BAB II KAJIAN PUSTAKA. Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan"

Transkripsi

1 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan gangguan yang berat misalnya malformasi kongenital, pasca infeksi, tumor, penyakit vaskuler, penyakit degeneratif dan pasca trauma otak ( Soetomenggolo, 1999; Panayiotopoulos, 2005 ). 2.2 Klasifikasi Epilepsi Klasifikasi dari epilepsi yang seragam dan diterima secara universal merupakan sarana komunikasi untuk membandingkan dan mengevaluasi penelitian ilmiah serta untuk pengobatan. Saat ini dikenal dua jenis klasifikasi yang dipakai oleh ILAE ( International League Against Epilepsy ) tahun 1981 yaitu klasifikasi bangkitan atau serangan kejang dan klasifikasi sindrom epilepsi. Klasifikasi serangan kejang merupakan klasifikasi kejang yang dibuat berdasarkan manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan kelompok yang menunjukkan aspek sama dalam berbagai hal, baik manifestasi klinis, umur, dan prognosis. Satu sindrom epilepsi dapat menunjukkan serangan kejang yang bervariasi ( Sankar dkk., 2005; Panayiotopoulos, 2005 ). Berdasarkan serangan kejang epilepsi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kejang fokal ( penyebabnya terbatas pada satu bagian otak di salah satu hemisfer )

2 9 dan kejang umum ( adanya keterlibatan kedua hemisfer sebagai penyebab kejang ), kejang unclassified ( kurangnya informasi terhadap kategori kejang ). Kejang fokal dapat disertai atau tanpa penurunan kesadaran diklasifikasikan menjadi kejang parsial sederhana, kejang parsial komplek, dan kejang parsial sekunder menjadi umum. Kejang umum selalu disertai dengan penurunan kesadaran diklasifikasikan menjadi kejang absanse, kejang absanse atipikal, kejang mioklonik, kejang klonik kejang tonik, kejang tonik-klonik, dan kejang atonik. Kejang unclassified didapatkan adanya gejala prodromal epilepsi, dimana terjadi perubahan mood dan lekas marah beberapa jam sampai hari sebelum terjadinya kejang ( Gurnett dan Dodson, 2009; Camfield dan Camfield, 2012 ). 2.3 Patofisiologi Epilepsi Epilepsi adalah pelepasan muatan yang berlebihan dan tidak teratur di pusat tertinggi otak. Sel saraf otak mengadakan hubungan dengan perantaraan pesan listrik dan kimiawi. Terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan inhibisi dari aktivitas listrik ( Sankar dkk., 2005; Rho dan Stafstron, 2012 ). Pada saat serangan epilepsi yang memegang peranan penting adalah adanya eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron, yang kemudian terjadi lepas muatan listrik secara serentak pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron dalam waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi. Terjadinya lepas muatan listrik pada sejumlah neuron harus terorganisir dengan baik dalam sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul karena

3 10 ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi serta sinkronisasi dari pelepasan neural ( Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005 ). Terdapat berbagai teori patofisiologi epilepsi, di antaranya adalah sebagai berikut: a. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi Kejang parsial dan kejang parsial menjadi umum disebabkan oleh karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak. Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang. Luaran sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, akan tetapi tidak cukup untuk mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga timbul kejang ( Rho dan Stafstron, 2012; Widjaja, 2004 ). Excitatory Postsynaptic Potentials ( EPSPs ) dihasilkan oleh ikatan molekul-molekul pada reseptor-reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory Postsynaptic Potentials ( IPSs ) disebabkan karena meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membran. Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti tercantum dalam Tabel 2.3

4 11 Tabel 2.3 Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi. ( Sumber: Dikutip dari Kumpulam Makalah Epilepsi Pertemuan Nasional-1 ) Excitation Neuronal Depolarization EPSP Actions Potentials Inward Ionic Current Long term excitatory plastic changes Inhibition Neuronal hyperpolarization IPSP Calcium-activated potassium potentials Outward currents Metabolic pump potentials Spike frequency accommodation Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromodulator, akan tetapi reseptor glutamat yang paling penting dan paling banyak diselidiki untuk eksitasi pada epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid ( GABA ). Semua struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan kejang ( Rho dan Stafstron, 2012; Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005 ). Terdapat tiga reseptor, yaitu GABA-A, GABA-B, dan GABA-C. Secara tradisional yang berperan paling penting adalah inhibisi potensi postsinaptik ( IPSPs ) cepat yang disalurkan oleh reseptor GABA-A. Pengikatan GABA pada reseptor GABA-A membuka saluran klorida. Masuknya ion klorida mengadakan hiperpolarisasi neuron, dan selanjutnya mengadakan hambatan dengan cara menurunkan hambatan ( resistensi ) membran. Sedangkan reseptor GABA-B menghasilkan

5 12 hiperpolarisasi yang lebih dalam dan lebih lama, dinamakan IPSP lambat atau potensial hiperpolarisasi lambat. Pada tahap inhibisi ini adalah potensial non sinaptik dinamakan calcium-activated potassium. Arus yang mendasari potensial ini terjadi oleh masuknya kalsium ke dalam neuron, mengakibatkan aktivasi dari aliran kalium ke luar. Penambahan respon terhadap reseptor GABA-B berguna untuk strategi menghambat bangkitan yang berlangsung lama ( Sankar dkk., 2006; Rho dan Stafstron, 2012 ). b. Mekanisme sinkronisasi Bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas serat-serat aksonal dari neuron eksitatorik dari pembentukan hubungan sinaptik eksitatorik yang berulang-ulang serta timbal balik positif dan bertambahnya hubungan dengan sirkuit ini mengakibatkan eksitasi sinaps yang berulang dan perubahan konsentrasi ion ekstraseluler. Hal ini menyokong pelepasan sinkronisasi. Ciri khas dari semua tipe aktivitas epilepsi adalah bertambahnya sinkronisasi neuronal. Pada saat kejang, sel otak meletup dalam pola hubungan bersamaan. Pada umumnya, saluran natrium dan kalsium menengahi eksitasi neuronal, sedangkan saluran kalium dan klorida menstabilkan letupan neuronal ( Clark dan Wilson, 1997; Rho dan Stafstron, 2012 ). c. Epileptogenesis Trauma otak dapat mengakibatkan epilepsi setelah interval latensi bebas dari kejang. Anoksia-iskemia, trauma, neurotoksin, dan trauma

6 13 lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang ( hiperexcitable ) karena mudah rusaknya dari interneuron penghambat ( Widjaja, 2004; Rho dan Stafstron, 2012 ). Penyebab spesifik dan faktor-faktor komorbiditas terjadinya epilepsi sebagai berikut: ( Kleigman, 2005; Christensen dkk., 2007 ). a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan ibu, seperti ibu meminum obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol, atau mengalami cidera. b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurangnya oksigen ke otak ( hipoksia ), kerusakan karena tindakan saat kelahiran ( vakum dan forcep ). c. Cidera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak. d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak. e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak. f. Radang atau infeksi pada otak atau selaput otak.

