BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA"

Transkripsi

1 BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1 Tinjauan Umum Menurut kamus The Penguin Dictionary of Geology (1974 dalam Rusman dan Zulkifli, 1998), mineralisasi adalah proses introduksi (penetrasi atau akumulasi suatu massa) yang akan membentuk mineral bijih dan mineral penyertanya (gangue) pada suatu batuan sehingga terbentuk endapan mineral. Boyle (1970 dalam Garwin, 2000) menyatakan bahwa terdapat empat kemungkinan asal mineral bijih dalam cebakan hidrotermal, yaitu: 1. Unsur yang berasal dari hasil proses kristalisasi magma. 2. Unsur yang berasal dari batuan samping (wall rocks) yang melingkari cebakan bijih tersebut atau berasal dari batuan-batuan yang terdapat di atasnya atau di bawahnya. 3. Unsur yang berasal dari sumber keterdapatannya jauh di bawah permukaan bumi kemungkinan berasal dari mantel atau dari bagian yang lebih dalam lagi. 4. Unsur yang mungkin berasal dari permukaan yang mengalami proses pelapukan. Menurut Hedenquist dan Reid (1985), daerah berkelurusan tinggi seperti zona sesar, tubuh breksiasi, serta litologi yang porous merupakan syarat dalam pembentukan tubuh bijih. Hal-hal pokok yang menentukan pembentukkan mineral hasil proses mineralisasi (Bateman dan Jansen, 1981), yaitu: adanya larutan hidrotermal sabagai pembawa mineral, adanya celah batuan sebagai jalan bagi lewatnya larutan hidrotermal, adanya tempat bagi pengendapan mineral, terjadinya reaksi kimia yang dapat menyebabkan terjadinya pengendapan mineral, dan konsentrasi larutan yang cukup tinggi bagi terendapkannya kandungan mineral. Dalam tipe endapan porfiri Cu-Au, mineralisasi akan terakomodasi bersama urat kuarsa, akibat kondisi bawah permukaan yang memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi, yang hanya memungkinkan larutan hidrotermal untuk Meilani Magdalena/

2 bergerak melalui rekahan. Kelimpahan mineralisasi akan lebih banyak terdapat dalam urat-urat halus. Urat-ura halus tersebut akan membentuk suatu struktur acak (stockwork) (Gambar 4. 1). Stockwork terbentuk sebagai hasil proses pembentukan rekahan selama pendinginann pada daerah atas dari sebuah intrusi batuan beku (Bateman dan Jensen, 1981). Gambar 4.1. Kenampakan stockwork pada dinding area tambang. Proses mineralisasi unsur logam terutama Cu dan Au dikontrol oleh penurunann temperatur, ph, dan salinitas dari larutan hidrotermal (Henley, 1973 dalam Corbett dan Leach, 1996). Dalam hal ini, proses ubahan dapat menjadi indikator penting untuk menentukan dimana mineralisasi terjadi. Pada zona hipogen, mineralisasii bijih akan cenderung hadir dalam bentuk mineral sulfida. Hal ini disebabkan oleh tipe larutan pembawa mineralisasi yang kaya akan unsur sulfur (S) dan oksigen (O). 4.2 Mineralisasi Daerah Penelitian Mineralisasi di daerah penelitian terjadi semenjak kehadiran batuan tonalit tua yang hadir mengintrusi tuf kristal dan batuan diorit. Oleh karena itulah batuan tonalit tua bertindak sebagai batuan pembawa mineralisai pertama di Batu Hijau. Intensitas mineralisasi pada batuan ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan batuan tonalit muda yang hadir setelahnya. Hal inii dapat dibuktikan dengan kehadiran urat padaa tonalit tua yang dipotong oleh tonalit muda (Gambar Meilani Magdalena/

3 4.2). Mineralisasi lebih intensif pada tonalit tua dibandingkan pada tonalit muda kemungkinan penyebabnya adalah pada saat tonalit tua hadir mengintrusi batuan samping, larutan hidrotermal yang hadir megisi rekahan atau celah pada tonalit tua tersebut sangat kaya akan mineralisasi, namun ketika tonalit muda hadir, kandungan mineralisasi di larutan hidrotemal telah berkurang atau dengan kata lain tonalit muda hanya mendapatkan mineralisasi sisa-sisa dari tonalir tua. Gambar 4.2. Urat pada tonalit tua dipotong oleh tonalit muda. Hal ini menunjukkan mineralisasi yang terkandung pada urat terjadi sebelum kehadiran tonalit muda Metode Pengamatan Dalam menentukan zonasi mineralisasi dan paragenesa mineralisasi di daerah penelitian, penulis menggunakan beberapa metode pengamatan, yaitu pengamatan secara megaskopis dan pengamatan secara mineragrafis. Kedua metode ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui jenis urat, mineral bijih yang terdapat pada batuan, dan tekstur mineral bijih tersebut Pengamatan Megaskopis Dalam studi mineralisasi, dengan melakukan pengamatan megaskopis dapat mengidentifikasi mineral sulfida yang hadir pada suatu batuan. Pengamatan megaskopis dilakukan terhadap conto cutting, conto inti bor, dan conto batuan permukaan secara detail dengan tujuan akhir dapat menentukan zonasi Meilani Magdalena/

