V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. METODE PENELITIAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

III. METODE PENELITIAN

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

IV METODOLOGI PENELITIAN

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

IV. METODE PENELITIAN

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

III KERANGKA PEMIKIRAN

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

14,3 13,1 11,1 8,9 27,4 26,4 4. 1,0 1,0 9,9 6. 7,0 15,6 16,1 6,5 6,2 8,5 8,3 10,0

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

IV. METODE PENELITIAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. menembus dengan volume 67 ton biji gelondong kering (Direktorat Jenderal

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

PENDAHULUAN. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF SERTA IMPLIKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN BENGKAYANG

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

Performa Dayasaing Komoditas Padi. Commodities Rice Competitiveness Performance. Benny Rachman

ANALISIS SENSITIVITAS

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

Transkripsi:

47 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Setelah pemekaran wilayah terakhir pada tahun 2008, maka wilayah Bolaang Mongondow terbagi menjadi lima daerah tingkat dua, yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kota Kotamobagu. Adapun Kabupaten Bolaang Mongondow saat ini secara administratif terbagi atas 12 Kecamatan dengan luas wilayah 4 628.68 km 2 (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2008). Wilayah ini memiliki iklim tropis yang relatif basah dengan curah hujan tinggi mencapai 2000 3000 mm per tahun (Tabel 4). Iklim di Bolaang Mongondow termasuk iklim tipe A (Tipe Schmidt dan Ferguson) pada daerah dataran tinggi. Sedangkan pada daerah dataran rendah termasuk iklim tipe B. Tabel 4. Curah Hujan selang Tahun 2004 2008 (mm/tahun) No. Bulan 2004 2005 2006 2007 2008 1. Januari 2 889.4 2 769.5 2 023 1 775.5 1 881.1 2. Pebruari 2 745 915 2 049 1 997 1 881 3. Maret 874.7 632 2 131 2 047 1 887 4. April 2 580.3 628.1 692 1 311 1 441 5. Mei 2 654.2 941.8 1 491 878.5 1 113 6. Juni 5 862.2 4 038.2 1 034 912 831 7. Juli 908 4 336 2 090 877 788 8. Agustus 1 558.3 485 146 675 767 9. September 2 136.5 4 047.5 654 618 1 121 10. Oktober 764 562 0 789 922 11. Nopember 4 653.9 2 294 1 092 812 1 107.8 12. Desember 4 118.1 3 046.6 172 918.5 1 671.5 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Bolmong (2008)

48 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Bolmong (2008) jumlah penduduk di Kabupaten Bolaang Mongondow pada tahun 2007 berjumlah 213 464 jiwa yang terdiri dari 110 221 jiwa penduduk laki-laki dan 103 243 jiwa penduduk perempuan. Berdasarkan lapangan usaha maka penduduk yang berusaha sebagai petani sebanyak 114 703 jiwa (Tabel 5). Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan masyarakat di Kabupaten Bolaang Mongondow adalah petani dengan rasio 58.66 persen. Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Lapangan Usaha Tahun 2007 No. Lapangan Usaha Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) 1. Pertanian 97 159 17 544 114 703 2. Industri pengolahan 5 529 2 019 7 548 3. Perdagangan besar dan eceran, rumah makan dan hotel 8 298 16 480 24 778 4. Jasa kemasyarakatan 11 285 12 047 23 332 5. Lainnya: pertambangan, listrik, gas, air, konstruksi, angkutan, penggudangan dan komunikasi, keuangan dan lainnya. 23 275 1 915 25 190 T o t a l 145 546 50 005 195 551 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow (2008) Keadaan lahan menurut luas tanam di Kabupaten Bolaang Mongondow terdiri atas lahan padi (sawah + ladang), jagung, ubi kayu, dan kacang tanah dengan luas masing-masing yaitu padi 52 888 ha, jagung 22 007 ha, ubi kayu 349 ha dan kacang tanah sebesar 619 ha. Selengkapnya mengenai luas tanam usahatani tanaman pangan tersebut seperti terlihat pada Tabel 6.

49 Tabel 6. Luas Tanam Usahatani Tanaman Pangan Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2007 Luas Tanam (ha) No. Kecamatan Padi (sawah + Kacang Jagung Ubi Kayu ladang) Tanah 1. Passi Timur 330 1 740 29 43 2. Passi Barat 221.5 502 20.5 19.5 3. Bilalang 221.5 502 20.5 19.5 4. Lolayan 7 298 1 515 33 64 5. Dumoga Utara 13 262 2 907 31 59 6. Dumoga Timur 13 003 3 007 4 127 7. Dumoga Barat 7 980 3 025 38 69 8. Poigar 4 012 935 48 36 9. Bolaang 503.5 893 16.5 47 10. Bolaang Timur 503.5 893 16.5 47 11. Lolak 3 139 3 875 47 44 12. Sangtombolang 2 414 2 213 45 44 T O T A L 52 888 22 007 349 619 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow (2008) (diolah) Berdasarkan data pada Tabel 6 tersebut terlihat bahwa Kecamatan Dumoga Utara, Timur dan Barat memiliki areal pertanaman padi (sawah dan ladang) paling luas di Kabupaten Bolaang Mongondow. Hal ini tidak mengherankan karena sejak dulu Kecamatan Dumoga (sebelum dimekarkan) sudah menjadi lumbung beras bagi Bolaang Mongondow khususnya dan propinsi Sulawesi Utara pada umumnya. Sedangkan tanaman jagung luas areal pertanamannya umumnya merata pada setiap kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow. 5.2. Karakteristik Petani Responden Secara umum karakteristik petani responden dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan terakhir, pengalaman berusaha tani, status anggota keluarga, potensi usahatani yang dimiliki/ diusahakan serta sumber-sumber pendapatan

50 rumahtangga tani baik dari on farm, off farm maupun dari non farm. Pengertian on farm dalam penelitian ini adalah setiap pendapatan rumahtangga tani yang berasal langsung dari hasil usahatani yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga rumahtangga tani. Sedangkan off farm adalah setiap pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari hasil usaha yang masih berhubungan dengan kegiatan usahatani yang dilakukan, seperti buruh tani, pengolah hasil pertanian dan lain-lain. Adapun non farm merupakan hasil pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari kegiatan selain atau tidak berhubungan dengan kegiatan usahatani yang dilakukan, seperti berdagang, karyawan swasta, pegawai negeri, dan lain-lain. Dari 100 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 45 tahun dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (49 persen). Tabel 7 memberikan gambaran umum mengenai kondisi usia para petani responden. Tabel 7. Karakteristik Usia Petani Responden Usia Persentase (%) 20-30 tahun 7 30-40 tahun 36 40-50 tahun 28 50-60 tahun 22 > 60 tahun 7 Total 100 Berdasarkan Tabel 7 tersebut dapat dikemukakan bahwa kondisi usia para petani responden rata-rata masih pada usia produktif (usia kerja). Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat peluang untuk mengembangkan lagi usahatani yang sudah ada.