7 14 g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria ( FKU ), tuberosklerosis dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang. h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari nornal diturunkan pada anak. 2.4 Diagnosis Epilepsi Epilepsi adalah diagnosis klinis, ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang EEG hanya untuk konfirmasi diagnosis, melihat sindroma epilepsi tertentu dan pencitraan kepala yaitu ( CT scan ) atau magnetic resonance imaging ( MRI ) ( Kuzniecky, 2005 ) Anamnesis Kunci penting dari penegakkan diagnosis epilepsi adalah anamnesis yang cermat dan rinci. Penderita epilepsi sebagian besar datang tidak saat serangan kejang sehingga pemeriksa tidak dapat menilai langsung kejang yang terjadi. Anamnesis mendalam dan rinci tentang kejang penderita yang meliputi : tipe kejang, lama kejang, gejala sebelum dan sesudah kejang, frekuensi kejang, adanya penyakit penyerta, umur saat pertamakali kejang, riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya, riwayat kehamilan dan persalinan, riwayat tumbuh kembang, dan riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga ( Camfield dan Camfield, 2012; Maria, 2009 ). Anamnesis yang akurat dapat membantu pemeriksa untuk memastikan kejang atau bukan kejang. Kejang harus berlangsung 2 kali dengan interval waktu > 24

8 15 jam untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Kejang yang berulang serial dalam rentang waktu 24 jam dianggap kejang episode tunggal dan diagnosis epilepsi belum bisa ditegakkan ( Berg dkk., 2012 ) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, kelainan kongenital, dan gangguan neurologi. pemeriksa harus memastikan bahwa kejang tidak ada pencetus yang jelas, seperti demam, gangguan elektrolit, dan gangguan metabolik lainnya. Adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, asimetri ukuran anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak. gambaran dismorfik pada muka, tanda-tanda tertentu pada bagian tubuh seperti hemangioma, nodul, makula, warna pucat dan sebagainya untuk melihat sindroma epilepsi tertentu ( Hauser dan Nelson, 2013 ) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan pada penderita epilepsi, jika fasilitas tersedia yaitu EEG dan neuroimaging ( CT scan kepala tanpa atau dengan kontras atau MRI ) Pemeriksaan EEG Pemeriksaan EEG digunakan untuk membantu membedakan tipe kejang dan sindrom epilepsi. Pemeriksaan EEG dapat membantu menentukan OAE dan prognosis penderita ( Smith, 2005 ). Gelombang yang normal ditemukan adalah gelombang irama dasar sesuai dengan usia anak. Perkembangan normal otak ditunjukkan dengan perubahan gelombang irama dasar mulai dari 3-4 siklus/detik pada usia 4 bulan, 5 siklus/detik pada usia 6 bulan, 6-7 siklus/detik pada usia 9-18

9 16 bulan, 7-8 siklus/detik pada usia 2 tahun, 9 siklus/detik pada usia 7 tahun, dan siklus/detik pada tahun ( Chabolla dan Cascino, 2005 ). Gelombang yang dapat ditemukan pada penderita epilepsi umum idiopatik spike atau polyspike dan bangkitan gelombang lambat 3-5 detik/siklus dengan aktivitas otak normal dan sering dengan fotosensitivitas. Penderita dengan epilepsi tipe absanse memberikan gambaran EEG gelombang spike yang sinkron 3 siklus/detik. Epilepsi mioklonus memberikan gambaran EEG polyspike dan interiktal EEG biasanya normal atau pada 15-40% kasus menunjukkan gelombang ritmik delta di occipital. Pasien epilepsi absanse juvenil menunjukkan gelombang polyspike dan spike dengan frekuensi diatas 3 siklus/detik dan tidak didapatkan gelombang ritmik delta di occipital. Epilepsi mioklonik juvenil menunjukkan gambaran letupan singkat gelombang polyspike pada iktal dan interiktal ( Smith, 2005 ) Pencitraan ( neuroimaging ) Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik pada epilepsi. MRI kepala dengan atau tanpa kontras dapat menemukan etiologi epilepsi seperti neoplasma otak, ensefalitis autoimun, leukomalasia serebral dan sebagainya. pada keadaan fasilitas MRI tidak tersedia, pemeriksaan CT scan kepala tanpa atau dengan kontras dapat dilakukan, meskipun memberikan hasil yang tidak sebaik MRI kepala ( Kuzniecky, 2005 ). 2.5 Pengobatan Epilepsi Pengobatan penderita dengan epilepsi dibagi menjadi pemberian obat anti epilepsi, pembedahan, dan diit ketogenik.

10 Obat anti epilepsi Obat anti epilepsi ( OAE ) merupakan salah satu aspek yang diperlukan bagi penderita epilepsi yang bertujuan untuk mengatasi serangan kejang, walaupun tidak dapat mengatasi masalah kelainan neurologinya atau masalah kognitif dan psikososialnya. Keputusan untuk memulai terapi OAE didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi yang berulang dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Obat anti epilepsi dikategorikan menjadi dua lini yaitu lini pertama dan lini kedua. obat lini I yang direkomendasikan digunakan untuk bayi dan anak-anak secara rutin yaitu fenobarbital, asam valproat, karbamazepin, dan fenitoin, OAE lini kedua topiramat, lamotrigin, levetiracetam, clobazam, clonazepam, nitrazepam, Adrenocorticotropic hormone ( ACTH ), steroid. ( Berg dkk., 2012 ). Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi, bila kejang tidak dapat dihentikan dengan dosis maksimal, mulai pemberian monoterapi kedua, apabila monoterapi kedua berhasil menghentikan kejang, segera hentikan monoterapi pertama dan lanjutkanpemberian monoterapi kedua. Apabila kejang tidak dapat dihentikan dengan monoterapi kedua pertimbangkan untuk pemberian politerapi ( kombinasi 2-3 OAE lini pertama ). Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berespon terhadap monoterapi. Tujuan pemberian OAE dalam epilepsi adalah menghilangkan kejang dengan efek samping obat yang minimal ( Wibowo dan Gofir, 2008 ).

11 Pembedahan Sebagian kecil kasus epilepsi tidak dapat dikontrol kejangnya dengan obatobat antiepilepsi yang biasa digunakan. Saat ini terapi dengan pembedahan merupakan bagian penting dalam tatalaksana pasien epilepsi. Pemilihan pasien untuk tindakan operasi memerlukan pertimbangan yang sangat ketat. Tindakan pembedahan hanya tepat untuk epilepsi fokal yang berasal dari satu fokus yang jelas pada otak, seperti epilepsi lobus temporalis dengan tingkat keberhasilan yang beragam ( Kelly dan Chung, 2011 ) Diet ketogenik Diet ketogenik merupakan salah satu pilihan untuk epilepsi yang sulit dikontrol kejangnya dengan obat antiepilepsi. Diet ketogenik ini merupakan upaya lain disamping obat dan pembedahan. Widler adalah orang pertama yang memperkenalkan diet ini pada tahun Diet ketogenik adalah pemberian diet tinggi lemak, rendah protein dan karbohidrat. Dengan diet ini 40-67% anak mengalami perbaikan dalam frekuensi serangan ( Sirven dkk., 1999 ). 2.6 Patofisiologi Gangguan Kognitif dan Perilaku pada Epilepsi. Kemampuan plastisitas neuron otak memungkinkan sistem saraf pusat untuk belajar berbagai keahlian dan mengingat informasi, untuk mengorganisasi jaringan otak sebagai respon stimulasi lingkungan, dan menyembuhkan diri dari cedera otak dan tulang belakang ( Johnston, 2009 ). Plastisitas neuron dapat meningkatkan perkembangan otak dan biasanya dapat beradaptasi, tetapi kadangkadang dapat juga maladapsi dan menyebabkan gangguan neurologis pada beberapa situasi. Mekanisme dasar pada plastisitas neuron adalah neurogenesis,