4 mineralisasi. Informasi yang di dapatkan dari pengamatan megaskopis ini yaitu berupa persentase densitas urat dan persentase mineral sulfida utama (bornit, kalkopirit, dan pirit) Pengamatan Mineragrafis Pengamatan mineragrafis dilakukan terhadap sayatan poles dengan menggunakan mikroskop cahaya pantul. Mikroskopis bijih (mineragrafi) meliputi identifikasi butiran individu mineral dan interpretasi mineral bijih dengan cara mengidentifikasi hubungan antar butiran mineral bijih. Kenampakan tekstur merupakan manifestasi dari karakteristik fluida dan kimia-fisika batuan samping serta sifat-sifat proses pengendapan mineral bijih, kesetimbangan kembali (reequilibration), pemanasan kembali (annealing), pengisian celah, dan sebagainya (Craigh dan Vaughan, 1981). Berdasarkan hasil pengamatan mineragrafis, dapat diketahui mineralisasi yang terbentuk pada daerah penelitian. Umumnya mineralisasi bijih yang dijumpai merupakan mineral-mineral sulfida dan oksida. Hasil identifikasi mineragrafi ditemui 8 macam mineral bijih, yaitu kalkopirit, bornit, pirit, kovelit, kalkosit, digenit, magnetit, dan hematit Tipe-Tipe Urat di Daerah Penelitian Tipe-tipe urat yang dipakai di daerah penelitian mengacu pada klasifikasi yang di lakukan Gustafson dan Hunt (1975) untuk endapan porfiri tembaga di El- Savador, Chile, Amerika Selatan, yaitu (Gambar 4.3): Urat Tipe A Urat tipe A umumnya memiliki tebal <1 cm, mineral pengisi berupa kuarsa, kadang-kadang berasosiasi dengan bornit, digenit, kalkopirit, magnetit dan biotit. Kuarsa biasanya berbentuk granular, berasosiasi dengan mineral-mineral sulfida yang tersebar, berbentuk iregular dan tidak menerus, batas dengan batuan samping tidak tegas, dan berasosiasi dengan alterasi biotit (Gambar 4.3a). Urat Tipe A-B (A Family Veins) Urat tipe A-B merupakan transisi antara urat tipe A dan B, bentuknya terkadang tidak menerus, namun terkadang ada pula yang menerus, batas dengan batuan samping tidak tegas. Pada umumnya urat tipe ini diisi oleh mineral kuarsa dengan Meilani Magdalena/

5 sedikit kalkopirit dan bornit yang tersebar di dalam urat (disseminated) (Gambar 4.3a). Urat Tipe B Urat tipe B bentuknya beraturan dan menerus, batas dengan batuan samping tegas, mempunyai kenampakan tekstur sisir (comb texture), berisi kuarsa dengan centerline berupa kalkopirit dan bornit (Gambar 4.3b). Urat Tipe C Urat tipe C bersifat menerus dan beraturan, dominan terisi oleh kalkopirit dan sedikit kuarsa dan batas dengan batuan samping tegas (Gambar 4.3c). Urat Tipe D Bentuk urat tipe D menerus dan teratur, batas dengan batuan samping tegas, Bentuk urat dominan terisi oleh pirit dengan sedikit kuarsa. Urat tipe D umumnya hadir memotong urat tipe A, AB, dan B (Gambar 4.3d). Gambar 4.3. Tipe-tipe urat pada daerah penelitian: (a) urat tipe A dan urat tipe AB yang berbentuk tidak beraturan; (b) urat tipe B dengan bentuknya yang beraturan dan pada garis tengahnya diisi oleh mineral bornit dan kalkopirit; (c) urat tipe C dengan mineral pengisi kalkopirit; dan (d) urat tipe D dengan mineral pengisi yaitu pirit. Meilani Magdalena/

6 4.2.3 Zonasi Mineralisasi Daerah Penelitian Mineral bornit dan kalkopirit merupakan mineral bijih utama di Batu Hijau yang memberikan kontribusi besar dalam kandungan Cu dan Au. Mineral sulfida ini banyak hadir sebagai pengisi dalam urat kuarsa. Urat ini biasanya memiliki dimensi lebar <10 cm dan membentuk struktur stockwork. Selain diisi oleh mineral sulfida, urat kuarsa juga dapat hadir bersama mineral magnetit, biotit, dan klorit. Menurut perhitungan empiris, bornit akan memberikan kontribusi Cu sebesar 63.33% dan kalkopirit akan memberikan kontribusi Cu sebesar 34.64% (Tabel 4.1). Dalam pengamatan terhadap conto inti bor dapat diamati, bahwa kenaikan kandungan mineral bornit diikuti oleh kenaikan unsur Cu dan Au. Emas hadir pada bijih yang banyak mengandung bornit, yaitu terdapat dalam butiran CuS (invisible gold dalam struktur sulfida) dan sebagai emas bebas (native gold). Pada bijih yang banyak mengandung kalkopirit, emas lebih banyak hadir sebagai emas bebas dengan kadar yang lebih rendah dibandingkan pada bijih yang kaya bornit (Arif, 2002). Tabel 4.1. Mineral sulfida utama di Batu Hijau beserta ciri fisiknya. Berdasarkan pengamatan terhadap conto inti bor, cutting, dan batuan permukaan, dapat diketahui penyebaran mineral sulfida yang menghasilkan zonasi Meilani Magdalena/

