Halaman Ini Sengaja Dikosongkan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Halaman Ini Sengaja Dikosongkan"

Transkripsi

1 1

2 Halaman Ini Sengaja Dikosongkan 2

3 Catch up: Seberapa Jauh Indonesia Memiliki Bekal untuk Mengejar Negara-negara Maju Tim Penulis: Akhmad Akbar Susamto Nanang Pamudji Mugasejati Tri Widodo Ma ruful Musthofa Amiadji Nur Kamil Martha Hindriyani 3

4 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta ala bahwa kami dapat mempublikasikan laporan Catch Up: Seberapa Jauh Indonesia Memiliki Bekal untuk Mengejar Negara-negara Maju 2013/2014. Laporan ini merupakan laporan pertama Kelompok Kerja Daya Saing Indonesia, Universitas Gadjah Mada yang insya Allah akan segera disusul dengan laporan-laporan lain terkait dengan daya saing Indonesia. Tentu saja bukan tanpa alasan bila kami memilih laporan Catch Up sebagai laporan yang pertama. Ibarat perjalanan, kami ingin mengawalinya dengan pemahaman tentang di mana posisi berpijak saat ini dan baru kemudian memetakan arah dan jalan terbaik untuk mencapai lokasi tujuan. Sebelum melangkah dengan laporan-laporan lain tentang strategi dan kebijakan untuk mengejar negara-negara maju, kami ingin terlebih dahulu memastikan di mana posisi Indonesia di tengah perekonomian global. Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut serta mendukung penulisan laporan ini. Harapan kami, semoga laporan ini dapat bermanfaat. Selamat membaca. Yogyakarta, 18 Maret 2014 Akhmad Akbar Susamto Koordinator KKDSI i

5 RANGKUMAN EKSEKUTIF Meskipun berhasil mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 6 persen per tahun, tetapi Indonesia masih termasuk kelompok negara berpendapatan menengah bawah (World Bank, 2013). Berdasarkan prediksi sejumlah ekonom, Indonesia akan segera masuk dalam jebakan pendapatan menengah atau middle income trap (Felipe, Abdon dan Kumar, 2012). Jebakan pendapatan menengah adalah fenomena yang terjadi ketika sebuah negara berpendapatan rendah berhasil masuk ke kelompok pendapatan menengah, tetapi kemudian tertahan di kelompok tersebut dalam kurun waktu lama dan tidak dapat melakukan lompatan untuk masuk ke kelompok negara-negara berpendapatan tinggi. Pada saat yang sama, Indonesia tengah memasuki arus besar keterbukaan ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas. Indonesia telah meratifikasi keikutsertaan dalam World Trade Organization (WTO) dan organisasi-organisasi perdagangan lain yang lebih spesifik. Indonesia, dengan demikian, harus menerima prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang disepakati dalam organisasi-organisasi tersebut, termasuk aturan-aturan tentang penghapusan proteksi dan hambatan perdagangan. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa jauh Indonesia siap mengatasi middle income trap di tengah keterbukaan ekonomi dan perdagangan bebas? Lebih khusus lagi, seberapa jauh Indonesia memiliki bekal berupa faktor-faktor yang memungkinkannya mengejar negara-negara maju? Laporan ini bertujuan untuk mengukur dan memetakan catch up enabling factors yang dimiliki Indonesia. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif menggunakan catch up index yang juga melibatkan 49 negara lain sebagai pembanding. Indeks tersebut mencakup sembilan komponen, yaitu: (1) Capaian dasar kesejahteraan sosial; (2) Capaian makroekonomi; (3) Kapasitas infrastruktur; (4) Kapasitas teknologi; (5) Kapabilitas inovasi; (6) Kapabilitas kelembagaan; (7) Kinerja dunia usaha; (8) Keberlanjutan; dan (9) Kemandirian. Komponen-komponen tersebut selanjutnya mencakup sub-subkomponen dan sejumlah indikator. Perhitungan indeks dilakukan dengan terlebih dahulu membagi bobot total secara merata kepada setiap komponen. Kemudian, bobot untuk masing-masing komponen tersebut dibagi lagi secara merata kepada tiap-tiap subkomponen. Melalui cara ini, semua komponen atau subkomponen akan memiliki kontribusi yang sama, meskipun jumlah indikator yang tercakup di dalamnya berbedabeda. Untuk kepentingan agregasi, nilai setiap indikator distandardisasi menggunakan rumus yang relevan. Nilai indeks untuk subkomponen tertentu merupakan rata-rata nilai standar dari semua indikator yang tercakup dalam subkomponen tersebut. Begitu juga, nilai indeks untuk komponen tertentu merupakan rata-rata nilai indeks dari subkomponen-subkomponen di dalamnya. Terakhir, nilai indeks secara keseluruhan merupakan rata-rata dari nilai indeks semua komponen. Berdasarkan hasil perhitungan indeks secara keseluruhan, Indonesia berada pada peringkat ke-44 dari 50 negara. Di antara 20 negara anggota G-20 selain Uni Eropa, Indonesia hanya unggul atas satu negara, yaitu India. Di antara negara-negara Asia selain anggota G-20, Indonesia juga masih unggul atas Filipina. Namun, Indonesia kalah jauh dari negara-negara Asia yang lain, termasuk Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. ii

6 DAFTAR ISI Kata Pengantar i Rangkuman Eksekutif ii Daftar Isi iii Catch Up: Seberapa Jauh Indonesia Memiliki Bekal untuk Mengejar Negara-negara Maju? 1 Pendahuluan 1 Kerangka Teori 2 Metodologi 5 Posisi Indonesia Secara Umum 8 Detail Posisi Indonesia untuk Tiap-tiap Komponen dan Subkomponen 10 Kesimpulan 18 Daftar Pustaka 19 Lampiran A: Posisi Indonesia Masing-masing Subkomponen dan Indikator 24 Lampiran B: Penjelasan Indikator beserta Sumbernya 92 Tentang Penulis 104 iii

7 CATCH UP: SEBERAPA JAUH INDONESIA MEMILIKI BEKAL UNTUK MENGEJAR NEGARA-NEGARA MAJU? PENDAHULUAN Meskipun berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 6 persen per tahun dalam beberapa tahun terakhir, tetapi dengan pendapatan nasional per kapita (GNI per capita) antara US$ 1,036 hingga US$ 4,085, Indonesia masih termasuk kelompok negara berpendapatan menengah bawah (World Bank, 2013). 1 Indonesia berada pada kelompok tersebut bersama sejumlah negara lain, seperti Filipina, Vietnam, Mesir dan Nigeria. Berdasarkan prediksi sejumlah ekonom, Indonesia akan segera masuk dalam jebakan pendapatan menengah atau middle income trap (Felipe, Abdon dan Kumar, 2012). Jebakan pendapatan menengah adalah fenomena yang terjadi ketika sebuah negara yang pada awalnya berpendapatan rendah berhasil masuk ke kelompok pendapatan menengah, tetapi kemudian tertahan di kelompok tersebut dalam kurun waktu yang lama dan tidak bisa melakukan lompatan untuk masuk ke kelompok negara-negara berpendapatan tinggi. Pada saat yang sama, Indonesia tengah memasuki arus besar keterbukaan ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas. Melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1994, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Marrakech tentang pembentukan dan keikutsertaan dalam World Trade Organization (WTO). Melalui beberapa peraturan perundangundangan yang lain, Indonesia juga telah meratifikasi keikutsertaan dalam organisasiorganisasi perdagangan yang lebih spesifik, seperti Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN Korea Free Trade Area dan ASEAN-Australia- New Zealand Free Trade Area. Indonesia, dengan demikian, harus menerima prinsipprinsip dan aturan-aturan yang disepakati dalam organisasi-organisasi tersebut, termasuk aturan-aturan tentang penghapusan proteksi dan hambatan perdagangan dalam bentuk tarif dan non tarif. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa jauh Indonesia siap mengatasi middle income trap di tengah era keterbukaan ekonomi dan perdagangan bebas? Lebih khusus lagi, seberapa jauh Indonesia memiliki bekal berupa faktorfaktor yang akan memungkinkannya mengurangi ketertinggalan dari negara-negara maju? Laporan ini bertujuan untuk mengukur dan memetakan catch up enabling factors yang dimiliki oleh Indonesia. Pengukuran bersifat komparatif dan dilakukan secara kuantitatif 1 Menurut klasifikasi World Bank, negara-negara di dunia dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: (1) Negaranegara berpendapatan rendah; (2) Negara-negara berpendapatan menengah bawah; (3) Negara-negara berpendapatan menengah atas; dan (4) Negara-negara berpendapatan tinggi. 1