12 19 programmed cell death, dan activity-dependent synaptic plasticity ( Rakic, 2000 ). Stimulasi berulang dari sinap saraf dapat menyebabkan long-term potentiation ( LTP ) dan long-term depression ( LTD ) dari neurotransmitter. Perubahan ini berhubungan dengan perubahan fisik dari sirkuit dendrit spinal dan neuronal. produksi berlebihan sinap pada perkembangan setelah kelahiran memberikan kontribusi peningkatan plastisitas otak dan kelebihan sinapsis akan dikontrol saat masuk usia remaja muda ( Citri dan Malenka, 2008 ). Plastisitas juga sangat besar dipengaruhi oleh faktor genetik termasuk mutasi pada brainderived neuronal growth factor ( Johnston, 2009 ). Proses berkembangnya epilepsi ( epileptogenesis ) diperkirakan kemungkinan hasil dari plastisitas sinap yang maladapsi yang menghasilkan ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi memberikan kontribusi pada gangguan belajar dan perilaku. Abnormalitas pada plastisitas sinap menyebabkan perubahan pada reseptor, sinyal molekul, atau neurotropin, kebanyakan terjadinya perubahan tersebut pada kejang yang mulai pada awal kehidupan dan pada kondisi genetik yang berhubungan dengan autistic spectrum disorders ( ASDs ) dan epilepsi seperti tampak pada Gambar 2.6. Plastisitas sinap menggambarkan proses dimana sinap diaktifkan melalu depolarisasi yang dimediasi oleh reseptor α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4- isoxazole propionic acid ( AMPA ) memungkinkan penghambatan pengeluaran magnesium dan masuknya calcium melalui reseptor N-methyl-D-aspartate ( NMDA ). Hal ini memicu aktivasi calcium-dependent kinase dan jalur sinyal yang lainnya menghasilkan peningkatan transkripsi gen dan trafficking reseptor yang menghasilkan koneksi sinap yang cepat dan kuat. Hal ini dikenal sebagai

13 20 long-term potentiation ( LTP ) dan menjadi dasar selular dari proses belajar. Plastisitas sinaptik bergantung pada berbagai macam protein yang apabila mengalami gangguan akan menyebabkan autisme dan epilepsi. seperti contohnya CDKL5 pada west syndrome, methyl-cpg binding protein 2 ( MeCP2 ) pada rett syndrome, fragile X mental retardation protein ( FMRP ) pada retardasi mental fragile X, mammalian target of rapamycin ( mtor ) pada tuberosklerosis, dan reelin pada lissencephaly ( Brooks-Kayal, 2011 ). Eksitabilitas abnormal pada perkembangan otak Penurunan kognitif Gangguan perilaku Gangguan pada plastisitas sinaptik Epilepsi Epileptogenesis Gambar 2.6 Epilepsi dan gangguan belajar dan perilaku dapat terjadi dari eksitabilitas abnormal dan gangguan plastisitas pada otak yang sedang berkembang ( Brooks-Kayal, 2011 ) Efek Kejang dan Epileptogenesis pada Perkembangan Otak Epileptogenesis merupakan proses yang berlangsung beberapa bulan sampai beberapa tahun pada manusia setelah terjadinya pencetus awal seperti kejang demam kompleks, atau trauma kepala, prosesnya berlangsung sangat cepat termasuk aktivasi saluran ion, perubahan post-translational, dan immediate early genes. Selanjutnya setelah beberapa hari sampai minggu terjadi peristiwa transkripsi, kematian neuronal, dan imflamasi. setelah beberapa minggu, bulan, dan tahun terjadi pertumbuhan, reorganisasi jaringan, neurogenesis, dan gliosis.

14 21 Proses ini mungkin menyebabkan berkembangnya kejang spontan yang pertama dan dilanjutkan dengan kejang berikutnya menjadi epilepsi. Perubahan berhubungan dengan epileptogenesis dan kejang terjadi secara simultan yang dan mungkin mengganggu aktivitas perkembangan normal di otak meliputi pemangkasan sinaptik, perbaikan dendritik, dan aksonal, dan maturasi reseptor dan saluran ion. Efek ini mungkin terjadi independen atau bersamaan dengan kerusakan genetik. Sampai saat ini belum ada biomarker yang spesifik yang dapat memprediksi gangguan kognitif setelah kejang yang terjadi pada awal kehidupan. Pada penelitian binatang menunjukkan kejang deman lama di awal kehidupan menunjukkan pada sebagian hewan coba dengan gambaran MRI abnormalitas sinyal T2 di hipokampus setelah kejang dan hasil tes belajar spasial dan memori saat remaja muda berkaitan dengan abnormalitas sinyal T2 yang ditemukan ( Brooks-Kayal, 2011 ). Kejang dan epileptogenesis memberikan banyak efek potensial pada plastisitas sinaptik perkembangan otak. Pada proses ini terjadi perubahan seluler termasuk perubahan neurogenesis dan penurunan fungsi sel, perubahan molekuler mengakibatkan perubahan neurotransmitter eksitasi dan inhibisi dan perubahan pada regulasi jalur neuromodulator. Neurogenesis sel granul dentate merupakan hal penting pada proses belajar, keduanya peningkatan dan penurunan neurogenesis pernah dilaporkan setelah kejang pada awal kehidupan tergantung umur dan model. Pada penelitian binatang didapatkan lokasi ditandai dengan aktivitas dari neuron piramidal yang dinamakan place-cells, subset dari CA1 sel yang mana lokasi ini sangat penting untuk encoding memori spasial jangka

15 22 panjang. Pada tikus yang mengalami kejang demam lama saat awal kehidupan menunjukkan kerusakan pada fungsi place-cell yang berkorelasi dengan defisit memori spasial pada tes behavioral ( McCabe dkk., 2001; Porter dan Brooks- Kayal, 2004 ). Kejang yang muncul saat awal kehidupan dapat mengubah fungsi sistem neurotransmiter dan sifat neuronal yang penting untuk belajar dan memori. GABA merupakan neurotransmitter inhibisi utama di otak dan GABA-A merupakan reseptor inhibisi yang paling cepat. Perubahan neurotransmiter inhibisi akan berefek pada fungsi belajar. Peningkatan fungsi reseptor GABA-A dengan benzodiazepine merusak LTP dan formasi memori. dan GABA A subunit reseptor α memegang peranan kunci regulator periode kritis pada plastisitas kortikal dan hipokampal-dependen memori spasial ( Brooks-Kayal, 2011 ). Perubahan pada neurotransmiter eksitasi mungkin memberikan kontribusi pada gangguan belajar dan behavioral setelah kejang pada awal kehidupan. Glutamat merupakan neurotransmiter primer di otak dan aktivitasnya dimediasi oleh berbagai variasi subtipe reseptor termasuk NMDA dan non-nmda ( AMPA dan kainate ), reseptor ionotropik, dan reseptor metabotropik. Kekurangan subtipe reseptor AMPA dan NMDA setelah kejang lama menyebabkan gangguan belajar ( Mongillo dkk., 2003; Riedel dkk., 2003; Yasuda dkk., 2003; Schmitt dkk., 2005 ). Hipoksia pada awal kehidupan menginduksi kejang dan menghasilkan efek cepat postranskripsional pada subunit reseptor AMPA ( GluR ) fosforilasi, termasuk peningkatan fosforilasi pada kedua sisi GluR1 dan GluR2 yang

16 23 menghasilkan peningkatan eksitasi sinaptik dengan meningkatkan konduktan dan insersi membran dari GluR1 permeabilitas kalsium terdiri dari reseptor yang berhubungan dengan GluR1 fosforilasi dan menurunkan insersi membran dari reseptor GluR2 impermeabilitas Ca ( Rakhade dkk., 2008 ). Peningkatkan eksitasi sinaptik penahan protein PSD-95 yang menyebabkan gangguan memori spasial dan gangguan CA1 LTP dan peningkatan LTD. Hal ini menyebabkan perubahan plastisitas sinaptik yang berkaitan dengan penurunan reseptor NMDA ekspresi NR2A dan reseptor AMPA subunit GluR1 surface expression ( Brooks-Kayal, 2011 ). c-amp response element binding protein ( CREB ) adalah mediator kunci pada perubahan induksi stimulus pada ekspresi gen yang mendasari plastisitas sistem saraf dan fosforilasi CREB yang dibutuhkan untuk LTP, proses belajar, dan memori. Corticotropin-releasing hormone ( CRH ) adalah neuromodulator peptide yang dikeluarkan dari interneuron hipokampal yang diinduksi stres. Stres pada awal kehidupan menyebabkan penurunan panjang dendrit dan penurunan progresif defisit kognitif ( Brooks-Kayal, 2011 ). Pada saat kejang terjadi peningkatan aliran darah karena tingkat metabolisme meningkat. Aliran darah yang meningkat di otak disebabkan oleh kadar CO2 yang meningkat akibat penurunan pertukaran gas di paru selama kejang. Peningkatan aliran darah di otak juga disebabkan oleh permintaan glukosa dan oksigen yang berlebihan. Peningkatan aliran darah ke otak yang berlangsung lama dapat menyebabkan edema serebri dan vasoparalisis sehingga otak kehilangan

17 24 autoregulasinya. Gangguan vaskularisasi di otak juga memberikan dampak besar pada gangguan fungsi kognitif anak dengan kejang ( Boylan dkk., 1999 ). 2.8 Gangguan Perkembangan Kognitif Anak dengan Epilepsi Gangguan perkembangan kognitif pada anak dengan epilepsi dipengaruhi oleh interaksi banyak faktor seperti genetik, etiologi, letak kelainan di otak, jenis epilepsi, frekuensi kejang, durasi kejang, usia awitan kejang, masalah psikososial, penyakit yang menyertai, dan OAE yang digunakan. Interaksi dari berbagai faktor tersebut diatas memberikan kontribusi terhadap gangguan tingkat perkembangan kognitif. Faktor prediktor yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif adalah overmedication, kontrol terhadap kejang yang buruk, onset mulainya epilepsi yang semakin dini, dan penderita dengan kejang simtomatik ( Hermann dan Seidenberg, 2007; You, 2012 ). Sebagian besar anak dengan epilepsi mempunyai masalah behavioral dan kognitif dan dapat berdampak pada kehidupan sosial penderita dan keluarga. Pada satu penelitian dilaporkan 40% anak dengan epilepsi mengalami gangguan behavioral sejak pertamakali terdiagnosis epilepsi ( Camfield dan Camfield, 2012 ). Pada anak dengan epilepsi biasanya mengalami gangguan yang luas pada behavioral, psikiatri, dan kognitif. Gangguan ini biasanya berkaitan dengan efek dari lesi struktural yang dapat mengganggu fungsi yang dilayani oleh daerah otak yang terlibat dalam lesi, efek dari aktivitas kejang yang mungkin mulai baik sebelum kejang klinis terjadi dan dapat bertahan lama setelah kejang klinis berakhir, kejang pada saat usia neonatus, dan epilepsi yang bersamaan dengan penyakit lainnya yang memperberat gangguan fungsi kognitif ( Berg dkk., 2011 ).

18 25 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pekembangan kognitif anak dengan epilepsi: 1. Usia awitan epilepsi Rantanen dkk. ( 2011 ) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa usia awitan epilepsi sangat mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif anak, semakin dini onset epilepsi maka semakin besar kemungkinan untuk mengalami gangguan tingkat perkembangan. Sekitar 10 persen epilepsi terjadi pada tiga tahun pertama kehidupan. Semakin muda onset epilepsi berhubungan secara signifikan terhadap gangguan kognitif dan behavioral. Kejang dapat mengganggu mekanisme belajar dan memori pada perkembangan otak dengan mekanisme penghambatan terhadap akuisisi fungsi maturitas selama periode kritis perkembangan, pada penelitian sebelumnya didapatkan hasil, anak yang mengalami kejang dan mengalami resitensi obat antiepilepsi saat umur 0-3 tahun menunjukkan adanya gangguan fungsi kognitif. Penderita epilepsi yang dimulai sejak usia neonatus dan terkontrol dengan obat anti epilepsi akan memberikan luaran kognitif yang lebih baik dibandingkan yang tidak terkontrol dengan obat anti epilepsi. Pada penelitian yang membandingkan usia awitan epilepsi di bawah 8 tahun dan di atas sama dengan 8 tahun mendapatkan hasil skor IQ yang lebih rendah pada anak dengan onset epilepsi di bawah 8 tahun ( Berg dkk., 2011; Berg dkk., 2012; Berg dkk., 2014; Lodhi dan Agrawal, 2012 ).

19 26 2. Frekuensi dan lamanya serangan Sebagian besar energi sel saraf digunakan untuk transportasi ion natrium dan kalium, yang berhubungan erat dengan kelistrikan serta penjalarannya. Diduga bahwa sel neuron mampu mengeluarkan ion natrium dari dalam sel. Akibat dari keadaan ini didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi yang tinggi di ruang intraseluler dan konsentrasi ion natrium yang tinggi di ruang ekstraseluler. Untuk memompa ion natrium keluar dibutuhkan banyak energi yang didapatkan melalui senyawa fosfat ( ATP ). Bila terjadi bangkitan kejang, maka aktivitas pemompaan natrium bertambah. Dengan demikian kebutuhan akan senyawa ATP bertambah. Dengan perkataan lain kebutuhan akan oksigen dan glukosa meningkat. Bila kejang berlangsung singkat, maka peningkatan kebutuhan ini masih dapat dipenuhi. Namun, bila kejang berlangsung lama, ada kemungkinan bahwa kebutuhan akan oksigen dan glukosa tidak terpenuhi, sehingga sel neuron dapat rusak atau mati. Bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari setengah jam dapat menyebabkan kerusakan pada sel neuron dan cacat yang menetap dan berdampak besar pada penurunan fungsi kognitif anak ( Lumbantobing, 1999 ). 3. Terapi obat anti epilepsi Obat anti epilepsi mempunyai efek negatif maupun positif terhadap kemampuan kognitif pasien epilepsi. Obat anti epilepsi dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan tingkah laku pasien epilepsi dengan cara mengurangi bangkitan kejang, efek modulasi terhadap neurotransmitter, dan efek psikotropika ( Mustarsid, dkk., 2011 ). Obat anti epilepsi mengurangi

20 27 iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi pasca sinaps atau mempengaruhi sinkronisasi jaringan neuron untuk menurunkan eksitasi neuron yang berlebihan sehingga dapat menurunkan bangkitan kejang dan dapat menurunkan aktivitas epilepsi di sekeliling jaringan otak yang normal. Pemberian OAE secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan aktivitas motorik dan psikomotor, penurunan perhatian, dan gangguan memori. penurunan daya ingat bersifat kumulatif, sehingga semakin lama penderita mendapatkan terapi OAE maka semakin besar kemungkinan mengalami gangguan memori ( Eddy, dkk., 2011; Mustarsid, dkk., 2011 ). Anak dengan epilepsi biasanya membutuhkan pengobatan anti epilepsi dalam jangka waktu yang yang cukup lama. Beberapa obat anti epilepsi yang digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan perkembangan kognitif, di antaranya fenobarbital dan pirimidon pada pemberian kronik adalah mengantuk, perubahan perilaku, perubahan perasaan, gangguan intelektual, penyakit tulang metabolik, dan gangguan jaringan ikat. Fenitoin pada pemberian kronik berupa hirsutisme, hipertrofi gingiva, gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Etosuksimid pada pemberian kronik dapat menyebabkan sefalgia dan perubahan perilaku. Asam valproat pada pemberian kronik dapat menyebabkan mengantuk, perubahan perilaku, tremor, hiperamonia, bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit perdarahan dan gangguan lambung. Sedangkan obat epilepsi yang dapat memperbaiki fungsi kognitif, menjadikan anak lebih sadar, dan lebih enak adalah karbamazepin.

21 28 Pengobatan epilepsi dengan politerapi juga sangat berkaitan dengan terjadinya gangguan perkembangan dibandingkan dengan monoterapi. Diantaranya penggunaan fenitoin dikombinasikan dengan fenobarbital, karbamazepin, asam valproat, Isoniazid ( INH ), dan kloramfenikol dapat meningkatkan kadar bebas fenitoin sehingga meningkatkan efek samping fenitoin. Klonazepam bila digunakan bersama dengan fenobarbital atau golongan benzodiazepin lain dapat menyebabkan gangguan emosi ( Lazuardi, 1999 ). Kegagalan pada penggunaan monoterapi akan menyebabkan penderita jatuh pada epilepsi intraktabel yaitu kegagalan mengontrol kejang dengan lebih dari dua OAE lini pertama dengan rata-rata serangan kejang lebih dari satu kali perbulan selama 18 bulan dan interval bebas kejang tidak lebih dari tiga bulan. Penderita yang mengalami epilepsi intraktabel mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan ( Camfield dan Camfield, 2012 ). 4. Gambaran EEG Pada anak dengan epilepsi biasanya akan dilakukan pemeriksaan EEG, dimana gambaran EEG sangat mempengaruhi perkembangan kognitif anak pada pasien epilepsi. Di negara maju biasanya dilakukan pemeriksaan yang disebut pemetaan aktivitas listrik otak (brain electrical activity mapping atau BEAM). Beberapa penelitian menunjukkan abnormalitas EEG mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami gangguan perkembangan

22 29 kognitif, walaupun sudah tidak ditemukan lagi kejang secara klinis ( Passat, 1999; Tuchman, 2012 ). 5. Abnormalitas struktur otak Salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi kognitif pada pada penderita epilepsi adalah abnormalitas struktur otak. Quantitative MRI volumetrics biasanya digunakan untuk mengetahui karakteristik dan bentuk kelainan otak pada penderita epilepsi dewasa, khususnya pada epilepsi lobus temporal. Pemeriksaan pada anak yang berhubungan dengan volume otak pada penderita epilepsi masih sangat jarang. Penelitian pada anak dengan epilepsi kronis menunjukkan adanya abnormalitas pada serebrum, serebelum, dan hipokampus ( Hermann dan Seidenberg, 2007 ). Pada penelitian Saute dkk. (2014) melaporkan anak dengan epilepsi dan comorbid attention deficit hyperactivity disorder ( ADHD ) menunjukkan penipisan difus pada lobus frontal, parietal, dan temporal, dengan penurunan volume batang otak dan struktur subkortikal ( kaudatus bilateral, thalamus kiri, dan hipokampus kanan ), abnormalitas anatomi ini nampak jelas pada pasien epilepsi yang sebelumnya sudah mengalami gangguan neurodevelopmental. Penelitian pada anak sekolah dengan epilepsi, sekitar 45% dengan hasil IQ di bawah 80 dan membutuhkan sekolah anak berkebutuhan khusus, dan 16% anak dengan epilepsi tinggal kelas 1 tahun. 6. Komorbiditas pada epilepsi Gangguan perkembangan kognitif sering terjadi lebih awal dibandingkan dengan munculnya gejala epilepsi. Pada keadaan seperti ini biasanya terjadi

23 30 pada penderita epilepsi dengan penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kognitif seperti kelainan yang terjadi selama perkembangan otak janin, asfiksia saat lahir, cidera kepala, tumor otak, penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak, radang atau infeksi pada otak atau selaput otak, fenilketonuria ( FKU ), tuberosklerosis, neurofibromatosis ( Kleigman, 2005; Christensen, dkk., 2007 ). 2.9 Penilaian Perkembangan Kognitif Berdasarkan Skala Mullen Penilaian perkembangan kognitif anak menggunakan Mullen tes ( The Mullen Scales of Learning ) AGS edition, merupakan tes diagnostik perkembangan kognitif anak usia 0-68 bulan yang dicetuskan oleh Eileen M Mullen. Skala pengukuran ini didasarkan pada teori bahwa intelegensia anak terdiri dari lima komponen penunjang yang harus dinilai secara terpisah yaitu motorik kasar ( gross motor ), motorik halus ( fine motor ), bahasa ekspresif ( expressive language ), bahasa reseptif ( reseptive language ), dan visual reseptif ( visual reseption ). Setelah anak digolongkan dalam kelompok umur yang akan dinilai kemudian dihitung skor/nilai yang didapat dari masing-masing kategori kemudian disesuaikan lagi menurut umur. Hasil akhir dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu very high ( composite standard score ), above average ( composite standard score ), average ( composite standard score ), below average ( composite standard score ), dan very low ( composite standard score 130 ). Anak dikatakan mengalami gangguan perkembangan kognitif bila terdapat skor 1,5 standar deviasi ( SD ) di bawah skor average ( rata-rata ).

24 31 Untuk skala motorik kasar pada tes ini akan dinilai pusat kontrol dan mobilitas pada posisi terlentang, telungkup, duduk, dan posisi berdiri sesuai dengan tahapan umur anak. Skala resepsi visual, akan dinilai kemampuan anak dalam memproses pola visual, diskriminasi dan memori visual. Kemampuan visual ini melibatkan organisasi visual, pengurutan visual dan kesadaran pemisahan visual termasuk konsep posisi, bentuk dan ukuran. Motorik halus, yang diukur adalah kemampuan memadukan kemampuan visual dengan motorik. Item skala ini melibatkan diskriminasi visual dan kontrol terhadap gerakan motorik. Pada sektor bahasa reseptif diukur kemampuan anak untuk memproses input bahasa. Kemampuan primer yang tercakup dalam skala ini adalah komprehensi audio dan memori audio. Kemampuan ini melibatkan organisasi auditorik, pengurutan dan penggunaan konsep spasial. Sedangkan bahasa ekspresif akan dinilai kemampuan anak untuk menggunakan bahasa secara produktif. Kemampuan primernya terletak pada kemampuan berbicara dan formasi bahasa termasuk kemampuan untuk memverbalisasi konsep ( Mullen, 1995 ).