7 mineralisasi di daerah penelitian. Area yang banyak mengandung bornit terdapat pada batuan tonalit tua dan pada bagian tepi Zona Potasik dengan persentase mineral sulfida >1%, sehingga pada area tersebut merupakan zona bornit > kalkopirit > pirit. Begitu pula halnya dengan kalkopirit yang berkembang baik pada Zona Potasik dan pada area yang dekat dengan intrusi tonalit tua, sehingga pada area tersebut merupakan zona kalkopirit > bornit > pirit. Semakin ke arah luar yang menjauhi intrusi tonalit, kehadiran bornit dan kalkopirit semakin berkurang, sedangkan kehadiran pirit melimpah, sehingga pada area tersebut merupakan zona pirit > kalkopirit > bornit. Pada batuan tonalit muda, mineralisasi terlihat melemah dengan persentase mineral sulfida <0,5%. Melemahnya persentase mineral sulfida ini berhubungan dengan melemahnya densitas urat kuarsa. Zonasi mineral sulfida utama ini dapat dilihat pada Penampang Mineralisasi dan Zona Mineralisasi Area Penambangan Aktif Batu Hijau (Lampiran F dan Lampiran H). 4.3 Studi Paragenesa Mineralisasi Paragenesa dalam konteks mineralisasi adalah urutan waktu pengendapan dari mineral bijih yang berada di dalam suatu endapan pada suatu periode tertentu. Studi paragenesa berguna dalam menentukan mineral yang mula-mula terbentuk dan mineral yang terbentuk kemudian. Hal penting dalam penentuan paragenesa suatu endapan bijih yaitu dengan pengamatan tekstur dari mineral bijih, karena tekstur pada mineral bijih akan mencerminkan genesanya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Craig dan Vaughan (1981) yang menyebutkan bahwa identifikasi tekstur merupakan langkah penting untuk memperkirakan genesa pembentukan bijih. Pengertian tekstur adalah suatu bentuk yang memperlihatkan hubungan antara mineral yang satu dengan mineral yang lainnya, hubungan mineral inklusi terhadap host mineral, dan hubungan antara mineral-mineral terhadap masa dasarnya. Pengamatan dan interpretasi tekstur penting dalam menafsirkan genesa pembentukan, paragenesa, lingkungan pengendapan, cara pengendapan, maupun proses yang berlangsung setelah pengendapan bijih tersebut. Dalam penelitian ini, tekstur mineral bijih membantu dalam interpretasi paragenesa mineral bijih. Meilani Magdalena/

8 Beberapa metode yang dapat digunakan menurut Craig dan Vaughan (1981) dalam mengidentifikasi paragenesa mineral bijih, yaitu: Morfologi kristal dan hubungan batas butir Bentuk dari individu kristal dan kenampakan kontak antara butir-butir yang berdekatan sering kali dijadikan sebagai kriteria dalam penentuan paragenesa. Secara umum, kristal euhedral diinterpretasikan sebagai mineral yang terbentuk lebih dahulu dan tumbuh tanpa mengalami gangguan. Untuk kebanyakan mineral yang memiliki morfologi euhedral mengindikasikan bahwa bahwa mineral tersebut tumbuh pada tempat terbuka (open space), seperti pada urat (Gambar 4.4). Morfologi kristal dan hubungan batas butir seperti ini harus diinterpretasikan secara hati-hati karena pengamatan dengan mikroskopi hanya mempunyai pandangan 2 dimensi dari suatu bentuk yang 3 dimensi. Gambar 4.4. (a) Foto sayatan poles memperlihatkan kalkopirit yang hadir mengisi open space, dan memiliki bentuk mengikuti rekahan yang diisinya. (b) Foto conto secara megaskopis yang memperlihatkan bagian yang dilakukan sayatan poles yaitu urat kuarsa dengan centerline berisi kalkopirit. (c) Bagian yang diberi tanda panah merupakan posisi pengambilan conto. Meilani Magdalena/

9 Hubungan potong-memotong (crosscutting) Dalam studi mineralogi, seperti halnya studi geologi lapangan, hubungan potong memotong merupakan kunci dalam interpretasi paragenesa. Urat atau kenampakan sejenis yang memotong urat yang lain adalah lebih muda daripada urat yang dipotong, kecuali urat yang dipotong tersebut telah mengalami penggantian (Gambar 4.5). Gambar 4.5. (a) Foto sayatan poles yang memperlihatkan kalkopirit (kuning) dipotong oleh bornit (merah muda) menunjukkan bornit terbentuk setelah kalkopirit. (b) Foto conto secara megaskopis yang memperlihatkan bagian yang dilakukan sayatan poles yaitu urat kuarsa yang diisi oleh bornit dan kalkopirit. (c) Bagian yang diberi tanda panah merupakan posisi pengambilan conto. Penggantian (replacement) Replacement merupakan tekstur yang sangat penting dalam studi paragenesa. Sangat jelas bahwa mineral yang digantikan lebih tua dibanding mineral yang menggantikan. Karena replacement umumnya merupakan sebuah reaksi kimia pada permukaan kristal, maka replacement biasanya dimulai dari luar batas butir / mineral atau sepanjang rekahan menuju ke dalam kristal. Secara umum, selama replacement tahap lanjut terjadi, mineral yang digantikan Meilani Magdalena/