8 menggunakan sebuah indeks komposit yang juga melibatkan 49 negara lain sebagai pembanding. Sesuai fungsinya, indeks komposit tersebut selanjutnya diberi nama Indonesia catch up index. KERANGKA TEORI Di dalam laporan ini, terminologi catch up merujuk pada kemampuan suatu negara untuk mengejar negara-negara lain yang telah maju dengan meningkatkan produktivitas dan pendapatan per kapita. Pengertian tersebut mirip dengan pengertian yang diberikan oleh Fagerberg dan Godinho (2005, hal. 514), tetapi berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Gomulka (1987, hal 379) yang mengidentikkan catch up hanya dengan isu teknologi. Terdapat paling tidak dua kerangka teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan kemampuan negara-negara terbelakang mengejar negara-negara maju. Pertama, teori pertumbuhan ekonomi. Sejak awal tahun 1950-an hingga beberapa dekade kemudian, analisis pertumbuhan ekonomi didominasi oleh model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang dipopulerkan oleh Solow (1956). Model ini mengasumsikan bahwa tingkat output ditentukan oleh kapital dan tenaga kerja, di mana keduanya saling berinteraksi pada tingkat teknologi tertentu. 2 Dalam jangka pendek, tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dapat dicapai dengan meningkatkan efisiensi penggunaan kapital dan tenaga kerja. Dalam jangka panjang, tiap-tiap negara akan diuntungkan oleh akumulasi kapital hingga suatu saat mencapai jalur pertumbuhan optimal dan stabil yang dikenal sebagai steady state. Saat itu, akumulasi kapital tak lagi menentukan. Rasio kapital-tenaga kerja konstan sepanjang waktu dan, sesuai hukum diminishing return, kontribusi kapital dalam produksi akan semakin kecil. Karena negara-negara terbelakang pada umumnya mempunyai rasio kapital-tenaga kerja yang jauh lebih kecil dibandingkan tingkat optimal jangka panjang mereka, maka tingkat pengembalian investasi kapital di negara-negara terbelakang akan lebih tinggi dari tingkat pengembalian di negara-negara maju. Oleh karena itu, negaranegara terbelakang akan tumbuh lebih cepat mengejar produktivitas dan pendapatan per kapita negara-negara maju. Dengan kata lain, akan terjadi proses catch up yang memungkinkan konvergensi antara negara-negara terbelakang dan negara-negara maju. Temuan-temuan dari riset-riset empiris menunjukkan bahwa prediksi Solow (1956) di atas salah (Barro dan Sala-i-Martin, 1992; Mankiw, Romer dan Weil, 1992). Alih-alih konvergensi, yang terjadi adalah divergensi produktivitas dan pendapatan per kapita di antara negaranegara ter-belakang dan negara-negara maju (Barro, 1997; Pritchett, 1997; Jones 1997). Tidak mengherankan bila kemudian model pertumbuhan neoklasik ditinggalkan oleh para ekonom. Terlebih, dengan berkembangnya pandangan-pandangan alternatif yang didasarkan pada model pertumbuhan ekonomi baru atau pertumbuhan endogen. Model pertumbuhan endogen (Romer, 1986; Lucas, 1988) mengkoreksi cara pandang neoklasik dengan memberikan penekanan pada pentingnya teknologi endogen sebagai penentu pertumbuhan ekonomi dalam jangka 2 Teknologi dalam hal ini tidak memiliki makna fisik (misalnya alat atau mesin produksi tertentu), tetapi lebih merupakan pengetahuan tentang bagaimana melakukan atau memproduksi sesuatu dengan cara yang paling efisien. 2

9 panjang. Berbeda dengan kapital yang mengikuti hukum diminishing return, teknologi bersifat non-rivalry sehingga mengikuti hukum increasing return. Penambahan tenaga kerja hingga berapa pun tidak akan menghalangi kemungkinan pemanfaatan teknologi oleh tenaga kerja sebelumnya. Penambahan tenaga kerja, dengan demikian, tidak mengurangi kontribusi teknologi, tetapi sebaliknya, justru melipatgandakan tingkat output. Hanya saja, tidak semua teknologi terwujud secara eksplisit. Sebagian besar teknologi bukan hanya tidak terdokumentasi, melainkan juga tacit (Nonaka dan Takeuchi, 1995) sehingga biaya transfer atau pengalihannya kepada individu-individu atau negara-negara lain bisa sangat mahal (Antonelli, 1995). Oleh karena itu, menurut model pertumbuhan endogen, baik negara-negara terbelakang maupun negara-negara maju tumbuh sesuai jalur masing-masing. Konvergensi, meskipun mungkin (Ortigueira dan Santos, 1996), tetapi tidak akan terjadi dengan sendirinya dan bergantung pada kemampuan tiap-tiap negara memajukan dan mengkombinasikan teknologi dengan faktor-faktor lain. Dengan kata lain, seberapa jauh negara-negara terbelakang mampu tumbuh lebih cepat dan mengejar negara-negara maju akan tergantung pada banyak aspek. Di antaranya adalah capaian kesejahteraan sosial saat ini, seperti tingkat harapan hidup dan kesehatan, keterbebasan dari kelaparan, kemiskinan dan kesenjangan, pendidikan dasar dan menengah. Tingkat harapan hidup dan kesehatan merupakan kunci keberlangsungan sebuah negara. Keterbebasan dari kelaparan, kemiskinan dan kesenjangan tidak hanya menunjukkan terpenuhinya kebutuhan dasar, tetapi juga berkurangnya masalah-masalah yang dapat membatasi ruang gerak pemerintah dalam mengambil kebijakan (Stiglitz, 2009; Rajan, 2010). Sementara, pendidikan dasar dan menengah merupakan fondasi bagi sebuah perekonomian untuk tumbuh dan berkembang (Mincer, 1974; Psacharopoulos, 1994; Hanushek dan Kimko, 2000). Fischer (1993), Bruno dan Easterly (1998) dan banyak pakar lain pernah menekankan pentingnya capaian makroekonomi, seperti produk domestik bruto (PDB), stabilitas harga dan tingkat pengangguran bagi pertumbuhan jangka panjang. Total PDB menunjukkan ukuran perekonomian. Stabilitas harga memberikan kepastian bagi para pelaku ekonomi, baik dalam menyusun rencana ekonomi maupun mengalokasikan sumberdaya. Ketidakstabilan akan meningkatkan ketidakpastian investasi dan menimbulkan biaya yang tinggi sehingga menghalangi pertumbuhan (Barro, 2013). Lebih dari itu, ketika pertumbuhan didasarkan pada proses learning by doing, ketidakstabilan jangka pendek juga dapat mengurangi akumulasi sumberdaya manusia dan, oleh karenanya, juga mengurangi laju pertumbuhan ekonomi (Martin dan Rogers, 2000). Tingkat pengangangguran bukan hanya menunjukkan banyaknya sumber daya yang tidak produktif (Pissarides, 1992), melainkan juga permintaan agregat yang lebih rendah. Ketika tingkat pengangguran rendah, banyak orang yang bekerja dan memperoleh pendapatan sehingga mampu membeli barang dan jasa yang diinginkan. Di samping itu, tingkat pengangguran yang rendah juga menaikkan jumlah tabungan dan menambah dana yang tersedia untuk investasi (Bean dan Pissarides, 1993). Kapasitas infrastruktur dan teknologi juga mempengaruhi kemampuan perekonomian sebuah negara untuk tumbuh lebih cepat (Barro, 1990). Infrastruktur transportasi, baik 3

