TINJAUAN PUSTAKA Anestesi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Anestesi"

Transkripsi

1 9 TINJAUAN PUSTAKA Anestesi Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes ( ) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan. Anestetikum yang diberikan pada hewan akan membuat hewan tidak peka terhadap rasa nyeri sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Perjalanan waktu sepanjang sejarah menunjukkan bahwa anestesi pada hewan digunakan untuk menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang merugikan (nyeri), menginduksi relaksasi otot, dan terutama untuk membantu melakukan diagnosis atau proses pembedahan yang aman. Alasan lain penggunaan anestesi pada hewan adalah untuk melakukan pengendalian hewan (restraint), keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar, pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia). Secara umum tujuan pemberian anestetikum pada hewan adalah mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ tubuh dan membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak. Semua tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun dalam bentuk balanced anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun dengan agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).

2 10 Preanestesi Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (Debuf 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemilihan preanestetikum dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien, derajat pengendalian, jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian anestetikum (Booth dan Branson 1995). Preanestetikum yang paling umum digunakan pada hewan adalah atropine, acepromazin, xylazine, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik. Atropine digunakan untuk mengurangi salivasi, peristaltik dan mengurangi bradikardia akibat anestesi. Acepromazin digunakan sebagai penenang atau tranquilizer. Xylazine, medetomidin, diazepam, dan midazolam digunakan sebagai agen sedatif dan merelaksasi otot. Opioid atau narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit, seperti disajikan pada Gambar 1. Preanestesi Antikolinergik : Atropine, Scopolamine, Aminopentamid, Glikopirolat. Pelemas otot (Muscle paralyzer): Xylazine, Diazepam, Midazolam, Medetomidin, Lorazepam, Curare. Agen Dissosiatif : Penciklidine, Ketamine, Tiletamine. Narkotik : Morpin, Apomorpin, Meperidin, Oksimorpin, Etorpin, Nalorpin. Tranquilizer : Promazin, Acepromazin, Chlorpromazin, Xylazine, Diazepam, Midazolam, Lorazepam, Madetomidin. Gambar 1. Klasifikasi agen preanestesi yang digunakan pada anestesi umum (Sumber: Warren 1983; McKelvey dan Hollingshead 2003). Klasifikasi Anestesi Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika umumnya diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu: 1). Topikal misalnya melalui

3 11 kutaneus atau membrana mukosa; 2). Injeksi seperti intravena, subkutan, intramuskular, dan intraperitoneal; 3). Gastrointestinal secara oral atau rektal; dan 4). Respirasi atau inhalasi melalui saluran nafas (Tranquilli et al. 2007). Anestetetikum juga dapat diklasifikasikan berdasarkan daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhinya, yaitu : 1). Anestesi lokal, terbatas pada tempat penggunaan dengan pemberian secara topikal, spray, salep atau tetes, dan infiltrasi. 2). Anestesi regional, mempengaruhi pada daerah atau regio tertentu dengan pemberian secara perineural, epidural, dan intratekal atau subaraknoid. 3). Anestesi umum, mempengaruhi seluruh sistem tubuh secara umum dengan pemberian secara injeksi, inhalasi, atau gabungan (balanced anaesthesia) (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestesi Lokal Anestetikum lokal adalah suatu bahan kimia yang mampu menghambat konduksi syaraf perifer tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada syaraf tersebut. Mekanisme kerja anestetikum lokal dengan cara menghambat (blok) saluran ion sodium (Na) pada syaraf perifer, konduksi atau aksi potensial pada syaraf terhambat sehingga respon nyeri secara lokal hilang. Anestetikum lokal mencegah proses depolarisasi membran syaraf secara lokal melalui penghambatan saluran ion Na, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan neurotransmitter acetilkolin dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel serta tidak terjadi perubahan potensial. Keadaan tersebut menyebabkan aliran inpuls yang melewati syaraf berhenti, sehingga semua rangsangan tidak sampai ke SSP. Sifat hambatan syaraf umumnya bersifat lokal, selektif, dan tergantung pada dosis atau jumlah obat yang diberikan (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Sifat sifat yang harus dimiliki oleh obat anestetikum lokal adalah poten, artinya efektif dalam dosis rendah, daya penetrasinya baik, mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama, toksisitas sistemik rendah, tidak mengiritasi jaringan, pengaruhnya reversibel, dan mudah dikeluarkan dari tubuh (Adams 2001; Tranquilli et al. 2007).

4 12 Penggunaan anestetikum lokal bisa dilakukan dengan meneteskan pada permukaan daerah yang akan dianestesi (surface aflication), dengan melakukan injeksi secara sub-kutan pada daerah yang akan dianestesi (subdermal, intradermal), serta dengan melakukan pemblokiran pada daerah tertentu (field block anestesi). Anestetikum yang sering digunakan sebagai anestetikum lokal adalah procaine HCI 2% - 4%, Lidocaine 0,5-2%, Lidocaine 4%, Tetracaine, bupivacaine 0,25% atau 0,5%, Dibucain, Pehacaine, Lidonest, dan Chlor buthanol dengan dosis pemberian secukupnya (Quantum statis, QS). Lidocaine dan bupivacaine dapat diencerkan dengan larutan salin (bukan air) untuk menurunkan konsentrasinya. Bupivacaine mempunyai onset lebih lambat (20 menit) dan durasi lebih panjang (6 jam) dibandingkan lidocaine (onset lebih cepat dan durasi 1-2 jam) (Adams 2001; Sudisma 2006; Tranquilli et al. 2007). Anestesi Regional Anestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi regio atau daerah tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang reversibel. Anestetikum regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secera reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Mekanisme kerja dan jenis anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal, tetapi daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhi adalah daerah atau regio tertentu. Anestesi regional dibedakan berdasarkan rute pemberiannya, yaitu secara epidural, spinal atau intrathekal atau subaraknoid, dan blok pleksus brakhialis (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestesi epidural dihasilkan dengan cara menginjeksikan anestetikum lokal diantara duramater dan periosteum dari canalis spinalis (epidural space). Anestetikum tidak langsung mengenai medula spinalis, sehingga efek anestesi terjadi setelah menit pemberian. Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol motorik daerah abdominal, pelvis, ekor, dan kaki belakang. Anestesi ini biasanya digunakan untuk laparotomi, amputasi ekor, urethrostomi, pembedahan cesar,

5 13 pembedahan daerah pelvis, dan amputasi daeran kaki belakang. Pada hewan kecil dilakukan antara tulang lumbar terakhir dan tulang sakral 1. Sedangkan pada hewan besar dilakukan antara tulang coccigia 1 dan 2. Anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal, seperti lidocaine 2%, bupivacain 0,5%, ropivacain 0,75% atau mepivacaine 2% dengan dosis pemberian 1ml/5kg BB. Lidocain menghasilkan durasi sekitar 1-2 jam dan bupivacain sekitar 6 jam (McKelvey dan Hollingshead 2003). Spinal atau intrathekal atau subaraknoid anestesi sama dengan anestesi epidural tetapi dilakukan melalui duramater dan subaraknoid dimana jarum menembus duramater dan subaraknoid sehingga anestetikum masuk ke dalam dan langsung mengenai syaraf spinal, menghasilkan anestesi yang segera dan lebih cepat. Anestesi ini mengakibatkan resiko berontak dan rasa sakit yang memerlukan kesembuhan lebih lama. Anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal. Sedangkan blok pleksus brakhialis adalah anestesi regional dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal di daerah perjalanan fleksus brakhialis yang menginervasi daerah kaki depan (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003; Sudisma 2006; Tranquilli et al. 2007). Anestesi Umum Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensori pada syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem syaraf pusat (SSP) secara reversibel (Adams 2001). Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (McKelvey dan Hollingshead 2003).

6 14 Mekanisme kerja anestesi umum pada tingkat seluler belum diketahui secara pasti, tetapi dapat dihipotetiskan mempengaruhi sistem otak karena hilangnya kesadaran, mempengaruhi batang otak karena hilangnya kemampuan bergerak, dan mempengaruhi kortek serebral karena terjadi perubahan listrik pada otak. Anestesi umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut tergantung pada dosis yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara ideal dimulai dari keadaan terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon nyeri (analgesia), tidak bergerak dan relaksasi (immobility), tidak sadar (unconsciousness), koma, dan kematian atau dosis berlebih (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria : tiga komponen anestesi atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks, ketidaksadaran, aman untuk sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah diaplikasikan dan ekonomis. Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam (Wolfensohn dan Lloyd 2000; Adams 2001; Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui gabungan secara injeksi dan inhalasi. Anestetikum dapat digabungkan atau dikombinasikan antara beberapa anestetikum atau dengan zat lain sebagai preanestetikum dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia untuk mendapatkan efek anestesi yang diinginkan dengan efek samping minimal. Anestetika umum inhalasi yang sering digunakan pada hewan adalah halotan, isofluran, sevofluran, desfluran, dietil eter, nitrous oksida dan xenon. Anestetika umum yang diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (tiopental, metoheksital, dan pentobarbital), cyclohexamin (ketamine, tiletamin), etomidat, dan propofol (McKelvey dan Hollingshead 2003; Garcia et al. 2010).

