GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR."

Transkripsi

1 GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR. Oleh: Wahyu Haryadi dan Tommy Rostio H ABSTRAKSI Kendali geologi yang meliputi geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi yang kompleks sangat mempengaruhi kehadiran mineral-mineral yang bernilai ekonomis seperti emas dan perak di daerah telitian. Endapan emas-perak yang ada pada daerah penelitian banyak ditemukan pada tipe alterasi filik dengan zonasi urat kuarsa-vuggy yang mempunyai kandungan emas berkisar antara 0,16-0,72 ppm dan kadar perak terbesar mencapai 8 ppm. Hasil analisa inklusi fluida (temperatur homogenitas 232,2-248,40 o C) pada sampel kuarsa (level tubuh jalur urat 1) diduga tipe mineralisasi adalah epithermal tipe sulfidasi rendah (epithermal low sulphidation), diketahui pembentukan mineralisasi pada daerah Pinusan berada pada kedalaman 260 meter di bawah paleosurface dan masuk pada zona Precious Metal (Buchanan, 1981). Kata-kata kunci: Kendali geologi, Tipe mineralisasi, Epithermal PENDAHULUAN Salah satu yang mendasari diadakannya eksplorasi di daerah Pinusan Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek Propinsi Jawa Timur adalah karena Pegunungan Selatan Jawa Timur diperkirakan merupakan salah satu jalur mineralisasi di Indonesia. Daerah yang merupakan wilayah konsesi PT. Aneka Tambang Tbk. ini merupakan daerah yang dianggap cukup menarik dijadikan sebagai daerah penelitian, mengingat banyak kondisi geologi dan 1

2 mineralisasi yang perlu dipelajari seperti litologi yang menyusunnya serta tipe dan penyebaran mineralisasinya. Untuk mengetahui adanya jalur urat mineralisasi di daerah Pinusan sehingga pengembangan dan perencanaan eksploitasi dapat terarah dan efektif bagi perencanaan dan pengembangan selanjutnya, perlu dilakukan penelitian. Daerah petelitian termasuk ke dalam zona Pegunungan Selatan Jawa Timur yang merupakan jalur pegunungan yang banyak mengandung sumber daya mineral. Adanya batuan terobosan pada daerah Trenggalek menyebabkan terbentuknya mineralisasi pada batuan yang mengubah batuan menjadi bernilai ekonomis, seperti adanya kandungan emas, galena, perak pada urat-urat batuan. Berdasarkan data pendukung geologi, antara lain litologi, struktur geologi, vulkanisme dan proses magmatik, maka di wilayah petelitian mempunyai prospek terjadinya proses mineralisasi. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai geologi dan tipe mineralisasi endapan emas-perak epithermal pada daerah Pinusan kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek Propinsi Jawa Timur. Mineralisasi adalah proses introduksi (penetrasi), akumulasi suatu masa yang akan membentuk mineral bijih dan mineral penyerta (gangue) pada suatu batuan, sehingga terbentuk endapan mineral (mineral deposits) (Rinawan, Roesman dan Oesman, Zulkifli). Terkonsentrasinya mineral-mineral logam (khususnya emas dan perak) pada suatu proses mineralisasi dipengaruhi oleh adanya: 1. Proses Differensiasi Pada proses ini terjadi kristalisasi secara fraksional (fractional crystallization), yaitu pemisahan mineral-mineral berat pertama kali 2

3 dan mengakibatkan terjadinya pengendapan kristal-kristal magnetit, kromit dan ilmenit. Pengendapan kromit sering berasosiasi dengan pengendapan intan dan platinum. Larutan sulfida akan terpisah dari magma panas dengan membawa mineral Ni, Cu, Au, Ag, Pt dan Pd. 2. Adanya aliran gas yang membawa mineral-mineral logam hasil pengkayaan dari magma. Endapan bijih epithermal adalah endapan yang terbentuk pada lingkungan hidrothermal dekat permukaan, mempunyai temperatur dan tekanan yang relatif rendah berasosiasi dengan kegiatan magmatisme kalkalkali sub-aerial, sering kali (tidak selalu) endapannya dijumpai di dalam produk volkanik (dan sedimen volkanik). Tabel 1. Ciri-ciri umum endapan epithermal (Lindgreen, 1933) Kedalaman Permukaan hingga 1500 m. Temperatur C Pembentukan Pada batuan sedimen atau batuan, terutama yang berasosiasi dengan batuan intrusif dekat permukaan atau ekstrusif, biasanya disertai sesar turun, kekar, dsb. Zona bijih Urat-urat yang simple, beberapa tidak beraturan dengan pembentukan kantong-kantong bijih, juga seringkali terdapat pada pipa dan stocwork Logam bijih Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Cu, Se, Bi, U Mineral Bijih Native Au, Ag, electrum, Cu, Bi Pirit, Markasit, Sfalerit, Galena, Kalkopirit, Cinabar, Stibnite, Realgar, Orpiment, Ruby Silver, Argentite, Selenides, Tellurides. Mineral penyerta Kuarsa, Chert, Kalsedon, Ametis, Serisit, Klorit rendah Fe, (gangue) Epidot, Karbonat, Fluorit, Barite, Adularia, Alunit, Dickite, Rhodochrosite, Zeolit Ubahan batuan samping Tekstur dan Struktur Sering sedikit chertification (silifikasi), kaolinisasi, piritisisasi, dolomitisasi, kloritisisasi. Crustification (banding), sangat umum sering sebagai fine banding, cockade, vugs, urat terbreksikan. Ukuran butir (kristal) sangat bervariasi 3