10 transportasi darat, laut maupun udara, tidak hanya memungkinkan pergerakan manusia dan barang, tetapi juga memfasilitasi pengurangan kesenjangan harga antarwilayah dan merangsang tumbuh dan berkembangnya aktivitas-aktivitas ekonomi baru (trade follows the ships). (Aschauer, 1989; Banerjee, Duflo dan Qian, 2012). Infrastruktur komunikasi dan informasi memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif dan pertukaran informasi secara cepat sehingga berpotensi mendorong peningkatan produktivitas dan pertumbuhan output (Brynjolfsson dan Yang, 1996; Roller dan Waverman, 2001; Jorgenson dan Vu, 2007). Sementara, infrastruktur energi memungkinkan terpenuhinya salah satu kebutuhan input paling utama bagi pelaku usaha dan masyarakat. Peran penting inovasi telah banyak dibahas dalam literatur ekonomi (Aghion dan Howitt, 1992; Griliches, 1994). Inovasi yang berlangsung terus-menerus bukan hanya akan menciptakan peluang-peluang keuntungan baru, melainkan juga memberikan rongrongan bagi keseimbang-an perekonomian sehingga perekonomian dapat terus bergerak dan tumbuh (Schumpeter, 1942). Temuan-temuan empiris membuktikan bahwa negara-negara yang memiliki kapabilitas inovasi lebih tinggi cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan negara-negara lain yang memiliki kapabilitas inovasi rendah (Jones dan Williams, 1998; Griffith, Redding dan Van Reenen, 2000). Seberapa jauh negara-negara terbelakang mampu tumbuh lebih cepat juga bergantung pada kemampuan mereka untuk menciptakan kelembagaan yang baik (North, 1990). Stabilitas politik dan keamanan, penegakan hukum, tata pemerintahan yang efektif dan regulasi yang tepat akan memfasilitasi pembangunan sektor bisnis dan pertumbuhan makroekonomi (Knack and Keefer, 1995; Easterly, 2001). Kualitas kelembagaan yang baik juga akan menarik investasi, terutama di negara berkembang dan negara dalam transisi perekonomian (Globerman dan Shapiro, 2002; Stern, 2003) sehingga dapat mempercepat laju pertumbuhan. Kelembagaan sebagaimana dimaksud North (1990) tidak hanya merujuk pada sektor publik, tetapi juga sektor swasta. Sebagai contoh adalah kewirausahaan. Negara-negara yang berhasil membangun tradisi kewirausahaan akan memperoleh keuntungan dapat bentuk penciptaan lapangan pekerjaan, penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi (Chell dan Ozkan, 2010; Chang, 2011). Di samping itu, juga ada kelembagaan ketenagakerjaan. Kelembagaan ketenagakerjaan yang baik akan menciptakan hubungan yang harmonis antara pengusaha dan buruh dan menopang peningkatan produktivitas (Freeman, 2003; Chen, Chen dan Wang, 2011). Kelembagaan pasar juga sangat penting, terutama karena karakteristik pasar menentukan bagaimana para pelaku ekonomi berinteraksi satu dengan yang lain. Ukuran pasar yang besar akan memungkinkan tercapainya economies of scale. Sebaliknya, ukuran pasar yang kecil akan mengurangi minat pengusaha untuk berinvestasi dan berproduksi. Kelembagaan jasa keuangan juga berperan besar dalam menentukan kemajuan perekonomian (Beck, Levine dan Loayza, 2000; Levine, 2005). Jasa keuangan yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan seperti bank, asuransi dan perusahaan pembiayaan membantu masyarakat dalam menyimpan uang, mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan efisiensi. Jasa keuangan yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan tersebut juga dapat mengurangi kerentanan masyarakat 4

11 miskin dan memudahkan mereka untuk mengatur aset yang dimiliki. Di luar semua aspek di atas, kemampuan negara-negara terbelakang untuk tumbuh dalam jangka panjang juga bergantung pada kemampuan mereka untuk memperhatikan aspek lingkungan (Bovenberg dan Smulders, 1995; Taylor dan Brock, 2006). Tanpa memperhatikan keselarasan antara manusia dengan alam dan keseimbangan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang, maka kemajuan ekonomi apapun yang dicapai tidak akan berkelanjutan. Kerangka teori kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan kemampuan negara-negara terbelakang mengejar negara-negara maju berasal dari literatur tentang industrialisasi yang terlambat. Pakar sejarah ekonomi, Gerschenkron (1962), berpendapat bahwa negara-negara yang berbeda akan mengalami pengalaman industrialisasi yang berbeda tergantung pada tingkat keterbelakangan ekonomi mereka ketika industrialisasi dimulai. Pendapat ini merupakan bantahan terhadap teori Rostow (1960) yang membagi proses pertumbuhan ekonomi menjadi lima tahap, yaitu masyarakat tradisional, prasyarat untuk tinggal landas, tinggal landas, menuju kedewasaan dan masa konsumsi tinggi. Negara-negara terbelakang yang masih tradisional memang pada umumnya tak memiliki prasyarat untuk tinggal landas. Bukan hanya kapital, mereka juga kekurangan tenaga kerja terampil, pengetahuan dan teknologi. Namun, tak berarti bahwa negara-negara tersebut tidak mempunyai peluang untuk maju. Menurut Gerschenkron (1962), negara-negara terbelakang dapat mengkompensasi prasyarat yang tak mereka miliki melalui penguasaan teknologi dan penataan kelembagaan yang efektif yang memungkinkan mereka untuk melompat ke tahap-tahap pertumbuhan selanjutnya dan mengejar negara-negara maju. Dalam hal ini, kemampuan tiap-tiap negara untuk menguasai teknologi dan membangun kelem-bagaan yang efektif akan berbeda-beda. Perbedaan tersebut antara lain terkait dengan dua konsep utama, yaitu kesesuaian teknologi dan kapabilitas sosial (Abramovitz, 1994). Tiaptiap negara perlu mempertimbangkan posisi mereka, apakah sebagai leader atau follower, dan memilih teknologi yang tepat sesuai dengan karakteristik negara yang bersangkutan. Pemilihan teknologi yang sesuai akan memudahkan upaya suatu negara untuk menguasai teknologi sekaligus mengembangkannya di masa datang. Sementara, kapabilitas sosial menyangkut banyak aspek, mulai dari capaian sosial ekonomi saat ini, kapasitas infrastruktur, kapasitas teknologi, kapabilitas inovasi dan kelembagaan, hingga kinerja dunia usaha. METODOLOGI Konsisten dengan kerangka teori di atas, Indonesia catch up index di dalam laporan ini mencakup delapan komponen, yaitu: (1) Capaian dasar kesejahteraan sosial; (2) Capaian makroekonomi; (3) Kapasitas infrastruktur; (4) Kapasitas teknologi; (5) Kapabilitas inovasi; (6) Kapabilitas kelembagaan; (7) Kinerja dunia usaha; dan (8) Keberlanjutan. Di samping itu, Indonesia catch up index juga mencakup satu komponen tambahan, yaitu: (9) Kemandirian. Komponen-komponen tersebut selanjutnya mencakup beberapa subkomponen dan sejumlah indikator. Seperti tampak pada Gambar 1, capaian dasar kesejahteraan sosial terdiri dari tiga subkomponen, yaitu: (1) Tingkat harapan hidup dan 5

12 kesehatan; (2) Keterbebasan dari kelaparan, kemiskinan, dan kesenjangan; dan (3) Pendidikan dasar dan menengah. Capaian makroekonomi mencakup tiga subkomponen, yaitu: (1) Produk domestik bruto dan tingkat pertumbuhan ekonomi; (2) Stabilitas ekonomi; dan (3) Tingkat pengangguran. Kapasitas infrastruktur terdiri dari tiga subkomponen, yaitu: (1) Infrastruktur perhubungan; (2) Infrastruktur komunikasi dan informasi; dan (3) Infrastruktur energi. Kapasitas teknologi terdiri dari subkomponen penguasaan teknologi baru. Kapabilitas inovasi mencakup dua subkomponen, yaitu: (1) Ketersediaan sumberdaya manusia ahli; dan (2) Intensitas penelitian dan pengembangan. Kapabilitas kelembagaan mencakup empat sub komponen, yaitu: (1) Penciptaan stabilitas politik dan keamanan; (2) Penegakan hukum; (3) Tata pemerintahan; dan (4) Efisiensi birokrasi. Kinerja dunia usaha terdiri dari enam subkomponen, yaitu: (1) Bisnis dan Kewirausahaan; (2) Hubungan ketenagakerjaan; (3) Produktivitas; (4) Karakteristik pasar; dan (5) Layanan keuangan; dan (6) Beban pajak. Sementara, keberlanjutan meliputi empat subkomponen, yaitu: (1) Pelestarian sumberdaya udara; (2) Pelestarian sumberdaya air; (3) Pelestarian sumberdaya lahan; (4) Pelestarian sumberdaya energi. Terakhir, kemandirian meliputi empat subkomponen, yaitu: (1) Ketidakbergantungan terhadap bantuan luar negeri; (2) Ketidaktergantungan terhadap utang luar negeri; (3) Ketidaktergantungan terhadap produk impor; dan (4) Daya pengaruh diplomasi. Jumlah indikator untuk masingmasing komponen ditentukan oleh karakteristik komponen yang bersangkutan dan ketersediaan data. Dalam hal ini, data yang digunakan berasal dari berbagai sumber sekunder, di antaranya World Bank, International Monetary Funds (IMF), World Economic Forum (WEF), United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), dan United Nation Development Programme (UNDP). 6