7 15 Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme kerja anestesi umum inhalasi sangat rumit dan sampai saat ini masih merupakan misteri, karena pemberian anestetikum inhalasi melalui pernapasan menuju organ sasaran yang jauh adalah suatu hal yang unik. Hiperventilasi akan menaikkan ambilan anestetikum dalam alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus. Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam menentukan induksi dan pemulihan anestesi inhalasi. Induksi dan pemulihan akan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada zat yang larut. Kadar alveolus minimal atau minimum alveolar cencentration (MAC) adalah kadar minimal zat anestesi dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan rangsangan insisi standar. Immobilisasi tercapai pada 95% pasien apabila kadar anestetikum dinaikkan di atas 30% nilai MAC. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial anestetikum dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja anestetikum (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestetika umum inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk membantu pembedahan adalah N 2 O. Kemudian menyusul, eter, kloroform, etil klorida, halotan, metoksifluran, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Anestetika umum inhalasi yang umum digunakan saat ini adalah N 2 O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Obat obat anestesi yang lain ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak dikehendaki. Misalnya, eter mudah terbakar dan meledak, menyebabkan sekresi bronkus berlebihan, mual dan muntah, kerusakan hati, dan baunya yang sangat merangsang. Kloroform menyebabkan aritmia dan kerusakan hati. Metoksifluran menyebabkan kerusakan hati, toksik terhadap ginjal, dan mudah terbakar (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007). Nitrous oxide (N2O) atau dinitrogen monoksida adalah anestesi inhalasi yang diperoleh dengan cara memanaskan amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) sampai 240 o C. Gas

8 16 ini bersifat anestetikum lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga jarang digunakan secara tunggal. Anestetikum yang sering dikombinasikan dengan N 2 O adalah halotan. Pada akhir anestesi setelah N 2 O dihentikan, akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadi hipoksia difusi. Mengatasi hipoksia difusi, biasanya diberikan 100% oksigen selama 5 10 menit. Potensi N 2 O digunakan pada hewan tidak baik, karena mempunyai MAC yang tinggi. MAC N 2 O pada manusia mendekati 100%, tetapi pada anjing hampir 200% dan kucing mendekati 250% (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Halotan sering digunakan sebagai induksi anestesi dikombinasikan dengan N 2 O, karena halotan adalah analgesik lemah tetapi sifat anestesinya kuat sehingga kombinasi keduanya sangat ideal. Pemeliharaan anestesi dengan halotan biasanya digunakan dosis 1-2% pada napas spontan atau dosis 0,5-1% pada napas terkendali, dan dapat disesuaikan dengan respon klinis pasien. Nilai MAC halotan adalah moderat, potensinya berada diantara metoksifluran dan isofluran, yaitu 0,3 0,75%. Halotan mempunyai tekanan uap yang tinggi, sehingga memerlukan ketelitian penggunaan vaporizer yang lebih tinggi. Penggunaan vaporizer yang memiliki tingkat ketelitian kurang, dapat menyebabkan konsentrasi halotan mencapai 30%, padahal konsentrasi normal halotan yang diperlukan untuk anestesi adalah 1-2%, sehingga penggunaan halotan memerlukan vaporizer khusus. Halotan menyebabkan vasodilatasi cerebral, meningkatkan aliran darah pada otak yang sulit dikendalikan. Kelebihan dosis halotan menyebabkan depresi napas, menurunkan tonus simpatik, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, dan depresi miokardium. Halotan dimetabolisme 20% di hati secara oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Halotan menyebabkan gangguan hati dan pasca pemberian sering menyebabkan pasien meninggal (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Desfluran adalah halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip dengan isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestetikum lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus. Potensi desfluran sangat rendah (MAC 6,0%), bersifat simpatomimetik, menyebabkan takikardia dan

9 17 hipertensi. Pengaruh depresi nafasnya sama dengan isofluran dan merangsang jalan napas atas sehingga tidak dapat digunakan sebagai induksi anestesi. Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat mirip dengan metoksifluran dan sevofluran. Rentang keamanan isofluran lebih lebar dibandingkan halotan dan metoksifluran, sehingga sangat umum digunakan pada hewan terutama anjing dan kuda walaupun dengan harga yang lebih mahal. Penggunaaan isofluran pada dosis anestesi atau subanestesi menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi akan meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga menjadi pilihan pada pembedahan otak. Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung (cardiac output) sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan kelainan jantung. Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan karena mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan. Pemeliharaan anestesi dengan isofluran biasanya digunakan konsentrasi 1,5 2,5 % isofluran dalam oksigen (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestesi umum injeksi merupakan metode anestesi umum yang dilakukan dengan cara menyuntikkan agen anestesi langsung melalui muskulus atau pembuluh darah vena. Anestesi injeksi biasanya digunakan untuk induksi pada hewan kecil maupun pada hewan besar dan dapat juga digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Anestetika injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksikan, cepat diabsorsi, waktu induksi, durasi, dan masa pulih dari anestesi berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks terapeutik tinggi, tidak bersifat toksik, mempunyai pengaruh minimal terhadap organ tubuh terutama saluran pernapasan dan kardiovaskular, cepat dimetabolisme, tidak bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot, analgesik, dan sudah diketahui antidotanya. Beberapa anestetika injeksi yang sering digunakan pada hewan adalah golongan barbiturat seperti thiopental sodium, methoheksital, dan pentobarbital. Golongan lainnya yang juga sering digunakan pada hewan adalah golongan cycloheksamin (ketamine dan tiletamin), etomidat, dan propofol. (Brander et all. 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003).

10 18 Semua golongan barbiturat untuk keperluan anestesi berada dalam bentuk garam sodium dan dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5 atau 5%. Tiga klas golongan barbiturat yang digunakan pada hewan adalah ultrashort-acting barbiturates (metoheksital), short-acting barbiturates (tiopental), dan intermediateacting barbiturates (pentobarbital). Sedangkan long-acting barbiturates (penobarbital) biasanya digunakan untuk sedatip dan antikonvulsi, bukan untuk anestesi. Barbiturat menimbulkan sedasi, hipnosis, dan depresi pernafasan tergantung dosis dan kecepatan pemberian serta pengaruh analgesia yang ditimbulkan sedikit. Efek utama golongan barbiturat adalah depresi pusat pernafasan, depresi pusat vasomotor, dan miokardium sehingga menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Etomidat berbentuk kristal putih, dapat larut dalam air, etanol, dan propilin glikol. Etomidat adalah sedatif hipnotik imidazol yang biasanya digunakan sebagai induksi anestesi pada anjing dan kucing. Kombinasi anestetikum dengan etomidat menghasilkan relaksasi otot yang baik tetapi tidak menghasilkan analgesia dan durasinya sangat singkat seperti propofol, karena metabolisme etomidat sangat cepat. Etomidat mempunyai pengaruh yang minimal terhadap fungsi kardiovaskuler seperti denyut jantung, curah jantung, dan tekanan darah. Etomidat dapat diberikan secara infusi dengan kecepatan dosis µ/kg/menit. Ketamine adalah anestetikum umum injeksi golongan nonbarbiturat, termasuk golongan phenilsycloheksamin. Ketamine mempunyai efek analgesia yang sangat kuat akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya kurang (tidur ringan). Ketamine meningkatkan tekanan darah sistol maupun diastol kira kira 20-25%, karena adanya aktivitas syaraf simpatik meningkat dan depresi baroreseptor. Pemberian anestetikum ketamine secara tunggal dosis mg/kg berat badan secara intra muskular pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan anestetikum ketamine secara tunggal, ketamine sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai preanestesi. Propofol adalah anestesi umum injeksi turunan alkil penol (2,6- diisopropylphenol), mempunyai ph netral, dan dapat diberikan dalam bentuk emulsi minyak dalam air. Walaupun propofol memperlihatkan warna putih seperti susu,

