BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 21 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Rumah Susun. Istilah Rumah susun berasal dari terjemahan kata flat dalam bahasa Inggris yang berarti rumah tinggal yang bertingkat dan beratap datar atau loteng sebagai tempat tinggal atau kediaman tersendiri (Andasmita, 1986 : 7 dalam Arifin 2004). Berdasarkan UU No. 16 Tahun 1985 tentang rumah susun, definisi rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Pengertian rumah susun secara teoritis dapat disamakan dengan condominium yaitu suatu pemilikan bersama atas gedung-gedung yang bersifat multiple-occupant yang masing-masing penghuninya memiliki titel yang menimbulkan pengakuan akan hak yang terpisah dari para penghuni lainnya. Dengan demikian masing-masing penghuni diakui mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri atas ruang yang ditempatinya, yang harus dihormati oleh orang-orang dan pihak-pihak lain. Akan tetapi apabila dikaji lebih jauh, istilah rumah susun selalu digambarkan sebagai rumah bagi masyarakat menengah ke bawah atau berpenghasilan rendah sedangkan istilah condominium ditujukan bagi rumah susun bagi masyarakat kelas menengah ke atas (Rahardjo, 1998). Luas unit condominium umumnya beragam, tidak seperti rumah susun yang seragam, guna memberikan pilihan bagi pembeli. Di condominium orang bisa membeli unit yang memiliki dua kamar, tiga kamar atau lebih. Di samping rumah susun dan condominium, jenis perumahan bertingkat lainnya adalah apartemen yang dirumuskan sebagai satu bagian dari gedung meliputi wewenang untuk mempergunakan sendiri bagian-bagian tertentu gedung tersebut dan menurut susunannya disediakan untuk dipakai sebagai keseluruhan yang tersendiri (Rahardjo, 1998). Suatu apartemen tercipta oleh karena adanya pemisahan yang dilakukan oleh pemilik dengan akte notaris dan pendaftaran dalam daftar hipotik setelah itu tiap apartemen dianggap sebagai barang tidak bergerak yang tersendiri. Pemisahan dalam apartemen dapat dibatalkan dengan cara yang sama sesudah itu dapat diminta pemisahan dan pembagian dari persekutuan harta benda itu. Condominium sebagaimana

2 22 pada rumah susun dimiliki oleh banyak orang yang membeli per unit, sedangkan apartemen dimiliki oleh orang atau lembaga yang kemudian menyewakannya. Dalam UU No. 16 Tahun 1985 pasal 3 ayat 1 dijelaskan bahwa tujuan pembangunan rumah susun adalah antara lain adalah: a) Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya. b) Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah didaerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang. Secara lebih rinci dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman No.10/KPTS/M/1999 Tentang Kebijakan dan Strategi Pembangunan Rumah Susun Sederhana tujuan pembangunan rumah susun dapat ditinjau secara umum maupun khusus sebagai berikut: a) tujuan secara umum antara lain meliputi: 1) Memenuhi kebutuhan penduduk akan tempat tinggal, 2) Mewujudkan rumah yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, 3) Memperkenalkan masyarakat akan kebiasaan hidup di rumah susun, 4) Mengurangi dampak lingkungan akibat pembangunan permukiman kota yang ekspansif. b) tujuan secara khusus antara lain meliputi: 1) Menyediakan tempat tinggal dalam bentuk rumah susun dan dekat dengan lingkungan tempat kerja, terutama di kota metropolitan dan kota besar, bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah 2) Melaksanakan pembangunan permukiman yang berkelanjutan dan efisiensi lahan, 3) Terciptanya lingkungan permukiman yang dapat menopang tumbuh dan berkembangnya kehidupan ekososbud keluarga, 4) Mendorong Pemerintah daerah untuk mulai menyelenggarakan pembangunan permukiman secara vertikal melalui pembangunan rumah susun sederhana dan rumah susun sewa sederhana,

3 23 5) Mendorong partisipasi masyarakat dan pihak swasta dalam penyediaan rumah susun sederhana dan rumah susun sewa sederhana. Adapun sasaran calon penghuni rumah susun menurut Pola Induk Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta adalah kelompok masyarakat dengan kriteria sebagai berikut: 1) Masyarakat yang terkena langsung proyek peremajaan dan pembangunan 2) Masyarakat sekitar yang berada dalam lingkup kumuh yang segera akan dibebaskan 3) Masyarakat umum yang belum mempunyai rumah sendiri. Berdasarkan kelompok sasarannya pembangunan rumah susun sederhana dikategorikan dalam dua jenis, yaitu: rumah susun sederhana untuk dimiliki (rusunami) dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Selanjutnya rumah susun sederhana sewa juga dibagi dalam dua kategori yaitu rusunawa tanpa subsidi dan rusunawa dengan subsidi. Dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman No.10/KPTS/M/1999 disebutkan bahwa sasaran prioritas bagi masing-masing kategori rumah susun tersebut berbeda satu sama lain dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Rumah susun sederhana milik Rumah susun sederhana ini diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi mampu untuk membeli (tunai atau dengan KPR) unit rumah susun. Intervensi Pemerintah dalam batas memberi insentif kemudahan perijinan dan petunjuk teknis, karena pembangunannya menunjang kebijakan Pemerintah. 2) Rumah susun sederhana sewa tanpa subsidi Rumah susun sederhana ini diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi mampu, tetapi memilih untuk tinggal di rumah sewa (karena tinggal sementara atau alasan lain). Intervensi Pemerintah dalam batas memberi insentif kemudahan perijinan dan petunjuk teknis, karena pembangunannya menunjang kebijakan Pemerintah. 3) Rumah susun sewa bersubsidi ini secara umum dibagi menjadi 2 yaitu: a) Subsidi terbatas: diprioritaskan bagi kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah yang mampu membayar meskipun terbatas. Intervensi Pemerintah dapat dilakukan dalam penyediaan tanah, pembiayaan, pembangunan, maupun pengelolaannya,

4 24 namun tetap diperhitungkan pengembalian dananya, agar dapat bergulir untuk proyek selanjutnya. b) Subsidi penuh: diprioritaskan bagi kelompok yang kemampuan ekonominya sangat terbatas, hanya mampu membayar sewa untuk menutup ongkos operasi dan pemeliharaan rutin saja. Intervensi Pemerintah dilakukan dengan memberi subsidi pembangunan (tanah, bangunan, prasarana dan sarana dasar lingkungan) sepenuhnya (social housing). Gambar 2.1 Kategori Rumah Susun Sederhana Berdasarkan Kelompok Sasaran Calon Penghuni Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) Rumah Susun Sederhana (Rusuna) Rumah Susun Sederhana sewa (Rusunawa) Rumah Susun Sederhana sewa tanpa subsidi Rumah Susun Sederhana sewa subsidi Rumah Susun Sederhana sewa subsidi penuh Rumah Susun Sederhana sewa subsidi tidak penuh Sumber: Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman No.10/KPTS/M/1999

5 Komponen Biaya Pembangunan Perumahan Susun Sederhana dalam Menentukan Harga Sewa/Beli Dalam subbab ini dijelaskan mengenai beberapa komponen biaya pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan rumah susun secara lebih rinci sebagai input pendekatan perhitungan harga sewa rumah susun sederhana Komponen Biaya Produksi Dalam membangun segala jenis bangunan rumah susun yang akan dikembangkan total biaya produksi yang harus dikeluarkan akan terdiri dari beberapa input biaya yang terbagi dalam dua tahapan yaitu tahapan perencanaan dan pembangunan dengan rincian biaya sebagai berikut: Biaya Tahap Perencanaan Biaya pada tahap perencanaan merupakan segala jenis biaya yang berhubungan dengan lahan mulai dari perijinan, pengadaan hingga jasa pembuatan siteplan (perencanaan tapak). Secara lebih rinci biaya-biaya dalam tahapan perencanaan rumah susun ini adalah sebagai berikut: 1) Biaya Lahan (Land Cost) Biaya pengadaan lahan merupakan biaya yang diperlukan dalam memperoleh lahan sebagai tempat dibangunnya rumah susun sederhana nantinya. Proses perolehan lahan tersebut dapat dilakukan dengan pembebasan melalui mekanisme beli, sewa, ganti rugi, dan dapat juga dengan konsolidasi lahan (Arifin, 2004). Biaya atas pengadaan lahan biasa dihitung per m 2 sehingga ukuran luas dari lahan rumah susun sederhana sangatlah penting dperhatikan melalui proses pengukuran yang detail. Biaya lahan yang diperoleh pengembang dari penjual tanah dapat mencapai 6-8% dari harga jual suatu rumah (Hummel, 2001). 2) Biaya Pengukuran Lahan Proses pengukuran lahan dilakukan setelah proses pengadaan lahan telah dilaksanakan. Pengukuran lahan diperlukan dalam memperoleh informasi secara detail luas dan batas kavling rumah susun sederhana yang akan dibangun nantinya. Informasi tersebut diperlukan dalam proses perijinan pembangunan rumah susun.