10 menunjukkan bentuk yang cekung sedangkan mineral yang menggantikan menunjukkan bentuk yang cembung dan kemudian akan meninggalkan sisa mineral yang berbentuk pulau di dalam matriks. Gambar 4.6. (a) Foto sayatan poles yang memperlihatkan replacement kalkopirit oleh bornit, kemudian replacement bornit oleh kovelit, kalkosit, dan digenit. Hal ini menunjukkan bornit terbentuk setelah kalkopirit, sedangkan kovelit, kalkosit, dan digenit terbentuk paling akhir (setelah kalkopirit dan bornit). (b) Foto conto secara megaskopis yang memperlihatkan bagian yang dilakukan sayatan poles yaitu urat kuarsa dengan mineral pengisi kalkopirit. (c) Bagian yang diberi tanda panah merupakan posisi pengambilan conto. Kembaran (twinning) Kembaran dapat terbentuk selama pembentukan awal dari suatu mineral selama inversi, atau sebagai hasil deformasi. Pembentukan kembaran ini merupakan fungsi dari temperatur fluida di dalam mineral bijih, sehingga kehadiran kembaran pada mineral bijih yang khas dapat membantu dalam merekonstruksi paragenesanya. Meilani Magdalena/

11 Exsolution Exsolution merupakan kenampakan yang umum pada beberapa tipe mineral dan sangat berguna dalam penentuan paragenesa. Exsolution akan memberikan pola yang khas seperti pola lamellae. 4.4 Tekstur Mineral Bijih Daerah Penelitian Pada penelitian ini, identifikasi tekstur merupakan hal utama dan penting untuk memperkirakan genesa pembentukan bijih. Tekstur yang teramati dari hasil analisis sayatan poles yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 4.7. Replacement merupakan tekstur yang dominan yang teramati pada mineral bijih, yaitu replacement magnetit oleh hematit; replacement kalkopirit oleh bornit, kalkosit, dan digenit; dan replacement bornit oleh kovelit, kalkosit dan digenit. (Gambar 4.7a dan b). Secara keseluruhan, tekstur replacement ini dapat dijadikan acuan untuk menentukan mineral mana yang terbentuk lebih dahulu dan mineral mana yang terbentuk kemudian. Hasil dari replacement akan membentuk batas antar mineral menjadi tidak teratur (iregular) (Craigh dan Vaughan, 1981). Seperti yang ditunjukan pada gambar 4.7a menjadikan batas mineral dari magnetit menjadi tidak sempurna akibat kehadiran hematit yang menggantikannya. Menurut Ramdohr (1969), tekstur replacement ini mencerminkan akibat penggantian oleh mineral lain tanpa adanya perubahan volume semula. Penggantian yang terjadi terhadap suatu mineral hanya dapat pada sebagian mineral saja atau seluruhnya mengalami penggantian. Tekstur granular dapat diamati antara mineral pirit dan kalkopirit (Gambar 4.7c). Tekstur granular yang teramati mencerminkan hubungan mineral yang disebut dengan matual boundary antara pirit dan kalkopirit, dimana antar butiran mineral tidak saling menembus satu sama lainnya. Tekstur granular ini dapat tersusun dari satu mineral atau beberapa mineral yang terdapat dalam batuan, dimana terjadi endapan mineral secara bersamaan (Ramdohr, 1969). Tekstur inklusi dapat diamati pada gambar 4.7c, yaitu adanya inklusi hematit pada kalkopirit dan pirit. Tekstur inklusi mempunyai karakteristik yaitu tergantung pada keadaan pembentukan inklusi serta mineral induknya. Inklusi yang terjadi dapat berupa butiran mineral yang terperangkap selama pertumbuhan Meilani Magdalena/

12 mineral induk atau beberapa sisa dari mineral yang telah terbentuk terlebih dahulu dan kemudian diganti oleh mineral induk. Mineral inklusi terbentuk lebih dahulu daripada mineral induk (Ramdohr, 1969). Tekstur intergrowth atau tumbuh bersama dapat kita amati antara mineral kalkopirit dengan pirit dan antara mineral kovelit, kalkosit, dan digenit. Pada gambar 4.7d terlihat tekstur tumbuh bersama antara kalkopirit dengan pirit. Tekstur intergrowth terjadi akibat perubahan temperatur yang tinggi serta pengaruh dari jenis mineral yang menyebabkan terjadinya penyimpangan struktur kristalografi atau dengan kata lain susunannya tidak beraturan (Ramdohr, 1969). Gambar 4.7. Tekstur yang teramati pada analisis sayatan poles : (a) tekstur replacement magnetit oleh hematit (conto M45); (b) tekstur replacement kalkopirit oleh bornit, serta replacement bornit oleh kovelit, kalkosit, dan digenit (conto M11); (c) tekstur granular antara kalkopirit dan pirit, serta terdapat inklusi hematit pada kalkopirit dan pirit (conto M45). (d) tekstur intergrowth pirit dengan kalkopirit (conto M45). Meilani Magdalena/

