BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS"

Transkripsi

1 BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS 4.1 Tinjauan Umum Hidrotermal berasal dari kata hidro artinya air dan termal artinya panas. Adapun hidrotermal itu sendiri didefinisikan sebagai larutan panas (50 o C sampai >500 o C) yang mengandung Na, K, Ca, Cl sebagai komponen utama dan komponen lain sebagai penyusun minor seperti Mg, B, S, Sr, Co, H 2 S, NH 4, Cu, Pb, Zn, Sn, Mo, Au, dan Ag. Alterasi hidrotermal adalah proses yang sangat kompleks, berkaitan dengan kandungan mineral, kimia, dan perubahan tekstur akibat berinteraksinya larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya, dalam kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno, 1992). Pada sistem hidrotermal segala unsur logam yang terdapat didalamnya karena perubahan kondisi dan lingkungan serta temperatur akan menyebabkan pengendapan unsur tersebut dengan pembentukan mineral alterasi dan mengubah tekstur dari batuan (Gambar 4.1). Secara esensial pembentukan endapan hidrotermal (Bateman, 1960): (1)Keterdapatan larutan mineralisasi yang mampu melarutkan dan mentransportasi bahan atau material. Dengan karaktektistik berupa larutan panas dengan suhu 500 o C-50 o C (2) Keterdapatan rekahan atau bukaan dalam batuan yang dapat dilalui oleh batuan (3) Keterdapatan tempat untuk mengendapkan mineral (4) Adanya reaksi kimia yang menjadi hasil pengendapan (5) Larutan hidrotermal memiliki konsentrasi yang cukup untuk terendapkannya material mineral. Gambar 4.1 Sistematika sistem hidrotermal (NIPPONIA, 2008). 20

2 Mineral-mineral ubahan yang dihasilkan dari proses ubahan hidrotermal dapat terjadi melalui empat cara, yaitu: 1. Pengendapan langsung dari larutan pada rongga, pori, retakan membentuk urat 2. Penggantian pada mineral primer batuan untuk mencapai kesetimbangan pada kondisi dan lingkungan yang baru yang lebih stabil 3. Pelarutan dari mineral primer batuan 4. Pelemparan akibat arus turbulen dari zona didih. Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan memperlihatkan kesamaan himpunan mineral alterasi dapat dijadikan sebagai zona alterasi dengan digunakan untuk mengenali asosiasi mineral dengan mineral lainya dan fungsi kimia dari proses alterasi. Berikut merupakan klasifikasi zona alterasi menurut (Lowell dan Guilbert, 1970; dalam Pirajno, 1992): Argilik lanjut: zona ini terdiri dari rangkaian mineral alunit, diaspor dan atau piropilit, kuarsa, kalsedon, kaolinit, dan dikit. Proses pembentukan zona ini sangat dipengaruhi oleh migrasi larutan magmatik asam. Argilik: zona ini kaya dengan didominasi oleh kumpulan mineral lempung temperatur rendah seperti kaolinit, smektit, dan perlapisan antara illit dan smektit. Pembentukan terjadi dalam temperatur rendah (< 230 o C) yang dikontrol oleh fluida asam sampai netral. Propilitik : zona ini dicirikan oleh serangkaian kumpulan mineral diantaranya klorit, epidot, kalsit, mineral opak berupa pirit dan kalsit terjadi pada temperatur menengah dengan suhu 200 o C-300 o C Filik : zona ini didominasi oleh kehadiran mineral serisit, kuarsa ± anhidirit ± klorit dan kalsit. Zona ini terbentuk pada temperatur tinggi sekitar 200 o C- 400 o C. Zona ini hadir akibat adanya kontak dengan fluida meteorik yang memiliki temperatur lebih rendah dan ph yang lebih asam. Potasik : zona yang didominasi oleh kehadiran mineral sekunder berupa biotit, K-feldspar, kuarsa, dan magnetit dan mineral aksesoris berupa aktinolit, epidot, klorit dan anhidrit, dan mineral ubahan dalam jumlah sedikit berupa albit. Zona ini terbentuk dekat dengan intrusi, fluida panas bersuhu > 300 o C dan kemungkinan 400 o C o C terpengaruh kuat karakter magmatik dan salinitas tinggi. 21

3 Endapan hidrotermal menurut Lindgren (1933; dalam Batemen, 1960) dibagi hipotermal dengan suhu pembentukan ( o C), mesotermal (200 o C-300 o C), epitermal (200 o C-100 o C), teletermal (<100 o C), dan xenotermal (kedalaman dangkal, tetapi memiliki temperatur tinggi). Endapan hidrotermal dapat dibagi menjadi porfiri dan epitermal. Endapan epitermal menurut Lindgren (1933; dalam Hedenquist dkk., 2000) lingkungan epitermal adalah lingkungan dengan permukaan dangkal 1-2 km yang memiliki karakteristik endapan Au, Ag dan logam dasar serta Hg, Sb, S, kaolinit, alunit, dan silika, berdasarkan dengan jangkauan temperatur berdasarkan inklusi fluida <150 o C-300 o C. Berdasarkan tipe endapan yang terbentuk dari perbedaan sifat kimia fluida endapan epitermal dibagi menjadi dua subtipe endapan yaitu sulfida tinggi dan sulfida rendah (Gambar 4.2 dan Tabel 4.1). Gambar 4.2. Dua tipe dari endapan epitermal yaitu sistem epitermal sulfida rendah dan sistem epitermal sulfida tinggi (Hedenquist dan White, 1995) 22