13 Gambar 1: Penjabaran Komponen dan Subkomponen Penyusun Indonesia Catch Up Index 7

14 Perhitungan indeks dilakukan dengan terlebih dahulu membagi bobot total secara merata kepada setiap komponen. Kemudian, bobot untuk masing-masing komponen tersebut dibagi lagi secara merata kepada subsubkomponen. Melalui cara ini, semua komponen atau subkomponen akan memiliki kontribusi yang sama di dalam indeks, meskipun jumlah indikator yang tercakup di dalamnya berbeda-beda. Untuk kepentingan agregasi, nilai setiap indikator distandardisasi menggunakan rumus (x x )2 s = N dan x x (nilai standar) i = s Di mana s = standar deviasi x = nilai indikator x = nilai rata-rata indikator seluruh negara yang diteliti N = jumlah negara yang diteliti Disamping Indonesia, 49 negara lain yang dilibatkan dalam perhitungan indeks adalah negara dengan leader di kawasan masingmasing dan termasuk negara-negara dengan perekonomian utama di dunia. Untuk kasus-kasus khusus di mana data sebuah negara tidak tersedia, nilai standar negara tersebut diganti dengan rata-rata nilai standar pada indikator terkait. Nilai indeks untuk subkomponen tertentu merupakan rata-rata nilai standar dari semua indikator yang tercakup dalam subkomponen tersebut. Begitu juga, nilai indeks untuk komponen tertentu merupakan rata-rata nilai indeks dari subkomponen-subkomponen di dalamnya. Terakhir, nilai indeks secara keseluruhan merupakan rata-rata dari nilai indeks semua komponen. Nilai indeks untuk subkomponen dan komponen tersebut kemudian disajikan dalam skala menggunakan teknik rescaling. Transformasi rescaling dilakukan sesuai rumus Rescaling: 100 (I max I min ). (I (I min)) I merupakan nilai indeks sehingga negara dengan nilai indeks tertinggi akan memiliki nilai 100, sedangkan negara yang memiliki nilai indeks terendah akan memiliki nilai 0. POSISI INDONESIA SECARA UMUM Berdasarkan hasil perhitungan indeks secara keseluruhan, Indonesia berada pada peringkat ke-44 dari 50 negara. Peringkat pertama hingga ketiga ditempati oleh Amerika Serikat, Jepang dan Swedia, sementara peringkat keempat hingga ketujuh masing-masing ditempati oleh Norwegia, Finlandia, Jerman dan Korea Selatan. Di antara 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia atau G-20, Indonesia berada pada peringkat ke-19, atau unggul atas satu negara, yaitu India. Di antara negara-negara Asia selain anggota G-20, Indonesia juga unggul atas Filipina. Namun, Indonesia kalah jauh dari negara-negara Asia yang lain, termasuk negaranegara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Singapura berada pada peringkat kesembilan, Malaysia berada pada peringkat ke-29, Thailand berada pada peringkat ke-34, dan Vietnam berada pada peringkat ke-41. 8

15 Gambar 2: Peringkat Index Catch Up Secara Keseluruhan Peringkat Negara Nilai Amerika Serikat 0, Jepang 0,709 92,74 3 Swedia 0,661 90,60 4 Norwegia 0,659 90,49 5 Finlandia 0,655 90,31 6 Jerman 0,601 87,92 7 Korea Selatan 0,545 85,44 8 Swiss 0,542 85,31 9 Singapura 0,524 84,53 10 Australia 0,520 84,34 11 Denmark 0,503 83,59 12 Kanada 0,472 82,20 13 Austria 0,453 81,35 14 Selandia Baru 0,430 80,34 15 Perancis 0,411 79,50 16 Inggris 0,387 78,44 17 Belanda 0,386 78,37 18 Belgia 0,340 76,33 19 Republik Ceko 0,298 74,48 20 Hong Kong 0,292 74,22 21 Spanyol 0,196 69,96 22 Italia 0,139 67,41 23 Polandia 0,086 65,07 24 Portugal -0,017 60,51 25 Arab Saudi -0,037 59,60 26 Chili -0,043 59,36 27 Rusia -0,095 57,05 28 Rumania -0,140 55,06 29 Malaysia -0,146 54,80 30 Kazakhstan -0,159 54,20 31 Ukraina -0,200 52,36 32 Turki -0,225 51,27 33 RRC (China) -0,226 51,22 34 Thailand -0,228 51,14 35 Argentina -0,319 47,09 36 Mesir -0,325 46,83 37 Brasil -0,366 44,99 38 Iran -0,395 43,71 39 Meksiko -0,426 42,34 40 Aljazair -0,470 40,38 41 Vietnam -0,480 39,95 42 Venezuela -0,492 39,42 43 Afrika Selatan -0,523 38,04 44 Indonesia -0,530 37,72 45 Filipina -0,539 37,31 46 Peru -0,577 35,63 47 Kolombia -0,614 33,99 48 India -0,670 31,51 49 Nigeria -1, Kenya -1,

16 DETAIL POSISI INDONESIA UNTUK TIAP-TIAP KOMPONEN DAN SUBKOMPONEN Dilihat dari masing-masing komponen, capaian dasar kesejahteraan sosial Indonesia berada pada peringkat ke-41 dari 50 negara. Peringkat tersebut mencerminkan agregasi tiga subkomponen, yaitu harapan hidup dan kesehatan di mana Indonesia menempati urutan ke-45, keterbebasan dari kelaparan, kemisikinan, dan kesenjangan di mana Indonesia menempati urutan ke-41, dan pendidikan dasar dan menengah di mana Indonesia menempati urutan ke-42. Permasalahan utama terkait dengan kesejahteraan antara lain tingginya angka kematian bayi yaitu 25 bayi per 1000 kelahiran (WHO, 2013) serta persentase penduduk yang kurang gizi mencapai sekitar 8,6 persen (World Bank, 2011). Kebutuhan dasar seperti ketersediaan air minum yang berkualitas menurut standar MDG s baru dapat diakses oleh 84 persen penduduk (United Nations, 2011). Indikator fasilitas sanitasi yang memadai juga tidak lebih baik, persentase penduduk yang dapat mengakses sanitasi masih dibawah 60 persen (United Nations, 2011). Sementara dibidang pendidikan, untuk pendidikan dasar sudah menunjukkan persentase yang baik, dengan angka partisipasi pendidikan dasar sebesar 95,8 persen (WEF, 2013) dan angka melek huruf 92,8 persen (UNDP, 2013). Tetapi angka partisipasi pendidikan menengah dan penduduk dengan lulusan pendidikan menengah masih tergolong rendah yakni masingmasing 80,7 (WEF, 2013) dan 41,4 persen (UNDP, 2013). Hal ini berimplikasi pada rendahnya peringkat subkomponen pendidikan dasar dan menengah secara keseluruhan. Gambar 3: Peringkat Capaian Dasar Kesejahteraan Sosial Peringkat Negara Indeks Skala Jepang Norwegia Finlandia Swedia Republik Ceko Jerman Austria Denmark Belgia Ukraina Belanda Perancis Swiss Spanyol Kanada Korea Selatan Australia Selandia Baru Polandia Italia Inggris Singapura Kazakhstan Hong Kong Mesir Portugal Amerika Serikat Arab Saudi Rumania Iran Turki Argentina Rusia Malaysia Chili Thailand Vietnam Venezuela Aljazair Meksiko Indonesia RRC (China) Brasil Filipina Peru Kolombia India Afrika Selatan Nigeria Kenya

17 Capaian makroekonomi Indonesia berada pada peringkat ke-36. Peringkat ini ditopang terutama oleh subkomponen Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi, di mana untuk subkomponen tersebut Indonesia berada pada urutan ke-19. Data menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan PDB terbesar ke-16 di dunia. Tahun 2013, nilai PDB nominal Indonesia mencapai US$ 867,47 miliar (IMF). Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi ke-7 di dunia, dengan laju pertumbuhan PDB riil per tahun mencapai 5,3 persen (IMF, 2013). Hanya saja, mengingat jumlah penduduk yang besar, PDB per kapita Indonesia masih sekitar US$ 3.498,51 (IMF, 2013) dan menempati urutan ke-44 dari 50 negara. Untuk subkomponen stabilitas ekonomi, Indonesia berada pada peringkat ke-24. Stabilitas ekonomi Indonesia ditunjukkan oleh laju inflasi tahunan yang terjaga dalam koridor single digit sebesar 7,2 persen (IMF, 2013) dan perubahan nilai tukar riil efektif tahunan yang hanya sekitar -1,3 persen (Moody s, 2011). Sementara, untuk subkomponen tingkat pengangguran, Indonesia berada pada peringkat ke-46. Berdasarkan data International Labor Organization (2013), rasio jumlah pengangguran terhadap total angkatan kerja di Indonesia hanya sekitar 6,6 persen dan berada pada peringkat ke-22. Namun, rasio jumlah tenaga kerja rentan menganggur terhadap total orang bekerja mencapai 57,2 persen dan menempati peringkat ke-42. Kapasitas Infrastruktur Indonesia berada pada urutan ke-47. Peringkat yang rendah ini merupakan konsekuensi dari rendahnya pe- Gambar 4:Peringkat Capaian Makroekonomi Peringkat Negara Nilai Skala Norwegia Swiss Amerika Serikat Jepang RRC (China) Jerman Australia Singapura Swedia Austria Hong Kong Denmark Belanda Perancis Brasil Kanada Korea Selatan Belgia Malaysia Finlandia Rusia Meksiko Selandia Baru Kazakhstan Republik Ceko Rumania Inggris Chili Arab Saudi Polandia Thailand Italia Kenya Filipina Ukraina Indonesia Aljazair Vietnam Peru Argentina Portugal Afrika Selatan Kolombia Turki Nigeria Mesir Spanyol India Venezuela Iran