4 Beberapa endapan epithermal pada umumnya (tidak selalu) endapannya dijumpai dalam produk volkanik (dan sedimen volkanik). Dalam sistem epithermal sulfidasi rendah, fluida magmatik yang didominasi gas (SO 2 dan HCl) direduksi pada saat bereaksi dengan batuan samping (wall rock) sehingga terjadi dilusi (pengenceran) akibat adanya sirkulasi fluida meterorik (air hujan). Proses tersebut terjadi pada bagian bawah dari sistem sulfidasi rendah yang membawa zat volatil (termasuk unsur logam didalamnya), hal ini menyebabkan fluida didominasi oleh H 2 S sebagai sumber sulfur yang paling besar yang juga melarutkan garam (terutama NaCl) pada temperatur o C dan kedalaman m (Hedenquist & Houghton, 1988 dalam Corbett dan Leach, 1996) [Gambar 1]. Gambar 1. Model Mineralisasi Emas Perak Pacific Rim. (Corbett & Leach, 1996) Inklusi fluida (Fluid Inclusion) adalah material fluida berukuran mikro yang terdapat dalam suatu mineral yang umumnya hadir dalam bentuk tiga 4

5 fase/fluida, yaitu padat, cait atau gas. Fluida tersebut mengisi sisa ruangan dan terperangkap pada saat pendinginan karena adanya perbedaan koefisien tingkat penyusutan yang lebih besar dari pada mineral pengandungnya (Yuwono, 1994). Adanya pertumbuhan kristal yang tidak sempurna mengakibatkan fluida pada kristal terperangkap dalam rongga tipis yang biasanya berukuran < 100 µm (Evans, 1982). Permasalahan yang akan diteliti yaitu geologi daerah telitian beserta keberadaan urat/vein yang mengandung mineral bijih yang bersifat ekonomis yang nantinya menyangkut dana operasional untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut. Permasalahan tersebut dirumuskan menjadi: (1) Bagaimana kendali geologi terhadap kehadiran mineral emas-perak di daerah telitian? (2) Bagaimana pola penyebaran zona mineralisasi melalui media/rekahan yang berkembang? dan (3) Bagaimana hubungan mineralisasi yang berasosiasi dengan endapan emas-perak pada daerah telitian? Penelitian ini bertujuan mencari penyebaran vein-vein dan pola struktur geologi pada daerah dibentuk oleh dua arah urat (vein) yang tidak menerus disekitar Gunung Mranggu, penyebaran zona mineralisasi dengan menggunakan parit uji dan hubungan mineralisasi yang berasosiasi dengan endapan emas-perak yang ada pada daerah telitian. METODE PENELITIAN Metode Kualitatif. Jenis dan pemrosesan data yang dihimpun dari lapangan atau daerah penelitian secara regional maupun detail dari daerah telitian, yaitu: (a) Pemetaan geologi permukaan yang akan diproses menjadi peta geologi, peta lintasan, profil, peta sebaran trenching dan peta alterasi, dan (b) Sampling, digunakan untuk menganalisis batuan yang meliputi, 5

6 analisis petrografi, mineragrafi, AAS dan inklusi fluida. Metode yang digunakan adalah channel sampling, yaitu sampel diambil dengan cara membuat alur pada parit, test-pit. Metode Kuantitatif. Metode yang dilakukan di laboratorium, meliputi: (a) Analisa stereografis, digunakan untuk mengetahui jenis struktur geologi yang bekerja pada daerah telitian, serta arah umum kekar yang ada pada daerah telitian. (b) Analisa Petrografi, digunakan untuk mengetahui dan menentukan jenis mineral mineral penyusun litologi (batuan samping) dan urat mikroskopis dan digunakan juga untuk identifikasi mineral sekunder yang terbentuk oleh alterasi hidrothermal sehingga dapat ditentukan tipe alterasinya. (c) Analisa Mineragrafi, digunakan untuk mengidentifikasi mineral bijih penyusun urat dan batuan samping. Dan (d) Analisis inklusi fluida dan analisis kimia. Data-data inklusi fluida, meliputi data temperatur homogenisasi (Th), temperatur pelelehan (Tm) dan salinitas fluida hidrothermal. Data-data ini dianalisis untuk mendapatkan/mengetahui kedalaman dan temperatur pembentukan mineralisasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Geologi Daerah Telitian Geomorfologi. Berdasarkan pengontrol morfologinya maka daerah telitian mempunyai bentukan asal struktural yang terbagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfik, yaitu: 1. Punggungan monoklin (S2). Satuan geomorfik ini menempati kurang lebih 15% dari luas daerah telitian. Disusun oleh perselingan breksi volkanik dengan lava yang sebagian sudah mengalami pelapukan. 6