4 Tabel 4.1. Perbedaan antara epitermal sulfida rendah dan sulfida tinggi (Hedenquist dan White,1995). Aspek Sulfida tinggi Sulfida rendah Pembentukan endapan Sulfat asam adularia-serisit - Vein subordinate - Open space vein - Mineral bijih tersebar dominan - Mineral bijih tersebar minor - Penggantian mineral bijih terjadi dominan - Penggantian mineral bijih minor - Stockwork ore minor - Stockwork ore terjadi Tekstur Penggantian batuan samping, breksia, urat Urat, cavity filling (bands, colloforms), breksia Mineral gangue Kuarsa, alunit, barit, kaolinit, piropilit Kuarsa, kalsedon, kalsit, adularia, illit, karbonat Mineral bijih Pirit, enargit, kalkopirit, tennantit, kovelit, emas, Pirit, elektrum, gold, sfalerit, galena, arsenopirit tellurit Alterasi hidrotermal Fluida asam (ph <1 sampai >3) Alunit, kaolinit, piropilit, Fluida netral Illit (serisit), perlapisan lempung diaspor, illit pada zona terluar Mineral logam Au, Ag, As, Cu, Sb, Bi, Hg, Te, Sn, Pb, Mo, Te/Se (K, Zn, Ag/Au) Au, Ag, As, Sb, Hg, Zn, Pb, Se, K, Ag/Au (Cu, Te/Se) 4.2 Pengamatan Petrografi Pengamatan petrografi menggunakan analisisi sayatan tipis untuk menentukan sifat fisik suatu mineral yang belum teramati jelas dalam pengamatan megaskopis. Pengamatan petrografi hanya digunakan dalam pengamatan mineral yang non logam. Selain itu, juga mengamati alterasi pada batuan tersebut, sehingga zonasi alterasi, intesitas alterasi dan paragenesa dari alterasi dapat diketahui. 23

5 Intesitas alterasi merupakan perbandingan antara volume mineral ubahan terhadap volume total keseluruhan dari mineral penyusun batuan (Browne, 1989). Intensitas alterasi (Tabel 4.2) menunjukkan pengaruh fluida hidrotermal terhadap suatu masa batuan. Variasi intensitas dapat dibagi menjadi empat tingkatan yaitu lemah, sedang, kuat, dan sangat kuat (Browne, 1989). Persentase (%) Intensitas Ubahan 0-25 % Lemah 26-50% Sedang 51-75% Kuat % Sangat kuat Tabel 4.2 Intensitas ubahan (Browne, 1989). 4.3 Pengamatan Mineragrafi Suatu batuan merupakan kumpulan dari mineral-mineral yang terdiri atas mineral logam dan mineral nonlogam. Pengamatan mineragrafi dilakukan untuk mengetahui jenis mineral logam dan hubungan antara mineral logam tersebut dengan mengamati tekstur mineral bijih tersebut. Pengamatan mineral bijih ini menggunakan sayatan poles dan mikroskop bijih (Gambar 4.3). Gambar 4.3 Mikroskop bijih dan sayatan poles. Identifikasi mineral bijih dilakukan berdasarkan sifat fisik mineral dan sifat optik dari mineral tersebut (Hadi, 1996). Sifat fisik mineral bijih meliputi bentuk kristal, habit, belahan, kembaran dan zoning, sedangkan sifat optik meliputi warna, refleksi ganda, anisotropisme, dan refleksi dalam (Craig dan Vaughan, 1981). 24

6 Sifat fisik : a. Bentuk kristal dan perawakan : identifikasi mineral bijih, mineral yang memiliki kekerasan keras cenderung membentuk bentuk kristal yang sempurna (euhedral), seperti pirit, hematit, dan magnetit, sedangkan mineral yang memiliki kekerasan rendah umumnya memiliki daya kristalisasi yang rendah, sehingga bentuk kristalnya cenderung tidak sempurna (anhedral), seperti kalkopirit, galena (Hadi, 1996). Perawakan dalam pengamatan mineralgrafi merupakan bentukan kristal tersebut, misal pirit memiliki habit kubik dan hematit memiliki perawakan menjarum (accicular). b. Belahan yang teramati bergantung pada jumlah arah bidang belah dan orientasi kristalografi terhadap bidang asah. c. Kembaran dan zoning, identifikasi berdasarkan adanya kontras warna. Kembaran disebabkan oleh perubahan orientasi dari belahan, sedangkan zoning disebabkan akibatkan oleh adanya inklusi yang tersusun secara konsentris. Sifat optik: a. Warna merupakan warna mineral bijih yang terpantulkan. Untuk pengamatan pada mineral bijih menggunakan nikol sejajar b. Refleksi ganda (Bireflectance), pada beberapa mineral yang bukan bersistem isometrik memiliki akan menunjukan perubahan intensitas warna dan perubahan warna pada saat meja mikroskop diputar dan pada pengamatan nikol sejajar, maka hal ini dapat disamakan dengan pleokroisme yang dimiliki mineral yang tembus cahaya, pada pengamatan mineral bijih disebut Refleksi ganda (Bireflectance) c. Anistropisme adalah pengamatan nikol bersilang, apabila meja mikroskop diputar 360 o, bila mineral bijih yang diamati tidak menunjukan perubahan intensitas dan warna, mineral tersebut disebut mineral isotrop dengan kata lain mineral tersebut bersistem isometrik. Untuk mineral bijih sistem lain seperti tetragonal, hexagonal, ortorombik, monoklin, dan triklin pada pengamatan anistropisme menunjukan perubahan intensitas dan warna, mineral tersebut disebut mineral anisotrop. d. Refleksi dalam adalah sifat optik yang diamati dengan menggunakan nikol bersilang, disebabkan oleh adanya penyinaran difusi yang berasal dari 25

