BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Anestesi Sejak pertama kali ditemukan oleh William Thomas Green Morton pada tahun 1846, anestesi terus berkembang pesat hingga sekarang. Saat itu ia sedang memperagakan pemakaian dietil eter untuk menghilangkan kesadaran dan rasa nyeri pada pasien yang ditanganinya. Ia berhasil melakukan pembedahan tumor rahang pada seorang pasien tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Karena pada saat itu eter merupakan obat yang cukup aman, memenuhi kebutuhan, mudah digunakan, tidak memerlukan obat lain, cara pembuatan mudah, dan harganya murah. Oleh karena itu eter terus dipakai, tanpa ada usaha untuk mencari obat yang lebih baik. Setelah mengalami stagnasi dalam perkembangannya selama 100 tahun setelah penemuan morton barulah kemudian banyak dokter tertarik untuk memperlajari bidang anestesiologi, dan barulah obat-obat anestesi generasi baru muncul satu-persatu (Mangku dan Senapathi, 2010) Anastesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa (without sensation) tetapi bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan semula. (Sudisma et al., 2006) Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen yaitu hipnotik (tidak sadarkan diri = mati ingatan ), analgesi (bebas nyeri = mati rasa ), dan relaksasi otot rangka ( mati gerak ) (Mangku dan Senapathi, 2010) Untuk mencapai ke tiga target tersebut dapat digunakan hanya dengan mempergunakan satu jenis obat, misalnya eter atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas, yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, khusus sebagai analgesi, dan khusus sebagai obat pelumpuh otot. Ketiga target anestesia tersebut populer disebut dengan Trias anestesi (Mangku dan Senapathi, 2010) 8

2 9 Analgesi Relaksasi Sedasi Gambar 3. Trias Anestesi (Mangku dan Senapathi, 2010) Dalam perkembangannya, anestesi digunakan secara luas, dalam bidang kedokteran hewan untuk menghilangkan nyeri dan kesadaran, juga digunakan untuk melakukan pengendalian hewan (restraint), keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar, pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia). Tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestesi secara tunggal maupun dengan balanced anesthesia yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestesi maupun dengan agen preanestesi (McKelvey dan Hollingshead, 2003; Tranquilli et al., 2007). Menurut Alex, (2010) balanced anesthesia dalam konteks ini meliputi yaitu a).obat diberikan sebelum induksi anestesi (Premedikasi), b).obat diberikan selama induksi anestesi, c).obat diberikan selama maintenance anestesi. Anestesi merupakan tahapan yang paling penting dalam tindakan pembedahan, karena tindakan pembedahan belum dapat dilakukan bila anestesi belum diberikan (Pretto, 2002). Anestesi memiliki resiko yang jauh lebih besar dari prosedur tindakan pembedahan karena nyawa pasien yang dianestesi dapat terancam. Untuk pemilihan anestesi yang ideal dibutuhkan dalam menghasilkan sifat analgesi, sedasi, relaksasi, Unconsciousness (hilang kesadaran), keamanan dan kenyamanan untuk sistem vital, ekonomis, dan mudah dalam aplikasi baik di lapangan ataupun di ruang operasi. Namun, sampai saat ini anestesi yang memenuhi kriteria yang ideal belum ada (Fossum 1997).

3 Anestesi Umum Anestesi umum adalah subtansi yang dapat mendepres susunan saraf pusat (SSP) secara reversibel sehingga hewan kehilangan rasa sakit (sensibilitas) di seluruh tubuh, reflek otot hilang, dan disertai dengan hilangya kesadaran. Anestesi ini terdiri atas 2 jenis yaitu, anestesi volatil (inhalasi) dan non-volatil (injeksi/parenteral). Tanda-tanda anestesi umum telah bekerja adalah hilangnya kordinasi anggota gerak, hilannya respon saraf perasa dan pendengaran, hilangnya tonus otot, terdepresnya medulla oblongata sebagai pusat respirasi, dan vasomotor, dan bila terjadi overdosis hewan akan mengalami kematian. (Sudisma et al., 2006). Menurut Sudisma, et al. (2006), agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui gabungan injeksi dan inhalasi. Anestesi umum inhalasi yang sering digunakan pada hewan adalah halotan, isofluran, sevofluran, desfluran, diethyl eter, dan nitrous oksida. Anestesi umum yang diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (thiopental, methohexical, dan pentobarbital), cycloheksamin (ketamin, tiletamin), etomidat, dan profol, seperti yang disajikan berikut :

4 11 Anestesi umum Injeksi Inhalasi Barbiturat Short-Acting (pentobarbital) Ultrashortacting (Thiopental, Methohexical Cyclohexamin : Ketamin Tiletamin Dietyl Eter Nitrous Oxide Profol Etomidat Campuran Halogen : Isofluran, Halotan, Metoksifluran, Sevofluran, Desfluran Gambar 4. Klasifikasi Agen yang Digunakan Sebagai Anestesi Umum (McKelvey dan Hollingshead, 2003) Anestesi injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksi, asorbsinya cepat, waktu induksi, durasi dan masa pulih dari anestesia berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks terapuetik yang tinggi, tidak bersifat toksik, minimalisasi efek samping pada organ tubuh seperti saluran pernafasan dan kardiovaskuler, cepat dimetabolisme, tidak bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot, analgesik, dan sudah diketahui antidotnya. Untuk mendapatkan efek anestesia yang diinginkan dengan efek samping seminimal mungkin, anestesi dapat digabungkan atau dikombinasikan antara beberapa anestesi atau dengan zat lain sebagai preanestesi dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia (Mc Kelvey dan Hollingshead, 2003).

5 Obat-Obat Anestesi Keadaan anestesia dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obat anestesi umunya diklasifikasikan berdasarkan cara penggunaanya, yaitu : 1. Topikal, misalnya melalui kutaneus atau membran mukosa 2. Injeksi seperti intravena, subkutan, intramuskuler, dan intraperitoneal 3. Gastrointestinal misalnya secara oral atau rektal 4. Respirasi atau inhalasi, (Adam, 2001) Dalam penelitian ini digunakan 3 jenis obat anestesi yaitu Atropin, Ketamin, dan Xilasin Atropin Atropin berasal dari golongan antikolinergik yaitu obat yang berkhasiat menekan/menghambat aktivitas kolinergik atau parasimpatis. Atropin merupakan protipe tersier dari agen amin muskarinik. Atropin merupakan kristal tidak bewarna dan tidak berbau, atau putih, bubuk kristalin. Atropin dalam injeksi dilaporkan kompatibel dengan beberapa agen berikut seperti, benzquinamide HCl, butorphanol tartat, chlorpromazine HCl, cimetidin HCl (tanpa pentobarbital), dimenhydrinat, dipenhydramin HCl, dobutamin HCl, droperidol, fentanyl sitrat, glycopyrolate, hydromorpone HCl, hydroxizine HCl, meperidine HCl, pentazocine laktat, pentobarbital sodium, perphezanine, prochlorperazine edisilat, promazine HCl, prometazine HCl, dan skopolamin HBr. Dan dilaporkan tidak kompatibel dengan norepinephrin bitartat, metarominol bitartat, methohexital sodium, dan sodium bikarbonat. Kompatibilitasnya bergantung pada faktor ph, konsentrasi, temperatur dan diluent yang digunakan. (Plumbs, 2005). Mekanisme kerja asetilkolin pada organ yang diinervasi serabut saraf otonom para simpatis atau serabut saraf yang mempunyai neurotransmitter asetil kolin. Obat ini menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh

6 13 asetil kolin pada sel efektor organ tertentu pada kelenjar eksokrin, otot polos, dan otot jantung, namun efek yang lebih dominan pada otot jantung, usus, dan bronkus (Mangku dan Senapathi, 2010). Menurut Plumb (2005), atropin seperti agen muskarinik lainnya, menghambat asetilkolin atau kolinergik lain secara kompetitif pada ikatan neuroefektor parasimpatik postganglionik. Dosis tinggi dapat memblok reseptor nikotinik pada autonomik ganglia dan pada ikatan neuromukuler. Efek farmakologik, berelasi pada dosisnya. Pada dosis rendah mengakibatkan salivasi, sekresi bronchial, dan keringat dihambat. Pada dosis moderat atropin mengakibatkan dilatasi dan menghambat akomodasi pada pupil, dan meningkatkan frekuensi jantung. Dosis tinggi akan menurunkan motilitas gastrointestinal dan saluran urinaria. Dan dosis yang sangat tinggi akan menghambat sekresi gastrik. Atropin dikontraindikasikan pada pasien dengan glukoma, adhesi antara iris dan lensa, hipersensitif pada obat antikolinergik, takikardia sekunder hingga thyrotoxikosis atau insufiensi kardia, iskemi myokardia, penyakit obstruksi gastrointestinal, paralisis ileus, kolitis ulseraif berat, obstruksi uropathy, dan myastenia gravis. Atropin dapat memperburuk beberapa gejala yang terlihat dengan toksisitas amitras, mengakibatkan hypertensi, dan lebih lanjut lagi menghambat peristaltis (Plumb, 2005). Dosis atropin yang dipakai pada anjing untuk preanestesi adalah 1. 0,022-0,044 mg/kg IM atau SC (Muir, dalam Plumb 2005) 2. 0,074 mg/kg IV, IM, atau SC (pak injeksi atropin, S.A-Fort Dodge, dalam Plumb 2005) 3. 0,02-0,04 mg/kg SC, IM, atau IV (Morgan 1988, dalam Plumb, 2005) Ketamin Ketamin adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan Rapid acting non barbiturat general anesthesia yang populer disebut ketalar sebagai

7 14 nama dagang. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen, tahun 1965, yang digunakan sebagai obat anestesi umum (Mangku dan Senapathi, 2010). Ketamin berwarna putih, berbentuk kristal, mendidih pada suhu o C, karakteristiknya berbau, dan akan mengalami presipitasi pada ph yang tinggi. Ketamin dapat bercampur secara kompatibel dalam spuit yang sama, namun jangan mencampur ketamin dengan barbiturat atau dizepam dalam satu spuit atau intravena yang sama karena presipitasi dapat terjadi (Plumb, 2005). Mempunyai efek anelgesia yang sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya lemah dan disertai dengan efek disosiasi. Pada mata obat ini menimbulkan lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka secara spontan. Pada jantung dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Dan pada otot dapat menimbulkan kejang-kejang (Mangku dan Senapathi, 2010) Menurut Plumb (2005), ketamin adalah anestesi umum dengan aksi yang cepat, juga memiliki aktivitas analgesik yang signifikan dan efek depresannya pada jantung kurang. Diperkirakan untuk induksi kedua anestesi secara fungsional mengganggu CNS melalui stimulasi berlebih pada CNS atau menginduksi bagian kataleptik. Ketamin menghambat GABA (gamma amino butiric acid) dan juga dapat memblok serotonin, norepineprin, dan dopamin pada CNS. Sistem thalamoneocrotical ditekan ketika sistem limbik aktif. Induksi anestetik pada stadium I dan II, tapi tidak pada stadium III. Pada kucing, dapat menyebabkan efek hypotermik ringan, temperatur tubuh turun rata-rata 1,6 0 C setelah pemberian obat. Efeknya pada tonus otot dilaporkan bervariasi, tapi ketamin umumnya dapat menyebabkan peningkatan tonus otot atau tidak sama sekali. Ketamin tidak menghilangkan reflek pinnal dan pedal, baik photik, korneal, laringeal ataupun reflek pharingeal. Efeknya pada sistem kardiovaskuler meliputi peningkatan cardiac output, frekuensi jantung, rataan tekanan aortik, tekanan arteri pulmonari, dan tekanan venosus sentral. Efeknya pada seluruh daya tahan peripheral dilaporkan bervariasi. Efek kardiovaskuler secara sekunder dapat meningkatkan tonus sympathetik, ketamin juga memiliki efek negatif pada inotropik jika sistem

8 15 symphatetik telah diblok. Ketamin tidak menekan sistem respiratori secara signifikan, namun dosis yang lebih tinggi dapat menurunkan frekuensi nafas. Ketamin diikontraindikasikan pada hewan yang memiliki hipertensi, gagal jantung, dan aneurysms arterial. Pabrik penghasil biasanya memperingatkan efek penggunaannya pada sistem hepatik dan insufiensi renalis. Kemudian karena ketamin tidak memberikan efek yang baik pada relaksasi otot, maka obat ini dikontraindikasikan digunakan tunggal dalam pembedahan mayor. Ketamin dapat meningkatkan tekanan CSF (cerebro spinal fluid) dan pemakaian tidak ditujukan pada hewan yang mengalami trauma pada kepala. Penggunaan Ketamin juga dipertimbangkan secara relatif kontraindikasinya ketika tekanan intraokuler meningkat dan prosedur yang melibatkan pharing, laring, atau trakea. Hewan yang kehilangan darah secara signifikan, pemberian dosis ketamin harus dikurangi. Untuk meminimalkan insiden reaksi emergensi, direkomendasikan untuk meminimalkan pembukaan (exposure) pada penanganan atau bunyi yang keras selama periode pemulihan (recovery). Pemantauan tanda vital tetap dilakukan selama fase pemulihan. Karena ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, lakukan dengan hati-hati dalam mengontrol haemoragi pasca bedah (seperti declawing). Tidak diperkenankan pemberian pakan atau air menjelang pembedahan, namun pada prosedur elektif direkomendasikan untuk tidak memberi pakan 6 jam sebelum pembedahan (Plumb, 2005). Interaksi ketamin dengan obat narkotik, barbiturat atau dizepam dapat memperpanjang waktu pemulihan setelah anestesi ketamin. Ketika digunakan dengan halotan, rata-rata pemulihan (recovery) ketamin dapat diperpanjang, dan efek stimulatori pada jantung dari ketamin dapat dihambat. Pemantauan status jantung direkomendasikan dalam penggunaan ketamin dengan halothan. chloramphenicol (secara perenteral) dapat memperpanjang aksi anestesi pada ketamin. Hormon tiroid ketika diberikan bersamaan dengan ketamin dapat menginduksi hipertensi dan takikardia. Beta-blocker (seperti propranolol) dapat menjadi keuntungan dalam mengobati efek ini. Neuromuskular blokers (seperti succinylcholine dan tobucurrarin) dapat menyebabkan peningkatan atau

