PEMBAHASAN. Aspek Teknis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBAHASAN. Aspek Teknis"

Transkripsi

1 55 PEMBAHASAN Aspek Teknis Pelaksanaan aspek teknis budidaya kebun milik PG Cepiring secara umum dilakukan sesuai dengan prosedur perusahaan. Pelaksanaan teknis budidaya di lapang akan selalu menyesuaikan dengan keadaan yang ditemui. Penyesuaian tersebut harus dilakukan agar tujuan dari perkerjaan tersebut dapat tercapai meskipun pekerjaan tersebut tidak terdapat pada rencana awal. Proses budidaya yang dilakukan di wilayah PG Cepiring dilakukan dengan sistem Reynoso. Reynoso adalah sistem pengaturan tata air sehingga tebu di lapangan dapat mendapat air yang cukup. Sistem reynoso digunakan untuk menurunkan muka air tanah. Sistem reynoso memungkinkan dalam pemasukan air melalui irigasi ketika musim kemarau dan pembuangan air berlebihan ketika musim penghujan. Sistem reynoso diterapkan terutama di lahan sawah irigasi. Hal ini sesuai karena lahan sawah irigasi akan menyediakan air selama musim hujan dan musim kemarau, sehingga harus diatur pemasukan dan pembuangannya melalui sistem reynoso. Dengan pengaturan irigasi dan drainase pada kebun dapat meningkatkan hasil tebu serta rendemennya (Supriadi, 1992). Seluruh kebun di wilayah PG Cepiring memiliki standar teknis pelaksanaan budidaya yang harus diterapkan mulai dari pembukaan lahan sampai tebang angkut. Standar teknis ini berlaku untuk semua jenis lahan, yaitu lahan sawah dan tegalan. Namun untuk lahan yang tercekam salinitas terdapat teknis budidaya yang berbeda, yaitu pada tata air kebun. Sistem tata air kebun Sistem tata air kebun harus diterapkan agar kebun mendapat air dalam jumlah yang cukup. Setiap kebun di wilayah PG Cepiring menerapkan tata air berdasarkan jenis dan tipologi kebun serta menyesuaikan kondisi masa tanam dan kondisi tertentu yang ada di kebun. Masa tanam yang diterapkan terdiri dari dua, yaitu pola A dan pola B. Pola A adalah kebun yang ditanam antara akhir musim penghujan dan awal musim kemarau. Penanaman pada pola A biasanya pada

2 56 bulan April sampai Juni. Pola B adalah kebun yang ditanam antara akhir musim kemarau dan awal musim penghujan. Penanaman pada pola B biasanya pada bulan September sampai November. Penyesuaian tata air juga dilakukan pada kondisi khusus yang terdapat di kebun seperti cekaman salinitas, kerentannan pada banjir, serta arah, letak dan besarnya sumber air. Pada sawah irigasi dengan kondisi yang umum, sistem tata air menggunakan sistem reynoso dengan pola faktor Faktor berarti dalam 1 ha kebun, dibagi menjadi 20 bak juringan dengan lebar 8 m. Setiap bak juringan terdiri dari 60 juringan dengan jarak pusat ke pusat juringan (PKP) yaitu 1 m. Tata air dilakukan dengan pembuatan got yang terdiri dari got keliling, got malang, dan got mujur. Got keliling adalah got yang mengelilingi kebun sebagai masukan dan drainase dengan lebar 60 cm dan kedalaman 70 cm. Got mujur hampir sama dengan got keliling namun terletak di dalam kebun, dengan ukuran lebar 50 cm dan dalam 60 cm. Got malang adalah got yang tegak lurus dengan juringan yang membatasi bak juringan satu dengan yang lain, dengan lebar 50 cm dan kedalaman 50 cm. Sistem got yang diterapkan PG Cepiring serupa dengan pendapat Sutardjo (2008) dalam hal jenis dan ukuran got. Terdapat beberapa perbedaan dalam sistem tata air pada lahan tegalan dengan lahan sawah irigasi. Perbedaan tersebut ada pada panjang juringan pada lahan tegalan. Panjang juringan lahan tegalan dua kali dari lahan sawah, yaitu sebesar 16 m. Hal ini dilakukan karena jumlah air yang ada di lahan tegalan tidak sebanyak lahan sawah irigasi. Sumber air tegalan berasal dari hujan, sehingga diperlukan penyimpanan air agar tebu tidak kekurangan air. Dengan panjang juringan 16 m, got malang akan lebih sedikit sehingga mencegah drainase yang berlebihan. Kebun dengan got malang yang lebih sedikit akan lebih banyak menyimpan air hujan untuk tanaman. Ketika hujan terlalu besar dan kebun kelebihan air, got malang tetap berfungsi sebagai drainase kebun agar air tidak menggenang di lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Supriadi (1992), yaitu diperlukan pengairan yang sesuai dengan keadaan lahan untuk mencegah penggenangan air yang dapat menurunkan hasil. Sistem tata air akan disesuaikan dengan kondisi khusus yang terjadi di kebun. Beberapa kondisi khusus yang dapat mempengaruhi tata air adalah

3 57 cekaman salinitas, kerentanan terhadap banjir, serta arah, letak dan besarnya sumber air. Pada prinsipnya ketika air yang masuk ke kebun lebih banyak daripada sawah irigasi, jumlah got untuk drainase akan diperbanyak dengan mengurangi panjang juringan. Ketika jumlah air yang ada lebih sedikit, diperlukan upaya penghematan air dengan mengurangi jumlah got drainase dengan menambah panjang juringan. Upaya ini tidak hanya diterapkan untuk keseluruhan kebun, namun dapat diterapkan untuk wilayah kebun tertentu seperti daerah kebun di dekat inlet atau outlet. Aspek Manajerial PG Cepiring merupakan pabrik gula yang memproduksi gula kristal putih. Gula kristal putih yang diproduksi berasal dari dua bahan baku, yaitu tebu dan raw sugar. Diluar musim giling tebu, PG Cepiring memproduksi gula kristal putih dari bahan baku raw sugar. Selama musim giling tebu, PG Cepiring memproduksi gula kristal putih dengan bahan baku tebu dan raw sugar. Kebijakan mengolah raw sugar diterapkan untuk memenuhi kapasitas giling pabrik (ideal capacity). Selama musim giling tebu, PG Cepiring membutuhkan bahan baku tebu untuk memenuhi kapasitas giling tebu terpasang yang mencapai ton tebu per hari. Untuk memenuhi kapasitas tersebut selama 150 hari giling per tahun, PG Cepiring membutuhkan sekitar ton tebu per tahun giling. Dengan produktivitas tebu rata-rata 70 ton/ha, PG Cepiring membutuhkan luas area sekitar ha lahan tebu. Sementara itu, lahan untuk kebun tebu di wilayah Kendal dan sekitarnya semakin terbatas. Keterbatasan lahan ini diakibatkan oleh persaingan dengan komoditas lain yang memiliki waktu pengembalian modal yang lebih singkat, seperti tembakau, padi dan palawija. PG Cepring pada dasarnya tidak memiliki lahan dengan status Hak Guna Usaha (HGU). Untuk memenuhi kebutuhan tebu, PG Cepiring menerapkan bebagai upaya agar petani tebu rakyat (PTR) menanam tebu dan menggiling tebunya di PG Cepiring. Berbagai puaya tersebut meliputi penerapan sisitem kemitraan yang saling menguntungkan, pemberian kredit kepada petani melalui fasilitas Kredit Ketahanan Pangan dan Energi untuk Tebu (KKP-E Tebu), dan penerapan sistem beli putus untuk PTR mandiri. Berbagai upaya tersebut

