BAB II TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Shinta Darmali
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Sebaran Spasial Pola sebaran spasial tumbuhan dan satwa adalah salah satu karakteristik yang penting dalam suatu komunitas ekologi. Hal ini merupakan suatu hal yang mendasar dari setiap kelompok organisme dan merupakan tahap awal dalam meneliti suatu komunitas (Connel 1963, diacu dalam Ludwig & Reynolds 1988). Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan ada tiga tipe pola sebaran dalam suatu komunitas, yaitu acak (random), mengelompok (clumped) dan seragam (uniform). Terbentuknya pola sebaran tersebut dipengaruhi oleh berbagai mekanisme. Berbagai proses interaksi baik biotik dan abiotik saling berkontribusi untuk membentuk pola sebaran tersebut. Suatu pola sebaran acak dalam populasi organisme disebabkan oleh lingkungan yang homogen dan pola perilaku non selektif. Di sisi lain, pola sebaran non-acak (mengelompok dan seragam) menunjukkan adanya suatu pembatas pada populasi yang ada. Pola mengelompok disebabkan oleh adanya individu-individu yang akan berkelompok dalam suatu habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Sebaran seragam merupakan hasil dari adanya interaksi negatif antar individu, misalkan adanya kompetisi atas makanan dan ruang tumbuh. a b c Gambar 1 Tiga pola dasar sebaran spasial individu dalam suatu habitat (a) acak, (b) mengelompok, (c) seragam (Ludwigs & Reynolds 1988).
2 4 Odum (1971) juga menyatakan bahwa individu dalam suatu populasi menyebar mengikuti tiga pola, yaitu acak (random), mengelompok (clumped) dan seragam (uniform). Pola sebaran random sangat jarang ditemui di alam dan hanya akan terjadi bila kondisi lingkungan seragam dan tidak ada kecenderungan terjadinya agregasi. Pola penyebaran uniform akan terjadi bila tingkat kompetisi antar individu sama atau terjadi hubungan antagonis positif yang mendukung penyebaran keruangan. Pola penyebaran clumped merupakan pola penyebaran yang paling umum. Pola ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu random clumped, uniform clumped dan aggregated clumped. Hutchinson (1953), diacu dalam Ludwig & Reynolds (1988) mengidentifikasi berbagai faktor penyebab dalam terbentuknya suatu pola sebaran organisme antara lain: a. Faktor vektorial, yaitu faktor gabungan antara berbagai aksi lingkungan (misalnya: angin, air, intensitas cahaya). b. Faktor regenerasi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut beregenerasi. c. Faktor sosial, yaitu bagaimana perilaku organisme tersebut. d. Faktor ko-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan oleh interaksi intraspesifik (misalnya: kompetisi). e. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari kombinasi beberapa faktor di atas. Faktor-faktor di atas secara garis besar dapat dikategorikan sebagai faktor intrinsik (misalnya: reproduksi, sosial dan ko-aktif) dan faktor ekstrinsik (vektorial). Krebs (1978) menyatakan bahwa faktor vektorial (fisik) berupa suhu udara, kelembaban, cahaya, fisik tanah dan sifat kimia air dapat membatasi distribusi suatu organisme. Pola sebaran spasial suatu spesies dapat diidentifikasi dengan menggunakan berbagai macam indeks sebaran, antara lain dengan rasio varian dan mean, Indeks Clumping, Koefisien Green, Indeks Morisita, Standarisasi Indeks Morisita dan rasio antara kepadatan observasi dengan kepadatan harapan (Rani 2003). Iwao (1968) menyatakan bahwa Indeks Morisita (Id) adalah yang paling sering digunakan untuk mengukur pola sebaran suatu spesies karena hasil perhitungan dari indeks tersebut tidak dipengaruhi oleh perbedaan nilai rataan dan ukuran unit
