BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL"

Transkripsi

1 BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL 3.1. Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya pada kondisi kimia-fisika tertentu (Pirajno, 1992). Pada umumnya, fluida hidrothermal merupakan fluida air bawah tanah atau air laut yang terpanaskan oleh adanya intrusi magma dibawah permukaan sehingga fluida panas tersebut akan bergerak mencari zona permeabel atau zona rekahan dan kemudian secara kimiawi akan mengubah mineral-mineral pada batuan samping yang dilaluinya membentuk kumpulan mineral-mineral yang setimbang pada kondisi yang baru. Proses ini disebut metasomatisme yaitu pertukaran komponenkomponen kimia antara fluida dan batuan samping. Oleh karena itu, hal tersebut juga memungkinkan adanya perubahan komposisi kimia pada fluida yang disebabkan oleh reaksinya dengan batuan samping. Henley dan Ellis (1983) percaya bahwa produk alterasi pada sistem epithermal tidak sepenuhnya tergantung pada komposisi batuan samping (termasuk permeabilitas, temperatur, dan komposisi fluida batuan). Mereka menyatakan, sebagai contoh, pada temperatur antara C, kumpulan mineral yang sama (kuarsa-albit-k-feldsparepidot-illit-kalsit-pirit) terbentuk pada basalt, batu pasir, riolit, dan andesit. Sedangkan peneliti lain percaya bahwa komposisi batuan samping memiliki peranan yang penting dalam proses alterasi hidrothermal, terutama pada sistem porfiri-cu. Alterasi hidrothermal biasanya melibatkan volume fluida yang relatif besar. Fluida ini akan menghasilkan alterasi yang intensif terhadap batuan samping bila batuan samping tersebut bersifat permeabel (rekahan atau pori-pori yang saling berhubungan). Artinya, semakin banyak fluida dan semakin permeabel suatu batuan maka alterasi hidrothermal akan semakin intensif. Kemudian, rasio fluida terhadap batuan (w/r) ini menjadi penting untuk melihat seberapa besar derajat alterasi yang dihasilkannya. Pada sistem hidrothermal rasio w/r umumnya berkisar antara (Henley dan Ellis 1983).

2 3.2. Sistem Epitermal Pirajno (1992) menyatakan bahwa endapan epithermal merupakan endapan yang dicirikan oleh tekanan dan temperatur yang rendah hingga menengah (antara C), dan fluida hidrothermal yang umumnya memiliki komposisi salinitas rendah (<1 hingga rata-rata 5 wt. % NaCl ekuivalen). Meskipun endapan epithermal umumnya terbentuk pada batuan vulkanik dan sering kali berhubungan dengan aktivitas vulkano-plutonik, tidak tertutup peluang ditemukannya endapan tersebut pada batuan sedimen yang juga berhubungan dengan aktivitas magmatik. Mineralisasi epithermal memiliki beberapa kenampakan yang khas seperti hadirnya kalsedonik kuarsa, kalsit, pseudomorf kuarsa pada kalsit (kemungkinan mengindikasikan kondisi boiling), dan breksi hidrothermal. Unsur unsur mineral bijih yang hadir juga khas seperti Au, Ag, As, Sb, Hg, Tl, Te, Pb, Zn, dan Cu. Tekstur mineral bijih yang hadir meliputi open space filling (karakter endapan yang memiliki tekanan rendah), crustifications, colloform, dan struktur comb. Endapannya sendiri (terbentuk mulai dari permukaan hingga kedalaman 1,5 km) berupa urat, stockwork, dan disseminations. Bentuk bentuk endapan ini bisa hadir sendiri sendiri atau bersamaan dan biasanya mudah ditambang dalam metode open cast atau terowongan dangkal (shallow underground) dan juga umumnya memiliki tonase yang tinggi dengan kadar Au + Ag yang rendah atau tonase yang rendah dengan kadar Au + Ag yang tinggi. Bila dilihat dari segi umur maka endapan ini berkisar dari Tersier hingga sekarang yang masih aktif berupa lapangan geothermal. Namun beberapa endapan epithermal berumur Mesozoik dan Paleozoik telah ditemukan meskipun tidak umum seperti di cekungan Drummond di Queensland (Cunneen dan Sillitoe 1989; White, dkk. 1989) Tipe Tipe Endapan Epithermal Himpunan mineral alterasi, mineral bijih, dan jenis batuan samping adalah faktor faktor yang menjadi hal penting untuk memisahkan endapan epithermal menjadi beberapa macam. Berdasarkan hal diatas maka endapan epithermal dapat dikelompokkan kedalam 3 jenis yaitu tipe hot spring, tipe open vein, dan tipe disseminated-replacement.

3 Tipe Hot Spring Sistem epithermal tipe hot spring yang terbentuk di dekat permukaan dicirikan dengan adanya sinter silika yang menutupi hingga ke zona stockwork urat dan zona breksiasi hidrothermal dibawahnya (Gambar 3.1). Asosiasi unsur yang dominan adalah Au, Ag, As, Sb, Hg, Tl dengan minor Cu, Pb, Zn pada level yang lebih dalam. Mineralisasi umumnya memiliki grade Au dan Ag yang rendah dan keterdapatan urat dan stockwork hanya terbatas di bawah sinter silika. Bila terdapat grade Au dan Ag yang tinggi hal itu disebabkan oleh pengaruh boiling di bawahnya. Episode breksiasi pada tipe ini memiliki peranan yang penting karena dapat menunjukkan terjadinya pengendapan unsur-unsur logam. Gambar 3.1. Penampang skematik dari tipe hot spring (Berger dan Eimon, 1982 op. cit., Pirajno, 1992)