11 19 sangat aman diberikan secara intravena dan dapat diberikan secara berulang-ulang atau sebagai alternatif dapat diberikan secara infusi terus-menerus. Propofol mempunyai efek analgesia yang sangat ringan akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya sangat kuat. Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan. Efek samping utama yang sangat dihindari dari propofol adalah penekanan sistem respirasi. Efek samping tersebut sangat berkaitan dengan dosis dan kecepatan penyuntikannya, keuntungan penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang ditimbulkan (Stawicki 2007). Tahapan Anestesi Umum Tahapan anestesi sangat penting untuk diketahui terutama dalam menentukan tahapan terbaik untuk melakukan pembedahan, memelihara tahapan tersebut sampai batas waktu tertentu, dan mencegah terjadinya kelebihan dosis anestetikum. Tahapan anestesi dapat dibagi dalam beberapa langkah, yaitu: preanestesi, induksi, pemeliharaan, dan pemulihan (McKelvey dan Hollingshead 2003). Tahap preanestesi merupakan tahapan yang dilakukan segera sebelum dilakukan anestesi, dimana data tentang pasien dikumpulkan, pasien dipuasakan, serta dilakukan pemberian preanestetikum. Induksi adalah proses dimana hewan akan melewati tahap sadar yang normal atau conscious menuju tahap tidak sadar atau unconscious. Agen induksi dapat diberikan secara injeksi atau inhalasi. Apabila agen induksi diberikan secara injeksi maka akan diikuti dengan intubasi endotracheal tube untuk pemberian anestetikum inhalasi atau gas menggunakan mesin anestesi. Waktu minimum periode induksi biasanya 10 menit apabila diberikan secara intramuskular (IM) dan sekitar 20 menit apabila diberikan secara subkutan (SC). Tahap induksi ditandai dengan gerakan tidak terkoordinasi, gelisah dan diikuti dengan relaksasi yang cepat serta kehilangan kesadaran. Idealnya, keadaan gelisah dan tidak tenang dihindarkan pada tahap induksi, karena menyebabkan terjadinya aritmia jantung.

12 20 Preanestesi dan induksi anestesi dapat diberikan secara bersamaan, seperti pemberian acepromazin, atropine, dan ketamine dicampur dalam satu alat suntik dan diberikan secara intravena (IV) pada anjing. (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007). Selanjutnya hewan akan memasuki tahap pemeliharaan status teranestesi. Pada tahap pemeliharaan ini, status teranestesi akan terjaga selama masa tertentu dan pada tahap inilah pembedahan atau prosedur medis dapat dilakukan. Tahap pemeliharaan dapat dilihat dari tanda-tanda hilangnya rasa sakit atau analgesia, relaksasi otot rangka, berhenti bergerak, dilanjutkan dengan hilangnya refleks palpebral, spingter ani longgar, serta respirasi dan kardiovaskuler tertekan secara ringan. Begitu mulai memasuki tahap pemeliharaan, respirasi kembali teratur dan gerakan tanpa sengaja anggota tubuh berhenti. Bola mata akan bergerak menuju ventral, pupil mengalami konstriksi, dan respon pupil sangat ringan. Refleks menelan sangat tertekan sehingga endotracheal tube sangat mudah dimasukkan, refleks palpebral mulai hilang, dan kesadaran mulai hilang. Anestesi semakin dalam sehingga sangat nyata menekan sirkulasi dan respirasi. Pada anjing dan kucing, kecepatan respirasi kurang dari 12 kali per menit dan respirasi semakin dangkal. Denyut jantung sangan rendah dan pulsus sangat menurun karena terjadi penurunan seluruh tekanan darah. Nilai CRT akan meningkat menjadi 2 atau 3 detik. Semua refleks tertekan secara total dan terjadi relaksasi otot secara sempurna serta refleks rahang bawah sangat kendor. Apabila anestesi dilanjutkan lebih dalam, pasien akan menunjukkan respirasi dan kardiovaskuler lebih tertekan dan pada keadaan dosis anestetikum berlebih akan menyebabkan respirasi dan jantung berhenti. Dengan demikian, pada tahap pemeliharaan sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan status teranestesi terhadap sistim kardiovaskuler dan respirasi (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al ). Ketika tahap pemeliharaan berakhir, hewan memasuki tahap pemulihan yang menunjukkan konsentrasi anestetikum di dalam otak mulai menurun. Metode atau mekanisme bagaimana anestetikum dikeluarkan dari otak dan sistem sirkulasi adalah bervariasi tergantung pada anestetikum yang digunakan. Sebagian besar anestetikum

13 21 injeksi dikeluarkan dari darah melalui hati dan dimetabolisme oleh enzim di hati dan metabolitnya dikeluarkan melalui sistem urinari. Pada hewan kucing, ketamine tidak mengalami metabolisme dan dikeluarkan langsung tanpa perubahan melalui ginjal. Kadar anestetikum golongan tiobarbiturat di dalam otak dapat dengan cepat menurun karena dengan cepat disebarkan ke jaringan terutama otot dan lemak, sehingga hewan akan sadar dan terbangun dengan cepat mendahului ekskresi anestetikum dari dalam tubuh hewan. Anestetikum golongan inhalasi akan dikeluarkan dari tubuh pasien melalui sistem respirasi, molekul anestetikum akan keluar dari otak memasuki peredaran darah, alveoli paru-paru, dan akhirnya dikeluarkan melalui nafas. Tanda tanda adanya aktivitas refleks, ketegangan otot, sensitivitas terhadap nyeri pada periode pemulihan dinyatakan sebagai kesadaran kembali (McKelvey dan Hollingshead 2003). Durasi atau lama waktu kerja anestetikum dan kualitas anestesi dapat dilihat dari pengamatan perubahan fisiologis selama stadium teranestesi. Dikenal dua waktu induksi pada durasi anestesi. Waktu induksi 1 adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak dapat berdiri. Waktu induksi 2 adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak ada refleks pedal atau hewan sudah tidak merasakan sakit (stadium operasi). Durasi adalah waktu ketika hewan memasuki stadium operasi sampai hewan sadar kembali dan merasakan sakit jika daerah disekitar bantalan jari ditekan. Waktu siuman atau recovery adalah waktu antara ketika hewan memiliki kemampuan merasakan nyeri bila syaraf disekitar jari kaki ditekan atau mengeluarkan suara sampai hewan memiliki kemampuan untuk duduk sternal, berdiri atau jalan (Moens dan Fargetton 1990; Verstegen dan Petcho 1993; McKelvey dan Hollingshead 2003). McKelvey dan Hollingshead (2003) dan Tranquilli et al. (2007) menyatakan bahwa untuk memonitor anestesi dilakukan pengamatan tahap-tahap anestesi umum. Kualitas status teranestesi dapat dilihat dari perubahan fisiologis sebagai tanda kedalaman anestesi, seperti disajikan pada Tabel 1.

14 22 Tabel 1 Tahapan dan indikasi status teranestesi oleh anestetikum umum Fase/Tahapan Indikator I II III Plane 1 III Plane 2 III Plane 3 III Plane 4 IV Tingkah laku Tidak terkontrol Eksitasi: kuat, bersuara, anggora gerak, mengunyah ternganga. Teranestesi Teranestesi Teranestesi Teranestesi Hampir mati Respirasi Normal, cepat 20-30x/mnt Tidak teratur, tertahan atau hiperventilasi Teratur: 12-20x/mnt Teratur, dangkal: 12-16x/mnt Dangkal: <12x/mnt Putus-putus (ada berhenti) Apnea (berhenti) Fungsi Kardiovaskuler Tetap denyut jantung meningkat Pulse kuat, denyut jantung >90x/mnt denyut jantung >90x/mnt Denyut jantung 60-90/mnt, CRT meningkat, Pulse lemah Denyut jantung <60x/mnt, CRT lama, membran pucat. Kollap Respon bedah/ insisi Kuat Kuat Ada respon dengan gerakan Denyut jantung dan respirasi meningkat Tidak ada Tidak ada Tidak ada Kedalaman anestesi Tidak teranestesi Tidak teranestesi Dangkal Sedang Dalam Over dosis Mati Posisi Bola mata Ukuran Pupil Tengah Normal Tengah, tidak tetap Mungkin berdilatasi Tengah, rotasi, tidak tetap Normal Sering rotasi di ventral Dilatasi ringan Ditengah, rotasi di ventral Dilatasi sedang Tengah Dilatasi lebar Tengah Dilatasi lebar Respon Pupil (+) (+) (+) Lambat Sangat lambat, (-). (-) (-) Kejangan Otot Baik Baik Baik Relaksasi Sangat menurun Lembek Lembek Refleks Ada Ada, mungkin berlebih Ringan, hilang Ada (patella, telinga, palpebral, kornea), yang lain hilang Semua minimal, hilang Tidak ada Tidak ada Stadiun 1 atau stadium analgesi adalah stadium awal anestesi yang terjadi segera setelah dilakukan anestesi secara inhalasi atau injeksi. Hewan pada stadium ini masih sadar tetapi kehilangan orientasi dan menurunnya sensitifitas terhadap rasa