7 bagian dalam mineral-mineral kedap cahaya yang semi tembus cahaya (Hadi, 1996). Pada umumnya pantulan sinar berasal dari retakan atau batas mineral. 4.4 Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) adalah suatu alat yang digunakan pada metoda analisis yang digunakan untuk penentuan unsur-unsur logam dan metalloid yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Gambar 4.4). Prinsip analisis cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai untuk partikel elemen dianalisis dilewatkan, kemudian beberapa dari cahaya tersebut diabsorpsi oleh atom dari sampel (Mulyani, 2007). Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) dapat digunakan untuk menentukan enam puluh satu logam. Non logam yang dapat dianalisis adalah fosfor dan boron. Dari hasil analisis AAS akan didapatkan nilai konsentrasi dari unsur dalam satuan ppm dan ppb yang kemudian akan dihitung harga ambangnya. Gambar 4.4 Diagram alat (AAS) Atomic Absorption Spectroscopy (Mulyani, 2007). 4.5 Penentuan Harga Ambang Nilai ambang adalah nilai yang berada pada perpotongan kelompok latarbelakang dan kelompok anomali. Nilai harga ambang disuatu area dengan area yang lain dapat berbeda. Hal ini, dikarenakan oleh konsentrasi unsur yang berbeda. Penentuan harga ambang memiliki fungsi untuk mengetahui batas terendah dari suatu populasi anomali. Nilai latar belakang adalah nilai rata-rata unsur di Bumi yang normal atau dengan kata lain belum termineralisasi, sedangkan nilai anomali adalah nilai penyimpangan dari nilai latarbelakang (Rose dkk., 1979). Pola penyebaran anomali dalam analisis geokimia memiliki hubungan dengan adanya mineralisasi. 26

8 Dalam penentuan harga ambang dapat menggunakan metode diantaranya metode simpangan baku dan metode kurva probabilitas Metode Simpangan Baku Metode simpangan baku adalah metode penentuan nilai ambang dengan menggunakan parameter rata-rata (Suroto, 2005). Simpangan baku adalah bentukan akar kuadrat dari suatu variasi dispresi (gambaran penyebaran nilainilai dari data geokimia) (Sinclair, 1987). Semakin besar nilai simpangan baku mencerminkan data yang dianalisis semakin tersebar heterogen dari nilai rata-rata data tersebut. Metode ini hanya dapat digunakan untuk nilai simpangan baku yang lebih kecil dari nilai rata-rata (distribusi normal). Nilai rata-rata diperoleh dengan rumus: x = n i= n n xi x = nilai rata-rata konsentrasi unsur (ppm) xi = nilai konsentrasi unsur ke i (ppm) n = jumlah data unsur Nilai simpangan baku diperoleh dengan rumus: SD = n i= 1 ( xi x) n 1 2 xi = nilai konsentrasi unsur ke i (ppm) x = nilai rata-rata konsentrasi unsur (ppm) n= jumlah data unsur SD= standar deviasi (ppm) Nilai ambang Nilai ambang = x + 2SD x = nilai rata-rata unsur (ppm) SD= standar deviasi (ppm) Metode Kurva Probabilitas Metode ini dalam analisis data geokimia untuk penentuan harga ambang menggunakan kertas semilog. Dalam menggunakan penentuan harga ambang 27

9 dengan menggunakan metode probabilitas memiliki beberapa prosedur diantaranya : a. Nilai konsentrasi unsur (data) yang memiliki satuan ppm diubah menjadi logppm b. Pada data unsur yang tersedia ditentukan nilai maksimum, nilai minimum yang selanjutnya akan ditentukan nilai dari panjang kelas (Sinclair, 1974) K = log n K= koefisien n= jumlah data ( X max X min) P = K P= panjang kelas c. Data dikelompokan menjadi kelas dengan jumlah tertentu sekitar sepuluh kelas dengan menggunakan panjang kelas yang telah dihitung dan nilai maksimum dijadikan patokan pengelompokan akhir kelas terbesar dan nilai minimum dijadikan patokan pengelompokan awal kelas d. Nilai tengah setiap kelas dihitung M ( BA BB) = 2 M= nilai tengah BA= batas atas kelas BB= batas kelas bawah e. Frekuensi dari setiap kelas dihitung jumlahnya f. Kumulatif frekuensi dari setiap kelas dihitung g. Kumulatif probabilitas (%) dihitung pada setiap kelas. Kumulatif probabilitas dihitung dari jumlah kumulatif frekuensi mulai kelas terbesar dijumlahkan dengan kelas berikutnya yang lebih kecil hingga jumlahnya mencapai 100% h. Kumulatif probabilitas dan nilai tengah diplot dalam kertas semilog. Kumulatif probabilitas menjadi bagian horizontal dari bagian kurva yang memiliki nilai skala logaritmik, sedangkan nilai tengah menjadi bagian vertikal dari kurva yang memiliki nilai skala normal. i. Pada pengplotan akan terlihat adanya populasi data. Apabila populasi tunggal, maka akan membentuk suatu garis lurus, sedangkan apabila populasi ganda akan memperlihatkan dua garis lurus yang berbeda arah. 28