51 Faktor pendidikan sangat memegang peranan penting dalam suatu manajerial usaha. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan membaca peluang usaha yang dilakukan masing-masing petani responden. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dari 100 orang petani responden hanya satu orang petani yang memiliki pendidikan terakhir perguruan tinggi (sarjana ekonomi). Dimana petani tersebut memiliki total pendapatan rumahtangga tani tertinggi yaitu Rp. 129 840 000 per tahun. Selengkapnya mengenai kondisi pendidikan petani responden seperti terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Karakteristik Pendidikan Terakhir Petani Responden Pendidikan Terakhir Persentase (%) Perguruan Tinggi 1 SMA 27 SMP 21 SD 49 Tidak Lulus SD 2 Total 100 Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa sebagian besar petani responden berpendidikan SD. Hal ini berpengaruh pada kemampuan dan kesempatan untuk memperoleh alternatif usaha guna pemenuhan pendapatan rumahtangga tani. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa dari 100 orang petani responden terdapat 31 orang petani yang menjadi buruh tani (tenaga harian dan pemanjat kelapa) atau rata-rata terdapat 1 2 orang anggota rumahtangga yang menjadi buruh tani. Pilihan menjadi buruh tani di luar kegiatan rutin usahatani terpaksa

52 dilakukan karena mereka tidak memiliki ketrampilan lain selain bertani, hal ini sebagai dampak dari tingkat pendidikan yang rendah. Berhubungan dengan hal tersebut, hasil penelitian Puspadi et al. (2005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan (korespondensi) antara tingkat pendidikan petani dengan jenis usahatani utama yang dikelola. Petani yang tingkat pendidikannya relatif tinggi, berada pada usahatani campuran, sedangkan petani yang tingkat pendidikannya rendah cenderung memilih usahatani pangan, hal ini didasari karena kemajuan pola pikir yang dimiliki oleh para petani yang berpendidikan lebih tinggi (Gambar 3). Sumber : Puspadi et al. (2005) Gambar 3. Hubungan Tingkat Pendidikan Petani dengan Jenis Usahatani Tabel 9 memperlihatkan status dan peranan tiap anggota keluarga dalam satu rumahtangga tani di lokasi penelitian. Dapat dikemukakan bahwa selain suami sebagai pencari nafkah utama, ternyata posisi istri bukan hanya sebagai ibu rumahtanggaa namun berperan penting pula dalam menambah pendapatan rumahtanggaa tani, dimana terdapat rasio sebanyak 71 persen istri yang bekerja dan hanya 29 persen yang menjadi ibu rumahtanggaa biasa.

53 Tabel 9. Status dan Peranan Anggota Keluarga Anggota keluarga Sekolah (%) Bekerja (%) Tidak Kerja/ belum sekolah (%) Suami (KK) 0 100 0 Istri 0 71 29 Anak (< 15 tahun) 68 1 18 Anak (> 15 tahun) 44 20 14 Tanggungan lain (< 15 tahun) Tanggungan lain (> 15 tahun) 5 0 2 1 1 4 Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa umumnya para istri membantu para suami melakukan kegiatan usahatani, disamping itu sebagian lagi ada yang berdagang ataupun menjadi pegawai/ karyawan. 5.3. Struktur Pendapatan Petani dan Kepemilikan Lahan Petani responden di lima kecamatan lokasi penelitian semuanya bermata pencaharian utama dari kegiatan usahatani, baik tanaman pangan, peternakan maupun perkebunan. Dimana sebagian besar merupakan pemilik lahan, hanya satu kecamatan saja yang keseluruhan petaninya tidak memiliki lahan atau hanya menggarap yaitu di Kecamatan Lolak (Desa Lolak II). Lahan di Desa Lolak II merupakan milik perusahaan perkebunan kelapa daerah sehingga statusnya Hak Guna Usaha (HGU), sedangkan para petani merupakan keturunan keempat dari penduduk asal Sangihe Talaud yang bertransmigrasi bedol desa karena bencana

54 alam Gunung Awu dan Gunung Karangetang pada tahun 50-an. Pada lahan HGU tersebut diberlakukan ketentuan pembayaran sewa sebesar 5 persen dari hasil penjualan komoditi (jagung dan padi) per tahunnya yang disetorkan ke mandor perusahaan. Selengkapnya mengenai status dan penguasaan lahan pertanian oleh petani di lokasi penelitian seperti terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009 No. Luas Lahan (ha) Jumlah petani (orang) Persentase (%) 1. 0.25-0.75 24 24 2. 1-2 70 70 3. 3-4 4 4 4. > 4 2 2 Total 100 100 Keseluruhan petani responden melakukan kegiatan usahatani jagung dan padi sebagai sumber mata pencaharian utama, disamping sebagian kecil berusahatani kedelai, peternakan (sapi, kambing dan babi) dan perkebunan (kelapa-kopra). Hal ini didasari pada curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani jagung dan padi sebanyak 8 10 jam per hari. Sedangkan pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari off farm adalah buruh tani harian dan pemanjat kelapa musiman serta penangkar benih pohon. Sebagian lagi petani responden memiliki alternatif usaha di luar kegiatan usahatani (non-farm) diantaranya berdagang, karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri, penjahit,

55 tukang bangunan dan pengendara angkutan. Selengkapnya mengenai struktur pendapatan petani responden seperti terlihat pada Tabel 11. Tabel 11. Struktur Pendapatan Rumahtangga Tani Responden Sumber pendapatan On Farm : 1. UT Jagung (MT) 2. UT Padi (MT) 3. UT kedelai (MT) 4. Perkebunan (kwartal) 5. Peternakan (musiman) Off Farm : 1. Buruh tani (mingguan) 2. Buruh pengumpul/pemanjat kelapa (mingguan) 3. Penangkar benih pohon (bulanan) Non Farm : 1. Dagang (mingguan) 2. Karyawan (bulanan) 3. PNS/TNI/POLRI (bulanan) 4. Penjahit (mingguan) 5. Tukang bangunan (mingguan) 6. Angkutan (mingguan) Rasio petani (%) 100 69 4 20 20 26 5 1 16 1 6 1 5 7 Pendapatan (rata-rata) per Periode (Rp) 3 771 776 8 367 037 1 217 250 6 131 825 3 863 158 679 194 270 000 700 000 804 688 4 000 000 1 191 667 1 140 000 772 000 817 500 Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa secara umum pendapatan rata-rata rumahtangga tani responden dari kegiatan usahatani masih rendah, terutama dari usahatani jagung. Sehingga jika rumahtangga tani hanya melakukan satu usahatani monokultur saja, misalnya hanya jagung saja, maka dapat dipastikan akan terjadi kesulitan keuangan dalam rumahtangga. Hal ini biasanya diatasi