15 23 nyeri. Respirasi dan denyut jantung masih normal atau meningkat, dan semua refleks masih ada; Stadium 2 atau stadium delirium atau eksitasi adalah stadium yang dimulai dari hilangnya kesadaran. Semua refleks masih ada dan bisa muncul berlebihan. Hewan masih dapat mengunyah, menelan, dan mulut umumnya menganga. Kondisi pupil yang dilatasi tetapi akan berkontriksi apabila ada rangsangan sinar. Stadium ini berjalan cepat dan bahkan akan terlewati apabila diberikan preanestesi yang baik. Stadium 2 akan berakhir apabila hewan menunjukkan tanda relaksasi otot, respirasi menurun, dan terjadi penurunan refleks; Stadium 3 atau stadium pembedahan adalah stadium melakukan tindakan bedah dan dibagi menjadi empat plane, yaitu plane 1 atau anestesi ringan, plane 2 atau anestesi pembedahan, plane 3 atau anestesi dalam, dan plane 4 atau paralisa; dan Stadium 4 atau stadium terminal (stadium kelebihan dosis). Sejarah dan Mekanisme Kerja Anestesi Umum Anestetikum pertama kali ditemukan adalah eter oleh William Thomas Green Morton pada tahun Morton memperagakan penggunaan dietil eter untuk menghilangkan kesadaran dan rasa nyeri pada pasien yang sedang ditangani untuk pembedahan tumor rahang di Massachusetts General Hospital Boston pada tanggal 16 Oktober 1846 dan berhasil tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Dengan ditemukannya eter sebagai anestetikum tahun 1846, pembedahan dapat dilakukan tanpa siksaan dan bebas rasa nyeri sehingga mendorong berkembangnya ilmu bedah dengan pesat. Kemudian muncul teori mekanisme kerja anestesi oleh Vonbibra dan Harles tahun 1847 yang menjelaskan bahwa anestetikum bekerja karena larut pada lipid di otak. Dikemudian hari dipertanyakan kembali oleh karena tidak semua bahan yang larut pada lemak dapat digunakan sebagai anestetikum. Selanjutnya oleh Hans Meyer pada tahun 1899 dan Charles Overton tahun 1901 memperkenalkan teori Meyer-Overton. Teori ini menyatakan bahwa potensi anestesi berhubungan dengan kelarutan bahan anestetikum pada lemak. Anestetikum akan larut pada lipid dan merusak struktur lipid membran syaraf. Dengan demikian, makin mudah suatu bahan anestetikum larut dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Namun hal ini hanya

16 24 berlaku untuk anestetikum inhalasi cair atau volatil sedangkan pada anestetikum parenteral seperti pentotal pernyataan di atas tidak berlaku. Hipotesis Vonbibra dan Harles tahun 1847 dan Meyer-Overton tahun 1901 dimentahkan dengan munculnya hipotesis protein membran yang mempengaruhi ion, bahwa membran sel syaraf mengandung protein dan anestetikum akan terikat pada protein, selanjutnya akan mempengaruhi saluran ion. (Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010). Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman teori saluran ion yang dipengaruhi oleh neurostransmiter dan reseptor kini diterima sebagai teori mekanisme kerja anestesi umum. Anestetikum akan bekerja mempengaruhi dua jenis reseptor yaitu : 1. Reseptor γ amino butiric acid (GABA) terutama reseptor GABA A yang merupakan reseptor inhibitori, dan 2. Reseptor Glutamat yang merupakan reseptor eksitatori kususnya pada sub tipe N-methyl D-aspartat (NMDA) (Rudolph dan Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia et al ). Gamma-amino butiric acid merupakan neurotransmiter inhibitori utama di otak, disintesis dari glutamat dengan bantuan enzim glutamic acid decarboxylase (GAD), didegradasi oleh GABA-transaminase. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi menyeberangi celah sinap untuk berinteraksi dengan reseptornya sehingga menimbulkan aksi penghambatan fungsi SSP. Neurotransmiter GABA lepas dari ujung syaraf gabanergik, berikatan dengan reseptornya, membuka saluran ion Cl, ion Cl masuk ke dalam sel, terjadi hiperpolarisasi sel syaraf, terjadi efek penghambatan transmisi syaraf, dan depresi SSP. Reseptor GABA sebagi tempat terikatnya GABA terdiri dari dua jenis, yaitu ionotropik (GABAA) dan metabotropik (GABA B ). Reseptor GABA A terletak di postsinaptik dan cukup penting karena merupakan tempat aksi obat-obat benzodiazepin dan golongan barbiturat. Reseptor GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, masing masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, dan mempunyai 4- transmembran (TM) saluran ion. Sampai saat ini telah diketahui ada 19 reseptor subunit GABA A, yaitu lebih dari 85% konsentrasinya dalam bentuk kombinasi α1ß2γ2, α2ß3γ2, dan α3ß1-3γ2. Reseptor GABA A adalah reseptor komfleks yang memiliki beberapa tempat aksi obat, seperti benzodiazepin (BZ), GABA, barbiturat,

17 25 dan neurosteroid (Gambar 2) (Rudolph dan Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia et al. 2010; Miller 2010). Reseptor GABA A Komfleks di luar sel di dalam sel BZ = Bezodiazepin ETOH = Etanol (alkohol) GABA = γ amino butiric acid Gambar 2. Reseptor GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, m asing masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, 4- transmembran (TM) sebagai saluran ion dan tempat terikatnya anestetika (Sumber: Cameron J Weir 2006; Miller 2010). Glutamat merupakan asam amino yang termasuk neurotransmiter eksitatori dan berperan penting dalam fungsi sistem syaraf pusat. Reseptor glutamat yang teridentifikasi secara farmakologi terdiri dari subtipe reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA), 5-hydroxy tryptamine (5HT), dan amino hydroxy methyl isoxazolepropionate (AMPA). Aktivasi reseptor NMDA akan meningkatkan Ca + dan Na + intrasel dan memicu aksi potensial. Terikatnya neurostransmiter glutamat pada reseptor NMDA, menyebabkan aliran ion Ca + dan NA + ke dalam sel, ion Ca + intracellular akan meningkat, terjadi depolarisasi, menyebabkan eksitatori, dan memicu konvulsi (Gambar 3) (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).

18 26 Skema subtipe reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) ekstraseluler Sitoplasma Gambar 3. Skema reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) komfleks (Sumber: Uwe Rudolph dan Bernd Antkowiak 2004; Miller 2010). Reseptor GABA dan Glutamat adalah reseptor yang sebagaian besar terletak pada otak khususnya di hipotalamus yang merupakan target kerja anestetikum, yaitu di daerah tuberomammilary nucleous (TMN). Anestetikum umum akan terkonsentrasi untuk meningkatkan aktivitas reseptor GABA A (Cameron 2006; Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010). Konsentrasi rendah isofluran, enfluran, halotan, dan propofol mempengaruhi GABA dan induksi Cl -, pada dosis tinggi akan secara langsung mempengaruhi reseptor GABA A menjadi terbuka (Henschel et al. 2008). Secara seluler, anestetika bekerja pada sel neuron melalui interaksi dengan kanal ion. Membran protein akan diaktivasi oleh rangsangan kimia atau karena adanya perubahan sebagai sinyal pada membran sel. Dengan adanya sinyal, terjadi aktivasi membran protein, kanal ion akan mempengaruhi elektrik neuron, terjadi perpindahan ion pada permukaan membran sel sehingga terjadi perubahan kondisi di dalam sel yang sangat negatif atau sangat positif. Kondisi di dalam sel yang sangat negatif menyebabkan hiperpolarisasi sel sehingga terjadi inhibitori, sedangkan kondisi yang sangat positif menyebabkan depolarisasi sel sehingga terjadi kondisi