7 2. Perbukitan Monoklin Bergelombang Kuat (S3). Satuan geomorfik ini menempati kurang lebih 45% dari luas daerah telitian. Disusun oleh perselingan breksi volkanik dengan lava batupasir tufan 3. Perbukitan Monoklin Bergelombang Lemah (S4). Satuan geomorfik ini menempati kurang lebih 30% dari luas daerah telitian Stratigrafi. Stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Satuan Breksi Vulkanik Mandalika dan Satuan Lava Mandalika. Tabel 2. Stratigrafi Daerah telitian UMUR FORMASI SATUAN BATUAN Oligosen Mandalika Lava Miosen Mandalika Awal Breksi volkanik mandalika SIMBOL PEMERIAN Satuan batuan ini menempati kurang lebih 3% dari total luas keseluruhan, warna abu-abu, kecoklatan, masif, hipokristalin, granularitas, fanerik halus, inequigranular, komposisi: kuarsa, biotit, plagioklas Satuan batuan ini menempati kurang lebih 97% dari total luas keseluruhan, coklat kehitaman, masif, fragmen: andesit, basal, trakit, silika, berbutir halus sampai kerakal, buruk, menyudut tanggung, terbuka Struktur geologi. Struktur geologi yang dijumpai pada daerah telitian antara lain berupa: (1) Struktur monoklin, dipengaruhi oleh lapisan miring 7

8 yang hanya satu arah. Secara umum kemiringan lapisan litologi pada daerah Pinusan sebesar 32 o dengan penyebaran litologi berupa breksi vulkanik, lava dan batupasir tufan, (2) Sesar (Patahan). Di daerah penelitian, peneliti menemukan dua buah bidang sesar berlokasi di Gunung Mranggu dan Kaligandul dengan lokasi pengamatan pada LP 25 dan LP 47. Sesar Gunung Mranggu. Di lokasi ini dijumpai kenampakan gores garis dan cermin sesar dengan step gash menunjukkan pergerakan ke kanan. Sesar ini memotong jalur urat mineralisasi. Hasil pengukuran gores garis diketahui arah bearing yaitu N 196 o E dengan besar sudut penunjaman (plunge) yang dibentuk 29 o dan Rake 32 o. Berdasarkan pada klasifikasi Rickard, 1972 diketahui jenis sesar tersebut adalah Normal Right Slip Fault. Sesar Kaligandul. Kedudukan bidang sesar hasil pengukuran di Kaligandul (LP 47) menunjukkan kedudukan bidang 65 o pada N 093 o E dengan pergerakan relatif ke kanan. Hasil pengukuran gores garis diketahui arah bearing yaitu N 114 o E dengan besar sudut penunjaman (plunge) yang dibentuk 38 o dengan rake 46 o. Hasil pengukuran diperkirakan Hanging wall relatif turun. Berdasarkan pada klasifikasi Rickard, 1972 diketahui jenis sesar tersebut adalah Right Normal Right Slip Fault. (3) Kekar (rekahan). Data-data kekar yang berhasil di dapat berada pada 8 (delapan) lokasi yang berbeda yaitu pada LP 4, LP 7, LP 9, LP 28, LP 29, LP 32, LP 35, LP 52, dan LP 68. Kumpulan data kekar kemudian dilakukan analisa menggunakan Stereo Net (The Polar Equal Area Net dan Kalsbeek Counting Net). Dari hasil analisa didapatkan data-data sebagaimana pada tabel 3. Metode Channel sampling, yaitu suatu metode dalam pengambilan sampel batuan (channel sampling) yang dilakukan dengan menelusuri arah urat/vein dan membuat bukaan parit hingga urat mineralisasi tersingkap di permukaan dengan posisi parit memotong tubuh urat mineralisasi. Data-data 8