18 ringkat Indonesia untuk masing-masing subkomponen, yaitu ke-47 untuk infrastruktur perhubungan, ke-45 untuk infrastruktur komunikasi dan informasi, dan ke-48 untuk infrastruktur energi. Kapasitas infrastruktur perhubungan Indonesia, baik perhubungan darat, laut, maupun udara sejauh ini belum sebanding dengan luas wilayah dan jumlah penduduk. Data menunjukkan bahwa rasio panjang jalan terhadap luas wilayah Indonesia sekitar 25 km per 100 km 2 (World Bank, 2009) dan panjang jalan per populasi sekitar 0,002 km per seribu penduduk. Dengan rasio dan panjang jalan per populasi tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke- 31 dan ke-43. Rasio panjang rel kereta api terhadap luas wilayah Indonesia sekitar 2 meter per km 2 dan panjang rel kereta api per populasi sekitar 10 meter per seribu penduduk. Dengan nilai-nilai tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-43 dan ke-48. Rasio jumlah bandara terhadap luas wilayah Indonesia sekitar 4 perseribu per km 2 dan jumlah bandara per populasi sekitar 0,003 per seribu penduduk menempatkan Indonesia pada urutan ke-29 dan ke-35. Sementara, nilai indeks konektivitas laut Indonesia sebesar 27,41 (UNCTAD, 2013) dan berada pada peringkat ke-35. Terkait dengan infrastruktur komunikasi dan informasi, hingga tahun 2012, jumlah jaringan telepon kabel aktif di Indonesia mencapai 15,5 jaringan per seratus penduduk (WEF, 2013), pengguna telepon selular mencapai 115,20 pengguna per seratus penduduk (World Bank, 2013), dan pengguna internet mencapai 15,4 per seratus penduduk (World Bank, 2013). Dengan angka-angka tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-39, ke-28 dan ke-48 dalam tangga masing-masing indikator. Kecepatan international internet bandwich Indonesia saat ini sekitar 17,2 kbps per- Gambar 5: Peringkat Kapasitas Infrastruktur Peringkat Negara Nilai Skala Singapura Hong Kong Swedia Kanada Amerika Serikat Belgia Finlandia Belanda Jerman Inggris Swiss Norwegia Perancis Australia Korea Selatan Denmark Selandia Baru Austria Republik Ceko Arab Saudi Rusia Italia Kazakhstan Jepang Spanyol Polandia Portugal Argentina Malaysia Chili Ukraina Rumania Brasil RRC (China) Venezuela Iran Meksiko Afrika Selatan Turki Vietnam Kolombia Mesir Thailand Aljazair Peru Filipina Indonesia India Nigeria Kenya

19 pengguna (WEF, 2013) dan berada pada peringkat ke-36. Kapasitas infrastruktur energi Indonesia yang rendah ditunjukkan oleh terbatasnya ketersediaan jaringan listrik dan total energi primer per kapita. Dengan 25 persen penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap jaringan listrik (world Bank, 2010), dan input energi yang tersedia secara keseluruhan hanya 900 toe per seribu penduduk (IEA, 2013), Indonesia berada pada urutan ke-48 dan ke-43. Kapasitas teknologi Indonesia berada pada urutan ke-47. Peringkat yang rendah ini terutama disebabkan oleh rendahnya posisi Indonesia untuk indikator penerbitan hasil penelitian. Dengan jumlah publikasi ilmiah hanya mencapai 1 makalah per sejuta penduduk, Indonesia menempati urutan terbawah kedua dari 50 negara. Di luar itu, pendaftaran paten oleh penduduk Indonesia mencapai 21 berkas per sejuta penduduk dan berada pada peringkat ke-35. Pendapatan yang diterima Indonesia dari ijin pendapatan kekayaan intelektual juga berada pada peringkat ke-35 dengan nominal mencapai US$ 58,05 juta (World Bank, 2012). Kapabilitas inovasi Indonesia berada pada urutan ke-47. Peringkat yang rendah ini merupakan refleksi dari masing-masing subkomponen penyusunnya, yaitu ke-47 untuk ketersediaan sumberdaya manusia ahli dan ke- 48 untuk intensitas penelitian dan pengembangan. Ketersediaan sumberdaya manusia ahli yang terbatas tampak dari kurangnya tingkat partisipasi pendidikan tinggi dan rendahnya rasio sarjana sains dan teknologi. Tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia hanya sekitar 24,9 persen dari total penduduk usia perguruan tinggi (WEF, 2013). Dari seluruh Gambar 6: Peringkat Kapasitas Teknologi Peringkat Negara Nilai Skala Amerika Serikat Korea Selatan Jepang Swiss Swedia Denmark Jerman Finlandia Inggris Belanda Norwegia Kanada Singapura Selandia Baru Australia Perancis Austria Belgia Italia Spanyol Republik Ceko Portugal Hong Kong RRC (China) Polandia Nigeria Turki Rusia Iran Arab Saudi Chili Venezuela Vietnam Argentina Rumania Brasil Malaysia Ukraina Afrika Selatan Kazakhstan Thailand Meksiko India Mesir Aljazair Kolombia Indonesia Kenya Peru Filipina

20 lulusan perguruan tinggi, hanya 22,70 persen di antaranya yang merupakan ahli sains dan teknologi (WIPO, 2013). Intensitas penelitian dan pengembangan ditunjukkan oleh jumlah peneliti, besarnya alokasi dana untuk penelitian dan keberadaan kerjasama penelitian. Berdasarkan data WIPO, jumlah peneliti yang dimiliki Indonesia hanya sekitar 173,3 peneliti per satu juta penduduk (2013). Indonesia berada pada peringkat ke-44 dari 50 negara. Alokasi dana untuk penelitian di Indonesia juga masih rendah. Jumlah dana penelitian yang dikelola oleh lembaga-lembaga pemerintah Indonesia hanya mencapai 0,05 persen dari PDB, sedangkan yang dikelola oleh perguruan tinggi hanya mencapai 0,03 persen dari. Jumlah dana penelitian yang dikelola oleh dunia usaha Indonesia bahkan nyaris mendekati nol persen (UNESCO, 2009). Kapabilitas kelembagaan Indonesia berada pada posisi ke-37. Peringkat ini merupakan gambaran dari posisi Indonesia untuk masingmasing subkomponen, yaitu urutan ke-36 untuk penciptaan stabilitas politik dan keamanan, urutan ke-40 untuk penegakan hukum, urutan ke-41 untuk tata pemerintahan, dan urutan ke-40 untuk efisiensi birokrasi. Tata pemerintahan yang kurang optimal ditunjukkan oleh rendahnya persepsi para pakar tentang efektivitas pemerintahan dan pengawasan korupsi. Berdasarkan data yang dipublikasikan World Bank, Indonesia berada pada peringkat ke-40 dan ke-43 dari 50 negara. Sementara, efisiensi birokrasi yang rendah ditunjukkan antara lain oleh banyaknya prosedur dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi atau mengurus ijin pembukaan usaha, ijin mendirikan bangunan, melengkapi pendaftaran properti, mengurus pembayaran pajak, dan ijin kegiatan ekspor-impor. Data menunjukkan bahwa peringkat Indonesia untuk indikator-indikator ini bervariasi, mulai dari Gambar 7: Peringkat Kapabilitas Inovasi Peringkat Negara Nilai Skala Finlandia Korea Selatan Swedia Singapura Austria Amerika Serikat Denmark Jerman Jepang Iran Australia Selandia Baru Perancis Portugal Norwegia Inggris Thailand Spanyol Swiss Hong Kong Kanada Republik Ceko Belgia Rusia Ukraina Belanda Arab Saudi Venezuela Malaysia Italia Polandia Argentina Chili RRC (China) Turki Rumania India Mesir Afrika Selatan Aljazair Meksiko Kazakhstan Kolombia Kenya Peru Brasil Indonesia Filipina Nigeria Vietnam