19 27 eksitatori. Pada umumnya, anestesi umum bekerja dengan cara memperkuat (+) sinyal inhibitori atau menghambat (-) sinyal eksitatori. Secara klinis, anestetikum mempengaruhi fungsi kanal ion lebih dari satu pada sistem syaraf dan hal ini berdampak pada aktivitas neuron dengan drajat berbeda dan daerah berbeda, seperti disajikan pada Gambar 4 (Cameron 2006; Garcia et al. 2010). Anestesi Umum Inhibitori Eksitatori Gambar 4 Anestesi umum bekerja dengan cara mempengaruhi aktivitas transmitter-gate ion channel dengan cara meningkatkan (+) sinyal inhibitori dan/atau menghambat (-) sinyal eksitatori neurotransmiter. GABA= γ amino butiric acid, NMDA= N- methyl D-aspartat, 5HT3 = 5-hydroxy tryptamine, AMPA = amino hydroxy methyl isoxazolepropionate. (sumber: Cameron J Weir 2006). Anestetika umum yang sering digunakan saat ini sebagai induksi dan pemeliharaan anestesi ada lima jenis anestetika inhalasi dan lima jenis anestetika injeksi intravena. Anestetika inhalasi yaitu N 2 O, isofluran, sevofluran, desfluran, dan xenon. Anestetika intravena yaitu propofol, etomidat, ketamine, metoheksital, dan tiopental. Ketamine, N 2 O, dan xenon bekerja dengan cara menghambat reseptor glutamat dengan pengaruh yang sangat kuat menghambat reseptor subtipe NMDA dan berpengaruh sangat lemah pada reseptor lain seperti reseptor GABA A. Anestetika sisanya bekerja pada reseptor GABA A dengan pengaruh utama meningkatkan fungsi reseptor GABA A dan berpengaruh juga pada kanal ion lainnya seperti reseptor glisin,

20 28 reseptor nikotin, reseptor 5HT3, reseptor glutamat, dan pompa ion kalium. Reseptor GABA A adalah reseptor inhibitori neurotransmiter yang sebagian besar terletak di SSP (Garcia et al. 2010). Dengan demikian anestetikum secara umum bertindak sebagai sinyal yang akan merangsang reseptor GABA A, menyebabkan hiperpolarisasi (inhibitori), mengganggu proses fisiologi dan menimbulkan perubahan klinis seperti hipnosis, depresi refleks spinal, dan amnesia (Cameron 2006; Garcia et al. 2010). Anestetika umum injeksi, selain ketamine, bekerja meningkatkan pengaruh reseptor GABAA pada otak khususnya subtipe ß3 menyebabkan kehilangan kesadaran dan subtipe ß2 (50% pada SSP) menyebabkan sedasi. Sedangkan anestetikum ketamine, anestetika gas, N 2 O, Xenon dan sejenisnya bekerja sedikit atau lemah pada reseptor GABA A atau Glisin, tetapi sangat kuat menghambat pada reseptor glutamat subtipe NMDA sehingga akan menutup aliran Ca 2+ dan membuka saluran ion K yang menyebabkan terjadinya analgesik kuat (Miller 2010). Reseptor GABAA adalah reseptor yang ditemukan di SSP dan reseptor inilah merupakan target anestesi. Anestetika umum meningkatkan kerja GABA dan menginduksi saluran ion Cl. Pada dosis tinggi, anestetika dapat langsung mengaktivasi reseptor GABA A, tanpa GABA. Sedangkan anestetika apolar seperti xenon atau cyclopropan mempunyai pengaruh yang sedikit atau tidak berpengaruh pada reseptor GABA A. Pengaruh fungsional anestetika pada reseptor GABA A sangat tergantung pada komposisi reseptor subunitnya, yaitu subunit α, β, atau subunit γ (Franks 2008; Miller 2010). Franks (2008) dan Miller (2010) menerangkan bahwa anestetikum volatil bekerja pada reseptor GABA A subunit α pada transmembran (TM)2 dan TM3 bagian protein Ser270 (αs270). Propofol sebagai anestetikum intravena bekerja pada reseptor GABA A subunit ß TM2 dan TM3 bagian N265 (ßN265). Sedangkan anestetika isofluran dan halotan mempunyai ikatan anestetik pada TM1, TM2, TM3, dan TM4 bagian M159 yang sangat mempengaruhi tranduksi sinyal. Sedangkan isofluran dan xenon lebih banyak menghambat reseptor melalui kompetisi dengan glisin ( Gambar 5).

21 29 Mascia et al. (2000) menyebutkan bahwa alkohol dan anestetika mempengaruhi reseptor glisin dan reseptor GABA A melalui asam amino pada TM2 dan TM3 dari α subunit, yaitu pada reseptor glisin pada S267, A288, dan Ser270 sedangkan pada reseptor GABA A subunit β pada S270, A291, Asn 265, dan Met286. Propofol mirip dengan propanethiol bekerja pada reseptor Glisin TM2 α1 (S267C), pada reseptor GABA A TM2 α2 (S270C) ß1, pada TM3 α1 (A288C), pada TM3 α2 (A291C)ß1, pada TM2 β2 (Tyr445). Asam amino pada TM2 adalah tempat terikatnya anestetika dan alkohol (Gambar 5) (Mascia et al. 2000; Franks 2008; Miller 2010). Gambar 5. Anestetika volatil (isofluran) bekerja pada reseptor GABA A subunit α dan anestetika intravena (propofol) bekerja pada reseptor GABAA subunit β. (Sumber : Miller 2010). Tinjauan Anestetikum Umum Ketamine HCl Ketamine HCl adalah anestetikum golongan phencyclidine (PCP) dengan rumus 2-(0-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride, golongan nonbarbiturat, dan termasuk dissosiatif anestesi, yaitu pada dosis rendah sebagai preanestesi dan pada dosis lebih tinggi sebagai anestesi umum. Ketamine HCl merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan mempunyai tingkat keamanan lebar (Gambar 6) (Sulistia 1987; Adams 2001).

22 30 Gambar 6 Struktur kimia ketamine HCl Ketamine HCl mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit yang kuat serta reaksi anestesinya tidak menyebabkan ngantuk (Pathak et al.1982; Kul et al. 2001). Ketamine menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor N methyl D aspartate (NMDA). Ketamine diklasifikasikan sebagai antagonis reseptor NMDA, pada daerah tempat kerja PCP. Afinitas ketamine sangat tinggi pada reseptor NMDA, sehingga menghasilkan pengaruh analgesik yang sangat kuat (Stawicki 2007). Sebagai antagonis NMDA, ketamine menghambat refleks nosiseptik spinal, yaitu menghambat konduksi rasa nyeri ke talamus dan daerah kortek. Penghambatan reseptor NMDA dengan dosis ketamine yang rendah akan menghasilkan pengaruh analgesik yang baik (Intelisano et al. 2008). Ketamine juga menyebabkan gangguan fungsi pada beberapa tempat di otak seperti pada talamus dan kortek serebral menjadi tertekan. Ketamine juga memperpanjang kerja GABA (gamma amino butyric acid), suatu neurotransmiter penghambat di otak dengan cara menghambat pengikatannya di ujung syaraf (Cullen 1997). Reseptor GABA dapat merubah permiabilitas ion Cl - dan dapat menyebabkan pelepasan norepineprin pada syaraf simpatik (Adams 2001; Rudolph dan Antkoeiak 2004). Pengaruh klinis yang ditimbulkan ketamine sangat bervariasi seperti : analgesia, anestesi, halusinasi, neurotoksisitas, hipertensi arterial, dan bronkodilatasi. Ketamine juga menimbulkan agitasi (kehilangan orientasi, gelisah, dan menangis) yang sering disebut penomena emergence delirium (Stawicki 2007). Adams (2001) menyebutkan bahwa aktivitas ketamine dapat secara langsung menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan (uptake) catecholamine terutama norepineprin. Ketamine dapat mengubah aktivitas

23 31 listrik jantung dengan memperpanjang interval PR dan QT, tetapi tidak mempengaruhi bentuk gelombang EKG. Ketamine juga dapat menghambat efferen vagal (vagolitik) melalui aktivitas pada syaraf pusat. Terhadap sistem kardiovaskuler, ketamine menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan cardiac output, peningkatan tekanan vena (Cullen 1997), peningkatan tekanan arteri, temperatur tubuh, dan peningkatan tekanan intraokuler (Haskin 1989). Pemberian anestetikum ketamine secara tunggal dosis mg/kg berat badan secara intra muskular pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan anestetikum ketamine secara tunggal, ketamine sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai preanestesi, misalnya sedatif tranquuilizer golongan penotiazin seperti acepromazin atau clorpromazin, sedatif hipnotik golongan α2-adrenoceptor seperti xylazine, dan golongan benzodiazepin seperti diazepam atau midazolam yang diberikan secara IM atau IV (Bishop 1996). Penggunaan kombinasi xylazine 2 mg/kgbb lima menit kemudian diikuti dengan ketamine 20 mg/kgbb, menyebabkan menurunnya denyut jantung, tekanan darah arteri dan respirasi (Kul et al. 2001). Waktu anestesi yang dihasilkan oleh kombinasi anestesi xylazine (2 mg/kgbb) dan ketamine (15 mg/kgbb) dalam satu spuit secara intamuskular pada anjing lokal sekitar 45 menit (Sudisma et al. 2001). Pemberian xylazine secara tunggal pada anjing akan menyebabkan muntah dan penurunan denyut jantung beberapa menit setelah pemberian xylazine (Bishop 1996). Propofol Propofol dapat digunakan secara tunggal pada prosedur anestesi yang singkat atau untuk induksi sebelum intubasi dan anestesi inhalasi. Propofol mempunyai ph netral dan dapat diberikan dalam bentuk emulsi minyak dalam air dengan konsentrasi 10 mg/ml. Walaupun propofol memperlihatkan warna putih seperti susu, sangat aman diberikan secara intravena. Propofol adalah turunan alkil penol (2,6- diisopropylphenol), seperti pada Gambar 7 (McKelvey dan Hollingshead 2003).