9 pengukuran hasil pembuatan parit yang dilakukan pada LP 24, LP 29, Lp 69, dan LP 70, yaitu sebagaimana tertera pada Tabel 4. Tabel 3. Kedudukan umum Kekar (rekahan) daerah telitian No Kedudukan umum No Kedudukan umum LP LP 4 72 o pada N 340 o E dan 7 70 o pada N 189 o E 60 o pada N 130 o E 9 71 o pada N 160 o E o pada N 184 o E, 69 o pada N 211 o E, dan 72 o pada N 275 o E o pada N 315 o E dan 71 o pada N 218 o E o pada N 061 o E 68 o pada N 183 o E, dan 70 o pada N 213 o E o pada N 192 o E o pada N 059 o E 71 o pada N 186 o E, dan 73 o pada N 218 o E, dan 72 o pada N 268 o E o pada N 188 o E - Jalur Urat Mineralisasi Mranggu. Struktur yang terisi mineralisasi diinterpretasikan terjadi sebelum adanya aktivitas hidrothermal. Struktur ini diperlukan guna tersedianya rongga/ruang untuk dilaluinya larutan hidrothermal sekaligus sebagai tempat pengendapan mineralisasi (Bateman, 1981). Jalur urat mineralisasi pada daerah Pinusan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu jalur urat mineralisasi Mranggu 1 dengan arah N 216 o E (relatif Timurlaut-baratdaya) dan jalur urat mineralisasi Mranggu 2 dengan arah N 182 o E (relatif utara-selatan). Kedudukan urat hasil pengukuran pada jalur urat mineralisasi Mranggu 2 yaitu sebagai berikut: N 183 o E/78 o, N 174 o E/80 o, N 177 o E/82 o, N 189 o E/76 o, N 184 o E/78 o, dan N 191 o E/79 o Mineral Bijih. Kehadiran mineral bijih dapat diamati secara langsung di lapangan dan dilakukan analisa mineragrafi pada sayatan poles contoh urat mineralisasi yang ada pada daerah telitian. 9

10 LP Panjang (m) Tabel 4. Data-data pengukuran hasil pembuatan parit Kedalaman (m) Hasil Pengukuran Ketebalan urat mineralisasi (m) Kedudukan urat Keterangan Disertai ,5 3 N 218 o E / 80 o dengan pengambilan sampel batuan untuk analisa petrografi dan mineragrafi ,5 Tidak ditemukan adanya urat mineralisasi ,4 2,4 N 189 o E / Disertai 76 o dengan pengambilan sampel batuan untuk analisa petrografi dan mineragrafi ,3 N 184 o E / 78 o Tidak dilakukan pengambilan sampel batuan karena sudah mengalami pelapukan 10

11 Pengamatan secara megaskopis dan hasil analisa minegrafi sayatan poles contoh TM-4, TM 8, TM 18, TM 20, TM 26, TM 32. Maka mineral bijih yang berkembang pada daerah Pinusan adalah kalkopirit (CuF e S 2 ), pyrit (FeS 2 ), magnetit (Fe 2 O 4 ), hematit (Fe 2 O 3 ), perak (Ag), emas (Au). Analisis Data AAS (Atomic Absorption spectrophotometry) dan Inklusi Fluida Kadar Endapan Emas-Perak daerah Pinusan Kandungan emas dan perak yang ada pada daerah telitian dapat diketahui dari hasil analisis AAS (Atomic Absorption spectrophotometry). Pada zona kuarsa-vuggy endapan emas hadir dengan kadar berkisar 0,16 0,72 ppm dan kadar endapan peraknya bervariatif dengan kadar tertinggi 8 ppm. Sedang pada zona urat Brecciated endapan emas hadir dengan kadar berkisar 0,08 0,16 dan kadar perak tertinggi 2 ppm. Analisis inklusi Fluida Berdasarkan Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur yang disusun oleh Hanang Samodra, dkk (1992) diperkirakan ketebalan overburden sebelum proses mineralisasi adalah sekitar 1050 m, sehingga dengan perhitungan didapatkan angka tekanan (pressure) sekitar 278 bars (27,8 Mpa). Adanya perkiraan erosi yang mengenai beberapa satuan batuan pada saat mineralisasi terbentuk, maka untuk koreksi Th menggunakan tekanan overburden dibawahnya yaitu berkisar 25 Mpa. Dari data Th yang ada didapatkan mean Th yaitu 239,63 o C, kemudian diplotkan dalam diagram Potter, 1977 dalam Shepherd et.al, 1985 (gambar 9), sehingga diperoleh angka koreksi temperatur sebesar 19 o C. 11