4 Tipe Open Vein Tipe ini terletak dibawah tipe hot spring dan sering juga dikenal sebagai tipe bonanza, tipe urat, atau tipe lode (Silbermen dan Berger, 1985 op. cit., Pirajno, 1992). Tipe ini dibedakan dengan tipe hot spring dari keterdapatan mineralisasi yang lebih dalam dibawah permukaan, kandungan sulfida dan base metal yang lebih tinggi, ukuran urat yang lebih lebar, serta grade Au dan Ag yang lebih tinggi tapi tonase yang lebih rendah. Unsur unsur dominan yang hadir adalah Au-Ag-As dengan minor Se, Te, Cu, Pb, Zn. Gambar 3.2a memperlihatkan gabungan tipe open vein dengan hot spring. Secara umum urat mempunyai geometri vertikal dan terkadang memiliki clay mineral di permukaannya, sedangkan pada posisi yang lebih dalam kuarsa, adularia, kalsit, dan logam berharga hadir. Zona mineral logam berharga umumnya terbatas pada kedalaman 100 hingga 350 m. Kandungan base metal meningkat pada posisi yang lebih dalam dan mineral galena, kalkopirit, sphalerit dan kalkopirit hadir dengan jumlah yang banyak. a b Gambar 3.2.a: Penampang skematik yang menunjukkan gabungan tipe open vein dan tipe hot spring (Buchanan, 1981, op. cit., Pirajno, 1992). b: penampang skematik yang memperlihatkan tipe Disseminated-Replacement (Radtke, dkk., 1980, op. cit., Pirajno, 1992).

5 Tipe Disseminated-Replacement Tipe ini secara skematik diperlihatkan pada Gambar 3.2b dan umumnya berasosiasi dengan batuan karbonat. Tipe ini relatif umum terdapat pada cekungan-cekungan di USA dan dicirikan oleh mineralogi, geokimia, sruktur, dan litologi yang khas. Tipe ini juga dikenal dengan sebutan Carlin-type karena model dan kenampakan umumnya banyak mengacu pada penambangan Carlin di Nevada. Endapan ini umumnya berbentuk tabular, memiliki kandungan unsur berupa Au-As-Sb-Hg-Tl, dan relatif memiliki tonase yang tinggi dengan grade Au dan Ag yang rendah High Sulfidation dan Low Sulfidation Sistem epitermal sulfida tinggi (HS) dan rendah (LS) terbentuk dari fluida dengan komposisi kimia yang berbeda dalam lingkungan volkanik yang berbeda (Gambar 3.3 dan Gambar 3.4). Endapan tipe HS berasosiasi dengan fluida asam yang dihasilkan dalam lingkungan hidrotermal-volkanik. Berbeda dengan tipe HS, maka endapan tipe LS terbentuk oleh fluida dengan ph netral pada lingkungan geotermal. Adapun karakter dari kedua tipe tersebut dijabarkan pada Tabel 3.1. Gambar 3.3. Model skematik lingkungan mineralisasi pada sistem geotermal dan hidrotermal- volkanik dalam endapan porfiri tembaga dan epitermal (Hedenquist, dkk. 1996).

6 Dibawah lingkungan epitermal (Gambar 3.4), pelepasan gas dari tubuh magma ataupun sumber panas lainnya akan menghasilkan panas, air, gas-gas asam, dan logam bijih. Dalam sistem LS, komponen magmatik mengalami kesetimbangan dengan batuan samping selama terjadinya konveksi yang didominasi air meteorik, sebelum mencapai lingkungan epitermal. Pada sistem HS, volatil magmatik langsung masuk kedalam lingkungan epitermal dengan sedikit perubahan, kemudian di adsorbsi oleh air meteorik untuk menghasilkan fluida hipogen asam yang akan melewati batuan melalui conduit (Hedenquist, dkk. 1996). Gambar 3.4. Distribusi skematik alterasi hidrotermal yang berasosiasi dengan sistem epitermal HS dan LS; bijih akan diendapkan pada paleoconduits (ore vein/silisifikasi dan silika residual). Kuarsa stabil pada semua zona. Alterasi propilitik terbentuk di luar zona conduit yang menunjukkan sedikitnya rasio w/r (air/batuan) (Hedenquist, dkk. 1996) Alterasi Hidrothermal pada Sistem Epithermal Alterasi hidrothermal pada sistem epithermal memiliki kesamaan dengan sistem-sistem lain yang berhubungan dengan aktivitas fluida hidrothermal yaitu merupakan fungsi temperatur, tekanan, jenis batuan, sifat-sifat fluida (ph, aktivitas CO 2, H 2 S), dan rasio w/r (Browne dan Ellis 1970). Hedenquist dan Browne (1989) menyebutkan bahwa fluida yang bekerja pada sistem epithermal umumnya dibagi menjadi tiga: (1) fluida klorida netral, (2) fluida kaya CO 2, dan (3) fluida asam-sulfat.