6 26 3) Biaya Investigasi Tanah Proses investigasi tanah diperlukan dalam melihat kelayakan tanah yang akan digunakan dalam pembangunan rumah susun sederhana. Proses ini dilakukan dalam analisis tapak sebelum proses pembuatan site planning dilakukan. Biaya dalam investigasi tanah pembangunan rumah susun yang dilakukan oleh surveyor pada dasarnya merupakan biaya tidak langsung (indirect cost). 4) Biaya Pembuatan Site Planning Pembuatan siteplanning (perencanaan tapak) merupakan proses pengaturan /penyesuaian antara kondisi fisik ruang dari tapak dengan program-program yang telah direncanakan sebelumnya pada tapak dengan memperhatikan kaidah seni yang terkait dengan prinsip-prinsip dalam bidang arsitektur, sipil, Arsitektur Lansekap, dan perencanaan kota (Lynch, 1983:1). Biaya dalam pembuatan site planning ini juga merupakan biaya tidak langsung yang pengerjaannyadilakukan melalui jasa konsultan. Menurut Hummel (2002) biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan jasa siteplanning merupakan bagian dari biaya professional (professional fees). Biaya professional ini dapat terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah the planning and engineering cost of development of the plans and specifications yang salah satunya adalah biaya pembuatan siteplanning. Kategori kedua adalah the cost of engineering, surveying, and construction management during construction yang merupakan salah satunya adalah jasa pembuatan desain dan konstruksi bangunan (lebih lanjut dibahas pada subbab ). Besar biaya yang dikeluarkan untuk biaya professional ini berkisar antara 7 dan 15% dari total biaya proyek keseluruhan (Hummel, 2001). 5) Biaya Pematangan lahan Pematangan lahan diperlukan untuk menyesuaikan kondisi fisik topografi tanah dengan proses pembangunan rumah susun sederhana. Proses pematangan lahan dapat dilakukan dengan jalan memotong bagian lahan yang terjal (cut) dan menutup bagian yang landai (fill) agar lahan yang akan digunakan siap untuk digunakan untuk proses pembangunan rumah susun sederhana. Biaya atas pematangan lahan

7 27 6) Biaya Administrasi Lahan Proses administrasi lahan merupakan bagian dari proses legalisasi segala sesuatu yang berhubungan dengan proses pembangunan rumah susun sederhana. Dalam beberapa proyek, ijin dari pemerintah daerah/pusat harus diperoleh sebelum proses konstruksi dilaksanakan dan biaya yang dikeluarkan dalam proses ini berkisar antara 20-25% dari biaya fisik proyek pembangunan rumah (Hummel, 2001). Administrasi lahan dalam proses pembangunan rumah susun terdiri dari proses perijinan, pengurusan Hak Guna Bangunan, pengalihan hak milik atas lahan. Biaya-biaya perijinan yang harus ditempuh dalam pembangunan rumah susun antara lain: Ijin Prinsip Ijin Lokasi Ijin Perencanaan Tapak (Site Plan) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Biaya Tahap Pembangunan Biaya tahap pembangunan akan terdiri dari biaya tahap pembangunan bangunan rumah susun sederhana dan pembangunan sistem Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU). Subkomponen biaya secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Biaya Bangunan Rumah Susun Menurut Poerbo (1993) biaya dalam tahapan pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam biaya langsung dan biaya tidak langsung. a) Biaya Langsung Biaya langsung yang dimaksud disini adalah segala jenis biaya yang terkait dengan konstruksi bangunan yang melibatkan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, bahan bangunan (material), teknologi konstruksi bangunan bertingkat dan biaya lain yang berhubungan langsung dengan pembuatan bangunan rusuna. Biaya ini pada dasarnya mengikuti standar yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. b) Biaya Tidak Langsung Biaya langsung yang dimaksud disini adalah segala jenis biaya yang terkait dengan jasa pembuatan desain konstruksi bangunan yang melibatkan pihak

8 28 konsultan arsitek dengan memperhatikan aturan-aturan teknis sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan terkait rumah susun sederhana. Biaya jasa konsultan ini pada dasarnya tidak hanya pada pembuatan bangunan saja namun juga pada pembuatan jasa perencanaan tapak sebelumnya dan sistem jaringan PSU yang akan dikembangkan berdasarkan standar jumlah penduduk yang akan menghuni rumah susun sederhana. 2) Biaya Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) Dasar Prasarana, sarana dan utilitas dasar merupakan komponen penting dalam menunjang pembangunan rumah susun sederhana. Pembangunan PSU dilakukan dengan pertimbangan akan standar jumlah penduduk yang akan menjadi calon penghuni rumah susun nantinya Komponen Biaya Investasi Gerald (1978) dalam Iskandar (2003) menyatakan bahwa investasi adalah aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber (inputs), misalnya uang dan tenaga kerja untuk dipakai pengadaan barang modal pada saat sekarang yang akan menghasilkan aliran produk dimasa yang akan datang. Ferry, Brandon dan Ferry (1999) mengemukakan bahwa dalam mengembangkan suatu proyek pembangunan pengembang, ataupun institusi kelembagaan publik akan mempertimbangkan cost target yang secara umum terbagi ke dalam beberapa bagian yaitu: Cost Target untuk Profit Development Penyusunan target biaya pada jenis pembangunan ini di dasarkan kepada keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya arus penerimaan yang jauh lebih besar dari total biaya pengeluaran yang dilakukan selama pembangunan. Pendanaan pembangunan jenis ini diperoleh sebagian diperoleh dari modal-modal individu dan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya. Dalam melakukan pinjaman modal hal terpenting yang harus dipertimbangkan adalah besarnya bunga pinjaman modal yang diperhitungkan dalam anggaran biaya. Cost Target untuk Social Development

9 29 Penyusunan target biaya pada jenis pembangunan ini biasanya dilakukan oleh sektor publik melalui anggaran pendanaan (budget) yang telah direncanakan. Dalam pembangunan jenis ini biaya biasanya didasarkan kepada standar biaya buatan yang telah ditentukan. Cost Target untuk Mixed Development Penyusunan target biaya pada jenis pembangunan ini pada dasarnya mengandung campuran antara kedua jenis pembangunan diatas sebelumnya sehingga dengan kondisi ini sangat penting untuk mengkaji apa prioritas biaya dalam pembangunan yang akan direncanakan untuk dapat mendefinisikannya secara tepat. Iskandar (2003) juga menambahkan bahwa jenis investasi dapat digolongkan berdasarkan sifatnya sebagai berikut: Autonomous Invesment, Jenis investasi ini merupakan jenis investasi yang dbiasanya dilakukan pemerintah sebagai stimulan dalam meningkatkan laju perekonomian seperti pembuatan PSU di perkotaan. Induce Invesment, yaitu jenis investasi yang sangat dipengaruhi oleh harga pasar karena adanya perubahan permintaan atau penawaran. Jenis investasi ini sangat terkait dengan tingkat pendapatan masyarakat. Investasi pada suatu badan usaha atau perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari tingkat bunga uang dari modal yang diinvestasikan. Investasi ini dilakukan jika tingkat bunga yang berlaku saat itu lebih rendah jika dibandingkan dengan keuntungan investasi. Bentuk investasi jenis kedua dan ketiga bersifat komersial sehingga banyak sektor swasta memakai kedua jenis ini, namun ada kalanya sektor Pemerintah juga memakai jenis investasi kedua dan ketiga ini sebagai dana untuk membangun investasi proyek sosial lainnya. Pola investasi dalam kasus pembangunan rumah susun sederhana berdasarkan Rancangan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah tentang Pedoman Umum Investasi dan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa dibagi kedalam tiga jenis yaitu pola investasi UPT (Unit Pelaksana Teknis), Pola investasi PMN (Penyertaan Modal Negara) dan Pola investasi kemitraan. Secara rinci ketiga jenis pola investasi ini akan dijelaskan sebagai berikut:

10 30 1) Pola Investasi UPT Pola Investasi UPT adalah pola investasi pembangunan rumah susun yang dilakukan oleh pemerintah melalui sumber dana APBN/APBD dengan lebih bersifat sosial sehingga tidak mengharapkan adanya pengembalian investasi dan profit dari pembangunan yang dilakukan. Pola investasi UPT dilakukan pemerintah dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang merupakan aset negara. 2) Pola Investasi PMN Pola investasi yang dilakukan pemerintah dengan sumber dana pembangunan dari penyertaan modal negara dan mengharapkan adanya pengembalian biaya investasi namun tidak memperhitungkan tingkat/target profit (keuntungan) tertentu. Pengembalian biaya investasi digunakan sebagai sumber dana pembangunan rumah susun sederhana di tempat lain (dana bergulir). 3) Pola Investasi Kemitraan Pola investasi ini dilakukan oleh organisasi berbadan hukum seperti koperasi,yayasan, kelompok profesi atau perusahaan dengan para investor yang difasilitasi pemerintah. Pola investasi jenis ini mengharapkan pengembalian biaya investasi dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari biaya investasi yang ditanamkan. Komponen biaya investasi sangat terkait dengan beberapa 2 sub komponen biaya sebagai berikut: 1) Biaya Modal : terkait dengan seberapa besar modal yang dibutuhkan untuk melakukan proses produksi rumah susun sederhana baik yang berasal dari modal sendiri maupun modal pinjaman. 2) Biaya bunga pinjaman: terkait dengan seberapa besar bunga atas pinjaman modal yang harus dibayar setiap periodenya kepada pemberi pinjaman. Dalam analisis keuangan atau finansial terhadap penggunaan modal investasi bagi suatu proyek terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan sebagai pertimbangan kelayakan berlangsungnya proyek tersebut. Menurut Rangkuti (2005), metode tersebut antara lain sebagai berikut:

11 31 a) Metode non discounted criterion cashflow Metode ini pada dasarnya tidak mempertimbangkan nilai dari uang yang diinvestasikan di masa depan. Pada proyek-proyek dengan umur ekonomis yang panjang, penggunaan metode ini terlalu besar resikonya (Iskandar, 2003). Pengujian dengan metode ini terdiri dari beberapa kriteria seperti Marginal Efficiency of Capital (MEC), Accounting Rate of Return (ARR), dan Payback Period, dan Rangking by Inspection. Dalam bab 5 yang akan dibahas selanjutnya metode ini tidak digunakan. Pengujian mengenai kelayakan proyek digunakan dengan metode discounted criterion cashflow. b) Metode discounted criterion cashflow Metode ini pada dasarnya mempertimbangkan nilai dari uang yang diinvestasikan di masa sekarang (present value) dengan hasil yang akan didapatkan di masa depan (future value). Besarnya present value diperoleh dengan cara mengkalikan nilai uang yang akan didapatkan pada masa yang akan datang (future value) dengan Discount Factor (DF) perhitungan sebagai berikut Keterangan: PV = Present Value FV = Future Value i = tingkat discount rate n = jangka waktu (1 ). Present Value didapatkan dengan menggunakan PV = FV 1 ( n (1 + i) ) Pengujian dengan metode discounted criterion cashflow ini terdiri dari beberapa kriteria antara lain: 1) PI (Profitability Index) Profitability Index merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur rencana investasi yang diperoleh dengan membandingkan besarnya nilai present value dari pendapatan (cash inflow) dengan biaya investasi proyek (initial cash outlay) (Rangkuti, 2005). Perhitungan yang digunakan dalam PI adalah sebagai berikut: 1 ) Discount Factor merupakan bilangan yang dapat dipakai untuk mengkalikan suatu jumlah di waktu yang akan datang (F) supaya menjadi nilai sekarang (P) (Kadariah, 1988 p.19).

