringan kausal. Proses pembentukan integrasi sosial dalam masyarakat Sumba khususnya masyarakat kampung Waiwunga terjadi melalui konsensus dan konflik. Integrasi karena konsensus terjadi oleh karena adanya kesatuan makna dan nilai yang dianut dan diterima bersama serta terekspresikan dalam bentuk simbol-simbol religius masyarakat tersebut. Demikian pula terdapat kesatuan pola perilaku dalam melaksanakan berbagai aktivitas sosial-religius. Sedangkan proses integrasi sosial 106

4 yang terbentuk melalui konflik, terjadi oleh karena ketegangan-ketegangan sosial yang timbul akibat perjumpaan dengan berbagai peradaban dan nilai-nilai ekternal antara lain Kekristenan, ideologi pembangunan ekonomi-politik, perubahan iklim yang berdampak pada perubahan perilaku dan orientasi bercocok tanam, maupun persebaran uang yang berdampak pada pergeseran pola pikir dari religius ke ekonomis. Oleh karena itu integrasi sosial dapat dikatakan sebagai sebuah kenyataan dan juga proses sosial yang terus mengiringi perubahan yang terjadi dalam masyarakat Waiwunga. Pada tataran perilaku, masyarakat Waiwunga menghadapi perubahanperubahan yang berdampak pada integrasi fungsional kausal terutama pada aspek pola mencari nafkah, intensitas pelaksanaan ritual, koordinasi intra kabihu sebagai kelompok kekerabatan dalam pelaksanaan ritual maupun kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Sejumlah kesulitan melaksanakan ritual mangejing secara rutin, menjadi indikator perubahan ini. Namun pada tataran makna dan simbol, masyarakat Waiwunga masih terikat sebagai satu kesatuan komunitas sosial-religius yang utuh dan secara moral maupun emosional senantiasa terikat dalam kohesivitas kelompok yang kuat. Hingga saat ini masyarakat Waiwunga masih menjadi salah satu kelompok sosial religius yang terus berupaya mempertahankan tradisi-tradisi ritual dan tata cara kebudayaan lokal, diantara mayoritas komunitas-komunitas sosial masyarakat Sumba yang telah meninggalkan hal tersebut Rekomendasi Pemahaman makna integrasi sosial dalam ritual pasca panen mangejing yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Waiwunga, hendaknya 107

5 menumbuhkan pula kesadaran dan pemahaman yang positif bahwa Agama Marapu sebagai sumber utama totalitas kehidupan masyarakat Waiwunga, adalah juga identitas substansial masyarakat Waiwunga. Ibarat rumah dalam kosmologi masyarakat Waiwunga, segala sesuatu tentang kehidupannya berawal, berproses, dan berakhir disitu. Manakala rumah itu dibongkar, orang yang mendiaminya akan kehilangan sandaran dan orientasi hidupnya, bahkan juga kehilangan hidupnya. Dengan pemahaman diatas, beberapa rekomendasi yang dapat dibuat tertuju langsung pada lembaga-lembaga sosial yang berhadap-hadapan dan berinteraksi langsung dengan kehidupan masyarakat Kampung Waiwunga, yaitu Kekristenan dalam hal ini Gereja Kristen Sumba sebagai lembaga keagamaan terbesar di wilayah tersebut, dan lembaga pemerintah secara umum di kabupaten Sumba Timur. Gereja hendaknya mengembangkan teologi dalam bingkai kebudayaan karena merupakan sebuah kemustahilan melakukan kegiatan berteologi tanpa konteks kebudayaan. Pemaknaan praktis terhadap pemahaman ini membutuhkan sikap proaktif dan kreativitas Gereja untuk mengkaji serta merumuskan paradigma kebudayaan sebagai bagian dari upaya Pekabaran Injil. Hanya dengan demikian, gereja dapat memberitakan dan menyaksikan makna pembebasan dan keselamatan sebagai inti berita Injil. Prinsip Keserupaan dengan Allah, Kasih yang universal, serta prinsip egalitarian (kesetaraan), menjadi spirit Gereja dalam membangun komunikasi dan sinergisitasnya dengan masyarakat adat dan kebudayaan lokal. 108

6 Pemerintah sebagai pelaksana pembangunan sosial-ekonomi-politik, perlu merubah perspektifnya terhadap masyarakat adat dan kebudayaannya bukan lagi sebagai objek namun subjek pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini masyarakat adat dan kebudayaan menjadi basis dan energi utama dalam pembangunan menuju perubahan. Makna dan nilai-nilai kebudayaan yang terjalin erat sebagai kehidupan masyarakat itu sendiri, hendaknya menjadi spirit utama dalam setiap pendekatan, kebijakan serta strategi pembangunan, dalam hal mana pemerintah merupakan fasilitator bagi masyarakat. Paradigma kendali yang bersifat top dawn (dari atas ke bawah) sebagai strategi pembangunan berbasiskan positivistik-rasional, hendaknya diganti dalam paradigma pemberdayaan yang lebih menempatkan masyarakat sebagai pelaku perubahan itu sendiri, menemukan sendiri masalahnya, dan memutuskan sendiri tentang apa yang terbaik bagi kehidupannya dalam prinsip pendampingan oleh pemerintah. 109