12 Tabel 5. Hubungan tipe alterasi dengan kandungan emas-perak Daerah Pinusan Urat 1 Kode sampel Zona ubahan Zona urat Analisa AAS (ppm) Au Ag MGU 222 Propilitik < 0,05 < 1 MGU 232 Argilik < 0,05 < 1 MGU 235 Propilitik < 0,05 < 1 MGU 237 Argilik < 0,05 < 1 MGU 174 Filik Brecciated 0,08 < 1 MGU 172 Filik Kuarsa-vuggy 0,16 2 MGU 171 Filik Kuarsa-vuggy 0,30 3 MGU 175 Filik Kuarsa-vuggy 0,70 7 MGU 173 Filik Kuarsa-vuggy 0,72 8 Urat 2 Kode Zona ubahan Zona urat Analisa AAS (ppm) sampel Au Ag MGU 156 Propilitik < 0,05 < 1 MGU 158 Argilik < 0,05 < 1 MGU 162 Propilitik < 0,05 < 1 MGU 152 Filik Brecciated 0,10 1 MGU 153 Filik Brecciated 0,12 1 MGU 151 Filik Brecciated 0,16 2 Kedalaman pembentukan mineralisasi dapat diketahui dari hasil plotting mean Th terkoreksi, yaitu 19 o C dan salinitas inklusi fluida rata-rata (% wt NaCl eq), yaitu 1, pada kurva Haas, 1977 dalam Shepherd et.al, 1985 (Gambar 10), kemudian dapat diketahui hasil kedalaman mineralisasi, yaitu pada kedalaman 260 m dari paleosurface. Berdasarkan jenis maupun sebaran batuan alterasi ditambah dari data analisa fluid inclusion (temperatur homogenisasi berkisar antara 232,2 o C 248,30 o C), maka tipe mineralisasi daerah Pinusan adalah Epithermal Low Sulphidation pada elevasi Zona 12

13 Precious Metal (berdasarkan Hayba, dkk 1986, Heald, dkk 1987, White & Hedenquist, 1995). 13

14 KESIMPULAN 1. Kendali geologi yang terdiri dari geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi mempengaruhi keberadaan mineral bijih 2. Endapan emas-perak yang ada pada daerah penelitian banyak ditemukan pada tipe alterasi filik dengan zonasi urat kuarsa-vuggy yang mempunyai kandungan emas berkisar antara 0,16-0,72 ppm dan kadar perak terbesar mencapai 8 ppm. 3. Berdasarkan jenis maupun sebaran batuan alterasi dan hasil analisa inklusi fluida (temperatur homogenitas 232,2-248,40 o C) yang dilakukan pada sampel kuarsa (level tubuh jalur urat 1) diduga tipe mineralisasi adalah epithermal tipe sulfidasi rendah, diketahui pembentukan mineralisasi pada daerah Pinusan berada pada kedalaman 260 meter dibawah paleosurface dan masuk pada zona Precious Metal (Buchanan, 1981). DAFTAR PUSTAKA Meinert,L.D Gold skarn Deposits-Geology and Exploration Criteria; in The Geology of Gold Deposits; The Perspective in 1988, Economic geology, Monograph 6, pages Corbett, G.J., dan Leanch, T.M Southwest Pacific Rim Gold-Copper System : Structure, Alteration and Mineralization, CMS New Zealand Ltd, Auckland, New Zealand, 374 h Pirajno, F Hydrotermal Mineral Deposits. Principles and Fundamental Concepts for The Exploration Geologist, Springer Verlag, Berlin, Heidenberg, New York, London, Paris. Sukandarrumidi Geologi Mineral Logam, Gadjah Mada University Press. Van Bemmelen, R.W The Geology of Indonesia, The Hague, Martinus Nijholff, vol. IA. 732 p. 14

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46 BAB VI DISKUSI 6.1 Evolusi Fluida Hidrotermal Alterasi hidrotermal terbentuk akibat adanya fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Alterasi dan Endapan Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan. Proses tersebut

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR ABSTRAK Sapto Heru Yuwanto (1), Lia Solichah (2) Jurusan Teknik Geologi

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI 6.1 Alterasi dan Fluida Hidrotermal Zona alterasi (Gambar 6.3) yang ditemukan pada Sumur BWS-H01 terdiri empat zona alterasi yaitu zona argilik (kaolinit, dikit, kuarsa sekunder,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM GEOLOGI DAN STUDI ALTERASI HIDROTHERMAL DAN MINERALISASI DI DAERAH BUKIT DELIMA DAN SEKITARNYA, KECAMATAN OBA TENGAH, KOTA TIDORE KEPULAUAN, PROPINSI MALUKU UTARA SKRIPSI Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM.