12 32 PV Cash Inflow PI = PV Initial Cash Outlay Parameter kelayakan yang digunakan dalam kriteria PI adalah sebagai berikut: Apabila nilai PI > 1 maka proyek layak dilakukan Apabila nilai PI < 1 maka proyek tidak layak dilakukan 2) NPV (Net Present Value) Net present value adalah selisih perhitungan antara jumlah penerimaan (income) dengan jumlah pengeluaran (cost) yang dinilai pada masa saat ini (present value) (Kadariah, 1988). Perhitungan yang digunakan dalam NPV adalah sebagai berikut: Keterangan: B n C n K n (1+ i ) n t Bn C NPV = n=1 n (1 + i) = Merupakan penerimaan ( Benefit ) pada tahun n = Merupakan pengeluaran ( Cost ) pada tahun n n K = Merupakan Capital yang dipergunakan selama periode investasi (n tahun) = Discount Factor Penentuan kelayakan investasi berdasarkan kriteria Net Present Value ini adalah antara lain: Bila NPV > 0, investasi dikatakan layak untuk dilaksanakan. Bila NPV < 0, investasi dikatakan tidak layak untuk dilaksanakan. Bila NPV = 0, investasi dikatakan mencapai break even point pada kondisi ini, keputusan sangat tergantung pada investor/developer. n 3) IRR (Internal Rate of Return) Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan bahwa jumlah nilai sekarang (netto) sama dengan jumlah seluruh biaya (cost) investasi proyek (Soetrisno, 1981 p.52). Besarnya IRR dapat membuat besarnya NPV proyek sama dengan nol dan membuat PI sama dengan 1. Besarnya IRR tidak dapat ditemukan secara langsung melainkan dicari dengan coba-coba lalu dilakukan interpolasi antara Discount Rate tertinggi (i ) yang menghasilkan NPV positif (NPV ) dan Discount Rate terendah (i ) yang menghasilkan NPV negatif (NPV )

13 33 (Kadariah, 1988 p.44). Perhitungan yang digunakan dalam IRR adalah sebagai berikut: IRR = ' NPV i + ( i" i' ) ' " NPV NPV Keterangan: i NPV NPV i i = discount rate mula-mula yang diperkirakan mendekati social discount rate = Present value positif = Present value negatif = discount rate yang menghasilkan Present value positif = discount rate yang menghasilkan Present value negatif Komponen Biaya Pengelolaan Biaya pengelolaan merupakan segala jenis biaya yang harus dikeluarkan ketika proses produksi rumah susun sederhana telah dilakukan. Komponen biaya ini terdiri dari beberapa sub komponen seperti: 1) Biaya Operasional Biaya operasional merupakan segala jenis biaya yang dibutuhkan dalam menjalankan fungsi pengelolaan rumah susun sederhana yang umumnya akan terdiri dari biaya-biaya seperti biaya administrasi termasuk biaya upah personil, biaya iuran atas pemakaian listrik, air, telepon dari pengelola dan kebersihan sampah, biaya pajak baik terdiri atas PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), Pajak perseroan dan PPn (Pajak Pertambahan Nilai). Beban biaya pajak PPn akan lebih lanjut dijelaskan dalam tinjauan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan RI No.36/PMK 03/2007 tentang batasan rusuna yang dibebaskan atas PPn. 2) Biaya Pemeliharaan Biaya pemeliharaan merupakan jenis biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perawatan atas bangunan gedung rumah susun sederhana dan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang digunakan. Besarnya biaya pemeliharaan ini dikeluarkan secara periodik bulanan, tahunan maupun sewaktu-waktu (Arifin, 2004). Total biaya operasional dan pemeliharaan besarnya sekitar 5% dari harga sewa rumah susun (Poerbo, 1993).

14 34 3) Depresiasi atau Biaya Penyusutan Bangunan Biaya penyusutan merupakan nilai ganti per tahun yang dikeluarkan atas beban pendapatan sebelum pajak dengan besaran yang tergantung kepada umur ekonomis suatu jenis gedung/bangunan (Poerbo,1993). Besar persentase depresiasi dan masa kegunaan ekonomisnya bermacam-macam. Di Amerika Serikat untuk jenis bangunan flat/apartemen umur ekonomisnya adalah 40 tahun dan nilai depresiasinya adalah 2,5% per tahun (Poerbo, 1993). 4) Pajak Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jenis pajak yang dibebankan kedalam proses pengelolaan rumah susun sederhana antara lain Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Perseroan. 6) Asuransi Asuransi digunakan dalam proses pengelolaan rumah susun dimaksudkan sebagai jaminan dalam resiko keselamatan penghuni yang dapat disebabkan oleh adanya kebakaran ataupun gempa pada bangunan rumah susun. Pembayaran polis pada rumah susun yang dikelola pemerintah tidak dibebankan kepada penghuni namun untuk rumah susun yang dikelola oleh swasta dibebankan kepada pemerintah Pendekatan Perhitungan Harga Sewa dan Harga Sewa-Beli Dalam subbab ini akan dijelaskan mengenai dasar perhitungan penentuan harga sewa-beli (jual) dan sewa dengan mengadaptasi pendekatan studi yang dilakukan oleh Poerbo (1993) tentang harga sewa minimum dan disesuaikan dengan perhitungan yang dilakukan oleh pengembang pada umumnya berdasarkan biaya produksi dan pengelolaannya Pendekatan Perhitungan Harga Sewa-Beli (Harga Jual) Perhitungan harga Sewa-Beli (Harga Jual) yang digunakan untuk rumah susun sederhana milik (rumah susun Karet Tengsin dan Bendungan Hilir I) diperoleh dengan pendekatan perhitungan sebagai berikut: BP ( SB ) = (Formulasi 1) unit

15 35 Keterangan: SB = Harga Sewa-Beli atau Harga Jual (hire-purchase) BP = Total Biaya Produksi unit = jumlah unit hunian yang terbangun dalam rumah susun (disesuaikan dengan tingkat occupancy rate di tiap Rumah susun studi) Setelah diperoleh harga sewa-beli (Harga jual) maka selanjutnya harga tersebut akan dimasukkan ke dalam perhitungan angsuran Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Besarnya suku bunga pinjaman KPR yang dipakai oleh beberapa bank bervariasi dari selang 9,5% sampai dengan 15%. Pada perhitungan yang dilakukan dalam studi ini dipakai suku bunga pinjaman KPR yang umumnya banyak dipakai oleh beberapa bank yaitu sebesar 12,5% dalam jangka waktu angsuran berkisar 5 sampai dengan 20 tahun melalui pendekatan perhitungan sebagai berikut: ( SB DP).(1 + k%) ( A) = (Formulasi 2) n Keterangan: SB = Harga Sewa-Beli atau Harga Jual (hire-purchase) (dalam rupiah) DP = Biaya Uang Muka atau Down Payment (DP) (dalam rupiah) k%` = Tingkat Suku Bunga KPR (dalam persen) n = lama waktu angsuran selama jangka waktu 5 sampai dengan 20 tahun (dalam bulan) Pendekatan Perhitungan Harga Sewa Perhitungan harga sewa yang digunakan untuk rumah susun sederhana sewa (rumah susun Pasar Jumat) diperoleh dengan pendekatan perhitungan sebagai berikut: BP n HSM = (Formulasi 3) [(n - L) x (12 bulan) x ( unit)] ( ) Keterangan: HSM = Harga Sewa Murni (dalam rupiah) BP n = Biaya Produksi setelah komponen biaya lahan dikenakan tingkat inflasi. Besarnya biaya lahan yang dikenakan tingkat inflasi dihitung dengan menggunakan perhitungan: BT = BT ( 1+ i) n n (Formulasi 4) BT = Komponen biaya lahan sebelum dikenakan inflasi (dalam rupiah)

16 36 BT n i n L unit = Komponen biaya lahan setelah dikenakan inflasi (dalam rupiah) = tingkat inflasi yang diperkirakan sebesar 0,75% (berdasarkan rata-rata fluktuasi inflation rate per bulan selama tahun 1996 sampai dengan 2007) = target waktu pengembalian modal/break Even Point (dalam tahun) = lama waktu pembangunan konstruksi (dalam tahun) = jumlah unit hunian yang terbangun dalam rumah susun (disesuaikan dengan tingkat occupancy rate di tiap Rumah susun studi) 2 Harga sewa yang dihasilkan dalam formulasi 3 di atas selanjutnya akan dikombinasikan dengan besarnya biaya pengelolaan yang dibebankan kepada tiap penghuni rumah susun (surcharge) sehingga diperoleh harga sewa total sebagai berikut: (HST ) = HSM BL + unit (Formulasi 5) Keterangan: HST = Harga Sewa Total (dalam rupiah) BL = Biaya Pengelolaan selama 1 bulan unit = jumlah unit hunian yang terbangun dalam rumah susun (disesuaikan dengan tingkat occupancy rate di tiap Rumah susun studi) 2.4. Klasifikasi Struktur Pendapatan Masyarakat DKI Jakarta dan Kemampuan Membayar Harga Sewa dan Sewa-Beli Rumah Susun Sederhana. Berdasarkan klasifikasi pendapatan yang telah disusun oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, secara umum struktur pendapatan masyarakat DKI Jakarta terbagi ke dalam tiga kategori yaitu pendapatan rendah, pendapatan menengah, dan pendapatan tinggi. Dilihat dari perbandingan rasio gini pendapatan, tiga kategori pendapatan masyarakat DKI Jakarta tersebut secara berturut-turut memiliki perbandingan persentase sebesar 40: 40: 20. Secara khusus, BPS juga membagi struktur pendapatan masyarakat DKI Jakarta secara rinci menjadi empat kategori antara lain: 1) Pendapatan Rendah (Low Income) 2 ) Besarnya inflation rate mengacu kepada data besarnya tingkat inflasi berdasarkan pengeluaran di bidang perumahan yang dikeluarkan oleh BPS (Biro Pusat Statistik)