13 4.5 Paragenesa Mineral Bijih Daerah Penelitian Kriteria yang digunakan untuk mendeterminasi paragenesis mineralmineral hipogen dan supergen adalah bentuk individu kristal dan sifat kontak antar butiran yang berdampingan (Craigh dan Vaughan, 1981). Berdasarkan hasil pengamatan mineragrafi berupa tekstur (bentuk individu kristal dan sifat kontak antar butiran yang berdampingan) maka dapat diurutkan pembentukan mineral bijih. Berikut ini merupakan urutan pembentukan mineral bijih pada daerah penelitian berdasarkan pengamatan mineragrafi. Mineral bijih yang hadir dari analisis mineragrafi adalah magnetit, hematit kalkopirit, pirit, bornit, kovelit, kalkosit, dan digenit. Urutan pembentukan mineral bijih berdasarkan pengamatan tekstur yaitu diawali dengan kristalisasi magnetit yang terbentuk pada temperatur diatas 1000º C (Craigh dan Vaughan, 1981). Sebagian besar magnetit tersebar secara acak (disseminated) pada batuan (Gambar 4.8a). Pada gambar 4.8b teramati tekstur replacement yaitu mineral magnetit yang digantikan oleh hematit. Hal ini menunjukkan magnetit hadir sebelum hematit. Pembentukkan hematit selanjutnya diikuti dengan pembentukan kalkopirit bersama dengan pirit. Adanya inklusi hematit pada kalkopirit dan pirit menunjukkan hematit terbentuk sebelum kalkopirit dan pirit. (Gambar 4.8c). Kehadiran kalkopirit yang pada umumnya mengisi celah/rekahan diantara pirit (Gambar 4.8d) menunjukkan kehadiran kalkopirit relatif tidak lama setelah pirit. Namun, pada beberapa tempat dijumpai adanya tekstur granular yang mencerminkan hubungan mineral dimana antar butiran kalkopirit dan pirit tidak saling menembus satu sama lainnya (Gambar 4.8c). Hal ini menunjukkan kalkopirit dan pirit terbentuk secara bersamaan (Ramdohr, 1969). Pada gambar 4.8e dan gambar 4.8f terlihat tekstur replacement kalkopirit oleh bornit dan dilanjutkan replacement bornit oleh kovelit, kalkosit, dan digenit. Maka dapat diperkirakan bahwa bornit hadir setelah kalkopirit dan kemudian pada tahap akhir kovelit, kalkosit, dan digenit hadir menggantikan kalkopirit dan bornit. Berdasarkan pengamatan tekstur mineral bijih, dapat diketahui tahapan pembentukan mineral bijih di daerah penelitian yang dapat dilihat pada tabel 4.2. Meilani Magdalena/

14 Gambar 4.8. (a) Magnetit hadir tersebar pada batuan. (b) Replacement magnetit oleh hematit menunjukan kehadiran magnetit sebelum hematit; kalkopirit digantikan hampir seluruhnya oleh bornit menunjukkan bornit terbentuk setelah kalkopirit. (c) Inklusi hematit pada kalkopirit dan pirit menunjukkan kalkopirit dan pirit hadir setelah hematit; tekstur granular pada kalkopirit dan pirit menunjukkan kalkopirit dan pirit tumbuh bersama (intergrowth). (d) Kalkopirit hadir mengisi celah/rekahan (open space filling) di antara pirit. (e) Replacement kalkopirit oleh bornit, kalkosit, dan digenit menunjukkan kalkopirit hadir sebelum bornit, kalkosit, dan digenit. (f) Replacement kalkopirit oleh bornit yang dilanjutkan dengan replacement bornit oleh kovelit, kalkosit, dan digenit, menunjukkan kovelit, kalkosit, dan digenit hadir setelah kalkopirit dan bornit. Meilani Magdalena/

15 Tabel 4.2. Tahapan pembentukan mineral bijih di daerah penelitian. Mineral Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Magnetit Hematit Pirit Kalkopirit Bornit Kovelit Kalkosit Digenit Tahap pembentukan mineral bijih apabila diasosiasikan dengan mineralmineral penciri alterasi hidrotermal di daerah penelitian dapat di lihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3. Tahap pembentukan mineral alterasi hidrotermal dan mineral bijih di daerah penelitian. Meilani Magdalena/

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAB III ALTERASI HIDROTERMAL 3.1 Tinjauan Umum White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karakteristik dari suatu endapan mineral dipengaruhi oleh kondisi pembentukannya yang berhubungan dengan sumber panas, aktivitas hidrotermal, karakteristik

Lebih terperinci

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1. Mineralisasi Urat Arinem Carlile dan Mitchell (1994) menyatakan bahwa endapan urat epitermal dan stockwork di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada busur kepulauan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Alterasi dan Endapan Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan. Proses tersebut

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi tembaga dan emas yang melimpah. Sebagian besar endapan tembaga dan emas ini terakumulasi pada daerah busur magmatik.