56 petani dengan cara meminjam atau mengijon terlebih dahulu usahataninya pada pedagang pengumpul desa (toko pertanian). Dari lima desa lokasi penelitian diperoleh data Desa Nonapan I Kecamatan Poigar memiliki tingkat pendapatan rumahtangga tani terendah, yaitu hanya Rp. 19 972 850 per tahun atau rata-rata per bulan Rp. 1 664 404 dan umumnya petani responden hanya menggantungkan hidup pada satu sampai dua alternatif usaha untuk menghidupi rumahtangganya. Sedangkan yang tertinggi pendapatan rumahtangga taninya adalah Desa Langagon Kecamatan Bolaang yang rata-rata pendapatan rumahtangga taninya Rp. 38 758 188 per tahun atau rata-rata per bulan Rp. 3 229 849 dengan dua sampai empat alternatif usaha untuk menghidupi rumahtangganya. Selengkapnya rata-rata pendapatan rumahtangga tani masing-masing responden pada lima lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. 5.4. Justifikasi Harga Bayangan Dalam penelitian ini untuk menentukan besaran harga sosial dalam analisis PAM menggunakan perhitungan harga bayangan disesuaikan menurut definisi Gittinger (1986) (lihat kembali bagian 4.5. Metode Penentuan Harga Bayangan), sehingga harga bayangan yang digunakan secara umum ditentukan dengan cara mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan-kebijakan seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, harga pembelian pemerintah dan lainlain. Harga bayangan tersebut meliputi harga bayangan output, lahan, input (sarana produksi dan peralatan), tenaga kerja, suku bunga modal dan nilai tukar rupiah.

57 5.4.1. Harga Bayangan Output Harga yang digunakan sebagai dasar penentuan harga bayangan output adalah harga perbatasan (border price). Berdasarkan informasi dan data yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Utara bahwa kegiatan ekspor jagung terakhir yang tercatat berlangsung pada tahun 2007. Untuk tahun-tahun selanjutnya produksi jagung hanya diperuntukkan bagi kebutuhan lokal. Sehingga ditempuh pendekatan kegiatan ekspor jagung di pelabuhan terdekat, yaitu Gorontalo. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Propinsi Gorontalo, diperoleh harga FOB jagung di Pelabuhan Anggrek Gorontalo pada tahun 2008 sebesar US $ 275 per ton. Kemudian dikonversi dengan Shadow Exchange Rate (SER) Rp.9 753.59, maka diperoleh harga FOB sebesar Rp. 2 682 per kg. Selanjutnya ditambah dengan dengan biaya angkut (ke kabupaten dan kecamatan) sebesar Rp. 140 per kg, dan biaya bongkar muat di pelabuhan (truck losing) sebesar Rp. 19 per kg, sesuai data Pelindo (2009). Sehingga diperoleh harga sosial output jagung pipilan di tingkat petani sebesar Rp. 2 841 per kg. Harga bayangan beras dilakukan pendekatan pada harga CIF Bangkok (15 persen broken) rata-rata tahun 2008 sebesar US $ 515.8 per ton, sesuai data Harga Komoditi di Pasar Dunia - Bank Indonesia (2009). Setelah dikurangi dengan bea masuk sebesar Rp. 450 per kg dan PPH impor 2.5 persen maka harga border beras menjadi sebesar Rp. 4 455 per kg. Selanjutnya ditambah dengan biaya penanganan dan angkutan, maka harga sosial beras di tingkat petani sebesar Rp. 4 614 per kg.

58 5.4.2. Harga Bayangan Lahan Dalam penelitian ini harga bayangan lahan adalah nilai sewa lahan yang berlaku di daerah setempat. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik. Walaupun berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa sebagian besar petani merupakan pemilik lahan baik yang diperoleh secara beli tunai maupun warisan orang tua, namun terdapat pula beberapa petani yang menyewa lahan bahkan di Desa Lolak II Kecamatan Lolak keseluruhan status lahan petani adalah penggarap sewa karena lahan di lokasi tersebut berstatus Hak Guna Usaha (HGU). Sehingga untuk perhitungan harga bayangan ditempuh cara menyeragamkan ke dalam nilai sewa lahan, dimana untuk Desa Lolak II Kecamatan Lolak berlaku ketentuan sewa 5 persen dari hasil panen per tahun, sedangkan untuk empat kecamatan lainnya berlaku 20 persen dari hasil panen per tahun. Secara ringkas harga sewa lahan yang berlaku di lokasi penelitian seperti terlihat pada Tabel 12. Tabel 12. Rekap Harga Sewa Lahan Rata-Rata di Lokasi Penelitian Ukuran Lahan (ha) Rata-Rata Harga Sewa (Rp) 0.25-0.75 701 228 1-3 1 280 732 > 4 2 960 000 5.4.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa para petani setempat saat ini hanya menggunakan dua jenis pupuk yaitu urea dan phonska. Adapun KCl tidak digunakan lagi karena harganya yang sangat mahal dan tidak terjangkau petani

59 kecil (mencapai Rp. 800 000 per 50 kg), sedangkan SP-36 sudah sangat jarang ditemukan di pasaran. Harga privat pupuk dalam penelitian ini menggunakan harga jual aktual (harga pasaran) di lokasi penelitian (Tabel 13). Sedangkan penentuan harga bayangan pupuk urea dan phonska dilakukan pendekatan yang berbeda. Harga bayangan pupuk urea mengacu pada harga FOB pupuk urea produksi PT. Pupuk Kaltim di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (posisi harga tahun 2008) sebesar Rp. 4 100 per kg, sesuai data dari Forum Tani (2009). Kemudian ditambah dengan biaya bongkar muat sebesar Rp. 19 per kg, biaya angkut dari pelabuhan ke kota propinsi sebesar Rp. 70 per kg dan dari kota propinsi ke kecamatan sebesar Rp. 70, sesuai data dari Pelindo Bitung (2009). Sehingga diperoleh harga pupuk urea di tingkat petani sebesar Rp. 4 250 per kg (Tabel 13). Harga sosial pupuk phonska dalam analisis PAM menggunakan pendekatan harga pupuk tersebut di pasar bebas. Hal ini dilakukan karena sulitnya mencari border price pupuk phonska, yang tersedia hanya harga border bahanbahan baku untuk pembuatan pupuk sehingga sulit menentukan border price harga pupuk tersebut. Untuk itu, dilakukan pendekatan pada harga NPK 15-15-15 yang dipasarkan oleh PT. Anugrah Tambang Pratama sebesar Rp. 5 000 per kg (Tabel 13). Hal ini dapat dilakukan karena pupuk phonska produksi PT. Petrokimia Gresik merupakan jenis pupuk majemuk NPK 15-15-15. Selain itu karena harga sosial merupakan harga yang bebas dari pengaruh distorsi harga dalam ini kebijakan subsidi, sehingga produk yang tidak terkena subsidi harga jualnya di lepas ke mekanisme pasar (pasar bebas), maka pendekatan harga sosial phonska melalui harga jual dipasar bebas dapat dilakukan.