17 37 Kelompok masyarakat dengan kategori pendapatan rendah adalah mereka dengan pendapatan per bulan kurang dari Rp ) Pendapatan Menengah Bawah (Middle Low Income) Kelompok masyarakat dengan kategori menengah bawah adalah mereka dengan pendapatan per bulan antara dari Rp sampai Rp ) Pendapatan Menengah Atas (Middle High Income) Kelompok masyarakat dengan kategori menengah atas adalah mereka dengan pendapatan per bulan antara dari Rp sampai Rp ) Pendapatan Tinggi (High Income) Kelompok masyarakat dengan kategori pendapatan tinggi adalah mereka dengan pendapatan per bulan di atas Rp Dalam studi ini pendekatan metode yang digunakan dalam memperoleh informasi mengenai kemampuan masyarakat dalam membayar harga sewa maupun angsuran harga sewa-beli didasarkan pada keterjangkauan harga sewa rumah yang didefinisikan oleh US Departement of Housing and Urban Development (2001) dan disesuaikan dengan parameter pendapatan yang digunakan bank pada umumnya dalam menilai kelompok masyarakat yang layak memperoleh kredit kepemilikan rumah. Definisi dari US Departement of Housing and Urban Development (2001) menyebutkan bahwa sebuah keluarga dikatakan mampu membayar sewa-rumah (ataupun angsuran sewa-beli) jika persentase pengeluaran untuk sewa rumah ditambah utilitas dasar, pajak dan pembayaran asuransi adalah 20% (minimum) sampai dengan 30% (maksimum) dari total pendapatan. Dari kisaran persentase antara 20% -30% tersebut diambil pendekatan persentase 25% dari total pendapatan untuk memperoleh informasi mengenai kemampuan masyarakat dalam membayar harga sewa maupun angsuran harga sewabeli. pendekatan persentase 25% dari total pendapatan diambil berdasarkan parameter pendapatan yang digunakan bank di Indonesia pada umumnya dalam menilai kelompok masyarakat yang layak memperoleh kredit kepemilikan rumah Indikator Kesesuaian Target Penghuni Rumah Susun Sederhana Indikator kesesuaian target penghuni rumah susun sederhana didasarkan pada ketentuan kriteria target grup penghuni yang dapat tinggal di rumah susun sederhana menurut beberapa tinjauan kebijakan seperti: UU No.16 tahun 1985 tentang Rumah

18 38 Susun, Peraturan pemerintah RI No.4 tahun 1988 tentang rumah susun, Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman Nomor: 10/KPTS/M/1999, dan Buku Pola Induk Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta. Berdasarkan pertimbangan tersebut diambil tiga indikator sebagai berikut: 1) Status penghuni rumah susun Berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman Nomor: 10/KPTS/M/1999 tentang kebijakan dan strategi pembangunan rumah susun sederhana disebutkan bahwa rumah susun sederhana dibedakan ke dalam dua jenis yaitu rumah susun milik (rusunami) dan rumah susun sewa (rusunawa). Berdasarkan kedua jenis rumah susun tersebut maka seharusnya penghuni yang tinggal didalamnya memiliki status sebagai pemilik (untuk rusunami) dan penyewa (untuk rusunawa). Dengan kondisi demikian, maka indikator target penghuni rumah susun dapat dikatakan sesuai apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Persentase sampel penghuni dengan status pemilik (pada rusunami) tidak kurang dari 100% b) Persentase sampel penghuni dengan status penyewa (pada rusunawa) tidak kurang dari 100% Pemakaian ukuran persentase tersebut didasarkan bahwa target penghuni seharusnya sesuai dengan jenis status kepemilikan rumah susun yang ditempati dan pertimbangan bahwa setiap penghuni rumah susun (tanpa kecuali) seharusnya tidak diperbolehkan menjual, menyewakan, atau mengontrakkan kembali ke penghuni lain yang bukan target penghuni rumah susun yang semestinya. 2) Tingkat Pendapatan Penghuni Rumah Susun Target penghuni rumah susun sederhana menurut UU No.16 tahun 1985 tentang rumah susun (pasal 3 ayat 1) dan Peraturan pemerintah RI No.4 tahun 1988 tentang rumah susun (pasal 53 ayat 1) adalah golongan masyarakat berpendapatan rendah. Apabila ditinjau dari klasifikasi pendapatan menurut BPS propinsi DKI Jakarta maka standar pendapatan masyarakat berpendapatan rendah adalah sebesar dibawah Rp Berdasarkan pertimbangan pendapatan penghuni rumah susun yang tergolong MBR tersebut maka target

19 39 penghuni rumah susun dapat dikatakan sesuai apabila persentase pendapatan sampel penghuni rumah susun yang berada dibawah Rp tidak kurang dari 100%. Pemakaian ukuran persentase tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa sasaran calon penghuni rumah susun menurut UU No.16 Tahun 1985 dan Peraturan pemerintah RI No.4 tahun 1988 adalah setiap masyarakat yang tergolong ke dalam Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR). 3) Kepemilikan hunian lain Berdasarkan pola induk pembangunan rumah susun di DKI Jakarta disebutkan bahwa target grup penghuni rumah susun adalah masyarakat dengan salah satu ketentuan kriterianya adalah belum memiliki rumah sendiri. Melalui kriteria persyaratan tersebut maka ukuran target penghuni rumah susun sederhana dapat dikatakan sesuai apabila persentase sampel penghuni rumah susun yang tidak memiliki rumah/hunian lain diluar rumah susun yang ditempati saat ini tidak kurang dari 100%. Pemakaian ukuran persentase tersebut didasarkan pada pertimbangan persyaratan calon penghuni rumah susun (menurut buku pola induk pembangunan rumah susun) yang menyebutkan bahwa setiap calon penghuni rumah susun (tanpa kecuali) adalah masyarakat yang belum memiliki rumah (hunian) lain. 2.6 Tinjauan Kebijakan Rumah Susun Konsep Kebijakan Pembangunan Rumah Susun 1000 menara Dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan ini pada dasarnya adalah Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah-bawah ke pusat aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di perkotaan, maka direncanakan suatu pembangunan hunian secara vertikal, berupa Rumah Susun sederhana (Rusuna). Pembangunan Rusun bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan Rusun layak huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah di kawasan perkotaan dengan penduduk di atas 1,5 juta jiwa. Sasaran pembangunan Rusun tahun , yakni pemenuhan kebutuhan Rusun layak huni sebanyak menara atau sekitar unit Rusun, dengan

20 40 harga sewa/jual yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah di kawasan perkotaan. Dalam kebijakan tidak dijelaskan secara pasti pasti parameter pendapatan masyarakat berpendapatan rendah yang berhak untuk menghuni rumah susun sederhana dan persyaratan-persyaratan lain secara lebih rinci. Sasaran pembangunan Rusun yang dilakukan di kota-kota prioritas seperti prioritas pembangunan, antara lain meliputi: Medan, Batam, Palembang, Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, dan Makassar ini juga dilakukan melalui pernaikan sistem pasokan, antara lain berupa: fasilitasi pengadaan tanah bagi pembangunan Rusun, berupa percepatan proses pembebasan dan sertifikasi tanah; percepatan proses perijinan; pengurangan/ penangguhan/ pembebasan biaya perijinan dan beban pajak, dukungan pembiayaan investasi pembangunan Rusun. Melalui perbaikan dari sisi permintaan, antara lain berupa: peningkatan kapasitas dayabeli dan kapasitas meminjam masyarakat, melalui upaya pemberdayaan masyarakat dan dukungan kebijakan fiskal yang dapat mendorong tumbuhnya pasar Rusun di perkotaan. Biaya keseluruhan pembangunan Rusun diperkirakan sebesar Rp 56,889 trilyun selama 5 tahun. Sumber pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Propinsi/Kabupaten/Kota sebesar 6,154 trilyun, sedangkan sebesar Rp 50,735 trilyun direncanakan berasal dari badan usaha dan masyarakat. Porsi terbesar dana APBN dipergunakan untuk dukungan fasilitas subsidi Kredit Pemilikan Rusun yang diperkirakan mencapai Rp 4,300 trilyun, serta bersama-sama dengan dana APBD, dengan perkiraan dana sebesar Rp 1,700 trilyun dipergunakan untuk kegiatan fasilitasi dan stimulasi peningkatan kualitas penyediaan prasarana, sarana dan utilitas kawasan perkotaan dan lingkungan Rusun. Sedangkan sisanya sebesar Rp 0,154 trilyun, merupakan dukungan terhadap penciptaan iklim yang kondusif terhadap percepatan pembangunan Rusun. Sementara itu, sumber dana terbesar berasal dari badan usaha dan masyarakat, yakni sebesar Rp 50,735 trilyun. Diharapkan dapat membiayai keseluruhan pembangunan unit Rusun di

21 41 kawasan perkotaan, termasuk biaya penyediaan tanah serta prasarana, sarana, dan utilitas Rusun Tinjauan Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan RI No.36/PMK 03/2007 Tentang Batasan Rusuna yang Dibebaskan Atas PPn Salah satu komponen biaya yang perlu diperhatikan dalam pembangunan rumah susun sederhana adalah biaya pajak yang salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.36/PMK.03/2007 disebutkan bahwa rumah susun yang dibebaskan dari PPN memiliki beberapa kriteria yaitu: a) harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp ,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); b) luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m 2 (dua puluh satu meter persegi); c) pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki. 2.7 Tinjauan Kasus Pembangunan Rumah Susun di Beberapa Negara Lain Kasus Pembangunan Rumah Susun di India India sebagai Negara berkembang di Asia memiliki jumlah populasi penduduk sebesar jiwa (data hasil sensus penduduk dalam Renu Sud Karnad, 2001) dengan kecenderungan jumlah populasi di perkotaan yang semakin naik dari tahun 1901 sebesar 26 juta hingga tahun 285 juta di tahun Seiring dengan naiknya jumlah populasi penduduk perkotaan tersebut maka jumlah kebutuhan perumahan juga semakin meningkat. Kondisi lahan yang semakin terbatas membuat kebijakan akan perumahan di India mengarah kepada pembangunan secara vertikal yang salah satunya diwujudkan melalui pembangunan rumah susun. Pembangunan dan pengelolaan rumah susun di India dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui beberapa program bantuan biaya

