Bab III Teori Dasar. III.1 Sistem Panas Bumi
|
|
- Ivan Pranata
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Bab III Teori Dasar III.1 Sistem Panas Bumi Pada dasarnya di seluruh permukaan bumi memiliki energi panas bumi, namun besar dan jumlahnya tidak selalu sama. Di beberapa tempat yang berhubungan dengan daerah magmatik, dekat dengan sumber panas biasanya akan memiliki gradien panas bumi yang menunjukkan nilai anomali. Sumber dari energi panas bumi berasal dari inti bumi yang dalam evolusinya mengalami diferensiasi magma, batuan akan mengalami proses peluruhan maupun pencampuran dan asimilasi sehingga tiap tiap magma memiliki nilai densitas yang berbeda-beda. Nilai densitas magma yang lebih rendah akan bergerak menuju permukaan dan dalam perjalanannya akan berinteraksi dengan magma lain dan bisa memanaskan batuan dan air disekitarnya. Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai sumber panas adalah aktivitas vulkanik kuarter berupa panas yang tersimpan pada dapur magma kerucut gunungapi atau pada batuan intrusi muda yang ditunjang oleh aktifitas panas dari kegiatan tektonik kuat seperti pada pembentukan pull a part basin. Sistem panas bumi dapat diklasifikasikan berdasarkan geologi, hidrologi dan karakteristik transfer panasnya (Rybach dan Muffler, 1981), salah satunya adalah sistem vulkanik hidrotermal. Sistem ini umumnya terdapat pada daerah gunungapi strato aktif atau tidak aktif. Dalam sistem ini memungkinkan terbentuknya intrusi dangkal sampai 1 km, dengan kedalaman reservoir < 1,5 km. Fluida dari air magmatik naik secara vertikal dan memungkinkan mengalir secara lateral sampai 20 km tergantung topografi dan hidrologinya. (Gambar III.1.). 21
2 Gambar III.1. Model konsep sistem vulkanik-hidrotermal yang berasosiasi dengan manifestasi permukaan (Lawless et al. 1995) Pembagian klasifikasi sistem panas bumi berdasarkan temperatur reservoir pada kedalaman sekitar 1 km dibagi menjadi tiga, yaitu sistem temperatur tinggi, menengah dan rendah. Sistem temperatur tinggi dinyatakan pada temperatur reservoir > 225 C, temperatur menengah C dan temperatur rendah pada kondisi temperatur < 125 C (Hochstein dan Browne, 2000). Sistem temperatur tinggi biasanya berasosiasi dengan pusat gunungapi maupun pendinginan batuan plutonik. Berdasarkan bentuk lerengnya, model sistem panas bumi temperatur tinggi dibagi lagi menjadi model elevasi tinggi dan model elevasi sedang-datar. Pada model sistem panas bumi daerah elevasi tinggi, sumber panas yang terbentuk berasosiasi pada pusat gunungapi, pluton atau lempeng kolisi. Model untuk di daerah elevasi sedang-datar (Gambar III.2.) sumber panasnya berasal dari batuan kerak bumi yang panas dan penyebarannya luas, bentuk morfologi mengelilingi sistem panas bumi dan tidak curam dengan ciri terbentuk kerucut vulkanik muda yang berada di tepi reservoir panas bumi. Model lainnya adalah sumber panas yang berasal dari batuan beku dalam yang telah mengalami pendinginan sebagai hasil subduksi tua dengan reservoir dari batuan sedimen sampai metamorf derajat rendah. Biasanya posisi model ini berada agak jauh dari zona subduksi saat ini (Hochstein dan Browne, 2000). 22
3 Gambar III.2. Model sistem dominasi air pada morfologi relatif datar (Hochstein dan Browne, 2000 ) Dengan membandingkan kedalaman penetrasi air meteorik, akumulasi panas, dan intensitas permeabilitas yang dibentuk oleh struktur serta daerah resapan yang baik maka sistem temperatur tinggi dibagi menjadi tiga, yaitu sistem dominasi air, sistem dua fasa dan sistem dominasi uap. Sistem dominasi air dicirikan dengan permeabilitas yang sedang, daerah resapan yang baik dan naiknya fluida panas menyisakan fase air. Bila terbentuk permeabilitas yang sangat rendah pada daerah resapan maka akan terbentuk sistem dominasi uap pada bagian reservoir. Bila suplai resapan jauh dengan permeabilitas yang rendah, fluida yang naik akan bercampur antara dominasi uap dan dominasi air. III.1.1 Manifestasi Panas Bumi Manifestasi panas bumi merupakan gejala kenampakan di permukaan yang berkaitan dengan sistem panas bumi. Pada sistem panas bumi konvektif akan terjadi sirkulasi fluida dari daerah resapan yang masuk ke dalam reservoir. Setelah mengalami proses pemanasan sebagian fluida tersebut ada yang terlarut dan bereaksi dengan batuan sekitar, terbentuk alterasi batuan dan mineral ubahan. Terjadinya perubahan kesetimbangan membentuk mineral yang terdeposisi dalam 23
4 bentuk urat-urat. Bila terbentuk suatu zona rekahan ataupun terjadi indikasi struktur geologi baik dalam bentuk sesar atau rekahan hingga kepermukaan maka fluida / gas tersebut akan naik melalui celah-celah struktur dan keluar dalam bentuk mata air panas, fumarol, solfatar, tanah panas, lumpur panas. III.2 Sistem Hidrotermal Sistem hidrotermal adalah suatu sistem panas bumi dimana transfer panas berasal dari sisa pendinginan batuan plutonik yang mengalir ke permukaan secara konveksi dengan mengikutsertakan fluida meteorik dengan/ tanpa fluida magmatik. Fluida dari daerah discharge yang berada atau dekat dengan permukaan akan diisi ulang oleh air meteorik yang diperoleh dari daerah resapan (Hochstein and Browne, 2000). Dengan kata lain proses hidrotermal adalah suatu tipe sistem panas bumi yang melibatkan tubuh intrusif (plutonik) atau aktivitas magmatik sebagai sumber panas sehingga terbentuk transfer/ perpindahan panas dalam bentuk konduktif pada batuan sekitarnya dan konvektif pada larutan air panas baik yang bisa berasal dari magmatik ataupun dari air meteorik yang meresap melalui daerah resapan. Interaksi