21 urutan ke-10 hingga urutan ke-48. Kinerja dunia usaha Indonesia berada pada peringkat ke-30. Peringkat ini ditopang terutama oleh subkomponen bisnis dan kewirausahaan, di mana untuk subkomponen tersebut Indonesia berada pada urutan ketujuh. Data menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat kepemilikan usaha terbesar kedua di antara 50 negara. Tahun 2013, persentase penduduk usia produktif Indonesia yang memiliki usaha mencapai 21,2 persen (GEM, 2013). Namun, sebagian besar usaha tersebut merupakan usaha mikro, kecil atau menengah yang tak pernah berinteraksi dengan bursa efek. Menurut data World Bank, jumlah perusahaan Indonesia yang terdaftar di bursa efek hanya mencapai 1,8 perusahaan per satu juta penduduk (2012) dan Indonesia berada pada peringkat ke-42. Selain itu, hanya ada sembilan perusahaan Indonesia yang masuk dalam daftar 2000 perusahaan terbesar dunia tahun 2013 versi Majalah Forbes, yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-31. Untuk subkomponen hubungan ketenagakerjaan, Indonesia berada pada peringkat ke- 46. Rendahnya peringkat Indonesia ini tidak dapat dilepaskan dari tingginya nilai upah minimum per pekerja, di mana Indonesia menempati urutan ke-36, dan rasio antara upah minimum terhadap nilai tambah per pekerja yang hanya 0,53 (World Bank, 2014) dan berada pada urutan ke-40. Untuk subkomponen produktivitas, Indonesia berada pada peringkat ke-41. Meskipun proporsi nilai tambah manufaktur Indonesia dalam PDB menempati urutan ke-6 dan proporsi nilai tambah manufaktur Indonesia terhadap nilai tambah manufaktur dunia berada pada peringkat ke-15, tetapi nilai output riil per pekerja di Indonesia hanya menempati posisi ke- Gambar 8: Peringkat Kapabilitas Kelembagaan Peringkat Negara Nilai Skala Finlandia Swiss Norwegia Selandia Baru Swedia Belanda Singapura Austria Kanada Denmark Australia Belgia Jerman Hong Kong Jepang Inggris Amerika Serikat Perancis Chili Republik Ceko Polandia Portugal Spanyol Korea Selatan Italia Malaysia Brasil Afrika Selatan Rumania Argentina Vietnam Arab Saudi Kazakhstan India Turki RRC (China) Indonesia Meksiko Ukraina Filipina Kolombia Thailand Venezuela Rusia Aljazair Peru Kenya Iran Mesir Nigeria

22 45 dan nilai total factor productivity Indonesia hanya berada pada urutan ke-43. Untuk subkomponen karakteristik pasar, Indonesia berada pada peringkat ke-32. Dilihat dari tingkat persebaran produk dan negara tujuan ekspor, dunia usaha Indonesia juga menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan menempati peringkat ke-24 dan ke-17. Hal ini didukung tidak saja oleh pasar domestik Indonesia yang termasuk dalam kelompok 16 besar (dihitung dari selisih antara PDB dan net export), tetapi juga ukuran pasar ekspor yang secara relatif berada pada peringkat ke-27. Namun, secara relatif, persentase nilai ekspor barang dan jasa terhadap PDB Indonesia hanya berada pada urutan ke-41 dan pangsa ekspor manufaktur Indonesia terhadap total ekspor berada pada urutan ke-34. Untuk subkomponen layanan keuangan, Indonesia berada pada peringkat ke 40. Meskipun bank-bank sebagai elemen penyedia jasa keuangan di Indonesia memperlihatkan kinerja yang baik dengan return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) yang masuk ke peringkat enam besar, tetapi akses masyarakat terhadap jasa keuangan masih terbatas. Jumlah cabang bank di Indonesia Indonesia hanya mencapai 8,52 bank per orang dewasa (World Bank, 2012) sedangkan jumlah anjungan tunai mandiri (ATM) hanya mencapai 16,47 (World Bank, 2012). Dari puluhan juta penduduk usia dewasa, hanya 19,58 persen di antaranya yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal (World Bank, 2011). Dengan angka-angka tersebut, secara relatif posisi Indonesia berkisar antara urutan ke-41 hingga ke-47. Gambar 9: Peringkat Kinerja Dunia Usaha Peringkat Negara Nilai Skala Amerika Serikat Jepang Jerman Kanada Hong Kong Singapura Korea Selatan RRC (China) Inggris Norwegia Australia Swiss Thailand Finlandia Austria Belanda Spanyol Perancis Denmark Swedia Belgia Selandia Baru Turki Malaysia Italia Chili Arab Saudi Polandia Republik Ceko Indonesia Afrika Selatan Vietnam Argentina Peru Brasil India Rusia Rumania Filipina Nigeria Venezuela Mesir Kazakhstan Meksiko Kenya Portugal Aljazair Kolombia Iran Ukraina Indonesia berada pada urutan ke-43 komponen keberlanjutan. Peringkat ini dipengaruhi oleh rendahnya posisi Indonesia 16

23 dalam pelestarian sumberdaya air dan sumberdaya lahan, di mana untuk kedua subkomponen tersebut Indonesia berada pada peringkat ke-46 dan ke-47. Data menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi keterbatasan yang serius dalam pengolahan air limbah. Dari total air limbah, hanya 0,02 persen di antaranya yang dapat diolah dan diproses kembali (Yale University, 2013). Dengan angka tersebut, secara relatif Indonesia menempati peringkat terakhir dari 50 negara. Di samping itu, Indonesia juga menghadapi keterbatasan dalam pengelolaan sumber air terbarukan, pembatasan polutan air organik dan pemeliharaan hutan. Untuk masing- masing indikator ini, Indonesia berada pada peringkat ke-19, ke-32 dan ke-43. Untuk dua subkomponen lain, yaitu pelestarian sumberdaya udara dan sumberdaya energi, Indonesia masing-masing berada pada peringkat ke-20. Kecenderungan intensitas karbon Indonesia secara relatif berada pada urutan ke-26 dari 50 negara, sedangkan untuk laju perubahan intensitas karbon, Indonesia berada pada peringkat ke-16. Intensitas energi yang dikonsumsi dalam pembentukan PDB Indonesia mencapai 0,22 juta BTU per US$ PDB (World Energy Council, 2013) dan berada pada urutan ke-38, sedangkan rasio energi terbarukan terhadap total kebutuhan energi mencapai 34,50 persen (International Energy Agency, 2012) dan berada pada urutan ke-8. Kemandirian ekonomi Indonesia berada pada peringkat ke-20. Peringkat ini terutama didukung oleh subkomponen ketidaktergantungan terhadap produk impor, di mana untuk subkomponen tersebut Indonesia berada pada posisi ke-14. Data menunjukkan bahwa ketidaktergantungan Indonesia terhadap impor pangan menempati peringkat ke-24, sedang- Gambar 10: Peringkat Keberlanjutan Peringkat Negara Nilai Skala Rumania Selandia Baru Nigeria Spanyol Chili Italia Australia Swiss Afrika Selatan Polandia Norwegia Austria Turki Swedia Republik Ceko Filipina Denmark Portugal Singapura Jerman Jepang Perancis Peru Inggris Kanada Kolombia Finlandia Mesir Brasil RRC (China) Iran Belanda Belgia Rusia Korea Selatan Amerika Serikat Thailand Hong Kong India Venezuela Kenya Meksiko Indonesia Malaysia Vietnam Arab Saudi Kazakhstan Aljazair Ukraina Argentina

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional E k o n o m i I n t e r n a s i o n a l 101 Materi Minggu 12 Kerjasama Ekonomi Internasional Semua negara di dunia ini tidak dapat berdiri sendiri. Perlu kerjasama dengan negara lain karena adanya saling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum (WEF) 1 Tulus Tambunan Kadin Indonesia Tanggal 8 Oktober 2008 World Economic Forum (WEF), berkantor pusat di Geneva (Swis), mempublikasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penggerak perekonomian dunia saat ini adalah minyak mentah. Kinerja dari harga minyak mentah dunia menjadi tolok ukur bagi kinerja perekonomian dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Modal manusia berperan penting dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara maka modal manusia merupakan faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini jasa telah menjadi bagian yang cukup dominan pengaruhnya di dalam kehidupan kita sehari-hari. Jasa transportasi, jasa pendidikan, jasa reparasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. Dibandingkan dengan kondisi permintaan energi beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG

NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG Kelas 9 semester 1 NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG 1 2 PENGERTIAN NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG Negara maju adalah negara yang rakyatnya memiliki kesejahteraan atau kualitas hidup yang tinggi. Sedangkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ekonomi terbesar di dunia pada tahun Tujuan pemerintah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ekonomi terbesar di dunia pada tahun Tujuan pemerintah tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, adalah menjadikan Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi sebuah negara, keberhasilan pembangunan ekonominya dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2007) menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1)

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) melindungi segenap bangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan

Lebih terperinci

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN-PMA

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN-PMA REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN-PMA Triwulan I Tahun 2018 Jakarta, 30 April 2018 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) - RI DAFTAR ISI I. TRIWULAN I 2018: Dibanding Tahun 2017 II. TRIWULAN I 2018: Sektor,

Lebih terperinci

Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan Aviliani 10 Maret 2016

Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan Aviliani 10 Maret 2016 Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan 2016 Aviliani 10 Maret 2016 SISTEM PEREKONOMIAN Aliran Barang dan Jasa Gross Domestic Bruto Ekonomi Global Kondisi Global Perekonomian Global masih

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3 4.1.1 Produk Domestik Bruto (PDB) Selama kurun waktu tahun 2001-2010, PDB negara-negara ASEAN+3 terus menunjukkan tren yang meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8 BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand dengan ditandatanganinya deklarasi Bangkok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai emerging country, perekonomian Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh tinggi. Dalam laporannya, McKinsey memperkirakan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk perusahaan dan negara. Pemikiran Michael Porter banyak

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk perusahaan dan negara. Pemikiran Michael Porter banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep daya saing daerah berkembang dari konsep daya saing yang digunakan untuk perusahaan dan negara. Pemikiran Michael Porter banyak mewarnai pengembangan dan aplikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, perdagangan internasional merupakan inti dari ekonomi global dan mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan Internasional dilakukan

Lebih terperinci

Lingkungan Pemasaran Global Ekonomi dan Sosial-Budaya

Lingkungan Pemasaran Global Ekonomi dan Sosial-Budaya Lingkungan Pemasaran Global Ekonomi dan Sosial-Budaya Pengenalan Secara Objektif Memahami perbedaan utama diantara beberapa sistem ekonomi didunia. Cara belajar bagaimana mengelompokan negaranegara dengan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1193, 2012 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Visa. Saat Kedatangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BERITA NEGARA. No.1193, 2012 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Visa. Saat Kedatangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1193, 2012 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Visa. Saat Kedatangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN

Lebih terperinci

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN PMA TRIWULAN I TAHUN 2014

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN PMA TRIWULAN I TAHUN 2014 Invest in remarkable indonesia indonesia Invest in remarkable indonesia Invest in remarkable indonesia Invest in remarkable indonesia indonesia remarkable indonesia invest in Invest in indonesia Invest

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Todaro dan Smith (2003:91-92) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Todaro dan Smith (2003:91-92) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara menuju ke arah yang lebih baik. Menurut Kutznets dalam Todaro dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-03.GR.01.06 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR M.HH-01.GR.01.06 TAHUN 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian penting dari pembangunan suatu negara bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu indikator dalam menentukan keberhasilan

Lebih terperinci

Nama:bayu prasetyo pambudi Nim: Analisis negara maju negara berkembang

Nama:bayu prasetyo pambudi Nim: Analisis negara maju negara berkembang Nama:bayu prasetyo pambudi Nim:1106341 Analisis negara maju negara berkembang Negara maju adalah negara yang rakyatnya memiliki kesejahteraan atau kualitas hidup yang tinggi. Sedangkan negara berkembang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder selama enam tahun pengamatan (2001-2006). Pemilihan komoditas yang akan diteliti adalah sebanyak lima komoditas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 5.1 KESIMPULAN A. Hasil tipologi berdasarkan tingkat penggangguran dan openness dalam penelitian ini menemukan: 1. Posisi negara Indonesia dan Filipina rata-rata

Lebih terperinci

BENTUK KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL.

BENTUK KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL. BENTUK KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL BADAN-BADAN KERJASAMA EKONOMI KERJA SAMA EKONOMI BILATERAL: antara 2 negara KERJA SAMA EKONOMI REGIONAL: antara negara-negara dalam 1 wilayah/kawasan KERJA SAMA EKONOMI

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3 IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3 4.1 Gambaran Umum Kesenjangan Tabungan dan Investasi Domestik Negara ASEAN 5+3 Hubungan antara tabungan dan investasi domestik merupakan indikator penting serta memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan dengan mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan secara diskriminatif bagi negara-negara

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

M A K A L A H. Tentang : Negara Maju Dan Berkembang. Disusun Oleh :

M A K A L A H. Tentang : Negara Maju Dan Berkembang. Disusun Oleh : M A K A L A H Tentang : Negara Maju Dan Berkembang Disusun Oleh : KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr..Wb Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah dan

Lebih terperinci

JUMLAH KUNJUNGAN KE TAMAN NASIONAL KOMODO MENURUT NEGARA ASAL TAHUN 2012

JUMLAH KUNJUNGAN KE TAMAN NASIONAL KOMODO MENURUT NEGARA ASAL TAHUN 2012 JUMLAH KUNJUNGAN KE TAMAN NASIONAL KOMODO MENURUT NEGARA ASAL TAHUN 2012 Bulan : Januari 2012 Lokasi pengambilan tiket masuk No Negara Asal 1 Afrika Selatan 3 1 4 4 3 7 - - - 11 2 Amerika Serikat 258 315

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan tugas wajib bagi negera-negara di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan tugas wajib bagi negera-negara di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan tugas wajib bagi negera-negara di dunia terutama negara berkembang, tak terkecuali negara-negara ASEAN. Dalam mengupayakan pembangunan

Lebih terperinci

Policy Paper PENINGKATAN DAYA-SAING INDONESIA. Oleh Herry Darwanto

Policy Paper PENINGKATAN DAYA-SAING INDONESIA. Oleh Herry Darwanto Policy Paper PENINGKATAN DAYA-SAING INDONESIA Oleh Herry Darwanto 1. PENGANTAR Beberapa waktu yang lalu World Economic Forum (WEF) kembali mempublikasikan laporan tahunan mengenai daya-saing global, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

Indikator Pembangunan. Pengantar Ekonomi Pembangunan

Indikator Pembangunan. Pengantar Ekonomi Pembangunan Indikator Pembangunan Pengantar Ekonomi Pembangunan Sub Pokok bahasan pertemuan ke-2 Perlunya Indikator Pembangunan Indikator Moneter Indikator Sosial Kelemahan Indikator pendapatan per kapita Indikator

Lebih terperinci

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN - PMA TRIWULAN I TAHUN 2017

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN - PMA TRIWULAN I TAHUN 2017 Invest in remarkable indonesia indonesia indonesia Invest in remarkable indonesia Invest in remarkable indonesia Invest in remarkable indonesia indonesia remarkable indonesia invest in Invest in Invest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teh ditemukan sekitar tahun 2700 SM di Cina. Seiring berjalannya waktu, teh saat ini telah ditanam di berbagai negara, dengan variasi rasa dan aroma yang beragam. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang

BAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daya saing ekonomi menunjukkan kemampuan suatu wilayah menciptakan nilai tambah untuk mencapai kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Industri pariwisata dalam beberapa kurun waktu terakhir telah mendapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Industri pariwisata dalam beberapa kurun waktu terakhir telah mendapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri pariwisata dalam beberapa kurun waktu terakhir telah mendapat perhatian lebih dari seluruh dunia sebagai sumber perekonomian dan devisa negara. Industri pariwisata

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian Negara Berkembang dan Maju Periode 1980-2008

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian Negara Berkembang dan Maju Periode 1980-2008 38 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian Negara Berkembang dan Maju Periode 198-28 Berdasarkan Gambar 4.1, periode 198 hingga 28 perkembangan GDP pertanian negara-negara

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 123/PMK.04/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 123/PMK.04/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 123/PMK.04/2011 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT BELAS ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 89/KMK.04/2002 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN. produk domestik bruto. Menurut BPS (2014) Produk Domestik Bruto (PDB)