9 16 perpanjangan depresi respiratori (Plumb, 2005). Antidotum obat untuk Xilasin adalah dopram (Sudisma et al., 2006). Bille, (2012) melaporkan dari 204 anjing yang dianestesi ketamin 9 diantaranya mati, jadi resiko kematian dari penggunaan ketamin 4.41%. Dosis penggunaan pada anjing.adalah 1. Diazepam 0,5 mg/kg IV, lalu ketamin 10 mg/kg IV untuk induksi anestesi umum (Booth 1988, dalam Plumb 2005). 2. Midazolam 0,066-0,22 mg/kg IM atau IV lalu ketamin mg/kg IM (Mandsager 1988, dalam Plumb 2005). 3. Xilasin 2.2 mg/kg IM, dalam 10 menit diberi ketamin 11 mg/kg IM. anjing dengan berat lebih dari 22.7 kg (50 pon) dosis dikurangi pada kedua obat di atas sebesar 25% (Booth 1988, dalam Plumb 2005) 4. Atropin (0,044 mg/kg) IM, dalam 15 menit diberi xylazin (1.1 mg/kg) IM, 5 menit kemudian diberi ketamin (22 mg.kg) IM (Booth 1988, dalam Plumb 2005). Sebagai catatan, xilasin-ketamin dapat menginduksi aritmia kardia, edema pulmonary, dan depresi respiratori pada anjing. Obat ini harus dikombinasikan dengan hati-hati (Plumb, 2005) Xilasin Xilasin merupakan golongan alpha2-adrenergic agonist, digunakan sebagai sedatif dan analgesik pada beragam spesies, namun penggunaannya pada kucing dapat menimbulkan emetik (muntah). Xilasin dilaporkan kompatibel dicampur dengan beberapa obat seperti acepromazine, buprenorphine, butorphanol, dan meripidine dalam satu spuit. (Plumb, 2005) Xilasin diklasifikasikan sebagai sedatif/analgesik dengan kemampuan relaksasi otot. Meskipun proses xilasin memiliki kemiripan aksi farmakologis dengan morphine, xilasin tidak menyebabkan eksitasi CNS (central nervous system) pada kucing, kuda, dan sapi, tapi dapat menyebabkan sedasi dan depresi

10 17 CNS. Xilasin menyebabkan relaksasi otot rangka melalui jalur sental termediasi (central mediated pathaways). Emesis (muntah) sering dijumpa pada kucing dan kadang-kadang juga dijumpai pada anjing yang diberi xilasin. Ketika melalui mediasi sentral, baik dopaminergik bloker (seperti, phenotiazine) maupun alphablokers (yohimbine, tolazoline) memblok efek emetik. xilasin tidak menyebabkan muntah pada kuda, sapi, domba atau kambing. xilasin menekan mekanisme thermolegulatori. (Plumb, 2005) Efek pada sistem kardiovaskuler meliputi peningkatan inisial total resistensi periperal dengan peningkatan tekanan darah diikuti dengan periode panjang dari tekanan darah yang rendah. Efek bradikardia dapat terlihat pada beberapa hewan yang mengalami heart blok derajat 2-3 atau aritmia yang lain. Menurunkan cardiac output sebesar 30%. xilasin dilaporkan dapat meningkatkan efek aritmogenik dari epineprin pada anjing. (Plumb, 2005) Efek xilasin pada fungsi respiratori secara klinis jarang terlihat, namun dalam dosis yang tinggi dapat mengakibatkan menekan sistem pernapasan, dengan penurunan volume tidal dan frekuensi nafas. Pada anjing brachycephalic dan kuda dengan gangguan pernapasan atas dapat mengakibatkan dyspnea. (Plumb, 2005) Xilasin juga dapat menginduksi peningkatan glukosa darah sekunder, hingga menurunkan kadar insulin dalam serum pada hewan non diabetes Penggunaannya pada anjing, kuda, dan kucing diindikasikan dapat menghasilkan sedasi dengan periode analgesi yang pendek, dan digunakan sebagai preanestesi sebelum anestesi lokal atau umum. (Plumb, 2005) Kontraindikasi obat ini yaitu, hewan yang sudah diberi epinephrin atau hewan yang mengalami aritmia ventrikel. Dan memiliki efek yang lebih ekstrim pada hewan yang mengalami disfungsi jantung, hypotensi atau shock, disfungsi respiratori, insufiensi berat sistem hepatik dan renal. Efek khusus pada anjing adalah tremor otot, bradikardia dengan A-V blok parsial, frekuensi repiratori

11 18 turun, dan urinasi meningkat. Dapat dikombinasikan dengan yohimbin, atipamezole, dan tolazoline untuk mempercepat waktu pemulihan. (Plumb, 2005) Dosis pada anjing adalah : 1. 1,1 mg/kg IV, 1,1-2,2 mg/kg IM atau SC -Miles dalam Plumbs 2005) 2. 0,6 mg/kg IV, IM sebagai sedatif (Morgan 1988, dalam Plumb 2005) 3. Untuk mengobati krisis hypoglikemi (dengan dektrose IV) : 1,1 mg/kg IM (Schall 1985, dalam Plumbs 2005) 4. 0,5-1,0 mg/kg IV atau 1-2 mg/kg IM (Davis, 1985 dalam Plumb 2005) 5. Sebagai analgesik 0,1-1 mg/kg IV, IM, atau SC, untuk pasca operatif berkisat 0,1-0,5 mg/kg IV, IM, atau SC (Caroll 1999 dalam Plumb 2005) Interaksi pemakaian atropin, xilasin, dan ketamin Ketamin mempunyai sifat analgesik yang sangat kuat dan bila digunakan secara tunggal akan menimbulkan relaksasi otot yang jelek, dan bahkan pada anjing akan menimbulkan kekejangan otot dengan durasi kerja yang singkat. Penambahan golongan alpha-2 adrenoseptor stimulan seperti xilasin atau benzodiazepin seperti diazepam, atau midazolam akan mengkatkan relaksasi otot. (Bishop, 1996). Menurut Sawyer, (2007) xilasin dapat menurunkan dosis ketamin sebesar 25%, meningkatkan relaksasi otot, dan mengurangi efek samping dari ketamin. Namun aktivitas xilasin pada susunan saraf pusat melalui aktivasi atau stimulasi reseptor alpha2 adrenoceptor, menyebabkan penurunan pelepasan simpatis dan mengurangi pengeluaran norapinephrin, dan dopamin sehingga menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan saraf dan dapat menyebabkan muntah. Xilasin juga dapat menekan thermoregulator (Adams, 2001). Atropin yang merupakan obat antimuskarinik digunakan untuk mengurangi salivasi dan sekresi bronchial, dan untuk melindungi serta mencegah