22 42 subsidi atau kerjasama antara pemerintah sebagai pengelola dengan pihak swasta sebagai pelaksana pembangunan. Jumlah populasi penduduk India sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan United Nations Human Settlements Programme, jumlah populasi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan berada di Kawasan perkotaan. Kondisi ini membuat pemerintah India mengeluarkan kebijakan pembangunan rumah susun yang diperuntukkan untuk masyarakat berpendapatan rendah. Housing and Urban Development Coorporotion ltd. (HUDCO) mengkaji masyarakat yang dikategorikan berpendapatan rendah di India adalah mereka dengan penghasilan sekitar pendapatan Rs 2,101/bulan sampai dengan Rs. 4,500/bulan. Pada awal pembangunannya rumah susun tersebut dipasarkan dengan harga sewa yang terjangkau namun pada akhirnya penghuni yang merupakan masyarakat berpendapatan rendah tidak mampu untuk menanggung iuran rutin yang merupakan biaya pengelolaan rumah susun tersebut. Tingginya biaya tinggal yang harus ditanggung oleh penghuni rumah susun membuat beban biaya yang terlalu besar melebihi beban biaya ketika masih menghuni perumahan kumuh mereka Kasus Pembangunan Rumah Susun di Singapura Singapura merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara yang sering menjadi proyek percontohan dari produksi perumahan yang terjangkau bagi negara-negara lain di Asia. Negara dengan luas wilayah sebesar 690 km 2 ini memiliki jumlah penduduk sebesar 3,4 juta jiwa dan 4 persen dari jumlah tersebut berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 1998 (Belinda Yuen, 2005). Dari data sensus yang dilakukan di Singapura pada tahun 2000 disebutkan bahwa sekitar rumah tangga mengeluarkan pengeluaran biaya hidup tidak kurang dari S$ 1000/bulan dengan pendapatan rata-rata sekitar S$ 459/bulan (pendapatan rata-rata rumah tangga secara keseluruhan sebesar S$ 4943/bulan). Definisi kemiskinan yang diturunkan dari kriteria kualifikasi pendapatan masyarakat Singapura adalah kelompok rumah tangga dengan pendapatan individu didalamnya sebesar S$ 10 per hari. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan keterbatasan lahan yang ada maka Singapura menerapkan kebijakan pembangunan perumahan secara vertikal

23 43 yang salah satunya adalah rumah susun (flat) yang terjangkau dari segi biaya sewa bagi masyarakat berpendapatan rendah. Kebijakan rumah susun di Singapura merupakan bagian yang paling penting dalam membantu kebutuhan akan akses perumahan. Proses persyaratan bagi penghuni dalam menempati rumah susun secara transparan merupakan salah satu aspek kelembagaan dalam sistem perumahan yang adil bagi semua pihak (Chong et.al, 1985 p.230 dalam Yuen, 2005 p.14). Adapun penyedian dana dan pembangunan Perumahan dilakukan oleh dua lembaga publik yaitu Housing and Development Board (HDB) dan Central Profiden Fund (CPF). HDB merupakan lembaga dibawah Kementrian Urusan Hukum dan Pembangunan Nasional yang bergerak dalam bidang penyediaan perumahan bagi publik sedangkan CPF merupakan Lembaga Keuangan non bank yang bergerak di bidang pemupukan dana tabungan masyarakat (Sudana, 2000). Dalam proses pelaksanaan pembangunan perumahan, HDB mendapat sumber dana keuangan dari CPF selain dari Capital Market (Wan, 1986 dalam Sudana, 2000). Jenis perumahan susun yang dibangun oleh pemerintah Singapura berdasarkan laporan HDB terdiri dari 2 jenis yaitu perumahan susun sewa dan perumahan susun milik. Untuk perumahan susun sewa terdiri dari 3 tipe yaitu rumah susun 1 kamar dengan luas lantai 33 m 2, rumah susun 2 kamar dengan luas lantai 45 m 2, rumah susun 3 kamar dengan luas lantai 69 m 2. Untuk perumahan susun milik terdiri dari 2 tipe yaitu rumah susun 4 kamar dengan luas lantai 90 m 2, rumah susun 5 kamar dengan luas lantai 110 m 2. Berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Singapura melalui Housing and Development Board (HDB) ditetapkan bahwa masyarakat singapura yang belum memiliki rumah pribadi dan memiliki pendapatan ruma tangga (household income) tidak lebih dari S$ 800/bulan berhak untuk menyewa/membeli rumah susun. Secara lebih rinci mekanisme persyaratan ini dapat dilihat dalam tabel II.1: Tabel II.1 Persyaratan Calon Penghuni Rumah Susun 1 kamar dan 2 kamar di Singapura Jenis SRS Rata-Rata Luas Lantai Biaya Sewa Kondisi Persyaratan a. Warga negara 1-kamar 33 S$ Singapura

24 44 2-kamar 45 S$ b. Minimal 21 Tahun c. Pendapatan Keluarga tidak melebihi S$ 800 per bulan d. Tidak memiliki properti di tempat lain. Sumber: HDB (2000) Dengan kondisi persyaratan di atas, maka sebagian masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya belum semuanya terjaring untuk memiliki akses akan kebutuhan rumah sehingga dapat dikatakan biaya tinggal yang harus dikeluarkan untuk menempati rumah susun (flats) masih dinilai sangat mahal dan belum sepenuhnya terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah (Streats, 25 Juli 2003) Kasus Pembangunan Rumah Susun di Malaysia Semenjak Merdeka, kebijakan mengenai perumahan telah menjadi prioritas dalam lima tahun rencana nasional negara Malaysia. Pembangunan perumahan yang dilakukan pemerintah bagi masyarakat berpendapatan rendah merupakan cara yang digunakan untuk mengatasi permasalahan permukiman liar (squatters) yang sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan terutama di tiap Ibukota propinsi. Jumlah dari populasi masyarakat yang menghuni perumahan liar diestimasi sekitar 5 sampai dengan 10% dari jumlah populasi penduduk Malaysia yang berjumlah 20 juta jiwa (Ali, 2001). Rumah susun sederhana digunakan pemerintah Malaysia sebagai tempat untuk merelokasi sebagian masyarakat yang mengalami proses pembersihan permukiman liar sebelumnya. Pembangunan Rumah susun di Negara Malaysia dimaksudkan untuk menjaring kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Berdasarkan The Seventh Malaysia Plan ( ) disebutkan bahwa masyarakat berpendapatan rendah adalah mereka yang memiliki pendapatan berkisar antara RM 1501-RM 2500 (US US 1.25 per bulan) (Shuid, 2001). Adapun jenis rumah susun sederhana yang diperuntukkan bagi masyarakat berpendapatan rendah sebagian besar memiliki ketinggian 5 lantai dan jumlah unit berkisar 4-10 unit SRS (Satuan Rumah Susun) untuk tiap lantai dengan luas minimum 48m 2 (Kooi dkk).

25 45 Harga sewa rumah susun yang diperuntukkan untuk masyarakat berpendapatan rendah di Malaysia tergantung kepada lokasi dan harga lahan yang digunakan untuk pembangunan. Pemerintah Negara Malaysia menetapkan harga sewa rumah susun dengan kategori RM 25,000.00, RM 30,000.00, RM 35, dan RM 42, per unit. Akan tetapi, dengan harga sewa minimum rumah susun sebesar RM (US 412.5) tersebut, sebagian masyarakat berpendapatan rendah di Malaysia masih belum mampu membelinya (Ali, 2001). Para pengembang rumah susun yang menilai harga sewa minimum yang diterapkan pemerintah tersebut sangat rendah sebagian besar mendapat pinjaman modal dari bank yang harus dibayar per bulan dalam periode 15 sampai dengan 25 tahun. Di sisi lain realita di Lapangan menunjukkan bahwa harga sewa rumah susun yang harus dibayar masyarakat biasanya lebih besar dari yang ditetapkan pemerintah. Hal ini tidak jarang membuat masyarakat penghuni tidak mampu membayar uang sewa sehingga sebagian dari mereka terpaksa menjual kembali unit rumah susun mereka dan kembali ke permukiman mereka yang liar (Ali, 2001). Berdasarkan tinjauan kasus-kasus kebijakan pembangunan rumah susun dari beberapa negara lain tersebut maka dapat diambil suatu ringkasan secara umum sebagai perbandingan dengan kebijakan pembangunan rumah susun di Indonesia yang dapat dilihat pada tabel II.2. No. 1 Tabel II.2 Ringkasan Studi Kasus Pembangunan Rumah Susun di Negara Lain Indikator Negara Pembanding India Singapura Malaysia Kelompok Masyarakat dengan Masyarakat dengan Masyarakat dengan Sasaran pendapatan Rs 2,101/- pendapatan sekitar S $ pendapatan sekitar RM Penghuni to RM 2500 Rumah Susun Rs. 4,500/-.

26 46 Jenis/Tipe Rumah Susun 2 Harga Sewa/bulan 3 Permasalahan yang sering terjadi 4 Rumah susun Perumahan susun sewa sederhana rata-rata terdiri dari 3 tipe yaitu memiliki luas unit rumah susun 1 kamar sekitar 21 m 2 untuk tipe 2 dengan luas lantai 33 m yang paling kecil., rumah susun 2 kamar dengan luas lantai 45 m 2, rumah susun 3 kamar dengan luas lantai 69 m 2. Perumahan susun milik terdiri dari 2 tipe yaitu rumah susun 4 kamar dengan luas lantai 90 m 2, rumah susun 5 kamar dengan luas lantai 110 m 2. Rs 50/bulan 1) S $ untuk tipe 2 33 m 2) S $ untuk tipe 2 45 m Disamping biaya sewa Biaya tinggal yang harus masih ada iuran rutin dikeluarkan untuk merupakan biaya menempati rumah susun pengelolaan rumah (flats) di Singapura susun tersebut yang masih dinilai sangat tinggi sehingga mahal dan belum membuat beban biaya sepenuhnya terjangkau yang terlalu besar bagi masyarakat melebihi beban biaya berpendapatan rendah. ketika masih menghuni perumahan kumuh mereka. Sumber: ringkasan subbab sampai dengan Rumah susun sederhana yang diperuntukkan bagi masyarakat berpendapatan rendah sebagian besar memiliki ketinggian 5 lantai dan jumlah unit berkisar 4-10 unit SRS (Satuan Rumah Susun) untuk tiap lantai dengan luas minimum 48m harga sewa rumah susun sederhana bervariasi dengan kategori RM 25,000.00, RM 30,000.00, RM 35, tergantung pada lokasi rumah susun sederhana tersebut. realita di Lapangan menunjukkan bahwa harga sewa rumah susun biasanya lebih besar dari yang ditetapkan pemerintah sehingga membuat penghuni tidak mampu membayar uang sewa dan sebagian dari mereka terpaksa menjual kembali unit rumah susun mereka dan kembali ke permukiman mereka yang liar. 2

PERHITUNGAN HARGA SEWA DAN SEWA-BELI RUMAH SUSUN SEDERHANA SERTA DAYA BELI MASYARAKAT BERPENDAPATAN RENDAH DI DKI JAKARTA

PERHITUNGAN HARGA SEWA DAN SEWA-BELI RUMAH SUSUN SEDERHANA SERTA DAYA BELI MASYARAKAT BERPENDAPATAN RENDAH DI DKI JAKARTA PERHITUNGAN HARGA SEWA DAN SEWA-BELI RUMAH SUSUN SEDERHANA SERTA DAYA BELI MASYARAKAT BERPENDAPATAN RENDAH DI DKI JAKARTA Jenis : Tugas Akhir Tahun : 2008 Penulis : Soly Iman Santoso Pembimbing : Ir. Haryo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota selalu diikuti dengan fenomena meningkatnya jumlah kebutuhan dasar akan perumahan. Seperti halnya kota-kota besar di Indonesia,

Lebih terperinci

PERENCANAAN BIAYA SEWA DAN BIAYA OPERASIONAL RUSUN SEDERHANA UNLAM. Retna Hapsari Kartadipura. Abstrak

PERENCANAAN BIAYA SEWA DAN BIAYA OPERASIONAL RUSUN SEDERHANA UNLAM. Retna Hapsari Kartadipura. Abstrak PERENCANAAN BIAYA SEWA DAN BIAYA OPERASIONAL RUSUN SEDERHANA UNLAM Retna Hapsari Kartadipura Abstrak Rumah susun sederhana sewa Unlam Banjarbaru dibangun di Jalan Unlam 1 yang berdekatan dengan Kampus

Lebih terperinci

Gambar 5.2 Skema Pembiayaan Rumah Susun Studi dengan Menggunakan Pola Swasta

Gambar 5.2 Skema Pembiayaan Rumah Susun Studi dengan Menggunakan Pola Swasta 95 BAB 5 SIMULASI MODEL PEMBIAYAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA Bab ini menjelaskan mengenai uji simulasi model pembiayaan pembangunan dan pengelolaan rumah susun studi dengan menggunakan mekanisme pola investasi

Lebih terperinci

BAB 4 BIAYA PRODUKSI, OPERASIONAL, SERTA PEMELIHARAAN DALAM PERHITUNGAN HARGA SEWA DAN SEWA-BELI RUMAH SUSUN SEDERHANA

BAB 4 BIAYA PRODUKSI, OPERASIONAL, SERTA PEMELIHARAAN DALAM PERHITUNGAN HARGA SEWA DAN SEWA-BELI RUMAH SUSUN SEDERHANA 67 BAB 4 BIAYA PRODUKSI, OPERASIONAL, SERTA PEMELIHARAAN DALAM PERHITUNGAN HARGA SEWA DAN SEWA-BELI RUMAH SUSUN SEDERHANA Bab ini membahas mengenai biaya yang dibutuhkan pada saat proses produksi serta

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 113 BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi dari studi yang telah dibahas pada bab 1 sampai dengan 5. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai kelemahan studi dan saran

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Daya Mandiri merencanakan investasi pendirian SPBU di KIIC Karawang.

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Daya Mandiri merencanakan investasi pendirian SPBU di KIIC Karawang. 42 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dalam upaya mengembangkan usaha bisnisnya, manajemen PT Estika Daya Mandiri merencanakan investasi pendirian SPBU di KIIC Karawang. Langkah pertama

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 18 /PERMEN/M/2007

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 18 /PERMEN/M/2007 PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 18 /PERMEN/M/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERHITUNGAN TARIF SEWA RUMAH SUSUN SEDERHANA YANG DIBIAYAI APBN DAN APBD Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ANALISIS INVESTASI BUDI SULISTYO

ANALISIS INVESTASI BUDI SULISTYO ANALISIS INVESTASI BUDI SULISTYO ASPEK INVESTASI UU & PERATURAN BIDANG USAHA STRATEGI BISNIS KEBIJAKAN PASAR LINGKUNGAN INVESTASI KEUANGAN TEKNIK & OPERASI ALASAN INVESTASI EKONOMIS Penambahan Kapasitas

Lebih terperinci

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya

Lebih terperinci

METODE ACCOUNTING RATE OF RETURN (ARR)

METODE ACCOUNTING RATE OF RETURN (ARR) METODE ACCOUNTING RATE OF RETURN (ARR) ARR dapat dihitung dengan dua cara : 1. ARR atas dasar Initial Invesment NI ARR = ----------- x 100 % Io dimana : NI = Net Income (keuntungan netto rata-rata tahunan)

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Metode Kelayakan Investasi Evaluasi terhadap kelayakan ekonomi proyek didasarkan pada 2 (dua) konsep analisa, yaitu analisa ekonomi dan analisa finansial. Analisa ekomoni bertujuan

Lebih terperinci

ANALISA PILIHAN INVESTASI ANTARA APARTEMEN DAN LANDED HOUSE UNTUK KAWASAN MILIK PT. X DI SIDOARJO

ANALISA PILIHAN INVESTASI ANTARA APARTEMEN DAN LANDED HOUSE UNTUK KAWASAN MILIK PT. X DI SIDOARJO ANALISA PILIHAN INVESTASI ANTARA APARTEMEN DAN LANDED HOUSE UNTUK KAWASAN MILIK PT. X DI SIDOARJO Dwi Joko Fachrur Rozi 1) dan I Ketut Gunarta 2) 1) Program Studi Magister Manajemen Teknologi, Institut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. AsiA Day Madiun-Malang, penelitian menggunakan metode-metode penilaian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. AsiA Day Madiun-Malang, penelitian menggunakan metode-metode penilaian BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian oleh Dwi Susianto pada tahun 2012 dengan judul Travel AsiA Day Madiun-Malang, penelitian menggunakan metode-metode penilaian

Lebih terperinci

Bab 7 Teknik Penganggaran Modal (Bagian 2)

Bab 7 Teknik Penganggaran Modal (Bagian 2) M a n a j e m e n K e u a n g a n 103 Bab 7 Teknik Penganggaran Modal (Bagian 2) Mahasiswa diharapkan dapat memahami, menghitung, dan menjelaskan mengenai penggunaan teknik penganggaran modal yaitu Accounting

Lebih terperinci

Aspek Ekonomi dan Keuangan. Pertemuan 11

Aspek Ekonomi dan Keuangan. Pertemuan 11 Aspek Ekonomi dan Keuangan Pertemuan 11 Aspek Ekonomi dan Keuangan Aspek ekonomi dan keuangan membahas tentang kebutuhan modal dan investasi yang diperlukan dalam pendirian dan pengembangan usaha yang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Studi Kelayakan Proyek Dalam menilai suatu proyek, perlu diadakannya studi kelayakan untuk mengetahui apakah proyek tersebut layak untuk dijalankan atau tidak. Dan penilaian tersebut

Lebih terperinci

Bab 5 Penganggaran Modal

Bab 5 Penganggaran Modal M a n a j e m e n K e u a n g a n 90 Bab 5 Penganggaran Modal Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menjelaskan mengenai teori dan perhitungan dalam investasi penganggaran modal dalam penentuan keputusan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit),

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. KERANGKA TEORI 2.1.1. Pengertian Studi Kelayakan Bisnis Studi Kelayakan bisnis adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang kegiatan atau usaha atau bisnis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Studi Kelayakan Bisnis 2.1.1 Pengertian Studi Kelayakan Bisnis Kata bisnis berasal dari bahasa Inggris busy yang artinya sibuk, sedangkan business artinya kesibukan. Bisnis dalam

Lebih terperinci

VII. RENCANA KEUANGAN

VII. RENCANA KEUANGAN VII. RENCANA KEUANGAN Rencana keuangan bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan. Untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina dan dikembangkan

Lebih terperinci

12/23/2016. Studi Kelayakan Bisnis/ RZ / UNIRA

12/23/2016. Studi Kelayakan Bisnis/ RZ / UNIRA Studi Kelayakan Bisnis/ RZ / UNIRA Bagaimana kesiapan permodalan yang akan digunakan untuk menjalankan bisnis dan apakah bisnis yang akan dijalankan dapat memberikan tingkat pengembalian yang menguntungkan?

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUTUSAN INVESTASI (CAPITAL BUDGETING) Disampaikan Oleh Ervita safitri, S.E., M.Si

ANALISIS KEPUTUSAN INVESTASI (CAPITAL BUDGETING) Disampaikan Oleh Ervita safitri, S.E., M.Si ANALISIS KEPUTUSAN INVESTASI (CAPITAL BUDGETING) Disampaikan Oleh Ervita safitri, S.E., M.Si PENDAHULUAN Keputusan investasi yang dilakukan perusahaan sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup perusahaan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Obyek penelitian berupa proyek pembangunan apartemen Grand Taman

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Obyek penelitian berupa proyek pembangunan apartemen Grand Taman BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Deskripsi Obyek Penelitian Obyek penelitian berupa proyek pembangunan apartemen Grand Taman Melati Margonda yang terletak di Jalan Margonda, Kota Depok. Proyek tersebut

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sebuah lokasi yang berada Desa Kanreapia Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

ANALISIS ASPEK KEUANGAN DALAM MANAJEMEN PROYEK *)

ANALISIS ASPEK KEUANGAN DALAM MANAJEMEN PROYEK *) ANALISIS ASPEK KEUANGAN DALAM MANAJEMEN PROYEK *) A. Dasar Dasar Proyek 1. Batasan Proyek Clive Gray mendifinisikan proyek sebagai kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam satu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 16 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Usaha pengembangan kerupuk Ichtiar merupakan suatu usaha yang didirikan dengan tujuan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Melihat dari adanya peluang

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis finansial bertujuan untuk menghitung jumlah dana yang diperlukan dalam perencanaan suatu industri melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Analisis Kelayakan Usaha Analisis Kelayakan Usaha atau disebut juga feasibility study adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat

Lebih terperinci

BAB VI ASPEK KEUANGAN. melakukan penghitungan net present value serta payback period. Proyeksi keuangan ini dibuat. Tabel 6.

BAB VI ASPEK KEUANGAN. melakukan penghitungan net present value serta payback period. Proyeksi keuangan ini dibuat. Tabel 6. 76 BAB VI ASPEK KEUANGAN 6.1 Penjelasan Umum Bagian ini menjelaskan mengenai kebutuhan dana, sumber dana, proyeksi neraca, proyeksi laba-rugi, proyeksi arus kas, dan penilaian kelayakan investasi yang

Lebih terperinci

PENENTUAN HARGA SEWA RUMAH SUSUN BERDASARKAN ANALISA WTP (WILLINGNESS TO PAY) DI KECAMATAN SIDOARJO

PENENTUAN HARGA SEWA RUMAH SUSUN BERDASARKAN ANALISA WTP (WILLINGNESS TO PAY) DI KECAMATAN SIDOARJO PENENTUAN HARGA SEWA RUMAH SUSUN BERDASARKAN ANALISA WTP (WILLINGNESS TO PAY) DI KECAMATAN SIDOARJO Dyah Purnamasari Mahasiswa Magister Manajemen Aset FTSP ITS Email : dyahpurnamasari@yahoo.com Retno Indryani

Lebih terperinci

Kata kunci: gedung perkantoran, analisa teknis dan finansial, Kabupaten Kapuas

Kata kunci: gedung perkantoran, analisa teknis dan finansial, Kabupaten Kapuas SWASTANISASI PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG PERKANTORAN MENGGUNAKAN ANALISA TEKNIS DAN FINANSIAL (Studi Kasus Proyek Pembangunan Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kapuas) Astati Novianti, Retno Indryani,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. Bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA Lampiran... 75

BAB V PENUTUP Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA Lampiran... 75 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i SURAT PERNYATAAN... ii SURAT KETERANGAN PERBAIKAN/REVISI LAPORAN TUGAS AKHIR iii LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR... iv ABSTRAK... v UCAPAN TERIMAKASIH... vi DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

MANAJEMEN KEUANGAN LANJUTAN ANDRI HELMI M, S.E., M.M

MANAJEMEN KEUANGAN LANJUTAN ANDRI HELMI M, S.E., M.M MANAJEMEN KEUANGAN LANJUTAN ANDRI HELMI M, S.E., M.M TIME VALUE OF MONEY Nilai uang saat ini lebih berharga dari pada nanti. Individu akan memilih menerima uang yang sama sekarang daripada nanti, dan lebih

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN INVESTASI PERUMAHAN GREEN SEMANGGI MANGROVE SURABAYA DITINJAU DARI ASPEK FINANSIAL

STUDI KELAYAKAN INVESTASI PERUMAHAN GREEN SEMANGGI MANGROVE SURABAYA DITINJAU DARI ASPEK FINANSIAL STUDI KELAYAKAN INVESTASI PERUMAHAN GREEN SEMANGGI MANGROVE SURABAYA DITINJAU DARI ASPEK FINANSIAL Disusun oleh: ANDINI PRASTIWI NRP : 3111105038 Dosen Pembimbing: Christiono Utomo, ST., MT., PhD. Program

Lebih terperinci

Penganggaran Modal 1 BAB 10 PENGANGGARAN MODAL

Penganggaran Modal 1 BAB 10 PENGANGGARAN MODAL Penganggaran Modal 1 BAB 10 PENGANGGARAN MODAL Penganggaran Modal 2 KERANGKA STRATEGIK KEPUTUSAN PENGANGGARAN MODAL Keputusan penganggaran modal harus dihubungkan dengan perencanaan strategi perusahaan

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis aspek finansial bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan.

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan ikan lele phyton, serta untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan pada

Lebih terperinci

Bab 6 Teknik Penganggaran Modal (Bagian 1)

Bab 6 Teknik Penganggaran Modal (Bagian 1) M a n a j e m e n K e u a n g a n 96 Bab 6 Teknik Penganggaran Modal (Bagian 1) Mahasiswa diharapkan dapat memahami, menghitung, dan menjelaskan mengenai penggunaan teknik penganggaran modal yaitu Payback

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM RUMAH SUSUN STUDI

BAB 3 GAMBARAN UMUM RUMAH SUSUN STUDI 47 BAB 3 GAMBARAN UMUM RUMAH SUSUN STUDI Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang pembangunan, sistem pengelolaan serta gambaran sosial-ekonomi penghuni rumah susun yang distudi. 3.1. Rumah Susun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia. Selain itu, kebutuhan

Lebih terperinci

Analisa Luasan Area Parkir

Analisa Luasan Area Parkir Analisa Luasan Area Parkir Manajemen Pengelolaan Kehadiran dan keberadaan manajemen properti diperlukan baik oleh sektor privat maupun sektor publik yang memiliki dan/atau menggunakan properti, baik dalam

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. penelitian ini, maka penulis dapat menarik simpulan sebagai berikut:

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. penelitian ini, maka penulis dapat menarik simpulan sebagai berikut: BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan permasalahan serta maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka penulis dapat menarik simpulan sebagai berikut: 1. Estimasi incremental

Lebih terperinci

dimana jangka waktu kembalinya dana tersebut melebihi waktu satu tahun. Batas waktu satu

dimana jangka waktu kembalinya dana tersebut melebihi waktu satu tahun. Batas waktu satu A. Pengertian Capital Budgeting Definisi Capital Budgeting menurut Bambang Riyanto (hal 121, thn 1995) adalah keseluruhan proses perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pengeluaran dana dimana jangka

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Jadwal Pembangunan dan Pemasaran Proyek

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Jadwal Pembangunan dan Pemasaran Proyek BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Asumsi-Asumsi Pembangunan 4.1.1. Jadwal Pembangunan dan Pemasaran Proyek Berdasarkan keterangan yang diperoleh, pelaksanaan pembangunan proyek telah dimulai sejak awal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.101 2016 KESRA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Penyelenggaraan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5883) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERUMAHAN TANTANGAN, VISI, DAN ARAHAN PROGRAM

PEMBANGUNAN PERUMAHAN TANTANGAN, VISI, DAN ARAHAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERUMAHAN TANTANGAN, VISI, DAN ARAHAN PROGRAM MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BAPPENAS JAKARTA, 25 NOVEMBER 2013 Outline Isu dan Tantangan Perumahan dan Permukiman Kebijakan dan

Lebih terperinci

PENGANGGARAN MODAL. Rona Tumiur Mauli Caroline Simorangkir, SE.,MM. Modul ke: Fakultas EKONOMI & BISNIS. Program Studi AKUNTANSI

PENGANGGARAN MODAL. Rona Tumiur Mauli Caroline Simorangkir, SE.,MM. Modul ke: Fakultas EKONOMI & BISNIS. Program Studi AKUNTANSI PENGANGGARAN MODAL Modul ke: Fakultas EKONOMI & BISNIS Rona Tumiur Mauli Caroline Simorangkir, SE.,MM. Program Studi AKUNTANSI www.mercubuana.ac.id Dasar-Dasar Penganggaran Modal Definisi dan Metode Metode

Lebih terperinci

IX. INVESTASI DAN EVALUASI EKONOMI

IX. INVESTASI DAN EVALUASI EKONOMI IX. INVESTASI DAN EVALUASI EKONOMI Suatu pabrik layak didirikan jika telah memenuhi beberapa syarat antara lain safety-nya terjamin dan dapat mendatangkan profit. Investasi pabrik merupakan dana atau modal

Lebih terperinci

PENGANGGARAN MODAL (CAPITAL BUDGETING)

PENGANGGARAN MODAL (CAPITAL BUDGETING) Modul ke: PENGANGGARAN MODAL (CAPITAL BUDGETING) Fakultas FEB MEILIYAH ARIANI, SE., M.Ak Program Studi Akuntansi http://www.mercubuana.ac.id Penganggaran Modal ( Capital Budgeting) Istilah penganggaran

Lebih terperinci

ASPEK KEUANGAN. Disiapkan oleh: Bambang Sutrisno, S.E., M.S.M.

ASPEK KEUANGAN. Disiapkan oleh: Bambang Sutrisno, S.E., M.S.M. ASPEK KEUANGAN Disiapkan oleh: Bambang Sutrisno, S.E., M.S.M. PENDAHULUAN Aspek keuangan merupakan aspek yang digunakan untuk menilai keuangan perusahaan secara keseluruhan. Aspek keuangan memberikan gambaran

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Capital Budgeting, Payback Period, Net Present Value, dan Internal Rate of Return. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Kata Kunci: Capital Budgeting, Payback Period, Net Present Value, dan Internal Rate of Return. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK PT. Citra Jaya Putra Utama merupakan salah satu perusahaan jasa yang bergerak di bidang distribusi farmasi. Perusahaan saat ini ingin melakukan investasi modal dalam bentuk cabang baru di Surabaya

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), proyek pada dasarnya merupakan kegiatan yang menyangkut pengeluaran modal (capital

Lebih terperinci

Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah

Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-222 Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah Yudha Pramana dan I Putu Artama Wiguna Departemen

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Tugas Akhir Analisis Kelayakan Investasi nilai Jual Minimum Perumahan Bale Maganda Kahuripan BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI. Tugas Akhir Analisis Kelayakan Investasi nilai Jual Minimum Perumahan Bale Maganda Kahuripan BAB II LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Secara umum setiap proyek harus dianalisis dari berbagai aspek. Maksud dari analisis proyek adalah untuk memperbaiki pemilihan investasi. Pemilihan berbagai macam

Lebih terperinci

Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah

Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah A222 Yudha Pramana dan I Putu Artama Wiguna Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

II. KERANGKA PEMIKIRAN

II. KERANGKA PEMIKIRAN II. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan kumpulan teori yang digunakan dalam penelitian. Teori-teori ini berkaitan erat dengan permasalahan yang ada

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di perusahaan peternakan sapi perah di CV. Cisarua Integrated Farming, yang berlokasi di Kampung Barusireum, Desa Cibeureum, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori RUSUN (rumah susun) merupakan model yang tepat dengan filosofi dasar untuk meningkatkan martabat masyarakat berpenghasilan rendah dengan penyediaan fasilitas

Lebih terperinci

ANALISA KELAYAKAN FINANSIAL TERHADAP PENGEMBANGAN PERUMAHAN REGENCY TIPE CLUSTER DI BIAK, PAPUA TUGAS AKHIR

ANALISA KELAYAKAN FINANSIAL TERHADAP PENGEMBANGAN PERUMAHAN REGENCY TIPE CLUSTER DI BIAK, PAPUA TUGAS AKHIR ANALISA KELAYAKAN FINANSIAL TERHADAP PENGEMBANGAN PERUMAHAN REGENCY TIPE CLUSTER DI BIAK, PAPUA TUGAS AKHIR Diajukan oleh : EKO PRASETYO BASUKI 0 8 5 3 0 1 0 0 6 2 PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data VI METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Wisata Agro Tambi, Desa Tambi, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

Analisis Kelayakan Proyek. Muhammad Taqiyyuddin Alawiy, ST., MT Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang

Analisis Kelayakan Proyek. Muhammad Taqiyyuddin Alawiy, ST., MT Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang Analisis Kelayakan Proyek Muhammad Taqiyyuddin Alawiy, ST., MT Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang Kebijakan Publik Perlukah membangun rumah sakit baru? Membangun bandara atau menambah

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Definisi Proyek Menurut Kadariah et al. (1999) proyek merupakan suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Investasi Investasi merupakan kegiatan menanamkan modal jangka panjang, dimana selain investasi tersebut perlu pula disadari dari awal bahwa investasi akan diikuti

Lebih terperinci

Manajemen Investasi. Febriyanto, SE, MM. LOGO

Manajemen Investasi. Febriyanto, SE, MM.  LOGO Manajemen Investasi Febriyanto, SE, MM. www.febriyanto79.wordpress.com LOGO 2 Manajemen Investasi Aspek Keuangan Aspek keuangan merupakan aspek yang digunakan untuk menilai keuangan perusahaan secara keseluruhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. PT Trikarya Idea Sakti selaku Developer telah

BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. PT Trikarya Idea Sakti selaku Developer telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Banyaknya investasi proyek yang gagal, baik pada tahap pembangunan maupun tahap operasi, membuat perlunya ketepatan dan ketelitian dalam tahap analisis kelayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai penyesuaian tarif sewa Rusunawa Tambak. Berdasarkan latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengenai penyesuaian tarif sewa Rusunawa Tambak. Berdasarkan latar belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang latar belakang dan motivasi penelitian mengenai penyesuaian tarif sewa Rusunawa Tambak. Berdasarkan latar belakang timbul permasalahan mengenai penetapan tarif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta yang mencakup Jabodetabek merupakan kota terpadat kedua di dunia dengan jumlah penduduk 26.746.000 jiwa (sumber: http://dunia.news.viva.co.id). Kawasan Jakarta

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan mempergunakan

Lebih terperinci

Aspek Keuangan. Dosen: ROSWATY,SE.M.Si

Aspek Keuangan. Dosen: ROSWATY,SE.M.Si Aspek Keuangan Dosen: ROSWATY,SE.M.Si PENGERTIAN ASPEK KEUANGAN Aspek keuangan merupakan aspek yang digunakan untuk menilai keuangan perusahaan secara keseluruhan. Aspek keuangan memberikan gambaran yang

Lebih terperinci

BAB V KEPUTUSAN INVESTASI

BAB V KEPUTUSAN INVESTASI BAB V KEPUTUSAN INVESTASI A. Tujuan Kompetensi Khusus Setelah mengikuti perkuliahan, diharapkan mahasiswa mampu: Memahami Pentingnya Keputusan Investasi Mampu Menghitung Cash Flow Proyek Investasi Memahami

Lebih terperinci

9 Universitas Indonesia

9 Universitas Indonesia BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 2.1. Studi Kelayakan Studi kelayakan atau feasibility study adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha atau bisnis yang akan dijalankan,

Lebih terperinci

Pendahuluan. Prosedur Capital Budgeting atau Rencana Investasi

Pendahuluan. Prosedur Capital Budgeting atau Rencana Investasi Pendahuluan Suatu program capital budgeting atau rencana investasi yang baik membutuhkan beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam proses pengambilan keputusan. Langkah-langkah tersebut adalah : 1) Penelitian

Lebih terperinci

ANALISA KEBUTUHAN RUMAH SUSUN UNTUK DOSEN DAN PEGAWAI DI ITS SURABAYA

ANALISA KEBUTUHAN RUMAH SUSUN UNTUK DOSEN DAN PEGAWAI DI ITS SURABAYA ANALISA KEBUTUHAN RUMAH SUSUN UNTUK DOSEN DAN PEGAWAI DI ITS SURABAYA Muhammad Rahman Mahasiswa Magister Manajemen Aset FTSP ITS Email: rahman2911@yahoo.com Ria Asih Aryani Soemitro Dosen Pembina Magister

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Studi Kelayakan Proyek Proyek merupakan suatu kegiatan untuk membangun sistem yang belum ada. Sistem dibangun dahulu oleh proyek, kemudian dioperasionalkan

Lebih terperinci

MODEL STUDI KELAYAKAN INVESTASI PROYEK PERUMAHAN SEDERHANA

MODEL STUDI KELAYAKAN INVESTASI PROYEK PERUMAHAN SEDERHANA MODEL STUDI KELAYAKAN INVESTASI PROYEK PERUMAHAN SEDERHANA Bernard Julius Seto 1, Danny Sungko 2, Ratna Setiawardani Alifen 3 ABSTRAK: Meningkatnya kebutuhan akan perumahan sederhana memunculkan peluang

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikirian Teoritis Penelitian tentang analisis kelayakan yang akan dilakukan bertujuan melihat dapat tidaknya suatu usaha (biasanya merupakan proyek atau usaha investasi)

Lebih terperinci

Penetepan Harga Sewa Ruang Rusunawa Sumur Welut Surabaya Dengan Metode Permenpera No.18 Tahun 2007

Penetepan Harga Sewa Ruang Rusunawa Sumur Welut Surabaya Dengan Metode Permenpera No.18 Tahun 2007 1 Penetepan Harga Sewa Ruang Rusunawa Sumur Welut Surabaya Dengan Metode Permenpera No.18 Tahun 2007 Tantio Cahyo Fajrin, Retno Indryani, Ir., MS. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkantoran di Jakarta. PT XYZ saat ini dimiliki oleh PT BCD sebesar 72,25%

BAB 1 PENDAHULUAN. perkantoran di Jakarta. PT XYZ saat ini dimiliki oleh PT BCD sebesar 72,25% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang sewa perkantoran di Jakarta. PT XYZ saat ini dimiliki oleh PT BCD sebesar 72,25% kepemilikan, PT AP sebesar

Lebih terperinci

Materi 7 Metode Penilaian Investasi

Materi 7 Metode Penilaian Investasi Pendahuluan Materi 7 Metode Penilaian Investasi Dalam menentukan usulan proyek investasi mana yang akan diterima atau ditolak Maka usulan proyek investasi tersebut harus dinilai 1 2 Metode Penilaian 1.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pada akhirnya setelah penulis melakukan penelitian langsung ke perusahaan serta melakukan perhitungan untuk masing-masing rumus dan mencari serta mengumpulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian dan Pentingnya Investasi Investasi diambil dari kata bahasa Inggris investation yang bermakna penanaman modal. Investasi merupakan salah

Lebih terperinci

Penganggaran Modal. Gambaran Umum Penganggaran Modal, Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return. Nurahasan Wiradjegha, S.E.,M.

Penganggaran Modal. Gambaran Umum Penganggaran Modal, Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return. Nurahasan Wiradjegha, S.E.,M. Modul ke: Penganggaran Modal Fakultas EKONOMI Gambaran Umum Penganggaran Modal, Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return Program Studi Manajemen 84008 www.mercubuana.ac.id Nurahasan Wiradjegha,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti perangkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti perangkat 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Istilah peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat (KBBI, 2005:854).

Lebih terperinci

RANGKUMAN BAB 23 EVALUASI EKONOMI DARI PENGELUARAN MODAL (Akuntansi Biaya edisi 13 Buku 2, Karangan Carter dan Usry)

RANGKUMAN BAB 23 EVALUASI EKONOMI DARI PENGELUARAN MODAL (Akuntansi Biaya edisi 13 Buku 2, Karangan Carter dan Usry) RANGKUMAN BAB 23 EVALUASI EKONOMI DARI PENGELUARAN MODAL (Akuntansi Biaya edisi 13 Buku 2, Karangan Carter dan Usry) BIAYA MODAL ( THE COST OF CAPITAL ) Biaya modal mewakili perkiraan tingkat pengembalian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab empat, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Sebelum melakukan analisis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia. Seiring dengan rutinitas dan padatnya aktivitas yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISA KEUANGAN

BAB 5 ANALISA KEUANGAN BAB 5 ANALISA KEUANGAN 5.1 Ekuitas (Equity) Tiga elemen penting dari bisnis adalah aset, hutang, dan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan. Menurut Weygandt, Kimmel, dan Kieso (2011:12), terdapat hubungan

Lebih terperinci

Oleh : Ani Hidayati. Penggunaan Informasi Akuntansi Diferensial Dalam Pengambilan Keputusan Investasi

Oleh : Ani Hidayati. Penggunaan Informasi Akuntansi Diferensial Dalam Pengambilan Keputusan Investasi Oleh : Ani Hidayati Penggunaan Informasi Akuntansi Diferensial Dalam Pengambilan Keputusan Investasi Keputusan Investasi (capital investment decisions) Berkaitan dengan proses perencanaan, penentuan tujuan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikirian Teoritis 3.1.1 Studi Kelayakan Proyek Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan proyek investasi)

Lebih terperinci

IX. INVESTASI DAN EVALUASI EKONOMI

IX. INVESTASI DAN EVALUASI EKONOMI IX. INVESTASI DAN EVALUASI EKONOMI Suatu pabrik layak didirikan jika telah memenuhi beberapa syarat antara lain safety-nya terjamin dan dapat mendatangkan profit. Investasi pabrik merupakan dana atau modal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Investasi dan Proyek 2.2 Pengertian Bisnis 2.3 Pengertian Studi Kelayakan Bisnis

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Investasi dan Proyek 2.2 Pengertian Bisnis 2.3 Pengertian Studi Kelayakan Bisnis BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Investasi dan Proyek Kasmir dan Jakfar berpendapat bahwa investasi dapat diartikan sebagai penanaman modal dalam suatu kegiatan yang memiliki jangka waktu relatif panjang

Lebih terperinci