4 58 dilaksanakan oleh bagian tanaman, sehingga posisi bagian tanaman secara struktural di perusahaan juga mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan tersebut. Sistem kemitraan Terdapat tiga pola kemitraan yang diterapkan PG Cepiring. Pola kemitraan tersebut antara lain pola kemitraan tipe A, pola kemitraan tipe B, dan pola kemitraan tipe D. Pola kemitraan tipe A (KMA) merupakan kemitraan yang diterapkan kepada petani ketika petani tidak mampu secara teknis maupun finansial dalam usaha budidaya tebu. Petani hanya memiliki hak milik sebidang tanah yang ingin diusahakan untuk budidaya tebu. Dalam penerapan KMA, seluruh kegiatan budidaya dan pembiayaannya dilakukan oleh PG melalui staf lapang. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah bagi hasil yang dibayarkan dimuka kepada petani. Hal ini akan menjadi jaminan akan besarnya bagi hasil yang diterima petani tanpa dipengaruhi oleh besarnya hasil panen yang akan didapat ketika panen. Pola kemitraan tipe B (KMB) merupakan pola kemitraan yang diterapkan kepada petani tebu rakyat yang telah mampu dalam teknik bididaya tebu namun tidak mampu dalam pembiayaannya. Dalam penerapan KMB, PG akan memberikan pinjaman untuk pembiayaan budidaya tebu melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi Tebu (KKPE-Tebu) dan bekerjasama dengan bank sebagai penyedia kredit. PG akan bertindak sebagai penjamin (avalist) bagi petani untuk dapat mengembalikan kredit kepada bank. Proses budiaya tebu dilakukan oleh petani dibawah bimbingan petugas lapang PG. Petugas lapang PG bertindak sebagai pengawas dalam alokasi dana kredit yang telah dicairkan kepada petani. Bagi hasil yang diterapkan dalam KMB berdasarkan ketentuan bagi hasil giling tebu di PG, sehingga besarnya hasil yang diterima petani ditentukan oleh jumlah panen tebu yang didapat serta rendemennya. Kemitraan pola D (KMD) adalah kemitraan antara PG dengan petani yang telah mampu dalam budidaya tebu baik secara teknis maupun pembiayaannya. Kebun tebu dengan pola kemitraan D biasa disebut kebun tebu mandiri. Dalam kemitraan ini, PG berperan sebagai jasa pengolahan tebu menjadi gula. Sistem

5 59 bagi hasil yang diterapkan adalah sistem bagi hasil pengolahan tebu berdasarkan rendemen. Terdapat beberapa aturan dalam penerimaan tebu di PG Cepiring dari KMD, yaitu tebu bersih tidak terbakar, tidak diikat menggunakan daun, serta petani tidak memiliki kredit dari PG lain dalam pembiayaan kebunnya. Ketiga pola kemitraan ini akan membantu PG Cepiring dalam mendapatkan bahan baku tebu selama musim giling. Kemitraan pola A akan membantu PG Cepiring untuk mendapatkan areal perkebunan tebu dari petani dengan sisitem sewa lahan atau bagi hasil yang dibayarkan diawal. Sistem ini menguntungkan bagi kedua belah pihak karena petani mendapat keuntungan yang telah ditetapkan berdasarkan perjanjian di awal. Hal ini berarti petani pendapatkan kepastian keuntungan yang dibayarkan di awal tanpa melihat berapapun hasil tebu yang nantinya akan didapatkan. Petani juga mendapatkan keuntungan tambahan dari hasil tebu keprasan setelah jangka waktu sewa lahan berakhir. Hal ini menguntungkan bagi petani karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk penanaman awal tebu yang membutuhkan biaya yang cukup besar, namun hanya perlu melakukan pemeliharaan tanaman keprasan. Kredit ketahanan pangan dan energi (KKP-E Tebu) KKPE digunakan dalam pembiayaan budidaya tebu petani kemitraan pola B (KMB). KKPE merupakan kredit yang diberikan bank penyedia kredit kepada petani tebu rakyat yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI). Dalam proses kredit tersebut, PG merupakan penjamin (avalist) yang akan menjamin petani untuk mengembalikan kreditnya kepada bank. Perjanjian kredit dilakukan oleh Bank dan Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) serta diketahui oleh PG sebagai avalist. KPTR merupakan lembaga keuangan dari APTRI yang akan memfasilitasi anggotanya dalam perolehan kredit. PG Cepiring bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai bank penyedia KKPE. Besarnya nilai KKPE berdasarkan kategori tanaman tebu yang diajukan, yaitu tanaman tahun pertama atau Plant Cane (PC) dan tanaman tebu keprasan atau Ratoon Cane (RC). Besarnya nilai KKPE untuk PC adalah Rp ,- per hektar, sedangkan untuk RC sebesar Rp ,- per hektar. Perbedaan nilai kredit antara PC dan RC terletak pada pembiayaan kebutuhan bibit pada

6 60 tanaman PC. Besarnya luasan kebun maksimal yang dapat diajukan seorang petani adalah 4 hektar, sedangkan besarnnya nilai kredit yang diterima petani maksimal sebesar Rp ,-. Pencairan KKPE akan diberikan bank kepada PG untuk dapat disalurkan kepada petani. PG Cepiring akan menyalurkan kredit kepada petani secara bertahap, sesuai dengan urutan budidaya tebu. Bank penyedia kredit memiliki standar besarnya pembiayaan berbagai urutan proses budaidaya. Dalam pelaksanaan pencairan dana kepada petani, PG mempunyai stantar tersendiri dalam hal besaran pembiayaan setiap proses budidaya tebu, namun jumlah total pembiayaan yang diterima petani tetap sama dengan besaran yang diberikan bank. Hal ini dikarenakan dibutuhkan beberapa penyesuaian dalam budidaya tebu sehingga mempengaruhi dalam pembiayaan budidaya tersebut. Besarnya kredit yang diterima tiap tahapan budidaya dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 15. Nilai KKP-E Setiap Tahapan Budidaya Tebu PC per Hektar Pembiayaan Standar Bank BRI Standar PG Cepiring Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- COL (Cost of living) Bibit Pupuk Biaya garap Tebang angkut Pengendalian hama dan penyakit Jumlah Rp ,- Rp ,- Sumber : Kantor Tanaman, PT Industri Gula Nusantara Sistem yang diterapkan oleh PG IGN baik untuk keamanan kredit. Pencairan kredit secara bertahap dapat menghindari pemakaian kredit oleh patani untuk kegiatan selain budidaya tebu. Penyesuaian nilai kredit berdasarkan tahapan budidaya juga dapat membuat kredit tepat sasaran dan mencegah kelebihan nilai kredit yang dapat digunakan untuk keperluan selaian budidaya tebu. Selain itu, kontrol terhadap petani juga dapat dilakukan per tahapan budidaya, sehingga pencairan kredit untuk kegiatan selanjutnya dapat menyesuaikan kondisi yang ada saat pengamatan. Terdapat beberapa syarat dalam pengajuan KKPE bagi petani kepada bank dengan PG sebagai avalist. Syarat pertama adalah petani mempunyai lahan dengan luasan tertentu. Syarat kedua adalah petani yang berhimpun dalam KPTR