7 Tabel 3.1: Karakter umum endapan epitermal. A Zona alterasi Himpunan mineral Temperatur ( C) Potasik Adularia + biotit + magnetit >320 ± epidot ± klorit ± muskovit Serisitik Argilik Inner propilitik Propilitik Serisit + kuarsa ± sulfida ± oksida Smektit + illit ± sulfida ± zeolit ± kuarsa ± kalsit Epidot + aktinolit ± klorit ± illit Epidot + klorit ± illit ± sulfida >220 <200 >300 >250 B Zona alterasi Himpunan mineral Advance argilik Serisitik Potasik Propilitik Kaolinit + alunit ± opal Serisit + kuarsa + kalsit ± klorit ± adularia Adularia + albit ± serisit ± kalsit ± kuarsa ± klorit Kalsit + klorit + kuarsa ± albit ± adularia C Zona alterasi Himpunan mineral Temperatur ( C) Advance argilik (temperatur tinggi) Pirofilit + diaspor + andalusit ± kuarsa ± sulfide ± turmalin ± enargit-luzonit Advance argilik (temperatur rendah) Kaolinit + alunit ± kalsedon ± kuarsa ± pirit <180 Keterangan : (A) alterasi pada fluida klorida netral (Hedenquist dan Lindqvist 1985), (B) alterasi pada fluida kaya CO 2 (Browne dan Ellis 1970; Browne 1978), (C) alterasi pada fluida asam sulfat (Hedenquist dan Lindqvist 1985) Tabel 3.2. Himpunan mineral alterasi pada sistem epithermal (Pirajno, 1992).

8 Alterasi Berhubungan dengan Fluida Klorida Netral dan Fluida Kaya CO 2 Alterasi yang berhubungan dengan fluida klorida dan kaya CO 2 dan biasanya berinteraksi dengan batuan vulkanik intermediet hingga asam adalah albit + adularia ± wairakit ± serisit ± epidot, umumnya berasal dari mineral primer plagioklas. Mineral primer biotit biasanya terubah menjadi klorit ± sfen ± epidot, piroksen dan amfibol terubah menjadi serisit + klorit + sfen kuarsa ± pirit. Massa dasar dapat terubah menjadi agregat mineral kuarsa + serisit + kalsit ± zeolit ± sulfida ± klorit. Mineral pengisi rekahan dan hadir sebagai urat adalah kuarsa, kalsit, serisit, adularia, zeolit (laumontit, wairakit), klorit, epidot, dan sulfida seperti pirit dan pirhotit (Hedenquist dan Browne 1989). Penelitian detail oleh Hedenquist dan Browne (1989) menyatakan bahwa adularia tidak akan hadir dibawah permukaan pada sistem epithermal bila suhu kurang dari 180 C, dan seiring peningkatan intensitas alterasi (w/r bertambah) mineral plagioklas akan berubah menjadi albit dan adularia. Serisit dan kuarsa dapat berasal dari ubahan mineral feldspar, massa dasar, atau dari mineral mafik. Zeolit terutama pada spesies tertentu seperti mordenit, laumontit, dan wairakit merupakan mineral yang sensitif dengan suhu. Kalsit umumnya hadir dengan tekstur bladed yang kadang tergantikan oleh bladed silica, dalam sistem epithermal merupakan indikasi pengendapan yang disebabkan oleh kondisi boiling Alterasi Berhubungan dengan Fluida Asam-Sulfat Pada temperatur yang lebih rendah (<180 C) kumpulan mineral yang hadir dan berkaitan dengan fluida kaya asam sulfat adalah kaolinit, alunit, kristobalit, gipsum, opal, native S, kuarsa dan sulfida. Pirofilit, diaspor dan andalusit hadir stabil pada temperatur diatas 250 C, dan masih bisa dijumpai pada suhu diatas 350 C untuk andalusit. Barit, anhidrit dan Fe oksida juga dapat hadir pada kisaran temperatur yang rendah Variasi Geokimia pada Batuan Alterasi Variasi geokimia pada batuan samping jelas menunjukkan gambaran dari perubahan mineralogi akibat interaksi dengan fluida. Pada sistem epithermal, variasi unsur-unsur yang hadir adalah Na, Ca, Ti, dan Ba, sisanya berupa K, Si, Rb, Sc, Ga, Sr, As, Sb, Ag, Au, Sn, Tl, dan W. transfer unsur berasal dari alumino-silikat, mineral ferromagnesian, dan massa dasar (gelas atau matriks kristalin). Sebagai contoh proses terbentuknya silika mengikuti reaksi seperti yang ditunjukkan di bawah. Ketika CO 2 hadir, asam karbonat terbentuk (H 2 CO 3 ) dan selanjutnya akan

9 membebaskan H +. Reaksi ini juga akan membentuk mineral lempung seperti illit, montmorillonit dan kaolinit sehingga temperatur pembentukan bisa diidentifikasi. CaCO 3 + 2H + Ca 2+ + CO 2 + H 2 O K-feldspar + H + illite + K + + SiO 2 Na-feldspar + H + montmorillonit + Na + + SiO Alterasi Hidrothermal Daerah Ciarinem Metode Pengamatan Dalam penentuan jenis jenis mineral alterasi yang muncul, tekstur serta hubungan antara mineral-mineral tersebut, maka penulis menggunakan beberapa metode pengamatan yaitu secara megaskopis, petrografis, dan XRD (X-Ray Diffractions). Ketiga metoda ini selanjutnya akan saling mendukung untuk mendapatkan hasil akhir berupa zonasi alterasi di daerah penelitian Pengamatan Megaskopis Pengamatan megaskopis pada dasarnya merupakan metoda pengamatan awal yang paling mudah dan paling murah untuk mengamati fenomena alterasi pada batuan. Pengamatan megaskopis meliputi perubahan warna pada batuan asal, tekstur, dan kehadiran mineral penciri alterasi. Pengamatan megaskopis pada conto into bor dilakukan secara detail pada sampel sampel yang dilanjutkan dengan pengamatan mikroskopis dan XRD. Secara megaskopis, suatu batuan yang mengalami proses alterasi mudah dikenali dari perubahan warna, tektur, dan kehadiran mineral alterasi. Pada pengamatan megaskopis mineralmineral alterasi tertentu biasanya dibedakan dari warna dan tekstur. Namun, pengamatan secara megaskopis ini perlu dilakukan secara hati-hati karena beberapa mineral memiliki kenampakan (warna, tekstur) yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh banyak faktor (seperti lingkungan pengendapan, batuan samping, dll).