24 32 2,6-diisopropylphenol (C 12 H 18 O) Gambar 7 Struktur kimia propofol Propofol termasuk agen anestetikum intravena short acting hypnotic. Propofol menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor GABA A (Intelisano et al. 2008). Propofol memperbesar pengaruh GABA yang mempunyai fungsi menghambat aksi (inhibitory) sistem syaraf pusat, meningkatkan konduksi Cl - yang menyebabkan hiperpolarisasi sehingga tingkat rangsangan sel (excitability) menurunkan, menyebabkan sedasi dan relaksasi (Mihic dan Harris 1997; Intelisano et al. 2008). Propofol mempunyai molekul mirip alkohol, molekulnya akan bekerja dan berikatan pada reseptor GABAA pada membran sel syaraf pada otak khususnya reseptor GABA A subtipe ß3 pada transmembran (TM)2 dan TM3 bagian N265 (ßN265) sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran dan pada reseptor GABA A subtipe ß2 (50% pada SSP) akan menyebabkan sedasi. Subtipe ß3 yang terdapat pada reseptor GABA A merespon propofol dan etomidat sehingga terjadi depresi respiratoris (Henschel et al. 2008). Propofol menghasilkan pengaruh menghilangkan kesadaran dan pelemas otot yang baik, menyebabkan hipotensi arterial, bardikardi, depresi respirasi terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi (Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007). Propofol menyebabkan vasodilatasi pada vena dan arteri serta berakibat langsung penurunan tekanan darah dan menyebabkan relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999). Penelitian pada manusia, propofol menyebabkan rendahnya tekanan darah sistol (SAP) dan tekanan darah rata-rata (MAP) tanpa menimbulkan pengaruh pada denyut jantung (Belo et al dalam Mohamadnia et al. 2008).

25 33 Efek samping propofol berhubungan dengan dosis penggunaan dan keuntungan penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang ditimbulkan (Dzikiti et al. 2007). Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan (Stawicki 2007). Propofol dapat dilarutkan dalam larutan salin (garam) atau dektrosa 5% dalam air untuk digunakan pada anjing. Larutan tersebut lebih akurat dan dapat melindungi efek samping terhadap respirasi dan kardiovaskular. Propofol tidak dianjurkan untuk dilarutkan dalam konsentrasi yang kurang dari 0,2% (2mg/ml), karena tidak dapat bercampur dengan pelarut atau agen lain. Tidak seperti cycloheksamin dan barbiturat, propofol dapat diberikan secara berulang-ulang dan injeksi dapat diulang setiap 3-5 menit atau sesuai dengan kebutuhan yang disesuaikan dengan status pasien atau sebagai alternatif dapat diberikan secara infus terus-menerus. Periode pemulihan anestesi dengan propofol sangat cepat dan berjalan dengan lembut, walaupun diberikan secara berulang-ulang. Pemulihan anestesi dengan propofol pada anjing sekitar 20 menit (McKelvey dan Hollingshead 2003). Dosis propofol yang dibutuhkan pasien dan durasi anestesinya tergantung dari preanestetikum yang digunakan. Apabila digunakan dosis 6 mg/kg IV, onset anestesinya kurang dari 60 detik dan durasinya sekitar 5-10 menit. Dosis propofol yang kecil (0,2-0,4 mg/kg/menit) dapat diberikan pada pasien secara infusi terusmenerus dengan pompa injeksi atau tetes IV. Propofol dapat digunakan pada anjing dengan dosis pemberian 4mg/kg secara intravena (Bishop 1996). Penggunaan propofol pada hewan kecil sebagai induksi digunakan dosis 3-8mg/kg secara intravena, sedangkan sebagai pemeliharaan anestesi digunakan dosis 0,5-1mg/kg diulang setiap 3-5 menit atau dapat diberikan secara infusi intravena 0,3-0,5mg/kg/menit. Metode total intraveous anesthesia (TIVA) menggunakan propofol digunakan secara luas pada pasien manusia yang ditangani diluar ruang operasi. Propofol yang digunakan pada manusia mempunyai waktu pemulihan yang singkat, kadang lebih cepat dari isofluran dan menyebabkan muntah dan mabuk pasca operasi.

26 34 Penggunaan propofol dengan metode TIVA juga dipercaya sebagai anestesi alternatif untuk hewan kesayangan terutama anjing (Tsai et al. 2007). Induksi anestesi pada anjing dengan propofol (4mg/kg) dan ketamine (2mg/kg) secara intravena dalam satu spuit dilanjutkan dengan infusi intravena dengan propofol (0,5mg/kg/menit) dan ketamine (0,2mg/kg/menit), menghasilkan anestesi dengan hemodinamik yang stabil (Intelisano et al. 2008). Anestesi pada anjing dengan kombinasi propofol (4mg/kg) dan ketamine (4mg/kg) secara intravena menghasilkan anestesi yang aman dan dapat digunakan sebagai alternatif anestesi untuk prosedur pembedahan yang panjang (Muhammad et al. 2009). Kombinasi propofol dengan preanestetikum mempunyai rentang keamanan yang lebar pada anjing. Eksitasi dan tremor otot jarang terjadi, oleh karena itu diperlukan preanestetikum seperti acepromazin(0,1mg/kg IV), pentobarbital (2mg/kg), atau diazepam (0,3-0,5mg/kg IV). Propofol sangat aman diberikan pada hewan dengan gangguan hati dan ginjal, karena metabolisme propofol sangat cepat. Satu kekurangan propofol adalah kelemahan untuk disimpan, karena mengandung minyak kedelai, lesithin, dan gliserol sehingga akan mendukung pertumbuhan bakteri. Ampul dan botol harus disimpan dengan aseptik dan tidak dianjurkan untuk digunakan setelah dibuka selama 12 jam (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tsai et al. 2007; BBraun 2009). Xylazine Xylazine adalah salah satu golongan alpha 2 -adrenoceptor stimulant atau alpha- 2 adrenergic receptor agonist. Alpha-2 agonist seperti xylazine dan medetomidin adalah preanestetikum yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk menghasilkan sedasi, analgesi, dan pelemas otot. Golongan alpha-2 agonist yang lain seperti romifidin sering digunakan pada kuda, tetapi tidak direkomendasikan untuk anjing dan kucing (Lemke 2004). Xylazine HCl mempunyai rumus kimia 2(2,6- dimethylphenylamino)-4h-5,6-dihydro 1,3-thiazine hydrochloride, seperti disajikan pada Gambar 8. (Booth et al. 1977; Brander et al. 1991; Bishop 1996).

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting dan strategis pada tindakan pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan bila belum dilaksanakan anestesi. Sejarah membuktikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Anestesi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen anestesi seperti obat analgesik yang dapat menghilangkan rasa sakit, sementara obat-obat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anestesi digunakan secara luas dalam bidang kedokteran hewan seperti menghilangkan nyeri dan kesadaran pada tindakan pembedahan, pengendalian hewan (restraint), keperluan

Lebih terperinci

TESIS PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN SECARA SUBKUTAN PADA ANJING

TESIS PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN SECARA SUBKUTAN PADA ANJING TESIS PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN SECARA SUBKUTAN PADA ANJING I MADE INDRAYADNYA SWARAYANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015! TESIS PEMELIHARAAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan 71 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Data penggunaan bahan anestetika diperoleh dari kuesioner yang diedarkan secara acak kepada 87 Dokter Hewan praktek melalui survei secara acak dari tempat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Darah 2.1.1. Hematologi Darah Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Anestesi adalah hilangnya rasa sakit yang disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi. Obat analgesik akan menghilangkan rasa sakit, sementara obat tranquilliser akan menenangkan hewan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing merupakan hewan peliharaan yang paling populer hampir di seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga memiliki jiwa pengabdian

Lebih terperinci

KETERPILIHAN DAN KEBAKUAN DOSIS ANESTESI KETAMINE DAN PROPOFOL MENGGUNAKAN METODE GRAVIMETRIK PADA ANJING I GUSTI NGURAH SUDISMA

KETERPILIHAN DAN KEBAKUAN DOSIS ANESTESI KETAMINE DAN PROPOFOL MENGGUNAKAN METODE GRAVIMETRIK PADA ANJING I GUSTI NGURAH SUDISMA KETERPILIHAN DAN KEBAKUAN DOSIS ANESTESI KETAMINE DAN PROPOFOL MENGGUNAKAN METODE GRAVIMETRIK PADA ANJING I GUSTI NGURAH SUDISMA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANESTESI INFUS GRAVIMETRIK PADA ANJING (The Gravimetric Infuson Anaesthesia in Dogs)

ANESTESI INFUS GRAVIMETRIK PADA ANJING (The Gravimetric Infuson Anaesthesia in Dogs) ANESTESI INFUS GRAVIMETRIK PADA ANJING (The Gravimetric Infuson Anaesthesia in Dogs) I Gusti Ngurah Sudisma 1), Setyo Widodo 2), Dondin Sajuthi 2), Harry Soehartono 2), Putu Yudhi Arjentinia 1) 1) Bagian

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap pembedahan, dilakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk baik menghilangkan rasa nyeri yang kemudian disebut dengan anestesi. Dan keadaan hilangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan belum bisa dilakukan tanpa anestesi (Hall dan Clarke, 1983).

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan belum bisa dilakukan tanpa anestesi (Hall dan Clarke, 1983). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anestesi adalah tahapan yang sangat penting pada prosedur pembedahan. Prosedur awal pembedahan harus didahului dengan pemberian anestesi karena pembedahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Keseluruhan anjing yang dipergunakan pada penelitian diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat sesuai dengan klasifikasi status klas I yang telah ditetapkan

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL Tugas Anestesi FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL disusun oleh ASTRI NURFIDAYANTI 110.2004.036 FK UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 14 FEBRUARI-19 MARET 2011 DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT JULAEHA, M.P.H., Apt FISIONEUROLOGI OBAT SSP Obat SSP menekan / menstimulasi seluruh atau bagian tertentu dari SSP. Jika terdapat penekanan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Induksi Anestesi Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses transisi dari sadar penuh sampai hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan ditemukannya agen inhalasi yang baru, desflurane dan sevoflurane, muncul permasalahan baru yang dikenal dengan agitasi pulih sadar. Agitasi pulih sadar didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 56 BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan uji kuantitatif analitik yang membandingkan dua kelompok penelitian, yaitu kelompok isofluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Variabel yang diamati : Gambar 5 Alur penelitian terhadap babi A, B, dan C 1. Gejala pada saat periode induksi 2. Onset anestesi 3. Durasi anestesi 4. Temperatur tubuh ( o C) 5. Frekuensi denyut jantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia 2 TINJAUAN PUSTAKA Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia Babi merupakan hewan monogastrik berasal dari Eurasia yang memiliki bentuk hidung khas sebagai ciri hewan tersebut, yaitu berhidung lemper. Babi

Lebih terperinci

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut. B. HIPERKAPNIA Hiperkapnia adalah berlebihnya karbon dioksida dalam jaringan. Mekanisme penting yang mendasari terjadinya hiperkapnia adalah ventilasi alveolar yang inadekuat untuk jumlah CO 2 yang diproduksi

Lebih terperinci

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. OBAT OBAT EMERGENSI Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. PENGERTIAN Obat Obat Emergensi adalah obat obat yang digunakan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Pengantar Farmakologi Kuntarti, S.Kp, M.Biomed 1 PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com 4 Istilah Dasar Obat Farmakologi Farmakologi klinik Terapeutik farmakoterapeutik

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Waktu pulih sadar a. Pendahuluan Pulih sadar merupakan periode di mana pasien masih mendapatkan pengawasan dari ahli anestesi setelah pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rasa sakit didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman dan suatu pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan tubuh (Levine, 2012), oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk melihat onset, durasi, kematian dan tahapan anestesi Acepromazine (ACP). Selanjutnya, hasil penelitian dengan menggunakan ACP yang diberikan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN I DAN II PENGARUH RUTE PEMBERIAN DAN VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN I DAN II PENGARUH RUTE PEMBERIAN DAN VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN I DAN II PENGARUH RUTE PEMBERIAN DAN VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT Disusun oleh: KELOMPOK 3 Kelas C2 Kamis Pagi Avi Rahmadiah 1306376995 Ertika Festya 1306480420

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN 57 MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Bedah Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Bagian Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap sebuah pelumpuh otot yang ideal yang dapat memberikan kondisi intubasi yang ideal dalam durasi

Lebih terperinci

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT Pendahuluan Obat adalah zat yang dapat memberikan perubahan dalam fungsi-fungsi biologis melalui aksi kimiawinya. Pada umumnya molekul-molekul obat berinteraksi dengan molekul

Lebih terperinci

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500 PERBANDINGAN PENURUNAN TEKANAN DARAH ANTARA LIDOKAIN 5% HIPERBARIK DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% HIPERBARIK PADA ANESTESI SPINAL UNTUK OPERASI EKSTREMITAS INFERIOR DI RSO. Prof. Dr. R. SOEHARSO SURAKARTA SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin Dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan

Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin Dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin Dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan (THE CLINICAL CHANGES IN LOCAL DOG DURING ANESTHETIZED BY KETAMINE WITH VARIOUS DOSE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kafein banyak terkandung dalam kopi, teh, minuman cola, minuman berenergi, coklat, dan bahkan digunakan juga untuk terapi, misalnya pada obatobat stimulan, pereda nyeri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Anestesi intravena total adalah suatu tehnik anestesi yang dilakukan hanya dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat anestesi inhalasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan suatu tindakan yang sering dilakukan pada anestesi umum untuk mengurangi atau menumpulkan respon

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan Pada Anak-Anak Pembedahan dan anestesi dapat menimbulkan stres emosional pada anak dan orang tua. Hal ini dapat terjadi pada saat preoperatif dan post operatif. Untuk

Lebih terperinci

Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan, gangguan yang terjadi di dalam tubuhnya

Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan, gangguan yang terjadi di dalam tubuhnya Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan, bahkan pencegahan terhadap berbagai gangguan yang terjadi di dalam tubuhnya .1 PRINSIP PENGOBATAN

Lebih terperinci

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA Bio Psikologi Modul ke: Konduksi Neural / Sinapsis: 1. Konsep sinapsis 2. Peristiwa kimiawi pada sinapsis 3. Obat-obatan dan sinapsis Fakultas Psikologi Firman Alamsyah, MA Program Studi Psikologi Konsep

Lebih terperinci

REGULASI PERNAPASAN Pusat Pernapasan. Pusat pernapasan adalah beberapa kelompok neuron yang terletak di sebelah bilateral medula oblongata dan pons.

REGULASI PERNAPASAN Pusat Pernapasan. Pusat pernapasan adalah beberapa kelompok neuron yang terletak di sebelah bilateral medula oblongata dan pons. REGULASI PERNAPASAN Pusat Pernapasan Pusat pernapasan adalah beberapa kelompok neuron yang terletak di sebelah bilateral medula oblongata dan pons. Organisasi pusat pernapasan Daerah ini dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J,

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kraniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J, 2005). Pembedahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rasa nyeri, paralisis atau kerusakan jaringan dan kehilangan kontrol motorik dapat menyebabkan gangguan pergerakan, sedangkan aktivitas pergerakan yang normal sangat

Lebih terperinci

Rute Pemberian Obat. Indah Solihah

Rute Pemberian Obat. Indah Solihah Rute Pemberian Obat Indah Solihah Rute Pemberian Jalur Enteral Jalur Parenteral Enteral Oral Sublingual Bukal Rektal Oral Merupakan rute pemberian obat yg paling umum. Obat melalui rute yg paling kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan luar biasa terhadap mekanisme hemostasis tubuh karena jaringan di dalam mulut memiliki vaskularisasi

Lebih terperinci

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT : setiap molekul yang bisa merubah fungsi tubuh secara molekuler. NASIB OBAT DALAM TUBUH Obat Absorbsi (1) Distribusi (2) Respon farmakologis Interaksi dg reseptor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dua ruang yaitu atrium kiri (sinister) dan kanan (dexter), dan dua ventrikel sinister