7 61 mengajukan Rencana Definitif Kelompok (RDK) yang berisikan beberapa nama petani yang akan mengajukan KKPE serta luasan kebun yang akan diajukan. Pembuatan RDK akan melibatkan kepala desa yang menjamin keberadaaan lahan yang diajukan. Syarat ketiga adalah petani mengajukan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang memuat besarnya kebutuhan biaya yang dibagi kedalam tahapan budidaya. pembuatan RDKK melibatkan ketua kelompok petani tebu rakyat, ketua koperasi petani tebu rakyat, serta PG sebagai penjamin. Syarat yang keempat adalah fotokopi kartu tanda penduduk setiap petani yang mengajukan permohonan KKPE. Keempat syarat tersebut akan diajukan kepada bank sebagai penyedia kredit. Terdapat beberapa kegiatan yang akan dilakukan bank selama tahap pencairan kredit. Bank akan melakukan peninjauan lapang ke lahan tebu petani pada tahap awal. Peninjauan lapang akan didampingi pihak PG. Lahan tebu yang akan disetujui permohonan kreditnya adalah lahan yang sudah ditanami tebu untuk tebu PC. Setelah peninjauan lapang, proses akan berjalan di bank untuk pencairan KKPE. Kredit KKPE akan dicairkan bank ke rekening PG dengan jangka waktu kredit 12 bulan dan bunga subsidi pemerintah sebesar 7%. PG akan menyalurkan kredit kepada petani dan akan memotong bagi hasil yang diperoleh petani ketika panen tebu untuk pelunasan kredit kepada bank. Kredit ini dapat memicu petani untuk menanam tebu di lahan mereka. Petani yang memiliki lahan dan mampu secara teknis dalam budidaya tebu namun terkendala modal tetap dapat menanam tebu melalui bantuan kredit tersebut. Keuntungan yang didapatkan PG selain mendapatkan bahan baku tebu adalah kepastian dalam mendapatkan areal pada tahun selanjutnya. Hal ini dikarenakan petani yang menerima kredit ini akan menjadi petani binaan PG yang memiliki ikatan secara tidak formal dengan PG. Petani tersebut juga cenderung akan memperluas lahannya di tahun selanjutnya sehingga bahan baku tebu yang disetorkan ke PG akan meningkat pada tahun selanjutnya. Sistem beli putus PG Cepiring telah menerapkan sistem beli putus tebu untuk petani tebu mandiri atau kemitraan pola D (KMD) sejak tahun Kebijakan ini adalah

8 62 salah satu upaya dalam menarik petani tebu mandiri untuk menggiling tebu di PG Cepiring. Sistem beli putus adalah sistem pembayaran tebu secara langsung ketika tebu milik petani mandiri tiba di PG tanpa harus menunggu tebu selesai digiling menjadi gula. Kriteria tebu yang diterima di PG Cepiring dengan sistem beli putus adalah nilai brix nira batang tebu minimal 14. Selain itu kondisi tebu harus bersih dan tidak diikat menggunakan daun tebu melainkan menggunakan pengikat dari batang tebu yang diiris tipis. Harga tebu per kwintal telah ditetapkan tanpa memperhitungkan besarnya nilai brix nira. Sistem beli putus sangat menguntungkan petani karena petani cepat mendapatkan uang tanpa haruns menunggu proses pengolahan tebu. Dengan perputaran uang yang singkat, petani tebu dapat membiayai proses tebang angkut untuk kebun mereka setelahnya sehingga tebu petani dapat segera selesai ditebang. Penerapan sistem ini efektif untuk menarik minat petani tebu mandiri untuk menggiling tebu meraka di PG Cepiring. Hal ini dapat dilihat dari semaikin banyaknya tebu yang masuk ke PG Cepiring yang berasal dari petani tebu mandiri, yaitu dari ton pada tahun 2009 menjadi pada rahun Sistem beli putus yang diterapkan juga memiliki beberapa kelamahan. Kelemahan ini diakibatkan oleh tidak diberlakukannya nilai brix atau rendemen individu petani untuk menentukan besarnya harga tebu. Hal ini akan menguntungkan bagi petani dengan rendemen yang kecil, namun untuk petani dengan rendemen yang tinggi tidak mendapatkan insentif lebih dari perbedaan nilai rendemen tersebut. Sistem ini tidak memberi pelajaran kepada petani dengan rendemen yang rendah untuk berupaya menaikkan rendemennya. Hal ini dapat mengakibatkan petani tidak menerapkan praktik budidaya tebu secara baik untuk mendapatkan rendemen tinggi, namun hanya sekedar meningkatkan produksi dan mencapai nilai brix yang sesuai standar PG Cepiring. Kelemahan yang lain adalah tingginya harga beli tebu yang diterapkan oleh PG Cepiring. Tebu dibeli oleh PG Cepiring dengan harga Rp ,00 per kwintal. Dengan harga gula Rp 8 000,00/kg dan perolehan gula bersih sebesar 66%, maka PG Cepiring baru mencapai BEP (break even point) saat rendemen tebu kira-kira mencapai 7%. Namun, dengan kriteria nilai brix tebu giling yang

9 63 lebih dari 14, rendemen rata-rata tebu beli putus hanya berkisar 6% - 6,5%. Hal ini akan menguntungkan bagi petani, namun akan merugikan bagi PG karena nilai gula yang diapatkan dapat lebih rendah dari harga beli tebu tersebut. Saat ini, masalah tersebut dapat diatasi oleh PG karena kerugian tersebut dapat diatasi dengan gula dari bahan baku raw sugar. Hal ini akan menjadi masalah bagi PG pada tahun 2012, ketika izin mengolah raw sugar sudah habis dan hanya mengandalkan tebu sebagai bahan baku gula. Manajemen kemitraan Sistem kemitraan membutuhkan terjasama yang baik antara petani tebu rakyat, PG, dan bank penyedia kredit. Kerjasama yang baik akan menciptakan sinergi agar masing-masing pihak dapat saling menguntungkan. Selain itu juga diperlukan sinergi antara bagian pabrikasi sebagai pengolah tebu dan bagian lapang yang berhubungan dengan petani mitra sebagai penyedia bahan baku tebu. Sinergi yang baik diantara kebuanya akan menyebabkan musim giling tebu berjalan dengan baik. Musim giling yang dijadwalkan oleh bagian pabrikasi akan bertepatan dengan kondisi tebu di petani mitra yang tepat untuk dipanen. Terdapat sinergi yang kurang baik antara bagian pabrikasi dengan bagian lapang PG Cepiring. Hal ini terlihat dari pabrik yang belum siap untuk musim giling tebu sementara terdapat kebun tebu yang sudah siap dipanen. Hal ini diakibatkan karena proses perbaikan pabrik yang belum selesai dengan penambahan alat di stasiun gilingan. Hal ini memaksa bagian lapang untuk tetap memanen kebun tebu yang telah siap panen dan bekerjasama dengan PG lain untuk menggiling tebu dari kebun tersebut. Kegiatan panen terpaksa dilakukan karena cuaca yang sangat mendukung pada saat PG Cepring belum siap untuk memulai musim giling. Diperlukan perencanaan yang baik antara bagian pabrikasi dan bagian lapang untuk menentukan musim giling. Perencanaan bulan dimulainya musim giling membantu bagian tanaman dalam mempersiapkan kebun tebu sejak awal tanam. Bagian lapang dapat menentukan awal pembukaan lahan baru untuk dapat disesuaikan dengan masa giling. Perencanaan lamanya musim giling akan

