LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN I DAN II PENGARUH RUTE PEMBERIAN DAN VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN I DAN II PENGARUH RUTE PEMBERIAN DAN VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT"

Transkripsi

1 LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN I DAN II PENGARUH RUTE PEMBERIAN DAN VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT Disusun oleh: KELOMPOK 3 Kelas C2 Kamis Pagi Avi Rahmadiah Ertika Festya Hana Rosanna Putu Dewi Pramesti S FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2016

2 I. Judul Percobaan Efek Obat Percobaan 1 dan 2: Pengaruh Rute Pemberian dan Variasi Biologik Terhadap II. Tujuan Percobaan 1. Praktikan mampu memberikan obat secara peroral dan parenteral dengan dosis yang sesuai pada mencit atau tikus. 2. Praktikan mampu menerangkan perbedaan efek obat pada mencit atau tikus akibat pemberian secara oral, intravena, intraperitoneal, intramuskular, dan sub-kutan. 3. Praktikan mampu menerangkan terjadinya efek antar hewan coba yang berkelamin sama dan antar hewan coba jantan dan betina sebagai dasar pertimbangan percobaan dengan memakai hewan coba. III. Tinjauan Pustaka Obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses kehidupan. Tujuan pengobatan untuk memberikan manfaat maksimal dengan bahaya minimal. Nasib obat di dalam tubuh mengalami absorbsi, distribusi, pengikatan pada reseptor untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek, dengan atau tanpa metabolisme atau biotransformasi, dan diakhiri dengan ekskresi dari dalam tubuh. Efek yang timbul setelah pemberian obat akan berbeda untuk setiap individu. Faktor yang menyebabkan perbedaan respon setelah pemberian obat, antara lain : a. Umur Bayi (terutama neonatus) mempunyai metabolisme obat yang kurang baik karena seluruh organ dan sistem enzimnya belum sempurna. Pada orang tua, mekanisme obat sudah tidak baik lagi karena organ sudah banyak yang tidak dapat bekerja lagi secara sempurna (organ sudah rusak). b. Berat badan

3 Pemberian obat dengan dosis yang sama pada individu dengan berat badan yang berbeda akan menghasilkan perbedaan konsentrasi obat dalam darah. c. Jenis kelamin Berdasarkan penelitian terhadap hewan coba pada jenis kelamin yang berbeda dalam memberikan respon obat, umumnya wanita lebih sensitif terhadap obat dibandingkan dengan pria. d. Spesies yang berbeda Pada spesies yang berbeda akan memberikan perbedaan juga terhadap respon obat yang diberikan. Perbedaan ini disebabkan karena setiap spesies mempunyai sistem metabolisme yang berbeda dengan spesies yang lain. e. Faktor genetik (farmakokinetik) Variasi gen pada spesies yang sama menyebabkan efek obat akan berbeda dari satu individu ke individu lain. f. Rute pemberian obat Kecepatan absorpsi, distribusi, dan metabolisme tergantung pada cara pemberian obat, apakah secara intravena, intraperitonial, intramuscular, subkutan, atau oral. g. Waktu pemberian obat Obat lebih cepat diabsorpsi sebelum makan daripada sesudah makan. h. Faktor emosional Pada praktikum kali ini, praktikan diminta untuk melakukan percobaan untuk melihat pengaruh dari faktor rute pemberian obat dan variasi biologis (spesies yang berbeda dan jenis kelamin)

4 terhadap efek obat. Rute pemberian obat ada beberapa macam, yaitu: 1. Enteral (oral, bukal, sublingual, atau rektal, atau lewat selang nasogastrik) : absorbsi terutama melalui usus halus, tetapi juga melalui mukosa mulut, mukosa lambung, usus besar, atau rektum. 2. Parenteral (intravena (IV), subkutan (SC), intramuskular (IM), intradermal, intraartikular, intrarektal, epidural) 3. Topikal (salep, krim, jelly untuk dipakai di kulit, obat mata, obat telinga, inhalasi hidung, transdermal) Berikut penjelasan mengenai rute pemberian obat enteral dan parenteral yang akan dilakukan pada percobaan, yaitu: A. Enteral Oral Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah, murah, dan aman. Kerugiannya adalah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna, dan tidak dapat diberikan pada pasien yang koma. Pemberian per oral akan memberikan onset paling lambat karena melalui saluran cerna dan lambat di absorbsi oleh tubuh. Cara pemberian pada mencit dan tikus : diberikan dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum atau kanula berujung tumpul atau berbentuk bola. Jarum atau kanula dimasukkan ke dalam mulut perlahan lahan, diluncurkan melalui tepi lnangit langit ke belakang sampai oesofagus. B. Parenteral Teknik ini menggunakan tusukan pada kulit sehingga memiliki resiko terjadinya infeksi, nyeri, dan iritasi lokal. Teknik ini meliputi: Intravena Penyuntikan dilakukan pada pembuluh darah vena. Melalui cara intravena ini, obat tidak mengalami absorpsi maka kadar obat

5 dalam darah diperoleh secara tepat, cepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respon penderita. Berguna untuk situasi darurat dan pada pasien yang tidak sadar. Obat yang tidak larut tidak dapat diberikan secara intravena. Onset pada pemberian secara intravena paling cepat karena kadar obat langsung terdistribusi dan dibawa oleh darah dalam pembuluh. Pemberian pada mencit : penyuntikkan dilakukan pada vena ekor (ada 4 vena pada ekor). Letakkan hewan pada wadah tertutup sedemikian rupa sehingga mencit tak leluasa untuk bergerak gerak dengan ekor menjulur keluar. Hangatkan ekor dengan mencelupkan ke dalam air hangat (40 o -50 o ). Pegang ujung ekor dengan tangan satu dan suntik dengan tangan yang lain. Pemberian pada tikus : pada tikus yang tidak dianastesi, penyuntikan dapat dilakukan pada ekor seperti pada mencit, pada vena penis (khusus untuk tikus jantan), atau vena di permukaan dorsal kaki. Pada tikus yang dianastesi, penyuntikan dapat dilakukan pada vena femoralis. Subkutan Penyuntikan dilakukan di bawah kulit dan menembus dinding kapiler untuk memasuki aliran darah. Absorbsi dapat diatur dengan formulasi obat. Pemberian dengan cara ini, akan menghasilkan onset yang lambat karena membutuhkan waktu untuk diabsorpsi dalam tubuh. Pada tikus dan mencit dilakukan di bawah kulit pada daerah tengkuk. Intramuskuler Penyuntikan dilakukan pada otot. Kecepatan absorbsi tergantung pada formulasi obat (preparat yang larut dalam minyak diabsorbsi dengan lambat, sedangkan yang larut dalam air diabsorbsi dengan cepat). Dapat diberikan oleh pasien-pasien yang sudah dilatih. Intramuscular memiliki onset lambat karena membutuhkan waktu untuk diabsorpsi dalam tubuh. Untuk mencit dan tikus dilakukan pada otot gluteus maksimus atau bisep femoris atau semi tendinosus paha belakang. Intraperitoneal