antara fluida dengan batuan induk tersebut dapat melarutkan unsur-unsur kimia dan membawa unsur-unsur berharga yang kemudian diendapkan pada temperatur yang lebih rendah. Sebagian besar dari cebakan mineral yang ada, berasal dari proses hidrotermal seperti ini. Pembentukan sistem hidrotermal harus berpedoman kepada beberapa aspek, seperti adanya sumber panas, batuan pembawa (host rock), fluida dari daerah resapan dan transfer panas yang naik ke permukaan. Aktivitas hidrotermal sangat erat kaitannya dengan mineralisasi. Fosil dari sistem hidrotermal dikenal sebagai endapan-endapan bijih yang cukup berpotensi dan memiliki nilai ekonomis. Pembentukan cebakan pada bagian yang lebih dangkal biasanya dikenal sebagai endapan epitermal dan pada bagian yang lebih dalam dikenal sebagai sistem porfiri. Energi panas bumi merupakan refleksi dari pembentukan sistem hidrotermal yang masih berlangsung hingga saat ini. (Deflin et al., 1996) 24
5 Endapan mineral yang berhubungan dengan vulkanisme akan terbentuk secara langsung akibat saturasi fluida magmatik dalam bentuk volatile atau dari air tanah panas yang mengalami sirkulasi dalam sistem magmatik hidrotermal. Faktor lingkungan tektonik juga mempengaruhi pembentukan endapan bijih di daerah vulkanik. III.3 Sistem Epitermal Pembentukan sistem panas bumi biasanya dihubungkan dengan tipe mineralisasi epitermal (Gambar III.3.). Sistem epitermal diidentifikasi memiliki nilai temperatur yang berkisar pada derajat menengah (<340 C). Sistem epitermal umumnya berhubungan dengan batuan pembawa dari aktivitas vulkanik-plutonik yang dikenali dengan munculnya kalsedon kuarsa dengan butiran halus, kalsit, pseudomorf kuarsa yang kemungkinan mengindikasikan terjadinya titik didih fluida, dan breksi hidrotermal (Hedenquist et al., 1996). Tekstur bijih berupa pengisian, crustiform, colloform banding dan struktur comb. Endapan yang terbentuk berada sekitar 1,5 km di bawah permukaan berbentuk urat, stockwork dan dissemenasi sulfida rendah (low sulfidation) dan sulfida tinggi (high sulfidation). Fluida yang mempengaruhi sistem sulfida rendah umumnya terbentuk pada ph yang bersifat netral/ mendekati netral, dominasi air dengan pencampuran air meteorik, walaupun terkadang gas magmatik juga muncul seperti CO 2, SO 2 dan HCl (Gambar III.4.). Titik didih yang terbentuk pada kedalaman dangkal menghasilkan uap yang kaya akan CO 2 dan H 2 S dengan kondensasi dekat permukaan, membentuk pemanasan uap dari tipe air sulfat. Endapan sulfida rendah memiliki karakter seperti urat terbuka, breksi dan stockwork. Bijih dan mineral gang yang terbentuk seperti pirit, arsenopirit, spalerit, galena, emas, kuarsa, kalsedon, kalsit, adularia, illit, barit sangat miskin akan Cu dan logam dasar lainnya. Tekstrur pada sulfida rendah berbentuk colloform banding, rekahan hidrolik, bladed kalsit atau kuarsa. Terbentuk pada suhu C dengan tekanan hidrostatis (Einaudi et al., 2003). 25
6 Gambar III.3. Model ideal porfiri, epitermal, skarn, modifikasi dari Sillitoe (1995) Sistem epitermal dibagi menjadi dua bagian, yaitu sulfidasi rendah (low Gambar III.4. Skema sederhana distribusi mineral pada sistem epitermal high dan low sulfidation. (Hedenquist et al., 1996) 26
7 Endapan tipe sulfida tinggi ditunjukkan dengan naiknya temperatur pada volatile magma. Air magmatik bercampur dengan air meteorik, membentuk larutan asam yang tinggi mengandung HCl, SO 2, H 2 S. Asal sulfat yang terbentuk kontak dengan batuan dinding dan mengakibatkan proses pencucian (alterasi advance argilic). Temperatur terbentuk sekitar C dengan ph antara 0 2 salinitas antara 2-5 wt% setara NaCl. Semakin dalam salinitas akan semakin bertambah. Endapan sulfida tinggi memiliki karakter seperti disementasi mineral bijih, replacement dan sedikit stockwork atau urat. Umumnya mengandung bijih Cu-As. Alterasi yang umum terbentuk seperti kaolin dan alunit, barit, dickit, piropilit dan diaspor, membentuk zona poros, vuggy silika dikarenakan terjadinya proses pencucian yang kuat (Einaudi et al., 2003). Alterasi argilik lanjut tidak selalu mengindikasikan nilai ekonomis yang tinggi tapi bisa juga karena penurunan steam heated water yang tidak berhubungan dengan fluida mineralisasi. Endapan sulfida tinggi dan sulfida rendah dapat mengalami overprinted oleh alterasi steam-heated. Pada alterasi ini, sistem epitermal biasanya mengalami erosi dan runtuh. Dicirikan oleh terbentuknya endapan sinter silika di daerah manifestasi air panas (Hedenquist et al. 1996). Steam-heated alterasi berasosiasi dengan unsur Cl yang kaya dan berada di dekat permukaan, pada air panas akan kaya oleh CO 2 dikarenakan terjadi interaksi dengan dinding vulkanik (asam menengah). Kumpulan mineral alterasi yang terbentuk seperti albit ± adularia ± wairakit ± serisit ± yang epidot sebagai ubahan dari plagioklas. Biotit terubah menjadi klorit ± spane ± epidot. Piroksen dan ampibol terubah menjadi serisit ± klorit ± spane ± kuarsa ± pirit. Massa dasar terubah menjadi kuarsa ± serisit ± kalsit ± zeolit ± klorit. Rekahan dan urat urat terisi oleh mineral kuarsa, kalsit, serisit, adularia, zeolit, klorit, epidot terkadang pirit dan pirotit (Hedenquist et al., 1996). Pada daerah panas bumi aktif albit dan adularia tidak akan muncul di kedalaman bila temperaturnya kurang dari 180 C. Mineral serisit, mika putih, dan kuarsa lebih banyak terbentuk menggantikan mineral primer (mafik) dan masa dasar (Hedenquist dan Browne, 1989). 27