60 Harga bayangan benih jagung didekati dari harga bayangan komoditi tersebut sebagai output, namun karena memiliki aspek quality control maka harga bayangan benih lebih besar dibanding harga bayangannya sebagai output. Sehingga harga bayangan (sosial) benih pada Tabel 13 dihitung berdasarkan ratarata harga aktual (harga privat) benih jagung di lokasi penelitian, kemudian dibagi dengan rata-rata harga jual aktual jagung pipilan (output) di lokasi penelitian (rata-rata Rp. 2 138 per kg), selanjutnya dikali dengan harga bayangan jagung pipilan (output) sebesar Rp. 2 785 per kg. Cara yang sama dilakukan untuk harga bayangan benih padi, dimana acuan harga adalah harga privat atau harga aktual setempat yaitu sebesar Rp. 2 734 per kg. Hanya saja untuk benih padi perlu mempertimbangkan faktor konversinya yaitu 1 kg padi = 0.64 kg beras. Tabel 13. Rekap Harga Privat dan Sosial Sarana Produksi Usahatani Jagung di Lokasi Penelitian No. Uraian Satuan Harga Privat (Rp) Harga Sosial (Rp) 1. Benih hibrida kg 30 941 41 127 2. Pupuk urea kg 1 476 4 259 3. Pupuk phonska kg 2 505 5 000 4. Herbisida cair liter 76 424 76 424 5. Pestisida cair liter 66 882 66 882 6. Sewa alat pipil Rp/kg 56 56 7. Penyusutan alat : sekop, cangkul dan parang 60 313 60 313 Untuk komponen herbisida dan pestisida cair, harga privat dan sosial (harga bayangan) merupakan harga beli di lokasi penelitian (harga pedagang pengumpul desa/ toko saprodi setempat) (Tabel 13). Hal ini didasari asumsi

61 bahwa border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan pestisida dan herbisida tersebut, sehingga sulit untuk menentukan harga bayangan berdasarkan border price bahan baku. Selain itu karena baik herbisida maupun pestisida merupakan input sarana produksi yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga harga jual di lepas ke mekanisme pasar (pasar bebas). Untuk itu harga sosial (harga bayangan) sama dengan harga privatnya (harga aktualnya). Terlihat pada Tabel 13 bahwa untuk sewa alat pipil menggunakan satuan Rp per kg. Hal ini karena perhitungan sewa alat pipil berdasarkan jumlah koli (kg) jagung pipilan yang dihasilkan. Dimana untuk pembayaran sewa alat rata-rata dihargai sebesar Rp. 56 per kg jagung pipilan. Biasanya pembayaran dalam bentuk uang tunai namun ada pula penyewa alat yang membayar dalam bentuk natura (jagung pipilan), hal ini terjadi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. 5.4.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja Tenaga kerja dalam penelitian ini digolongkan ke dalam tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Tenaga kerja terampil yaitu tenaga kerja pengolahan tanah dengan bantuan ternak dan traktor, tenaga kerja penanaman dengan bantuan ternak (larik), tenaga kerja pengendalian hama dan penyakit (penyemprotan), tenaga kerja pemipilan (operator alat pipil), tenaga kerja pengangkutan dengan bantuan gerobak sapi dan kendaraan lainnya (mobil dan bentor). Harga bayangan upah tenaga kerja terampil tersebut disamakan dengan harga aktualnya (privat). Adapun tenaga kerja tidak terampil (tanpa bantuan alat dan atau ternak) penentuan harga bayangan tenaga kerja sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku (Suryana, 1980) (Tabel 14). Kalau di Bolaang Mongondow saat ini upah

62 tenaga kerja harian yang berlaku rata-rata Rp. 35 000 per HOK, maka harga bayangannya rata-rata sebesar Rp. 28 000 per HOK. Hal ini didasari pada asumsi bahwa terdapat 20 persen opportunity cost dari para petani tersebut untuk memperoleh pendapatan/ pekerjaan di luar usahatani jagung atau dengan kata lain 20 persen opportunity cost tersebut merupakan jumlah pendapatan di luar kegiatan usahatani jagung, misalnya menjadi pembantu tukang bangunan, pemanjat kelapa dan lain-lain. Tabel 14. Rekap Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja Tidak Terampil Usahatani Jagung di Lokasi Penelitian No. Uraian Unit Harga Privat (Rp) Harga Sosial (Rp) 1. Olah tanah I (manusia) Rp/HOK 53 032 42 426 2. Olah tanah II (manusia) Rp/ HOK 60 000 48 000 3. Garu I (manusia) Rp/ HOK 65 000 52 000 4. Garu II (manusia) Rp/ HOK 65 000 52 000 5. Penanaman (manusia) Rp/ HOK 49 758 39 807 6. Penyiangan 1 & 2 Rp/ HOK 50 176 40 141 7. Pemupukan 1 & 2 Rp/ HOK 52 313 41 850 8. Panen & kupas Rp/ HOK 48 389 38 711 9. Jemur Rp/ HOK 49 022 39 218 10. Pemipilan (manusia) Rp/ HOK 31 750 25 400 11. Pengangkutan (manusia) Rp/ HOK 50 783 40 626 Selengkapnya mengenai harga privat dan sosial upah tenaga kerja usahatani jagung dilihat pada Lampiran 3. Sedangkan tenaga kerja pada usahatani padi di Lampiran 4.

63 5.4.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal Harga bayangan suku bunga modal dalam penelitian ini mengacu pada tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI-rate) tahun 2008. Berdasarkan data dari Bank Indonesia tercatat BI-rate per Desember tahun 2008 sebesar 9.25 persen (Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2009). Asumsi yang mendasari hal ini adalah karena BI-rate merupakan suku bunga acuan perbankan nasional yang belum terdapat distorsi seperti ambil untung (laba) perbankan, pajak dan biayabiaya lainnya. Sedangkan harga privat suku bunga modal mengacu pada ketentuan pinjam meminjam di lokasi penelitian antara petani dan pedagang pengumpul desa. Dimana setiap nominal peminjaman (baik dalam bentuk uang maupun natura) ada selisih Rp. 250 yang diambil pihak pemberi pinjaman. Cicilan pinjaman dilakukan setiap periode panen atau 3 4 bulan, sehingga dalam setahun (dua musim tanam) bunga yang dikenakan oleh pihak pemberi pinjaman rata-rata mencapai 25 persen. Selengkapnya mengenai harga privat dan sosial serta budget privat dan sosial suku bunga modal usahatani jagung dapat dilihat pada Lampiran 3. 5.4.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah Pada tahun 2008 nilai total ekspor dan impor Indonesia untuk komoditi jagung dan padi (beras) serta turunannya masing-masing sebesar Rp. 167.2 juta per kg dan Rp. 2.05 milliar per kg, pajak ekspor dan impor masing-masing sebesar Rp. 4.18 juta dan Rp. 51.30 juta (Departemen Perdagangan, 2009). Nilai SCF tahun 2008 sebesar 0.979, sehingga nilai tukar bayangan (SER) adalah Rp. 9753.59 per 1 US $.