12 19 kejadian artimia yang disebabkan oleh prosedur obat-obatan anestesi. Sebagai premedikasi, atropin diindikasikan pada anjing untuk mencegah sejumlah saliva yang menghalangi jalannya nafas. Atropin dan hyoscin tidak direkombinasikan untuk premedikasi pada kuda karena dapat menyebabkan eksitasi dan midriasis. Atropin mencegah efek samping muskarinik dari antikolinesterase, yang digunakan untuk mengembalikan pengaruh non-depolarisasi obat-obat neuromuskular blok. Antimuskarinik sangat penting untuk pengobatan bradikardia dan atropin adalah obat yang paling umum digunakan. Jadi tujuan utama dari penggunaan atropin dalam kombinasi ketamin-xilasin adalah untuk menurunkan pengaruh hipersalivasi dan bradikardi dari xilasin (Bishop, 1996) Durasi, Induksi, dan Pemulihan Waktu induksi (induction time) adalah waktu yang diukur dari awal penyuntikan sampai awal terjadinya anestesia yaitu hilangnya rasa sakit (dijepit, pada telinga, ekor, dan interdigiti), hilangnya reflek (palpebral, pupil, dan pedal) dan bola mata menuju ventrocanthus. Lama anestesi (duration of actions) adalah waktu yang diukur dari mulai kejadian anestesia sampai hewan mulai sadar yaitu ada tidaknya gerakan (ekor, kaki, telinga atau kepala), ada tidaknya respon rasa sakit (dijepit dengan pinset pada telinga, ekor, dan interdigiti), ada tidaknya suara dari hewan, ada tidaknya reflek (palpebral, pupil, dan pedal). Waktu pemulihan (recovery) adalah waktu yang diukur dari hewan mulai sadar sampai hewan bisa berdiri dengan keempat kaki (Sudisma et al., 2012). Atropin diberikan menit sebelum induksi, namun efek muncul 10 menit setelah injeksi intramuskuler dengan masa durasi sekitar 2 jam. Dilatasi pupil ditemukan selama fase pemulihan, jadi tempat harus terlindung dari cahaya langsung (Sawyer, 2007). Dalam pelaksanaan pembedahan, induksi ketamin muncul 1-8 menit setelah injeksi intramuskuler, dan fase pemulihannya selama 5 jam. Induksi ketamin dapat dilakukan baik injeksi intramuskuler atau intravena. Jika obat diberikan mg/kg diberikan secara intamuskuler, efek onsetnya akan muncul 1-2 menit pertama, namun jika diberikan secara intravena dengan

13 20 dosis 1-2 mg/kg akan menimbulkan onset yang lebih cepat, namun durasinya akan lebih pendek dari pada injeksi intramuskuler. Prosedur terakhir (intavena) dapat dilakukan untuk prosedur yang memerlukan waktu kurang dari 30 menit, tapi akan diikuti dengan fase pemulihan 2-6 jam (Alex, 2010). Sedangkan Edwins (2007), melaporkan Injeksi ketamin dengan xilasin sebagai premedikasi secara intramuskuler menghasilkan waktu induksi 5 menit setelah injeksi, durasi 25 menit, dan masa pemulihan 30 menit pada anjing. Pemberian xilasin secara tunggal pada anestesi epidural pada kuda, menghasilkan induksi 15 menit dengan durasi 2-5 jam. (Alex, 2010). Luna, et al. (2000), melaporkan kombinasi anestesi xilasin dan ketamin dengan premedikasi Methotrimprazin secara intramuskuler menghasilkan waktu induksi 6 menit dengan durasi 52 menit dan waktu pemulihan sekitar 95 menit, namun pemulihan dengan menggunakan kombinasi methotrimprazin, romifidin, dan ketamin adalah 132 menit. Namun dalam penelitian Abbasi et al. (2014), Xilasin secara intravena memiliki masa induksi sekitar detik setelah penyuntikan, dengan durasi menit. Penyuntikan burung merpati dengan kombinasi anestesi atropinxilasin-ketamin secara Intramuskuler menghasilkan waktu induksi 13 menit, dengan durasi 83 menit dan fase pemulihan 140 menit (Gorda dan Wardhita, 2010). Namun saat ini waktu induksi, durasi dan pemulihan kombinasi anestesi atropin-xilasin-ketamin secara subkutan belum banyak diketahui Administari Obat Secara Subkutan Injeksi subcutan adalah pemberian obat dengan cara memasukkan obat kedalam jaringan subcutan di bawah kulit dengan menggunakan spuit. Diantara banyak jenis obat yang diberikan secara subcutan adalah vaksin, obat preanestetik, narkotik, insulin, dan heparin. Tehnik ini digunakan apabila kita ingin obat yang disuntikkan akan diabsorpsi oleh tubuh dengan pelan dan berdurasi panjang (slow and sustained absorption). Biasanya volume obat yang disuntikkan terbatas pada 1-2 ml per sekali suntik. Injeksi subkutan tidak menyusahkan dan biasanya rasa nyeri minimal dari pada injeksi intramuskuler untuk volume obat yang sedikit.

14 21 Injeksi subkutan hanya sesuai untuk obat noniritant. Efek sirkulasi lokal yang terjadi seperti menjadi panas, dehidrasi, dan shock hipovolemik (Christic et al., 2008). Keuntungan pemberian injeksi subkutan efeknya lebih cepat dan teratur. Khususnya suntikan secara subkutan,dimana absorpsinya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya dapat bertahan lama (Darma et al., 2013). Menurut Wanamaker (2004), wilayah intrascapular adalah area yang sebaiknya dihindari ketika pemberian obat subkutan Mekanisme Kerja Obat Anestesi Saat ini diyakini bahwa anestesia terjadi karena adanya perubahan neurotransmisi diberbagai bagian SSP (sistem saraf pusat). Kerja neurotransmiter di pascasinaps akan diikuti dengan pembentukan second messenger. Dalam hal ini camp (siklik adenosin monofosfat/adenosin monophosphat cyclic) yang selanjutnya mengubah transmisi di neuron. Di samping asetilkolin neurotransmiter klasik, dikenal juga katekolamin, serotonin, GABA (gamma amino butyric acid), adenosin, serta berbagai asam amino dan peptida endogen yang bertindak sebagai neurotrasmiter atau yang memodulasi neurotransmitter di SSP, misalnya asam glutamat dengan mekanisme hambatan pada reseptor N- metil-d-aspartat (Gunawan, et al, 2011). Teori yang mendasari kerja anestesi umum sampai saat ini belum begitu jelas. Berdasarkan perkembangan sejarah, Anestesi pertama ditemukan pada tahun 1846 di Boston oleh William Thomas Green Morton yang menggunakan eter sebagai anestesi. Dengan penemuan eter sebagai anestesi sangat mendorong perkembangan ilmu bedah. Tahun 1847 muncul teori mekanisme anestesi oleh Vonbibra, dan Harles, anestesi bekerja karena larut dalam lipid di otak. Tahun 1899 muncul teori Hans Meyer dan 1901 oleh Charles Overton yang dikenal dengan teori Meyer-Overtone, potensi anestesi berhubungan dengan kelarutan bahan anestesi pada lemak. Anestesi akan larut pada lipid dan merusak struktur lipid membran saraf. Teori membran protein menyatakan bahwa membran sel saraf mengandung protein dan agen anestesi akan terikat pada protein sehingga