8 III.4 Alterasi Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan perubahan yang terbentuk pada batuan atau mineral yang diakibatkan oleh aktivitas air panas. Perubahan yang terjadi meliputi mineralogi, fisika, kimia, tekstur sehingga menghasilkan interaksi antara batuan/mineral yang dilalui oleh larutan panas. Beberapa faktor yang mengontrol terbentuknya alterasi adalah batuan asal - batuan dinding (wall rock), komposisi fluida dan konsentrasi dari komponen unsur unsur kimia larutan seperti H +, CO 2, O 2, K +, S 2, dll. Alterasi yang terjadi pada sistem epitermal tidak begitu bergantung pada komposisi batuan dinding, namun lebih dikarenakan permeabilitas, temperatur dan komposisi fluidanya (Henley et al., 1983). Alterasi hidrotermal dapat terbentuk karena proses pengendapan langsung, penggantian (replacement) dan pencucian (leaching) (Browne, 1978). Proses pengendapan secara langsung umumnya dijumpai pada aktivitas panas bumi hal tersebut diakibatkan karena larutan yang berada pada reservoir dapat bergerak melalui rekahan-rekahan, rekahan hidrolik, sesar, kekar, ketidakselarasan, lubang, pori dan bentukan permeabel lainnya. Kuarsa, kalsit dan anhidrit biasanya terbentuk pada urat urat dan lubang, tapi mineral klorit, ilit, alularia, pirit, pirotit, hematit, wairakit, flourit, laumonit, prehnit dan epidot terbentuk hanya akibat pengendapan langsung. Penggantian biasanya terjadi pada batuan vulkanik dengan komposisi mineral primer yang tidak stabil pada lingkungan panas bumi. Akibatnya mineral primer akan digantikan oleh mineral baru yang stabil atau metastabil di bawah kondisi yang baru. Tingkat penggantian mineral baru tergantung dari permeabilitas dan temperaturnya. Proses lainnya adalah pencucian dimana proses ini terjadi diluar dari batas lingkungan panas bumi. Pencucian biasa terjadi pada kondensasi uap, pengasaman oleh oksidasi H 2 S yang berlangsung pada batuan, menghancurkan mineral primer namun tanpa adanya penggantian / replacement. Hidrolisis alterasi atau hidrogen ion metasomatism juga merupakan salah satu hal penting yang dapat membentuk 28
9 alterasi batuan dengan mengubah komposisi ion H 2 O menjadi ion H + dan OH dimana ion-ion tersebut akan berinteraksi dengan larutan silika pada larutan hidrotermal. Efek yang terbentuk adalah terjadinya perubahan nilai ph larutan dan menambah pemisahan ion kation dalam larutan. Proses hidrasi yang terbentuk pada proses alterasi merupakan masuknya molekul H 2 O dalam mineral (atau terikat oleh ion dalam mineral), misalnya pada gipsum (CaSO 4.2H 2 O) dan zeolit. Sedangkan proses dimana kation menggantikan mineral lain disebut sebagai base exchange (alkali metasomatisme) seperti konversi dari mikroklin ke albit dimana Na menggantikan K (Taylor, 1997). Jadi secara umum baik proses hidrolisis, hidrasi dan base axchange adalah upaya untuk mengontrol stabilitas mineral silika, ph larutan dan perpindahan kation dalam larutan. Ketiga proses tersebut menghasilkan pembentukan masing-masing zona alterasi seperti argilik, propilitik, filik dan potasik (Gambar III.5.) pada kumpulan mineral. Gambar III.5. Terminologi alterasi hidrotermal (Corbett dan Leach, 1998) 29
10 Pada daerah panas bumi intensitas alterasi di permukaan merefleksikan berbagai parameter seperti kondisi hidrologi, tingkat reaktifitas batuan pembawa dan fluida, serta jumlah fluida yang berinteraksi dengan batuan. Setidaknya telah diketahui sekitar 100 mineral alterasi yang berasosiasi dengan proses terjadinya dan kisaran temperatur pembentukannya dalam wilayah panas bumi aktif. (Lampiran A). III.5 Sistem Hidrologi Kondisi hidrologi daerah setempat sangat berperan dalam pembentukan sistem panas bumi. Fluida yang masuk melalui daerah resapan berfungsi sebagai pencampur dan sebagai sumber fluida di reservoir panas bumi. Ada beberapa cara dalam proses masuknya air permukaan ke dalam sistem akifer seperti melalui permeabilitas yang terbentuk oleh ruang antar butir pada batuan (klastik) ataupun melalui sesar dalam bentuk rekahan (Puradimaja, 2006). Sistem akifer dengan aliran air melalui rekahan (fracture), terjadi pada litologi non-klastik seperti aliran lava, selain non klastik sistem ini juga umum pada litologi klastika halus seperti batuan sedimen, tingkat kerapatan kekar, baik itu kekar deformatif ataupun kekar primer akibat proses pendinginan juga mempengaruhi besarnya infiltrasi air dibawah permukaan. Pada zona struktur sesar sistem akifer ini umum terjadi. Sistem akifer dengan aliran air melalui ruang antar butir (intergranular) umum terjadi pada batuan klastik atau vulkanoklastik, seperti batuan piroklastik baik aliran piroklastik atau jatuhan piroklastik, breksi vulkanik atau breksi laharik. Pada umumnya jenis akifer ini mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi karena permeabilitasnya tinggi. Sistem akifer dengan aliran air melalui media pori (porous) terjadi pada batuan dengan tingkat porositas tinggi, batuan beku basaltis yang mempunyai ronggarongga di permukaan (vesicular) serta endapan vulkanik yang tersusun oleh scorea sangat umum menjadi media sistem akifer ini. Tingkat kelolosan aliran air 30