10 Pengamatan Petrografis Dalam studi alterasi, analisis petrografi pada prinsipnya dilakukan untuk mengidentifikasi kehadiran mineral ubahan pada batuan berdasarkan sifat optik dari mineral tersebut. Analisis petrografi selain dilakukan untuk mengenali keberadaan mineral alterasi, juga dilakukan untuk mengamati tekstur-tekstur alterasi tertentu, seperti tekstur penggantian (replacement) atau tekstur pengisian (vug filling). Informasi tekstur khas dalam alterasi tersebut sangat diperlukan untuk melakukan paragenesa mineral ubahan dan indikasi terjadinya overprinting Analisa XRD (X-Ray Diffractions) Pengamatan megaskopis dan petrografi tidak selalu berhasil dalam menentukan semua jenis mineral alterasi yang muncul. Beberapa teknik dapat dilakukan untuk mendukung upaya tersebut dan salah satu teknik yang paling umum digunakan adalah analisa XRD. Teknik ini sebenarnya sangat berguna untuk menentukan mineral alterasi yang sangat halus yang tidak dapat dilihat secara petrogafi seperti mineral lempung atau mineral phyllosilicate. Analisa XRD dari sembilan sampel di daerah penelitian dilakukan sepenuhnya oleh laboratorium PT. Antam, Tbk di Jakarta Zonasi Alterasi Berdasarkan pengamatan terhadap 41conto inti bor menggunakan gabungan metodemetode pengamatan diatas dan dengan mengacu pada klasifikasi Corbett dan Leach (1998), maka ubahan hidrothermal di daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga zonasi ubahan hidrothermal yaitu: (1) Zona zeolit klorit karbonat, (2) Zona kaolinit montmorillonit siderit (3) Zona kuarsa serisit illit Zona Zeolit Klorit Karbonat Zona alterasi ini hadir paling luas dan mengubah hampir 80% batuan yang ada di daerah penelitian. Zona ini secara megaskopis dicirikan dengan warna batuan hijau dan relatif keras (diduga disebabkan adanya penambahan silika pada batuan asal). Warna hijau tersebut

11 disebabkan kehadiran mineral ubahan klorit. Mineral ubahan lain yang hadir adalah zeolit, albit, adularia, karbonat, kuarsa, prehnit dan montmorillonit (Foto 3.6 dan Foto 3.7 ). Zeolit hadir sebagai agregat halus ( mm) dan juga sebagai urat (Foto 3.6e). Mineral ini terbentuk pada ph netral dengan temperatur berkisar C (untuk semua jenis zeolit). Pirajno (1992) mengatakan bahwa kestabilan temperatur dan tekanan yang dimiliki zeolit membuat mineral ini memiliki peranan yang sangat penting pada endapan epithermal. Klorit hadir menggantikan plagioklas, piroksen, dan hornblenda dan dibeberapa tempat juga hadir sebagai urat (Foto 3.6.d). Klorit umumnya dijumpai pada alterasi propilitik dan stabil pada temperatur ± C (Henley, 1991, op.cit., Hedenquist, dkk. 1996) dengan ph fluida 5-6. Karbonat dan mineral bijih (kemungkinan pirit) juga hadir dominan pada zona ini. Dibeberapa tempat terjadi karbonitisasi (Foto 3.7) dan kehadiran mineral pirit yang banyak menjadi salah satu indikator untuk membedakan zona ini dengan zona yang lain. Dari perajahan temperatur pada Gambar 3.5, maka temperatur zona ini ± C. Mengacu pada Corbett dan Leach (1998) maka zona ini dapat disetarakan dengan zona subpropilitik (Gambar 3.13). Gambar 3.5 Perajahan temperatur zona alterasi zeolit klorit karbonat (Lawless dkk., 1998)

12 Foto 3.6. a) dan b) Inti bor dan sampel batuan lava andesit piroksen yang menunjukkan ubahan subpropilitik berwarna kehijauan. (a: inti bor pada sumur BCAN-9, b: sampel WID-23). c) Urat kalsit dan klorit hadir di antara miineral bijih (sampel WID-9, sumur bor BCAN-2A). d) Klorit hadir menggantikan plagioklas dan juga sebagai urat (sampel WID-39, sumur bor BCAN-9). e) Urat zeolit dan urat karbonat hadir bersamaan memotong mineral lain (sampel WID-5, sumur bor BCAN-2 ) f) Mineral bijih hadir diantara mineral kalsit yang menggantikan sebagian urat kuarsa (sampel WID-30, sumur bor BCAN-4). (cb: karbonat, cly: mineral lempung, chl: klorit, zeo: zeolit Qz: kuarsa, op: mineral bijih)