10 j. Penentuan harga ambang a. Pada populasi tunggal, harga ambang tidak dapat ditentukan dengan metode ini karena hanya terdapat satu garis lurus dan tidak terdapat berpotongan b. Pada populasi ganda, perpotongan antara dua garis populasi merupakan nilai ambang (Gambar 4.5). Gambar 4.5 Kurva probabilitas dalam menentukan harga ambang. 4.6 Penentuan Asosiasi Unsur Penentuan asosiasi unsur dilakukan untuk mengetahui korelasi diantara unsurunsur yang dianalisis yang akan berimplikasi pada ciri dari tipe mineralisasi yang terdapat pada daerah penelitian. Metode yang digunakan adalah metode Pearson. Nilai koefisien Pearson (r) ditentukan dengan rumus berikut (Sinclair, 1987): r xy = koefisien Pearson x = nilai konsentrasi unsur 1 y = nilai konsentrasi unsur 2 n = jumlah data menurut Sinclair (1987), nilai koefisien korelasi Pearson berada pada kisaran antara +1 dan -1. Apabila nilai yang dekati +1 atau mencapai +1 maka korelasi antara unsur semakin kuat dan sebaliknya. 29

11 4.7 Portable Infrared Mineral Analyzer (PIMA) PIMA (Portable Infrared Mineral Analyzer) adalah metode yang digunakan dengan memanfaatkan pancaran sinar inframerah dalam menganalisis mineral khususnya mineral-mineral halus (Gambar 4.6). Material mineral yang dapat dianalisis oleh PIMA adalah hidroksil (kelompok OH); seperti pilosilikat (lempung, klorit dan mineral sepentinit), hydroxylated silicates (epidot dan amphibol), sulfat (gipsum) dan karbonat. Selain digunakan pada batuan, PIMA juga dapat digunakan untuk analisis pada tanah dan sedimen. Gambar 4.6 Perangkat analisis PIMA. Kelebihan dari PIMA diantaranya pertama merupakan alat portable yang dapat digunakan di lapangan ataupun di laboratorium. Kegiatan lapangan membantu menganalisis mineral alterasi. Kedua, pengoperasian mudah dan pembacaan sampel cepat berkisar antara 30 detik sampai 60 detik. Pengambilan data PIMA, sampel dalam keadaan kering dan sampel permukaan relatif datar. Sampel diletakkan pada lensa kecil pada instrument integrated spectronic. Perangkat lunak yang digunakan untuk pengambilan data yaitu integrated spectronic, PIMA SP/RAP Acquistion module (c) 98 version 2.1 (Gambar 4.7). Pengambilan data memiliki patokan grafik gelombang pembacaan mineral. Setiap sampel dilakukan tiga kali pengujian untuk mencapai tingkat presisi dan akurasi pengujian. Setelah tiga kali pengujian, dilakukan kaliberasi pembacaan alat. Setelah tahapan pengambilan data sampel, data diolah menggunakan perangkat lunak TSG Professional, Versi 4. Hasil analisis dan pengolahan data ditampilkan 30

12 dalam bentuk grafik antara reflektasi inframerah dan panjang gelombang inframerah (Gambar 4.8) (a) (b) Gambar 4.7 Pengambilan data mineral dengan PIMA (a) sampel rock chip diletakan diatas lensa pada integrated spectronic kemudian (b) dilakukan pengambilan data dengan perangkat lunak Intergrated Spectronic, PIMA SP/RAP Acquistion module. Reflectance Grafik patokan 16:45_R-_r1 Nomor conto analisis Grafik pembacaan SRSS > Wavelength in nm Mineral hasil pembacaan PIMA Illite; SRSS=76, SNR=2021.8, H2O=0.464 Nilai spektrum Nilai Error Gambar 4.8 Grafik analisis PIMA. Pancaran penggunaan spektrum 31

13 4.8 Inklusi Fluida Inklusi dikenal sebagai material berukuran mikro yang terdapat didalam suatu mineral, pada umumnya terdapat tiga fasa yaitu fasa padat, cair, maupun gas (Roedder, 1974; dalam Yuwono, 1994). Selama proses kristalisasi dari suatu mineral, yaitu perubahan dari fase cair menjadi padat diakibatkan oleh penurunan suhu, ada kemungkinan bahwa sebagian cairan atau larutan akan terperangkap dalam kristal tersebut, genesa seperti dikenali sebagai inklusi primer (Gambar 4.9). Genesa lainnya, setelah suatu kristal terbentuk terjadi peristiwa geologi yang menyebabkan adanya retakan halus, lalu terjadi adanya larutan hidrotermal yang mengisi retakan tersebut, kemungkinan inklusi yang terbentuk terjadi dalam fasa cair setelah proses healing disebut inklusi sekunder. Inklusi pseudosekunder adalah inklusi yang hadir saat retakan hadir kristal juga ikut tumbuh dalam retakan tersebut. Inklusi psedousekunder adalah inklusi secara deskriptif termasuk inklusi sekunder, tetapi secara genetis termasuk inklusi primer ( Roedder, 1984; dalam Yuwono,1994). Gambar 4.9 (a) Inklusi fluida primer (P) dan inklusi Pseudosekunder (Ps) (b) Pembentukan inklusi sekunder (Roedder, 1984; dalam Yuwono, 1994). Preparasi inklusi fluida untuk eksplorasi endapan bijih dipilih urat yang terisi oleh mineral sekunder yang memiliki kristal-kristal jernih berukuran kasar berbentuk euhedral dan tidak mengalami pelapukan. Menurut Yuwono (1994) mineral sekunder yang umum untuk digunakan untuk analisis inklusi adalah kuarsa, kalsit, aragonit, 32