6 Penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara kandung kemih dan hati. Cara ini hanya dilakukan untuk pemberian obat untuk hewan uji karena memiliki resiko infeksi yang sangat besar. Intraperitoneal akan memberikan efek yang cepat karena pada daerah tersebut banyak terdapat pembuluh darah. Untuk semua hewan percobaan, penyuntikan dilakukan pada perut sebelah kanan garis tengah, jangan terlalu tinggi agar tidak mengenai hati dan kandung kemih. Hewan dipegang pada punggung supaya kulit abdomen menjadi tegang. Pada saat penyuntikkan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Suntikan jarum membentuk sudut 10 o menembus kulit dan otot masuk ke rongga peritoneal. Gambar 1. Rute Pemberian Obat secara Intramuskular, Intravena dan Subkutan. Pada percobaan, praktikan menggunakan ketamine sebagai obat yang akan diuji efeknya. Ketamin adalah rapid acting non barbiturat general anesthethic yang termasuk ke dalam golongan fenil sikloheksilamin dan merupakan obat yang menghasilkan anestesi disosiasi. Anestesi disosiasi menyerupai kondisi kataleptik dimana mata masih tetap terbuka dan ada nistagmus yang lambat. Pasien tidak dapat berkomunikasi, meskipun dia tampak sadar. Refleks refleks masih dipertahankan seperti refleks kornea, refleks batuk, dan refleks menelan, namun semua refleks ini tidak boleh dianggap sebagai suatu proteksi terhadap jalan nafas. Variasi tingkat hipertonus dan gerakan otot rangka tertentu sering kali

7 terjadi dan tidak tergantung dari stimulasi bedah. Ketamin mempunyai efek sedatif dan analgetik yang kuat. Dosis induksi 1 2 mg/kg BB intravena, 3 5 mg/kg BB intramuskular. Pada dosis subanestesi, ketamin menghasilkan efek analgetik yang memuaskan. Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat terikatnya phencyclidine pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), suatu subtipe dari reseptor glutamat, yang berlokasi di saluran ion. Ketamin menghambat aliran ion transmembran. Reseptor NMDA adalah suatu reseptor saluran kalsium. Agonis endogen dari reseptor ini adalah neurotransmitter eksitatori seperti asam glutamat, asam aspartat, dan glisin. Pengaktifan dari reseptor mengakibatkan terbukanya saluran ion dan depolarisasi neuron. Reseptor NMDA ini terlibat dalam input sensoris pada level spinal, talamik, limbik, dan kortikal. Ketamin menghambat atau menginterfensi input sensoris ke sentral yang lebih tinggi dari sistem saraf pusat, dimana terdapat respon emosional terhadap stimulus dan pada tempat untuk proses belajar dan memori. Ketamin menghambat pengaktifan dari reseptor NMDA oleh glutamat, mengurangi pelepasan glutamat di presinaps dan meningkatkan efek dari neurotransmitter inhibisi GABA. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor mu, delta, dan kappa opioid. Efek analgesi ketamin mungkin disebabkan oleh pengaktifan reseptor ini di sentral dan spinal. Beberapa efek ketamin dapat disebabkan karena kerjanya pada sistem katekolamin, dengan meningkatkan aktivitas dopamin. Efek dopaminergik ini mungkin berhubungan dengan efek euphoria, adiksi, dan psikotomimetik dari ketamin. Kerja dari ketamin ini juga disebabkan oleh efek agonis pada reseptor adrenergik α dan β, efek antagonis pada reseptor muskarinik di sistem saraf pusat, dan efek agonis pada reseptor σ.

8 Gambar 2. Rumus Bangun Ketamin Pada percobaan kali ini, akan dilihat pengaruh variasi biologis dari spesies mencit dan tikus serta jenis kelamin jantan atau betina dari mencit dan tikus yang digunakan. Sebelum pemberian ketamin dilakukan, perhitungan volume larutan ketamin yang dapat diberikan pada hewan coba terlebih dahulu dihitung dan disesuaikan dengan volume maksimum sesuai jalur pemberian. Hewan Mencit (20-30 gram) Tikus (200 gram) Volume maksimum (ml) sesuai jalur pemberian IV IM IP SC PO 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0 1,0 0,1 2,0-5,0 2,0-5,0 5,0 Tabel 1. Volume maksimum larutan obat yang dapat diberikan pada mencit dan tikus (Ritchel, 1974) IV. Metode a. Alat dan Bahan

9 1 Beberapa ekor mencit dan tikus dengan jenis kelamin jantan dan betina (sesuai dengan matriks tiap kelompok) 2 Alat suntik, sonde 3 Larutan Ketamin konsentrasi 0,5%, 5%, dan 10% 4 Timbangan hewan 5 Wadah tempat pengamatan 6 Stop watch 7 Tissue 8 Koran 9 Pinset 10 Kapas alkohol b. Cara Kerja a. Siapkan 2 ekor mencit jantan, 1 ekor mencit betina, 1 ekor tikus jantan dan 1 ekor tikus betina (sesuai matriks kelompok 3). Timbang masing-masing berat mencit dan tikus yang digunakan. b. Dengan berat badan yang telah diketahui, hitung dosis dan volume pemberian larutan ketamin dengan tepat. c. Berikan larutan ketamin secara oral pada mencit jantan, i.v pada mencit betina, i.p pada tikus jantan, i.m pada tikust betina, s.k pada mencit jantan dan catat waktu pemberiannya. d. Tempatkan hewan dalam wadah pengamatan. Amati dan catat onset dan durasi hilangnya refleks balik badan (hilangnya kemampuan hewan untuk membalikkan badan jika ditelentangkan selama 30 detik) e. Hitung mulai dan lamanya waktu tidur masing-masing kelompok. Bandingkan hasilnya. f. Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut : mati = sangat peka tidur, bila diberi rangsang nyeri tidak tegak = peka tidur, bila diberi rangsang nyeri tegak = sesuai dengan efek yang diduga tidak tidur, tetapi mengalami ataksia = resisten tidak mengalami perubahan = sangat resisten

10 V. Hasil Pengamatan Perhitungan Dosis ketamin: 10% Dosis (mg) = Dosis Ketamin (mg/kgbb) x Berat Konsentrasi larutan ketamin yang disediakan: 0,5%, 5%, dan Rumus volume ketamin yang diberikan: Volume Larutan Ketamin (ml) = Dosis(mg) Konsentrasilarutan Ketamin( mg ml ) Pemberian oral Dosis ketamin = 45 mg/kg BB Berat mencit jantan = 23.7 g Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x kg = mg Volume maksimal yang dapat diberikan secara oral pada mencit = 1 ml Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml Volume larutan ketamin yang diberikan = mg = ml=0.21 ml 5mg/ml Pemberian intravena (IV) Dosis ketamin = 45 mg/kg BB Berat mencit betina = 27.5 g Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x kg = mg Volume maksimal yang dapat diberikan secara intravena pada mencit = 0.5 ml Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml Volume larutan ketamin yang diberikan = mg = ml=0.25 ml 5mg/ml Pemberian intraperitoneal (IP) Dosis ketamin = 45 mg/kg BB Berat tikus jantan = g Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x kg = mg Volume maksimal yang dapat diberikan secara intraperitoneal pada tikus = 2 5 ml Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml Volume larutan ketamin yang diberikan = mg = ml=1.20 ml 5mg/ml Pemberian intramuskular (IM) Dosis ketamin = 45 mg/kg BB Berat tikus betina = g Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.13 kg = mg