Lebih terperinci

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46 BAB VI DISKUSI 6.1 Evolusi Fluida Hidrotermal Alterasi hidrotermal terbentuk akibat adanya fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno,

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI 6.1 Alterasi dan Fluida Hidrotermal Zona alterasi (Gambar 6.3) yang ditemukan pada Sumur BWS-H01 terdiri empat zona alterasi yaitu zona argilik (kaolinit, dikit, kuarsa sekunder,

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Endapan mineral Batu Hijau yang terletak di Pulau Sumbawa bagian baratdaya merupakan endapan porfiri Cu-Au. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN 4.1 Alterasi Hidrotermal Daerah Penelitian 4.1.1 Pengamatan Megaskopis Pengamatan alterasi hidrotermal dilakukan terhadap beberapa conto batuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meilani Magdalena/

BAB I PENDAHULUAN. Meilani Magdalena/ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem porfiri merupakan suatu endapan hipotermal yang dicirikan oleh stockwork yang tersebar (disseminated) dalam massa batuan yang besar yang berhubungan

Lebih terperinci

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV STUDI UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Alterasi hidrotermal adalah suatu proses kompleks yang meliputi perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia yang terjadi akibat interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN 4.1 Tinjauan Umum Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI TEMBAGA PADA AREA PENAMBANGAN TERBUKA BATU HIJAU, SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI TEMBAGA PADA AREA PENAMBANGAN TERBUKA BATU HIJAU, SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI TEMBAGA PADA AREA PENAMBANGAN TERBUKA BATU HIJAU, SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana strata satu di Program Studi

Lebih terperinci

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut). Barat. 18 3. Breksi Tuf Breksi tuf secara megaskopis (Foto 2.9a dan Foto 2.9b) berwarna abu-abu

Lebih terperinci

BAB V PENGOLAHAN DATA

BAB V PENGOLAHAN DATA BAB V PENGOLAHAN DATA Data yang didapatkan dari pengamatan detail inti bor meliputi pengamatan megakopis inti bor sepanjang 451 m, pengamatan petrografi (32 buah conto batuan), pengamatan mineragrafi (enam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. administratif termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau

BAB I PENDAHULUAN. administratif termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Pulau Sumbawa terletak di sebelah timur dari Pulau Lombok yang secara administratif termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yang bergerak satu sama lain. Berdasarkan teori tektonik lempeng, wilayah Indonesia

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah... DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah BAB V MINERALISASI 5.1. Mineralisasi di daerah Sontang Tengah Studi mineralisasi pada penelitian ini dibatasi hanya pada mineralisasi Sulfida masif dengan komposisi mineral galena, sfalerit, pirit, Ag

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam mulia yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Keterdapatan mineralisasi emas di Indonesia terdapat salah satu nya berada di Selogiri,

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada. ` BAB IV ALTERASI HIDROTHERMAL 4.1 Pendahuluan Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal. Oleh karena itu, mineral alterasi

Lebih terperinci

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25 v DAFTAR ISI Hal. JUDUL LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... ii LEMBAR PERNYATAAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv SARI... xv ABSTRACT... xvii

Lebih terperinci

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL 4.1 TEORI DASAR BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL Alterasi adalah suatu proses yang di dalamnya terjadi perubahan kimia, mineral, dan tekstur karena berinteraksi dengan fluida cair panas (hidrotermal) yang dikontrol

Lebih terperinci

Lintong Mandala Putra Siregar 1, Fauzu Nuriman 2

Lintong Mandala Putra Siregar 1, Fauzu Nuriman 2 ANALISIS PERBANDINGAN MINERAL SULFIDA DENGAN METODE BLASTHOLE MAPPING UNTUK MENGETAHUI ESTIMASI KADAR TEMBAGA (Cu) PADA LINE X DAERAH BATU HIJAU, NEWMONT NUSA TENGGARA Lintong Mandala Putra Siregar 1,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya mineral merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya pencarian lokasi sumber mineral baru. Setelah adanya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... x ABSTRAK... xv ABSTRACT... xvi BAB I - PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi, dan disebut sistem porfiri karena tekstur porfiritik dari intrusi yang

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam yang memiliki nilai yang tinggi ( precious metal). Tingginya nilai jual emas adalah karena logam ini bersifat langka dan tidak banyak

Lebih terperinci

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2014 Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI Morfologi Desa Meliah terdiri dari morfologi perbukitan bergelombang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LEMBAR PETA... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL . Foto 3.8. a) dan b) Foto inti bor pada sumur BCAN 4 dan sampel breksi tuf (sampel WID-3, sumur bor BCAN-1A) yang telah mengalami ubahan zona kaolinit montmorilonit siderit. c) Mineral lempung hadir mengubah

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. Teori Dasar Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat adanya interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam mulia yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar keuangan di banyak

Lebih terperinci

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI Secara geologi daerah Kabupaten Boven Digoel terletak di Peta Geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan sumber daya energi dan mineral semakin banyak. Salah satu yang paling banyak diminati oleh penduduk di dunia

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4 Daftar Isi v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... i

Lebih terperinci

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN 4.1. KONSEP DASAR EKSPLORASI Konsep eksplorasi adalah alur pemikiran yang sistimatis, dimana kita menentukan objek dari pencaharian itu atau jenis dan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL

STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL 1.1. Bentuk Endapan Bijih Terkait dengan waktu pembentukan bijih dihubungkan dengan host rock-nya, dikenal istilah singenetik dan epigenetic. Singenetik diartikan bahwa