14 gipsum, anhidrit, dan flourit, sedangkan untuk mineral bijih yang baik untuk digunakan adalah spalerit. Pengamatan inklusi dilakukan dengan pengamatan petrografi pada sayatan poles ganda. Pengamatan petrografi digunakan untuk mengetahui jenis inklusi yang selanjutnya akan berguna untuk pengukuran Tt, Tm, dan Tf. Pengukuran Th, Tf, dan Tm dilakukan dengan menggunakan perangkat yang disebut freezing and heating stage yang dipasang pada mikroskop polarisasi (Gambar 4.10). Pengukuran Tf (temperature freezing) diawali dengan pembekuan fluida, pada saat seluruh cairan berubah menjadi es. Pengukuran Tm (temperature melting) didapatkan dengan cara menaikkan temperatur secara perlahan hingga seluruh es mencair. Pengukuran Th (temperature homogenization) didapatkan dengan cara menaikan temperatur secara perlahan hingga gelembung yang terdapat dalam inklusi menghilang. Th mencerminkan temperatur minimum mineral tersebut terbentuk. Gambar 4.10 Perangkat pengamatan inklusi fluida pada saat pengukuran Th dan Tm. 33

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Alterasi dan Endapan Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan. Proses tersebut

Lebih terperinci

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46 BAB VI DISKUSI 6.1 Evolusi Fluida Hidrotermal Alterasi hidrotermal terbentuk akibat adanya fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno,

Lebih terperinci

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN 5.1 Data AAS (Atomic Absorption Spectrometry) AAS (Atomic Absorption Spectrometry) atau dikenal juga sebagai Spektrometri Serapan Atom merupakan suatu metode kimia yang

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI 6.1 Alterasi dan Fluida Hidrotermal Zona alterasi (Gambar 6.3) yang ditemukan pada Sumur BWS-H01 terdiri empat zona alterasi yaitu zona argilik (kaolinit, dikit, kuarsa sekunder,

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN 4.1 Tinjauan Umum Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAB III ALTERASI HIDROTERMAL 3.1 Tinjauan Umum White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan

Lebih terperinci

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV STUDI UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB V PENGOLAHAN DATA

BAB V PENGOLAHAN DATA BAB V PENGOLAHAN DATA Data yang didapatkan dari pengamatan detail inti bor meliputi pengamatan megakopis inti bor sepanjang 451 m, pengamatan petrografi (32 buah conto batuan), pengamatan mineragrafi (enam

Lebih terperinci

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada. ` BAB IV ALTERASI HIDROTHERMAL 4.1 Pendahuluan Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal. Oleh karena itu, mineral alterasi

Lebih terperinci

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL Alterasi adalah suatu proses yang di dalamnya terjadi perubahan kimia, mineral, dan tekstur karena berinteraksi dengan fluida cair panas (hidrotermal) yang dikontrol

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya mineral merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya pencarian lokasi sumber mineral baru. Setelah adanya

Lebih terperinci

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1 Tinjauan Umum Menurut kamus The Penguin Dictionary of Geology (1974 dalam Rusman dan Zulkifli, 1998), mineralisasi adalah proses introduksi (penetrasi atau akumulasi

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN 4.1 Alterasi Hidrotermal Daerah Penelitian 4.1.1 Pengamatan Megaskopis Pengamatan alterasi hidrotermal dilakukan terhadap beberapa conto batuan

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN III.1 Teori Dasar III.1.1 Sistem Panasbumi Sistem geotermal merupakan sistem perpindahan panas dari sumber panas ke permukaan melalui proses konveksi air meteorik

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. Teori Dasar Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat adanya interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL 3.1. Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN 4.1. KONSEP DASAR EKSPLORASI Konsep eksplorasi adalah alur pemikiran yang sistimatis, dimana kita menentukan objek dari pencaharian itu atau jenis dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat-Sifat Optik Mineral Sifat-sifat optik pada suatu mineral terbagi menjadi dua, yakni sifat optik yang dapat diamati pada saat nikol sejajar dan sifat yang dapat diamati

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA: PETROGRAFI BATUAN ALTERASI Asisten Acara: 1... 2.... 3.... 4.... Nama Praktikan :... NIM :... Borang ini ditujukan kepada praktikan guna mempermudah pemahaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karakteristik dari suatu endapan mineral dipengaruhi oleh kondisi pembentukannya yang berhubungan dengan sumber panas, aktivitas hidrotermal, karakteristik

Lebih terperinci

Bab IV Sistem Panas Bumi

Bab IV Sistem Panas Bumi Bab IV Sistem Panas Bumi IV.1 Dasar Teori Berdasarkan fluida yang mengisi reservoir, sistem panas bumi dibedakan menjadi 2, yaitu sistem panas bumi dominasi air dan sistem panasbumi dominasi uap. 1. Sistem

Lebih terperinci

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon Kuarsa sekunder adalah mineral silika yang memiliki temperatur pembentukan relatif panjang, berkisar 180 0 C hingga lebih dari 300 0 C (Reyes, 1990). Kehadiran kuarsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi tembaga dan emas yang melimpah. Sebagian besar endapan tembaga dan emas ini terakumulasi pada daerah busur magmatik.