64 5.5. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow, khususnya pada lima kecamatan lokasi penelitian. Selain itu profitabilitas privat (finansial) merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan profitabilitas sosial (ekonomi) merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil perhitungan pada Lampiran 3 dapat dikemukakan bahwa baik secara finansial maupun ekonomi usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow selama satu tahun terakhir (dua musim tanam) menunjukkan tingkat kelayakan usaha yang baik. Salah satu indikator sederhana dapat dilihat pada nilai Revenue Cost Ratio (RC-ratio) yang lebih besar dari satu. Selain itu hasil pendapatan pada analisis ini juga merupakan indikator keuntungan privat dan sosial dalam policy analysis matrix. Selanjutnya, secara ekonomi harga jual jagung yang diterima petani pada tingkat harga sosial lebih tinggi daripada harga aktualnya (harga privat). Dimana terlihat bahwa pendapatan bersih (diluar komponen lahan) secara ekonomi yaitu Rp. 4 519 566 per tahun dengan RC-ratio 1.59, lebih besar dibandingkan secara finansial yang berjumlah Rp. 1 692 554 per tahun dengan RC-ratio 1.23. Demikian halnya jika komponen lahan dimasukkan maka diperoleh pendapatan bersih secara ekonomi sebesar Rp. 3 045 938 per tahun dengan RC-ratio 1.33 dan secara finansial diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 218 926 per tahun dengan RC-ratio 1.02 (lihat Lampiran 3).

65 Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi masyarakat tani setempat sebenarnya lebih diuntungkan dibanding dengan produsen input tradable maupun domestik (non tradable). Sebaliknya secara finansial (individu petani) perolehan pendapatan yang rendah selama dua musim tanam terakhir menunjukkan tingginya komponen biaya produksi (tradable dan faktor domestik) yang harus dikeluarkan setiap petani (secara individual) untuk kelangsungan hidup usahataninya. Sementara biaya produksi yang tinggi tidak diimbangi dengan harga jual yang memadai pada tingkat harga aktual. Berdasarkan hasil analisis PAM pada Tabel 15 menunjukkan bahwa walaupun usahatani jagung memperoleh profitabilitas privat di atas normal (D > 0) yaitu 2.39 persen. Namun jika dibandingkan komoditi kompetitor utamanya, yaitu padi terlihat bahwa profitabilitas privat usahatani jagung menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan profitabilitas privat usahatani padi. Selain itu berdasarkan analisis finansial dan ekonomi pada Lampiran 4 terlihat bahwa secara finansial usahatani padi memiliki RC-ratio (tingkat kelayakan usaha) jauh lebih besar dibanding usahatani jagung (1.39), namun secara ekonomi tidak begitu nyata perbedaannya (1.37). Profitabilitas privat (finansial) adalah selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga output yang diterima dan harga input yang dibayar petani produsen. Total biaya telah mencakup nilai sewa lahan dan sewa tenaga kerja dalam keluarga. Pada kondisi aplikasi teknologi aktual, kinerja usahatani, pada tingkat harga yang dibayar dan diterima petani, dan kebijakan yang sedang berjalan nampak bahwa usahatani jagung belum memberikan

66 keuntungan pada petani produsen secara individual (privat) dibandingan usahatani padi (Tabel 15). Profitabilitas sosial mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dalam kondisi persaingan sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi pasar telah dihilangkan. Sistem komoditas dengan tingkat profitabilitas sosial (ekonomi) yang makin tinggi maka menunjukkan tingkat keunggulan komparatif yang semakin besar. Tabel 15 memperlihatkan bahwa usahatani jagung memiliki profitabilitas sosial yang tinggi (24 persen), dimana tidak berbeda secara signifikan dengan profitabilitas sosial usahatani padi (25 persen). Hasil ini merupakan indikasi awal bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki keunggulan komparatif. Tabel 15. Hasil Analisis Policy Analysis Matrix Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow (Rp) Faktor Domestik/ non tradable No Uraian Revenue Input Tradable Profit Lahan & Tenaga Kerja Modal 1. Jagung: a.privat 9 160 790.63 2 135 557.29 4 560 657 2 245 650 218 926 b.sosial 12 176 832.45 3 355 376.11 3 962 836 1 812 683 3 045 938 c.divergensi -3 016 041.83-1 219 818.82 597 821 432 968-2 827 011 2. Padi : a.privat 13 705 580.09 1 268 151.97 5 434 977 3 132 345 3 870 106 b.sosial 12 761 551.72 2 053 674.92 4 706 137 2 555 173 3 446 567 c.divergensi 944 028.37-785 522.96 728 840 577 172 423 539 Profitabilitas privat (finansial) usahatani jagung yang rendah merupakan indikasi awal rendahnya keunggulan kompetitif usahatani jagung. Komoditas ini akan mengalami hambatan dalam pengembangannya karena komoditas

67 kompetitornya yaitu padi ternyata memiliki daya saing lebih tinggi secara finansial atau lebih kompetitif. Terlihat pada Tabel 15 profitabilitas privat usahatani jagung lebih kecil dibanding profitabilitas sosialnya. Perbedaan ini terjadi diduga karena adanya praktek monopsoni di lokasi penelitian. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adanya ketergantungan para petani pada pedagang pengumpul desa atau dengan kata lain para pedagang pengumpul di masing-masing desa penelitian menjadi satu-satunya pembeli hasil panen dan tempat bergantung petani untuk aspek keuangan serta pengadaan input. Sehingga para pedagang pengumpul tersebut memiliki kekuatan dalam mengendalikan pasar input dan output, akibatnya harga jual input menjadi tinggi sementara harga beli output justru ditekan. Pearson et al. (2005) mengemukakan bahwa salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kegagalan pasar. Pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif serta menciptakan alokasi sumberdaya maupun produk yang efisien. Terdapat tiga jenis kegagalan pasar yang menyebabkan divergensi, yaitu: (1) monopoli (penjual yang menguasai harga pasar) atau monopsoni (pembeli menguasai harga pasar), (2) eksternalitas negatif yaitu biaya, dimana pihak yang menimbulkan terjadinya biaya tersebut tidak bisa dibebani biaya yang ditimbulkannya atau eksternalitas positif yaitu manfaat, dimana pihak yang menimbulkan manfaat tersebut tidak bisa menerima kompensasi atau imbalan atas manfaat yang ditimbulkannya), dan (3) pasar faktor domestik yang tidak sempurna, dimana tidak adanya lembaga yang dapat memberikan pelayanan yang kompetitif serta informasi yang lengkap.