Lebih terperinci

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV STUDI UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB V PENGOLAHAN DATA

BAB V PENGOLAHAN DATA BAB V PENGOLAHAN DATA Data yang didapatkan dari pengamatan detail inti bor meliputi pengamatan megakopis inti bor sepanjang 451 m, pengamatan petrografi (32 buah conto batuan), pengamatan mineragrafi (enam

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LEMBAR PETA... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam yang memiliki nilai yang tinggi ( precious metal). Tingginya nilai jual emas adalah karena logam ini bersifat langka dan tidak banyak

Lebih terperinci

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah BAB V MINERALISASI 5.1. Mineralisasi di daerah Sontang Tengah Studi mineralisasi pada penelitian ini dibatasi hanya pada mineralisasi Sulfida masif dengan komposisi mineral galena, sfalerit, pirit, Ag

Lebih terperinci

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25 v DAFTAR ISI Hal. JUDUL LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... ii LEMBAR PERNYATAAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv SARI... xv ABSTRACT... xvii

Lebih terperinci

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah... DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL Alterasi adalah suatu proses yang di dalamnya terjadi perubahan kimia, mineral, dan tekstur karena berinteraksi dengan fluida cair panas (hidrotermal) yang dikontrol

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN 4.1 Tinjauan Umum Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Menoreh terletak di ujung utara pegunungan Kulon Progo, bagian timur dari zona jajaran punggungan oblong domes / ridges, di sebelah barat perbatasan Propinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA: PETROGRAFI BATUAN ALTERASI Asisten Acara: 1... 2.... 3.... 4.... Nama Praktikan :... NIM :... Borang ini ditujukan kepada praktikan guna mempermudah pemahaman

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4 Daftar Isi v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... i

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum gunung api pasifik (ring of fire) yang diakibatkan oleh zona subduksi aktif yang memanjang dari

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan sumber daya energi dan mineral semakin banyak. Salah satu yang paling banyak diminati oleh penduduk di dunia

Lebih terperinci

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI Secara geologi daerah Kabupaten Boven Digoel terletak di Peta Geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Eksplorasi di daerah tambang, khususnya tambang emas memerlukan pengetahuan dan konsep geologi yang memadai serta data geospasial yang akurat dan aktual. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1 Tinjauan Umum Menurut kamus The Penguin Dictionary of Geology (1974 dalam Rusman dan Zulkifli, 1998), mineralisasi adalah proses introduksi (penetrasi atau akumulasi

Lebih terperinci

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan Idarwati Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan dapat diambil secara ekonomis. mineral bijih dapat

Lebih terperinci

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI )

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI ) Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten Rosana, M.F., Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363 rosanamf@yahoo.com;

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN...

HALAMAN PENGESAHAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR FOTO... xiii DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR

Lebih terperinci

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada. ` BAB IV ALTERASI HIDROTHERMAL 4.1 Pendahuluan Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal. Oleh karena itu, mineral alterasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam mulia yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar keuangan di banyak

Lebih terperinci

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN 5.1 Data AAS (Atomic Absorption Spectrometry) AAS (Atomic Absorption Spectrometry) atau dikenal juga sebagai Spektrometri Serapan Atom merupakan suatu metode kimia yang

Lebih terperinci

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT Mega F. Rosana 1, Hartono 2, Sandra A. Solihat 2, Nungky D. Hapsari 3, 1 Universitas Padjadjaran, Fakultas Teknik Geologi, Jalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Barat. 18 3. Breksi Tuf Breksi tuf secara megaskopis (Foto 2.9a dan Foto 2.9b) berwarna abu-abu

Lebih terperinci

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT 1 Rangga Suteja, 2 Mega Fatimah Rosana, 3 Adi hardiono 1 Puslit Geopark dan kebencanaan

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam mulia yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Keterdapatan mineralisasi emas di Indonesia terdapat salah satu nya berada di Selogiri,

Lebih terperinci

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT Kisman dan Bambang Nugroho Widi Kelompok Penyelidikan Mineral, Pusat Sumber Daya Geologi SARI Gunung Senyang

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Alterasi hidrotermal adalah suatu proses kompleks yang meliputi perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia yang terjadi akibat interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang lalui oleh 3 lempeng benua dan samudra yang masih aktif sampai saat ini. Pergerakan ketiga lempeng tersebut mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAB III ALTERASI HIDROTERMAL 3.1 Tinjauan Umum White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan

Lebih terperinci

ALTERASI LAPANGAN SARIDI, KABUPATEN DOMPU

ALTERASI LAPANGAN SARIDI, KABUPATEN DOMPU ALTERASI LAPANGAN SARIDI, KABUPATEN DOMPU Ge Fitri Perdani 1), Mega Fatimah Rosana 2), Cecep Yandri Sunarie 2) 1) Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, 2) Laboratorium Petrologi dan Mineralogi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi tembaga dan emas yang melimpah. Sebagian besar endapan tembaga dan emas ini terakumulasi pada daerah busur magmatik.