Lebih terperinci

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1. Mineralisasi Urat Arinem Carlile dan Mitchell (1994) menyatakan bahwa endapan urat epitermal dan stockwork di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada busur kepulauan

Lebih terperinci

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum BAB V KIMIA AIR 5.1 Tinjauan Umum Analisa kimia air dapat dilakukan untuk mengetahui beberapa parameter baik untuk eksplorasi ataupun pengembangan di lapangan panas bumi. Parameter-parameter tersebut adalah:

Lebih terperinci

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan Idarwati Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan dapat diambil secara ekonomis. mineral bijih dapat

Lebih terperinci

I. ALTERASI HIDROTERMAL

I. ALTERASI HIDROTERMAL I. ALTERASI HIDROTERMAL I.1 Pengertian Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100 500 o C) sisa pendinginan magma yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya dan membentuk mineral-mineral

Lebih terperinci

SKRIPSI DWI RACHMAWATI NIM :

SKRIPSI DWI RACHMAWATI NIM : STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAN MINERALISASI BERDASARKAN UJI GEOLOGI SUMUR PEMBORAN BWS-H01 DI DESA SUMBERBOTO, KECAMATAN WONOTIRTO, BLITAR, JAWA TIMUR SKRIPSI (Tugas Akhir B) Disusun sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4 Daftar Isi v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... i

Lebih terperinci

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah... DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam mulia yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Keterdapatan mineralisasi emas di Indonesia terdapat salah satu nya berada di Selogiri,

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR ABSTRAK Sapto Heru Yuwanto (1), Lia Solichah (2) Jurusan Teknik Geologi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... x ABSTRAK... xv ABSTRACT... xvi BAB I - PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA 3.1 Data Geokimia Seperti yang telah dibahas pada bab 1, bahwa data kimia air panas, dan kimia tanah menjadi bahan pengolahan data geokimia untuk menginterpretasikan

Lebih terperinci

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT 1 Rangga Suteja, 2 Mega Fatimah Rosana, 3 Adi hardiono 1 Puslit Geopark dan kebencanaan

Lebih terperinci

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT Kisman dan Bambang Nugroho Widi Kelompok Penyelidikan Mineral, Pusat Sumber Daya Geologi SARI Gunung Senyang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Alterasi hidrotermal adalah suatu proses kompleks yang meliputi perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia yang terjadi akibat interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014 PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014 Wahyu Widodo, Bambang Nugroho Widi Kelompok Penyelidikan Mineral Logam S A R I Prospeksi mineral logam di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Eksplorasi di daerah tambang, khususnya tambang emas memerlukan pengetahuan dan konsep geologi yang memadai serta data geospasial yang akurat dan aktual. Oleh karena

Lebih terperinci

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya energi yang melimpah dan beraneka ragam, diantaranya minyak bumi, gas bumi, batubara, gas alam, geotermal, dll.

Lebih terperinci

JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN

JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN Jenis Bahan Galian Bahan Galian (Mineral) Logam: bahan galian yang terdiri dari mineral logam dan dalam pengolahan diambil/diekstrak logamnya. Bahan Galian (Mineral)

Lebih terperinci

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah BAB V MINERALISASI 5.1. Mineralisasi di daerah Sontang Tengah Studi mineralisasi pada penelitian ini dibatasi hanya pada mineralisasi Sulfida masif dengan komposisi mineral galena, sfalerit, pirit, Ag

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Menoreh terletak di ujung utara pegunungan Kulon Progo, bagian timur dari zona jajaran punggungan oblong domes / ridges, di sebelah barat perbatasan Propinsi

Lebih terperinci

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI )

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI ) Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten Rosana, M.F., Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363 rosanamf@yahoo.com;

Lebih terperinci

Mineralogi Dan Geokimia Endapan Emas Epitermal Di Paningkaban, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah

Mineralogi Dan Geokimia Endapan Emas Epitermal Di Paningkaban, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah Mineralogi Dan Geokimia Endapan Emas Epitermal Di Paningkaban, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah Rika Ernawati 1,2, Arifudin Idrus 1, Himawan Tri Bayu Murti Petrus 3 1 Teknik Geologi, FT, Universitas Gadjah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lapangan panas bumi Wayang-Windu terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Secara geografis lapangan ini terletak pada koordinat 107 o 35 00-107 o 40 00 BT dan 7 o

Lebih terperinci

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25 v DAFTAR ISI Hal. JUDUL LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... ii LEMBAR PERNYATAAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv SARI... xv ABSTRACT... xvii

Lebih terperinci

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT Mega F. Rosana 1, Hartono 2, Sandra A. Solihat 2, Nungky D. Hapsari 3, 1 Universitas Padjadjaran, Fakultas Teknik Geologi, Jalan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM GEOLOGI DAN STUDI ALTERASI HIDROTHERMAL DAN MINERALISASI DI DAERAH BUKIT DELIMA DAN SEKITARNYA, KECAMATAN OBA TENGAH, KOTA TIDORE KEPULAUAN, PROPINSI MALUKU UTARA SKRIPSI Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM.