3 5 sampling. Southwood (1966) dan Pielou (1969) juga menyatakan hal yang sama. Menurut Southwood, indeks Morisita dapat menunjukkan pola sebaran suatu spesies dengan sangat baik. Indeks ini bersifat independent terhadap tipe-tipe distribusi, jumlah sampel dan nilai rataannya. Oleh karena itu, menurut Pielou (1969) berapa pun ukuran contohnya, indeks Morisita akan memberikan hasil yang relatif stabil. Standarisasi indeks Morisita merupakan perbaikan dari Indeks Morisita dengan meletakkan suatu skala absolut antara -1 hingga 1. Suatu penelitian simulasi membuktikan bahwa indeks ini merupakan metode terbaik untuk mengukur pola sebaran spasial suatu individu karena tidak bergantung terhadap kepadatan populasi dan ukuran sampel (Rani 2003). 2.2 Kesamaan Dua Komunitas Fungsi kemiripan menghitung kesamaan dan ketidaksamaan antara dua objek yang diobservasi. Objek yang dimaksud disini adalah komunitas yang saling berbeda. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa kemiripan suatu komunitas dengan komunitas lain dapat dinyatakan dengan similarity coefficients dan distance coefficients. Similarity coefficients memiliki nilai yang bervariasi antara 0 (jika kedua komunitas benar-benar berbeda) hingga 1 (jika kedua komunitas identik). Similarity coefficients dapat ditunjukkan dengan beberapa indeks seperti indeks Dice dan Jaccards. Distance coefficients atau dissimilarity coefficients merupakan kebalikan dari similarity coefficients. Distance coefficients dapat dihitung menggunakan tiga kelompok indeks yaitu E-group (the Euclidean distance coefficients), BC-group (Bray-Curtis dissimilarity index), dan RE-group (the relative Euclidean distance). Dari ketiga kelompok di atas, Ludwig & Reynolds (1988) merekomendasikan untuk menggunakan BC-group (Bray-Curtis dissimilarity index) dan RE-group (the relative Euclidean distance) dalam menghitung indeks ketidaksamaan karena perhitungan dengan Euclidean distance coefficients dapat memberikan hasil yang bias. Bloom (1981) telah membandingkan keakuratan empat similarity indices (indeks Bray-Curtis, Canberrra metric, indeks Morisita yang dimodifikasi oleh
4 6 Horn dan Horn s Information Theory Index). Indeks Bray-Curtis ternyata memberikan keakuratan yang lebih baik daripada ketiga indeks lainnyya. Horn s Information Theory Index dan indeks Morisita yang dimodifikasi oleh Horn memberikan hasil yang overestimate sedangkan Canberra metric cenderung underestimate. 2.3 Hubungan antara Dua Spesies Faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi pola sebaran, kelimpahan, dan interaksi suatu spesies dengan individu lain dalam komunitasnya. Asosiasi atau hubungan antara dua spesies dapat berupa hubungan positif, negatif, atau tidak ada hubungan. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan antara dua spesies adalah dengan metode presence-absence (Ludwig & Reynolds 1988). Hubalek (1982), diacu dalam (Ludwig & Reynolds 1988) menyatakan bahwa secara umum, hubungan antara dua spesies terjadi karena: a. Kedua spesies memilih atau menghindari habitat yang sama. b. Kedua spesies secara umum memiliki kebutuhan biotik dan abiotik yang sama. c. Salah satu atau kedua spesies memiliki kesamaan satu sama lain baik itu berupa suatu ketertarikan ataupun penolakan. Asosiasi positif terjadi apabila antara kedua spesies memerlukan suatu kondisi yang sama atau adanya predator terhadap keduanya. Asosiasi negatif dapat terjadi jika keduanya memerlukan kondisi yang berbeda atau bersaing satu sama lain (Southwood 1966). Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa secara umum, penentuan asosiasi antara dua spesies dapat dilakukan dalam 3 langkah, yaitu menguji ada tidaknya hubungan asosiasi dengan teknik presence-absence, menguji tipe hubungan (positif atau negatif) dan mengukur derajat asosiasi menggunakan indeks asosiasi. Southwood (1966) juga menyatakan hal yang serupa. Hubalek (1982), diacu dalam (Ludwig & Reynolds 1988) telah menganalisis 43 indeks asosiasi yang dapat digunakan untuk menyatakan besarnya derajat asosiasi namun hanya enam indeks yang dapat mengukur derajat asosiasi dengan baik.