13 Foto 3.7. Karbonitisasi (a) dan kehadiran mineral adularia (b) pada zona zeolit klorit karbonat. (carb: carbonat, kal: kalsit, adul: adularia) Zona Kaolinit Montmorillonit Siderit Zona ini berkembang pada bagian yang dekat dengan urat dan di dekat permukaan ditandai dengan kehadiran mineral lempung yang dominan. Pengamatan megaskopis terhadap conto sampel pemboran memperlihatkan kenampakan warna putih keabu-abuan dan cenderung lunak. Mineral alterasi yang dapat diidentifikasi secara petrografi adalah mineral lempung, kuarsa, karbonat, siderit (Fe-karbonat), dan mineral bijih. Sedangkan untuk jenis mineral lempung yang muncul berdasarkan analisis XRD adalah kaolinit dan montmorilonit. Tekstur dari batuan asal sudah tidak dapat dilihat lagi pada zona ini dan mineral-mineral primer juga sudah sepenuhnya tergantikan oleh kuarsa dan mineral lempung. Karbonat pada zona ini umumnya sudah tergantikan sebagaian atau total oleh Fe-karbonat yaitu siderit (Foto 3.8.d, e dan f). Kehadiran siderit ini juga dapat dilihat pada skala megaskopis (Foto 3.8.b). Menurut Corbett dan Leach (1998) siderit muncul pada zona hidrotermal berasosiasi dengan kaolinit dan illit. Kehadiran mineral siderit dan kaolinit menunjukkan ph fluida pada saat pembentukan mineral ini yaitu 4-5 (Corbett dan Leach, 1998) dengan temperatur tidak lebih dari 200 C (Lawless dkk., 1998). Dari perajahan temperatur pada Gambar 3.9, maka temperatur zona ini ± C.

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Alterasi dan Endapan Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan. Proses tersebut

Lebih terperinci

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV STUDI UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada. ` BAB IV ALTERASI HIDROTHERMAL 4.1 Pendahuluan Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal. Oleh karena itu, mineral alterasi

Lebih terperinci

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL Alterasi adalah suatu proses yang di dalamnya terjadi perubahan kimia, mineral, dan tekstur karena berinteraksi dengan fluida cair panas (hidrotermal) yang dikontrol

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAB III ALTERASI HIDROTERMAL 3.1 Tinjauan Umum White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL . Foto 3.8. a) dan b) Foto inti bor pada sumur BCAN 4 dan sampel breksi tuf (sampel WID-3, sumur bor BCAN-1A) yang telah mengalami ubahan zona kaolinit montmorilonit siderit. c) Mineral lempung hadir mengubah

Lebih terperinci

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46 BAB VI DISKUSI 6.1 Evolusi Fluida Hidrotermal Alterasi hidrotermal terbentuk akibat adanya fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno,

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN 4.1 Tinjauan Umum Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI 6.1 Alterasi dan Fluida Hidrotermal Zona alterasi (Gambar 6.3) yang ditemukan pada Sumur BWS-H01 terdiri empat zona alterasi yaitu zona argilik (kaolinit, dikit, kuarsa sekunder,

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. Teori Dasar Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat adanya interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN III.1 Teori Dasar III.1.1 Sistem Panasbumi Sistem geotermal merupakan sistem perpindahan panas dari sumber panas ke permukaan melalui proses konveksi air meteorik

Lebih terperinci

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon Kuarsa sekunder adalah mineral silika yang memiliki temperatur pembentukan relatif panjang, berkisar 180 0 C hingga lebih dari 300 0 C (Reyes, 1990). Kehadiran kuarsa

Lebih terperinci

Bab IV Sistem Panas Bumi

Bab IV Sistem Panas Bumi Bab IV Sistem Panas Bumi IV.1 Dasar Teori Berdasarkan fluida yang mengisi reservoir, sistem panas bumi dibedakan menjadi 2, yaitu sistem panas bumi dominasi air dan sistem panasbumi dominasi uap. 1. Sistem

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA: PETROGRAFI BATUAN ALTERASI Asisten Acara: 1... 2.... 3.... 4.... Nama Praktikan :... NIM :... Borang ini ditujukan kepada praktikan guna mempermudah pemahaman

Lebih terperinci

BAB V PENGOLAHAN DATA

BAB V PENGOLAHAN DATA BAB V PENGOLAHAN DATA Data yang didapatkan dari pengamatan detail inti bor meliputi pengamatan megakopis inti bor sepanjang 451 m, pengamatan petrografi (32 buah conto batuan), pengamatan mineragrafi (enam

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Alterasi hidrotermal adalah suatu proses kompleks yang meliputi perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia yang terjadi akibat interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan Idarwati Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan dapat diambil secara ekonomis. mineral bijih dapat

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Barat. 18 3. Breksi Tuf Breksi tuf secara megaskopis (Foto 2.9a dan Foto 2.9b) berwarna abu-abu

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN 4.1 Alterasi Hidrotermal Daerah Penelitian 4.1.1 Pengamatan Megaskopis Pengamatan alterasi hidrotermal dilakukan terhadap beberapa conto batuan

Lebih terperinci

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1 Tinjauan Umum Menurut kamus The Penguin Dictionary of Geology (1974 dalam Rusman dan Zulkifli, 1998), mineralisasi adalah proses introduksi (penetrasi atau akumulasi

Lebih terperinci

I. ALTERASI HIDROTERMAL

I. ALTERASI HIDROTERMAL I. ALTERASI HIDROTERMAL I.1 Pengertian Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100 500 o C) sisa pendinginan magma yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya dan membentuk mineral-mineral

Lebih terperinci

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN 5.1 Data AAS (Atomic Absorption Spectrometry) AAS (Atomic Absorption Spectrometry) atau dikenal juga sebagai Spektrometri Serapan Atom merupakan suatu metode kimia yang