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL 3.1. Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Emas (Au) telah dimanfaatkan sejak era prasejarah sebagai mineral ekonomis yang bernilai tinggi. Mineral emas dianggap berharga karena kilauan cahaya yang dipantulkan

Lebih terperinci

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014 PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014 Wahyu Widodo, Bambang Nugroho Widi Kelompok Penyelidikan Mineral Logam S A R I Prospeksi mineral logam di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin meningkat seperti emas, tembaga dan logam lainnya. Hal tersebut didasari dengan meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

EKEPLORASI UMUM BESI PRIMER DI KECAMATAN RAO, KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015

EKEPLORASI UMUM BESI PRIMER DI KECAMATAN RAO, KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 EKEPLORASI UMUM BESI PRIMER DI KECAMATAN RAO, KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 Bambang Nugroho Widi, Rudi Gunradi Kelompok Penyelidikan Mineral Logam, Pusat Sumber Daya Geologi SARI

Lebih terperinci

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS 4.1 Tinjauan Umum Hidrotermal berasal dari kata hidro artinya air dan termal artinya panas. Adapun hidrotermal itu sendiri didefinisikan sebagai larutan panas (50

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Pulau Sumbawa Pulau Sumbawa merupakan salah satu dari gugusan Kepulauan Nusa Tenggara yang terletak pada Busur Kepulauan Banda

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT Kisman dan Bambang Nugroho Widi Kelompok Penyelidikan Mineral, Pusat Sumber Daya Geologi SARI Gunung Senyang

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN

BAB III METODA PENELITIAN BAB III METODA PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah pengamatan dan pengambilan sampel pada lubang bor DCT 05 dan DCT 11A urat Cibitung. Kemudian mengolah dan menganalisis data-data

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN III.1 Teori Dasar III.1.1 Sistem Panasbumi Sistem geotermal merupakan sistem perpindahan panas dari sumber panas ke permukaan melalui proses konveksi air meteorik

Lebih terperinci

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM No. Record : Judul Laporan : DATA UMUM Instansi Pelapor : Penyelidik : Penulis Laporan : Tahun Laporan : Sumber Data : Digital Hardcopy Provinsi : Kabupaten

Lebih terperinci

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI Penginderaan jauh atau disingkat inderaja, berasal dari bahasa Inggris yaitu remote sensing. Pada awal perkembangannya, inderaja hanya merupakan teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Emas termasuk bahan galian mineral logam mulia yang harganya sangat tinggi sehingga keberadaannya perlu diteliti secara detail. Oleh karena itu penelitian

Lebih terperinci

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT Oleh : 1) Kisman, 2) Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral

Lebih terperinci

Petrologi Tersier Pliosen Intrusi (Tpi) pada Sumur KL , Grasberg, Papua-Indonesia

Petrologi Tersier Pliosen Intrusi (Tpi) pada Sumur KL , Grasberg, Papua-Indonesia Petrologi Tersier Pliosen Intrusi (Tpi) pada Sumur KL98-10-22, Grasberg, Papua-Indonesia Zimmy Permana 1), Mega Fatimah Rosana 1), Euis Tintin Yuningsih 1), Benny Bensaman 2), Reza Al Furqan 2) 1 Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan sumberdaya mineral di Indonesia khususnya di pulau Jawa banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai penyelidikan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang lalui oleh 3 lempeng benua dan samudra yang masih aktif sampai saat ini. Pergerakan ketiga lempeng tersebut mengakibatkan

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR ABSTRAK Sapto Heru Yuwanto (1), Lia Solichah (2) Jurusan Teknik Geologi

Lebih terperinci

ENDAPAN MINERAL. Panduan Kuliah dan Praktikum. Sutarto Hartosuwarno Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian Teknik Geologi

ENDAPAN MINERAL. Panduan Kuliah dan Praktikum. Sutarto Hartosuwarno Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian Teknik Geologi Panduan Kuliah dan Praktikum ENDAPAN MINERAL Sutarto Hartosuwarno Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian Teknik Geologi 31 Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional Veteran YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Eksplorasi di daerah tambang, khususnya tambang emas memerlukan pengetahuan dan konsep geologi yang memadai serta data geospasial yang akurat dan aktual. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. Judul penelitian Studi Karakteristik Mineralogi dan Geomagnetik Endapan

BAB. I PENDAHULUAN. Judul penelitian Studi Karakteristik Mineralogi dan Geomagnetik Endapan BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Judul Penelitian Judul penelitian Studi Karakteristik Mineralogi dan Geomagnetik Endapan Bijih Besi di Daerah Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. 1.2. Latar

Lebih terperinci

INVESTIGASI PENYEBARAN LAPISAN PEMBAWA EMAS MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK RESISTIVITY DI KELURAHAN LATUPPA

INVESTIGASI PENYEBARAN LAPISAN PEMBAWA EMAS MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK RESISTIVITY DI KELURAHAN LATUPPA Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 INVESTIGASI PENYEBARAN LAPISAN PEMBAWA EMAS MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK RESISTIVITY DI KELURAHAN LATUPPA Aryadi Nurfalaq 1, Rahma Hi. Manrulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak digunakan di bidang otomotif, elektronik dan sebagainya. Endapan timah dapat ditemukan dalam bentuk bijih timah primer dan