5 7 Ludwig & Reynolds (1988) sendiri menyatakan bahwa terdapat tiga indeks yang paling umum digunakan dalam mengukur derajat asosiasi antara dua spesies, yaitu Indeks Ochiai, Indeks Dice dan Indeks Jaccard. Jackson et al. (1989) menyatakan bahwa dari delapan indeks yang dia teliti, Indeks Ochiai dapat menunjukan derajat asosiasi dengan baik dimana ukuran sampling unit dan frekuensi kejadian memiliki pengaruh yang minimum terhadap hasil perhitungannya. 2.4 Struktur Tegakan Hutan Alam Struktur tegakan terdiri dari struktur tegakan vertikal, horizontal dan spasial. Struktur tegakan vertikal menggambarkan susunan tegakan berdasarkan tinggi tajuk. Struktur tegakan horizontal menyatakan distribusi pohon berdasarkan kelas diameter, sedangkan struktur spasial menunjukkan pola pengelompokan dan distribusi jenis dalam ruang tumbuh (Rusolono 2006). Diameter pohon paling umum digunakan untuk mendeskripsikan bentuk struktur tegakan. Distribusi diameter pada hutan tidak seumur akan membentuk kurva huruf J terbalik, dengan kerapatan pohon yang tinggi pada kelas diameter rendah dan semakin berkurang pada kelas diameter yang lebih tinggi (Husch et al. 2003). Meyer (1953), diacu dalam Husch et al. (2003) menyatakan bahwa bentuk distribusi diameter hutan normal pada hutan alam akan mengikuti persamaan eksponensial negatif N = k e ad, dimana N adalah kerapatan tegakan (pohon/ha), a dan k adalah konstanta karakteristik distribusi diameter, serta D adalah kelas diameter. 2.5 Gambaran Umum Jenis Merbau (Intsia spp.) Ciri Botanis Intsia spp. Merbau termasuk ke dalam famili Fabaceae dan merupakan nama perdagangan untuk genus Intsia spp. Merbau juga dikenal dengan nama kwila di Papua New Guinea, ipil di Filipina, dan kayu besi di Malaysia Barat (Newman & Lawson 2005). Tong et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat 9 spesies merbau yang menyebar di beberapa belahan dunia. Terdapat tiga spesies merbau di Indoneisa
6 8 yaitu Intsia bijuga, I. palembanica dan I. acuminata. Ketiga spesies tersebut dapat ditemukan di Papua akan tetapi hanya jenis I. bijuga dan I. palembanica yang dieksploitasi secara komersial dan diketahui dengan baik. Tong et al. (2009) juga menyatakan bahwa jenis I. bijuga adalah yang paling sering ditemukan di Indonesia. Merbau saat dewasa memiliki tinggi 7 40 m dengan pertambahan tinggi sebesar 1,5 m per tahun. Jenis ini termasuk pada jenis yang pertumbuhannya lambat dan memasuki masa dewasa setelah berumur tahun. Pohon dewasa memiliki banir yang lebar hingga mencapai 4 m. Batang merbau tumbuh lurus dengan tajuk yang lebar serta memiliki kemampuan self-pruning yang baik. Bunga merbau bersifat biseksual sehingga dalam satu bunga terdapat bunga jantan dan betina, mahkota bunganya berwarna merah atau terkadang merah jambu. Jenis ini berbunga sepanjang tahun walaupun memiliki musim berbunga puncak pada bulan tertentu yang berbeda pada setiap daerah. Buahnya berbentuk oblong dengan ukuran 8 23 cm x 4 8 cm. Daun merbau merupakan daun majemuk yang biasanya terdiri dari 4 anak daun dengan panjang 8 15 cm/anak daun. Daun berbentuk elips dan asimetris (Thaman et al. 2006). Batang merbau halus berwarna agak merah jambu hingga coklat kemerahan dan sedikit keabuan. Kulit kayu sering terkelupas berupa sisik dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Kayu gubal dan kayu teras sangat mudah dibedakan karena sangat kontras. Kayu gubal berwarna putih sedangkan kayu teras berwarna coklat merah dan saat dipotong batang mengeluarkan cairan berwarna coklat kehitaman (Nugroho 2010) Penyebaran dan Tempat Tumbuh Intsia spp. Jenis ini menyebar di seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua (Heyne 1987). Menurut Rimbawanto & Widyatmoko (2006), karena tingginya intensitas perburuan merbau menyebabkan jenis ini sekarang hanya tersisa di Papua dan sebagian Maluku Newman & Lawson (2005) menyatakan bahwa pohon merbau tumbuh di hutan hujan tropis dataran rendah dan seringkali ditemukan di daerah pesisir yang berbatasan dengan rawa, sungai dan dataran sedimentasi. Merbau tumbuh baik