Lebih terperinci

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN ACARA IX MINERALOGI OPTIK I. Pendahuluan Ilmu geologi adalah studi tentang bumi dan terbuat dari apa itu bumi, termasuk sejarah pembentukannya. Sejarah ini dicatat dalam batuan dan menjelaskan bagaimana

Lebih terperinci

ACARA II MINERALOGI OPTIK SIFAT-SIFAT OPTIS MINERAL DALAM PENGAMATAN PLANE POLARIZED LIGHT

ACARA II MINERALOGI OPTIK SIFAT-SIFAT OPTIS MINERAL DALAM PENGAMATAN PLANE POLARIZED LIGHT ACARA II MINERALOGI OPTIK SIFAT-SIFAT OPTIS MINERAL DALAM PENGAMATAN PLANE POLARIZED LIGHT I. Pengamatan Plane Polarized Light Pengamatan PPL (plane polarized light) merupakan pengamatan yang hanya mengunakan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA

BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA IV.1 TINJAUAN UMUM Pengambilan sampel air dan gas adalah metode survei eksplorasi yang paling banyak dilakukan di lapangan geotermal.

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Endapan mineral Batu Hijau yang terletak di Pulau Sumbawa bagian baratdaya merupakan endapan porfiri Cu-Au. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam mulia yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar keuangan di banyak

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI, MINERALISASI, DAN GEOKIMIA UNTUK PROSPEKSI EMAS DI DAERAH TIGA DESA, BENGKAYANG, KALIMANTAN BARAT

STUDI ALTERASI, MINERALISASI, DAN GEOKIMIA UNTUK PROSPEKSI EMAS DI DAERAH TIGA DESA, BENGKAYANG, KALIMANTAN BARAT STUDI ALTERASI, MINERALISASI, DAN GEOKIMIA UNTUK PROSPEKSI EMAS DI DAERAH TIGA DESA, BENGKAYANG, KALIMANTAN BARAT SKRIPSI TUGAS AKHIR B Diajukan sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana strata satu

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT 4.1 Tinjauan Umum Manifestasi permukaan panas bumi adalah segala bentuk gejala sebagai hasil dari proses sistem panasbumi

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN

BAB III METODA PENELITIAN BAB III METODA PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah pengamatan dan pengambilan sampel pada lubang bor DCT 05 dan DCT 11A urat Cibitung. Kemudian mengolah dan menganalisis data-data

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LEMBAR PETA... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam yang memiliki nilai yang tinggi ( precious metal). Tingginya nilai jual emas adalah karena logam ini bersifat langka dan tidak banyak

Lebih terperinci

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM No. Record : Judul Laporan : DATA UMUM Instansi Pelapor : Penyelidik : Penulis Laporan : Tahun Laporan : Sumber Data : Digital Hardcopy Provinsi : Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI IV.1 Pendahuluan Energi panasbumi merupakan sumber panasbumi alami di dalam bumi yang terperangkap pada kedalaman tertentu dan dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Energi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tatanan Geologi 2.1.1 Geologi Regional Secara regional endapan emas Cibaliung berada pada kompleks Honje yang terletak di baratdaya dari pulau Jawa. Kompleks Honje berada sekitar

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR.

GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR. GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR. Oleh: Wahyu Haryadi dan Tommy Rostio H ABSTRAKSI Kendali geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan sumber daya energi dan mineral semakin banyak. Salah satu yang paling banyak diminati oleh penduduk di dunia

Lebih terperinci

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI Secara geologi daerah Kabupaten Boven Digoel terletak di Peta Geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Emas (Au) telah dimanfaatkan sejak era prasejarah sebagai mineral ekonomis yang bernilai tinggi. Mineral emas dianggap berharga karena kilauan cahaya yang dipantulkan

Lebih terperinci

GEOLOGI, ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH CIURUG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

GEOLOGI, ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH CIURUG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT GEOLOGI, ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH CIURUG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT Oleh : Mohammad Tommy Agus Binsar*, Yoga Aribowo*, Dian Agus Widiarso*

Lebih terperinci

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2014 Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI Morfologi Desa Meliah terdiri dari morfologi perbukitan bergelombang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan sumberdaya mineral di Indonesia khususnya di pulau Jawa banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai penyelidikan yang dilakukan

Lebih terperinci

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT Oleh : 1) Kisman, 2) Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin meningkat seperti emas, tembaga dan logam lainnya. Hal tersebut didasari dengan meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara

BAB V PEMBAHASAN. Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara BAB V PEMBAHASAN Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara horizontal dan vertikal akibat intrusi basalt maka perlu dikorelasikan antara hasil analisis kimia, tekstur (ukuran