11 ini tergantung pada jenis lubang porinya itu sendiri, bila saling berhubungan antar satu rongga dengan rongga lainnya, menyebabkan permeabilitasnya tinggi. III.6 Geokimia Kandungan kimia fluida panas bumi merupakan hal yang penting untuk mengetahui karakteristik reservoir suatu sistem panas bumi. Beberapa hal penting dalam anasisis kandungan kimia fluida adalah temperatur fluida, kandungan gas, sumber air, jenis batuan, kondisi dan lamanya interaksi air terhadap batuan dan pencampuran fluida dengan sumber lain. Penentuan tipe air panas ditentukan oleh konsentrasi unsur anion yang terlarut Cl, HCO 3 dan SO 4 (Nicholson, 1993). Oleh karena itu secara umum fluida panas bumi terbagi atas tiga tipe air yaitu air klorida, air asam sulfat dan air bikarbonat. - Air klorida dicirikan pada kandungan Cl yang tinggi, biasanya berasosiasi dengan nilai Na, K yang tinggi, Ca dan Mg rendah, menunjukkan air reservoir dengan kandungan salinitas 0,1 1 wt % Cl, kaya akan SiO 2 dan sering terdapat HCO 3, perbandingan Cl/ SO 4 tinggi, berasosiasi dengan gas CO 2 dan H 2 S, ph fluida netral. Kondisi manifestasi (air panas) biasanya bening, jernih, berwarna biru serta pada temperatur yang tinggi biasanya ditemukan sinter silika. - Air asam sulfat dicirikan dengan nilai unsur SO 4 yang tinggi, Cl dan HCO 3 sangat rendah dengan ph rendah (2-3), terbentuk di kedalaman yang lebih dangkal dan membentuk kondensasi uap ke dalam air permukan (steam heated water), biasanya terbentuk kolam lumpur dan pelarutan batuan sekitarnya. - Air bikarbonat dicirikan dengan kandungan unsur HCO 3 yang tinggi dengan kation utama Na, terbentuk di daerah pinggir dan dangkal, akibat absorbsi gas CO 2 dan kondensasi uap air ke dalam air tanah (steam heated water), nilai Cl dan SO 4 bervariasi. Di bawah muka air tanah bersifat asam lemah, tetapi bila terjadi CO 2 yang terlarut di permukaan bisa bersifat basa, biasanya berhubungan dengan kehadiran batugamping di bawah permukaan dan identik dengan terbentuknya traventin di permukaan. 31
12 Untuk memperkirakan temperatur reservoir beberapa parameter yang bisa digunakan adalah dengan mengetahui nilai geotermometer fluida seperti Geotermometer SiO 2, geotermometer sodium-potasium (Na-K) atau geotermometer Sodium-kalsium-potasium (Na-K-Ca). Geotermometer silika (Fournier, 1966), digunakan bila reservoir jenuh dengan kuarsa Kuarsa adiabatik : t ( C) = log SiO 1315 Kuarsa konduktif : t ( C) = log SiO Kuarsa kalsedon : t ( C) = log SiO Geotermometer Na-K, digunakan untuk jenis air alkali klorida dengan ph netral dan tidak terdapat endapan traventin t ( C) = 273 log( Na / K) Fournier (1979) : t ( C) = 273 log( Na / K) Giggenbach (1988) : t ( C) = 273 log( Na / K) Geotermometer Na-K-Ca digunakan untuk air yang mengandung Ca tinggi dan terdapat endapan traventin t ( C) = 273 log( Na / K) + log( Ca / Na) Penentuan isotop stabil ( 1 H dan 2 H; 12 C dan 13 C; 16 O dan 18 O; 32 S dan 34 S) dimaksudkan untuk mengetahui antara fluida dan efeknya terhadap interaksi dengan batuan, disamping itu isotop stabil digunakan sebagai jejak untuk mengetahui sumber elemen dalam bentuk paleotermometer yang mempelajari sebaran reaksi dan mekanisme proses geologi (Hoefs, 1987 dan Valley et al., 1986). Penentuan air magmatik dari perhitungan nilai isotop dilakukan dengan membandingkan perhitungan nilai δd vs δ 18 O dalam bentuk diagram dimana nilai 32
13 δd antara -40 sampai -80 dan δ 18 O antara +5.5 sampai +9.0 (Sheppard,1977). Untuk air metamorfik nilai δd antara -20 sampai -65 dan δ 18 O antara +3 sampai +25. Pada daerah panas bumi, air panas sebagian besar berasal dari air meteorik namun komposisi isotopnya bisa mengubah nilai δ 18 O. Nilai δd sama dengan nilai asal air meteorik. Nilai δ 18 O pada sistem panas bumi berkisar antara dan (Campbell et al., 1988). III.7 Gaya berat Metode gaya berat digunakan untuk menganalisis variasi densitas batuan yang berhubungan dengan sistem panas bumi. Aplikasinya didasarkan atas sifat massa dari benda-benda di alam dimana besarnya massa tersebut sangat menentukan besarnya gaya tarik menarik diantara benda tersebut. Berdasarkan hukum Newton besarnya gaya tarik menarik adalah : F = G.m1.m2 / r 2 (Newton) Keterangan: F = gaya tarik menarik G = konstanta gravitasi = x 10 (cgs) m1, m2 = massa benda (kg) r = jarak antara kedua benda (m) Hubungan antara konstanta G dengan percepatan gaya tarik bumi andaikan suatu massa (m) berada diatas bumi bermassa M dan radius r, maka: F = G. M.m / r 2 Sehingga gaya tarik bumi (g) adalah g = F/m = G.M / r 2 Keterangan : Satuan g dalam cm/det 2 atau gal = 1000 milligal. Kondisi di atas dan di bawah permukaan bumi yang tidak homogen dapat menyebabkan perbedaan gravitasi pada lokasi-lokasi tertentu. Perbedaan yang muncul karena pengaruh alam dan anomali setempat yang menimbulkan medan gravitasi tidak merata di permukaan bumi. 33
14 Nilai gaya berat normal dihitung dengan mempertimbangkan bumi sebagai suatu benda elips yang berputar. Anomali Bouguer adalah gaya berat pengamatan dikurangi gaya berat normal yang telah dikoreksi oleh efek-efek ketinggian dan topografi. Batuan yang relatif lebih basa akan memiliki nilai densitas yang lebih tinggi dari pada batuan yang lebih asam (Tabel III.1.). Sedangkan untuk batuan sedimen akan sangat dipengaruhi faktor porositas dan saturasinya. Tabel III.1. Sebaran data nilai densitas batuan (Sheriff, 2002) Material Densitas (gr/cm 3 ) Udara ~0 Air 1 Sedimen Batupasir Batulempung Batugamping Granit Basalt Andesit Metamorf Perbedaan densitas pada lingkungan panas bumi terbentuk karena adanya deposisi mineral hidrotermal dengan cara pengendapan langsung dimana nilainya akan berbeda dengan densitas batuan akibat proses pencucian atau penggantian. Pada proses pengendapan langsung mineral hidrotermal, densitas batuan secara keseluruhan akan mengalami penambahan sedangkan pada proses pencucian densitas batuan akan mengalami penurunan. Mineral yang memiliki nilai porositi tinggi nilai densitas akan naik, begitu pula sebaliknya (Sheriff, 2002). III.8 Geolistrik Pada metode tahanan jenis dilakukan dengan menginjeksi aliran listrik ke dalam bumi dan mengukur perbedaan potensial antara titik tertentu. Beda potensial yang terukur tergantung pada sifat kelistrikan dari batuan secara vertikal maupun horizontal. Pada prinsipnya bumi terbagi atas beberapa lapisan batuan yang memiliki perbedaan potensial, namun harga tahanan jenis bukanlah nilai yang sebenarnya sehingga dinamakan sebagai nilai tahanan jenis semu. Semakin jauh 34