11 Volume maksimal yang dapat diberikan secara intramuskular pada tikus = 0.1 ml Larutan ketamin yang digunakan = 10% = 100 mg/ml Volume larutan ketamin yang diberikan = mg = ml=0.06 ml 100 mg/ml Pemberian subkutan (SC) Dosis ketamin = 45 mg/kg BB Berat mencit jantan = 24.8 g Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x kg = mg Volume maksimal yang dapat diberikan secara subkutan pada mencit = ml Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml mg Volume larutan ketamin yang diberikan = =0.2232ml=0.22 ml 5mg/ml Hasil Pengamatan

12 Keterangan: O = onset D = durasi J = jenis hewan uji dan jenis kelamin hewan M = mencit ; T = tikus = jantan ; = betina = menit; = detik

13 VI. Pembahasan Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh perbedaan cara pemberian obat terhadap efek obat serta melihat variasi biologis terhadap efek obat tersebut. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan cara pemberian obat terhadap efek obat, maka obat diberikan kepada hewan percobaan secara per oral (PO), intravena (IV), intraperitonial (IP), intramuskular (IM), dan subkutan (SK). Untuk mengetahui pengaruh variasi biologik terhadap efek obat maka dilakukdan perbandingan efek obat terhadap hewan coba berdasarkan jenis kelamin (jantan dan betina) dan variasi biologik antar spesies (membandingkan efek obat secara keseluruhan antara kedua spesies hewan coba, yakni pada mencit dan tikus). Praktikan terlebih dahulu harus menghitung dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan, baik kepada mencit maupun tikus. Dosis ketamin untuk mencit dan tikus berbeda-beda, yakni tergantung dari berat badan tikus dan mencit serta volume maksimal obat yang dapat diberikan melalui rute/jalur pemberian obat yang berbedabeda. a. Pengaruh rute pemberian terhadap efek obat Pengaruh rute pemberian terhadap efek obat berkaitan dengan onset dan durasi yang ditimbulkan oleh obat. Waktu onset dicatat sejak obat diberikan sampai timbul efek obat dan waktu durasi dicatat sejak obat menimbulkan efek sampai efek obatnya hilang. Lalu diamati efek yang timbul, yaitu hilangnya refleks balik badan dan kemudian hilangnya kesadaran. Berdasarkan hasil pengamatan dari enam kelompok pada praktikum farmakologi hari Kamis pagi didapatkan hasil sebagai berikut: 1 Pada tikus jantan, berdasarkan data dari setiap kelompok dicatat pemberian secara intravena (IV) memberikan onset yang paling cepat. Kemudian diikuti intraperitonial (IP), intramuscular (IM), dan per oral (PO). Sedangkan rute yang memberikan durasi paling cepat adalah rute per oral (PO) yang kemudian diikuti oleh rute intramuskular (IM), intravena (IV), dan intraperitonial (IP). Pada pemberian obat secara subkutan (SC), tidak dapat ditentukan data waktu onset dan durasi karena paktikan meragukan apakah tikus jantan memang benar tidak menimbulkan efek pada pemberian subkutan atau terjadi kesalahan dalam penyuntikkan obat oleh praktikan.

14 Efek yang ditimbulkan oleh tikus jantan pada mayoritas rute adalah resisten, karena tikus hanya mengalami ataksia yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan tikus sehingga mempengaruhi refleks balik badannya. 2 Pada tikus betina, berdasarkan hasil yang diperoleh dari percobaan, onset yang paling cepat adalah melalui rute pemberian inmuskular (IM) dan berikutnya diikuti oleh rute intravena (IV), intraperitonial (IP), dan subkutan (SC). Dan yang memberikan onset yang paling lama adalah rute per oral (PO). Pada pemberian obat secara subkutan (SC), tidak dapat ditentukan data waktu onset dan durasi karena paktikan meragukan apakah tikus betina memang benar tidak menimbulkan efek pada pemberian subkutan atau terjadi kesalahan dalam penyuntikkan. Rute yang memberikan durasi paling cepat adalah rute intramuskulat (IM) yang kemudian diikuti oleh rute intraperitonial (IP), per oral (PO), subkutan (SC), dan intravena (IV). Tikus betina lebih cenderung memberikan efek sesuai yang diduga, setelah pemberian obat dibandingkan tikus jantan yang cenderung resisten, walaupun ada pula data yang menyatakan tikus berina memberikan hasil yang resisten. 3 Pada mencit jantan, onset yang paling cepat ditimbulkan pada rute pemberiaan secara per oral (PO). Kemudian diikuti dengan onset pada pemberiaan secara intraperitonial (IP), dan intramuskular (IM). Durasi obat yang paling lama, ditemukan pada pemberiaan secara intraperitonial (IP). Durasi obat paling cepat didapatkan pada pemberian secara intramuskular (IM). Pada pemberian secara intravena (IV), mencit jantan mengalami emboli yang diduga karena kesalahan penyuntikkan sehingga onset dan durasi obat tidak dapat ditentukan. Hal yang sama ditemukan pada rute subkutan (SC). Pada rute SC onset dan durasi tidak dapat ditentukan karena terlihat bahwa tikus betina tidak menimbulkan efek apapun. Efek yang ditimbulkan oleh mencit jantan pada mayoritas rute adalah sesuai dengan efek yang diduga, karena tikus tidur namun tetap bisa memberikan respon apabila diberi rangsangan. 4 Pada mencit betina, hasil yang diperoleh dari percobaan ternyata onset yang paling cepat adalah melalui subkutan (SC), yang kemudian diikuti pemberian secara intramuskular (IM) dan intraperitonial (IP). Rute yang memberikan