15 22 mempengaruhi saluran ion. Akhirnya teori yang masih bisa diterima sampai saat ini adalah teori saluran ion yang dipengaruhi oleh neurotransmitter dan reseptor. Anestesi kan bekerja mempengaruhi 2 jenis reseptor yaitu, 1. Reseptor GABA (gamma amino butyric acid) terutama reseptor GABA- A merupakan reseptor inhibiratori 2. Reseptor glutamat merupakan reseptor eksitatori pada sub tipe NMDA (n-methyl d-aspartat) Gambar 5. Wilayah Penghambatan GABA, Sumber ; Lullman, Reseptor GABA dan Glutamat adalah reseptor yang sebagian besar terletak pada otak khususnya hipothalamus yang merupakan target kerja anestesi, yaitu di daerah tuberomammilary nucleous (TMN) (Miller, 2010 ; Pretto 2002). Anestesi umum injeksi (kecuali ketamin) akan bekerja melalui reseptor GABA-A pada otak khususnya subtipe β3 sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran (unconciousness) dan pada reseptor GABA-A subtipe β2 (50% pada CNS) akan menyebabkan sedasi. Sedangkan Anestesi ketamin, anestesi gas, N2O, xenon, dan sejenisnya akan bekerja sedikit atau lemah pada reseptor GABA-A atau glisin, tetapi sangat kuat pada reseptor glutamat subtipe (NMDA) sehingga menyebabkan terjadinya analgesik kuat. (Miller, 2010). Anestesi umum meningkatkan kerja GABA dan menginduksi saluran ion Cl. Secara umum pada dosis yang tinggi, anestesi secara langsung mengaktivasi reseptor GABA-A

16 23 walaupun tanpa GABA. Pengaruh fungsional anestesi pada reseptor GABA-A sengat tergantung pada komposisi reseptor subunitnya (Miller, 2010) Stadium Anestesi Umum Semua zat anestetik menghambat SSP secara bertahap, yaitu mula-mula dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat adalah medula oblongata tempat pusat vasomotor dan pernapasan. Anestesi umum dibagi menjadi 4 stadium, yaitu stadium I (anelgesia), stadium II (eksitasi), stadium III (pembedahan), dan stadium IV (depresi medulla oblongata) (Gunawan, et al, 2011) Stadium I (Anelgesia) Stadium anelgesia dimulai sejak pemberian anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (anelgesia), tetapi masih sadar (Gunawan, et al, 2011). Pernapasan masih dipengaruhi kemauan dan keras, frekuensi nafas, dan pulsus meningkat, pupil melebar, terjadi urinasi, dan defekasi (Sudisma et al., 2006) Stadium II (Eksitasi) Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainnya stadium pembedahan. Pada stadium ini, hewan tampak mengalami delirium (sensasi) dan eksitasi dengan gerakan diluar kehendak (meronta-ronta). Pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meningkat, kadang sampai mengalami inkontinesia, dan muntah. Hal ini terjadi karena hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, maka pada stadium ini harus diusahakan cepat dilalui (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et a.l (2006), pada tahap ini kehilangan kesadaran, respon terhadap stimulasi meningkat (hewan masih berteriak di bawah sadar), gerakan kaki ke belakang masih keras, nafas singkat dan tidak teratur, reflek menelan, dan muntah, masih ada, dan reflek batuk masih ada.

17 Stadium III (Pembedahan) Stadium III dimulai dengan tumbulnya kembali pernapasan yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Menurut Gunawan et al. (2011) pada stadium ini dibagi lagi menjadi 4 tingkat dan tiap tingkatan dibedakan dari perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus otot dan lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan. a. Tingkat 1 : Pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara pernapasan dada dan perut, gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis, sedangkan tonus otot rangka masih ada (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et al (2006), stadium III tingkat I ditandai dengan pernafasan bebas dari kemauan gerakan kaki ke belakang terhenti, bola mata bergerak dari sisi satu ke sisi lainnya, makin lama anestesi bola mata bergerak lemah, dan berhenti bila masuk ke tingkat II, reflek palpabre, konjungtiva, dan kornea segera hilang setelah masuk ke tingkat I. Pada anjing dan kucing reflek pedal masih ada dan cepat. Anestesi tingkat I digunakan untuk pemeriksaan foto Rontgen (X-ray), operasi membuka abses dan operasi kecil lainnya. b. Tingkat 2 : Pernapasan teratur sampai frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas, dan refleks laring hilang, sehingga pada tahap ini dapat dilakukan intubasi (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et al. (2006), ditandai dengan adanya sedikit perubahan pada sifat respirasinya sampai tingkat berikutnya, frekuensi nafas meningkat sedangkan amplitudonnya menurun, reflek laring masih ada hingga pertengahan tingkat ini. Pada kuda, sapi, domba, dan babi bola mata terfixir di tengah, pada anjing dan kucing bola mata pada ventrocantus (sudut medial) menggeser ke bawah. Relaksasi otot lebih nyata kecuali otot abdomen, reflek pedal pada anjing dan kucing

18 25 masih ada tetapi lemah. Menurut Welsh (2009), pada tingkat 2 dan 3 ini prosedur pembedahan yang paling memuaskan. c. Tingkat 3 : Ditandai dengan adanya respirasi otonom, frekuensi meningkat, amplitudo menurun, ada antara yang jelas pada inspirasi dan ekspirasi (kelihatan berhenti sebentar), inspirasi thorak ringan, ritme pernafasan terganggu jika masuk stadium selanjutnya, pada anjing dan kucing bola mata menuju ke tengah, reflek pedal hilang, otot abdomen relaksasi. Pernapasan perut lebih nyata dari pernapasan dada karena otot interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil mata lebar tetapi belum maksimal (Gunawan et al., 2011). Menurut Mangku dan Senapathi (2010), pada stadium inilah optimal dilakukan operasi. d. Tingkat 4 : Pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar, dan refleks cahaya hilang. Pembiusan hendaknya jangan sampai ke tingkat 4 ini sebab hewan akan sangat mudah sekali masuk ke stadium IV yaitu ketika pernapasan spontan melemah. Untuk mencegah ini, harus diperhatikan secara benar sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan keadaan normal, dan turunnya tekanan darah (Gunawan et al., 2011) Stadium IV (Depresi medulla oblongata) Stadium IV ini, dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III tingkat 4. Tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul dengan kematian, kelumpuhan napas di sini hanya dapat diatasi dengan alat bantu napas dan sirkulasi (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et al. (2006), stadium ini ditandai dengan paralisa otot thorak sempurna, hanya diafragma yang masih aktif selama inspirasi, dinding thorak mengempes kedalam sehingga hewan tersengalsengal, pulsus meningkat cepat, pupil menggembung, bola mata seperti mata ikan