10 membantu bagian tanaman dalam menentukan target luasan tebu yang harus ditanam untuk memenuhi kapasitas giling pabrik selama musim giling. 64 Struktur organisasi bagian tanaman PG Cepiring Bagian Tanaman adalah salah satu divisi di PG Cepiring yang bertanggung jawab untuk menyediakan bahan baku tebu selama masa giling PG. Penyediaan bahan baku tebu dilaksanakan dengan budidaya tebu dengan sistem kemitraan dengan petani tebu rakyat. Bagian tanaman berada di bawah garis koordinasi kepala pabrik dalam struktur organisasi PG Cepring. Hal ini berarti wewenang pengambilan kebijakan dari bagian tanaman terbatas dan harus dikoordinasikan dengan kepala pabik. Keadaan ini berpengaruh pada wewenang dalam perluasan area tebu yang harus dikoordinasikan dengan kepala pabrik, sehingga kadang terkendala. Sistem yang efisien adalah dibaginya bagian kewenangan menjadi dua bagian yang berbeda, yaitu pabrik dan tanaman. Dengan sistem seperti ini, pelaksanaan kebijakan pengembangan area dan kebijakan lain di bagian tanaman dapat lebih efisien dengan tetap berkoordinasi dengan bagian pabik. Aspek Khusus Kondisi geografis yang terdapat pada Pidodo memnyebabkan tingkat salinitas yang tinggi. Salinitas terjadi akibat adanya banjir air pasang yang sering terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993), yang menyatakan bahwa proses salinisasi daerah dengan iklim basah terjadi di delta sungai yang terpengaruh air laut dan pantai yang letaknya rendah. Kondisi salinitas kebun Menurut Cresser et al. (1993), kriteria tanah salin adalah tanah dengan daya hantar listrik (DHL) lebih dari 2 ds/m. Tanah dengan DHL kurang dari 2 ds/m tergolong nonsalin dengan pengaruh salinitas terhadap tanaman dapat diabaikan. Berdasarkan pendapat tersebut, meskipun nilai DHL kebun Pidodo

11 65 lebih besar dari Gondang sebagai kontrol lahan nonsalin, kebun Pidodo masih tergolong lahan nonsalin pada pengamatan tebu berumur 31 MSK. Berdasarkan hasil analisis salinitas tanah (Tabel 7), dapat diketahui bahwa kondisi salinitas kebun Pidodo dapat diabaikan. Menurut Marwanto et al (2009) tingkat salinitas lahan di pesisir pantai utara Jawa berkisar 2-8 ds/m. Hasil pengamatan di kebun Pidodo menunjukkan nilai yang lebih kecil, yaitu ds/m. Hal ini menunjukkan bahwa teknik tata air melalui metode kolamalur (basin-furrow method) yang diterapkan di lahan Pidodo dapat membuat tingkat salinitas lahan sampai ke golongan nonsalin pada umur tebu 31 MST, yaitu pada bulan April. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993), pencucian air dan perbaikan drainase dapat memperbaiki tanah-tanah salin. Tabel 16. Curah Hujan Kebun Pidodo pada Stasiun Hujan Terdekat Bulan Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber : Dinas Pengairan Kabupaten Kendal Penurunan salinitas ini juga dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi di kebun Pidodo pada bulan Januari sampai April sehingga termasuk bulan basah (Kartasapoetra, 2008). Hal ini dapat terlihat dari data pengamatan curah hujan selama 5 tahun terakhir dari stasiun hujan terdekat (Tabel 16). Pengaruh tingginya curah hujan terhadap penurunan tingkat salinitas ini sesuai dengan pendapat Tan (1991), bahwa salinitas akan berkurang dengan adanya curah hujan yang tinggi pada daerah beriklim basah.

12 66 Teknis budidaya tebu di lahan salin Menurut Santoso (1993), sistem irigasi dan got yang diterapkan di lahan tercekam salinitas oleh PG Cepiring disebut dengan metode reklamasi lahan salin dengan metode kolam-alur (basin-furrow method). Metode ini akan mengalirkan air irigasi melalui parit (got) yang dibuat di sekeliling lahan. Air akan dipertahankan sekitar seminggu sampai seluruh lahan dapat diresapi air. Dengan sistem ini kepekatan garam akan tercuci aliran irigasi, sehingga kadar garam yang tinggi di lahan dapat diatasi. Got dengan ukuran yang besar dapat mengurangi kerusakan lahan akibat banjir air pasang yang kerap terjadi di lahan tercekam salinitas yang terletak di pesisir pantai utara Jawa. Ketika banjir terjadi, air akan tertampung di got sehingga mencegah air banjir dengan kandungan garam tinggi masuk ke juringan tebu. Hal ini dapat mencegah kerusakan fisik pada tebu juga mencegah peningkatan salinitas tanah pada kebun. Kondisi tebu di lanah salin Hasil pengamatan tinggi tanaman (Tabel 9) menunjukkan tinggi tanaman kebun salin lebih rendah dan berbeda nyata pada seluruh minggu pengamatan. Hal ini menunjukkan pengaruh salinitas yang nyata terhadap tinggi tanaman tebu. Tebu di lahan salin mengalami cekaman dalam pertumbuhan tingginya. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993) yang menyebutkan bahwa tanaman dengan cekaman salinitas akan mengalami penghambatan dari perpanjangan sel, sehingga tanaman tampak kerdil. Hasil pengamatan jumlah ruas (Tabel 9) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada seluruh minggu pengamatan. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan anatomi tebu pada lahan salin sama seperti tebu pada umunya yang ditaman di kondisi nonsalin berdasarkan jumlah ruas batangnya. Dengan tinggi batang yang lebih rendah dan mempunyai jumlah ruas yang sama dengan tebu tak tercekam salinitas, panjang ruas tebu tercekam salinitas lebih pendek daripada tebu tak tercekam. Hal tersebut menunjukkan pembelahan sel pada tebu tercekam salinitas tetap berjalan, namun pemanjangan selnya terganggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993) yang menyatakan pembelahan sel pada tanaman