15 durasi paling cepat adalah intamuskular (IM) yang diikuti oleh subkutan (SC) dan intraperitonial (IP). Pada rute intravena (IV) dan per oral (PO), onset dan durasi tidak dapat ditentukan karena terlihat bahwa mencit betina tidak menimbulkan efek apapun. Mencit betina lebih cenderung memberikan efek resisten setelah pemberian obat dikarenakan mencit tidak tidur namun mengalami ataksia. Dari data yang didapatkan, percobaan memberikan hasil yang sangat bervariasi sehingga sulit untuk disimpulkan secara keseluruhan rute pemberian obat mana yang memberikan onset paling cepat dan durasi paling lama. Namun, jika dilihat secara keseluruhan data yang ada maka praktikan menyimpulkan bahwa rute pemberian intraperitonial memberikan onset yang paling cepat baik terhadap tikus mauun mencit yang berjenis kelamin jantan ataupun wanita. Hal tersebut dikarenakan penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara kandung kemih dan hati, yang mana pada daerah terbut terdapat banya pembuluh darah sehingga kemungkinan efek akan timbul dengan cepat. Sedangkan pemberian obat secara intramuskular (IM) dan subkutan (SC) waktu onsetnya lebih lambat dari intraperitoneal (IP) karena terdapat barrier jaringan lemak dan membutuhkan waktu untuk diabsorpsi ke dalam tubuh. Pemberiaan secara intravena (IV) pada tikus jantan dan bentina pada kenyataanya memberikan onset yang lebih cepat dibanding rute intraperitonial, namun dikarenakan data yang ada kurang mendukung karena penyuntikkan secara IV pada mencit jantan dan betina mengalami kesalahan atau beberapa hewan coba memperlihatkan efek resisten, praktikan tidak dapat menyimpulkan bahwa rute IV memberikan onset yang paling cepat. Pemberian obat secara per oral pada mayoritas hewan coba memberikan waktu onset yang paling lambat karena harus melalui saluran cerna dan lambat diabsorpsi oleh tubuh serta harus mengalami fase distribusi, metabolisme dan ekskresi sebelum menimbulkan efek. Walaupun memang ada data yang memberikan hasil bahwa rute PO memberikan onset yang cepat, hal tersebut dapat dikarenakan dosis ketamin yang diberikan secara peroral tidak seluruhnya masuk ke dalam rongga mulut dengan kanula. Sehingga onset yang terbentuk tidak sesuai yang diharapkan.

16 Kesimpulan dari segi onset berdasarkan praktikum adalah onset IP>IM>IV>SC>PO. Sedangkan berdasarkan teori, onset obat akan didapatkan dari yang paling cepat ke yang paling lama yaitu IV>IP>IM>SC>PO. Seharusnya suntikan intravena (IV) memberikan efek paling cepat karena kadar obat langsung terdistribusi dan dibawa oleh darah dalam pembuluh darah. Namun pada praktikum yang dilakukan, beberapa data onset rute IV tidak dapat diamati karena respon hewan coba adalah resisten atau tidak timbul efek apapun. Hal ini mungkin disebabkan kesalahan prosedur penyuntikan intravena (IV), yakni penyuntikan tidak langsung tepat pada pembuluh darah vena, sehingga dosis obat yang dimasukkan berkurang dan efek obat yang seharusnya timbul tidak tercapai. Selain itu, pada suntikan intravena (IV), praktikan mengalami kesulitan karena sulit mencari dan mendapatkan pembuluh vena yang tepat dalam ekor tikus maupun mencit. Bila praktikan membahas mengenai durasi kerja obat dari yang paling cepat ke yang paling lama, hasil yang ditunjukkan pada tikus jantan adalah PO>IM>IV>IP, SC memberikan efek resisten atau terjadi kesalahan penyuntikkan; tikus betina adalah IM>IP>PO>SC>IV; mencit jantan adalah IM>PO>IP, pada IV dan SC memberikan efek resisten atau terjadi kesalahn penyuntikkan; mencit betina adalah IM>SC>IP, pada IV dan PO memberikan efek resisten atau terjadi keslahan penyuntikka. Dari data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian secara intraperitoneal (IP) memberikan durasi kerja obat yang paling lama. b. Pengaruh variasi biologik terhadap efek obat. Pengaruh variasi biologik terhadap efek obat didapatkan dengan spesies berbeda (mencit dan tikus) serta jenis kelamin hewan coba berbeda (jantan dan betina), sehingga praktikan mengamati pengaruh variasi biologik antar jenis kelamin dan pengaruh variasi biologik antar spesies. Berdasarkan Jenis Kelamin Percobaaan ini ingin membandingkan kecepatan munculnya efek obat antara tikus jantan dan tikus betina, serta mencit jantan dan betina. Berdasarkan data yang didapatkan, tikus betina lebih peka dibanding tikus jantan karena efek obat terlihat dan lebih cepat muncul, walaupun terdapat efek resisten pada rute PO dan SC. Sedangkan pada tikus jantan efek dapat terlihat hanya pada pemberian rute IV. Selanjutnya praktikan membandingkan efek obat pada mencit jantan dan mencit betina. Mayoritas mencit jantan memberikan efek sesuai dengan yang diduga,

17 sedangkan mayoritas mencit betina memberikan efek resisten. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mencit jantan lebih peka terhapad pemberian obat dibanding mencit betina. Dari hasil tersebut, jenis kelamin betina dan jantan memberikan respon peka terhadap obat yang sama. Terlihat bahwa pada tikus, jenis kelamin betina lebih peka dibanding jantan, namun pada mencit jenis kelamin jantan lebih peka dibanding betina. Namun berdasarkan teori, jenis kelamin betina seharusnya lebih peka dibanding jenis kelamin jantan karena wanita lebih sensitif terhadap obat dibandingkan pria. Berdasarkan Spesies Pengamatan dilakukan antar spesies hewan percobaan, yaitu antara tikus dan mencit. Pada percobaan ini umumnya efek obat lebih cepat muncul pada mencit daripada tikus. Ini terlihat pada berbagai rute pemberiaan baik IP, IV, IM, PO dan SC mencit memberikan onset waktu yang lebih cepat dibandingkan tikus. Hal ini menunjukan mencit lebih peka dari tikus untuk pemberian ketamin dengan efek anestesi yang lebih besar dari tikus. Perlu diingat pula bahwa kondisi fisik hewan coba juga mempengaruhi kepekaan terhadap obat yang diberikan. Faktor Kesalahan Kesalahan-kesalahan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan, antara lain kurang terampilnya praktikan dalam melakukan penyuntikan, dosis obat yang disuntikkan tidak sesuai atau kurang karena ada obat yang terbuang ketika menyuntik, tempat penyuntikkan yang kurang tepat juga mempengaruhi absorpsi obat. Pengamatan dan pencatatan data yang tidak lengkap, kurangnya waktu ataupun manajemen waktu yang kurang baik oleh praktikan juga dapat menjadi faktor kesalahan dalam praktikum kali ini. Kondisi hewan coba juga sangat mempengaruhi terkait dengan kepekaan obat yang diberikan karena cukup banyak hewan coba yang memberikan efek resisten. VII. Kesimpulan 1 Efek obat dipengaruhi oleh cara pemberian obat. Berdasarkan teori, onset obat lebih cepat tercapai pada pemberian IV>IP>IM>SC>PO. Berdasarkan hasil praktikum onset obat lebih cepat tercapai pada rute IP>IM>IV>SC>PO.

18 2 Berdasarkan percobaan, durasi obat yang paling lama diperoleh adalah rute pemberian obat secara intraperitoneal (IP). 3 Faktor kesalahan yang terjadi karena tempat penyuntikan yang kurang tepat dan ada obat yang terbuang ketika proses penyuntikan terutama pada penyuntikan intravena (IV). 4 Berdasarkan teori mengenai spesies, mencit lebih peka dari pada tikus. Hasil percobaan juga menunjukkan hal yang sama. Namun tidak menutup kemungkinan pula adanya pengaruh faktor kesalahan dan kondisi fisik dari hewan coba yang digunakan. 5 Berdasarkan teori mengenai jenis kelamin, jenis kelamin betina lebih peka daripada jantan. Berdasarkan percobaan, jenis kelamin betina dan jantan memberikan kepakaan yang sama, hal ini terlihat dari percobaan pada tikus, memberikan hasik jenis kelamin betina lebih peka dibanding jantan, namun pada mencit jenis kelamin jantan lebih peka dibanding betina. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh faktor kesalahan dan kondisi fisik dari hewan coba yang digunakan. VIII. Daftar Pustaka Anon,(n.d.).[online] Available at: [Accessed 26 Apr. 2016]. Bachtiar, A., Saputri, F., dan Sari, S Buku Penuntun Praktikum Farmakologi. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Drajat, M.T. (1986). Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta: Aksara Medisina, Salemba. (hal ) Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi edisi keempat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Gaya Baru. Kuntarti. (n.d.). [online] Available at: df [Accessed 26 Apr. 2016]. Neill, J., & Kulkarni, J. (2011). Biological basis of sex differences in psychopharmacology.heidelberg: Springer. Sinaga, E. (n.d.). [online] Available at: [Accessed 26 Apr. 2016].

19 Soldin, O., Chung, S., & Mattison, D. (2011). Sex Differences in Drug Disposition. Journal Of Biomedicine And Biotechnology, 2011, Staf Pengajar Bagian Anesteiologi dan Terapi Intensif FK UI Jakarta. (1989). Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FK UI. Jakarta. (hal ) Wanamaker, B., & Massey, K. (2014). Applied pharmacology for veterinary technicians.st. Louis, MO: Saunders/Elsevier.

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI CARA PEMBERIAN OBAT DISUSUN UNTUK MEMENUHI LAPORAN MATA KULIAH FARMAKOLOGI Disusun oleh : Bella Sakti Oktora (12010012) Darma Wijaya (120100 ) Fuji Rahayu (12010030) S-1 FARMASI

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Pengantar Farmakologi Kuntarti, S.Kp, M.Biomed 1 PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com 4 Istilah Dasar Obat Farmakologi Farmakologi klinik Terapeutik farmakoterapeutik

Lebih terperinci

CARA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN MENCIT

CARA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN MENCIT CARA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN MENCIT Disusun Oleh : Nama Mahasiswa : Linus Seta Adi Nugraha Nomor Mahasiswa : 09.0064 Tgl. Praktikum : 25 April 2011 Hari Praktikum : Senin Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

Rute Pemberian Obat. Indah Solihah

Rute Pemberian Obat. Indah Solihah Rute Pemberian Obat Indah Solihah Rute Pemberian Jalur Enteral Jalur Parenteral Enteral Oral Sublingual Bukal Rektal Oral Merupakan rute pemberian obat yg paling umum. Obat melalui rute yg paling kompleks

Lebih terperinci

Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan, gangguan yang terjadi di dalam tubuhnya

Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan, gangguan yang terjadi di dalam tubuhnya Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan, bahkan pencegahan terhadap berbagai gangguan yang terjadi di dalam tubuhnya .1 PRINSIP PENGOBATAN

Lebih terperinci

Laboratorium Farmakologi Program Studi S1 Farmasi

Laboratorium Farmakologi Program Studi S1 Farmasi LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I PERCOBAAN I PENGARUH CARA PEMBERIAN OBAT TERHADAP ABSORBSI OBAT Disusun Oleh: Mudrika Yulianti E0014016 Tingkat IA Laboratorium Farmakologi Program Studi S1 Farmasi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN II DAN III PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT & EFEK SEDATIF.

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN II DAN III PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT & EFEK SEDATIF. LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN II DAN III PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT & EFEK SEDATIF Disusun oleh : Golongan B-2 Kelompok 4 Reva Medina Nurul Annisa (I1C015104) (I1C015106)

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR PERCOBAAN I PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT OLEH : NAMA : NIRMALA SARI NIM : O1A114098

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR PERCOBAAN I PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT OLEH : NAMA : NIRMALA SARI NIM : O1A114098 LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR PERCOBAAN I PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT OLEH : NAMA : NIRMALA SARI NIM : O1A114098 KELAS : C 2014 KELOMPOK : IV (EMPAT) ASISTEN : FUAD FADRIAWAN JURUSAN

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

Medikasi: pemberian zat/obat yang bertujuan untuk diagnosis, pengobatan, terapi, atau pereda gejala, atau untuk pencegahan penyakit Farmakologi: ilmu

Medikasi: pemberian zat/obat yang bertujuan untuk diagnosis, pengobatan, terapi, atau pereda gejala, atau untuk pencegahan penyakit Farmakologi: ilmu NENENG KURWIYAH Medikasi: pemberian zat/obat yang bertujuan untuk diagnosis, pengobatan, terapi, atau pereda gejala, atau untuk pencegahan penyakit Farmakologi: ilmu yang mempelajari efek obat pada makhluk

Lebih terperinci

UJI EFEK ANALGETIK REBUSAN DAUN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) TERHADAP MENCIT (Mus musculus) Hilda Wiryanthi Suprio *) ABSTRAK

UJI EFEK ANALGETIK REBUSAN DAUN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) TERHADAP MENCIT (Mus musculus) Hilda Wiryanthi Suprio *) ABSTRAK UJI EFEK ANALGETIK REBUSAN DAUN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) TERHADAP MENCIT (Mus musculus) Hilda Wiryanthi Suprio *) *) Program Studi DIII STIKES Nani Hasanuddin Makassar ABSTRAK Telah dilakukan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Racun merupakan substansi ( kimia maupun fisik) yang dapat menimbulkan cidera atau kerusakan pada

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Racun merupakan substansi ( kimia maupun fisik) yang dapat menimbulkan cidera atau kerusakan pada BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Racun merupakan substansi ( kimia maupun fisik) yang dapat menimbulkan cidera atau kerusakan pada sistem biologik sehingga menimbulkan gangguan fungsi sistem itu bermanifestasi

Lebih terperinci

KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI

KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI Ovariohisterectomy merupakan tindakan bedah atau operasi pengangkatan organ reproduksi

Lebih terperinci

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT PERCOBAAN I PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT I. TUJUAN PERCOBAAN Mengenal, mempraktekan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan absorpsinya, menggunakan analisis ANAVA

Lebih terperinci

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( )