Lebih terperinci

POTENSI ENDAPAN EMAS SEKUNDER DAERAH MALINAU, KALIMANTAN TIMUR

POTENSI ENDAPAN EMAS SEKUNDER DAERAH MALINAU, KALIMANTAN TIMUR POTENSI ENDAPAN EMAS SEKUNDER DAERAH MALINAU, KALIMANTAN TIMUR Adi Hardiyono Laboratorium Petrologi dan Mineralogi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ABSTRACT The purpose study to recognize

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin meningkat seperti emas, tembaga dan logam lainnya. Hal tersebut didasari dengan meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, 20 Desember Penyusun III

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, 20 Desember Penyusun III KATA PENGANTAR Syaloom, Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, berkat kasih-nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan judul Geologi, Alterasi dan Mineralisasi

Lebih terperinci

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN 4.1. KONSEP DASAR EKSPLORASI Konsep eksplorasi adalah alur pemikiran yang sistimatis, dimana kita menentukan objek dari pencaharian itu atau jenis dan

Lebih terperinci

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN Jodi Prakoso B. 1, Aton Patonah 2, Faisal Helmi 2 1 Laboratorium

Lebih terperinci

EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo*, Rudy Gunradi* dan Juju Jaenudin** *Kelompok Penyelidikan Mineral, **Sub Bidang Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI UTARA

PROVINSI SULAWESI UTARA INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SITARO PROVINSI SULAWESI UTARA Oleh: Dendi Surya K., Bakrun, Ary K. PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI SARI Wilayah Kabupaten Kepulauan Sitaro terdiri dari gabungan 3 pulau

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Melalui interpretasi peta topografi dan citra udara serta analisis pola kerapatan kontur yang didasarkan pada klasifikasi van Zuidam, 1985, tatanan umum

Lebih terperinci

Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat

Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Artikel Ilmiah: STUDI PETROLOGI oleh : Ingrid Amanda Samosir 270110090020 FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... x ABSTRAK... xv ABSTRACT... xvi BAB I - PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya mineral merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya pencarian lokasi sumber mineral baru. Setelah adanya

Lebih terperinci

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon Kuarsa sekunder adalah mineral silika yang memiliki temperatur pembentukan relatif panjang, berkisar 180 0 C hingga lebih dari 300 0 C (Reyes, 1990). Kehadiran kuarsa

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian

Lebih terperinci

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Armin Tampubolon Kelompok Program Penelitian Mineral SARI Secara regional, Pulau Sumba disusun oleh litologi yang berdasar

Lebih terperinci

Disusun Oleh: Alva. Kurniawann

Disusun Oleh: Alva. Kurniawann LAPORAN PENYELIDIKAN SEMENTARA POTENSI EMAS DI HEGARMANAH, KECAMATAN GEGERBITUNG, KABUPATEN SUKABUMI Disusun Oleh: Alva Kurniawann RESEARCH AND DEVELOPMENT OF GEOSCIENCE AND ENVIRONMENTAL MATTER (RED-GEM)

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi II.1. Kriteria Geologi Kriteria geologi merupakan gejala yang mengendalikan terdapatnya endapan mineral dan pengetahuan ini bertujuan melokalisir daerah yang mempunyai

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN ALTERASI HIDROTERMAL DI GUNUNG BATUR, WEDIOMBO, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DI YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN ALTERASI HIDROTERMAL DI GUNUNG BATUR, WEDIOMBO, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DI YOGYAKARTA M1O-01 GEOLOGI DAN ALTERASI HIDROTERMAL DI GUNUNG BATUR, WEDIOMBO, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DI YOGYAKARTA Arifudin Idrus 1 *, Lucas Donny Setijadji 1, I Wayan Warmada 1, Wilda Yanti Mustakim 1

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL . Foto 3.8. a) dan b) Foto inti bor pada sumur BCAN 4 dan sampel breksi tuf (sampel WID-3, sumur bor BCAN-1A) yang telah mengalami ubahan zona kaolinit montmorilonit siderit. c) Mineral lempung hadir mengubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perubahan perekonomian secara global dapat mempengaruhi kondisi ekonomi pada suatu negara. Salah satunya adalah nilai tukar uang yang tidak stabil, hal tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan sumberdaya mineral di Indonesia khususnya di pulau Jawa banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai penyelidikan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA Asri Arifin Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRACT Research

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1. Mineralisasi Urat Arinem Carlile dan Mitchell (1994) menyatakan bahwa endapan urat epitermal dan stockwork di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada busur kepulauan

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Endapan mineral Batu Hijau yang terletak di Pulau Sumbawa bagian baratdaya merupakan endapan porfiri Cu-Au. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

Bab IV Sistem Panas Bumi

Bab IV Sistem Panas Bumi Bab IV Sistem Panas Bumi IV.1 Dasar Teori Berdasarkan fluida yang mengisi reservoir, sistem panas bumi dibedakan menjadi 2, yaitu sistem panas bumi dominasi air dan sistem panasbumi dominasi uap. 1. Sistem