13 67 tercekam salinitas tetap berjalan secara kontinu, namun pemanjangan selnya terhambat. Hasil pengamatan diameter batang (Tabel 9) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada seluruh minggu pengamatan. Hal ini menunjukkan cekaman salinitas tidak berpengaruh terhadap besarnya diameter tebu. Tebu yang merupakan tanaman monokotil memang tidak mengalami pembesaran batang karena tidak memiliki kambium di batang dan besarnya diameter dipengaruhi oleh pemupukan N pada tebu (James, 2004). Pengamatan diameter yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan penyerapan nutrisi melaui akar tetap dapat berjalan dengan upaya reklamasi lahan salin dan teknik budidaya yang dilakukan di kebun tercekam salinitas. Pengamatan bobot batang dilakukan menggunakan tabel konversi bobot batang per meter berdasarkan diameter batang (Lampiran 4). Berdasarkan perhitungan tersebut, selain dipengaruhi oleh varietasnya, bobot tebu akan dipengaruhi diameter dan panjang batangnya. Pada pengamatan bobot batang (Tabel 9), didapatkan bobot batang tebu tercekam salinitas yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan kebun nonsalin pada setiap pengamatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun upaya reklamasi dan teknik budidaya yang diterapkan di lahan salin dapat menghasilkan diameter batang yang sama dengan tebu di lahan nonsalin, bobot perbatang tebu tetap lebih rendah dari tebu nonsalin. Hal ini disebabkan pertumbuhan tinggi tebu tercekam salinitas sangat terhambat (Tabel 9). Bobot batang yang rendah pada kebun salin akan mempengaruhi jumlah panen yang didapatkan. Pengamatan jumlah batang tebu dan sogolan (Tabel 10) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kebun salin dengan kebun nonsalin. Banyaknya jumlah batang menggambarkan kondisi pertumbuhan tunas-tunas baru setelah keprasan, sedangkan jumlah sogolan menggambarkan pertumbuhan tunastunas susulan yang tumbuh menjelang fase generatif tebu. Hasil pengamatan yang didapatkan menunjukkan bahwa upaya reklamasi lahan salin dan teknis budidaya tebu yang diterapkan di lahan salin dapat menghilangkan pengaruh salinitas dalam menghambat pertumbuhan tunas-tunas baru.

14 68 Brix nira tebu di lapang akan menggambarkan rendemen tebu ketika diolah menjadi gula. Berdasarkan pengamatan (Tabel 11) didapatkan bahwa nilai brix kebun salin dan kebun nonsalin tidak berbeda nyata pada pengukuran 27 MSK dan 41 MSK. Hal tersebut menunjukkan upaya reklamasi dan teknik budidaya tebu yang diterapkan di kebun salin dapat menghilangkan pengaruh buruk cekaman salinitas dalam pembentukan dan penyimpanan sukrosa pada tebu. Hal ini disebabkan oleh upaya reklamasi yang dilakukan dapat mencegah pengaruh salinitas dalam menghambat penyerapan hara (Santoso,1993). Penyerapan unsur hara yang baik oleh tanaman dapat meningkatkan rendemen (Supriyadi, 1992). Selain itu, rendemen yang sama pada kedua kebun juga dipengaruhi oleh teknik budidaya yang sama pada kedua kebun selain tata air, karena rendemen tebu dipengaruhi oleh teknis budidaya yang diterapkan (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, 2008). Pertumbuhan dan pembungaan tebu di lahan salin Pengamatan pertumbuhan (Tebel 12) menunjukkan pertumbuhan tebu selama 27 MSK sampai 41 MSK menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata untuk seluruh peubah pengamatan. Hasil pengamatan menujukkan bahwa pertumbuhan tebu di lahan salin pada periode pengamatan tersebut tidak berbeda dengan pertumbuhan tebu di lahan nonsalin. Hal ini menunjukkan pengaruh buruk salinitas pada pertumbuhan tebu tidak terjadi pada periode tersebut. Hal ini didukung dengan hasil analisis salinitas tanah di lahan salin yang menunjukkan tingkat salinitas yang redah dan dapat ditolerir oleh tanaman (Tabel 7). Meskipun pertumbuhan tebu pada periode pengamatan 27 MSK sampai 41 MSK tidak terpengaruh oleh salinitas, kondisi tanaman tebu di lahan salin menunjukkan hasil yang lebih rendah berdasarkan pengamatan tinggi tanaman (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa efek buruk salinitas terhadap pertumbuhan tebu terjadi pada masa pertumbuhan vegetatif awal setelah keprasan. Efek buruk salinitas yang terjadi pada masa vegetatif awal dikarenakan curah hujan pada masa tersebut rendah. Terjadi curah hujan yang rendah pada bulan Juli sampai September (Tabel 16) sehingga digolongkan bulan kering (Kartasapoetra, 2008). Curah hujan yang rendah pada bulan tersebut mengakibatkan tingkat salinitas

15 69 pada kebun salin bertambah dan menghambat pertumbuhan tinggi batang tebu pada fase vegetatif awal setelah keprasan. Hal ini sesuai pendapat Santoso (1993) yang menyatakan bahwa proses salinisasi akan bertambah karena curah hujan yang kurang untuk malarutkan dan mencuci garam. Salinitas juga berpengaruh pada pembungaan tebu. Hal ini menunjukkan efek salinitas berpengaruh pada percepatan pembungaan pada tebu, meskipun telah dilakukan upaya reklamasi lahan dan teknis budidaya di lahan salin. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadisaputro (2008) yang menyatakan bahwa cekaman air pada lahan salin dapat mendorong pembungaan tebu. Produktivitas tebu dan analisis usaha tani kebun tebu di lahan salin Produktivitas tebu di lahan salin (Tabel 13) berbeda nyata dan lebih rendah daripada lahan nonsalin. Hal ini menunjukkan upaya reklamasi lahan dan teknik budidaya yang telah dilakukan di kebun salin belum mampu membuat tebu berproduksi seperti lahan nonsalin. Hal ini juga menunjukkan pengaruh dari salinitas tetap terjadi pada lahan salin dan mengakibatkan rendahnya produktivitas tebu. Namun produktivitas kebun salin menunjukkan peningkatan selama tiga musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh buruk salinitas terhadap tanaman berangsur-angsur berkurang. Sehingga dapat diketahui bahwa upaya reklamasi dan teknik budidaya tebu yang telah diterapkan pada kategori tanaman PC dapat mengurangi salinitas kebun secara berangsur-angsur sampai pengamatan pada kategori RC2. Pengamatan melalui data sekunder juga dilakukan pada analisis usaha tani kebun salin. Analisis dilakukan pada masa tanam 2010/2011 pada kebun Pidodo (salin) dan kebun Gondang (nonsalin). Rata-rata keuntungan antara lahan salin dan nonsalin menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda (Tabel 14). Hal ini menunjukkan perolehan keuntungan dari usaha tebu di kedua lahan tersebut sama, meskipun produksi tebu di lahan nonsalin jauh lebih tinggi daripada lahan salin. Hal ini diakibatkan oleh biaya sewa lahan yang jauh berbeda. Biaya sewa lahan di lahan nonsalin yang merupakan lahan subur sangat tinggi. Hal ini diakibatkan juga oleh persaingan dengan komoditas lain di lahan nonsalin sehingga menyebabkan biaya sewa lahan yang tinggi. Biaya sewa di lahan salin jauh lebih

16 70 rendah diakibatkan oleh letak lahan yang kurang strategis serta kesuburan lahan yang rendah akibat cekaman salinitas. Hal ini menyebabkan tidak adanya persaingan dengan komoditas lain di lahan salin yang menyebabkan rendahnya biaya sewa lahan.

METODE MAGANG Tempat dan Waktu Metode Pelaksanaan

METODE MAGANG Tempat dan Waktu Metode Pelaksanaan 10 METODE MAGANG Tempat dan Waktu Kegiatan magang dilaksanakan di PG Cepiring, PT Industri Gula Nusantara, Kendal, Jawa Tengah, pada tanggal 14 Februari sampai 14 Juni 2011. Kegiatan pengamatan aspek khusus

Lebih terperinci

Modifikasi Teknik Budidaya untuk Menurunkan Salinitas Lahan pada Tebu (Saccharum Officinarum L.) Lahan Kering di PG Cepiring Kendal

Modifikasi Teknik Budidaya untuk Menurunkan Salinitas Lahan pada Tebu (Saccharum Officinarum L.) Lahan Kering di PG Cepiring Kendal Modifikasi Teknik Budidaya untuk Menurunkan Salinitas Lahan pada Tebu (Saccharum Officinarum L.) Lahan Kering di PG Cepiring Kendal The Modification of Cultivation for Decreasing Salinity in Sugarcane

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Aspek Khusus 6.1.1. Pengelolaan Kebun Bibit Datar di PG. Krebet Baru Pengelolaan kebun bibit berjenjang dilakukan mulai KBP (Kebun Bibit Pokok), KBN (Kebun Bibit Nenek), KBI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia 2.2. Karakteristik Usahatani Tebu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia 2.2. Karakteristik Usahatani Tebu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia Industri gula masih menghadapi masalah rendahnya tingkat produktivitas karena inefisiensi ditingkat usaha tani dan pabrik gula (Mubyarto, 1984).

Lebih terperinci

4 Akar Akar tebu terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi akar bibit. Akar ini tumb

4 Akar Akar tebu terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi akar bibit. Akar ini tumb 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tebu dan Morfologi Tebu Tebu adalah salah satu jenis tanaman monokotil yang termasuk dalam famili Poaceae, yang masuk dalam kelompok Andropogoneae, dan masuk dalam genus Saccharum.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian

Lampiran 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian Karakter Bibit Kualitas Bibit Bibit yang Digunakan dalam Penelitian Varietas Bibit PSJT 94-33 atau PS 941 Asal Bibit Kebun Tebu Giling

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM Sejarah PG Cepiring

KEADAAN UMUM Sejarah PG Cepiring 15 KEADAAN UMUM Sejarah PG Cepiring Pabrik gula Cepiring didirikan tahun 1835 oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan nama Kendalsche Suiker Onderneming sebagai suatu perseroan di atas tanah seluas 1 298

Lebih terperinci

PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG

PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG 24 PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG Aspek Teknis Kegiatan magang mencakup pengamatan dan praktek langsung kegiatankegiatan teknis di kebun. Kegiatan teknis yang telah dilakukan meliputi kegiatan pembukaan lahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan salah satu tanaman yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Letak geografis dengan iklim tropis dan memiliki luas wilayah yang

Lebih terperinci

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Aspek Teknis 6.1.1. Pengolahan Tanah Pengolahan tanah merupakan proses awal budidaya tanaman tebu. Hal ini menjadi sangat penting mengingat tercapainya produksi yang tinggi

Lebih terperinci

TEBU. (Saccharum officinarum L).

TEBU. (Saccharum officinarum L). TEBU (Saccharum officinarum L). Pada awal abad ke-20 Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor gula nomor dua terbesar di dunia setelah Kuba, namun pada awal abad ke-21 berubah menjadi negara pengimpor

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Tanaman tebu dalam dunia tumbuh-tumbuhan memiliki sistematika sebagai berikut : Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Glumaceae Famili : Graminae

Lebih terperinci

SISTEM PENGAJUAN PETANI PINJAMAN KKPE (Kredit Ketahanan Pangan Dan Energi )

SISTEM PENGAJUAN PETANI PINJAMAN KKPE (Kredit Ketahanan Pangan Dan Energi ) Lampiran 1 Lampiran 2 Beberapa keuntungan (manfaat) yang diperoleh petani mitra dalam mengikuti program kemitraan antara lain: 1. Kemudahan pengadaan bibit unggul. Dengan mengikuti kemitraan, petani tebu

Lebih terperinci

REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN

REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Saat ini terjadi ketidak seimbangan antara produksi dan konsumsi gula. Kebutuhan konsumsi gula dalam negeri terjadi peningkatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan Bapak Widyatmiko :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan Bapak Widyatmiko : 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Usahatani Tebu Usahatani tebu di Jawa memiliki karakteristik unik dan padat tenaga kerja. Lestyani (2012) mengemukakan, dalam teknis budidaya tebu ada banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam. dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta

BAB I PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam. dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tebu (Saccharum officinarum.l) merupakan bahan baku utama dalam industri gula. Pengembangan industri gula mempunyai peranan penting bukan saja dalam rangka mendorong pertumbuhan

Lebih terperinci

44 masing 15 %. Untuk petani tebu mandiri pupuk dapat diakses dengan sistem kredit dengan Koperasi Tebu Rakyat Indonesia (KPTRI). PG. Madukismo juga m

44 masing 15 %. Untuk petani tebu mandiri pupuk dapat diakses dengan sistem kredit dengan Koperasi Tebu Rakyat Indonesia (KPTRI). PG. Madukismo juga m 43 HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Teknis Pengolahan tanah Proses awal dalam budidaya tebu adalah pengolahan tanah. Kegiatan ini sangat penting karena tercapainya produksi yang tinggi salah satu faktornya adalah

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Oleh : Adi Prasongko (Dir Utama) Disampaikan : Slamet Poerwadi (Dir Produksi) Bogor, 28 Oktober 2013 1 ROAD

Lebih terperinci

L.) DI PG CEPIRING, PT INDUSTRI GULA NUSANTARA, KENDAL DENGAN ASPEK KHUSUS MODIFIKASI BUDIDAYA UNTUK MENURUNKAN SALINITAS