BAB I PENDAHULUAN. banyak digunakan di bidang otomotif, elektronik dan sebagainya. Endapan timah dapat ditemukan dalam bentuk bijih timah primer dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Timah merupakan salah satu mineral ekonomis yang sangat penting dan potensial di dunia karena mempunyai manfaat yang sangat melimpah. Timah banyak digunakan di bidang

Lebih terperinci

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum gunung api pasifik (ring of fire) yang diakibatkan oleh zona subduksi aktif yang memanjang dari

Lebih terperinci

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI )

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI ) Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten Rosana, M.F., Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang 45363 rosanamf@yahoo.com;

Lebih terperinci

RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN

RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN Genesha Mineral Pada Lingkup Magmatik RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG Lingkup/Lingkungan

Lebih terperinci

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 IST AKPRIND Yogyakarta

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 IST AKPRIND Yogyakarta MINERALISASI BIJIH DAN GEOKIMIA BATUAN SAMPING VULKANIKLASTIK ANDESITIK YANG BERASOSIASI DENGAN ENDAPAN TEMBAGA-EMAS PORFIRI ELANG, PULAU SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT Arifudin Idrus dan Evaristus Bayu

Lebih terperinci

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT Mega F. Rosana 1, Hartono 2, Sandra A. Solihat 2, Nungky D. Hapsari 3, 1 Universitas Padjadjaran, Fakultas Teknik Geologi, Jalan

Lebih terperinci

EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo*, Rudy Gunradi* dan Juju Jaenudin** *Kelompok Penyelidikan Mineral, **Sub Bidang Laboratorium

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan potensi sumber daya mineral ekonomis yang sangat melimpah. Contoh sumberdaya mineral yang menjadi komoditas utama dalam industri mineral

Lebih terperinci

Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat

Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Artikel Ilmiah: STUDI PETROLOGI oleh : Ingrid Amanda Samosir 270110090020 FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Menoreh terletak di ujung utara pegunungan Kulon Progo, bagian timur dari zona jajaran punggungan oblong domes / ridges, di sebelah barat perbatasan Propinsi

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat ) Gambar 3.12 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang, dibeberapa tempat terdapat sisipan dengan tuf kasar (lokasi dlk-12 di kaki G Pagerkandang). Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit

Lebih terperinci

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan Idarwati Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan dapat diambil secara ekonomis. mineral bijih dapat

Lebih terperinci

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN 5.1 Data AAS (Atomic Absorption Spectrometry) AAS (Atomic Absorption Spectrometry) atau dikenal juga sebagai Spektrometri Serapan Atom merupakan suatu metode kimia yang

Lebih terperinci

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Armin Tampubolon Kelompok Program Penelitian Mineral SARI Secara regional, Pulau Sumba disusun oleh litologi yang berdasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas

BAB I PENDAHULUAN. Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas diketahui berapa besar cadangan mineral (mineral reserves) yang ditemukan. Cadangan ini

Lebih terperinci

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT 1 Rangga Suteja, 2 Mega Fatimah Rosana, 3 Adi hardiono 1 Puslit Geopark dan kebencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bijih besi, hal tersebut dikarenakan daerah Solok Selatan memiliki kondisi geologi

BAB I PENDAHULUAN. bijih besi, hal tersebut dikarenakan daerah Solok Selatan memiliki kondisi geologi I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Daerah Solok Selatan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi sebagai penghasil sumber daya mineral terutama pada sektor bijih besi,

Lebih terperinci

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada. DESKRIPSI BATUAN Deskripsi batuan yang lengkap biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Deskripsi material batuan (atau batuan secara utuh); 2. Deskripsi diskontinuitas; dan 3. Deskripsi massa batuan.

Lebih terperinci

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM Adi Prabowo Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta MENDALA METALOGENIK (Metallogenic Province) suatu area yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN Jodi Prakoso B. 1, Aton Patonah 2, Faisal Helmi 2 1 Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan

Lebih terperinci

PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT

PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT Sudarsono 1 dan Iwan Setiawan 1 1 Puslit Geoteknologi LIPI. Jln Sangkuriang, Bandung 40135 Phone +62 (22)

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH

KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH Arifudin Idrus*, Dian Yesy Fatimah, Fahmi Hakim Jurusan Teknik

Lebih terperinci

JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN

JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN Jenis Bahan Galian Bahan Galian (Mineral) Logam: bahan galian yang terdiri dari mineral logam dan dalam pengolahan diambil/diekstrak logamnya. Bahan Galian (Mineral)

Lebih terperinci

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Data Sekunder Data sekunder yang diperoleh dari PT Semen Padang Untuk menunjang dan melengkapi penelitian ini antara lain berupa : 1. Peta topografi skala 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Endapan mineral merupakan sumberdaya alam yang memiliki peranan penting dan dapat memberikan kontribusi terhadap sektor pembangunan industri terutama dibidang infrastruktur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA: PETROGRAFI BATUAN ALTERASI Asisten Acara: 1... 2.... 3.... 4.... Nama Praktikan :... NIM :... Borang ini ditujukan kepada praktikan guna mempermudah pemahaman

Lebih terperinci

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi II.1. Kriteria Geologi Kriteria geologi merupakan gejala yang mengendalikan terdapatnya endapan mineral dan pengetahuan ini bertujuan melokalisir daerah yang mempunyai

Lebih terperinci