BAB 5 PEMBAHASAN. Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang

BAB 5 PEMBAHASAN. Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang BAB 5 PEMBAHASAN Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang demam pada anak adalah faktor tinggi demam dan faktor usia kurang dari 2 tahun. Dari karakteristik orang tua anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada anak, dan biasanya kejang sudah dimulai sejak usia bayi dan anak-anak. Kejang pada

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Palsi serebral 2.1.1 Definisi palsi serebral Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik, gangguan tidak

Lebih terperinci

Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes

Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes EPILEPSI Takrif/pengertian epilepsi : kejadian kejang yang terjadi berulang (kambuhan) Kejang : manifestasi klinik dari aktivitas neuron yang berlebihan di dalam korteks serebral Manifestasi klinik kejang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Epilepsi 1. Definisi Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Informasi Obat Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi obat, rekomendasi obat yang independen, akurat,. 4 komprehensif, terkini,

Lebih terperinci

TESIS TINGKAT PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK DENGAN EPILEPSI UMUM USIA 6 SAMPAI 68 BULAN

TESIS TINGKAT PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK DENGAN EPILEPSI UMUM USIA 6 SAMPAI 68 BULAN TESIS TINGKAT PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK DENGAN EPILEPSI UMUM USIA 6 SAMPAI 68 BULAN NI WAYAN KURNIA WATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS TINGKAT PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK

Lebih terperinci

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF Sistem syaraf bertanggung jawab dalam mempertahankan homeostasis tubuh (kesetimbangan tubuh, lingkungan internal tubuh stabil) Fungsi utamanya adalah untuk:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38 C) akibat suatu proses ekstrakranium tanpa adanya infeksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epilepsi 2.1.1. Definisi Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom neurokutaneus merupakan sekelompok besar kelainan kongenital yang sangat bervariasi, tidak saling terkait, dengan karakteristik klinis, patologis dan genetik

Lebih terperinci

2/19/2017 MATERI DEFINISI EPILEPSI PENATALAKSANAAN EPILEPSI. Definisi Konseptual

2/19/2017 MATERI DEFINISI EPILEPSI PENATALAKSANAAN EPILEPSI. Definisi Konseptual PENATALAKSANAAN EPILEPSI DR. Suryani Gunadharma SpS(K), M.Kes MATERI Definisi Etiologi Pemeriksaan penunjang Klasifikasi Patofisiologi Terapi DEFINISI EPILEPSI Definisi Konseptual Kelainan otak yang ditandai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Menurut Fadila, Nadjmir dan Rahmantini (2014), dan Deliana (2002), kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kejang Demam 1. Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakaranium

Lebih terperinci

GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI. Pendahuluan

GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI. Pendahuluan GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI Pendahuluan Epilepsy dapat menyebabkan gangguan kesadaran yang transient mulai dari gannguan kesiagaan ringan sampai hilangnya kesadaran. hal ini disebabkan terdapatnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Epilepsi Epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukan gejala-gejala berupa serangan yang berulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epilepsi 2.1.1 Pengertian Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya

Lebih terperinci

Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI. Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt.

Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI. Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt. Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt. Departemen Farmakologi Farmasi Fakultas Farmasi USU Pengantar

Lebih terperinci

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF 2.1 Ganglia basalis dan subthalamik nukleus Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain dalam menghasilkan gerakan motorik terutama

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN RETARDASI MENTAL. Disusun Oleh : Hadi Ari Yanto

LAPORAN PENDAHULUAN RETARDASI MENTAL. Disusun Oleh : Hadi Ari Yanto LAPORAN PENDAHULUAN RETARDASI MENTAL Disusun Oleh : Hadi Ari Yanto 101018 D III KEPERAWATAN STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN 2012 / 2013 RETARDASI MENTAL 1. PENGERTIAN Retardasi mental adalah kemampuan mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. salah satu gejala sisa yang sering terjadi akibat stroke. Afasia secara substansial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. salah satu gejala sisa yang sering terjadi akibat stroke. Afasia secara substansial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan berbahasa atau yang biasa disebut dengan afasia merupakan salah satu gejala sisa yang sering terjadi akibat stroke. Afasia secara substansial mempengaruhi

Lebih terperinci

Kejang Pada Neonatus

Kejang Pada Neonatus Kejang Pada Neonatus Guslihan Dasa Tjipta Emil Azlin Pertin Sianturi Bugis Mardina Lubis 1 DIVISI PERINATOLOGI Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan 2 Definisi : Kejang merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini menggunakan tikus putih Sprague Dawley yang belum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini menggunakan tikus putih Sprague Dawley yang belum 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan tikus putih Sprague Dawley yang belum pernah mendapat perlakuan, usia 4-5 bulan, sehat, siap kawin dan bunting. Tikus dipelihara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. EPILEPSI 1. Definisi Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan

Lebih terperinci

Reflex adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus

Reflex adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus Reflex adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus Merupakan fungsi integratif Lengkung reflex (reflex arc) adalah jalur

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas C) 38 tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan

Lebih terperinci

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA Bio Psikologi Modul ke: Konduksi Neural / Sinapsis: 1. Konsep sinapsis 2. Peristiwa kimiawi pada sinapsis 3. Obat-obatan dan sinapsis Fakultas Psikologi Firman Alamsyah, MA Program Studi Psikologi Konsep

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia, Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia, Indonesia I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia, Indonesia memiliki pasar yang besar dan cepat berkembang dalam teknologi handphone. Pada tahun 2013, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Epilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya gejalagejala yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang disebabkan lepasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI BAB I PENDAHULUAN Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi : status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Di sini khusus dibicarakan status epileptikus dengan kejang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecemasan 2.1.1 Definisi Kecemasan adalah sinyal peringatan; memperingatkan akan adanya bahaya yang akan terjadi dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Depresi Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang menuju meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Secara patologis hiperglikemia selama stroke iskemik memperburuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Secara patologis hiperglikemia selama stroke iskemik memperburuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Secara patologis hiperglikemia selama stroke iskemik memperburuk kerusakan otak. Hiperglikemia pada tikus Diabetes Mellitus (DM) akibat induksi streptozotocin,

Lebih terperinci

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM PADA ANAK B. ETIOLOGI Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas C. PATOFISIOLOGI Peningkatan

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sangat bergantung pada daya ingat untuk melakukan berbagai aktivitas seperti sekolah dan bekerja. Daya ingat ini sangat berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit kedua terbanyak setelah stroke (Blum, 2003). Epilepsi disebabkan oleh berbagai etiologi

Lebih terperinci

Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron. Gamaliel Septian Airlanda

Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron. Gamaliel Septian Airlanda Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron Gamaliel Septian Airlanda Prinsip Dasar Jalannya Rangsang a) Resting Membrane Potensial b) Potensial Membrane c) Potensial aksi d) Sifat elektrik pasif membrane

Lebih terperinci

DAFTAR ISI xx DAFTAR ISI. DATAR TABEL xxiii DAFTAR GAMBAR xxiv DFTAR SINGKATAN xxv DAFTAR LAMPIRAN xxvi

DAFTAR ISI xx DAFTAR ISI. DATAR TABEL xxiii DAFTAR GAMBAR xxiv DFTAR SINGKATAN xxv DAFTAR LAMPIRAN xxvi 19 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL LUAR i SAMPUL DALAM ii HALAMAN PERSYARATAN iii HALAMAN PERSETUJUAN iv PANITIA PENGUJI v HALAMAN PERNYATAAN vi KATA PENGANTAR vii UCAPAN TERIMAKASIH viii RINGKASAN x SUMARY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun pelarut dan reagensia (Syabatini, 2008). Dalam dunia kesehatan

I. PENDAHULUAN. maupun pelarut dan reagensia (Syabatini, 2008). Dalam dunia kesehatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alkohol merupakan senyawa yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum dapat digunakan sebagai zat pembunuh kuman, bahan bakar maupun pelarut dan reagensia (Syabatini,

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut,

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, lxxiii BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, setelah dialokasikan secara acak 50 penderita masuk kedalam kelompok perlakuan dan 50 penderita lainnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kejang Demam 2.1.1. Definisi Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4 o C tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perifer. Kerusakan dapat terjadi karena kompresi, pemotongan, iskemik, infiltrasi atau

BAB I PENDAHULUAN. perifer. Kerusakan dapat terjadi karena kompresi, pemotongan, iskemik, infiltrasi atau BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Nyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh lesi primer atau kerusakan di sistim saraf yang dapat melibatkan sistim saraf sentral dan perifer.

Lebih terperinci

SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI. Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013.

SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI. Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013. SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013 Disusun Oleh: Afnies Basugis Pembimbing: dr. Yeti Hutahean, Sp.S Dibawakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keaadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Dari 48 subyek pada penelitian ini, didapatkan subyek laki-laki lebih besar

BAB 6 PEMBAHASAN. Dari 48 subyek pada penelitian ini, didapatkan subyek laki-laki lebih besar BAB 6 PEMBAHASAN Dari 48 subyek pada penelitian ini, didapatkan subyek laki-laki lebih besar dibanding subyek perempuan, dengan proporsi 1,18 : 1. Dari berbagai penelitian proporsi kejadian hiperbilirubinemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidur merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang untuk mengembalikan stamina tubuh dalam kondisi yang optimal. Tidur dapat diartikan sebagai suatu keadaan

Lebih terperinci

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap A. Pemeriksaan penunjang - Darah lengkap Darah lengkap dengan diferensiasi digunakan untuk mengetahui anemia sebagai penyebab depresi. Penatalaksanaan, terutama dengan antikonvulsan, dapat mensupresi sumsum

Lebih terperinci

BIOLISTRIK PADA SISTEM SARAF A. Hasil

BIOLISTRIK PADA SISTEM SARAF A. Hasil BIOLISTRIK PADA SISTEM SARAF A. Hasil normal alkohol Saraf 3.50 menit 2.30 menit Otot 3.40 menit 1.20 menit B. Pembahasan Pada praktikum kali ini, praktikan mengamati kontraksi otot gastrocnemius pada

Lebih terperinci

PERANAN ZAT GIZI TERHADAP PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK Glutamat Sebagai Neurotransmitter

PERANAN ZAT GIZI TERHADAP PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK Glutamat Sebagai Neurotransmitter PERANAN ZAT GIZI TERHADAP PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK Glutamat Sebagai Neurotransmitter Oleh: Dr. Bernatal Saragih Disampaikan pada Seminar Nasional Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Kerjasama dengan PT

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

PATOFISIOLOGI ANSIETAS PATOFISIOLOGI ANSIETAS Faktor Predisposisi (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa : 1. Peristiwa traumatik 2. Konflik emosional 3. Konsep diri terganggu 4. Frustasi 5. Gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam bidang neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Struktur tiroid terdiri dari folikel yang berfungsi untuk mensekresikan hormon

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Struktur tiroid terdiri dari folikel yang berfungsi untuk mensekresikan hormon BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Regulasi hormon tiroid Struktur tiroid terdiri dari folikel yang berfungsi untuk mensekresikan hormon tiroid. Setiap folikel terdiri dari dua tipe sel yang mengelilingi inti

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. pemeriksaan dan cara lahir. Berat lahir pada kelompok kasus (3080,6+ 509,94

BAB VI PEMBAHASAN. pemeriksaan dan cara lahir. Berat lahir pada kelompok kasus (3080,6+ 509,94 BAB VI PEMBAHASAN Pembahasan Hasil Karakteristik neonatus pada penelitian ini: berat lahir, usia saat pemeriksaan dan cara lahir. Berat lahir pada kelompok kasus (3080,6+ 509,94 gram) lebih berat daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam

BAB 1 PENDAHULUAN. serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam adalah bangkitan kejang terkait dengan demam dan umur serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam apabila suhu tubuh

Lebih terperinci

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia? Skizofrenia Skizofrenia merupakan salah satu penyakit otak dan tergolong ke dalam jenis gangguan mental yang serius. Sekitar 1% dari populasi dunia menderita penyakit ini. Pasien biasanya menunjukkan gejala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang berulang-ulang yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (Lumbantobing, 1995). Dari. tubuh yang disebabkan oleh karena proses ekstrakranial.

BAB I KONSEP DASAR. ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (Lumbantobing, 1995). Dari. tubuh yang disebabkan oleh karena proses ekstrakranial. BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Kejang demam adalah suatu kondisi saat tubuh anak sudah tidak dapat menahan serangan demam pada suhu tertentu (Widjaja, 200 1). Kejang demam adalah kejang yang terjadi

Lebih terperinci

TUGAS PENGAYAAN KEPANITRAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM NEUROLOGI AMNESIA PASCA TRAUMA

TUGAS PENGAYAAN KEPANITRAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM NEUROLOGI AMNESIA PASCA TRAUMA TUGAS PENGAYAAN KEPANITRAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM NEUROLOGI AMNESIA PASCA TRAUMA Nindy OLEH : Maria Natalia Putri 115070107111078 Pembimbing : dr. Sri Budhi Rianawati, Sp.S PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini diperoleh 70 subyek penelitian yang dirawat di bangsal

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini diperoleh 70 subyek penelitian yang dirawat di bangsal BAB HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.1 Hasil Penelitian.1.1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian Pada penelitian ini diperoleh 0 subyek penelitian yang dirawat di bangsal B1 Saraf RS Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak dengan Monoterapi

Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak dengan Monoterapi Artikel Asli Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak dengan Agung Triono, Elisabeth Siti Herini Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada /RSUP Dr. Sardjito,

Lebih terperinci

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar REFERAT Gangguan Afektif Bipolar Retno Suci Fadhillah,S.Ked Pembimbing : dr.rusdi Efendi,Sp.KJ kepaniteraanklinik_fkkumj_psikiatribungar AMPAI Definisi gangguan pada fungsi otak yang Gangguan ini tersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kejang pada Neonatus Kejang merupakan keadaan darurat atau tanda bahaya yang sering terjadi pada neonatus karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting. Untuk menilai tumbuh kembang anak banyak pilihan cara. Penilaian

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting. Untuk menilai tumbuh kembang anak banyak pilihan cara. Penilaian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deteksi dini untuk mengetahui masalah atau keterlambatan tumbuh kembang sangat penting. Untuk menilai tumbuh kembang anak banyak pilihan cara. Penilaian pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan obat-obatan masih merupakan pilihan utama untuk terapi epilepsi pada

BAB I PENDAHULUAN. dengan obat-obatan masih merupakan pilihan utama untuk terapi epilepsi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan bangkitan kejang bersifat sementara yang disebabkan oleh aktifitas neuron yang abnormal atau berlebihan dan sinkronisasi. Penanganan dengan obat-obatan

Lebih terperinci

PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDER (lanjutan) Dr. Ika Widyawati, SpKJ(K)

PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDER (lanjutan) Dr. Ika Widyawati, SpKJ(K) PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDER (lanjutan) Dr. Ika Widyawati, SpKJ(K) SINDROMA RETT DEFINISI Suatu kondisi progresif yang berkembang setelah beberapa bulan perkembangan normal. Lingkar kepala waktu lahir:

Lebih terperinci

KEJANG PADA ANAK. Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes

KEJANG PADA ANAK. Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes KEJANG PADA ANAK Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami

Lebih terperinci

Brain Development in Infant Born with Small for Gestational Age

Brain Development in Infant Born with Small for Gestational Age Brain Development in Infant Born with Small for Gestational Age DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA (K) Bayi yang lahir dengan small for gestational age (SGA) mempunyai beberapa implikasi pada pertumbuhan

Lebih terperinci

Sindrom Epilepsi Pada Anak

Sindrom Epilepsi Pada Anak Sindrom Epilepsi Pada Anak Risa Vera 1, Mas Ayu Rita Dewi 1, Nursiah 2 1. Departemen Ilmu Kesehatan Anak,Rumah sakit Moehammad Hoesin Palembang 2. Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lebih dari satu miliar orang di dunia menderita disabilitas. Disabilitas atau kecacatan dapat terjadi akibat kondisi kesehatan, kondisi lingkungan, dan faktor lain

Lebih terperinci

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m DELIRIUM Oleh : dr. H. Syamsir Bs, Sp. KJ Departemen Psikiatri FK-USU 1 Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn

Lebih terperinci

Fisiologi Penglihatan: Fototransduksi dan Penyampaian Sinyal Visual

Fisiologi Penglihatan: Fototransduksi dan Penyampaian Sinyal Visual Komang Shary K., NPM 1206238633 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia LTM Pemicu 1 Modul Penginderaan Fisiologi Penglihatan: Fototransduksi dan Penyampaian Sinyal Visual Pendahuluan Fungsi utama mata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memori sangat penting bagi kehidupan manusia. Dalam segala aktivitas manusia memori selalu terlibat. Berdasarkan jangka waktunya, memori dibagi menjadi memori jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dunia perkuliahan seringkali mahasiswa-mahasiswi mengalami stres saat mengerjakan banyak tugas dan memenuhi berbagai tuntutan. Terbukti dengan prevalensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara tiap penduduk tiap

BAB I PENDAHULUAN. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara tiap penduduk tiap 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan suatu manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang lebih dari 24 jam yang

Lebih terperinci

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran yang menonjol ke luar sel Melalui permukaan sel ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM SARAF PADA KATAK

FISIOLOGI SISTEM SARAF PADA KATAK FISIOLOGI SISTEM SARAF PADA KATAK Lela Juwita Sari (3415080205), Riski Sulistyani (3415080207), Eka Puspita Sari (3415080209) dan Lia Indrianita (3415083256) 1 ABSTRAK Sistem saraf adalah suatu sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologi serius dan kronik. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak dengan gejala berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk anionik dari asam glutamat 7. Sebagai flavour enhancer bahan ini banyak ditemukan di negara maju 8, seperti

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk anionik dari asam glutamat 7. Sebagai flavour enhancer bahan ini banyak ditemukan di negara maju 8, seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Monosodium glutamat atau yang lebih dikenal dengan sebutan MSG adalah garam natrium yang berasal dari asam glutamat merupakan asam amino non esensial yang dapat dijumpai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nyeri kepala merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nyeri kepala merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak dan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Migren Nyeri kepala merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak dan remaja. 11 Nyeri kepala merupakan penyebab tersering anak-anak dirujuk ke ahli neurologi anak.

Lebih terperinci

Gambaran Umum Sistem Saraf Sistem saraf mempunyai tiga fungsi yang saling tumpang-tindih, yaitu input sensoris, integrasi, dan output

Gambaran Umum Sistem Saraf Sistem saraf mempunyai tiga fungsi yang saling tumpang-tindih, yaitu input sensoris, integrasi, dan output SISTEM SARAF Gambar SEM kesepadanan antara sebuah sel saraf (neuron) dan mikroprossesor (chip) - 1 cm kubik otak > 50 juta sel saraf - sistem saraf dan sistem endokrin bekerjasama dan berinteraksi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam aktivitas sehari-hari, setiap orang memerlukan memori yang baik. Pada dasarnya, memori pada manusia terbagi atas 3 jenis, yakni memori jangka pendek, yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kejang Demam 2.1.1 Definisi Deifinisi kejang demam menurut National Instituties of Health Consensus Conference adalah kejadian kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Kejang Demam 2.1.1. Definisi Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League Againts Epilepsy (Commision on Epidemiology and Prognosis, 1993)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya infeksi ataupun kelainan yang jelas di intrakranial. 2,3 Demam adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya infeksi ataupun kelainan yang jelas di intrakranial. 2,3 Demam adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan klasifikasi kejang demam Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya

Lebih terperinci

PEDOMAN DIAGNOSTIK & PENGOBATAN EPILEPSI PADA ANAK. Dr Erny SpA(K) FK UWKS

PEDOMAN DIAGNOSTIK & PENGOBATAN EPILEPSI PADA ANAK. Dr Erny SpA(K) FK UWKS PEDOMAN DIAGNOSTIK & PENGOBATAN EPILEPSI PADA ANAK Dr Erny SpA(K) FK UWKS 1 Kompetensi dasar mampu menegakkan diagnosis epilepsi dan menyusun program terapi epilepsi pada anak 2 Sub-kompetensi Mampu menyebutkan

Lebih terperinci

DRUGS USED IN EPILEPSI

DRUGS USED IN EPILEPSI DRUGS USED IN EPILEPSI Dwi Bagas Legowo, dr Depart. Of Pharmacology & Therapy Medical School Malahayati University Benzodiazepine dan Barbiturate Farmakokinetik : A. Absorpsi : kecepatan absorbsi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan. penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat,

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan. penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi dan sepsis termasuk salah satu dari penyebab kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Epilepsi pada anak adalah penyebab utama kunjungan ke pusat pengobatan, terutama bagian emergensi. Epilepsi masih menjadi masalah utama pada anak khususnya di bidang

Lebih terperinci

Vitamin D and diabetes

Vitamin D and diabetes Vitamin D and diabetes a b s t r a t c Atas dasar bukti dari studi hewan dan manusia, vitamin D telah muncul sebagai risiko potensial pengubah untuk tipe 1 dan tipe 2 diabetes (diabetes tipe 1 dan tipe

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta individu di dunia (WHO, 2005a). Epilepsi di wilayah Asia Tenggara berkisar 1% dari populasi

Lebih terperinci

manusia mengalami banyak perubahan dari segi fisik dan mental. Penuaan adalah salah satu

manusia mengalami banyak perubahan dari segi fisik dan mental. Penuaan adalah salah satu Demensia Oleh : Anglia Febrina Manusia pada dasarnya selalu berkembang. Perkembangan setiap manusia memiliki proses dan tahap-tahap yang harus dihadapinya. Setiap manusia akan melalui tahap bayi, anakanak,

Lebih terperinci

MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI

MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI OLEH: Vita Wahyuningtias 07.70.0279 Daftar Isi Bab 1 Pendahuluan...1 Bab 2 Tujuan...2 Bab 3 Pembahasan...3 1. Pengertian...3 2. Etiologi...4 3. Patofisiologi...4 4. Gejala dan

Lebih terperinci

PERISTIWA KIMIAWI (SISTEM HORMON)

PERISTIWA KIMIAWI (SISTEM HORMON) Bio Psikologi Modul ke: PERISTIWA KIMIAWI (SISTEM HORMON) 1. Penemuan Transmisi Kimiawi pada Sinapsis 2. Urutan Peristiwa Kimiawi pada Sinaps 3. Hormon Fakultas Psikologi Firman Alamsyah, MA Program Studi

Lebih terperinci