15 bentangan elektroda maka nilai tahanan jenis akan semakin dalam, begitu pula sebaliknya. Pengukuran arus listrik dilakukan dengan konfigurasi Schlumberger dengan pengukurannya seperti berikut. I ma V A M 0 N B Jarak AB/2 Gambar III.6. Konfigurasi Schlumberger untuk pengukuran geolistrik. Arus listrik (I) dialirkan ke tanah melalui elektroda-elektroda arus (AB). Beda potensial ( V) akibat arus tersebut diukur melalui elektroda-elektroda potensial MN). Elektroda potensial berbentuk porous-pot yang diisi larutan CuSO 4 dengan sebuah batang tembaga (Cu) kecil di dalamnya, bertindak sebagai elektroda potensial non-polarisasi. Elektroda MN ini, melalui kabel, dihubungkan ke voltmeter yang memiliki impedansi diri sangat tinggi. Tahanan jenis semu untuk konfigurasi Schlumberger dihitung dengan rumus berikut: ρ a = ( AB ) 2 2 MN MN V 4 I X π Perhitungan nilai resistivity diperuntukan untuk mengetahui nilai konduktivitas dari reservoir panas bumi. Konsentrasi unsur kimia dari fluida hidrotermal akan mempengaruhi batuan reservoir, dimana larutan akan akan mempengaruhi nilai konduktivitas dari mineral lempung dan zeolit pada matriknya. Anomali geofisika yang berkaitan langsung dengan panas bumi antara lain untuk mendeteksi matrik batuan (segar = resistif, alterasi / lempung = konduktif), pori berair akan konduktif dan uap akan resistif (Sumintadireja, 2005). 35
16 III.9 Perhitungan Potensi Energi Panas Bumi Metode yang digunakan dalam estimasi potensi panas bumi (dalam MWe) adalah metode Volumetrik Lump parameter yang ditulis kembali oleh Panitia Kecil Standardisasi Panas Bumi (1994) sebagai berikut: Q = x A x (T ag T cut-off ) Keterangan: Q = potensi energi batuan (MWe) A = luas reservoir (km 2 ) T ag T cut-off = temperatur air panas hasil geotermometer ( C) = temperatur cut-off ( C). Nilai T cut-off diambil dari asumsi yang terdapat dalam Standar Nasional Indonesia (SNI ) dapat dilihat dalam Tabel III.2. berikut. Tabel III.2. Daftar Nilai T cut-off dalam reservoir panas bumi Reservoir Batas Temperatur ( C) Temp. cut-off ( C) Konversi Energi (%) Temperatur rendah < Temperatur sedang Temperatur tinggi > Lain-lain **) φ = 10 % t = 30 th S L = 100% Beberapa asumsi lain yaitu: tebal reservoir = 1 km, recovery factor = 50%, faktor konversi = 10%, dan lifetime = 30 tahun. 36
Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya energi yang melimpah dan beraneka ragam, diantaranya minyak bumi, gas bumi, batubara, gas alam, geotermal, dll.
Lebih terperinciBAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi
BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi Metode geologi yang dipergunakan adalah analisa peta geologi regional dan detail. Peta geologi regional menunjukkan tatanan geologi regional daerah tersebut, sedangkan
Lebih terperinciBAB III LANDASAN TEORI
BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Alterasi dan Endapan Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan. Proses tersebut
Lebih terperinciBAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN
BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN III.1 Teori Dasar III.1.1 Sistem Panasbumi Sistem geotermal merupakan sistem perpindahan panas dari sumber panas ke permukaan melalui proses konveksi air meteorik
Lebih terperinciBAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR
BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR 4.1 Sistem Panas Bumi Secara Umum Menurut Hochstein dan Browne (2000), sistem panas bumi adalah istilah umum yang menggambarkan transfer panas alami pada volume
Lebih terperinciBab IV Sistem Panas Bumi
Bab IV Sistem Panas Bumi IV.1 Dasar Teori Berdasarkan fluida yang mengisi reservoir, sistem panas bumi dibedakan menjadi 2, yaitu sistem panas bumi dominasi air dan sistem panasbumi dominasi uap. 1. Sistem
Lebih terperinci(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.
` BAB IV ALTERASI HIDROTHERMAL 4.1 Pendahuluan Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal. Oleh karena itu, mineral alterasi
Lebih terperinciBAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46
BAB VI DISKUSI 6.1 Evolusi Fluida Hidrotermal Alterasi hidrotermal terbentuk akibat adanya fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno,
Lebih terperinciBab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal
Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk
Lebih terperinciBAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA
BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA 3.1 Data Geokimia Seperti yang telah dibahas pada bab 1, bahwa data kimia air panas, dan kimia tanah menjadi bahan pengolahan data geokimia untuk menginterpretasikan
Lebih terperinciBAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum
BAB V KIMIA AIR 5.1 Tinjauan Umum Analisa kimia air dapat dilakukan untuk mengetahui beberapa parameter baik untuk eksplorasi ataupun pengembangan di lapangan panas bumi. Parameter-parameter tersebut adalah:
Lebih terperinciBAB II METODE PENELITIAN
BAB II METODE PENELITIAN 2.1. Metode Geologi Metode geologi yang dipergunakan adalah analisa peta geologi regional dan lokal. Peta geologi regional menunjukkan tatanan geologi regional daerah tersebut.