7 9 pada tanah lembab yang kadang-kadang digenangi air dan dapat juga tumbuh pada tanah kering, tanah berpasir, dan tanah berbatu. Jenis I. bijuga dapat tumbuh pada ketinggian mdpl. Jenis merbau secara umum dapat tumbuh baik pada curah hujan tahunan mm, suhu C serta pada tanah yang drainasenya baik dan ph tanah berkisar antara 6,1 7,4 (Thaman et al. 2006). Menurut Mahfudz (2010), berdasarkan eksplorasi pada 19 populasi merbau di Papua dan Maluku, populasi merbau sering ditemukan pada hutan lahan kering primer maupun sekunder pada tanah podsolik merah kuning dengan kelerengan 0 15%. Jenis I. bijuga banyak ditemukan di hutan dataran rendah sedangkan jenis I. palembanica dapat ditemukan pada ketinggian di atas 1000 mdpl. Pohon merbau di Papua secara alami berasosiasi dengan beberapa jenis Hopea spp., Palaquium sp., Maniltoa sp., Myristica spp., dan Pometia spp. Tokede et al. (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan merbau di alam sangat bergantung pada kondisi penutupan tajuk dari jenis-jenis lainnya. Semai merbau banyak ditemukan pada areal-areal terbuka dibanding areal dengan tegakan rapat (Gambar 2). Pada hutan yang memiliki kerapatan tajuk yang rapat, regenerasi jenis ini sering terhambat. Biji sangat mudah diperoleh dan cukup banyak ditemukan di alam terutama pada habitat alaminya namun permudaan di bawah pohon induk sulit dijumpai karena biji yang jatuh sulit berkecambah akibat kulit biji yang sangat keras (Gambar 3). Perkecambahan biji banyak dijumpai di bawah pohon induk yang tumbuh di tanah berbatu karang atau pada daerah pinggiran dan muara sungai berpasir yang sering terkena banjir. Tanah yang berbatu tersebut dapat melukai biji merbau sehingga biji mudah berkecambah. Gambar 2 Permudaan merbau yang ditemukan di tepi jalan.
8 10 Gambar 3 Biji merbau yang berkulit keras. Menurut penelitian Nurhasybi & Sudrajat (2009), penaburan benih merbau secara langsung di Hutan Penelitian Parung Panjang paling baik dilakukan di bawah tegakan dengan intensitas naungan 55 65% dengan melakukan pembersihan tapak terlebih dahulu serta biji dikikir dan direndam dengan air selama 30 menit. Biji yang ditabur di atas permukaan tanah tanpa dilakukan perlakuan awal terhadap biji, tanpa pembersihan tapak, dan dilakukan pada areal yang benar-benar terbuka akan memberikan persen berkecambah yang sangat rendah. Contoh biji yang telah berkecambah disajikan dalam Gambar 4. Gambar 4 Biji merbau yang telah dikecambahkan dalam polibag Status Konservasi IUCN telah memasukkan jenis I. bijuga dan I. acuminata ke dalam kategori jenis yang terancam punah kategori vulnerable (rentan) berdasarkan assessment yang disepakati tahun Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut menghadapi resiko tinggi menuju kepunahan di habitat aslinya. Spesies merbau lainnya tidak termasuk dalam kategori ini (IUCN 2011).
9 11 Pada tahun 2004, Dephut mengeluarkan Siaran Pers No.: S.385/II/PIK- 1/2004 bahwa Indonesia mengusulkan untuk memasukkan merbau ke dalam Appendix III CITES. Akan tetapi, menurut Tongs et al. (2009), hingga saat ini usulan ini masih dalam tahap kajian karena banyaknya pihak yang pro dan kontra terhadap usulan ini. Beberapa pihak yang kurang setuju dengan usulan ini meyakini bahwa populasi merbau di Papua masih melimpah serta beranggapan bahwa merbau memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat Papua.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor Fisik Lingkungan Faktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada masing-masing lokasi penelitian.