19 26 (sekresi air mata terhenti), pernafasan melemah akhirnya hewan mati, warna mukosa mulut, mata, dan lidah menjadi abu-abu. Tabel 1 : Reaksi Anestesi, Menurut Stadiumnya. Stadium Depresi CNS Warna Mukosa Ukuran Pupil Aktivitas Bola Pernafasan Anastesia Mata I Kortek Sensori N/Kemerahmerahan Kecil Dibawah sadar Cepat/irrreguler II Motor Kortek Kemerahmerahan Dilatasi Meningkat Irreguler III Plane 1 Otak tengah Kemerahmerahan/N Lebih kecil Meningkat Pelan/reguler III Plane 2 Spinal Cord N Miosis Terfiksir, rotasi ventral Pelan/reguler III Plane 3 Spinal cord N/pucat Miosis Rotasi ke Abdominal ventral III Plane 4 Spinal cord Pucat Lebih besar Sentral Abdominal semakin dangkal IV Medulla Pucat/cyanotik Midriatik Sentral Tidak ada Stadium Anestesi I Pulsus Reflek Reflek Kedangkalan Batuk Reflek Keterangan Palpebrae Cornea Pedal Analgesi Cepat/ti nggi II Cepat/ti Unconscious nggi III Plane 1 N Kecil III Plane 2 N - Kecil III Plane 3 Turun III Plane 4 Turun Reflek anal kecil sekali IV shock Sphinter anal relaksasi Sumber : Dugdale, Alex, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anestesi digunakan secara luas dalam bidang kedokteran hewan seperti menghilangkan nyeri dan kesadaran pada tindakan pembedahan, pengendalian hewan (restraint), keperluan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Anestesi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen anestesi seperti obat analgesik yang dapat menghilangkan rasa sakit, sementara obat-obat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing merupakan hewan peliharaan yang paling populer hampir di seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga memiliki jiwa pengabdian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting dan strategis pada tindakan pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan bila belum dilaksanakan anestesi. Sejarah membuktikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi. Obat analgesik akan menghilangkan rasa sakit, sementara obat tranquilliser akan menenangkan hewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan belum bisa dilakukan tanpa anestesi (Hall dan Clarke, 1983).

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan belum bisa dilakukan tanpa anestesi (Hall dan Clarke, 1983). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anestesi adalah tahapan yang sangat penting pada prosedur pembedahan. Prosedur awal pembedahan harus didahului dengan pemberian anestesi karena pembedahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap pembedahan, dilakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk baik menghilangkan rasa nyeri yang kemudian disebut dengan anestesi. Dan keadaan hilangnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Darah 2.1.1. Hematologi Darah Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Anestesi adalah hilangnya rasa sakit yang disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

ATROPIN OLEH: KELOMPOK V

ATROPIN OLEH: KELOMPOK V ATROPIN OLEH: KELOMPOK V ATROPIN ATROPIN 0,25 MG/ML INJEKSI GOLONGAN : K KANDUNGAN : Atropine sulfat DOSIS : 250-1000 µg secara subkutan. KEMASAN : Injeksi 0,25 mg/ml x 30 ampul @1 ml SEDIAAN : ampul inj.im/iv/sk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Keseluruhan anjing yang dipergunakan pada penelitian diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat sesuai dengan klasifikasi status klas I yang telah ditetapkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Variabel yang diamati : Gambar 5 Alur penelitian terhadap babi A, B, dan C 1. Gejala pada saat periode induksi 2. Onset anestesi 3. Durasi anestesi 4. Temperatur tubuh ( o C) 5. Frekuensi denyut jantung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia 2 TINJAUAN PUSTAKA Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia Babi merupakan hewan monogastrik berasal dari Eurasia yang memiliki bentuk hidung khas sebagai ciri hewan tersebut, yaitu berhidung lemper. Babi

Lebih terperinci

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS ANTAGONIS KOLINERGIK Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PENDAHULUAN Antagonis kolinergik disebut juga obat peng hambat kolinergik atau obat antikolinergik. Yang paling bermanfaat

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT JULAEHA, M.P.H., Apt FISIONEUROLOGI OBAT SSP Obat SSP menekan / menstimulasi seluruh atau bagian tertentu dari SSP. Jika terdapat penekanan

Lebih terperinci

OBAT-OBAT PARASIMPATIS (PARASIMPATOMIMETIK) Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

OBAT-OBAT PARASIMPATIS (PARASIMPATOMIMETIK) Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS OBAT-OBAT PARASIMPATIS (PARASIMPATOMIMETIK) Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS 1 Pembagian sistem syaraf Sistem syaraf dibedakan atas 2 bagian : 1. Sistem Syaraf Pusat (SSP). 2. Sistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Anestesi

TINJAUAN PUSTAKA Anestesi 9 TINJAUAN PUSTAKA Anestesi Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes (1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis

Lebih terperinci

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Perbandingan antara Sistem syaraf Somatik dan Otonom Sistem

Lebih terperinci

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. OBAT OBAT EMERGENSI Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. PENGERTIAN Obat Obat Emergensi adalah obat obat yang digunakan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan 71 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Data penggunaan bahan anestetika diperoleh dari kuesioner yang diedarkan secara acak kepada 87 Dokter Hewan praktek melalui survei secara acak dari tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kafein banyak terkandung dalam kopi, teh, minuman cola, minuman berenergi, coklat, dan bahkan digunakan juga untuk terapi, misalnya pada obatobat stimulan, pereda nyeri,

Lebih terperinci

KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI

KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI KELOMPOK A3: EVRIS HIKMAT. S OMAN SETIYANTO GEDE EKO DARMONO SITI NUR HIDAYATI VERONIKA JULIE RIZKA PUTRI IKA ERTI Ovariohisterectomy merupakan tindakan bedah atau operasi pengangkatan organ reproduksi

Lebih terperinci

TESIS PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN SECARA SUBKUTAN PADA ANJING

TESIS PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN SECARA SUBKUTAN PADA ANJING TESIS PEMELIHARAAN STATUS TERANESTESI DENGAN KOMBINASI XILASIN-KETAMIN SECARA SUBKUTAN PADA ANJING I MADE INDRAYADNYA SWARAYANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015! TESIS PEMELIHARAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk melihat onset, durasi, kematian dan tahapan anestesi Acepromazine (ACP). Selanjutnya, hasil penelitian dengan menggunakan ACP yang diberikan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap sebuah pelumpuh otot yang ideal yang dapat memberikan kondisi intubasi yang ideal dalam durasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan Pada Anak-Anak Pembedahan dan anestesi dapat menimbulkan stres emosional pada anak dan orang tua. Hal ini dapat terjadi pada saat preoperatif dan post operatif. Untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Waktu pulih sadar a. Pendahuluan Pulih sadar merupakan periode di mana pasien masih mendapatkan pengawasan dari ahli anestesi setelah pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laringospasme dan batuk merupakan komplikasi setelah ekstubasi pada pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan menutupnya glottis secara

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

PATOFISIOLOGI ANSIETAS PATOFISIOLOGI ANSIETAS Faktor Predisposisi (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa : 1. Peristiwa traumatik 2. Konflik emosional 3. Konsep diri terganggu 4. Frustasi 5. Gangguan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN I DAN II PENGARUH RUTE PEMBERIAN DAN VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN I DAN II PENGARUH RUTE PEMBERIAN DAN VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN I DAN II PENGARUH RUTE PEMBERIAN DAN VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT Disusun oleh: KELOMPOK 3 Kelas C2 Kamis Pagi Avi Rahmadiah 1306376995 Ertika Festya 1306480420

Lebih terperinci

ANESTESI INFUS GRAVIMETRIK PADA ANJING (The Gravimetric Infuson Anaesthesia in Dogs)

ANESTESI INFUS GRAVIMETRIK PADA ANJING (The Gravimetric Infuson Anaesthesia in Dogs) ANESTESI INFUS GRAVIMETRIK PADA ANJING (The Gravimetric Infuson Anaesthesia in Dogs) I Gusti Ngurah Sudisma 1), Setyo Widodo 2), Dondin Sajuthi 2), Harry Soehartono 2), Putu Yudhi Arjentinia 1) 1) Bagian