Lebih terperinciBAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar
BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. Teori Dasar Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat adanya interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk
Lebih terperinciBAB IV UBAHAN HIDROTERMAL
BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan
Lebih terperinciBAB IV ALTERASI HIDROTERMAL
BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal
Lebih terperinciBAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT
BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT 4.1 Tinjauan Umum Manifestasi permukaan panas bumi adalah segala bentuk gejala sebagai hasil dari proses sistem panasbumi
Lebih terperinciBAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL
4.1 TEORI DASAR BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL Alterasi adalah suatu proses yang di dalamnya terjadi perubahan kimia, mineral, dan tekstur karena berinteraksi dengan fluida cair panas (hidrotermal) yang dikontrol
Lebih terperinciBAB 2 TEORI DASAR 2.1 Metode Geologi
BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Metode Geologi Metode geologi yang dipakai adalah analisis peta geologi regional dan lokal dari daerah penelitian. Untuk peta geologi regional, peta yang dipakai adalah peta geologi
Lebih terperinciSTUDI UBAHAN HIDROTERMAL
BAB IV STUDI UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal
Lebih terperinciBAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN
BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang
Lebih terperinciIII.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon
III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon Kuarsa sekunder adalah mineral silika yang memiliki temperatur pembentukan relatif panjang, berkisar 180 0 C hingga lebih dari 300 0 C (Reyes, 1990). Kehadiran kuarsa
Lebih terperinciBAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN
BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN 4.1 Tinjauan Umum Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan
Lebih terperinciBab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang
Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Daerah Sumatera merupakan salah satu daerah yang memiliki tatanan geologi sangat kompleks, baik dari segi sedimentologi, vulkanologi, tektonik dan potensi sumber daya
Lebih terperinciBAB 6 PEMBAHASAN POTENSI PANAS BUMI DAERAH PENELITIAN
BAB 6 PEMBAHASAN POTENSI PANAS BUMI DAERAH PENELITIAN 6. 1 Hilang Panas Alamiah Dalam penentuan potensi panas bumi disuatu daerah diperlukan perhitungan kehilangan panas alamiah. Hal ini perlu dilakukan
Lebih terperinciBAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI
BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI 6.1 Alterasi dan Fluida Hidrotermal Zona alterasi (Gambar 6.3) yang ditemukan pada Sumur BWS-H01 terdiri empat zona alterasi yaitu zona argilik (kaolinit, dikit, kuarsa sekunder,
Lebih terperinciBAB IV GEOKIMIA AIR PANAS
4.1 Tinjauan Umum. BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS Salah satu jenis manifestasi permukaan dari sistem panas bumi adalah mata air panas. Berdasarkan temperatur air panas di permukaan, mata air panas dapat dibedakan
Lebih terperinciBAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA
BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 metode geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Dimana kedua metode tersebut saling mendukung, sehingga
Lebih terperinciBAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL 3.1. Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal
Lebih terperinciSISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA. [Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir]
SISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA [Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir] III.1. Komponen Sistem Panasbumi Menurut Goff & Janik (2000) komponen sistem panasbumi yang lengkap terdiri dari
Lebih terperinciBAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA
BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA III.1 Data Geokimia Dengan menggunakan data geokimia yang terdiri dari data kimia manifestasi air panas, data kimia tanah dan data udara tanah berbagai paramater
Lebih terperinciBAB 4 PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI
BAB 4 PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI 4.1 Hilang Panas Alamiah Besar potensi panas bumi dapat diperkirakan melalui perhitungan panas alamiah yang hilang melalui keluaran manifestasi panas bumi (natural heat
Lebih terperinciBAB III ALTERASI HIDROTERMAL
BAB III ALTERASI HIDROTERMAL 3.1 Tinjauan Umum White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan
Lebih terperinciBAB IV GEOKIMIA AIR PANAS DI DAERAH GUNUNG KROMONG DAN SEKITARNYA, CIREBON
BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS DI DAERAH GUNUNG KROMONG DAN SEKITARNYA, CIREBON 4.1 Tinjauan Umum Pada metoda geokimia, data yang digunakan untuk mengetahui potensi panasbumi suatu daerah adalah data kimia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah tingkat ketebalan tanah yang tinggi dengan kekuatan antar material yang rendah. Salah satu pembentuk
Lebih terperinciBAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI DI GUNUNG RAJABASA
BAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI DI GUNUNG RAJABASA IV.1 TINJAUAN UMUM Manifestasi panas bumi adalah keluaran fluida panas bumi dari reservoar ke permukaan melalui rekahan atau melalui suatu unit batuan yang
Lebih terperinciBAB V PENGOLAHAN DATA
BAB V PENGOLAHAN DATA Data yang didapatkan dari pengamatan detail inti bor meliputi pengamatan megakopis inti bor sepanjang 451 m, pengamatan petrografi (32 buah conto batuan), pengamatan mineragrafi (enam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ellis and Mahon (1977) menjelaskan bahwa energi panas bumi merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ellis and Mahon (1977) menjelaskan bahwa energi panas bumi merupakan energi yang tersimpan dalam air panas ataupun uap panas pada kondisi geologi tertentu yang terletak
Lebih terperinciBAB IV PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI
Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB IV PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI IV.1 Kehilangan Panas Alamiah Dalam penentuan potensi panas
Lebih terperinciBAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA
BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Pada penelitian ini, penulis menggunakan 2 data geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Kedua metode ini sangat mendukung untuk digunakan dalam eksplorasi
Lebih terperinciAnalisis Geokimia Fluida Manifestasi Panas Bumi Daerah Maribaya
Analisis Geokimia Fluida Manifestasi Panas Bumi Daerah Maribaya Oleh: Extivonus K.Fr (12012060) 1. GEOLOGI REGIONAL Daerah Maribaya terletak di utara Kota Bandung dan berdekatan dengan Lembang. Secara
Lebih terperinciBAB 5 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOKIMIA
BAB 5 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOKIMIA Pengolahan dan interpretasi data geokimia untuk daerah panas bumi Bonjol meliputi penentuan tipe fluida panas bumi dan temperatur reservoar panas bumi. Analisis
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. penafsiran potensi panasbumi daerah penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek yang akan diamati dalam penelitian ini adalah manifestasi panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. Penelitian dikhususkan kepada aspek-aspek
Lebih terperinciLABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA
PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA: PETROGRAFI BATUAN ALTERASI Asisten Acara: 1... 2.... 3.... 4.... Nama Praktikan :... NIM :... Borang ini ditujukan kepada praktikan guna mempermudah pemahaman