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dua ruang yaitu atrium kiri (sinister) dan kanan (dexter), dan dua ventrikel sinister BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomifisiologi Jantung Anjing Secara anatomi, jantung anjing memiliki empat ruang yang terbagi atas dua ruang yaitu atrium kiri (sinister) dan kanan (dexter), dan dua ventrikel

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengamatan Tingkah Laku Ikan Selama Proses Pemingsanan Pengamatan perubahan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan dilakukan setiap 15 menit dengan percobaan trial and run

Lebih terperinci

SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN

SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN RM 02.05.04.0114 Dokter Pelaksana Tindakan Penerima Informasi Penerima Informasi / Pemberi Penolakan * SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN PEMBERIAN INFORMASI JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDA ( ) 1

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Anestesi Lokal Istilah anestesi diperkenalkan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reaksi tubuh terhadap pembedahan dapat merupakan reaksi yang ringan atau berat, lokal, atau menyeluruh. Reaksi yang menyeluruh ini melibatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak menyenangkan, yang kemudian ditandai oleh perasaan-perasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak menyenangkan, yang kemudian ditandai oleh perasaan-perasaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Kecemasan Dental 1.1. Definisi Kecemasan memiliki pengertian sebagai kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang kemudian ditandai oleh perasaan-perasaan

Lebih terperinci

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya MAPPING CONCEPT PENGATURAN SIRKULASI Salah satu prinsip paling mendasar dari sirkulasi adalah kemampuan setiap jaringan untuk mengatur alirannya sesuai dengan kebutuhan metaboliknya. Terbagi ke dalam pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laringospasme dan batuk merupakan komplikasi setelah ekstubasi pada pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan menutupnya glottis secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur tubuh hewan merupakan keseimbangan antara produksi panas tubuh yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda vital, juga dalam pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda vital, juga dalam pengelolaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembedahan atau operasi merupakan tindakan invasif dengan membuka bagian tubuh untuk perbaikan.pembedahan biasanya diberikan anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda

Lebih terperinci

KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI

KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI Ovariohisterectomy merupakan tindakan bedah atau operasi pengangkatan organ reproduksi

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Saat ini nyeri masih menjadi

Lebih terperinci

JURNAL KOMPLIKASI ANESTESI VOLUME 2 NOMOR 1, NOVEMBER 2014 TINJAUAN PUSTAKA. TIVA (Total Intravenous Anesthesia)

JURNAL KOMPLIKASI ANESTESI VOLUME 2 NOMOR 1, NOVEMBER 2014 TINJAUAN PUSTAKA. TIVA (Total Intravenous Anesthesia) JURNAL KOMPLIKASI ANESTESI VOLUME 2 NOMOR 1, NOVEMBER 2014 TINJAUAN PUSTAKA TIVA (Total Intravenous Anesthesia) Muhammad Iqbal*, Sudadi, I Gusti Ngurah** *Residen Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia tanpa memandang jenis kelamin dan usia. Telah diketahui bahwa transmisi dan persepsi nyeri timbul dan berfungsi sejak kehamilan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informed consent 2.1.1 Definisi Informed consent Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum

Lebih terperinci

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya Apakah diabetes tipe 1 itu? Pada orang dengan diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat membuat insulin. Hormon ini penting membantu sel-sel tubuh mengubah

Lebih terperinci

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memberikan dampak terhadap peradaban manusia. Hal ini, menuntut manusia untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut

Lebih terperinci

WITHDRAWAL SYNDROME BY : KELOMPOK 4

WITHDRAWAL SYNDROME BY : KELOMPOK 4 WITHDRAWAL SYNDROME BY : KELOMPOK 4 DEFINISI Withdrawal syndrome, atau dikenal juga dengan discontinuation syndrome, merupakan kumpulan gejala yang dapat terjadi pada individu yang kecanduan obat dan alkohol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 dan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih memerlukan perhatian yang serius. 1 Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas motorik atau pergerakan yang normal sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari (Miller, 2011). Gerak adalah suatu proses

Lebih terperinci

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF 2.1 Ganglia basalis dan subthalamik nukleus Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain dalam menghasilkan gerakan motorik terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keracunan merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh bahan organik ataupun bahan anorganik yang masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan tidak normalnya mekanisme

Lebih terperinci

CARA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN MENCIT

CARA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN MENCIT CARA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN MENCIT Disusun Oleh : Nama Mahasiswa : Linus Seta Adi Nugraha Nomor Mahasiswa : 09.0064 Tgl. Praktikum : 25 April 2011 Hari Praktikum : Senin Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENGARUH ANESTESI KETAMIN- XYLAZIN DAN KETAMIN-ZOLETIL TERHADAP FISIOLOGIS KUCING LOKAL (Felis domestica) SKRIPSI

PERBANDINGAN PENGARUH ANESTESI KETAMIN- XYLAZIN DAN KETAMIN-ZOLETIL TERHADAP FISIOLOGIS KUCING LOKAL (Felis domestica) SKRIPSI PERBANDINGAN PENGARUH ANESTESI KETAMIN XYLAZIN DAN KETAMINZOLETIL TERHADAP FISIOLOGIS KUCING LOKAL (Felis domestica) SKRIPSI PRISKHA FLORANCIA PIRADE O111 10 119 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Propofol adalah obat intravena paling sering digunakan anestesi saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Propofol adalah obat intravena paling sering digunakan anestesi saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Propofol adalah obat intravena paling sering digunakan anestesi saat ini Percobaan klinis pertama, oleh Kay dan Rolly dan dilaporkan pada tahun 1977, menegaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oksigen dalam darah. Salah satu indikator yang sangat penting dalam supply

BAB I PENDAHULUAN. oksigen dalam darah. Salah satu indikator yang sangat penting dalam supply BAB I PENDAHULUAN Darah memerlukan oksigen untuk dapat berfungsi dengan baik. Kekurangan oksigen dalam darah bisa membuat tubuh mengalami masalah serius. Selain olahraga dan transfusi darah, nutrisi tertentu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Anestesi Sejak pertama kali ditemukan oleh William Thomas Green Morton pada tahun 1846, anestesi terus berkembang pesat hingga sekarang. Saat itu ia sedang memperagakan pemakaian

Lebih terperinci

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi Syok Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini dikarenakan memiliki waktu mula kerja, durasi dan waktu pulih sadar yang singkat. 1,2 Disamping

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannya dibidang anestesi. Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah,

Lebih terperinci

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Farmakokinetik - 2 Mempelajari cara tubuh menangani obat Mempelajari perjalanan

Lebih terperinci

KANAL ION SEBAGAI TARGET AKSI OBAT YENI FARIDA S.FARM., M.SC.,APT

KANAL ION SEBAGAI TARGET AKSI OBAT YENI FARIDA S.FARM., M.SC.,APT KANAL ION SEBAGAI TARGET AKSI OBAT YENI FARIDA S.FARM., M.SC.,APT Kanal ion Peran penting kanal ion dalam sel adalah : 1. transport ion 2. pengaturan potensi listrik di membrane sel 3. signaling sel (kanal

Lebih terperinci

Hal-hal yang Perlu Diwaspadai untuk Menghindari Keracunan Kafein dalam Minuman

Hal-hal yang Perlu Diwaspadai untuk Menghindari Keracunan Kafein dalam Minuman Hal-hal yang Perlu Diwaspadai untuk Menghindari Keracunan Kafein dalam Minuman Banyak orang terpikat untuk mengonsumsi minuman berenergi. Dengan publikasi/promosi yang menarik, minuman berenergi dapat

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI CARA PEMBERIAN OBAT DISUSUN UNTUK MEMENUHI LAPORAN MATA KULIAH FARMAKOLOGI Disusun oleh : Bella Sakti Oktora (12010012) Darma Wijaya (120100 ) Fuji Rahayu (12010030) S-1 FARMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memori disimpan di otak dengan mengubah sensitivitas dasar transmisi hipnotis antar neuron sebagai akibat dari aktivitas neuron sebelumnya. Jaras terbaru atau yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Induksi anestesi adalah pemberian obat atau kombinasi obat pada saat dimulainya anestesi yang menyebabkan suatu stadium anestesi umum atau suatu fase dimana pasien melewati dari

Lebih terperinci

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS ANTAGONIS KOLINERGIK Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PENDAHULUAN Antagonis kolinergik disebut juga obat peng hambat kolinergik atau obat antikolinergik. Yang paling bermanfaat

Lebih terperinci

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) Disusun Oleh: Diah Tria Agustina ( ) JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) Disusun Oleh: Diah Tria Agustina ( ) JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM HANDOUT klik di sini LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) Disusun Oleh: Diah Tria Agustina (4301414032) JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016 PENGERTIAN LARUTAN

Lebih terperinci