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR ABSTRAK Sapto Heru Yuwanto (1), Lia Solichah (2) Jurusan Teknik Geologi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI IV.1 Pendahuluan Energi panasbumi merupakan sumber panasbumi alami di dalam bumi yang terperangkap pada kedalaman tertentu dan dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Energi

Lebih terperinci

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN 4.1. KONSEP DASAR EKSPLORASI Konsep eksplorasi adalah alur pemikiran yang sistimatis, dimana kita menentukan objek dari pencaharian itu atau jenis dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tatanan Geologi 2.1.1 Geologi Regional Secara regional endapan emas Cibaliung berada pada kompleks Honje yang terletak di baratdaya dari pulau Jawa. Kompleks Honje berada sekitar

Lebih terperinci

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS 4.1 Tinjauan Umum Hidrotermal berasal dari kata hidro artinya air dan termal artinya panas. Adapun hidrotermal itu sendiri didefinisikan sebagai larutan panas (50

Lebih terperinci

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum BAB V KIMIA AIR 5.1 Tinjauan Umum Analisa kimia air dapat dilakukan untuk mengetahui beberapa parameter baik untuk eksplorasi ataupun pengembangan di lapangan panas bumi. Parameter-parameter tersebut adalah:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam mulia yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Keterdapatan mineralisasi emas di Indonesia terdapat salah satu nya berada di Selogiri,

Lebih terperinci

GEOLOGI, ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH CIURUG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

GEOLOGI, ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH CIURUG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT GEOLOGI, ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH CIURUG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT Oleh : Mohammad Tommy Agus Binsar*, Yoga Aribowo*, Dian Agus Widiarso*

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi tembaga dan emas yang melimpah. Sebagian besar endapan tembaga dan emas ini terakumulasi pada daerah busur magmatik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karakteristik dari suatu endapan mineral dipengaruhi oleh kondisi pembentukannya yang berhubungan dengan sumber panas, aktivitas hidrotermal, karakteristik

Lebih terperinci

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1. Mineralisasi Urat Arinem Carlile dan Mitchell (1994) menyatakan bahwa endapan urat epitermal dan stockwork di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada busur kepulauan

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4 Daftar Isi v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... i

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah... DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

Bab III Teori Dasar. III.1 Sistem Panas Bumi

Bab III Teori Dasar. III.1 Sistem Panas Bumi Bab III Teori Dasar III.1 Sistem Panas Bumi Pada dasarnya di seluruh permukaan bumi memiliki energi panas bumi, namun besar dan jumlahnya tidak selalu sama. Di beberapa tempat yang berhubungan dengan daerah

Lebih terperinci

A B C D E A B C D E. A B C D E A B C D E // - Nikol X Nikol mm P mm

A B C D E A B C D E. A B C D E A B C D E // - Nikol X Nikol mm P mm No conto : Napal hulu Zona ubahan: sub propilitik Lokasi : Alur S. Napal Nama batuan: lava andesit 0 0.5 mm P1 0 0.5 mm Sayatan andesit terubah dengan intensitas sedang, bertekstur hipokristalin, porfiritik,

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Endapan mineral Batu Hijau yang terletak di Pulau Sumbawa bagian baratdaya merupakan endapan porfiri Cu-Au. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR 4.1 Sistem Panas Bumi Secara Umum Menurut Hochstein dan Browne (2000), sistem panas bumi adalah istilah umum yang menggambarkan transfer panas alami pada volume

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam yang memiliki nilai yang tinggi ( precious metal). Tingginya nilai jual emas adalah karena logam ini bersifat langka dan tidak banyak

Lebih terperinci

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah BAB V MINERALISASI 5.1. Mineralisasi di daerah Sontang Tengah Studi mineralisasi pada penelitian ini dibatasi hanya pada mineralisasi Sulfida masif dengan komposisi mineral galena, sfalerit, pirit, Ag

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LEMBAR PETA... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi, dan disebut sistem porfiri karena tekstur porfiritik dari intrusi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ellis and Mahon (1977) menjelaskan bahwa energi panas bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Ellis and Mahon (1977) menjelaskan bahwa energi panas bumi merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ellis and Mahon (1977) menjelaskan bahwa energi panas bumi merupakan energi yang tersimpan dalam air panas ataupun uap panas pada kondisi geologi tertentu yang terletak

Lebih terperinci

Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat

Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Artikel Ilmiah: STUDI PETROLOGI oleh : Ingrid Amanda Samosir 270110090020 FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM GEOLOGI DAN STUDI ALTERASI HIDROTHERMAL DAN MINERALISASI DI DAERAH BUKIT DELIMA DAN SEKITARNYA, KECAMATAN OBA TENGAH, KOTA TIDORE KEPULAUAN, PROPINSI MALUKU UTARA SKRIPSI Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM.

Lebih terperinci

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya energi yang melimpah dan beraneka ragam, diantaranya minyak bumi, gas bumi, batubara, gas alam, geotermal, dll.