1. BAB I PENDAHULUAN. produk domestik bruto. Menurut BPS (2014) Produk Domestik Bruto (PDB) 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi adalah meningkatnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Untuk menilai peningkatan pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan pembangunannya, suatu negara membutuhkan biaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan pembangunannya, suatu negara membutuhkan biaya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam mewujudkan pembangunannya, suatu negara membutuhkan biaya yang besar. Biaya biaya tersebut dapat diperoleh melalui pembiayaan dalam negeri maupun pembiayaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.217, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HUKUM. Imigrasi. Visa. Bebas. Kunjungan. Perubahan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw. (2003), pendapatan nasional yang dikategorikan dalam PDB (Produk

BAB I PENDAHULUAN. nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw. (2003), pendapatan nasional yang dikategorikan dalam PDB (Produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw (2003), pendapatan nasional yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.825, 2015 KEMENKUMHAM. Visa Kunjungan. Saat Kedatangan. Ketujuh. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.825, 2015 KEMENKUMHAM. Visa Kunjungan. Saat Kedatangan. Ketujuh. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.825, 2015 KEMENKUMHAM. Visa Kunjungan. Saat Kedatangan. Ketujuh. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun 1980. Globalisasi selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak yang mengkhawatirkan bagi negara yang

Lebih terperinci

Studi Investor Global 2017

Studi Investor Global 2017 Studi Investor Global 2017 Perilaku investor: dari prioritas ke ekspektasi Studi Investor Global 2017 1 Daftar Isi 3 11 Ikhtisar Generasi milenial memiliki situasi yang bertentangan 4 12 Tren global menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan

I. PENDAHULUAN. moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses integrasi di berbagai belahan dunia telah terjadi selama beberapa dekade terakhir, terutama dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting dilakukan oleh masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu cepat diiringi dengan derasnya arus globalisasi yang semakin berkembang maka hal ini

Lebih terperinci

Anggota Klaster yang terbentuk adalah sebagai berikut :

Anggota Klaster yang terbentuk adalah sebagai berikut : Anggota Klaster yang terbentuk adalah sebagai berikut : Anggota Klaster Pertama No. Negara 1 Republik Rakyat China Anggota Klaster Kedua No. Negara 1 Malaysia 2 Singapura Anggota Klaster Ketiga No Negara

Lebih terperinci

Pertumbuhan Ekonomi Dunia, (dalam persen)

Pertumbuhan Ekonomi Dunia, (dalam persen) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun belakangan ini pertumbuhan ekonomi dunia mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era otonomi daerah ini pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada era otonomi daerah ini pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era otonomi daerah ini pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia menghadapi persoalan dalam membangun ekonomi maka suatu daerah harus membangun perekonomian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, nilai serta norma masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, nilai serta norma masyarakat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, nilai serta norma masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KEHUTANAN Nomor.: P.3/II-KEU/2010 TENTANG

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KEHUTANAN Nomor.: P.3/II-KEU/2010 TENTANG PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KEHUTANAN Nomor.: P.3/II-KEU/2010 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KEHUTANAN NOMOR P.2/II-KEU/2010 TENTANG PEDOMAN HARGA SATUAN

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Latar belakang kenaikan harga minyak dunia yang terjadi akhir-akhir ini berbeda dengan fenomena kenaikan harga minyak dunia sebelumnya. Saat ini, kenaikan harga minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi tidak hanya berelasi dengan bidang ekonomi, tetapi juga di lingkungan politik, sosial, dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator berjalannya roda perekonomian suatu negara. Ketika ekonomi tumbuh, maka ada peningkatan produksi barang dan jasa yang memerlukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan

Lebih terperinci

dalam jangka panjang (Boediono, 1994). Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional

dalam jangka panjang (Boediono, 1994). Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional % BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita yang terusmenerus dalam jangka panjang (Boediono, 1994). Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi

Lebih terperinci

Corruption Perception Index Terus perkuat integritas sektor publik. Dorong integritas bisnis sektor swasta.

Corruption Perception Index Terus perkuat integritas sektor publik. Dorong integritas bisnis sektor swasta. Corruption Perception Index 2016 Terus perkuat integritas sektor publik. Dorong integritas bisnis sektor swasta. Apa itu Corruption Perception Index (CPI)? Indeks Gabungan Hingga 13 sumber data Menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan masih besarnya pengaruh Cina terhadap perekonomian dunia, maka

BAB I PENDAHULUAN. Dengan masih besarnya pengaruh Cina terhadap perekonomian dunia, maka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan masih besarnya pengaruh Cina terhadap perekonomian dunia, maka tiga faktor Ukuran ekonomi, Cina sebagai pusat perdagangan dunia, dan pengaruh permintaan domestik

Lebih terperinci

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014 ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014 OUTLINE 1. LINGKUNGAN STRATEGIS 2. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI 2 1. LINGKUNGAN STRATEGIS 3 PELUANG BONUS DEMOGRAFI Bonus Demografi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi suatu negara ke dalam kawasan integrasi ekonomi telah menarik perhatian banyak negara, terutama setelah Perang Dunia II dan menjadi semakin penting sejak tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ruang lingkup kegiatan ekonominya. Globalisasi menuntut akan adanya

BAB I PENDAHULUAN. ruang lingkup kegiatan ekonominya. Globalisasi menuntut akan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi telah mendorong negara-negara di dunia untuk memperluas ruang lingkup kegiatan ekonominya. Globalisasi menuntut akan adanya keterbukaan, baik keterbukaan

Lebih terperinci

RERANGKA ANALISIS LINGKUNGAN PEMASARAN GLOBAL

RERANGKA ANALISIS LINGKUNGAN PEMASARAN GLOBAL PEMASARAN INTERNASIONAL MINGGU KETIGA BY. MUHAMMAD WADUD, SE., M.Si. FAKULTAS EKONOMI UNIV. IGM POKOK BAHASAN LINGKUNGAN EKONOMI GLOBAL LINGKUNGAN POLITIK GLOBAL LINGKUNGAN HUKUM GLOBAL LINGKUNGAN SOSIO-KULTURAL

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK DAFTAR ISI/CONTENTS DAFTAR GRAFIK/LIST OF FIGURE DAFTAR TABEL/LIST OF TABLE I. Tabel-1 Table-1 KEDATANGAN WISATAWAN MANCANEGARA KE INDONESIA MENURUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses 115 V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA 5.1. Pertumbuhan Ekonomi Petumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan proses perubahan PDB dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

Lebih terperinci

Modal Insani (Human Capital) dan Pembangunan Ekonomi

Modal Insani (Human Capital) dan Pembangunan Ekonomi Modal Insani (Human Capital) dan Pembangunan Ekonomi Prof. H. Lincolin Arsyad, M.Sc., Ph.D Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Guru Besar FEB Universitas Gadjah Mada Disampaikan pada acara University

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 A. Perkembangan Perekonomian Saudi Arabia. 1. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan pertumbuhan ekonomi di Saudi Arabia diatur melambat

Lebih terperinci

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Oleh : Feryanto W. K. Sub sektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian serta bagi perekonomian nasional pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

Menuju Revolusi Ketiga Sains Teknologi:

Menuju Revolusi Ketiga Sains Teknologi: Menuju Revolusi Ketiga Sains Teknologi: Pengembangan Ekonomi Kreatif Prof. Dr. Bustanul Arifin barifin@uwalumni.com Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA Dewan Pendiri/Ekonom Senior INDEF Anggota Komite

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN DESEMBER 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN DESEMBER 2016 No. 08/02/36/Th.XI, 1 Februari 2017 PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN DESEMBER A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR DESEMBER TURUN 0,08 PERSEN MENJADI US$940,56 JUTA Nilai ekspor Banten pada turun 0,08 persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi wilayah atau regional merupakan salah satu bagian penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 10 Ekonomi

Antiremed Kelas 10 Ekonomi Antiremed Kelas 10 Ekonomi Pendapatan Nasional - Soal Halaman 1 01. Pada metode pendapatan, besar pendapatan nasional suatu negara akan sama dengan (A) jumlah produksi ditambah upah (B) jumlah investasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Migrasi merupakan perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan dengan kedua daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekspor merupakan salah satu bagian penting dalam perdagangan internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan sebagai total penjualan barang

Lebih terperinci

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL ekonomi KELAS XII IPS - KURIKULUM 2013 02 Sesi KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dapil Kalimantan Barat, Oesman Sapta Odang menilai Indonesia

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN MARET 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN MARET 2016 No. 25/05/36/Th.X, 2 Mei PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR BANTEN MARET A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MARET NAIK 13,14 PERSEN MENJADI US$757,66 JUTA Nilai ekspor Banten pada Maret naik 13,14 persen dibanding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Negara-negara di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam perdagangan. Integrasi dilakukan oleh setiap negara

Lebih terperinci