Lebih terperinci

Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin Dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan

Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin Dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan Perubahan Klinik Pada Anjing Lokal Selama Teranestesi Ketamin Dengan Berbagai Dosis Premedikasi Xilazin Secara Subkutan (THE CLINICAL CHANGES IN LOCAL DOG DURING ANESTHETIZED BY KETAMINE WITH VARIOUS DOSE

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur tubuh hewan merupakan keseimbangan antara produksi panas tubuh yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan ditemukannya agen inhalasi yang baru, desflurane dan sevoflurane, muncul permasalahan baru yang dikenal dengan agitasi pulih sadar. Agitasi pulih sadar didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014

SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014 SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014 PENGERTIAN SISTEM SARAF Merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh Merupan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 56 BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan uji kuantitatif analitik yang membandingkan dua kelompok penelitian, yaitu kelompok isofluran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Induksi Anestesi Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses transisi dari sadar penuh sampai hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan suatu tindakan yang sering dilakukan pada anestesi umum untuk mengurangi atau menumpulkan respon

Lebih terperinci

SISTEM SARAF & INDRA PADA MANUSIA

SISTEM SARAF & INDRA PADA MANUSIA SISTEM SARAF & INDRA PADA MANUSIA Drs. Refli, MSc Diberikan pada Pelatihan Penguatan UN bagi Guru SMP/MTS se Provinsi NTT September 2013 Sistem Saraf Manusia ; neuron Sistem saraf PENGATUR fungsi tubuh

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Jember 2015

Fakultas Kedokteran Universitas Jember 2015 PRAKTIKUM FARMAKOLOGI OBAT MIOTIKUM DAN MIDRIATIKUM ILMU PENYAKIT MATA LAPORAN PRAKTIKUM Oleh Latifatu Choirunisa NIM 132010101013 Cahya Kusumawardani NIM 132010101030 Ngurah Agung Reza Satria Nugraha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas, menyebar, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan ini tidak memiliki objek yang

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL Tugas Anestesi FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL disusun oleh ASTRI NURFIDAYANTI 110.2004.036 FK UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 14 FEBRUARI-19 MARET 2011 DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH

Lebih terperinci

Buletin Veteriner Udayana Vol. 2 No.2. : ISSN : Agustus 2010

Buletin Veteriner Udayana Vol. 2 No.2. : ISSN : Agustus 2010 PERBANDINGAN WAKTU INDUKSI, DURASI DAN PEMULIHAN ANESTESI DENGAN PENAMBAHAN PREMEDIKASI ATROPIN-XYLAZIN DAN ATROPIN- DIAZEPAM UNTUK ANESTESI UMUM KETAMIN PADA BURUNG MERPATI (COLUMBA LIVIA) (THE COMPARISON

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keracunan merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh bahan organik ataupun bahan anorganik yang masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan tidak normalnya mekanisme

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengamatan Tingkah Laku Ikan Selama Proses Pemingsanan Pengamatan perubahan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan dilakukan setiap 15 menit dengan percobaan trial and run

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginjeksian medikasi adalah prosedur invasi yang melibatkan deposisi obat melalui jarum steril yang diinsersikan kedalam jaringan tubuh. Teknik aseptic harus dipertahankan

Lebih terperinci

REGULASI PERNAPASAN Pusat Pernapasan. Pusat pernapasan adalah beberapa kelompok neuron yang terletak di sebelah bilateral medula oblongata dan pons.

REGULASI PERNAPASAN Pusat Pernapasan. Pusat pernapasan adalah beberapa kelompok neuron yang terletak di sebelah bilateral medula oblongata dan pons. REGULASI PERNAPASAN Pusat Pernapasan Pusat pernapasan adalah beberapa kelompok neuron yang terletak di sebelah bilateral medula oblongata dan pons. Organisasi pusat pernapasan Daerah ini dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dua ruang yaitu atrium kiri (sinister) dan kanan (dexter), dan dua ventrikel sinister

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dua ruang yaitu atrium kiri (sinister) dan kanan (dexter), dan dua ventrikel sinister BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomifisiologi Jantung Anjing Secara anatomi, jantung anjing memiliki empat ruang yang terbagi atas dua ruang yaitu atrium kiri (sinister) dan kanan (dexter), dan dua ventrikel

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENGARUH ANESTESI KETAMIN- XYLAZIN DAN KETAMIN-ZOLETIL TERHADAP FISIOLOGIS KUCING LOKAL (Felis domestica) SKRIPSI

PERBANDINGAN PENGARUH ANESTESI KETAMIN- XYLAZIN DAN KETAMIN-ZOLETIL TERHADAP FISIOLOGIS KUCING LOKAL (Felis domestica) SKRIPSI PERBANDINGAN PENGARUH ANESTESI KETAMIN XYLAZIN DAN KETAMINZOLETIL TERHADAP FISIOLOGIS KUCING LOKAL (Felis domestica) SKRIPSI PRISKHA FLORANCIA PIRADE O111 10 119 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam detak per menit atau beats per minute (bpm). Frekuensi denyut jantung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam detak per menit atau beats per minute (bpm). Frekuensi denyut jantung BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fisiologis Sistem Kardiovaskuler dan Pernafasan (Kardiorespirasi) 2.1.1. Heart Rate/Frekuensi Denyut Jantung Heart rate adalah jumlah detak jantung per satuan waktu, biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Pengantar Farmakologi Kuntarti, S.Kp, M.Biomed 1 PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com 4 Istilah Dasar Obat Farmakologi Farmakologi klinik Terapeutik farmakoterapeutik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

Sistem saraf. Kurnia Eka Wijayanti

Sistem saraf. Kurnia Eka Wijayanti Sistem saraf Kurnia Eka Wijayanti Sistem saraf SSP SST Otak Medula spinalis Saraf somatik Saraf Otonom Batang otak Otak kecil Otak besar Diencephalon Mesencephalon Pons Varolii Medulla Oblongata Saraf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memori disimpan di otak dengan mengubah sensitivitas dasar transmisi hipnotis antar neuron sebagai akibat dari aktivitas neuron sebelumnya. Jaras terbaru atau yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan

Lebih terperinci

Anesty Claresta

Anesty Claresta Anesty Claresta 102011223 Skenario Seorang perempuan berusia 55 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berdebar sejak seminggu yang lalu. Keluhan berdebar ini terjadi ketika ia mengingat suaminya yang

Lebih terperinci

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar.