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL . Foto 3.8. a) dan b) Foto inti bor pada sumur BCAN 4 dan sampel breksi tuf (sampel WID-3, sumur bor BCAN-1A) yang telah mengalami ubahan zona kaolinit montmorilonit siderit. c) Mineral lempung hadir mengubah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi, dan disebut sistem porfiri karena tekstur porfiritik dari intrusi yang

Lebih terperinci

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN Jodi Prakoso B. 1, Aton Patonah 2, Faisal Helmi 2 1 Laboratorium

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011 ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS DAERAH PERTAMBANGAN RAKYAT DI PANYABUNGAN, KABUPATEN MANDAILING-NATAL, SUMATERA UTARA BERDASARKAN STUDI PIMA, PETROGRAFI, AAS DAN INKLUSI FLUIDA Nayarudin N. Rahmat Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR 4.1 Sistem Panas Bumi Secara Umum Menurut Hochstein dan Browne (2000), sistem panas bumi adalah istilah umum yang menggambarkan transfer panas alami pada volume

Lebih terperinci

EKEPLORASI UMUM BESI PRIMER DI KECAMATAN RAO, KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015

EKEPLORASI UMUM BESI PRIMER DI KECAMATAN RAO, KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 EKEPLORASI UMUM BESI PRIMER DI KECAMATAN RAO, KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 Bambang Nugroho Widi, Rudi Gunradi Kelompok Penyelidikan Mineral Logam, Pusat Sumber Daya Geologi SARI

Lebih terperinci

Berdasarkan susunan kimianya, mineral dibagi menjadi 11 golongan antara lain :

Berdasarkan susunan kimianya, mineral dibagi menjadi 11 golongan antara lain : MINERAL Dan KRISTAL Mineral didefinisikan sebagai suatu benda padat homogen yang terdapat di alam, terbentuk secara anorganik, mempunyai komposisi kimia pada batas-batas tertentu dan memiliki atom-atom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum gunung api pasifik (ring of fire) yang diakibatkan oleh zona subduksi aktif yang memanjang dari

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

Eksplorasi Umum Timah Hitam (Pb) Di Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat

Eksplorasi Umum Timah Hitam (Pb) Di Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat Dwi Nugroho Sunuhadi dan Syahya Sudarya Kelompok Program Penelitian Mineral SARI Geologi daerah Tambangan, Jorong Petok, Nagari Panti, Kabupaten Pasaman mempunyai runtunan stratigrafi dari muda ke tua,

Lebih terperinci

Bab III Teori Dasar. III.1 Sistem Panas Bumi

Bab III Teori Dasar. III.1 Sistem Panas Bumi Bab III Teori Dasar III.1 Sistem Panas Bumi Pada dasarnya di seluruh permukaan bumi memiliki energi panas bumi, namun besar dan jumlahnya tidak selalu sama. Di beberapa tempat yang berhubungan dengan daerah

Lebih terperinci

ENDAPAN MINERAL. Panduan Kuliah dan Praktikum. Sutarto Hartosuwarno Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian Teknik Geologi

ENDAPAN MINERAL. Panduan Kuliah dan Praktikum. Sutarto Hartosuwarno Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian Teknik Geologi Panduan Kuliah dan Praktikum ENDAPAN MINERAL Sutarto Hartosuwarno Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian Teknik Geologi 31 Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional Veteran YOGYAKARTA

Lebih terperinci

A B C D E A B C D E. A B C D E A B C D E // - Nikol X Nikol mm P mm

A B C D E A B C D E. A B C D E A B C D E // - Nikol X Nikol mm P mm No conto : Napal hulu Zona ubahan: sub propilitik Lokasi : Alur S. Napal Nama batuan: lava andesit 0 0.5 mm P1 0 0.5 mm Sayatan andesit terubah dengan intensitas sedang, bertekstur hipokristalin, porfiritik,

Lebih terperinci

EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo*, Rudy Gunradi* dan Juju Jaenudin** *Kelompok Penyelidikan Mineral, **Sub Bidang Laboratorium

Lebih terperinci

TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA Asri Arifin Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRACT Research

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Logam Berat Istilah "logam berat" didefinisikan secara umum bagi logam yang memiliki berat spesifik lebih dari 5g/cm 3. Logam berat dimasukkan dalam kategori pencemar lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi

BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi Metode geologi yang dipergunakan adalah analisa peta geologi regional dan detail. Peta geologi regional menunjukkan tatanan geologi regional daerah tersebut, sedangkan

Lebih terperinci

RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN

RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN Genesha Mineral Pada Lingkup Magmatik RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG Lingkup/Lingkungan

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Program

Lebih terperinci

PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT

PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT Sudarsono 1 dan Iwan Setiawan 1 1 Puslit Geoteknologi LIPI. Jln Sangkuriang, Bandung 40135 Phone +62 (22)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meilani Magdalena/

BAB I PENDAHULUAN. Meilani Magdalena/ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem porfiri merupakan suatu endapan hipotermal yang dicirikan oleh stockwork yang tersebar (disseminated) dalam massa batuan yang besar yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan aspek tektoniknya, Indonesia berada pada jalur tumbukan tiga lempeng besar dengan intensitas tumbukan yang cukup intensif. Tumbukan antar lempeng menyebabkan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL

STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL 1.1. Bentuk Endapan Bijih Terkait dengan waktu pembentukan bijih dihubungkan dengan host rock-nya, dikenal istilah singenetik dan epigenetic. Singenetik diartikan bahwa

Lebih terperinci