BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. salah satu gejala sisa yang sering terjadi akibat stroke. Afasia secara substansial

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan berbahasa atau yang biasa disebut dengan afasia merupakan salah satu gejala sisa yang sering terjadi akibat stroke. Afasia secara substansial mempengaruhi kualitas hidup pasien, dengan penurunan yang signifikan dari komponen mental dan fisik (Behrtier, 2005). Diperkirakan sekitar 21% - 38% pasien stroke akut dapat mengalami afasia (Salter, 2006). Di Amerika serikat kirakira terjadi kasus baru dari afasia setiap tahun berhubungan dengan stroke. Diperkirakan sekitar 1 sampai 1.5 juta orang dewasa di Amerika mengalami afasia (Smeltzer & Bare 2008). Proses pemulihan pada afasia cenderung memakan waktu yang lama. Pemulihan spontan pada afasia terjadi lebih lambat dan dalam periode yang lebih lama dibanding dengan pemulihan motorik spontan. Bahkan pada sebagian besar pasien dengan afasia yang cukup berat akan menetap sepanjang sisa hidupnya (Maas et al., 2009). Pada umumnya pasien yang mengalami afasia dalam periode stroke akut menunjukkan adanya pemulihan spontan, terutama selama 2-3 bulan pertama setelah onset stroke (Hamilton et al., 2011). Pada beberapa penelitian tentang afasia menunjukkan hanya 38% penderita afasia yang mengalami resolusi pada 7 hari pertama pasca stroke (Maas et al., 2008). Resolusi komplit terjadi pada 24% penderita afasia dalam 18 bulan pertama setelah onset stroke, dan 43% pasien masih menderita afasia (Lazar et al., 2008). 1

2 2 Proses pemulihan spontan pada afasia hasilnya tergantung derajat keparahan afasia. Pasien dengan gangguan bahasa yang ringan menunjukan hasil pemulihan yang baik, sedangkan pasien dengan gangguan bahasa yang berat seperti afasia global menunjukan hasil pemulihan yang kurang baik (Laska, 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi pemulihan afasia, diantaranya letak dan ukuran lesi, dan adanya riwayat stroke sebelumnya (Lazar et al., 2008). Studi neuroimaging terbaru dan data menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang cukup besar dalam representasi kortikal pengolahan bahasa yang dapat terjadi dalam beberapa hari, minggu, dan bulan setelah stroke di bagian hemisfer otak kiri (Horn et al., 2005). Pemulihan bahasa setelah stroke tergantung secara signifikan pada tingkat neuroplastisitas yang diamati pada otak pasien setelah terjadinya kerusakan (Cherney, 2006). Kemampuan berbahasa terdiri dari kelancaran berbahasa (fluency), penamaan, pemahaman, repetisi, membaca dan menulis. Salah satu alat diagnostik untuk melakukan pengukuran dalam bidang neuropsikologi adalah dengan menggunakan TADIR (Tes afasia diagnosis informasi dan rehabilitasi). Pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan berdasarkan aspek-aspek penamaan, kelancaran, peniruan, dan pemahaman auditif. Dari aspek tersebut afasia terbagi menjadi afasia nonfluent dan fluent, yang termasuk dalam afasia nonfluent diantaranya afasia global, transkortikal campuran, broca dan afasia transkortikal motorik, sedangkan yang termasuk afasia fluent diantaranya afasia Wernicke, transkortikal sensorik, konduksi dan anomia (Dharmaperwira, 2000).

3 3 Speech dan language therapy telah dilaporkan dapat meningkatkan berbagai aspek afasia dalam hal intensitas dan durasi latihan (Small, 2009). Beberapa penelitian tentang terapi obat yang telah dievaluasi melaporkan efeknya yang masih terbatas (Bhogal, 2003). Dengan demikian, pengembangan pilihan pengobatan baru sangat penting untuk pasien pasca stroke dengan afasia. TMS merupakan suatu metode non-invasive dalam menginduksi depolarisasi neuron kortikal di bawah tulang cranium (Gersner et al., 2011). TMS beroperasi menggunakan prinsip induksi elektromagnetik Faraday dimana transmisi getaran singkat dan luas dari arus yang melalui loop kawat tembaga (seperti koil magnetik) memberikan bangkitan medan magnetik, menginduksi medan listrik orthogonal (Wagner et al., 2007). Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa stimulasi otak non-invasive dapat memiliki efek yang menguntungkan dalam pengobatan afasia pasca stroke (Hamilton, 2008). Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) merupakan metode non-invasive yang aman yang dapat digunakan untuk menginduksi atau meningkatkan perubahan neuroplastisitas sel otak (Antal et al., 2001). TMS yang dilakukan berulang atau repetitive TMS (rtms) melibatkan aplikasi dari serangkaian pulse pada frekuensi yang telah ditentukan dan dapat menghasilkan efek yang bertahan lebih lama penerapan rangsangan (Hamilton, 2011). Beberapa bukti menunjukkan bahwa rtms dilakukan pada frekuensi tinggi (>5 Hz) cenderung meningkat rangsangan (Maeda & Pascual-Leone, 2003). rtms dengan frekuensi rendah (<5HZ) pada umumnya menghasilkan inhibisi sinaptik, yang mirip dengan fenomena long-term-depression (LTD), sedangkan

4 4 pada rtms frekuensi tinggi akan menghasilkan fasilitsi/eksitasi sinaptik, mirip dengan fenomena long-term potentiation (LTP) (Gersner et al., 2011). Dengan dasar LTD dan LTP inilah maka rtms dapat digunakan untuk fasilitasi maupun inhibisi area spesifik pada kedua hemisfer (Schlaugh, 2011). Dalam sebuah penelitian mengenai efek rtms terhadap afasia pasca stroke didapatkan bahwa rtms yang diberikan 10x dalam waktu 2 minggu, signifikan meningkatatkan kemampuan naming pada pasien afasia (Margaret et al., 2005). Dalam penelitian lain mengenai efek rtms di frontal kanan terhadap afasia post stroke, rtms yang diberikan 15x dalam waktu 3 minggu signifikan memperbaiki ketepatan naming pada pasien afasia (Waldowsky et al., 2012). Alasan tersebut di atas menjadi dasar untuk dilakukan suatu penelitian mengenai efek rtms untuk memperbaiki fungsi bahasa pada pasien afasia pasca stroke. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para klinisi dalam mempertimbangkan penggunaan rtms untuk memperbaiki fungsi bahasa pada pasien afasia pasca stroke. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Afasia pasca stroke menurunkan kualitas hidup seseorang dan kejadiannya dapat dicegah 2. Penatalaksanaan afasia selama ini belum maksimal sehingga diperlukan alternatif terapi penanganan gangguan terapi yang efektif, dapat dijangkau, dan efek samping minimal

5 5 3. Penggunaan rtms untuk penatalaksaan afasia masih perlu penelitian yang lebih lanjut. C. Pertanyaan Penelitian Apakah Pemberian rtms frekuensi 5Hz sebanyak 10 sesi di area Broca efektif terhadap perbaikan afasia nonfluent pasca stroke infark yang dinilai dengan peningkatan skor TADIR? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian rtms frekuensi 5Hz sebanyak 10 sesi di area Broca terhadap perbaikan afasia nonfluent pasca stroke infark yang dinilai dengan peningkatan skor TADIR. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan klinisi dan masyarakat tentang manfaat rtms terhadap perbaikan fungsi bahasa pada pasien dengan afasia nonfluent pasca stroke infark. Terapi rtms diharapkan dapat dijadikan terapi ajuvan untuk mempercepat proses reorganisasi otak dalam perbaikan afasia. F. Keaslian Penelitian Hasil penelusuran kepustakaan mengenai penelitian sebelumnya tentang rtms dalam memperbaiki fungsi bahasa dipaparkan pada tabel berikut. Belum pernah dilakukan penelitian manfaat rtms terhadap afasia pasca stroke di RSUP Dr. dr. Sardjito Yogyakarta.

6 6 Tabel 1. Keaslian Penelitian No Peneliti Judul Metode Alat Ukur Hasil 1 Alexander et al., 2013 Effect of Noninvasive Brain Stimulation on language networks and Recovery in Early Poststroke Aphasia Eksperimental cohort 6 bulan Global Aachen Aphasia Test Score Sepuluh kali TMS memberikan hasil yang signifikan terhadap perbaikan ganguan bahasa pada pasien poststroke 2 Waldowsky et al.,2012 Effect of Low- Frequency Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation on Naming abilities in early-stroke Aphasic Patient: A Prospectif, Randomized, Double- Blind Sham controlled study Experimental cohort Boston Diagnostic Aphasia Test (BDAE) rtms kombinasi dengan speech and language terapi efektif untuk pasien afasia dengan lesi anterior dari pusat Bahasa 3 Margaret, et al., 2005 Improved Picture Naming in chronic aphasia after TMS to part of righ Broca s area: An openprotocol study Eksperimental Cohort 8 bulan Boston Naming Test (BNT) TMS signifikan meningkatatkan kemampuan naming pada pasien aphasia 4 Penelitian ini Efektivitas rtms terhadap perbaikan afasia pasca stroke infark Eksperimental Cohort TADIR Sedang berlangsung