Lebih terperinciPOLA SEBARAN SPASIAL JENIS MERBAU (Intsia spp.) PADA HUTAN PRIMER DAN HUTAN BEKAS TEBANGAN DI AREAL IUPHHK-HA PT MAMBERAMO ALASMANDIRI, PROVINSI PAPUA
POLA SEBARAN SPASIAL JENIS MERBAU (Intsia spp.) PADA HUTAN PRIMER DAN HUTAN BEKAS TEBANGAN DI AREAL IUPHHK-HA PT MAMBERAMO ALASMANDIRI, PROVINSI PAPUA DWI PUJI LESTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Singkat Merbau Menurut Merbau (Instia spp) merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai nilai yang ekonomi yang tinggi karena sudah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Merbau Darat 1. Deskripsi Ciri Pohon Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut (Martawijaya dkk., 2005). Regnum Subregnum Divisi Kelas Famili
Lebih terperinci4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.
Lebih terperinciAsrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak
Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi
Lebih terperinciTEKNIK PEMBIBITAN MERBAU (Intsia bijuga) Oleh : Budi Budiman, S.Hut, M.Sc Penyuluh Kehutanan Pusat
TEKNIK PEMBIBITAN MERBAU (Intsia bijuga) Oleh : Budi Budiman, S.Hut, M.Sc Penyuluh Kehutanan Pusat Merbau merupakan salah satu jenis pohon yang menghasilkan kayu dengan kualitas yang baik. Kualitas ini
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Wilayah pesisir menuju ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan hutan tanaman
Lebih terperinciTanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala
Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman
TINJAUAN PUSTAKA Mikroorganisme Endofit Endofit merupakan asosiasi antara mikroorganisme dengan jaringan tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman inang bervariasi mulai
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan
10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Tristaniopsis merguensis Griff.
3 TINJAUAN PUSTAKA Tristaniopsis merguensis Griff. 1) Nomenklatur dan Nama lokal. T. merguensis pertama kali dideskripsikan oleh Griffit pada tahun 1812 dengan spesimen yang berasal dari Burma (Hooker
Lebih terperinciIdentifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati
Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan alam Papua, dengan potensi merbaunya yang tinggi, merupakan satusatunya hutan alam di Indonesia yang dianggap masih relatif utuh setelah hutan alam Kalimantan dieksploitasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di
Lebih terperinciKeanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak
Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit
3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan berupa pohon batang lurus dari famili Palmae yang berasal dari Afrika. Kelapa sawit pertama kali diintroduksi ke Indonesia
Lebih terperinciKEANEKARAGAMAN JENIS. Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di
KEANEKARAGAMAN JENIS Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di sebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Jati 2.1.1 Klasifikasi, penyebaran dan syarat tumbuh Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Pinus 2.1.1. Habitat dan Penyebaran Pinus di Indonesia Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Steenis (2005), bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.))
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Van Steenis (2005), bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.)) termasuk ke dalam Kelas : Magnoliopsida, Ordo : Fabales, Famili : Fabaceae, Genus : Pachyrhizus, Spesies
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura
12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak
Lebih terperinci3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi
12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
7 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Ketileng, Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro pada bulan April Oktober 2015. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan
Lebih terperinciIDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH
IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH Tanah adalah salah satu bagian bumi yang terdapat pada permukaan bumi dan terdiri dari massa padat, cair, dan gas. Tanah
Lebih terperinciProses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian
4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang
Lebih terperinciTASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015
TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 SIDIK CEPAT PEMILIHAN JENIS POHON HUTAN RAKYAT BAGI PETANI PRODUKTIFITAS TANAMAN SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUHNYA, BANYAK PETANI YANG
Lebih terperinciLokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian
Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.
Lebih terperinciII.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun
II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis
16 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar lumbung atau umbi. Menurut Sonhaji (2007) akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak)
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani tanaman karet Menurut Sianturi (2002), sistematika tanaman karet adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit
4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Taksonomi kelapa sawit yang dikutip dari Pahan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Embryophyta Siphonagama Kelas : Angiospermeae Ordo : Monocotyledonae
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan
Lebih terperinciBAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistematika dan Botani Tanaman Jagung Manis Tanaman jagung manis termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays saccharata Sturt. Dalam Rukmana (2010), secara
Lebih terperinciPERTUMBUHAN ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI TIGA POPULASI DI PERSEMAIAN. C. Andriyani Prasetyawati *
Pertumbuhan Anakan Alam Eboni (Diospyros celebica Bakh) C. Andriyani Prasetyawati PERTUMBUHAN ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI TIGA POPULASI DI PERSEMAIAN C. Andriyani Prasetyawati * Balai
Lebih terperinciPENYAKIT VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) PADA TANAMAN KAKAO (THEOBROMA CACAO L) DAN. Oleh Administrator Kamis, 09 Februari :51
Kakao (Theobroma cacao L) merupakan satu-satunya diantara 22 spesies yang masuk marga Theobroma, Suku sterculiacecae yang diusahakan secara komersial. Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan
Lebih terperinciBP2LHK Manabo Kampus Kreatif Sahabat Rakyat
BP2LHK Manabo Kampus Kreatif Sahabat Rakyat GELAR TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN TEKNIK INOKULASI GAHARU oleh : Jafred E. Halawane Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado Jl. Adipura Kelurahan Kima
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam :
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Mentimun Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : Divisi :
Lebih terperinciSumber : Manual Pembibitan Tanaman Hutan, BPTH Bali dan Nusa Tenggara.