Lebih terperinci

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI )

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI ) Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten Rosana, M.F., Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363 rosanamf@yahoo.com;

Lebih terperinci

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT 1 Rangga Suteja, 2 Mega Fatimah Rosana, 3 Adi hardiono 1 Puslit Geopark dan kebencanaan

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN DI LAPANGAN PANAS BUMI BETA, AMBON DENGAN METODE PETROGRAFI

STUDI ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN DI LAPANGAN PANAS BUMI BETA, AMBON DENGAN METODE PETROGRAFI M2O-06 STUDI ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN DI LAPANGAN PANAS BUMI BETA, AMBON DENGAN METODE PETROGRAFI C. P. K. Vandani 1*, I. W. A. Sari 1, E. Mulyaningsih 1, P. Utami 1, Y. Yunis 2 1 Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT 4.1 Tinjauan Umum Manifestasi permukaan panas bumi adalah segala bentuk gejala sebagai hasil dari proses sistem panasbumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Eksplorasi di daerah tambang, khususnya tambang emas memerlukan pengetahuan dan konsep geologi yang memadai serta data geospasial yang akurat dan aktual. Oleh karena

Lebih terperinci

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25 v DAFTAR ISI Hal. JUDUL LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... ii LEMBAR PERNYATAAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv SARI... xv ABSTRACT... xvii

Lebih terperinci

Citra LANDSAT Semarang

Citra LANDSAT Semarang Batuan/Mineral Citra LANDSAT Semarang Indonesia 5 s/d 7 km 163 m + 2 km QUARRY BARAT LAUT Tidak ditambang (untuk green belt) muka airtanah 163 m batas bawah penambangan (10 m dpl) 75-100 m dpl Keterangan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lapangan panas bumi Wayang-Windu terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Secara geografis lapangan ini terletak pada koordinat 107 o 35 00-107 o 40 00 BT dan 7 o

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA 3.1 Data Geokimia Seperti yang telah dibahas pada bab 1, bahwa data kimia air panas, dan kimia tanah menjadi bahan pengolahan data geokimia untuk menginterpretasikan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ALTERASI BAWAH PERMUKAAN PADA SUMUR WWT-1, WWD-2 DAN WWQ-5 DI LAPANGAN PANAS BUMI WAYANG WINDU, PANGALENGAN, JAWA BARAT TESIS

KARAKTERISTIK ALTERASI BAWAH PERMUKAAN PADA SUMUR WWT-1, WWD-2 DAN WWQ-5 DI LAPANGAN PANAS BUMI WAYANG WINDU, PANGALENGAN, JAWA BARAT TESIS KARAKTERISTIK ALTERASI BAWAH PERMUKAAN PADA SUMUR WWT-1, WWD-2 DAN WWQ-5 DI LAPANGAN PANAS BUMI WAYANG WINDU, PANGALENGAN, JAWA BARAT TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT Mega F. Rosana 1, Hartono 2, Sandra A. Solihat 2, Nungky D. Hapsari 3, 1 Universitas Padjadjaran, Fakultas Teknik Geologi, Jalan

Lebih terperinci

ESTIMASI TEMPERATUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN KEHADIRAN

ESTIMASI TEMPERATUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN KEHADIRAN ESTIMASI TEMPERATUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN KEHADIRAN MINERAL ALTERASI PADA SUMUR X LAPANGAN PANAS BUMI WAYANG WINDU, PANGALENGAN, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT SUBSURFACE TEMPERATURE ESTIMATION

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... x ABSTRAK... xv ABSTRACT... xvi BAB I - PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

Gambar 3.27 Foto sayatan sampel pada sumur WR di kedalaman 1663 m yang menunjukkan kean mineral epidot (B3, C3), klorit (D4), dan mineral lempung (B4). Gambar 3.28 Perajahan temperatur pada zona mineral

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Pulau Sumbawa Pulau Sumbawa merupakan salah satu dari gugusan Kepulauan Nusa Tenggara yang terletak pada Busur Kepulauan Banda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan sumberdaya mineral di Indonesia khususnya di pulau Jawa banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai penyelidikan yang dilakukan

Lebih terperinci

SURVEI LANDAIAN SUHU SUMUR CBD-1 DAERAH PANAS BUMI CUBADAK KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT

SURVEI LANDAIAN SUHU SUMUR CBD-1 DAERAH PANAS BUMI CUBADAK KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT SURVEI LANDAIAN SUHU SUMUR CBD-1 DAERAH PANAS BUMI CUBADAK KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT Robertus S. L. Simarmata, Dede Iim Setiawan, Moch. Budiraharja, Arif Munandar Kelompok Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan sumber daya energi dan mineral semakin banyak. Salah satu yang paling banyak diminati oleh penduduk di dunia

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI II.1 Struktur Regional Berdasarkan peta geologi regional (Alzwar et al., 1992), struktur yg berkembang di daerah sumur-sumur penelitian berarah timurlaut-baratdaya

Lebih terperinci

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Data Sekunder Data sekunder yang diperoleh dari PT Semen Padang Untuk menunjang dan melengkapi penelitian ini antara lain berupa : 1. Peta topografi skala 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin meningkat seperti emas, tembaga dan logam lainnya. Hal tersebut didasari dengan meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

SURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI. Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi ABSTRAK

SURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI. Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi ABSTRAK SURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi Kata kunci : Sumani, panas bumi, landaian suhu, pengeboran. ABSTRAK Lapangan panas

Lebih terperinci

ZONA ALTERASI HIDROTERMAL PADA SUMUR PENELITIAN "VY 2", LAPANGAN KAMOJANG, JAWA BARAT, INDONESIA

ZONA ALTERASI HIDROTERMAL PADA SUMUR PENELITIAN VY 2, LAPANGAN KAMOJANG, JAWA BARAT, INDONESIA ZONA ALTERASI HIDROTERMAL PADA SUMUR PENELITIAN "VY 2", LAPANGAN KAMOJANG, JAWA BARAT, INDONESIA Vilia Yohana 1 *, Mega F. Rosana 2, A. D. Haryanto 3, H. Koestono 4 1, 2, 3 Fakultas Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya mineral merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya pencarian lokasi sumber mineral baru. Setelah adanya