Lebih terperinciBAB IV MANIFESTASI PERMUKAAN PANASBUMI DI DATARAN TINGGI DIENG DAN SEKITARNYA
BAB IV MANIFESTASI PERMUKAAN PANASBUMI DI DATARAN TINGGI DIENG DAN SEKITARNYA 4.1 Tinjauan umum Sistem panasbumi yang ada di Indonesia umumnya berasal dari sistem afiliasi volkanik. Sistem ini ditandai
Lebih terperinciBAB 4 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA
BAB 4 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Pengolahan dan interpretasi data geofisika untuk daerah panas bumi Bonjol meliputi pengolahan data gravitasi (gaya berat) dan data resistivitas (geolistrik)
Lebih terperinciSURVEI ALIRAN PANAS (HEAT FLOW) DAERAH PANAS BUMI PERMIS KABUPATEN BANGKA SELATAN, PROVINSI BANGKA BELITUNG
SURVEI ALIRAN PANAS (HEAT FLOW) DAERAH PANAS BUMI PERMIS KABUPATEN BANGKA SELATAN, PROVINSI BANGKA BELITUNG Edy Purwoto, Yuanno Rezky, Robertus S.L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi, Pusat Sumber
Lebih terperinciBAB II TATANAN GEOLOGI
BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa
Lebih terperinciV.2.4. Kesetimbangan Ion BAB VI. PEMBAHASAN VI.1. Jenis Fluida dan Posisi Manifestasi pada Sistem Panas Bumi VI.2.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN.... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR. iv SARI... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL xiv BAB I. PENDAHULUAN. 1 I.1.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tatanan Geologi 2.1.1 Geologi Regional Secara regional endapan emas Cibaliung berada pada kompleks Honje yang terletak di baratdaya dari pulau Jawa. Kompleks Honje berada sekitar
Lebih terperinciSistem Hidrothermal. Proses Hidrothermal
Sistem Hidrothermal Proses Hidrothermal Sistim panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistim hydrothermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225oC), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur
Lebih terperinciRORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN
Genesha Mineral Pada Lingkup Magmatik RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG Lingkup/Lingkungan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
49 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Geokimia 5.1.1. Hasil Penelitian Sampel Air dan Gas Berdasarkan hasil pengambilan sampel air dan gas yang telah dilakukan oleh Tim Survey Geokimia Pusat Sumber Daya Geologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kompleks Gunung Api Arjuno Welirang (KGAW) merupakan bagian dari rangkaian gunung api aktif di Pulau Jawa yang berada di bagian selatan ibukota Surabaya, Jawa Timur.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perubahan perekonomian secara global dapat mempengaruhi kondisi ekonomi pada suatu negara. Salah satunya adalah nilai tukar uang yang tidak stabil, hal tersebut dapat
Lebih terperinciBab IV Pemodelan dan Pembahasan
Bab IV Pemodelan dan Pembahasan 4.1. Pemodelan Self-potential Aliran fluida tunak, panas, listrik, dan kimia disimbolkan oleh J dapat dideskripsikan sebagai potensial gradient sebagai berikut : (3) Di
Lebih terperinciBAB V INTERPRETASI HASIL PENGUKURAN RESISTIVITAS
BAB V INTERPRETASI HASIL PENGUKURAN RESISTIVITAS Metode resistivitas atau metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan untuk mengetahui sifat fisik batuan, yaitu dengan melakukan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah
6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Daerah Penelitian Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Mekakau Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Luas
Lebih terperinciBateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan
Idarwati Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan dapat diambil secara ekonomis. mineral bijih dapat
Lebih terperinciBAB V PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOKIMIA
BAB V PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOKIMIA Tujuan metode geokimia digunakan dalam penelitian eksplorasi energi panasbumi adalah untuk mengkaji kemungkinan pengembangan sumber daya panasbumi. Parameter
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas bumi terbesar (p otensi cadangan dan potensi diketahui), dimana paling tidak terdapat 62 lapangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan sumberdaya mineral di Indonesia khususnya di pulau Jawa banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai penyelidikan yang dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan
Lebih terperinciBAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA
BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1 Tinjauan Umum Menurut kamus The Penguin Dictionary of Geology (1974 dalam Rusman dan Zulkifli, 1998), mineralisasi adalah proses introduksi (penetrasi atau akumulasi
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL...i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERSEMBAHAN...iii. UCAPAN TERIMAKASIH...iv. KATA PENGANTAR...vi. SARI...
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERSEMBAHAN...iii UCAPAN TERIMAKASIH...iv KATA PENGANTAR...vi SARI...vii DAFTAR ISI...viii DAFTAR GAMBAR...xii DAFTAR TABEL...xv BAB
Lebih terperinciBAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN
BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN 5.1 Data AAS (Atomic Absorption Spectrometry) AAS (Atomic Absorption Spectrometry) atau dikenal juga sebagai Spektrometri Serapan Atom merupakan suatu metode kimia yang
Lebih terperinciBAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
. Foto 3.8. a) dan b) Foto inti bor pada sumur BCAN 4 dan sampel breksi tuf (sampel WID-3, sumur bor BCAN-1A) yang telah mengalami ubahan zona kaolinit montmorilonit siderit. c) Mineral lempung hadir mengubah
Lebih terperinciBab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam yang memiliki nilai yang tinggi ( precious metal). Tingginya nilai jual emas adalah karena logam ini bersifat langka dan tidak banyak
Lebih terperinciSURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI. Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi ABSTRAK
SURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi Kata kunci : Sumani, panas bumi, landaian suhu, pengeboran. ABSTRAK Lapangan panas
Lebih terperinciBAB II TATANAN GEOLOGI
BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Endapan mineral Batu Hijau yang terletak di Pulau Sumbawa bagian baratdaya merupakan endapan porfiri Cu-Au. Pulau Sumbawa
Lebih terperinciSURVEI GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI TAMIANG HULU KABUPATEN ACEH TAMIANG, PROVINSI ACEH
SURVEI GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI TAMIANG HULU KABUPATEN ACEH TAMIANG, PROVINSI ACEH oleh Dedi Kusnadi, dan Moch. Nur Hadi Kelompok Penelitian Panas Bumi Pusat Sumber Daya Geologi SARI Daerah
Lebih terperinciACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN
ACARA IX MINERALOGI OPTIK I. Pendahuluan Ilmu geologi adalah studi tentang bumi dan terbuat dari apa itu bumi, termasuk sejarah pembentukannya. Sejarah ini dicatat dalam batuan dan menjelaskan bagaimana
Lebih terperinciBAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI CIMANDIRI
BAB IV MANIFESTASI PANAS BUMI CIMANDIRI 4.1 LATAR BELAKANG Lembah Sungai Cimandiri telah diketahui banyak peneliti merupakan daerah yang dipengaruhi oleh struktur geologi atau lebih dikenal dengan Zona
Lebih terperinciBAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN
BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN 4.1. KONSEP DASAR EKSPLORASI Konsep eksplorasi adalah alur pemikiran yang sistimatis, dimana kita menentukan objek dari pencaharian itu atau jenis dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi tembaga dan emas yang melimpah. Sebagian besar endapan tembaga dan emas ini terakumulasi pada daerah busur magmatik.