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar. Pengertian Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan semua kegiatan aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan, mengunyah makanan dan lainnya. Sistem Saraf tersusun dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status

BAB I PENDAHULUAN. anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evaluasi pra anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status fisik (ASA) pasien pra operatif,

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penemuan kurare oleh Harold Griffith dan Enid Johnson pada tahun 1942 merupakan tonggak bersejarah dalam perkembangan ilmu anestesi. Kurare telah memfasilitasi intubasi

Lebih terperinci

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI SISTEM SARAF SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI 1. SEL SARAF SENSORIK. 2. SEL SARAF MOTORIK. 3. SEL SARAF INTERMEDIET/ASOSIASI. Sel Saraf Sensorik Menghantarkan impuls (pesan) dari reseptor ke sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikasi tindakan seksio sesaria pada wanita hamil berkisar antara 15 sampai 20% dari seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan

Lebih terperinci

Rute Pemberian Obat. Indah Solihah

Rute Pemberian Obat. Indah Solihah Rute Pemberian Obat Indah Solihah Rute Pemberian Jalur Enteral Jalur Parenteral Enteral Oral Sublingual Bukal Rektal Oral Merupakan rute pemberian obat yg paling umum. Obat melalui rute yg paling kompleks

Lebih terperinci

Sistem Pernapasan - 2

Sistem Pernapasan - 2 Anatomi sistem pernapasan Proses inspirasi dan ekspirasi Definisi pernapasan Eksternal Internal Mekanik pernapasan Inspirasi dan ekspirasi Peran otot pernapasan Transport gas pernapasan Ventilasi, difusi,

Lebih terperinci

Sistem Saraf Tepi (perifer)

Sistem Saraf Tepi (perifer) SISTIM SYARAF TEPI Sistem Saraf Tepi (perifer) Sistem saraf tepi berfungsi menghubungkan sistem saraf pusat dengan organ-organ tubuh Berdasarkan arah impuls, saraf tepi terbagi menjadi: - Sistem saraf

Lebih terperinci

SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN

SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN RM 02.05.04.0114 Dokter Pelaksana Tindakan Penerima Informasi Penerima Informasi / Pemberi Penolakan * SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN PEMBERIAN INFORMASI JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDA ( ) 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reaksi tubuh terhadap pembedahan dapat merupakan reaksi yang ringan atau berat, lokal, atau menyeluruh. Reaksi yang menyeluruh ini melibatkan

Lebih terperinci

Kesetimbangan asam basa tubuh

Kesetimbangan asam basa tubuh Kesetimbangan asam basa tubuh dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ph normal darah Dipertahankan oleh sistem pernafasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini dikarenakan memiliki waktu mula kerja, durasi dan waktu pulih sadar yang singkat. 1,2 Disamping

Lebih terperinci

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya MAPPING CONCEPT PENGATURAN SIRKULASI Salah satu prinsip paling mendasar dari sirkulasi adalah kemampuan setiap jaringan untuk mengatur alirannya sesuai dengan kebutuhan metaboliknya. Terbagi ke dalam pengaturan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Rahmat (2008)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Rahmat (2008) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Ikan nila berasal dari Afrika bagian timur. Ikan nila memiliki bentuk tubuh yang pipih ke arah vertikal (compress). Posisi

Lebih terperinci

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral. Pengertian farmakologi sendiri adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak menyenangkan, yang kemudian ditandai oleh perasaan-perasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak menyenangkan, yang kemudian ditandai oleh perasaan-perasaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Kecemasan Dental 1.1. Definisi Kecemasan memiliki pengertian sebagai kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang kemudian ditandai oleh perasaan-perasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum

Lebih terperinci

Preoperasi dan Premedikasi Anestesi

Preoperasi dan Premedikasi Anestesi Preoperasi dan Premedikasi Anestesi Urutan Tindakan Anestesi umum Evaluasi Pre-operasi dan Persiapan Puasa (mengosongkan lambung) Premedikasi (membuat pasien tenang, tidak cemas) Mulai Anestesi (Induksi)

Lebih terperinci

Lampiran 1 Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi menurut American Society of Anaesthesiologist (ASA)

Lampiran 1 Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi menurut American Society of Anaesthesiologist (ASA) LAMPIRAN 73 74 Lampiran 1 Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi menurut American Society of Anaesthesiologist (ASA) Katagori Kondisi Fisik Contoh kondisi klinik Hewan normal (sehat klinis) Tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nekrosis merupakan proses degenerasi yang menyebabkan kerusakan sel yang terjadi setelah suplai darah hilang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan

Lebih terperinci

TINGKAT KONTROL SISTEM SARAF OTONOM

TINGKAT KONTROL SISTEM SARAF OTONOM TINGKAT KONTROL SISTEM SARAF OTONOM Sistem Saraf manusia Tubuh manusia dapat dilihat sebagai suatu sistem saraf yang dapat berubah-ubah kinerjanya bergantung antara lain pada perubahan rangsangan dari

Lebih terperinci

Cara pemberian anestesi umum ini terdiri dari beberapa cara yakni :

Cara pemberian anestesi umum ini terdiri dari beberapa cara yakni : digilib.uns.ac.id 7 Cara pemberian anestesi umum ini terdiri dari beberapa cara yakni : 1) Parenteral (intramuskuler/intravena). Diperlukan untuk tindakan-tindakan yang memerlukan waktu yang pendek dan

Lebih terperinci

BAB III PEMERIKSAAN RESPIRASI

BAB III PEMERIKSAAN RESPIRASI BAB III PEMERIKSAAN RESPIRASI A. PENDABULUAN Pernafasan dikendalikan oleh pusat pernafasan di medulla oblongata. Inspirasi terjadi akibat adanya kontraksi otot interkostal dan otot diafragma, sedang ekspirasi

Lebih terperinci

biologi SET 17 SISTEM SARAF DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. PEMBAGIAN SUSUNAN SARAF

biologi SET 17 SISTEM SARAF DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. PEMBAGIAN SUSUNAN SARAF 17 MATERI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL biologi SET 17 SISTEM SARAF Segala aktivitas tubuh manusia dikoordinasi oleh sistem saraf dan sistem hormon (endokrin). Sistem saraf bekerja atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tekanan darah merupakan faktor yang sangat penting pada sistem sirkulasi, perubahan tekanan darah akan mempengaruhi homeostasis di dalam tubuh. Tekanan darah diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 dan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih memerlukan perhatian yang serius. 1 Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendiks merupakan salah satu organ yang fungsinya belum diketahui secara pasti. Apendiks sering menimbulkan masalah kesehatan, salah satunya adalah apendisitis (Sjamsuhidayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan luar biasa terhadap mekanisme hemostasis tubuh karena jaringan di dalam mulut memiliki vaskularisasi

Lebih terperinci

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN PROPOFOL... KOMBINASI PADA INDUKSI ANESTESI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN PROPOFOL... KOMBINASI PADA INDUKSI ANESTESI 1 STUDI PENGGUNAAN PROPOFOL KOMBINASI PADA INDUKSI ANESTESI (Penelitian dilakukan di GBPT RSUD Dr. Soetomo Surabaya) FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA DEPARTEMEN FARMASI KLINIS SURABAYA 2016 STUDI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestetika Anestesi atau disebut dengan keadaan tidak peka terhadap rasa sakit, sangat berguna untuk melakukan suatu tindak pembedahan karena agar hewan tidak menderita dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. PONV juga menjadi faktor yang menghambat pasien untuk dapat segera

BAB 1 PENDAHULUAN. PONV juga menjadi faktor yang menghambat pasien untuk dapat segera A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Mual dan muntah pascaoperasi (Postoperative Nausea and Vomiting / PONV) masih merupakan komplikasi yang sering dijumpai setelah pembedahan. PONV juga menjadi faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas motorik atau pergerakan yang normal sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari (Miller, 2011). Gerak adalah suatu proses

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci