MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014"

Transkripsi

1

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan [Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 67] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Salamuddin 2. Ahmad Irwandi 3. Ahmad Suryono ACARA Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan DPR (III) Senin, 5 Mei 2014, Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Arief Hidayat (Ketua) 2) Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota) 3) Anwar Usman (Anggota) 4) Aswanto (Anggota) 5) Maria Farida Indrati (Anggota) 6) Muhammad Alim (Anggota) 7) Patrialis Akbar (Anggota) 8) Wahiddudin Adams (Anggota) Sunardi Panitera Pengganti

3 Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Ahmad Suryono B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Syamsudin Slawat Pesilette C. Kuasa Hukum Pihak Terkait: 1. Rahmat Waluyanto 2. Kusumaningtuti S. Soetino D. Pemerintah: 1. Agus Hariadi 2. Indra Surya 3. Budijono 4. Isa Rachmatarwata E. DPR: 1. Harry Azhar Azis

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA: ARIEF HIDAYAT Assalamualaikum wr. wb. Sidang dalam Perkara Nomor 25/PUU- XII/2014, dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. Saudara Pemohon yang hadir? 2. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAMSUDIN SLAWAT PESILETTE Terima kasih, Yang Mulia. Yang hadir saya, Syamsudin Slawat Pesilette, Kuasa Hukum dan Prinsipal, Saudara Ahmad Suryono. 3. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih. DPR, Pak Harry, saya persilakan, meskipun sudah dikenal, tapi harus ( ) 4. DPR: HARRY AZHAR AZIS Saya perkenalkan, saya mewakili DPR dalam sidang ini, nama saya Harry Azhar Azis, jabatan Wakil Ketua Komisaris. Terima kasih. 5. KETUA: ARIEF HIDAYAT KETUK PALU 3X Terima kasih. Pemerintah yang hadir? 6. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi. Salam sejahtera untuk kita semua. Hadir dari pemerintah, Yang Mulia, mewakili presiden, saya sendiri Agus Hariadi, Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM. Sebelah kiri saya, Bapak Isa Rachmaturwata... maaf, Rachmatarwata, Staf Ahli Menteri Keuangan, Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal, sekaligus beliau nanti akan membacakan keterangan presiden. Sebelah kirinya lagi Bapak Indra Surya, Kepala Biro Bantuan Hukum, Kementerian Keuangan. Dan sebelah kanan saya, Saudara Budijono dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.

5 7. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, yang mewakili presiden. Agenda pada siang hari ini kita akan mendengarkan keterangan dari pemerintah dan DPR. Tapi sebelum saya persilakan, perlu saya sampaikan Mahkamah telah menerima surat bernomor S22/D01 Tahun 2014 dari Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia yang mengajukan permohonan untuk bisa menjadi Pihak Terkait dalam perkara ini. Dan Majelis telah mempertimbangkan dan memutuskan, maka nanti dalam persidangan yang berikutnya kita akan mendengarkan keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan karena sudah disetujui surat ini untuk menjadi Pihak Terkait. Tapi untuk kali ini belum bisa karena baru disetujui pada hari ini, nanti pada persidangan yang berikutnya. Saya kira itu. Yang pertama, saya persilakan yang mewakili presiden untuk membacakan keterangannya. Saya persilakan untuk di mimbar yang disediakan. Untuk bisa garis besar, pokok-pokoknya, highlight-nya karena untuk yang tertulis nanti saya mohon untuk bisa diserahkan ke Kepaniteraan. Terima kasih. Saya persilakan. 8. PEMERINTAH: ISA RACHMATARWATA Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Sehubungan dengan permohona pengujian constitutional review Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, selanjutnya disebut Undang-Undang OJK terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 yang dimohonkan oleh Salamuddin, dan kawan-kawan. Yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Syamsudin Slawat Pesilette, S.H., dan Azhar Rahim Rivai, S.H., yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa. Berkantor di Ruko Menteng Square, Blok DR-06, Jalan Matraman 30E, Jakarta Pusat, untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut Pemohon, sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014, tanggal 5 Maret Selanjutnya, perkenankan pemerintah menyampaikan keterangan presiden Republik Indonesia terhadap permohonan uji materiil Undang- Undang OJK, baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu-kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dengan kesimpulan keterangan presiden yang akan disampaikan kemudian. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Terhadap kedudukan hukum Pemohon, pemerintah berpendapat bahwa Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum atau legal standing. Sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang -

6 Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan syarat kerugian konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 27 September Menurut pendapat pemerintah, kedudukan hukum sebagai pembayar pajak yang patuh tidak dapat diterima begitu saja dengan melampirkan nomor pokok wajib pajak atau NPWP sebagai bukti. Tetapi seharusnya Mahkamah Konstitusi membebankan pembuktian kepada Pemohon sebagai pembayar pajak yang patuh, maka sepatutnya Pemohon telah melaporkan kewajiban pajaknya. Sehingga sangatlah patut kiranya dalam persidangan, Pemohon tidak hanya menyampaikan NPWP tapi turut juga menyampai melampirkan bukti tanda terima surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan orang pribadi dan surat setoran pajak sebagai bukti pembayaran kewajiban pajak dari Pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan lima syarat legal standing yang telah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Pemerintah berpendapat bahwa Pemohon tidak secara terang dan jelas menguraikan kerugian konstitusional yang diterima Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensi kerugian yang dapat dipastikan akan dideritanya karena berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang OJK. Pemerintah berpendapat bahwa dengan adanya Undang-Undang OJK, maka negara telah memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi konsumen sekor jasa dan keuangan secara keseluruhan. Hal ini terlihat secara tegas dalam bab 4 tentang perlindungan konsumen dan masyarakat, Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 Undang-Undang OJK. Dengan meminta pembatalan atas ketentuan Undang-Undang OJK yang diuji oleh Pemohon, justru seluruh masyarakat Indonesia akan dirugikan dikarenakan tidak akan ada lagi instrumen hukum yang memberikan perlindungan konsumen dan masyarakat dalam sektor jasa keuangan. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Pemerintah juga berpendapat bahwa tidak ada hak kewenangan konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dengan berlakunya ketentuan yang diuji oleh Pemohon. Pemohon tidak dapat menjelaskan adanya hubungan sebabakibat (causal verband) antara ketentuan dalam Undang -Undang OJK yang diuji dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji yang diajukan oleh Pemohon yang mengakibatkan hilangnya hak atau kewenangan konstitusional Pemohon.

7 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum bagi pemo Para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu Pemohon sebagai pembayar pajak tidak sertamerta dapat menggunakan ketentuan tersebut sebagai dasar dalam pengajuan uji materiil suatu undang-undang. Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi menyatakan bahwa kedudukan hukum Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan, serta secara bijakasana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, yaitu permohonan Pemohon seharusnya tidak dapat diterima karena Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. Namun demikian, Pemerintah akan tetap memberikan keterangan mengenai pokok materi pengujian undang-undang yang dimohonkan. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa pada tahun 1997 sampai 1998, negara Indonesia telah mengalami krisis multi dimensi yang pada awalnya disebabkan oleh Asian Financial Crisis yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis dalam sektor perbankan Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas dalam kegiatan operasionalnya, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik. Krisis tersebut mendorong terjadinya krisis multidimensi yang pada akhirnya menyebabkan krisis di Indonesia berlangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya, sehingga menyebabkan beban fiskal yang sangat besar mencapai Rp600 triliun dan harus diselesaikan oleh pemerintah. Krisis pada tahun , menunjukkan bahwa kewenangan pengawasan perbankan dan penetapan kebijakan moneter dapat menjadi bias dan terjadi konflik kepentingan dalam penetapan kebijakan moneter sebagai imbas dari buruknya pengawasan perbankan. Selain itu, Indonesia juga ikut terkena dampak dari global crisis pada tahun 2008, dimana Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis. Salah satu akibatnya adalah perlunya dilakukan tindakan penyelamatan salah satu bank di Indonesia untuk menghindari pengulangan akibatakibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun Krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan koordinasi pada sektor jasa keuangan, seperti antara sub sektor perbankan dengan sub sektor pasar modal. Contoh konkretnya adalah kurangnya koordinasi antara lembaga pengawas perbankan dengan lembaga pengawas pasar

8 modal dalam salah satu kegiatan bank yang menjual produk reksadana yang ternyata produk reksadana tersebut tidak terdaftar dalam otoritas pasar modal. Berdasarkan fakta-fakta sejarah tersebut di atas, maka reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan yang salah satunya adalah pembentukan Undang-undang mengenai pendirian OJK ditujukan agar pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara sub sektor jasa keuangan menjadi lebih baik, sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif. Pengintegrasian pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan tersebut merupakan keniscayaan mengingat semakin kompleksnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan, dan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pecegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Yang Mulia, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Selain latar belakang historis sebagaimana dijelaskan sebelumnya pembentukkan Undang-Undang OJK dilatarbelakangi oleh 3 landasan yang kuat, yaitu landasan yuridis, landasan filosofis, dan landasarn sosiologis. Landasar yuridis penerbitan Undang-Undang OJK adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Pembentukan Undang-Undang OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya negara Indonesia yang terdapat dalam Alinea Ke Empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuk keseluruhan sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Selain itu pembentukan Undang-Undang OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan penjelasan Pasal 34 ayat (1 ) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 yang pada pokoknya mengamanatkan bahwa tugas mengawasi bank dan perusahaan-perusaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undangundang.

9 Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional, sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembagalembaga keuangan dimaksud. Pemerintah berpendapat bahwa konstitusionalitas suatu norma dalam undang-undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 melainkan juga melalui Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya negara Indonesia. Dengan demikian berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitusional importants dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapat tujuan bernegara, dan amanat konstitusional dalam pembukaan dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Sama halnya dengan lembaga-lembaga negara independen yang lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat dan Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya adalah merupakan contoh lembaga dan atau komisi baru yang bersifat independen, dan memilik fungsi campuran, dan dibentuk berdasarkan undang-undang, dan memiliki sifat constitusional important. Yang Mulia, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Dasar filosofi pembentukan Undang-Undang OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akutabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekomomian nasional, dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional, dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofi dimaksud perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme kordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan, sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi, oleh karena itu Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawas

10 terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Dari sudut pandang filosofi OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan. Serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu termasuk pihak Pemerintah yang dapat menghambat tercapainya tujuan pembentukan OJK. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independent atau bebas dari intervensi pihak-pihak berkepentingan. Yang tentunya dalam koridor hukum juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan. Kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat. Undang-Undang OJK mengatur mengenai mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. Mengenai landasan sosiologis. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan atau biasa dikenal dengan konglomerasi telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian banyaknya permasalahan lintas sektoral di bidang jasa keuangan yang meliputi tindakan moral hazard. Belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, termasuk perlindungan terhadap pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan seperti manipulasi dan berbagai bentuk penggelapan di kegiatan jasa keuangan. Dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi

11 pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbangkan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank. Penataan dimaksud dilakukan agar mekanisme dalam melakukan koordinasi antar subsektor jasa keuangan dapat menjadi lebih efektif di dalam menangani berbagai permasalahan yang timbul di dalam sistem keuangan. Selain itu penataan tersebut diharapkan lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat dan efektif. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK telah menetapkan bahwa anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Undang-Undang OJK telah memberikan panduan untuk menetapkan besaran pungutan. Yaitu dengan memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dalam Undang-Undang OJK telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan undang-undang. Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan. Pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan bertujuan agar pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dengan tujuan agar mendukung operasional OJK sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara independent dan profesional. Dengan berlandaskan pada prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran. Selain itu, kebutuhan biaya untuk pengawasan juga semakin besar karena pertumbuhan industri sangat cepat dengan kompleksitas dan risiko yang semakin tinggi mengingat total dana kelolaan dan seluruh jasa keuangan yang diawasi oleh OJK sebesar Rp5.910 triliun sehingga beban APBN akan semakin besar. Sedangkan pungutan itu sendiri juga digunakan untuk kepentingan industri, khususnya untuk program-program pengembangan agar industri semakin efisien dan kompetitif. Hal ini sesuai dengan filosofi perekonomian Indonesia yang harus disusun berdasarkan usaha bersama atau gotong royong. Yang di dalamnya terdapat paradigma bahwa seseorang warga negara adalah

12 bagian dari keluarga besar seluruh bangsa Indonesia. Kemudian, dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ditegaskan kembali mengenai perekonomian nasional Indonesia yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan. Praktik pungutan, iuran, atau premi di sistem hukum sekotor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku usaha sektor jasa keuangan merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah berjalan dengan dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun Mengenai adanya alternatif sumber pembiayaan OJK dari APBN ditujukan agar pada masa awal pembentukan di mana OJK masih dalam tahap membangun sistem, regulasi, dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, OJK masih dapat melakukan kegiatannya. Selain itu, penggunaan dana APBN juga untuk memastikan agar OJK sebagai lembaga yang menjalankan sebagian tugas negara di bidang pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan tetap menjalankan tugasnya meskipun penerimaan pungutan tidak dapat diandalkan ketika terjadi krisis ekonomi atau keuangan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Secara lengkap, branch marking pungutan di beberapa negara akan disampaikan pada saat Pemerintah menyampaikan keterangan presiden secara tertulis. Terkait pelaporan dan akuntabilitas OJK, hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang OJK yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Sedangkan mengenai laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mela menganai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam Undang-Undang OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Dengan demikian, Undang-Undang OJK yang mengamanatkan kepada OJK untuk melakukan pungutan dengan menggunakan standar biaya yang wajar, yaitu standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional telah sesuai dengan Pasal 23A Undang- Undang Dasar Tahun 1945 dan telah sejalan dengan international based practices, sehingga OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional.

13 Yang Ketua Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa dalam hal permohonan Para Pemohon dipertimbangkan akan diterima atau dikabulkan, maka dampak dikabulkannya a quo dan diterimanya argumentasi Para Pemohon dimaksud akan mengganggu atau bahkan menimbulkan instabilitas pelaksanaan tugas-tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan dan akan membahayakan industri sektor jasa keuangan dan konsumennya. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo juga dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian nasional akibat lemahnya pengawasan terhadap total dana sebesar Rp5.910 triliun yang saat ini dikelola pelaku usaha sektor jasa keuangan, dan khususnya konglomerasi sektor jasa keuangan, dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan. Pada akhirnya, perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan dan masyarakat pada umumnya dapat menjadi terbengkalai. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Terkait dengan permohonan provisi dari Para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa permohonan provisi tersebut adalah permohonan yang tidak berdasar hukum dikarenakan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan putusan provisi. Meskipun telah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan provisi dari Pemohon dalam suatu pengujian undang-undang, menurut Pemerintah, permohonan provisi tersebut memiliki keadaan mendesak tersendiri, dan khusus, serta kasuistik yang tidak dimiliki dalam permohonan provisi yang diajukan oleh Para Pemohon. Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah, tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa permohonan provisi Para Pemohon diterima dan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa tugas, pengaturan, dan pengawasan di sektor perbankan dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang OJK inkonstitusional apalagi dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun Karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa tugas, pengaturan, dan pengawasan di sektor perbankan dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang OJK untuk menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Atas perkenaan dan perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kami ucapkan terima kasih. Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Keuangan. Demikian, Bapak Ketua Majelis Hakim Konstitusi.

14 9. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Silakan kembali ke tempat. Selanjutnya saya persilakan keterangan DPR, Pak Harry saya persilakan. 10. DPR: HARRY AZHAR AZIS Yang Mulia Ketua dan Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Assalamualaikum wr. wb. Berdasarkan keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menugaskan beberapa anggota DPR termasuk saya Dr. Harry Azhar Azis. Dalam hal ini, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk, atas dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR. Sehubungan dengan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor Nomor 21 Tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan yang diajukan oleh Salamuddin dan kawan-kawan selaku Warga Negara Indonesia dalam hal ini diwakili Kuasa Hukumnya Syamsudin Slawat Pesilette dan Azhar Rahim Rifai, Advokat Kuasa Hukum yang berdomisili di Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi yang beralamat di Ruko Menteng Square Blok BR 06, Jalan Matraman 30E, Jakarta Pusat yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon. Dengan ini DPR menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian atas Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perkara Nomor 25/PUU-XI/2014 sebagai berikut. Yang Mulia Ketua dan Anggota Hakim Konstitusi di Majelis Mahkamah Konstitusi. Keterangan DPR terhadap dalil-dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut. 1. Tentang kedudukan hukum atau legal standing. Menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum legal standing dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan kualifikasinya sebagai Pemohon dan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Menurut pandangan DPR bahwa para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang secara langsung diberikan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23D dan Pasal 27 ayat (1) Undang - Undang Dasar Karena yang jelas tidak terdapat kerugian konstitusional yang secara langsung dialami oleh para Pemohon.

15 Oleh karena itu, tidak ada kerugian konstitusional para Pemohon, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab-akibat antara kerugian yang didalilkan para Pemohon dengan berlakunya undang-undang a quo. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Namun, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai, apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum legal standing atau tidak sebagaimana diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang -Undang Mahkamah Konstitusi. Dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 0011/PUU-V/ Tentang Pengujian hak tentang pengujian Pasal-pasal undangundang tentang OJK. Terhadap permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 sebagaimana dalil-dalil para Pemohon dalam permohonan a quo, DPR menyampaikan pandangan sebagai berikut. A. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang OJK terkait dengan frasa independen. 1. Bahwa untuk memberikan pandangan tentang sifat independensi pada lembaga OJK dipandang perlu kiranya para Pemohon dapat untuk memahami latar belakang pembentukkan OJK yang diundangkan dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun Bahwa yang mendorong diperlukannya lembaga pengawasan di sektor keuangan yang terintegrasi dilatarblekangi dengan banyaknya permasalahan lintas sektoral. ini masalah nasional. Jasa keuangan yang meliputi tindakan moral hazad belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan dan terganggunya stabilitas sistem keuangan. Atas dasar hal tersebut, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. 3. Bahwa pembentukan Undang-Undang OJK dengan tujuan agar keseluruhan jasa keuangan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Bahwa OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip tata

16 kelola yang baik dan meliputi independensi akuntabilitas pertanggungjawaban transparansi dan kewajaran. Perlu saya tegaskan, Ketua bahwa di Undang-Undang OJK ini perlindungan konsumen dari seluruh Undang-Undang Jasa Keuangan baru diadakan. Jadi, kalau undang-undang ini ditolak atau diterima dari Pemohon berarti tidak ada lagi perlindungan konsumen jasa keuangan Indonesia. 4. Bahwa terkait dengan pembentukan OJK tersebut perlu juga dipahami para Pemohon bahwa OJK dibentuk berlandaskan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 yaitu perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independent yang dibentuk dengan undang-undang. Pembentukan lembaga pengawasan ini akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2010 di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang bank Indonesia itu ditegaskan selambat-lambatnya 31 Desember 2004, tapi kemudian diubah menjadi Undang- Undang Bank Indonesia tahun Nomor 3 Tahun 2004 diundur pembentukan OJK menjadi 31 Desember Akan tetapi OJK dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang disahkan pada tanggal 22 November Jadi, perintah ini sudah sejak reformasi 10 tahun yang meminta pemisahan, pengawasan industri perbankan dipisah dari bank Indonesia itu atas perintah Undang-Undang Bank Indonesia itu sendiri. 5. Bahwa terkait dengan frasa independensi yang dipersoalkan oleh para Pemohon, DPR berpandangan bahwa independensi yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang a quo merupakan amanat dari Pasal 31 ayat (1) Undang -Undang bank Indonesia menyatakan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan jasa sektor jasa keuangan yang independent dan dibentuk dengan undang-undang. 6. Bahwa dalam penjelasan undang-undang OJK menjelaskan Undang-Undang Bank Indonesia mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, model ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut pada hakikatnya merupakan lembaga yang bersifat

17 independent dan dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada badan pemeriksa keuangan dan dewan perwakilan rakyat. 7. Bahwa pembentukan OJK yang bersifat independent dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berlandaskan amanat Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia adalah konstitusional karena sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Jo Pasal 10 ayat (1) huruf b Undang -Undang 12 Tahun 2011 dahulu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyatakan; 1. Bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang berisi b. perintah suatu undangundang untuk diatur dengan undang-undang. 8. Bahwa sifat independensi pada lembaga OJK yang tidak diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar tahun 1945 inkonstitusional seperti di dalilkan para Pemohon adalah tidak berdasar karena berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 dahulu Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo Pasal 22A Undang- Undnag tahun Undang-Undang Dasar tahun 1945 tersebut, maka pembentukan undang-undang a quo yang diperintah dengan undang-undang adalah konstitusional karena sesuai dengan ketentua peraturan perundangundangan dan Undang-Undang Dasar tahun OJK sebagai lembaga yang independent merupakan amanat dari Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia. 9. Bahwa terkait dengan dalil pemohon mengenai sifat independensi hanya diberikan kepada bank sentral sebagaimana diamanatkan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan batu uji para Pemohon dipandang perlu melihat dalam risalah pembahasan Pasal 23D Undang-Undang Dasar tahun 1945 mengenai makna independensi untuk bank Indonesia. Awalnya independensi bank Indonesia mempunyai wewenang mengeluarkan dan mengedarkan mata uang. Independensi ini timbul karena adanya kekhawatiran bahwa Pemerintah bisa mendikte Bank Indonesia, artinya bahwa independensi Bank Indonesia dalam Pasal 23D tersebut lebih kepada independensi dalam kebijakan moneter. 10. Bahwa asas independensi OJK yang diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang -Undang Bank Indonesia juncto

18 Pasal 1 ayat angka 1 Undang-Undang OJK, yaitu independensi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, wewenang OJK dalam dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 11. Bahwa menurut Prof. Jimly Assidiqe dalam Rapat Dengar Pendapat Umum pembahaasan RUU OJK tanggal 17 Oktober 2011, soal independensi ini memang harus dikaitkan dengan prinsip check and balances. Independensi tidak ada yang mutlak, yang paling mutlak itu Kekuasaan Kehakiman, meskioun begitu masih terdapat check and balances, misalnya di Amerika. Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh presiden, jadi ada sharenya, dan terdapat mekanisme konfirmasi di parlemen, bahkan impecement. Jadi, Hakim-Hakim Mahkamah Agung di Amerika, itu bisa diberhentikan melalui parlemen juga, lembaga Kekuasaan Kehakiman adalah lembaga yang paling merdeka diantara lembaga yang lain. Hal ini dikarenakan salah satu ciri negara modern adalah independent subjudistory. Dalam cara pandang seperti ini yang dipaparkan di atas, lembaga pengawasan yang independent ini bukan berarti mutlak termasuk independensi Bank Indonesia. Jadi ada check and balances-nya juga, bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Pengertian ini yang kemudian menjadi joke bahwa Bank Indonesia itu seperti negara di dalam negara dalam pengertian yang tidak terbatas. 12. Bahwa independensi fungsional atau yang disebut juga instrument independent dimaknai dalam independensi ini suatu lembaga bebas menentukan cara dan pelaksanaan dari instrumen kebijakan yang ditetapkan, yang dianggap penting untuk mencapai tujuannya. 13. Bahwa pada prinsipnya, lembaga yang bersifat indpendensi memiliki fungsi campuran yang semi legislatif dan regulatif, semi administrative, dan bahkan semi yudikatif. Oleh karena itu muncullah istilah badan-badan independensi yang berhak mengatur dirinya sendiri, independent and share regulatory bodies, yang berkembang di berbagai negara seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 14. Bahwa independensi OJK diwujudkan dengan berada tidak di bawah otoritas lain di dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia, yang dimaknai bahwa OJK

19 tidak menjadi bagian kekuasaan pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah karena OJK memiliki keterkaitan dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsureunsur kedua otoritas tersebut secara ex officio. Keberadaan ex officio ini dimaksudkan dalam rangka kordinasi kerja sama, harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan jasa keuangan, sehingga menjadi lebih integratif dan komprehensif. Dan memastikan keterpelliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global, dan kesepakatan Internasional, kebutuhan kordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan berbudaya, dan memelihara sistem keuangan. 15. Bahwa sifat independensi dalam OJK sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan berlandaskan atas independensi, asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asa profesionalitas, asas integritas, asas akuntabilitas. Hal ini tercermin dalam pelaporan dan akuntabilitas sebagaimana diatur Pasal 38 undang-undang a quo, sehingga independensi OJK tidak berlaku secara absolut atau mutlak. 16. Bahwa dengan demikian sektor jasa keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional, sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun Konstitusionalitas suatu norma dalam undang-undang tidak hanya dapat diukir melalui pasalpasal yang terdapat dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, melainkan juga melalui pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mana di dalamnya terdapat tujuan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pembentukan Undang-Undang OJK merupakan suatu pemenuhan terhadap tujuan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu tujuan memajukan kesejahteraan umum. Ketua dan Majelis Hakim Konstitusional yang saya muliakan. B. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK terkait dengan fungsi pengaturan dan pengawasan. 1. Bahwa Pasal 5 Undang-Undang OJK menyatakan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan. Ketentuan Pasal 5 undangundang a quo, juga terdapat keterkaitan dengan frasa tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan

20 dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66a, Undang-Undang a quo. 2. Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan pasal undang-undang a quo dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu tangan, DPR berpandangan bahwa Pemohon perlu untuk memahami latar belakang historis dialihkannya fungsi pengaturan dan pengawasan dari Bank Indonesia. 3. Bahwa berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen dalam penjelasannya mengamanatkan bahwa kedudukan Bank Indonesia akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas. Artinya Bank Indonesia yang diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar Tahun 1945 saat itu tidak diberikan fungsi pengawasan. 4. Bahwa dengan perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terkait dengan fungsi dan wewenang Bank Indonesia dapat dilihat dalam risalah pembahasan Pasal 23 ayat b Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa Bank Indonesia memiliki fungsi dan wewenang dalam kebijakan moneter, mengeluarkan dan mengedarkan mata uang. 5. Bahwa dalam Pasal 23 ayat d Undang-Undang Dasar Tahun 1945 susunan kedudukan kewenangan, tangung jawab, dan indenpendensi bank senteral diatur oleh... lebih lanjut dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Bank Indonesia dalam Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia bahwa Bank Indonesia mempunyai tugas yang meliputi. a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. b. Mengatur dan mengawasi kelancaran sitem pembayaran c. Mengatur dan mengawasi bank. Di undang-undang yang sama Pasal 8 ayat c ini... Pasal 34 di minta untuk dilakukan oleh lembaga yang sekarang kita kenal menjadi LEmbaga OJK. 6. Bahwa terkait dengan tugas mengawasi bank yang terkait yang menjadi tugas Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia tersebut untuk selanjutnya tidak lagi dilakukan oleh Bank Indonesia akan tetapi dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang indenpenden. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia, namun demikian sepanjang lambaga pengawasan tersebut belum dibentuk di Pasal 35 Undang-Undang Bank Indonesia tersebut tugas pengaturan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Jadi perintah ini sudah sejak tahun 1999 baru

21 tahun 2011 perintah itu menjadi undang-undang OJK. Lebih kurang sekitar 11 tahun perintah itu dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah. Artinya dengan dibentuknya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan maka tugas pengaturan dan pengawasan bank yang awalnya dilakukan oleh Bank Indonesia beralih ke pada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. 7. Bahwa pengaturan dan pengawasan tentang keseluruhan kegiatan jasa keuangan harus dilakukan secara terintegrasi oleh Le mbaga OJK ialah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara secara berkelanjutan dan stabil. Dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dengan tujuan ini OJK sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan keseluruh lembaga yang bergerak di sektor jasa keuangan diharapakan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional hingga mampu meningkatkan dayasaing internasional. 8. Bahwa pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK pelaksanaan fungsi merupakan pelaksanaan mikroprudensial perbankkan. Sedangkan pengawasan fungsi moneter yang dilakukan Bank Indonesia merupakan pelaksanaan fungsi makroprudensial perbankan. Pelaksanaan fungsi makroprudensial dan mikroprudensial harus dipisahkan dalam lembaga yang berbeda. Hal ini untuk menghindari terjadinya penumpukkan kewenangan dalam dsatu tangan pada sektor keuangan khususnya dibidang perbankkan. Bahwa sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 69 undang-undang OJK dinyatakan bahwa tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf C Undang-Undang Bank Indonesia yang untuk selanjutnya menurut Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaha pengawasan sektor jasa keuangan yang independen adalah berkaitan dengan tugas pengaturan pengawasan mengenai mikro prudensial dan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan terkait makro prudensial. 9. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa diberikannya fungsi pengaturan dan pengawasan kepada OJK yang independen akan berpotensi menimbulkan penumpukan kewenangan. Justru

22 yang terjadi adalah pemilahan kewenangan. Terhadap dalil para Pemohon tersebut DPR berpandangan bahwa sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asa-asas tersebut diatas OJK harus memiliki stuktur dan prinsip check and balance hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi tugas dan wewenang pengaturan dan pengawsan. Fungsi pengaturan dilakukan oleh dewan komisioner vide Pasal 8, sedangkan fungsi pengawasan dilakukan oleh masing-masing anggota pengawas perbankan, pengawas pasar modal, dan pengawasa industri keuangan non bank. Di tahun 2015 Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro bahkan koperasi pun diawasi oleh OJK. Bahwa dengan demikian dalil Para Pemohon tentang pemberian tugas pengaturan dan pengawasan kepada OJK yang berpotensi menimbulkan pemupukan kewenangan adalah semata-mata hanya kekhawatiran Para Pemohon yang sama sekali tidak beralasan. Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. C. Pasal 34 dan Pasal 37 Nomor... Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. 1. Bahwa terkait dengan pungutan yang dipersoalkan oleh Para Pemohon, DPR berpandangan bahwa pungutan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan 37 undang-undang a quo dimaksud untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai oleh APBN. Bahwa pungutan digunakan untuk membiayai operasional, administrasi, dan pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya untuk menyesuaikan biaya-biaya dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan. 2. Bahwa pengaturan kewenangan pungutan oleh Undang-Undang OJK sudah tepat dan berdasar oleh karena segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lain harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan pemerintah dan DPR. 3. Bahwa tujuan... bahwa pungutan dalam undang-undang a quo sesuai dengan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan undangundang. Berdasarkan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut dari industri jasa keuangan. Pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, mengadministrasikan pungutan tersebut secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian bila jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka

23 kelebihannya atau surplus tersebut disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara melalui APBN. 4. Bahwa terkait dengan sumber pembiayaan OJK, sebagaimana didalilkan Para Pemohon, menurut DPR bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 34 ayat (2) undang -undang a quo disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan adalah lembaga jasa keuangan dan/atau orang perorangan, atau badan hukum yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pembiayaan dan kegiatan OJK sewajarnya didanai mandiri yang pendananya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK, namun pembiayaan OJK yang bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasionalnya secara mandiri. Antara lain pada saat awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan. 5. Bahwa selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 37 dinyatakan yang dimaksud dengan pungutan antara lain, pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan pendaftaran, dan pengesahan biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai APBN, pungutan digunakan untuk membiayai kegiatan operasional administratif dan pengadaan aset, serta kegiatan pendukung lainnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan. 6. Bahwa pembiayaan OJK berupa pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, pengaturan pemberian wewenang melakukan pungutan oleh lembaga juga telah dilakukan oleh peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Yang pada intinya menyatakan bursa efek dapat biaya pencatatan efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang diberikan, di mana biaya dan iuran dimaksud digunakan untuk kebutuhan pelaksanaan fungsi bursa efek. Selanjutnya di Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, khususnya pada bagian ketiga mengenai premi dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, juga pada Pasal 35 juga mewajibkan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dikarenakan iuran izin usaha, profisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja. Dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dalam Pasal 48 mewajibkan pengenaan

24 pungutan perikanan bagi setiap orang yang melakukan... memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan serta Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik juga mengenakan biaya bagi perizinan dalam pasal Apabila melihat praktik lembaga OJK di beberapa negara terkait dengan pembiayaan OJK berupa pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan disektor jasa keuangan, juga dilakukan oleh lembaga otoritas dimaksud. Hal ini seperti dilakukan oleh office of the controller of the currency di Amerika serikat yang memungut biaya dari bank secara semi anually yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Lalu, office of super intendent of financial institute di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atau sepenilaian terhadap lembaga keuangan yang diperuntukan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Selanjutnya financial services supervisory Korea Selatan memperoleh pendanaan dari supervisory fee, yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS. 8. Bahwa sebagaimana dimaks... dijelaskan dalam penjelasan Pasal 37 Undang-Undang OJK, yaitu pungutan digunakan untuk membiayai kegiatan operasional administratif dan pengadaan aset, serta kegiatan pendukung lainnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan didasarkan kepada... bahwa pembiayaan OJK merupakan kombinasi APBN dan sumber lain, yaitu pungutan OJK. OJK sebagai regulator dari industri keuangan harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas memerlukan standar biaya umum yang berbeda, sehingga diperlukan pungutan untuk memenuhi standar yang berbeda itu. Tetapi bila... apabila pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya... kelebihan itu di setor ke kas negara. Di Australia, Bapepamnya mengambil fee dari industri. Praktiknya sekarang, uang yang di setor kepada negara jauh lebih besar dibanding dengan anggarannya Bapepam Australia. 9. Bahwa selanjutnya pungutan yang dilakukan oleh OJK harus dilaporkan kepada DPR dan di audit oleh BPK sebagai bentuk akuntabilitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 38, Bab 9 tentang Pelaporan dan akuntabilitas Undang-Undang OJK. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 38 Undang-Undang OJK dinyatakan laporan kegiatan yang disusun OJK antara lain memuat pelaksanaan tugas dan wewenang pada periode sebelumnya, serta rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani *

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani * INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedikit mulai terusik dengan adanya pengajuan uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan [Pasal 1 angka 1, Pasal

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 105/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 105/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 105/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA DIUBAH

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 Tugas Pengaturan Dan Pengawasan Di Sektor Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 Tugas Pengaturan Dan Pengawasan Di Sektor Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 Tugas Pengaturan Dan Pengawasan Di Sektor Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan I. PEMOHON 1. Salamuddin, sebagai Pemohon I; 2. Ahmad Suryono,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 Tugas Pengaturan Dan Pengawasan Di Sektor Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 Tugas Pengaturan Dan Pengawasan Di Sektor Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 Tugas Pengaturan Dan Pengawasan Di Sektor Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan I. PEMOHON 1. Salamuddin, sebagai Pemohon I; 2. Ahmad Suryono, sebagai

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 135/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 135/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 135/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 48/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 86/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 86/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 86/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 43/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 43/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 43/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAHAKAM ULU DI

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 62/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 62/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 62/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 77 huruf a] terhadap

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 56/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 56/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 56/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara [Pasal 119 dan Pasal

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 024/PUU-IV/2006

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 024/PUU-IV/2006 irvanag MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NO. 024/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO. 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD, UU NO. 23

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAHAKAM

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK TERHADAP

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 50/PUU-IX/2011

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 50/PUU-IX/2011 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 50/PUU-IX/2011 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 12/PUU-VII/2009

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 12/PUU-VII/2009 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 12/PUU-VII/2009 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XV/2017 PERIHAL PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 106/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 106/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 106/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 99/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 99/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 99/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG- UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 51/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 51/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 51/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI TERHADAP

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional [Pasal 36 ayat

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 116/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 116/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 116/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik [Pasal 29 ayat

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 72/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 72/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 72/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-VIII/2010

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-VIII/2010 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1996 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak bermunculan bermacam-macam bank umum di

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak bermunculan bermacam-macam bank umum di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini banyak bermunculan bermacam-macam bank umum di Indonesia, dari yang menawarkan fasilitas dan produk yang sama sampai yang baru. Jika di dilihat dari sudut

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 34/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 34/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 34/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 70/PUU-IX/2011

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 70/PUU-IX/2011 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 70/PUU-IX/2011 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 23/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 23/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 23/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H. SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 89/PUU-XI/2013

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 89/PUU-XI/2013 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 89/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika [Pasal 111 ayat ( 2), Pasal 112 ayat

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-XV/2017 PERIHAL PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 24/PUU-XV/2017 PERKARA NOMOR 69/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 24/PUU-XV/2017 PERKARA NOMOR 69/PUU-XV/2017 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 24/PUU-XV/2017 PERKARA NOMOR 69/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 53/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat [Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3)] terhadap

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 44/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 44/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 44/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

Lebih terperinci

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 74/PUU-X/2012

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 74/PUU-X/2012 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 74/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [Pasal 55] terhadap Undang-Undang

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 32/PUU-XI/2013

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 32/PUU-XI/2013 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 32/PUU-XI/2013 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 78/PUU-X/2012

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 78/PUU-X/2012 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 78/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 195, Pasal 197 ayat

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 53/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 53/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 53/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan [Pasal 30 ayat

Lebih terperinci

Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. SAMARINDA, 2 juli 2015

Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. SAMARINDA, 2 juli 2015 Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan SAMARINDA, 2 juli 2015 1 POKOK BAHASAN 1 2 3 4 5 6 Pengertian, Latar Belakang dan Tujuan Pembentukan OJK Fungsi, Tugas dan wewenang OJK Governance

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN I. PARA PEMOHON Mohamad Yusuf Hasibuan dan Reiza Aribowo, selanjutnya disebut Pemohon II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-VIII/2010

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-VIII/2010 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-VIII/2010 PERIHAL PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1969 TENTANG PENSIUN PEGAWAI DAN PENSIUN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 26/PUU-X/2012

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 26/PUU-X/2012 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 26/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 58 huruf c] terhadap

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 29/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 29/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 29/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 23/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 23/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PUTUSAN Nomor 23/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PUTUSAN Nomor 48/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 110/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 110/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 110/PUU-XII/2014 PERIHAL - Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah [Pasal 124,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 16/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 16/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 16/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN TERHADAP UNDANG-

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-VIII/2010

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-VIII/2010 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI BANGUNAN TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 63/PUU-X/2012

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 63/PUU-X/2012 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 63/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [Pasal 170 ayat (3), Pasal 171 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XI/2013

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XI/2013 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XI/2013 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 23/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 23/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 23/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 84/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 84/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 84/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 113/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 113/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 113/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 139/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5253 EKONOMI. Otoritas Jasa Keuangan. Pengelolaan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 18/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 18/PUU-XV/2017 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 18/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 9/PUU-XI/2013

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 9/PUU-XI/2013 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 9/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan [Pasal 10 ayat (3) dan ayat

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 86/PUU-XI/2013

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 86/PUU-XI/2013 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 86/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan [Pasal

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-X/2012

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-X/2012 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-X/2012 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 40/PUU-IX/2011 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 128/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 128/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 128/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 107/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 107/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 107/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 21/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 21/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 21/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 1 angka 2, angka

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 11/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 11/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 11/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI DAN UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 110/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 110/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 110/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 24/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 24/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 24/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 79/PUU-X/2012

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 79/PUU-X/2012 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 79/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan [Pasal 3 beserta Penjelasannya]

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XV/2017

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XV/2017 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XV/2017 PERIHAL PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 33/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua [Pasal

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 127/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 127/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 127/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI TERHADAP UNDANG-

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 85/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 89/PUU-XI/2013

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 89/PUU-XI/2013 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 89/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika [Pasal 111 ayat ( 2), Pasal 112 ayat

Lebih terperinci