Lebih terperinciSURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI GEOLOGI DAN GEOKIMIA
SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI GEOLOGI DAN GEOKIMIA PULAU WETAR, PROVINSI MALUKU Robertus S.L.S, Herry S, Andri Eko A. W. Kelompok Penyelidikan Panas Bumi Pusat Sumber Daya Geologi SARI Secara umum Pulau
Lebih terperinciBAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Menoreh terletak di ujung utara pegunungan Kulon Progo, bagian timur dari zona jajaran punggungan oblong domes / ridges, di sebelah barat perbatasan Propinsi
Lebih terperinciPENYELIDIKAN TERPADU GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI MAPOS, KABUPATEN MANGGARAI TIMUR, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
PENYELIDIKAN TERPADU GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI MAPOS, KABUPATEN MANGGARAI TIMUR, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Lano Adhitya Permana, Dede Iim Setiawan Kelompok Penyelidikan Panas Bumi, Pusat
Lebih terperinciBAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah
BAB V MINERALISASI 5.1. Mineralisasi di daerah Sontang Tengah Studi mineralisasi pada penelitian ini dibatasi hanya pada mineralisasi Sulfida masif dengan komposisi mineral galena, sfalerit, pirit, Ag
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam mulia yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Keterdapatan mineralisasi emas di Indonesia terdapat salah satu nya berada di Selogiri,
Lebih terperinciSTUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR
STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR ABSTRAK Sapto Heru Yuwanto (1), Lia Solichah (2) Jurusan Teknik Geologi
Lebih terperinciFORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM
FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM No. Record : Judul Laporan : DATA UMUM Instansi Pelapor : Penyelidik : Penulis Laporan : Tahun Laporan : Sumber Data : Digital Hardcopy Provinsi : Kabupaten
Lebih terperinciGEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI GERAGAI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI
GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI GERAGAI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI Dedi Kusnadi, Lano Adhitya Permana, Dikdik Risdianto Kelompok Penyelidikan Panas Bumi, Pusat Sumber Daya Geologi
Lebih terperinciPENYELIDIKAN PENDAHULUAN GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI KABUPATEN BONE DAN KABUPATEN SOPPENG, PROVINSI SULAWESI SELATAN
PENYELIDIKAN PENDAHULUAN GEOLOGI DAN GEOKIMIA DAERAH PANAS BUMI KABUPATEN BONE DAN KABUPATEN SOPPENG, PROVINSI SULAWESI SELATAN Eddy Mulyadi, Arif Munandar Kelompok Penyelidikan Panas Bumi, Pusat Sumber
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI
BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI IV.1 Pendahuluan Energi panasbumi merupakan sumber panasbumi alami di dalam bumi yang terperangkap pada kedalaman tertentu dan dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Energi
Lebih terperinci3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...
DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...
Lebih terperinciI. ALTERASI HIDROTERMAL
I. ALTERASI HIDROTERMAL I.1 Pengertian Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100 500 o C) sisa pendinginan magma yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya dan membentuk mineral-mineral
Lebih terperinciKarakterisasi Temperatur Bawah Permukaan Daerah NZU : Integrasi Data Geotermometer, Mineral Alterasi dan Data Pengukuran Temperatur Bawah Permukaan
Karakterisasi Temperatur Bawah Permukaan Daerah NZU : Integrasi Data Geotermometer, Mineral Alterasi dan Data Pengukuran Temperatur Bawah Permukaan Nisrina Zaida Ulfa (1), Dr. Ir. Johanes Hutabarat, M.si
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadikan Indonesia memiliki daerah vulkanik yang berlimpah. Sebagian besar
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sistem panas bumi umumnya berkembang pada daerah vulkanik dan non vulkanik. Seting tektonik Indonesia yang dilalui oleh jalur pegunungan aktif menjadikan Indonesia
Lebih terperinciGEOFISIKA EKSPLORASI. [Metode Geolistrik] Anggota kelompok : Maya Vergentina Budi Atmadhi Andi Sutriawan Wiranata
GEOFISIKA EKSPLORASI [Metode Geolistrik] Anggota kelompok : Maya Vergentina Budi Atmadhi Andi Sutriawan Wiranata PENDAHULUAN Metoda geofisika merupakan salah satu metoda yang umum digunakan dalam eksplorasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN GEOLOGI. yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Indo - Australia, dan. dilihat pada Gambar 1.
BAB II TINJAUAN GEOLOGI 2.1. Struktur Geologi Proses terjadinya sumber panas bumi di Indonesia merupakan hasil dari interaksi tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Indo - Australia, dan
Lebih terperinciBAB VI INTERPRETASI DATA GEOKIMIA
BAB VI INTERPRETASI DATA GEOKIMIA Pada Tahun 2008, tim dari kelompok penelitian Program Panas Bumi, Pusat Sumber Daya Geologi, melakukan penyelidikan geokimia pada daerah lapangan panas bumi Tambu. Penyelidikan
Lebih terperinciII.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25
v DAFTAR ISI Hal. JUDUL LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... ii LEMBAR PERNYATAAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv SARI... xv ABSTRACT... xvii
Lebih terperinciSURVEI ALIRAN PANAS DAERAH PANAS BUMI LAINEA, KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROVINSI SULAWESI TENGGARA
SURVEI ALIRAN PANAS DAERAH PANAS BUMI LAINEA, KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROVINSI SULAWESI TENGGARA Dikdik Risdianto, Arif Munandar, Sriwidodo, Hari Prasetya Badan Geologi Pusat Sumber Daya Geologi Jl.
Lebih terperinciSURVEI LANDAIAN SUHU SUMUR WSL-1. Robertus S.L. Simarmata, Arif Munandar Kelompok Penyelidikan Panas Bumi
SURVEI LANDAIAN SUHU SUMUR WSL-1 Robertus S.L. Simarmata, Arif Munandar Kelompok Penyelidikan Panas Bumi SARI Sumur WSL-1 berlokasi di desa Tanjung Besar dengan koordinat 367187 me dan 9477147 mn, elevasi
Lebih terperinciFoto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)
Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah
Lebih terperinciMetamorfisme dan Lingkungan Pengendapan
3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras
Lebih terperinciPENYELIDIKAN GEOLISTRIK DI DAERAH PANAS BUMI SONGA WAYAUA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, PROVINSI MALUKU UTARA
PENYELIDIKAN GEOLISTRIK DI DAERAH PANAS BUMI SONGA WAYAUA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, PROVINSI MALUKU UTARA Sri Widodo, Bakrun Kelompok Program Penelitian Panas Bumi SARI Daerah panas bumi - yang secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah administrasi di Kabupaten Temanggung, Kabupaten dan Kota Magelang. Secara morfologi CAT ini dikelilingi
Lebih terperinciINVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI
INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI Secara geologi daerah Kabupaten Boven Digoel terletak di Peta Geologi
Lebih terperinciaptudika.web.ugm.ac.id
aptudika.web.ugm.ac.id 41. Siklus hidrologi berperan serta dalam merubah bentuk permukaan bumi melalui proses: A. presipitasi dan evaporasi B. evaporasi dan transpirasi C. transpirasi dan infiltrasi D.
Lebih terperinci