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( ) DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI (12330713) PENDAHULUAN Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi, perkembangan di dunia farmasi pun tidak ketinggalan. Semakin hari semakin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Pada penelitian ini menggunakan eksperimental laboratorik dengan metode post-test only with control group design. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

Nasib Obat dalam Tubuh (Farmakokinetika)

Nasib Obat dalam Tubuh (Farmakokinetika) Nasib Obat dalam Tubuh (Farmakokinetika) Apa yang terjadi pada obat setelah masuk ke tubuh kita? Pharmacokinetics: science that studies routes of administration, absorption* and distribution*, bioavailability,

Lebih terperinci

IMPLIKASI FARMAKOLOGI KEPERAWATAN 1

IMPLIKASI FARMAKOLOGI KEPERAWATAN 1 IMPLIKASI FARMAKOLOGI KEPERAWATAN 1 RINA ANGGRAINI INDAH SETYAWATI PSIK FK UNLAM 2010 PERAN PERAN : tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Anestesi adalah hilangnya rasa sakit yang disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

Medication Errors - 2

Medication Errors - 2 Medication error Masalah dalam pemberian obat Pencegahan injury (error) pengobatan Tujuan, manfaat pemberian obat Standar obat Reaksi obat, faktor yang mempengaruhi reaksi obat Medication Errors - 2 Medication

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Obat suntik didefinisikan secara luas sebagai sediaan steril bebas pirogen yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral. Istilah parenteral seperti yang umum

Lebih terperinci

PROSEDUR PEMBERIAN MEDIKASI (OBAT)

PROSEDUR PEMBERIAN MEDIKASI (OBAT) PROSEDUR PEMBERIAN MEDIKASI (OBAT) A. Definisi Prosedur dan pemeriksaan khusus dalam keperawatan merupakan bagian dari tindakan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dilaksanakan secara rutin. Perawatan

Lebih terperinci

Definisi: Suatu proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, meliputi: absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi.

Definisi: Suatu proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, meliputi: absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi. Farmakokinetika Definisi: Suatu proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, meliputi: absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi. Atau dalam arti sempit: farmakokinetika khususnya mempelajari perubahan2x

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman herbal yang biasanya dijadikan sebagai menjadi tanaman hias. Tanaman patah tulang selain tanaman

Lebih terperinci

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral. Pengertian farmakologi sendiri adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian eksperimental quasi yang telah dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya pengaruh obat anti ansietas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Alat 3.2 Bahan 3.3 Hewan Uji

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Alat 3.2 Bahan 3.3 Hewan Uji BAB 3 PERCOBAAN Alat, bahan, dan hewan uji yang diperlukan dalam percobaan dijelaskan dalam bab ini. Prosedur yang dilakukan meliputi penyiapan bahan tanaman, pembuatan jus, orientasi pembuatan model tikus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi dan pembuatan ekstrak rimpang rumput teki (Cyperus

Lebih terperinci

PENGANTAR FARMAKOLOGI

PENGANTAR FARMAKOLOGI PENGANTAR FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI : PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - DIAGNOSIS - PENGOBATAN GEJALA PENYAKIT FARMAKOTERAPI : CABANG ILMU PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - PENGOBATAN FARMAKOLOGI KLINIK : CABANG

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PETUNJUK PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PETUNJUK PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PROGRAM STUDI ILMU FARMASI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UIVERSITAS ESA UNGGGUL 2015 1 KATA PENGANTAR Kegiatan di laboratorium merupakan komponen yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.) Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.) 51 Lampiran 2. Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan 52 Lampiran 3. Gambar pohon asam jawa 53 Lampiran 3. (Lanjutan)

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian dan Variabel Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu, yaitu penelitian yang dilakukan melalui pengamatan terhadap kelompok eksperimental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penemuan obat baru telah banyak ditemukan seiring dengan perkembangan dunia kesehatan dan informasi yang berkaitan dengan perkembangan obat tersebut juga semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anestesi digunakan secara luas dalam bidang kedokteran hewan seperti menghilangkan nyeri dan kesadaran pada tindakan pembedahan, pengendalian hewan (restraint), keperluan

Lebih terperinci

6/3/2011 DOKTER FARMASIS PERAWAT. 1. Independen 2. Interdependen 3. Dependen 4. Peneliti

6/3/2011 DOKTER FARMASIS PERAWAT. 1. Independen 2. Interdependen 3. Dependen 4. Peneliti Mengidentifikasi peran perawat dalam terapi obat Mengidentifikasi langkah-langkah proses keperawatan dalam terapi obat Menentukan prinsip-prinsip pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan rencana terapi

Lebih terperinci

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt KEGUNAAN FARMAKOKINETIKA 1. Bidang farmakologi Farmakokinetika dapat menerangkan mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh, khususnya

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008.

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Farmakologi Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. B. BAHAN DAN ALAT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginjeksian medikasi adalah prosedur invasi yang melibatkan deposisi obat melalui jarum steril yang diinsersikan kedalam jaringan tubuh. Teknik aseptic harus dipertahankan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Anestesi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen anestesi seperti obat analgesik yang dapat menghilangkan rasa sakit, sementara obat-obat

Lebih terperinci

LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan

LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan Lampiran 2. Tumbuhan pepaya jantan a. Tumbuhan pepaya jantan b. Bunga pepaya jantan c. Simplisia bunga pepaya jantan Lampiran 3. Perhitungan hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

Methadon sejak 1972 disetujui FDA telah terbukti secara klinis mengurangi jumlah orang kecanduan opiat dengan efek samping jangka panjang terbatas

Methadon sejak 1972 disetujui FDA telah terbukti secara klinis mengurangi jumlah orang kecanduan opiat dengan efek samping jangka panjang terbatas Methadone dan Suboxone Methadone pertama kali digunakan dan dipasarkan pada tahun 1939 di di Jerman sebagai obat penghilang rasa sakit yang efektif. Pada awal 1950-an, penggunaan metadon mulai di di Amerika

Lebih terperinci

UJI ANTIDIABETES SECARA IN VIVO. Dwi Handayani Ni Luh Sukeningsih

UJI ANTIDIABETES SECARA IN VIVO. Dwi Handayani Ni Luh Sukeningsih UJI ANTIDIABETES SECARA IN VIVO Dwi Handayani Ni Luh Sukeningsih PENGERTIAN DIABETES Diabetes melitus keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan

Lebih terperinci

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Farmakokinetik - 2 Mempelajari cara tubuh menangani obat Mempelajari perjalanan

Lebih terperinci

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan BAB 1 PENDAHULUAN Sediaan Tablet merupakan suatu bentuk sediaan solid mengandung bahan obat (zat aktif) dengan atau tanpa bahan pengisi (Departemen Kesehatan RI, 1995). Tablet terdapat dalam berbagai ragam,

Lebih terperinci

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT Pendahuluan Obat adalah zat yang dapat memberikan perubahan dalam fungsi-fungsi biologis melalui aksi kimiawinya. Pada umumnya molekul-molekul obat berinteraksi dengan molekul

Lebih terperinci

Pembelajaran e-learning bab 3 dan 4 (kelas A)

Pembelajaran e-learning bab 3 dan 4 (kelas A) Pembelajaran e-learning bab 3 dan 4 (kelas A) Baca modul bab 3 dan bab 4 buku farmakologi, Kemudian selesaikan soal sebanyak 50 soal (HTTP : adysetiadi. wordpress.com) dengan ditulis tangan. Tugas dikumpulkan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengamatan Tingkah Laku Ikan Selama Proses Pemingsanan Pengamatan perubahan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan dilakukan setiap 15 menit dengan percobaan trial and run

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

Dalam bentuk tablet, kaplet, pil, sirup, kapsul, atau puyer. Kelemahannya : Aksinya lambat, tidak dapat digunakan pada keadaan gawat.

Dalam bentuk tablet, kaplet, pil, sirup, kapsul, atau puyer. Kelemahannya : Aksinya lambat, tidak dapat digunakan pada keadaan gawat. Dalam bentuk tablet, kaplet, pil, sirup, kapsul, atau puyer. Kelemahannya : Aksinya lambat, tidak dapat digunakan pada keadaan gawat. Waktu absorsinya 30-45 menit, efek puncak setelah 1-1,5 jam. Rasa dan

Lebih terperinci

Paradigma dalam pengembangan obat. Pertimbangan terapeutik Pertimbangan biofarmasetik Pendekatan fisikokimia 4/16/2013 1

Paradigma dalam pengembangan obat. Pertimbangan terapeutik Pertimbangan biofarmasetik Pendekatan fisikokimia 4/16/2013 1 Paradigma dalam pengembangan obat Tahapan pengembangan obat Pertimbangan terapeutik Pertimbangan biofarmasetik Pendekatan fisikokimia 4/16/2013 1 Aspek Sasaran kerja obat Desain obat Sintesis In the past

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi tanaman

Lampiran 1. Hasil identifikasi tanaman Lampiran 1. Hasil identifikasi tanaman Lampiran 2. Gambar serbuk majakani (Quercus infectoria G. Olivier) Lampiran 3. Bagan kerja penelitian Tikus Dikondisikan selama 2 minggu 1. Diukur Kadar 2. Diinduksi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi eksperimental

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi eksperimental BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi eksperimental laboratorium dalam menguji aktivitas analgetik pada mencit putih jantan. B. Tempat

Lebih terperinci

Lampiran 1 Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan

Lampiran 1 Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan Lampiran 1 Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan 48 Lampiran 2 Hasil determinasi tumbuhan daun Lidah mertua (Sansevieria trifasciata var.laurentii) 49 Lampiran3 Gambar hasil makroskopik Daun

Lebih terperinci

2. Bentuk setengah Padat contohnya salep,krim,pasta,cerata,gel,salep mata. 3. Bentuk cair/larutan contohnya potio,sirop,eliksir,obat tetes,dan lotio.

2. Bentuk setengah Padat contohnya salep,krim,pasta,cerata,gel,salep mata. 3. Bentuk cair/larutan contohnya potio,sirop,eliksir,obat tetes,dan lotio. Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau

Lebih terperinci

INSTRUKSI KERJA PENGAMBILAN DARAH, PERLAKUAN, DAN INJEKSI PADA HEWAN COBA

INSTRUKSI KERJA PENGAMBILAN DARAH, PERLAKUAN, DAN INJEKSI PADA HEWAN COBA INSTRUKSI KERJA PENGAMBILAN DARAH, PERLAKUAN, DAN INJEKSI PADA HEWAN COBA Laboratorium Biosains Universitas Brawijaya Malang 2012 INSTRUKSI KERJA PENGAMBILAN DARAH, PERLAKUAN, DAN INJEKSI PADA HEWAN COBA

Lebih terperinci

MAKALAH PERHITUNGAN DOSIS OBAT DISUSUN OLEH : VERTI AGSUTIN

MAKALAH PERHITUNGAN DOSIS OBAT DISUSUN OLEH : VERTI AGSUTIN MAKALAH PERHITUNGAN DOSIS OBAT DISUSUN OLEH : VERTI AGSUTIN 5390033 POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG JURUSAN DIII FARMASI TAHUN 205 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. karena

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN PUSAT STUDI OBAT BAHAN ALAM DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 1 Rute pemberian obat Untuk memperoleh efek yang cepat obat biasanya diberikan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman. Pada umumnya nyeri berkaitan dengan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa PENDAHULUAN Latar Belakang Industri perunggasan di Indonesia, terutama broiler saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa pemeliharaan broiler untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keracunan merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh bahan organik ataupun bahan anorganik yang masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan tidak normalnya mekanisme

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian. 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian. 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup, Tempat dan Waktu Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuwan : Anestesiologi 2. Ruang lingkup tempat : Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang 3. Ruang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 40 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan pretest - posttest control group design (Campbell & Stanly, 1996). Skema

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan 45 Lampiran 2. Gambar Tanaman ranti Tanaman ranti 46 Lampiran 3. Simplisia dan serbuk simplisia daun ranti Simplisia daun Ranti Serbuk simplisia daun Ranti 47 Lampiran

Lebih terperinci

banyak digunakan dalam pengobatan akut dan jangka panjang dari asma bronkial, bronkitis kronis, emfisema dan penyakit paru obstruktif kronik dengan

banyak digunakan dalam pengobatan akut dan jangka panjang dari asma bronkial, bronkitis kronis, emfisema dan penyakit paru obstruktif kronik dengan BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan berkembangnya teknologi farmasi, penggunaan obat secara per oral dapat dikembangkan menjadi penggunaan obat secara buccal. Penggunaan obat pada buccal, merupakan rute alternatif

Lebih terperinci

PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL

PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL Pemberian obat parenteral merupakan pemberian obat yang dilakukan dengan menyuntikkan obat tersebut ke jaringan tubuh. Pemberian obat melalui parenteral dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernafasan yang bersifat kronis dengan

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL Tugas Anestesi FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL disusun oleh ASTRI NURFIDAYANTI 110.2004.036 FK UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 14 FEBRUARI-19 MARET 2011 DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH

Lebih terperinci

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker. BAB 1 PENDAHULUAN Pemberian obat oral telah menjadi salah satu yang paling cocok dan diterima secara luas oleh pasien untuk terapi pemberian obat. tetapi, terdapat beberapa kondisi fisiologis pada saluran

Lebih terperinci

AKTIVITAS ANALGETIKA INFUSA DAUN ALPUKAT (Persea americana) PADA MENCIT. TITA NOFIANTI Program Studi S1 Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya

AKTIVITAS ANALGETIKA INFUSA DAUN ALPUKAT (Persea americana) PADA MENCIT. TITA NOFIANTI Program Studi S1 Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya AKTIVITAS ANALGETIKA INFUSA DAUN ALPUKAT (Persea americana) PADA MENCIT TITA NOFIANTI Program Studi S1 Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK Pengujian aktivitas analgetika infusa daun alpukat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia tanpa memandang jenis kelamin dan usia. Telah diketahui bahwa transmisi dan persepsi nyeri timbul dan berfungsi sejak kehamilan

Lebih terperinci

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya Apakah diabetes tipe 1 itu? Pada orang dengan diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat membuat insulin. Hormon ini penting membantu sel-sel tubuh mengubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentagamavunon-0 (PGV-0) atau 2,5-bis-(4ʹ hidroksi-3ʹ metoksibenzilidin) siklopentanon adalah salah satu senyawa analog kurkumin yang telah dikembangkan oleh

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Determinasi Kulit Kayu Manis ((Cinnamomum burmannii Nees & T.Nees)) Blume

Lampiran 1. Hasil Determinasi Kulit Kayu Manis ((Cinnamomum burmannii Nees & T.Nees)) Blume Lampiran 1. Hasil Determinasi Kulit Kayu Manis ((Cinnamomum burmannii Nees & T.Nees)) Blume 51 Lampiran 2. Gambar Hasil Makroskopik Kulit Kayu Manis Madu Hutan 52 Lampiran 2. (lanjutan) Simplisia kulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Uji toksisitas adalah uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi, dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing merupakan hewan peliharaan yang paling populer hampir di seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga memiliki jiwa pengabdian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap sebuah pelumpuh otot yang ideal yang dapat memberikan kondisi intubasi yang ideal dalam durasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN YENI FARIDA M.SC., APT

PENDAHULUAN YENI FARIDA M.SC., APT PENDAHULUAN YENI FARIDA M.SC., APT KONTRAK BELAJAR Mahasiswa 4S (Senyum Semangat Sopan SAntun) Pakaian sopan dan rapi, kemeja berkerah, dan bersepatu HP silent, tidak diperkenankan smsan ato OL saat kelas

Lebih terperinci

PEMBERIAN OBAT RASIONAL (POR) dr. Nindya Aryanty, M. Med. Ed

PEMBERIAN OBAT RASIONAL (POR) dr. Nindya Aryanty, M. Med. Ed PEMBERIAN OBAT RASIONAL (POR) dr. Nindya Aryanty, M. Med. Ed PRE TEST 1. Sebutkan macam-macam bentuk sediaan obat! 2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan formula magistralis, formula officinalis, dan formula

Lebih terperinci

Absorbsi obat berdasarkan tempat pemberian

Absorbsi obat berdasarkan tempat pemberian Absorbsi obat berdasarkan tempat pemberian Absorpsi melalui sublingual mukosa yang tervaskularisasi, baik rongga mulut maupun rongga tenggorokan, memiliki sifat absorpsi yang baik untuk senyawa yang terionisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat disebabkan karena faktor genetik, kekurangan produksi insulin oleh sel beta pankreas, maupun karena ketidakefektifan

Lebih terperinci

Pengukuran Laju Metabolisme Berdasarkan Konsumsi O2. Tujuan: Mengukur laju metabolisme berdasarkan konsumsi O2 102CO2 + 92H2O

Pengukuran Laju Metabolisme Berdasarkan Konsumsi O2. Tujuan: Mengukur laju metabolisme berdasarkan konsumsi O2 102CO2 + 92H2O Metabolisme Pengukuran Laju Metabolisme Berdasarkan Konsumsi O2 Tujuan: Mengukur laju metabolisme berdasarkan konsumsi O2 Dasar teori Hewan dalam hidupnya selalu memerlukan energi untuk pertumbuhan, produksi,

Lebih terperinci

AKTIVITAS ANALGESIK EKSTRAK DAUN JARUM TUJUH BILAH (Pereskia Bleo K) PADA MENCIT JANTAN (Mus Musculus)

AKTIVITAS ANALGESIK EKSTRAK DAUN JARUM TUJUH BILAH (Pereskia Bleo K) PADA MENCIT JANTAN (Mus Musculus) AKTIVITAS ANALGESIK EKSTRAK DAUN JARUM TUJUH BILAH (Pereskia Bleo K) PADA MENCIT JANTAN (Mus Musculus) Novita Sari, Islamudin Ahmad, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA TROPIS

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Farmakologi. Copyright 2002, 1998, Elsevier Science (USA). All rights reserved.

Prinsip-prinsip Farmakologi. Copyright 2002, 1998, Elsevier Science (USA). All rights reserved. Prinsip-prinsip Farmakologi Prinsip-prinsip Farmakologi Obat Zat kimia yang mempengaruhi proses dalam organisme hidup. Prinsip-prinsip Farmakologi Farmakologi Studi atau ilmu tentang obat Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

/ ml untuk setiap mg dari dosis oral, yang dicapai dalam waktu 2-3 h. Setelah inhalasi, hanya sekitar 10% -20% dari dosis dihirup mencapai paruparu

/ ml untuk setiap mg dari dosis oral, yang dicapai dalam waktu 2-3 h. Setelah inhalasi, hanya sekitar 10% -20% dari dosis dihirup mencapai paruparu BAB 1 PENDAHULUAN Terbutalin sulfat merupakan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit asma bronkial. Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan peradangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data Penelitian Deskripsi data menyajikan data yang terkumpul dari penelitian, yang terdiri dari data rasa nyeri yang diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. rancangan acak lengkap (RAL) atau completely randomized design yang terdiri

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. rancangan acak lengkap (RAL) atau completely randomized design yang terdiri BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan rancangan acak lengkap (RAL) atau completely randomized design yang terdiri dari 4

Lebih terperinci

Lampiran 1. Surat rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan

Lampiran 1. Surat rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan Lampiran 1. Surat rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan Lampiran 2. Surat hasil identifikasi daun bangun-bangun Lampiran 3. Bagan pembuatan ekstrak etanol daun bangun-bangun Serbuk simplisia

Lebih terperinci

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf.

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. JARINGAN HEWAN Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. A. JARINGAN EPITEL Jaringan epitel merupakan jaringan penutup yang melapisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membuatya semakin parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi seseorang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membuatya semakin parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi seseorang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Analgetika adalah zat yang bisa mengurangi rasa nyeri tanpa mengurangi kesadaran (Tjay dan Rahardja, 2015). Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang mengganggu,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Popularitas anestesi lokal yang semakin meluas dan meningkat dalam bidang kedokteran gigi merupakan cerminan dari efisiensi, kenyamanan dan adanya kontraindikasi

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

Lampiran 2. Gambar Hasil Makroskopik. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 2. Gambar Hasil Makroskopik. Universitas Sumatera Utara Lampiran 2. Gambar Hasil Makroskopik Gambar tumbuhan jengkol Gambar buah jengkol Keterangan : A = kulit jengkol B = biji jengkol Lampiran 2. (Lanjutan) Gambar biji jengkol tua Gambar simplisia biji jengkol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci