V. HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Hadian Pranata
- 4 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Peneluran Maleo Areal yang termasuk ke dalam lokasi penelitian hanya kawasan TNLL yang diduga terdapat sarang maleo. Luas areal TNLL adalah ,18 Ha, akan tetapi luas wilayah yang digunakan maleo untuk bertelur hanya 25,12 Ha dan mencakup 6 tipe habitat yakni hutan sekunder, semak belukar, semak dan perdu, tanaman bambu serta tanaman coklat. Dengan mempertimbangkan kondisi lapangan, intensitas sampling yang digunakan adalah 21,74%. Luas daerah yang teramati sebesar 5,46 Ha. Luasan masing-masing areal penelitian di setiap tipe habitat dan unit contohnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Luasan masing-masing tipe habitat dan unit contoh berdasarkan luas secara proposional pada areal penelitian No Tipe Luasan (ha) Luas Unit Contoh (ha) 1 Hutan Sekunder 1,93 0,42 2 Semak Belukar 2,91 0,63 3 Semak dan Perdu 7,31 1,59 4 Sempadan Sungai 9,52 2,07 5 Tanaman Bambu 2,21 0,48 6 Tanaman Coklat 1,24 0,27 TOTAL 25,12 5,46 Kawasan peneluran maleo di TNLL sebagian besar terletak dekat dengan pemukiman penduduk dan telah mengalami degradasi akibat pola penggunaan lahan yang kurang tepat dan usaha konversi hutan untuk penggunaan lain. Kondisi topografi datar hingga landai dan tanah yang subur seringkali memicu masyarakat untuk melakukan perluasan areal perkebunan, terutama coklat, hingga melewati batas taman nasional. Aktivitas manusia di lokasi peneluran merupakan gangguan yang memberikan pengaruh terhadap berkurangnya kualitas dan jumlah lokasi peneluran yang sebelumnya dianggap sesuai bagi maleo untuk membuat sarang. Dari hasil pengamatan, maleo di TNLL menggunakan sumber panas bumi (geothermal) untuk mengerami telurnya. Hal tersebut diindikasikan oleh adanya mata air panas di dekat lokasi peneluran. Menurut Gunawan (2000) sifat temperatur tanah sarang yang bersumber panas bumi adalah semakin dalam sarang semakin meningkat temperaturnya karena semakin mendekati sumber
2 panas. Temperatur tanah sarang tidak dipengaruhi oleh jarak horizontal dari sarang ke mata air panas, karena sumber panas pengeraman bukan berasal dari mata air panas tetapi dari panas di dalam perut bumi. Mata air panas merupakan indikator bahwa di daerah tersebut terdapat sumber panas bumi. Lokasi peneluran maleo di TNLL memiliki ketinggian antara mdpl. Pada lokasi peneluran dengan tipe habitat hutan sekunder dijumpai pohon-pohon dari jenis Eucalyptus deglupta, Pometia pinnata, Fragrea truncata, Dracontomelon mangiferum dan Canangium odoratum dengan tajuk yang tertutup dan jarak antar tegakan yang relatif rapat, berkisar antara 6-12 m. Kondisi tersebut mengakibatkan cahaya matahari tidak sampai ke lantai hutan. Di habitat hutan sekunder lubang peneluran maleo ditemukan di sela-sela sistem perakaran pohon dan dibawah tajuk yang tidak memungkinkan bagi sinar matahari untuk menembus hingga ke permukaan tanah. Pada habitat semak belukar, semak dan perdu, serta sempadan sungai, banyak dijumpai jenis rumput Paspalum conjugatum dan vegetasi sekunder dari jenis yang bersifat intoleran seperti Anthocephalus sp., Piper aduncum, Macangara sp., Ficus spp. dan Imperata cylindrica. Meskipun memiliki kondisi vegetasi yang mirip namun tingkat kerapatan vegetasi di ketiga habitat tersebut tampak sangat berbeda. Berdasarkan pengamatan, ketiadaan tumbuhan bertajuk pada habitat semak belukar mengakibatkan permukaan tanah tampak lebih kering karena lebih mudah ditembus sinar matahari dibandingkan habitat semak dan perdu serta sempadan sungai. Lubang peneluran maleo ditemukan di sela-sela semak belukar yang masih terlindung dari sinar matahari sepanjang siang. Kondisi ini berbeda dengan habitat semak dan perdu dimana lubang peneluran dibuat terlindung di bawah tajuk perdu dan sistem perakaran vegetasi sekunder. Beberapa lokasi peneluran maleo di TNLL dengan tipe habitat semak belukar serta semak dan perdu merupakan areal bekas ladang penduduk yang telah ditinggalkan. Pada habitat sempadan sungai keberadaan sarang maleo terancam oleh air pasang sungai. Air sungai yang meluap hingga lokasi peneluran pada waktu pasang dapat menggenangi sarang dan mengganggu stabilitas suhu pengeraman oleh panas bumi. Pada habitat ini hampir seluruh lubang berada di bawah tajuk serta menempel pada tanah yang miring dan sistem perakaran yang rumit. Menurut Mallo (1998) penggalian lubang pada tanah yang miring akan menghindarkan lubang dari penggenang oleh air pada waktu musim hujan. Di
3 habitat tanaman bambu, lantai hutan sebagian besar tertutup oleh serasah daun bambu. Pada habitat ini lubang peneluran maleo dijumpai di antara akar-akar dan batang pohon tumbang dibawah tajuk bambu yang rapat. maleo pada habitat tanaman coklat berada di bawah tegakan coklat yang terlindung dari sinar matahari langsung. Sebagai kawasan perkebunan, pemeliharaan yang dilakukan oleh petani coklat pada habitat ini mengakibatkan permukaan tanah lebih padat dan bebas dari vegetasi sekunder Pendugaan Populasi Maleo Ukuran populasi merupakan suatu ukuran yang bisa memberikan informasi mengenai nilai rata-rata, nilai minimum, nilai maksimum dari jumlah individu di dalam suatu jenis populasi satwaliar tertentu (Caughley 1977). Menurut Jones et al. (1995) jumlah telur maleo yang ditemukan dipengaruhi oleh musim bertelur. Di habitat bersumber panas bumi (geothermal), musim bertelur tampaknya berlangsung sepanjang tahun. Keragaman musim bertelur justru terjadi pada habitat bersumber panas matahari, umumnya berlangsung selama musim kemarau. Pada tahun 1947 Uno (1949) mencatat perolehan telur burung maleo sebanyak butir di Cagar Alam Panua, Sulawesi Utara dengan jumlah terbanyak diperoleh pada bulan April bertepatan dengan musim kemarau sebanyak butir dan paling sedikit pada bulan Juli, awal musim penghujan, sebanyak 82 butir. Berdasarkan hasil analisis data terhadap jumlah sarang maleo di lokasi peneluran pada 6 tipe habitat di dalam kawasan TNLL (Tabel 3), diperoleh dugaan populasi total maleo sebesar 4554,73 ± 8,55 ekor dengan kepadatan 181,32 ± 0,34 ekor/ha. Hasil yang diperoleh adalah dugaan populasi dan kepadatan maleo pada kelompok kelas umur dewasa dengan perbandingan jumlah antara individu jantan dan betina sebesar 1 : 1 pada setiap sarang. Populasi dan perbandingan jenis kelamin pada kelas umur anak dan muda sangat sulit diketahui dari jumlah dan keberadaan sarang. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak balai TNLL, musim bertelur maleo di TNLL mencapai puncaknya pada bulan Mei-Juli Yayasan Jambata (2001) melakukan survey pada bulan April-Juni terhadap status maleo di TNLL dan memperkirakan populasi maleo yang ada dalam kawasan TNLL berkisar antara pasang. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini ada kecenderungan penurunan populasi walaupun tidak terlalu
4 drastis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain semakin sempitnya areal peneluran maleo akibat perluasan daerah pertanian dan perkebunan masyarakat selama kurun waktu 2 tahun. Tabel 3. Dugaan populasi dan kepadatan maleo pada masing-masing tipe habitat di kawasan TNLL No Tipe Luas (ha) Jumlah Populasi (ekor) Kepadatan (ekor/ha) Persentase Populasi (%) CV (%) 1 HS ,10 ± 62,38 252,38 ± 32, ,81 2 SB ,14 ± 122,78 161,90 ± 42, ,06 3 SP ,25 ± 114,64 188,68 ± 15, ,31 4 SS ,70 ± 137,67 149,76 ± 14, ,66 5 TB ,88 ± 57,98 237,50 ± 26, ,05 6 TC ,37 ± 107,91 214,81 ± 87, ,51 TOTAL ,73 ± 8,55 181,32 ± 0, ,19 Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat Butchart et al. (1998) menggunakan 3 kriteria untuk menentukan ukuran populasi maleo berdasarkan jumlah sarang yang ditemukan, yaitu 1) Besar, jika jumlah sarang lebih dari 200 lubang, 2) Sedang, jika jumlah sarang berkisar antara lubang, 3) Kecil, jika jumlah sarang kurang dari 75 lubang. Apabila kriteria tersebut diterapkan pada hasil penghitungan di lapangan maka tipe habitat hutan sekunder, semak belukar, tanaman bambu dan tanaman coklat memiliki ukuran populasi kecil, sedangkan habitat semak dan perdu serta sempadan sungai memiliki ukuran populasi sedang ,38 237,50 214,81 Kepadatan (ekor/ha) ,90 188,68 149, Hutan Sekunder Semak Belukar Semak dan Perdu Sempadan Sungai Tanaman Bambu Tanaman Coklat Tipe Gambar 3. Kepadatan maleo pada masing-masing tipe habitat di kawasan TNLL
5 Kepadatan maleo pada setiap tipe habitat sangat dipengaruhi oleh luasan dan kondisi areal peneluran. Kepadatan populasi maleo tertinggi terdapat pada lokasi peneluran dengan tipe habitat hutan sekunder sebesar 252,38 ± 32,32 ekor/ha dan terendah terdapat pada lokasi peneluran dengan tipe habitat sempadan sungai sebesar 149,76 ± 14,46 ekor/ha. Dari hasil pengamatan di lapangan, luas dan kondisi habitat hutan sekunder yang digunakan maleo sebagai lokasi peneluran semakin terancam dengan adanya usaha masyarakat memperluas areal perkebunan, keadaan ini diperburuk dengan mudahnya akses menuju kawasan peneluran maleo yang secara langsung mengganggu usaha maleo dalam membuat sarang untuk meletakkan telurnya. Tingginya kepadatan sarang maleo di habitat hutan sekunder kemungkinan terjadi karena habitat tersebut dianggap sesuai dan memenuhi syarat sebagai areal bersarang bagi maleo untuk meletakkan telur, sementara luas areal yang tersedia terbatas Preferensi Peneluran Maleo Berdasarkan hasil pengujian terhadap enam tipe habitat yang digunakan maleo sebagai lokasi peneluran, ternyata burung maleo memiliki preferensi terhadap tipe habitat tertentu. Dari Tabel 4, tampak bahwa masing-masing tipe habitat memiliki nilai indeks pemilihan habitat yang berbeda. Menurut Bibby et al. (1998) jika nilai indeks pemilihan habitat lebih dari 1 (w>1), maka tipe habitat yang bersangkutan disukai, sebaliknya jika kurang dari 1 (w<1) maka tipe habitat tersebut akan dihindari. Tabel 4. Proporsi luas areal pengamatan, jumlah sarang yang ditemukan dan indeks pemilihan habitat peneluran maleo No. Tipe Proporsi luas areal pengamatan (p i) Jml. (n i) Proporsi Jml Ditemukan (u i) Indeks Pemilihan (w i) Indeks Pemilihan yang Distandarkan (B i) Harapan Jumlah (N.p i) 1 HS 0, ,11 1,34 0,20 39,6 2 SB 0, ,10 0,94 0,14 54,45 3 SP 0, ,30 1,04 0,16 143,55 4 SS 0, ,31 0,82 0,12 188,1 5 TB 0, ,12 1,28 0,19 44,55 6 TC 0, ,06 1,17 0,18 24,75 Total , Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat. Bila diurutkan menurut besarnya nilai indeks pemilihan habitat, tipe habitat yang paling disukai oleh burung maleo di kawasan TNLL berturut-turut adalah
6 tipe habitat hutan sekunder, tanaman bambu, tanaman coklat, semak dan perdu, semak belukar serta sempadan sungai. Pengujian terhadap indeks pemilihan habitat perlu dilakukan menggunakan uji chi-square (λ 2 hit) dengan tujuan untuk mengetahui kebenaran akan ada tidaknya pemilihan atas tipe habitat tertentu. Kriteria uji yang digunakan adalah jika λ 2 hit λ 2 0,05, maka tidak terdapat pemilihan habitat dan jika λ 2 hit > λ 2 0,05, maka terdapat pemilihan habitat. Berdasarkan Tabel 5, hasil pengujian menunjukkan nilai λ 2 hit sebesar 15,076 dan λ 2 0,05 sebesar 11,071, maka terdapat pemilihan terhadap tipe habitat tertentu bagi maleo untuk digunakan sebagai lokasi peneluran. Dari hasil yang tersebut, diketahui bahwa burung maleo melakukan seleksi terhadap tipe habitat yang akan digunakan sebagai tempat bertelur. Seleksi tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi yang optimal bagi telur agar dapat menetas dan aman dari predator. Tabel 5. Jumlah sarang teramati dan harapan sarang maleo No Tipe Jumlah (n i = O i) Proporsi luas areal pengamatan (p i) Harapan Jumlah ( n i.p i =E i) O i E i (O i E i) 2 E i 1 HS 53 0,08 39,6 13,4 4,534 2 SB 51 0,11 54,45-3,45 0,219 3 SP 150 0,29 143,55 6,45 0,290 4 SS 155 0,38 188,1-33,1 5,825 5 TB 57 0,09 44,55 12,45 3,479 6 TC 29 0,05 24,75 4,25 0,730 Total ,076 Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat. Berdasarkan pengamatan, rendahnya nilai indeks pada tipe habitat semak dan perdu serta semak belukar disebabkan karena sebagian besar permukaan tanahnya tertutup oleh tumbuhan bawah. Gunawan (2000) menyatakan bahwa penutupan permukaan tanah oleh tumbuhan bawah atau vegetasi sekunder lainnya di tempat bertelur dengan sumber panas geothermal akan menyulitkan maleo dalam menggali sarang dan mengurangi areal sarang. Ancaman dari luapan air sungai pada saat pasang kemungkinan memberikan andil terhadap kurangnya preferensi maleo pada habitat sempadan sungai untuk digunakan sebagai lokasi peneluran. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh petani pada habitat tanaman bambu dan tanaman coklat mengakibatkan permukaan
7 tanah relatif bebas dari vegetasi sekunder, sehingga memudahkan maleo dalam menggali sarang. Di luar habitat tempat bertelurnya, maleo lebih banyak menggunakan vegetasi sebagai tempat mengintai, berlindung, beristirahat dan melakukan pergerakan, mengingat burung maleo tidak memiliki kemampuan terbang yang baik. Disamping itu, burung maleo datang ke lokasi peneluran terutama untuk bertelur, bukan untuk mencari makan atau minum, walaupun tidak menutup kemungkinan apabila di sekitar tempat bertelur dijumpai makanan dan air, maleo akan makan dan minum sebelum atau sesudah bertelur. Jika keadaan aman dan arealnya terbuka luas, lokasi peneluran juga dipergunakan sebagai arena melakukan aktivitas sosial bersama individu lainnya Pola Sebaran Maleo Pola sebaran maleo ditentukan pada jumlah unit contoh yang ditemukan pada masing-masing tipe habitat. Pada Tabel 6 tampak hasil analisis data dengan menggunakan uji Chi-square dan uji statistik, pola sebaran maleo pada tiap tipe habitat berbentuk kelompok. Hal ini berarti untuk jumlah contoh kurang dari 30 (n<30), λ 2 hit lebih dari dan atau sama dengan λ 2 0,025, untuk jumlah contoh lebih dari dan atau sama dengan 30 (n 30) dengan uji statistik diperoleh d hit lebih dari 1,96 (d>1,96). Secara keseluruhan, pola sebaran maleo di Taman Nasional Lore Lindu berbentuk kelompok. Tabel 6. Pola sebaran sarang maleo berdasarkan tipe habitat di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. No Tipe Jumlah contoh (n) ragam (s 2 ) Populasi rata-rata ( x ) ID (s 2 / x ) Chisquare [ID(n-1)] d hit Nilai Tabel λ 2 0,975 λ 2 0,025 Pola Sebaran 1 HS 14 19,19 7,57 2,53 32,94 5,01 24,74 Kelompok 2 SB 21 52,23 4,86 10,75 215,06 9,59 34,17 Kelompok 3 SP 53 19,96 5,66 3,53 183,36 9,00 Kelompok 4 SS 69 22,05 4,49 4,91 333,70 14,22 Kelompok 5 TB 16 14,92 7,13 2,09 31,40 6,26 27,49 Kelompok 6 TC 9 80,78 6,44 12,53 100,28 2,18 17,54 Kelompok Keterangan: HS=Hutan Sekunder, SB=Semak Belukar, SP=Semak dan Perdu, SS=Sempadan Sungai, TB=Tanaman Bambu, TC=Tanaman Coklat. Hutchinson (1953) menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya pola sebaran adalah : a. Faktor vektorial (vectorial factors) yaitu akibat dari keadaan lingkungan eksternal seperti intensitas cahaya, aliran air dan jenis tanah.
8 b. Faktor reproduktif (reproductive factors) yaitu diakibatkan oleh cara reproduksi dari suatu organisme seperti kloning dan regenerasi keturunan. c. Faktor sosial (social factors) yaitu perilaku sifat pembawaan sejak lahir seperti perilaku teritori. d. Faktor koaktif (coactive factors) yaitu disebabkan oleh interaksi inter dan intra spesies seperti persaingan. e. Faktor stokastik (stochastic factors) yaitu hasil variasi acak dari faktor-faktor sebelumnya. Pola penyebaran berbentuk kelompok pada habitat bersarang maleo antara lain disebabkan oleh faktor reproduktif dan vektorial. Maleo melakukan seleksi terhadap habitat yang akan digunakan sebagai lokasi bersarang, mengingat maleo di TNLL tidak mengerami telurnya sendiri tetapi menguburnya di dalam lubang yang dilalui aktivitas geothermal sebagai sumber panas untuk penetasan telurnya, sementara itu lokasi di TNLL yang sesuai bagi maleo untuk bersarangnya penyebarannya tidak merata. Selain itu, menurut Santoso (1990) pendengaran burung maleo kurang baik sehingga dapat didekati bila memperhatikan arah angin dan posisi burung maleo, perilaku berkelompok pada saat bersarang diduga untuk meningkatkan respon terhadap gangguan yang tejadi saat bersarang. Maleo tidak pernah mengawasi atau mempedulikan keadaan telurnya, setelah melakukan aktivitas bersarang mereka meninggalkan lokasi peneluran secara berpasangan. Menurut Jones et al. (1995), tempat bertelur burung maleo bukan merupakan teritorinya dalam mencari makan (feeding territory). Maleo mencari makan di hutan tropis dataran rendah. Diduga pola penyebaran maleo di TNLL berbentuk acak, mengingat ketersediaan pakan bagi maleo di TNLL masih cukup melimpah.
IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota
IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Burung maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) oleh Grzimek (1972) diklasifikasikan ke dalam: Klas Aves, Sub Klas Neonirthes, Ordo Galliformes, Sub Ordo Galli, Famili
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi
Lebih terperinci(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH
AGRO EKOLOGI (PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) TANAMAN KELAPA IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI TANAMAN KELAPA Suhu rata rata tahunan adalah 27 C dengan fluktuasi 6 7 C Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan
Lebih terperinciLokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian
Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.
Lebih terperinciANALISIS DAN SINTESIS
55 ANALISIS DAN SINTESIS Lokasi Lokasi PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills yang terlalu dekat dengan pemukiman penduduk dikhawatirkan dapat berakibat buruk bagi masyarakat di sekitar kawasan industri PT
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936
Lebih terperincimampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan
Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tumbuhan Herba Herba adalah semua tumbuhan yang tingginya sampai dua meter, kecuali permudaan pohon atau seedling, sapling dan tumbuhan tingkat rendah biasanya banyak ditemukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 m.dpl. Gunung Lawu termasuk gunung dengan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Sarang Burung Seriti (Collocalia esculenta). a. Peletakkan dan Jumlah Sarang Seriti. Dari hasil perhitungan jumlah sarang seriti yang ada di bawah jembatan dan di dalam
Lebih terperinciABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp , PENDAHULUAN
KAJIAN FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT OLEH MASYARAKAT DI DESA SALAT MAKMUR KALIMANTAN SELATAN Oleh/By FONNY RIANAWATI Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih
Lebih terperinciEkologi Padang Alang-alang
Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)
Lebih terperinciLokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data
PENDAHULUAN Hutan produksi merupakan suatu kawasan hutan tetap yang ditetapkan pemerintah untuk mengemban fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pengelolaan hutan produksi tidak semata hanya untuk mencapai
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala Penyakit. (a) Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Penyakit Gejala pada tajuk (bagian di atas permukaan tanah) Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh NSK sangat khas. Tanaman akan mengalami kerusakan akar yang menyebabkan berkurangnya
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada
Lebih terperincikeadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara
Lebih terperinciBAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
Lebih terperinciBAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN
BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya
Lebih terperinciKARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH
KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH Indrawati Yudha Asmara Fakultas Peternakan-Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang
Lebih terperinciIV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi
IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan
6 2.1 Kawasan Timur Danau Limboto BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kawasan danau mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan manfaat,
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan
Lebih terperinciToleransi di bidang kehutanan berbeda dengan toleransi secara umum. Toleransi secara umum mengacu khusus pada ketahanan terhadap stres lingkungan
TOLERANSI POHON Toleransi di bidang kehutanan berbeda dengan toleransi secara umum. Toleransi secara umum mengacu khusus pada ketahanan terhadap stres lingkungan Air, keasaman, salinitas, dingin, panas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di
Lebih terperinciGambar 1. Lahan pertanian intensif
14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu
Lebih terperinciGambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.
25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi
Lebih terperinciPEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV
PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani merupakan sebuah badan usaha yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola hutan tanaman yang ada di Pulau Jawa dan Madura dengan menggunakan
Lebih terperinciIV. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK
17 IV. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK 4.1. Sejarah dan Status Kawasan Kawasan Taman Nasional Lore Lindu berasal dari tiga fungsi kawasan konservasi, yaitu : a. Suaka Margasatwa Lore Kalamanta yang ditunjuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan
23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan
Lebih terperinciDAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Pengesahan Skripsi... ii Halaman Pernyataan... iii Halaman Persembahan... iv Kata Pengantar... vi Daftar Isi... vii Daftar Tabel... ix Daftar Gambar... x Daftar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang
Lebih terperinciKARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN
KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan
Lebih terperinciKONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten
Lebih terperinciLanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.
Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang
Lebih terperinciSi Pengerat Musuh Petani Tebu..
Si Pengerat Musuh Petani Tebu.. Embriani BBPPTP Surabaya Gambar. Tanaman Tebu Yang Terserang Tikus Hama/pest diartikan sebagai jasad pengganggu bisa berupa jasad renik, tumbuhan, dan hewan. Hama Tanaman
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan
Lebih terperinciPEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa
Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Padi (HPBP) Hasil penelitian tingkat kerusakan oleh serangan hama penggerek batang pada tanaman padi sawah varietas inpari 13
Lebih terperinci2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran rayap tanah di berbagai vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki luas wilayah 359 ha, dari penelitian ini diperoleh dua puluh enam contoh rayap dari lima
Lebih terperinciE U C A L Y P T U S A.
E U C A L Y P T U S A. Umum Sub jenis Eucalyptus spp, merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga
Lebih terperinciKONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik
KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inventarisasi Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya alam untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Kegiatan
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.
Lebih terperinciKEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial 5.1.1 Peta Ketinggian Ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0-1351 meter dpl dengan tiga puncak gunung yaitu gunung Tangkoko,
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
43 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Pengaruh RTH Terhadap Iklim Mikro 5.1.1 Analisis Pengaruh Struktur RTH Pohon Terhadap Iklim Mikro Pohon merupakan struktur RTH yang memiliki pengaruh cukup besar
Lebih terperinciGambar 13. Citra ALOS AVNIR
32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi
Lebih terperinciANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH
56 ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH Berdasarkan hasil inventarisasi maka dari faktor-faktor yang mewakili kondisi tapak dianalisis sehingga diketahui permasalahan yang ada kemudian dicari solusinya sebagai
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lichenes di Indonesia merupakan salah satu kelompok tumbuhan tingkat rendah dan bagian dari keanekaragaman hayati yang belum banyak mendapat perhatian. Menurut
Lebih terperinciSYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO
SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial tumbuhan dan satwa adalah salah satu karakteristik yang penting dalam suatu komunitas ekologi. Hal ini merupakan suatu hal yang mendasar
Lebih terperinciOleh : Sri Wilarso Budi R
Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,
Lebih terperinciBAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN
BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari
Lebih terperinci