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PROSPEKSI AIR BUNGINAN, KECAMATAN AIR MURING, KABUPATEN KETAUN, BENGKULU

GEOLOGI DAN STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PROSPEKSI AIR BUNGINAN, KECAMATAN AIR MURING, KABUPATEN KETAUN, BENGKULU GEOLOGI DAN STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PROSPEKSI AIR BUNGINAN, KECAMATAN AIR MURING, KABUPATEN KETAUN, BENGKULU SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 Program Studi

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. Teori Dasar Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat adanya interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2014 Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI Morfologi Desa Meliah terdiri dari morfologi perbukitan bergelombang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Emas (Au) telah dimanfaatkan sejak era prasejarah sebagai mineral ekonomis yang bernilai tinggi. Mineral emas dianggap berharga karena kilauan cahaya yang dipantulkan

Lebih terperinci

Bab I - Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Bab I - Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBPE) Gunung Pongkor, yang merupakan daerah konsesi PT. Aneka Tambang, adalah salah satu endapan emas epitermal di Indonesia

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

I. ALTERASI HIDROTERMAL

I. ALTERASI HIDROTERMAL I. ALTERASI HIDROTERMAL I.1 Pengertian Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100 500 o C) sisa pendinginan magma yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya dan membentuk mineral-mineral

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN III.1 Teori Dasar III.1.1 Sistem Panasbumi Sistem geotermal merupakan sistem perpindahan panas dari sumber panas ke permukaan melalui proses konveksi air meteorik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Emas termasuk bahan galian mineral logam mulia yang harganya sangat tinggi sehingga keberadaannya perlu diteliti secara detail. Oleh karena itu penelitian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH

KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH Arifudin Idrus*, Dian Yesy Fatimah, Fahmi Hakim Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. jenis dan kandungan logam lain yang berasosiasi dengannya. Emas terbentuk dari

BAB III TEORI DASAR. jenis dan kandungan logam lain yang berasosiasi dengannya. Emas terbentuk dari BAB III TEORI DASAR 3.1 Genesa Emas (Gold Genesis) Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5 3 (skala Mohs), berat jenisnya tergantung pada jenis dan

Lebih terperinci

KETERDAPATAN BAHAN GALIAN GALENA DI DAERAH CIGEMBLONG, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN

KETERDAPATAN BAHAN GALIAN GALENA DI DAERAH CIGEMBLONG, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN Keterdapatan bahan galian Galena di Daerah Cigelembong, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (Mega Fatimah Rosana, Euis Tintin Yuningsih, & Adi Hardiyono) KETERDAPATAN BAHAN GALIAN GALENA DI DAERAH CIGEMBLONG,

Lebih terperinci

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014 PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014 Wahyu Widodo, Bambang Nugroho Widi Kelompok Penyelidikan Mineral Logam S A R I Prospeksi mineral logam di Kabupaten

Lebih terperinci

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM No. Record : Judul Laporan : DATA UMUM Instansi Pelapor : Penyelidik : Penulis Laporan : Tahun Laporan : Sumber Data : Digital Hardcopy Provinsi : Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

SKRIPSI DWI RACHMAWATI NIM :

SKRIPSI DWI RACHMAWATI NIM : STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAN MINERALISASI BERDASARKAN UJI GEOLOGI SUMUR PEMBORAN BWS-H01 DI DESA SUMBERBOTO, KECAMATAN WONOTIRTO, BLITAR, JAWA TIMUR SKRIPSI (Tugas Akhir B) Disusun sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT Oleh : 1) Kisman, 2) Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral

Lebih terperinci

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS 4.1 Tinjauan Umum Hidrotermal berasal dari kata hidro artinya air dan termal artinya panas. Adapun hidrotermal itu sendiri didefinisikan sebagai larutan panas (50

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR JALUR MINERALISASI EMAS PADA URAT-URAT KUARSA DI BAWAH TANAH LEVEL 600 M 500 M DI PERTAMBANGAN EMAS PONGKOR, JAWA BARAT

KONTROL STRUKTUR JALUR MINERALISASI EMAS PADA URAT-URAT KUARSA DI BAWAH TANAH LEVEL 600 M 500 M DI PERTAMBANGAN EMAS PONGKOR, JAWA BARAT KONTROL STRUKTUR JALUR MINERALISASI EMAS PADA URAT-URAT KUARSA DI BAWAH TANAH LEVEL 600 M 500 M DI PERTAMBANGAN EMAS PONGKOR, JAWA BARAT Heru Sigit Purwanto Pascasarjana Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi, dan disebut sistem porfiri karena tekstur porfiritik dari intrusi yang

Lebih terperinci