Penyulaman Penyulaman dilakukan apabila bibit ada yang mati dan perlu dilakukan dengan segera agar bibit sulaman tidak tertinggal jauh dengan bibit lainnya. Penyiangan Penyiangan terhadap gulma dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani merupakan sebuah badan usaha yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola hutan tanaman yang ada di Pulau Jawa dan Madura dengan menggunakan
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Dephut, 1998): Kingdom : Plantae Divisio : Spematophyta
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Inventarisasi Hutan Menurut Dephut (1970), inventarisasi hutan adalah pengumpulan dan penyusunan data mengenai hutan dalam rangka pemanfaatan hutan bagi masyarakat secara lestari
Lebih terperinciIV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota
IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif (Nazir, 1988), karena penelitian ini hanya memberikan deskripsi mengenai vegetasi pada daerah ekoton
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai
TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga
Lebih terperinciII. METODOLOGI. A. Metode survei
II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saninten (Castanopsis argentea Blume A.DC) Sifat Botani Pohon saninten memiliki tinggi hingga 35 40 m, kulit batang pohon berwarna hitam, kasar dan pecah-pecah dengan permukaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Volume Pohon Secara alami, volume kayu dapat dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi sortimen. Beberapa jenis volume kayu yang paling lazim dipakai sebagai dasar penaksiran,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat
I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan
Lebih terperincibio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek
II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk
Lebih terperinciHutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini
II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis dan Syarat Tumbuh Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Echinochloa crus-galli (L.) P. Beauv. Morfologi Echinochloa crus-galli
TINJAUAN PUSTAKA Echinochloa crus-galli (L.) P. Beauv. E. crus-galli memiliki nama lain Panicum crus-galli yang merupakan tanaman annual kelas Monocotyledon, famili Poaceae/Graminae (IRRI, 1983). Galinato
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dkk, 1999). Salah satu spesies endemik adalah Santalum album Linn.,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan endemik dianggap penting bukan hanya karena jumlah (populasi)nya yang sangat sedikit, melainkan juga karena populasi tersebut sangat terbatas secara geografis
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaharu telah digunakan lebih dari 2000 tahun yang lalu secara luas oleh orang dari berbagai agama, keyakinan dan kebudayaan terutama di Negara-negara Timur Tengah, Asia
Lebih terperinciTAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.
TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon
TINJAUAN PUSTAKA Jabon (Anthocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Tanaman Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang sesuai dengan bentuk daunnya yang meruncing dan memanjang.
Lebih terperinciTEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG
TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG ASPEK : SILVIKULTUR Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Dr. Tati Rostiwati Judul
Lebih terperinciPENGARUH ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
PENGARUH ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Laju pertumbuhan pohon dan macam pohon apa yang tumbuh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan
Lebih terperinciKata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam
Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Caulifloris. Adapun sistimatika tanaman kakao menurut (Hadi, 2004) sebagai
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kakao Kakao merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang. Karena itu tanaman ini digolongkan kedalam kelompok tanaman Caulifloris. Adapun sistimatika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total
15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Bibit Sungkai (Peronema canescens) Sungkai (Peronema canescens) sering disebut sebagai jati sabrang, ki
TINJAUAN PUSTAKA Bibit Sungkai (Peronema canescens) 1. Morfologi Sungkai (Peronema canescens) Sungkai (Peronema canescens) sering disebut sebagai jati sabrang, ki sabrang, kurus, sungkai, sekai termasuk
Lebih terperinci