68 Penyebab kedua terjadinya divergensi adalah kebijakan pemerintah yang distorsif. Penerapan kebijakan distorsif untuk mencapai tujuan yang bersifat nonefisiensi (pemerataan atau ketahanan pangan), akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbukan divergensi. Misalnya, tarif impor beras yang diterapkan untuk meningkatkan pendapatan petani (tujuan pemerataan) dan meningkatkan produksi beras dalam negeri (tujuan ketahanan pangan), namun dilain pihak akan menimbulkan kerugian efisiensi bila harga beras impor yang digantikannya ternyata lebih murah dari biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi beras dalam negeri, sehingga akan timbul trade-offs (Pearson et al. 2005). Pengambil kebijakan harus memberikan bobot tertentu pada masing-masing tujuan yang saling bertentangan tersebut untuk menentukan apakah kebijakan tarif impor perlu diterapkan atau tidak. Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar dan jika pemerintah mampu mengabaikan tujuan non-efisiensi serta menghapuskan kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan yang distorsif tersebut mampu dilaksanakan, maka divergensi dapat dihilangkan dan efek divergensi (nilai-nilai divergensi pada Tabel 15) akan menjadi nol. Pada kondisi seperti itu, nilai-nilai pada bagian privat (baris pertama tabel PAM) akan sama dengan nilai pada bagian sosial (baris kedua tabel PAM) atau dengan kata lain pendapatan (revenue), biaya dan profitabilitas privat akan sama dengan pendapatan, biaya dan profitabilitas sosial.

69 5.6. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Tabel 16 memperlihatkan nilai PCR dan DRCR dari usahatani jagung berdasarkan analisis PAM dan sebagai pembanding diperlihatkan juga nilai PCR dan DRCR dari usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Tabel 16. Hasil Perhitungan Private Cost Ratio dan Domestic Resource Cost Ratio Usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow No. Usahatani Private Cost Ratio (PCR) Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) 1. Jagung 0.97 0.65 2. Padi 0.69 0.68 Nilai PCR usahatani jagung seperti pada Tabel 16 tersebut, menunjukkan bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow selang satu tahun terakhir dikategorikan sedikit memiliki keunggulan kompetitif karena nilai PCR < 1. Jika dibandingkan dengan nilai PCR usahatani padi maka dapat dikemukakan bahwa usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow lebih kompetitif dibanding usahatani jagung. Dengan kata lain, untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat maka usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow hanya memerlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0.69 atau kurang dari satu satuan. Memang jika dibandingkan dengan nilai PCR usahatani jagung juga berada pada posisi kurang dari satu satuan, yaitu 0.97 namun masih lebih besar memerlukan tambahan biaya faktor domestik dibandingkan pada usahatani padi. Dengan nilai PCR yang hanya 0.97 maka usahatani jagung memiliki kemampuan terbatas dalam membiayai faktor domestik. Atau dengan kata lain bahwa terdapat kecenderungan pembengkakan biaya produksi atau tidak

70 tertutupnya biaya produksi jika harga output pada tingkat harga privat jatuh (turun). Sehingga disarankan agar pemerintah dapat memberikan kebijakan proteksi output dengan mensubsidi harga output domestik sehingga mendongkrak naiknya harga output domestik dibanding harga efisiensinya (harga dunia). Berhubungan dengan hal tersebut, berdasarkan hasil perhitungan output transfer pada Lampiran 5 diperoleh hasil sebesar Rp. 3 016 041.83 yang menunjukkan bahwa petani sebagai produsen menerima harga output lebih rendah dari harga dunia yang pada tahun 2008 berada pada kisaran Rp. 2 600 sampai dengan 2 900 per kg (lihat pembahasan lebih lanjut pada sub bab 5.7.1). Hal ini sesuai dengan data hasil wawancara di lapangan yang menunjukkan bahwa harga jual tertinggi produk jagung petani di lokasi penelitian pada satu tahun terakhir (dua musim tanam) hanya rata-rata Rp. 2 138 per kg dan terendah Rp. 1 455 per kg atau berada pada kisaran Rp. 1 000 sampai dengan 2 300 per kg. Nilai DRCR usahatani jagung sebesar 0.65 (Tabel 15) menunjukkan bahwa usahatani ini memiliki keunggulan komparatif. Nilai tersebut berarti bahwa untuk memproduksi jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow hanya membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 65 persen terhadap biaya impor yang dibutuhkan. Dengan kata lain, setiap US $ 1.00 yang dibutuhkan untuk mengimpor produk tersebut, hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US $ 0.65, artinya untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas jagung sebaiknya di produksi sendiri di Bolaang Mongondow dan tidak perlu didatangkan atau diimpor dari daerah atau negara lain. Demikian halnya dengan usahatani padi yang memiliki nilai DRC sebesar 0.68, artinya bahwa untuk memproduksi padi (beras) di Kabupaten Bolaang Mongondow hanya

71 membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 68 persen atau cukup menghemat devisa jika memproduksinya di wilayah tersebut dibanding mengimpornya. Sebagai komoditas kompetitor utama jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow terlihat bahwa komoditas padi lebih memiliki daya saing dibanding jagung. Hal ini tidak mengherankan karena tanaman padi merupakan tanaman pangan utama yang keberadaannya sudah sejak lama diperhatikan dan dipacu produksi serta dikontrol harganya oleh pemerintah, dimana secara nasional sejak dimulainya program Pra Bimas tahun 1952 dan di Propinsi Sulawesi Utara sendiri sejak adanya program transmigrasi dari Pulau Jawa dan Bali pada awal 1970-an. Hasil penelitian BPTP Sulut pada tahun 1999 menunjukkan bahwa komoditi jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki nilai DRCR sebesar 0.53. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow telah mengalami penurunan keunggulan komparatif. Diduga hal ini terjadi karena faktor sumberdaya lahan yang semakin berkurang akibat konversi lahan, kenaikan hargaharga input tradable dan faktor domestik serta tidak menentunya harga jual jagung hasil panen petani. Kurangnya proteksi pemerintah terhadap hasil jagung petani, semakin memperparah kondisi usahatani jagung di Bolaang Mongondow khususnya dan Sulawesi Utara pada umumnya. Akibat yang sangat jelas terlihat pada produksi jagung Sulut yang tidak bisa memenuhi ketentuan kuantitas stok dan kontuinitasnya, dimana para buyers menargetkan pembelian hingga 2000 ton sampai tahun 2009, namun belum mampu dipenuhi sehingga jagung Sulut tidak diminati buyers, hal ini jelas sangat mempengaruhi pada tingkat daya saing