L.) DI PG CEPIRING, PT INDUSTRI GULA NUSANTARA, KENDAL DENGAN ASPEK KHUSUS MODIFIKASI BUDIDAYA UNTUK MENURUNKAN SALINITAS 76 PENGELOLAAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DI PG CEPIRING, PT INDUSTRI GULA NUSANTARA, KENDAL DENGAN ASPEK KHUSUS MODIFIKASI BUDIDAYA UNTUK MENURUNKAN SALINITAS ANTONIUS HARI KRISTANTO A24070001 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Tebu atau Saccharum officinarum termasuk keluarga rumput-rumputan. Mulai dari pangkal sampai ujung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu 3 TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu Tebu (Sacharum officinarum L.) termasuk ke dalam golongan rumputrumputan (graminea) yang batangnya memiliki kandungan sukrosa yang tinggi sehinga dimanfaatkan sebagai bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 50 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Kemitraan Pabrik Gula dengan Petani Kemitraan dapat dikatakan hubungan suatu teman kerja, pasangan kerja ataupun teman usaha. Kemitraan dalam hal ini dapat dibentuk oleh pihak

Lebih terperinci

Mempelajari Pertumbuhan dan Produktivitas Tebu (Saccharum Officinarum. L) dengan Masa Tanam Sama pada Tipologi Lahan Berbeda

Mempelajari Pertumbuhan dan Produktivitas Tebu (Saccharum Officinarum. L) dengan Masa Tanam Sama pada Tipologi Lahan Berbeda Mempelajari Pertumbuhan dan Produktivitas Tebu (Saccharum Officinarum. L) dengan Masa Tanam Sama pada Tipologi Lahan Berbeda Study Growth and Productivity of Sugar Cane (Saccharum officinarum L.) With

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokkan

BAB I PENDAHULUAN. Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokkan dalam famili gramineae. Seperti halnya padi dan termasuk kategori tanaman semusim, tanaman tebu tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum) termasuk dalam kelas monokotiledon, ordo Glumaceae, family Graminae dan genus Saccharum. Beberapa spesies tebu yang lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Gempol, PG Sindang Laut, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kebun berupa lahan sawah beririgasi dengan jenis tanah vertisol. Lahan percobaan

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL. ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai Potensi Pengembangan Produksi Ubi Jalar (Ipomea batatas L.)di Kecamatan Cilimus Kabupaten. Maka sebagai bab akhir pada tulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perluasan lahan pertanian di Indonesia merupakan salah satu pengembangan sektor pertanian yang dimanfaatkan dalam ekstensifikasi lahan pertanian yang semakin lama semakin

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Pabrik Gula Trangkil dalam Kerja Sama dengan Petani Tebu Rakyat di Trangkil Kabupaten Pati. Ema Bela Ayu Wardani

Tanggung Jawab Pabrik Gula Trangkil dalam Kerja Sama dengan Petani Tebu Rakyat di Trangkil Kabupaten Pati. Ema Bela Ayu Wardani Tanggung Jawab Pabrik Gula Trangkil dalam Kerja Sama dengan Petani Tebu Rakyat di Trangkil Kabupaten Pati Ema Bela Ayu Wardani A. Tulus Sartono, Siti Mahmudah Hukum Perdata Dagang/ S1, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permodalan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk mendukung usaha baik dibidang pertanian maupun non-pertanian. Seringkali modal menjadi masalah yang penting

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman tebu untuk keperluan industri gula dibudidayakan melalui tanaman pertama atau plant cane crop (PC) dan tanaman keprasan atau ratoon crop (R). Tanaman keprasan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Kelapa Sawit 3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit berasal dari benua Afrika. Delta Nigeria merupakan tempat dimana fosil tepung sari dari kala miosen yang bentuknya sangat mirip dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon Saat ini proses budidaya tebu terdapat dua cara dalam penanaman. Pertama dengan cara Plant Cane dan kedua dengan Ratoon Cane. Plant Cane adalah tanaman tebu

Lebih terperinci

VARIETAS UNGGUL BARU (PSDK 923) UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

VARIETAS UNGGUL BARU (PSDK 923) UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA VARIETAS UNGGUL BARU (PSDK 923) UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA Oleh : Afanti Septia, SP (PBT Ahli Pertama) Eko Purdyaningsih, SP (PBT Ahli Muda) PENDAHULUAN Dalam mencapai target swasembada gula, pemerintah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kebun Percobaan Natar, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 KAJIAN TEORITIS 2.1.1 Karakteristik Lahan Sawah Bukaan Baru Pada dasarnya lahan sawah membutuhkan pengolahan yang khusus dan sangat berbeda dengan lahan usaha tani pada lahan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Petani Petani adalah pelaku usahatani yang mengatur segala faktor produksi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kualitas

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENINGKATAN RENDEMEN DAN HABLUR TANAMAN TEBU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Saccharum officinarum

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Saccharum officinarum TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Dalam taksonomi tumbuhan, tebu tergolong dalam Kerajaan Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Monocotyledoneae, Ordo Glumaceae, Famili Graminae, Genus

Lebih terperinci

POLA USAHATANI PADI, UBI JALAR, DAN KATUK UNTUK MENGAKUMULASI MODAL DAN MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI

POLA USAHATANI PADI, UBI JALAR, DAN KATUK UNTUK MENGAKUMULASI MODAL DAN MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI 1 POLA USAHATANI PADI, UBI JALAR, DAN KATUK UNTUK MENGAKUMULASI MODAL DAN MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI (Studi Kasus H. Adul Desa Situ Daun, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Ach. Firman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai tetap dipandang penting oleh Pemerintah dan telah dimasukkan dalam program pangan nasional, karena komoditas ini mengandung protein nabati yang tinggi 38%, lemak

Lebih terperinci

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH 11:33 PM MASPARY Selain ditanam pada lahan sawah tanaman padi juga bisa dibudidayakan pada lahan kering atau sering kita sebut dengan budidaya padi gogo rancah. Pada sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Tanaman sorgum mempunyai daerah adaptasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas padi memiliki arti strategis yang mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat Indonesia, baik di pedesaan maupun

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan 68 V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah

Lebih terperinci

V. KACANG HIJAU. 36 Laporan Tahun 2015 Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

V. KACANG HIJAU. 36 Laporan Tahun 2015 Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi V. KACANG HIJAU 5.1. Perbaikan Genetik Kacang hijau banyak diusahakan pada musim kemarau baik di lahan sawah irigasi maupun tadah hujan. Pada musim kemarau ketersediaan air biasanya sangat terbatas dan

Lebih terperinci

TANAMAN TEBU A. PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KEBUN TEBU GILING / TEBU RAKYAT

TANAMAN TEBU A. PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KEBUN TEBU GILING / TEBU RAKYAT TANAMAN TEBU A. PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KEBUN TEBU GILING / TEBU RAKYAT Pelaksanaan pembukaan kebun tebu tebangan memerlukan kultur teknis yang baik, pedoman dibawah ini hendaknya digunakan oleh

Lebih terperinci

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny TEKNIK PENANAMAN RUMPUT RAJA (KING GRASS) BERDASARKAN PRINSIP PENANAMAN TEBU Bambang Kushartono Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Prospek rumput raja sebagai komoditas

Lebih terperinci

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS. EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN

ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN Bunyamin Z. dan N.N. Andayani Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Jagung sebagian besar dihasilkan pada lahan kering dan lahan