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ALTERASI BAWAH PERMUKAAN SUMUR RA WILAYAH KERJA PANASBUMI WAYANG WINDU, PANGALENGAN, JAWAB BARAT

KARAKTERISTIK ALTERASI BAWAH PERMUKAAN SUMUR RA WILAYAH KERJA PANASBUMI WAYANG WINDU, PANGALENGAN, JAWAB BARAT KARAKTERISTIK ALTERASI BAWAH PERMUKAAN SUMUR RA WILAYAH KERJA PANASBUMI WAYANG WINDU, PANGALENGAN, JAWAB BARAT Regista Arrizki *, Ildrem Syafri, Aton Patonah, Ali Auza,, Fakultas Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN Jodi Prakoso B. 1, Aton Patonah 2, Faisal Helmi 2 1 Laboratorium

Lebih terperinci

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI Secara geologi daerah Kabupaten Boven Digoel terletak di Peta Geologi

Lebih terperinci

ALTERASI HIDROTERMAL PADA LAPANGAN PANAS BUMI DAERAH GUNUNG RINGGIT, PROVINSI SUMATERA SELATAN

ALTERASI HIDROTERMAL PADA LAPANGAN PANAS BUMI DAERAH GUNUNG RINGGIT, PROVINSI SUMATERA SELATAN ALTERASI HIDROTERMAL PADA LAPANGAN PANAS BUMI DAERAH GUNUNG RINGGIT, PROVINSI SUMATERA SELATAN Fitriany Amalia Wardhani 1 1 UPT Balai Informasi Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI Email: fitr025@lipi.go.id

Lebih terperinci

TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA Asri Arifin Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRACT Research

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL

STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL 1.1. Bentuk Endapan Bijih Terkait dengan waktu pembentukan bijih dihubungkan dengan host rock-nya, dikenal istilah singenetik dan epigenetic. Singenetik diartikan bahwa

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Menoreh terletak di ujung utara pegunungan Kulon Progo, bagian timur dari zona jajaran punggungan oblong domes / ridges, di sebelah barat perbatasan Propinsi

Lebih terperinci

JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN

JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN Jenis Bahan Galian Bahan Galian (Mineral) Logam: bahan galian yang terdiri dari mineral logam dan dalam pengolahan diambil/diekstrak logamnya. Bahan Galian (Mineral)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi.

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah tingkat ketebalan tanah yang tinggi dengan kekuatan antar material yang rendah. Salah satu pembentuk

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN ALTERASI HIDROTERMAL DI GUNUNG BATUR, WEDIOMBO, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DI YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN ALTERASI HIDROTERMAL DI GUNUNG BATUR, WEDIOMBO, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DI YOGYAKARTA M1O-01 GEOLOGI DAN ALTERASI HIDROTERMAL DI GUNUNG BATUR, WEDIOMBO, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DI YOGYAKARTA Arifudin Idrus 1 *, Lucas Donny Setijadji 1, I Wayan Warmada 1, Wilda Yanti Mustakim 1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah penelitian (gambar 2.1), yang meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi

Lebih terperinci

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM No. Record : Judul Laporan : DATA UMUM Instansi Pelapor : Penyelidik : Penulis Laporan : Tahun Laporan : Sumber Data : Digital Hardcopy Provinsi : Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA III.1 Data Geokimia Dengan menggunakan data geokimia yang terdiri dari data kimia manifestasi air panas, data kimia tanah dan data udara tanah berbagai paramater

Lebih terperinci

RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN

RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN Genesha Mineral Pada Lingkup Magmatik RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG Lingkup/Lingkungan

Lebih terperinci

ALTERASI LAPANGAN SARIDI, KABUPATEN DOMPU

ALTERASI LAPANGAN SARIDI, KABUPATEN DOMPU ALTERASI LAPANGAN SARIDI, KABUPATEN DOMPU Ge Fitri Perdani 1), Mega Fatimah Rosana 2), Cecep Yandri Sunarie 2) 1) Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, 2) Laboratorium Petrologi dan Mineralogi

Lebih terperinci

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014 PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014 Wahyu Widodo, Bambang Nugroho Widi Kelompok Penyelidikan Mineral Logam S A R I Prospeksi mineral logam di Kabupaten

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PROSPEKSI AIR BUNGINAN, KECAMATAN AIR MURING, KABUPATEN KETAUN, BENGKULU

GEOLOGI DAN STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PROSPEKSI AIR BUNGINAN, KECAMATAN AIR MURING, KABUPATEN KETAUN, BENGKULU GEOLOGI DAN STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PROSPEKSI AIR BUNGINAN, KECAMATAN AIR MURING, KABUPATEN KETAUN, BENGKULU SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 Program Studi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Daerah Sumatera merupakan salah satu daerah yang memiliki tatanan geologi sangat kompleks, baik dari segi sedimentologi, vulkanologi, tektonik dan potensi sumber daya

Lebih terperinci

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf Definisi Batuan Batuan adaiah kompleks/kumpulan dari mineral sejenis atau tak sejenis yang terikat secara gembur ataupun padat. Bedanya dengan mineral, batuan tidak memiliki susunan kimiawi yang tetap,

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI UTARA

PROVINSI SULAWESI UTARA INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SITARO PROVINSI SULAWESI UTARA Oleh: Dendi Surya K., Bakrun, Ary K. PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI SARI Wilayah Kabupaten Kepulauan Sitaro terdiri dari gabungan 3 pulau

Lebih terperinci

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Armin Tampubolon Kelompok Program Penelitian Mineral SARI Secara regional, Pulau Sumba disusun oleh litologi yang berdasar

Lebih terperinci