72 komoditi jagung Sulawesi Utara (http://www.news.roll.co.id/komoditas/23274- komoditi-jagung-kurang-diminati-buyershtml, 2009). Khadijah (2002) mengemukakan bahwa produk pertanian Indonesia masih kalah bersaing dari sisi harga dibanding dengan negara lain. Di negara-negara barat sistem pertanian sudah sangat efisien dengan produktivitas yang tinggi sehingga mampu menjual dengan harga murah. Sedangkan Indonesia produktivitasnya masih rendah. Dengan adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada produk pertanian maka harga produk pertanian akan bertambah mahal yang mengakibatkan daya saing produk tersebut semakin menurun. Ketika daya saing produk menjadi rendah maka yang dihadapi bukan saja pasar internasional, tetapi juga pasar lokal yang diserbu produk impor. Bisa dibayangkan dampak buruknya adalah stagnasi pertanian lokal. Ketika pertanian dalam negeri sudah tidak berdaya maka akan terjadi ketergantungan terhadap produk pertanian impor. Hasil kajian Khadijah (2002) tersebut ternyata relevan dengan kenyataan di Bolaang Mongondow. Berdasarkan temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemberlakuan pajak retribusi komoditi pertanian oleh pemerintah Kabupaten justru menurunkan tingkat daya saing komoditi jagung Bolmong (lihat Tabel 18 halaman 76). Harga jual jagung di tingkat petani menjadi rendah, dimana pada Musim Tanam (MT) I tahun 2008 rata-rata petani masih bisa merasakan harga sampai Rp. 2 300 per kg, namun pada MT II rata-rata harga jual hanya berkisar Rp. 1 400 2 000 per kg. Di lain pihak para pedagang kemudian menjual hasil panen petani tersebut dengan harga tinggi. Diperoleh informasi bahwa harga jagung di pasar tradisional saja pada Bulan Pebruari 2009 rata-rata sudah sebesar Rp. 2 500 per kg.

73 Berdasarkan hal tersebut, maka sangat perlu bagi pemerintah daerah merumuskan kebijakan yang lebih operasional sehingga dapat mengangkat kembali tingkat daya saing jagung di Bolaang Mongondow. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain : 1. Menghilangkan atau mengurangi distorsi pasar baik pada pasar input maupun pada pasar output, seperti pajak/ retribusi komoditi, mengontrol harga pembelian, dan lain-lain. 2. Mengefektifkan program-program penelitian yang bersifat terapan untuk inovasi teknologi usahatani sehingga langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh para petani serta terjangkau dengan anggaran usahatani yang dimiliki petani. 3. Menyediakan sarana dan prasarana yang dapat meningkatkan aksesibilitas sentra-sentra produksi terhadap pasar input maupun output, seperti pembentukan pasar lelang komoditi yang bersifat berkesinambungan. 5.7. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Ukuran dampak divergensi dan kebijaksanaan pemerintah dalam Policy Analysis Matrix adalah Output Transfer (OT), Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Net Transfer (NT). Ukuran relatif ditunjukan oleh analisis koefisien proteksi output nominal atau Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), koefisien proteksi input nominal atau Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI), koefisien proteksi efektif atau Effectif Protection Coeficient (EPC). Koefisien profitabilitas atau Profitability Coeficient (PC) dan rasio subsidi bagi produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP) (Saptana et al. 2008).

74 5.7.1. Kebijakan Output Hasil Output Transfer (OT) usahatani jagung pada Tabel 17 menunjukkan nilai yang negatif, artinya bahwa harga output di pasar domestik lebih rendah dibandingkan harga internasionalnya. Lebih lanjut, hal ini mengindikasikan adanya kebijakan pajak atau pungutan terhadap output yang dibebankan kepada petani produsen secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan bahwa pemerintah kabupaten menerapkan peraturan retribusi terhadap beberapa komoditas pertanian termasuk jagung (Tabel 18), dimana sebenarnya biaya retribusi tersebut dibebankan pada para pedagang pengumpul, namun secara tidak langsung justru yang menanggung adalah petani karena para pedagang membeli hasil jagung petani lebih murah (Rp. 1000 2300 per kg) dibanding harga jual kembali (diatas Rp. 2500 per kg). Hal ini dilakukan dengan harapan dapat menutupi biaya retribusi yang akan dikeluarkan nanti pada saat pengangkutan keluar wilayah kabupaten. Tabel 17. Output Transfer dan Nominal Protection Coeficient on Output Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Usahatani OT NPCO Jagung Rp. -3 016 041.83 0.75 Padi Rp. 944 028.37 1.07 Hasil OT didukung pula oleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang merupakan rasio untuk mengukur output transfer. Nilai NPCO pada Tabel 17 berarti bahwa karena adanya kebijakan retribusi pajak terhadap komoditi jagung Bolmong, maka nilai total output 25 persen lebih rendah dari nilai (harga) efisiensinya (harga internasional). Lebih lanjut lagi, nilai NPCO

75 usahatani jagung menunjukkan bahwa kebijakan daerah mengenai usahatani jagung bersifat disinsentif terhadap output. Artinya tidak ada bantuan ataupun intervensi pemerintah baik melalui subsidi harga pembelian maupun proteksi atau pengendalian harga beli aktual, terhadap hasil jagung petani tersebut. Hal ini menyebabkan tingkat permainan harga relatif tinggi, sebab para pedagang pengumpul mampu mempermainkan harga sementara masing-masing petani tidak punya pilihan lain karena terdesak kebutuhan, utang dan terutama belum adanya acuan harga yang baku dari pemerintah terhadap pembelian hasil jagung mereka. Fenomena yang terjadi pada usahatani jagung ini sangat berbeda dengan kondisi usahatani padi, dimana dengan hasil OT dan NPCO pada Tabel 17 menunjukkan adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap harga output domestik, sehingga petani bisa menerima harga output yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain bahwa karena adanya kebijakan tarif impor beras maka nilai total output 7 persen lebih tinggi dari nilai yang seharusnya, yaitu jika tidak ada kebijakan tarif impor (distrosi dihilangkan). Hasil penelitian Anapu et al. (2005) mengenai dampak kebijakan tarif impor beras di Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara, mendukung hasil OT dan NPCO usahatani padi (beras) dalam penelitian ini. Anapu et al. (2005) mengemukakan bahwa kebijakan tarif impor beras dapat memproteksi sistem usahatani padi di Minahasa (padi tadah hujan irigasi semi teknis luas lahan < 0.5 ha, padi tadah hujan irigasi semi teknis luas lahan 0.5 1 ha, dan padi tadah hujan irigasi semi teknis dengan luas lahan > 1.0 ha. Diperoleh hasil rata-rata divergensi output adalah 39 persen, dimana 30 persen diantaranya bersumber dari

76 kebijakan tarif impor. Tanpa adanya proteksi, maka keuntungan privat akan negatif. Tabel 18. Retribusi Distribusi Komoditi Kabupaten Bolaang Mongondow sesuai Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2001 No. Jenis Quantum (kg) Besaran Tarif (Rp) 1. Cengkih 100 50 000 2. Vanili kering 100 50 000 3. Vanili basah 100 25 000 4. Biji pala 100 25 000 5. Fuli 100 40 000 6. Jagung 100 5 000 7. Kedele 100 5 000 8. Beras 100 5 000 9. Kentang 100 5 000 10. Sayur 100 5 000 11. Coklat 100 10 000 12. Kopi biji 100 5 000 13. Kopra 100 10 000 14. Telur ayam 100 5 000 15. Ayam daging 100 20 000 Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Bolaang Mongondow (2009) Kebijakan yang bersifat protektif terhadap harga output beras tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pembelian pemerintah terhadap beras pada tahun 2009 ini sebesar Rp.4 600 per kg. Selain itu beras sebagai makanan pokok utama masih memiliki nilai jual yang lebih tinggi di pasar lokal dibanding jagung, yaitu pada kisaran Rp. 5 000 7 000 per kg. Hal ini berbeda dengan harga jagung pipilan yang belum pernah menembus Rp. 4 000 per kg (kondisi Bolaang Mongondow). Walaupun diakui bahwa komoditi jagung ini

77 berpeluang ekspor, namun dengan adanya berbagai macam retribusi terhadap komoditi pertanian (Tabel 18), menjadi salah satu penyebab tetap rendahnya pendapatan petani produsen dari usahatani jagung ini secara finansial (privat). Berhubungan dengan masalah tarif tersebut, hasil penelitian Hadi dan Wiryono (2005) mengenai usahatani padi menunjukkan bahwa skenario penghapusan tarif impor baik yang eksplisit maupun implisit akan menyebabkan keuntungan usahatani padi menurun sekitar Rp. 827 ribu sampai dengan Rp. 1.46 juta atau rata-rata Rp. 1.19 juta per hektar per musim atau menurun sekitar 40.41 persen sampai dengan 111.37 persen atau rata-rata 53.48 persen. Sedangkan skenario mempertahankan seluruh tarif implisit (Rp.117.4 per kg) dan menghapus seluruh tarif eksplisit (Rp. 430 per kg) akan menyebabkan keuntungan petani menurun sekitar Rp. 650 ribu sampai dengan Rp. 1.06 juta atau rata-rata Rp. 933 ribu per hektar per musim atau menurun sekitar 31.76 persen sampai dengan 87.53 persen atau rata-rata 42.03 persen. Sementara skenario penghapusan seluruh tarif implisit dan mempertahankan seluruh tarif eksplisit akan menyebabkan keuntungan petani menurun sekitar Rp. 177 ribu sampai dengan Rp. 314 ribu atau rata-rata Rp. 255 ribu per hektar per musim atau menurun sekitar 8.67 persen sampai dengan 23.89 persen atau rata-rata 11.47 persen. Terlihat bahwa dampak skenario kebijakan non tarif lebih ringan daripada skenario kebijakan tarif. Hadi dan Wiryono (2005) menyimpulkan bahwa kebijakan proteksi yang merupakan kombinasi tarif dan non tarif berhasil meningkatkan harga produsen, jumlah produksi, surplus produsen dan pendapatan petani serta menurunkan jumlah impor beras secara signifikan. Kebijakan nontarif mempunyai efek lebih besar daripada kebijakan tarif. Namun tidak berarti bahwa salah satu kebijakan

78 dapat dihilangkan karena keduanya saling memperkuat. Jika salah satu kebijakan tersebut dihapus, apalagi keduanya, maka dikhawatirkan akan menyebabkan usahatani padi hancur sehingga tingkat ketergantungan Indonesia pada pasar dunia yang tipis akan makin besar. Kebijakan tarif saja atau kebijakan nontarif saja tampaknya tidak cukup untuk melindungi pertanian padi nasional. Apalagi dengan penerapan kesepakatan WTO saat ini yang mengharuskan setiap negara anggota untuk membuka pasar yang berdampak pada terjadinya fenomena banjir impor (import surge). Ironisnya justru banjir impor terjadi pada produk-produk bahan pangan, sehingga hal ini dapat merupakan suatu indikator ancaman (faktor ancaman) terhadap keberlanjutan ketahanan pangan nasional. Dampak jangka panjangnya adalah ketergantungan pada bahan pangan impor atau anjloknya kemandirian pangan (Simatupang, 2004). 5.7.2. Kebijakan Input Secara keseluruhan hasil perhitungan Input Transfer (IT), Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) dan Factor Transfer (FT) pada Tabel 19 menunjukkan adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap produsen input tradable dan faktor domestik (non tradable) baik pada usahatani jagung maupun usahatani padi. Bentuk kebijakan tersebut biasanya diwujudkan lewat pemberian subsidi (insentif) baik terhadap proses produksi maupun terhadap produk akhir. Hal ini sebenarnya dilakukan dengan harapan agar para petani sebagai pengguna (konsumen) dapat menerima harga input yang lebih rendah sehingga dapat menekan biaya produksi usahataninya, namun kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan harapan dan sasaran dari program kebijakan ini.

79 Berdasarkan hasil IT usahatani jagung dan padi pada Tabel 19 menunjukkan nilai yang negatif. Artinya bahwa secara implisit terdapat subsidi terhadap input tradable (dalam hal ini pupuk) yang harus disediakan pemerintah setiap tahunnya. Pengertian lain bahwa terdapat transfer (insentif) dari produsen pupuk ke petani. Sedangkan NPCI yang merupakan rasio untuk mengukur tingkat input transfer menunjukkan bahwa karena adanya subsidi terutama pada pupuk maka total biaya input sebesar 64 persen dari biaya seharusnya untuk usahatani jagung dan 62 persen untuk usahatani padi, yaitu jika subsidi ditiadakan. Tabel 19. Input Transfer, Nominal Protection Coeficient on Input dan Factor Transfer Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Usahatani IT NPCI FT Jagung Rp. -1 219 818.82 0.64 Rp. 1 030 788.26 Padi Rp. -785 522.96 0.62 Rp. 1 306 012.31 Nilai FT pada Tabel 19 menunjukkan bahwa secara implisit subsidi yang harus disediakan terhadap faktor domestik (tenaga kerja, modal dan lahan) pada dua musim tanam sebesar Rp. 1 030 788.26 untuk usahatani jagung dan Rp. 1 306 012.31 untuk usahatani padi. Kondisi yang penulis temukan di lapangan, menunjukkan bahwa para petani setempat umumnya hanya menggunakan dua jenis pupuk dalam usahataninya yaitu urea dan phonska. Kedua pupuk ini merupakan pupuk bersubsidi dengan Harga Eceran Tertinggi Pemerintah (HET) sampai ke Lini IV (kecamatan) masing-masing sebesar Rp. 1 200 per dan Rp. 1 750 per kg. Namun pada kenyataannya harga pupuk bersubsidi di lokasi penelitian justru lebih mahal