Lebih terperinci

BUDIDAYA PADI RATUN. Marhaenis Budi Santoso

BUDIDAYA PADI RATUN. Marhaenis Budi Santoso BUDIDAYA PADI RATUN Marhaenis Budi Santoso Peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui peningkatan indeks panen dan peningkatan produksi tanaman setiap musim tanam. Padi Ratun merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI 7.1. Produktivitas Usahatani Produktivitas merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi dari penggunaan sumberdaya yang ada (lahan) untuk menghasilkan keluaran

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan 47 PEMBAHASAN Pemangkasan merupakan salah satu teknik budidaya yang penting dilakukan dalam pemeliharaan tanaman kakao dengan cara membuang tunastunas liar seperti cabang-cabang yang tidak produktif, cabang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki luas lahan dan agroklimat yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai usaha pertanian. Indonesia juga sejak lama dikenal

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dimulai dari April 2009 sampai Agustus 2009. Penelitian lapang dilakukan di lahan sawah Desa Tanjung Rasa, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu mengumpulkan data yang berkaitan dengan kegiatan penelitian, kemudian diolah,

Lebih terperinci

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD P3GI 2017 IMPLEMENTASI INSENTIF PERATURAN BAHAN BAKU MENTERI RAW PERINDUSTRIAN SUGAR IMPORNOMOR 10/M-IND/3/2017 UNTUK PABRIK DAN GULA KEBIJAKAN BARU DAN PEMBANGUNAN PABRIK PERLUASAN PG BARU DAN YANG PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bekerja pada bidang pertanian. Menurut BPS tahun 2013, sekitar 39,96 juta orang

I. PENDAHULUAN. bekerja pada bidang pertanian. Menurut BPS tahun 2013, sekitar 39,96 juta orang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja pada bidang pertanian. Menurut BPS tahun 2013, sekitar 39,96 juta orang bekerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. zaman pendudukan Belanda. Pabrik-pabrik gula banyak dibangun di Pulau Jawa,

I. PENDAHULUAN. zaman pendudukan Belanda. Pabrik-pabrik gula banyak dibangun di Pulau Jawa, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia pernah mencapai kejayaan produksi gula pasir pada sekitar 1930 di zaman pendudukan Belanda. Pabrik-pabrik gula banyak dibangun di Pulau Jawa, yaitu mencapai 179

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menuju Swasembada Gula Nasional Tahun 2014, PTPN II Persero PG Kwala. Madu yang turut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

BAB I PENDAHULUAN. Menuju Swasembada Gula Nasional Tahun 2014, PTPN II Persero PG Kwala. Madu yang turut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Demi memenuhi Hasil Evaluasi Program Peningkatan Produktivitas Gula Menuju Swasembada Gula Nasional Tahun 2014, PTPN II Persero PG Kwala Madu yang turut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu perhatian utama dalam pembangunan nasional. Usaha peningkatan produksi bahan

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan I 2014)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan I 2014) BPS PROVINSI JAWA TIMUR PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan I 2014) No. 45/07/35/Th XII,1 Juli 2014 A. PADI Angka Tetap (ATAP) 2013 produksi Padi Provinsi Jawa Timur sebesar

Lebih terperinci

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - IRIGASI Individu petani

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - IRIGASI Individu petani 1 LAYANAN KONSULTASI PADI - IRIGASI Pilih kondisi lahan sawah Anda: O Irigasi O Tadah hujan O Rawa pasang surut Apakah rekomendasi pemupukan yang diperlukan akan digunakan untuk: O lahan sawah individu

Lebih terperinci

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN ahanan pangan nasional harus dipahami dari tiga aspek, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, salah satunya adalah dalam bidang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, salah satunya adalah dalam bidang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, salah satunya adalah dalam bidang perkebunan. Hal ini menjadikan subsektor perkebunan di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan Agronomis Bawang prei termasuk tanaman setahun atau semusim yang berbentuk rumput. Sistem perakarannya

Lebih terperinci

UPAYA DEPARTEMEN PERTANIAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DI WILAYAH PESISIR DAN. Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air

UPAYA DEPARTEMEN PERTANIAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DI WILAYAH PESISIR DAN. Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air UPAYA DEPARTEMEN PERTANIAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air SUBSTANSI I. PENDAHULUAN II. DAMPAK KENAIKAN PARAS MUKA AIR

Lebih terperinci

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI 6.1. Proses Budidaya Ganyong Ganyong ini merupakan tanaman berimpang yang biasa ditanam oleh petani dalam skala terbatas. Umbinya merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 kemudian akan digunakan untuk menduga sebaran keuntungan/kerugian kotor (gross margin) pada tiga kondisi (El Niño, dan ). Indikator ENSO yang digunakan dalam analisis ini adalah fase SOI. Keuntungan/kerugian

Lebih terperinci

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati BAB V ANALISIS KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN MENUJU SWASEMBADA GULA I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati ABSTRAK Swasembada Gula Nasional

Lebih terperinci

Kata Kunci : Biaya Total, Penerimaan, Pendapatan, dan R/C.

Kata Kunci : Biaya Total, Penerimaan, Pendapatan, dan R/C. KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA TALAS DENGAN SISTEM MONOKULTUR DAN TUMPANGSARI Danty Rinjani Aristanti Permadi 1) Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi dantybanana91@gmail.com Suyudi

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian III. TATA CARA PENELITIN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tebu (Saccharum officinarum L) merupakan tanaman tropis berasal dari Asia ataupun Papua yang pengembangannya hingga daerah sub tropis sampai batas 19 º LU dan 35 º LS (Bakker

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA

BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 19 TAHUN 2007 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN TEBU RAKYAT MUSIM TANAM TAHUN 2007/2008 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Sorgum Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae (Poaceae). Tanaman ini telah lama dibudidayakan namun masih dalam areal yang terbatas. Menurut

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Way Kanan merupakan salah satu wilayah pemekaran dari wilayah

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Way Kanan merupakan salah satu wilayah pemekaran dari wilayah 71 IV. GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Kabupaten Way Kanan Kabupaten Way Kanan merupakan salah satu wilayah pemekaran dari wilayah Kabupaten Lampung Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 12

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN 158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS KKP-E

PETUNJUK TEKNIS KKP-E PETUNJUK TEKNIS KKP-E I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dengan didasari pengalaman dalam pelaksanaan penyaluran kredit usaha pertanian, sejak Tahun 2000 telah diluncurkan Skim Kredit Ketahanan Pangan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM Letak Wilayah Administratif Luas Areal dan Tata Guna Lahan

KEADAAN UMUM Letak Wilayah Administratif Luas Areal dan Tata Guna Lahan KEADAAN UMUM Letak Wilayah Administratif PT PAL dan PT SPM I merupakan dua perusahaan yang berada dibawah Grup Lambang Jaya. PT PAL merupakan perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan, sedangkan PT

Lebih terperinci

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - TADAH HUJAN Individu petani

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - TADAH HUJAN Individu petani 1 LAYANAN KONSULTASI PADI - TADAH HUJAN Pilih kondisi lahan sawah Anda: O Irigasi O Tadah hujan O Rawa pasang surut Apakah rekomendasi pemupukan yang diperlukan akan digunakan untuk: O lahan sawah individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci